Post on 01-Dec-2020
12
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
A. Self Regulated Learning
Pada hakekatnya Self Regulated Learning (yang disingkat dengan SRL)
merupakan kemampuan mengontrol perilaku diri sendiri terhadap suatu situasi
tertentu. Nilai pengaturan SRL dibuat berdasarkan keyakinan kemampuan diri
sendiri. Di dalam situasi akademis, SRL dapat digunakan untuk mengembangkan
keterampilan siswa dalam mengatasi berbagai kesulitan belajar yang dihadapi.
Menurut Zimmerman teori kondisioning memberi motivasi bagi siswa
untuk belajar. Hal ini berkaitan dengan reinforcement yang diberikan kepada
siswa. Siswa dapat mengatur dirinya sendiri untuk memberi reinforcement yang
menyenangkan atau tidak menyenangkan bagi dirinya sebagai tindakan motivasi
dalam belajar. Dari segi pembelajaran, penguatan dengan hadiah atau juga
hukuman akan dapatmengubah keinginanan menjadi kemauan dan selanjutnya
kemauan menjadi cita-cita.
Secara prinsip menurut Zimmerman, penerapan SRL meliputi beberapa
kemampuan siswa, yaitu kemampuan siswa memperjelas tujuan belajarnya,
kemampuan siswa menyesuaikan materi belajar dengan bakat dan minatnya,
kemampuan siswa menciptakan pembelajaran yang menantang, merangsang,
menyenangkan, dan kemampuan siswa menghindari tekanan yang tidak menentu
seperti suasana menakutkan, mengecewakan, membosankan, membingungkan
bahkan menjengkelkan. Pendapat ini didukung oleh beberapa teori belajar, salah
satunya adalah teori kondisioning Skinner, teori belajar Albert Bandura, teori
UNIVERSITAS MEDAN AREA
13
kondisi belajar Robert Gagne, teori pengembangan kognitif Jean Piaget dan teori
atribusi Bernand Weiner.
Berdasarkan perspektif sosial kognitif, peserta didik yang dapat dikatakan
sebagai self-regulated learner adalah peserta didik yang secara metakognitif,
motivasional, dan behavioral aktif dan turut serta dalam proses belajar mereka
(Zimmerman, 1989). Peserta didik tersebut dengan sendirinya memulai usaha
belajar secara langsung untuk memperoleh pengetahuan dan keahlian yang
diinginkan, tanpa bergantung pada guru, orang tua atau orang lain.
Para pakar teori Self-Regulated Learning memandang belajar sebagai
suatu proses yang bersifat multiaspek yang mencakup aspek personal (kognitif
dan afektif/emosional), perilaku (behavioral), dan kontekstual. Hal ini berarti SRL
bukanlah merupakan manifestasi tunggal dari aspek kepribadian, melainkan
sinergi dari berbagai aspek kepribadian yang secara kompleks terlibat dalam
proses belajar, serta konteks yang melingkupi. Maka anggapan Self-Regulated
Learning sebagai kemampuan mental yang dapat terukur menjadi kurang tepat.
Oleh karena itu penggunaan instrumen untuk menjalankan proses Self-Regulated
Learning menjadi tidak tepat sasaran.
Seperti diungkapkan di atas bahwa Self regulated learning (pengaturan
diri dalam belajar) mencakup kemampuan strategi kognitif, belajar teknik
pembelajaran, dan belajar sepanjang masa. Pendapat tersebut sejalan dengan
pemikiran Schunk dan Zimmerman Winne,1997), yang mengkategorikan self
regulated learning sebagai dasar kesuksesan belajar, problem solving, transfer
belajar,dan kesuksesan akademis secara umum.
UNIVERSITAS MEDAN AREA
14
Sejalan dengan pendapat Zimmerman, Schunk (dalam Schunk&
Zimmerman, 1998) menjelaskan juga bahwa self regulated learning berlangsung
bila peserta didik secara sistematik mengarahkan perilaku dan kognisinya dengan
cara memberi perhatian pada instruksi tugas-tugas, melakukan proses dan
mengintegrasikan pengetahuan, mengulang-ulang informasi untuk diingat serta
mengembangkan dan memelihara keyakinan positif tentang kemampuan belajar
dan mampu mengantisipasi hasil belajarnya
Dalam sebuah artikel, dijelaskan bahwa Self-Regulated Learning,
merupakan belajar yang terjadi atas inisiatif siswa yang memiliki kemampuan
untuk mempergunakan pemikiran-pemikirannya, perasaan-perasaannya,
strateginya dan tingkah lakunya untuk mencapai tujuan (introduction to The Self
Regulated Learning (SRL). Oleh karena itu aspek inisiatif siswa menjadi sangat
penting untuk memulai adanya kemampuan ini. siswa yang aktif, kreatif, dan
dinamis biasanya akan mempunyai banyak inisiatif untuk melakukan kegiatan,
sehingga bisa diperkirakan bahwa siswa yang memiliki kemampuan SRL
cenderung akan menunjukkan tingkah laku yang dinamis dan efektif
1. Pengertian Self Regulated Learning.
Menurut Ames (dalam Ablard dkk, 1998), mengemukakan bahwa Self
Regulated Learning merupakan suatu strategi yang mempunyai pengaruh bagi
performa siswa dalam mencapai prestasi belajar dibidang akademik yang lebih
baik atau mengalami peningkatan.
UNIVERSITAS MEDAN AREA
15
Pada dasarnya dalam Self Regulated Learning, siswa dituntut untuk aktif
berpartisipasi dalam kegiatan belajarnya, memilih tujuan dalam belajar serta usaha
yang terencana berdasarkan tujuan yang ingin dicapai, (Zimmerman, dalam Rose
dkk, 1993).
Lebih lanjut Corno dan Mandinach (dalam Kerlin, 2000), memberikan
definisi Self Regulated Learning sebagai usaha individu atau siswa dalam
melaksanakan aktivitas belajar dengan melibatkan proses metakognisi yang
mencakup perencanaan dan pemantauan dan afeksi yang dimilikinya.
Hal senada juga dikemukakan oleh Butler dkk (1995), yang menyatakan
bahwa Self Regulated Learning merupakan usaha aktif dari siswa untuk meraih
tujuan yang telah direncanakan dalam aktivitas belajarnya dengan melibatkan
kemampuan kognitif, afektif, dan perilaku.
Berdasarkan dari beberapa pernyataan maka dapat disimpulkan bahwa Self
Regulated Learning adalah upaya individu untuk mengatur diri dalam proses
belajar dengan mengikut sertakan kemampuan yang dimilikinya, mencakup
metakognisi, motivasi dan perilaku aktif bagi siswa untuk meraih suatu tujuan.
2. Aspek-aspek Self Regulated Learning.
Menurut Sleight (1997), dijelaskan ada beberapa aspek Self Regulated
Learning yang harus dimiliki oleh individu, seperti:
UNIVERSITAS MEDAN AREA
16
a. Motivasi.
Motivasi merupakan faktor yang dimiliki individu yang dapat
mengarahkan dan membantu individu dalam mengorganisasi aktivitas
belajarnya.
b. Metakognisi.
Komponen ini merupakan kemampuan individu untuk memahami apa
yang dibutuhkan dalam menghadapi suatu situasi dalam belajar.
c. Efistemic Beliefs.
Aspek ini merupakan prinsip atau kepercayaan yang dimiliki individu
dalam belajar.
d. Stategi belajar.
Strategi belajar ini merupakan aktivitas mental dalam usaha mengelola dan
mengorganisir aktivitas belajar siswa secara efisien.
e. Pengetahuan yang dimiliiki.
Aspek ini mengindikasikan bahwa pengetahuan yang dimiliki individu
mengenai materi atau lingkungan belajar yang dapat membantu
pemahaman pengetahuan baru dalam kelancaran aktivitas belajar.
Menurut Schunk dan Zimmerman (dalam Ropp, 1998), mengemukakan
bahwa Self Regulated Learning mencakup tiga aspek, yaitu:
1. Metakognisi.
Zimmerman (dalam Ropp, 1998), menyatakan bahwa metakognisis adalah
kemampuan individu dalam merencanakan, mengorganisasi atau
mengatur, menginstruksikan diri, memonitor dan melakukan evaluasi
UNIVERSITAS MEDAN AREA
17
dalam aktifitas belajar. Schraw (dalam Martinez, young, 1997),
menambahkan bahwa pengetahuan tentang kognisi meliputi informasi
mengenai kekuatan dan kelemahan yang dimiliki individu, pengetahuan
tentang strategi serta pengetahuan tentang kapan dan dimana saat
pengguanaan strategi yang dimiliki. Pengaturan kognisi mencakup
perencanaan, pemantauan dan perbaikan perilaku.
2. Motivasi.
Menurut Zimmerman dan Schunk (dalam Ropp, 1998), motivasi dalam
Self Regulated Learning merupakan suatu pendorong yang ada dalam diri
individu yang meliputi persepsi terhadap efifasi diri, kompetensi dan
otonomi yang dimiliki dalam melaksanakan kegiataan belajar. Motivasi
merupakan fungsi dari kebutuhan dasar untuk mengontrol dan berkaitan
dengan perasaan kompotensi yang dimiliki oleh setiap individu (Martinez
dkk, 1997).
3. Perilaku.
Perilaku merupakan upaya individu untuk mengatur dirinya, menyeleksi
dan memanfaatkan lingkungan yang mendukung aktivitas belajar
(Zimmerman dkk, 1998).
Ketiga aspek dari Self Regulated Learning di atas apabila digunakan
secara tepat sesuai kebutuhan dan kondisi, akan menunjang kemampuan dalam
pengelolaan diri dalam aktivitas belajar yang optimal. Menurut Zimmerman dan
Schunk (dalam Wolters, 1998), bahwa individu yang melakukan Self Regulated
Learning secara tepat dan baik diindikasikan sebagai individu yang berperan
UNIVERSITAS MEDAN AREA
18
secara aktif dalam proses belajar dan memiliki kemampuan untuk mengatur cara
belajar yang dilakukannya.
Berdasarkan dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa aspek-aspek
yang tercakup dalam Self Regulated Learning adalah metakognisi, motivasi dan
perilaku.
3. Karakteristik Self Regulated Learning.
Haris dan Graham (1998), menggambarkan bahwa siswa yang memilki
tujuan dalam belajar dan memiliki kemandirian dalam membuat perencanaan,
mengatur diri, dan melakukan evaluasi dalam rangka mencapai tujuan yang telah
disusun.
Karakteristik lain yang dimiliki individu yang melakukan Self Regulated
Learning dalam belajar menurut Schunk dan Zimmerman (dalam Wolters, 1998),
adalah individu yang aktif dalam mengatur aktivitas belajarnya.
Sementara Rochester Institut Of Technology (2000), mengemukakan
karakteristik seorang Self Regulated Learning adalah:
a. Memiliki kemandirian dalam tugas yang diberikan kepada mereka dan
membuat perencanaan dalam mengatur pengguanaan waktu serta sumber-
sumber yang dimiliki baik yang bersumber dari dalam dirinya maupun dari
luar pada saat menyelesaikan tugas.
b. Memiliki need for challenge, artinya siswa memilki kecenderungan untuk
menyesuaikan diri terhadap kesulitan yang dihadapinya pada saat
UNIVERSITAS MEDAN AREA
19
mengerjakan tugas dan mengubahnya menjadi sebuah tantangan pada suatu
hal yang menarik dan menyenangkan.
c. Mengetahui bagaimana menggunakan sumber-sumber yang ada, baik yang
berasal dari dalam dirinya maupun dari luar dirinya serta melakukan
pemantauan terhadap proses belajar. Disamping itu mereka juga melakukan
evaluasi terhadap performasi dalam belajar.
d. Memiliki kegigihan dalam belajar dan mempunyai strategi tertentu yang
membantunya dalam belajar.
e. Siswa yang melakukan Self Regulated Learning pada saat melakukan
aktivitas membaca, menulis maupun berdiskusi dengan orang lain,
mempunyai kecenderungan untuk membuat suatu pengertian atau makna
dari apa yang dibaca, ditulis maupun didiskusikannya.
f. Menyadari bahwa kemampuan yang dimiliki bukanlah satu-satunya faktor
yang mendukung kesuksesan dalam meraih prestasi belajar, melainkan juga
dibutuhkan strategi dan upaya gigih dalam belajar.
Berdasarkan dari uraian diatas maka dapat disimpulkan bahwa karakteristik
yang dimiliki seorang yang menggunakan Self Regulated Learning adalah, aktif
dalam mengatur aktivitas belajarnya, memiliki kemandirian, mempersiapkan,
merencanakan dan mengatur aktivitas belajar, memiliki upaya gigih dalam belajar,
memiliki strategi dalam belajar, memiliki kemampuan untuk mengelola dan
menggunakan sumber-sumber yang mendukung aktivitas belajar, memiliki
kemampuan untuk melakukan pemantauan dan evaluasi terhadap kegiatan belajar.
UNIVERSITAS MEDAN AREA
20
4. Faktor-faktor yang mempengaruhi Self Regulated Learning.
Teori regulasi diri yang dikemukakan oleh Bandura (dalam Purdie, 1996),
terfokus pada segala daya upaya siswa melakukan inisiatif dalam belajar serta
usaha untuk mengontrol dan mengevaluasi belajarnya. Menurut Bandura (dalam
Zimmerman, 1989) Self Regulated Learning mengacu pada tingkatan siswa dapat
menggunakan diri untuk mengatur strategi dalam bertingkah laku serta mengatur
lingkungan belajar.
Menurut teori sosial kognitif, bahwa ada tiga hal yang mempengaruhi
seseorang melakukan self regulated learning, yaitu:
1. Individu, yang tercakup dalam faktor individu antara lain :
a. Pengetetahuan individu semakin banyak dan beragam sehingga membantu
individu melakukan Self Regulated Learning.
b. Tingkat kemampuan metakognisi individu semakin tinggi, sehingga dapat
membantu individu melaksanakan Self Regulated Learning.
c. Tujuan ingin dicapai, artinya semakin tinggi kompleks tujuan ingin diraih ,
semakin besar kemungkinan individu melakukan Self Regulated Learning.
2. Perilaku, fungsi perilaku adalah membantu individu menggunakan segala
kemampuan yang dimiliki. Semakin besar dan optimal upaya dilakukan
individu mengatur proses belajar, akan meningkatkan Self Regulated
Learning pada diri individu.
3. Lingkungan, menurut Bandura (dalam Zimmerman, 1998) dalam proses self
regulated learning, lingkungan memiliki pengaruh sangat besar, karena
dilingkungan tersebut siswa melakukan aktivitas belajar, dalam hal ini,
UNIVERSITAS MEDAN AREA
21
lingkungan dapat mendukung atau menghambat siswa dalam melakukan
aktivitas belajar.
Menurut Bandura (dalam Alwisol, 2007) mengatakan bahwa, tingkah laku
manusia dalam self regulation adalah hasil pengaruh resiprokal faktoreksternal
dan internal. Faktor eksternal dan faktor internal akan dijelaskan sebagai berikut.
a. Faktor Eksternal dalam Regulasi Diri
Faktor eksternal mempengaruhi regulasi diri dengan dua cara:
1) Standar
Faktor eksternal memberikan standar untuk mengevaluasi tingkah laku kita
sendiri. Standar itu tidaklah semata-mata berasal dari daya-daya internal saja
namun juga berasal dari faktor-faktor lingkungan, yang berinteraksi dengan faktor
pribadi juga turut membentuk standar pengevaluasian individu tersebut. Faktor
lingkungan berupa iklim sekolah. Iklim sekolah merupakan faktor yang sangat
penting. Hal ini beralasan karena ketika siswa belajar di ruangan kelas,
lingkungan kelas, baik itu lingkungan fisik maupun non fisik kemungkinan
mendukung mereka atau bahkan malah menggangu mereka. Oleh karena itu,
Hyman (1980) mengatakan bahwa iklim yang kondusif antara lain dapat
mendukung: (1) interaksi yang bermanfaat diantara peserta didik (2) memperjelas
pengalaman-pengalaman guru dan peserta didik, (3) menumbuhkan semangat
yang memungkinkan kegiatan-kegiatan di kelas berlangsung sangat baik, dan
(4) mendukung saling pengertiuan antara guru dan peserta didik.
Moos dalam Walberg (1979) mengatakan bahwa iklim sekolah
mempunyai pengaruh yang penting terhadap kepuasan peserta didik, belajar, dan
UNIVERSITAS MEDAN AREA
22
pertumbuhan dan perkembangan pribadi. Kedua pendapat itu Sangat beralasan
karena hal-hal tersebut di atas pada gilirannya akan mempengaruhi self regulated
learning siswa.
2) Penguatan (reinforcement)
Faktor eksternal mempengaruhi regulasi diri dalam bentuk penguatan
(reinforcement). Hadiah intrinsik tidak selalu memberikan kepuasan, manusia
membutuhkan intensif yang berasal dari lingkungan eksternal. Standar tingkah
laku biasanya bekerja sama; ketika orang dapat mencapai standar tinkah laku
tertentu, perlu penguatan agar tingkah laku semacam itu menjadi pilihan untuk
dilakukan lagi.
b. Faktor Internal dalam Regulasi Diri
Faktor eksternal berinteraksi dengan faktor internal dalam pengaturan diri
sendiri. Bandura mengemukakan tiga bentuk pengaruh internal:
1) Observasi diri (self observation): Dilakukan berdasarkan faktor kualitas
penampilan, kuantitas penampilan, orisinalitas tingkah laku diri, dan seterusnya.
Observasi diri terhadap performa yang sudah dilakukan. Manusia sanggup
memonitor penampilannya meskipun tidak lengkap atau akurat. Salah satu fungsi
dari memonitor diri dan penampilan adalah kematangan emosi. Kematangan
emosional yang dimiliki oleh siswa merupakan modal penting dalam meregulasi
proses belajarnya, baik itu terkait dengan dirinya sendiri maupun dengan orang
lain dan lingkungannya. Semakin tinggi tingkat kematangan emosional yang
dimiliki oleh seseorang maka akan semakin baik kemampuan orang tersebut
dalam meregulasi proses belajarnya
UNIVERSITAS MEDAN AREA
23
2) Proses penilaian (judgmental process): Proses penilaian bergantung pada empat
hal: standar pribadi, performa-performa acuan, nilai aktivitas, dan penyempurnaan
performa. Standar pribadi bersumber dari pengamatan model yaitu orang tua atau
guru, dan menginterpretasi balikan/penguatan dari performasi diri. Setiap
performasi yang mendapatkan penguatan akan mengalami proses kognitif,
menyusun ukuran-ukuran/norma yang sifatnya sangat pribadi, karena ukuran itu
tidak selaku sinkron dengan kenyataan. Standar pribadi adalah proses evaluasi
yang terbatas. Sebagian besar aktivitas harus dinilai dengan membandingkan
dengan ukuran eksternal, bisa berupa norma standar perbandingan sosial,
perbandingan dengan orang lain, atau perbandingan kolektif. Dari kebanyakkan
aktivitas, kita mengevaluasi performa dengan membandingkannya kepada standar
acuan. Di samping standar pribadi dan standar acuan, proses penilaian juga
bergantung pada keseluruhan nilai yang kita dapatkan dalam sebuah aktivitas.
Akhirnya, regulasi diri juga bergantung pada cara kita mencari penyebab-
penyebab tingkah laku demi menyempurnakan performa.
3) Reaksi diri (self response): Manusia merespon positif atau negatif perilaku
mereka tergantung kepada bagaimana perilaku ini diukur dan apa standar
pribadinya. Bandura meyakini bahwa manusia menggunakan strategi reaktif dan
proaktif untuk mengatur dirinya. Maksudnya, manusia berupaya secara reaktif
untuk mereduksi pertentangan antara pencapaian dan tujuan, dan setelah berhasil
menghilangkannya, mereka secara proaktif menetapkan tujuan baru yang lebih
tinggi.
UNIVERSITAS MEDAN AREA
24
Berdasarkan uraian di atas, diambil kesimpulan bahwa faktor yang
mempengaruhi self regulated learning yaitu (individu, perilaku; berupa
kematangan emosional, dan lingkungan; berupa iklim sekolah) saling berkaitan
dalam mempengaruhi self regulated learning siswa.
5. Strategi dalam Self Regulated Learning.
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Zimmerman (dalam
Schunk & Zimmerman, 1998) ditemukan empat belas strategi self regulated
learning sebagai berikut:
1. Evaluasi terhadap diri (self-evaluating)
Merupakan inisiatif peserta didik dalam melakukan evaluasi terhadap
kualitas dan kemajuan pekerjaannya.
2. Mengatur dan mengubah materi pelajaran (organizing and transforming)
Peserta didik mengatur materi yang dipelajari dengan tujuan meningkatkan
efektivitas proses belajar. Perilaku ini dapat bersifat covert dan overt.
3. Membuat rencana dan tujuan belajar (goal setting & planning)
Strategi ini merupakan pengaturan peserta didik terhadap tugas, waktu,
dan menyelesaikan kegiatan yang berhubungan dengan tujuan tersebut.
4. Mencari informasi (seeking information)
Peserta didik memiliki inisiatif untuk berusaha mencari informasi di luar
sumber-sumber sosial ketika mengerjakan tugas.
5. Mencatat hal penting (keeping record & monitoring)
UNIVERSITAS MEDAN AREA
25
Peserta didik berusaha mencatat hal-hal penting yang berhubungan dengan
topik yang dipelajari
6. Mengatur lingkungan belajar (environmental structuring)
Peserta didik berusaha mengatur lingkungan belajar dengan cara tertentu
sehingga membantu mereka untuk belajar dengan lebih baik.
7. Konsekuensi setelah mengerjakan tugas (self consequating)
Peserta didik mengatur atau membayangkan reward dan punishment bila
sukses atau gagal dalam mengerjakan tugas atau ujian.
8. Mengulang dan mengingat (rehearsing & memorizing)
Peserta didik berusaha mengingat bahan bacaan dengan perilaku overt dan
covert.
9. Meminta bantuan teman sebaya (seek peer assistance)
Bila menghadapi masalah yang berhubungan dengan tugas yang sedang
dikerjakan, peserta didik meminta bantuan teman sebaya.
10. Meminta bantuan guru/pengajar (seek teacher assistance)
Bertanya kepada guru di dalam atau pun di luar jam belajar dengan tujuan
untuk dapat membantu menyelesaikan tugas dengan baik.
11. Meminta bantuan orang dewasa (seek adult assistance)
Meminta bantuan orang dewasa yang berada di dalam dan di luar
lingkungan belajar bila ada yang tidak dimengerti yang berhubungan
dengan pelajaran.
12. Mengulang tugas atau test sebelumnya (review test/work)
UNIVERSITAS MEDAN AREA
26
Pertanyaan-pertanyaan ujian terdahulu mengenai topik tertentu dan tugas
yang telah dikerjakan dijadikan sumber infoemasi untuk belajar.
13. Mengulang catatan (review notes)
14. Sebelum mengikuti tujuan, peserta didik meninjau ulang catatan sehingga
mengetahui topik apa saja yang akan di uji. Mengulang buku pelajaran
(review texts book) Membaca buku merupakan sumber informasi yang
dijadikan pendukung catatan sebagai sarana belajar.
B. Iklim Sekolah
1. Pengertian Iklim sekolah
Keadaan atau suasana sekolah yang tenang dan nyaman, sesuai untuk proses
pengajaran dan pembelajaran dianggap sebagai mempunyai iklim sekolah yang
berkesan. Halpin dan Croft (1963) yang merupakan perintis dalam kajian iklim
sekolah mengatakan bahawa iklim sekolah menggambarkan personaliti seseorang
individu sendiri dan bagaimana guru tersebut berusaha untuk mencapai tahap
organisasi iklim sekolah berkenaan. Seterusnya, Howard (1974) mendefinisikan
iklim sekolah sebagai keadaan sosial dan budaya sekolah itu yang mempengaruhi
tingkah laku orang di dalamnya. Pusat Perkembangan Kurikulum (1981)
mendefinisikan iklim sekolah sebagai suasana sekolah yang baik di mana keadaan
persekitarannya dirasakan selesa, tenteram, mesra, riang dengan pembelajaran
yang lancar.
Memandangkan faktor iklim sekolah turut membantu mewujudkan
sekolah yang berkesan, maka terdapat beberapa pengkaji yang telah
UNIVERSITAS MEDAN AREA
27
mengetengahkan beberapa ciri iklim sekolah berkesan hasil daripada kajian yang
mereka lakukan. Mengikut Halpin dan Croft (1963), iklim sekolah yang berkesan
mempunyai ciri-ciri berikut: (1) guru-guru merasa selamat, berpuas hati dan
berkeyakinan, (2) guru-guru tidak rasa tertekan dan mengambil perhatian tentang
kemajuan murid-muridnya, (3) pengetua merasa penuh yakin terhadap kerjanya,
serta bertimbang rasa, dan (4) pelajar merasa selamat dan belajar bersungguh-
sungguh.
Nahlawi (1995) pula menyatakan iklim sekolah yang berkesan mampu
mewujudkan integrasi dan keharmonian sesama pelajarnya yang berbeda status
sosio-ekonomi mereka. Selain itu, sekolah juga mampu mengurangkan perbedaan-
perbedaan sesama mereka. Pihak sekolah juga boleh mewujudkan kerjasama
dengan keluarga pelajar.
Iklim sekolah ini juga dapat diartikan sebagai suatu suasana atau kualitas
dari sekolah untuk membantu individu masing-masing merasa berharga secara
pribadi, bermartabat dan penting secara serentak dapat membantu terciptanya
suatu perasaan memiliki terhadap segala sesuatu di sekitar lingkungan sekolah
(Freiberg, 2005).
Hoy, et al. (Milner dan Khoza, 2008) menyatakan iklim sekolah dipahami
sebagai manifestasi dari kepribadian sekolah yang dapat dievaluasi dalam sebuah
kontinum dari iklim sekolah terbuka ke iklim sekolah tertutup.
Iklim sekolah adalah persepsi kolektif terhadap kualitas dan karakter dari
kehidupan sekolah mencakup perilaku dari kepala sekolah, guru dan staf, serta
dinamika sekolah.
UNIVERSITAS MEDAN AREA
28
Ada beberapa ahli lain yang mendefinisikan iklim sekolah. Definisi iklim
sekolah tidak luput dari pengertian iklim itu sendiri. Iklim menurut Hoy dan
Miskell (1982) dalam Hadiyanto (2004) merupakan kualitas dari lingkungan yang
terus menerus dialami oleh guru-guru, mempengaruhi tingkah laku dan berdasar
pada persepsi kolektif tingkah laku mereka.
Hoy dan Miskell dalam Hadiyanto (2004) menyebutkan bahwa iklim
sekolah adalah produk akhir dari interaksi antar kelompok peserta didik di
sekolah, guru-guru dan para pegawai tata usaha (administrator) yang bekerja
untuk mencapai keseimbangan antara dimensi organisasi (sekolah) dengan
dimensi individu.
Hampir senada dengan pendapat di atas, adalah pendapat Sergiovanni dan
Startt (1993) dalam Hadiyanto (2004) yang menyatakan bahwa iklim sekolah
merupakan karakteristik yang ada, yang menggambarkan ciri-ciri psikologis dari
suatu sekolah tertentu, yang membedakan suatu sekolah dari sekolah yang lain,
mempengaruhi tingkah laku guru dan peserta didik dan merupakan prasaan
psikologis yang dimiliki guru dan peserta didik di sekolah tertentu.
Sulistiyani dan Rosidah (2003) menyatakan iklim organisasi, yakni
lingkungan internal atau psikologi organisasi. Iklim organisasi mempengaruhi
praktik-praktik dan kebijakan sumber daya manusia yang diterima oleh anggota
organisasi. Semua organisasi yang memiliki iklim yang manusiawi dan partisipatif
menerima dan memerlukan praktik-praktik manajemen sumber daya manusia
yang berbeda dengan iklim yang beriklim otokratik. Apabila iklim organisasi
terbuka memacu karyawan untuk mengutarakan kepentingan dan ketidakpuasan
UNIVERSITAS MEDAN AREA
29
seperti itu dapat ditangani dengan cara yang positif dan konstruktif. Iklim
keterbukaan bagaimanapun juga hanya tercipta jika pegawai mempunyai tingkat
keyakinan yang tinggi dan mempercayai keadilan tindakan-tindakan dan
keputusan-keputusan manajerial.
Effendi (1997) dalam Jauhari (2005) mengemukakan bahwa iklim
organisasi sekolah merupakan persepsi para guru dan personil sekolah lainnya
tentang struktur kerja sekolah, gaya kepemimpinan, manajemen, supervisi, dan
faktor lingkungan sosial pening lainnya yang tampak pada sikap, kepercayaan,
nilai dan motivasi kerjanya. Selanjutnya dijelaskan bahwa persepsi tersebut
mempunyai dampak terhadap semangat kerja atau moral kerja para guru dan
personil sekolah lainnya yang akhirnya akan mempengaruhi kualitas proses
belajar mengajar.
Dari beberapa definsi tentang iklim sekolah seperti yang telah dijelaskan di
atas, maka dapat disimpulkan bahwa iklim sekolah merupakan suatu kondisi,
dimana keadaan sekolah dan lingkungannya dalam keadaan yag sangat aman,
nyaman, damai dan menyenangkan untuk kegiatan belajar mengajar.
2. Aspek Iklim Sekolah
Aspek iklim sekolah dikembangkan atas dasar aspek umum yang
dikemukakan oleh Moos dan Arter dalam Hadiyanto (2004), yaitu aspek
hubungan, aspek pertumbuhan atau perkembangan pribadi, aspek perubahan dan
perbaikan sistem, dan aspek lingkungan fisik.
UNIVERSITAS MEDAN AREA
30
1). Aspek Hubungan
Aspek hubungan mengukur sejauh mana keterlibatan seluruh anggota
yang ada di sekolah seperti kepala sekolah, guru dan peserta didik, saling
mendukung dan membantu, dan sejauh mana mereka dapat mengekspresikan
kemampuan mereka secara bebas dan terbuka.
Moos mengatakan bahwa aspek ini mencakup aspek afektif dari interaksi
antara guru dengan guru, dan antara guru dengan personalia sekolah lainnya
dengan kepala sekolah. Skala yang termasuk dalam aspek ini diantaranya adalah
dukungan peserta didik, afiliasi, keretakan, keintiman, kedekatan, dan
keterlibatan.
2). Aspek Pertumbuhan atau Perkembangan Pribadi
Aspek pertumbuhan pribadi yang disebut juga aspek yang berorientasi
pada tujuan, membicarakan tujuan utama sekolah dalam mendukung pertumbuhan
atau perkembangan pribadi dan motivasi diri guru untuk tumbuh dan berkembang.
Skala-skala iklim sekolah yang dapat dikelompkkan ke dalam aspek ini
diantaranya adalah minat profesional, halangan, kepercayaan, standar prestasi dan
orientasi pada tugas.
3). Aspek Perubahan dan Perbaikan Sistem
Aspek ini membicarakan sejauh mana iklim sekolah mendukung harapan,
memperbaiki kontrol dan merespon perubahan. Skala-skala iklim sekolah yang
termasuk dalam aspek ini antara lain adalah kebebasan staf, partisipasi dalam
pembuatan keputusan, inovasi, tekanan kerja, kejelasan dan pegawasan.
4). Aspek Lingkungan Fisik
UNIVERSITAS MEDAN AREA
31
Aspek ini membicarakan sejauh mana lingkungan fisik seperti fasilitas
sekolah dapat mendukung harapan pelaksanaan tugas. Skala-skala yang termasuk
dalam aspek ini diantarnya adalah kelengkapan sumber dan kenyamanan
lingkungan.
Studi tentang keterkaitan antara iklim lembaga kerja dengan tingkah laku
seseorang sebenarnya telah dimulai sejak tahun 1935, diantaranya dilakukan oleh
Lewin, Fisher, yang dapat dimengerti bahwa lingkungan (sekolah) dapat
menyebabkan perubahan tingkah laku anak dan juga guru yang pada gilirannya
juga akan mempengaruhi prestasi belajar mereka.
3. Jenis-Jenis Iklim Sekolah
Iklim sekolah yang satu dengan iklim sekolah yang lain berbeda-beda.
Banyak faktor yang menentukan perbedaan masing-masing iklim sekolah tersebut,
dan keseluruhannya dianggap sebagai kepribadian atau iklim suatu sekolah.
Halpin dan Don B. Croft dalam Burhanuddin (1990), mengemukakan
bahwa iklim-iklim organisasi sekolah itu dapat digolongkan sebagai berikut :
1). Iklim Terbuka
Yaitu suasana yang melukiskan organisasi sekolah penuh semangat dan
daya hidup, memberikan kepuasan pada anggota kelompok dalam memenuhi
kebutuhan-kebutuhannya. Tindakan-tindakan pimpinan lancar dan serasi, baik
dari kelompok maupun pimpinan. Para anggota kelompok mudah memperoleh
kepuasan kerja karena dapat menyelesaikan tugas-tugas dengan baik, sementara
kebutuhan-kebutuhan pribadi terpenuhi. Ciri-ciri iklim organisasi sekolah
demikian adalah adanya kewajaran tingkah laku semua orang.
UNIVERSITAS MEDAN AREA
32
2). Iklim Bebas
Melukiskan suasana organisasi sekolah, dimana tindakan kepemimpinan
justru muncul pertama-tama dari kelompok. Pemimpin sedikit melakukan
pengawasan, semangat kerja pertama muncul hanya karena untuk memenuhi
kepuasan pribadi. Sedangkan kepuasan kerja juga muncul, hanya saja kadarnya
kecil sekali. Kepuasan kerja yang dimaksud di sini adalah kepuasan yang
ditimbulkan oleh karena kegiatan tertentu dapat diselesaikan.
3). Iklim Terkontrol
Bercirikan “impersonal” dan sangat mementingkan tugas, sementara
kebutuhan anggota organisasi sekolah tidak diperhatikan. Dan adanya anggota
kelompok sendiri pada akhirnya hanya memperhatikan tugas-tugas yang
ditetapkan pemimpin, sedangkan perhatian yang ditujukannya pada kebutuhan
pribadi relatif kecil. Semangat kerja kelompok memang tinggi, namun
mencerminkan adanya pengorbanan aspek kebutuhan manusiawi. Ciri khas iklim
ini adalah adanya ketidakwajaran tingkah laku karena kelompok hanya
mementingkan tugas-tugas.
4). Iklim yang Familier
Adalah suatu iklim yang terlalu bersifat manusiawi dan tidak
terkontrol. Para anggota hanya berlomba-lomba untuk memenuhi tuntutan pribadi
mereka, namun sangat sedikit perhatian pada penyelesaian tugas dan kontrol
sosial yang ada kurang diperhatikan. Sejalan dengan itu, semangat kerja kelompok
sebenarnya tidak begitu tinggi, karena kelompok mendapat kepuasan yang
sedikit dalam penyelesaian tugas-tugas.
UNIVERSITAS MEDAN AREA
33
5). Iklim Keayahan
Organisasi sekolah demikian bercirikan adanya penekanan bagi
munculnya kegiatan kepemimpinan dari anggota organisasi. Kepala sekolah
biasanya berusaha menekan atau tidak menghargai adanya inisiatif yang muncul
dari orang-orang yang dipimpinnya. Kecakapan-kecakapan yang dimiliki
kelompok tidak dimanfaaatkannya untuk melengkapi kemampuan kerja kepala
sekolah. Sejalan dengan itu banyak tindakan-tindakan kepemimpinan yang
dijalankan. Dalam iklim yang demikian pun sedikit kepuasan yang diperoleh
bawahan, baik yang bertalian dengan hasil kerja maupun kebutuhan pribadi.
Sehingga semangat kerja kelompok organisasi sekolah juga akan rendah.
6). Iklim Tertutup
Para anggota biasanya bersikap acuh tak acuh atau masa bodoh.
Organisasi tidak maju, semangat kerja kelompok rendah, karena para anggota
disamping tidak memenuhi tuntutan pribadi, juga tidak dapat memperoleh
kepuasan dari hasil karya mereka. Tingkah laku anggota dalam iklim organisasi
demikian juga tidak wajar, dalam artian kenyataannya organisasi seperti mundur.
4. Cara Mengkreasikan Iklim Sekolah
Iklim organisasi sekolah itu tidak muncul dengan sendirinya. Ia perlu
diciptakan dan dibina agar dapat bertahan lama. Untuk menciptakan lingkungan
belajar mengajar yang sehat dan produktif menurut Pidarta (1988) haruslah ada
kesempatan dan kemauan para profesional untuk :
1. Saling memberi informasi, ide, persepsi, dan wawasan.
UNIVERSITAS MEDAN AREA
34
2. Kerja sama dalam kelompok mereka. Kerja sama itu dapat saling memberi
dan menerima tentang segala sesuatu yang berkaitan dengan tugas mereka
sebagai pendidik.
3. Membuat para personalia pendidikan khususnya para pengajar sebagai
masyarakat paguyuban di lembaga pendidikan.
4. Mengusahakan agar fungsi kepemimpinan dapat dilakukan secara
bergantian, sehingga tiap orang mendapat kesempatan mengalami sebagai
pemimpin untuk menunjukkan kemampuannya.
5. Menciptakan jaringan komunikasi yang memajukan ketergantungan para
anggota satu dengan yang lain.
6. Perlu diciptakan situasi-situasi yang membutuhkan pengambilan
keputusan yang membuat para anggota tertarik pada kegiatan-kegiatan
pengambilan keputusan untuk kepentingan bersama.
7. Usahakan kegiatan-kegiatan yang dilakukan menyerupai hidup dalam
keluarga dan hilangkan situasi tegang.
8. Kalau ada permasalahan, berilah kesempatan orang atau kelompok yang
paling bertalian dengan masalah itu menyelesaikan terlebih dahulu. Kalau
mereka tidak bisa mengatasi baru dipecahkan bersama-sama.
9. Para pegawai yang baru diberi penjelasan tentang bagaimana mengerjakan
sesuatu dan menyelesaikan masalah.
10. Wujudkan tindakan dalam setiap kegiatan yang menggambarkan bahwa
lembaga pendidikan adalah milik setiap warga paguyuban.
UNIVERSITAS MEDAN AREA
35
Usaha-usaha yang mengkreasikan iklim sekolah yang hangat tersebut
dimulai oleh kepala sekolah atau para manajer lembaga pendidikan. Usaha-usaha
tersebut juga perlu didukung oleh seluruh warga sekolah agar iklim sekolah yang
hangat dapat tercapai dengan baik.
5. Iklim Sekolah yang Kondusif
Iklim sekolah yang kondusif-akademik baik fisik maupun non fisik
merupakan landasan bagi penyelenggaraan pembelajaran yang efektif dan
produktif. Oleh karena itu, sekolah perlu menciptakan iklim yang kondusif untuk
menumbuhkembangkan semangat dan merangsang nafsu belajar peserta didik.
Dengan iklim yang kondusif diharapkan tercipta suasana yang aman,
nyaman, dan tertib, sehingga pembelajaran dapat berlangsung dengan tenang dan
menyenangkan. Iklim yang kondusif menurut Mulyasa (2004) mencakup :
1. Lingkungan yang aman, nyaman dan tertib
2. Ditunjang oleh optimisme dan harapan warga sekolah
3. Kesehatan sekolah
4. Kegiatan-kegiatan yang berpusat pada perkembangan peserta didik
Seperti halnya iklim fisik, suasana kerja yang tenang dan menyenangkan
juga akan membangkitkan kinerja para tenaga kependidikan. (Mulyasa 2004).
Untuk itu semua pihak sekolah harus mampu menciptakan hubungan kerja yang
harmonis, serta menciptakan lingkungan sekolah yang aman dan menyenangkan.
Dari penjelasan diatas tentang iklim sekolah, terdapat beberapa aspek
iklim sekolah. Dalam hal ini aspek-aspek tersebut akan dijadikan indikator untuk
meneliti iklim sekolah yang meliputi :
UNIVERSITAS MEDAN AREA
36
1) Aspek Hubungan
2) Aspek Pertumbuhan atau Perkembangan Pribadi
3) Aspek Perubahan dan Perbaikan Sistem
4) Aspek Lingkungan fisik
C. Kematangan Emosi
1. Pengertian Kematangan Emosi
Dalam pembahasan mengenai kematangan emosional, maka perlu di
ketahui definisi tentang kematangan emosi. Chaplin (2005), dalam buku Kamus
Lengkap Psikologi mendefinisikan kematangan adalah perkembangan, proses
mencapai kemasakan atau usia matang. Hal senada juga diungkap oleh Sobur
(2003), bahwa kematangan adalah tingkat perkembangan pada individu atau
organ-organnya sehingga sudah berfungsi sebagaimana mestinya. Proses
pembentukan ini melewati setiap fase perkembangan, yang didukung oleh faktor
eksternal maupun faktor internal pada remaja. Faktor internal misalnya usia, dan
lingkungan keluarga. Sedangkan faktor eksternal seperti teman sebaya,
lingkungan sekolah dan masyarakat.
Sarwono (dalam Yusuf, 2005), mengemukakan bahwa emosi merupakan
setiap keadaan pada diri seseorang yang disertai warna efektif baik pada tingkat
lemah maupun tingkat yang luas. Dalam hal ini emosi merupakan warna efektif
yang menyertai setiap keadaan atau perilaku individu. Yang dimaksud dengan
warna efektif adalah perasaan-perasaan tertentu yang dialami pada saat
UNIVERSITAS MEDAN AREA
37
menghadapi atau menghayati suatu situasi tertentu, misalnya perasaan gembira,
bahagia, putus asa, terkejut, benci atau tidak senang.
Piaget (dalam Dariyo, 2007), mendefinisikan bahwa kematangan emosi
adalah kemampuan seseorang dalam mengontrol dan mengendalikan emosinya
secara baik, dalam hal ini orang yang emosinya sudah matang tidak cepat
terpengaruh oleh rangsangan atau stimulus baik dari dalam maupun dari luar
pribadinya.
Dalam hal ini mengendalikan emosi bukan berarti menekankan atau
menghilangkan emosi melainkan individu belajar untuk mengendalikan diri dalam
menghadapi situasi yang dapat menimbulkan reaksi emosi yang berlebihan.
Morgan (dalam Nur’aini, 2007), mengemukakan bahwa kematangan emosi
merupakan keadaan emosi yang dimiliki seseorang apabila mendapat stimulus
emosi tidak menunjukkan gangguan kondisi emosi. Menurut kamus Webster
(dalam Feinberg, 2005) kematangan emosi adalah suatu kedaan bergerak kearah
kesempurnaan. Definisi ini tidak menyebutkan preposisi ”ke” melainkan “kearah”
ini berarti individu tidak akan pernah sampai kepada kesempurnaan, namun
individu dapat bergerak menuju kearah itu.
Hurlock (1994) mengatakan bahwa laki-laki dan perempuan dikatakan
sudah mencapai kematangan emosi bila tidak lagi ‘’meledakkan’’ emosinya di
hadapan orang lain melainkan menunggu saat dan tempat yang lebih tepat untuk
mengungkapkan emosinya dengan cara yang lebih baik pula. Petunjuk
kematangan emosi lainnya adalah bahwa individu menilai situasi secara kritis
terlebih dahulu sebelum bereaksi secara emosional, tidak lagi bereaksi tanpa
UNIVERSITAS MEDAN AREA
38
berpikir sebelumnya seperti anak-anak atau individu yang tidak matang. Dengan
demikian, individu mengabaikan banyak rangsangan yang tadinya dapat
meledakkan emosi dan akhirnya, individu yang emosinya matang memberikan
reaksi emosional yang stabil, tidak berubah-ubah dari satu emosi ke emosi yang
lain.
Gunarsa dan Gunarsa (2003) mengatakan bila individu sudah menemukan
identitas dirinya dan telah memperoleh sistem nilai yang mendasari perilakunya
dengan penuh tanggung jawab, dapat dikatakan bahwa individu tidak akan
bereaksi secara kekanak-kanakan. Demikian pula individu yang tidak dikuasai
emosi dan keinginannya sendiri serta mampu tenggang rasa terhadap orang lain
akan disenangi dalam lingkungan sosialnya.
Overstreet dalam Kusumawanta (2009), mengatakan bahwa kematangan
emosi adalah kemampuan seseorang dalam mengontrol dan mengendalikan
emosinya. Ditambahkan oleh Marcham bahwa seseorang yang memiliki
kematangan emosi yang sudah matang tidak cepat terpengaruh oleh rangsangan
atau stimulus baik dari dalam maupun dari luar. Emosi yang sudah matang selalu
belajar menerima kritik, mampu menangguhkan respon-responnya, dan memilki
saluran sosial bagi energi emosinya, misalnya bermain, melakukan hobi dan
sebagainya.
Dari pendapat para ahli diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa kematangan
emosi adalah kemampuan seorang individu untuk menggunakan emosinya secara
baik, yang ditandai dengan pengontrolan diri, pemahaman seberapa jauh baik
buruk dan apakah bermanfaat bagi dirinya dalam setiap tindakannya.
UNIVERSITAS MEDAN AREA
39
2. Ciri-ciri Kematangan Emosi
Chaplin (2008), mendefinisikan kematangan emosi sebagai suatu keadaan
atau kondisi mencapai tingkat kedewasaan perkembangan emosional.
Kematangan emosi merupakan aspek yang sangat dekat dengan kepribadian.
Bentuk kepribadian inilah yang akan dibawa individu dalam kehidupan sehari-hari
bagi diri dan lingkungan mereka. Seseorang dapat dikatakan telah matang
emosinya apabila telah dapat berpikir secara objektif. Kematangan emosi
merupakan ekspresi emosi yang bersifat kontruktif dan interaktif. Individu yang
telah mencapai kematangan emosi ditandai oleh adanya kemampuan didalam
mengontrol emosi, mampu berpikir realistik, memahami diri sendiri dan mampu
menampakkan emosi disaat dan tempat yang tepat.
Menurut Feinberg (2005), ciri-ciri orang yang memiliki kematangan emosi
antara lain adalah
a. Kemampuan untuk merespon secara berbeda-beda dalam kaitannya
dengan kebutuhan dan faktor-faktor diluar dirinya yang terlibat dalam
situasi tertentu.
b. Kemampuan menyalurkan tekanan-tekanan impuls dan emosi-emosi
dalam bentuk prilaku yang konstruktif serta dapat mengarahkannya kearah
tujuan yang positif.
c. Kemampuan membangun pola hubungan interdepensi dan mampu
memelihara peran-perannya secara fleksibel.
d. Kemampuan memperkaya ketrampilan dan memahami potensi-potensi dan
keterbatasan-keterbatasannya sendiri, serta mencari penyelesaian atas
UNIVERSITAS MEDAN AREA
40
problem-problemnya secara kreatif dan mendapat persetujuan dari orang
lain.
e. Kemampuan untuk berhubungan secara efektif dengan orang lain, juga
mampu memandang dirinya dengan orang lain dengan rasa hormat.
f. Kemampuan mempertimbangkan dan memulai alternatif-alternatif,
konsekuensi-konsekuensi dari pelakunya.
Menurut Walgito (2002) ada beberapa karaterisktik atau ciri-ciri kematangan
emosional seseorang yaitu pertama dapat menerima baik keadaan dirinya maupun
keadaan orang lain seperti adanya sesuai dengan keadaan objektifnya. kedua
tidak bersifat implusif, akan merespon stimulus dengan cara berfikir baik atau
positif. ketiga dapat mengontrol emosi dan mengeskpresikan emosinya dengan
baik. Keempat bersifat sabar, pengertian dan mempunyai toleransi yang baik dan
mempunyai tanggung jawab yang baik dapat berdiri sendiri tidak mudah
mengalami frustrasi dan akan menghadapi masalah dengan penuh pengertian.
Feinberg (2007), menyatakan ada lima ciri kematangan emosional yaitu
(a). Bisa menerima dirinya sendiri mempunyai pandangan atau penilaian yang
baik terhadap kekuatan dan kelemahannya. Mampu melihat dan menilai dirinya
secara objektif dan realitas mampu menggunakan kelebihan, frustrasi-frustrasi
yang bisa timbul tidak bisa dalam dirinya. Orang yang dewasa mengenal dirinya
sendiri dengan lebih baik. Ia berkepentingan untuk menandingi orang lain,
melainkan berusaha mengembangkan dirinya sendiri. (b). Bisa menghargai orang
lain berarti bisa menerima keadaan orang lain yang berbeda ia dikatakan dewasa
jika mampu menghargai dirinya sendiri, mampu menghormati orang lain,
ketiadaan keinginan untuk memanipulasi orang lain tersebut. (c). Mampu
UNIVERSITAS MEDAN AREA
41
menerima tanggung jawab. Orang yang tidak dewasa akan menyesali nasib buruk
itu disebabkan oleh orang lain, sedangkan orang yang telah dewasa malah
mengenal dan menerima tanggung jawab dan pembatasan-pembatasan situasi
dimana ia berbuat dan berada. (d). Mampu percaya pada diri sendiri, seseorang
yang matang menyambut dengan baik partisipasi dari orang lain meskipun dirinya
memiliki keahlian. (e). Memiliki rasa humor, orang dewasa berpendapat bahwa
tertawa itu sehat tetapi ia tidak akan menertawakan atau melukai perasaan orang
lain, dia juga tidak akan tertawa bila humor itu membuat orang lain jadi tampak
bodoh. Orang yang dewasa menggunakan humor sebagai alat untuk melicinkan
ketegangan bukan memukul orang lain.
Hurlock (2004) mengemukakan tiga ciri-ciri dari kematangan emosional
antara lain : pertama, mampu mengendalikan emosinya dihadapan orang lain dan
mampu menunggu saat yang tepat untuk meluapkan emosinya dengan cara-cara
yang dapat diterima. Individu dapat melakukan kontrol diri yang bisa diterima
secara sosial. Individu yang emosinya matang mampu mengontrol ekspresi emosi
yang dapat diterima secara sosial atau membebaskan diri dari energi fisik dan
mentalyang tertahan dengan cara sosial. Kedua pemahaman diri, individu
memiliki reaksi emosional yang lebih stabil, tidak berubah-ubah dari satu emosi
atau suasana hati ke suasana hati yang lain. Individu mampu memahami emosi
diri sendiri, memahami hal yang sedang dirasakan dan mengetahui penyebab dari
emosi yang dihadapi individu tersebut. Ketiga penggunaan fungsi kritis mental,
individu mampu menilai situasi secara kritis terlebih dahulu sebelum bereaksi
secara emosional kemudian memutuskan bagaimana cara bereaksi terhadap situasi
UNIVERSITAS MEDAN AREA
42
tersebut dan individu juga tidak lagi bereaksi tanpa berfikir sebelumnya seperti
anak-anak atau individu yang tidak matang
Berdasarkan pendapat Walgito (2002), Feinberg (dalam Rahma, 2007) dan
Hurlock (2004) dapat disimpulkan bahwa ciri-ciri kematangan emosi adalah
individu yang memiliki kemampuan dalam mengendalikan diri diterima saat
emosi sedang memuncak, memperhatikan situasi kondisi waktu yang tepat.
3. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kematangan emosi
Faktor-faktor yang mempengaruhi kematangan emosi menurut Azwar
(dalam Rahmatika, 2006) sebagai berikut:
Dalam perubahan fisik, terjadinya perubahan fisik pada diri individu
menyebabkan terjadinya perubahan kematangan emosi. Individu yang matang
secara emosi akan sanggup mengontrol pengekspresian emosinya secara lebih
terarah dalam kehidupan sosial. Berkenaan dengan perubahan kelenjar hormon,
perubahan pada kelenjar hormon menyebabkan individu mengalami perubahan
pada fungsi organ seksual. Hal ini juga berpengaruh terhadap kondisi emosional
individu dimana individu secara emosional akan tertarik dengan lawan jenisnya,
ketertarikan individu pada lawan jenis menandakan adanya kematangan emosi.
Sejalan dengan perkembangan yang terjadi pada diri individu, maka terjadi
perubahan pada lingkungan pergaulan individu, semakin luas lingkungan
pergaulan individu maka kematangan emosional individu juga akan semakin
berkembang dari individu akan menjadi matang.
UNIVERSITAS MEDAN AREA
43
Berkenaan dengan tingkat kecerdasan seseorang terlihat dari kematangan
emosi yang dimiliki oleh individu. Manusia memiliki kemampuan mental untuk
bertindak dalam setiap berbagai situasi sesuai dengan tingkat kecerdasan dan
kematangan emosi yang dimiliki. Dalam pertambahan usia, individu yang berusia
lebih tua umumnya memiliki pengalaman hidup yang lebih banyak sehingga lebih
matang dan mampu mengendalikan emosinya. Semakin tua seseorang maka
emosinya juga akan semakin matang.
Faktor-faktor yang mempengaruhi kematangan emosi menurut Astuti
(2000), antara lain, pertama pola asuh yang diterapkan orangtua di rumah, akan
memberikan bentuk perilaku anak dalam berhubungan sosial. Keluarga
merupakan lembaga pertama dan utama dalam kehidupan anak, tempat belajar dan
menyatakan dirinya sebagai makhluk sosial, karena keluarga merupakan
kelompok sosial yang pertama tempat anak dapat berinteraksi. Dari pengalaman
berinteraksi dalam keluarga ini akan menentukan pula pola perilaku anak.
Kedua pengalaman traumatis dapat bersumber dari lingkungan keluarga
ataupun lingkungan di luar keluarga. Kejadian-kejadian traumatis masa lalu dapat
mempengaruhi perkembangan emosi seseorang. Ketiga temperamen dapat
didefinisikan sebagai suasana hati yang mencirikan kehidupan emosional
seseorang. Pada tahap tertentu masing-masing individu memiliki kisaran emosi
sendiri-sendiri, dimana temperamen merupakan bawaan sejak lahir, dan
merupakan bagian dari genetik yang mempunyai kekuatan hebat dalam rentang
kehidupan manusia.
UNIVERSITAS MEDAN AREA
44
Keempat jenis kelamin memiliki pengaruh yang berkaitan dengan adanya
perbedaan hormonal antara laki-laki dan perempuan, peran jenis maupun tuntutan
sosial yang berpengaruh terhadap adanya perbedaan karakteristik emosi diantara
keduanya. Kelima usia yang dimiliki seseorang sejalan dengan perkembangan
kematangan emosi, hal ini dikarenakan kematangan emosional dipengaruhi oleh
tingkat pertumbuhan dan kematangan fisiologis seseorang.
Astuti (2009) mengemukakan bahwa Kematangan emosi seseorang
dipengaruhi oleh beberapa faktor, baik intern (dari dalam diri sendiri) maupun
faktor ekstern (dari luar diri sendiri), yaitu antara lain adalah:
1. Adanya interaksi sosial yang baik, kemampuan untuk berfungsi sebagai
manusia yang dapat bergantung pada diri sendiri, dan didukung dengan
orang lain, mengharuskan individu untuk mampu berinteraksi dengan
orang lain, kemampuan ini harus dikembangkan secara bertahap dan terus
menerus seiring dengan bertambahnya umur serta kedewasaannya. Setiap
pribadi dalam kehidupannya selalu mengalami perubahan secara terus
menerus oleh karena itu diperlukan adanya kemampuan untuk menjalin
interaksi dengan orang lain, dan dengan lingkungan yang ada
disekitarnya,
2. Suasana lingkungan sosial, lingkungan keluarga maupun lingkungan
masyarakat sekitar yang berhubungan dengan proses-proses sosialisasi
yang dapat membentuk seseorang menjadi pribadi yang matang.
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa faktor-faktor yang
mempengaruhi kematangan emosi adalah perubahan fisik, perubahan kelenjar
UNIVERSITAS MEDAN AREA
45
hormon, kondisi lingkungan sosial, kemampuan interaksi sosial, tingat
kecerdasan, dan bertambahnya usia dan pola asuh dari orang tua.
4. Aspek-aspek Kematangan Emosi
Anderson (dalam Rahma, 2007) mengemukakan bahwa aspek-aspek
kematangan emosi ada empat yaitu: pertama, emosi terbuka : sikap mau menerima
orang lain sehubungan dengan lemahnya yang diperbuat demi pengembangan
dari kepuasan pribadinya. Kedua emosi, terarah yaitu individu dengan kendali
emosinya sehingga dengan tenang dapat mengarahkan ketidakpuasan konflik-
konflik penyelesaiannya yang lebih kreatif dan konstruktif. Ketiga kasih sayang
yakni individu memiliki kasih sayang yang dalam dan dapat diwujudkan secara
wajar terhadap orang lain. Keempat emosi terkendali, ditandai dengan dapat
mengontrol perasaan-perasaannya terhadap orang lain misalnya perasaan marah,
cemburu dan ingin merubah pribadi orang lain.
Overstreet (dalam Puspitasari dan Nuryoto, 2002), membagi aspek-aspek
kematangan emosi menjadi empat bagian yaitu: (a). Sikap untuk belajar berarti
bersikap terbuka untuk menambah pengetahuan, jujur, mempunyai keterbukaan,
serta motivasi diri yang tinggi, bisa memahami agar bermakna bagi dirinya.
(b). Memiliki rasa tanggung jawab untuk mengambil keputusan atau melakukan
suatu tindakan dan berani untuk menanggung resikonya. Individu yang matang
tidak menggantungkan hidup sepenuhnya kepada individu lain karena individu
yang matang tahu bahwa setiap orang bertanggung jawab atas kehidupannya
sendiri-sendiri. (c). Memiliki kemampuan untuk berkomunikasi dengan efektif,
UNIVERSITAS MEDAN AREA
46
memiliki kemampuan untuk mengekspresikan perasaan, memilih apa yang akan
dilakukan, mengemukakan pendapat, meningkatkan penghargaan pada diri
merupakan bentuk komunikasi secara efektif dimana individu sudah matang dan
mampu menyesuaikan diri dengan orang lain. (d). Memiliki kemampuan untuk
menjalin hubungan sosial, individu yang matang, mampu melihat kebutuhan
individu yang lain dan memberikan potensi dirinya. Hal ini dikarenakan individu
yang matang mampu menunjukkan ekspresi cintanya kepada individu lain. Jadi
secara emosi individu mampu menyesuaikan diri dan hubungan sosial antar
individu.
Chaplin (1989) menyatakan bahwa kematangan emosi mempengaruhi
suatu keadaan tercapainya tingkat kedewasaan dalam perkembangan emosi
adapun dalam penelitian ini kematangan emosional dapat dilihat melalui beberapa
aspek. Aspek-aspek tersebut meliputi: aspek stabilitas emosi, identifikasi,
pengendalian, intimasi, minat dan cinta.
Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa aspek-aspek
kematangan emosi adalah sikap untuk belajar, memiliki rasa tanggung jawab.
memiliki kemampuan untuk berkomunikasi dengan efektif, memiliki kemampuan
untuk menjalin hubungan sosial, melihat kebutuhan orang lain dan bersedia
memenuhi/membantunya sebagai ekspresi cinta/kasih sayang
D. Hubungan Antara Iklim sekolah Dan Kematangan Emosi Dengan Self Regulated Learning
Proses belajar mengajar erat sekali hubungannya dengan lingkungan atau
suasana dimana proses berlangsung. Meskipun Self Regulated Learning
UNIVERSITAS MEDAN AREA
47
dipengaruhi oleh banyak faktor namun pengaruh iklim sekolah merupakan faktor
yang sangat penting. Hal ini beralasan karena ketika siswa belajar di ruangan
kelas, lingkungan kelas, baik itu lingkungan fisik maupun non fisik kemungkinan
mendukung mereka atau bahkan malah menggangu mereka. Oleh karena itu,
Hyman (1980) mengatakan bahwa iklim yang kondusif antara lain dapat
mendukung: (1) interaksi yang bermanfaat diantara peserta didik (2) memperjelas
pengalaman-pengalaman guru dan peserta didik, (3) menumbuhkan semangat
yang memungkinkan kegiatan-kegiatan di kelas berlangsung sangat baik, dan
(4) mendukung saling pengertiuan antara guru dan peserta didik.
Lebih lanjut, Moos dalam Walberg (1979) mengatakan bahwa iklim
sekolah mempunyai pengaruh yang penting terhadap kepuasan peserta didik,
belajar, dan pertumbuhan dan perkembangan pribadi. Kedua pendapat itu Sangat
beralasan karena hal-hal tersebut di atas pada gilirannya akan mempengaruhi self
regulated learning siswa.
Walberg dalam Farley dan Gordon (1981) mengemukakan bahwa self
regulated learning siswa ditentukan oleh banyak factor salah satunya adalah iklim
sekolah yang ditandai dengan kehangatan, demokrasi, dan keramahtamahan dapat
digunakan sebagai alat untuk meningkatkan self regulated learning siswa.
Ada beberapa penelitian lain yang juga membuktikan bahwa iklim sekolah
ikut mempengaruhi self regulated learning siswa. Sijde (1988) melakukan
penelitian terhadap 558 siswa kelas VIII sekolah menengah pertama (SMP) yang
belajar matematika di Belanda dengan menggunakan Dutch Classroom Climate
Questionnaire (DCCQ). Salah satu indikator iklim sekolah itu, pengawasan guru
UNIVERSITAS MEDAN AREA
48
terhadap siswa mempunyai korelasi yang signifikan dengan self regulated
learning siswa.
Lebih jauh, Freser (1986) mendokumentasikan lebih dari 45 penelitian
yang membuktikan adanya hubungan yang positif antara iklim sekolah dengan
self regulated learning siswa. Penelitian-penelitian itu menggunakan berbagai
macam alat ukur iklim sekolah seperti Learning Environment Inventory (LEI),
Classroom Environment Scales (CES), Individualized Classroom Environment
Questionnaire (ICEQ), My Class Inventory MCI) dan instrument-instrumen yang
lain dibeberapa Negara baik Negara maju seperti USA, Canada dan Australia,
maupun Negara-negara yang sedang berkembang seperti India, Jamaica, Brazil
dan Thailand.
Berdasarkan beberapa studi tersebut di atas bahwa self regulated learning
siswa juga ditentukan oleh kualitas iklim sekolah dimana mereka belajar.
Implikasi lebih lanjut dari studi-studi itu adalah bahwa self regulated learning
siswa dapat ditinggkatkan dengan menciptakan iklim sekolah yang kondusif dan
lebih baik.
Papalia (dalam Gunarsa, 2004) menyebutkan bahwa faktor-faktor yang
dapat mengembangkan self regulated learning adalah proses perhatian dan
kesadaran terhadap emosi negatif. Seseorang yang memberikan atensi atau
perhatian serta sadar akan emosi negatif adalah individu yang mengenali diri dan
memahami emosinya sehingga mampu melakukan self regulated learning dengan
lebih baik. Selanjutnya, Gilliom (dalam Gunarsa, 2004) mengatakan faktor-faktor
yang mempengaruhi self regulated learning adalah kematangan emosional.
UNIVERSITAS MEDAN AREA
49
Seseorang yang mampu mengelola emosinya dengan baik akan mampu
melakukan self regulated learning dalam tugas-tugas tertentu. Hal ini disebabkan
karena kematangan emosional akan mempengaruhi bagaimana seseorang dalam
berperilaku sesuai dengan tujuan yang hendak dicapai. Dalam penerapan self
regulated learning, kemampuan dalam mengendalikan dan mengkelola emosi
menjadi salah satu faktor yang sangat penting dalam self regulated learning peran
afeksi (perasaan) turut berkontribusi dalam mewujudkan tercapainya tujuan
belajar.
E. Hubungan Antara Iklim sekolah Dengan Self Regulated Learning
Self regulated learning merupakan perpaduan keterampilan (skill) dan
keinginan (will). Pembelajar yang strategis adalah pembelajar yang belajar
merencanakan, mengontrol dan mengevaluasi kognitifnya, motivasi/afektif,
perilaku dan proses-proses yang kontekstual.
Pembelajar yang mengetahui bagaimana belajar adalah pembelajar yang
memotivasi diri, mengetahui kemungkinan dan keterbatasannya, mengontrol dan
mengatur proses-proses belajar agar membiasakan diri pada tujuan tugas dan
konteks, beroptimis atas performan dan meningkatkan ketrampilan melalui
praktek.
Salah satu ciri pebelajar yang mengatur diri pada belajarnya adalah kontrol
terhadap motivasi dan emosi mereka. Disamping itu adalah bahwa pebelajar
mengorientasikan pada tujuan prestasi (achievement) yang memperlihatkan
motivasi, kognitif dan pola perilaku yang mencerminkan belajar dan performan.
UNIVERSITAS MEDAN AREA
50
Siswa melakukan pengamatan pada performa dan hasil belajar diri. Kemudian
hasil pengamatan tersebut dinilai dengan menggunakan standar tertentu yang telah
ditetapkan oleh siswa. Pada akhirnya, hasil penilaian tersebut memicu reaksi diri
siswa, seperti perasaan diri positif atau keinginan untuk mengganti metode
belajar. Adapun faktor lingkungan meliputi aspek-aspek yang berasal dari luar
individu, seperti iklim sekolah, dukungan sosial, orangtua, teman, dan sebagainya.
Terkait resiprokalitas triadik faktor yang mempengaruhi pregulasian diri siswa,
Zimmerman (2002) mengajukan delapan strategi kunci yang mencerminkan
regulasi diri dalam belajar. Strategi-strategi ini terbentuk sebagai representasi
strategi dalam deregulasi ketiga faktor tersebut, yaitu 1) menetapkan tujuan
belajar yang spesifik dan proksimal, serta merencanakan strategi dan langkah
untuk kegiatan belajar; 2) menggunakan strategi belajar yang ampuh;
3) memantau kegiatan belajar yang dilakukan; 4) mengatur lingkungan fisik dan
sosial; 5) mengelola penggunaan waktu belajar; 6) mengevaluasi pencapaian
belajar; 7) mengatribusi penyebab hasil belajar; dan 8) mengadaptasi metode
belajar.
Ada beberapa penelitian lain yang juga membuktikan bahwa iklim sekolah
ikut mempengaruhi self regulated learning siswa. Sijde (1988) melakukan
penelitian terhadap 558 siswa kelas VIII sekolah menengah pertama (SMP) yang
belajar matematika di Belanda dengan menggunakan Dutch Classroom Climate
Questionnaire (DCCQ). Salah satu indikator iklim sekolah itu, pengawasan guru
terhadap siswa mempunyai korelasi yang signifikan dengan self regulated
learning siswa.
UNIVERSITAS MEDAN AREA
51
Lebih jauh, Freser (1986) mendokumentasikan lebih dari 45 penelitian
yang membuktikan adanya hubungan yang positif antara iklim sekolah dengan
self regulated learning siswa. Penelitian-penelitian itu menggunakan berbagai
macam alat ukur iklim sekolah seperti Learning Environment Inventory (LEI),
Classroom Environment Scales (CES), Individualized Classroom Environment
Questionnaire (ICEQ), My Class Inventory MCI) dan instrument-instrumen yang
lain dibeberapa Negara baik Negara maju seperti USA, Canada dan Australia,
maupun Negara-negara yang sedang berkembang seperti India, Jamaica, Brazil
dan Thailand.
Berdasarkan beberapa studi tersebut di atas bahwa self regulated learning
siswa juga ditentukan oleh kualitas iklim sekolah dimana mereka belajar.
Implikasi lebih lanjut dari studi-studi itu adalah bahwa self regulated learning
siswa dapat ditinggkatkan dengan menciptakan iklim sekolah yang kondusif dan
lebih baik.
F. Hubungan Antara Kematangan Emosional dengan Self Regulated
Learning
Menurut Karabenick dan Knapp yang dikutip oleh Darwati, hasil belajar
yang diperoleh peserta didik pada akhir kegiatan belajar tidak dapat dilepaskan
dari proses peserta didik tersebut selama mengikuti pelajaran.
Konsep self regulated learning berkaitan dengan pembangkitan diri baik
pikiran, perasaan, serta tindakan yang direncanakan dan adanya timbal balik yang
disesuaikan pada pencapaian tujuan personal atau dengan kata lain self regulated
UNIVERSITAS MEDAN AREA
52
learning berhubungan dengan metakognisi, motivasi, dan perilaku yang
berpartisifasi aktif untuk mencapai tujuan personal, hal ini dipengaruhi oleh
beberapa faktor diantaranya adalah kematangan emosional.
Kematangan emosional yang dimiliki oleh siswa merupakan modal
penting dalam meregulasi proses belajarnya, baik itu terkait dengan dirinya sendiri
maupun dengan orang lain dan lingkungannya. Semakin tinggi tingkat
kematangan emosional yang dimiliki oleh seseorang maka akan semakin baik
kemampuan orang tersebut dalam meregulasi proses belajarnya. Hal ini
dikarenakan kematangan emosional mengandung aspek-aspek yang diperlukan
dalam self regulation. Sebagaimana Peter Salovey dan John Mayer menyatakan
bahwa kematangan emosional mengandung kualitas-kualitas antara lain empati,
mengungkapkan dan memahami perasaan, mengendalikan amarah, kemandirian,
kemampuan menyesuaikan diri, disukai, kemampuan memecahkan masalah antar
pribadi, ketekunan, kesetiakawanan, keramahan dan sikap hormat (Shapiro, 2003).
Paris dan Bymes mengatakan (1995) bahwa gambaran seseorang yang
efektif ditunjukkan jika seorang siswa tersebut mampu menghadapi tantangan atau
masalah dan mampu menyelesaikannya. Pemecahan masalah tersebut
membutuhkan ketekunan sekaligus kemampuan pendekatan problem solving yang
baru. Mereka menetapkan tujuan secara realistik dan mempergunakan seperangkat
sumber. Mereka mengerjakan tugas-tugas akademis dengan percaya diri.
Mengkombinasikan antara pengharapan yang positif dan motivasi serta
berbagai strategi untuk pemecahan masalah adalah gambaran siswa yang mampu
mengatur dirinya sendiri dalam belajar (Winne, 1995).
UNIVERSITAS MEDAN AREA
53
Hubungan antara kematangan emosional dan self regulated learning ini
satu dengan yang lainnya dapat saling menguatkan, hal tersebut dikarenakan,
komponen-komponen pendukung atau indikator-indikator yang ada dalam
masing-masing variabel juga terdapat pada variabel yang lain.
G. Kerangka Penelitian
H. Hipotesis Penelitian
Berdasarkan kajian pustaka maka penulis mengajukan tiga hipotesis
sebagai berikut.
1. Ada hubungan positif antara iklim sekolah dan kematangan emosional
dengan self regulated learning dengan asumsi bahwa semakin baik iklim
sekolah dan kematangan emosional maka semakin tinggi self regulated
learning dan sebaliknya semakin tidak baik iklim sekolah dan semakin
rendah kematangan emosional maka semakin rendah self regulated
learning
Iklim sekolah X1
Self Regulated Learning
Y Kematangan Emosional
X2
UNIVERSITAS MEDAN AREA
54
2. Ada hubungan positif antara iklim sekolah dengan self regulated learning
dengan asumsi bahwa semakin baik iklim sekolah maka semakin tinggi
self regulated learning dan sebaliknya semakin tidak baik iklim sekolah
maka semakin rendah self regulated learning.
3. Ada hubungan positif antara kematangan emosional dengan self
regulated learning dengan asumsi bahwa semakin baik kematangan
emosional maka semakin tinggi self regulated learning dan sebaliknya
semakin tidak baik kematangan emosional maka semakin rendah self
regulated learning.
UNIVERSITAS MEDAN AREA