Post on 03-Apr-2018
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Permasalahan Penelitian dan Latar Belakangnya
Berbagai kajian tentang sejarah Indonesia menunjukan bahwa agama
(Hindu, Islam, Kristen Katolik dan Protestan) datang dan berkembang secara
bergelombang ke Indonesia, menggantikan agama lokal/suku1 dan menanamkan
ajaran-ajaran agama “baru” yang dibawakan oleh bangsa asing secara silih
berganti. Sejarah menunjukkan bahwa agama memberikan perubah lebih cepat,
sebelum unsur lain menglami perubahan.2 Sehingga kajian tentang agama selalu
akan terus berkembang dan menjadi kajian yang penting. Fenomena perubahan
sosial dewasa ini menggambarkan dan menjelaskan kepada kita bahwa agama
menjadi salah satu faktor perubahan sosial itu sendiri. Agama sebagai hasil
kebudayaan, hidup dan berkembang dalam masyarakat memiliki peranan penting
dalam perubahan sosial tersebut. Perubahan sosial yang terjadi dalam masyarakat
merupakan hal yang tidak bisa terlepas dari keterikatannya dengan adanya agama.
Kajian tentang agama sebagai “motor” pengerak perubahan sosial
merupakan tema yang banyak kita jumpai. Akan tetapi khususnya di Halmahera
1 Penganut agama suku menghayati adanya yang ilahi melalui pengalaman
sehari-hari. Mereka memahami bahwa ada kuasa yang berada di luar kekuasaan
mereka. Kuasa itu melampaui kuasa dan kemampuan manusia. J. W. M. Bakker,
S. J, Agama Asli Indonesia (Jogyakarta: Pro Manuscripto, 1969), hlm. 70-71.
2 Dalam kenyataannya sistem mata-pencaharian hidup dan sistem
teknologi dan peralatan yang dikatakan oleh Koentjaraningrat sebagai unsur yang
paling mudah, ternyata yang paling sedikit mengalami perubahan sejak pra-Hindu
sampai sekarang. Abdurrahman Wahid, “Penafsiran Kembali Ajaran Agama: Dua
Kasus dari Jombang”, dalam Muh. Shaleh Isre ed., Prisma Pekikiran Gus Dur,
(Yogyakarta: LkiS, 1999), hlm. 71.
2
bagian utara (Tobelo) terkait dengan kajian agama hanya terfokus pada kajian
teologi semata. Oleh karena itu penelitian ini akan mengkaji tentang proses
perkenalan atau perjumpaan agama Kristen di Tobelo, atau dengan judul
penelitian: “Sejarah Sosial Kristenisasi di Tobelo 1866-1942” di Kabupaten
Halmahera Utara Provinsi Maluku Utara.
Sejak kedatangan para penginjil Utrechtsche Zendings Vereeniging
(selanjutnya UZV), pada 1866 untuk menyiarkan agama Kristen. Para penginjil
juga turut memperkenalkan gaya hidup orang Belanda setelah orang Tobelo
konversi ke agama Kristen. Kemajuan terlihat setelah diperkenalkan pendidikan,
pelayanan medis, pengenalan cara berpakaian, sikap/ tingkah laku, penataan
kampung, jalan serta kebersihan dalam kehidupan sehari-hari. Hal ini berakibat
pula timbulnya kesadaran baru tentang identitas mereka pada masa kolonial.
Perubahan-perubahan dalam berbagai bidang kehidupan yang diperkenalkan oleh
pihak penginjil UZV yang berasal dari Belanda yang mengarah pada kemajuan
(modernitas).3
Inisiatif para penginjil UZV untuk mendirikan sekolah-sekolah Kristen
merupakan awal dari pembaharuan modernisasi di wilayah Tobelo. Perubahan
yang mengarah pada kemajuan yang berasal dari Belanda, mulai diperkenalkan
kepada masyarakat Tobelo dengan tujuan agar hubungan baik masyarakat Tobelo
3 Modernitas yaitu proses pergeseran sikap dan mentalitas sebagai warga
masyarakat untuk bisa hidup sesuai dengan tuntutas zaman. Drs. Suharso dan Dra.
Ana Retnoningsih, Kamus Besar Bahasa Indonesia. (Semarang; Widya Karya,
2008), hlm. 325.
3
dengan pihak Belanda dapat terwujud, terutama untuk penduduk Alfur (Tobelo
pedalaman) yang masih menganut agama lokal/ suku.
Hal ini tentu saja dengan melihat kehidupan sosial-politik yang di alami
oleh masyarakat Tobelo. Sejak abad ke-17 Pulau Halmahera4 telah dimasukan
dalam kekuasaan Kesultanan Ternate (bagian Utara dan Selatan) dan Tidore
(bagian Tengah). Sistem pemerintahan yang dibangun kedua kerajaan itu
berkaitan dengan kepentingan tenagan kerja, pajak serta bahan makanan yang
disalurkan pada Sultan Ternate dan Tidore, melalui sitem upeti.5 Dengan
demikian maka lapisan masyarakat dilihat dari segi struktur politik ada sultan dan
rakyat. Pada masayarakat Tobelo, yang belum memeluk agama Islam, hidup
menyebar di Pedalaman Halmahera atau biasa disebut orang Alfur yang tidak
memiliki pemimpin kampung yaitu sangaji6 karena tidak diakui oleh pihak
Kesultanan Ternate.7
Sumber-sumber Eropa, dan Kesultanan Ternate, membedakan penduduk
pribumi menjadi kelompok sosial, yaitu penduduk Muslim dan Alfur.
4 Halmahera merupakan induk dari pulau-pulau kecil yang berada di
Maluku Utara. Arti kata Halmahera adalah “penyokong pulau” atau “dasar pulau
itu muncul”. Sebenarnya kata ini berasal dari Hale-ma-here. Namun hale adalah
bahasa Tidore yang sama dengan kata Ternate, kaha meskipun tak ada yang
pernah mengatakan kaha ma-hera. Bahasa Tidore menyebutnya Haleyora, yora
adalah “Perahu Terbalik” yang dalam bahasa Ternate Hra. Orang pribumi
mengatakan Halmahera sama dengan “tanah besar”. F. S. A. de Clercq, Bijdragen
tot de kennis der Residentie Ternate. (Leiden: E. J. Brill, 1890), hlm. 53.
5 R. Z. Leirissa, “Masyarakat Halmahera dan Raja Jailolo: Studi Tentang
Sejarah Masyarakat Maluku Utara”. (Disertasi: Universitas Indonesia, 1990), hlm. 6.
6 Pejabat Kesultanan Ternate setingkat gubernur. Selanjutnya lihat juga
catatan kaki. hlm 4-5. 7 Koloniaal Verslag (KV), 1882. hlm. 22.
4
Pengolongan ini didasarkan atas perbedaan agama Islam, sedangkan penduduk
yang tergolong sebagai Alfur adalah mereka yang manganut agama lokal.8 Jika
ditinjau dari segi keagamaan, maka terdapat golongan masyarakat penganut agam
Islam, Kristen dan kepercayaan lokal.9
Pada dasarnya sistem sosial masyarakat pedalaman yang biasa dinamakan
Halefuru atau Alfur itu jauh berbeda10 dengan masyarakat pesisir11 yang terkait
8 Alfur Istilah yang disematkan bagi penduduk yang beragama pribumi.
Sebagai Alifur-u dan Harifuru berasal dari bahasa Portugis, dimana makna yang
dikenakan padanya berasal dari kata Al furu. Al berfungsi sebagai kata sandang,
yang dalam bahasa Indonesia bermakna sama dengan sang- atau si-, sedangkan
furu berarti bodoh, tolol atau biadab. Irza Arnyta Djafaar, Jejak-Jejak Portugis di
Maluku Utara. (Yogyakarta: Ombak, 2006), hlm. 42; Bangsa Portugis yang
memberi istilah Alfur pertama kali, memiliki pemahaman bahwa beragama berarti
memeluk agama Kristen atau Islam. Meskipun demikian sesungguhnya istilah
alfur itu sendiri diduga berasal dari istilah asli Maluku. Jacobs menyebutkan
bahwa pada abad ke-16 ada suatu penggolongan penduduk yang disebut Alfur.
Alfur adalah padanan bagi petani berpindah. Nada negatif mengenainya
dikarenkan kesultanan ingin memisahkan atas status sosialnya dari penduduk
mayoritas. Julukan alifuru yang pada kurun periode penulisan ini sama dengan
istilah Alfur, harifuru ataupun harafora. Tentu saja penyebutan Alifuru ini
memiliki makna sosial yang ditunjukan pada petani ladang berpindah pada masa
tersebut dan masih menganut kepercayaan animisme dan dinamisme. Jacobs, S. J.,
Hubert Th. Th. M. A Treatise on the Moluccas (c. 1544), Probably the
preliminary version of the Antonio Galvao’s lost Historia Das Molucas. Edited,
annotated, and translated into English from the Portuguese manuscript in the
Archivo General de Indias, Seville by Hubert Th. Th. M. Jacobs, S. J. (Rome &
St. Louis. Jesuit Historical Institute & St. Louis University, 1971), hm. 103.
9 Uka Tjandrasasmita, “Struktur Masyarakat Kota Pelabuhan Ternate Abad
XIV-XVII” dalam G.A. Ohorella, Ternate Sebagai Bandar di Jalur Sutra;
Kumpulan Makalah Diskusi. (Jakarta: Depdikbud, 1997), hlm. 53.
10 Leonard Y. Andaya, The World of Maluku: Eastern Indonesia in the
Early Modern Period. (Honolulu: University of Hawaii, Press, 1973), hlm. 68. 11 Ketika masyarakat Alfur (Tobelo-pedalaman) yang telah tingal di pesisir,
kepemimpinan tidak lagi bersandar pada tetua keluarga atau tetua adat dalam satu
Hoana. Berbagai persoalan semuanya diserahkan pada bobato dunia, atau disebut
sangaji untuk mengabil keputusan setelah bermusawarah setiap permasalahan
dengan pihak Kesultanan Ternate. Koloniaal Verslag (KV), 1882. hlm. 20, 23.
5
dengan Kesultanan Ternate melalui para bobato dunia.12 Pada abad ke-19 telah
terdapat penganut agama Islam di pesisir pantai, Pada abad ke-20 agama Kristen
pun mulai dianut sebagian besar dari mereka. Sultan Ternate pengaruhnya tidak
begitu terasa terhadap orang Tobelo-pedalaman, Para sultan tidak terlalu
mengontrol kepentingan politik di pedalaman. Di daerah pedalaman atau suatu
distrik terdapat suatu daerah yang berada di bawah kontrol dari seorang pemimpin
utusan Sultan Ternate.13 Mereka biasa disebut dengan sangaji yang oleh pihak
Belanda sebagai kepala distrik, dan kepentingan hanya difokuskan pada pungutan
pajak semata.
Wilayah Tobelo dipilih sebagai wilayah penelitian ini karena posisinya
yang unik. Secara historis wilayah ini di bawah kekuasaan Pemerintahan
Kesultanan Ternate yang memiliki tradisi Islam. Tetapi saat ini fakta
menunjukkan bahwa sebagian besar penduduk wilayah tersebut menganut agama
Kristen Protestan. Jika demikian bahwa Tobelo merupakan bagian dari taklukan
Kesultanan Ternate yang berkultur Islam sejak abad ke-17, maka fakta ini sangat
mengejutkan, Bagaimanakah proses perubahan komposisi ini terjadi di dalam
ruang Kesultanan Ternate.
12 Kerajaan Ternate dalam menjalankan pemerintahan Sultan juga dibantu
oleh beberapa “Dewan Mentri” antara lain Bobato Dunia; di lingkungan
Halmahera bagian utara (Sabua Lamo) terdiri dari: Kepala lingkungan (sangaji),
Imam/ Guru/ Pendeta, Kimalaha (tokoh tetua adat) dan Fanyira (unsur pemuda).
Sementara Bobato Akhirat: Kadih/ Imam Jiko, Imam Jawa, Imam Sangaji dan
Imam Moti berfungsi sebagai Imam Masjid Kesultanan Ternate. Abdul Hamid
Hasan. Aroma Sejarah dan Budaya Ternate. (Jakarta: Antara Pustaka Utama,
2001), hlm. 43.
13 E.K.M. Masinambow, Halmahera dan Raja Ampat Konsep dan Strategi
Penelitian. (Jakarta: LEKNAS-LIPI, 1980), hlm. 90.
6
Bahkan Gereja Masehi Injil Halmahera (GMIH)14 yang berpusat di
Tobelo, merupakan salah satu sinode terbesar dan terkuat di Indonesia Timur,
terpisah dari sinode Gereja Protestan Maluku (GPM) yang berpusat di Ambon.
Basis utama mereka di Desa Wari, ± 4 km di pinggir utara Kota Tobelo ke arah
Galela. Sinode GMIH mengukuhkan kekuatan agresi mereka melalui gedung-
gedung megah berarsitektur modern lengkap dengan gereja besar, kantor pusat
Sinode, Sekolah Tinggi Teologi (STT), dan Pusat Latihan untuk Pengkajian dan
Pengembangan Pedesaan (PPPL), perumahan karyawan gereja dan sebagainya.15
Di Desa Wosia ± 3 km di tepi selatan Kota Tobelo ke arah Kao, terbentang
luas kawasan perkebunan kelapa dengan peternakan sapi, dengan nama Wosia
Kopra Onderneming (WKO), yang merupakan salah satu basis sumber dana
GMIH. Di Halmahera Utara, sampai ke pelosok-pelosok sekalipun, hampir tidak
ada desa atau kampung yang tidak memiliki gereja atau sekolah (TK, SD, SMP
dan SMA) milik GMIH, bahkan gereja merupakan salah satu bangunan terbesar
dan megah, sekaligus menjadi landmark desa yang bersangkutan.16
14 Gereja Masehi Injil Halmahera (selanjutnya disingkat menjadi: GMIH),
berdiri sebagai buah kerja kelompok misi Utrecht Zendings Vereenigeng
(selanjutnya UZV) dari Belanda, seperti Hendrijk van Dijken yang berkerja di
Halmahera sejak abad IX. Persekutuan orang terpercaya ini kemudian
mengorganisasi diri menjadi GMIH pada 6 Juni 1949 dalam Sidang Proto Sinode
yang bertempat di Tobelo, dengan susunan Badan Pengurus Sinode (BPS), yang
diketuai oleh: A. Ploeger, Potret Gereja Masehi Injili di Halmahera. (Tobelo-07
Juni 2010), hlm. 1.
15 P. M. Laksono, “Pengantar: Memotret Wajah Kita Sendiri”, dalam Roem
Topatimasang. Orang-Orang Kalah, Kisah Penyingkiran Masyarakat Adat
Kepulauan Maluku. (Yogyakarta: INSIST Press 2004), hlm. 54.
16 Ibid.,hlm. 55.
7
Semasa Pemerintahan Belanda tidak dapat diketahui dengan pasti jumlah
penganut agama Kristen di Halmahera khususnya Tobelo. Namun di Karesidenan
Ternate yang membawahi Afdeeling Tobelo tahun 1828-1885, penganut agama
Kristen tercatat berjumlah hanya 1753 jiwa, dari tolal jumlah penduduk di
Karesidenan Ternate 107. 163 jiwa.17 Seiring berjalannya waktu menjelang akhir
abad ke-19 dan awal abad ke-20, tampaknya penganut agama Kristen bertambah
setelah kedatangan para penginjil dari Belanda. Hal inilah yang menjadi
ketertarikan penulis untuk mengkaji lebih jauh tentang Kristenisasi di Tobelo.
Masuknya agama Islam di Maluku (Utara), ada usaha dari para
Kesultanan Ternate untuk menyiarkan agama Islam di Halmahera bagaian utara
(Tobelo). Namun gerak pesebaran ini berlangsung lambat disebabkan agama
lokal/ suku yang melekat/berakar, pola hidup yang masih nomaden pada
masyarakat Tobelo. Selain itu masyarakat Tobelo dikenal sebagai pemburu di laut
alias “bajak laut”, dalam melakukan perburuan selalu saja terjadi perang di laut.18
Aktifitas ini muncul pada orang Tobelo, tidak terlepas dengan penaklukan
Kesultanan Gilolo19 oleh Kesultanan Ternate. Sehingga Raja Gilolo yang hijra ke
17 Willard A. Hanna & Des Alwi, Ternate Dan Tidore Masa Lalu Penuh
Gejolak. (Jakarta: Sinar harapan, 1996), hlm. 223: De Clercq, op.cit., hlm. 33; R.
Z. Leirissa, op.cit., hlm. 60. 18 Leirissa, op.cit., hlm. 197-198. 19 Gilolo/ Jilolo atau Jailolo; adalah salah satu Kerajaan tertua di Maluku
(Utara), sebelum tahun 1250, (lihat Juga mitos Tujuh Putri, tentang asal-usul
kerajaan-kerajaan di Maluku Kie Raha). Teritorial kerajaan Jailolo meliputi
Halmahera bagian utara dan barat, sehingga nama Jailolo sering kali dijumpai
dalam naskah-naskah Portugis sering menggunakan kata Gilolo untuk
menunjukkan daerah Halmahera. Hal serupa berbeda yang di kemukan oleh
Lapian: Tentang status Jailolo sebagai kerajaan tertua, dengan menelah berbagai
8
Halmahera bagian utara menghimpun kekuatan dengan membentuk Kerajaan
Moro atau Tolo, dan tidak ingin tunduk pada Kesultanan Ternate.20 Tampaknya
ini merupakan suatu kebiasaan yang inheren dalam masyarakat Tobelo pada
umumnya sehingga Islamisasi dari pihak Kesultanan Ternate tidak begitu berhasil
di wilayah Tobelo.
Pada kenyataannya keberakaran pengaruh dari Kesultanan Ternate perlu
dipertanyakan karena intensitas misi gereja yang didukung oleh kekuasaan
Pemerintah Belanda telah menundukkan dan kemudian menjadikan Sultan
Ternate hanya sebagai simbol (antara lain dengan memperbolehkan sultan
menerima upeti tradisional dari rakyat Tobelo dan Galela) tanpa kekuasaan politik
yang efektif.21
1.2. Pertanyaan Penelitian
Kristenisasi di Tobelo dapat dibagi menjadi dua periode, yaitu karya misi
Katolik oleh bangsa Portugis, khususnya misionaris “Jesuit” pada tahun 1600-an
dan karya penginjilan Kristen Protestan melalui Utrechtsche Zendings
Vereeniging (UZV) pada tahun 1866. Dalam tesis ini penulis lebih memfokuskan
mitos yang berhasil direkam oleh Portugis sekitar tahun 1544, dalam
kesimpulannya bahwa garis raja-raja Maluku berawal dari empat buah telur Naga.
Berdasarkan versi tersebut maka hanya terdapat dua kelompok/kerajaan di
Maluku, Batucina de Moro, atau Batu Cina yang merujuk pada kerajaan tertua di
Halmahera bagian utara, yang eksis hingga abad ke 17, dan tidak menyebut
tentang kerajaan Ternate, Tidore dan Bacan. A. B. Lapian, Bacan and the Early
History of North Maluku, Halmahera and Beyond, L. E. Visser (ed) (Leiden,
KITLV Prees, 1994), hlm. 11, 13, 22.
20 Papilaya, Morologi; Mengetahui dan Menelusuri Keberadaan Moro
Sebagai Sebuah Kerajaan. (Tobelo; DISPAR-Halmahera Utara, 2012), hlm. 2-20
21 Lihat juga, Laksono, op.cit., hlm. 54.
9
pada karya Kristenisasi kelompok Kristen yang dibawa oleh penginjil Belanda di
Tobelo tahun 1866-1942. Pemilihan kurun periode 1866-1942 dianggap tepat
untuk melihat awal perjumpaan agama Kristen Protestan hingga terjadi perubahan
sosial yang signifikan pada masyarakat Tobelo yang telah melakukan konversi ke
agama Kristen.
Fokus penelitian ini adalah proses masuknya Kristen ke Tobelo sehingga
terjadi perubahan sosial pada masyarakat dengan kehadiran karya para penginjil di
Tobelo. Hal ini penting karena ketika sedang berkonsentrasi pada daerah
keagamaan maka sulit untuk melepaskan diri atas perhatian serta hubungannya
dengan gagasan akan kepercayaan masyarakat pendukungnya termasuk kehidupan
politik yang melingkupinya. Adapun pertanyaan penelitian ini sebagai berikut:
1. Faktor apa yang mempengaruhi sehingga agama Kristen masuk ke Tobelo
1866-1942?
2. Mengapa orang Tobelo mau menerima agama Kristen 1866-1942?
3. Bagaimana pengaruh agama Kristen bagi masyarakat Tobelo 1866-1942?
Menurut Kuntowijoyo, cakupan waktu dalam studi sejarah tidak secara
langsung menunjuk pada suatu periodisasi, sebab dalam perkembangan sosial dan
sejarah tidak ada permulaan maupun akhir.22 Dengan demikian pembahasan studi
ini tidak hanya dalam batas periode yang sudah ditentukan, tetapi juga akan
bergerak melihat ke belakang, khususnya untuk melihat kebijakan Pemerintahan
Belanda serta kehidupan sosial masyarakat dan ke depan untuk melihat
22 Kuntowijoyo, Perubahan Sosial dalam Masyarakat Agraris. Madura
1850-1940. (Yogyakarta: Mata Bangsa, 2002), hlm. 1.
10
keberlanjutan dinamika keagamaan serta perubahan sosial yang terjadi pada
masyarakat Tobelo yang telah mengalami konversi ke agama Kristen.
Sartono Kartodirdjo mengemukakan bahwa setiap gejala sejarah yang
memanifestasikan kehidupan sosial suatu komunitas atau kelompok, dapat disebut
sejarah sosial.23 Lahan garapan sejarah sosial juga sangat luas dan beraneka
ragam. Sebagai kajian sejarah, maka aspek temporal dan spasial penting untuk
dieksplisitkan.24
1.3. Ruang Lingkup Penelitian
Jika dilihat dari waktunya, proses Kristenisasi di Karesidenan Ternate
khususnya Tobelo sepertinya telah berlangsung sejak lama. Mengingat
kompleksnya permasalahan yang muncul dalam penelitian ini, maka perlu
diadakan pembatasan secara temporal dan special dalam ruang lingkup penelitian
ini adalah tahun 1866-1942. Kurun waktu tersebut merupakan periode masuknya
karya UZV di Tobelo. Secara administrasi kurun waktu tersebut juga Kesultanan
Ternate dijadikan Karesidenan yang otonom dalam bidang ekonomi dan politik,
yang berdampak pada berubahnya kehidupan sosial masyarakat Tobelo.
Secara khusus batas akhir tahun 1942 sangat penting karena pada tahun ini
Karesidenan Ternate, khusunya Halmahera bagian utara dijadikan pangkalan
markas besar militer Angkatan Laut Jepang. Akibatnya di mata kekuasaan Jepang
23 Sartono Kartodirdjo, Pendekatan Ilmu Sosial dalam Metodologi Sejarah.
(Jakarta: Gramedia, 1993), hlm. 50.
24 H. J. de Graaf dan Th. G. Th Pigeaud, Kerajaan-kerajaan Islam di Jawa
Abad XV-XVI, Pealihan dari Majapahit ke Mataram. (Jakarta: Grafiti Press,
1985), hlm. xiii.
11
semua yang berbau Belanda harus dimusnahkan. Semua harta milik UZV di
Tobelo sebagai inventaris dalam bidang pendidikan, kesehatan, perkebunan
sampai dengan milik pribadi dimusnahkan. Jadi sampai 1942 bisa dikatakan
proses Kristenisasi di wilayah Tobelo lumpuh total.
1.4. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah memaparkan dan mengulas aspek-aspek sosial
dari proses Kristenisasi di Tobelo abad ke-19 sampai abad ke-20. Berdasarkan
tujuan di atas, tulisan ini diharapkan memberi informasi tentang praktek UZV.
Akan uraian tentang proses masuknya agama Kristen, perkembangan agama
Kristen yang dianggap sukses di wilayah ini, dan dampaknya pada perubahan
sosial yang dialami oleh masyarakat yang berdomisili di Tobelo, serta aktifitas
keagamaan dalam bidang sosial, seperti pendidikan, kesehatan dan pengaruhnya
atas perkembangan sosial yang lain.
Secara metodologis penelitian ini mencoba menguraikan sebuah proses
sejarah bukan saja soal becoming (menjadi) tetapi juga being (keadaan).
Bagaimanapun penulis sejarah memiliki peluang untuk memberikan penjelasan
atas fenomena masa lalu. Berdasarkan tujuan penulisan ini paling tidak akan
diperoleh informasi berbagai hal yang berhubungan dengan keagamaan dan
masalah sosial. Manfaat lainnya adalah menambah historiografi lokal, khusus
kaitannya dengan studi sejarah. Dan pada akhirnya, penelitian ini diharapkan
menjadi bahan masukan dan pembanding dengan penelitian terdahulu dan juga
akan menjadi sumber rujukan bagi penelitian-penelitian selanjutnya.
12
1.5. Tinjauan Pustaka
Cornelis Adolf Alyona dalam Pendidikan Barat di Maluku Tengah, 1885-
1942; Timbulnya Dualisme dalam Sistem Pendidikan25 karya ini memperlihatkan
bahwa di Maluku Tengah terdapat dualisme dalam sistem pendidikan. Dualisme
dalam arti bahwa pendidikan agama yang sudah ada sejak masa Portugis, VOC
yang melakukan aksentuasi pada pengajaran agama tetap dipertahankan di zaman
Hindia-Belanda telah terjadi sekularisasi dalam abad ke-19. Oleh karena itu sejak
tahun 1855 ada dua sistem pendidikan barat yaitu pendidikan yang dilakukan oleh
gereja pada satu pihak, dan di lain pihak ada pendidikan yang diselenggarakan
oleh Pemerintah Belanda.
Walaupun dalam karya ini hanya mengulas tentang pendidikan Kristen.
Namun sangat membantu penulis untuk mengetahui metode yang dilakukan oleh
penginjil dalam dunia pendidikan. Kiranya karya ini sangat penting oleh penulis
mengingat bahwa Maluku Tengah baru dikenal pada masa Hindia Belanda karena
pada masa VOC, wilayah Maluku Tengah, Sulawesi dan Irian adalah bagian dari
Maluku terbagi dalam gubernemen yang berpusat di benteng Oranje di Ternate.
D.G.E Hall dalam bukunya Sejarah Asia Tenggara,26 menguraikan
bagaimana seorang ahli perkumpulan Jesuit. Penginjil Fransisccus Xaverius yang
tiba di Maluku pada tahun 1546, menulis tentang orang Portugis di Maluku Utara
khususnya Halmahera bagian utara terbatas pada perubahan kata kerja rapio yang
25 Cornelis Adolf Alyona. “Pendidikan Barat di Maluku Tengah, 1885-
1942; Timbulnya Dualisme Dalam Sistem Pendidikan”. (Desertasi: Universitas
Indonesia, 2009). 26 D.G.E Hall, Sejarah Asia Tenggara. (Penerbit Usaha Nasional;
Surabaya. Cetakan I-1988).
13
ditujukan sebagai kemampuan yang menajubkan untuk menanamkan masa-masa
baru di Ambon dan pulau-pulau sekitarnya. Bagi penduduk Halmahera bagian
utara, menurut Hall, dipandang sebagai pemeluk agama Kristen dari kerajaan
Ternate dan Tidore. Kemudian Portugis mendirikan basis kedua di wilayah
kepulauan tersebut.
F.S.A. de Clercq, Bijdragen tot de kennis der Residentie Ternate,27
merupakan suatu upaya penggambaran menyeluruh mengenai keberadaan
masyarakat di Karesidenan Ternate. Kedudukannya sebagai bekas Residen
Ternate pada tahun 1885 hingga 1888 memudahkannya untuk dapat mengenali
keberadaan yang sesungguhnya dari keseharian masyarakat Ternate. De Clercq,
mampu mengenali bentuk-bentuk kebudayaan dari keseharian masyarakat dan
suatu keadaan sosial yang sedang berlangsung pada saat ia mengamati. Bahkan ia
mampu mengenali pembagian dan perbedaan beberapa desa yang memiliki
karakteristik antara satu dengan lainnya. Bahkan dalam karya ini ia membawa
pembaca seolah-olah Kesultanan Ternate dan Tidore merupakan kekuasaan utama
di wilayah tersebut. Padahal seperti telah diketahui bahwa kekuasaan kesultanan
itu sendiri seringkali hanya bersifat de jure dan kehidupan masyarakat lokal
terpisah dari kekuasaan kesultanan. Meskipun demikian karya ini sangat baik dan
layak untuk dijadikan acuan.
27 F.S.A. de Clercq, Bijdragen tot de kennis der Residentie Ternate.
(Leiden: E. J. Brill, 1890).
14
J. M. Baretta dalam Mededelingen Halmahera en Morotai,28 menyebutkan
bahwa masyarakat kebun di Halmahera merupakan salah satu komunitas pertanian
(Alfur) terbesar yang ada di Maluku. Baretta juga menyebutkan berbagai
kebiasaan masyarakat Alfur dalam mengolah perkebunan. Karya ini bermanfaat
untuk memahami kondisi yang ada di salah satu pulau yang termasuk dalam
Karesidenan Ternate khususnya kondisi Pulau Halmahera, terutama di sekitar
akhir abad XIX dan awal abad XX.
Magany dalam Bahtera Injil di Halmahera,29 karya ini membahas tentang
sejarah perjalanan Gereja Tuhan di Halmahera, sejak pengutusan zendeling dari
negeri Belanda untuk menaburkan benih-benih Injil di Halmahera hingga
terbentukya sebuah wadah Gereja dengan nama GMIH. Magany menjelaskan
bahwa perjalanan Injil yang dimulai dari Duma (Galela) Halmahera bagian utara
hingga ke seluruh pelosok Halmahera dan wilayah Morotai yang dimotori oleh
zendeling.
Dalam karya ini juga diulas bagaimana pihak penginjil mengalami
berbagai tantangan baik politis maupun agama suku yang dianut oleh penduduk
pribumi di Halmahera, adat-istiadat dan berbagai manifestasi kepercayaan agama
suku. Meski demikian, benih-benih Injil bisa tumbuh subur dan berkembang
hingga saat ini. Karya ini, penting untuk penulis karena betapa minim
28 J. M. Baretta, Mededelingen Halmahera en Morotai. (Batavia: Javasche
Boekhandel & Drukkerij, 1917). 29 Magany, Bahtera Injil di Halmahera. (Tobelo: GMIH & Intitut Hendrik
van Djiken, 2012).
15
pengetahuan tentang sejarah Pekabaran Injil di Halmahera, walaupun disisi lain
karya ini hanya mengulas tentang sejarah Gereja dari sisi teologi.
Syahril Muhammad dalam Kesultanan Ternate Sejarah Sosial Ekonomi &
Poltik,30 menguraikan kedatangan Belanda abad ke-17 dan ke-18, dimana Belanda
berinteraksi dengan Kesultanan Ternate dengan “sistem VOC”-nya. Kemudian di
abad ke-19, interaksi ini meluas ke wilayah-wilayah lainnya sekalipun bentuknya
tidak sama dengan yang sebelumnya. Dalam karya ini juga dapat dilihat kondisi
sosial ekonomi dan politik di Kesultanan Ternate dalam kurun 1866-1942, yang
bersifat kompleks dengan pendekatan ilmu sosial. Karya ini cukup bermanfaat
untuk memahami dinamika politik ekonomi dan sosial di Karesidenan Ternate.
Sylvera Sjiariel dalam “Karya de Utrechtsche Zendings Vereeniging
(UZV) di Halmahera 1866-1942”,31 karya ini penulis menguraikan peran penginjil
dalam menerapkan metode Kristenisasi di Halmahera. Tinjuauan historis teologi
terhadap metode Injil-UZV di Halmahera, dengan asumsi bahwa penduduk yang
masih terbelakang dengan penganut agama suku terbesar di Halmahera perlahan
akan menerima agama Kristen yang di bawahkan oleh penginjil dari Belanda.
Dalam karya ini juga kita diajak untuk mengetahui berkembangnya Injil di
Halmahera tidak terlepas dari peran metode sebagai alat untuk mencapai tujuan.
Demikian juga yang terjadi di Halmahera, Injil tumbuh dan berkembang hingga
30 Syahril Muhammad, Kesultanan Ternate Sejarah Sosial Ekonomi &
Politik. (Yogyakarta: Ombak 2004). 31 Sylvera Sjiariel, “Karya de Utrechtsche Zendings Vereeniging (UZV) di
Halmahera 1866-1942”. (Skripsi; Universitas Kristen Duta Wacana-Yogyakarta,
1995).
16
menjadi cikal bakal terbentuknya Lembaga Gereja Masehi Injil Halmahera
(GMIH). Hal yang sebupa juga terdapat dalam karya di bawah ini:
Fauziah Rasid, “Masuknya Agama Protestan di Galela dan Tobelo 1866-
1924”.32 Karya ini membahas tentang masyarakat Halmahera sebelum kedatangan
agama Kristen, proses masuknya agama Kristen di Halmahera, dan penerapan
metode kerja oleh pihak zending. Akan tetapi kelemahan dalam karya ini yaitu
peneliti jarang mengunakan sumber primer. Bahkan dalam penulisan ini, peneliti
juga melakunan metode wawancara di lapangan dan sangat diragukan kebenaran
faktanya.
Dalam karya Sylvera Sjiariel menjelaskan bahwa, berkembangnya Injil di
Halmahera tidak terlepas dari peran metode sebagai alat untuk mencapai tujuan
Kristenisasi. Dalam karya ini walaupun punya kesamaan secara spasial dan
temporal, akan tetapi kedua penulis hanya menguraikan tinjauan historis teologi
terhadap metode pekabaran Injil dengan kata lain penulis hanya memfokuskan
pada tinjauan teologi semata, hal yang sama juga terdapat dalam karya Fauziah
Rasid. Selain itu kedua penulis juga tidak terlalu akurat dan detail dalam
menyajikan proses Kristenisasi yang dilakukan oleh para penginjil di Halmahera
bagian utara.
Penelitian ini bertolak atau berdasarkan pada kedua skripsi Sylvera Sjiariel
dan Fauziah Rasid. Walaupun penulisan ini memiliki kemiripan dalam metode
yang dimaksud, akan tetapi metode dalam kedua skripsi tersebut bukan seperti apa
32 Fauziah Rasid, “Masuknya Agama Protestan di Galela dan Tobelo 1866-
1924”. (Skripsi: Universitas Khairun-Ternate, 2007).
17
yang di uraikan dalam tesis ini. Selain itu kedua karya tersbut masih memiliki
kekurangan dalam menggunakan sumber-sumber primer. Sehingga dalam
penelitian tesis ini, saya perluaskan topik dalam kajian sejarah sosial dengan
mengunakan pendekatan sejarah sosial, berupa dampak sosial budaya, ekonomi
dan politik pada masyarakat Tobelo. Sudah tentu penelitian ini berbeda dari apa
yang teliti oleh Sylvera Sjiariel dan Fauziah Rasid. Namun studi-stusi tersebut
sangat memberikan informasi yang komprehensif tentang Kristenisasi di Tobelo.
1.6. Kerangka Teoretik
Dalam melakukan sebuah penulisan agar lebih terarah maksud dan tujuan
serta mencapai hasil yang maksimal, maka diperlukan menggunakan kerangka
teoretik yang sesuai dengan tema dalam penulisan tersebut, betapa pentingnya
kerangka teoretik dalam melakukan penulisan sehingga dapat mewujudkan suatu
karya yang ilmiah.
Misi Kristen di Indonesia dalam catatan sejarah seiring dengan masuknya
imperialis bangsa asing seperti Portugis, Inggris, Spanyol dan Belanda di
Indonesia. Misi Kristen hadir bergandengan tangan dengan kekuatan imperial
asing yang ingin menaklukan wilayah Nusantara melalui penaklukan sumber-
sumber ekonomi, penaklukan budaya dan agama yang sudah ada di wilayah
Nusantara pada masa itu, baik menaklukan agama Islam maupun agama lokal.
Agama memiliki peran yang cukup signifikan dalam kehidupan manusia,
dalam sejarah agama kerap menjadi alat atau instrument untuk melegitimasi suatu
kebijakan negara, pemuka agama, juga dijadikan simbol dari suatu ideologi
Negara, pada arah ini melahirkan ekspresi agama yang terselubung dibalik tujuan
18
politik penguasa. Agama Kristen sebagaimana yang terungkap dalam kitab suci,
kecenderungan pemimpin agama yang telah banyak memunculkan tragedi
kemanusian yang dibawa atas nama panji perang suci, jaringan perdagangan pada
masa lampau memunculkan ambivalensi perdagangan sekaligus politik yang
didalamnya terselubung misi untuk menyiarkan agama.33
Misiologi kristiani mencatat bahwa kristenisasi bagaimanapun juga
berjalan secara simbiose mutualistis dengan kalangan penguasa dan pengusaha,34
peran agama bagi kalangan misionaris yang bekerja di tanah kolonial dengan
menyediakan pendidikan untuk sumber daya manusia (keterampilan dan
keahlian), birokrasi pemerintahan dan perdagangan moderen. Pelayanan
kesehatan untuk menjamin masyarakat Eropa di Hindia-Belanda steril dari
penyakit menular, khususnya kuli perkebunan yaitu: TBC, kusta, kolera, malaria
dan lainnya. Pemerintah Hindia-Belanda dan yayasan zending pun kemudian tidak
dapat mengabaikan begitu saja “kewajiban moralnya” untuk terlibat dalam
penyebaran Injil.
Penelitian ini sendiri hanya melihat unsur Kristenisasi dari satu sudut
pandang yang berbeda dalam sebuah kasus yang spesial. Kristenisasi tidak
dianggap sebagai upaya yang berkaitan dengan bidang kerohanian, akan tetapi ada
pergeseran kepercayaan lokal (animism-dinamisme), budaya serta pengenalan
dunia pendidikan, kesehatan maupun dalam bidang tatanan sosial pada
33 Hilman Hadikusuma, Antropologi Agama. (Bandung: Citra Aditya
Bhakti, 1993), hlm. 11. 34 Aqib Suminto, Politik Islam Hindia Belanda. (Jakarta: LP3ES, 1985),
hlm 18.
19
masyarakat. dengan demikian penelitian ini akan mencoba menelusuri proses
Kristensiasi pada orang Tobelo dari sudut pandang sejarah sosial.
Untuk mengawali penelitian ini, pastinya menggunakan konsep-konsep
sosial yang berkaitan dengan agama, budaya masyarakat, struktur sosial, struktur
pemerintahan, ideologi serta konsep lain yang berkaitan dengan tema Kristenisasi.
Dalam hal ini tentunya melihat sumber ideologi, kemudian siapa pembawa agama,
selanjutnya dikaitkan dengan situasi politik dan pemegang kekuasaan di
Karesidenan Ternate (Tobelo), serta melihat sistem kekuasaan yang berlaku, baik
Pemerintah Belanda maupun kepemimpinan tradisional.
Tentunya dalam penelitian ini memerlukan pendekatan teori yang
merupakan alat penting dalam kegiatan ilmiah. Teori bukan saja diperlukan
generalisasi-generalisasi yang dapat diambil berdasarkan fakta-fakta hasil
pengamatan, tetapi juga dapat memberikan kerangka orientasi untuk
mengklasifikasikan dan menganalisis fakta-fakta yang dikumpulkan dalam
penelitian. Kecuali itu, teori mampu memberi ramalan terhadap gejala-gejala baru
yang akan terjadi dalam mengisi lowongan-lowongan dalam pengetahuan tentang
gejala-gejala yang telah ada dan akan terjadi.35
Dalam melukiskan kondisi sosial, ekonomi dan politik di Kesultanan
Ternate tidak hanya pengambaran secara kronologis saja, akan tetapi diperlukan
suatu peristiwa sejarah yang bersifat kompleks dapat diperoleh dengan
35 Sartono Kartodirdjo, Pendekatan Ilmu Sosial Dalam Metodologi
Sejarah. (Jakarta; Gramedia, 1992), hlm. 1-4.
20
menggunakan suatu pendekatan ilmu sosial.36 Dari sudut pendekatan ilmu sosial,
agama dipersepsikan bahwa agama menjadi unsur penting yang turut
mempercepat terjadinya perubahan sosial.37
Menurut Karl Marx pada masyarakat feodal, pemilik tanah adalah kelas
dominasi dan memiliki gagasan yang mencerminkan kepentingan-kepentingan
para penguasa. Sebagai contoh masyarakat feodal selalu mengasosiasiakan budak
dan tanah atau rakyat dan penguasa, juga melegitimasi tatanan sosial dan
menjadikan agama yang di anut oleh para penguasa sebagai agama feodal.38
Kesultanan Ternate terdiri dari kelas penguasa pada tingkat atas yaitu raja/
sultan beserta keluarganya dan para birokrat sampai tingkat daerah. Puncak
hirarki ditempati oleh sultan yang memiliki otoritas tradisional yang telah
diterimanya sebagai hak turun-temurun. Pihak penguasa memberikan “pelayanan
dan pengayoman”, sedangkan rakyat memberikan pelayanan penghormatan dan
kesetiaan. Pribadi raja adalah sebagai pemilik kekuasaan di seluruh kesultanan,
tercermin dalam struktur administrasi sesuai dengan sistem politik patrimonial.39
Hal ini terjadi, karena kekuasaan tradisional telah lama berlangsung dan diakui
oleh masyarakat Maluku (Utara). Membangun hubungan kekuasaan di bidang
36 Sartono Kartodirdjo, Pemikiran dan Perkembangan Historiografi
Indonesia: Suatu Alternatif. (Jakarta: Gramedia, 1982), hlm. 14-21. 37 Nanang Nanang Martono, Sosiologi Perubahan Sosial (Jakarta: Rajawali
Pers, 2011), hlm. 173-174. 38 Pip Jones, Pengantar Teori-Teori Sosial; Dari Teori Fungsionalisme
Hingga Post-modernisme. (Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2003), hlm.
92-93.
39 Syahril Muhammad, Kesultanan Ternate; Sejarah Sosial-Ekonomi dan
Politik. (Yogyakarta: Ombak. 2004), hlm. 3.
21
sosial, ekonomi dan politik.40 Bila dilihat secara politis dan ekonomis penguasa/
sultan mempunyai peran dan kedudukan yang penting dalam masyarakat.
Kesultanan Ternate dari segi ekonomi, sangat mengandalkan “commercial
power” dan sangat bergantung pada fluktualisasi arus perdagangan internasional
di Asia Tenggara, untuk itu sangat dibutuhkan kekuatan angkatan laut yang
ekspansif. Kesultanan Ternate adalah Rezim yang sangat mengandalkan pada
warganya yang tersebar dibanyak pulau dan sangat dibutuhkan partisipasinya
untuk ekspedisi militer, perjalanan mencari sagu, pengerahan kora-kora dan
mendorong relokasi penduduk.41
1.7. Metode Penelitian
Prinsip kesesuaian penelitian atau keselarasan dalam penerapan metode
dalam penelitian ini yang tepat adalah penggunaan metode sejarah. Hal ini karena
metode sejarah ketika diterapkan dalam penelitian, memiliki seperangkat langkah
kerja, sejak dari persiapan sampai selesai penyusunan hasil akhir dalam bentuk
laporan penelitian. Metode sejarah yang terbagi menjadi 4 tahapan. Sebagai
berikut: 1) heuristik yaitu suatu pencarian dan pengumpulan data; 2) kritik yang
berupa pengujian keaslian data; 3) interpretasi yaitu suatu penggambaran dan
pemahaman pada permasalahan yang dibahas; dan kemudian ditutup oleh tahap
terakhir (4) historiografi yang berarti proses penulisan sejarah.
40 R.Z. Leirissa, Halmahera Timur dan Raja Jailolo: Pergolokan di Laut
Seram Abad ke-19. (Jakarta: Balai Pustaka, 1996), hlm. 1. 41 Joko Suryo, Agama dan Perubahan Sosial Study Tentang Hubungan
Agama Islam, Masyarakat Dan struktur Sosial-Politik Indonesia. (Yogyakarta;
Gadjah Mada University Press, 2001), hlm. 93.
22
Data-data yang digunakan berasal dari sumber primer maupun sekunder.
Sumber primer adalah sunber-sumber yang berasal dari berbagai laporan resmi
pemerintah dalam bentuk arsip, sedangkan sumber sekunder adalah sumber-
sumber yang berasal dari pencatatan informal dari berbagai laporan perjalanan
jurnal, ataupun buku-buku yang memiliki keterkaitan dengan penulisan yang
dimaksud.
Kedua bentuk data tersebut dianggap sesuai untuk mencapai sasaran
penulisan. Akan tetapi, penggunaan data sekunder dalam tulisan ini memiliki
peranan yang lebih menonjol dibandingkan data-data primer. Berbagai karya baik
dalam bentuk laporan pemerintah yang diterbitkan, jurnal, artikel, dan buku
merupakan salah satu sumber informasi penting. Sehingga dalam penulisan ini
ada beberapa karya yang turut dijadikan acuan adalah karya milik W. Ph.
Coolhaas, Mededelingen betreffende de Onderafdeeling Batjan; F.S.A. de Clercq,
Bijdragen tot de kennis der Residentie Ternate; J. M. Baretta, Halmahera en
Morotai; Selain itu digunakan juga buku-buku atau hasil penelitian yang tidak
sezaman seperti karya Christiaan Frans van Fraasen, Ternate, de Molukken en
deIndonesische Archipel, van Soa Organisatie en Vierdeling: Een Studie van
Traditionele Samenleving en Cultuur in Indonesie; F. Valentijn, Beschryving der
Moluccos; dan Leonard Y. Andaya, The World of Maluku.
Akan tetapi penggunaan sumber sekunder tersebut tidak berarti bahwa
penggunaan sumber primer juga sangat penting. Beberapa laporan pemerintah
berupa Memorie van Overgave (Laporan Serah Terima Jabatan), Algemeene
Verslag, dan laporan pemerintah yang diterbitkan, Koloniaal Verslag, sangat
23
membantu menyediakan sumber-sumber yang bermanfaat bagi penulisan ini,
surat-surat dinas atau laporan kerja kepala distrik atau kontrolir di beberapa
wilayah seperti Tobelo, kao, Galela, Morotai, Jailolo, Labuha, dan Ternate, serta
Statsblad (Lembar Negara) yang sesuai dengan kebutuhan penulisan.
Sumber sejarah lainnya yang banyak digunakan ialah laporan pemerintah
kolonial, Koloniaal Verslaag (KV). Meskipun penyajian informasi dan narasi
lebih disesuaikan dengan kepentingan pemerintah, tetapi gambaran umum yang
ada di dalamnya sangat membantu penyusunan tulisan ini. KV sendiri lebih
menyerupai sebuah ‘cerita bersambung’ dari suatu kondisi di wilayah kolonial
Hindia Belanda. Selain itu intensitas suatu tema atau laporan yang muncul dalam
beberapa terbitan memudahkan untuk mencari kecenderungan dari pola-pola
umum yang terjadi di suatu wilayah.
Pengumpulan data-data tersebut dilakukan pada berbagai tempat
penyimpanan seperti Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI), Perpustakaan
Nasional, Perpustakaan KITLV yang bertempat di Jakarta. Selain itu beberapa
tempat penyimpanan koleksi referensi yang dianggap sesuai dengan sasaran
penulisan seperti di perpustakaan-perpustakaan yang berada di lingkungan
Universitas Gajah Mada, Perpustakaan UKDW Yogyakarta, Perpustakaan Daerah
Maluku Utara, serta Lembaga Sejarah-Budaya (MATAHATI) Ternate yang
mengoleksi berbagai arsip sejarah dan budaya Maluku Utara.
1.8. Sistematika Penulisan
Penulisan ini akan dibagi menjadi 6 (enam) bab dan akan diuraikan
sebagai berikut:
24
Bab I Pendahuluan. Bab ini dibagi menjadi beberapa sub-bab yaitu latar
belakang masalah, rumusan masalah, ruang lingkup penelitian, tujuan dan manfaat
penelitian, tinjauan pustaka, kerangka teoretik, metodologi penelitian, dan
sistematika penulisan.
Bab II menguraikan hubungan Karesidenan Ternate dan masyarakat
Tobelo pada akhir abad XIX dan awal abad XX. Dibahas kondisi geografis,
penduduk dan struktur demografi serta pemerintahan tradisional dan stratifikasi
sosial masyarakat Tobelo.
Bab III menguraikan perjumpaan masyarakat Tobelo dengan agama
Kristen. Bab ini dibagi menjadi beberapa sub-bab yaitu: proses awal penetrasi
agama Kristen, kedatangan dan pembawa (agent) agama Kristen Protestan, dan
hubungan antara Pemerintah Kolonial-Belanda, zending dan gereja pribumi.
Bab IV menguraikan strategi dan pola kerja Utrechtsche Zendings
Vereeniging di Tobelo, meliputi sub-bab tentang bidang metode pendekatan
secara individu, bidang pendidikan dan bidang kesehatan.
Bab V menguraikan perubahan sosial di Tobelo sebagai respon
masyarakat dan dampak penyebaran agama Kristen. Bab ini meliputi sub-bab
pemusatan pemukiman, nilai sosial budaya, dan meningkatnya jumlah penganut
agama Kristen.
Bab VI kesimpulan merupakan penutup dari rangkaian tulisan ini. Dalam
bab ini akan dituangkan jawaban-jawaban atas permasalahan tesis ini.