Post on 02-Mar-2019
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Salah satu upaya mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur
sebagaimana yang diamanatkan dalam Pancasila dan Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 adalah melalui
pembangunan dibidang ekonomi, namun sejak pertengahan tahun 1997
Indonesia mengalami krisis moneter yang mengakibatkan kesulitan besar
terhadap perekonomian nasional terutama dunia usaha.
Awal tahun 1998 situasi perekonomian di Indonesia semakin
memburuk. Situasi ini akan berdampak pada semakin banyaknya dunia
usaha yang pailit sehingga tidak dapat meneruskan kegiatannya termasuk
dalam memenuhi kewajiban kepada kreditor. Pailitnya debitor tentu akan
menimbulkan masalah besar jika pranata hukum yang ada tidak lengkap
dan sempurna, untuk itu perlu diperlukan pranata hukum yang dapat
digunakan secara cepat, terbuka dan efektif sehingga dapat memberikan
kesempatan kepada pihak kreditor dan debitor untuk mengupayakan
penyelesaian yang adil.2
Menghadapi situasi tersebut, Pemerintah Indonesia mengambil
langkah dengan mengeluarkan Peraturan Perundang-Undangan Nomor 1
Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Kepailitan
2 Ahmad Yani dan Gunawan Wijaya, Seri Hukum Bisnis, Kepailitan, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002), hlm. 1-2.
1
2
Sebelumnya kepailitan di Indonesia diatur dalam Faillissement
Verordening Stb. Tahun 1905 Nomor 217 juncto Tahun 1906 Nomor 348.
Perpu No. 1 Tahun 1998 kemudian disahkan dengan Undang-Undang
Nomor 4 Tahun 1998 tentang Kepailitan.
UU No. 4 Tahun 1998 tersebut kemudian disempurnakan lagi dengan
Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan Dan
Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (selanjutnya disebut UU
Kepailitan). Revisi secara signifikan dilakukan terhadap UU No. 4 Tahun
1998 karena sarana untuk menyelesaikan utang sebagaimana yang diatur
didalamnya dianggap tidak memenuhi kebutuhan dunia usaha yang
semakin memburuk pada saat itu. Revisi terhadap peraturan kepailitan dan
penundaan kewajiban pembayaran diharapkan dapat memecahkan
sebagian persoalan penyelesaian utang piutang. Selanjutnya selain untuk
memenuhi kebutuhan dalam rangka penyelesaian utang piutang tersebut
juga diperlukan adanya mekanisme penyelesaian sengketa yang adil,
cepat, terbuka dan efektif melalui suatu pengadilan khusus di lingkungan
Peradilan Umum yang dibentuk secara khusus dan diberikan tugas
tertentu dibidang perniagaan termasuk dibidang kepailitan dan penundaan
kewajiban pembayaran.
Kepailitan merupakan eksekusi masal yang ditetapkan dengan
keputusan hakim, yang berlaku serta merta dengan melakukan penyitaan
umum atas semua harta orang yang dinyatakan pailit, baik yang ada pada
waktu penyertaan pailit maupun yang diperoleh selama proses kepailitan
3
berlangsung untuk kepentingan semua kreditor yang dilakukan dengan
pengawasan pihak yang berwajib.3 Pada dasarnya kepailitan merupakan
suatu keadaan dimana seorang debitor tidak dapat lagi membayar utang-
utangnya kepada para kreditor.
UU Kepailitan pada asasnya tidaklah semata-mata ditujukan untuk
mempailitkan debitor yang tidak membayar utangnya, namun memberi
alternatif lain selain kepailitan yaitu berupa pemberian kesempatan kepada
perusahaan-perusahaan yang tidak membayar utangnya tapi masih
memiliki prospek usaha yang baik secara kooperatif dengan para kreditor
untuk melunasi utang-utangnya dan direstrukturisasi utang-utangnya serta
disehatkan perusahaannya. Tindakan inilah yang sebaiknya terlebih
dahulu ditempuh sebelum diajukan permohonan pailit, dengan kata lain
kepailitan seyogyanya hanya merupakan ultimum remedium.4
Pada prinsipnya, pengaturan masalah kepailitan merupakan suatu
perwujudan atau pengejawantahan dari Pasal 1131 dan Pasal 1132 Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata (selanjutnya disebut KUH Perdata).
Pasal 1131 menjelaskan segala kebendaan si berutang, baik yang
bergerak maupun yang tidak bergerak, baik yang sudah ada maupun yang
baru akan ada dikemudian hari menjadi tanggungan untuk segala
3 Retnowulan Sutantio, Kapita Selekta Hukum Ekonomi dan Perbankan, (Yogyakarta: Seri Varia, 1996), hlm. 85. 4 Sutan Remi Sjahdeini, Hukum Kepailitan Memahami Faillisements Verordening juncto Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1998, (Jakarta: Grafiti, 2002), hlm. 59.
4
perikatannya perseorangan, sedangkan menurut Pasal 1132 kebendaan
tersebut menjadi jaminan bersama-sama bagi semua orang yang
mengutangkan padanya, pendapatan penjualan benda-benda itu dibagi-
bagi menurut keseimbangan yaitu menurut besar-kecilnya piutang masing-
masing, kecuali apabila diantara para berpiutang itu ada alasan-alasan
yang sah untuk didahulukan.
Adapun asas yang terkandung dalam kedua pasal diatas adalah:5
1. apabila si debitor tidak membayar utangya dengan sukarela atau tidak membayarnya, walaupun telah ada keputusan pengadilan yang menghukumnya supaya melunasi utangnya atau karena tidak mampu untuk membayar seluruh utangnya, maka semua harta bendanya disita untuk dijual dan hasil penjualan itu dibagi-bagikan antara semua kreditornya secara ponds-ponds-gewijze, artinya menurut perimbangan, yaitu menurut besar kecilnya piutang masing-masing kreditor, kecuali apabila diantara para kreditor itu ada alasan-alasan yang sah untuk didahulukan;
2. semua kreditor mempunyai hak yang sama; dan 3. tidak ada nomor urut dari para kreditor yang didasarkan atas saat
timbulnya piutang-piutang mereka.
Menurut Kartini Muljadi, rumusan Pasal 1131 KUH Perdata,
menunjukkan bahwa setiap tindakan yang dilakukan seseorang dalam
lapangan harta kekayaan seseorang selalu akan membawa akibat
terhadap harta kekayaannya, baik yang bersifat menambah jumlah harta
kekayaannya, maupun yang nantinya akan mengurangi jumlah harta
kekayaannya. Adapun Pasal 1132 KUH Perdata menentukan bahwa
setiap pihak atau kreditor yang berhak atas pemenuhan perikatan haruslah 5 Kartono, Kepailitan dan Pengunduran Pembayaran, (Jakarta: Pradya Paramita, 1974), hlm. 7.
5
mendapatkan pemenuhan perikatan dari harta kekayaan pihak yang
berkewajiban (debitor) tersebut secara:6
1. Pari passu, yaitu secara bersama-sama memperoleh pelunasan tanpa
ada yang didahulukan; dan
2. Pro rata atau proporsional, yang dihitung berdasarkan pada besarnya
piutang masing-masing dibandingkan terhadap piutang mereka secara
keseluruhan, terhadap seluruh harta kekayaan debitor tersebut.
Dalam melaksanakan hak eksekusi kreditor khususnya pemegang
Hak Tanggungan atas harta kekayaan debitor pailit, perlu memperhatikan
hak preferen yang dimiliki oleh kreditor pemegang Hak Tanggungan atas
kebendaan milik debitor pailit. Pemegang hak preferen memperoleh hak
mendahului atas kreditor lain untuk memperoleh pelunasan atas utang-
utang debitor dengan cara menjual secara lelang kebendaan yang
dijaminkan kepada kreditor tersebut secara preferen.
Pasal 55 ayat (1) UU Kepailitan mengatur mengenai hak eksekusi
kreditor preferen dalam hal debitor pailit yang menjelaskan, dengan tetap
memperhatikan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56, Pasal
57, dan Pasal 58, setiap kreditor pemegang Gadai, Jaminan Fidusia, Hak
Tanggungan, Hipotek atau Hak Agunan atas kebendaan lainnya, dapat
mengeksekusi haknya seolah-olah tidak terjadi kepailitan sehingga kreditor
6 Kartini Muljadi, Prosiding Rangkaian Lokakarya Terbatas Masalah-Masalah Kepailitan dari Wawasan Hukum Bisnis Lainnya, Jakarta, 26-28 Januari 2004, (Jakarta: Pusat Pengkajian Hukum, 2005), hlm. 164.
6
preferen dapat segera mengeksekusi haknya atas kebendaan yang tidak
dalam kuasa debitor pailit atau Kurator.
Kedudukan kreditor pemegang Hak Tanggungan sebagai kreditor
preferen atas kreditor lainnya telah dijamin dalam Undang-Undang Nomor
4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda
Yang Berkaitan Dengan Tanah (selanjutnya disebut UU Hak Tanggungan)
sebagaimana yang diatur dalam Pasal 6 menyebutkan apabila debitor
cidera janji, pemegang Hak Tanggungan pertama mempunyai hak untuk
menjual obyek Hak Tanggungan atas kekuasaan sendiri melalui
pelelangan umum serta mengambil pelunasan piutangnya dari hasil
penjualan tersebut. Selanjutnya Pasal 21 menyebutkan apabila pemberi
Hak Tanggungan dinyatakan pailit, pemegang Hak Tanggungan tetap
berwenang melakukan segala hak yang diperolehnya menurut ketentuan
undang-undang. Dapat diartikan ketentuan dalam Pasal 6 dan Pasal 21
tidak membatasi adanya jangka waktu pemenuhan hak kreditor pemegang
Hak Tanggungan untuk mengeksekusi objeknya apabila debitor pailit.
Obyek Hak Tanggungan tidak akan disatukan dengan harta kepailitan
untuk dibagi kepada para kreditor lain dari pemberi Hak Tanggungan
sehingga memberikan penegasan mengenai kedudukan yang preferen
bagi pemegang Hak Tanggungan terhadap para kreditor lain.
Adapun dalam Pasal 56 ayat (1) UU Kepailitan disebutkan, hak
eksekusi kreditor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 ayat (1) dan hak
7
pihak ketiga untuk menuntut hartanya yang berada dalam penguasaan
debitor pailit atau Kurator, ditangguhkan untuk jangka waktu paling lama
90 hari sejak tanggal putusan pernyataan pailit diucapkan.
Mengenai waktu pelaksanaan eksekusi hak preferen oleh kreditor
diatur dalam Pasal 59 ayat (1) dan (2) UU Kepailitan. Pasal 59 ayat (1)
menyatakan, dengan tetap memperhatikan ketentuan Pasal 56, Pasal 57,
dan Pasal 58, kreditor pemegang hak sebagaimana dimaksud dalam Pasal
55 ayat (1) harus melaksanakan haknya tersebut dalam jangka waktu
paling lambat dua bulan setelah dimulainya keadaan insolvensi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 178 ayat (1). Selanjutnya dalam
Pasal 59 ayat (2) juga telah menyebutkan, setelah lewat jangka waktu
sebagaimana dimaksud pada Pasal 59 ayat (1), Kurator harus menuntut
diserahkannya benda yang menjadi agunan untuk selanjutnya dijual sesuai
sengan cara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 185 tanpa mengurangi
hak kreditor pemegang hak tersebut atas hasil penjualan agunan tersebut,
namun disisi lain Pasal 21 UU Hak Tanggungan telah menjamin kreditor
yang memiliki hak jaminan atas kebendaan mempunyai hak separatis yaitu
hak yang diberikan oleh hukum kepada kreditor pemegang Hak Jaminan,
bahwa barang jaminan (agunan) yang dibebani dengan Hak Jaminan (hak
agunan) tidak termasuk harta pailit. Kreditor berhak untuk melakukan
eksekusi kekuasaannya sendiri yang diberikan oleh undang-undang
8
sebagai perwujudan dari hak kreditor pemegang Hak Jaminan untuk
didahulukan dari para kreditor yang lainnya.7
Dahulu sebelum berlakunya UU Hak Tanggungan, praktek jaminan
yang sering digunakan pada perbankan Indonesia adalah jaminan
kebendaan yang meliputi:8
1. Hipotek, yaitu suatu hak kebendaan atas benda-benda tidak bergerak, untuk mengambil penggantian dari padanya bagi pelunasan suatu perikatan sebagaimana yang diatur dalam Pasal 1162 KUH Perdata;
2. Credietverband, yaitu jaminan atas tanah berdasarkan Koninklijk Besluit tanggal 6 Juli 1908 No. 50 (Stb.1908 No.542); dan
3. Fiducia (fiduciare eigendomsoverdracht), yaitu pemindahan milik secara kepercayaan.
Lembaga jaminan Hak Tanggungan digunakan untuk mengikat objek
jaminan utang yang berupa tanah atau benda-banda yang berkaitan
dengan tanah yang bersangkutan. Berlakunya UU Hak Tanggungan
berdampak pada hipotek yang diatur oleh KUH Perdata dan
credietverband yang sebelumnya digunakan untuk mengikat tanah
sebagai jaminan utang sudah tidak dapat digunakan oleh masyarakat.
Pengikatan objek jaminan utang berupa tanah sepenuhnya dilakukan
melalui lembaga jaminan Hak Tanggungan.
Adanya aturan hukum mengenai pelaksanaan pembebanan Hak
Tanggungan dalam suatu perjanjian kredit bertujuan untuk memberikan
kepastian dan perlindungan hukum bagi semua pihak dalam
7 Jono, Hukum Kepailitan, (Jakarta: Sinar Grafika, 2008), hlm. 7. 8 Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani, op. cit., hlm. 91.
9
memanfaatkan jaminan kredit. Apabila didalam hubungan perutangan
debitor tidak memenuhi prestasi secara suka rela, kreditor mempunyai hak
untuk menuntut pemenuhan piutangnya bila utang tersebut sudah dapat
ditagih, yaitu terhadap harta kekayaan debitor yang dipakai sebagai
jaminan. Hak pemenuhan dari kreditor itu dilakukan dengan cara menjual
benda-benda jaminan dari debitor, yang kemudian hasil dari penjualan
tersebut digunakan untuk memenuhi utang debitor.9
Pelaksanakan pemenuhan hak kreditor terhadap benda-benda
tertentu yang dijaminkan oleh debitor dilakukan dengan cara melalui
eksekusi benda jaminan, oleh karena itu kreditor harus mempunyai alas
hak untuk melaksanakan eksekusi melalui penyitaan eksekutorial. Syarat
adanya titel eksekutorial ini diadakan demi perlindungan bagi kreditor
terhadap perbuatan yang melampaui batas dari debitor. Titel eksekutorial
dapat timbul berdasarkan putusan hakim yang dibuat dalam bentuk
eksekutorial yang memutuskan bahwa debitor harus membayar sejumlah
pembayaran tertentu atau prestasi tertentu, atau dapat juga berdasarkan
akta Notaris yang sengaja dibuat dalam bentuk eksekutorial berupa grosse
akta. Menurut ketentuan undang-undang, grosse dari akta Notaris
mempunyai kekuatan eksekutorial, pada akta ini dimuat pernyataan
pengakuan utang sejumlah uang tertentu dari debitor kepada kreditor.
9 Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, Hukum Jaminan di Indonesia, Pokok-Pokok Hukum Jaminan dan Jaminan Perorangan, (Yogyakarta: Liberty, 1980), hlm. 34.
10
Meningkatnya pertumbuhan kehidupan dunia bisnis dan industri
menuntut segala sesuatu yang cepat dan praktis tetapi mempunyai
kekuatan hukum yang kuat, termasuk dalam segi utang piutang, oleh
karena itu, kesepakatan mengenai utang piutang tidak hanya cukup
dituangkan didalam perjanjian tertulis tetapi perlu dituangkan dalam
sebuah grosse akta pengakuan utang. Maksud dituangkan didalam grosse
akta pengakuan utang adalah apabila debitor wanprestasi maka kreditor
hanya tinggal mengajukan permohonan pelaksanaan eksekusi harta
kekayaan debitor berdasarkan grosse akta pengakuan utang kepada
Pengadilan Niaga dan bukan mengajukan gugatan untuk memperoleh
pemenuhan atas piutangnya tersebut. Biasanya ketika meminjamkan
uangnya, kreditor menginginkan adanya jaminan untuk mendapatkan
kembali pemenuhan piutangnya, sehingga dalam praktek sering diadakan
grosse akta pengakuan utang yang dibuat didepan dan oleh Notaris yang
mempunyai kekuatan hukum yang pasti dan dapat dipergunakan oleh
pihak kreditor untuk menagih piutangnya manakala pihak debitor lalai
membayar utangnya. Grosse akta tersebut tidak perlu dibuktikan, sehingga
harus dianggap benar apa yang tercantum didalamnya, kecuali ada bukti
lawan.10
10 Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, (Yogyakarta: Liberty, 1986), hlm. 89.
11
Hal tersebut dimungkinkan karena didalam grosse akta pengakuan
utang tersebut, oleh Notaris dibuat dengan kepala “Demi Keadilan
Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”, dengan adanya kata-kata
tersebut maka grosse akta mempunyai titel eksekutorial yang
dipersamakan dengan putusan hakim yang mempunyai kekuatan hukum
tetap.
Berkaitan dengan kepailitan, UU Kepailitan diperlukan untuk :11
1. menghindarkan pertentangan apabila ada beberapa kreditor pada waktu yang sama meminta pembayaran piutangnya dari debitor;
2. menghindari adanya kreditor yang ingin mendapatkan hak istimewa, yang menuntut haknya dengan cara menjual barang milik debitor atau menguasai sendiri tanpa memperhatikan lagi kepentingan debitor atau kreditor lainnya;
3. menghindari adanya kecurangan-kecurangan yang dilakukan oleh debitor sendiri, misalnya saja debitor berusaha untuk memberi keuntungan kepada seorang atau beberapa kreditor tertentu, yang merugikan kreditor lainnya, atau debitor melakukan perbuatan curang dengan melarikan atau menghilangkan semua harta benda kekayaan debitor yang bertujuan melepaskan tanggung jawabnya kepada para kreditor.
Asas-asas yang terkandung dalam kepailitan sebagaimana yang
disebutkan dalam UU Kepailitan:
1. Asas Keseimbangan
11 Jono, op. cit., hlm. 3.
12
Mengatur beberapa ketentuan yang merupakan perwujudan dari
asas keseimbangan, yaitu disatu pihak terdapat ketentuan yang dapat
mencegah terjadinya penyalahgunaan pranata dan lembaga kepailitan
oleh debitor yang tidak jujur dan dilain pihak terdapat ketentuan yang
dapat mencegah terjadinya penyalahgunaan pranata dan lembaga
kepailitan oleh kreditor yang tidak beritikad baik.
2. Asas Kelangsungan Usaha
Ketentuan yang memungkinkan perusahaan debitor pailit yang
prospektif tetap dilangsungkan.
3. Asas Kepailitan
Mengandung pengertian bahwa ketentuan mengenai kepailitan
dapat memenuhi rasa keadilan bagi para pihak yang berkepentingan.
Asas keadilan ini untuk mencegah terjadinya kesewenang-wenangan
pihak penagih yang mengusahakan pembayaran atas tagihan masing-
masing terhadap debitor dengan tidak memperdulikan kreditor lainnya.
4. Asas Integrasi
Mengandung pengertian bahwa sistem hukum formil dan hukum
materiilnya merupakan satu kesatuan yang utuh dari sistem hukum
perdata dan hukum acara perdata nasional.
Menanggapi keberadaan ketentuan Pasal 21 UU Hak Tanggungan
dan Pasal 55 ayat (1) UU Kepailitan, maka dapat dikatakan bahwa pada
13
prinsipnya kedua pasal tersebut sama-sama memberikan jaminan bagi
kreditor selaku pemegang Hak Tanggungan untuk mengeksekusi haknya
dan yang harus diperhatikan dalam menentukan ketentuan hukum yang
berlaku untuk menyelesaikan kasus-kasus kepailitan, Hakim Pengadilan
Niaga berpedoman pada asas hukum yang berlaku.
Mengenai adanya ketentuan yang berbeda dalam UU Kepailitan,
khususnya ketentuan Pasal 55 dengan Pasal 56, Pasal 57, Pasal 58, dan
Pasal 59 sering dianggap tidak memperhatikan kepentingan kreditor
pemegang Hak Tanggungan yang sebenarnya tidak demikian karena UU
Kepailitan sendiri sangat memperhatikan kepentingan pihak-pihak yang
terlibat dalam kepailitan, baik debitor maupun kreditor. Hal ini akan
dipertegas dalam bab pembahasan.
Dalam kaitanya dengan putusan pailit oleh Mahkamah Agung
terhadap PT. Nusantara Ragawisata (termohon pailit) yang berperkara
dengan UD. Alrindo (pemohon pailit), kasus posisinya diawali dengan
adanya hubungan jual beli antara UD. Alrindo sebagai penjual bahan
perlengkapan mesin pendingin dan PT. Nusantara Ragawisata sebagai
pembeli. Transaksi jual beli antara pemohon dan termohon terjadi selama
periode Juli 2003 sampai dengan Mei 2004 dengan seluruh tagihan
sebesar Rp. 194.213.175,00 (seratus sembilan puluh empat juta dua ratus
tiga belas ribu seratus tujuh puluh lima Rupiah). Dalam transaksi tersebut
14
disepakati bahwa pembayaran dalam jangka waktu satu bulan setelah
barang diterima oleh termohon.
Seiring berjalannya waktu, debitor tidak memenuhi kewajibannya
walaupun telah diberikan peringatan oleh pemohon, sehingga pihak
pemohon mengajukan permohonan pailit atas termohon di Pengadilan
Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
Dalam persidangan pihak termohon menolak bahwa ia mengakui
adanya utang (pengakuan utang) dan yang ia lakukan hanyalah
melakukan pembayaran utang kepada pemohon. Termohon juga menolak
bahwa ia memiliki utang kepada CV. Sumber Bahagia dan CV. Suryamas
Lumisindo.
Kasus antara UD. Alrindo dan PT. Nusantara Ragawisata, majelis
hakim yang memutus dan mengadili perkara tersebut, baik dalam tingkat
Pengadilan Niaga ataupun kasasi di Mahkamah Agung memutuskan
bahwa PT. Nusantara Ragawisata pailit beserta segala akibat hukumnya.
Analisis lebih lanjut mengenai putusan Mahkamah Agung ini akan di
jelaskan dalam bab pembahasan.
Berdasarkan pada uraian diatas, penulis memutuskan untuk memilih
judul AKIBAT HUKUM PUTUSAN PERNYATAAN PAILIT DEBITOR
TERHADAP KREDITOR PEMEGANG HAK TANGGUNGAN (ANALISIS
PUTUSAN PAILIT MAHKAMAH NOMOR 018/K/N/ /2007).
B. Perumusan Masalah
15
Berdasarkan pada uraian latar belakang permasalahan, maka penulis
merumuskan beberapa masalah, yakni:
1. Bagaimanakah akibat hukum dalam hal ditetapkannya putusan
pernyataan pailit debitor terhadap kreditor pemegang Hak Tanggungan?
2. Bagaimanakah penyelesaian yang dapat ditempuh oleh kreditor
pemegang Hak Tanggungan dalam hal adanya pengaturan yang
berbeda?
3. Bagaimanakah analisis putusan pernyataan pailit dalam tingkat kasasi
oleh Mahkamah Agung No. 018/K/N/ /2007 terhadap PT. NUSANTARA
RAGAWISATA yang berperkara dengan UD. ALRINDO?
C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan pada perumusan permasalahan yang telah disebutkan
diatas maka tujuan utama yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah:
1. Mengkaji dan menganalisis akibat hukum dalam hal ditetapkannya
putusan pernyataan pailit debitor terhadap kreditor pemegang Hak
Tanggungan.
2. Mengkaji dan menganalisis penyelesaian yang dapat ditempuh dalam
oleh kreditor pemegang Hak Tanggungan dalam hal adanya pengaturan
yang berbeda.
16
3. Mengkaji dan menganalisis putusan pernyataan pailit dalam tingkat
kasasi oleh Mahkamah Agung No. 018/K/N/ /2007 terhadap PT.
NUSANTARA RAGAWISATA yang berperkara dengan UD. ALRINDO.
D. Manfaat Penelitian
Tujuan penelitian dan manfaat penulisan merupakan satu rangkaian
yang ingin dicapai bersama, dengan demikian penulisan ini diharapkan
dapat memberi manfaat sebagai berikut:
1. Secara akademis-teoritis, penulisan ini dapat dijadikan sebagai
masukan bagi ilmu pengetahuan, khususnya mengenai akibat hukum
putusan pernyataan pailit debitor terhadap kreditor pemegang Hak
Tanggungan.
2. Secara sosial-praktis, adalah memberikan sumbangan pemikiran
terhadap mahasiswa-mahasiswa atau praktisi-praktisi hukum untuk
mengetahui tentang kepailitan apabila dihubungkan dengan kreditor
pemegang Hak Tanggungan yang diketahui mempunyai hak yang
diutamakan didalam menguasai objek Hak Tanggungan yang
dijaminkan oleh debitor.
17
E. Kerangka Pemikiran
Teori merupakan keseluruhan pernyataan yang saling berhubungan
yang dikemukakan untuk menjelaskan tentang adanya sesuatu.12 Fungsi
teori adalah untuk menerangkan atau menjelaskan mengapa gejala
spesifik atau proses terjadi.13 Suatu teori harus diuji untuk
menghadapkannya pada fakta-fakta yang dapat menunjukkan
ketidakbenarannya.14 Artinya kerangka teori merupakan kerangka
pemikiran atau butir-butir pendapat, teori, tesis mengenai suatu kasus atau
permasalahan yang menjadi bahan perbandingan, pegangan teoritis15,
yang akan dijadikan sebagai landasan pemikiran dalam penulisan tesis ini.
Menanggapi keberadaan ketentuan Pasal 21 UU Hak Tanggungan
dan Pasal 55 ayat (1) UU Kepailitan, maka dapat dikatakan bahwa pada
prinsipnya kedua pasal tersebut sama-sama memberikan jaminan bagi
kreditor selaku pemegang Hak Tanggungan untuk mengeksekusi haknya,
oleh karena itu ada tiga jenis unsur-unsur keadilan menurut John Finnis
dan John Rawls yang berkaitan dengan asas keadilan, baik bagi debitor
maupun kreditor. John Finnis menyebutkan:16
12 J.J.H.Bruggink, Refleksi Tentang Hukum, dialihbahasakan oleh Arif Sidharta, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1999), hlm. 2. 13 J.J.M. Wuisman, Penelitian Ilmu-ilmu Sosial, Asas-asas, edt.M.Hisyam, (Jakarta: FE UI, 1996), hlm. 203. 14 Ibid., hlm 16 15 M.Solly Lubis, Filsafat Ilmu dan Penelitian, (Bandung: Mandar Maju, 1994), hlm. 80. 16 Zainal Arifin Mochtar, “Panorama Teori Hukum dan Keadilan”, http://psp.ugm.ac.id/ kks/materi_kuliah/1011%20Januari%202009/Panorama%20Teori%20Hukum%20dan%20 Keadilan.ppt.tanggal 18 Oktober 2010, hlm. 1.
18
1. Keterkaitan dengan pihak lain (hubungan antar orang);
2. Adanya kewajiban (duty) pada seseorang untuk memenuhi hak pihak
lain; dan
3. Kesetaraan (equility).
Sedangkan menurut John Rawls ada tiga bentuk konsepsi keadilan
menurut teori keadilan (A Theory of Justice), yakni:17
1. Maksimalisasi Kebebasan (Maximisation of Liberty) Kebebasan hanya tunduk pada pembatasan yang dimaksud untuk melindungi kebebasan itu sendiri.
2. Kesetaraan untuk semua (Equality for all) Dalam hal kebebasan dalam kehidupan sosial dan dalam distribusi (pembagian) sumber daya sosial (social goods), hanya tunduk pada pengecualian bahwa ketidaksetaraan dibolehkan jika hal itu menghasilkan manfaat paling besar bagi mereka yang paling tidak sejahtera dalam masyarakat.
3. Kesetaraan dalam kesempatan dan penghapusan ketidaksetaraan dalam kesempatan berdasarkan kekayaan dan kelahiran.
Dalam pelaksanaan kebajikan keadilan, maka keadilan itu selalu
menjangkau hubungan-hubungan sosial, sebab pada pelaksanaan
kebajikan ini harus selalu melibatkan lebih dari dua orang. Tambahan pula
relasi pada orang-orang itu harus bersifat memisahkan (afstandelijk).
Kebajikan ini justru berkenaan dengan relasi dengan orang lain sebagai
yang lain. Dalam relasi-relasi yang lebih pribadi atau intim, kebajikan-
kebajikan lain memainkan peranan. Kebajikan dari yang adil adalah
menemukan keseimbangan (kesetimbangan), yang dengan itu justru
17 Ibid., hlm. 2.
19
sebagai yang lain memperoleh apa yang menjadi haknya.18 Dengan
demikian teori yang digunakan sebagai dasar dalam penelitian ini adalah
Teori Kesetaraan sebagaimana yang telah disebutkan diatas oleh John
Finnis dan John Rawls.
Prinsipnya, keadaan pailit terjadi karena pihak-pihak yang terlibat
dalam perjanjian, yaitu debitor dan kreditor, dalam hal ini debitor tidak
mampu memenuhi kewajiban yang harus dipenuhi dalam suatu perjanjian.
Adapun asas-asas yang terdapat pada suatu perjanjian sebagaimana yang
telah diatur dalam Pasal 1338 dan Pasal 1139 KUH Perdata:
1. Azas Itikad Baik
Pasal 1338 ayat (3):
“Persetujuan-persetujuan harus dilaksanakan dengan itikad baik.”
2. Azas Kepatutan
Pasal 1339:
“Persetujuan-persetujuan tidak hanya mengikat untuk hal-hal yang
dengan tegas dinyatakan didalamnya, tetapi juga untuk segala
sesuatu yang menurut sifat persetujuan diharuskan oleh kepatutan,
kebiasaan atau undang-undang.”19
Dimasukkannya itikad baik dalam pelaksanaan perjanjian berarti tidak
lain kita harus menafsirkan perjanjian itu berdasar keadilan dan kepatutan.
18 Ibid., hlm. 3. 19 Purwahid Patrik, Dasar-Dasar Hukum Perikatan, (Bandung: Mandar Maju, 1994), hlm. 67.
20
Menafsirkan suatu perjanjian adalah menetapkan akibat-akibat yang
terjadi, dengan demikian menurut Pitlo, terjadi hubungan yang erat antara
ajaran itikad baik dalam pelaksanaan perjanjian dan teori kepercayaan
pada saat perjanjian (kesepakatan). Itikad baik (Pasal 1338 ayat 3) dan
kepatutan (Pasal 1339) umumnya disebutkan secara senafas, dan H. R.
dalam putusan tanggal 11 Januari 1924 telah sependapat bahwa apabila
hakim setelah menguji dengan kepantasan dari sutau perjanjian tidak
dapat dilaksanakan maka berarti perjanjian itu bertentangan dengan
ketertiban umum dan kesusilaan (Vollmar, 1952:255). Lebih penting lagi
Pasal 1338 ayat (3) dan Pasal 1339 sebagai alat pengontrol apakah itikad
baik dan kepatutan dipenuhi atau tidak dalam soal “nasihat mengikat”
(binded advices) yaitu menyerahkan suatu perselisihan yang timbul dari
pihak-pihak kepada suatu perwasitan (Arbitrage) dan soal putusan pihak
(partij beslissing) yaitu menyerahkan suatu perselisihan yang timbul dari
pihak-pihak kepada salah satu pihak yang telah ditentukan dalam
perjanjian, juga dalam hal adanya “perubahan anggaran dasar” dari suatu
badan hukum yaitu apakah karena perubahan itu terdapat pelakasanaan
yang patut daripada perjanjian pendirian badan hukum.20
Pengaturan masalah kepailitan pada prinsipnya merupakan suatu
perwujudan atau pengejawantahan dari Pasal 1131 dan Pasal 1132 KUH
Perdata, yang menyebutkan: 20 Ibid., hlm. 67-68.
21
Pasal 1131
“Segala kebendaan si berutang, baik yang bergerak maupun yang
takbergerak, baik yang sudah ada maupun yang baru akan ada
dikemudian hari, menjadi tanggungan untuk segala perikatannya
perseorangan.”
Pasal 1132
“Kebendaan tersebut menjadi jaminan bersama-sama bagi semua
orang yang megutangkan padanya; pendapatan penjualan benda2
itu dibagi-bagi menurut keseimbangan, yaitu menurut besar-kecilnya
piutang masing2, kecuali apabila diantara para berpiutang itu ada
alasan2 yang sah untuk didahulukan.”
Adapun asas yang terkandung dalam kedua pasal diatas adalah,
bahwa:21
1. apabila debitor tidak membayar utangya dengan sukarela atau tidak membayarnya, walaupun telah ada keputusan pengadilan yang menghukumnya supaya melunasi utangnya, atau karena tidak mampu untuk membayar seluruh utangnya, maka semua harta bendanya disita untuk dijual, dan hasil penjualan itu dibagi-bagikan antara semua kreditornya secara ponds-ponds-gewijze, artinya menurut perimbangan, yaitu menurut besar kecilnya piutang masing-masing kreditor, kecuali apabila di antara para kreditor itu ada alasan-alasan yang sah untuk didahulukan;
2. semua kreditor mempunyai hak yang sama; dan 3. tidak ada nomor urut dari para kreditor yang didasarkan atas saat
timbulnya piutang-piutang mereka.
21 Kartono, op. cit., hlm. 7.
22
Menurut Kartini Muljadi, rumusan Pasal 1131 KUH Perdata,
menunjukkan bahwa setiap tindakan yang dilakukan seseorang dalam
lapangan harta kekayaan seseorang dalam lapangan harta kekayaan
selalu akan membawa akibat terhadap harta kekayaannya, baik yang
bersifat menambah jumlah harta kekayaannya (kredit), maupun yang
nantinya akan mengurangi jumlah harta kekayaannya (debit). Adapun
Pasal 1132 KUH Perdata menentukan bahwa setiap pihak atau kreditor
yang berhak atas pemenuhan perikataan haruslah mendapatkan
pemenuhan perikatan dari harta kekayaan pihak yang berkewajiban
(debitor) tersebut secara:
- Pari passu, yaitu secara bersama-sama memperoleh pelunasan, tanpa
ada yang didahulukan; dan
- Pro rata atau proporsional, yang dihitung berdasarkan pada besarnya
piutang masing-masing dibandingkan terhadap piutang mereka secara
keseluruhan, terhadap seluruh harta kekayaan debitor tersebut.22
UU Kepailitan lahir guna mangatur mengenai cara menentukan
eksistensi suatu utang debitor kepada kreditor, berapa jumlahnya yang
pasti termasuk mengupayakan perdamaian yang dapat ditempuh oleh
debitor kepada para kreditornya.23 Selain itu, tujuan lahirnya UU Kepailitan
sebagaimana yang tertuang didalam Penjelasan UU Kepailitan, yaitu:
22 Kartini Mulyadi, op. cit., hlm. 3. 23 Sutan Remy Sjahdeini, op. cit., hlm. 13.
23
1. untuk menghindari perebutan harta debitor apabila dalam waktu yang sama ada beberapa kreditor yang menegih piutangnya dari debitor;
2. untuk menghindari adanya kreditor pemegang hak jaminan kebendaan yang menuntut haknya dengan cara menjual barang milik debitor tanpa memperhatikan kepentingan debitor atau para kreditor lainnya; dan
3. untuk menghindari adanya kecurangan-kecurangan yang dilakukan oleh salah seorang kreditor atau debitor sendiri.
Dalam pelaksanaan putusan pailit yang telah ditetapkan oleh
Pengadilan Niaga, semua pihak-pihak yang berkaitan dengan perkara
kepailitan tersebut wajib menjalankan putusan yang dijatuhkan oleh Hakim
Pengadilan Niaga yang telah mempertimbangkan hak-hak dan
kepentingan para pihak dengan berdasarkan pada Teori Kesetaraan.
Ada kalanya putusan pailit tersebut dianggap tidak memenuhi Teori
Kesetaraan bagi kreditor pemegang Hak Tanggungan sebagaimana
mestinya. Kreditor pemegang Hak Tanggungan selalu merasa dirugikan
akibat adanya putusan pailit yang dianggap sudah memenuhi hak-hak dan
kepentingan seluruh kreditor yang terkait, sehingga dalam prakteknya,
debitor pailit yang memiliki utang dengan penjaminan objek Hak
Tanggungan selalu mendapatkan kompensasi atau keringanan dari
kreditor pemegang Hak Tanggungan yang bersangkutan. Keringanan yang
diberikan dapat berupa pembaharuan perjanjian kredit atau novasi yang
dalam praktek sering disebut restrukturisasi utang memungkinkan kreditor
yang bersangkutan melakukan penghapus bukuan bunga, denda kredit
dan atau utang lainnya yang berkaitan dengan pinjaman pokok. Kreditor
24
pemegang Hak Tanggungan seringkali mengakomodir dibuatnya
perjanjian restrukturisasi utang guna mengefisienkan penyelesaian utang-
piutang mereka. Adapun alasan lain diupayakannya novasi adalah untuk
menghemat biaya dan waktu pelaksanaan eksekusi Hak Tanggungan
yang pada akhir pelaksanaanya belum tentu memberikan hasil yang
maksimal, oleh karenanya, untuk mencapai tujuan pelaksanaan peradilan
yang bisa mewujudkan keseimbangan dan keadilan bagi para pihak, para
pihak yang terkait dalam perkara kepailitan harus memperhatikan asas-
asas yang diadopsi oleh hukum kepailitan.
Beberapa asas dalam hukum kepailitan yang penting dalam
penulisan tesis ini antara lain:
1. Asas Keseimbangan UU Kepailitan memberikan perlindungan yang seimbang bagi kreditor dan debitor. Di satu pihak terdapat ketentuan yang dapat mencegah terjadinya penyalahgunaan pranata dan dapat mencegah terjadinya penyalahgunaan tersebut oleh kreditor yang beritikad tidak baik.
2. Asas Kelangsungan Usaha Dalam UU Kepailitan terdapat ketentuan yang memungkinkan perusahaan debitor yang prospektif tetap dilangsungkan. UU Kepailitan tidak semata-mata bermuara pada kepailitan dan tindakan eksekusi aset debitor, terdapat alternatif lain yaitu berupa pemberian kesempatan kepada perusahaan-perusahaan yang tidak membayar utangnya namun masih memiliki prospek usaha yang baik dan pengurusnya beritiad baik secara kooperatif untuk melunasi utang-utangnya, maka dapat diupayakan restrukturisasi atas utang-utangnya dan penyehatan kembali perusahaannya, sehingga kepailitan merupakan ultimum remedium.24
3. Asas Keadilan Asas ini mencegah terjadinya kesewenang-wenangan pihak kreditor yang mengusahakan pembayaran atas tagihannya tanpa
24 Ibid., hlm. 58-59.
25
memperhatikan kepentingan kreditor lainnya dan kepentingan debitor, misalnya dengan penagihan yang sewenang-wenang, bagaimana kelangsungan usaha debitor dan bagaimana pelunasan terhadap kreditor yang lain.
4. Asas putusan yang didasrkan pada persetujuan kreditor mayoritas25 Permohonan pernyataan pailit yang hanya diajukan oleh kreditor minoritas dan tidak disetujui oleh kreditor mayoritas, tidak akan dikabulkan oleh Majelis Hakim. Sebab pengabulannya akan membawa kerugian bagi kreditor mayoritas. Demikian pula rencana perdamaian dan penundaan kewajiban pembayaran utang hanya akan dikabulkan apabila disetujui oleh lebih dari ½ jumlah kreditor konkuren yang haknya diakui yang hadir pada rapat kreditor yang jumlah tagihannya mewakili 2/3 dari seluruh jumlah tagihan dari kreditor yang hadir pada rapat.26
F. Metode Penelitian
1. Metode Pendekatan
Metode pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah
metode pendekatan yuridis normatif.27 Dalam mengidentifikasi masalah
yang ada, metode ini bersandar pada prinsip-prinsip, teori dan asas-
asas hukum yang berlaku untuk mengetahui dan mendapatkan data
mengenai akibat hukum putusan pernyataan pailit debitor bagi kreditor
pemegang Hak Tanggungan.
25 Ibid., hal. 48. 26 Sentosa Sembiring, Hukum Kepailitan dan peraturan Perundang-undangan yang terkait dengan Kepailitan, (Bandung: Nuansa Aulia, 2006), hlm. 22-23. 27 Menurut Soerjono Soekanto, penelitian hukum normatif atau yuridis normatif merupakan penelitian yang terdiri dari : a. Penelitian terhadap asas-asas hukum; b. Penelitian terhadap sistematika hukum; c. Penelitian terhadap sinkronisasi hukum; d. Penelitian sejarah hukum dan e. Penelitian perbandingan hukum. Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: UI Press, 1986), hlm. 45.
26
3. Spesifikasi Penelitian
Penelitian yang dilakukan adalah penelitian deskriptif28 analitis
dengan sumber kepustakaan untuk menjawab permasalahan dan
menggunakan logika berpikir yang ditempuh melalui penalaran induktif,
deduktif dan sistematis dalam penguraiannya, untuk menggambarkan,
menelaah, menjelaskan, dan menganalisa permasalahan yang
dikemukakan.
Penelitian ini akan mengkaji dan menganalisis kemudian
mengorganisasikan norma-norma hukum yang terdapat dalam
peraturan perundang-undangan mengenai akibat hukum putusan
pernyataan pailit debitor terhadap kreditor penerima Hak Tanggungan
yang dikaitkan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Penggambaran tersebut kemudian dianalisis dengan metode kualitatif.
3. Sumber dan Jenis Data
Penelitian ini merupakan penelitian normatif, maka data yang akan
dikumpulkan berasal dari data sekunder. Bahan utama dari penelitian ini
adalah data sekunder yang dilakukan dengan menghimpun bahan-
bahan berupa:
28 Deskripsi merupakan penelitian yang pada umumnya bertujuan untuk mendeskripsikan secara sistematis, faktual dan akurat terhadap suatu populasi atau daerah tertentu, mengenai sifat-sifat, karakteristik-karakteristik, atau faktor-faktor tertentu. Bambang Sunggono, Metodologi Penelitian Hukum, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2001), hlm. 3.
27
a. Bahan hukum primer yaitu bahan hukum yang mengikat, yaitu:
1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
2) HIR (Het Herziene Indonesisch Reglement).
3) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
4) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar
Pokok-Pokok Agraria.
5) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan
Atas Tanah Beserta Benda-Benda Yang Berkaitan Dengan
Tanah.
6) Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia.
7) Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Kepailitan Dan
Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.
8) Peraturan perundang-undangan lain yang relevan.
b. Bahan hukum sekunder, yaitu berupa bahan acuan lainnya yang
berisikan informasi tentang bahan primer berupa tulisan/buku
berkaitan dengan Hukum Perdata, Hukum Kepailitan dan Hukum
Jaminan khususnya Hak Tanggungan.
c. Bahan hukum tersier, yang memberikan informasi lebih lanjut
mengenai bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, seperti
kamus, ensiklopedia, berbagai majalah hukum yang berkaitan
dengan masalah kepailitan serta lembaga Hak Tanggungan, kamus
28
hukum, surat kabar dan internet yang berkaitan dengan
permasalahan.
4. Teknik Pengumpulan Data
Dalam rangka mendapatkan data yang objektif, maka didalam
penelitian ini penulis melakukannya sesuai dengan pendekatan yang
digunakan dalam penelitian ini yaitu yuridis normatif, maka data yang
digunakan adalah data sekunder. Data sekunder ini diperoleh dengan
cara studi pustaka yaitu dengan menggunakan buku literatur dan bahan
kuliah yang mengacu pada teori-teori, pendapat para ahli, dan
membaca dokumen-dokumen serta arsip-arsip yang ada kaitannya
dengan masalah yang akan dibahas.29
5. Teknik Analisis Data
Teknik yang digunakan adalah bersifat normatif kualitatif karena
penulis bertolak dari peraturan yang ada sebagai norma hukum positif.
Artinya data yang diperoleh disusun secara lengkap, sistematis, benar
dan konsisten yang selanjutnya dianalisis secara kualitatif, untuk
mencapai masalah yang akan dibahas secara mendalam dan hasilnya
berupa tesis.
Data-data yang diperoleh tersebut selanjutnya dianalisa dan
diseleksi, data mana yang ada kaitannya dengan pokok permasalahan.
29 Soerjono Soekanto, op. cit., hlm. 55.
29
Setelah dianalisis dan diseleksi kemudian dilakukan pembahasan
terhadap pokok permasalahan untuk mencapai kejelasan yang
dimaksud dan selanjutnya hasilnya dilaporkan dalam dalam bentuk
tesis.30
G. Sistematika Penulisan
Dalam mempermudah memahami isi dari tesis ini, maka penulis
menyajikan dalam bentuk rangkaian bab dimana masing-masing bab
terdiri dari sub bab yang berisi uraian tesis secara mandalam disertai teori-
teori yang diperlukan menganalisa permasalahan. Adapun sistematikanya
adalah sebagai berikut:
BAB I PENDAHULUAN
Bab ini dibagi ke dalam enam Sub Bab yaitu Sub A Latar
Belakang, Sub B Perumusan Masalah, Sub C Tujuan Penelitian,
Sub D Manfaat Penelitian, Sub E Kerangka Pemikiran, Sub F
Metode Penelitian dan Sub G Sistematika Penulisan.
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
Bab ini dibagi ke dalam dua Sub Bab yaitu Sub A Kepailitan
Dalam Sistem Hukum Di Indonesia, Sub B Akibat Kepailitan
Secara Umum, Sub C Hak Tanggungan.
30 Ibid., hlm. 55.
30
BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Bab ini terdiri atas tiga Sub Bab yaitu Sub A Akibat Hukum
Ditetapkannya Putusan Pernyataan Pailit Debitor Terhadap
Kreditor Pemegang Hak Tanggungan, Sub B Penyelesaian Yang
Dapat Ditempuh Kreditor Pemegang Hak Tanggungan Dalam Hal
Adanya Pengaturan Yang Berbeda, Sub C Analisis Putusan
Pernyataan Pailit Di Tingkat Kasasi Oleh Mahkamah Agung
Nomor 018/K/N/ /2007 Terhadap PT. NUSANTARA
RAGAWISATA Yang Berperkara Dengan UD. ALRINDO.
BAB IV PENUTUP
Bab ini berisikan kristalisasi dari semua yang telah dicapai di
dalam masing-masing bab sebelumnya mengenai “Akibat Hukum
Putusan Pernyataan Pailit Debitor Terhadap Kreditor Pemegang
Hak Tanggungan (Analisis Putusan Pailit Mahkamah Agung
Nomor 018/K/N/ /2007) yang akan memuat kesimpulan dan
saran”.