Post on 26-Aug-2020
29
BAB II
Kajian Pustaka
2.1 Penelitian Terdahulu
Penelitian terdahulu ini menjadi salah satu acuan penulis dalam melakukan
penelitian sehingga penulis dapat memperkaya teori yang digunakan dalam
mengkaji penelitian yang dilakukan. Dari penelitian terdahulu, penulis tidak
menemukan penelitian terdahulu, penulis tidak menemukan penelitian dengan
judul yang sama seperti judul penelitian penulis. Namun penulis mengangkat
beberapa penelitian sebagai refrensi dalam memperkaya bahan kajian pada
penelitian penulis. Berikut merupakan penelitian terdahulu berupa beberapa
jurnal terkait dengan penelitian yang dilakukan penulis, penelitian terdahulu
yang dijadikan acuan penulis dalam melakukan penelitian, antara lain:
Tabel 2.1 Penelitian terdahulu
No. Penulis &
Judul Penelitian
Hasil Penelitian Relevansi Penelitian
1. Wawan Setiawan
(2017),
(Era Digital dan
Tantangannya)
Salah satu solusi untuk
pendidikan anak di era
digital adalah model
parenting immun selfer.
Model parenting immun
selfer adalah model
pendampingan anak yang
efektif khususnya dalam
parenting penggunaan
perangkat teknologi
seperti gadget. Memberi
Relevansi dari penelitian,
ialah dimana pentingnya
pendampingan ekstra dari
orang tua yang berguna bagi
pertumbuhan anak.
Pentingnya nilai interaksi,
komunikasi dan dialog dalam
keluarga agar setiap apapun
yang dilakukan seorang anak
dalam menikmati gadgetnya
30
sistem imun pada anak
sangat penting
dikarenakan orang tua
tidak setiap saat dapat
berada disamping anak.
dalam penuh pengawasa
orang tuanya.
2. Muhammad Hayyumas
(2016),
(Pola Interaksi
Hubungan Orang Tua
dengan Anak Di Era
Digital)
Memasuki era digital
perkembangan masif
teknologi hadir membawa
pengaruh ke seluruh
lapisan masyarakat dari
dewasa hingga anak-anak.
Orang tua saat ini
memfasilitasi anak mereka
dengan teknologi
informasi dan komunikasi,
sehingga berakibat anak-
anak menjadi
ketergantungan akan
teknologi yang
dimilikinya.
Persamaan dari penelitian ini
dimana dunia digital memang
penting membentuk perilaku
seorang individu, maka
disitulah nilai kolektif dari
interaksi sangatlah penting
dimana ruang-ruang dialog
atau bercengkrama sangat
dibutuhkan.
3. Nur Ahmad Yasin
(2018), (Tanggung
Jawab Orang Tua
Kepada Anak di Era
Digital Perspektif
Hukum Keluarga Islam
di Indonesia)
Pengguna teknologi yang
sering kita jumpai
sekarang ini adalah anak-
anak.
Mereka tampak asik
dengan teknologi canggih
yang ada di tangan.
kelalaian orang tua
memberikan gadget
terhadap anak membawa
dampak yang berbeda,
Relevansi dalam penelitian
ini, pentingnya pengasuhan
dari orang tua terutama
kepada anak dengan
berkembangan digital yang
terus berkembang, dan kian
banyak jalan atau hal-hal
yang akan diakses oleh anak.
Maka dari itu orang tua harus
mempunyai peran lebih
terhadap pola asuh anak agar
dampak yang diakibatkan
31
mereka cenderung tidak
pernah memantau apa yang
dilakukan oleh anaknya
dan cenderung lebih cepat
anaknya dalam
pemahaman terhadap
teknologi dibandingkan
dengan orang tuanya.
dari digital masih bisa dicerna
baik oleh seorang anak.
4. Firdanianty Pramono,
Djuara P. Lubis,
Herien Puspitawati,
Djoko Susanto (2017).
(Komunikasi Remaja
dengan Keluarga di Era
Digital), (Sekolah
Tinggi Ilmu Sosial dan
Ilmu Politik
Candradimuka,
Palembang, Sumatera
Selatan.
Vol.01,No.01,2017.)
Beberapa bukti
menunjukkan
bahwa media elektronik
dapat meningkatkan
hubungan teman sebaya
dengan mengorbankan
keluarga, terutama
hubungan orang tua
dengan anak. Sebuah studi
video selama empat tahun
yang intens pada 30
keluarga berpendapatan
ganda (ibu dan bapak
bekerja) memberikan
sekilas peran teknologi
dalam kehidupan keluarga
modern.
Penelitian ini memiliki
persamaan dimana hubungan
koletif seorang kelaurga,
hubungan kebersamaan dari
setiap keluarga akan mulai
luntur dengan pengaruh
digital yang begitu hebat. Era
digital khususnya konsumsi
kepada media sosial akan
memangkas banyak
hubungan orang tua dengan
anak, komunikasi anak
dengan orang tua.
5. Eri Satria Yudatama,
Nurhadi, Atik Catur
Budiati (2017),
(Smartphone dan
Keluarga)
Keluarga merupakan
wadah dimana sejak dini
seorang individu
dikondisikan dan
dipersiapkan untuk kelak
dapat melakukan peran-
perannya dalam kehidupan
Relevansi dari penelitian
dimana keluarga menjadi
tempat penting bagi
kesadaran kolektif, keutuhan
menjadi hal yang sangat
dominan dalam keluarga
maka dari itu dibutuhkan
32
masyarakat luas. Dalam
keluarga yang terdiri dari
ayah, ibu dan anak
terdapat hubungan timbal
balik dari masing-masing
anggota keluarga tersebut.
Dengan adanya kemajuan
teknologi media berupa
smartphone yang
ditempatkan sebagai
sebuah hal baru nantinya
mampu mewujudkan
dinamika relasi dalam
anggota-anggota keluarga.
perhatian khusus dari
keluarga dengan
memperhatikan setiap
anggotanya dalam
penggunaan media
khususnya smartphone yang
bisa menjadi ruang baru bagi
anggota keluarga yang secara
tidak langsung dapat
menggantikan posisi
keutuhan keluarga itu sendiri.
6. Hubungan antara
kohesivitas kelompok
dan motivasi kerja
karyawan BRI Kantor
Cabang Malang
Martadinata (2013),
Muniroh.
Penelitian menunjukkan
bahwa anggota kelompok
kerja yang kohesivitasnya
tinggi akan berbeda
dengan kelompok kerja
yang tingkat
kohesivitasnya rendah, hal
ini bisa dilihat dari
komunikasi yang lebih
baik, bekerja sama, dan
saling mempengaruhi satu
sama lain, dan anggota
kelompok juga berusaha
untuk meraih tujuan
kelompok.
Persamaan dengan penelitian
ini dimana sebuah anggota
kelompok yang sudah
memiliki kekuatan kolektif
dan solidaritas yang kuat,
akan berbeda dengan sebuah
anggota kelompok yang
memiliki kesadaran kolektif
yang begitu rendah. Terutama
dalam sebuah wujud apa yang
menjadi cita-cita kelompok
tersebut jika kekuatan
kolektif akan dominan dalam
hal apapun.
33
2.2 Tinjauan Pustaka
2.2.1 Kohesivitas
Kohesivitas adalah merupakan keinginan setiap anggota untuk
mempertahankan keanggotaan mereka dalam kelompok, yang didukung oleh
sejumlah kekuatan independen, tetapi banyak yang lebih berfokus pada
ketertarikan antar anggota. (Festinger, Schater, & Back, 1950). Collins dan
Raven (1964) mendefinisikan kohesivitas adalah kekuatan yang mendorong
anggota kelompok untuk tetap tinggal di dalam kelompok dan mencegahnya
meninggalkan kelompok.
Robbins (2002) menyatakan bahwa semakin kohesif suatu kelompok,
para anggota semakin mengarah ke tujuan. Selanjutnya tingkat kohesivitas
akan memiliki pengaruh terhadap komitmen terhadap organisasi tergantung
dari seberapa jauh kesamaan tujuan kelompok dengan organisasi. Pada
kelompok dengan kohesivitas tinggi yang disertai adanya penyesuaian
yang tinggi dengan tujuan organisasi maka kelompok tersebut akan
berorientasi pada hasil ke arah pencapaian tujuan.
Trihapsari dan Nashori (2011), menjelaskan bahwa pada kelompok
yang kohesivitasnya tinggi, maka para anggotanya mempunyai komitmen
yang tinggi pula untuk mempertahankan kelompok tersebut. Jika anggota
kelompok menunjukkan interaksi dengan sesama anggota secara kooperatif,
maka kelompok tersebut memiliki kohesivitas yang tinggi sedangkan pada
kelompok dengan kohesivitas rendah sebaliknya, perilaku para anggotanya
adalah agresif, bermusuhan dan senang menyalahkan sesama anggotanya
(Purwaningwulan, 2006).
34
Durkheim dalam gagasannya mengungkapkan bahwa ikatan sosial
yang mengikat individu dengan kelompok dibentuk oleh kepercayaan
bersama, sentimen, cita-cita, dan komitmen moral secara bersama. Hal itu
tercermin juga dalam solidaritas mekanik, dimana individu yang diikat dalam
suatu bentuk solidaritas memiliki “kesadaran kolektif” yang sama kuat.
(George Ritzer dan Douglas J. Goodman, 2004). Karena itu individualitas
tidak berkembang karena dilumpuhkan dengan tekanan besar untuk
menerima konformitas. Dimana seperti kebiasaan masyarakat yang memiliki
solidaritas kuat dengan kesadaran kolektif yang begitu tinggi yakni,
masyarakat pra-industri dan masyarakat pedesaan. Mereka memiliki
solidaritas yang begitu kuat untuk mencapai sebuah tujuan.
Kohesivitas merupakan hal terpenting dalam tiap lapisan hubungan
masyarakat, sebab kondisi di mana setiap elemen sosial dalam masyarakat
berfungsi memberikan standar norma bagi hidup bersama. Dalam sebuah
kelompok pentingnya rasa pemersatu terutama dalam lini keluarga dimana
hal tersebut penting wujudnya dalam mewujudkan rasa kebersamaan. Dimana
rasa kolektif tersebut muncul akibat adanya suatu kebersamaan dalam
pencapaian tujuan, suatu kebersamaan akan muncul jika setiap individu
memiliki kesadaran yang begitu kuat sedikit menyampingkan ego dari tiap
individu. Kontak sosial dan komunikasi yang baik antara individu dengan
idividu atau kelompok akan menciptakan solidaritas sosial yang baik pula.
Berangkat dari sinilah solidaritas sosial yang kuat juga dapat mempengaruhi
interaksi sosial yang berlangsung karena ikatan kultural. Lamanya waktu
berada bersama dalam kelompok. Makin lama berada bersama dalam
35
kelompok, makin saling mengenal, makin dapat timbul sikap toleran terhadap
orang lain. Dapat ditemukan atau bahkan dikembangkan minat baru yang
sama. Penerimaan di masa awal. Maksudnya semakin sulit seseorang diterima
di dalam kelompok sebagai anggota, makin lekat atau kohesif kelompoknya.
Pada awal masuk biasanya para anggota kelompok yang lama menguji
anggota baru dengan cara-cara yang khas oleh kelompoknya. Ukuran
kelompok. Makin besar kelompoknya makin sulit terjadi interaksi yang
intensif antar para anggotanya sehingga makin kurang kohesif kelompoknya,
sebaliknya ukuran kelompok yang kecil memudahkan interaksi yang tinggi.
Ancaman eksternal. Kebanyakan penelitian menunjang hasil bahwa
kelekatan kelompok akan bertambah jika kelompok mendapat ancaman dari
luar. Produktivitas kelompok. Kelompok yang erat hubungannya akan lebih
produktif dari pada kelompok yang kurang lekat hubungannya. (Munandar,
2001)
2.2.2 Keluarga
Keluarga terbentuk atas satuan sosial yang terbatas, yaitu dua orang
(laki-laki dan wanita) yang mengadakan ikatan tertentu yang disebut
perkawinan. Secara berangsur-angsur anggota keluarga semakin meluas,
yaitu dengan kelahiran atau adopsi anak. Pada saatnya anak-anak itupun akan
melangsungkan ikatan perkawinan sehingga terbentuk keluarga baru.
Menurut Sudardja Adiwikarta (1988:66-67) dan Sigelman & Shaffer
(1995:390-391) berpendapat bahwa “Keluarga merupakan unit sosial terkecil
yang bersifat universal, artinya terdapat pada setiap masyarakat didunia
36
(universe) atau suatu sistem sosial yang terpancang (terbentuk) dalam sistem
sosial yang lebih besar”.Dari beberapa pengertian dari para ahli, dapat
disimpulkan bahwa “keluarga” merupakan suatu kelompok sosial kecil yang
didalamnya terdiri dari seorang ibu, ayah dan anak dan dapat berkembang
sehingga membentuk keluarga yang baru.
a. Keluarga Kontemporer
Era globalisasi dan modernisasi secara umum kondisi keluarga
atau struktur keluarga yang berhubungan denga peran mulai berubah
karena masyarakat saat ini makin kompleks. Keluarga menjadi peran
penting dalam terbentuk suatu sistem masyarakat, keluarga bagian
paling kecil diantara lapisan-lapisan apapun. Maka dari itu peran
keluarga mampu diharapkan menjadi pemecah atau pembina pertama
dalam keadaan apapun, namun seiring berjalannya waktu
perkembangan zaman dan perubahan budaya telah menjadi suatu
permasalahan tersendiri buat keluarga-keluarga baru bahkan keluarga
yang sudah lama sekalipun. Salah satu cara berfikir mengenai alasan
mengapa terjadi perubahan sosial dan transformasi sosial dalam
keluarga yaitu karena suatu masyarakat dan masing-masing
bagiannya mempunyai kebutuhan untuk menyesuaikan dengan
lingkungan sosial dan lingkungan fisik mereka, atau lebih tepatnya
menyesuaikan dengan perubahan yang relevan di dalam lingkungan
keluarga. Keluarga berubah sejalan dengan perubahan jaman.
Perubahan yang diinginkan biasanya diharapkan bermuara pada
kesejahteraan dan kebahagiaan, namun kenyataannya yang sering
37
terjadi adalah lain. Kenyataan itu sering diingkari sehingga masalah
yang muncul menjadi tambah besar dari yang seharusnya.
Pembagian kerja yang seharusnya dalam keluarga dimana
seorang suami mempunyai peran banyak khususnya untuk mencari
nafkah dan dimana tugas seorang istri akan dilihat dari peran atau
pekerjaan sang suami dalam memenuhi kebutuhan keluarga, dan juga
pengambil keputusan tersebar ialah suami. Dimana ia ditunjuk
sebagai kepala keluarga dengan mengemban tanggung jawab yang
begitu besar harus bisa mewujudkan apa yang menjadi sistem dari
kesejahteraan keluarganya sendiri. Keputusan-keputusan yang
diambil oleh kepala rumah tangga yang sebetulnya keputusan tersebut
akan dianut dalam menjalani hubungan berumah tangga. Karena
didalam keluarga konvensional peran dari seorang laki-laki atau ayah
dalam keluarga lebih dominan diantara peran dari seorang ibu. Dalam
hasil riset tentang buku “husbands and wives” tentang dinamika
kehidupan pernikahan telah menjelaskan betapa banyak sekali tentang
pembagian kerja, bahkan peran dari seorang suami dan istri dan lain
sebagainya. Dalam hasil riset tersebut menjelaskan bahwa pekerjaan
dan hasil maupun hal lain yang berhubungan dengan suami pasti akan
lebih besar dibandingkan seorang istri. (Robert O. Blood, Jr. And
Donald M. Wolfe, 1960:12-15).
Indikator keluarga kotemporer, berdasarkan sistem pembagian
kerja yang dimana pekerjaan suami dan istri sama-sama memiliki
pekerjaan diluar, sehingga intensitas waktu yang dimiliki untuk
38
memberi perhatiaan kepada anak menjadi tanggung jawab penuh bagi
seorang pengasuh. Dalam keluarga kotemporer pengasuh memiliki
peran penting karena keterbatasan waktu yang dimiliki orang tua
untuk merawat dan memberi perhatian sangat sedikit, jadi jasa
seorang pengasuh menjadi hal yang penting dalam keluarga
kotemporer. Dengan adanya pengasuh memudahkan beban yang
dimiliki orang tua, aktivitas pekerjaan diluar menjadikan orang tua
memilih tenaga pengasuh untuk mempermudah pekerjaan mereka
dalam ruang domestik khususnya mengenai kebutuhan yang harus
dipenuhi sang anak.
Perubahan sistem membawa dampak tersendiri tentunya,
misalnya jika dulu pekerjaan dibagi menjadi dua peran yang berbeda,
ketika seorang istri yang memasak dan seorang suami yang berburu
atau mencari bahan untuk dimasak mungkin peran tersebut akan
sedikit mudah dilakukan. Keuntungan seperti itu akan hilang begitu
saja, jika seorang suami dan istri menggabungkan pekerjaan mereka
sepenuhnya dengan tidak membagi peran yang sejauh ini menjadi
fungsi dari setiap masing-masing individu (Spiro, 1956). Dengan
munculnya keluarga modern, dimana peran yang dulu dianut oleh
keluarga tradisional akan sedikit hilang. Begitupun seorang anak yang
tumbuh dalam keluarga modern pasti akan lahir dengan sebuah
pembaruan dari perubahan suatu zaman, mereka dilahirkan dan
dibesarkan dengan media, hampir semua gerak-gerik bahkan
pertumbuhan suatu anak diruang keluarga modern pasti akan
39
mendapatkan peran penting dalam media. Sebab ada banyak hal yang
tumbuh dalam keluarga modern, dengan perubahan zaman,
perkembangan sosial budaya yang muncul dalam keluarga modern,
dan pengalihan fungsi-fungsi yang berbeda. Dimana perubahan dan
perkembangan manusia seakan tumbuh beriringan dengan
perkembangan zaman dan teknologi yang ada pernyataan Erving
Goffman tentang presentasi diri (The Presentation of Self) untuk
menjelaskan bagaimana seseorang menampilkan diri pada lingkungan
atau panggung tertentu. Dimana pada kehidupan sosial keluarga
kotemporer pada intinya pola perilaku dalam kehidupan sosial seperti
sebuah pertunjukan drama. Sebab ada banyak perubahan yang terjadi
akibat adanya dampak globalisasi, dimana seorang individu akan
memiliki representasi dirinya sendiri dengan memberikan citra yang
baik, dengan menampilkan hal-hal yang baik pula dalam ruang media
sosialnya. (Erving Goffman, 1959).
2.2.3 Era digital
Perkembangan teknologi ke arah serba digital saat ini semakin pesat.
Pada era digital seperti ini, manusia secara umum memiliki gaya hidup baru
yang tidak bisa dilepaskan dari perangkat yang serba elektronik. Teknologi
menjadi alat yang mampu membantu sebagian besar kebutuhan manusia.
Teknologi telah dapat digunakan oleh manusia untuk mempermudah
melakukan apapun tugas dan pekerjaan. Peran penting teknologi inilah yang
membawa peradaban manusia memasuki era digital.
40
Era digital telah membawa berbagai perubahan yang baik sebagai
dampak positif yang bisa gunakan sebaik-baiknya. Namun dalam waktu yang
bersamaan, era digital juga membawa banyak dampak negatif, sehingga
menjadi tantangan baru dalam kehidupan manusia di era digital ini.
Tantangan pada era digital telah pula masuk ke dalam berbagai bidang seperti
politik, ekonomi, sosial budaya, pertahanan, keamanan, dan teknologi
informasi itu sendiri.
Media internet membuat media massa berbondong-bondong pindah
haluan. Semakin canggihnya teknologi digital masa kini membuat perubahan
besar terhadap dunia, lahirnya berbagai macam teknologi digital yang
semakin maju telah banyak bermunculan. Berbagai kalangan telah
dimudahkan dalam mengakses suatu informasi melalui banyak cara, serta
dapat menikmati fasilitas dari teknologi digital dengan bebas dan terkendali.
Era digital juga membuat ranah privasi orang seolah-olah hilang. Data pribadi
yang terekam di dalam otak komputer membuat penghuni internet mudah
dilacak, baik dari segi kebiasaan berselancar atau hobi.
Generasi di era digital adalah sebuah generasi milik kaum millenial,
dengan rentan umur mereka yang muda 25-35 tahun dimana sangat
memudahkan mereka dalam segala aktivitas apapun. Perkemabangan digital
menjadi konsumsi besar bagi generasi millenial. Bagi generasi Z atau
millenial informasi dan teknologi adalah hal yang sudah menjadi bagian dari
kehidupan mereka, karena mereka lahir dimana akses terhadap informasi,
khususnya internet sudah menjadi budaya global, sehingga hal tersebut
berpengaruh terhadap nilai – nilai, pandangan dan tujuan hidup mereka. Era
41
digital seakan menumbuhkan kehidupan mereka menjadi serba praktis,
dinamis, dan serba mudah.
Seakan semua itu larut menjadi satu dalam kehidupan sehari-sehari
mereka, bayangkan jika kita sehari saja tidak menggunakan gadget atau
barang digital yang kita punya. Semua itu akan rasanya seperti membosankan
khususnya bagi anak sekarang, digital sudah menjadi alat apapun dalam
setiap aktivitas yang mereka lakukan. Kehidupan yang mereka jalani sudah
dalam satu waktu (multi tasking) seperti: menjalankan sosial media
menggunakan ponsel, browsing menggunakan PC, dan mendengarkan musik
menggunakan headset. Apapun yang dilakukan kebanyakan berhubungan
dengan dunia maya. Sejak kecil generasi ini sudah mengenal teknologi dan
akrab dengan gadget canggih yang secara tidak langsung berpengaruh
terhadap kepribadian. (David Stillman, Jonah Stillman: 130).
2.3 Landasan Teori
Konsep kohesi sosial, Di sepanjang karya-karya Durkheim, dia
mempertahankan suatu pandangan sosial radikal tentang perilaku manusia
sebagai suatu yang dibentuk oleh kultur dan struktur sosial. Durkheim
berpendapat bahwa masyarakat bukanlah sekedar jumlah total individu, dan
bahwa sistem yang dibentuk oleh bersatunya mereka itu merupakan suatu
realitas spesifik yang memiliki karakteristiknya sendiri. Ia sama sekali
menolak gagasan bahwa masyarakat bermula dari kontra-sosial individu, dan
menyatakan bahwa dalam seluruh proses evolusi sosial belum pernah ada
masa pun dimana individu-individu diarahkan oleh pertimbangan yang
cermat untuk bergabung ataupun tidak bergabung ke dalam suatu kehidupan
42
kolektif yang satu dari pada yang lain, karena bagi Durkheim masyarakat-
prinsip asosiasi-adalah yang utama, dan karena masyarakat secara tak terbatas
mengungguli individu dalam ruang dan waktu, maka masyarakat berada pada
posisi menentukan (sic) cara bertindak dan berpikir terhadapnya. Sementara
masyarakat modern merasa bahwa dia bersatu dalam suatu komunitas atau
kelompok dikarenakan ada sebuah pembagian kerja dimana setiap orang
mempunyai posisi yang berbeda dalam suatu komunitas tetapi mempunyai
ketergantungan yang tinggi antar sesama anggotanya. (George Ritzer dan
Douglas J. Goodman, 2004). Untuk melihat perbedaan inilah Durkheim
membagi solidaritas menjadi dua tipe yaitu mekanik dan organik. Dimana
solidaritas mekanik adalah rasa solidaritas yang didasarkan pada suatu
kesadaran kolektif yang menunjuk kepada totalitas kepercayaan-kepercayaan
yang rata-rata ada pada masyarakat yang sama, yaitu mempunyai pekerjaan
yang sama pengalaman yang sama sihingga banyak pula norma-norma yang
dianut bersama. Kemudian solidaritas organik ialah Solidaritas sosial yang
berkembang pada masyarakat masyarakat kompleks berasal lebih dari
kesaling tergantungan dari pada kesamaan bagian-bagian. (Doyle Paul
Johson, 1994: 183)
Etimologi kohesi merupakan kemampuan suatu kelompok untuk
menyatu. Dalam kohesi sosial kontemporer dapat didefinisikan sebagai
kemampuan masyarakat untuk menciptakan lingkungan yang aman bagi
anggotanya termasuk dengan pemenuhan kebutuhan hidup di dalamnya.
Kohesi sosial Durkheim hendak menunjukkan bahwa solidaritas sosial baik
secara mekanis maupun organis, telah membawa masyarakat pada suatu
43
tahapan atau puncak tertinggi peradaban manusia. Karena dalalm perannya
setiap individu maupun kelompok seharusnya mempunyai ruang dimana
perwujudan solidaritas untuk memenuhi kebutuhannya, namun orang baru
dengan adanya era digital tersebut yang menghambat dan mengurangi sebuah
interaksi, ruang komunikasi, bahkan ruang-ruang lain untuk menyatu.
Ruang digital memunculkan kepentingan-kepentingan individu dalam
menggunakan, menikmati, bahkan juga harus berperan penting dalam ruang
barunya yang dibentuk melalui suatu kebiasaan kemudian diadopsi kedalam
ruang kecil yang serba mudah dan efisien yakni ruang digital itulah.
Durkheim juga menyatakan bahwa ikatan sosial yang mengikat individu
dengan kelompok dibentuk oleh kepercayaan bersama, sentimen, cita-cita
dan komitmen moral. Hal ini tercermin dalam solidaritas mekanik, dimana
individu yang diikat dalam suatu bentuk solidaritas memiliki "kesadaran
kolektif" yang sama dan kuat. Karena itu individualitas tidak berkembang
karena dilumpuhkan dengan tekanan besar untuk menerima konformitas.