Post on 26-Dec-2019
10
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1 Kajian Pustaka
Beberapa penelitian terkait dengan penerapan model pembelajaran inovatif
telah dilakukan sebagai bentuk tindakan meningkatkan keterampilan dan
kemampuan siswa dalam berbahasa. Dalam penelitian ini dicoba diterapkan
model pembelajaran berbasis masalah sebagai upaya peningkatan kemampuan
siswa dalam memahami peranti kohesi bahasa Indonesia.
Penelitian tentang kohesi pernah dilakukan oleh Ali (2010) dengan judul
“Penanda Kohesi Gramatikal dan Leksikal dalam Cerpen ”The Killers” Karya
Ernest Hemingway”. Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan kepaduan
wacana yang didukung oleh aspek kohesi gramatikal dan kohesi leksikal
dalam cerpen ”The Killers” karya Ernest Hemingway. Penyediaan data dalam
penelitian ini dilakukan dengan metode simak dan teknik catat sebagai teknik
lanjutan. Sumber datanya adalah cerpen yang berjudul The Killers karya Ernest
Hemingway, sedangkan data yang dianalisis berupa klausa atau kalimat yang
mengandung penanda kohesi gramatikal dan leksikal dalam wacana cerpen
tersebut. Dalam menganalisis data digunakan metode distribusional dengan
teknik BUL (bagi unsur langsung) dan dilanjutkan dengan penerapan beberapa
teknik lanjutan, seperti teknik ganti dan teknik ubah wujud.
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Ali (2010) ini memiliki kesamaan,
yaitu mengambil topik tentang kohesi. Penelitian ini merupakan penelitian
kualitatif yang bersifat deskriptif. Penelitian ini dijadikan patokan dasar dalam
teknik menganalisis peranti kohesi yang ada pada teks yang diproduksi siswa,
11
baik peranti kohesi gramatikal maupun peranti kohesi leksikal sehingga teknik
mengklasifikasikan peranti kohesi secara cepat dan tepat dilakukan.
Penelitian yang dilakukan ini menjadikan sebuah cerpen yang berjudul The
Killers karya Ernest Hemingway sebagai objek penelitiannya dan tidak dilakukan
dalam kegiatan pembelajaran. Penelitian selanjutnya dilakukan dalam kegiatan
pembelajaran yang melibatkan siswa sebagai objeknya. Dalam kegiatan penelitian
beikutnya diterapkan sebuah model pembelajaran inovatif untuk dapat
merangsang minat belajar siswa dan meningkatkan kemampuan yang dimiliki
siswa terhadap kompetensi dasar yang harus dikuasai. Penelitian yang dilakukan
selanjutnya ini sebagai bentuk refleksi dari penelitian yang telah dilakukan oleh
Ali sehingga terjadi pembaruan dari penelitian sebelumnya.
Penelitian lain dilakukan Prasetia (2013) yang berjudul “Penggunaan
Peranti Kohesi dalam Karangan Narasi oleh Siswa Kelas VII SMP Negeri 1
Blahbatuh”. Penelitian ini memiliki kesamaan, yaitu dilakukan dalam kegiatan
pembelajaran dan pengambilan topik yang sama terkait dengan peranti kohesi.
Penelitian yang dilakukan mendekripsikan peranti kohesi yang digunakan dalam
karangan narasi oleh siswa yang dijadikan subjek penelitian. Peranti kohesi siswa
yang ditemukan ada dua jenis peranti, yaitu peranti kohesi gramatikal dan peranti
kohesi leksikal. Hasil menunjukkan bahwa peranti kohesi gramatikal yang
digunakan dalam karangan narasi, yaitu referensi, elipsis, dan konjungi sedangkan
peranti kohesi leksikal yang digunakan yaitu repetisi dan hiponim. Penelitian ini
berupa penelitian yang berifat deskriptif semata, tidak ada penerapan metode
pembelajaran yang dilakukan dalam penelitian ini walaupun dilakukan dalam
kegiatan pembelajaran. Di samping itu, tidak ada tindak lanjut untuk
12
meningkatkan kemampuan terhadap kelemahan-kelemahan yang dimiliki siswa
dalam menggunakan peranti kohesi secara maksimal. Pengemasan pembelajaran
yang dilakukan terkesan sederhana sehingga dalam kegiatan pembelajaran siswa
terkesan hanya menjadi objek pembelajaran dan belum mampu memainkan
peranan siswa menjadi subjek pembelajaran. Di pihak lain penelitian yang
dilakukan selanjutnya mencermati dan mengubah paradigma pembelajaran yang
semula peran peserta didik hanya menjadi objek belajar kini lebih mengarah
menjadi subjek belajar. Di samping itu, pengemasan pembelajaran yang lebih
inovatif dirancang dan diterapkan pada penelitian selanjutnya.
Penelitian yang sejenis pernah dilakukan oleh Putri (2011) dengan judul
“Penanda Kohesi pada Wacana Rubrik ”SUARA MAHASISWA”dalam Harian
Joglo Semar”. Kesamaan penelitian ini terletak pada topik yang sama, yaitu
terkait dengan peranti kohesi. Penelitian yang telah dilakukan mendekripsikan
penanda kohesi yang terdapat pada Wacana Rubrik ”SUARA
MAHASISWA”dalam Harian Joglo Semar. Peneliti tersebut menemukan bahwa
penanda kohesi gramatikal yang terdapat dalam wacana rubrik “Suara
Mahasiswa” dalam harian Joglo Semar terdiri atas (1) PK referensi persona, PK
referensi persona demonstratif, dan PK referensi persona komparatif, (2) PK
substitusi, (3) PK elipsisi, (4) konjungsi. Di satu sisi, peneliti sebelumnya juga
menemukan penanda kohesi leksikal terdiri atas (1) repetisi, (2) sinonim,
(3) antonim, (4) kolokasi, (5) hiponim dan (6) ekuivalensi.
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Putri (2011) ini merupakan penelitian
yang berupa penelitian kualitatif yang bersifat deskriptif. Tidak ada penerapan
model pembelajaran karena objek penelitian itu yaitu sebuah wacana yang
13
kemudian dianalisis. Penelitian itu memiliki kesamaan dalam pengambilan topik
terkait dengan kohesi. Penelitian tersebut dijadikan patokan dasar dalam teknik
klasifikasi data yaitu data berupa teks yang diproduksi siswa kelas X AP 1 yang
dilakukan selanjutnya. Teknik klasifikasi data yang dimaksud yaitu dengan
tahapan setelah data dikumpulkan dan diseleksi, dilakukan pengklasifikasian
atau pengurutan. Data yang sudah terkumpul kemudian diklasifikasikan
sesuai dengan kriteria tertentu yang digunakan oleh seorang peneliti.
Pengklasifikasian data tersebut bertujuan untuk memilih dan memilah data agar
lebih mudah dianalisis. Dalam penelitian ini peneliti mengklasifikasikan data
berdasarkan jenis penanda kohesi gramatikal dan leksikal yang terdapat dalam
teks yang telah diproduksi oleh siswa. Dengan demikian, penelitian yang
dilakukan selanjutnya memijakkan kakinya pada penelitian yang dilakukan Putri
(2011) dalam hal teknik pengklasifikasian data teks siswa. Penelitian yang
dilakukan ditambah dengan penerapan model pembelajaran yang inovatif seperti
model pembelajaran berbasis masalah sehingga ada usaha yang preventif agar
pembelajaran dapat meningkatkan kemampuan siswa disertai dengan penerapan
teori linguistic, yaitu terkait dengan teori kohesi sebagai dasar pemikiran dalam
membelajarkan siswa.
Penelitian berikutnya dilakukan Pratama Y.R. (2012) yang berjudul
“Peningkatan Kemampuan Menulis Paragraf Persuasif Melalui Pembelajaran
Berbasis Masalah pada Siswa Kelas X Lab SMA Saraswati Denpasar”. Penelitian
yang dilakukan tersebut memiliki kesamaan, yaitu dilakukan dalam kegiatan
pembelajaran dan diterapkannya model pembelajaran berbasis masalah walaupun
materi yang dibahas berbeda. Penelitian tersebut mengkaji efektivitas
14
pembelajaran berbasis masalah sebagai upaya meningkatkan kemampuan menulis
paragraf persuasif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pembelajaran berbasis
masalah sangat efektif dilakukan untuk meningkatkan kemampuan menulis
paragraf persuasif siswa kelas X Lab. SMA Saraswati Denpasar TP 2011/2012.
Hal ini dibuktikan dengan hasil penelitian yang menunjukkan bahwa perolehan
nilai rata-rata pada tes awal sebesar 5,6 berkategori hampir cukup, pada
Pratindakan sebesar 6,7, pada Siklus I sebesar 7,9, dan pada Siklus II nilai rata-
rata yang diperoleh telah mampu menunjukkan nilai yang sangat signifikan dan
berada di atas standar nilai KKM yang ada, yaitu 9,4. Indikator peningkatan yang
terjadi ketika nilai rata-rata siswa terus naik, dengan acuan nilai KKM yang ada di
sekolah tersebut, yaitu dengan capaian nilai KKM 8,0. Selain perubahan nilai rata-
rata, siswa juga mengalami perubahan perilaku dari periaku negatif ke perilaku
positif selama mengikuti pembelajaran. Langkah-langkah dalam menerapkan
pembelajaran berbasis masalah ini, yaitu (1) penyampaian ide, (2) penyajian fakta
yang diketahui, (3) mempelajari masalah, (4) menyusun rencana tindakan, dan (5)
evaluasi. Dasar pemikiran dari langkah-langkah pembelajaran berbasis masalah
ini dijadikan landasan dalam menerapkan pembelajaran berbasis masalah pada
penelitian yang dilakukan selanjutnya.
Penelitian yang dilakukan merupakan penelitian tindakan kelas sebagai
upaya meningkatkan kemampuan siswa terhadap permasalahan pembelajaran
yang dimiliki. Dari beberapa penelitian di atas hanya satu menerapkan tindakan
pembelajaran dengan model penelitian tindakan kelas, sedangkan penelitian yang
lain lebih mengacu pada penelitian deskriptif walaupun model linguistik yang
digunakan sama yaitu terkait dengan peranti kohesi dalam teks. Penelitian yang
15
telah dilakukan dijadikan dasar pemikiran dalam menguraikan data hasil
penelitian yang dilakukan.
Penelitian yang dilakukan merupakan penelitian yang mengkaji dan
meningkatkan pemahaman siswa dalam menguesai peranti kohesi pada teks. Hal
ini dipecahkan melalui tindakan refleksi awal yaitu untuk mengetahui kemampuan
awal siswa. Selanjutnya, tindakan dilakukan untuk mengetahui kemampuan siswa
setelah penerapan model pembelajaran berbasis masalah. Tindakan-tindakan, baik
sebelum maupun setelah penerapan model pembelajaran berbasis masalah,
merupakan bagian dari tindakan kelas sebagai upaya meningkatkan kemampuan
siswa secara signifikan. Tindakan-tindakan ini didasarkan pada lemahnya
kemampuan siswa dalam memahami peranti kohesi. Penelitian berikutnya
diharapkan memberikan sumbangan bagi khazanah penelitian bagi para pendidik
agar terinspirasi menerapkan pembelajaran-pembelajaran yang lebih inovatif.
2.2 Konsep
Studi yang dilakukan dalam penelitian ini terdiri atas beberapa konsep
yang memerlukan penjelasan. Konsep-konsep tersebut, antara lain
(1) pemahaman, (2) peranti kohesi dan (3) model pembelajaran berbasis masalah.
2.2.1 Pemahaman
Purwanto (1997:44) mengartikan pemahaman sebagai tingkatan
kemampuan yang mengharapkan seseorang mampu memahami arti atau
konsep, situasi, dan fakta yang diketahuinya. Dalam hal ini tidak sekadar
hafal secara verbalitas, tetapi memahami konsep masalah atau fakta yang
16
ditanyakan. Operasionalnya yaitu dapat membedakan, mengubah,
mempersiapkan, menyajikan, mengatur, menginterpretasikan, menjelaskan,
mendemonstrasikan, memberikan contoh, memperkirakan, menentukan, dan
mengambil keputusan.
Dengan kata lain, memahami adalah mengetahui sesuatu dan dapat
melihatnya dari berbagai segi. Pemahaman merupakan jenjang kemampuan
berpikir yang setingkat lebih tinggi daripada ingatan dan hafalan. Dengan
memahami sesuatu berarti seseorang dapat mempertahankan, membedakan,
menduga, menerangkan, menafsirkan, memperkirakan, menentukan, memperluas,
menyimpulkan, menganalisis, memberikan contoh, menulis kembali,
mengklasifikasikan, dan mengikhtisarkan. Indikator tersebut menunjukkan
bahwa pemahaman mengandung makna lebih luas atau lebih dalam daripada
pengetahuan. Dengan pengetahuan seseorang belum tentu memahami sesuatu
yang dipelajari. Di pihak lain dengan pemahaman seseorang tidak hanya
sekadar menghafal sesuatu yang dipelajari, tetapi juga mempunyai kemampuan
untuk menangkap makna yang dipelajari secara lebih mendalam dan mampu
memahami konsep pelajaran tersebut.
2.2.2 Peranti Kohesi
Halliday dan Hasan (1980:3-19) mengatakan bahwa kohesi
merupakan hubungan semantik antarakalimat pada teks dan hubungan
tersebut merupakan hubungan makna dalam sistem dan proses. Jadi, dalam
sistem dan proses bahasa, kohesi adalah hubungan semantik antara kalimat satu
dan kalimat lainnya. Di satu sisi, Kridalaksana (1993:109) mengistilahkan
17
kohesi dengan “keutuhan” dan mendefinisikannya sebagai “… taraf keterikatan
antara pelbagai unsur dalam struktur sintaksis atau struktur wacana, misalnya
morfem terikat lebih lekat pada unsur yang menyertainya”. Kohesi adalah
hubungan antara unsur yang satu dengan unsur yang lain dalam wacana
sehingga tercipta pengertian yang apik atau koheren. Jadi, suatu wacana dapat
disebut sebagai wacana yang utuh apabila memiliki pola hubungan gramatikal
dan keterpautan semantik antara kalimat yang satu dan kalimat lainnya.
2.2.3 Pembelajaran Berbasis Masalah
Pembelajaran berbasis masalah merupakan pembelajaran berdasarkan
pertanyaan atau masalah, tidak hanya mengorganisasi prinsip-prinsip atau
keterampilan akademik tertentu, tetapi mengorganisasi pelajaran di sekitar
pertanyaan atau masalah kedua-duanya secara sosial penting dan secara
pribadi bermakna bagi siswa.
Setyosari (2006:1) menyatakan bahwa pembelajaran berbasis masalah
adalah suatu metode atau cara pembelajaran yang ditandai oleh adanya masalah
nyata, a real-world problems sebagai konteks bagi siswa untuk belajar kritis dan
keterampilan memecahkan masalah dan memperoleh pengetahuan.
Dapat disimpulkan bahwa pembelajaran berbasis masalah adalah
pembelajaran yang menggunakan masalah sebagai langkah awal dalam
mengumpulkan dan mengintegrasikan pengetahuan baru. Dalam usaha memecahkan
masalah tersebut siswa akan mendapatkan pengetahuan yang berarti melalui proses
pembelajaran yang disiapkan oleh pendidik.
18
2.3 Landasan Teori
Sebagai seorang peneliti, tentu mengharapkan penelitian yang dilakukan
dapat mencapai hasil analisis yang objektif dan sesuai dengan fakta di lapangan.
Untuk memperkuat penelitian yang dilakukan perlu dilandasi dengan teori-teori
yang dapat menunjang kelancaran dan kemantapan analisis, terutama teori-teori
yang berkaitan dengan masalah-masalah yang diteliti.
2.3.1 Teori Konstruktivisme
Konstruktivisme merupakan pandangan filsafat yang pertama kali
dikemukakan oleh Giambatista Vico pada tahun 1710. Ia adalah seorang
sejarawan Italia yang mengungkapkan filsafatnya dengan berkata ”Tuhan adalah
pencipta alam semesta dan manusia adalah tuan dari ciptaan”. Dia menjelaskan
bahwa “mengetahui” berarti “mengetahui bagaimana membuat sesuatu”. Ini
berarti bahwa seseorang baru mengetahui sesuatu jika ia dapat menjelaskan
unsur-unsur apa yang membangun sesuatu itu (Suparno, 1997:24).
Filsafat konstruktivisme beranggapan bahwa pengetahuan adalah hasil
konstruksi manusia melalui interaksi dengan objek, fenomena pengalaman, dan
lingkungan mereka. Hal ini sesuai dengan pendapat Poedjiadi (2005:70)
bahwa “konstruktivisme bertitik tolak dari pembentukan pengetahuan. Di
pihak lain rekonstruksi pengetahuan adalah mengubah pengetahuan yang
dimiliki seseorang yang telah dibangun atau dikonstruk sebelumnya dan
perubahan itu sebagai akibat dari interaksi dengan lingkungannya”.
Karli (2003:2) menyatakan bahwa konstruktivisme merupakan salah satu
pandangan tentang proses pembelajaran. Selanjutnya, dinyatakan bahwa dalam
19
proses belajar (perolehan pengetahuan) diawali dengan terjadinya konflik
kognitif yang hanya dapat diatasi melalui pengetahuan diri dan pada akhir proses
belajar pengetahuan akan dibangun oleh anak melalui pengalamannya dari
hasil interkasi dengan lingkungannya.
Menurut Suparno (1997:49), secara garis besar prinsip-prinsip
konstruktivisme yang diambil adalah (1) pengetahuan dibangun oleh siswa
sendiri, baik secara personal maupun secara sosial; (2) pengetahuan tidak
dipindahkan dari guru ke siswa, kecuali dengan keaktifan siswa sendiri untuk
bernalar; (3) siswa aktif mengonstruksi secara terus-menerus sehingga terjadi
perubahan konsep menuju ke konsep yang lebih terperinci, lengkap, dan sesuai
dengan konsep ilmiah; (4) guru berperan membantu menyediakan sarana dan
situasi agar proses konstruksi siswa berjalan mulus.
Brooks dan Brooks (dalam Elliot dkk, 2000) mengemukakan cara
menggunakan pendekatan konstruktivisme di kelas, yaitu sebagai berikut.
1. Kemukakan masalah yang relevan bagi siswa, yang menarik siswa, yang
kompleks, dan sediakan waktu yang cukup untuk memecahkan masalah itu.
2. Guru hendaknya mengidentifikasi ide besar (tema) yang penting bagi siswa
untuk dipahami dan terstruktur (menyusun, mengembangkan) pembelajaran
sekitar ide besar itu.
3. Cari dan hargai pandangan siswa. Paham konstruktivisme menghendaki agar
guru mendengarkan baik-baik pendapat siswa itu sebab pendapat siswa adalah
jendela bagi guru untuk memahami alas an sebaliknya.
20
4. Sesuaikan kurikulum pada pemahaman siswa sekarang. Jika kurikulum tidak
cocok bagi siswa, ubahlah. Sesuaikan kurikulum itu pada pemahaman siswa
sekarang dan untuk perkembangan pengetahuan selanjutnya.
5. Ukur belajar siswa dalam konteks yang diajarkan. Hasil pengukuran semacam
itu dapat digunakan unuk mengetahui prestasi belajar siswa, melanjutkan ke
materi pelajaran berikutnya, dan dapat untuk memperbaiki pengajaran
selanjutnya.
2.3.2 Teori Kohesi
Halliday dan Hasan (1980:3-19) mengatakan bahwa kohesi
merupakan hubungan semantik antarakalimat pada teks dan hubungan
tersebut merupakan hubungan makna dalam sistem dan proses. Jadi, dalam
sistem dan proses bahasa, kohesi adalah hubungan semantik antara kalimat satu
dan kalimat lainnya.
Kridalaksana (1993:109) mengistilahkan kohesi dengan “keutuhan” dan
mendefinisikannya sebagai “… taraf keterikatan antara pelbagai unsur dalam
struktur sintaksis atau struktur wacana, misalnya morfem terikat lebih lekat pada
unsur yang menyertainya”. Kohesi adalah hubungan antara unsur yang satu
dan unsur yang lain dalam wacana sehingga tercipta pengertian yang apik
atau koheren.
Kohesi memiliki beberapa unsur penting, yaitu keterikatan atau
keterpautan hubungan makna antara satu unsur-unsur yang lain, baik dalam
kata (antara morfem yang satu dan yang lain), paragraf (klausa yang satu
dan klausa yang lain), maupun teks (antara paragraf satu dengan paragraf yang
21
lain). Jadi, suatu wacana dapat disebut sebagai suatu wacana yang utuh apabila
memiliki pola hubungan gramatikal dan keterpautan semantik antara kalimat
yang satu dan kalimat lainnya.
Halliday dan Hasan (1980) membagi alat kohesi menjadi dua macam
yaitu, kohesi gramatikal dan kohesi leksikal.
1. Kohesi Gramatikal
Kohesi gramatikal didasarkan pada bentuk bahasa yang digunakan
(Rani dkk, 2006:94). Peranti kohesi gramatikal digunakan untuk
menghubungkan ide antarkalimat dalam sebuah wacana. Oleh karena itu,
kohesi ini dapat membantu menjelaskan hubungan semantik antara bagian
wacana yang kurang jelas dan bagian wcana yang lain sehingga sebuah unsur
wacana dapat menjelaskan unsur wacana lainnya atau teks secara keseluruhan
(Zaimar dan Harahap, 2009:116).
Kohesi gramatikal diklasifikasikan ke dalam beberapa kategori, yaitu
referensi (pengacuan), elipsis (pelesapan), substitusi (penggantian), dan
konjungsi (penyambungan). Kategori-kategori tersebut tidak hanya memiliki
dasar teoretis sebagai jenis-jenis hubungan kohesif, tetapi juga mempersiapkan
suatu cara yang praktis untuk menggambarkan dan menganalisis sebuah
wacana. Setiap kategori tersebut menampilkan ciri-ciri tertentu dalam sebuah
wacana. Berikut disampaikan secara singkat kategori – kategori kohesi tersebut.
A. Referensi (Pengacuan)
Referensi merupakan salah satu kohesi gramatikal yang berupa satuan
lingual tertentu yang merefer (menunjuk) satuan lingual yang lain, yang
22
mendahului atau yang mengikutinya. Referensi dapat dibagi menjadi dua, yakni
eksofora dan endofora. Acuan eksofora ialah acuan yang berada di luar teks,
sedangkan acuan endofora ialah acuan yang berada di dalam teks.
1) Referensi Persona
a. Referensi Endofora
Purwo (1987:10) menjelaskan bahwa ditinjau dari arah acuannya, referensi
endoforis dapat dibagi menjadi dua, yaitu anaforis dan kataforis. Referensi
anaforis mengacu kepada suatu konstituen sebelumnya, sedangkan referensi
kataforis mengacu kepada konstituen di belakangnya. Kohesi referensi dapat
dilihat pada contoh berikut.
Setiap akhir pekan, ratusan mobil bernomor polisi Jakarta menyeberangi
Selat Sunda menuju Bandar Lampung (BL) (a).Kamar-kamar hotel di kota
itu pun setiap Sabtu-Minggu tidak tersisa lagi, bahkan harus dipesan dua
minggu sebelumnya (b). BL kotanya enak, di atas bukit dengan panorama
laut (c). Kota ini pun tidak terlalu ramai (d).
(Nesi dkk., 2012:36)
Teks di atas terdiri atas empat kalimat, yaitu kalimat (a), (b), (c), dan (d).
Pada kalimat (b), itu menunjuk BL pada kalimat (a). BL pada kalimat (c)
menunjuk BL pada kalimat (a) atau itu pada kalimat (b). Pada kalimat (d), ini
menunjuk satuan lingual sebelumnya, yakni BL pada kalimat (a) dan (c) atau itu
pada kalimat (b). Referensi seperti itu disebut referensi demonstratif tempat. BL,
ini, dan itu merupakan satuan endofora. Ini adalah referensi kataforis, yakni
acuan untuk konstituen sebelumnya, sedangkan itu adalah referensi anaforis,
yakni acuan untuk konstituen sesudahnya, (Purwo, 1987:10).
23
b. Referensi Eksofora
Seperti yang sudah dipaparkan sebelumnya bahwa ada unsur wacana
yang tidak dipahami apabila tidak dibantu oleh informasi (sesuatu yang lain). Jadi,
unsur teks itu tidak dipahami berdasarkan dirinya sendiri, tetapi harus
mengacu pada sesuatu yang lain. Apabila unsur yang diacu tersebut ada di
luar wacana, maka acuan tersebut disebut referensi eksofora. Jenis acuan ini
biasanya terdapat dalam wacana pidato, surat-menyurat, dan karya sastra.
Contoh:
Pembaca yang setia…di zaman sekarang ini kita harus pandai-
pandai membaca situasi dan kondisi kalau tidak kita mungkin tidak akan
bisa bertahan.
Tabel 2.1 Pronomina Bahasa Indonesia
Makna
Persona Tunggal Jamak
Netral Eksklusif Inklusif
Pertama saya, aku, ku-, -ku - kami kita
Kedua engkau, kamu,
Anda, dikau, kau-,
-mu
kalian, kamu
sekalian,
Anda sekalian
- -
Ketiga ia, dia, beliau, -nya mereka - -
(Alwi dkk., 2010:256)
2) Referensi Demonstratif
Penunjuk atau demonstratif memberikan posisi pada partisipan. Posisi
partisipan yang ditunjukkan dapat (1) dekat kepada pemakai bahasa, yang
direalisasikan dengan kata ini, (2) jauh dari pemakai bahasa yang direalisasikan
dengan kata itu, dan (3) tidak dekat dan tidak jauh dari pemakai bahasa yang
24
direalisasikan itu, tersebut, berikut, di atas, dan di bawah. Penunjuk jenis yang
ketiga ini tidak memerinci posisi dekat atau jauh, tetapi memberikan pengertian
kepada mitrabicara. Sejalan dengan penunjuk, lokasi sebagai unsur sirkumstan
dapat ditunjukkan sebagai dekat dari pemakai bahasa yang dikodekan dengan kata
di sini, jauh dari pemakai bahasa yang dikodekan dengan kata di situ, atau di suatu
tempat yang dikodekan dengan di suatu + lokasi. Misalnya:
Kalung ini milik Ashila. Gelang itu milik Khaira (ini dan itu penunjuk
dekat dan jauh)
Kesehatan itu amat mahal harganya (itu penunjuk tidak jauh tidak dekat
atau kata sandang)
Ali dilahirkan di sini, tetapi dibesarkan di situ (di sini dan di situ
penunjuk lokasi)
3) Referensi Komparatif
Sebagai alat kohesi, perbandingan berfungsi menampilkan dua partisipan
atau lebih dan menghubungkan keduanya untuk membentuk pertautan. Pertautan
dengan perbandingan dapat terjadi dengan tiga kemungkinan. Pertama,
perbandingan positif dengan dua partisipan sama, setingkat, atau setaraf.
Perbandingan positif dapat direalisasikan oleh se + adjektiva/adverbia, seperti
setinggi, selebar, sejalan, dan sebagainya. Kedua, perbandingan komparatif
dengan satu partisipan lebih (dalam kualitas atau sifat) daripada yang lain.
Perbandingan komparatif direalisasikan oleh lebih + adjektiva/adverbia +
daripada, seperti lebih tinggi daripada, lebih cepat daripada, dan sebagainya.
Ketiga perbandingan superlatif dengan satu partisipan berada pada posisi paling
(dalam tingkat, taraf, atau kualitas) di antara tiga partisipan. Perbandingan
25
superlatif dapat direalisasikan oleh paling + adjektiva/adverbia, seperti paling
pintar, paling cepat, paling baik, dan sebagainya.
B. Elipsis
Elipsis adalah sesuatu yang tidak terucapkan dalam wacana, artinya tidak
hadir dalam komunikasi, tetapi dapat dipahami (Zaimar dan Harahap, 2009:127 ).
Elipsis juga merupakan salah satu kohesi gramatikal yang berupa pelesapan unsur
tertentu yang telah disebutkan.
Contoh:
Berdasarkan peraturan, sekolah-sekolah swasta yang menumpang di
sekolah negeri diberi batas waktu sampai dengan tahun 1990. Setelah itu,
øharus menempati gedung sendiri.
(Nesi dkk., 2012:37)
Pada contoh di atas tampak bahwa unsur yang dihilangkan ialah sekolah-
sekolah swasta.
C. Substitusi
Subtitusi merupakan salah satu peranti kohesi gramatikal yang berupa
penggantian satuan lingual tertentu (satuan lingual yang telah disebut) dengan
satuan lingual yang lain. Subtitusi sebagai salah satu peranti kohesi gramatikal
dapat berfungsi untuk menghindari kemonotonan sebuah wacana.
Contoh:
Setelah empat lima kali mendatangi suatu desa, barulah dr. Rien merasa
diterima oleh rakyat setempat (a). Ia pun merasa berani sedikit-sedikit
berbicara tentang kesehatan, kebersihan, dan keluarga berencana (b).
(Nesi dkk., 2012:37)
Pada contoh (2) terdapat dua kalimat, yaitu kalimat (a) dan (b). Satuan dr.
Rien pada kalimat (a) disubstitusi dengan satuan ia pada kalimat (b).
26
D. Konjungsi (Penghubung)
Untuk membentuk sebuah wacana yang baik diperlukan konjungsi
atau penghubung. Konjungsi berfungsi untuk merangkai atau mengikat
beberapa proposisi dalam wacana agar perpindahan ide dalam wacana lebih
terasa lembut. Sesuai dengan fungsinya, konjungsi dalam bahasa Indonesia
dapat digunakan unuk merangkaikan ide, baik dalam satu kalimat
(intrakalimat) maupun antarkalimat (Rani dkk., 2006: 107). Penggunaan
konjungsi dalam sebuah wacana memerlukan pertimbangan logika berpikir
untuk membentuk sebuah wacana yang apik (Zaimar dan Harahap, 2009:128).
Peranti kohesi konjungsi dalam bahasa Indonesia dapat dibedakan menjadi
beberapa macam. Berikut disajikan klasifikasi konjungsi bedasarkan
hubungan proposisi yang diwujudkan dalam dua kalimat. Pengklasifikasian
peranti kohesi tersebut didasarkan pada jenis hubungan yang diciptakan.
Tabel 2.2 Konjungsi Bahasa Indonesia
No Makna Submakna Realitas Konjungsi
1 Konjungsi
koordinatif
menghubungkan
menjumlahkan
dan, dengan, serta
menghubungkan memilih atau
menghubungkan
mempertentangkan
tetapi, namun, sedangkan,
sebaliknya
menghubungkan membetulkan melainkan, hanya
menghubungkan menegaskan bahkan, malah (malahan),
lagipula, apalagi, jangankan
menghubungkan membatasi kecuali, hanya
menghubungkan mengurutkan kemudian, lalu, selanjutnya,
setelah itu
menghubungkan menyamakan yaitu, yakni, ialah, adalah,
bahwa
2 Konjungsi
subordinatif
menghubungkan menyatakan
sebab akibat
sebab, karena
menghubungkan menyatakan
persyaratan
kalau, jikalau, jika, bila,
bilamana, apabila, asal
menghubungkan menyatakan agar, supaya
27
tujuan
menghubungkan menyatakan
waktu
ketika, sewaktu, sebelum,
sesudah, tatkala, sejak,
sambil, selama
menghubungkan menyatakan
akibat
sampai, hingga, sehingga
menghubungkan menyatakan
batas kejadian
sampai, hingga
menghubungkan menyatakan
tujuan atau sasaran
untuk, guna
menghubungkan menyatakan
penegasan
meskipun, biarpun,
kendatipun, sekalipun
menghubungkan menyatakan
pengandaian
seandainya, andaikata
menghubungkan menyatakan
perbandingan
seperti, sebagai, laksana
3 Konjungsi
antar kalimat
menghubungkan dan
mengumpulkan
jadi, karena itu, oleh sebab
itu, kalau begitu, dengan
demikian menghubungkan menyatakan
penegasan lagipula, apalagi
menghubungkan
mempertentangkan atau
mengkontranskan
namun, sebaliknya
(Chaer, 2008:98)
Contoh:
Membaiknya hubungan Timur-Barat disambut baik oleh dunia (a).
Sebaliknya, perkembangan itu makin memperjelas ketimpangan
hubungan Utara - Selatan, yang berdampak negatif terhadap
pembangunan di negara-negara berkembang (b).
(Nesi dkk., 2012:37)
Contoh di atas terdiri atas dua kalimat, yaitu kalimat (a) dan (b). Pada
kalimat (b) terdapat kata sebaliknya yang menandai hubungan antara kedua
kalimat itu. Penanda hubungan konjungsi ada yang berupa kata, misalnya
sebaliknya, namun, akhirnya, padahal, kemudian, tetapi dan ada pula yang berupa
kelompok kata yang diakhiri dengan kata itu, begitu, atau demikian.
28
2. Kohesi Leksikal
Selain kohesi gramatikal, keterpautan atau keterjalinan makna di
dalam sebuah wacana dapat dilihat dari segi kosakatanya atau kohesi
leksikalnya (Zaimar dan Harahap, 2009:140). Aspek yang terdiri atas jalinan
kata-kata ini menjadikan sebuah teks padu, tanpa mengabaikan konteksnya.
Konsep semantik berperan sangat penting dalam kohesi leksikal ini. Berkat
adanya keterkaitan makna ini, ketidakjelasan satu bagian teks dapat ditopang oleh
bagian teks yang lain.
Kohesi leksikal dalam wacana dapat dibedakan menjadi enam
macam. Keenam macam kohesi leksikal tersebut adalah (1) repetisi/ pengulangan,
(2) sinonim (padan kata), (3) kolokasi (sanding kata), (4) hiponim (hubungan
atas bawah), (5) antonim (lawan kata), dan (6) ekuivalensi (kesepadanan).
a. Repetisi/ Pengulangan
Halliday mengatakan bahwa pengulangan adalah penyebutan kembali
suatu unsur leksikal yang sama seperti yang telah disebut sebelumnya (Badru,
dkk., 2003:44). Dalam konteks analisis wacana bahasa Indonesia, pengulangan
yang dimaksud bukanlah proses reduplikasi seperti kata rumah menjadi rumah-
rumah, melainkan pengulangan sebagai penanda hubungan, yaitu adanya unsur
pengulang yang mengulang unsur yang terdapat pada kalimat di depannya.
Ramlan (1993:31) membagi pengulangan menjadi empat, yaitu sebagai berikut.
1) Pengulangan sama tepat (pengulangan utuh), yaitu pengulangan yang terjadi
karena unsur pengulang sama dengan unsur yang diulang. Pada umumnya,
unsur pengulang diikuti unsur penunjuk itu, ini, dan tersebut.
29
Adalah suatu kejahatan menjual kepulauan ini kepada Jepang (a). Kepulauan
ini bukan sesuatu yang tumbuh begitu saja dari karang yang tandus (b). Akan
tetapi, bagi kami kepulauan ini merupakan zambrut di ujung timur Soviet (c).
(Nesi dkk., 2012:39)
Contoh di atas terdiri atas tiga kalimat. Pada kalimat (a) terdapat frasa
kepulauan ini. Frasa ini diulang pada kalimat (b) dan diulang sekali lagi pada
kalimat (c). Pada frasa-frasa itu kata ini merupakan unsur penunjuk eksoforik
(Ramlan, 1993:31).
2) Pengulangan dengan perubahan bentuk, yaitu pengulangan yang disebabkan
oleh keterikatan tata bahasa, misalnya unsur diulang berupa kata kerja dan
unsur pengulang berupa kata kerja. Pengulangan dengan perubahan bentuk
dapat dilihat pada contoh berikut.
Sebagai tindak lanjut dari kesepakatan antara pemerintah daerah dengan
sejumlah perusahaan di 13 provinsi, pada hari Selasa telah diserahkan
403 kasus pencemaran lingkungan hidup (a). Penyerahan dilakukan oleh
Menteri KLH Prof. Dr. Emil Salim ketika memberikan sambutan pada
penandatanganan piagam kerja sama tentang peningkatan kemampuan
penegakan Hukum Lingkungan di Auditorium Depkeh, Jakarta (b).
(Nesi dkk., 2012:39)
Pada kalimat (a) terdapat kata diserahkan. Kata ini diulang pada
kalimat (b), tetapi karena keterikatan tata bahasa, yaitu menduduki fungsi
subjek kalimat yang cenderung diduduki oleh kata benda, kata diserahkan
yang termasuk golongan kata kerja mengalami perubahan bentuk menjadi kata
benda, yaitu penyerahan pada kalimat (b) (Ramlan, 1993:32--33).
3) Pengulangan sebagian, yaitu pengulangan sebagian dari unsur yang diulang.
Pengulangan sebagian dapat dilihat pada contoh berikut.
30
Adakah pengaruh kekerasan film bagi Anda? (a), Kalau di TV,
Sinchan paling keras! (b).
(Nesi dkk., 2012:40)
Contoh di atas terdiri atas dua kalimat. Kata kekerasan pada
kalimat (a) diulang secara parsial (sebagian) pada kalimat (b), yakni keras.
4) Pengulangan parafrasa, yaitu pengulangan yang unsur pengulangnya
berparafrasa dengan unsur terulang. Misalnya:
Kami mencintai mereka semua tanpa kecuali (a). Kami mencintai mereka
semua dengan sepenuh hati dan bertekad membesarkan mereka (b). Jika
Tuhan mengizinkan, kami ingin mengantar mereka kelak ke ambang
dewasa (c). Melihat mereka menjadi orang (d). Melihat mereka
berkeluarga dan menghadiahkan kakek dan nenek mereka cucu-cucu yang
mungil (e).
Contoh di atas terdiri atas lima kalimat. Dapat dilihat jelas bahwa
sebagian dari kalimat (b) berparafrasa dengan kalimat (a) dan sebagian dari
kalimat (e) berparafrasa dengan kalimat (d) (Ramlan, 1993:36).
b. Sinonim (Padan Kata)
Yang dimaksud dengan sinonimi ialah penggunaan bentuk bahasa yang
maknanya sama atau mirip dengan bentuk lain. Hal ini sesuai dengan pendapat
Badru (1994:6) yang mendefinisikan sinonimi sebagai ungkapan (bisa berupa
kata, frasa, atau kalimat) yang maknanya kurang lebih sama dengan makna
ungkapan lain. Berikut ini dikemukakan contohnya.
Jumlah orang Jawa perantauan ini selalu cenderung naik (a). Sensus yang
dilakukan Inggris di tahun-tahun mereka berkuasa menunjukkan
peningkatan itu (b).
Pada contoh di atas terlihat bahwa kata naik pada kalimat (a) memiliki
makna yang sama dengan kata peningkatan pada kalimat (b) (Baryadi, 2002:28).
31
c. Antonimi (Lawan Kata)
Antonimi merupakan kohesi leksikal yang terdapat pada dua unsur
lingual atau lebih yang memiliki makna oposisi. Kridalaksana (1993:15)
mengatakan bahwa antonimi ialah oposisi makna dalam pasangan leksikal yang
dijenjangkan. Dalam peranti kohesi leksikal, antonimi merupakan hubungan
antara suatu konstituen dan konstituen lain yang bersifat kontras. Keantoniman
dalam sebuah wacana bisa berupa kata di dalam kalimat atau bisa juga berupa
kalimat di dalam paragraf. Kohesi antonimi dapat dilihat pada contoh berikut.
Laki-laki lebih rasional, lebih aktif, lebih agresif. Wanita sebaliknya:
Laki-laki lebih rasional, lebih aktif, lebih agresif. Wanita sebaliknya:
lebih emosional, lebih pasif, lebih submisif
(Baryadi, 2002:28)
Pada contoh di atas terdapat tiga pasangan kata yang memiliki makna yang
saling bertentangan, yaitu rasional emosional, aktif pasif, dan agresif submisif
(Baryadi, 2002:28).
d. Hiponimi (Hubungan Atas -Bawah)
Hiponimi merupakan peranti kohesi leksikal yang makna kata-katanya
merupakan bagian dari makna kata lain. Kata yang mencakup beberapa kata yang
berhiponim disebut hipernim (subordinat). Menurut Halliday dan Hasan, dalam
relasi makna, kata umum mengacu ke hipernim, sedangkan kata khusus mengacu
ke hiponim (Badru., dkk., 2003:48). Contoh kohesi hiponimi adalah sebagai
berikut.
Dalam soal ini, Lampung menyediakan berbagai macam oleh-oleh yang
bisa Anda bawa. Jika penggemar hiasan tradisional, karya-karya hiasan
dinding dan kain tapi sangat patut dijadikan oleh-oleh. Jikalau dana Anda
sedang pas-pasan, keripik pisang lampung atau kerupuk kemplang tentu
pantas pula untuk Anda hadiahkan kepada rekan-rekan Anda.
32
(Nesi dkk., 2012:42)
Pada contoh di atas hubungan hiponimi terdapat pada macam oleh-oleh
sebagai hipernim, sedangkan hiasan dinding, kain tapis, keripik pisang lampung,
dan kerupuk kemplang sebagai hiponim.
e. Ekuivalensi
Ekuivalensi ialah jenis kohesi leksikal yang berupa sejumlah kata sebagai
hasil proses afiksasi dengan morfem asal yang sama. Contoh kohesi ekuivalensi
adalah sebagai berikut.
Salah satu daya tarik lain berwisata ke Lampung pastilah oleh-
oleh yang bisa kita bawa dari Lampung. Berwisata ke suatu
tempat, memang terasa kurang lengkap kalau tidak membawa
oleh-oleh untuk dibawa pulang
(Nesi dkk., 2012:42)
Pada contoh di atas, ekuivalensi sebagai kohesi leksikal tampak pada
paradigma bawa, membawa, dibawa.
2.3.3 Pembelajaran Berbasis Masalah
Problem based learning atau pembelajaran berbasis masalah merupakan
metode pembelajaran yang sangat populer saat ini. Pembelajaran berbasis masalah
memerlukan pembelajar yang aktif dalam mengaplikasikan pengetahuannya
terutama dalam memecahkan permasalahan yang terjadi secara nyata.
Pembelajaran berbasis masalah bertentangan dengan pandangan metode
pembelajaran tradisional. Metode pembelajaran berbasis masalah
mengorganisasikan dan memberikan informasi kepada warga belajar, Problem
based learning di tuntun oleh seorang tutor yang berperan sebagai fasilitator,
33
mendorong warga belajar untuk belajar secara aktif dan pembelajaran yang lebih
bermakna.
Barret (2005) mendefinisikan PBM sebagai “The learning that results
from the process of working towards the understanding of a resolution of a
problem. The problem is encounteredfirst in the learning process.” Di satu sisi,
Setyosari (2006: 1) menyatakan bahwa pembelajaran berbasis masalah adalah
suatu metode atau cara pembelajaran yang ditandai oleh adanya masalah nyata, a
real-world problems sebagai konteks bagi siswa untuk belajar kritis dan
keterampilan memecahkan masalah dan memperoleh pengetahuan. Di pihak lain,
Nurhadi dkk. (2004:56) mendefinisikan pembelajaran berbasis masalah (problem-
based learning) adalah suatu pendekatan pengajaran yang menggunakan masalah
dunia nyata sebagai suatu konteks bagi siswa untuk belajar tentang cara berpikir
kritis dan keterampilan pemecahan masalah. Di samping itu, untuk memperoleh
pengetahuan dan konsep yang esensial dari materi pelajaran.
Berdasarkan definisi di atas dapat disimpulkan bahwa PBM adalah suatu
pendekatan pembelajaran yang mengguanakan masalah dunia nyata sebagai suatu
konteks bagi peserta didik untuk belajar tentang cara berpikir kritis dan
keterampilan pemecahan masalah. Selain itu, juga untuk memperoleh
pengetahuan dan konsep yang esensial dari materi kuliah atau materi pelajaran.
Pembelajaran berbasis masalah mempunyai tujuan untuk mengembangkan
dan menerapkan kecakapan yang penting, yaitu pemecahan masalah berdasarkan
keterampilan belajar sendiri atau kerja sama kelompok dan memperoleh
pengetahuan yang luas. Guru mempunyai peran untuk memberikan inspirasi agar
potensi dan kemampuan siswa dimaksimalkan.
34
Masalah yang diterapkan dalam pembelajaran berbasis masalah adalah
masalah tidak terstruktur (ill-structured), terbuka (open ended), atau ambigu
(ambiguous). Masalah realistik tidak terstruktur (ill-structured problem) berbeda
dari masalah terstruktur dengan baik (well-structured problems) yang kebanyakan
ditemukan dalam buku-buku teks dalam beberapa hal (Savoi dan Hughes, 1994).
Pada pembelajaran ini pembelajar bertindak sebagai stakeholders, yang
memungkinkan menjadi bagian dari masalah. Pembelajar dapat memeriksa isu-isu
dari perspektif yang berbeda. Tidak seperti pembelajaran konvensional,
pembelajaran berbasis masalah dirancang oleh pembelajar. Pembelajaran
melibatkan pembelajar bekerja dengan masalah dalam kelompok kecil yang
dibimbing oleh tutor. Fungsi tutor dalam pembelajaran berbasis masalah adalah
untuk melatih kelompok dengan mendorong terjadinya interaksi pembelajar
secara produktif dan membantu pembelajar mengidentifikasi pengetahuan yang
diperlukan untuk memecahkan masalah, memfasilitasi proses pembelajaran
dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan dan memonitoring proses pemecahan
masalah. Proses pembelajaran berbasis masalah akan berakhir jika pembelajar
telah melaporkan apa yang dipelajari. Tujuan pertama siswa adalah
menghubungkan pengetahuan yang diperoleh dengan masalah secara langsung.
Fokus kedua bergerak ke level pemahaman yang lebih umum, membuat
pemindahan pada masalah baru yang mungkin. Setelah menyelesaikan siklus
pemecahan masalah, pembelajar mulai menganalisis masalah baru, sekali lagi
mengikuti prosedur analisis-penelitian pelaporan. Setelah pembelajar diberikan
masalah, guru menjadi “guide on the side” daripada “sage on the stage”. Guru
memfasilitasi proses pembelajaran dengan memberikan bimbingan dan arahan
35
kepada pembelajar, jika diperlukan. Guru hanya memberikan bantuan, tidak
mencampuri cara belajar pembelajar. Dengan demikian, guru harus percaya pada
proses belajar yang dilakukan oleh pembelajar. Guru membantu pembelajar
berperan sebagai problem-solver. Melalui proses ini pembelajar akan menjadi
pembelajar yang mandiri dan mampu memecahkan masalah-masalah kompleks
yang dihadapi.
Landasan teori PBM adalah kolaborativisme, suatu pandangan yang
berpendapat bahwa pembelajar akan menyusun pengetahuan dengan cara
membangun penalaran dari semua pengetahuan yang sudah dimilikinya dan dari
semua yang diperoleh sebagai hasil kegiatan berinteraksi dengan sesama individu.
Hal tersebut juga menyiratkan bahwa proses pembelajaran berpindah dari transfer
informasi fasilitator pembelajar ke proses konstruksi pengetahuan yang sifatnya
sosial dan individual. Menurut paham kosntruktivisme, manusia hanya dapat
memahami melalui segala sesuatu yang dikonstruksinya sendiri (Putrayasa,
2012:83). Pelaksanaan PBM memiliki ciri tersendiri berkaitan dengan langkah
pembelajarannya. Barret (2005) menjelaskan langkah-langkah pelaksanaan PBM
sebagai berikut.
1. Penyampaian ide
2. Penyajian fakta
3. Mempelajari masalah
4. Menyusun rencana tindakan
5. Analisis dan evaluasi
36
2.4 Model Penelitian
Usaha untuk meningkatkan pemahaman peranti kohesi bahasa Indonesia
dilakukan melalui penerapan model pembelajaran berbasis masalah. Model
pembelajaran berbasis masalah sebagai salah satu tindakan mengubah pola
pembelajaran yang cenderung menggunakan metode konvensional.
Berdasarkan rumusan permasalahan yang ada, yaitu (1) bagaimanakah
kemampuan peserta didik dalam memahami peranti kohesi bahasa Indonesia
sebelum penerapan model pembelajaran berbasis masalah, (2) bagaimanakah
kemampuan peserta didik dalam memahami peranti kohesi bahasa Indonesia
setelah penerapan model pembelajaran berbasis masalah, dan (3) Kendala-
kendala apa sajakah yang dihadapi dalam pembelajaran pemahaman peranti
kohesi bahasa Indonesia melalui penerapan model pembelajaran berbasis
masalah? Oleh karena itu, dilakukan tindakan dengan dua siklus untuk
mendapatkan keadaan akhir sesuai dengan harapan, yaitu peningkatan
kemampuan pemahaman peranti kohesi bahasa Indonesia melalui penerapan
model pembelajaran berbasis masalah.
Penelitian ini merupakan penelitian tindakan kelas (classroom action
research) dengan menggunakan metode kombinasi (mixed methods), yakni
metode penelitian kuantitatif dan metode kualitatif dengan model penelitian
concurrent triangulation. Metode kombinasi (mixed methods) adalah suatu
metode penelitian yang mengombinasikan atau menggabungkan antara
metode kuantitatif dan metode kualitatif untuk digunakan secara bersama-
sama dalam suatu kegiatan penelitian sehingga diperoleh data yang lebih
komprehensif, valid, reliabel, dan objektif. Di pihak lain, model yang
37
digunakan adalah model concurrent triangulation, yaitu metode penelitian
yang menggabungkan antara metode penelitian kualitatif dan kuantitatif dengan
cara mencampur kedua metode tersebut secara seimbang (50% metode
kuantitatif dan 50% metode kualitatif). Metode tersebut digunakan secara
bersama-sama, dalam waktu yang sama, tetapi independen untuk menjawab
rumusan masalah yang sejenis (Sugiyono, 2012:499).
Gambar 2.1 Model Penelitian
Pembelajaran Pemahaman
Peranti Kohesi Bahasa Indonesia Siswa
Kemampuan Peserta Didik dalam
Memahami Peranti Kohesi Bahasa
Indonesia setelah Penerapan Model
Pembelajaran Berbasis Masalah
Kendala-kendala
yang Dihadapi dalam
Penerapan Tindakan
Penerapan Model
Pembelajaran
Berbasis Masalah
Teori
Konstruktivisme
PTK Pemahaman
Peranti Kohesi
Model Penelitian Kualitatif dan Kuantitatif (Mixed
Methods) dengan Model Penelitian Concurrent
Triangulation
Analisis Data
Kemampuan Peserta Didik dalam
Memahami Peranti Kohesi Bahasa Indonesia
sebelum Penerapan Model Pembelajaran
Berbasis Masalah
Hasil Penelitian Pemahaman Peranti Kohesi
Bahasa Indonesia melalui Penerapan Model
Pembelajaran Berbasis Masalah