Post on 05-Feb-2018
BAB II
KONSEP DASAR
A. Pengertian
Tifus abdominalis adalah penyakit infeksi akut pada usus halus (Sarwono,1999
:435)
Tifus abdominalis adalah penyakitinfeksi akut yang biasanya mengenai saluran
cerna dengan gejala demam lebih dari 7 hari, ganguan pada saluran cerna dan gangguan
kesadaran (Mansjoer, 2000 : 432)
Tifus abdominalis adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh salmonella
paratyphi dan penyakit ini mempunyai tanda khas berupa demam, toksemia, nyeri perut,
mual rasa kembung, pembesaran limfe (Soedarto, 1998).
Jadi tifus abdomilis adalah penyakit infeksi akut yang mengenai saluran
pencernaan ditandai adanya demam lebih dari satu minggu, gangguan pada saluran cerna
dan gangguan kesadaran yang disebabkan oleh kuman salmonella typhi.
B. Anatomi dan Fisologi
Usus halus merupakan tabung kompleks, berlipat-lipat yang membentang dari
pilorus sampai kutub ileosekal. Pada orang hidup panjang usus halus sekitar 2,5 meter.
Usus ini mengisi bagian tengah dan baeah rongga abdomen. Ujung proksimalnya bergaris
tengah sekiatar 3,8 cm, tetapi semakin kebawah lambat laun garis tengahnya semakin
mengecil berkurang sampai menjadi 2,5 cm, usus halus dibagi menjadi duodenum,
jejenum dan ileum.
Duodenum panjangnya sekitar 25 cm, mulai dari pilorus sampai jejenum, kira-
kira dari sisa usus halus adalah jejenum, dan tiga perlima bagian terminalnya adalah
ileum. Jejenum terletak di regio abdominalis media sebelah kiri, sedangkan ieleum
cenderung terletak di regio bawah kanan. Masuknya kimus ke dalam usus halus diatur
oleh sfingter pilorus, sedangkan pengeluaran zat yang telah dicernakan ke dalam usus
besar diatur oleh katup ileoksekal. Katup ileosekal juga mencegah refluks isi usus besar
ke dalam usus halus.
Dinding usus halus terdiri dari 4 lapisan dasar. Yang paling luar, atau lapisa
serosa, dibentuk oleh peritoneum. Paritoneum mempunyai lapisa viseral dan pariteral,
dan ruang terletak diantara lapisan lapisan ini dinamakan rongga peritoneum. Salah satu
fungsi penting peritoneum adalah mencegah pergesekan antara organ-organ yuang
berdekatan, dengan mensekresikan cairan serosa yang berperan sebagai pelumas.
Otot yang meliputi usus halus mempunyai dua lapisan yaitu serabut luar terdiri
atas serabut-serabut longitudinal yang lebih tipis, dan lapisan dalam berupa serabut
serabut sirkuler. Lapisan submukosa terdiri atas jaringan penyambung, sedangkan lapisan
mukosa bagian dalam tebal, banyak mengandung pembuluh darah dan kelenjar.
Lapisan mukosa dan submukosa membebtuk lipatan-lipatan sirkuler yang
dinamakan valvula kaniventes yang menonjol ke dalam lumen sekitar 3 sampai 10 mm.
lipatan-lipatan ini nyata pada duodenum dan jejenum dan menghilang dekat pertengahan
ileum. Adanya lipatan-lipatan ini menyebabkan gambaran usus halus yang menyerupai
bulu. Vili merupakan tonjolan-tonjolan seperti jari-jari dari mukrosa ayang jumlahnya
sekitar empat atau lima juta dan terdapat di sepanjang usus halus. Tiap-tiap vilus terdiri
atas limfe sentral yang dinamakan lakteral yang dikelilingi oleh jalinan kaliper dalam
jaringan limfoid. Di sekeliling vilus terdapat beberapa sumur kecil yang dinamakan kripta
lieberkuhn. Kripta ini merupakan kelenjar-kelenjar usus yang menghasilan sekret yang
mengandung enzim-enzim pencernaan. Usus halus diperdarahi dari arteri selika.
Usus halus dipersarafi oleh cabang- cabang kedua sistem saraf otonom.
Rangsangan parasimpatis merangsang aktivitas sekresi dan pergerakan, sedangkan
rangsangan simpatis menghambat pergerakan usus. Suplai saraf intrinsik, yang
menimbulkan fungsi motorik, berjalan melalui pleksus auerbach yang terletak pada lapisa
muskaluris, dan pleksus meissner dilapisan submukrosa (price, 1995 : 384-391, Evelyn,
2002 : 188- 190).
Pada penyakit tifus abdominalis kuman salmonela typhi menyerang usus halus
yang ditandai dengan peradangan usus halus. Peradangan pada usus halus dapat
mengenai salah satu atau semua lapisan gastro intestinal. Kelainan ini terutama mengenai
lapisan mukosa usus halus. Peradangan pada penyakit ini timbul sebagai lesi-lesi
granulomatasa berbatas tegas dengan pola terpisah-pisah di selruh bagian usus yang
terkena. Pada peradangan kronik, timbul jaringan ikat dan fibrosis sehingga usus menjadi
kaku atau tidak fleksibel. Apabila fibrosis terjadi di usus halus, maka penyerapan zat-zat
gizi akan terganggu ( Sarwono, 1999 : 436, price, 1995 : 289- 391).
Gambar pada halaman selanjutnya
C. Etiologi
Etilogi tifus abdominalis adalah Salmonella Paratyphi B dan Salmonela Paratyphi
C (Sarwono, 1999 : 436).
Etilogi dari tifus abdominalis adalah Salmonela Typhi : basil gram negative,
bergerak dengan rambut getar, tidak berspora. Mempunyai sekurang-kurangnya empat
macam antigen, yaitu antigen O (somatik), H (flagella), dan protein membran hialin
(Mansjoer, 2000 : 432).
D. Patofisiologi
Kuman Salmonela typhi masuk tubuh manusia melalui mulut dengan makanan
dan air yang tercemar. Sebagian kuman dimusnahkan oleh oleh asam lambung dan
sebagian lagi masuk ke dalam usus halus dan mencapai jaringan limfoid plaque peyeri di
ileum terminalis yang mengalami hipertrofi. Di tempat ini komplikasi pendarahan dan
perforasi dapat terjadi. Kuman Salmonella typhi kemudian menembus kelamina propia,
masuk aliran limfe dan mencapai kelenjar limfe mesentrial yang juga mengalami
hipertrofi, setelah melewati kelenjar-kelenjar limfe ini Salmonella typhi masuk aliran
darah melalui ductus thoracicus.
Kuman- kuman Salmonella typhi lain mencapai hati melalui sirkulasi portal dan
usus. Salmonella typhi bersarang di plaque peyeri, limpa, hati dan bagian- bagian dari
dari sistem retikulo endotelial, yang menyebabkan hati dan limfa membesar sehingga
menekan organ sekitar. Kuman melalui aliran darah menyebar ke seluruh tubuh
kemudian mengeluarkan endotoksin. Endotoksin Salmonella typhi berperan pada
patogenis demam tifoid, karena membantu terjadinya proses inflamasi lokal pada
jaringan tempat Salmonella typhi berkembang biak. Demam pada tifoid disebabkan
karena Salmonella typhi dan endotoksinnya merangsang sintesis dan pelepasan zat
pirogen oleh leukosit pada jaringan yang meradang.
Kuman Salmonella typhi menyerang usus halus yang kemudian menyebabkan
iritasi dan nekrosis pada usus halus. Jika terjadi penurunan produk mukus yang
disebabkan karena aliran darah ke usus menurun sehingga terjadi hipoksia lapisan
mukrosa, cedera atau kematian sel-sel penghasil mukus hal ini dapat menyebabkan ulkus
atau tukak pada plaque peyeri. Iritasi dan nekrosis pada usus halus oleh suatu patogen
mempengaruhi lapisan mukosa usus sehinga terjadi peningkatan produk- produk
sekretorik, termasuk mukus. Peningkatan produksi sekresi dapat menyebabkan motilitas
usus terganggu dan dapat mengakinbatkan peningkatan atau penurunan peristaltik
(Sarwono, 1999 : 436 dan Corwin, 2001 : 519- 522).
E. Manifestasi Klinis
Manisfestasi klinis tifus abdominalis berlangsung 10 sampai 14 hari. Gejala-
gejala yang timbul sangat bervariasi. Gambaran penyakit ini bervariasi dari penyakit
ringan yang tidak terdiagnosis, sampai gambaran penyakit yang khas dengan komplikasi
dan kematian. Dalam minggu pertama penyakit, keluhan dan gejala serupa dengan
penyakit infeksi akut pada umumnya yaitu demam, nyeri kepala, pusing, nyeri otot,
anoreksia, mual-mual, muntah, abstipasi, atau diare, perasaan tidak enak di perut, batuk
dan epistaksis.
Pada minggu kedua gejala-gejala memenjadi lebih jelas berupa demam,
bradikardi relatif, lidah yang khas (kotor di tengah, tepi, dan ujung merah serta tremor).
Hepatomegali, splenomegali) Sarwono, 1994-436.
F. Komplikasi
1. Pada Usus Halus
a. Pendarahan Usus
Bila sedikit hanya ditemukan jika dilakukan pemeriksaan tinja dengan benzidin.
Jika pendarahan banyak terjadi melena, dapat disertai nyeri perut dengan tanda-
tanda renjatan.
b. Perforasi Otot
Timbul biasanya pada mingu ketiga atau setelahnya dan terjadi pada bagian distal
ileum. Perforasi yang tidak disertai peritonitis hanya dapat ditemukan bila
terdapat udara di rongga peritoneum, yaitu pekak hati menghilang dan terdapat
udara diantara hati dan diafragma.
c. Peritonitis
Biasanya menyertai perforasi tetapi dapat terjadi tanpa perforasi usus. Ditemukan
gejala abdomen akut, yaitu perut yang hebat, dinding abdomen tegang (defense
musculair) dan nyeri tekan.
2. Di luar Usus
Terjadi karena lokalisasi peradangan akibat sepsis (bakterimia), yaitu meningitis,
kolesistis, ensefalopati dan lain-lain. Terjadi karena infeksi sekunder, yaitu
bronkopneumonia.
G. PENTALAKSANAAN KLINIS
Pengobatan demam tifoid terdiri atas 3 bagian yaitu :
1. Perawatan
Pasien demam tifoid perlu dirawat di rumah sakit untuk isolasi, observasi dan
pengobatan. Pasien harus tirah berbaring absolut sampai minimal 7 hari bebas
demam atau kurang lebih selama 14 hari.
Maksud tirah baring adalah untuk mencegah terjadinya komplikasi perdarahan
usus atau perforasi usus. Mobilisasi pasien dilakukan secara bertahap, sesuai
dengan pulihnya kekuatan pasien.
Pasien dengan kesadaran yang menurun, posisi tubuhnya harus berubah-ubah
pada waktu-waktu tertentu untuk menghindari kompllikasi pneunomia hipostatik
dan dekubitus.
Defekasi dan buang air kecil perlu diperahatikan karena kadang terjadi obstipasi
dan retensi air kemih.
2. Diet
Makanan harus mengandung cukup cairan kalori dan tinggi protein. Bahan
makanan tidak boleh banyak mengandung serat, tidak mer ngsang dan tidak
menimbulkan gas. Susu 2 kali sehari. Bila kesadaran menurun diberikan makanan
cair melaluio sode lambung. Jika kesadaran dan nafsu makan baik dapat juga di
berikan makanan lunak.
Beberapa penelitian menunjukan bahwa pemberian makanan padat dini, yaitu
nasi dengan lauk pauk rendah selulosa ( pantang sayuran dengan serat kasar)
dapat diberikan dengan aman.
3. Obat
Obat-obat anti mikroba yang sering dipergunakan ialah :
a. Kloramfenikol
Belum ada obat anti mikroba yang dapat menurunkan demam lebih cepat
dibanding kan dengan kloramfenikol. Dosis untuk orang dewasa 4 x500 mg
sehari oral atau intravena sampai 7 hari bebas demam. Dengan penggunaan
kloramfenikol demam pada demam tifoid turun rata-rata setelah 5 hari
b. Tiamfenikol
Dosis dan efektifitas tiamfenikol pada demam tifoid sama dengan
kloramfenikol komplikasi pada hematotogis pada penggunaan tiamfenikol
lebih jarang dari pada kloramfenikol. Dengan tiamfenikol demam pada
demam tifoid turun setelah rata-rata 5-6 hari.
c. Ko-trimoksazol (kombinasi dan sulfamitoksasol)
Dosis itu orang dewasa, 2kali 2tablet sehari, digunakan sampai 7hari bebas
demam (1 tablet mengandung 80 mg tranitropin dan 400 mg sulfametoksasol).
Dengan kontrimotoksasol demam pada demam tifoid turun rata-rata setela5-6
hari.
d. Ampicillin dan Amoksilin
Indikasi mutlak penggunaanya adalah pasien demam tifoid dengan
leokopenia. Dosis yang dianjurkan berkisar antara 75-150 mg/kg berat badan
sehari, digunakan sampai 7 hari bebas demam. Dengan ampicillin dan
amoksiilin demam pada demam tifoid turun rata-rata setelah 7-9 hari
e. Sefa’osforin generasi ketiga
Beberapa uji klinis menunjukan sefalosporin generasi ketiga antara lain
sefiperazon, seftriakson dan cefotaksim untuk demam typid.tetapi dan lama
pemberian yang optimal belum dengan pasti.
f. Fluorokinolon
Fuorokinolon efekitf untuk demam tifoid, tetapi demam dan lama pemberian
yang optimal belum diketahui dengan pasti.
Obat-obat Simtomatik
1. Antipiretika
Antipiretika tidak perlu diberikan secara rutin pada setiap pasien demam tifoid ,
karena tidak dapat berguna
2. Kortikosteroid
Pasien yang toksik dapat diberikan kortikostiroid oral atau parenteral dalam dosis
yang menurun secara bertahap (Tapering Off) selama 5 hari. Hasilnya biasanya
sangat memuaskan, kesadaran pasien menjadi jernih dan suhu badan cepat turun
sampai normal. Akan tetapi kortikosteroid tidak boleh diberikan tanpa indikasi,
karena dapat menyelesaikan perdarahan intestinal dan relaps.
H. Fokus Pengkajian
1. Aktivitas/ istirahat
Gejala
- Kelemahan. Kelelahan, malaise, cepat lelah.
- Perasaan gelisah dan ansietas.
- Pembatasan aktivitas / kerja sehubungan dengan proses penyakit.
2. Integritas Ego
Gejala
- Ansietas, ketakutan, emosi, kesal, perasaan tidak berdaya.
Tanda
- Menolak, perhatian menyempit, depresi.
3. Eliminasi
Gejala
- Epeisode diare yang tak dapat diperkirakan, hilang timbul, sering tak
terkontrol, feses lembek dan semi cair, bau busuk dan berlemak (steatorea)
4. Makanan dan Cairan
Gejala
- Anoreksia, mual/ muntah.
- Penurunan berat badan.
- Tidak toleran pada diet/ sensitif, misalnya : produk susu, makanan-makanan
berlemak.
Tanda
- Penurunan lemak subkuatan/ massa otot.
- Kelemahan tonus otot buruk.
5. Higiene
Tanda
- Ketidakmampuan mempertahankan perawatan diri
Bau badan.
6. Nyeri / Kenyamanan
Gejala
- Nyeri tekan abdomen dengan nyeri kram pada kuadran kanan bawah atau
abdomen tengah bawah.
- Titik nyeri berpindah.
- Nyeri mata, fotofobia
Tanda
- Nyeri tekan abdomen/ distensi.
7. Interaksi sosial
Gejala
- Masalah hubungan / peran sehubungan dengan kondisi ketidakmampuan aktif
secara sosial.
8. Penyuluhan / Pembelajaran
Gejala
- Riwayat keluarga berpenyakit inflamasi/ infeksi usus.
9. Pemeriksaan Penunjang Diagnostik
a) Pemerisaan leukosit
Pada kebanyakan kasus demam tifoid, jumlah leukosit pada sediaan darah repi
berada dalam batas-batas normal, malahan kadang-kadang terdapat
leukopenia. Walaupun tidak ada komplikasi atau infeksi sekunder.
b) Pemerisaan SGOT dan SGPT seringkali menungkat, tetapi kembali normal
setelah sembuh dari demam tifoid.
c) Uji Widal
Uji widal adalah suatu reaksi agluitinasi antara antigen dan antibodi
(agluitinin). Pada infeksi yang aktif, titer uji widal akan meningkatkan pada
pemiraksaan ulang yang dilakukan selang- seling paling sedikit 5 hari. Makin
tinggi titernya, makin besar kemungkinan pasien menderita demam tifoid.
Agluitinin yang menentukan diagnosis adalah agluitinin O dan agluitinin H.
d) Biakan empedu basil Salmonella typhosa dapat ditentukan dalam darah
pasien pada minggu pertama sakit, selanjutnya lebih sering ditemukan dalam
urine dan feses. (Sarwono, 1999 : 436- 437).
J. Fokus Intervensi
1. Hipertermia berhubungan denga erusakan kontrol suhu sekunder ajibat infeksi (
Carpento, 2001 : 21)
Tujuan : sehu tubuh dap
Kriteria hasil : suhu tubuh pas
Rencana tindakan
1. Pantau suhu pasien (dera
Rasional: suhu 38,9 – 1
demam dapat memban
berakhir lebih dari 24 ja
scarlet atau tipoid.
2. Panta
tidur, sesuai indikasi
Rasional: suhu lingk
mempertahankan suhu m
3. Berik
alkohol
Rasional: dapat memba
es mungkin menyebabk
alkohol dapat mengering
n
a
ie
j
oC
tu
m
u
un
e
a
nt
a
k
k
t dipertahankan dalam batas normal.
n 36-37 derajat celcius.
at dan pola) perhatikan menggigil.
menunjukkan proses penyakit infeksi akat. Poa
dalam diagnosis, mis kurva demam lanjut
menunjukkan pneumonia pnemokokal, demam
suhu lingkungan, batasi/tambah linen tempat
gan/ jumlah selimut harus diubah untuk
ndekati normal.
n kompres mandi hangat, hindari penggunaan
u mengurangi demam (penggunaan alkohol/ air
n peniongkatan suhu secara actual. Selain itu
an kulit.
4. Kolaborasi pemberian antipiretik
Digunakan untuk mengurangi demam untuk aksi sentralnya pada
hipotalamus. Meskipun demam mungkin dapat berguna dalam membatasi
pertumbuhan oranisme dan meningkatkan autodestruksi dari sel-sel yang
terinfeksi.
5. Berikan selimut dingin
Rasional: Digunakan untuk mengurangi demam umumnya lebih besar dari
39,5 – 40oC pada waktu terjadi kerusakan / gangguan pada otak
2. Perubahan nutrisi : kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan anoreksia,
mual sekunder terhadap tifus abdominalis ( Carpenito, 2001 : 259)
Tujuan : intake nutrisi dapat dipertahankan secara adekuat.
a. Kriteria hasil :
1. Berat badan bertambah sesuai dengan berat badan ideal
2. Nafsu makan meningkat
3. Tidak lesu
b.Rencana tindakan
1. Timbang berat badan setiap hari
Rasional : memberikan informasi tentang kebutuhan
diet/ keefektifan terapi
2. Dorongan tirah baring dan atau pembatasan aktivitas
selama fase sakit akut
Rasional: menurunkan kebutuhan metabolic untuk mencegah penurunan
kalori dan simpanan energi
3. Anjurkan istirahat sebelum makan
Rasional: menenangkan peristaltic dan meningkatkan rasa makanan.
4. Berikan kebersihan oral
Rasional: mulut yang bersih dapat meningkatkan rasa makanan
5. Sediakan makanan dalam ventilasi yang baik, lingkungan menyenangkan,
dengan situasi tidak terburu-buru, temani.
Rasional: lingkungan yang menyenangkan menurunkan stress dan lebih
kondusif untuk makan.
6. Batasi makanan yang dapat menyebabkan kram abdomen, flatus
Rasional : mencegah serangan akut/ eksaserbasi gejala.
7. Catat masukan dan perubahan simtologi
Rasional : memberikan rasa kontrol pada pasien dan kesempatan untuk
memilih makanan yang yang diinginkan/ dinikmati dapat meningkatkan
masukan.
8. Dorong pasien untuk menyatakan perasaan masalah mulai makan diet.
Rasional: keragu-raguan untuk makan mungkin diakibatkan oleh takut
makan akan menyebabkan eksaserbasi gejala.
9. Pertahanan puasa sesuai indikasi
Rasional: Istirahat usus menurunkan peristaltik dan diare di mana
menyebabkan melabsorsi/ kehilangan nutrient.
10. Kolaborasi nutrisi pareneral total, tetapi IV sesuai indikasi.
Rasional: program ini mengistirahatkan saluran GI sementara memberikan
nutrisi penuh.
3. Nyeri akut berhubungan dengan penekanan organ=organ sekitar oleh pembesaran
hati dan limfa (Carpenito, 2001 : 46- 47)
Tujuan : nyeri dapat teratasi
Kriteria hasil : 1. Ekspresi wajah rileks
2. Nyeri hilang atau berkurang
Rencana tindakan:
1. Dorongan pasien untuk melaporkan nyeri
Rasional: mencoba untuk mentoleransi nyeri, catat lokasi, lamanya, intensitas
(skala 0-10). Selidiki dan laporkan perubahan karakteristik nyeri.
2. Kaji laporan kram abdomen atau nyeri, catat lokasi, lamanya, intensitas (skala
0-10). Selidiki dan laporkan perubahan karakteristik nyeri
3. Catat petunjuk non verbal, gelisah, menolak untuk bergerak, berhati-hati
dengan abdomen, menarik diri dan depresi. Selidiki perbedaan petunjuk
verbal dan non verbal.
Rasional: bahasa tubuh/petunjuk non verbal dapat secara psikologis dan
fisiologis dan dapat digunakan pada hubungan petunjuk verbal untuk
mengidentifikasi luas/ beratnya masalah.
4. Kaji ulang faktor-faktor yang meningkatkan atau menghilangkan nyeri.
Rasional: Dapat menunjukkan dengan tepat pecetus dan faktor pemberat
seperti stress, tidak toleran terhadap makanan atau mengidentifikasi terjadinya
komplikasi.
5. Izinkan pasien untuk memulai posisi yang nyaman, mis, lutut fleksi.
Rasional: Menurunkan tegangan abdomen dan meningkatkan rasa kontrol.
6. Berikan tindakan nyaman (mis, pijatan punggung, ubah posisi) dan aktivitas
senggang.
Rasional: Meningkatkan relaksasi, memfokuskan kembali perhatian dan
meningkatkan kemampuan koping.
7. Bersihhkan area rectal dengan sabun ringan dan air atau lap setelah defeksi
dan memberikan perawatan kulit, mis, salep, jel, jeli minyak.
Rasional : Melindungi kulit dari asam usus, mencegah eksoriasi.
8. Berikan redam duduk dengan tepat
Rasional: Meningkatkan kebersihan dan kenyamanan pada adanya iritasi
fisura perianal.
9. Observasi/ catat distensi abdomen peningkatan suhu, penurunan TD
Rasional : Dapat menunjukkan terjadinya obstruksi usus karena inflamasi,
edema, dan jaringan parut.
10. Kolaborasi pemberian diet sesuai resep, mis. Memberikan cairan dan
meningkatkan makanan padat sesuai toleransi.
Rasional: Istirahat usus penudh dapat menurunkan nyeri, kram.
11. Kolaborasi pemberian obat sesuai indikasi (analgetik, antikolinergik, anodin
supositoria)
4. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan peningkatan kebutuhan metabolisme
sekunder terhadap infeksi Salmonella typhi
(Carpenito, 1998: 2-7)
Tujuan : kebutuhan aktivitas terpenuhi.
a. Kriteria hasil :
makan dan berpakaian sendiri
pasien tampak aktif (tidak lemas)
pasien mengatakan badan tidak lemas
b. Rancana tindakan:
1. Tingkatkan tirah baring/ duduk. Berikan lingkungan tenang, batasi
pengunjung sesuai keperluan.
Rasional: Meningkatkan istirahat dan ketenangan. Menyediakan energi
yang digunakan untuk menyembuhkan. Aktivitas dan posisi duduk tegak
diyakini menurunkan aliran darah ke kaki yang mencegah sirkulasi
optimal ke sel hati.
2. Ubah posisi dengan sering. Berikan perawatan kulit yang baik
Rasional : Meningkatkan fungsi pernapasan dan meminimalkan tekanan
pada area tertentu untuk menurunkan resiko kerusakan jaringan.
3. Tingkatkan aktivitas sesuai toleransi, bantu melakukan latihan rentang
gerak sendi aktif/ pasif.
Rasional : Tirah baring lama dapat menurunkan kemampuan. Ini dapat
terjadi karena keterbatasan aktivitas yang mengganggu periode istirahat
4. Dorong penggunaan teknik manajemen stress. Contoh relaksasi progresif,
visualisasi, bimbingan, imajinasi. Berikan aktivitas hiburan yang tepat ,
contoh menonton TV, radio, Membaca.
Rasional: Meningkatkan relaksasi dan penghematan energi, memusatkan
kembali perhatian dan dapat meningkatkan koping.
5. Awasi terulangnya anoreksia dan nyeri tekan pembesaran hati.
Rasional : Menunjukkan kurangnya resolusi/ eksaserbasi penyakit,
memerlukan istirahat lanjut, mengganti program terapi.
6. Berikan obat sesuai indikasi : sedative, agen antiansietas, contoh diazepam
(valium), lorazepam (Atifan)
Rasional : Mkembantu dalam manajemen kebutuhan tidur. Penggunaan
barbiturate dan tranquilizer seperti Compazine dan thorazine
dikontraindikasikan sehubungan dengan efek hepatotoksik.
5. Resiko kerusakan integritas kulit berhubungan dengan efek tekanan atau
imobilitas sekunder akibat nyeri, (Carpenito. 2001 : 404)
Tujuan : kerusakan integritas kulit tidak terjadi.
a. Kriteria hasil :
1. Mengidentifikasi dan menunjukkan perilaku untuk mempertahankan kulit
halus, kenyal dan utuh.
2. Tidak terjadi kerusakan integritas kulit.
b. Rencana tindakan:
1. Observasi kemerahan, pucat, eksoriasi
Rasional: area ini meningkat resionya untuk kerusakan, jadi memerlukan
pengobatan lebih intensif.
2. Dorongan mandi tiap 2 hari sekali, pengganti mar ditiap hari.
Rasional: Sering mansdi membuat kekeringan pada kulit.
3. Gunakan krim kulit dua kali sehari dan setelah mandi.
Rasional: Melicinkan kulit dan menurunkan gatal.
4. Pijat kulit, khususnya pda penonjolan tulang.
Rasional: Memperbaiki sirkulasi pada kulit dan perfusi kulit dengan
mencegah tekanan pada jaringan
5. Diskusikan pentingnya perubahan posisi sering, perlu untuk
mempertahankan aktivitasnya.
Rasional : Meningkatkan sirkulasi dan perfusi kulit dengan mencegah
tekanan pada jaringan
6. Tekankan pentingnya masukan nutrisi/ cairan adekuat
Rasional : Perhatikan nutrisi dan hidrasi akan memperbaiki kondusi kulit.
6. Perubahan pola eliminasi usus berhubungan dengan inflamasi sekunder terhadap
tipus abdominalis ( Carpenito, 1998 : 23)
Tujuan : mendapatkan kembali fungsi usus normal.
c. Kriteria hasil : BAB satu kali sehari, tidak encer, konsistensi, jumlah dan
faktor pencetus.
d. Rencana tindakan:
1. Observasi dan catat frekuensi defeksi, karakteristik, jumlah dan faktor
pencetus.
Rasional: Membantu membedakan penyakit individu dan mengkaji
beratnya episode.
2. Tingkatkan tirah baring, berikan alat-alat disamping tempat tidur.
Rasional: Istirahat menurunkan motilitas usus juga menurunkan laju
metabolisme bila infeksi atau pendarahan sebagai komplikasi. Defekasi
tiba-tiba dapat terjadi tanpa tanda dan dapat tak terkontrol, peningkatan
resiko inkontensia/ jatuh bila alat-alat tidak dalam jangkauan tangan.
3. Buang feses dengan cepat. Berikan pengharum ruangan.
Rasional : Menurunkan bau tidak sedap untuk menghindari rasa malu
pasien.
4. Identifikasi makanan dan cairan yang mencetuskan diare, mis. Sayuran
segar dan buah segar, sereal, bumbu, minuman karbonat, produk susu.
Rasional: Menghindarkan iriatan meningkatkan istirahat usus.
5. Mulai lagi pemasukan cairan peroral secara bertahap. Tawarkan minuman
jernih tiap jam, hindari minum dingin.
Rasional: Memberikan istirahat kolon dengan menhentikan atau
menurunkan rangsang makanan/ cairan. Makan kembali secara bertahap
cairan mencegah kram dan diare. Namun cairan dingin dapat
menimbulkan motilitas usus.
6. Berikan keempatan menyatakan frustasi sehubungan dengan proses
penyakit.
Rasional : Adanya penyakit dengan penyebab tidak diketahui sulit sembuh
dan yang memerlukan intervensi bedah dapat menimbulkan reaksi stress
yang dapat memperburuk situasi.
7. Observasi demam, takikardi, letargi, leukositosis, penurunan protein
serum, ansietas dan kelesuan.
Rasional : Tanda bahwa toksik mengkolon atau perforasi dan nperitonisis
akan terjadi/ telah terjadi memerlukan intervensi medik segera.
8. Kolaborasi pemberian obat sesuai indikasi