Post on 24-Mar-2019
7
BAB II
LANDASAN TEORI
A. Tinjauan Pustaka
1. Tempat Kerja
a. Definisi
Menurut OHSAS 18001:2007 yang dimaksud tempat kerja ialah
lokasi manapun yang berkaitan dengan aktivitas kerja di bawah kendali
organisasi (perusahaan).
Sedangkan menurut Undang-undang Nomor 1 Tahun 1970 tentang
Keselamatan Kerja pasal 1 ayat (1), yang dimaksud tempat kerja adalah
tiap ruangan atau lapangan, tertutup atau terbuka, bergerak atau tetap di
mana tenaga kerja bekerja, atau yang sering dimasuki tenaga kerja untuk
keperluan suatu usaha dan di mana terdapat sumber atau sumber-sumber
bahaya. Termasuk tempat kerja ialah semua ruangan, lapangan, halaman
dan sekelilingnya yang merupakan bagian-bagian yang dengan tempat
kerja tersebut. Oleh karena pada tiap tempat kerja terdapat sumber
bahaya maka pemerintah mengatur keselamatan kerja baik di darat, di
tanah, di permukaan, di dalam air, maupun di udara yang berada
diwilayah kekuasaan hukum Republik Indonesia. Ketentuan tersebut
berlaku dalam tempat kerja, yang merupakan tempat-tempat :
8
1) Dibuat, dicoba, dipakai atau dipergunakan mesin, pesawat, alat
perkakas, peralatan atau instalasi yang berbahaya atau dapat
menimbulkan kecelakaan, kebakaran atau peledakan.
2) Dibuat, diolah, dipakai, dipergunakan, diperdagangkan, diangkut
atau disimpan bahan atau barang yang dapat meledak, mudah
terbakar, menggigit, beracun, menimbulkan infeksi, bersuhu tinggi.
3) Dikerjakan pembangunan, perbaikan, perawatan, pembersihan atau
pembongkaran rumah, gedung atau bangunan lainnya termasuk
bangunan perairan, saluran, atau terowongan di bawah tanah dan
sebagainya atau di mana dilakukan pekerjaan persiapan.
4) Dilakukan usaha pertanian, perkebunan, pembukaan hutan,
pengerjaan hutan, pengolahan kayu atau hasil hutan lainnya,
peternakan, perikanan dan lapangan kesehatan.
5) Dilakukan usaha pertambangan dan pengolahan emas, perak,
logam atau bijih logam lainnya, batu-batuan, gas, minyak atau
mineral lainnya, baik di permukaan atau di dalam bumi, maupun di
dasar perairan.
6) Dilakukan pengangkutan barang, binatang atau manusia, baik di
daratan, melalui terowongan, di permukaan air, dalam air maupun
di udara.
7) Dikerjakan bongkar-muat barang muatan di kapal, perahu,
dermaga, dok, stasiun atau gudang.
9
8) Dilakukan penyelaman, pengambilan benda dan pekerjaan lain di
dalam air.
9) Dilakukan pekerjaan dalam ketinggian di atas permukaan tanah
atau perairan.
10) Dilakukan pekerjaan di bawah tekanan udara atau suhu yang tinggi
atau rendah.
11) Dilakukan pekerjaan yang mengandung bahaya tertimbun tanah,
kejatuhan, terkena pelantingan benda, terjatuh atau terperosok,
hanyut atau terpelanting.
12) Dilakukan pekerjaan dalam tangki, sumur atau lobang.
13) Terdapat atau menyebar suhu, kelembaban, debu, kotoran, api,
asap, gas, hembusan angin, cuaca, sinar atau radiasi, suara atau
getaran.
14) Dilakukan pembuangan atau pemusnahan sampah atau timah.
15) Dilakukan pemancaran, penyiaran atau penerimaan radio, radar,
televisi, atau telepon.
16) Dilakukan pendidikan, pembinaan, percobaan, penyelidikan atau
riset (penelitian) yang menggunakan alat tehnis.
17) Dibangkitkan, dirobah, dikumpulkan, disimpan, dibagi-bagikan
atau disalurkan listrik, gas, minyak atau air.
18) Diputar pilem, dipertunjukkan sandiwara atau diselenggarakan
rekreasi lainnya yang memakai peralatan, instalasi listrik atau
mekanik.
10
b. Syarat-syarat Keselamatan Kerja di Tempat Kerja
Dalam undang-undang No 1 Tahun 1970 tentang Keselamatan
Kerja pada BAB III dijelaskan bahwa syarat-syarat keselamatan kerja
meliputi :
1) Mencegah dan mengurangi kecelakaan;
2) Mencegah, mengurangi dan memadam kan kebakaran;
3) Mencegah dan mengurangi bahaya peledakan;
4) Memberi kesempatan atau jalan menyelamatkan diri pada waktu
kebakaran atau kejadian-kejadian lain yang berbahaya;
5) Memberi pertolongan pada kecelakaan;
6) Memberi alat-alat perlindungan diri pada para pekerja;
7) Mencegah dan mengendalikan timbul atau menyebar luasnya suhu,
kelembaban, debu, kotoran, asap, uap, gas, hembusan angin, cuaca,
sinar atau radiasi, suara dan getaran;
8) Mencegah dan mengendalikan timbulnya penyakit akibat kerja baik
fisik maupun psikis, peracunan, infeksi dan penularan;
9) Memperoleh penerangan yang cukup dan sesuai;
10) Menyelenggarakan suhu dan lembab udara yang baik;
11) Menyelenggarakan penyegaran udara yang cukup;
12) Memelihara kebersihan, kesehatan dan ketertiban;
13) Memperoleh keserasian antara tenaga kerja, alat kerja, lingkungan,
cara dan proses kerjanya;
11
14) Mengamankan dan memperlancar pengangkutan orang, binatang,
tanaman atau barang;
15) Mengamankan dan memelihara segala jenis bangunan;
16) Mengamankan dan memperlancar pekerjaan bongkar-muat,
perlakuan dan penyimpanan barang;
17) Mencegah terkena aliran listrik yang berbahaya;
18) Menyeseuaikan dan menyempurnakan pengamanan pada pekerjaan
yang bahaya kecelakaannya menjadi bertambah tinggi.
2. Pekerjaan
a. Definisi
Pekerjaan merupakan sesuatu yang didasarkan pada studi
intelektual dan latihan yang khusus, tujuannya adalah untuk menyediakan
pelayanan ketrampilan terhadap yang lain dengan bayaran maupun upah
tertentu (Peter Jarvis, 1983).
Pekerjaan merupakan suatu ketrampilan yang terdapat dalam
prakteknya didasarkan atas suatu struktur teoritis tertentu dari beberapa
bagian pelajaran ataupun ilmu pengetahuan (Cogan, 1983).
Sedangkan menurut Dedi Supriyadi (1998), pekerjaan merupakan
suatu jabatan yang menuntut suatu keahlian, tanggung jawab serta
kesetiaan terhadap pekerjaan.
12
b. Sifat dan karakter pekerjaan meliputi :
1) Pekerjaan membutuhkan waktu pendidikan dan latihan yang
khusus dan memadai, yaitu harus adanya ketrampilan yang khusus
dalam suatu bidang pekerjaan.
2) Suatu pekerjaan khas dengan keahlian serta ketrampilan, yaitu
memiliki keahlian khusus dalam 1 bidang tertentu.
3) Menuntut kemampuan kinerja intelaktual, yaitu kemampuan yang
dibutuhkan untuk dapat melakukan berbagai aktivitas seperti
mental berpikir, menalar, serta memecahkan masalah.
4) Mempunyai konsekuen memikul tanggung jawab pribadi secara
penuh.
5) Kinerja lebih mengutamakan pelayanan daripada imbalan ekonomi.
6) Ada sangsi jika terdapat pelanggaran.
7) Memiliki kebebasan untuk memberikan judgment.
8) Ada pengakuan dari masyarakat.
9) Memiliki kode etik serta asosiasi profesional.
10) Mengatur diri
11) Layanan publik serta altruisme
12) Status dan imbalan yang tinggi, pekerjaan yang paling sukses akan
meraih status yang tinggi, prestise, serta imbalan yang layak bagi
tenaga kerjanya. Hal itu layak dianggap sebagai pengakuan
terhadap layanan yang mereka berikan bagi orang lain.
13
3. Potensi Bahaya
a. Definisi Potensi Bahaya
Potensi bahaya adalah sesuatu yang berpotensi menyebabkan
terjadinya kerugian, kerusakan, cedera, sakit, kecelakaan atau bahkan
dapat mengakibatkan kematian yang berhubungan dengan proses dan
sistem kerja (Tarwaka, 2008).
Sedangkan menurut Ramli (2010), Bahaya adalah segala sesuatu
termasuk situasi atau tindakan yang berpotensi menimbulkan kecelakaan
atau cedera pada manusia, kerusakan atau gangguan lainnya. Karena
hadirnya bahaya maka diperlukan pengendalian agar bahaya tersebut
tidak menimbulkan akibat yang merugikan.
b. Sumber Bahaya
Sebagaimana diterangkan dalam Undang-undang No. 1 Tahun
1970 tentang Keselamatan Kerja bahwa di tempat kerja terdapat sumber
bahaya yang dapat mengancam keselamatan maupun kesehatan tenaga
kerja. Adapun sumber bahaya yang dapat mengakibatkan kecelakaan
kerja adalah sebagai berikut :
1) Manusia
Termasuk pekerja dan manajemen. Kesalahan utama sebagian
besar kecelakaan, kerugian atau kerusakan terletak pada tenaga kerja
yang kurang bergairah, kurang terampil, kurang tepat, terganggu
emosinya yang pada umumnya menyebabkan kecelakaan dan
kerugian (Silalahi dan Silalahi, 1995)
14
2) Peralatan
Menurut Sahab (1997), peralatan meliputi mesin dan alat atau
sarana lain yang digunakan. Elemen ini merupakan faktor penyebab
utama terjadinya insiden. Perawatan peralatan bukan hanya menurut
waktu pemakaian melainkan juga didasarkan pada kondisi bagian-
bagiannya. Tanpa perawatan yang teratur, keadaan mesin berubah
menjadi penyebab bahaya. Peralatan yang seharusnya digunakan
semestinya dilengkapi dengan alat pelindung dan pengaman, peralatan
itu dapat menimbulkan macam-macam bahaya seperti :
a) Kebakaran
b) Sengatan listrik
c) Ledakan
d) Luka-luka
e) Cedera
3) Bahan
Menurut Sahab (1997), bahan dapat berperan sebagai sumber
bahaya. Bahaya dari bahan meliputi berbagai risiko sesuai dengan
sifat bahan, antara lain :
a) Mudah terbakar,
b) Mudah meledak,
c) Menimbulkan alergi,
d) Menimbulkan kanker,
e) Bersifat racun,
15
f) Radioaktif,
g) Mengakibatkan kelainan pada janin,
h) Menimbulkan kerusakan pada kulit dan jaringan tubuh.
Sedangkan tingkat bahaya yang ditimbulkan dari bahan
tergantung pada :
(a) Bentuk alami bahan atau energi yang terkandung,
(b) Berapa banyak terpapar bahan atau energi tersebut,
(c) Berapa lama terpapar bahan atau energi tersebut.
4) Proses
Bahaya dari proses produksi sangat bervariasi tergantung dari
teknologi yang digunakan. Terkadang dalam proses produksi
menimbulkan asap, debu, panas, bising dan bahaya mekanis seperti
terjepit, terpotong atau tertimpa bahan. Hal ini dapat mengakibatkan
kecelakaan atau penyakit akibat kerja. Tingkat bahaya dari proses ini
tergantung pada teknologi yang digunakan (Sahab, 1997).
5) Cara kerja
Menurut Sahab (1997), cara kerja yang berpotensi terhadap
terjadinya bahaya atau kecelakaan berupa tindakan tidak aman,
misalnya :
a) Cara mengangkat yang salah,
b) Posisi yang tidak benar,
c) Tidak menggunakan Alat Pelindung Diri (APD),
d) Lingkungan kerja,
16
e) Menggunakan alat atau mesin yang tidak sesuai.
6) Lingkungan Kerja
Menurut Silalahi dan Silalahi (1995), keadaan lingkungan yang
dapat merupakan keadaan berbahaya antara lain :
a) Suhu dan kelembaban udara,
b) Kebersihan udara,
c) Penerapan dan kuat cahaya,
d) Kekuatan bunyi,
e) Cara dan proses kerja
f) Udara, gas-gas bertekanan,
g) Keadaan lingkungan setempat,
h) Keadaan mesin-mesin, perlengkapan dan peralatan kerja serta
bahan.
Bahaya-bahaya yang terdapat pada lingkungan kerja adalah
sebagai berikut :
a) Faktor Bahaya Fisika
Menurut Suma’mur (2009), faktor bahaya fisika merupakan
bahaya yang timbul dari keadaan fisika di lingkungan kerja
meliputi penerangan, suhu udara, kelembaban cepat rambat udara,
suara, vibrasi mekanis, radiasi dan tekanan udara.
b) Faktor Bahaya Kimia
Menurut Suma’mur (2009), faktor bahaya kimia merupakan
bahaya yang bisa berasal dari bahan yang digunakan atau hasil
17
produksi, yang meliputi gas, uap, debu, kabut, asap, cairan dan
benda padat.
c) Faktor Bahaya Biologi
Menurut Suma’mur (2009), faktor bahaya biologi
merupakan bahaya yang berasal dari golongan hewan dan
tumbuhan, misalnya virus, bakteria, riketsia, protozoa, jamur,
cacing, kutu, pinjal atau mungkin pula tumbuhan atau hewan
besar atau bahan dari padanya.
d) Faktor Bahaya Fisiologi
Menurut Sahab (1997), faktor bahaya fisiologi merupakan
bahaya yang berasal dari ketidaksesuaian antara konstruksi mesin
dengan ukuran tubuh tenaga kerja yang dapat menimbulkan beban
kerja tambahan misalnya posisi kerja yang tidak sesuai dan
konstruksi mesin yang tidak ergonomi.
e) Faktor Bahaya Mental Psikologis
Bahaya yang berasal dari psikologis tenaga kerja yang
meliputi suasana kerja, pekerjaan yang monoton, ketidaksesuaian
hubungan kerja antar pekerja dan atasan dengan bawahan
(Suma’mur, 2009).
4. Kecelakaan Kerja
a) Definisi Kecelakaan Kerja
Menurut Tarwaka (2008) , menyebutkan bahwa kecelakaan kerja
adalah suatu kejadian yang jelas tidak dikehendaki dan sering kali tidak
18
terduga semula yang dapat menimbulkan kerugian baik waktu, harta
benda atau properti maupun korban jiwa yang terjadi di dalam suatu
proses kerja industri atau yang berkaitan dengannya.
Sedangkan menurut Permenaker No. Per 03/MEN/1994 mengenai
Program Jamsostek Pasal 1 Ayat (7), pengertian kecelakaan kerja adalah
kecelakaan yang terjadi berhubungan dengan hubungan kerja, termasuk
penyakit yang timbul karena hubungan kerja demikian pula kecelakaan
yang terjadi dalam perjalanan berangkat dari rumah menuju tempat kerja
dan pulang ke rumah melalui jalan biasa atau wajar dilalui.
Dengan demikian, menurut Tarwaka (2008) kecelakaan kerja
mengandung unsur-unsur sebagai berikut :
1) Tidak diduga semula, oleh karena di belakang peristiwa kecelakaan
tidak terdapat unsur kesengajaan dan perencanaan.
2) Tidak diinginkan atau diharapkan, karena setiap peristiwa kecelakaan
akan selalu disertai kerugian baik fisik maupun mental.
3) Selalu menimbulkan kerugian dan kerusakan, yang sekurang-
kurangnya menyebabkan gangguan proses kerja.
b) Jenis Kecelakaan Kerja
Kecelakaan kerja yang ada di industri menurut Tarwaka (2008)
dapat dikategorikan menjadi 2 yaitu :
1) Kecelakaan industri
Kecelakaan industri adalah suatu kecelakaan kerja yang terjadi
di tempat kerja, karena adanya potensi bahaya yang tidak terkendali.
19
2) Kecelakaan di dalam perjalanan
Kecelakaan di dalam perjalanan adalah kecelakaan yang terjadi
di luar tempat kerja tetapi masih berhubungan dengan pekerjaan.
c) Penyebab Terjadinya Kecelakaan
Cara penggolongan sebab-sebab kecelakaan di berbagai negara
berbeda-beda. Namun ada kesamaan umum menurut Suma’mur (2009),
yaitu bahwa kecelakaan disebabkan oleh dua golongan penyebab, yaitu :
1) Tindak perbuatan manusia yang tidak memenuhi keselamatan (unsafe
human).
2) Keadaan lingkungan yang tidak aman (unsafe condition).
Heinrich dalam Tarwaka (2008), mengemukakan suatu teori sebab
akibat terjadinyakecelakaan kerja yang dikenal dengan “Teori Domino”.
Teori Domino memiliki lima faktor penyebab yang secara berurutan dan
saling berdiri sejajar antara faktor satu dengan yang lainnya. Kelima
faktor tersebut adalah :
1) Domino kebiasaan,
2) Domino kesalahan,
3) Domino tindakan dan kondisi tidak aman,
4) Domino kecelakaan,
5) Domino cedera.
Selanjutnya Heinrich dalam Tarwaka (2008), menjelaskan untuk
mencegah terjadinya kecelakaan kerja adalah dengan membuang salah
20
satu kartu domino atau memutuskan rangkaian mata rantai domino
tersebut.
Berdasarkan teori dari Heinrich tersebut, Bird dan Germain
dalam Tarwaka (2008) memodifikasi teori domino dengan
merefleksikan ke dalam hubungan manajemen secara langsung
dengan sebab akibat kerugian kecelakaan. Model penyebab kerugian
melibatkan lima faktor penyebab secara berurutan. Kelima faktor yang
dimaksud adalah :
Gambar 1. Bagan Teori Domino Sumber : Ramli, 2010
Menurut Tarwaka (2008) untuk lebih detailnya, diagram alur
tersebut dapat dijabarkan sebagai berikut ini :
1) Kurangnya Sistem Pengendalian (Lock of Control)
Kurangnya kontrol merupakan urutan pertama menuju terjadinya
kecelakaan yang dapat mengakibatkan kerugian. Kontrol
merupakan salah satu fungsi utama dari manajemen yaitu :
Planning, Organizing, Leading dan Controling.
Tanpa manajemen pengendalian yang kuat, penyebab
kecelakaan dan rangkaian efek akan dimulai dan memicu faktor
penyebab kerugian. Kurangnya pengendalian dapat disebabkan
karena faktor :
(a) Program yang tidak memadai,
Lock Of Control
People-Property / Loss
Incident Immadiete Causes
Basic Cause
21
(b) Standar program yang tidak memadai,
(c) Tidak memenuhi standar.
Domino yang pertama akan jatuh diakibatkan karena
kelemahan pengawas dan pihak manajemen yang tidak
merencanakan dan mengorganisasi tenaga kerja dengan benar serta
tidak mengarahkan para tenaga kerjanya untuk terampil dalam
melaksanakan pekerjaannya (Bird and Germain dalam Tarwaka,
2008).
2) Penyebab Dasar (Basic Cause)
Bird dan Germain dalam Tarwaka (2008) menyebutkan
penyebab dasar adalah penyebab nyata yang dibelakang atau
melatarbelakangi penyebab langsung yang mendasari terjadinya
kecelakaan kerja, terdiri dari :
(a) Faktor Personal (Personal Factor) yaitu meliputi :
(1) Kurangnya pengetahuan,
(2) Kurangnya keterampilan,
(3) Kurangnya kemampuan fisik dan mental,
(4) Kurangnya motivasi,
(5) Stress fisik dan mental.
(b) Faktor Pekerjaan (Job Factor) yaitu meliputi :
(1) Kepemimpinan dan kepengawasan yang tidak memadai,
(2) Engineering kurang memadai,
(3) Maintenance kurang memadai,
22
(4) Alat dan peralatan kurang memadai,
(5) Pembelian barang kurang memadai,
(6) Standar kerja kurang memadai,
(7) Aus dan retak akibat pemakaian,
(8) Penyalahgunaan wewenang.
3) Penyebab Langsung (Immediate Cause)
Jika penyebab dasar terjadi, maka terdapat peluang untuk
menjadi tindakan dan kondisi tidak aman. Menurut Heinrich dalam
Tarwaka (2008) menyebutkan bahwa 88% kecelakaan diakibatkan
oleh tindakan yang tidak aman, 10% karena kondisi yang tidak
aman dan 2% disebabkan oleh faktor yang tidak disebutkan.
(a) Tindakan tidak aman (Unsafe Action)
Tindakan tidak aman adalah pelanggaran terhadap cara
kerja aman yang mempunyai risiko terjadinya kecelakaan,
antara lain :
(1) Menjalankan sesuatu tanpa ijin,
(2) Gagal mengingat atau mengamankan,
(3) Menjalankan peralatan dengan kecepatan yang tidak
sesuai,
(4) Tidak menggunakan alat-alat keselamatan kerja,
(5) Menggunakan peralatan dengan cara tidak benar,
(6) Tidak menggunakan alat pelindung diri,
(7) Cara memuat dan membongkar tidak benar,
23
(8) Cara mengangkat tidak benar,
(9) Posisi yang tidak benar,
(10) Menggunakan peralatan yang rusak.
(b) Kondisi tidak aman (Unsafe Condition)
Kondisi tidak aman adalah kondisi fisik yang berbahaya dan
keadaan yang berbahaya yang langsung menimbulkan peluang
terjadinya kecelakaan kerja, antara lain :
(1) Pengamanan atau pelindung yang tidak cukup,
(2) Alat, peralatan atau bahan yang rusak,
(3) Penyumbatan,
(4) Sistem peringatan yang tidak memadai,
(5) Bahaya kebakaran dan peledakan,
(6) Kurang bersih,
(7) Kondisi yang berbahaya seperti : debu, gas, uap,
(8) Kebisingan yang berlebih,
(9) Kurangnya ventilasi dan penerangan.
4) Insiden
Menurut Bird dan Germain dalam Tarwaka (2008),
menyebutkan insiden terjadi karena adanya kontak energi atau
bahan-bahan berbahaya. Kecelakaan tersebut dapat berupa :
(1) Terbentur atau menabrak suatu benda,
(2) Terbentur atau tertabrak benda atau alat yang bergerak,
(3) Jatuh ke tingkat yang lebih rendah,
24
(4) Jatuh pada tingkat yang sama (tergelincir, tersandung,
terpeleset),
(5) Terjepit diantara dua benda,
(6) Terjepit ke dalam alat/benda yang berputar,
(7) Kontak dengan listrik, panas, dingin, radiasi dan bahan
beracun.
5) Kerugian (Loss)
Apabila terjadi kecelakaan kerja maka akan mengakibatkan
kerugian terhadap manusia dan harta benda yang akan
mempengaruhi kualitas dan produksi sebagaimana pengaruhnya
terhadap keselamatan, kesehatan dan keamanan. Kecelakaan
menurut Suma’mur (2009), menyebabkan lima jenis kerugian
yaitu:
(a) Kecelakaan,
(b) Kekacauan organisasi,
(c) Keluhan dan kesedihan,
(d) Kelainan dan kecacatan,
(e) Kematian.
Frank Elbert dalam Suardi (2005), menyebutkan biaya yang
timbul sebagai akibat kecelakaan dapat digambarkan seperti
Gunung Es atau yang lebih dikenal dengan sebutan Teori Gunung
Es yang artinya biaya langsung sebagai bongkahan gunung es yang
terlihat pada permukaan laut, sedangkan biaya tidak langsung yaitu
25
bongkahan es yang berada di bawah permukaan laut yang jauh
lebih besar.
6) Pencegahan Kecelakaan Kerja
Pencegahan kecelakaan kerja pada umumnya adalah upaya
untuk mencari penyebab dari suatu kecelakaan dan bukan mencari
siapa yang salah. Dengan mengetahui dan mengenal penyebab
kecelakaan maka dapat disusun suatu rencana pencegahannya, yang
mana hal ini merupakan program K3, yang pada hakekatnya
merupakan rumusan dari suatu strategi bagaimana menghilangkan
atau mengendalikan potensi bahaya yang sudah diketahui
(Tarwaka, 2008).
Menurut International Labour Organization (ILO) dalam
Dasar-dasar K3 (2007) langkah-langkah penanggulangan
kecelakaan kerja dapat dilakukan dengan :
(a) Peraturan perundang-undangan
Ketentuan dan syarat K3 mengikuti perkembangan ilmu
pengetahuan, teknis dan teknologi, penerapan ketentuan dan
syarat K3 sejak tahap rekayasa, penyelenggaraan pengawasan
dan pemantauan pelaksanaan K3.
(b) Standarisasi
Standar K3 maju akan menentukan tingkat kemajuan
pelaksanaan K3.
26
(c) Riset teknis, medis, psikologis dan statistik
Riset atau penelitian untuk menunjang tingkat kemajuan
bidang K3 sesuai perkembangan ilmu pengetahuan, teknik dan
teknologi.
(d) Pendidikan dan latihan
Peningkatan kesadaran, kualitas pengetahuan dan
keterampilan K3 bagi tenaga kerja.
(e) Persuasi
Cara penyuluhan dan pendekatan dibidang K3 bukan
melalui penerapan dan pemaksaan melalui sanksi-sanksi.
(f) Asuransi
Insentif finansial untuk meningkatkan pencegahan
kecelakaan kerja dengan pembayaran premi yang lebih rendah
terhadap perusahaan yang memenuhi syarat K3.
(g) Penerapan K3 di tempat kerja
Langkah-langkah pengaplikasikan di tempat kerja dalam
upaya memenuhi syarat-syarat K3 di tempat kerja.
(h) Inspeksi atau pemeriksaan
Suatu kegiatan pembuktian sejauh mana kondisi tempat
kerja telah memenuhi ketentuan dan persyaratan K3.
27
5. Sistem Manajemen K3
a. Definisi
Menurut Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No 50 tahun
2012 tentang Penerapan Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan
Kerja pasal 1 ayat (1), dijelaskan bahwa Sistem Manajemen Keselamatan
dan Kesehatan Kerja yang selanjutnya disingkat SMK3 adalah bagian
dari sistem manajemen perusahaan secara keseluruhan dalam rangka
pengendalian risiko yang berkaitan dengan kegiatan kerja guna
terciptanya tempat kerja yang aman, efisien dan produktif.
Sedangkan definisi dari Audit SMK3 dijelaskan dalam pasal 1 ayat
(7), bahwa Audit SMK3 adalah pemeriksaan secara sistematis dan
independen terhadap pemenuhan kriteria yang telah ditetapkan untuk
mengukur suatu hasil kegiatan yang telah direncanakan dan dilaksanakan
dalam penerapan SMK3 di perusahaan.
b. Tujuan Penerapan SMK3
Penerapan SMK3 dilaksanakan oleh perusahaan juga memiliki
tujuan yang telah dijelaskan pada Peraturan Pemerintah Republik
Indonesia No 50 tahun 2012 tentang Penerapan Sistem Manajemen
Keselamatan dan Kesehatan Kerja pasal 2, yaitu :
1) Meningkatkan efektifitas perlindungan keselamatan dan kesehatan
kerja yang terencana, terukur, terstruktur, dan terintegrasi;
28
2) Mencegah dan mengurangi kecelakaan kerja dan penyakit akibat kerja
dengan melibatkan unsur manajemen, pekerja/buruh, dan/atau serikat
pekerja/serikat buruh; serta
3) Menciptakan tempat kerja yang aman, nyaman, dan efisien untuk
mendorong produktivitas.
c. Penerapan SMK3
Penerapan SMK3 sebagaimana dimaksud dalam Peraturan
Pemerintah Republik Indonesia No 50 tahun 2012 tentang Penerapan
Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja yang harus
dilaksanakan oleh perusahaan meliputi :
1) Penetapan kebijakan K3
Pasal 7
a) Penetapan kebijakan K3 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6
ayat (1) huruf a dilaksanakan oleh pengusaha.
b) Dalam menyusun kebijakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
pengusaha paling sedikit harus:
(1) Melakukan tinjauan awal kondisi K3 yang meliputi :
(a) Identifikasi potensi bahaya, penilaian dan
pengendalian risiko;
(b) Perbandingan penerapan K3 dengan perusahaan dan
sektor lain yang lebih baik;
(c) Peninjauan sebab akibat kejadian yang
membahayakan;
29
(d) Kompensasi dan gangguan serta hasil penilaian
sebelumnya yang berkaitan dengan keselamatan; dan
(e) Penilaian efisiensi dan efektivitas sumber daya yang
disediakan.
2) Memperhatikan peningkatan kinerja manajemen K3 secara
terus-menerus; dan
3) Memperhatikan masukan dari pekerja/buruh dan/atau serikat
pekerja/serikat buruh.
c) Kebijakan K3 sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit
memuat :
(1) Visi;
(2) Tujuan perusahaan;
(3) Komitmen dan tekad melaksanakan kebijakan; dan
(4) Kerangka dan program kerja yang mencakup kegiatan
perusahaan secara menyeluruh yang bersifat umum dan/atau
operasional.
2) Perencanaan K3
Pasal 9
a) Perencanaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf b
dilakukan untuk menghasilkan rencana K3.
b) Rencana K3 disusun dan ditetapkan oleh pengusaha dengan
mengacu pada kebijakan K3 yang telah ditetapkan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1).
30
c) Dalam menyusun rencana K3 sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
pengusaha harus mempertimbangkan:
(1) Hasil penelaahan awal;
(2) Identifikasi potensi bahaya, penilaian, dan pengendalian risiko;
(3) Peraturan perundang-undangan dan persyaratan lainnya; dan
(4) Sumber daya yang dimiliki.
d) Pengusaha dalam menyusun rencana K3 sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) harus melibatkan Ahli K3, Panitia Pembina K3, wakil
pekerja/buruh, dan pihak lain yang terkait di perusahaan.
e) Rencana K3 paling sedikit memuat:
(1) Tujuan dan sasaran;
(2) Skala prioritas;
(3) Upaya pengendalian bahaya;
(4) Penetapan sumber daya;
(5) Jangka waktu pelaksanaan;
(6) Indikator pencapaian; dan
(7) Sistem pertanggungjawaban.
3) Pelaksanaan Rencana K3
Pasal 10
a) Pelaksanaan rencana K3 dilakukan oleh pengusaha berdasarkan
rencana K3 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf c
dan Pasal 9.
31
b) Pengusaha dalam melaksanakan rencana K3 didukung oleh sumber
daya manusia di bidang K3, prasarana, dan sarana.
c) Sumber daya manusia sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus
memiliki:
(1) Kompetensi kerja yang dibuktikan dengan sertifikat; dan
(2) Kewenangan di bidang K3 yang dibuktikan dengan surat izin
kerja/operasi dan/atau surat penunjukkan dari instansi yang
berwenang.
d) Prasarana dan sarana sebagaimana dimaksud pada ayat (2) paling
sedikit terdiri dari:
(1) Organisasi/unit yang bertanggung jawab di bidang K3;
(2) Anggaran yang memadai;
(3) Prosedur operasi/kerja, informasi, dan pelaporan serta
pendokumentasian; dan
(4) Instruksi kerja.
6. Inspeksi
Inspeksi adalah upaya deteksi dini dan mengoreksi adanya potensi
bahaya di tempat kerja yang dapat menimbulkan kecelakaan kerja. Inspeksi
tempat kerja bertujuan untuk mengidentifikasi sumber-sumber bahaya
potensial yang ada di tempat kerja, mengevaluasi tingkat resiko terhadap
tenaga kerja serta mengendalikan sampai tingkat yang aman bagi kesehatan
dan keselamatan tenaga kerja. Inspeksi tidak ditujukan untuk mencari
kesalahan orang, melainkan untuk menemukan dan menentukan lokasi
32
bahaya potensial yang dapat mengakibatkan kecelakaan dan penyakit akibat
kerja (Sahab, 1997).
a. Jenis-jenis inspeksi
Ada dua jenis inspeksi pada umumnya berdasarkan Tarwaka
(2008), meliputi :
1) Inspeksi Informal
Merupakan jenis inspeksi yang tidak direncanakan
pelaksanaannya dilakukan sewaktu-waktu dalam aktifitas
operasional sehari-hari di tempat kerja, dan dilakukan berdasarkan
kesadaran dari orang-orang yang menemukan atau melihat masalah-
masalah K3 yang ada di tempat kerja.
Inspeksi jenis ini cukup efektif karena masalah-masalah yang
muncul bisalangsung dideteksi dan dilaporkan untuk segera
dilakukan tindakan perbaikan.
2) Inspeksi formal
Inspeksi jenis ini lebih dikenal dengan inspeksi periodik yang
pelaksanaannya dilakukan terencana baik tempat, waktu dan siapa
saja yang ikut dalam pelaksanaan inspeksi tersebut.
b. Metode Inspeksi
Menurut Alkon (1998) terdapat dua macam metode yang
digunakan yaitu :
33
1) Safety Tour
Pelaksanaan Safety Tour yaitu perjalanan mengelilingi
perusahaan mulai dari awal sampai hasil suatu proses produksi. Dalam
hal ini manajemen melakukan pengamatan langsung ke lapangan
sebagi suatu bukti keterlibatan manajemen yang mendukung dan
memperhatikan program kesehatan dan keselamatan kerja.
2) Safety Sampling
Safety sampling biasanya digunakan untuk mengukur efektifitas
pelaksanaan keselamatan kerja pada suatu tempat kerja. Pemantauan
pada safety sampling ditujukan kepada fakta- fakta saat melaksanakan
suatu pekerjaan apakah sesuai dengan cara dan prosedur yang aman.
Yang dihitung dalam safety sampling adalah banyaknya orang yang
bekerja dengan cara yang tidak aman. Pelaksanaannya harus
dilakukan secara periodik. Namun, tidak hanya tindakan saja yang
diukur melainkan kondisi lingkungan kerja, APD dan sebagainya.
Safety sampling merupakan alat motivasi dengan adanya kegiatan
tersebut maka tenaga kerja bekerja dengan aman.
c. Langkah-langkah pelaksanaan inspeksi
Inspektor (pelaksana inspeksi) harus memahami kebijaksanaan-
kebijaksanaan dan norma-norma keselamatan kerja, selain itu juga harus
menguasai undang-undang dan peraturan-peraturan keselamatan kerja
yang dikeluarkan oleh pemerintah maupun standart-standart lainnya
34
(Alkon, 1998). Inspektor atau pelaksana inspeksi keselamatan kerja
dibedakan menjadi 2, yaitu :
1) Ekstern Perusahaan
Inspeksi keselamatan kerja yang dilaksanakan oleh pengawas dari
instansi pemerintah atau pihak ketiga.
2) Intern Perusahaan
Inspeksi yang dilakukan oleh orang yang berkepentingan seperti
supervisor dan manager lini dan juga mempunyai spesialisasi
dibidangnya seperti safety advisor dan teknisi atau ahli yang terbaik
setiap unsur karyawan dari level terendah sampai tingkat tinggi (top
management).
Inspeksi keselamatan kerja dilakukan melalui :
1) Tahap Persiapan Inspeksi
a) Periksa jadwal dan tim kerja
b) Analisa kecelakaan yang ada
c) Analisa laporan inspeksi yang lalu
d) Buat checklist (daftar periksa)
e) Buat peta inspeksi berdasarkan gambar lokasi
f) Periksa prosedur kerja atau kartu analisa kerja
g) Rencanakan jalur-jalur inspeksi
h) Anggaran waktu yang cukup
i) Siapkan alat pelindung diri
35
2) Pelaksanaan inspeksi
a) Pendahuluan
Pendahuluan adalah menghubungi penanggung jawab bagian yang
akan dikunjungi untuk menjelaskan bahwa akan diadakan inspeksi
diarea kerja.
b) Peta Inspeksi
Usahakan mengikuti peta inspeksi seperti yang telah direncanakan
c) Pengamatan
Mengamati semua kegiatan proses produksi untuk memastikan ada
atau tidaknya pelanggaran terhadap peraturan keselamatan kerja.
d) Observasi
Observasi tindakan-tindakan perorangan untuk mencocokan
dengan syarat-syarat keselamatan kerja.
e) Penelitian
Penelitian dilakukan untuk mengumpulkan atau juga cross-check
data.
f) Koreksi
Koreksi sementara dengan segera apabila dalam melaksanakan
inspeksi atau tindakan berbahaya atau membahayakan.
g) Catat
Buat catatan ringkas tentang ketidak sesuaian dan kesesuaian
peralatan, tindakan dan kondisi terhadap standart kemudian periksa
pedoman identifikasi bahaya.
36
Seorang inspektor harus menunjukan tempat dan penjelasan setiap
bahaya yang ditemukan dalam pemeriksaan, dan juga harus membuat
catatan yang mendetail untuk menjawab kemungkinan-kemungkinan
pertanyaan yang akan timbul. Potensi kerugiannya supaya diperkirakan
agar dapat membuat klasifikasi dalam laporan.
3) Tahap Pelaporan
Setiap inspeksi harus ditindak lanjuti dengan laporan tertulis tanpa
laporan tertulis inspeksi tidak mempunyai arti dan hanya seperti single
seeing tour saja. Tipe laporan inspeksi ada 3 yaitu :
a) Laporan Keadaan Darurat
Segera dibuat tanpa menunggu untuk keadaan berbahaya, kritis
atau katastropik, yaitu termasuk kategori bahaya IA, IIB.
b) Laporan Berkala (periodik)
Mencakup keadaan bahaya yang tidak tergolong emergency yang
ditemukan dalam inspeksi berkala. Laporan supaya dibuat dalam
24 jam setelah inspeksi.
c) Laporan Ringkas (summary)
Mencakup semua item dari laporan berkala terdahulu untuk jangka
waktu tertentu.
Laporan harus menyebutkan nama departemen dan area yang di
inspeksi, nama serta jabatan yang mengadakan inspeksi, tanggal laporan
dibuat dan nama untuk siapa laporan dibuat. Adapun statistik membuat
37
laporan yang ada dianjurkan agar mudah dipahami dan ditindak lanjuti
yaitu :
(1) Catat item temuan yang belum ditindak lanjuti dan beri tanda
pengukang kembali.
(2) Tiap item harus diberi nomor urut.
(3) Tiap item supaya diberi klasifikasi bahaya.
(4) Sedapat mungkin sebutkan akan tindak lanjuti dan oleh siapa dari
item yang ditulis ulang.
(5) Laporan inspeksi supaya dialamatkan kepada departemen yang
diinspeksi dengan tembusan kepada atasan.
(6) Usaha perbaikan sebagai tindak lanjut.
(7) Untuk mengetahui kondisi dari setiap keadaandan upaya yang
dilakukan dalam manajemen keselamatan dan kesehatan kerja (K3),
maka sangat perlu adanya langkah evaluasi tersebut maka kita dapat
menentukan tindak lanjut yang akan dilakukan untuk
pengembangan.
Inspeksi adalah tindakan preventif dari adanya potensi bahaya
sebelum potensi bahaya tersebut menjadikan kecelakaan. Rekomendasi
dari laporan dapat dijadikan dasar untuk membuat rencana kerja yang
menyusun prioritas dalam rencana kerja. Untuk penindak lanjutan,
rekomendasi dapat dikelompokan menurut daerah bahaya ditemukan dan
penanggung jawab perbaikan.
38
Kemudian rekomendasi tersebut perlu dikirim kepada yang
berwenang untuk persetujuan pelaksanaan perbaikan. untuk
pelaksanaannya dibuat form, penerima form rekomendasi harus memberi
jawaban tentang tindak lanjutnya dalam waktu yang ditentukan dalam
prosedur, apabila menyetujui rekomendasi diminta memberi kepastiannya
kapan tindak lanjutnya telah dilaksanakan, apabila menolaknya supaya
menjelaskan apa alasannya. Untuk memudahkan administrasi dan
penindaklanjutan, form dibuat dalam beberapa salinan. Ada 4 tahap yang
perlu diikuti oleh inspektor dalam membuat rekomendasi yaitu :
(1) Sedapat mungkin seorang inspektor memperbaiki sebab dari deviasi
(penyimpangan) yang ditemukan. Jangan hanya memperbaiki hasil
terakhir dan membiarkan permasalahannya.
(2) Perbaiki apa saja yang mungkin diperbaiki secara langsung.
(3) Laporkan kondisi yang ada dikuar wewenang anda dan usulkan
solusinya.
(4) Ambil tindakan sementara bila perlu.
Pada waktu tertentu supervisor harus melaporkan perkembangan dari
pelaksanaan rekomendasi kepada P2K3 pusat. Sebaliknya P2K3 pusat harus
memeriksa secara berkala perkembangan pelaksanaannya sudah memenuhi
syarat yang dimaksud. Keadaan berbahaya yang tidak diperbaiki memberi
indikasi adanya komunikasi yang tidak baik antara departemen dalam
pelaksanaan program.