Post on 13-Sep-2019
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Manusia bersosialisasi melalui bahasa. Dengan bahasa manusia dapat
mendeskripsikan apa yang terdapat di dalam pikirannya baik itu ide, gagasan
ataupun perasaanya kepada orang lain. Bahasa sendiri merupakan sarana pokok
bagi suatu masyarakat dalam berinteraksi sosial. Dengan adanya komunikasi dan
interaksi sosial di masyarakat, bahasa mengalami sebuah perkembangan yang
tidak lepas dari peranan manusia. Setiap aktivitas manusia baik itu individu
ataupun kelompok, bahasa itu merupakan sebuah alat komunikasi mutlak dan
perlu. Bahasa diperlukan manusia karena bahasa memiliki fungsi sosial, baik
sebagai alat komunikasi ataupun sebagai cara mengidentifikasi kelompok sosial di
masyarakat. Faktor-faktor sosial dimasyarakat antara lain berupa tingkat
pendidikan, status sosial, dan jenis kelamin, mempengaruhi penggunaan bahasa di
masyarakat.
Selain faktor-faktor sosial tersebut faktor situasional juga dapat
mempengaruhi penggunaan bahasa. Faktor situasional meliputi siapa yang
berbicara, dengan bahasa apa, kapan, dimana, dan mengenai masalah apa
(Fishman dalam Suwito 1983: 2). Misalnya, dalam sekelompok orang yang
sedang berbincang-bincang dalam situasi informal tentu akan menggunakan
bahasa santai. Berbeda dengan bahasa yang digunakan saat rapat atau seminar
tentu akan menggunakan bahasa yang formal karena situasinya juga formal. Oleh
karena itu, faktor situasional dapat mempengaruhi perkembangan bahasa baik itu
2
berupa bahasa yang bersifat formal maupun bahasa yang bersifat informal. Faktor
sosial serta faktor situasional terus berhubungan satu sama lainnya dalam
perkembangan bahasa.
Perkembangan kemampuan bahasa seseorang terus mengalami sebuah
perubahan seiring dengan perkembangan zaman dan meningkatnya perilaku
manusia terhadap perubahan zaman, hal tersebut yang dapat mempengaruhi
perkembangan bahasa seseorang. Berkembangnya kemampuan bahasa seseorang
dipengaruhi oleh berbagai aspek, baik aspek lingkungan sosial masyarakat,
keluarga maupun pendidikan. Pola perkembangan kemampuan bahasa yang terus
terjadi tersebut dapat menyebabkan bahasa mempunyai sifat yang dinamis atau
berubah-ubah. Dimana hal tersebut dilatar belakangi oleh aktivitas manusia
sebagai makhluk sosial dan aktivitas manusia tersebut tidak selalu sama. Pada
setiap aktivitas manusia bahasa berperan utama karena selain untuk
berkomunikasi bahasa juga merupakan sarana vital untuk pemenuhan kebutuhan
manusia dalam berinteraksi.
Bahasa memang tidak dapat terlepas dari masyarakat atau penggunanya.
Di lingkungan masyarakat, bahasa selalu digunakan sebagai alat komunikasi
dalam berinteraksi dan melakukan suatu kegiatan. Hubungan antara bahasa
dengan penggunanya atau masyarakat dipelajari dalam ilmu sosiolinguistik.
Sosiolinguistik merupakan suatu ilmu interdisipliner yang menggarap masalah-
masalah kebahasaan dalam hubungannya dengan pemakaiannya di dalam
masyarakat. Hal tersebut berarti sosiolinguistik memiliki pandangan bahwa
bahasa pertama-tama sebagai sistem sosial dan sistem komunikasi, serta
merupakan bagian dari masyarakat dan kebudayaan tertentu.
3
Masyarakat Indonesia termasuk dalam masyarakat bilingualisme atau
multilingualisme karena masyarakat di Indonesia menggunakan bahasa yang lebih
dari satu yaitu bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional dan bahasa masing-
masing daerah sebagai bahasa ibu. Oleh karena itu, pada penggunaan bahasanya
tidak terlepas dari peristiwa kontak bahasa. Dalam peristiwa kontak bahasa,
masyarakat bilingualisme atau multilingualisme dihadapkan pada pemilihan kode
sehingga muncul suatu pergantian kode atau percampuran kode yang disebut
dengan alih kode dan campur kode. Alih kode adalah peralihan bahasa satu ke
bahasa yang lain, sedangkan campur kode adalah bercampurnya sebuah bahasa ke
bahasa lain dalam suatu tuturan.
Alih kode dan campur kode tersebut merupakan salah satu fenomena
sosiolinguistik. Fenomena sosiolinguistik tersebut dapat ditemukan di Asrama
Mahasiswa UNS, Kecamatan Jebres, Kota Surakarta. Asrama Mahasiswa UNS
bertempat di Jalan Kartika III, Ngoresan, Kecamatan Jebres, Kota Surakarta.
Asrama Mahasiswa UNS merupakan suatu tempat tinggal sementara atau
sering disebut kos-kosan untuk mahasiswa UNS, dengan kapasitas kamar 700 unit
dan dilengkapi dengan fasilitas lengkap namun dengan harga sewa yang murah
per bulannya. Fasilitas yang terdapat di asrama bukan hanya lengkap namun
didukung juga dengan adanya kantin dan toko kelontong yang membuat
mahasiswa tidak perlu keluar dari area asrama untuk kebutuhan sehari-hari.
Dengan berbagai fasilitas serta kapasitas kamar yang banyak tersebut menjadikan
Asrama mahasiswa UNS sebagai salah satu pilihan untuk para mahasiswa UNS
untuk tempat tinggal sementara.
4
Di Asrama Mahasiswa UNS para penghuninya bukan hanya berasal dari
Indonesia saja melainkan juga mahasiswa pertukaran dari luar negeri. Para
penghuni asrama tersebut, baik berasal dari Indonesia maupun luar negeri dapat
berinteraksi dengan baik. Hal itu dikarenakan para penghuni dari luar negeri
mempelajari bahasa Indonesia bahkan bahasa Jawa juga dipelajari. Mereka
mempelajari bahasa Jawa agar mereka lebih luwes dalam bekomunikasi dengan
penghuni asrama lainnya yang notabennya mereka berasal dari Jawa dan
berbahasa Jawa. Hal tersebut menimbulkan bahasa yang beragam di lingkungan
Asrama Mahasiswa UNS. Dalam penelitian ini akan membahas tentang alih kode
dan campur kode dalam komunikasi bahasa Jawa di Asrama Mahasiswa UNS
Surakarta. Berikut ini contoh alih kode dan campur kode dalam komunikasi
berbahasa Jawa di Asrama Mahasiswa UNS yang dapat ditemukan dalam
observasi.
Data 1
P1 : Dit, Lala durung mulih ta? „Dit, Lala belum pulang?‟
P2 : Nggak tahu mbak, dari tadi nggak ketemu Lala.
„Tidak tahu mbak, dari tadi tidak ketemu Lala‟.
P1 : Ya udah Dit, nanti kalau ketemu BBM aku ya! „Ya sudah Dit, nanti kalau ketemu BBM aku ya!‟
P2 : Iya mbak.
„Ya mbak‟.
Pada contoh data (1) peristiwa tutur yang terjadi di balkon gedung A
lantai satu, salah satu gedung di Asrama Mahasiswa UNS. Peristiwa tutur tersebut
berlangsung pada hari Kamis 11 Februari 2016 pukul 18.20 WIB. Komunikasi
dilakukan oleh P1 yaitu seorang mahasiswa berasal dari daerah Boyolali dan P2
yaitu mahasiswa berasal dari Lampung, keduanya merupakan mahasiswi penghuni
5
Asrama Mahasiswa UNS gedung A. Situasi komunikasi yang terjadi adalah
santai. Topik tuturan yaitu menanyakan apakah temannya sudah pulang apa
belum.
Dalam komunikasi tersebut terdapat alih kode yang merupakan kesatuan
lingual (kebahasaan) yaitu kalimat. Alih kode terjadi dari bahasa Jawa ke bahasa
Indonesia yang dilakukan oleh P1. Pada awalnya P1 menggunakan bahasa Jawa
saat bertanya kepada P2 yaitu, Dit, Lala durung mulih ta? „Dit, Lala belum
pulang?‟ kemudian beralih kode ke bahasa Indonesia, yakni Ya udah Dit, nanti
kalau ketemu BBM aku ya „Ya sudah Dit, nanti kalau ketemu bbm aku ya‟. Alih
kode seperti itu disebut dengan alih kode intern.
Tujuan atau fungsi peralihan kode dalam tuturan tersebut adalah lebih
persuasif. P1 menyuruh lawan tuturnya (P2) untuk menghubunginya jika bertemu
dengan temannya.
Faktor yang melatarbelakangi penggunaan alih kode adalah lawan tutur
yakni P2. Pada awalnya P1 menggunakan bahasa Jawa saat bertanya, namun
karena lawan tuturnya menggunakan bahasa Indonesia saat menjawab, sehingga
P1 mengimbangi bahasa yang digunakan oleh P2. Latar belakang alih kode ini
disebut dengan faktor situasional, karena penutur melihat bahasa yang digunakan
lawan tutur.
Data 2
P1 : Mbak aku wae sing ngliwet, kowe midhuka tuku lawuh!
„Mbak aku saja yang masak nasi, kamu turun saja beli lauk!‟
P2 : Apa ora reti yen kene iki lagi miskin pa direwangi dhudhah-dhudhah
celengan gelo deloken.
„Apa tidak tahu kalau aku itu baru miskin apa diusahakan bongkar-
bongkar abuan (uang simpanan untuk cadangan) ini lihatlah.‟
P1 : Haha ya makane merga bar bedhah celengan kuwi tukua kog mbak.
6
„Haha ya makanya habis bongkar abuan itu belilah (disini yang
dimaksud adalah lauk) mbak.‟
P2 : Urik tenan.
„Curang sekali.‟
Peristiwa tutur pada data (2) berlangsung pada hari Kamis 21 Januari
2016 pukul 18.25 WIB di kamar nomor 7 lantai 2 gedung A Asrama Mahasiswa
UNS. Komunikasi dilakukan oleh P1 dan P2. P1 merupakan mahasiswa penghuni
gedung C di Asrama Mahasiswa UNS yang sedang bermain di kamar P2
sedangkan P2 sendiri adalah penghuni kamar nomor 7 lantai 2 gedung A,
keduanya adalah teman. Situasi yang terjadi adalah santai. Topik tuturan adalah
tentang membeli lauk dan membongkar celengan.
Dalam komunikasi tersebut terdapat campur kode berupa penggunaan kata
dari bahasa lain yang dilakukan oleh P2. Campur kode terjadi pada tuturan P2
yaitu masuknya kata bahasa Indonesia yaitu miskin ke dalam ruas data tuturan
berbahasa Jawa, yaitu Apa ora reti yen kene iki lagi miskin pa direwangi dudah-
dudah celengan gelo deloken. Campur kode ini disebut campur kode intern.
Fungsi/tujuan penggunaan campur kode pada data (2) adalah lebih
argumentatif meyakinkan lawan tutur atau mitra tutur. Kata miskin yang
diucapkan oleh P2 adalah untuk meyakinkan kepada lawan tuturnya yakni P1
bahwa sebenarnya dia tidak mau membeli lauk dan benar-benar tidak mempunyai
uang.
Faktor yang melatarbelakangi terjadinya campur kode tersebut adalah
keinginan untuk menjelaskan atau menafsirkan. Dalam tuturannya P2
memasukkan kata dari bahasa Indonesia yaitu kata miskin untuk menjelaskan
kepada P1 bahwa P2 tidak ingin membeli lauk karena sedang tidak memiliki uang
7
sampai-sampai harus membuka abuan. Latar belakang campur kode ini disebut
dengan faktor praktikal, karena lebih umum dan praktis untuk diucapkan.
Dua data di atas terjadi pada komunikasi para penghuni di Asrama
Mahasiswa UNS. Dari kedua data tersebut menunjukkan perkembangan bahasa
yang menjadikan masyarakat tutur tidak hanya menguasai satu bahasa saja,
melainkan masyarakat tutur juga mengerti bahkan menguasai lebih dari satu
bahasa. Terutama untuk penghuni Asrama Mahasiswa UNS, penghuni asrama
bukan hanya menggunakan bahasa Indonesia dan bahasa Jawa saja untuk
berkomunikasi, melainkan juga harus mengerti bahkan menguasai bahasa daerah
yang lain serta bahasa asing, karena di Asrama Mahasiswa UNS penghuninya
heterogen.
Selain alasan di atas penghuni asrama terdiri dari berbagai kalangan sosial
yang berbeda antara lain Asrama Mahasiswa UNS ditempati oleh satpam,
mahasiswa, pengelola, dan penjual kantin. Serta usia para penghuni yang berbeda
menjadikan perkembangan bahasa yang bervariasi.
Penelitian sosiolinguistik yang pernah dilakukan yang kaitannya dengan
alih kode dan campur kode adalah sebagai berikut.
1. Penggunaan Bahasa Jawa Etnis Cina di Pasar Gede Surakarta dalam Ranah
Jual Beli (Suatu Kajian Sosiolinguistik) skripsi oleh Ayu Margawati
Pamungkas (2009). Penelitian tersebut difokuskan pada penjabaran tentang
bahasa Jawa yang digunakan oleh etnis Cina di Pasar Gede Surakarta serta
interferensi, alih kode, dan campur kode yang terjadi saat melakukan transaksi
jual beli, juga faktor yang melatar belakangi terjadinya alih kode dan campur
kode pada penggunaan bahasa Jawa Etnis Cina di Pasar Gede Surakarta.
8
2. Alih Kode dan Campur Kode dalam Penggunaan Bahasa Jawa Tukang Ojek
di Terminal Bus Simo Boyolali (Suatu Tinjauan Sosiolinguistik) skripsi oleh
Erry Prastya Jati (2014). Penelitian ini berfokus pada bentuk alih kode dan
campur kode dalam penggunaan bahasa Jawa oleh tukang ojek terminal bus
Simo Boyolali, juga fungsi dan faktor yang melatarbelakangi terjadinya alih
kode dan campur kode dalam penggunaan bahasa Jawa tukang ojek terminal
bus Simo Boyolali.
3. Alih Kode dan Campur Kode dalam Pembelajaran Bahasa Indonesia Kelas X
SMA Muhammadiyah 4 Yogyakarta (Kajian Sosiolinguistik) tesis oleh
Rulyandi (2014). Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan wujud alih
kode dan campur kode dalam pembelajaran bahasa Indonesia, faktor-faktor
yang melatar belakangi terjadinya alih kode dan campur kode dalam
pembelajaran bahasa Indonesia kelas X SMA Muhammadiyah 4 Yogyakarta.
Dari beberapa penelitian sebelumnya, penelitian tentang “Alih Kode dan
Campur Kode dalam Komunikasi Berbahasa Jawa di Asrama Mahasiswa
Universitas Sebelas Maret Surakarta” belum pernah dilakukan. Penelitian ini
merupakan fokus kajian yang baru karena objek kajiannya adalah baru. Oleh
karena itu, penelitian ini diposisikan sebagai penelitian baru, bukan merupakan
penelitian lanjutan atau pemantapan dari penelitian sebelumnya.
Alasan lain mengenai penelitian alih kode dan campur kode dalam
komunikasi berbahasa Jawa di Asrama Mahasiswa UNS ini dilakukan antara lain:
(1) asrama berada di daerah Surakarta yang notabennya kehidupan masyarakatnya
masih melekat dengan kebudayaan Jawa, (2) bahasa Jawa di Asrama Mahasiswa
UNS merupakan bahasa yang masih konsisten digunakan sehari-hari, (3) Asrama
9
Mahasiswa UNS merupakan tempat yang termasuk dalam kategori heterogen
yang di dalamnya bukan hanya para mahasiswa dan mahasiswi, tetapi ada satpam,
pengelola asrama dan penjual kantin di Asrama Mahasiswa UNS, serta bukan
hanya berasal dari masyarakat Jawa tetapi juga masyarakat dari daerah lain
bahkan luar negeri, (4) dalam komunikasi sehari-hari di Asrama Mahasiswa UNS
alih kode dan campur kode masih sering dilakukan hal tersebut terjadi karena latar
belakang sosial, daerah dan bahasa yang berbeda, (5) penelitian mengenai alih
kode dan campur kode dalam komunikasi berbahasa Jawa di Asrama Mahasiswa
UNS belum pernah diteliti.
Dari alasan di atas maka penulis mengambil judul “Alih Kode dan Campur
Kode dalam Komunikasi Berbahasa Jawa di Asrama Mahasiswa Universitas
Sebelas Maret Surakarta”.
B. Pembatasan Masalah
Untuk membatasi masalah pada penelitian ini agar tidak melebar dan tidak
meluas dari sasarannya, maka permasalahan dibatasi pada bentuk dan fungsi alih
kode, campur kode, serta faktor yang melatarbelakangi terjadinya alih kode serta
campur kode dalam komunikasi berbahasa Jawa di Asrama Mahasiswa UNS
Surakarta.
C. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah tersebut, maka dalam penelitian ini
masalah dirumuskan sebagai berikut.
10
1. Bagaimanakah bentuk alih kode dan campur kode dalam komunikasi
berbahasa Jawa di Asrama Mahasiswa UNS?
2. Bagaimanakah fungsi alih kode dan campur kode dalam komunikasi
berbahasa Jawa di Asrama Mahasiswa UNS?
3. Bagaimanakah faktor yang melatarbelakangi penggunaan alih kode dan
campur kode dalam komunikasi berbahasa Jawa di Asrama Mahasiswa UNS?
D. Tujuan Penelitian
Dari rumusan masalah tersebut, penelitian bertujuan untuk memaparkan
pemakaian variasi alih kode dan campur kode bahasa Jawa di Asrama Mahasiswa
UNS. Tujuannya sebagai berikut.
1. Mendeskripsikan bentuk alih kode dan campur kode dalam komunikasi
berbahasa Jawa di Asrama Mahasiswa UNS.
2. Mendeskripsikan fungsi alih kode dan campur kode dalam komunikasi
berbahasa Jawa di Asrama Mahasiswa UNS.
3. Menjelaskan faktor yang melatarbelakangi alih kode dan campur kode dalam
komunikasi berbahasa Jawa di Asrama Mahasiswa UNS.
E. Manfaat Penelitian
Manfaat dari penelitian ini dibedakan menjadi dua macam, yaitu manfaat
teoretis dan manfaat praktis.
11
1. Manfaat Teoretis
Penelitian yang dilakukan ini diharapkan dapat memberikan manfaat
teoretis yaitu menerapkan teori linguistik, khususnya teori sosiolinguistik
Jawa.
2. Manfaat Praktis
Secara praktis manfaat penelitian ini diharapkan dapat menambah
materi pengajaran bahasa Jawa dan memberikan informasi tentang alih kode,
campur kode berbahasa Jawa yang digunakan di Asrama Mahasiswa UNS
kepada peneliti serta masyarakat.
F. Landasan Teori
1. Pengertian Sosiolinguistik
Sosiolinguistik merupakan suatu ilmu interdisipliner yang menggarap
masalahmasalah kebahasaan dalam hubungannya dengan masalahmasalah
sosial. Menurut Nababan (1993: 2) sosiolinguistik mempelajari dan membahas
aspek-aspek kemasyarakatan bahasa, khususnya perbedaan (variasi) yang terdapat
dalam bahasa yang berkaitan dengan faktor-faktor kemasyarakatan. Fishman lebih
cenderung menyebut sosiolinguistik dengan sebutan sosiologi bahasa (the
sociology of language), dengan pertimbangan, karena studi ini pada hakikatnya
menggarap masalahmasalah sosial dalam hubungannya dengan pemakaian
bahasa (Fishman dalam Suwito, 1983: 4). Harimurti Kridalaksana (2011: 225)
berpendapat bahwa sosiolinguistik (sociolinguistics) merupakan cabang linguistik
yang mempelajari hubungan dan saling pengaruh antara perilaku bahasa dan
perilaku sosial.
12
Dengan memasukkan unsur kebudayaan yang melatarbelakangi pemakaian
bahasa, Appel merumuskan sosiolinguistik sebagai studi tentang bahasa dan
pemakaian bahasa dalam hubungannya dengan masyarakat kebudayaan dengan
masyarakat dan kebudayaan (Appel dalam Suwito, 1983: 4). Hymes berpendapat
sosiolinguistik lebih menitik beratkan pada segi kegunaannya, bahwa
sosiolinguistik dapat dipakai sebagai petunjuk tentang kemungkinan pemakaian
data dan analisis sosial di dalam linguistik (Hymes dalam Suwito, 1983: 4). Bram
dan Dickey (dalam Fathur Rokhman 2013: 2) menyatakan bahwa sosiolinguistik
mengkhususkan kajiannya pada bagaimana bahasa berfungsi di tengah
masyarakat. Mereka menyatakan pula bahwa sosiolinguistik berupaya
menjelaskan kemampuan manusia menggunakan aturan-aturan berbahasa secara
tepat dalam situasi-situasi yang bervariasi.
Seorang ahli bahasa yang lainnya memberikan penjelasan bahwa
sosiolinguistik adalah subdisiplin linguistik yang mempelajari bahasa dalam
hubungan pemakaiannya di masyarakat. Dalam sosiolinguistik dibicarakan antara
lain pemakai dan pemakaian bahasa, tempat pemakaian bahasa, tata tingkat
bahasa, pelbagai akibat adanya kontak dua buah bahasa/lebih, dan ragam serta
waktu pemakaian ragam bahasa itu (Abdul Chaer, 2007: 16).
Dari beberapa pendapat para ahli di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa
sosiolinguistik merupakan cabang ilmu bahasa yang mempelajari dan menggarap
bahasa yang berhubungan dengan pemakaiannya di masyarakat yang
dilatarbelakangi oleh faktor-faktor kemasyarakatan dan situasi kebudayaan
masyarakat.
13
2. Masyarakat Tutur atau Masyarakat Bahasa
Masyarakat bahasa adalah sekumpulan manusia yang menggunakan sistem
isyarat bahasa yang sama (Bloomfield dalam Nababan 1993: 5). Pengertian
tersebut dianggap terlalu sempit cakupannya oleh para ahli sosiolinguistik, sebab
setiap orang menggunakan dan menguasai lebih dari satu ragam bahasa. Labov
(dalam Nababan 1993: 5) memberikan batasan demikian: A group who shares the
same norms in regard to languge (suatu kelompok yang mempunyai norma-
norma yang sama mengenai bahasa).
Masyarakat tutur adalah suatu masyarakat yang anggota-anggotanya
setidak-tidaknya mengenal satu variasi bahasa beserta borma-norma yang sesuai
dengan penggunaannya (Fishman dalam Abdul Chaer dan Leonie Agustina, 2004:
36). Suatu masyarakat tutur merasa bahwa bahasa yang dipakai dalam
masyarakatnya itu sebagai alat komunikasi yang memadai, para anggota tidak
merasa kekurangan akan bahasa yang mereka perlukan dalam kehidupannya
sebagai anggota masyarakat. Ini berlaku baik masyarakat bahasa itu mempunyai
satu jenis bahasa atau berbagai bahasa (Khaidir Anwar, 1984: 31).
Suatu masyarakat atau sekelompok orang mempunyai verbal repertoire
yang relatif sama dan mempunyai penilaian yang sama terhadap norma-norma
pemakaian bahasa yang dipergunakan di dalam masyarakat itu disebut dengan
masyarakat tutur. Sifat masyarakat tutur yang besar dan beragam antara lain ialah
bahwa variasi dalam verbal repertoirnya diperoleh terutama karrena pengalaman
dan diperkuat dengan interaksi verbal langsung di dalam kegiatan tertentu
(Suwito, 1983: 20). Pengertian ini dipekuat oleh para ahli bahasa lainnya yang
menyebutkan bahwa masyarakat tutur masyarakat tutur bukanlah hanya
14
sekelompok orang yang menggunakan bahasa yang sama, melainkan kelompok
orang yang mempunyai norma yang sama dalam menggunakan bentuk-bentuk
bahasa. Selain itu, untuk dapat disebut masyarakat tutur adalah adanya perasaan di
antara para penuturnya, bahwa mereka merasa menggunakan tutur yang sama
(Abdul Chaer dan Leoni Agustina, 2004: 38).
Dari beberapa pendapat tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa
masyarakat tutur adalah suatu kelompok masyarakat yang setidaknya mengenal
dan menggunakan satu bahasa atau lebih, serta mempunyai penilaian yang sama
terhadap norma-norma pemakaian bahasa yang dipergunakan dalam masyarakat
itu.
3. Kedwibahasaan, Bilingualisme, dan Diglosia
Istilah kedwibahasaan, bilingualisme dan diglosia merupakan istilah yang
pengertiaanya menyangkut pemakaian dua bahasa yang digunakan oleh seseorang
maupun kelompok orang dalam suatu masyarakat. Weinreich (dalam Suwito
1983: 39) kedwibahasaan ialah suatu peristiwa pemakaian dua bahasa (atau lebih)
secara bergantian oleh seorang penutur. Menurut Nababan (1993: 27)
kedwibahasaan atau bilingualisme ialah kebiasaan menggunakan dua bahasa
dalam interaksi dengan orang lain. Hakikat kedwibahasaan, bilingualisme, dan
diglosia merupakan kesanggupan atau kemampuan seseorang berdwibahasa yaitu
memakai dua bahasa yang disebut dengan bilingualitas (dari bahasa Inggris
bilinguality). Jadi orang yang berdwibahasa mencakup pengertian kebiasaan
menggunakan dua bahasa. Dapat dibedakan pengertian itu dengan kedwibahasaan
(untuk kebiasaan) dan kedwibahasawan (untuk kemampuan) (Nababan, 1993: 27).
15
Bloomfield berpendapat bahwa bilingualisme dirumuskan sebagai
nativelike control of two languages (Bloomfield dalam Suwito 1983: 40).
Kedwibahasaan seperti itu oleh Halliday (dalam Suwito 1983: 40) disebut dengan
istilah ambilingualism. Ferguson (dalam Suwito, 1983: 45) istilah diglosia
dimaksudkan untuk memberi gambaran peristiwa di mana dua variasi dari satu
bahasa hidup berdampingan di dalam suatu masyarakat dan masing-masing
mempunyai peranan tertentu.
Diglosia adalah situasi bahasa dengan pembagian fungsional atas variasi-
variasi bahasa yang ada. Satu variasi diberi status tinggi dan dipakai untuk
penggunaan resmi atau penggunaan publik dan mempunyai ciri-ciri yang lebih
kompleks dan konservatif, variasi lain mempunyai status rendah dan
dipergunakan untuk komunikasi tak resmi dan stukturnya disesuaikan dengan
saluran komunikasi lisan (Harimurti Kridalaksana, 2011: 50).
Kedwibahasaan, bilingualisme, dan diglosia merupakan kesanggupan atau
kemampuan seseorang berdwibahasa yaitu memakai dua bahasa, disebut
bilingualitas. Jadi orang yang berdwibahasa mencakup pengertian kebiasaan
menggunakan dua bahasa. Dapat dibedakan pengertian itu dengan kedwibahasaan
(untuk kebiasaan) dan kedwibahasaan (untuk kemampuan) (Nababan, 1993: 27).
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa kedwibahasaan,
bilingualisme, dan diglosia adalah seseorang maupun kelompok orang yang
mampu menggunakan pemakaian dua bahasa atau lebih yang digunakan dalam
suatu masyarakat. Kemampuan dalam menggunakan dua bahasa disebut dengan
kedwibahasaan dan orang yang menggunakan dua bahasa itu disebut
16
dwibahasawan, sedangkan proses penggunaan dua bahasa yang menimbulkan
beda fungsi itu disebut dengan diglosia.
4. Tingkat Tutur
Sistem kode dalam masyarakat tutur disebut juga dengan tingkat tutur.
Tingkat tutur bahasa Jawa disebut juga unggah-ungguh. Tingkat tutur bahasa
Jawa menunjukkan tingkat kesopanan orang yang menggunakannya. Tingkat tutur
(speech level) adalah suatu sistem kode penyampaian rasa kesopanan yang di
dalamnya terdapat unsur kosa kata tertentu, aturan sintaksis tertentu, aturan
morfologi dan fonologi tertentu (Soepomo Poedjosoedarmo, 1979: 8-9).
Terdapat dua teori konsep pembagian tingkat tutur yaitu pembagian
tingkat tutur tradisional dan pembagian tingkat tutur baru. Pembagian tingkat tutur
tradisional dikemukakan ole Ki Padmasusastra (dalam Rahayu 2015: 18) yang
secara sistematis dapat dipaparkan sebagai berikut.
a. Basa Ngoko:
1) Ngoko lugu
2) Ngoko andhap:
(a) antya-basa
(b) basa-antya
b. Basa Krama:
1) Wredha-krama
2) Mudha-krama
3) Kramantara
c. Basa Madya:
1) Madya-ngoko
2) Madya-krama
3) Madyantara
d. Krama Desa
e. Krama Inggil
f. Basa Kedhaton
g. Basa Kasar
17
Ciri pokok pembagian tingkat tutur tersebut terletak pada bentuk katanya
dimana satu jenis dengan jenis lainnya saling berbeda (Sudaryanto, 1989: 98-99).
Tetapi menurut para pakar pembagian tingkat tutur yang dipaparkan di atas terlalu
dikemas, teoritis dan tidak alami untuk bahasa Jawa sekarang. Faktor tersebut
menjadi hambatan untuk generasi muda dalam memahami tingkat tutur bahasa
Jawa saat ini, sehingga muncul pendapat teori tingkat tutur yang baru.
Teori tingkat tutur yang baru telah diungkapkan oleh beberapa pakar salah
satunya adalah Sudaryanto. Menurutnya, pembagian tingkat tutur bahasa Jawa
secara realistis hanyalah ada empat yaitu ngoko, ngoko alus, krama, dan krama
alus. Pembagian empat dengan penyebutan atau penamaan semacam itu
menyarankan adanya konsep unsur lingual halus yang hadir bersama dan di dalam
bentuk ngoko dan krama (1989: 103).
Dari beberapa uraian di atas dapat diambil kesimpulan mengenai tingkat
tutur atau unggah-ungguh bahasa Jawa yaitu bahwa teori tingkat tutur atau
unggah-ungguh bahasa Jawa tradisional sudah tidak relevan lagi jika digunakan di
era sekarang ini sehingga digunakan teori tingkat tutur yang baru. Penelitian ini
menggunakan pembagian tingkat tutur yang dikemukakan oleh Sudaryanto.
5. Kode
Sebelum berbicara mengenai alih kode dan campur kode perlu diketahui
dahulu mengenai pengertian kode. Istilah kode dimaksudkan untuk menyebut
salah satu varian di dalam hierarki kebahasaan. Masing-masing varian merupakan
tingkat tertentu dalam hierarki kebahasaan dan semuanya termasuk dalam
cakupan kode. Sedangkan kode merupakan bagian dari bahasa (Suwito, 1983: 67).
Kode juga merupakan lambang atau sistem ungkapan yang dipakai untuk
18
menggambarkan makna tertentu. Bahasa manusia adalah sejenis kode. Kode juga
dapat disebut sebagai sistem bahasa dalam suatu masyarakat, dan kode merupakan
variasi tertentu dalam suatu bahasa (Harimurti Kridalaksana, 2011: 127).
Dari pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa kode merupakan unsur
dari lambang kebahasaan yang menggambarkan variasi-variasi bahasa yang
digunakan masyarakat dalam berkomunikasi. Variasi-variasi bahasa dapat berupa
ragam bahasa, gaya, dialek, dan sebagainya sehingga membuat kode berbeda dari
satuan lingual bahasa.
6. Alih Kode
Alih kode adalah peristiwa peralihan dari kode yang satu ke kode yang
lain. Jadi apabila seorang penutur mula-mula menggunakan kode A (misalkan
bahasa Indonesia), dan kemudian beralih menggunakan kode B (misalkan bahasa
Jawa), maka peristiwa peralihan pemakaian bahasa seperti itu disebut alih kode
(code-switching) Suwito (1983: 68).
Suwito (1983: 72) menjelaskan lebih dalam dan menambahkan beberapa
hal tentang bentuk alih kode, fungsi alih kode dan faktor yang melatarbelakangi
terjadinya alih kode, sebagai berikut.
a. Bentuk Alih Kode
Sesuai dengan pengertian dari kode, bentuk alih kode dapat terjadi antar
bahasa, antar varian (baik resional maupun sosial), antar register, antar ragam
ataupun antar gaya (Suwito, 1983: 69). Dalam alih kode penggunaan dua bahasa
atau lebih, ditandai oleh: (a) masing-masing bahasa yang mendukung fungsi-
fungsi tersendiri sesuai konteksnya, (b) fungsi masing-masing bahasa disesuaikan
dengan situasi yang relevan dengan perubahan konteks (Suwito, 1983: 69). Ciri-
19
ciri tersebut menunjukkan bahwa suatu gejala adanya saling ketergantungan
antara fungsi kontekstual dan situasi relevansial di dalam pemakaian dua bahasa
atau lebih.
Hymes (dalam Suwito 1983: 69) mengatakan bahwa alih kode adalah
istilah umum untuk menyebut pergantian (peralihan) pemakaian dua bahasa atau
lebih, beberapa variasi dari satu bahasa, atau bahkan beberapa gaya dari satu
ragam. Apabila alih kode itu terjadi antara bahasa-bahasa daerah dalam satu
bahasa nasional, atau antara dialek-dialek dalam satu bahasa daerah, atau antar
beberapa ragam dan gaya yang terdapat dalam satu dialek, alih kode seperti
disebut bersifat intern. Sedangkan apabila yang terjadi adalah antara bahasa asli
dengan bahasa asing, maka disebut alih kode ekstern. Dalam prakteknya mungkin
saja dalam satu peristiwa tutur tertentu terjadi alih kode intern dan ekstern secara
beruntun, apabila fungsi kontekstual dan situasi relevansialnya dinilai oleh
penutur cocok untuk melakukan (Suwito 1983: 69).
Dapat disimpulkan bahwa bentuk alih kode terjadi antar bahasa, antar
varian, antar register, antar ragam ataupun antar gaya. Dari berbagai varian
tersebut jika alih kode terjadi antara bahasa-bahasa dalam satu bahasa nasional,
antar dialek-dialek dalam satu bahasa daerah, ataupun antar ragam dan gaya yang
terdapat dalam satu dialek, alih kode seperti disebut bersifat intern. Sedangkan
apabila yang terjadi adalah antara bahasa asli dengan bahasa asing, maka disebut
alih kode ekstern. Jadi alih kode ditandai dengan adanya peralihan satu bahasa ke
bahasa yang lain pada konteks situasi yang berbeda. Dalam penelitian ini bentuk
alih kode yang ditemukan adalah alih kode bersifat intern dan alih kode bersifat
ekstern.
20
b. Fungsi Alih Kode
Masing-masing bahasa dalam alih kode mendukung fungsi tersendiri
secara eksklusif dan peralihan kode terjadi apabila penuturnya merasa bahwa
situasinya relevan dengan peralihan kodenya. Dengan demikian, alih kode
menunjukkan suatu gejala saling ketergantungan antara fungsi kontekstual dan
relevansial di dalam pemakaian bahasa atau lebih (Suwito, 1983: 69).
Fungsi atau tujuan penggunaan alih kode dalam penelitian ini secara
kebahasaan dan tidak terlepas dari proses sosio-situasional yaitu (1) lebih
persuasif membujuk atau menyuruh lawan tutur, (2) lebih prestis, (3) lebih
argumentatif meyakinkan lawan tutur atau mitra tutur, dan (4) lebih komunikatif.
c. Faktor yang Melatarbelakangi Pemakaian Alih kode
Peristiwa alih kode disebabkan oleh faktor-faktor luar bahasa, terutama
fakto-faktor yang sifatnya sosio-situasional. Beberapa faktor tersebut adalah
sebagai berikut.
1) Penutur
Penutur kadang-kadang dengan sadar berusaha beralih kode terhadap
lawan tuturnya karena suatu maksud.
2) Lawan Tutur
Setiap penutur ingin mengimbangi bahasa yang digunakan oleh lawan
tutur. Di dalam masyarakat multilingual itu seorang penutur mungkin beralih
sebanyak lawan tutur yang dihadapinya.
3) Hadirnya Penutur Ketiga
Dua orang yang berasal dari etnik yang sama umumnya saling
berinteraksi dengan bahasa keluarga etniknya. Tetapi bila ada orang ketiga
21
dalam pembicaraan itu, dan orang itu berbeda latar belakang kebahasaanya,
biasanya dua orang yang pertama beralih ke kode bahasa penutur ketiga untuk
netralisasi situasi sekaligus menghormati hadirnya orang ketiga tersebut.
4) Pokok Pembicaraan (topik)
Pokok pembicaraan merupakan yang termasuk dominan dalam
menentukan terjadinya alih kode. Pokok pembicaraan ada dua golongan yaitu
pokok pembicaraan yang bersifat formal dan bersifat informal.
5) Untuk Membangkitkan Rasa Humor
Alih kode sering dimanfaatkan oleh pelawak, guru atau pimpinan rapat
untuk membangkitkan rasa humor. Bagi pelawak, untuk membuat penonton
merasa puas dan senang, bagi pemimpin rapat rasa humor untuk
menghilangkan ketegangan yang mulai muncul dalam memecahkan masalah.
6) Untuk Sekedar Bergengsi
Sebagai penutur ada yang beralih kode sekedar untuk bergengsi, yang
dapat menimbulkan kesan dipaksakan dan tidak komunikatif. Hal ini terjadi
apabila faktor situasi, lawan bicara, topik, dan faktor-faktor sosiosituasi yang
lain, menuntut untuk berbicara bahasa yang berbeda dengan kita yaitu ketika
kita berbicara dengan orang asing kita menggunakan bahasa inggris.
Dari beberapa pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa alih kode
merupakan suatu peristiwa beralihnya bahasa satu ke bahasa yang lainnya,
peristiwa tersebut dapat berupa peralihan kode intern dan ekstern. Peralihan
tersebut dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain penutur, mitra tutur, dan
hadirnya orang ketiga.
22
7. Campur Kode
Campur kode adalah suatu keadaan berbahasa lain ialah bilamana orang
mencampur dua atau lebih bahasa atau ragam bahasa dalam suatu tindak bahasa
(speech act atau discourse) tanpa ada sesuatu dalam situasi berbahasa itu yang
menuntut percampuran bahasa itu. Dalam keadaan demikian, hanya kesantaian
penutur dan/atau kebiasaannya yang dituruti (Nababan, 1993: 32). Menurut
Harimurti Kridalaksana (2011: 40) campur kode adalah penggunaan satuan bahasa
dari satu bahasa ke bahasa lain untuk memperluas gaya bahasa atau ragam bahasa,
termasuk di dalamnya pemakaian kata, klausa, idiom, sapaan, dan sebagainya.
Campur kode merupakan aspek saling ketergantungan bahasa (language
dependency) dalam masyarakat multilingual. Ciri dari gejala campur kode adalah
bahwa unsur-unsur bahasa atau variasi-variasinya yang menyisip di dalam bahasa
lain tidak lagi mempunyai fungsi tersendiri. Unsur-unsur itu telah menyatu
dengan bahasa yang disisipinya dan secara keseluruhan hanya mendukung satu
fungsi (Suwito, 1983: 75). Pernyataan ini hampir sependapat dengan pendapat lain
bahwa di dalam campur kode ada sebuah kode utama atau kode dasar yang
digunakan dan memiliki fungsi dan keotonomiannya, sedangkan kode-kode lain
yang terlibat dalam peristiwa tutur itu hanyalah sebuah serpihan-serpihan (pieces)
saja, tanpa fungsi atau keotonomian sebagai sebuah kode (Abdul Chaer dan
Leonie Agustina, 2004: 114).
Kachru (dalam Suwito, 1983: 76) yang memberi batasan mengenai campur
kode sebagai pemakaian dua bahasa atau lebih saling memasukan unsur-unsur
bahasa yang satu ke dalam bahasa yang lain secara konsisten. Pendapat ini lebih
menekankan pada pemakaian bahasa yang memasukkan unsur-unsur bahasa satu
23
ke dalam bahasa yang lain. Misalnya, pemakaian bahasa Jawa yang dicampur
bahasa Indonesia. Theadender (dalam Suwito, 1983: 76) menjelaskan pendapat
dari Kachru bahwa unsur-unsur bahasa yang terlibat dalam peristiwa campur (co-
occurance) itu terbatas pada tingkat klausa yang sama maka peristiwa itu disebut
campur kode.
Dari beberapa pengertian tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa campur
kode adalah percampuran dua bahasa atau lebih yang terbatas pada tingkat klausa
dalam sebuah bahasa. Unsur bahasa yang digunakan dalam campur kode atau
percampuran bahasa tersebut tidak memiliki fungsi tersendiri sehingga berbeda
dengan alih kode.
Bentuk campur kode menurut Suwito (1983: 78-80) dapat dibedakan
menjadi berikut.
1) Penyisipan unsur-unsur yang berwujud kata.
2) Penyisipan unsur-unsur yang berwujud frasa.
3) Penyisipan unsur-unsur yang berwujud baster (gabungan pembentukan kata
asli dan asing).
4) Penyisipan unsur-unsur yang berwujud pengulangan kata.
5) Penyisipan unsur-unsur yang berwujud ungkapan atau idiom.
6) Penyisipan unsur-unsur yang berwujud klausa.
Dari acuan di atas bentuk campur kode yang diguanakan dalam penelitian
ini adalah campur kode penggunaan unsur bahasa lain berwujud (1) kata, (2)
perulangan kata, dan (3) frasa.
24
Fungsi campur kode yang digunakan dalam penelitian ini adalah (1) lebih
persuasif membujuk atau menyuruh lawan tutur, (2) lebih prestis, (3) lebih
argumentatif meyakinkan lawan tutur atau mitra tutur, dan (4) lebih komunikatif.
Faktor yang melatarbelakangi terjadinya campur kode menurut Suwito
(1983: 77) dikategorikan menjadi dua tipe yaitu tipe yang berlatar belakang pada
sikap (attitudinal type) dan tipe yang berlatar belakang kebahasaan (linguistic
type). Kedua tipe itu saling bergantung dan tidak jarang bertumpang tindih. Atas
dasar tersebut penyebab terjadinya campur kode dapat diidentifikasikan menjadi
beberapa alasan sebagai berikut.
1) Identifikasi peranan ukurannya adalah sosial, registral dan edukasional.
2) Identifikasi ragam ditentukan oleh bahasa dimana seorang penutur melakukan
campur kode yang akan menempatkan dia di dalam hierarkhi status sosialnya.
3) Keinginan untuk menjelaskan dan menafsirkan nampak karena campur kode
juga menandai sikap dan hubungannya terhadap orang lain serta sikap dan
hubungan orang lain terhadapnya.
Dari acuan di atas, faktor yang melatarbelakangi campur kode yang
digunakan dalam penelitian ini yaitu, (1) identifikasi peran sosial penutur, (2)
tidak ada padanannya dalam bahasa yang digunakan, dan (3) keinginan untuk
menjelaskan atau menafsirkan.
8. Komponen Tutur
Peristiwa tutur (speech event) adalah keseluruhan peristiwa pembicaraan
dengan segala faktor serta peranan faktor-faktor itu di dalam peristiwa (Suwito,
1983: 30). Sehubungan dengan konsep peristiwa tutur, seorang pakar
25
sosiolinguistik terkenal Dell Hymes mengemukakan adanya faktor-faktor yang
menandai terjadinya peristiwa tutur itu dengan singkatan SPEAKING. Singkatan
SPEAKING ini merupakan fonem awal dari fakto-faktor yang menandai
terjadinya peristiwa turtur, berikut penjelasan tentang SPEAKING tersebut.
S : Setting : yaitu tempat bicara dan suasana bicara.
P : Partisipant : lawan bicara dan pendengar.
E : End : tujuan akhir diskusi.
A : Act : suatu peristiwa dimana seorang pembicara sedang
mempergunakan kesempatan berbicaranya.
K : Key : nada suara dan ragam bahasa yang dipergunakan dalam
menyampaiakan pendapatnya, dan cara
mengemukakan pendapatnya.
I : Instrumen : alat untuk menyampaikan pendapat.
N : Norma : aturan permainan yang mesti ditaati oleh setiap peserta
diskusi.
G : Genre : jenis kegiatan diskusi yang mempunyai sifat-sifat lain
dan jenis kegiatan yang lain (Suwito, 1983: 32-33).
Disimpulkan bahwa syarat terjadinya peristiwa tutur harus memenuhi
komponen tutur SPEAKING. Komponen tutur SPEAKING merupakan faktor
yang melatarbelakangi tuturan beserta fungsi yang merupakan pengaruh bentuk
tutur. Dalam penelitian ini SPEAKING digunakan atau diaplikasikan dalam
menjelaskan latarbelakang peristiwa tuturan alih kode dan campur kode.
26
9. Keberadaan Asrama Mahasiswa UNS
Asrama Mahasiswa UNS bertempat di Jalan Kartika III, Ngoresan,
Kecamatan Jebres, Kota Surakarta. Asrama Mahasiswa UNS merupakan sebuah
tempat tinggal sementara atau semacam kos untuk mahasiswa UNS. Mahasiswa
UNS sendiri bukan hanya dari negara Indonesia saja melainkan mahasiswa dari
luar negeri antara lain Kamboja, Thailand, Mozambik, Vietnam, Suriname dan
Belanda. Jadi Asrama Mahasiswa UNS tersebut bukan hanya dihuni oleh
mahasiswa asal Indonesia saja tetapi juga mahasiswa luar negeri juga. Selain
ditempati oleh mahasiswa asing dan dalam negeri, Asrama Mahasiswa UNS juga
ditempati oleh satpam, pengelola, tenaga kebersihan dan penjual kantin.
Asrama Mahasiswa UNS bukan hanya menyediakan sebuah kos ataupun
tepat tinggal untuk mahasiswa saja, namun di asrama tersebut juga terdapat toko
kelontong dan tiga kantin, sehingga para penghuni asrama tidak perlu keluar jauh-
jauh untuk mencari makan dan kebutuhan sehari-hari. Di asrama para penghuni
baik mahasiswa pertukaran dari luar negeri maupun mahasiswa dalam negeri
saling berinteraksi dengan baik, karena para mahasiswa asing sudah banyak
belajar bahasa Indonesia maupun bahasa Jawa. Mereka juga sering mengobrol,
berdiskusi maupun bergurau bersama.
Dapat disimpulkan bahwa di Asrama Mahasiswa UNS merupakan tempat
yang di dalamnya terdapat berbagai peristiwa komunikasi, sehingga Asrama
Mahasiswa UNS merupakan salah satu area untuk berkomunikasi masyarakat.
10. Kerangka Berpikir
Bahasa tidak dapat terlepas dari aktifitas kehidupan manusia, karena pada
dasarnya bahasa merupakan alat komunikasi manusia. Bahasa digunakan manusia
27
untuk berinteraksi dalam kehidupan sehari-hari. Dari berbagai macam kegiatan
manusia salah satunya adalah komunikasi yang terjadi di Asrama Mahasiswa
UNS. Komunikasi di Asrama Mahasiswa UNS sangat beragam sehingga asrama
tersebut merupakan area komunikasi. Komunikasi yang terjadi yaitu komunikasi
lisan yang dilakukan oleh seluruh penghuni asrama yang yaitu komunikasi antara
pengelola asrama dengan mahasiswa mauupun dengan satpam atau penjual di
kantin asrama, kemudian komunikasi antara satpam asrama dengan mahasiswa
maupun penjual di kantin Asrama Mahasiswa. Selain itu komunikasi juga terjadi
antara penjual di kantin asrama dengan mahasiswa maupun mahasiswi penghuni
asrama ataupun antar sesame mahasiswa/mahasiswi penghuni asrama.
Para penghuni Asrama Mahasiswa UNS berasal dari berbagai daerah.
selain berasal dari daerah yang berbeda, latar belakang sosial mereka juga
berbeda-beda sehingga topik pembicaraan dalam komunikasi lisan yang terjadi di
Asrama Mahasiswa UNS juga beragam. Dalam komunikasi yang terjadi tersebut
sering terjadi adanya pemilihan kode oleh penutur. Pemilihan kode tersebut sering
menimbulkan sebuah peristiwa alih kode dan campur kode. Peristiwa alih kode
dan campur kode terjadi karena penutur yang melakukan komunikasi di Asrama
Mahasiswa UNS bersifat bilingualisme bahkan juga memiliki sifat
multilingualisme.
Dari uraian di atas, untuk mendeskripsikan bentuk alih kode dan campur
kode, fungsi alih kode dan campur kode, serta faktor yang melatarbelakangi
terjadinya alih kode dan campur kode dalam komunikasi berbahasa Jawa di
Asrama Mahasiswa UNS, secara praktis dapat digambarakan dalam kerangka
berpikir sebagai beriku
28
G. Metode Penelitian
Metode penelitian adalah suatu cara atau teknik dan prosedur yang dipilih
dalam melaksanakan sebuah penelitian. Metode adalah cara untuk mengamati
suatu kejadian atau fenomena, sedangkan metode penelitian mencakup kesatuan
dan serangkaian proses penentuan kerangka pikiran, perumusan masalah,
Asrama Mahasiswa UNS sebagai Tempat
Komunikasi
Terjadinya Peristiwa Komunikasi
Komunikasi Lisan Seluruh Penghuni Asrama
Mahasiswa UNS
Bentuk Komunikasi yang Mengandung Alih Kode dan Campur
Kode
Bentuk Alih
Kode dan
Campur Kode
Fungsi Alih Kode
dan Campur
Kode
Faktor yang
Melatarbelakangi
Terjadinya Alih Kode
dan Campur Kode
29
penentuan sampel data, teknik pengumpulan data dan analisis data (D. Edi
Subroto, 1992: 31). Metode penelitian ini meliputi: (1) Jenis Penelitian, (2) Lokasi
Penelitian, (3) Data dan Sumber Data, (4) Alat Penelitian, (5) Populasi dan
Sampel, (6) Metode Pengumpulan Data, (7) Metode dan Teknik Analisis Data,
dan (8) Metode Penyajian Data.
1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian ini merupakan penelitian lapangan. Adapun Bentuk dari
penelitian ini bersifat kualitatif deskriptif, artinya dalam penelitian ini
menggunakan pendekatan kualitatif yang bersifat deskriptif.
Kualitatif merupakan penelitian yang metode pengkajian atau metode
penelitian terhadap suatu masalah yang tidak didesain atau dirancang
menggunakan prosedur-prosedur statistik (Edi Subroto, 1992: 5). Selanjutnya
Sutopo juga menytakan bahwa di dalam konsep penelitian kualitatif data yang
dikumpulkan terutama kata-kata, kalimat atau gambar yang memiliki arti lebih
bermakna dan mampu memacu timbulnya pemahaman yang lebih nyata daripada
sekedar sajian angka atau frekuensi(2006: 40). Jadi dalam penelitian kualitatif
lebih menekankan pemahaman analisis makna dari data yang berbentuk kata-kata,
gambar atau dokumen bukan angka. Adapun bersifat deskriptif artinya adalah
penelitian yang studi kasusnya mengarah pada pendeskripsian secara rinci,
mendalam, dan benar-benar potret kondisi apa yang sebenarnya terjadi menurut
apa adanya di lapangan (Sutopo, 2006: 137).
Deskriptif dalam arti penelitian yang dilakukan sematamata hanya
berdasarkan pada fakta yang ada atau fenomena yang memang secara empiris
30
hidup pada penuturpenuturnya, sehingga yang dihasilkan atau yang dicatat
berupa perian bahasa yang biasa dikatakan sifatnya seperti potret: paparan seperti
nyatanya (Sudaryanto, 1993: 62). Bisa dikatakan bersifat deskriptif berarti
berupaya mendesripsikan potret fenomena aktivitas tertentu secara rinci dan apa
adanya.
Di sini dapat ditarik kesimpulan bahwa penelitian kualitatif yang bersifat
deskriptif adalah penelitian yang mengahasilkan data berupa kata-kata, lisan atau
gambar yang memiliki arti lebih dari sekedar angka atau jumlah yang digunakan
untuk menjelaskan secara rinci dan mendalam mengenai potret fenomena-
fenomenayang sebenarnya terjadi menurut apa adanya di lapangan.
Dalam penelitian ini peneliti mendeskripsikan fenomena adanya alih kode
data dan campur kode dalam komunikasi berbahasa Jawa di Asrama Mahasiswa
UNS yang dianalisis sesuai dengan tujuan, fungsi dan faktor yang
melatarbelakangi penggunaan alih kode data dan campur kode dalam komunikasi
berbahasa Jawa di Asrama Mahasiswa UNS.
2. Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di Asrama Mahasiswa UNS, karena tempat
tersebut mempunyai latar belakang yang khas antara budaya Jawa dengan
berbagai budaya lainnya antara lain budaya: Papua, Sumatra, Thailand, Libya,
Afrika, Kamboja, dan Suriname. Dengan bercampurnya kebudayaan tersebut
menimbulkan banyaknya variasi bahasa di Asrama Mahasiswa UNS terutama
variasi dalam bahasa Jawa.
31
3. Data dan Sumber Data
Data adalah bahan penelitian; dan bahan yang dimaksud bukan bahan
mentah melainkan bahan jadi ( Sudaryanto, 1993:9). Menurut Edi Subroto (2007:
38) data adalah semua informasi atau bahan yang disediakan oleh alam (dalam arti
luas), yang harus dicari atau dikumpulkan dan dipilih oleh peneliti. Jenis data
pada penelitian ini adalah data lisan. Data lisan yang digunakan dalam penelitian
ini yaitu tuturan dalam komunikasi berbahasa Jawa yang digunakan oleh para
penghuni Asrama Mahasiswa UNS meliputi mahasiswa, mahasiswi, satpam,
pengelola, dan penjual di kantin Asrama Mahasiswa UNS, yang mengandung alih
kode dan campur kode sesuai dengan tujuan penelitian ini. Data yang diambil
adalah penggunaan bahasa atau peristiwa bahasa yang berlangsung secara wajar di
dalam komunikasi berbahasa sehari-hari secara lisan oleh seluruh penghuni
Asrama Mahasiswa UNS.
Sumber data adalah asal mula data penelitian tersebut diperoleh (Subroto,
1992: 34).Menurut pakar lain sumber data adalah si penghasil atau pencipta
bahasa yang sekaligus tentu saja si penghasil atau pencipta data yang dimaksud
biasanya dinamakan narasumber (Sudaryanto, 1993: 35). Sumber data dalam
penelitian ini berasal dari informan sebagai pengguna bahasa dalam penelitian ini
dan tempat sasaran penelitian. Informan yang dimaksud adalah penghuni Asrama
Mahasiswa UNS. Di Asrama Mahasiswa UNS Surakarta terdapat tiga ratus dua
puluh satu orang yang menempati. Dari jumlah penghuni tersebut yang digunakan
dalam penelitian ini adalah yang mewakili dari berbagai profesi (mahasiswa,
satpam, pengelola, dan penjual kantin) dan yang memenuhi syarat penelitian yang
bersangkutan dengan penelitian ini. Sedangkan tempat sasaran dalam penelitian
32
ini adalah Asrama Mahasiswa UNS. Lokasi tersebut dipilih karena merupakan
tempat tinggal sementara yang dihuni oleh beragam kalangan dari berbagai daerah
dan sosial yang berbeda.Oleh karena itu, bahasa yang digunakan sangat beragam
dan memungkinkan terjadinya sebuah alih kode dan campur kode.
4. Alat Penelitian
Alat penelitian meliputi alat utama dan alat bantu.Disebut alat utama
karena alat tersebut yang paling dominan dalam penelitian ini, sedangkan alat
bantu berguna untuk memperlancar jalannya penelitian.
Alat utama dalam penelitian ini adalah peneliti sendiri,maksudnya
kelenturan sikap yang dimiliki peneliti yang mampu menggapai dan menilai
makna dari berbagai interaksi (Sutopo, 2006: 44). Selain itu ketajaman intuisi
kebahasaan peneliti sangat dibutuhkan dalam membagi data secara baik
(Sudaryanto: 1993: 31). Penggunaan alat utama dalam penelitian ini yaitu peneliti
langsung melihat keadaan sosial dan kebahasaan yang digunakan oleh penghuni
Asrama Mahasiswa UNS. Alat bantu penelitian ini adalah alat tulis manual yakni
ballpoint dan buku tulis. Alat bantu elektronik yang digunakan yakni handphone
untuk merekam, laptop dan flashdisk.
5. Sampel
Sampel adalah sebagian dari populasi yang dijadikan objek penelitian
langsung yang mewakili atau dianggap mewakili populasi secara keseluruhan.
Populasi merupakan objek penelitian yang terdiri dari keseluruhan individu yang
memiliki segi-segi bahasa. Populasi dalam penelitian ini adalah semua tuturan
informan yang terdapat dalam sumber data.
33
Sampel penelitian adalah data yang disahkan untuk dikaji, yang dijadikan
objek penelitian sesuai dengan rumusan masalah, tujuan penelitian dan teori yang
digunakan yang selanjutnya sebagai bahan untuk dikaji. Sampel pada penelitian
ini diambil dengan menggunakan metode proposive sampling. Pada teknik
purposive sampling pengambilan sampel ditentukan secara selektif berdasarkan
teori yang dipakai, tujuan penelitian, dan permasalahan penelitian. Menurut
Sutopo (2002 : 36) pilihan sampel diarahkan pada sumber data yang penting yang
berkaitan dengan permasalahan yang sedang diteliti.
Adapun sampel dalam penelitian ini adalah tuturan informan dalam
komunikasi berbahasa Jawa yang mengandung alih kode dan campur kode di
Asrama Mahasiswa UNS Surakarta. Informan yang dijadikan sampel penelitian
ini mewakili berbagai profesi yang menempati asrama meliputi mahasiswa, tenaga
kebersihan, satpam, pengelola, dan penjual kantin.
6. Metode Pengumpulan Data
Metode merupakan cara mendekati, mengamati, menganalisis gejala yang
ada (Harimurti Kridalaksana, 1984: 123). Pengumpulan data pada penelitian ini
menggunakan metode simak. Metode simak adalah metode pengumpulan data
dengan menyimak penggunaan bahasa (Sudaryanto, 1993: 133). Metode simak
dilakukan dengan menyimak penggunaan bahasa para penghuni Asrama
Mahasiswa UNS.
Teknik yang digunakan dalam metode ini berupa teknik dasar dan teknik
lanjutan. Teknik dasar yang dipakai adalah teknik sadap yaitu menyadap
penggunaan bahasa dalam pembicaraan informan. Setelah itu dilanjutkan dengan
34
teknik lanjutan yakni teknik Simak Libat Cakap (SLC), teknik Simak Bebas Libat
Cakap (SBLC), rekam dan catat.
Teknik Simak Libat Cakap (SLC) yakni teknik yang digunakan oleh
peneliti dengan cara terlibat langsung pembicaraan dengan mitra tutur atau
informan untuk memunculkan dan memperoleh data yang diinginkan (Sudaryanto,
1988: 3). Peneliti terlibat langsung dalam pembicaraan dan menentukan
pembentukan dan pemunculan data. Dalam penelitian ini peneliti terlibat dalam
pembicaraan seperti melakukan pembelian di kantin, berkumpul dengan para
penghuni Asrama Mahasiswa UNS.
Teknik Simak Bebas Libat Cakap (SBLC) yakni teknik untuk memperoleh
di mana peneliti hanya berperan sebagai pengamat pemakaian bahasa pada tuturan
informan (Sudaryanto, 1988: 34). Pada teknik ini peneliti hanya berperan sebagai
pengamat dan menyimak pembicaraan dari informan atau penggunaan bahasa
informan. Peneliti tidak ikut campur dalam pembicaraan baik sebagai pembicara
maupun lawan bicara.
Teknik rekam merupakan teknik untuk memperoleh data dengan
menggunakan alat perekam guna merekam tuturan informan. Pada penelitian ini
teknik perekaman yang dilakukan dengan menggunakan handphone sebagai
alatnya. Perekaman dalam penelitian ini dilakukan tanpa sepengetahuan penutur
sumber data atau pembicara, sehingga data yang diperoleh peneliti merupakan
hasil tuturan yang alami atau wajar. Teknik ini dilakukan bersama dengan teknik
SLC dan SBLC.
Teknik catat merupakan teknik pencatatan terhadap data relevan yang
sesuai dengan sasaran dan tujuan penelitian. Teknik catat digunakan untuk
35
mencatat hasil observasi yang telah dilakukan oleh peneliti.Selain itu teknik catat
digunakan untuk mentranskrip data yang berbentuk rekaman suara menjadi
tulisan.
Langkah-langkah pengumpulan data adalah sebagai berikut. Pertama,
peneliti menyimak penggunaan bahasa dalam peristiwa tutur kemudian merekam
semua data lisan. Selanjutnya peneliti mencatat hal-hal penting dalam peristiwa
tutur antara lain identitas penutur, waktu, tempat, suasana tutur, dan topik
pembicaraan. Data rekam merupakan sumber data primer.Kemudian seluruh hasil
rekaman ditranskripsi secara ortografis. Selanjutnya data yang ada kemudian
dikumpulkan dan dipilih berdasarkan permasalahan dengan cara menandainya.
Dan terakhir menganalisis data sesuai rumusan masalah yang diajukan yaitu,
bentuk alih kode dan campur kode, fungsi alih kode dan campur kode, serta faktor
yang melatarbelakangi alih kode dan campur kode menggunakan metode
distribusional dan padan.
7. Metode dan Teknik Analisis Data
Pada analisis ini merupakan tahap sebagai upaya peneliti dalam menangani
langsung masalah yang terkandung pada data (Sudaryanto, 1993: 6). Metode yang
digunakan dalam menganalisis data adalah metode ditribusional dan metode
padan. Metode distribusional yakni metode analisis data yang alat penentunya
unsur dari bahasa yang bersangkutan itu sendiri ( Sudaryanto, 1993: 15). Metode
distribusional pada penelitian ini menggunakan teknik BUL (Bagi Unsur
Langsung) ini digunakan untuk membagi satuan lingual data, menjadi unsur-unsur
yang bersangkutan membentuk satuan lingual. Metode distribusional dengan
36
teknik BUL digunakan untuk mengetahui bentuk alih kode dan campur kode
dalam komunikasi berbahasa Jawa di Asrama Mahasiswa UNS Surakarta.
Analisis data yang lebih luas menggunakan metode padan. Metode padan
yakni metode analisis data yang alat penentunya di luar, terlepas dan tidak
menjadi bagian dari bahasa yang bersangkutan (Sudaryanto, 1993: 13). Teknik
dasar yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik Pilah Unsur Penentu
(PUP). Dalam penelitian ini menggunakan teknik dasar PUP dengan alat
penentunya berupa referen. Metode padan dengan alat penentunya referen yaitu
kenyataan yang ditunjuk bahasa (benda, barang, objek, tindakan, peristiwa,
perbuatan, kejadian, sifat, kualitas, keadaan, derajat, jumlah, dan sebagainya) (Edi
Subroto, 2007: 59). Pada penelitian metode padan digunakan untuk menganalisis
atau mengkaji fungsi dan faktor yang melatarbelakangi terjadinya alih kode serta
campur kode di Asrama Mahasiswa UNS Surakarta.
Referen pada penelitian ini adalah SPEAKING. Referen yang berupa
SPEAKING ini digunakan untuk mengkaji bentuk, fungsi dan faktor yang
melatarbelakangi alih kode serta campur kode, karena di dalamnya mengandung
fenomena sosial dan situasional penggunaan bahasa. Berikut ini contoh penerapan
metode distribusional dan metode padan pada penggunaan alih kode dalam
komunikasi bahasa Jawa di Asrama Mahasiswa UNS.
Data 3
P1 : Mas mau pesan apa?
„Mas mau pesan apa?‟
P2 : Sega endhog siji mbak.
„Nasi telur satu mbak‟.
P1 : Ngunjukipun napa mas?
„Minumnya apa mas?‟
P2 : Es kampul mbak.
„Es lemon tea mbak‟
37
Pada data (3) peristiwa tutur yang terjadi di kantin Sekar Arum, salah satu
kantin yang terdapat di Asrama Mahasiswa UNS. Peristiwa tutur tersebut
berlangsung pada hari Kamis 11 November 2015 pukul 13.00 WIB. Komunikasi
dilakukan oleh P1 yakni penjual di kantin Asrama Mahasiswa UNS sering
dipanggil mbak Nurdan P2 yakni mahasiswa penghuni asrama yang sedang
memesan makanan serta minuman di kantin Sekar Arum Asrama Mahasiswa
UNS. Situasi tutur adalah ringan. Topik tuturan adalah memesan makanan dan
minuman di kantin.
Dalam komunikasi tersebut terdapat alih kode yang merupakan kesatuan
lingual (kebahasaan) yaitu kalimat. Alih kode terjadi dari bahasa Indonesia ke
bahasa Jawa yang dilakukan oleh P1. Pada awalnya P1 menggunakan bahasa
Indonesia saat menawarkan kepada P2 yaitu, mas mau pesan apa?„mau pesan apa
mas?‟ kemudian beralih kode ke bahasa Jawa, yakni Ngunjukeapamas?
„minumnya apa mas?‟. Alih kode seperti itu disebut dengan alih kode intern.
Fungsi peralihan kode dalam tuturan tersebut adalah untuk memberikan
penghormatan. P1 menunjukkan kesopanan-kesopanan berbahasa yang lebih
kepada P2 dengan cara beralih kode. Hal tersebut dilihat dari pemilihan kode yang
dipakai P1 yaitu bahasa krama Jawa.
Faktor yang melatarbelakangi penggunaan alih kode adalah lawan tutur
yaitu P2. Pada mulanya P1 menggunakan bahasa yang lebih umum yaitu bahasa
Indonesia saat menawarkan pada P2, karena belum mengetahui latar belakang
kebahasaan. Kemudian P1 beralih kode ke bahasa Jawa, sehingga P1 ingin
mengimbangi bahasa yang dipergunakan oleh pembeli. Latar belakang alih kode
38
ini disebut dengan faktor situasional, karena penutur melihat bahasa yang
digunakan lawan tutur.
Berikut ini contoh penerapan metode distribusional dan metode padan
pada penggunaan campur kode dalam komunikasi bahasa Jawa di Asrama
Mahasiswa UNS.
Data 4
P1 : Wah iki, dibales sik iki.Deloken Man pembalasanku leh.
„Wah ini, dibalas dulu ini. Lihat ini Man pembalasanku ini.‟
P2 : Ya wis.
„Ya sudah.‟
Peristiwa tutur pada data (4) di dekat pos satpam gedung A Asrama
Mahasiswa UNS berlangsung pada hari Kamis 3 Maret 2016 pukul 13.30 WIB.
Komunikasi dilakukan oleh P1 yakni orang Thailand dan P2 yakni orang dari
Indonesia yang sedang bermain kartu remi untuk mengisi waktu luang di dekat
pos satpam gedung A Asrama Mahasiswa UNS, dimana keduanya sudah akrab
atau saling kenal. Situasi yang terjadi adalah santai. Topik tuturan adalah
membalas kekalahan kepada lawan main kartu.
Dalam komunikasi tersebut terdapat campur kode berupa penggunaan kata
dari bahasa lain yang dilakukan oleh P1. Campur kodeterjadi pada tuturan P1yaitu
masuknya kata bahasa Indonesia yaitu pembalasanku ke dalam ruas data tuturan
berbahasa Jawa, yaitu Wah iki dibales sik iki, delok leh Man pembalasanku
leh.Campur kode ini disebut campur kode intern.
Fungsi penggunaan campur kode pada data (4) adalah memberikan suatu
maksud. Kata pembalasanku memberikan maksud bahwa penutur yakni P1akan
membalas serangan permainan kartu dari P2.
39
Faktor yang melatarbelakangi terjadinya campur kode tersebut adalah
identifikasi peran sosial penutur. P1 merupakan seorang mahasiswa asing (dari
luar negeri) yang kuliah di UNS dan tinggal di Asrama Mahasiswa, serta sedang
dalam tahap belajar bahasa Jawa. Dalam tuturannya penutur menggunakan kata
dari bahasa Indonesia karena penutur atau P1 belum mengetahui bahasa Jawa dari
kata pembalasanku yang dalam bahasa Jawa adalah balesanku.
Contoh di atas menunjukkan bahwa penelitian ini menggunakan metode
distribusional dan metode padan sebagai metode analisis data. Metode
distribusional hanya digunakan untuk menganalisis bentuk alih kode dan campur
kode, sedangkan untuk menganalisis yang lebih mendalam mengenai fungsi dan
faktor yang melatarbelakangi terjadinya alih kode dan campur kode,
menggunakan metode padan dengan teknik PUP yang alat penentunya referen
berupa SPEAKING sebagaimana yang tercantum di teori.
8. Metode Penyajian Data
Metode yang digunakan pada pemaparan hasil analisis data adalah
deskriptif, informal, dan formal. Deskriptif menyarankan bahwa penelitian yang
dilakukan semata-mata hanya berdasarkan pada fakta-fakta yang ada atau
fenomena-fenomena secara empiris hidup pada penutur-penuturnya (Sudaryanto,
1993: 62).
Metode formal adalah rumusan dengan tanda dan lambang-lambang,
sedangkan metode informal menggunakan kata-kata biasa, maksudnya bahwa
pemaparan hasil analisis data menggunakan kata-kata yang sifatnya sederhana
agar mudah dipahami dan dimengerti (Sudaryanto, 1993: 145).
40
Hasil analisis data penelitian ini adalah tuturan-tuturan dalam komunikasi
bahasa di Asrama Mahasiswa UNS berupa bahasa Jawa berdasarkan bentuk alih
kode dan campur kode. Serta fungsi dan faktor yang melatarbelakangi terjadinya
alih kode dan campur kode.
H. Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan dalam penelitian ini terdiri dari tiga bab yaitu:
Bab I Pendahuluan, berisi tentang latar belakang masalah, batasan
masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, teori, metode
penelitian, dan sistematika penulisan.
Bab II Analisis Data, berisi tentang analisis bentuk alih kode dan campur
kode, fungsi alih kode dan campur kode, serta faktor yang melatarbelakangi alih
kode dan campur kode dalam komunikasi berbahasa Jawa di Asrama Mahasiswa
UNS.
Bab III Penutup, berisi tentang kesimpulan dan saran.