Post on 07-Aug-2019
1
BAB I
PENGANTAR
A. Latar Belakang
Perhatian peneliti terhadap sektor di luar pertanian belakangan ini sudah
cukup banyak. Perhatian tersebut pada dasarnya menseimbangkan sektor
pertanian yang selalu esensial di pedesaan.1 Kajian di luar sektor pertanian
sebenarnya begitu diperlukan terlebih pada usaha yang mendukung sektor
pertanian itu sendiri. Usaha pembuatan alat pertanian yang dalam masyarakat
Jawa sering disebut pande besi2, merupakan kegiatan pendorong pertanian yang
penting. Namun selama ini kajian mengenai pande besi masih sangat sedikit.
Padahal dilihat dari segi fungsional, peran pande besi sangat berarti bagi sektor
pertanian khususnya dan juga kehidupan di pedesaan pada umumnya.
1 Kita bisa melihat bila sektor pertanian kerap menjadi tulang punggung
perekonomian negara. Pada masa Mataram Islam, Sultan Agung menitikberatkan
pertanian sebagai fokus ekonomi kerajaan. Kedatangan Bangsa Eropa di
Nusantara pada dasarnya juga dilandasi oleh keinginan untuk mendapatkan laba
sebesar-besarnya dari penjualan komoditas pertanian yakni rempah-rempah.
Fokus ekonomi Bangsa Eropa ini bermula dari penguasaan laut melalui VOC,
menjadi penguasaan tanah saat kekuasaan berpindah ke Pemerintahan Kolonial
Hindia Belanda. Pergantian itu semakin menegaskan bila pertanian menjadi fokus
penting para penjajah. Beberapa sistem seperti cultuurstelsel pun dicanangkan
untuk mencapai hasil sebesar-besarnya dalam mengeksploitasi sektor pertanian.
Pasca kemerdekaan Republik Indonesia fokus pada sektor pertanian berlanjut.
Pada masa pemerintahan Orde Baru melalui program swasembada beras atau
revolusi hijau, pertanian menjadi fokus utama negara untuk menjawab
kesejahteraan penduduk. lihat. M.C. Ricklefs, Sejarah Indonesia Moderen 1200-
2004. Terjemahan Satrio Wahono, dkk. (Jakarta: PT Serambi Ilmu Semesa, 2005),
halaman: 97. 2 Dalam masyarakat Jawa Kuno profesi menempa logam ini disebut pande.
Adapun ada berbagai macam pande sebagaimana tertulis dalam prasasti seperti
pande mas (emas) dan pande esi (besi). Timbul Haryono, Logam dan peradaban
Manusia (Yogyakarta: Philosophy Press, 2001), halaman: 30.
Perkembangan Pande Besi di Jodog 19301 - 1990anNDARU SIH WAHYONOUniversitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
2
Sungguh merupakan ironi atau kelalaian, Pande besi sebagai kegiatan
penyedia alat pertanian seperti kehilangan dengungnya dalam kajian pedesaan.
Entah karena posisinya yang menyelinap diantara industri pertanian atau
nonpertanian sehingga tema pande besi menjadi tersamarkan. Selama ini
penelitian mengenai sejarah pande besi hanya sebatas selayang pandang, belum
ada yang membahasnya secara mendalam.3
Istilah profesi menempa besi dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia
(KBBI) disebut dengan “pandai besi”.4 Namun dalam kajian ini penulis memilih
istilah “pande besi” sebagaimana digunakan oleh masyarakat Jawa secara umum.
Hal ini dikarenakan penyebutan pande besi mengandung nilai budaya serta
menunjukkan karakter kedaerahan sesuai dengan kajian penulisan ini. Sebagai
contoh di Sumatera Barat kegiatan pandai besi disebut dengan “apa basi”.5
Pandai besi di Indonesia, sejatinya sangat kompleks sesuai dengan
kebutuhan daerah masing-masing. Pandai besi mengalami perkembangan sesuai
dengan karakteristik kawasan serta kondisi sosial dan budaya. Khusus di pulau
Jawa, pande besi menjadi kegiatan yang banyak ditemukan di daerah-daerah
pertanian. Berdasarkan letaknya pande besi dapat dibedakan menjadi pandai besi
pedalaman yang menyuplai kebutuhan alat pertanian dan pandai besi di pinggiran
kota pelabuhan untuk pengadaan alat bagi kapal. Sedangkan menurut
3 Sejauh pelacakan penulis, penelitian mengenai pande besi hanya fokus
pada ilmu ekonomi dan antropologi. Pencarian ini dilakukan di beberapa
pepustakaan ternama di Yogyakarta serta katalog Perpustakaan Nasional (PNRI).
Dalam pelacakan itu dijumpai tidak lebih dari sepuluh buku. 4 Lihat Hasan Alwi, dkk., Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai
Pustaka, 2007) halaman: 820. 5 Tim Penulis Museum Negri Provinsi Sumatera Barat (Adhityawarman).
Kerajinan Pande Besi di Sumatera Barat (Sumatera Barat, 1995). Halaman: 2.
Perkembangan Pande Besi di Jodog 19301 - 1990anNDARU SIH WAHYONOUniversitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
3
kedudukannya khususnya di Jawa, pande besi dapat dibedakan menjadi pande
keraton dan pande besi rakyat. Adapun yang menjadi bahasan dalam penelitian
kali ini adalah pande besi pedalaman yang tidak lain merupakan pande besi
rakyat.6
Di masyarakat pedesaan Jawa, pande besi memang sangat dekat dengan
sektor pertanian. Bahkan dapat dikatakan antara pande besi dan pertanian
merupakan dua hal yang tidak dapat dipisahkan. Apabila kita melihat daerah
pertanian di berbagai daerah seperti Jawa Tengah, Jawa Timur atau Jawa Barat
pande besi selalu ditemukan. Kondisi tersebut terjadi di daerah pertanian yang
luas baik pegunungan maupun dataran kerap sekali terdengar tempaan pande besi
yang menunjukkan bahwa telah terjadi pembuatan atau perbaikan alat pertanian.7
Kedekatan pandai besi dengan sektor pertanian telah membuat beberapa
peneliti memberikan istilah khusus untuk pandai besi. Ann Dunham yang
mengkaji tentang pandai besi di nusantara menyebut “petani pandai besi” untuk
menegaskan kaitan pande besi dengan sektor agrikultural. Istilah ini berdasarkan
fungsi pande besi yang memang menjadi bagian bagi masyarakat pertanian.8
6 Pembedaan “pande besi pedalaman dan pelabuhan” ini meniru
pembedaan “kota pedalaman dan kota pelabuhan”. lihat Djoko Suryo. “Kota dan
Dinamika Kebudayaan: Proses Menjadi Kota dan Kebudayaan Indonesia Baru”
dalam Transformasi Masyarakat Indonesia dalam Historiografi Indonesia
Modern. (Yogyakarta: STPN Press, 2009), halaman 102.
7 Rachmanto Widjopranoto, Penelitian Keadaan dan Peranan Industri
Rakyat Pandai Besi di Suatu daerah Pertanian (Yogyakarta: Balai Penelitian dan
Peninjauan Sosial, 1967) halaman: 1. 8 S. Ann Dunham, Pendekar-pendekar Besi Nusantara, Kajian
Antropologi tentang Pandai Besi Tradisional di Indonesia (Bandung: PT Mizan
Pustaka, 1992) halaman: 31.
Perkembangan Pande Besi di Jodog 19301 - 1990anNDARU SIH WAHYONOUniversitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
4
Istilah berikutnya yang muncul berkat keberadaan pande besi dalam
kawasan pertanian ialah “industri rakyat pandai besi” oleh Rachmanto.9 Selain
menyatakan pandai besi sebagai sebuah industri, istilah tersebut juga
menunjukkan bila pandai besi sudah dimiliki rakyat sejak lama. Adapun yang
dimaksud pandai besi di sini adalah pande alat pertanian.
Apabila ditinjau dari jumlah pekerja, pande besi tergolong dalam jenis
industri kerajinan rumah tangga karena memiliki jumlah pekerja antara 2-4
orang.10
Namun begitu, pemakaian istilah “industri” untuk pande besi
memerlukan kehati-hatian sebab pada masa tertentu pande besi merupakan
pekerjaan sampingan yang dikerjakan oleh para petani untuk memenuhi
kebutuhan lokal. Dalam perkembangannya kemudian pandai besi ada yang
melakukan produksi untuk kepentingan pasar.
Selain menunjukkan kedekatan dengan sektor pertanian, kedua istilah tadi
juga menegaskan jika pande besi memang berakar kuat dalam budaya masyarakat
Jawa. Secara historis, keberadaan kerajinan ini sejalan dengan para empu dalam
pembuatan keris pada masa kerajaan. Pande besi juga diyakini memiliki
hubungan yang erat dengan pihak kerajaan. Sehingga pada saat itu pande besi
diyakini merupakan profesi yang tidak sembarang orang bisa dan boleh
melakukan, sebab pande besi dapat memproduksi senjata yang menjadi indikator
terjadinya pemberontakan.
9 Rachmanto Widjopranoto, op.cit.,halaman: 1.
10 Ronald Clapham, Pengusaha Kecil dan Menengah Di Asia Tenggara
(Jakarta: LP3ES, 1991) halaman : 5.
Perkembangan Pande Besi di Jodog 19301 - 1990anNDARU SIH WAHYONOUniversitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
5
Sejarah pande besi apabila dicermati lebih dalam lagi sebenarnya sudah
sangat tua. Bahkan dapat dikatakan usia pande besi sebanding dengan zaman
logam dikenal di suatu wilayah. Apabila dibandingkan dengan kawasan Eropa,
keberadaan profesi ini dipastikan sudah ada jauh sebelum tahun Masehi dimulai.
Contoh yang paling mudah dari periodesasi ini adalah peperangan-peperangan
yang dilakukan oleh bangsa Romawi. Pada saat itu pande besi berfungsi untuk
menyuplai kebutuhan senjata bagi para Gladiator.11
Kondisi demikian juga terjadi
di Nusantara yang memiliki ratusan kerajaan. Pada saat itu pande besi memegang
peranan penting terutama untuk menyuplai kebutuhan senjata bagi para prajurit.
Khusus di Pulau Jawa, keris merupakan senjata yang khas, namun senjata utama
yang digunakan oleh orang Jawa bukanlah keris melainkan senjata dengan wujud
yang lebih besar seperti pedang, tombak, gada, limpung dan lain-lain.12
Dalam sumber kesusastraan Jawa Kuna dan Prasasti, pande besi juga
sudah disebut sebagai salah satu profesi menempa logam.
“Sumber kesusastraan Jawa Kuna dan Prasasti yang menyebutkan
tentang pandai logam disebut dalam kitab Adiparwa, Tantu
Panggelaran, Negara Kertagama antara lain disebut: apande gending,
apande wesi, pande mas/ pande kencana, pande dadap. Sedang prasasti
Watukura menyebutkan adanya pande mas, kangsawsi, dadap.” 13
11
Lihat wikipedia, http://id.m.wikipedia.org/wiki/gladiator diakses Selasa
20 Juni 2013, Pukul 10.00 WIB. 12
Adapun keris mencerminkan simbol bagi seorang laki-laki, sedangkan
bagi wanita simbol tersebut berupa cundrik. Budaya semacam ini biasanya
terdapat dalam keluarga bangsawan jawa. 13
Djoko Sukiman, Keris: Sejarah dan Fungsinya (Yogyakarta: Proyek
Javanologi, 1983) halaman: 3.
Perkembangan Pande Besi di Jodog 19301 - 1990anNDARU SIH WAHYONOUniversitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
6
Sumber ini menunjukkan bila pande besi yang dahulu disebut apande wesi dan
kangsa wsi memiliki usia yang sangat tua. Selain itu pande besi tergolong dalam
kegiatan menempa logam yang kedudukannya masuk dalam teras jabatan keraton.
Apabila ditinjau dari hubungan dengan pihak keraton pande besi dapat
dikategorikan menjadi pande keraton dan pande besi rakyat. Sedangkan menurut
produk yang dihasilkan pande besi dapat dibedakan menjadi pande pusaka atau
pande senjata, pande pisau, pande alat pertanian, pande roda dan lain
sebagainya.14
Seiring perkembangan zaman pande besi di pedesaan Jawa berkembang
sesuai dengan teknologi dan kebutuhan dalam wilayah tersebut. Pande besi di
pedesaan berkembang menjadi pande alat pertanian, alat pertukangan dan alat
rumah tangga yang sangat dibutuhkan dalam kehidupan sehari-hari. Namun
sampai pande besi tersebar di pedesaan, sejarah perkembangan pande besi ini
belum banyak yang membahas secara mendalam.
Pada umumnya pande besi di pedesaan memiliki sisi yang belum banyak
diketahui orang, terlebih mengenai asal-usulnya. Kondisi demikan mungkin
berlaku bagi seluruh kerajinan pande besi di pedesaan. Tantangan ini semakin
memperbesar minat penulis untuk mengkaji lebih dalam keberadaan pande besi di
pedesaan. Keterbatasan sumber serta minimnya informasi membuat kisah pande
besi ini menjadi misteri dan setidaknya diperlukan usaha untuk mengungkap
misteri itu.
14
Wawancara dengan Djawadi, Rabu, 13 Juni 2012 pukul 20.00-21.00
WIB di rumah Djawadi, Pandean Gilangharjo Pandak Bantul.
Perkembangan Pande Besi di Jodog 19301 - 1990anNDARU SIH WAHYONOUniversitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
7
Selanjutnya untuk mengetahui lebih jauh dinamika pande besi ini penulis
memilih tempat penelitian di sebuah pedesaan bernama “Jodog” yang dikenal
sebagai salah satu kawasan pande besi di Kabupaten Bantul. Menurut penduduk
sekitar kawasan ini pernah memiliki lebih dari 40 unit usaha pande besi. Selain itu
produk pande besi di kawasan ini juga dikenal bagus dan rapi, berbeda dengan
pande besi di kawasan lain.
Pemilihan Jodog sebagai tempat penelitian didasari oleh beberapa macam
faktor. Pertama, Jodog pernah memiliki pande besi yang jumlahnya cukup
banyak. Kedua, Jodog merupakan kawasan pedesaan yang kompleks karena dekat
dengan pasar, sawah, jalan raya, serta beberapa pusat pemerintahan sehingga
memungkinkan kita melihat perjalanan pande besi di tengah perkembangan
zaman. Ketiga, Jodog belum pernah menjadi objek penelitian sejarah atau ilmu
humaniora lain.15
Adapun Jodog yang dimaksud dalam penelitian ini sebenarnya merupakan
nama sebuah kawasan yang pada masa Kasultanan Ngayogyakarta berupa
kelurahan Djodoglegi.16
Pada tahun 1946, Djodoglegi dilebur dengan dua
kelurahan yakni Krekah dan Bantoelan menjadi sebuah kelurahan baru bernama
Gilangharjo. Sejak saat itu, kawasan Djodoglegi menjadi wilayah Kelurahan
Gilangharjo, Kecamatan Pandak, Kabupaten Bantul, Daerah Istimewa
Yogyakarta. Namun begitu, sampai sekarang kawasan yang dahulu merupakan
15
Penelitian mengenai kawasan ini sebelumnya fokus pada kajian ilmu
ekonomi, yakni analisiis produksi serta pendapatan para perajin pande besi.
Keterangan lebih lanjut lihat bagian tinjauan pustaka, halaman 11. 16
Rijksblad van Ngayogyakarta, over het jaar 1927.
Perkembangan Pande Besi di Jodog 19301 - 1990anNDARU SIH WAHYONOUniversitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
8
desa Djodoglegi tetap dikenal dengan sebutan Jodog. Sebutan ini sebenarnya tidak
terlepas dari keberadaan pasar tradisional yang sejak dahulu juga dikenal dengan
sebutan Pasar Jodog. Karena hal serupa, julukan pande besi di kawasan ini juga
disebut dengan pande besi Jodog.17
Di luar kisah Jodog yang begitu panjang, sejarah pande besi di kawasan
ini juga masih menjadi misteri. Beberapa perajin di kawasan ini sebenarnya tidak
tahu banyak tentang awal mula pande besi. Namun demikian ada keterangan
legendaris yang menyatakan bila kawasan ini dahulu dibuka oleh dua empu
Kerajaan Majapahit pada abad ke-15 M. Selanjutnya, keterangan yang lebih muda
menyatakan bila pada masa Kasultanan Yogyakarta desa Jodog (Djodoglegi)
merupakan pusat pande besi di Bantul sebelah barat.18
Menurut keterangan masyarakat, pande besi di Jodog merupakan cikal
bakal pande besi bagi kawasan di sekitarnya. Hal ini dapat diketahui dari garis
keturunan para perajin pande besi yang ada di sekitar Jodog selalu memiliki
hubungan dengan penduduk di kawasan ini. Selain itu, keterangan pada masa
Kasultanan juga menunjukkan bila pande besi di kawasan ini masih berhubungan
dengan pande besi keraton Kasultanan Yogyakarta di Nginto-into, Godean. Pada
saat itu Jodog membantu Nginto-into dalam menyuplai kebutuhan senjata.19
17
Arsip Desa Gilangharjo. Kelurahan Gilangharjo terjadi dari
penggabungan tiga kelurahan: 1) Krekah: Lurah Imo Ijoyo (1934-1946), 2)
Bantoelan: Lurah Atmo Sumarto (1933-1946), serta 3) Djodoglegi: Lurah Darmo
Rejo (1930-1946). 18
Wawancara dengan Djawadi, Rabu, 13 Juni 2012 pukul 20.00 - 21.00
WIB di rumah Bapak Djawadi, Pandean Gilangharjo Pandak Bantul.
19 Wawancara dengan Djawadi, Rabu, 13 Juni 2012 pukul 20.00 - 21.00
WIB di rumah Bapak Djawadi, Pandean Gilangharjo Pandak Bantul.
Perkembangan Pande Besi di Jodog 19301 - 1990anNDARU SIH WAHYONOUniversitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
9
Penelitian ini semakin menarik dengan menelusuri awal mula pande besi
di pedesaan seperti Jodog. Namun karena minimnya sumber penelitian serta
keinginan untuk menyajikan perjalanan pande besi secara cukup panjang,
penelitian ini mengambil periode mulai dari masa Kolonial sampai Kemerdekaan.
Pande besi Jodog pada tahun 1930an, rkembangan pande besi pun mencapai
puncaknya pada tahun 1970.
Kegemilangan pande besi di Jodog pada akhirnya mengalami penurunan
secara berkala mulai tahun 1990an. Pada saat itu pande besi harus bersaing
dengan produk-produk buatan pabrik. Selain itu generasi penerus juga nampak
enggan untuk meneruskan usaha turun-temurun ini. Mereka lebih memilih
pekerjaan di luar pande besi, misalkan menjadi sopir, bengkel, guru dan lain
sebagainya. Hingga pada akhir tahun 1990-an pande besi Jodog berkurang cukup
drastis. Kondisi ini terus terjadi sampai sekarang, hingga pande besi hanya
menyisakan empat unit usaha.20
B. Permasalahan dan Ruang Lingkup Penelitian
Pande besi di Jodog pada tahun 1930 sampai 1990 telah melewati
berbagai zaman, yakni Kolonial, Jepang dan masa Kemerdekaan. Penelitian pada
rentang tahun ini memungkinkan kita melihat lebih jauh dinamika pande besi di
Jodog yang sekaligus menjadi permasalahan utama skripsi ini. Oleh karena itu,
beberapa pertanyaan penelitian diajukan.
20
Wawancara dengan Darto, Selasa, 12 Juni 2012, pukul 20.00 - 21.00
WIB di rumah Bapak Darto, Pandean Gilangharjo Pandak Bantul.
Perkembangan Pande Besi di Jodog 19301 - 1990anNDARU SIH WAHYONOUniversitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
10
Mengapa pande besi dapat merebak sampai di setiap sudut kawasan
Jodog, siapa yang mengawali pande besi ini, kapan pande besi ini dimulai, serta
seperti apakah perjalanan pande besi di kawasan ini?
Selanjutnya secara geografis, penelitian ini dilakukan di kawasan pedesaan
bernama Jodog yang terletak di Kelurahan Gilangharjo, Kecamatan Pandak,
Kabupaten Bantul, Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Jodog terdiri dari
beberapa daerah tingkat dusun, yakni Pandean, Banaran, Jangkang, Dukunan,
Jodog Kidul, Jodog Lor, Jodoglegi, Kadisoro, Nopaten dan Karangasem. Namun
demikian tidak semua dusun tersebut terdapat pande besi. Adapun hanya dusun
Banaran dan Nopaten yang diketahui tidak terdapat kerajinan pande besi.
Kawasan Jodog pada rentang waktu 1930 sampai 1990 mengalami
perkembangan yang sangat berarti khususnya dalam hal pande besi. Pada tahun
1930an muncul pande besi-pande besi baru yang menandakan pande besi menjadi
profesi pokok sebagian penduduk di kawasan ini. Seiring perkembangan dalam
sektor pertanian, pande besi merebak di kawasan ini dan menjadi profesi andalan
yang terbukti mampu mengangkat nama Jodog. Pande besi nampak mengalami
penurunan yang berarti setelah profesi ini mulai sedikit demi sedikit ditinggalkan
oleh keturunan para perajin pande besi. Diketahui mulai tahun 1990an gejala
kemunduran dalam pandai besi ini terjadi. Hingga pada rentang tahun ini pula
pande besi berkurang cukup banyak.
C. Tujuan Penelitian
Pedesaan yang kerap dikonotasikan kuno atau “ketinggalan”, pada
kenyataanya memiliki industri rumahan yang dapat dikatakan “maju” sejak lama.
Perkembangan Pande Besi di Jodog 19301 - 1990anNDARU SIH WAHYONOUniversitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
11
Kajian mengenai pandai besi ini diharapkan dapat menampakkan sisi lain dari
pedesaan khususnya di Jawa. Selain itu penelitian ini diharapkan dapat
melengkapi tema kajian tentang sejarah pedesaan di Indonesia.
Keberadaan pandai besi di pedesaan makin tergerus oleh industri besar di
perkotaan. Barang-barang hasil produksi pabrik tersebut biasanya jauh lebih
murah dibanding produksi lokal. Melihat kondisi tersebut muncul kekhawatiran
apabila pada suatu saat industri pandai besi yang diwariskan turun-temurun ini
tidak dapat meneruskan usahanya lagi. Maka tujuan dari penulisan ini tidak lain
ialah men-dokumentasi-kan industri pandai besi, khususnya pandai besi di Jodog.
Selanjutnya penelitian ini diharapkan mampu menarik minat masyarakat
umum untuk membaca sejarah dan menghargai sejarah. Hal ini bisa dimulai dari
sejarah lokal disekitar tempat tinggal kita masing-masing, karena pada saat ini
banyak orang yang tidak mengetahui sejarah asal muasal tempat tinggalnya.
D. Tinjauan Pustaka
Kajian mengenai pandai besi di Jodog sebenarnya sudah pernah dilakukan
oleh beberapa mahasiswa ekonomi pada tahun 1990an. Namun dalam kajian
sebelumnya mereka menggunakan metode kwantitatif dalam meneliti pande besi.
Beberapa penelitian tersebut ialah: (1) Peranan Industri Pande besi Dalam
Meningkatkan Pendapatan Keluarga: Studi Kasus di Desa Gilangharjo,
Kecamatan Pandak, Kabupaten Bantul oleh Tan Yulianto.21
(2) Pengaruh
Industri Kecil Pande besi Dalam Meningkatkan Pendapatan Masyarakat di Desa
21
Tan Yulianto, Peranan Industri Pande besi Dalam Meningkatkan
Pendapatan Keluarga: Studi Kasus di Desa Gilangharjo, Kecamatan Pandak,
Kabupaten Bantul. Skripsi. (STIE Kerjasama Yogyakarta, 1994)
Perkembangan Pande Besi di Jodog 19301 - 1990anNDARU SIH WAHYONOUniversitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
12
Gilangharjo, Kecamatan Pandak, Kabupaten Bantul karya Hari Kusdaryanto.22
Serta (3) Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pendapatan Industri
Pandai Besi oleh Ririn Pamungkasih.23
Dari ketiga karya tersebut semua
dikerjakan menggunakan metode wawancara dan kuesioner. Adapun yang
membedakan penelitian ini dengan penelitian sebelumnya adalah penelitian ini
menggunakan metode sejarah sehingga diperoleh gambaran perkembangan pande
besi di Jodog. Sedangkan penelitian sebelumnya lebih bersifat praktis, yakni
dengan menganalisis faktor produksi terhadap penghasilan para perajin pande
besi.
Secara ilmu sejarah, penelitian ini merupakan yang pertama bagi kawasan
Jodog, oleh karena itu perlu dilihat beberapa penelitian mengenai pande besi di
tempat lain. Karya yang sangat bagus sebagai tinjauan adalah buku berjudul
Penelitian Keadaan dan Peranan Industri Rakyat Pandai Besi di Suatu daerah
Pertanian. Buku karya Rachmanto Widjopranoto ini memberi banyak sekali
informasi mengenai industri pande besi di pedesaan Jawa serta peran pande besi
pada tahun 1967. Penelitian yang mengambil tempat di Kelurahan Segaran,
Kecamatan Delanggu, Jawa Tengah ini memuat penelusuran sejarah pande besi,
akan tetapi perhatian pada sejarah pande besitersebut hanya sebatas selayang
pandang. Penelitian yang diadakan oleh Balai Penelitian dan Peninjauan Sosial ini
22
Hari Kusdaryanto, Pengaruh Industri Kecil Pande besi Dalam
Meningkatkan Pendapatan Masyarakat di Desa Gilangharjo, Kecamatan Pandak,
Kabupaten Bantul. Tugas Akhir. (Sekolah Tinggi Pembangunan Masyarakat Desa
APMD, 1995) 23
M.A. Ririn Pamungkasih, Analisis Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi
Pendapatan Industri Pandai Besi: studi kasus dusun Karangasem, Gilangharjo,
Pandak, Bantul. Skripsi.(STIE Kerjasama Yogyakarta, 1998)
Perkembangan Pande Besi di Jodog 19301 - 1990anNDARU SIH WAHYONOUniversitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
13
lebih menekankan pengaruh pande besi terhadap daerah pertanian di Kelurahan
Segaran.Adapun buku ini sangat membantu dalam memberikan gambaran industri
pande besi. Selain itu buku ini juga dapat menjadi perbandingan pande besi di
Jodog pada tahun 1960-an.24
Selanjutnya, skripsi mahasiswa Ilmu Sosiatri, Teguh Purwanto. Skripsi
dengan judul Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Keterlibatan Tenaga Kerja
Pedesaan pada Kerajinan Pande besi ini diselesaikan pada tahun 1987.25
Penelitian ini mencoba menganalisa faktor yang mendorong kesediaan warga
pedesaan untuk bekerja sebagai pande besi. Adapun ada tiga faktor yang diteliti,
yakni faktor keberadaan sektor pertanian, faktor perkembangan komunikasi dan
yang terakhir faktor tradisi. Tulisan ini mengambil tempat di dusun Koripan, Desa
Kranggan, Kecamatan Polanharjo, Klaten, Jawa Tengah. Dalam skripsi ini juga
diceritakan kondisi kerajinan pandai besi Koripan dengan cukup jelas, mulai dari
kehidupan perajin, proses produksi, penghasilan, pemasaran dll. Keberadaan
karya ini akan sangat membantu guna mencari celah permasalahan tentang pande
besi. Selain itu, tulisan ini menjadi perbandingan agar penelitian nanti tidak
mengikuti pola kajian antropologi.
Kemudian, buku karya S. Ann Dunham, selaku ibu Barack Obama,
presiden terpilih Amerika Serikat dapat menjadi tinjauan wajib saat hendak
24
Rachmanto Widjopranoto, Penelitian Keadaan dan Peranan Industri
Rakyat Pandai Besi di Suatu daerah Pertanian (Yogyakarta: Balai Penelitian dan
Peninjauan Sosial, 1967) 25
Teguh Purwanto. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Keterlibatan
Tenaga Kerja Pedesaan Pada Kerajinan Pande besi (Kasus Koripan di pedesaan
Jawa). Skripsi. (Fakultas Ilmu Sosial dan Politik, UGM. Jurusan Sosiatri. 1987)
Perkembangan Pande Besi di Jodog 19301 - 1990anNDARU SIH WAHYONOUniversitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
14
meneliti pandai besi. Buku berjudul Pendekar-Pendekar Besi Nusantara ini
membicarakan pedesaan dengan pandai besinya secara menarik.Ia menentang
pendapat Boeke dan Clifford Geertz yang mengatakan bahwa penduduk pedesaan
tidak mempunyai kemampuan organisasi dan disiplin kerja, serta kerajinan
berbasis pedesaan ini sudah hampir punah di Jawa dan sekarang hanya menempati
posisi marginal. Sebaliknya Ann membuktikan bahwa masih ada kerajinan di
pedesaan indonesia yang selalu bertahan dan berkembang. Dalam buku ini Ann
menamakan pandai besi secara unik yakni “petani pandai besi”. Buku ini akan
sangat membantu untuk mengetahui lebih jauh tentang pandai besi, termasuk juga
teori-teori tentang pedesaan.26
Kerajinan Pandai Besi di Sumatera Barat, menjadi buku menarik yang
dapat kita tinjau. Buku ini merupakan hasil dokumentasi budaya dari Museum
Negri Provinsi Sumatera Barat, Adhiyawarman. Dalam buku setebal 28 halaman
ini memuat gambaran peralatan pandai besi beserta hasil produksinya. Di kawasan
Sumatera Barat, kerajinan pandai besi ini disebut “apa basi”. Berdasarkan
informasi warga diceritakan bahwa ilmu menempa besi ini dibawa oleh bangsa
asing (penjajah) yang datang ke daerah ini berabad-abad lalu. Hal ini dibuktikan
dengan tidak adanya alat perkakas terutama “landasan” yang dapat dibuat di
dalam negeri. Kajian pendokumentasian budaya tentang pandai besi ini
sebenarnya cukup lengkap, bahkan sejarah asal-usul pandai besi di kawasan ini
26
S. Ann Dunham. Pendekar-pendekar Besi Nusantara, Kajian
Antropologi tentang Pandai Besi Tradisional di Indonesia. (Bandung: PT Mizan
Pustaka, 1992)
Perkembangan Pande Besi di Jodog 19301 - 1990anNDARU SIH WAHYONOUniversitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
15
juga turut ditelusuri. Buku ini dapat dijadikan perbandingan untuk mengetahui
perkembangan pandai besi yang terjadi di Jodog.27
E. Sumber dan Metode Penelitian
Kuntowijoyo, dalam Metodologi Sejarah mengatakan jika “sejarah
pedesaan ialah sejarah yang secara khusus meneliti tentang desa atau pedesaan,
masyarakat petani dan ekonomi pertanian. Sejarah pedesaan harus selalu dapat
mengembalikan permasalahan kepada desa dan pedesaan, atau kepada ekonomi
agraria di pedesaan”.28
Secara tematik penelitian mengenai pande besi ini masuk
dalam kategori sejarah pedesaan. Dalam hal ini pande besi merupakan bagian dari
desa yang juga sangat dekat dengan sektor pertanian. Lebih lanjut lagi
Kuntowijoyo menjelaskan sebuah subtema dalam sejarah pedesaan yakni sejarah
ekonomi pedesaan.29
Subtema ini sebenarnya merupakan sejarah mikro dari
sejarah ekonomi indonesia. Namun yang perlu digarisbawahi, penelitian mengenai
pande besi kali ini tidak hanya mengkaji tentang permasalahan ekonomi,
melainkan juga kehidupan sosial dalam masyarakat pandai besi. Maka dari itu
tema penulisan sejarah ini lebih tepat disebut sebagai sejarah sosial ekonomi
pedesaan.
Selain kategori sejarah, hal yang lebih sering dipertanyakan dalam setiap
penelitian ialah mengenai metode dan sumber penelitian. Penelitian pande besi
27
Tim Penulis Museum Negeri Provinsi Sumatera Barat
(Adhityawarman). Kerajinan Pandai Besi di Sumatera Barat (Sumatera Barat,
1995) 28
Kuntowijoyo. Metodologi Sejarah (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2003)
halaman: 74 – 75. 29Ibid.,halaman: 91-99.
Perkembangan Pande Besi di Jodog 19301 - 1990anNDARU SIH WAHYONOUniversitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
16
Jodog ini menggunakan metode sejarah, yakni dengan beberapa tahapan meliputi
(1) pemilihan topik, (2) pengumpulan sumber, (3) verifikasi (kritik sumber), (4)
interprestasi (analisis dan sintesis), (5) penulisan. Sedangkan mengingat objek
penelitian merupakan sejarah pedesaan yang sedikit sekali meninggalkan sumber
tertulis, maka sumber penelitian ini akan lebih banyak menggunakan sumber
sejarah lisan, yaitu dilakukan dengan wawancara.
Adapun untuk mengetahui seluk beluk sejarah lisan perlu dibaca beberapa
artikel tentang sejarah lisan yang ada dalam Lembaran Berita Sejarah Lisan edisi
nomor 13 bulan Maret 1991. Dalam buku tersebut ada tiga tulisan yang sangat
mengena untuk pande besi ini. Pertama, karya Adaby Darban, Beberapa Catatan
Lapangan Penelitian Sejarah Lisan di Pedesaan dan Sekitarnya. Kedua,
Pengalaman Kolektif Sebagai Objek Sejarah Lisan oleh Sartono Kartodirjo. Dan
terakhir Sejarah LisanuntukSejarah Sosial karya Djoko Suryo.30
Selanjutnya
sebuah buku terjemahan M. Nursam mengenai teori dan metode sejarah lisan,
Suara dari Masa Silam: Teori dan Metode Sejarah Lisan karanganPaul
Thompson31
. Buku yang tergolong baru ini menjelaskan secara rinci mengenai
tatacara penelitian sejarah lisan, kisah pengalaman penulis, serta cara mensikapi
narasumber. Berbagai pengalaman wawancara yang Thompson lakukan di Inggris
ia ceritakan dengan jeli, sehingga banyak sekali pengetahuan sejarah lisan dalam
30
Adaby Darban, “Beberapa Catatan Lapangan Penelitian Sejarah Lisan di Pedesaan dan Sekitarnya”; Sartono Kartodirdjo, “Pengalaman Kolektif sebagai Obyek Sejarah Lisan”; dan Djoko Surjo, “Sejarah Lisan untuk Sejarah Sosial” dalam Lembaran Berita Sejarah Lisan”. dalam Lembaran Berita Sejarah Lisan edisi nomor 13 Bulan Maret 1991.
31 Paul Thompson, Suara dari Masa Silam: Teori dan Metode Sejarah
Lisan (Yogyakarta: Ombak, 2012).
Perkembangan Pande Besi di Jodog 19301 - 1990anNDARU SIH WAHYONOUniversitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
17
buku ini. Pada bagian akhir buku ini terdapat contoh kendali wawancara yang
dapat membantu kita untuk menyusun pertanyaan dengan lebih tepat dan
mendalam.
Selain beberapa buku tadi, Kuntowijoyo dalam Pengantar Ilmu Sejarah32
juga menyinggung sedikit mengenai sejarah lisan. Dalam buku ini Kuntowijoyo
menjelaskan kita tentang berbagai hal yang harus dipersiapkan dalam penelusuran
sejarah lisan. Mulai dari belajar sebanyak-banyaknya sampai pada tatacara untuk
menghormati hak interview. Untuk menghormati hak narasumber kita harus
menanyakan apa hasil wawancara tersebut dapat didengar oleh banyak orang.
Namun untuk penelitian pande besi ini bersifat netral sehingga semua hasil
wawancara dapat diketahui oleh banyak orang.
Temporal 1930-an sampai 1990-an dalam penelitian ini jelas bukan
temporal yang mudah untuk menggali informasi dengan metode wawancara.
Pasalnya, narasumber yang dipilih harus sesuai dan memenuhi kriteria usia
tertentu. Adapun untuk mendapatkan gambaran yang memadai diperlukan juga
sumber sekunder dari pustaka yang berisi tentang pande besi sezaman yang terjadi
di kawasan lain sebagai pembanding pada masa itu. Selain itu dalam penggalian
sejarah lisan ini dibutuhkan pula bukti-bukti fisik seperti napak tilas, foto dan
beberapa dokumen yang berhubungan dengan pande besi Jodog.
Penelitian ini selain mengandalkan sumber lisan juga mengusahakan
sumber-sumber tertulis seperti arsip dan pustaka. Data dari Badan Pusat Statistik
(BPS) kabupaten Bantul sebenarnya merupakan sumber yang sangat penting,
32
Kuntowijoyo, Pengantar Ilmu Sejarah (Yogyakarta: Bentang, 2005)
halaman: 98.
Perkembangan Pande Besi di Jodog 19301 - 1990anNDARU SIH WAHYONOUniversitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
18
namun dokumen yang ada di tempat ini kurang lengkap. Kebanyakan data yang
tersedia dari BPS Bantul merupakan data mutakhir, yakni tahun 1990-an.
Demikian juga yang kami peroleh di Badan Kearsipan Kabupaten Bantul,
pelayanan serta data yang tersedia tidak seperti yang kami harapkan.
Selanjutnya, titik cerah kembali terbuka saat mendapatkan beberapa berkas
data dari Badan Kearsipan dan di BPS Provinsi Yogyakarta. Beberapa data
tentang peralatan tani, serta perkembangan teknologi pertanian tersebut sudah
cukup membantu untuk penelitian ini. Selain itu, secara tidak sengaja penulis
menemukan tulisan tentang pandai besi dalam naskah kuno yang tersimpan di
Museum Sonobudoyo Yogyakarta. Naskah yang sudah ditransliterasi ke huruf
cetak ini berisi tentang sejarah empu keris sejak masa Majapahit.
F. Sistematika Penulisan
Penulisan skripsi ini dibagi menjadi empat bab pokok yang disusun secara
kronologis. Pada Bab pertama yang merupakan pengantar menunjukkan alasan
penelitian ini penting untuk dilakukan. Latar belakang penelitian, permasalahan,
ruang lingkup penelitian, tujuan penelitian, tinjauan pustaka serta sumber dan
metode penulisan terdapat dalam bab ini.
Dalam Bab kedua merupakan kajian yang lebih mendalam mengenai
kawasan Jodog dan sekitarnya. Pada bab ini terdapat tinjauan lingkungan geografi
beserta kondisi masyarakat Jodog. Bagaimana hubungan dan kedudukan kawasan
ini dengan pemerintah lokal serta segi-segi historis yang menjadi kepercayaan
masyarakat di sini. Selain itu juga disampaikan cerita legendaris kawasan ini yang
tentu masih berhubungan dengan awal mula pande besi.
Perkembangan Pande Besi di Jodog 19301 - 1990anNDARU SIH WAHYONOUniversitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
19
Pada Bab ketiga yang ditandai dengan munculnya pande besi-pande besi
baru menandakan bila pande besi benar-benar sudah menjadi profesi pokok
sebagian masyarakat di Jodog. Bab ini dibagi menjadi tiga bagian yakni
munculnya pande besi-pande besi baru, penyebaran industri pande besi, sertapola
pewarisan. Pembagian ini sebenarnya dilakukan secara kronologis, yakni mulai
dari tahun 1930-an sampai 1950-an.
Pada Bab ke-empat membahas ketika Jodog menjadi pusat pande besi.
Pembahasan dalam bab ini dilakukan mulai dari merebaknya pande besi di Jodog
pada tahun 1960-an, masa ke-emasan pande besi pada tahun 1970-an, modernisasi
pande besi tahun 1980-an, serta tantangan dan kemunduran pande besi pada tahun
1990-an. Modernisasi pande besi itu ditandai oleh masuknya listrik pada tahun
1983 serta mekanisasi pertanian yang membuat beberapa budaya seperti aliran
kepercayaan dan sesaji dalam pande besi berubah. Selain itu, merebaknya
produksi alat tani dari pabrik juga membuat pande besisemakin menerima
tantangan dan harus memilih menentukan nasibnya kelak. Penelitian ini ditutup
dengan tahun 1990-an sebab pada tahun ini pande besi di Jodog mengalami
penurunan jumlah yang cukup besar.
Akhirnya tibalah pada bagian akhir penulisan ini yang ada pada Bab
kelima. Pada bab ini memuat kesimpulan yang menandakan awal harapan kami,
kajian pandai besi ini dapat menarik minat pemuda khususnya di Jodog untuk
lebih mengenal sejarah lokal tempat tinggal mereka.
Perkembangan Pande Besi di Jodog 19301 - 1990anNDARU SIH WAHYONOUniversitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/