Post on 11-Mar-2019
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Penelitian
Tujuan dari setiap pengelolaan perusahaan adalah untuk memaksimalkan
kemakmuran pemiliknya (Brigham dan Gapenski, 1996). Dalam mewujudkan tujuan
tersebut seringkali suatu perusahaan menghadapi berbagai permasalahan, diantaranya
terdapat tiga permasalahan pokok yang saling berkaitan satu sama lain. Permasalahan
tersebut meliputi keputusan investasi, kebijakan pendanaan, dan kebijakan dalam
menentukan berapa besar dividen yang harus dibagikan perusahaan kepada para
pemegang saham. Kebijakan pendanaan merupakan salah satu kebijakan yang sangat
penting bagi perusahaan, karena menyangkut perolehan sumber dana untuk kegiatan
operasional perusahaan. Kebijakan ini akan berpengaruh terhadap struktur modal dan
faktor leverage perusahaan, baik leverage operasi maupun leverage keuangan. Rasio
leverage adalah suatu ukuran yang menunjukkan sampai sejauh mana hutang dan
saham preferen digunakan dalam struktur modal perusahaan (Syamsuddin, 2011).
Kebijakan pendanaan ini berhubungan dengan bagaimana pemenuhan kebutuhan,
menentukan berapa jumlah modal yang akan dikelola dan juga komposisinya. Jika
perusahaan menetapkan kebijakan untuk menggunakan sumber dana dari hutang,
berarti leverage keuangan perusahaan akan meningkat dan perusahaan akan
menanggung biaya tetap berupa bunga yang harus dibayarkan. Menurut Munawir
(2004) hutang adalah semua kewajiban keuangan perusahaan kepada pihak lain yang
belum terpenuhi.
Menurut Riyanto (2004) dalam hutang dapat digolongkan ke dalam tiga jenis,
pertama hutang jangka pendek (short-term-debt), yaitu hutang yang jangka waktunya
kurangdari satu tahun. Kedua hutang jangka menengah (intermediate-term-debt),
yaitu hutang yang jangka waktunya lebih dari satu tahun dan kuang dari sepuluh
tahum. Ketiga hutang jangka panjang (long-term-debt), yaitu hutang yang jangka
waktunya lebih dari sepuluh tahun.
Fungsi keuangan yang utama menurut Weston dan Copeland (1995:5) adalah
dalam hal keputusan investasi, pembayaran dan dividen. Sedangkan Husnan (2002:4)
mengemukakan bahwa manajemen keuangan menyangkut kegiatan perencanaan,
analisis dan pengendalian kegiatan keuangan. Kegiatan-kegiatan tersebut dapat
dikelompokkan menjadi dua kegiatan utama, yaitu kegiatan menggunakan dana dan
kegiatan mencari dana yang keduanya sebagai kegiatan utama yang disebut sebagai
fungsi keuangan. Aktivitas utama manajer keuangan adalah membuat keputusan
investasi dan keputusan-keputusan pendanaan. ( Gitman, 2003 :12)
Keputusan investasi ditentukan dua tipe gabungan dari bentuk asset, current
assets, dan fixed assets, sedangkan keputusan pendanaan ditentukan oleh dua tipe
gabungan dari pendanaan yang digunakan perusahaan ( current liabilities dan long
term funds ). Riyanto (1997 :15) meninjau pendanaan perusahaan dari sumber dana
itu diperoleh, yakni pembelanjaan dari luar perusahaan ( external financing) dan
internal financing. External Financing adalah bentuk pembelanjaan dimana usaha
pemenuhan kebutuhan dana diambil dari sumber-sumber yang berasal dari luar
perusahaan, sedangkan internal financing adalah sumber dana yang berasal dari
keuntungan laba ditahan dan depresiasi (penyusutan).
Kebijakan hutang merupakan salah satu keputusan pendanaan yang berasal
dari eksternal. Kebijakan hutang ini dilakukan untuk menambah dana perusahaan
yang akan digunakan untuk memenuhi kebutuhan operasional perusahaan. Hutang
mempunyai pengaruh penting bagi perusahaan karena selain sebagai sumber
pendanaan ekspansi, hutang juga dapat digunakan untuk mengurangi konflik
keagenan. Ketersediaan sumber dana maupun dana atau modal sangat mempengaruhi
kelangsungan hidup maupun kesempatan berkembang perusahaan. Perusahaan
memerlukan dana yang besar dalam mendanai belanja modal perusahaan. Sumber
pendanaan tersebut dapat diperoleh dari internal yaitu laba ditahan atau eksternal
dengan melakukan pinjaman dalam bentuk hutang atau menerbitkan saham dipasar
modal. Hutang dapat meningkatkan nilai perusahaan. Selain itu penggunaan hutang
juga dapat meningkatkan risiko. Perusahaan yang menggunakan hutang untuk
mendanai perusahaan dan tidak mampu melunasi hutang maka akan terancam
likuiditasnya.
Fenomena tentang kebijakan hutang sudah banyak terjadi di Indonesia, salah
satunya perusahaan yang mengalami kesulitan keuangan berupaya untuk
memperbaiki kondisinya dengan melakukan restrukturisasi, namun sebagian
restrukturisasi tersebut mengakibatkan perubahan status kepemilikan. Contohnya
yaitu yang terjadi pada PT Sekar Laut pada tahun 2013. Hutang PT Sekar Laut yang
berjumlah Rp. 431,964 miliar direstrukturisasi berdasarkan persetujuan dan
pengesahan Pengadilan Niaga Surabaya. Sebagian dari hutang tersebut dikonversi
menjadi saham untuk krediturnya, yaitu Bank Sindikasi (76,2% saham) dan Bank
Negara Indonesia (12,7% saham), sedangkan saham yang dimiliki pemegang saham
sebelumnya terdilusi sebagai berikut: saektuham PT Alamiah Sari terdilusi dari
64,3% menjadi 7,1%, saham pendiri terdilusi dari 7,1% menjadi 0,8%, dan saham
masyarakat terdilusi dari 28,6% menjadi 3,2%.
Tingginya perkembangan perusahaan barang dan konsumsi dapat terlihat dari
jumlah perusahaan yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia dari periode ke periode
semakin banyak. Namun seiring dengan pertumbuhan perusahaan, penggunaan
hutang juga semakin meningkat. Hal ini terjadi pada beberapa perusahaan sektor
barang dan konsumsi di Bursa Efek Indonesia seperti:
Tabel 1.1
Debt to Equity Ratio Beberapa Perusahaan Manufaktur Sektor Barang dan
Konsumsi di Bursa Efek Indonesia
No. Nama Perusahaan
Tahun
2014 2015
1. PT. Sekar Laut Tbk 145,41% 148,02%
2. PT. Gudang Garam Tbk 75,75% 67,08%
3. Indofarma Tbk 10,46% 158,76%
4. PT. Kino Indonesia Tbk 18,13% 80,75%
5. PT. Chitose Internasional Tbk 26% 19,29%
Sumber: idx.co.id (Data diolah)
Berdasarkan Tabel 1.1 dapat dilihat bahwa terjadi fenomena peningkatan dan
penurunan Debt Equity Ratio. Pada tahun 2014, Debt Equity Ratio PT Sekar Laut
Tbk sebesar 145,41% mengalami peningkatan menjadi 148,02% di tahun 2015.
Begitupun pula dengan Indofarma Tbk yang memiliki Debt Equity Ratio sebesar
10,45% tahun 2014 menjadi 158,75% di tahun 2015 dan yg mengalami peningkatan
lainnya adalah PT Kino Indonesia Tbk memiliki Debt Equity Ratio sebesar 18,13%
tahun 2014 menjadi 80,75% di tahun 2015. Selain peningkatan dapat dilihat bahwa
ada yang mengalami penurunan Debt Equity Ratio yaitu pada PT Gudang garam Tbk
sebesar 75,75% di tahun 2014 menjadi 67,08% di tahun 2015. Pada PT Chitose
Indonesia Tbk sebesar 26% tahun 2014 menjadi 19,29% di tahun 2015. Cukup
besarnya komposisi hutang dibanding modal menyebabkan adanya risiko perusahaan
tidak mampu membayar hutang serta relatif sukar untuk meminta tambahan kredit
untuk pembiayaan, tetapi ada juga yg mengalami penurunan hutang maka bisa
simpulkan bahwa sebagaian perusahaan sudah mampu membayar hutangnya.
Dalam praktik kebijakan hutang mempunyai beberapa faktor yang
dipertimbangkan oleh perusahaan pada umumnya antara lain kepemilikan manajerial,
kepemilikan institusional, ukuran perusahaan, dan kebijakan deviden. Menurut
Sujoko dan Soebiantoro (2007) kepemilikan manajerial (managerial ownership)
adalah kepemilikan saham oleh pihak manajemen perusahaan yang diukur dengan
persentase jumlah saham yang dimiliki oleh manajemen. Dalam hal ini dijelaskan
bahwa seorang manajer memiliki peran ganda yakni sebagai manajer dan juga
sebagai pemegang saham. Kepentingan dalam peran manajer dan peran pemegang
saham terkadang akan menimbulkan suatu konflik. Konflik yang dimaksud adalah
konflik keagenan (agency conflict). Konflik keagenan adalah hal yang merugikan
untuk masing-masing pihak, karena konflik tersebut menuntut untuk menyejajarkan
kepentingan dari masing-masing pihak. Cara untuk meminimalisasi konflik tersebut
adalah dengan meningkatkan dividend payout ratio dan kepemilikan saham oleh
manajemen, sehingga dibutuhkan kebutuhan dana yang lebih besar. Alternatif lain
yang digunakan adalah dengan kebijakan hutang. Namun untuk dapat memutuskan
kebijakan hutang, manajer akan berhati-hati dan cenderung mengurangi rasio debt
yang digunakan. Sebab risiko debt tersebut secara tidak langsung akan menjadi risiko
yang ditanggung oleh manajer itu sendiri. Debt yang tinggi dapat meningkatkan
risiko kebangkrutan perusahaan itu sendiri. Cara untuk menurunkan risiko ini adalah
dengan menurunkan tingkat debt yang dimiliki perusahaan (Brailsford, 1999). Oleh
karena itu, manajer akan berusaha menekan jumlah debt serendah mungkin. Tindakan
ini di sisi lain tidak menguntungkan karena perusahaan hanya mengandalkan dana
dari pemegang saham. Perusahaan tidak dapat berkembang dengan cepat,
dibandingkan jika perusahaan juga menggunakan dana dari kreditur. Larasati (2011)
dalam penelitiannya menyatakan bahwa kepemilikan manajerial tidak berpengaruh
secara signifikan terhadap kebijakan hutang, namun hal ini bertentangan dengan hasil
penelitian Wahidahwati (2002) yang menyatakan bahwa kepemilikan manajerial
memiliki pengaruh negatif dan signifikan terhadap kebijakan hutang.
Kepemilikan institusional merupakan presentase kepemilikan saham oleh
investor institusional seperti perusahaan investasi,bank, perusahaan asuransi, maupun
kepemilikan lembaga dan perusahaan lain (Bagus Guntur Wahyu, 2011). Crutchley et
al, sebagaimana dikutip oleh Imandadan M. Nasir menyatakan bahwa semakin tinggi
kepemilikan institusional maka diharapkan semakin kuat kontrol internal terhadap
perusahaan, dimana akan dapat mengurangi agency cost pada perusahaan. Adanya
kontrol ini akan membuat manajer menggunakan utang pada tingkat tingkat rendah
untuk mengantisipasi kemungkingan terjadinya financial distress dan kebangkrutan
perusahaan.
Perusahaan yang besar tentu dapat lebih mudah mengakses pasar modal.
Karena kemudahan tersebut maka berarti bahwa perusahaan memiliki fleksibilitas
dan kemampuan untuk mendapatkan dana (Wahidahwati 2002). Hal ini berarti,
perusahaan mudah mendapatkan dana baik melalui saham maupun hutang.
Perusahaan besar akan lebih mudah mendapatkan hutang karena perusahaan besar
biasanya mempunyai aset yang lebih banyak yang sesuai dengan colateral hypothesis.
Hasil penelitian Wahidahwati (2002) yang menemukan bahwa ukuran perusahaan
mempunyai pengaruh terhadap debt ratio, dimana hal ini konsisten dengan teori dan
penelitian sebelumnya yang dilakukan Homafiar et al.(1994) dan Moh„det al. (1998),
dalam hal ini, perusahaan cenderung untuk meningkatkan hutangnya karena mereka
semakin besar dan perusahaan besar mempunyai akses dengan mudah ke pasar modal
dan juga memiliki fleksibilitas dan kemampuan untuk menda-patkan sumber dana.
Marsh (1982) dalam Siregar (2005), Sugiarto dan Budhijono (2007), serta Petit dan
Singer (2004) dalam Sugiarto dan Budhijono (2007) juga menemukan bahwa ukuran
perusahaan terhadap hutang perusahaan. Sugiarto dan Budhijono (2007) berpendapat
bahwa, ukuran perusahaan dapat dijadikan proksi permasalahan keagenan. Semakin
kecil perusahaan, maka, growth opportunities-nya akan semakin tinggi dan
karenanya, cenderung mengha-dapi konflik kepentingan antara principal dengan
agent, sehingga, untuk mengurangi agency cost of debt, maka perusahaan kecil akan
meminjam lebih banyak (Sugiarto dan Budhijono 2007).
Faktor lain yang mempengaruhi kebijkan hutang adalah ukuran perusahaan.
Suatu perusahaan besar yang sudah mapan akan memiliki akses yang mudah menuju
pasar modal, sementara perusahaan yang baru dan yang masih kecil akan mengalami
banyak kesulitan untuk memiliki akses ke pasar modal. Karena kemudahan akses ke
pasar modal cukup berarti untuk fleksibilitas dan kemampuannya untuk memperoleh
dana yang lebih besar, sehingga perusahaan mampu memiliki rasio pembayaran
dividen yang lebih tinggi daripada perusahaan kecil (Mafizatun Nurhayati 2013:145)
Faktor terakhir yang mempengaruhi kebijakan hutang adalah kebijakan
deviden Kebijakan dividen pada hakekatnya adalah menentukan berapa bagian
keuntungan yang diperoleh perusahaan yang akan dibagikan dalam bentuk dividen
kepada pemegang saham dan berapa banyak laba yang ditahan di dalam
perusahaanebagai unsur pembelanjaan intern dari perusahaan (Weston dan Copeland
dalam Nurhayati 2008).
Berdasarkan penelitian terdahulu, faktor-faktor yang diduga mempengaruhi
kebijakan hutang adalah sebagai berikut :
Tabel 1.2
Faktor-faktor yang mempengaruhi Kebijakan Hutang
Sumber : Data diolah
Keterangan : Tanda √ = Berpengaruh Signifikan
Tanda X = Tidak Berpengaruh Signifikan
Tanda - = Tidak Diteliti
Berdasarkan penelitian yang berkaitan dengan kepemilikan manajerial telah
dilakukan dan terdapat hasil yang beragam. Menurut Indahningrum dan Handayani
No Nama Peneliti Tahun Block
Ownership Free Cash
Kepemilikan Institusional
Firm Size
Kepemilikian Manejerial
Dividen Profitabilitas Kebijakan Dividen
1. Ruly Wiliandri 2011
X - - - - - -
2. Eva Larasati 2011 - - - X - -
3.
Rizka Putri Indahningrum dan Ratih Handayani
2009 - - X - X
4. Yeniatie dan Nicken Destriana
2010 - - - X - X
5. Steven dan Lina
2011 - - - X X -
6. Rifaatul Indana 2015
- - X - - X
7. LenraJuni Remember Purba
2011 - - - X - X
8. Bagus Guntur Wahyu S A
2011 - - X - X - - -
9. Elva Nuraina 2012 - - X - - - -
10.
Adam Dustin Bakti
2012 - - - X - - -
(2009); Larasati (2011); Yeniatie dan Destriana (2010); Bhakti (2012), hasil
penelitian mereka menunjukkan bahwa kepemilikan manajerial tidak mempunyai
berpengaruh yang tidak signifikan terhadap kebijakan hutang. Namun, beberapa studi
empiris menurut Indana (2015); dan Purba (2011) menyatakan bahwa kepemilikan
manajerial berpengaruh secara signifkan terhadap kebijakan hutang perusahaan.
Selain kepemilikan manajerial, struktur kepemilikan lain yang diduga
mempengaruhi kebijakan hutang adalah kepemilikan institusional. Ada pula penelitan
yang dilakukan oleh Indahningrum dan Handayani (2009); dan Nuraina (2012)
menunjukkan bahwa variabel kepemilikan institusional berpengaruh secara signifikan
terhadap kebijakan hutang. Penelitian lain yang dilakukan oleh Indana (2015); dan
Wahyu S A (2011) menunjukan hasil bahwa kepemilikan institusional tidak
berpengaruh terhadap kebijakan hutang perusahaan. Penelitian yang dilakukan oleh
Yeniatie dan Destriana (2010); Bhakti (2012) menunjukan bahwa kepemilikan
institusional mempunyai pengaruh negatif terhadap kebijakan hutang. Sedangkan
hasil penelitian yang dilakukan Larasati (2011) menunjukkan bahwa kepemilikan
institusional mempunyai pengaruh positif terhadap kebijakan hutang perusahaan.
Faktor lain yang mempengaruhi kebijakan hutang selanjutnya adalah ukuran
perusahaan. Peneltian yang dilakukan Nuraina(2012); dan Purba (2011) bahwa
ukuran perusahaan tidak berpengaruh signifikan terhadap kebijakan hutang.
Sedangkan penelitian yang dilakukan Wiliandri (2011); dan Indana (2015)
menunjukkan bahwa variabel bahwa ukuran perusahaan berpengaruh signifikan
terhadap kebijakan hutang perusahaan.
Kebijakan deviden merupakan faktor lain yang mempengaruhi kebijakan
hutang. Penelitian mengenai kebijakan deviden terhadap kebijakan hutang pernah
dilakukan oleh Indahningrum dan Handayani (2009); Indana (2015); Purba (2011);
dan Yeniatie dan Destriana (2010) yang menunjukkan bahwa kebijakan deviden tidak
mempunyai pengaruh yang siginifikan terhadap kebijakan hutang. Berbeda dengan
penelitian yang dilakukan oleh Larasati (2011); Stefan dan Lina (2011) menunjukkan
bahwa variabel kebijakan deviden mempunyai pengaruh signifikan terhadap
kebijakan hutang perusahaan.
Penelitian yang dilakukan penulis merupakan replikasi dari pengembangan
yang dilakukan oleh Rizka Putri Indahningrum dan Ratih Handayani (2009) yang
berjudul “Pengaruh Kepemilikan Manajerial,Kepemilikan Institusional, Kebijakan
Deviden, Pertumbuhan Perusahaan, Free Cash Flow dan Profitabilitas terhadap
Kebijakan Hutang” dengan hasil yang menunjukkan bahwa kepemilikan manajerial
dan kebijakan deviden tidak berpengaruh secara signifikan terhadap kebijakan
hutang. Sedangkan kepemilikan institusional, pertumbuhan perusahaan, free cash
flow berpengaruh signifikan terhadap kebijakan hutang. Adapun beberapa perbedaan
penelitian yang dilakukan penulis dengan Indahningrum dan Handayani (2009),
yaitu:
1. Penelitian Indahningrum dan Handayani (2009) menggunakan perusahaan
manufaktur subsektor food and beverage yang terdaftar di Bursa Efek
Indonesia (BEI) sebagai sampel penelitian. Sedangkan penelitian ini tetep
perusahaan manufaktur namun terfokus pada sektor barang dan konsumsi
yang ada di Bursa Efek Indonesia sebagai sampel penelitian.
2. Penelitian ini mengunakkan periode pengamatan yang berdeda dengan
penelitian sebelumnya, yaitu sejak 2011 sampai 2015,sedangkan
penelitian Indahningrum dan Handayani sejak tahun 2005 sampai 2007.
Dimana dengan perbedaan penelitian ini diharapkan dapat menungkin
hasil penelitian yang berbeda.
3. Penelitian ini menggunakan empat variabel x, yaitu kepemilikan
manajerial, kepemilikan institusional, kebijakan deviden dan ukuran
perusahaan, sedangkan dalam penelitian Indahningrum dan Handayani
menggunakan enam variabel x, yaitu kepemilikan manajerial, kepemilikan
institusional, pertumbuhan perusahaan, free cash flow, kebijakan deviden
dan profitabiitas.
Dari hasil penelitian terdahulu dapat dilihat variabel-variabel yang digunakan
memiliki arah pengaruh dan signifikansi yang berbeda beda terhadap kebijakan
hutang perusahaan. Untuk itu peneliti tertarik untuk meneliti kembali dengan variabel
independen kepemilikan manajerial, kepemilikan institusional, ukuran perusahaan
dan kebijakan dividen. Peneliti melakukan penelitian pada perusahaan manufaktur.
Perusahaan manufaktur adalah perusahaan yang kegiatannya mengolah bahan mentah
menjadi bahan jadi yang layak untuk dipasarkan. Perusahaan manufaktur lebih
membutuhkan sumber dana jangka panjang untuk membiayai kegiatan
operasionalnya dan salah satunya adalah dengan menggunakan hutang. Objek
penelitian perusahaan manufaktur adalah untuk membuktikan apakah hasil penelitian
akan tetap konsisten dengan hasil-hasil penelitian terdahulu. Namun populasi dari
perusahaan manufaktur ini akan dipilih dengan menggunakan kriteria tertentu,
sehingga akan terpilih sampel yang akan digunakan.
Berdasarkan uraian diatas, maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian
lebih lanjut dengan mengkaji kepemilikan manajerial, kepemilikan institusional,
ukuran perusahaan, dan kebijakan deviden terhadap kebijakan hutang dengan
mengambil judul : “Pengaruh Kepemilikan Manajerial, Kepemilikan
Institusional, Ukuran Perusahaan, dan Kebijakan Deviden Terhadap Kebijakan
Hutang”
1.2 Rumusan Masalah Penelitian
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka dapat dirumuskan masalah
yang akan dibahas dalam penelitian ini adalah:
1. Bagaimana kepemilikan manajerial pada perusahaan manufaktur sektor
barang dan konsumsi yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia periode 2011-
2015.
2. Bagaimana kepemilikan institusional pada perusahaan manufaktur sektor
barang dan konsumsi yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia periode 2011-
2015.
3. Bagaimana ukuran perusahaan pada perusahaan manufaktur sektor barang dan
konsumsi yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia periode 2011-2015.
4. Bagaimana kebijakan deviden pada perusahaan manufaktur sektor barang dan
konsumsi yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia periode 2011-2015.
5. Bagaimana kebijakan hutang pada perusahaan manufaktur sektor barang dan
konsumsi yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia periode 2011-2015.
6. Seberapa besar pengaruh kepemilikan manajerial terhadap kebijakan hutang
pada perusahaan manufaktur sektor barang dan konsumsi yang terdaftar di
Bursa Efek Indonesia periode 2011-2015.
7. Seberapa besar pengaruh kepemilikan institusional terhadap kebijakan hutang
pada perusahaan manufaktur sektor barang dan konsumsi yang terdaftar di
Bursa Efek Indonesia periode 2011-2015.
8. Seberapa besar pengaruh ukuran perusahaan terhadap kebijakan hutang pada
perusahaan manufaktur sektor barang dan konsumsi yang terdaftar di Bursa
Efek Indonesia periode 2011-2015.
9. Seberapa besar pengaruh kebijakan dividen terhadap kebijakan hutang pada
perusahaan manufaktur sektor barang dan konsumsi yang terdaftar di Bursa
Efek Indonesia periode 2011-2015.
1.3 Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah diatas penulis mengidentifikasi tujuan
penelitian sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui kepemilikan manajerial pada perusahaan manufaktur
sektor barang dan konsumsi yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia periode
2011-2015.
2. Untuk mengetahui kepemilikank institusionl pada perusahaan manufaktur
sektor barang dan konsumsi yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia periode
2011-2015.
3. Untuk mengetahui ukuran perusahaan pada perusahaan manufaktur sektor
barang dan konsumsi yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia periode 2011-
2015.
4. Untuk mengetahui kebijakan deviden pada perusahaan manufaktur sektor
barang dan konsumsi yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia periode 2011-
2015.
5. Untuk mengetahui kebijakan hutang pada perusahaan manufaktur sektor
barang dan konsumsi yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia periode 2011-
2015.
6. Untuk mengetahui seberapa besar pengaruh kepemilikan manajerial terhadap
kebijakan hutang pada perusahaan manufaktur sektor barang dan konsumsi
yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia periode 2011-2015.
7. Untuk mengetahui seberapa besar pengaruh kepemilikan institusional
terhadap kebijakan hutang pada perusahaan manufaktur sektor barang dan
konsumsi yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia periode 2011-2015.
8. Untuk mengetahui seberapa besar pengaruh ukuran perusahaan terhadap
kebijakan hutang pada perusahaan manufaktur sektor barang dan konsumsi
yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia periode 2011-2015.
9. Untuk mengetahui seberapa besar kebijakan dividen terhadap kebijakan
hutang pada perusahaan manufaktur sektor barang dan konsumsi yang
terdaftar di Bursa Efek Indonesia periode 2011-2015.
1.4. Kegunaan Penelitian
1.4.1 Kegunaan Praktis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat berguna dan bermanfaat bagi berbagai
pihak, antara lain:
1. Bagi penulis
Dengan penelitian ini akan menambah wawasan dan pengetahuan penulis
mengenai pengaruh kepemilikan manajerial, kepemilikan institusional,ukuran
perusahaan, dan kebijakan dividen pada kebijkan hutang
2. Bagi Calon Investor dan Kreditor
Bagi investor dan masyarakat diharapkan penelitian ini dapat memberikan
gambaran mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi kebijakan hutang agar
dapat digunakan dalam pengambilan keputusan.
3. Bagi peneliti lain
Hasil penelitian ini diharapakan dan menjadi bahan masukan dan
pengembangan lebih lanjut bagi peneliti lain yang berminat dengan kebijakan
hutang.
1.4.2. Kegunaan Teoritis
Manfaat dari penelitian ini secara teoritis untuk pengembangan dan
pengetahuan, yaitu diharapkan hasilnya dapat memperkaya ilmu Akuntansi
Manajemen Keuangan khususnya terkait kebijakan hutang serta yang
berkaitan dengan laporan keuangan.
1.5. Lokasi Dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilakukan pada perusahaan manufaktur di sektor industri
barang dan konsumsi yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia .Adapun yang dilakukan
peneliti dalam pengambilan data tersebut yaitu dengan mengunjungi situs resmi
Bursa Efek Indonesia yaitu www.idx.co.id sedangkan waktu penelitian mulai dari
tanggal disahkannya proposal penelitian hingga selesai.
BAB II
KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN
DAN HIPOTESIS
2.1 Kajian Pustaka
2.1.1 Struktur Kepemilikan
2.1.1.1 Definisi Saham
Untuk memperoleh modal, perusahaan menerima setoran dari para investor.
Sebagai bukti setoran dikeluarkan tanda bukti pemilikan yang berbentuk saham
diserahkan kepada pihak-pihak yang menyetorkan modal. Pemilik perusahaan
merupakan pihak yang mempunyai saham sehingga disebut pemegang saham.
Pengertian saham menurut Anggraeni (2010:25), yaitu :
”Sertifikat yang menunjukkan bukti kepemilikan suatu perusahaan, dan
pemegang saham memiliki hak klaim atas penghasilan dan aktiva perusahaan”.
Menurut Hendy M. Fakhrudin (2008:175), saham merupakan:
”Salah satu sekuritas atau efek atau surat berharga yang diperdagangkan
dipasar modal yang bersifat kepemilikan. Artinya siapapun yang membeli saham
berarti ikut memiliki berapa persen bagian dari perusahaan tertentu atau perusahaan
ysng menerbitkan saham”.
Berdasarkan kedua definisi di atas menunjukkan bahwa saham merupakan
bukti kepemilikan sesorang atau instansi terhadap suatu perusahaan yang menerbitkan
saham.
2.1.1.2 Jenis-jenis Saham
Menurut Atmajaya (2008;17), jenis-jenis saham terdiri dari:
1. ”Saham Biasa (Common Stock)
Saham biasa adalah sekuritas kepemilikan yang paling populer. Saham
biasa mewakili klaim kepemilikan pada penghasilan dan aktiva yang
dimiliki perusahaan. Setelah klaim dari kreditur dibayar (berupa
pembayaran bunga), manajemen perusahaan dapat menggunakan sisa
penghasilan (laba bersih setelah pajak) untuk : (1) membayar dividen
kepada pemegang saham, dan (2) menginvestasikan kembali penghasilan
tersebut ke dalam perusahaan (menahan laba). Keunikan saham biasa
adalah pemegang saham biasa memiliki kewajiban terbatas. Artinya, jika
perusahaan bangkrut, kerugian maksimum yang ditanggung oleh
pemegang saham adalah sebesar investasi pada saham tersebut. Dengan
kata lain, kerugian maksimum adalah nilai saham biasa menjadi nol
karena seluruh aktiva diambil alih oleh pihak lain. Meskipun
kewajibannya terbatas, menginvestasikan uang dengan cara membeli
saham biasa dikatakan relatifberfluktuatif (tergsntung “sisa”
pengahasilan).
2. Saham Preferen (Preferred Stock)
Saham preferen (preferred stock) merupakan “blasteran” antara saham
biasa dan obligasi. Ia memiliki sifat saham, misalnya tidak ada jangka
waktu tempo (namun ada beberapa saham preferen yang dapat di-call)
dan memberikan deviden. Ia juga memiliki sifat obligasi, yaitu deviden
yang diberikan bersifat tetap (merupakan presentase dari nilai
nominalnya). Deviden ini mirip konsep bunga obligasi tetap bedanya
adalah membayar bunga obligasi dapat menyebabkan kebangkrutan
sedangkan kegagalan membayar deviden saham preferen tidak. Jika pada
suatu tahun tertentu deviden saham preferen tidak terbayar, ia akan
diakumulasikan pada pembayaran deviden tahun mendatang”.
2.1.1.3 Kepemilikan Saham
Menurut Pratomo (2009:37), secara umum ada tiga istilah terkait dengan
penerbitan saham biasa yaitu :
1. “Saham biasa yang terotorisasi (authorized common stock) adalah
jumalah saham biasa tercantum di dalam anggaran dasar (AD) dan
anggaran rumah tangga (ART) perusahaan. Saham biasa yang
terotorisasi mencerminkan batas jumlah saham biasa yang dapat
diterbitkan oleh perusahaan.
2. Saham biasa yang diterbitkan (issued common stock) adalah jumlah
saham biasa yang diterbitkan oleh perusahaan ke masyarakat melalui
pasar modal.
3. Saham biasa yang beredar (outsttanding common stock) adalah jumlah
saham biasa yang masih beredar di masyarakat. Saham yang beredar
inilah yang mencerminkan kepemilikan terhadap perusahaan”.
2.1.1.4 Jenis-jenis Kepemilikan Saham
Pratomo (2009:38) mengemukakan bahwa jenis kepemilikan saham dapat
diklasifikasikan sebagai berikut :
1. “Kepemilikan Saham Institusional
Kepemilikan saham institusional adalah kepemilikan saham suatu
perusahaan oleh institusi baik yang bergerak dalam bidang keuangan atau
non keuangan atau badan hukum lain.
2. Kepemilikan Manajerial
Kepemilikan manajerial adalah kepemilikan saham manajemen
perusahaan, contohnya kepemilikan saham oleh anggota Board of
Directors (BOD) perusahaan.
3. Kepemilikan Keluarga
Kepemilikan keluarga adalah kepemilikan saham oleh keluarga atau
sekelompok orang yang masih memiliki relasi kerabat umumnya terdapat
pada perusahaan keluarga yang sudah diwariskan turun-menurun.
4. Kepemilikan Pemerintah
Kepemilikan saham oleh pemerintah suatu negara umumnya terdapat
pada peusahaan milik negara atau BUMN ataupun perusahaan milik
negara yang sudah go public.
5. Kepemilikan Saham oleh Pihak Asing
Kepemilikan saham oleh pihak asing adalah kepemilikan saham yang
dimiliki oleh pihak-pihak dari luar negeri baik individu maupun
institusional”.
2.1.2 Kepemilikan Manajerial
2.1.2.1 Definisi Kepemilikan Manajerial
(Schroder, re al, 2001) Kepemilikan manajerial adalah presentase
kepemilikan saham oleh pihak manajemen yang secara aktifikut dalam
pengambilan keputusan perusahaan. Dalam agency theory hubungan antara
manajer dan pemegang saham digambarkan sebagai hubungan antara agent
dan principal. Jensen dan Meckling (1976) dalam Sugiarto (2009),
menjelaskan hubungan keagenan sebagai :
“Suatu mekanisme kontrak antara penyedia modal (the principals) dan para
agen. Hubungan keagenan merupakan kontrak, baik bersifat eksplisit maupun
implisit dimana satu orang atau lebih orang (yang disebut principals) meminta
orang lain (yang disebut agen) untuk mengambil tindakan atas nama
prinsipal”.
Hubungan keagenan ini dapat dijelaskan dengan agency theory yang
memberikan wawasan analisis untuk mengkaji dampak dari hibungan agen dengan
prinsipal (pemegang saham) atau pemegang saham mayoritas dengan pemegang
saham minoritas.
Ariyoto (2000) dalam Rebecca (2012), menyatakan bahwa :
“Agency theory muncul setelah fenomena terpisahnya kepemilikan perusahaan
dengan pengelolaan yang terdapat di perusahan-perusahaan besar yang
modern sehingga teori perusahaan yang klasik tidak bisa lagi dijadikan basis
analisis perusahaan seperti itu”.
Kepemilikan manajerial atas sekuritas perusahaan dapat menyamakan
kepentingan insider dengan pihak ekstern dan akan mengurangi peranan hutang
sebagai mekanisme untuk meminimumkan agency cost. Semakin meningkatnya
kepemilikan oleh insider, akan menyebabkan insider semakin berhati-hati dalam
menggunakan hutang dan menghindari perilaku oppportunistic karena mereka ikut
menanggung konsekuensi dari tindakannya, sehingga mereka cenderung
menggunakan hutang yang rendah. (Riska dan Ratih, 2009)
Yeniatie dan Destriana (2010), menjelaskan bahwa:
“Kepemilikan manajerial memiliki pengaruh negatif terhadap kebijakan
hutang perusahaan karena semakin besar presentase kepemilikan manajer
dalam suatu perusahaan maka manajer tersebut akan turut merasakan dampak
dari pengambilan keputusan yang dibuatnya sebagai salah satu pemegang
saham perusahaan. Semakin tinggi kepemilikan manajerial maka akan
semakin kecil penggunaan hutang untuk mendanai kebutuan dana
perusahaan”.
Mudrika (2014), menjelaskan bahwa :
“ Kepemilikan manajerial merupakan pemegang saham dari pihak manajemen
yang secara aktif ikut dalam mengambil keputusan (direktur dan komisaris)”.
Kepemilikan manajerial dalam hubungannya dengan kebijakan hutang dan
deviden mempunyai peranan penting dalam mengendalikan keuangan perusahaan
agar sesuai dengan keinginan para pemegang saham (bonding mechanism). Leverage
yang rendah dapat diharapkan mengurangi resiko kebangkrutan dan financial distress
bisa menimbulkan konflik keagenan diantaranya melalui asset substitution dan
underinvestment, sehingga kepemilikan manajerial terkait dengan resiko
kebangkrutan. (Mudrika, 2014).
2.1.2.2 Struktur Kepemilikan Manajerial
Ada lima kepemilikan saham menurut Mudrika (2014), yaitu:
1. “Kepemilikan privat, kepemilikan privat 80% atau lebih jumlah saham dalam
perusahaan publik dimiliki oleh individu atau kelompok bisnis yang
berkepentingan.
2. Kepemilikan mayoritas, jika 50-80% jumlah saham dalam perusahaan public
dimiliki oleh individu tertentu.
3. Kepemilikan minoritas, jika 20-50% saham perusahaan publik dimiliki oleh
individu yang berkepentingan dalam perusahaan.
4. Kepemilikan manajemen, jika kurang dari 20% saham perusahaanpublic
dimiliki oleh individu atau kelompok bisnis yang berkepentingan dalam
perusahaan.
5. Kepemilikan pyramid. Suatu keadaan dimana mayoritas kepemilikan saham
dimiliki oleh perusahaan besar yangcenderung memiliki juga saham
perusahaan lain”.
2.1.2.3 Metode Pengukuran Kepemilikan Manajerial
Menurut Jensen dan Meckling (1976) dalam Mudrika (2014), rumus
kepemilikan manajerial sebagai berikut:
Persentase kepemilikan manajerial
Menurut Dewi, 2011 dalam Maya Tri Wulandhari Asmiran, 2013)
pengukuran kepemilikan manajerial sebagai berikut:
= Jumlah saham yang dimilki Komisaris dan Direktur x 100%
Total saham
“Struktur kepemilikan manajemen dapat diukur sesuai dengan proporsi saham
biasa yang dimiliki oleh manajemen.”
2.1.3 Kepemilikan Institusional
2.1.3.1 Defenisi Kepemilikan Institusional
Menurut Chen & Steiner (1999) dalam Melinda (2008) kepemilikan
institusional adalah presentase saham yang dimilki oleh institusi dari
keseluruhan saham perusahaan yang beredar. Kepemilikan institusional akan
mengurangi masalah keagenan karena pemegang saham institusional akan
membantu mengawasi perusahaan sehingga manajemen tidak akan bertindak
merugikan pemegang saham.
Sutojo dan Aldrige (2005: 212) menjelaskan mengenai investor institusional
atau kepemilikan institusional sebagai berikut:
“Investor institusional perusahaan publik antara lain terdiri dari dana pensiun,
perusahaan asuransi, perusahaan dana reksa, mutual trust, unit trust dan
investment fund yang dibentuk perusahaan-perusahaan asuransi. Di beberapa
negara lain seperti Jerman, Jepang dan Inggris dimana bank diperbolehkan
bergerak dalam perdagangan surat berharga termasuk saham, bank juga
termasuk dalam daftar investor institusional.”
Sutujo dan Aldrige (2005: 217) menjelaskan mengenai peranan investor
institusional antara lain sebagai berikut :
1) “Mengarahkan dan memonitori arah kegiatan bisnis perusahaan (directing and
control).
2) Sumber informasi perusahaan (source of company’s information).
3) Pengajuan suara dalam pemegang saham (voting).”
Kepemilikan institusional (Institusional Ownership) merupakan proporsi
pemegang saham yang dimiliki oleh pemilik institusional seperti perusahaan asuransi,
bank, perusahaan investasi dan kepemilikan lain kecuali anak perushaan dan institusi
lain yang memiliki hubungan istimewa (perusahaan afiliasi dan perusahaan asosiasi).
Perusahaan dengan kepemilikan institusional yang besar (lebih dari 5%)
mengindikasikan kemampuannya untuk memonitor manajemen. Semakin besar
kepemilikan institusional maka semakin efisien pemanfaatan aktiva perusahaan. .
Menurut Riska dan Ratih (2009), definisi kepemilikan institusional adalah :
“Kepemilikan institusional yaitu proporsi kepemilikan saham yang dimiliki
institusional pada akhir tahun yang diukur dalam presentase saham yang
dimiliki oleh investor institusional dalam suatu perusahaan”.
Menurut Nuraina (2012) Kepemilikan Institusional adalah:
“Kepemilikan institusional merupakan presentase saham perusahaan yang
dimilki oleh institusi atau lembaga (perusahaan asuransi, dana pensiunan, atau
perusahaan lain”.
Menurut Gian (2013), menyatakan bahwa kepemilikan institusional :
“Kepemilikan institusional memiliki peranan yang sangat penting dalam
meminimalisasi konflik keagenan yang terjadi antara manajer dan pemegang
saham”.
Adanya pemegang saham besar seperti kepemilikan institusinal memiliki arti
penting dalam memonitori manajemen dengan pengawasan yang lebih optimal.
Mekanisme monitoring ini akan meningkatkan kemakmuran pemegang saham.
Signifikasi institusional investor sebagai agen pengawas ditekankan melalui investasi
meteka yang cukup besar pada pasar modal. Bila institusional investor tidak puas atas
kinerja manajerial maka mereka akan langsung menjual sahamnya. Peningkatan
aktivitas institusional investor ini juga didukung oleh usaha mereka untuk
meningkatkan tanggung jawab insisders.
Kepemilikan institusional memiliki wewenang lebih besar bila dibandingkan
dengan pemegang saham kelompok lain untuk cenderung memilih proyek yang lebih
beresiko dengan harapan akan memperoleh keuntungan yang tinggi. Untuk
membiayai proyek tersebut, investor memilih pembiayaan melalui hutang. Dengan
kebijakan tersebut, mereka dapat mengalihkan penangguhan resiko kepada pihak
kreditor apabila proyek gagal. Bila proyek berhasil, pemegang saham akan mendapat
hasil sisa karena kreditor hanya akan dibayar sebesar tertentu yaitu berupa bunga
maka semakin tinggi kepemilikan institusional, maka akan semakin tinggi kebijakan
hutang perusahaan, dikarenakan kepmilikan institusional pada perusahaan
manufaktur di Indonesia pada umumnya sangatlah besar.
2.1.1.2 Metode Pengukuran Kepemilikan Institusional
Menurut Lauterbach, 2011 menyatakan bahwa :
“Tingkat kepemilikan institusi yang tinggi akan menimbulkan usaha
pengawasan yang lebih besar oleh pihak investor institusi sehingga dapat
menghalangi prilaku opportunistic manajer. Perusahaan dengan kepemilikan
institusi yang besar mengindikasikan kemampuannya untuk memonitor
manajemen.”
Menurut Jensen dan Meckling (1976) dalam Riska dan Ratih (2009), rumus
kepemilikan institusional sebagai berikut:
Persentase Kepemilikan Institusional
2.1.4 Ukuran Perusahaan
2.1.4.1 Definisi Ukuran Perusahaan
Skala perusahaan adalah perusahaan besar yang sudah well-established akan
lebih mudah memperoleh modal di pasar modal dibandingkan dengan perusahaan
kecil. Karena kemudahan akses tersebut berarti perusahaan besar memiliki
fleksibilitas yang lebih besar pula. Bukti empiric bahwa skala perusahaan
berhubungan positif dengan rasio utang dengan nilai buku ekuitas atau debt to value
of equity ratio. (Agus Sartono, 2010:249).
Menurut Bambang Riyanto (2008:313), pengertian ukuran perusahaan adalah
sebagai berikut :
Jumlah Saham yang dimiliki
= x 100%
Jumlah Saham beredar akhir tahun
“Besar kecilnya perusahaan dilihat dari besarnya nilai equity, nilai penjualan
atau nilai aktiva”.
Jogiyanto Hartono (2013:282), menyatakan bahwa ukuran perusahaan adalah:
“Ukuran perusahaan adalah suatu skala dimana dapat diklasifikasikan besar
kecil perusahaan menurut berbagai cara (total aktiva, log size, nilai pasar
saham, dan lain-lain). Pada dasarnya ukuran perusahaan hanya terbagi dalam
3 kategori yaitu perusahaan besar (large firm), perusahaan menengah
(medium-size), dan perusahaan kecil (small firm), penentuan ukuran
perusahaan ini didasarkan kepada total asset perusahaan”.
Perusahaan yang besar tentu dapat lebih mudah mengakses pasar modal.
Karena kemudahan tersebut maka berarti perusahaan memiliki fleksibilitas dan
kemampuan untuk mendapatkan dana, hal ini berarti perusahaan mudah mendapatkan
dana baik melalui saham maupun hutang. Perusahaan besar akan lebih mudah
mendapatkan hutang karena perusahaan besar biasanya mempunyai asset yang lebih
banyak yang sesuai dengan collateral hypothesis.
Ukuran perusahaan menjadi faktor yang perlu dipertimbangkan dalam
menentukan level hutang perusahaan. Perusahaan-perusahaan besar lebih mudah
untuk memperoleh pinjaman dari pihak ke tiga karena kemampuan mengakses
kepada pihak lain atau jaminan yang dimiliki berupa asset bernilai besar
dibandingkan dengan perusahaan kecil ( Hasan Mudrika, 2014).
2.1.4.2 Klasifikasi Ukuran Perusahaan
Klasifikasi ukuran perusahaan menurut UU No.20 Tahun 2008 dibagi
kedalam 4 (empat) kategori yaitu usaha mikro, usaha kecil, usaha menengah, dan
usaha besar.
Pengertian dari usaha mikro, usaha kecil, usaha menengah, dan usaha besar
menurut UU No. 20 Tahun 2008 Pasal 1 (Satu) adalah sebagai berikut:
1. ”Usaha mikro adalah usaha produktif milik orang perorangan dan atau
badan usaha perorangan yang memenuhi kriteria usaha mikro segaimana
diatur dalam undang-undang ini.
2. Usaha kecil adalah usaha produktif yang berdiri sendiri, yang dilakukan
oleh orang perorangan atau badan usaha yang bukan merupakan anak
perusahaan atau bukan cabang perusahaan yang dimilki, dikuasai, atau
menjadi bagian langsung maupun tidak langsung dari usaha menengah
atau besar yang memenuhi kriteria usaha kecil sebagaimana dimaksud
dalam undang-undang ini.
3. Usaha menengah adalah usaha ekonomi produktif yang berdiri sendiri,
yang dilakukan oleh orang perorangan atau badan usaha yang bukan anak
perusahaan atau cabang perusahaan yang dimiliki, dikuasai, atau menjadi
bagian baik langsung maupun tidak langsung dengan usaha kecil dan
usaha besar dengan jumlah kekayaan bersih atau hasil penjualan tahunan
sebagaimana diatur dalam diatur undang-undang.
4. Usaha besar adalah usaha ekonomi produktif yang dilakukan oleh badan
usaha dengan jumlah kekayaan bersih atau hasil penjualan tahunan lebih
besar dari usaha menengah, yang meliputi usaha nasional milik Negara
atau swasta, usaha patungan, dan usaha asing yang melakukan kegiatan
ekonomi di Indonesia”.
Kriteria ukuran perusahaan yang diatur dalam UU No. 20 Tahun 2008
adalah sebagai berikut:
Ukuran Perusahaan
Kriteria
Assets (Tidak termasuk
tanah dan bangunan
tempat usaha)
Penjualan Tahunan
Usaha Mikro Maksimal 50 juta Maksimal 300 juta
Usaha Kecil >50 juta – 500 juta >300 juta – 2,5 M
Usaha Menengah >10 juta – 10 M 2,5 M - 50 M
Usaha Besar >10 M >50 M
Kriteria diatas menunjukan bahwa perusahaan besar memiliki asset (tidak
termasuk tanah dan bangunan tempat usaha) lebih dari sepuluh milliar rupiah
penjualan tahunan lebih dari lima puluh milliar rupiah.
2.1.4.3 Metode Pengukuran Ukuran Perusahaan
Harahap (2007: 23) menyatakan pengukutan ukuran perusahaan adalah
sebagai berikut:
”Ukuran perusahaan diukur dengan logaritma natural (Ln) dari rata-rata total
aktiva (total asset) perusahaan. Penggunaan total aktiva berdasarkan
pertimbangan bahwa total aktiva mencerminkan ukuran perusahaan dan
diduga mempengaruhi ketepatan waktu”.
Menurut Jogiyanto Hartono (2013: 282) pengukuran perusahaan adalah
sebagai berikut:
“Ukuran aktiva digunakan untuk mengukur besarnya perusahaan, ukuran
aktiva tersebut diukur sebagai logaritma dari total aktiva”.
2.1.5 Kebijakan Deviden
2.1.5.1 Definisi Kebijakan Dividen
Menurut Brigham dan Houston (2011: 27) kebijakan deviden adalah :
“Kebijakan deviden merupakan keputusan tentang seberapa banyak laba saat
ini yang akan dibayarkan sebagai deviden daripada laba yang yang akan
ditahan untuk kemudian diinvestasikan kembali dalam perusahaan”.
Dividend payout ratio diukur sebagai dividen yang dibayarkan dengan laba
yang tersedia untuk pemegang saham umum. Jika perusahaan memotong dividen,
maka akan dianggap sebagai sinyal buruk karena dianggap perusahaan membutuhkan
dana
Werner R.Murhadi (2008:4), menjelaskan kebijkan deviden adalah sebagai
berikut:
“Merupakan suatu kebijakan yang dilakukan dengan pengeluaran biaya yang
cukup mahal, karena perusahaan harus menyediakan dana dalam jumlah besar
untuk keperluan pembayaran dividen. Perusahaan umumnya melakukan
pembayaran dividen yang stabil dan menolak untuk mengurangi pembayaran
dividen. Hanya perusahaan dengan tingkat kemampuan laba yang tinggi dan
prospek ke depan yang cerah, yang mampu untuk membagikan dividen.
Banyak perusahaan yang selalu mengkomunikasikan bahwa perusahaannya
memiliki prospektif dan menghadapi masalah keuangan sudah tentu akan
kesulitan untuk membayar dividen. Hal ini berdampak pada perusahaan yang
Ukuran Perusahaan = Ln Total Aktiva
membagikan dividen, memberikan tanda pada pasar bahwa perusahaan
tersebut memiliki prospek kedepan yang cerah dan mampu untuk
mempertahankan tingkat kebijakan dividen yang telah ditetapkan pada
periode sebelumnya. Perusahaan dengan prospek ke depan yang cerah, akan
memiliki harga saham yang semakin tinggi”.
Menurut Lukman Syamsudin (2007: 101) mendefinisikan kebijakan deviden
sebagai berikut:
“Kebijakan dividen adalah persentase laba yang dibayarkan kepada para
pemegang saham dalam bentuk dividen tunai, penjagaan stabilitas dividen
dari waktu ke waktu, pembagian dividen saham dan pembelian kembali
saham”.
Menurut Martono dan D. Agus Harjito (2000:255-256) sejauh ini pembahasan
dividen hanya menyangkut aspek-aspek teoritis dari kebijakan dividen. Namun,
ketika perusahaan menetapkan suatu kebijakan dan memperhatikan sejumlah hal,
pertimbangan-pertimbangan ini harus dikaitkan kembali ke teori pembayaran dividen
dan penilaian perusahaan. Beberapa pertimbangan manajer dalam pembayaran
dividen antara lain:
1. “Kebutuhan dana bagi perusahaan
Semakin besar kebutuhan dana perusahaan berarti semakin kecil
kemampuan untuk membayar dividen. Penghasilan perusahaan akan
digunakan terlebih dahulu untuk memenuhi dananya baru sisanya untuk
pembayaran dividen.
2. Likuiditas perusahaan
Likuiditas perusahaan merupakan salah satu pertimbangan utama dalam
kebijakan dividen. Karena dividen merupakan arus kas keluar, maka
semakin besar jumlah kas yang tersedia dan likuiditas perusahaan,
semakin besar pula kemampuan perusahaan untuk membayar dividen.
Apabila manajemen ingin memelihara likuiditas dalam mengantisipasi
adanya ketidakpastian dan agar mempunyai fleksibilitas keuangan,
kemungkinan perusahaan tidak akan membayar dividen dalam jumlah
yang besar.
3. Kemampuan untuk meminjam
Posisi likuiditas bukanlah satu-satunya cara untuk menunjukkan
fleksibilitas dan perlindungan terhadap ketidakpastian. Apabila
perusahaan mempunyai kemampuan yang tinggi untuk mendapatkan
pinjaman, hal ini merupakan fleksibilitas keuangan yang tinggi sehingga
kemampuan untuk membayar dividen juga tinggi. Jika perusahaan
memerlukan pendanaan melalui hutang, manajemen tidak perlu
mengkhawatirkan pengaruh dividen kas terhadap likuiditas perusahaan.
4. Pembatasan-pembatasan dalam perjanjian hutang
Ketentuan perlindungan dalam suatu perjanjian hutang sering
mencantumkan pembatasan terhadap pembayaran dividen. Pembatasan ini
digunakan oleh para kreditur untuk menjaga kemampuan perusahaan
tersebut membayar hutangnya. Biasanya, pembatasan ini dinyatakan
dalam persentase maksimum dari laba kumulatif. Apabila pembatasan ini
dilakukan, maka manajemn perusahaan dapat menyambut baik
pembatasan dividen yang dikenakan para kreditur, karena dengan
demikian manajemen tidak harus mempertanggungjawabkan penahanan
laba kepada para pemegang saham. Manajemen hanya perlu mentaati
pembatasan tersebut.
5. Pengendalian perusahaan
Apabila suatu perusahaan membayar dividen yang sangat besar, maka
perusahaan mungkin menaikkan modal di waktu yang akan datang melalui
penjualan sahamnya untuk membiayai kesempatan investasi yang
menguntungkan”.
2.1.5.2 Metode Pengukuran Kebijakan Deviden
Menurut I Made Sudana (2011:167), metode pengukuran kebijakan deviden
sebagai berikut :
“Kebijakan dividen berhubungan dengan penentuan besarnya devidend
payout ratio, yaitu besarnya persentase laba bersih bersih setelah pajak yang
dibagikan sebagai deviden kepada pemagang saham”.
Menurut James C,Van Home dan John M.Wachowicz yang dialihbahasakan
oleh Quratul‟ain Mubarakah (2014:206), adalah sebagai berikut:
“Divedend - payout ratio) adalah dividen kas tahunan yang dibagi dengan
laba tahunan atau, dividen per lembar dibagi dengan laba per lembar. Rasio
ini menunjukkan presentase laba perusahaan yang diberikan kepada para
pemegang saham secara tunai”.
Menurut Van Horne (2010: 11) menyatakan :
“Kebijakan dividen (dividend pay out ratio) menggambarkan jumlah dividen
per lembar saham yang dibagikan kepada para pemegang saham terhadap
laba per lembar saham”.
Menurut Irham Fahmi (2015: 139) kebijakan dividen dapat dirumuskan
sebagai berikut:
Dari penelitian ini, penulis menggunakan devidend payout ratio untuk
mengukur kebijakan deviden. Dengan alasan karena rasio ini memberikan gambaran
yang lebih baik terhadap keuntungan yang diperoleh pemegang saham dari laba yang
diperoleh perusahan. Semakin tinggi rasio akan semakin menguntungkan bagi
pemegang saham karena semakin besar tingkat kembalian atas saham yang dimiliki
oleh pemegang saham.
Dividen Per Lembar Saham
Dividend Payout Ratio =
Laba Bersih Per Lembar Saham
2.1.6 Kebijakan Hutang
2.1.6.1 Definisi Hutang
Menurut Mardiasmo (1997) pengertian hutang sebagai berikut :
“Hutang (kewajiban) merupakan pengorbanan ekonomis yang wajib
dilakukan oleh perusahaan pada masa yang akan datang dalam bentuk
penyerahan aktiva atau pemberian jasa yang disebabkan oleh transaksi pada
masa sebelumnya”.
Menurut Sundjaja dan Barlian (2007: 6), pengertian hutang adalah sebagai
berikut:
“Hutang merupakan kewajiban keuangan kepada pihak lain, selain kepada
pemilik. Hutang dapat berupa hutang usaha terhadap perorangan atau badan
usaha”.
2.1.6.2 Pengelompokan Hutang
Menurut Subramayam dan Wild (2012: 170) pengelompokan hutang ada dua,
yaitu:
1. “Hutang jangka pendek (kewajiban lancar)
Hutang jangka pendek merupakan kewajiban yang pendanaannya memerlukan
penggunaan asset lancar atau munculnya kewajiban lancar lainnya. Periode
yang diharapkan untuk menyelesaikan hutang jangka pendek adalah periode
masa yang lebih panjang antara satu tahun dan satu siklus operasi perusahaan.
Secara konsep, perusahaan harus mencatat seluruh kewajiban pada nilai
sekarang seluruh arus kas keluar yang diperlukan untuk melunasinya. Pada
praktiknya, kewajiban lancar dicatat pada nilai jatuh temponya, bukanpada
nilai sekarangnya, karena pendeknya waktu penyelesaian hutang.
2. Hutang jangka panjang (kewajiban tak lancar)
Hutang jangka panjang (kewajiban tak lancar) merupakan kewajiban yang
jatuh temponya tidakdalam satu tahun atau satu siklus operasi, aman yang
lebih panjang. Kwajiban ini meliputi pinjaman, obligasi, hutang, dan wesel
bayar. Hutang jangka panjang beragam bentuknya dan penilaian serta
pengukurannya memerlukan pengungkapan atas seluruh batasan dan
ketentuan. Pengungkapan meliputi tingkat bunga, tanggal jatuh tempo, hak
konveksi, fitur penarikan, dan provide subordinasi. Pengungkapan meliputi
pula jaminan, persayaratan penyisihan dan pelunasan, dari provisi kredit
berulang, persyaratan penyisihan dana pelunasan, dari provisi kredit berulang.
Perusahaan default atau provisi kewajiban, termasuk untuk bunga dan
pembayaran kembali pokok pinjaman”.
2.1.6.3 Definisi Kebijakan Hutang
Kebijakan hutang menurut Riyanto (2011: 98), adalah sebagai berikut :
“Kebijakan hutang merupakan keputusan-keputusan yang sangat penting
dalam perusahaan. Dimana kebijakan hutang merupakan merupakan salah
satu bagian dari kebijakan pendanaan perusahaan. Kebijakan hutang adalah
kebijakann yang diambil pihak manajemen dalam rangka memperoleh sumber
pembiayaan bagi perusahaan sehingga dapat digunakan untuk membiayai
aktivitas operasional perusahaan”.
Subramanyam dan Wild (2012: 82), menyatakan kebijakan hutang:
“Bagi pemegang saham dengan adanya kebijakan hutang berarti mendapatkan
tambahan dana yang berasal dari pinjaman mampu memberi pengaruh positif
bagi peningkatan kinerja para manajemen perusahaan”.
Menurut Herawati (2013) kebijakan hutang merupakan :
“Kebijakan hutang adalah kebijakan yang menentukan seberapa besar
kebutuhan dana perusahaan dibiayai oleh hutang”.
2.1.6.4 Teori Kebijakan Hutang
Ada beberapa teori kebijakan hutang diantaranya sebagai berikut:
a) Trade off Theory
Konsep trade off dalam balancing theory adalah menyeimbangkan manfaat
dan biaya dari penggunaan hutang dalam struktur modal sehingga disebut pula
sebagai trade off theory (Brigham dan Houston, 2013).
Trade off theory yang diungkapkan oleh Myers dan Brealey (2001) sebagai
berikut perusahaan akan berhutang sampai pada tingkat hutang tertentu,
dimana penghematan pajak (tax shields) dari tambahan hutang sama dengan
biaya kesulitan keuangan (financial distress)”. Biaya kesulitan keuangan
(financial distress) adalah biaya kebangkrutan (bankruptcy costs) dan biaya
keagenan (agency costs) yang meningkat sebagai akibat dari turunnya
kredibilitas suatu perusahaan.
b) Pecking Order Theory (POT)
Menurut Myers dan Brealey (2001) pecking order theory menyatakan bahwa
perusahaan dengan tingkat profitabilitas yang tinggi justru tingkat hutangnya
rendah, dikarenakan perusahaan yang profitabilitasnya tinggi memiliki
sumber dana internal yang berlimpah.
c) SignalingTheory
Brigham dan Houston (2013) menyatakan bahwa sinyal adalah suatu tindakan
yang diambil oleh manajemen perusahaan untuk memberikan petunjuk bagi
investor tentang bagaimana manajemen memandang prospek perusahaan.
Perusahaan dengan prospek yang baik cenderung menghindari penjualan
saham dan lebih pada mengusahakan modal baru dengan cara berhutang.
Teori ini didasarkan pada asumsi bahwa manajer dan pemegang saham tidak
mempunyai akses informasi perusahaan yang sama. Apabila perusahaan
menerbitkan saham baru lebih sering dari biasanya, hal ini dapat
mendatangkan sinyal negatif yang pada akhirnya dapat menurunkan harga
saham perusahaan tersebut.
d) Agency Approach
Menurut Jensen dan Meckling (1976) menyatakan bahwa agency conflict akan
terjadi bila proporsi kepemilikan manajer atas saham perusahaan kurang dari
100%, sehingga manajer cenderung bertindak untuk mengejar kepentingan
dirinya dan sudah tidak berdasarkan maksimalisasi nilai dalam pengambilan
keputusan pendanaan. Hubungan keagenan ini dapat menimbulkan
permasalahan pada saat pihak-pihak yang bersangkutan memiliki tujuan yang
berbeda, yaitu antara tujuan dari pemegang saham dan tujuan dari manager
perusahaan yang pada akhirnya akan menimbulkan agency cost.
2.1.6.5 Metode Pengukuran Kebijakan Hutang
Menurut James C. Van Horna & John M. Wachowocz, JR yang
dialihbahasakan oleh Dewi Fitriasari dan Deny Arnos (2012:308) ada beberapa rasio
hutang, diantaranya ialah:
a. Rasio Hutang terhadap ekuitas (debt to equity ratio)
b. Rasio hutang terhadap total aktiva (debt to total asset ratio)
c. Rasio hutang terhadap total kapitalisasi (debt-to total capitalization ratio)
Adapun penjelasan dari macam rasio hutang ini adalah sebagai berikut ini:
a. Rasio hutang terhadap ekuitas (debt to equity ratio)
Total Utang
Debt to Equity Ratio =
Ekuitas Pemegang saham
Rasio hutang terhadap ekuitas dihitung hanya dengan membagi total hutang
perusahaan (termasuk kewajiban jangka pendek) dengan ekuitas pemegang
saham. Para kreditor secara umum lebih menyukai rasio ini rendah, semkain
rendah rasio ini, semakin tinggi tingkat pendanaan perusahan yang disediakan
oleh pemegang saham, dan semakin besar perlindungan bagi kreditor (margin
perlindungan) jika terjadi penyusutan nilai aktiva atau karugian besar. Rasio
debt to equity akan berbeda tergantung pada sifat bisnis dan variabilitas arus
kas. Perusahan listrik, dengan arus kas yang sangat stabil, biasanya akan
memiliki rasio debt-to equity yang lebih besar daripada perusahaan peralatan
mesin, yang arus kasnya jauh lebih stabil. Perbandingan rasio debt to equity
untuk suatu perusahaan dengan perusahan lainnya yang hampir memberi
indikasi umum tentang nilai kredit dan risiko keuangan dari perusahan itu
sendiri.
b. Rasio hutang terhadap total aktiva (debt to total asset ratio)
Total Hutang
Debt to Total Assets Ratio =
Total Aktiva
Rasio hutang terhadp total aktiva didapat dari membagi total hutang
perusahaan dengan total aktivanya. Rasio ini berfungsi dengan tujuan yang
hampir sama dengan rasio debt to equity. Rasio ini menekankan pada peran
penting perusahaan hutang bagi perusahaan dengan menunjukkan aktiva
perusahan yang didukung oleh pendanaan hutang. Hal ini menunjukkan
bahwa semakin besar persentase pendanaan yang disediakan 29 oleh ekuitas
pemegang saham, semakin besar jaminan perlindungan yang didapat oleh
kreditor perusahan. Singkatnya, semkain tinggi rasio debt to total asset,
semkain besar risiko keuangannya, semakin rendah rasio ini, maka akan
semakin rendah risiko keuangannya.
c. Rasio hutang terhadap total kapitalisasi (debt-to total capitalization ratio)
Utang Jangka Panjang
Debt to Total Capitalization Ratio =
Total Permodalan
Dengan total permodalan mewakili semua hutang jangka panjang dan ekuitas
pemegang saham. Rasio ini mengukur peran penting hutang jangka panjang
dalam struktur modal (pendanaan jangka panjang) perusahaan.
Menurut Agus Sartono (2010:121), ada beberapa rasio hutang yang digunakan
oleh perusahaan yakni sebagai berikut:
a. “Debt on Assets Ratio (Debt Ratio)
b. Debt to Equity Ratio
c. Time Interest Earned
d. Fixed Charge Coverage”
Adapun penjelasan dari rasio hutang yang digunakan sebagai berikut:
1. Debt to Asset Ratio (Debt Ratio)
Debt ratio merupakan rasio utang yang digunakan untuk negukur
perbandingan antara total utang dengan total aktiva.
Rumus : Total Utang
Debt Ratio = x 100%
Total Aktiva
2. Debt to Equity Ratio
Debt to Equity Ratio merupakan rasio yang digunakan untuk menilai utang
dengan ekuitas. Rasio ini dicari dengan cara membandingkan antara seluruh
utang, termasuk utang lancar dengan seluruh ekuitas. Rasio ini berguna untuk
mengetahui jumlah dana yang disediakan peminjam (kreditor) dengan pemilik
perusahaan.
Rumus :
Total Utang
Debt to Equity Ratio = x 100%
Total Ekuitas
3. Time Interest Earned
Mengukur sejauh mana pendapatan dapat menurun tanpa mebuat perusahaan
merasa karena tidak mampu membayar biaya bunga tahunannya. Apabila
perusahaan tidak mampu membayar bunga, dalam jangka panjang
menghilangkan kepercayaan dari para kreditor. Bahkan ketimampuan
menutup biaya tidak menutup kemungkinan akan mengakibatkan adanya
tuntutan hukum dari kreditur. Lebih dari itu, kemungkinan perusahaan menuju
ke arah pailit semakin besar.
Rumus :
Laba Sebelum Bunga & Pajak (EBIT)
Times Interest Earned = x 100%
Biaya Bunga
4. Fixed Charge Coverage
Fixed Charge Coverage merupakan rasio yang menyerupai Times Insterest
Earned Ratio. Hanya saja perbedaannya adalah rasio ini dilakukan apabila
perusahaan memperoleh utang jangka panjang atau menyewa aktiva
beradasarkan kontrak sewa (lease contract). Biaya tetap merupakan biaya
bunga ditambah kewajiban sewatahunan atau jangka panjang”.
Rumus : Laba Sebelum Pajak + Biaya Bunga + Kewajiban Sewa
Biaya Bunga + Kewajiban Sewa/Lease
Dari keempat rasio diatas, penulis hanya akan menggunakan rasio Debt
Equity Ratio sebagai alat untuk mengukur kebijakan hutang, yaitu dengan membagi
total utang dengan total ekuitas yang mencerminkan kemampuan perusahaan dalam
menggunakan seluruh kewajibannya yang ditunjukkan oleh beberapa modal sendiri
yang digunakan untuk membayar hutang. Semakin rendah DER, semakin tinggi
kemampuannya untuk membayar seluruh kewajibannya, semakin besar proporsi
utang yang digunakan dalam struktur modal, maka semakin besar pula kewajibannya.
Alasan peneliti menggunakan proksi tersebut karena DER dalam
perkembangannya, perusahaan lebih mengutamakan kebutuhan dananya dengan
mengutamakan pemenuhan dengan sumber dari dalam perusahaan. Tetapi seiring
kebutuhan perusahaan yangsemakin banyak, perusahaan harus menjalankan
aktivitasnya dengan bantuan dana dari luar, baik berupa hutang (debt financing) atau
dengan mengeluarkan saham baru (external equity financing). Apabila kebutuhan
dana hanya dipenuhi dengan hutang saja, maka ketergantungan dengan pihak.
Sebaliknya bila kebutuhan dana terpenuhi dengan saham saja, biaya akan sangat
mahal. Perbandingan hutang dan modal sendiri dalam struktur financial perusahaan
disebut struktur modal.
Dalam menentukan sumber dana mana yang akan dipilih, perusahaan harus
memperhitungkan dengan matang agar diperoleh kombinasi struktur modal yamg
optimal, sesuai dengan target dan karakter perusahaan, akan menghasilkan tingkat
pengembalian yang optimal pula.
Stuktur modal dapat diukur dari rasioperbandingan anatara total hutang
terhadap ekuitas yang biasa diukur melalui rasio debt to equity ratio (DER). DER
dapat menunjukkan tingkat risiko suatu perusahaan dimana semakin tinggi rasio
DER, maka perusahaan semakin tinggi risikonya karena pendanaan dari unsur hutang
lebih besar daripada modal sendirinya, artinya jika hutang perusahaan lebih tinggi
dari modal sendirinya berarti rasio DER diatas 1, sehingga penggunaan dana yang
digunakan untuk aktivitas operasional perusahaan lebih banyak menggunakan dari
unsur hutang.
Dalam kondisi DER diatas 1, perusahaan harus menanggung biaya modal
yang besar. Risiko yang ditanggung perusahaan juga meningkat apabila investasi
yang dijalankan perusahaan tidak menghasilkan tingkat pengembalian yang optimal.
Oleh karena itu investor cenderung lebih tertarikpada tingkat DER tertentu yang
besarnya kurang dari 1 karena jika lebih besar dari 1 menunjukkan risiko perusahaan
semakin meningkat.
Tabel 2.1
Penelitian Terdahulu
No Nama Peneliti Judul Penelitian Hasil Penelitian
1 Yoandikha
Nabela (2012)
Pengaruh kepemilikan
institusional, kebijakan
deviden, dan profitabilitas
terhadap kebijakan hutang
1. Kepemilikan institusional
berpengaruh terhadap
kebijakan hutang
perusahaan
2. Kebijakan dividen
berpengaruh positif dan
tidak signifikan terhadap
kebijakan hutang
2 Eva Larasati
(2010)
Pengaruh kepemilikan
manajerial, kepemilikan
institusional, kebijakan
deviden terhadap
kebijakan hutang
perusahaan
1. Kepemilikan institusional
mempunyai pengaruh
positif dan signifikan
terhadap kebijakan
hutang
2. Kepemilikan manajerial
tidak berpengaruh pada
kebijakan hutang
perusahaan
3. Kebijakan deviden
mempunyai pengaruh
yang signifikan terhadap
kebijakan hutang
3
Rizka Putri
Indahningrum dan
Ratih Handayani
(2009)
Pengaruh kepemilikan
manajerial, kepemilikan
institusional, deviden,
pertumbuhan perusahaan,
free cash flow, dan
provitabilitas terhadap
kebijakan hutang
1. Kepemilikan manajerial
tidak berpengaruh
terhadap kebijakan
hutang
2. Kepemilikan institusional
berpengaruh terhadap
kebijakan hutang
3. Kebijakan deviden tidak
berpengaruh terhadap
kebijakan hutang
4 Yeniatie dan
Destriana (2010)
Faktor-faktor yang
mempengaruhi kebijakan
hutang pada perusahaan
non keuangan yang
terdaftar di Bursa Efek
1. Kepemilikan manajerial
berpengaruh negatif
terhadap kebijakan
hutang
2. Kepemilikan institusional
Indonesia berpengaruh terhadap
kebijakan hutang
3. Kebijakan deviden
mempunyai negatif
terhadap kebijakan
hutang
5 Steven dan Lina
(2011)
Faktor-faktor yang
mempengaruhi kebijakan
hutang perusahaan
1. Kepemilikan manajerial
tidak berpengaruh
terhadap kebijakan
hutang perusahaan
2. Ukuran perusahaan tidak
berpengaruh signifikan
terhadap kebijakan
hutang perusahaan
3. Kebijakan deviden
berpengaruh terhadap
kebijakan hutang
perusahaan
6
Mudrika
Alamsyah Hasan
(2014)
Pengaruh kepemilikan
manajerial, free cash flow,
dan ukuran perusahaan
terhadap kebijkan hutang
1. Kepemilikan manajerial
berpengaruh negatif
terhadap kebijakan
hutang
2. Ukuran perusahaan
berpengauh positif
terhadap kebijakan
hutang
7 Lenra Juni
Remember
Analisis pengaruh
kepemilikan manajerial,
1. Kepemilikan manajerial
berhubungan negatif
Purba (2011) kebijakan deviden, ukuran
perusahaan, profitabilitas
terhadap kebijakan hutang
terhadap kebijakan
hutang.
2. Kebijakan dividen
berhubungan positif
terhadap kebijakan
hutang.
3. Ukuran perusahaan
berhubungan positif
terhadap kebijakan
hutang.
8 Elly Astuti (2014)
Pengaruh kepemilikan
institusional,
profitabilitas, ukuran
perusahaan terhadap
kebijakan hutang
1. Kepemilikan institusional
tidak berpengaruh
terhadap kebijakan
hutang
2. Ukuran perusahaan
berpengaruh positif
terhadap kebijakan
hutang
9 Elva Nuraina
(2012)
Pengaruh kepemilikan
institusional, dan ukuran
perusahaan terhadap
kebijakan hutang dan nilai
perusahaan (Studi pada
Perusahaan Manufaktur
yang Terdaftar di BEI)
1. Kepemilikan institusional
berpengaruh signifikan
terhadap kebijakan
hutang perusahaan
2. Ukuran perusahaan tidak
berpengaruh signifikan
terhadap kebijakan
hutang perusahaan
10 Adam Dustin
Bakti (2012)
Pengaruh struktur
kepemilikan manajerial
1. Kepemilikan manajerial
tidak berpengaruh
dan kepemilikan
institusional terhadap
kebijakan hutang
perusahaan yang terdaftar
di BEI
terhadap kebijakan
hutang
2. Kepemilikan institusional
mempunyai pengaruh
terhadap kebijakan
hutang
2.2 Kerangka Pemikiran
2.2.1 Pengaruh Kepemilikan Manajerial Terhadap Kebijakan Hutang
Kepemilikan manajerial dalam kaitannya dengan kebijakan hutang
mempunyai peranan penting, yaitu sebagai pengendali kebijakan keuangan
perusahaan agar sesuai dengan keinginan pemegang saham Keinginan pemegang
saham untuk menyamakan kepentingan dengan manajemen melalui program –
program yang mengikat kekayaan pribadi manajemen kedalam kekayaan perusahaan
( Meggison, 1997 dalam Esa dan Reffina 2013)
Kepemilikan manajerial sangat mempengaruhi kebijakan hutang karena pada
saat manajer mempunyai kecenderungan untuk menggunakan hutang yang tinggi
bukan atas dasar maksimalisasi nilai perusahaan melainkan untuk kepentingan
opportunistik mereka, yang menyebabkan biaya agensi hutang semakin tinggi,
kepemilikan manajerial yang dimana adalah manajer yang sekaligus pemegang saham
tentunya akan menselaraskan kepentingannya dengan kepentingannya sebagai
pemegang saham dan akan lebih berhati – hati dalam mengambil keputusan terlebih
kebijakan hutang karena akan berpengaruh terhadap nilai perusahaan. (Brigham dan
Houston, 2009:27)
Joher at al (2006) dalam Mudrika (2014) menyatakan bahwa dimana jika
kepemilikan manajerial naik menyebabkan utang semakin rendah, karena manajer
akan berhati-hati dalam menggunakan hutang dan menghindari perilaku opportunistic
karena mereka ikut menanggung konsekuensi dari tindakannya, sehingga mereka
cenderung menggunakan hutang yang rendah. Kepemilikan manajerial memiliki
pengaruh negatif terhadap kebijakan hutang perusahaan karena semakin besar
presentase kepemilikan manajer dalam suatu perusahaan maka manajer tersebut akan
turut merasakan dampak dari pengambilan keputusan yang dibuatnya sebagai salah
satu pemegang saham perusahaan. Semakin tinggi kepemilikan manajerial maka akan
semakin kecil penggunan hutang untuk mendanai kebutuhan dana perusahaan.
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Steven dan Lina 2011, Yeniatie dan
Destriana 2010 menemukan bukti bahwa kepemilikan manajerial berpengaruh negatif
terhadap kebijakan hutang.
2.2.2 Pengaruh Kepemilikan Institusional Terhadap Kebijakan Hutang .
Kepemilikan institusional dapat mempengaruhi keputusan pendanaan apakah
melalui hutang atau right issue. Pihak institusional diharapkan mampu melakukan
pengawasan lebih baik terhadap kebijakan manajer dikarenakan dari segala skala
ekonomi, pihak institusional memiliki keuntungan lebih untuk memperoleh informasi
dan menganalisis segala hal yang berkaitan dengan kabijakan manajer. (Brigham dan
Houston, 2009: 29 dalam Nuraina, 2012)
Kepemilikan institusional memiliki peranan yang sangat penting dalam
meminimalisasi konflik keagenan yang terjadi antara manjer dan pemegang
saham.dengan adanya kepemilikan institusional menyebabkan perilaku manajer lebih
terkontrol dengan baik oleh pihak pemegang saham eksternal. Dengan adanya
kepemilikan institusional yang semakin tinggi, menyebabkan control eksternal
terhadap perusahaan semakin kuat, sehingga dapat mengurangi biaya keagenan.
(Nabela, 2012)
Dengan demikian semakin besar persentase saham yang dimiliki kepemilikan
institusional dapat menyebabkan usaha monitoring menjadi semakin efektif karena
dapat mengendalikan perilaku opportunistic yang dilakukan oleh para manajer.
2.2.3 Pengaruh Ukuran Perusahaan Terhadap Kebijakan Hutang
Ukuran perusahaan merupakan ukuran atau besarnya aset yang dimilik
perusahaan. Ukuran perusahaan mempunyai pengaruh penting terhadap integrasi
antar bagian dalam perusahaan, hal ini disebabkan karena ukuran perusahaan yang
besar, memiliki sumber daya pendukung yang lebih besar dibanding perusahaan yang
lebih kecil.
Skala perusahaan adalah perusahaan besar yang sudah well-estabilished akan
lebih memperoleh modal di pasar modal dibanding dengan perusahaan kecil. Karena
kemudahan akses tersebut berarti perusahaan besar memiliki fleksibilitas yang lebih
besar pula. Bukti empiris menyatakan bahwa skala perusahaan berhubungan positif
dengan ratio antara utang dengan nilai buku ekuitas atau debt to book value of equity
ratio. (Agus Sartono, 2010: 349)
Besar kecilnya ukuran perusahaan akan berpengaruh terhadap struktur modal
dengan didasarkan pada kenyataan bahwa semakin besar suatu perusahaan
mempunyai tingkat pertumbuhan penjualan yang tinggi sehingga perusahaan tersebut
akan lebih berani mengeluarkan saham baru dan kecenderungan untuk menggunakan
jumlah pinjaman juga semakin besar pula, sehingga ukuran perusahaan berpengaruh
positif terhadap kebijakan hutang. (Nuraina, 2012)
Perusahaan yang memiliki ukuran yang lebih besar memiliki peluang yang
lebih besar juga untuk mendapat sumber pendanaan dari kreditur, sehingga untuk
memperoleh pinjaman dari kreditur pun akan lebih mudah. Semakin besar ukuran
perusahaan maka kecenderungan menggunakan modal juga semakin besar, hal ini di
sebabkan karena perusahaan besar membutuhkan dana yaang besar pula untuk
membiayai aktivitas operasionalnya juga. Perusahaan yang besar memiliki aktiva
yang cukup besar yang dapat dipergunakan sebagai jaminan untuk melakukan hutang,
perusahaan besar memiliki akses yang luas terhadap pendanaan internal maupun
eksternal karena ukuran perusahaan merupakan salah satu penentu kinerja keuangan
perusahaan. Sehingga semakin besar ukuran perusahaan, diprediksikan memiliki
tingkat hutang yang semakin tinggi. (Elly,2014)
Hasil penelitian dari Elly (2014) dan Nuraina (2012), menyimpulkan bahwa
ukuran perusahaan berpengaruh positif terhadap kebijakan hutang.
2.2.4 Pengaruh Kebijakan Deviden Terhadap Kebijakan Hutang
Kebijakan deviden merupakan keputusan apakah laba yang diperoleh
perusahaan pada akhir tahun akan dibagi kepada pemegang saham dalam bentuk
dividen atau akan ditahan untuk menambah modal guna pembiayaan investasi dimasa
yang akan datang. Kebijakan dividen akan memiliki pengaruh terhadap tingkat
pengguanaan hutang suatu perusahaan. Jika perusahaan meningkatkan pembayaran
dividennyamakan dana yang tersedia untuk pendanaan (laba ditahan) akan semakin
kecil, sehingga untuk memenuhi kebutuhan dana perusahaan tersebut manajer
cenderung menggunakan utang lebih banyak.
Semakin dana untuk melunasi hutang baik untuk obligasi hipotek dalam tahun
tersebut yang diambilkan dari kas maka akan berakibat menurunkan devidend payout
ratio dan sebaliknya. Artinya, dana dalam kas yang akan dibayarkan dividen kepada
para pemegang saham harus rela dipakai untuk membayar hutang dibanding
membayar dividen. (Indriyo Gitosudarmo dan Basri, 2008:232).
Larasati (2011) menyatakan bahwa untuk mengurangi biaya keagenan
diperlukan pembayaran dividen. Disamping itu pembayaran dividen dapat dilakukan
setelah kewajiban terhadap pembayaran bunga dan cicilan hutang dipenuhi. Adanya
kewajiban tersebut akan membuat manajer semakin berhati – hati dalam
penggunakan hutang. Perusahaan yang memiliki dividend payout ratio yang tinggi
menyukai pendanaan modal sendiri sehingga mengurangi masalah keagenan.
Hasil penelitian yang dilakukan Lenra Junri (2011) dan Larasati (2010)
menunjukkan bahwa kebijakan deviden berpengaruh signifikan terhadap kebijakan
hutang.
2.3 Paradigma Penelitian
Berdasarkan kajian pustaka, penelitian terdahulu dan kerangka pemikiran maka
dapat digambarkan paradigma penelitian sebagai berikut:
Gambar 2.1
Kepemilikan Manajerial
Kepemilikan Institusional
Ukuran Perusahaan
Kebijakan Deviden
Kebijakan Hutang
2.4 Hipotesis Penelitian
Berdasarkan kerangka pemikiran diatas yang telah dikemukakan, maka hipotes
dalam penelitian ini adalah:
H1= Kepemilikan manajerial berpengaruh terhadap kebijakan hutang.
H2= Kepemilikan Institusional berpengaruh terhadap kebijakan hutang.
H3= Ukuran perusahaan berpengaruh terhadap kebijakan hutang.
H4= Kebijakan Deviden berpengaruh terhadap kebijakan hutang.