Post on 11-Nov-2020
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Indonesia sebagai sebuah negara dengan jumlah penduduk ketiga
terbanyak di dunia adalah negara hukum berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.1
Negara Republik Indonesia juga menjunjung tinggi HAM yang menjamin segala
hak warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan Pemerintahan.2
Asas persamaan kedudukan di dalam hukum merupakan asas yang sangat penting
dalam proses peradilan pidana. Dalam proses peradilan pidana di Indonesia,
hakim harus bersifat tidak memihak. Dalam sistem “saling berhadapan” (advesary
system) ini, pihak terdakwa yang didampingi penasehat hukum, sedangkan di
pihak lain, terdapat penuntut umum yang bertindak atas nama negara. Selain
penuntut umum, ada pula pihak kepolisian yang memberikan data tentang hasil
penyidikan (sebelum pemeriksaan hakim).3 Selain itu terdapat juga saksi-saksi,
baik yang memberatkan atau meringankan terdakwa.
Kejahatan terorisme adalah sebuah fakta yang cukup tua dalam sejarah.
The Zealots-Sicarii, kelompok teroris yahudi, berjuang melawan kekaisaran
Romawi di Judea dengan cara membunuh warga biasa pada siang hari di tengah
kota Yerussalem yang menimbulkan rasa panik luar biasa. Tindak pidana
Terorisme yang merupakan tindakan setiap orang yang dengan sengaja
1 UUD 1945 Pasal 1 ayat (3). Negara hukum yang berdasarkan Pancasila jo. Pasal 1 Undang-Undang tentang Kekuasaan Kehakiman. 2 Pasal 27 ayat (1) UUD 1945 yaitu ; Segala warga bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan Pemerintahan wajib menjunjung hukum dan Pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya. (hasil perubahan kedua) 3 Andi Hamzah, 1996, Hukum Acara Pidana Indonesia, Jakarta : CV. Sapta Artha Jaya, hal. 63.
Generated by Foxit PDF Creator © Foxit Softwarehttp://www.foxitsoftware.com For evaluation only.
2
menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan menimbulkan suasana teror atau
rasa takut terhadap orang secara meluas atau menimbulkan korban yang bersifat
massal, dengan cara merampas kemerdekaan atau hilangnya nyawa dan harta
benda orang lain, atau mengakibatkan kerusakan atau kehancuran terhadap objek-
objek vital yang strategis atau lingkungan hidup atau fasilitas publik atau fasilitas
internasional.4
Dalam konteks Indonesia, persoalan terorisme menjadi titik perhatian pada
saat terjadi peledakan bom di Legian, Bali, pada tanggal 12 Oktober 2002 yang
menyebabkan Indonesia menjadi sorotan publik internasioanal, karena mengingat
mayoritas korban dari tragedi bom Bali adalah orang asing. Adanya peledakan
tersebut menjadi indikator bahwa sebuah jaringan teroris telah masuk ke dalam
wilayah negara Republik Indonesia. Teror di Bali yang terjadi itu merupakan teror
terbesar di Indonesia dari serangkaian teror yang ada.5 Dampak yang di timbulkan
dari tindak pidana terorisme meluas, bukan hanya sekedar 190 orang yang
terbunuh dan 200 orang yang cedera, tetapi tragedi tersebut juga berdampak pada
keluarga para korban yang sekarang kehilangan suami, anak, maupun ibu. Praktis,
pasca kejadian seluruh warga pulau Bali yang mencapai hampir 2 juta orang, ikut
merasakan akibatnya, para nelayan tidak dapat menjual hasil ikan tangkapannya,
karena tidak ada lagi pengunjung di restoran-restoran, serta para pelayan hotel
kehilangan pekerjaannya, karena berkurangnya tamu yang menginap. Maraknya
aksi teror yang terjadi dengan jatuhnya banyak korban telah mengidentifikasi
4 Pasal 6 UU nomor 15 tahun 2003 tentang penetapan peraturan Pemerintah pengganti undang undang nomor 1 tahun 2002 tentang pemberantasan tindak pidana terorisme,menjadi Undang-Undang 5 Abdul Wahid, et.al, 2004, Kejahatan Terorisme Perspektif Agama, HAM dan Hukum, Bandung : PT. Refika Aditama, hlm. 59.
Generated by Foxit PDF Creator © Foxit Softwarehttp://www.foxitsoftware.com For evaluation only.
3
bahwa terorisme adalah sebuah kejahatan terhadap nilai-nilai kemanusiaan. Teror
telah menunjukkan gerakan nyatanya sebagai tragedi atas hak asasi manusia.
Eskalasi dampak destruktif yang di timbulkan telah atau banyak menyentuh
multidimensi kehidupan manusia, jati diri manusia, harkat sebagai bangsa beradab
dan cita-cita dapat hidup berdampingan dengan bangsa lain dalam misi
“kedamaian universal” telah berhasil dikalahkan oleh aksi teror. Karena demikian
akrabnya aksi teror ini digunakan sebagai salah satu pilihan manusia, akhirnya
teror bergeser dengan sendirinya sebagai “terorisme”. Artinya terorisme ikut
ambil bagian dalam kehidupan berbangsa, hal ini untuk menunjukkan potret lain
dari dan di antara berbagai jenis dan ragam kejahatan, khususnya kejahatan
kekerasan, kejahatan terorganisir dan kejahatan yang tergolong luar biasa
(extraordinary crime).
Pada dasarnya, tindak pidana terorisme adalah extraordinary crime.
Menurut Muladi, terorisme merupakan kejahatan luar biasa (Extraordinary
Crime) yang membutuhkan pula penanganan dengan mendayagunakan cara-cara
luar biasa (Extraordinary Measure) karena berbagai hal:6
a. Terorisme merupakan perbuatan yang menciptakan bahaya terbesar
(the greatest danger) terhadap hak asasi manusia. Dalam hal ini hak
asasi manusia untuk hidup (the right to life) dan hak asasi untuk bebas
dari rasa takut.
b. Target terorisme bersifat random atau indiscriminate yang cenderung
mengorbankan orang-orang tidak bersalah.
6 Muladi, “Penanggulangan Terorisme Sebagai Tindak Pidana Khusus”, bahan seminar Pengamanan Terorisme sebagai Tindak Pidana Khusus, Jakarta, 28 Januari 2004.
Generated by Foxit PDF Creator © Foxit Softwarehttp://www.foxitsoftware.com For evaluation only.
4
c. Kemungkinan digunakannya senjata-senjata pemusnah massal dengan
memanfaatkan teknologi modern.
d. Kecenderungan terjadinya sinergi negatif antar organisasi terorisme
nasional dengan organisasi internasional.
e. Kemungkinan kerjasama antara organisasi teroris dengan kejahatan
yang terorganisasi baik yang bersifat nasional maupun transnasional.
f. Dapat membahayakan perdamaian dan keamanan internasional.
Terorisme sebagai kejahatan yang telah berkembang menjadi lintas negara.
Kejahatan yang terjadi di dalam suatu negara tidak lagi hanya dipandang sebagai
yurisdiksi satu negara tetapi bisa diklaim termasuk yurisdiksi tindak pidana lebih
dari satu negara. Menurut Romli Atmasasmita dalam perkembangannya kemudian
dapat menimbulkan konflik yurisdiksi yang dapat mengganggu hubungan
internasional antara negara-negara yang berkepentingan di dalam menangani
kasus-kasus tindak pidana berbahaya yang bersifat lintas batas teritorial.7
Dari segi pengaturan hukum Internasional terdapat tiga konvensi
internasional yang mengatur tentang terorisme, yaitu :
1. International Convention and Suppression of Terorism, 1973. (Konvensi
tentang Pencegahan dan Pemberantasan Terorisme)
2. International Convention for the Supperssion of Terorrist Bombing
1997. (Konvensi Internasional tentang Pemberantasan Pengeboman Oleh
Terorisme) disahkan oleh Pemerintah Republik Indonesia dengan
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2006 tanggal 5 April 2006.
7 Romli Atmasasmita, 2000, Pengantar Hukum Pidana Internasional, Bandung : PT Rafika Aditama, hlm 58.
Generated by Foxit PDF Creator © Foxit Softwarehttp://www.foxitsoftware.com For evaluation only.
5
3. International Convention for the Suppression of Financing of Terorism
1999. (Konvensi Internasional tentang Pemberantasan Pendanaan untuk
Terorisme) disahkan oleh Pemerintah Republik Indonesia dengan
Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2006 tanggal 5 April 2006.
Disamping itu, terdapat kurang lebih dua belas konvensi internasional
yang berkaitan dengan konvensi internasional tentang terorisme dan beberapa
Resolusi Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa, yaitu Resolusi Dewan
Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa Nomor 1438 tanggal 15 Oktober 2002
yang menyatakan belasungkawa dan simpati Perserikatan Bangsa-Bangsa kepada
Pemerintah dan rakyat Indonesia, terhadap korban dan keluarganya, serta
menegaskan akan langkah-langkah untuk memberantas terorisme dan Resolusi
Perserikatan Bangsa-Bangsa Nomor 1373 (2001) yang menyerukan kepada
seluruh bangsa-bangsa untuk bekerja sama membantu Indonesia dalam
menemukan dan membawa pelakunya ke pengadilan.8
Perangkat peraturan hukum Internasional tersebut bagi bangsa Indonesia
sangat penting karena sejalan dengan tujuan yang terkandung dalam pembukaan
Undang-Undang Dasar 1945, sehingga sangat diperlukan peraturan perundang-
undangan mengenai masalah tindak pidana terorisme. Keadaan yang mendesak
menyebabkan Pemerintah Republik Indonesia sejak awal tahun 1999 telah
memulai mengambil langkah-langkah untuk menyusun Rancangan Undang-
Undang (RUU) tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme sebagai langkah
antisipatif untuk melakukan pencegahan dan penanggulangan tindak pidana
terorisme. Hal ini disebabkan dalam beberapa dekade ini terorisme telah menjadi 8 Soeharto, 2007, Perlindungan Hak Tersangka, Terdakwa dan Korban Tindak Pidana Terorisme, Bandung : PT. Refika Aditama, hal. 3-4.
Generated by Foxit PDF Creator © Foxit Softwarehttp://www.foxitsoftware.com For evaluation only.
6
fenomena umum yang terjadi di berbagai negara dan diperkirakan dapat pula
terjadi di negara Indonesia.
Pemerintah Republik Indonesia dengan mendasarkan pada ketentuan Pasal
22 ayat (1) UUD 1945, yaitu syarat ”hal ikhwal kegentingan yang memaksa”
bertekad segera bertindak untuk mengungkap peristiwa bom Bali dengan
mengantisipasi segala kemungkinan yang akan terjadi kembali, peristiwa-
peristiwa yang menelan korban jiwa dan harta benda. Untuk itu Pemerintah
mengeluarkan kebijakan dengan menetapkan Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang (PERPU) Nomor 2 Tahun 2002 tentang pemberlakuan PERPU
Nomor 1 tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme.
Dikeluarkannya Perpu ini, tidak di maksudkan untuk ditujukan kepada orang
perorangan atau kelompok tertentu dalam masyarakat, tetapi ditujukan kepada
siapa saja yang menjadi pelaku atau terkait dengan kegiatan tindak pidana
terorisme.9 Penjelasan Pemerintah tersebut di atas secara mendalam dipaparkan
oleh Romli Atmasasmita, bahwa Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana
Terorisme berlandaskan kepada 6 (enam) prinsip, yaitu :10
1. National Security; adalah untuk mewujudkan prinsip teritorialitas dari
hukum pidana sekaligus untuk melandasi pertahanan dan keamanan
negara sebagai Negara Kesatuan Republik Indonesia
2. Balance of Justice; adalah untuk menegakkan prinsip equality before
the law, baik terhadap tersangka/terdakwa maupun terhadap korban
9 Ibid, hal 8. 10 Romli Atmasasmita, Pemberantasan Terorisme Dari Aspek Hukum Pidana Internasional, Seminar Nasional Hakikat Kebijakan Kriminal Kejahatan Terorisme, tgl 21-22 Maret 2003, hal. 13.
Generated by Foxit PDF Creator © Foxit Softwarehttp://www.foxitsoftware.com For evaluation only.
7
sehingga due process harus digandengkan dengan crime kontrol model
dalam mencegah dan memberantas tindak pidana terorisme.
3. Safe Guardings Rules; adalah prinsip yang harus dipertahankan dan
dilaksanakan untuk mencegah terjadinya abuse of power dalam
pencegahan dan pemberantasan tindak pidana ini.
4. Safe Harbour Rule; adalah prinsip yang diharapkan upaya untuk
memberikan perlindungan kepada tersangka pelaku tindak pidana
Terorisme dan prinsip ini dalam Undang-Undang Pemberantasan
Tindak Pidana Terorisme telah diperkuat oleh ketentuan yang
mengkriminalisasi pebuatan memberikan kemudahan (fasilitas)
sesudah tindak pidana tersebut dilakukan (accesories after the facts)
sebagai tindak pidana yang berdiri sendiri.
5. Sunshine Principle; adalah prinsip yang mengedapankan transparansi
dan akuntabilitas dalam proses penyidikan, penuntutan dan
pemeriksaan di muka sidang pengadilan dalam kasus pidana terorisme.
6. Sunset Principle; adalah prinsip yang mengadakan pembatasan waktu
(time limits) terhadap kebijakan Pemerintah yang bersifat
pembentukan kelembagaan khusus dan atau mekanisme khusus
tertentu yang diperlukan untuk mencegah dan memberantas tindak
pidana terorisme.
Dalam perkembangan ketatanegaraan selanjutnya kedua buah PERPU
tersebut setelah dibahas di Dewan Perwakilan Rakyat pada akhirnya disetujui
menjadi Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Penetapan Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2002 tentang
Generated by Foxit PDF Creator © Foxit Softwarehttp://www.foxitsoftware.com For evaluation only.
8
Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme dan Undang-Undang Nomor 16 Tahun
2003 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor
2 Tahun 2002 tentang Pemberlakuan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme
pada peristiwa peledakan bom di Bali tanggal 12 Oktober 2002.
Undang-Undang nomor 15 tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Terorisme tersebut disamping melindungi kedaulatan negara dari berbagai
tindakan terorisme, negara berkewajiban melindungi tersangka pelaku terorisme
sebagai wujud perlindungan hak asasi manusia. Selain itu, Undang-Undang
tersebut berkewajiban melindungi korban terorisme yang sebagian besar rakyat
yang tidak berdosa (innocent victims). Pasal 34 UU tentang Pemberantasan
Tindak Piadana Terorisme, bahkan secara lebih rinci mentapkan bentuk
perlindungan yang wajib diberikan oleh negara, baik sebelum, selama, maupun
sesudah proses pemeriksaan perkara kepada saksi, yaitu perlindungan atas
keamanan pribadi dari ancaman fisik dan mental, kerahasian identitas ahli,
pemberian keterangan pada saat pemeriksaan di sidang pengadilan tanpa bertatap
muka dengan terdakwa. Adanya ketentuan-ketentuan semacam itu tentunya
merupakan suatu langkah maju dan perwujudan dari timbulnya kesadaran bahwa
dalam proses peradilan bukan hanya tersangka/terdakwa yang perlu mendapat
perlindungan, meskipun masih perlu dipantau apakah ketentuan ini pada akhirnya
dapat diimplementasikan, karena masih dibutuhkannya adanya Peraturan
Pemerintah (PP) untuk melaksanakan ketentuan UU tersebut.11 Pasal 36 ayat (1)
11 fitriasih Surastrini, “Perlindungan Saksi dan Korban Sebagai Sarana Menuju Proses Peradialan (Pidana) Yang Jujur dan Adil, www. Pemantau peradilan. Com, diunduh 28 Februari 2011, pukul 10:18:39 PM
Generated by Foxit PDF Creator © Foxit Softwarehttp://www.foxitsoftware.com For evaluation only.
9
Undang-Undang nomor 15 tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Terorisme merupakan landasan hukum bagi setiap korban atau ahli warisnya
akibat tindak pidana terorisme untuk mendapatkan kompensasi atau restitusi.
Namun demikian, sampai saat ini belum ada yang mengatur pemberian
kompensasi dan restitusi bagi korban, begitu pula dalam praktik peradilan kasus
tindak pidana terorisme. Sekali pun akibat dari perbuatan tindak pidana terorisme
telah banyak menimbulkan korban yang menderita kehilangan anggota badan,
mengalami sakit ataupun sampai kehilangan nyawa. Di kaitkan dengan peraturan
yang mengatur mengenai perlindungan dan bantuan bagi saksi dan korban yakni
Undang-Undang nomor 13 tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban.
Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban yang bertanggung jawab untuk
menangani pemberian perlindungan dan bantuan pada saksi dan korban
berdasarkan tugas dan kewenangan.12 Dalam melaksanakan tugas dan fungsinya,
LPSK tidak lepas dari peran kerjasama berbagai pihak terutama aparat penegak
hukum. Berkaitan dengan pemberian perlindungan dan bantuan dari LPSK ini,
tidak semuanya permohonan akan dikabulkan oleh LPSK.
Dalam diskusi dan pertemuan ilmiah untuk membahas naskah akademik
perlindungan saksi dan korban, terdapat dua masalah yang masih menjadi
perdebatan. Pertama, apakah ketentuan tentang perlindungan saksi dan korban ini
akan berupa Undang-Undang khusus ataukah akan di inkorporasikan dalam
KUHAP sebagai suatu bab tersendiri; kedua, tentang lembaga yang bertanggung
jawab dalam masalah perlindungan saksi dan korban.
12 Pasal 12 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban
Generated by Foxit PDF Creator © Foxit Softwarehttp://www.foxitsoftware.com For evaluation only.
10
Masalah pertama, sesungguhnya bukan masalah signifikan karena yang
terpenting adalah kesepakatan bahwa sudah saatnya saksi dan korban diberikan
perlindungan, dalam bentuk apapun jaminannya. Akan tetapi hal yang lebih
penting adalah komitmen untuk melaksanakannya.
Hal yang kedua merupakan persoalan yang sangat penting, karena
lembaga inilah yang akan bertanggung jawab dalam pelaksanaan perlindungan
saksi. Dalam naskah akademik UU Perlindungan Saksi dan Korban, di tawarkan
tiga alternatif ;
a. Merupakan bagian atau unit khusus dalam lembaga kepolisian.
b. Merupakan unit khusus dalam KOMNAS HAM
c. Merupakan lembaga tersendiri.
Alternatif terakhir dianggap oleh banyak pihak maupun pakar, antara lain
Harkristuti Harkrisnowo, sebagai pilihan yang terbaik karena lembaga ini sangat
penting sehingga membutuhkan indepedensi. Kemandirian yang dimilikinya
diharapkan akan dapat membuat lembaga ini mampu memberikan penilian secara
objektif bilamana saksi dan korban membutuhkan perlindungan dan bantuan.13
Adanya hak-hak dalam UU saja tentunya belum merupakan jaminan bagi
saksi dan korban akan mendapat perlindungan yang sesungguhnya. Telah banyak
contoh mengenai betapa sulitnya mengimplementasikan ketentuan perundang-
undangan, terutama yang berkaitan dengan pemberian hak. Sebagai contoh
konkrit, hak-hak yang dimiliki oleh tersangka/terdakwa. Setelah lebih dari dua
dasawarsa KUHAP berlaku, namun pemberian hak-hak kepada
13 Harkristuti Harkrisnowo, “Perlindungan Korban dan Saksi Dalam Proses Peradilan Pidana dan Urgensi Pengaturan Perlindungan Bagi Mereka”, 29 Oktober 2009, www. Pemantauperadilan.com, diunduh 28 Februari 2011, pukul 11:18:39 PM
Generated by Foxit PDF Creator © Foxit Softwarehttp://www.foxitsoftware.com For evaluation only.
11
tersangka/terdakwa yang menjadikan karya agung ini bercirikan pengedepanan
hak asasi manusia, belum juga terlaksana dengan baik. Jangankan pendampingan
oleh penasihat hukum, yang memang membutuhkan dana dan fasilitas pun, masih
sangat jauh dari harapan. Hal ini terbukti dengan masih banyaknya berita tentang
penggunaan kekerasan untuk memperoleh pengakuan tersangka/terdakwa dan
juga gugatan praperadilan mengenai prosedur penangkapan dan penahanan.
Oleh karena itu, masih timbul adanya kelemahan-kelemahan dalam produk
peraturan perundangan-undangan maupun dalam praktik mengenai perlindungan
atas korban tersebut, saat ini belum ada prosedur permohonan restitusi dan
penjatuhan sanksi terhadap restitusi yang tidak dipenuhi oleh pelaku terorisme.
Bertitik tolak dari uraian tersebut, jelas bahwa Undang-Undang Nomor 15 tahun
2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme belum mencerminkan
prinsip due process of law dan prinsip fair tail dan equality before the law antara
pihak korban dan pihak tersangka.
Berdasarkan uraian di atas, penulisan skripsi ini dimaksudkan untuk
mengetahui bagaimanakah perlindungan hak tersangka, terdakwa, dan korban tindak
pidana terorisme dapat di implementasikan oleh lembaga penegak hukum berdasarkan
peraturan-peraturan normatif yang ada. Untuk itu, peneliti mengambil judul
”PERLINDUNGAN HAK TERSANGKA, TERDAKWA, DAN KORBAN
TINDAK PIDANA TERORISME BESERTA IMPLEMENTASINYA”.
Generated by Foxit PDF Creator © Foxit Softwarehttp://www.foxitsoftware.com For evaluation only.
12
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah
Pembatasan masalah diperlukan agar dalam penyusunan skripsi ini dapat
mengarah jelas dan terfokus pada permasalahan yang akan diteliti. Karena di
sesuaikan dengan kemampuan dari penulis yang menyangkut hal atau aspek yang
sangat luas baik secara konsepsional maupun operasionalnya. Oleh sebab itu
penelitian dibatasi pada :
1. Dalam hal melakukan penelitian ini, penulis memusatkan pada
perlindungan hak tersangka, terdakwa, dan korban tindak pidana
terorisme di Indonesia.
2. Mengenai implementasi dari pemberian perlindungan hak tersangka,
terdakwa, dan korban tindak pidana terorisme ini, di fokuskan pada
dua institusi Pemerintah pusat yakni KOMNAS HAM dan Lembaga
perlindungan Saksi dan Korban.
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, penulis akan mengemukakan
beberapa masalah yang perlu dikaji. Permasalahan yang akan dikaji adalah
sebagai berikut :
1. Bagaimana kajian mengenai tindak pidana terorisme dalam perspektif
normatif serta asas berlakunya peraturan hukum pidana terorisme ?
2. Bagaimana tinjauan perlindungan hak tersangka, terdakwa, dan korban
tindak pidana terorisme di Indonesia dari aspek normatif?
3. Bagaimana peranan Lembaga Perlindungan Saksi Korban dan Komnas
HAM dalam hak perlindungan kepada tersangka, terdakwa dan korban
dalam tindak pidana terorisme ?
Generated by Foxit PDF Creator © Foxit Softwarehttp://www.foxitsoftware.com For evaluation only.
13
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
a. Tujuan Penelitian :
1. Untuk mengetahui tinjauan umum tentang perlindungan hak
tersangka, terdakwa, dan korban tindak pidana terorisme di
Indonesia.
2. Untuk mengetahui implementasi dari sisi normatif serta lembaga
institusi Pemerintah mengenai perlindungan hak tersangka,
terdakwa, dan korban tindak pidana terorisme.
b. Manfaat Penelitian :
1. Manfaat Teoritis
a) Untuk dapat memberikan sumbangan pemikiran untuk
mengembangkan ilmu hukum pidana yang berkaitan dengan
tindak pidana terorisme.
b) Sebagai bahan untuk melengkapi hasil-hasil penelitian lain
yang berkaitan dengan perlindungan hak tersangka, terdakwa,
dan korban tindak pidana terorisme.
2. Manfaat Praktis
a) Dari hasil penelitian dapat diharapkan manfaat pada upaya
pemberian perlindungan hak tersangka, terdakwa, dan korban
tindak pidana terorisme.
b) Dari hasil penulisan skripsi ini diharapkan dapat memberikan
wacana atau sumbangan pemikiran bagi kemajuan lembaga
penegak hukum dalam memberikan perlindungan hak
tersangka, terdakwa, dan korban tindak pidana terorisme.
Generated by Foxit PDF Creator © Foxit Softwarehttp://www.foxitsoftware.com For evaluation only.
14
D. Kerangka Pemikiran
Pembukaan UUD 1945 menyatakan bahwa, negara Indonesia ikut
melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi
dan keadilan sosial, maka Indonesia harus berperan aktif dan berkontribusi di
dalam pemeliharaan perdamaian dan keamanan internasional sebagaimana yang
telah tertuang di dalam piagam PBB. Indonesia bersikap dan mendorong agar
PBB berperan secara aktif dan konstruktif di dalam upaya pemberantasan
terorisme internasional. Indonesia juga berpendapat bahwa langkah-langkah yang
bersifat multilateral perlu lebih dikedepankan. Dunia tidak boleh hanya
memerangi terorisme yang terlihat di permukaan, tetapi juga harus menyentuh
akar masalah dan penyebab utamanya, seperti ketimpangan dan ketidak adilan
yang masih dirasakan oleh banyak kalangan di masyarakat internasional.14
Perkembangan dunia global yang sekarang ini tidak lagi mengenal batas-
batas wilayah negara dan dengan mengingat kemajuan teknologi yang semakin
canggih serta kemudahan transportasi yang memungkinkan orang dengan mudah
memasuki suatu negara yang hendak ditujunya, maka penegakan hukum dan
ketertiban secara konsisten dan berkesinambungan perlu dilakukan. Adanya aksi
terorisme yang terjadi di beberapa negara baru-baru ini telah membuat Dewan
Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa menempatkan terorisme sebagai tindak
pidana dengan status Kejahatan Internasional dengan demikian pengaturan hukum
mengenai kejahatan terorisme perlu memperhatikan kebiasaan-kebiasaan dan
14 Ewit Soetriadi, Kebijakan Penanggulangan Tindak Pidana Terorisme Dengan Hukum Pidana, 2008, Eprints_undip.ac.id_172911_EWITSOETRIADI, Diunduh 13 Maret 2011, pukul 17.45.
Generated by Foxit PDF Creator © Foxit Softwarehttp://www.foxitsoftware.com For evaluation only.
15
kepentingan internasional di samping juga memperhatikan sistem hukum dan
peraturan perundang-undangan yang berlaku di negara masing-masing.
Negara-negara anggota PBB perlu bekerja sama menangani masalah
terorisme dengan mengingat aksi-aksi terorisme sampai dengan sekarang ini
masih terus terjadi dan meningkat baik dari segi kuantitas maupun kualitasnya
serta semakin menjadi ancaman serius terhadap prinsip-prinsip perdamaian dunia
sebagaimana termaktub dalam piagam PBB. Pendekatan komprehensif untuk
mengatasi terorisme merupakan suatu hal yang sangat penting mengingat multi
aspek yang melingkupi kejahatan terorisme berbagai aksi-aksi terorisme yang
sudah tidak mengenal batas-batas Negara merupakan fakta yang harus dihadapi
oleh masyarakat internasional, oleh karena itu mutlak dilakukan aktifitas bersama
baik melalui kerjasama bilateral maupun multilateral untuk mengcounter
terorisme melalui penegakan hukum (Law Enforcement), intelijen (Intelligence)
dan keamanan (Security).
Teror berasal dari bahasa latin, terrere yang diterjemahkan dalam bahasa
inggris menjadi to frighten, yang terjemahan bebasnya dalam bahasa Indonesia
adalah menakutkan, mengerikan. Sebelumnya, perang yang membahayakan
nyawa manusia menjadi lebih terkendali, karena perang masih diatur dengan satu
kodifikasi. Di dalam hukum perang misalnya dilarang menjadikan tempat-tempat
tertentu dan orang-orang sipil sebagai target operasi. Sedangkan organisasi teroris
baik asalnya maupun cara kerjanya, sukar untuk di pantau. Gerakan teroris
mempunyai perangkat keras (hard ware) dan perangkat lunak (soft ware).
Perangkat kerasnya antara lain senjata, alat-alat peledak, bahan-bahan kimia yang
Generated by Foxit PDF Creator © Foxit Softwarehttp://www.foxitsoftware.com For evaluation only.
16
mematikan. Sedangkan perangkat lunaknya adalah bagaimana melaksanakan
strategi dan manuver untuk mencapai tujuan pemusnahan manusia/kelompok.15
Banyak pendapat yang mencoba mendefinisikan Terorisme, satu di
antaranya adalah pengertian yang tercantum dalam Pasal 14 ayat 1 The Prevention
of Terorism (Temporary Provisions) act, 1984, sebagai berikut: “Terorism means
the use of violence for political ends and includes any use of violence for the
purpose putting the publik or any section of the publik in fear.” Kegiatan
Terorisme mempunyai tujuan untuk membuat orang lain merasa ketakutan
sehingga dengan demikian dapat menarik perhatian orang, kelompok atau suatu
bangsa. Biasanya perbuatan teror digunakan apabila tidak ada jalan lain yang
dapat ditempuh untuk melaksanakan kehendaknya. Terorisme digunakan sebagai
senjata psikologis untuk menciptakan suasana panik, tidak menentu serta
menciptakan ketidak percayaan masyarakat terhadap kemampuan Pemerintah dan
memaksa masyarakat atau kelompok tertentu untuk mentaati kehendak pelaku
teror. Terorisme tidak ditujukan langsung kepada lawan, akan tetapi perbuatan
teror justru dilakukan dimana saja dan terhadap siapa saja. Dan yang lebih utama,
maksud yang ingin disampaikan oleh pelaku teror adalah agar perbuatan teror
tersebut mendapat perhatian yang khusus atau dapat dikatakan lebih sebagai psy-
war.16
Menyadari sedemikian besarnya kerugian yang ditimbulkan oleh suatu
tindak pidana Terorisme, serta dampak yang dirasakan secara langsung oleh
Indonesia sebagai akibat dari Tragedi Bali, merupakan kewajiban Pemerintah
15 O.C Kaligis, 2003, Terorisme Tragedi Umat Manusia, Jakarta : O.C.Kaligis&Associated, hal. 6. 16 Loebby Loqman, 1990, Analisis Hukum dan PerUndang-Undangan Kejahatan terhadap Keamanan Negara di Indonesia, Jakarta : Universitas Indonesia , hal. 98.
Generated by Foxit PDF Creator © Foxit Softwarehttp://www.foxitsoftware.com For evaluation only.
17
untuk secepatnya mengusut tuntas Tindak Pidana Terorisme itu dengan memidana
pelaku dan aktor intelektual dibalik peristiwa tersebut. Hal ini menjadi prioritas
utama dalam penegakan hukum. Untuk melakukan pengusutan, diperlukan
perangkat hukum yang mengatur tentang Tindak Pidana Terorisme. Menyadari
hal ini dan lebih didasarkan pada peraturan yang ada saat ini yaitu Kitab Undang-
Undang Hukum Pidana (KUHP) belum mengatur secara khusus serta tidak cukup
memadai untuk memberantas Tindak Pidana Terorisme, Pemerintah Indonesia
merasa perlu untuk membentuk Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana
Terorisme, yaitu dengan menyusun Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-
Undang (Perpu) nomor 1 tahun 2002, yang pada tanggal 4 April 2003 disahkan
menjadi Undang-Undang dengan nomor 15 tahun 2003 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Terorisme. Keberadaan Undang-Undang Pemberantasan Tindak
Pidana Terorisme di samping KUHP dan Undang-Undang Nomor 8 tahun 1981
tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP), merupakan Hukum Pidana Khusus. Hal
ini memang dimungkinkan, mengingat bahwa ketentuan Hukum Pidana yang
bersifat khusus, dapat tercipta karena :
1. Adanya proses kriminalisasi atas suatu perbuatan tertentu di dalam
masyarakat. Karena pengaruh perkembangan zaman, terjadi perubahan
pandangan dalam masyarakat. Sesuatu yang mulanya dianggap bukan
sebagai Tindak Pidana, karena perubahan pandangan dan norma di
masyarakat, menjadi termasuk Tindak Pidana dan diatur dalam suatu
perundang-undangan Hukum Pidana.
Generated by Foxit PDF Creator © Foxit Softwarehttp://www.foxitsoftware.com For evaluation only.
18
2. Undang-Undang yang ada dianggap tidak memadai lagi terhadap
perubahan norma dan perkembangan teknologi dalam suatu masyarakat,
sedangkan untuk perubahan Undang-Undang yang telah ada dianggap
memakan banyak waktu.
3. Suatu keadaan yang mendesak sehingga dianggap perlu diciptakan suatu
peraturan khusus untuk segera menanganinya.
4. Adanya suatu perbuatan yang khusus dimana apabila dipergunakan proses
yang diatur dalam peraturan perundang-undangan yang telah ada akan
mengalami kesulitan dalam pembuktian.
Sebagai Undang-Undang khusus, berarti Undang-Undang Nomor 15 tahun
2003 mengatur secara materiil dan formil sekaligus, sehingga terdapat
pengecualian dari asas yang secara umum diatur dalam Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana (KUHP)/Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP),
''(lex specialis derogat lex generalis)''. Keberlakuan lex specialis derogat lex
generalis, harus memenuhi criteria :17
1. bahwa pengecualian terhadap Undang-Undang yang bersifat umum,
dilakukan oleh peraturan yang setingkat dengan dirinya, yaitu Undang-
Undang.
2. bahwa pengecualian termaksud dinyatakan dalam Undang-Undang khusus
tersebut, sehingga pengecualiannya hanya berlaku sebatas pengecualian
yang dinyatakan dan bagian yang tidak dikecualikan tetap berlaku
17 Wikipedia Bahasa Indonesia, Terorisme, http://id.wikipedia.org/wiki/Terorisme, Diunduh 16 maret 2011, pukul 02.36
Generated by Foxit PDF Creator © Foxit Softwarehttp://www.foxitsoftware.com For evaluation only.
19
sepanjang tidak bertentangan dengan pelaksanaan Undang-Undang khusus
tersebut.
E. Metode Penelitian
Dalam melakukan suatu penelitian, kita tidak akan terlepas dari
penggunaan metode. Karena metode merupakan cara atau jalan bagaimana
seseorang harus bertindak. Metode dapat dirumuskan suatu tipe pemikiran yang
dipergunakan dalam penelitian dan penilaian, suatu teknik yang umum bagi ilmu
pengetahuan, cara tertentu untuk melaksanakan suatu prosedur.18
Dengan demikian metode penelitian adalah suatu cara yang akan
digunakan untuk mendapatkan suatu data dari objek penelitian, yang kemudian
data tersebut akan diolah guna mendapatkan data yang lengkap dan hasil
penelitian yang dapat dipertanggung jawabkan secara ilmiah. Adapun yang
menyangkut tentang metodologi penelitian dari penelitian ini meliputi:
1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah
deskriptif. Yaitu bermaksud memberikan gambaran secara jelas mengenai
perlindungan hak tersangka, terdakwa, dan korban tindak pidana terorisme..
2. Metode Pendekatan
Penelitian ini menggunakan metode pendekatan normatif empiris,
penelitian yang didasarkan pada suatu ketentuan kaidah-kaidah hukum
positif dan kenyataan yang terjadi di lapangan sehingga dapat diketahui
legalitas hukum dalam prakteknya.
18 Khudzaifah Dimyati & Kelik Wardiyono, 2004, Metode Penelitian hukum, Surakarta: Universitas Muhammadiyah Surakarta, hal. 1.
Generated by Foxit PDF Creator © Foxit Softwarehttp://www.foxitsoftware.com For evaluation only.
20
3. Jenis sumber data
Agar memperoleh data/bahan yang valid penulis menggunakan
sumber penelitian hukum:
a. Data Primer
Data primer adalah sumber data yang secara langsung
diperoleh dari lapangan, dengan mengadakan tinjauan langsung
pada objek yang diteliti dalam hal ini adalah keterangan dari para
pihak yang berhubungan dengan perlindungan hak tersangka,
terdakwa, dan korban tindak pidana terorisme.
b. Data Sekunder
Data sekunder adalah sumber data yang secara langsung
mendukung data primer yaitu buku-buku, dokumen, doktrin,
peraturan perundang-undangan, dan sumber tertulis lainya yang
berkenaan dengan masalah yang diteliti.
4. Metode Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data yang mendukung dan berkaitan dengan
tugas ini adalah:
a. Studi Kepustakaan
Merupakan suatu tehnik pengumpulan data dengan cara
mengumpulkan peraturan perundang-undangan, dokumen-
dokumen, buku-buku, dan bahan pustaka lainnya yang berkaitan
dengan pembahasan penelitian ini.
b. Wawancara
Generated by Foxit PDF Creator © Foxit Softwarehttp://www.foxitsoftware.com For evaluation only.
21
Yaitu mengadakan tanya jawab secara langsung antara
peneliti dengan pihak-pihak yang bersangkutan mengenai
perlindungan hak tersangka, terdakwa, dan korban tindak pidana
terorisme, baik dalam bentuk lisan maupun tertulis.
5. Metode Analisis Data
Setelah memperoleh data yang diperlukan, maka perlu suatu teknik
analisa data yang tepat. Data yang telah terkumpul tersebut diolah dan
dianalisa guna memecahkan masalah-masalah yang telah dikemukakan di
atas, maka tahap analisa ini merupakan faktor yang penting karena dapat
mempengaruhi mutu hasil penelitian. Analisa yang digunakan penulis dalam
penelitian ini adalah analisa data kualitatif, yaitu : “Suatu cara penelitian
yang menggunakan dan menghasilkan data deskriptif analisis yaitu apa yang
dinyatakan responden secara tertulis maupun lisan dan juga perilaku nyata
yang diteliti dan dipelajari sebagai sesuatu yang utuh “.19.
Analisis data yang menggunakan dan mengambil kebenaran yang
diperoleh dari kepustakaan, peraturan perundang-undangan, dokumen-
dokumen, buku-buku, dan bahan pustaka lain yang berkaitan dengan
permasalahan yang diteliti kemudian didiskusikan dengan data yang telah
diperoleh dari objek yang diteliti sebagai kesatuan yang utuh kemudian
dilakukan reduksi data atau pengolahan data menghasilkan sajian data
penelitian hukum sehingga akhirnya dapat ditarik suatu kesimpulan.
19 Soekanto, 1986, Meninjau Hukum Pidana Indonesia, Jakarta : Binacipta, Hal. 242.
Generated by Foxit PDF Creator © Foxit Softwarehttp://www.foxitsoftware.com For evaluation only.
22
G. Sistematika Skripsi
Skripsi ini akan disusun dalam format empat bab :
Bab I berisi pendahuluan, yang memuat cakupan latar belakang masalah,
pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitan, kerangka
pemikiran, metode penelitian dan sistematika skripsi.
Bab II berisi tinjauan pustaka, terdiri dari tinjauan umum tindak pidana,
asas berlakunya peraturan hukum pidana, serta pengertian dan sejarah terorisme.
Bab III berisi hasil penelitian dan pembahasan mengenai tindak pidana
terorisme dalam perspektif normatif, asas berlakunya hukum pidana tentang
tindak pidana terorisme, perlindungan secara normatif tentang hak tersangka,
terdakwa, dan korban dalam tindak pidana terorisme di Indonesia serta peranan
lembaga perlindungan saksi korban dan komnas HAM dalam hak perlindungan
tersangka, terdakwa dan korban tindak pidana terorisme
Bab IV merupakan penutup yang memuat kesimpulan dan saran.
Generated by Foxit PDF Creator © Foxit Softwarehttp://www.foxitsoftware.com For evaluation only.