Post on 31-Dec-2015
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Pneumonia adalah infeksi akut yang mengenai jaringan paru-paru
(alveoli). Terjadinya pneumonia pada anak seringkali bersamaan dengan
terjadinya proses infeksi akut pada bronkus yang disebut
bronchopneumonia. Gejala penyakit pneumonia ini berupa nafas cepat dan
nafas sesak, karena paru meradang secara mendadak. Batas nafas cepat
adalah frekuensi pernafasan sebanyak 50 kali per menit atau lebih pada
anak usia 2 bulan sampai kurang dari 1 tahun, dan 40 kali per menit atau
lebih pada anak usia 1 tahun sampai kurang dari 5 tahun.
Sebagian besar penyebab Pneumonia adalah mikroorganisme
(virus, bakteri). Dan sebagian kecil oleh penyebab lain seperti hidrokarbon
(minyak tanah, bensin, atau sejenisnya) dan masuknya makanan,
minuman, susu, isi lambung ke dalam saluran pernapasan (aspirasi).
Sedangkan dari sudut pandang sosial penyebab pneumonia menurut
Depkes RI (2004) antara lain : Status gizi bayi, riwayat persalinan, kondisi
sosial ekonomi orang tua, lingkungan tumbuh bayi, konsumsi ASI.
Program Pengembangan Imunisasi (PPI) yang meliputi imunisasi
DPT dan campak yang telah dilaksanakan pemerintah selama ini dapat
menurunkan proporsi kematian balita akibat pneumonia. Campak, pertusis
dan juga difteri bisa juga menyebabkan pneumonia atau merupakan
penyakit penyerta pada pneumonia balita. Di samping itu, sekarang telah
tersedia vaksin Hib dan vaksin pneumokokus konjugat untuk pencegahan
terhadap infeksi bakteri penyebab pneumonia dan penyakit berat lain
seperti meningitis. Namun vaksin ini belum masuk dalam Program
Pengembangan Imunisasi (PPI) Pemerintah.
Yang tidak kalah penting sebenarnya adalah upaya pencegahan
non-imunisasi yang meliputi pemberian ASI eksklusif, pemberian nutrisi
yang baik, penghindaran pajanan asap rokok, asap dapur, status imunisasi
dan lain-lain; perbaikan lingkungan hidup dan sikap hidup sehat; yang
semuanya itu dapat menghindarkan terhadap risiko terinfeksi penyakit
menular termasuk penghindaran terhadap pneumonia.
Meskipun sudah dilakukan berbagai upaya untuk penanggulangan
penumonia, tetapi kasus pneumonia masih tetap tinggi. Menurut WHO,
angka kematian bayi di atas 40 per 1000 kelahiran. Menurut SKRT 2001
urutan penyakit menular penyebab kematian pada bayi adalah pneumonia,
diare, tetanus, ISPA sementara proporsi penyakit menular penyebab
kematian pada balita yaitu pneumonia (22,5%), diare (19,2%) infeksi
saluran pernafasan akut (7,5%), malaria (7%), serta campak (5,2%).
Angka kejadian pneumonia di Indonesia pada tahun 2006 sebanyak
146.437 kasus dengan AI 6,7. Di Propinsi Jawa Tengah, sebesar 80% -
90% dari seluruh kasus kematian ISPA disebabkan pneumonia. Angka
kejadian pneumonia balita di Jawa Tengah pada tahun 2004 sebanyak 424
dengan AI 0,13, tahun 2005 sebanyak 1.093 dengan AI 0,33, dan tahun
2006 sebanyak 3.624 dengan AI 11,0.
Riset kesehatan dasar(riskesdas) profinsi jawa tengah menyebutkan
pneumonia merupakan penyakit menular yang sering menyebabkan
kematian, terutama pada BALITA. Di kota semarang terdapat 0.2% yang
dinyatakan menderita pneumonia oleh petugas kesehatan dengan 2.1%
yang memiliki gejala dan tanda yang mengarah pada pneumonia,
sedangkan di kota demak memiliki angka kejadian sebanyak 0.4% yang
dinyatakan menderita pneumonia oleh petugas kesehatan dengan 0.4%
yang memiliki gejala dan tanda yang mengarah pada pneumonia. Masalah
penyakit pneumonia paling banyak terjadi pada wilayah kerja
Puskesmas ..........
Kejadian pneumonia didasarkan adanya interaksi antara komponen
host, agent, dan environment, berubahnya salah satu komponen
mengakibatkan keseimbangan terganggu sehingga terjadi pneumonia.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang identifikasi masalah di atas, maka
rumusan masalah pada karya tulis ilmiah ini yaitu apakah ada hubungan
antara lingkungan tempat tinggal dengan angka kesakitan pneumonia pada
Balita di wiayah kerja Puskesmas ...... tahun 2012
C. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum
Mengetahui tingkat kesadaran masyarakat di Puskesmas Sayung
Tahun 2012 akan pengaruh lingkungan tempat tinggal dengan angka
kesakitan pnrumonia paa BALITA.
2. Tujuan Khusus
2.1 Menganalisis antara keadaan lantai tempat tinggal dengan kejadian
pneumonia pada BALITA di Puskesmas Sayung Tahun 2012.
2.2 Menganalisis antara kondisi atap rumah dengan angka kesakitan
pneumonia pada balita di puskesmas sayung tahun 2012.
2.3 Menganalisis antara luas ventilasi kamar dengan angka kesakitan
pneumonia pada balita di puskesmas sayung tahun 2012.
2.4 Menganalisis antara kepadatan hunian dengan angka kesakitan
pneumonia di puskesmas sayung tahun 2012.
2.5 Menganalisis antara tingkat kelembab suhu hunian dengan angka
kesakitan pneumonia pada balita di puskesmas sayung tahun 2012.
2.6 Menganalisis antara kondisi dinding tempat tinggal dengan angka
kesakitan pneumonia pada balita di puskesmas sayung tahun 2012.
3. Manfaat Penelitian
3.1 Bagi penulis: penelitian ini dapat menambah dan memperluas
pengetahuan tentang hubungan lingkungan tempat tinggal fisik
terhadap angka kesakitan pneumonia di Puskesmas Sayung Tahun
2012.
3.2 Bagi pembaca : sebagai informasi pada masyarakat akan
pentingnya menjaga kebersiha lingkungan tempat tinggal untuk
mencegah pneumonia.
3.3 Bagi dinas kesehatan kabupaten demak : sebagai acuan untuk
menurunkan angka kesakitan pneumonia pada BALITA di
Puskesmas Sayung Tahun 2012.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Pneumonia
1. Pengertian pneumonia
Pneumonia adalah infeksi yang menyebabkan paru-paru
meradang. Kantung-kantung kemampuan menyerap oksigen menajdi
berkurang. Kekurangan oksigen membuat sel-sel tubuh tidak bisa
bekerja.
2. Pengertian ISPA
Istilah infeksi saluran pernapasan akut (ISPA) merupakan
padanan istilah Inggris Acute Respiratory Infections disingkat ARI
yang mengandung tiga unsur yaitu infeksi, saluran pernapasan akut.
Yang dimaksudkan dengan infeksi adalah masuknya kuman atau
mikroorganisme ke dalam tubuh manusia dan berkembangbiak
sehingga menimbulkan gejala penyakit. Saluran pernapasan adalah
organ yang mulai dari hidung hingga alveoli beserta organ adneksanya
seperti sinus-sinus, rongga telinga tengah dan pleura. Dengan demikian
ISPA secara otomatis mencakup saluran pernapasan bagian atas dan
saluran pernafasan bagian bawah (termasuk jaringan paru-paru) dan
organ adneksa saluran pernafasan. Dimaksud dengan infeksi akut
adalah infeksi yang berlangsung sampai dengan 14 hari. Batas 14 hari
ini diambil untuk menunjukan proses akut meskipun untuk beberapa
penyakit yang dapat digolongkan dalam ISPA proses ini dapat
berlangsung lebih dari 14 hari.
3. Klasifiaksi penumonia
Dalam penentuan klasifikasi penyakit pneumonia dibedakan atas 2
kelompok, yaitu:
1. Kelompok umur 2 bulan - < 5 tahun, klasifikasi dibagi atas :
pneumonia berat, pneumonia dan bukan pneumonia.
2. Kelompok umur <2 bulan, klasifikasi dibagi atas : pneumonia berat
dan bukan pneumonia.
4. Manifestasi berdasarkan klasifikasi
1. Pneumonia berat: ditandai secara klinis oleh adanya tarikan
dinding dada kedalam (chest indrawing).
2. Pneumonia: ditandai secara klinis oleh adanya napas cepat.
3. Bukan pneumonia: ditandai secara klinis oleh batuk pilek, bisa
disertai demam, tanpa tarikan dinding dada kedalam, tanpa napas
cepat. Rinofaringitis, faringitis dan tonsilitis tergolong bukan
pneumonia
5. Diagnosis
Menurut publikasi WHO, penelitian di berbagai negara
menunjukkan bahwa Streptococcus pnemoniae dan Hemophylus
influenzae merupakan bakteri yang selalu ditemukan pada penelitian
tentang etiologi di negara berkembang. Jenis bakteri ini ditemukan
pada dua per tiga dari hasil isolasi yaitu 73,9% aspirat paru dan 69,1%
hasil isolasi spesimen darah. Sedangkan di negara maju dewasa ini
pnemonia pada anak umumnya disebabkan oleh virus.
Diagnosis pneunonia didapatkan dari anamnesis, gejala klinis,
pemeriksaan fisis, foto toraks dan laborataritim. Diagnosis pnemonia
terutama didasarkan pada gejala klinis berupa batuk, kesukaran
berafas. Gambaran rontgen toraks tidak menunjukkan kelainan yang
jelas pada penderita bronkitis sedang pada penderita pnemonia atau
broncopnemonia didapatkan gambaran infiltrat di paru. Diagnosis
pneumonia pada balita didasarkan pada adanya batuk dan atau
kesukaran bernafas disertai peningkatan frekuensi nafas (nafas cepat)
sesuai umur. Penentuan nafas cepat dilakukan dengan cara menghitung
frekuensi pernafasan dengan menggunkan sound timer.
Batas nafas cepat adalah:
1. Pada anak usia 2 bulan - < 1 tahun frekuensi pernafasan sebanyak
50 kali per menit atau lebih.
2. Pada anak usia 1 tahun - < 5 tahun frekuensi pernafasan sebanyak
40 kali per menit atau lebih.
3. Pada anak usia kurang 2 bulan frekuensi pernafasan sebanyak 60
kali permenit atau lebih.6
Diagnosis pneumonia berat didasarkan pada adanya batuk dan
atau kesukaran bernafas disertai nafas sesak atau penarikan dinding
dada sebelah bawah ke dalam pada anak usia 2 bulan - < 5 tahun.
Untuk kelompok umur kurang 2 bulan diagnosis pneumonia berat
ditandai dengan adanya nafas cepat, yaitu frekuensi pernafasan
sebanyak 60 kali per menit atau lebih, atau adanya penarikan yang
kuat pada dinding dada sebelah bawah ke dalam. Rujukan penderita
pneumonia berat dilakukan dengan gejala batuk atau kesukaran
bernafas yang disertai adanya gejala tidak sadar dan tidak dapat
minum. Pada klasifikasi bukan pneumonia maka diagnosisnya adalah :
batuk pilek biasa (common cold), pharyngitis, tonsilitis, otitis atau
penyakit lainnya.
6. Etiologi dan epidemiologi
Pneumonia dapat menyerang semua orang, semua umur, jenis
kelamin serta tingkat sosial ekonomi. Menurut Depkes RI (2002).
Kejadian kematian pneumonia pada anak balita berdasarkan SKRT
2001, urutan penyakit menular penyebab kematian pada bayi adalah
pneumonia, diare, tetanus, infeksi saluran pernafasan akut sementara
proporsi penyakit menular penyebab kematian pada balita yaitu
pneumonia (22,5%), diare (19,2%) infeksi saluran pernafasan akut
(7,5%), malaria (7%), serta campak (5,2%).
Terjadinya suatu peningkatan kasus penyakit tertentu dan atau
kejadian luar biasa sewaktu-waktu bisa terjadi secara sporadis. Hal ini
terjadi karena berbagai faktor determinan yang sifatnya saling
berinteraksi antara satu dengan lainnya.
Determinan pneumonia :
a. Faktor Host
1. Umur
Tingginya kejadian pneumonia terutama menyerang
kelompok usia bayi dan balita. Faktor usia merupakan
salah satu faktor risiko kematian pada balita yang sedang
menderita pneumonia. Semakin tua usia balita yang
sedang menderita pneumonia maka akan semakin kecil
risiko meninggal akibat pneumonia dibandingkan balita
yang berusia muda.
2. Jenis Kelamin
Menurut Pedoman Program Pemberantasan Penyakit
ISPA untuk Penanggulangan Pneumonia pada Balita
(2002), anak laki-laki memiliki risiko lebih besar untuk
terkena ISPA dibandingkan dengan anak perempuan.
3. Status Gizi
Kelompok umur yang rentan terhadap penyakit-penyakit
kekurangan gizi adalah kelompok bayi dan anak balita.
Penyebab langsung timbulnya gizi kurang pada anak
adalah makanan tidak seimbang dan penyakit infeksi.
Kedua penyebab tersebut saling berpengaruh. Timbulnya
Kekurangan Energi Protein (KEP) tidak hanya karena
kurang makan tetapi juga karena penyakit, terutama diare
dan ISPA. Anak yang tidak memperoleh makanan cukup
dan seimbang, daya tahan tubuhnya (imunitas) dapat
melemah. Dalam keadaan demikian, anak mudah
diserang penyakit infeksi. Salah satu faktor yang dapat
mempengaruhi timbulnya penyakit pneumonia pada anak
antara lain adanya kekurangan energi protein. Anak
dengan daya tahan tubuh yang terganggu akan menderita
pneumonia berulang-ulang atau tidak mampu mengatasi
penyakit pneumonia dengan sempurna. Status gizi pada
balita berdasarkan hasil pengukuran anthropometri
dengan melihat kriteria yaitu: Berat Badan per Umur
(BB/U), Tinggi Badan per Umur (TB/U), Berat Badan per
Tinggi Badan (BB/TB).
4. Status Imunisasi
Imunisasi merupakan salah satu cara menurunkan angka
kesakitan dan angka kematian pada bayi dan anak. Dari
seluruh kematian balita, sekitar 38% dapat dicegah
dengan pemberian imunisasi secara efektif. Imunisasi
yang tidak lengkap merupakan faktor risiko yang dapat
meningkatkan insidens ISPA terutama pneumonia.
Penyakit pneumonia lebih mudah menyerang anak yang
belum mendapat imunisasi campak dan DPT (Difteri,
Pertusis, Tetanus) oleh karena itu untuk menekan
tingginya angka kematian karena pneumonia, dapat
dilakukan dengan memberikan imunisasi seperti
imunisasi DPT dan campak. Imunisasi yang dianjurkan
sesuai dengan pemberian imunisasi nasional yaitu BCG
(pada usia 0-11 bulan), DPT I-III (pada usia 2-11 bulan),
Polio I-IV (pada usia 2-11 bulan), Hepatitis B I-III (pada
usia 0-9 bulan), dan Campak (pada usia 9-11 bulan).
b. Faktor Agent
Pneumonia umumnya disebabkan oleh bakteri seperti
Streptococcus pneumoniae, Hemophilus influenzae dan
Staphylococcus aureus. Penyebab pneumonia lainnya adalah virus
golongan Metamyxovirus, Adenovirus, Coronavirus, Picornavirus,
Othomyxovirus, dan Herpesvirus.
c. Faktor Lingkungan Sosial
1. Pekerjaan Orang Tua
Penghasilan keluarga adalah pendapatan keluarga dari
hasil pekerjaan utama maupun tambahan. Tingkat
penghasilan yang rendah menyebabkan orang tua sulit
menyediakan fasilitas perumahan yang baik, perawatan
kesehatan dan gizi anak yang memadai. Rendahnya
kualitas gizi anak menyebabkan daya tahan tubuh
berkurang dan mudah terkena penyakit infeksi termasuk
penyakit pneumonia.
2. Pendidikan Ibu
Tingkat pendidikan ibu yang rendah juga merupakan
faktor risiko yang dapat meningkatkan angka kematian
ISPA terutama Pneumonia. Tingkat pendidikan ibu akan
berpengaruh terhadap tindakan perawatan oleh ibu
kepada anak-yang menderita ISPA. Jika pengetahuan ibu
untuk mengatasi pneumonia tidak tepat ketika bayi atau
balita menderita pneumonia, akan mempunyai risiko
meninggal karena pneumonia sebesar 4,9 kali jika
dibandingkan dengan ibu yang mempunyai pengetahuan
yang tepat.
d. Faktor Lingkungan Fisik
1. Polusi udara dalam ruangan atau rumah
Rumah atau tempat tinggal yang buruk (kurang baik)
dapat mendukung terjadinya penularan penyakit dan
gangguan kesehatan, diantaranya adalah infeksi saluran
nafas. Rumah kecil yang penuh asap, baik yang berasal
dari kompor gas, pemakaian kayu sebagai bahan bakar
maupun dari asap kendaraan bermotor, dan tidak
memiliki sirkulasi udara yang memadai akan mendukung
penyebaran virus atau bakteri yang mengakibatkan
penyakit infeksi saluran pernafasan yang berat. Insiden
pneumonia pada anak kelompok umur kurang dari lima
tahun mempunyai hubungan bermakna dengan kedua
orang tuanya yang mempunyai kebiasaan merokok. Anak
dari perokok aktif yang merokok dalam rumah akan
menderita sakit infeksi pernafasan lebih sering
dibandingkan dengan anak dari keluarga bukan perokok.
2. Kepadatan Hunian
Di daerah perkotaan, kepadatan merupakan salah satu
masalah yang dialami penduduk kota. Hal ini disebabkan
oleh pesatnya pertumbuhan penduduk kota dan mahalnya
harga tanah di perkotaan. Salah satu kaitan kepadatan
hunian dan kesehatan adalah karena rumah yang sempit
dan banyak penghuninya, maka penghuni mudah
terserang penyakit dan orang yang sakit dapat menularkan
penyakit pada anggota keluarga lainnya. Perumahan yang
sempit dan padat akan menyebabkan anak sering
terinfeksi oleh kuman yang berasal dari tempat kotor dan
akhirnya terkena berbagai penyakit menular.
Diagnosis etiologi pneumonia pada balita sukar untuk
ditegakkan karena dahak biasanya sukar diperoleh. Sedangkan
prosedur pemeriksaan imunologi belum memberikan hasil yang
memuaskan untuk menentukan adanya bakteri sebagai penyebab
pneumonia. Hanya biakan dari spesimen pungsi atau aspirasi paru
serta pemeriksaan spesimen darah yang dapat diandalkan untuk
membantu menegakkan diagnosis etiologi pneumonia. Meskipun
pemeriksaan spesimen fungsi paru merupakan cara yang sensitif untuk
mendapatkan dan menentukan bakteri penyebab pneumonia pada
balita akan tetapi pungsi paru merupakan prosedur yang berbahaya
dan bertentangan dengan etika, terutama jika hanya dimaksudkan
untuk penelitian. Oleh karena alasan tersebut di atas maka penentuan
etiologi pneumonia di Indonesia masih didasarkan pada hasil
penelitian di luar Indonesia.
Menurut publikasi WHO, penelitian di berbagai negara
menunjukkan bahwa Streptococcus pneumoniae dan Hemophylus
influenzae merupakan bakteri yang selalu ditemukan pada penelitian
tentang etiologi di negara berkembang. Jenis jenis bakteri ini
ditemukan pada dua pertiga dari hasil isolasi, yaitu 73,9% aspirat paru
dan 69,1% hasil isolasi dari spesimen darah. Sedangkan di negara
maju, dewasa ini pneumonia pada anak umumnya disebabkan oleh
virus. Bakteri Streptococcus pneumoniae dan Hemophylus influenzae.
Streptococcus pneumoniae adalah diplokokus gram-positif. Bakteri
ini, yang sering berbentuk lanset atau tersusun dalam bentuk rantai,
mempunyai simpai polisakarida yang mempermudah penentuan tipe
dengan antiserum spesifik. Organisme ini adalah penghuni normal
pada saluran pernapasan bagian atas manusia dan dapat menyebabkan
pneumonia, sinusitis, otitis, bronkitis, bakteremia, meningitis, dan
proses infeksi lainnya. Pada orang dewasa, tipe 1-8 menyebabkan
kira-kira 75% kasus pneumonia pneumokokus dan lebih dari setengah
kasus bakteremia pneumokokus yang fatal; pada anak-anak, tipe 6, 14,
19, dan 23 merupakan penyebab yang paling sering. Pneumokokus
menyebabkan penyakit melalui kemampuannya berbiak dalam
jaringan. Bakteri ini tidak menghasilkan toksin yang bermakna.
Virulensi organisme disebabkan oleh fungsi simpainya yang
mencegah atau menghambat penghancuran sel yang bersimpai oleh
fagosit.
Pada suatu saat tertentu, 40-70% manusia adalah pembawa
pneumokokus virulen, selaput mukosa pernapasan normal harus
mempunyai imunitas alami yang kuat terhadap pneumokokus. Infeksi
pneumokokus menyebabkan melimpahnya cairan edema fibrinosa ke
dalam alveoli, diikuti oleh sel-sel darah merah dan leukosit, yang
mengakibatkan konsolidasi beberapa bagian paru-paru. Banyak
pneumokokus ditemukan di seluruh eksudat, dan bakteri ini mencapai
aliran darah melalui drainase getah bening paru-paru. Dinding alveoli
tetap normal selama infeksi. Selanjutnya, sel-sel mononukleus secara
aktif memfagositosis sisa-sisa, dan fase cair ini lambat-laun diabsorbsi
kembali. Pneumokokus diambil oleh sel fagosit dan dicerna di dalam
sel.
Pneumonia yang disertai bakteremia selalu menyebabkan angka
kematian yang paling tinggi. Pneumonia pneumokokus kira-kira
merupakan 60-80% dari semua kasus pneumonia oleh bakteri.
Penyakit ini adalah endemik dengan jumlah pembawa bakteri yang
tinggi. Imunisasi dengan polisakarida tipe-spesifik dapat memberikan
perlindungan 90% terhadap bakteremia pneumonia.
Hemophylus influenzae ditemukan pada selaput mukosa saluran
napas bagian atas pada manusia. Bakteri ini merupakan penyebab
meningitis yang penting pada anak-anak dan kadang-kadang
menyebabkan infeksi saluran napas pada anak-anak dan orang
dewasa. Hemophylus influenzae bersimpai dapat digolongkan dengan
tes pembengkakan simpai menggunakan antiserum spesifik.
Kebanyakan Hemophylus influenzae pada flora normal saluran napas
bagian atas tidak bersimpai. Pneumonitis akibat Hemophylus
influenzae dapat terjadi setelah infeksi saluran pernapasan bagian atas
pada anak-anak kecil dan pada orang tua atau orang yang lemah.
Orang dewasa dapat menderita bronkitis atau pneumonia akibat
influenzae. Hemophylus influenzae tidak menghasilkan eksotoksin.
Organisme yang tidak bersimpai adalah anggota tetap flora normal
saluran napas manusia. Simpai bersifat antifagositik bila tidak ada
antibodi antisimpai khusus. Bentuk Hemophylus influenzae yang
bersimpai, khususnya tipe b, menyebabkan infeksi pernapasan
supuratif(sinusitis, laringotrakeitis, epiglotitis, otitis) dan, pada anak-
anak kecil, meningitis. Darah dari kebanyakan orang yang berumur
lebih dari 3-5 tahun mempunyai daya bakterisidal kuat terhadap
Hemophylus influenzae, dan infeksi klinik lebih jarang terjadi.
Hemophylus influenzae tipe b masuk melalui saluran pernapasan.
Tipe lain jarang menimbulkan penyakit. Mungkin terjadi
perluasan lokal yang mengenai sinus-sinus atau telinga tengah.
Hemophylus influenzae tipe b dan pneumokokus merupakan dua
bakteri penyebab paling sering pada otitis media bakterial dan
sinusitis akut. Organisme ini dapat mencapai aliran darah dan dibawa
ke selaput otak atau, jarang, dapat menetap dalam sendi-sendi dan
menyebabkan artritis septik. Hemophylus influenzae sekarang
merupakan penyebab tersering meningitis bakteri pada anak-anak
berusia 5 bulan sampai 5 tahun di AS. Bayi di bawah umur 3 bulan
dapat mengandung antibodi dalam serum yang diperoleh dari ibunya.
Selama masa ini infeksi Hemophylus influenzae jarang terjadi, tetapi
kemudian antibodi ini akan hilang.
Anak-anak sering mendapatkan infeksi Hemophylus influenzae
yang biasanya asimtomatik tetapi dapat dalam bentuk penyakit
pernapasan atau meningitis (Hemophylus influenzae adalah penyebab
paling sering dari meningitis bakterial pada anak-anak dari umur 5
bulan sampai 5 tahun). Angka kematian meningitis Hemophylus
influenzae yang tidak diobati dapat mencapai 90%. Influenzae tipe b
dapat dicegah dengan pemberian vaksin konjugat Haemophilus b pada
anak-anak. Anak-anak berusia 2 bulan atau lebih dapat diimunisasi
dengan vaksin konjugat Hemophylus influenzae tipe 6 dengan satu
dari dua pembawa dengan dosis boster yang diperlukan sesuai anjuran
standard. Anak-anak berusia 15 bulan atau lebih dapat menerima
vaksin konjugat Hemophylus influenzae tipe b dengan toksoid difteri
(yang tidak bersifat imunogenik pada anak-anak yang lebih muda).
Vaksin tidak mencegah timbulnya pembawa untuk Hemophylus
influenzae. Penggunaan vaksin Hemophylus influenzae tipe b secara
luas telah sangat menurunkan kejadian meningitis Hemophylus
influenzae pada anak-anak. Kontak dengan pasien yang menderita
infeksi klinik Hemophylus influenzae memberi risiko kecil bagi orang
dewasa, tetapi memberi risiko nyata bagi saudara kandung yang
nonimun dan anak-anak nonimun lain yang berusia di bawah 4 tahun
yang berkontak erat.1
7. Faktor resiko
Faktor yang meningkatkan morbiditas dan mortalitas. Berbagai
publikasi melaporkan tentang faktor risiko yang meningkatkan
morbiditas dan mortalitas pneumonia. Jika dibuat daftar faktor
risiko tersebut adalah seperti berikut :
a. Faktor risiko yang meningkatkan insidens pneumonia
- Umur < 2 bulan
- Laki-laki
- Gizi kurang
- Berat badan lahir rendah
- Tidak mendapat ASI memadai
- Polusi udara
- Menempatkan kandang ternak dalam rumah
- Kepadatan tempat tinggal
- Imunisasi yang tidak memadai
- Membedung anak (menyelimuti berlebihan)
- Defisiensi vitamin A
b. Faktor yang meningkatkan angka kematian pneumonia
- Umur < 2 tahun
- Tingkat sosio ekonomi rendah
- Gizi kurang
- Berat badan lahir rendah
- Tingkat pendidikan ibu yang rendah
- Tingkat jangkauan pelayanan kesehatan yang rendah
- Kepadatan tempat tinggal
- Imunisasi yang tidak memadai
- Menderita penyakit kronis.
8. Pencegahan
a. Pencegahan secara umun :
Pencegahan penyakit pneumonia dapat dilakukan dengan cara:
- Pengadaan rumah dengan ventilasi yang memadai
- Perilaku hidup bersih dan sehat
- Peningkatan gizi balita.
b. pencegahan secara khusus :
1. Pencegahan prime :
Pencegahan primer bertujuan untuk menghilangkan faktor
risiko terhadap kejadian pneumonia. Upaya yang dapat
dilakukan antara lain :
- Memberikan imunisasi campak pada usia 9 bulan dan
imunisasi DPT (Diphteri, Pertusis, Tetanus) sebanyak 3 kali
yaitu pada usia 2, 3, dan 4 bulan.
- Menjaga daya tahan tubuh anak dengan cara memberikan
ASI pada bayi neonatal sampai berumur 2 tahun dan
makanan yang bergizi pada balita.Di samping itu, zat-zat
gizi yang dikonsumsi bayi dan anak-anak juga perlu
mendapat perhatian.
- Mengurangi polusi lingkungan seperti polusi udara dalam
ruangan dan polusi di luar ruangan.
- Mengurangi kepadatan hunian rumah.
2. Pencegahan sekuder :
Tingkat pencegahan kedua ini merupakan upaya manusia untuk
mencegah orang yang telah sakit agar sembuh, menghambat
progresifitas penyakit, menghindari komplikasi, dan
mengurangi ketidakmampuan. Pencegahan sekunder meliputi
diagnosis dini dan pengobatan yang tepat sehingga dapat
mencegah meluasnya penyakit dan terjadinya komplikasi.
Upaya yang dapat dilakukan antara lain :
- Pneumonia berat : dirawat di rumah sakit, diberikan
antibiotik parenteral dan penambahan oksigen.
- Pneumonia : diberikan antibiotik kotrimoksasol oral,
ampisilin atau amoksilin.
- Bukan Pneumonia : perawatan di rumah saja. Tidak
diberikan terapi antibiotik. Bila demam tinggi diberikan
parasetamol. Bersihkan hidung pada anak yang mengalami
pilek dengan menggunakan lintingan kapas yang diolesi air
garam. Jika anak mengalami nyeri tenggorokan, beri
penisilin dan dipantau selama 10 hari ke depan.
3. Pencegahan tersier :
Tujuan utama dari pencegahan tertier adalah mencegah agar
tidak munculnya penyakit lain atau kondisi lain yang akan
memperburuk kondisi balita, mengurangi kematian serta usaha
rehabilitasinya. Pada pencegahan tingkat ini dilakukan upaya
untuk mencegah proses penyakit lebih lanjut seperti perawatan
dan pengobatan.Upaya yang dilakukan dapat berupa :
- Melakukan perawatan yang ekstra pada balita di rumah, beri
antibiotik selama 5 hari, anjurkan ibu untuk tetap kontrol
bila keadaan anak memburuk.
- Bila anak bertambah parah, maka segera bawa ke sarana
kesehatan terdekat agar penyakit tidak bertambah berat dan
tidak menimbulkan kematian.
9. Penatalaksanaan
Pengobatan ditujukan kepada pemberantasan mikroorganisme
penyebabnya. Walaupun adakalanya tidak diperlukan antibiotika jika
penyebabnya adalah virus, namun untuk daerah yang belum memiliki
fasilitas biakan mikroorganisme akan menjadi masalah tersendiri
mengingat perjalanan penyakit berlangsung cepat, sedangkan di sisi
lain ada kesulitan membedakan penyebab antara virus dan bakteri.
Selain itu, masih dimungkinkan adanya keterlibatan infeksi sekunder
oleh bakteri.
Oleh karena itu, antibiotika diberikan jika penderita telah
ditetapkan sebagai Pneumonia. Ini sejalan dengan kebijakan Depkes
RI (sejak tahun 1995, melalui program Quality Assurance ) yang
memberlakukan pedoman penatalaksaan Pneumonia bagi Puskesmas
di seluruh Indonesia.
Masalah lain dalam hal perawatan penderita Pneumonia adalah
terbatasnya akses pelayanan karena faktor geografis. Lokasi yang
berjauhan dan belum meratanya akses tranportasi tentu menyulitkan
perawatan manakala penderita pneumonia memerlukan perawatan
lanjutan (rujukan) (Setiowulan, 2000).
Perawatan di rumah yang dapat dilakukan pada bayi atau anak
yang menderita pneumonia antara lain :
a. Mengatasi demam
Untuk anak usia 2 bulan samapi 5 tahun demam diatasi
dengan memberikan parasetamol atau dengan kompres, bayi
dibawah 2 bulan dengan demam harus segera dirujuk.
Parasetamol diberikan 4 kali tiap 6 jam untuk waktu 2 hari.
Cara pemberiannya, tablet dibagi sesuai dengan dosisnya,
kemudian digerus dan diminumkan. Memberikan kompres,
dengan menggunakan kain bersih, celupkan pada air (tidak
perlu air es).
b. Mengatasi batuk
Dianjurkan memberi obat batuk yang aman yaitu ramuan
tradisional yaitu jeruk nipis ½ sendok teh dicampur dengan
kecap atau madu ½ sendok teh , diberikan tiga kali sehari.
c. Pemberian makanan
Berikan makanan yang cukup gizi, sedikit-sedikit tetapi
berulang-ulang yaitu lebih sering dari biasanya, lebih-lebih
jika muntah. Pemberian ASI pada bayi yang menyusu tetap
diteruskan.
d. Pemberian minuman
Usahakan pemberian cairan (air putih, air buah dan
sebagainya) lebih banyak dari biasanya. Ini akan membantu
mengencerkan dahak, kekurangan cairan akan menambah
parah sakit yang diderita.
e. Lain-lain
Tidak dianjurkan mengenakan pakaian atau selimut yang
terlalu tebal dan rapat, lebih-lebih pada anak dengan demam.
Jika pilek, bersihkan hidung yang berguna untuk
mempercepat kesembuhan dan menghindari komplikasi
yang lebih parah. Usahakan lingkungan tempat tinggal yang
sehat yaitu yang berventilasi cukup dan tidak berasap.
Apabila selama perawatan dirumah keadaan anak memburuk
maka dianjurkan untuk membawa kedokter atau petugas
kesehatan. Untuk penderita yang mendapat obat antibiotik,
selain tindakan diatas usahakan agar obat yang diperoleh
tersebut diberikan dengan benar selama 5 hari penuh. Dan
untuk penderita yang mendapatkan antibiotik, usahakan agar
setelah 2 hari anak dibawa kembali kepetugas kesehatan
untuk pemeriksaan ulang.
B. Tempat tinggal Fisik(Rumah)
1. Pengertian rumah
Rumah adalah bangunan sebagai tempat tinggal atau hunian dan
sarana pembinaan keluarga. Rumah tidak sekedar sebagai tempat
untuk melepas lelah setelah bekerja seharian, namun didalamnya
terkandung arti yang penting sebagai tempat untuk membangun
kehidupan keluarga sehat dan sejahtera. Rumah yang sehat dan layak
huni tidak harus berwujud rumah mewah dan besar namun rumah
yang sederhana dapat juga menjadi rumah yang sehat dan layak dihuni
Rumah sehat adalah kondisi fisik, kimia, biologi didalam rumah dan
perumahan sehingga memungkinkan penghuni atau masyarakat
memperoleh derajat kesehatan yang optimal.
Aspek-aspek untuk menciptakan rumah sehat harus memperhatikan,
hal-hal sebagai berikut :
1. Sirkulasi udara yang baik.
2. Penerangan yang cukup.
3. Air bersih terpenuhi.
4. Pembuangan air limbah diatur dengan baik agar tidak
menimbulkan pencemaran.
5. Bagian-bagian ruang seperti lantai dan dinding tidak lembab serta
tidak terpengaruh pencemaran seperti bau, rembesan air kotor
maupun udara kotor.
2. Persyaratan rumah sehat
Persyaratan Kesehatan Rumah Tinggal menurut Keputusan
Menteri Kesehatan RI Nomor : 829/Menkes/SK/VII/1999 adalah
sebagai berikut:
1. Bahan Bangunan
a. Tidak terbuat dari bahan yang dapat melepaskan zat-zat yang
dapat membahayakan kesehatan, antara lain sebagai berikut :
- Debu Total tidak lebih dari 150 µg m3 .
- Asbes bebas tidak melebihi 0,5 fiber/m3/4jam.
- Timah hitam tidak melebihi 300 mg/kg.
b. Tidak terbuat dari bahan yang dapat menjadi tumbuh dan
berkembangnya mikroorganisme patogen.
2. Komponen dan penataan ruang rumah
Komponen rumah harus memenuhi persyaratan fisik dan biologis
sebagai berikut:
a. Lantai kedap air dan mudah dibersihkan.
b. Dinding
- Di ruang tidur, ruang keluarga dilengkapi dengan sarana
ventilasi untuk pengaturan sirkulasi udara dengan ukuran
minimal 10%-20% dari luas lantai.
- Di kamar mandi dan tempat cuci harus kedap air dan mudah
dibersihkan.
c. Langit-langit harus mudah dibersihkan dan tidak rawan
kecelakaan.
d. Bumbung rumah yang memiliki tinggi 10 meter atau lebih
harus dilengkapi dengan penangkal petir.
e. Ruang di dalam rumah harus ditata agar berfungsi sebagai
ruang tamu, ruang keluarga, ruang makan, ruang tidur, ruang
dapur, ruang mandi dan ruang bermain anak.
f. Ruang dapur harus dilengkapi dengan sarana pembuangan
asap.
3. Pencahayaan
Pencahayaan alam atau buatan langsung atau tidak langsung dapat
menerangi seluruh bagian ruangan minimal intensitasnya 60 lux
dan tidak menyilaukan.
4. Kualitas Udara
Kualitas udara di dalam rumah tidak melebihi ketentuan sebagai
berikut :
a. Suhu udara nyaman berkisar antara l8°C sampai 30°C.
b. Kelembaban udara berkisar antara 40% sampai 70% .
c. Konsentrasi gas SO2 tidak melebihi 0,10 ppm/24 jam.
d. Pertukaran udara.
e. Konsentrasi gas CO tidak melebihi 100 ppm/8jam.
f. Konsentrasi gas formaldehide tidak melebihi 120 mg/m3.
5. Ventilasi
Luas penghawaan atau ventilasi a1amiah yang permanen minimal
10% - 20 % dari luas lantai.
6. Binatang penular penyakit
Tidak ada tikus bersarang di rumah.
7. Air
a. Tersedia air bersih dengan kapasitas minmal 60 lt/hari/orang
b. Kualitas air harus memenuhi persyaratan kesehatan air bersih
dan air minum sesuai dengan peraturan perundang-undangan
yang berlaku.
8. Tersediannya sarana penyimpanan makanan yang aman dan
hygiene.
9. Limbah
a. Limbah cair berasal dari rumah, tidak mencemari sumber air,
tidak menimbulkan bau dan tidak mencemari permukaan tanah.
b. Limbah padat harus dikelola agar tidak menimbulkan bau,
tidak menyebabkan pencemaran terhadap permukaan tanah dan
air tanah.
10. Kepadatan hunian ruang tidur
Luas ruang tidur minimal 8m2 dan tidak dianjurkan digunakan
lebih dari dua orang tidur dalam satu ruang tidur, kecuali anak
dibawah umur 5 tahun.
Kepadatan hunian ditentukan dengan jumlah kamar tidur dibagi
jumlah penghuni (sleeping density), yaitu :
- Baik, bila kepadatan lebih atau sama dengan 0,7
- Cukup, bila kepadatan antara 0,5 - 0,7
- Kurang, bila kepadatan kurang dari 0,5.
Masalah perumahan telah diatur dalam Undang-Undang
pemerintahan tentang perumahan dan pemukiman No.4/l992 bab III
pasal 5 ayat l yang berbunyi “Setiap warga negara mempunyai hak
untuk menempati dan atau menikmati dan atau memiliki rumah yang
layak dan lingkungan yang sehat, aman , serasi, dan teratur”.
Menurut Winslow dan APHA
Permukiman sehat dirumuskan sebagai suatu tempat untuk tinggal
secara permanen. Berfungsi sebagai tempat untuk bermukim,
beristirahat, berekreasi (bersantai) dan sebagai tempat berlindung dari
pengaruh lingkungan yang memenuhi persyaratan fisiologis,
psikologis, dan bebas dari penularan penyakit. Rumusan yang
dikeluarkan oleh American Public Health Association (APHA), syarat
rumah sehat harus memenuhi kriteria sebagai berikut :
1. Memenuhi kebutuhan fisiologis. Antara lain, pencahayaan,
penghawaan dan ruang gerak yang cukup, terhindar dari
kebisingan yang mengganggu.
2. Memenuhi kebutuhan psikologis. Antara lain, privacy yang
cukup, komunikasi yang sehat antar anggota keluarga dan
penghuni rumah.
3. Memenuhi persyaratan pencegahan penularan penyakit
antarpenghuni rumah, yaitu dengan penyediaan air bersih,
pengelolaan tinja dan air limbah rumah tangga, bebas vektor
penyakit dan tikus, kepadatan hunian yang berlebihan, cukup
sinar matahari pagi, terlindungnya makanan dan minuman dari
pencemaran, disamping pencahayaan dan penghawaan yang
cukup.
4. Memenuhi persyaratan pencegahan terjadinya kecelakaan, baik
yang timbul karena keadaan luar maupun dalam rumah antara lain
persyaratan garis sempadan jalan, konstruksi yang tidak mudah
roboh, tidak mudah terbakar, dan tidak cenderung membuat
penghuninya jatuh tergelincir.
C. Kerangka Teori
- Luas kamar anak - Kondisi dinding rumah- Suhu lingkungan rumah- Luas ventilasi- Jenis lantai- Pencahayaan ruangan
Sosial ekonomi dan pendidikan
Tingkat kelembaban rumah
Mikroorganisme(respiratory syncial virus,streptococcus pneumonie dan hemophylus influenza)
Infeksi pada tubuh manusia
Kejadian pneumonia
Daya tahan tubuh
- Status gizi anak- Status imunisasi- Umur - Riwayat penyakit
sebelumnya
D. Kerangka konsep
E. Hipotesis
Ada hubungan antara lingkugan tempat tiggal fisik dengan angka
kesakitan pneumonia pada balita di puskesmas x Tahun 2012.
Angka kesakitan pneumonia
Umur Riwayat penyakit
sebelumnya Status imunisasi Status gizi
Lingkungan Fisik Rumah : Jenis Lantai Rumah Luas kamar anak Kondisi Dinding Rumah Luas Ventilasi Rumah Tingkat Kelembaban Pencahayaan ruangan
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Ruang Lingkup Penelitian
A.1 Ruang lingkup Keilmuan
Ruang lingkup keilmuan pada penelitian ini adalah
ilmu kesehatan anak terutama pada penyakit pneumonia.
A.2 Waktu Penelitian
Waktu penelitian dilaksanakan pada bulan oktober
2012 sampai selesai.
A.3 Tempat Penelitian
Tempat penelitian dilaksanakan di Lingkungan
kerja Puskesmas... di Kabupaten Demak.
B. Jenis Penelitian
penelitian ini merupakan penelitian analitik non
eksperimental dengan pendekatan Cross Sectional.
C. Populasi dan Sampel
C.1 Populasi
Semua pasien yang datang saat dilakukannya penelitian
serta yang terdiagnosis pneumonia pada usia 1 bulan – 5 tahun
dari Bulan Januari - Desember 2012.
C.1 Sampel
Semua pasien dari usia 1 bulan -5 tahun yang datang
dengan diagnosis pneumonia selama waktu penelitian.
Besar sampel dalam penelitian ini dihitung dengan
menggunakan rumus sebagai berikut :
(Zα/2)2 P . Q
n :
d2
(1.96)2 . ... ....
:
:
:............
Keterangan :
n : besar sampel
Zα : deviat baku alfa
P : prevalensi
Q : nilai yang di dapat dari 1-P
d : tingkat kesalahan yang diinginkan
Kriteria inklusi sampel kasus meliputi:
a. Balita yang berumur 1 - 5 tahun
b. Dinyatakan menderita pneumonia oleh dokter/petugas
paramedis terlatih.
c. Status imunisasi lengkap.
d. Status gizi baik.
e. Bertempat tinggal di wilayah kerja Puskesmas... Kabupaten
Demak
Sedangkan kriteria eksklusi sampel kasus adalah balita yang berumur
lebih dari 5 tahun yang menderita pneumonia disertai batuk rejan,
TBC, Asma dan jantung.
D. Variabel penelitian
D.1 Variabel Bebas
Tempat tinggal fisik
D.2 Variabel Terikat
Angka kesakitan pneumonia
E. Bahan dan Alat
1. Cek list data observasi
2. Alat tulis
F. Data yang Dikumpulkan
Data yang dikumpulkan beruapa data sekunder dari catatan medis
atau arsip rutin pasien pada Puskesmas.. kabupaten Demak. Serta
data primer yang didapatkan dari observasi atau pengamatan secara
langsung pada rumah tempat tinggal pasien.
G. Alur Penelitian
Penelitian ini dilakukan dengan cara :
1. Penyusunan proposal pada bulan Agustus 2012.
2. Persiapan Bahan dan Alat penelitian.
3. Penelitian dilakukan pada bulan Oktober sampai selesai.
4. Populasi pada penelititan ini adalah seluruh pasien yang
menderita pneumonia dengan usia 1-5 tahun di wilayah
kerja Puskesmas... Kabupaten Demak.
5. Peneliti mengambil sampel penelitian berdasarkan catatan
medik dan observasi.
6. Peneliti melakukan wawancara kepada responden untuk
mengisi lembar informed consent dann melengkapi lembar
observasi penelitian.
7. Pengolahan dan Analisis Data dilakukan setelah jumlah
sampel minimal terpenuhi pada bulan Februari 2013.
H. Definisi Operasional
No Variabel Definisi Operasional Alat ukur Skala Variabel
1.
2.
Lingkungan tempat tinggal fisik
Pneumonia
Lingkungan : daerah dimana
makhluk hidup berada.
Tempat tinggal : sesuatu
yang berwujud bangunan
rumah, tempat berteduh atau
lainnya yang digunakan
manusia sebagai tempat
tinggal.
Pneumonia : proses infeksi
akut yang mengenai jaringan
paru-paru (alveoli).
Terjadinya pneumonia pada
anak seringkali bersamaan
dengan proses infeksi akut
pada bronkus (biasa disebut
bronchopneumonia). Gejala
penyakit ini berupa napas
cepat dan napas sesak, karena
paru meradang secara
mendadak. Batas napas cepat
adalah frekuensi pernapasan
sebanyak 60 kali permenit
pada anak usia < 2 bulan, 50
kali per menit atau lebih pada
anak usia 2 bulan sampai
kurang dari 1 tahun, dan 40
kali permenit atau lebih pada
anak usia 1 tahun sampai
kurang dari 5 tahun.
Observasi
Catatan medik
Ordinal
Nominal
I. Pengelolaan Data
Pengolahan dan analisis data dilakukan dengan menggunakan
program komputer SPSS (Statistical Package for the Social
Sciences) versi 17.0.
1. Pengolahan data
a. Editing
Editing adalah kegiatan untuk mengecek dan
memperbaiki lembar informed consent dan kuesioner
serta lembar observasi penelitian.
b. Coding
Coding adalah kegiatan untuk mengubah data berbentuk
kalimat atau huruf menjadi data angka atau bilangan.
c. Processing
Processing adalah kegiatan untuk memproses data
dengan cara memasukkan data (Entry) ke dalam
komputer.
d. Cleaning
Cleaning adalah kegiatan pengkoreksian kembali data
yang sudah di entry.
2. Analisis data
a. Analisis univariat bertujuan untuk mendeskripsikan
karakteristik responden dalam penelitian.
b. Setelah dilakukan analisis univariat, hasilnya dapat
dilanjutkan ke analisis bivariat. Analisis bivariat
berfungsi untuk menghubungkan antara variabel bebas
dan variabel terikat dengan menggunakan uji Chi
Square. Tingkat kemaknaan yang digunakan adalah 5%
(α=0,05). Jika syarat uji Chi Square tidak terpenuhi
maka uji alternatifnya yaitu uji Kolmogorov-Smirnov.
Panduan interpretasi hasil uji hipotesis bila nilai p <
0,05 (H0 ditolak, Ha diterima) maka terdapat hubungan
bermakna antar variabel.