Post on 09-Feb-2017
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
“Tujuan wisata kedua setelah Bali”. Julukan manis yang melekat pada
Yogyakarta sekiranya tidak berlebihan, citra tempat wisata yang berujung pada minat
wisatawan untuk singgah lebih lama tak lepas dari kondisi objek yang dijual dan
kemasan objek wisata. Dalam konteks ini, DIY mempunyai kemampuan yang tak
kalah dibanding Bali. Yogyakarta (sering juga disebut Jogja, Yogya, atau Jogya)
terletak di tengah Pulau Jawa, tempat segalanya masih murah. Cukup dengan dua
ratus ribu sehari, wisatawan sudah bisa menginap, menyantap masakan tradisional
yang terkenal, dan menyewa kendaraan untuk menjelajahi Yogyakarta.
Potensi dan kekuatan pariwisata yang dimiliki Yogyakarta merupakan potensi
dan kekuatan pariwisata yang khas. Yogyakarta pada masa kini merupakan tempat
dimana tradisi dan dinamika modern berjalan berdampingan. Di Yogyakarta, ada
keraton dengan ratusan abdi dalem yang setia menjalankan tradisi, namun juga ada
kehidupan urban yang berada di sepanjang jalan Malioboro. Di ujung selatan
Malioboro ada pasar tradisional sementara di ujung utara Malioboro berdiri
Malioboro Mall yang populer dengan restoran fast-food- nya yang memberikan kesan
trendi dan internasional. Baik siang atau malam jalan ini tidak pernah sepi, trotoarnya
penuh dengan pedagang kaki lima (Marianto, 1997 : 95). Keunikan lain yang
ditampilkan Yogyakarta sehubungan dengan hadirnya lembaga pendidikan modern
2
yang dikelola baik oleh swasta maupun pemerintah. Sebut saja Universitas Gadjah
Mada yang merupakan salah satu universitas terkemuka di Asia Tenggara, yang
mampu menarik para orang muda hingga seluruh tanah air untuk menuntut ilmu.
Kehadiran kaum mahasiswa telah menciptakan dunia kehidupan kaum muda dengan
gaya hidup pop yang bersanding dengan kehidupan sebagian masyarakat yang hidup
dalam budaya agraris yang kental (Nurhajarini, 2012 : 135).
Di bagian selatan Yogyakarta, akan ditemui banyak objek wisata berupa
pantai. Pantai yang paling terkenal adalah Pantai Parangtritis dengan legenda Nyi
Roro Kidul, namun Yogyakarta juga memiliki pantai-pantai alami yang indah di
Gunung Kidul. Kita bisa menyaksikan Pantai Sadeng, misalnya, yang merupakan
muara Sungai Bengawan Solo purba sebelum kekuatan tektonik yang dahsyat
mengangkat permukaan Pulau Jawa bagian selatan sehingga aliran sungai tersebut
berbalik ke utara seperti saat ini.
Di ujung utara Yogyakarta, wisatawan bisa melihat Gunung Merapi berdiri
dengan gagah setinggi 2978 meter dengan diameter 28 km, luas 300-400 km2 dan
volume 150 km3. Gunung ini merupakan bagian dari rangkaian 129 gunung berapi
aktif (ring of fire) yang memanjang dari kepulauan Sumatra, Jawa hingga Indonesia
bagian timur. Bahkan Gunung Merapi dinobatkan menjadi “The Decade Volcano of
The World” oleh The International Disaster Reduction dibawah naungan PBB tahun
1994, bersama Gunung Etna di Italia (Wahyuningsih, 2001 : 1).
3
Lereng Merapi memang sangat ideal untuk berwisata. Pemandangan bergaya
Mooi Indie 1 berupa hamparan sawah nan hijau dan Gunung Merapi sebagai latar
belakang masih bisa dilihat di pinggiran kota Jogja. Soal hawa dinginnya yang segar
dan khas pegunungan, sarana jalan yang bagus, lokasi yang terletak tidak terlalu jauh
dari kota dengan pemandangannya yang indah dan status Merapi sebagai gunung
berapi paling aktif di dunia justru membuatnya kian eksotis. Menantang untuk
ditaklukkan. Sejak letusan besar (eksplosif) pada 1872, 1911, dan 1930, Merapi
praktis hanya “batuk-batuk” kecil, kadang hanya “berdehem”. Dalam siklus letusan
4-6 tahunan, ia hanya mengalami erupsi kecil selama satu-dua minggu lalu kembali
tidur.
Bagi penduduk yang hidup di sekitar lereng Merapi, kegiatan bahkan letusan
Merapi bukanlah merupakan suatu ancaman serius yang harus sangat dikhawatirkan,
malahan kadangkala, dianggap sebagai anugerah. Merapi dipersonifikasikan sebagai
makhluk manusia yang sibuk dengan kegiatan sehari-hari. Sudah menjadi kebiasaan
Gunung Merapi, setiap bulan Sura selalu mengeluarkan suara gemuruh, banjir lahar,
atau letusan. Aktivitas Gunung Merapi tersebut dianggap oleh penduduk sebagai
upaya membersihkan keraton. Gas, abu, pasir, dan batuan vulkanik yang
1 Mooi indie berarti Hindia molek atau Indonesia jelita. Mooi Indie adalah cara pandang kolonialismeBelanda atas negeri jajahannya yaitu Hindia Belanda (Indonesia) yang diasumsikan sebagai alampedesaan yang damai, adem ayem dan harmonis. Cara pandang ini kemudian diadopsi menjadi salahsatu aliran dalam seni lukis, sehingga lukisan bergaya mooi indie selalu bertemakanlanskap/pemandangan alam. Ciri-ciri seni lukis mooi indie diantaranya adalah objek lukisan yangdidominasi oleh unsur gunung, sawah, pepohonan kadang juga air, cahaya dan warna-warni alamdilukiskan semirip aslinya. Istilah ini muncul sekitar tahun 1920-1938 an. Hasil karya seni lukis inidigunakan oleh pemerintah Belanda dan pelukis-pelukis asing pada waktu itu untuk untukmengeksploitasi keindahan alam Indonesia untuk dijual pada turis asing (Sumber :ayups87.wordpress.com/tag/aliran)
4
dimuntahkan Merapi dipercayai sebagai kotoran dan sampah pembangunan keraton
Merapi. Selain bulan Sura, secara periodik delapan tahun sekali, pada tahun Wawu
Merapi selalu meletus dan mengeluarkan abu dalam jumlah yang relatif besar.
Sebagian besar penduduk menganggap letusan Merapi justru sebagai anugerah karena
setelah itu kehidupan menjadi tenang dan baik. Sebaliknya apabila Merapi tidak
meletus dalam jangka waktu lama, penduduk akan menjadi risau dan khawatir,
karena pada saat-saat tak terduga akan terjadi letusan dahsyat, melebihi letusan-
letusan sebelumnya (Triyoga, 2010 : 83-84).
Erupsi Gunung Merapi memiliki kekhasan tersendiri yang berbeda dengan
erupsi gunung-gunung api yang lain. Dengan kekhasannya tersebut erupsi Gunung
Merapi ditetapkan sebagai salah satu tipe erupsi gunung api yang selanjutnya dikenal
dengan letusan Merapi. Pada waktu jeda antarletusan, Gunung Merapi menghasilkan
pertumbuhan kubah lava. Posisi kubah lava ini tidak stabil, yang pada akhirnya
menghasilkan aliran awan panas guguran kubah lava. Guguran yang terjadi
dipengaruhi oleh gaya gravitasi atau dipicu oleh letusan terarah yang diawali oleh
guguran gravitasional sehingga menghasilkan aliran awan panas (pyroclastic flow)
(Setyarto, 2012 : 72).
Biasanya, erupsi tersebut tidak terlalu berbahaya dan hanya menimbulkan
luncuran awan panas paling jauh 6 kilometer. Hal itu justru membuat tempat wisata
di lereng Merapi yang rata-rata berjarak 10 kilometer dari puncak Merapi menjadi
sangat khas, mendebarkan. Pengunjung pun mempunyai kesempatan menyaksikan
5
fenomena alam luar biasa. Cukup dekat untuk melihat gunung meletus, tapi cukup
aman. Siapa yang tidak tertarik menyaksikan tumpahan lava di puncak gunung
langsung dengan mata kepala sendiri?. Wisata lereng Merapi menyajikan kesempatan
itu. Bayek, salah seorang pemandu wisata di Sosrowijayan, menjelaskan bahwa
letusan Merapi yang bersifat efusif (meleleh) sebenarnya sangat diminati turis asing.
Mereka sangat tertarik dapat menyaksikan guguran lava pijar. “Pada tahun 2006 lalu,
kami juga menjual letusan ini kepada turis asing dengan peminat yang banyak. Saya
mengajak mereka menyaksikan lelehan lava dari pos pengamatan di Babadan”, begitu
kata Bayek2.
Namun, situasinya agak berbeda pada tahun 2010. Wisata menyaksikan
lelehan lava pijar ini tak bisa terulang pada tahun tersebut. Merapi meletus tak seperti
pola-pola sebelumnya. Meletus berurutan selama lebih dari tiga minggu dan tiga
diantaranya merupakan letusan cukup besar. Lahar panas dan awan panas pun
menerjang hingga mencapai jarak lebih dari 15 kilometer. Erupsi Gunung Merapi kali
ini tercatat sebagai erupsi terbesar dalam 138 tahun terakhir3 dan membuat para ahli
vulkanologi kehilangan jejak melacak kembali ‘kebiasaan’ Merapi. Letusan Merapi
tahun ini diperkirakan akan menyamai letusan Gunung Galunggung di Tasikmalaya
Jawa Barat pada 19824.
Erupsi Merapi awal November 2010 berdampak pada lumpuhnya aktivitas
wisata sepanjang November, dan potensial berlanjut pada bulan-bulan berikutnya.
2 Radar Jogja, 08 November 2010, hal. 233 Media Indonesia, 08 November 2010, hal. 14 Koran Tempo, 5 November 2010, hal. A4
6
Dengan ditutupnya bandara Adi Sucipto, pihak bandara mengalami kerugian sebesar
Rp 225 juta per hari5, omzet bisnis biro perjalanan di Yogyakarta turun hingga 60
persen6, tingkat okupansi hotel turun hingga 60 persen7. Penurunan jumlah kunjungan
wisatawan dialami tidak hanya di Kabupaten Sleman tetapi beberapa objek wisata
seperti Pantai Parangtritis Bantul juga mengalami penurunan kunjungan wisatawan
hingga 75 persen8. Jumlah kunjungan ke keraton Yogyakarta turun hingga 90 persen9,
bahkan kunjungan wisatawan pantai selatan juga menurun tajam hingga 70 persen10.
Penurunan kunjungan wisatawan juga berdampak pada penurunan omzet terkait
perdagangan seperti yang terjadi di kawasan Malioboro, dimana banyak pedagang
yang mengeluhkan sepinya pembeli hingga omzet penjualan turun sampai 70 persen
11. Bahkan kusir andong dan pengemudi becak pun juga terkena imbas penurunan
pendapatan. Prakiraan kerugian sektor pariwisata DIY dapat dilihat pada tabel 1.1
Tabel 1.1 Prakiraan Kerugian Sektor Pariwisata
No. Sektor Ekonomi Kerugian
1. Jasa Perdagangan 3,150 triliun
2. Jasa Restoran 3,495 triliun
3. Jasa Perhotelan 717 miliar
4. Jasa Hiburan, rekreasi dan kebudayaan 122 miliar
Total Pariwisata DIY 7,484 triliun
Sumber : Kompas, 15 November 2010
5 Kedaulatan Rakyat, 09 November 2010, hal.26 Kompas, 15 November 20107 Kedaulatan Rakyat, 09 November 2010, hal.28 Kedaulatan Rakyat, 10 November 20109 Kompas, 19 November 2010, hal.1310 Kedaulatan Rakyat, 11 November 2010, hal.311 Kompas, 04 November 2010, hal. A
7
Di Kabupaten Sleman, kerusakan yang dialami oleh sub sektor pariwisata
tercatat sekitar Rp 13.482.640.000,00. Adapun daerah yang terparah mengalami
kerusakan akibat terjangan awan panas dan guguran lava Gunung Merapi adalah
Kecamatan Cangkringan dan Pakembinangun sebelah utara. Kondisi objek-objek
wisata di Kabupaten Sleman bagian utara, lumpuh total. Sebanyak sembilan lokasi
wisata yang berada didalam zona rawan bencana Merapi – sejauh 10-20 kilometer-
telah tutup. Dengan tutupnya objek wisata objek wisata tersebut pemda Sleman telah
kehilangan pemasukan retribusi dari berbagai sektor wisata, seperti sektor wisata
alam, belanja, pendidikan, agrowisata serta minat khusus. Hilangnya pendapatan
serta potensi pendapatan yang seharusnya diterima adalah sebesar Rp
29.944.580.000,00 (BNPB 2010 dalam BLH DIY VI-24 : 2012).
Tidak hanya di Yogyakarta, letusan Gunung Merapi juga berimbas pada
kehidupan pariwisata di Jawa Tengah yang dekat dengan gunung berapi teraktif di
dunia tersebut. Sejumlah lokasi pariwisata terpaksa ditutup akibat serangan debu
vulkanik Merapi. Sementara tempat wisata yang buka mengalami penurunan jumlah
pengunjung. Kawasan wisata Candi Borobudur, misalnya, untuk sementara objek
wisata Borobudur ditutup akibat tebalnya abu dan material pasir dari Gunung Merapi
yang menyelimuti semua bangunan candi. Ketebalan abu vulkanik yang menempel
pada bangunan candi mencapai tiga centimeter, sedangkan di saluran-saluran air di
bawah bebatuan sekitar tujuh centimeter12. Sejak terjadi erupsi Merapi tahun 2010,
jumlah wisatawan Candi Borobudur, baik dari mancanegara maupun domestik
12 Kompas, 11 November 2010, hal. 23
8
menurun drastis. Jumlah wisatawan domestik yang pada hari biasa 1000-7000 orang
per hari dan lebih dari 9000 orang pada akhir pekan, setelah erupsi Merapi 2010
hanya 400-2500 orang per hari (hari biasa) dan sekitar 5000 orang pada akhir pekan13
Erupsi Merapi juga berpengaruh pada menurunnya jumlah pengunjung di
Candi Prambanan, Klaten, Jawa Tengah. Penurunan kunjungan mencapai 30 hingga
70 persen. Sebelum Merapi meletus, jumlah wisatawan nusantara yang berkunjung
1.500-2.000 orang per hari, sedangkan wisatawan mancanegara mencapai 300-400
orang per hari, pada akhir pekan pengunjung candi mencapai 5.000 orang. Setelah
Merapi meletus kunjungan wisatawan nusantara berjumlah sekitar 400 orang per hari
dan wisatawan mancanegara hanya puluhan orang per hari14.
Namun, wajah lereng Merapi dan sebagian Kaliurang yang rusak akibat erupsi
justru semakin menarik minat orang untuk berkunjung. Pascaerupsi Merapi tahun
2006, kawasan Kaliadem yang hancur terimbas aktivitas Merapi semakin banyak
dikunjungi wisatawan. Tahun 2008, kunjungan wisatawan ke Kaliadem tercatat
44.594 orang, lalu meningkat menjadi 62.490 orang. Hingga tahun 2009 Kaliadem
tercatat dikunjungi 211.555 orang15. Pascaerupsi Merapi tahun 2010, kawasan yang
terimbas aktivitas Merapi bertambah tidak hanya di Kaliadem tetapi ribuan orang
berbondong-bondong mengunjungi lokasi bekas erupsi Merapi di Dusun Bronggang,
Ngancar, Glagahmalang, Kepuh dan Kinahrejo di Kecamatan Cangkringan, Sleman
yang sebelumnya merupakan tempat tinggal juru kunci Merapi Mbah Maridjan.
13 Kompas, 6 November 2010, hal.2314 Kedaulatan Rakyat, 21 November 2010, hal. 115 Kompas, 29 Desember 2010, hal. 4
9
Tempat yang sebenarnya menyisakan tak lebih dari hamparan lautan pasir,
bongkahan batu, puing bangunan, serta jejak vegetasi terbakar justru menjadi
pemandangan yang menarik orang untuk datang berkunjung. Terlebih eksploitasi
alam ini dibarengi dengan sentuhan lain seperti kisah, mitos, dan sejarah terjadinya
letusan serta pengalaman langsung warga yang mengalami peristiwa letusan Gunung
Merapi tahun 2010. Kendati sederhana, kemasan semacam itu bisa menjadi wajah
baru wisata lereng Merapi yang tak lagi melulu menjual hawa dingin untuk menarik
banyak wisatawan datang berkunjung.
1.2 Permasalahan
Siang itu, di penghujung Desember 2011, suasana bekas Kampung Kinahrejo
di lereng Merapi sangat ramai. Jauh lebih ramai dibandingkan dengan sebelum
letusan Merapi pada Oktober 2010. Orang-orang yang penasaran datang dari
sejumlah kota melihat kondisi Kampung Kinahrejo dan perubahan lanskap Merapi
setelah letusan. Di samping itu, yang juga mereka ingin cari tahu adalah kisah tentang
Mbah Maridjan, juru kunci Gunung Merapi yang menolak mengungsi sekalipun
Merapi telah meletus. Segala mitos dan kisah hidup Mbah Maridjan menjadi magnet
yang menarik keingintahuan banyak orang, sehingga tidak mengherankan kalau
wisatawan menjadikan Kinahrejo sebagai tempat paling favorit. Bekas rumah Mbah
Maridjan di Kinahrejo menjadi objek wisata baru dan dibanjiri pelancong yang
penasaran. Setiap hari, ratusan orang, bahkan ribuan orang mengunjungi Kinahrejo.
“Pengunjung kebanyakan minta diantar ke rumah Mbah Maridjan”, ungkap Ponijo,
10
seorang pengojek, yang melayani jasa pengantaran ke beberapa lokasi di kawasan
Gunung Merapi16.
Narasi tentang kehancuran dan perubahan bentang alam inilah yang menjadi
daya tarik utama wisatawan untuk datang. Awalnya, warga Kinahrejo merasa gerah
dengan kedatangan wisatawan yang seolah menjadikan petaka sebagai tontonan.
Namun, warga Kinahrejo akhirnya berbalik memanfaatkan rasa penasaran para
pelancong tersebut sebagai modal untuk membangun kembali desanya. “Sepedih-
pedihnya bencana pasti terkandung berkah besar menyertainya”. Begitulah petuah
bijak yang benar-benar diresapi oleh warga desa. Keingintahuan orang mengenai
kondisi rumah Mbah Maridjan menggelitik warga Kinahrejo. “Daripada nasib kami
menjadi tontonan, lebih baik kami sekalian menyediakan tontonan itu”, kata Asih,
salah seorang warga Kinahrejo. Warga pun mulai membersihkan puing, membuat
jalan, membuka warung, menyediakan ruang parkir, toilet dan suvenir. Bahkan,
warga kemudian ada yang menyediakan jasa ojek atau persewaan motor trail lengkap
dengan paket perjalanan wisata ke tempat-tempat bekas terkena erupsi Merapi 2010.
Namun di balik hiruk pikuk kedatangan pengunjung ke Kinahrejo terselip
permasalahan-permasalahan yang muncul dan mengusik kehidupan warga Kinahrejo
dan Pangukrejo yang terkena dampak erupsi Merapi 2010. Pada April 2011
pemerintah menggulirkan rencana relokasi warga di 11 dusun di area terdampak
langsung. Pada 5 Mei 2011, terbit Peraturan Bupati Sleman Nomor 20 Tahun 2011
tentang Kawasan Rawan Bencana Gunungapi Merapi. Peraturan itu menyatakan
16 Kedaulatan Rakyat, 11 Desember 2010, hal. 1
11
Padukuhan Pelemsari, Padukuhan Pangukrejo, Kaliadem, Petung, Jambu, Kopeng,
Kalitengah Lor, Kalitengah Kidul dan Srunen terlarang bagi hunian. Namun, tak ada
kejelasan tentang status hak atas tanah warga di padukuhan yang harus dikosongkan
dari hunian itu.
Konsekuensi dari terbitnya peraturan bupati tentang kawasan rawan bencana
adalah relokasi warga yang tinggal di Kawasan Rawan Bencana Merapi III,
diantaranya adalah Kinahrejo dan Pangukrejo. Keberatan warga Kinahrejo (yang
terletak di Padukuhan Pelemsari) untuk relokasi karena tanah di Kinahrejo telah
menjadi penghidupan mereka. “Kami warga Kinahrejo sudah merencanakan wisata
lava sejak Desember 2010 untuk mengurangi penganggur di dusun kami. Dan
ternyata objek wisata itu diminati, mendatangkan manfaat ekonomi yang besar”, kata
Badiman, ketua Paguyuban Kinahrejo. Kekhawatiran warga akan kehilangan hak atas
tanah milik mereka juga diungkap oleh Dukuh Kinahrejo, Ramijo. Beliau
mempertanyakan bagaimana penghidupan warga jika tanah nenek moyang mereka
diambil pemerintah? Siapa yang akan mendapat manfaat ekonomi dari wisata lava
tour?, demikian pertanyaan-pertanyaan yang terlontar.
Berdasarkan fenomena sosial yang telah dipaparkan di atas, penelitian ini
akan mengkaji lebih jauh bagaimana pariwisata di Kinahrejo pascaerupsi Merapi
2010. Masalah utama penelitian berkaitan dengan fenomena berkembangnya
pariwisata di kawasan rawan bencana. Terlepas dari pro kontra masalah relokasi,
pariwisata di Kinahrejo yang notabene masuk Kawasan Rawan Bencana III justru
12
semakin berkembang. Melalui kajian etnosains, penelitian ini akan menggali lebih
jauh pengetahuan warga Kinahrejo dan pengelola wisata volcano Desa Umbulaharjo -
sebagai organisasi yang mendapat legalitas dari pemerintah Kabupaten Sleman untuk
mengelola pariwisata di Kinahrejo- tentang Kinahrejo dan pariwisata di Kinahrejo
pascaerupsi Merapi 2010. Selain itu, penelitian ini juga akan mencari tahu bagaimana
pandangan dan sikap dari Dinas Pariwisata Sleman- yang membawahi kegiatan
pariwisata di Sleman- terhadap Kinahrejo dan perkembangan pariwisata di Kinahrejo
pascaerupsi Merapi 2010.
Pertanyaan penelitan yang perlu dijawab adalah :
1. Bagaimana pandangan warga Kinahrejo dengan Dinas Pariwisata Sleman dan
pengelola wisata volcano Desa Umbulharjo terhadap kawasan Kinahrejo
pascaerupsi Merapi tahun 2010?
2. Bagaimana pandangan warga Kinahrejo dengan Dinas Pariwisata Sleman dan
pengelola wisata volcano Desa Umbulharjo terhadap pariwisata di Kinahrejo
pascaerupsi Merapi tahun 2010?
3. Jika ada perbedaan pandangan, logika apakah yang menjadi dasar perbedaan
pandangan antara Dinas Pariwisata Sleman, pengelola wisata volcano Desa
Umbulahrjo dan warga Kinahrejo?
4. Upaya-upaya apa yang sudah dilakukan oleh warga Kinahrejo, pengelola
wisata volcano Desa Umbulharjo dan Dinas Pariwisata Sleman untuk
mengembangkan pariwisata di Kinahrejo pascaerupsi Merapi tahun 2010?
13
1.3 Tujuan Penelitian
Penelitian ini, secara umum, ditujukan untuk menggali pengetahuan
masyarakat tentang pariwisata di Kinahrejo sebagai lahan untuk mereka mencari
penghidupan. Erupsi Merapi tahun 2010 telah menghancurkan sendi-sendi kehidupan
masyarakat agraris yang mengandalkan hidupnya dari ternak dan menghabiskan hari-
harinya untuk mencari rumput di hutan, kini mata pencaharian tersebut harus
berubah. Rekam dan catatan etnografis mencoba mendeskripsikan pengetahuan
mereka menyangkut lahan dan mata pencaharian mereka yang bisa saja berbeda
dengan pengetahuan yang dimiliki pengelola wisata volcano Desa Umbulharjo
maupun Dinas Pariwisata Sleman terhadap hal yang sama.
Adapun penelitian ini secara khusus bertujuan untuk :
1. Mengetahui bagaimana warga Kinahrejo memaknai Kinahrejo sebagai lahan
untuk mencari penghidupan mereka.
2. Mengetahui bagaimana warga Kinahrejo memaknai pariwisata di Kinahrejo
sebagai salah satu cara bagi mereka untuk mencari penghidupan.
3. Mengetahui upaya apa saja yang telah dilakukan oleh Dinas Pariwisata
Sleman, pengelola wisata volcano Desa Umbulharjo serta warga Kinahrejo
untuk mengembangkan pariwisata di Kinahrejo dan mengetahui hambata-
hambatan yang mereka alami.
14
1.4 Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan mempunyai implikasi teoritis dan praktis. Secara
teoritis, hasil penelitian ini diharapkan dapat memperkaya wacana ilmiah bagi
pengembangan penelitian berikutnya mengenai pariwisata dalam kajian antropologi,
khususnya melihat persoalan di bidang pariwisata melalui perspektif etnosains.
Telaah terhadap persoalan pariwisata dari sisi antropologi diharapkan juga dapat
memperkaya kajian ilmu pariwisata yang selama ini lebih banyak dilihat dari bingkai
ilmu ekonomi.
Manfaat praktis dari hasil penelitian ini diharapkan bisa memberikan masukan
kepada instansi terkait berkenaan dengan program-program yang mereka susun
untuk menata, mengelola dan mengembangkan pariwisata di Kinahrejo agar
mempertimbangkan kearifan lokal yang dimiliki suatu masyarakat dalam membuat
suatu kebijakan.
1.5 Kajian Pustaka
1.5.1 Pariwisata dan Bencana
Bencana sebagaimana diulas dalam Undang-undang No. 24 Tahun 2007
merupakan peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan mengganggu
kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan baik oleh faktor alam
dan/atau faktor non alam maupun faktor manusia sehingga mengakibatkan timbulnya
korban manusia (Sabir, 2011 : 3). Berdasarkan faktor genetiknya, bencana dapat
dikelompokkan menjadi tiga klas, yaitu : (1). Bencana alam (natural disasters)
15
meliputi badai, banjir, erupsi gunung api, gempabumi, tsunami, longsor, dan bencana
meteorik; (2). Bencana biologis (biological disasters) mencakup epidemi, penyakit
tanaman, pest, dan kepunahan spesies (species extinction); (3). Bencana antropogenik
(anthropogenic disasters) antara lain bencana teknologi (kebocoran instalasi nuklir),
bencana struktural (kekeliruan dalam pengambilan kebijakan oleh pimpinan),
bencana sosial, serta bencana moral (moral hazard) (Sunarto dan Lies Rahayu,
2006:4).
Bencana dalam pandangan Irwan Abdullah (2006 : 142) sebenarnya bukanlah
barang baru karena ia telah muncul sejak puluhan ribu tahun yang lalu di berbagai
tempat dalam berbagai bentuknya. Bencana bukan suatu peristiwa yang tiba-tiba dan
tak terelakkan, tetapi menjadi bagian yang integral dari kehidupan rutin dan normal
yang tanda-tandanya sudah dapat dikenali dan dapat diprediksi, meskipun dapat saja
terjadi “unexamined normality” atas ketidakmampuan manusia dan sistem didalam
mengantisipasi suatu bencana (Abdullah, 2006 : 14). Bencana bukan lagi menjadi
peristiwa unik apalagi enmalig, tetapi sesuatu yang siklik dan ritmik, bahkan dalam
bahasa geologi sebagaimana makhluk, bencana merupakan cara alam melepas
‘hasrat’ untuk bisa berubah dalam tingkatan harmoni (Sunarto, 2006 : 1). “They are
part of nature, have happened in the past and will happen again”, bencana
merupakan bagian dari alam, pernah terjadi di masa lampau dan akan terjadi di masa
yang akan datang (Smith, 2003 : 159). Oleh karenanya suatu bencana tidak harus
mengganggu stabilitas, menyebabkan ketidakpastian, kekacauan, atau runtuhnya
16
sistem sosial budaya, merusak kemampuan adaptasi masyarakat, serta
membahayakan sistem pandangan dunia. Bencana bahkan merupakan “peluang” bagi
perbaikan dan penataan hidup secara mendasar. Di satu sisi suatu peristiwa alam
menyebabkan trauma, luka, cacat, ataupun kematian; di sisi lain ia memberikan
kesempatan bagi perubahan kehidupan manusia dalam berbagai aspek.
Keterkaitan antara pariwisata dan bencana merupakan satu hubungan yang
negatif. Pariwisata seringkali diasosiasikan dengan kesenangan, dan wisatawan
melihat keamanan dan kenyamanan sebagai satu hal yang esensial dalam berwisata.
Bencana merupakan salah satu faktor yang sangat rentan mempengaruhi naik
turunnya permintaan dalam industri pariwisata. Penurunan jumlah wisatawan sebagai
akibat terjadinya tsunami tanggal 24 Desember 2004 dirasakan di beberapa kawasan
wisata seperti di Phuket Thailand, di Langkawi Malaysia, China, Aceh Indonesia, dan
Srilanka. Namun tidak ada yang tidak mungkin dalam pariwisata, karena bisa saja
tempat terjadinya bencana kemudian diekspos menjadi daya tarik wisata yang eksotis.
DeMond Shondell Miller (2008) menyebut wisata bencana menyajikan kemiskinan
dan kesempatan untuk merasakan kesusahan yang diderita oleh orang lain.
Wisatawan puas mengunjungi tempat-tempat dengan impak emosi yang tinggi karena
berhubungan dengan kematian, bencana dan kekejaman. Komoditisasi tempat dan
peristiwa tersebut tidak dikaitkan dengan sesuatu yang bersifat mistik atau ekologis
tetapi lebih merupakan cara untuk mendekatkan wisatawan pada realita dan
mendapatkan pengalaman yang nyata. Kunjungan wisatawan ke New Orleans yang
17
porak-poranda setelah terjadinya badai Katrina menjadi bahan kajian yang menarik
bagi DeMond Shondell Miller mengenai wisata bencana. New Orleans menjadi objek
wisata ziarah setelah bencana Katrina dan merupakan bisnis baru bagi penduduk
lokal.
Tidak hanya yang bersifat alami, namun kemiskinan pun bisa dikemas
menjadi wisata kemiskinan (slum tourism). Ausland (dalam OBrien, 2011 : 35)
mengklasifikasi wisata kemiskinan dalam beberapa varian seperti “slumdog
tourism”, “poverty safaris” , dan “ghetto tourism”17 . Tujuan wisata kemiskinan
ternyata tidak hanya di kota-kota di negara berkembang seperti Nairobi, Cape Town,
Johannesburg, Siem Reap, New Delhi dan Jakarta tapi juga kota-kota di negara maju
seperti Toronto, Canada. Sebagaimana wisata bencana, wisata kemiskinan juga
menjadi kontroversi di kalangan para ahli. Sebagian ahli berpendapat wisata
kemiskinan merupakan suatu imperialisme dan eksploitasi kemiskinan karena hanya
menguntungkan perusahaan perjalanan. Wisata kemiskinan juga dianggap sebagai
dehumanisasi kaum miskin karena melakukan invasi terhadap privasi kehidupan
kaum miskin dan menjadikan kaum miskin sebagai objek dan pertunjukan gaya hidup
kepada wisatawan. Namun di sisi lain, operator perusahaan perjalanan berargumen
bahwa mereka mengemas wisata kemiskinan dengan tujuan untuk memberikan
kesadaran dan pendidikan pada wisatawan mengenai realita kemiskinan dan berusaha
menghilangkan stereotype negatif serta isolasi di seputar kehidupan kaum miskin
17 Ausland mengklasifikasi wisata kemiskinan kedalam “leisure tourism” dengan beberapa variansebagaimana disebut di atas.
18
(OBrien, 2011 : 37). Fenzel (dalam OBrien, 2011 : 38) berpendapat bahwa
pengalaman kemiskinan memberikan motivasi sosial untuk melakukan kebaikan
bahkan merupakan upaya politis untuk mencapai keadilan sosial yang lebih besar.
Banyak penelitian dengan berbagai perspektif digunakan untuk membahas
kehidupan pariwisata pascabencana sebagaimana terangkum dalam kajian pustaka.
Telaah terhadap hasil penelitian pariwisata dari beberapa perspektif memberikan
suatu gambaran tentang dampak bencana terhadap kehidupan pariwisata dan upaya
pemulihan kehidupan pariwisata pascabencana.
1.5.2 Dampak Bencana Terhadap Kehidupan Pariwisata
Bencana telah menimbulkan dampak negatif bagi industri pariwisata di Bali
dan pertumbuhan sektor ekonomi daerah tersebut sebagaimana diungkap dalam
penelitian I Nyoman Erawan (2003) atas tragedi bom di Legian Kuta tanggal 12
Oktober 2002. Keluarnya “travel warning”18 oleh beberapa negara asal wisatawan
mancanegara, dan dibatalkannya penerbangan langsung ke Bali oleh beberapa
maskapai penerbangan asing telah menyebabkan arus wisatawan mancanegara yang
masuk ke Bali menurun drastis. Penurunan wisatawan mancanegara ke Bali pasca
pemboman di Legian Kuta tercatat mencapai -5,70 persen dibandingkan dengan
keadaan tahun 2001 yaitu sebesar -3,21 persen. Dampak lebih jauh adalah
menurunnya sumbangan sektor pariwisata terhadap PDRB Bali dari angka 59,95
18 Travel warning atau travel alert atau travel advisory adalah peringatan resmi yang dikeluarkan olehsuatu lembaga pemerintah kepada warga negaranya tentang kondisi keamanan suatu negara atausuatu destinasi. Tujuan dikeluarkannya peringatan menyangkut keamanan suatu negara ataudestinasi adalah agar wisatawan mempunyai informasi yang cukup untuk mengambil keputusanketika akan berkunjung serta mempunyai persiapan yang memadai untuk melakukan perjalanan kenegara atau destinasi tersebut. ( Sumber : en.wikipedia.org/wiki/Travel_warning).
19
persen pada tahun 2000 menjadi 47,42 persen pada tahun 2002. Sektor yang paling
besar terkena dampak negatif dari bom Bali adalah sektor perdagangan, hotel dan
restoran, sektor pengangkutan dan komunikasi, sektor industri pengolahan, pertanian,
peternakan, kehutanan dan perikanan.
Penelitian Godfrey Pratt (2003) atas serangan teroris yang meruntuhkan
gedung World Trade Centre (WTC) pada tanggal 11 September 2001 menyebabkan
gelombang shock di kehidupan industri pariwisata di Jamaica dan Bahama. Hal ini
terjadi karena wisatawan terbesar yang datang ke Jamaica dan Bahama berasal dari
Amerika Serikat. Jumlah kunjungan wisatawan ke Jamaica menurun drastis hingga
mencapai angka 23 persen, dan lebih dari 70 persen penurunan kedatangan wisatawan
mempengaruhi GDP (Gross Domectic Product) Bahama.
Tsunami yang terjadi pada 26 Desember 2004 telah menyebabkan
kegoncangan ekonomi di Phuket Thailand. Jumpei Ichinosawa (2006) menganalisis
penyebab runtuhnya perekonomian Phuket bukan hanya disebabkan oleh bencana,
namun akibat dari adanya stigmatisasi. ‘Image’ tentang Phuket yang dulu terkenal
sebagai ‘Pearl of Andaman’ berubah menjadi zona bencana tsunami. Hal ini
berpengaruh pada penurunan jumlah wisatawan asing yang berkunjung ke Phuket.
Dampak stigmatisasi di Phuket dapat dilihat dari terjadinya stagnasi pertumbuhan
ekonomi, kehancuran sektor informal dan usaha kecil.
Kondisi yang berlawanan dengan Phuket Thailand dialami di kawasan wisata
Pantai Pangandaran Jawa Barat. Hasil penelitian Taupik Akbar (2012) menunjukkan
20
meski tsunami yang terjadi pada tanggal 17 Juli 2006 di Pantai Pangandaran telah
mengakibatkan kerusakan infrastruktur, menimbulkan korban jiwa dan menyebabkan
lumpuhnya perekonomian masyarakat, namun tidak menimbulkan ‘image’ negatif
pada wisatawan. Penurunan jumlah kunjungan wisatawan dan aktivitas pariwisata
memang terjadi, namun kondisi tersebut tidak berlangsung lama, hanya sekitar dua
bulan. Aktivitas pariwisata berlangsung normal kembali, karena adanya peningkatan
kunjungan wisatawan setiap tahun. Wisatawan tetap menilai positif terhadap segala
aspek wisata di Pantai Pangandaran seperti : kenyamanan sosial, lingkungan,
keamanan dari konflik sosial, kondisi fasilitas, kelengkapan fasilitas, keindahan
panorama alam. Wisatawan memiliki harapan positif mengenai sarana dan prasarana
kegiatan wisata dan perangkat kebencanaan.
Tidak selamanya bencana membawa dampak negatif bagi kehidupan
pariwisata. Manfaat ekonomi justru dirasakan oleh biro perjalanan wisata di Cina
setelah terjadinya tsunami tanggal 24 Desember 2004. Penelitian yang dilakukan oleh
Hanqin Qiu Zhang (2005) menunjukkan bahwa tsunami yang terjadi di Cina tidak
begitu mempengaruhi minat wisatawan Cina untuk melakukan perjalanan.
Penurunan jumlah kunjungan di suatu tempat – dalam hal ini di Asia Tenggara dan
Asia Utara- diikuti oleh kenaikan jumlah kunjungan di objek wisata lain seperti di
Jepang, Korea, Hongkong, Macao, New Zealand, Australia, dan beberapa provinsi di
Cina sendiri. Kenaikan permintaan di sejumlah tempat mengakibatkan kenaikan
harga paket wisata yang dijual, seperti beberapa paket Hainan yang bisa dijual
21
mencapai harga 2.000 RMB. Dampak lain yang ditimbulkan dengan terjadinya
tsunami di Cina adalah kepedulian untuk menggunakan asuransi kecelakaan. Hal ini
ditunjukkan dengan adanya peningkatan prosentase jumlah wisatawan Cina yang
menggunakan asuransi kecelakaan mendekati 90 persen dibanding sebelum terjadinya
tsunami hanya sebesar 1 persen. Di beberapa destinasi di Cina Barat, prosentase
penggunaan asuransi kecelakaan oleh wisatawan bahkan mencapai hampir 100
persen.
Fenomena serupa dapat dijumpai pula di Kaliurang yang terkena erupsi
Merapi tahun 2010. Penelitian awal yang dilakukan oleh Lestari Sri Andayani dkk
(2010) di Kaliurang menunjukkan bahwa bagi warga Kaliurang erupsi Merapi justru
menjadi berkah bagi mereka dengan terciptanya lapangan kerja baru sebagai penjual
jasa seperti tukang ojek, penjual foto erupsi Merapi, sewa jeep. Kata “lava tour”
digunakan oleh warga untuk menjual rute wisata agar mudah dikenal oleh wisatawan.
Respon atas bencana yang menimpa warga di Kinahrejo menjadi fokus
penelitian yang dilakukan oleh Heddy Shri-Ahimsa Putra (2012). Respon warga
muncul karena desa mereka yang rusak diterjang awan panas Merapi berubah
menjadi ‘pasar tiban’. Reruntuhan bangunan, hamparan lautan pasir, kerusakan hutan,
sampai kronologi kejadian menjadi atraksi wisata yang sangat menarik bagi
wisatawan. Bukan kesengsaraan akibat bencana yang dinikmati wisatawan,
melainkan kemahadahsyatan dampak yang membuat sebuah kawasan menjadi
istimewa. Fenomena ini yang kemudian dimanfaatkan warga Kinahrejo untuk
22
mendapatkan penghasilan dengan menyediakan atraksi wisata, fasilitas dan layanan
wisata bagi wisatawan yang berkunjung.
Dari perspektif ketahanan nasional, penelitian Priya Falaha (2011)
menunjukkan bahwa dampak tragedi Bali 2002 telah mengganggu kondisi sosial
ekonomi masyarakat. Dari sisi sosial muncul rasa curiga warga terhadap orang yang
tidak dikenalnya. Ketika persepsi wisatawan asing akan keamanan Bali turun maka
berdampak langsung pada penurunan jumlah kunjungan wisatawan mancanegara.
Tragedi 12 Oktober 2002 di Jalan Legian Kuta Bali telah mengusik tatanan
kehidupan sosial masyarakat Bali, khususnya masyarakat Kuta dan sekitarnya.
Masyarakat butuh waktu untuk memahami apa yang telah terjadi, karena pada
awalnya mereka merasakan bahwa Bali adalah daerah aman dan stabil untuk
berwisata maupun untuk ditinggali. Sebelum ledakan, persepsi masyarakat yang
tinggal di daerah Kuta terhadap faktor keamanan dan kenyamanan sangat tinggi.
Namun pascaledakan, persepsi itu turun drastis. Di bidang keamanan, masyarakat
berharap banyak kepada aparat negara untuk menciptakan Bali yang aman guna
mendukung pembangunan dunia pariwisata Bali. Masyarakat mengusulkan konsep
“sistem keamanan berlapis” dalam mengelola dan menjaga keamanan Bali dimana
masyarakat Bali dilibatkan secara aktif dalam menjaga keamanan wilayah Bali.
1.5.3 Pemulihan Kehidupan Pariwisata Pascabencana
Pemulihan denyut kehidupan pariwisata di suatu kawasan setelah terjadinya
bencana seringkali berjalan lambat bukan disebabkan oleh hambatan ekonomi tetapi
23
disebabkan oleh hambatan sosial budaya. Michael Bird (2007) menyebut faktor
‘image tentang bencana’ dibandingkan dengan realita kerusakan yang sebenarnya
menyebabkan proses pemulihan kehidupan pariwisata di Langkawi berjalan lambat.
Sebagaimana diungkap oleh Bongkosh Ngamsom Rittichainuwat (2006) dalam
mengkaji penyebab terhambatnya pemulihan kehidupan pariwisata di Pantai
Andaman setelah terjadi tsunami 26 Desember 2004. Distorsi informasi dan laporan
yang tidak akurat telah menyebabkan banyak wisatawan asing yang berkunjung ke
Thailand memilih destinasi selain Pantai Andaman seperti Pattaya, Hua Hin, Cha-am,
Koh Chang, dan Rayong. Media dapat membentuk ‘image’ negatif yang
mengakibatkan resiko yang diterima lebih buruk, meski situasi di Pantai Andaman
sudah kembali pulih, fasilitas dan infrastruktur telah diperbaiki. Hal yang bisa dicatat
dari penelitian Bongkosh adalah pentingnya jaminan keamanan dan keselamatan bagi
wisatawan ketika mengunjungi kawasan wisata setelah terjadinya bencana. Bagi
wisatawan, bukan harga paket wisata yang murah namun faktor keamanan dan
keselamatan merupakan pertimbangan utama dalam mengambil keputusan untuk
berwisata dan memilih destinasi19 yang akan dikunjungi.
Belajar dari tragedi, Bongkosh melihat bahwa menjaga alur informasi yang
akurat merupakan kunci dalam upaya pemulihan situasi pascabencana. Pemerintah
harus bekerja sama dengan organisasi nasional dan internasional dalam menyebarkan
19 Destinasi pariwisata atau disebut juga dengan daerah tujuan wisata adalah kawasan geografis yangberada dalam satu atau lebih wilayah administratif yang didalamnya terdapat daya tarik wisata,fasilitas umum, fasilitas pariwisata, aksesibilitas, serta masyarakat yang saling terkait danmelengkapi terwujudnya kepariwisataan. (UU Kepariwisataan, 2009 : 3-4).
24
informasi mengenai bencana kepada wisatawan, meningkatkan keamanan dan
keselamatan di tempat tersebut, menyediakan informasi yang seimbang dan selalu ‘up
to date’ menyangkut upaya pemulihan. Dengan demikian media dapat memberikan
informasi positif dan akurat mengenai area yang terkena dampak bencana. Upaya
pemulihan suatu destinasi membutuhkan bantuan segenap pemangku kepentingan
seperti hotel, maskapai, supplier untuk meyakinkan wisatawan untuk berkunjung
kembali ke Pantai Andaman. Catatan terakhir dari Bongkosh adalah kenangan
tentang kisah heroik dan keramahan Thais20 yang membantu wisatawan asing untuk
menyelamatkan diri pada saat terjadi tsunami menjadi legenda dan menciptakan
‘image’ positif tentang Thailand.
Faktor keselamatan dan keamanan wisatawan menjadi fokus penelitian Peter
E Murphy dan Robin Bayley (1989). Mengapa demikian? Karena wisatawan
seringkali mengunjungi tempat-tempat yang rentan dengan terjadinya bencana.
Wisatawan belum mengenal kawasan tersebut, sehingga beresiko tinggi jika terjadi
bencana. Perencanaan bencana harus diintegrasikan kedalam kegiatan pariwisata.
Masyarakat lokal dan industri pariwisata yang berada di area yang berbahaya bisa
melindungi wisatawan dan menyiapkan wisatawan untuk bisa mengantisipasi jika
terjadi bencana. Jika hal ini dilakukan, maka akan bisa meminimalisasi dampak dan
mempercepat proses pemulihan kondisi. Studi kasus yang dilakukan oleh Peter E
Murphy dan Robin Bayley terhadap bencana erupsi Gunung ST. Helens dan
kebakaran hutan yang terjadi di Kootenay timur menjadi contoh keberhasilan
20 Thais adalah sebutan untuk orang Thailand.
25
penanggulangan bencana dan pemulihan kondisi pascabencana. Peter E. Murphy
menyebut faktor ketidakpastian kondisi kerusakan yang sebenarnya yang ada didalam
benak wisatawan bisa menghambat terjadinya pemulihan keadaan. Hal ini bisa
dibentuk oleh pemberitaan yang sensasional di media. Cara-cara yang efektif untuk
memulihkan pariwisata menurut Murphy adalah membangun sumber informasi yang
terpercaya untuk masyarakat setempat dan wisatawan, menyebarkan informasi yang
faktual secara internasional, membawa wisatawan serta jurnalis ke tempat-tempat
yang terkena dampak bencana, agar mereka dapat membangun citra mengenai
keselamatan dan daya tarik tempat tersebut. Kunjungan yang berhasil akan
membangun kekuatan realita bahwa pariwisata tetap survive dan pemulihan sedang
berjalan. Pemerintah, dalam hal ini kementrian pariwisata AS, telah berhasil
membangun sistem komunikasi yang reliable antara pihak kehutanan, industri
pariwisata, penduduk lokal dan wisatawan.
Penelitian mengenai recovery pengembangan wisata pascabencana erupsi
Merapi 2010 yang dilakukan oleh D. Agus Harjito dan kawan-kawan (2011) di desa
Umbulharjo, Kinahrejo dan kawasan Kaliurang mengidentifikasi potensi
kepariwisataan yang dapat dikembangkan setelah erupsi. Program recovery
pariwisata pascabencana erupsi Merapi ini bukan sesuatu yang berorientasi pada
penyelesaian keindahan fisik saja, akan tetapi harus disertai dengan peningkatan
ekonomi dan mentalitas masyarakat. Beberapa potensi kepariwisataan yang dapat
26
dikembangkan antara lain : (a) wisata alam (volcano tour), (b). Wisata religi; (c).
Wisata kuliner; (d). Agrowisata.
Namun demikian, Agus Harjito (2011) menyebutkan bahwa wisata alam
dianggap kurang prospektif untuk dikembangkan, dengan beberapa alasan : (1).
Sebagai wisata bencana bagi wisatawan hal ini kurang menarik untuk dijadikan
tempat rekreasi atau bersenang-senang, kalaupun datang mereka hanya ingin tahu
kondisi terbaru wilayah bencana tersebut; (2). Wisata lava yang mulai dibuka
pascabencana, mulai berkurang jumlah pengunjungnya yang tadinya hampir 1 juta
wisatawan pada hari minggu sekarang hanya ratusan ribu saja, bahkan di hari biasa
hanya sekitar 100 ribu orang. Wisatawan tersebut bukanlah wisatawan lama yang
berkunjung untuk kesekian kalinya tapi merupakan wisatawan yang baru pertama kali
datang untuk melihat lokasi bencana; (3). Wisata lava lambat laun akan berkurang
keunikannya karena kondisinya yang secara alamiah akan kembali pada kondisi
semula dimana pepohonan sudah mulai tumbuh di sana; (4). Sebagai wilayah yang
masuk pada area bencana hal ini menjadikan wisatawan khawatir untuk mengunjungi
wilayah tersebut.
Berbeda dengan argumen yang dikemukakan oleh Agus Harjito, penelitian
yang dilakukan Retnaningtyas Susanti (2011) di Dusun Kinahrejo setelah erupsi
Merapi tahun 2010 menggambarkan adanya prospek yang bagus bagi pengembangan
atraksi wisata bencana. Komunitas Kinahrejo telah berhasil mengembangkan atraksi
wisata “Jelajah Kinahrejo” yang berbasis komunitas dan diharapkan dapat
27
memberikan beberapa manfaat, yaitu : (1) dari sisi ekonomi, warga memiliki harapan
bahwa jelajah Kinahrejo dapat bertahan lama dan tetap memberikan mereka lapangan
pekerjaan dan penghasilan tambahan selain bertani; (2) Memperbaiki kualitas hidup
masyarakat setempat; (3) memberikan pengalaman dan pemahaman yang baik bagi
pengunjung; (4) Dari segi lingkungan, memelihara kualitas lingkungan supaya dapat
dimanfaatkan oleh generasi selanjutnya.
Penelitian tentang pariwisata pascabencana yang dilakukan oleh Agus Harjito
merupakan penelitian yang sekedar melihat potensi wisata bencana, mengakomodasi
berbagai permasalahan, merangkum tanggapan dan harapan masyarakat Desa
Umbulharjo pascaerupsi Merapi 2010. Tidak ada pembahasan lebih lanjut bagaimana
pengembangan wisata harus dilakukan agar dapat meningkatkan ekonomi
masyarakat. Adapun tinjauan penelitian Susanti terbatas hanya pada pengembangan
atraksi wisata yang ada di Kinahrejo, yang masih harus dipertanyakan
keberlanjutannya agar bisa menopang ekonomi warga.
Pemulihan pariwisata pascabencana tidak hanya menjadi tanggung jawab
masyarakat yang terkena bencana, namun pemulihan kondisi ini juga menjadi
tanggung jawab pelaku pariwisata yang lain yaitu pemerintah. Dalam kondisi yang
tidak stabil, pemerintah menjadi tumpuan harapan, dewa penyelamat dan ujung
tombak untuk memulihkan keadaan. Penelitian yang dilakukan oleh S. Bekti Istiyanto
(2011) terhadap program pemerintah di tiga lokasi wisata pantai yaitu Pantai
Pangandaran Ciamis, Pantai Widarapayung Cilacap dan Pantai Parangtritis Bantul
28
menunjukkan adanya perbedaan hasil. Objek wisata Pantai Pangandaran yang berada
di Desa Pangandaran Ciamis merupakan daerah pariwisata produktif yang menjadi
lokasi terparah terkena tsunami pada 17 Juli 2006. Beberapa program pemulihan
ekonomi telah berhasil disusun oleh pemerintah daerah bersama dengan masyarakat
setempat. Meski disayangkan tidak ada informasi lebih lanjut mengenai pelaksanaan
program dan hasil-hasilnya. Penelitian yang dilakukan oleh Taupik Akbar (2012) di
kawasan wisata yang sama sekiranya dapat menjelaskan program Dinas Kebudayaan
dan Pariwisata Daerah Ciamis dan Badan Perencana Daerah Ciamis untuk
memulihkan kehidupan pariwisata di Pantai Pangandaran. Program dari dinas
kebudayaan dan pariwisata antara lain adalah penerapan konsep Destination
Management Organization (DMO), melaksanakan program Ngarumat Pangandaran
melalui Indecom (Indonesian Eco-tourism Network), melakukan Tourism
Management Planning (TMP) atau Rencana Pengelolaan Pariwisata di Pangandaran.
Beberapa program dari BAPPEDA adalah program peningkatan kapasitas masyarakat
lokal (Indonesia bekerja sama dengan Jerman untuk sistem peringatan dini tsunami),
sosialisasi pemanfaatan limbah menjadi barang-barang bernilai jual pasca tsunami,
periode Mei 2008 – April 2011, mengadakan Proyek Rehabilitasi dan Rekonstruksi
Masyarakat dan Pemukiman Berbasis Komunitas (REKOMPAK-JRF) yang bertujuan
untuk mengembangkan kondisi kehidupan masyarakat yang terkena dampak gempa
dan tsunami. Kebijakan yang dikeluarkan dari kedua instansi setelah terjadinya
tsunami lebih menekankan pada lingkungan dan kebencanaan di daerah atau kawasan
29
pariwisata Pantai Pangandaran. Perubahan kebijakan ini diyakini akan sinergi dengan
upaya penentuan arah pengembangan ke depan yang berlandaskan lingkungan dan
antisipasi kebencanaan di wilayah pariwisata. Tidak ditemukan penelitian lebih lanjut
apakah program-program tersebut berhasil dilaksanakan.
Di kawasan wisata Pantai Parangtritis, bencana gempa yang menimpa
Yogyakarta dan Klaten seolah-olah menjadi pemicu (trigger) penataan kawasan
wisata. Meski pada tahun 2004 telah muncul Peraturan Daerah Relokasi No. 03/2004
tentang Rencana Induk Pengembangan Pariwisata Daerah dalam bentuk pariwisata
berbasis masyarakat, namun dalam praktiknya program ini dijalankan setelah terjadi
gempa tahun 2006. Relokasi penataan kegiatan usaha sendiri dinyatakan dalam
Peraturan Bupati No. 24/2006 tentang penataan kegiatan usaha atau relokasi di atas
batas teraman dari sempadan garis Pantai Parangtritis. Relokasi yang dibangun di
kawasan ini bukan sekedar pembangunan kios atau los bagi pedagang namun berupa
mitigasi bencana yaitu jalur evakuasi, jalan konblok sebagai sarana transportasi yang
menghubungkan Pantai Depok sampai Pantai Parang Kusumo dan pemasangan papan
informasi di sekitar kawasan wisata.
Di Pantai Widarapayung, Cilacap tidak ada program terpadu yang membuat
lokasi wisata dan kehidupan perekonomian masyarakat menjadi lebih baik
dibandingkan sebelumnya. Tindakan tanggap darurat yang dilakukan oleh pemerintah
daerah adalah membentuk Lakhar BPBD (Peraturan Daerah No. 48 tahun 2007 dan
2008) yang bertindak sebagai koordinator penanggulangan bencana. Namun sayang
30
sekali bidang kerjanya melebar tidak hanya menangani kawasan wisata saja, tetapi
tindakan preventif dan penanggulangan bencana secara umum dan berlaku di seluruh
Kabupaten Cilacap. Pembangunan kembali jalan yang rusak menuju Pantai
Widarapayung ternyata terkait dengan kepentingan politis yaitu kedatangan Presiden
Susilo Bambang Yudhoyono.
Usaha yang berbeda dengan Indonesia dilakukan oleh pemerintah Bahama
dan Jamaica untuk memulihkan kehidupan industri pariwisata di kedua negara
tersebut. Direktur Jendral Pariwisata Bahama mengajak segenap pelaku wisata mulai
dari hotel, badan promosi, organisasi swasta dan pemerintah sendiri untuk
berpartisipasi melakukan kampanye dengan memanfaatkan media untuk menggalang
simpati dan empati untuk warga AS atas tragedi WTC. Sedangkan cara yang
dilakukan Departemen Pariwisata Jamaica untuk memulihkan kehidupan pariwisata
di Jamaica adalah menciptakan program untuk menggalang solidaritas bagi warga AS
dan mengundang mereka datang kembali ke Jamaica untuk membangkitkan semangat
hidup dan menyegarkan jiwa. Tragedi WTC 2011 telah memberikan pelajaran
berharga bagi Jamaica untuk memperluas pangsa pasar wisata tidak hanya ke AS tapi
juga ke Eropa dan Amerika latin.
Kajian terhadap upaya yang dilakukan pemerintah untuk memulihkan
pariwisata pascabencana antara Indonesia dan Jamaica serta Bahama menjadi suatu
bahan perbandingan yang menarik, dimana pemerintah Jamaica dan Bahama berhasil
mengembalikan kehidupan pariwisata melalui usaha terpadu antara pemerintah,
31
organisasi swasta, dan badan promosi. Di Indonesia, pemulihan kehidupan pariwisata
setelah bencana seringkali dipenuhi dengan berbagai program dari pemerintah,
namun program yang ada bukan berarti akan menjawab permasalahan yang dihadapi
masyarakat di kawasan wisata yang terkena bencana. Karena seringkali tidak tercipta
sinergi kepentingan diantara pemangku kepentingan tersebut. Penelitian yang
bertujuan untuk memahami masyarakat yang terkena bencana sekiranya dapat
mempersempit jurang pemisah antara berbagai pihak yang berkepentingan dengan
masyarakat.
1.6 Landasan Teori dan Definisi Operasional
1.6.1 Pariwisata
Pariwisata adalah suatu fenomena yang ditimbulkan oleh salah satu bentuk
kegiatan manusia, yaitu kegiatan yang disebut perjalanan (travel). Ada beberapa
sebab manusia melakukan perjalanan, ada yang melakukan perjalanan karena sebab-
sebab yang erat berkaitan dengan eksistensi dan keselamatan hidup manusia,
misalnya melarikan diri dari peperangan, musibah, bencana alam. Ada yang
melakukan perjalanan karena didorong oleh alasan-alasan yang bersifat praktis dan
pragmatis, yaitu mencari nafkah misalnya bekerja, membuka ladang, berburu dan
sebagainya. Namun demikian, jika dilihat dari maksud dan tujuannya, perjalanan
tersebut tidak dapat digolongkan kedalam kegiatan wisata. Perjalanan yang dapat
digolongkan kedalam kegiatan wisata yang kita kenal dewasa ini adalah perjalanan
untuk memenuhi rasa ingin tahu, untuk keperluan yang bersifat rekreatif dan edukatif.
32
Mengacu pada contoh-contoh di atas, maka perjalanan yang dikategorikan sebagai
kegiatan wisata dapat dirumuskan sebagai berikut :
“...... perjalanan dan persinggahan yang dilakukan oleh manusia di luar tempattinggalnya untuk berbagai maksud dan tujuan tetapi bukan untuk tinggalmenetap di tempat yang dikunjungi atau disinggahi, atau untuk melakukanpekerjaan-pekerjaan dengan mendapatkan upah” (Kodhyat, 1996 : 3).
Arti ‘pariwisata’ belum banyak diungkapkan oleh para ahli bahasa dan
pariwisata Indonesia. Kata ‘pariwisata’ berasal dari dua suku kata, yaitu pari dan
wisata. Pari berarti banyak, berkali-kali dan berputar-putar, sedangkan wisata berarti
perjalanan atau bepergian. Jadi pariwisata bisa diartikan sebagai perjalanan yang
dilakukan berkali-kali atau berputar-putar berangkat dari suatu tempat ke tempat yang
lain dan kembali ke tempat asal semula yang dalam bahasa Inggris disebut dengan
kata “tour”, sedang untuk pengertian jamak “kepariwisataan” dapat digunakan kata
“tourisme” atau “tourism”.
Undang-Undang Kepariwisataan No. 10 Tahun 2009 mendefinisikan
pariwisata adalah berbagai macam kegiatan wisata dan didukung berbagai fasilitas
serta layanan yang disediakan oleh masyarakat, pengusaha, pemerintah, dan
pemerintah daerah. Adapun pengertian wisata adalah kegiatan perjalanan yang
dilakukan oleh seseorang atau sekelompok orang dengan mengunjungi tempat
tertentu untuk tujuan rekreasi, pengembangan pribadi, atau mempelajari keunikan
daya tarik wisata yang dikunjungi dalam jangka waktu sementara (UU
Kepariwisataan, 2009 : 3).
33
R.G Soekadijo (1996 : 2) mendefinisikan pariwisata ialah segala kegiatan
dalam masyarakat yang berhubungan dengan wisatawan. Semua kegiatan
pembangunan hotel, pemugaran objek budaya, pembuatan pusat rekreasi,
penyelenggaraan pekan pariwisata, penyediaan angkutan dan sebagainya – semua itu
dapat disebut kegiatan kepariwisataan sepanjang kegiatan-kegiatan itu dapat
mendatangkan wisatawan.
Pariwisata merupakan aktivitas, pelayanan dan produk hasil industri
pariwisata yang mampu menciptakan pengalaman perjalanan bagi wisatawan.
McIntosh (dalam Muljadi A.J, 2009 : 7) menyatakan bahwa pariwisata adalah :
“….. a composite of activities, services and industries that delivers a travelexperience: transportation, accommodation, eating and drinkingestablishment, shop, entertainment, activity, and other hospitality serviceavailable for individuals or group that away from home”.
Dari berbagai definisi pariwisata di atas nampak adanya dimensi aktivitas,
waktu, tujuan. Dimensi aktivitas menunjukkan bahwa ada serangkaian aktivitas yang
menciptakan perjalanan bagi wisatawan. Dimensi waktu menunjukkan bahwa
wisatawan tidak tinggal pada suatu daerah dalam jangka waktu lama. Dimensi tujuan
bukan untuk mencari penghidupan/pekerjaan di tempat yang dituju.
Dari perspektif Antropologi, kegiatan pariwisata menyangkut pula interaksi
sosio-kultural sebab didalamnya terkandung interaksi antara masyarakat (host)
dengan wisatawan selaku pengunjung (guest). Interaksi di antara mereka akan
terlaksana dalam konteks pencarian dan penyediaan pengalaman yang berbeda dan
dilakukan atas dasar pertukaran ekonomi. Konteks interaksi membawa akibat pada
34
hadirnya tingkah laku interaksi yang khas, baik yang dialami wisatawan ataupun
diterima oleh masyarakat setempat.
Interaksi antara masyarakat (host) dan wisatawan yang berkunjung (guest)
akan menghasilkan pengalaman. Itulah esensi dari pariwisata menurut Ryan (dalam
M. Burns, 1999 : 28) yang berpendapat bahwa :
“Essentially, tourism is about experience of place. The tourism ‘product’ isnot the tourist destination, but it is about experience of that place and whathappens there: [which is] a series of internal and external interactions”.
Wisatawan yang melakukan perjalanan ke daerah tujuan wisata memerlukan
berbagai kebutuhan dan pelayanan mulai dari keberangkatan sampai kembali lagi ke
tempat tinggalnya. Oleh karena itu, aktivitas kepariwisataan erat kaitannya dengan
berbagai aspek lain yang saling terkait, seperti akomodasi, agen perjalanan, rumah
makan, jasa pemandu, atraksi wisata dan aspek lainnya.
Menurut Oka A. Yoeti (2002 : 4-5) komponen penting untuk mendukung
daerah tujuan wisata mencakup tiga komponen dimana satu dengan yang lainnya
sangat erat hubungannya. Tiga komponen tersebut adalah : daya tarik wisata (Tourist
Attractions), fasilitas (facilities of the tourist destination), aksesibilitas (accessibilitas
of the tourist destination),
Atraksi menjadi daya tarik orang-orang untuk datang ke suatu destinasi.
Atraksi atau daya tarik wisata adalah segala sesuatu yang memiliki keunikan,
keindahan, dan nilai yang berupa keaneragaman kekayaan alam, budaya, dan hasil
buatan manusia yang menjadi sasaran atau tujuan kunjungan wisatawan (UU
35
Kepariwisataan No. 10 tahun 2009 : 3). Daya tarik wisata dibagi ke dalam kelompok-
kelompok yaitu : (1) Daya tarik wisata alam yang berupa pemandangan alam,
perbedaan iklim, pantai, pegunungan serta kondisi geografis lain di suatu destinasi
wisata; (2) Daya tarik wisata berbasis kebudayaan bisa berupa cerita sejarah, folklore,
upacara keagamaan, pertunjukan kesenian dan hiburan, festival; (3) Daya tarik
wisata yang berbasis pada kehidupan sosial berupa bahasa, tata cara kehidupan suatu
masyarakat, kesempatan untuk melakukan kegiatan-kegiatan sosial; (4) Daya tarik
wisata buatan manusia berupa bangunan-bangunan bersejarah, arsitektur modern,
monumen, taman nasional, latihan golf, arkeologi industri.
Fasilitas merupakan sarana prasarana yang berfungsi untuk memenuhi
kebutuhan wisatawan selama tinggal untuk sementara waktu di daerah tujuan wisata
yang dikunjungi. Menurut Victor T.C. Middleton (Oka A. Yoeti, 2002 : 4-5) yang
termasuk dalam kelompok ini adalah : (1) Akomodasi yaitu hotel, motel, villa,
homestay, hostel; (2) Restoran cepat saji, bar, café sampai restoran mewah; (3)
Transportasi di destinasi seperti mobil sewaan, taksi; (4) Berbagai macam olah raga
dan aktivitas keolahragaan seperti ski, golf, berburu, memancing, hiking; (5) Fasilitas
lain seperti toko handycraft, cenderamata; (6) Toko retail seperti biro perjalanan
wisata lokal, apotek, supplier film dan kamera; (7) Pelayanan lain seperti kantor
polisi, pusat informasi pariwisata. Keberadaan dan kelengkapan berbagai jenis
fasilitas menjadi prasyarat mutlak bagi peningkatan kunjungan wisatawan pada suatu
objek wisata. Dengan kata lain, meskipun objek wisata yang dimiliki dinilai cukup
36
bagus namun bila tidak memiliki jaminan fasilitas yang memadai, lambat laun tentu
akan ditinggalkan wisatawan.
Sedangkan aksesibilitas berupa sarana-prasarana yang menyebabkan
wisatawan dapat berkunjung di sebuah kawasan wisata. Yang termasuk dalam
kelompok ini adalah : (1) Infrastruktur seperti bandara, pelabuhan, stasiun kereta api,
jalan dan terminal; (2) Transportasi seperti coach, pesawat terbang; (3) Peraturan
pemerintah menyangkut sistem keamanan, peraturan transportasi, peraturan visa; (4)
Prosedur operasional seperti regulasi tarif dan perubahan harga jasa dan pelayanan.
Dalam konteks ini, sarana dan prasarana dibangun agar wisatawan dapat
mencapai objek dengan aman, nyaman dan layak. Inilah yang membedakan dengan
domain ekonomi yang menyediakan sarana dan prasarana agar produk yang dijual
dapat didistribusi sehingga dapat dijangkau konsumen. Sementara domain pariwisata
sarana dan prasarana dibangun agar konsumen dapat mengunjungi objek wisata
sehingga mereka dapat ‘membeli’ produk tersebut. Dengan demikian aksesibilitas
menyebabkan wisatawan mencapai objek wisata dengan mudah, aman dan nyaman
atau layak.
Selain ketiga komponen di atas, ada satu komponen lain yang dianggap
penting oleh Robert Christie Mill. Komponen tersebut adalah keramahtamahan
(hospitality). Menurut Mill (2000 : 32) keramahtamahan di sebuah kawasan adalah
perasaan disambut baik yang diterima oleh wisatawan pada waktu mengunjungi suatu
kawasan. Kesan yang diperoleh orang-orang setelah melakukan perjalanan adalah
37
bukan cuaca atau pemandangan alamnya, melainkan interaksi positif atau negatif
dengan wisatawan yang lain, dengan penduduk setempat di tempat tujuan wisata, atau
dengan karyawan restoran, hotel, toko. Kapan saja seorang wisatawan bertemu
dengan seorang karyawan atau penduduk setempat di suatu daerah tujuan wisata,
keadaan itu disebut oleh Mill sebagai ‘momen kebenaran’. Bagaimana seorang
karyawan atau penduduk lokal berinteraksi dengan wisatawan bisa meningkatkan
makna sebuah liburan atau merusak semua bunyi iklan yang menyebabkan wisatawan
pergi ke kawasan tersebut. Keramahtamahan winiwisatawan di daerah tujuan wisata
dapat diciptakan melalui pelatihan terutama bagi mereka yang berinteraksi langsung
dengan wisatawan. Sikap yang bisa diinternalisasikan menjadi kebiasaan antara lain
penampilan yang baik, sapaan ramah terhadap wisatawan dan sikap selalu siap
menolong.
1.6.2 Etno Pariwisata
Berpijak dari pemikiran bahwa manusia merupakan mahkluk yang berbudaya
serta memiliki akal dan mampu mengatasi persoalan dalam situasi apapun, kajian ini
mencoba untuk menggunakan pendekatan etnosains dalam menelaah persoalan yang
muncul lewat kacamata masyarakat. Pemahaman dari sudut pandang “native”
tersebut dapat dirujuk pada asumsi, anggapan Malinowski bahwa setiap manusia
memiliki pendapat dan pandangan yang berbeda, meskipun itu mengenai hal yang
sama. Setiap individu adalah khas, baik dalam pandangan-pandangannya, nilai-nilai
dan norma yang dianutnya, maupun dalam pola-pola perilakunya sehari-hari. Lewat
38
pendekatan etnosains penelitian ini ditujukan untuk mengetahui gejala yang mereka
anggap penting dan bagaimana mereka mengorganisir berbagai gejala tersebut dalam
sistem ilmu pengetahuan.
Penelitian ini mendasarkan pada beberapa premis. Pertama, bahwa penelitian
mengenai perilaku manusia tidak terlepas dari pandangan mengenai hakekat manusia
dan perilakunya. Sehubungan dengan itu, dalam studi ini manusia dipandang sebagai
animal symbolicum (Cassirer, 1987 : 40) atau binatang yang dapat menggunakan dan
mengembangkan simbol-simbol sebagai alat komunikasi. Melalui perangkat simbol
tersebut manusia memberikan makna kepada sekelilingnya sehingga memiliki makna
baginya. Kedua, berbagai makna tersebut tersimpan dalam bahasa. Oleh sebab itu
melalui bahasa akan dapat menggapai, meraih dan menangkap berbagai makna yang
diberikan oleh manusia terhadap keadaan di sekitarnya. Menurut Spradley, bahasa
lebih dari sekedar alat mengkomunikasikan realitas; bahasa merupakan alat untuk
menyusun realitas. Bahasa yang berbeda menciptakan dan mengekspresikan realitas
yang berbeda. Bahasa yang berbeda itu mengkategorikan pengalaman dengan cara-
cara yang berbeda (Spradley, 1997:23). Mengingat persyaratan demikian menuntut
peneliti berangkat dari “dalam” yaitu dari sudut pandang orang yang diteliti (tineliti)
dan dengan demikian berimplikasi pada pendefinisian kebudayaan sebagai sistem
pengetahuan atau sistem ide, sebab dalam penjelasan ini “makna” yang diberikan
oleh pendukung kebudayaan menduduki peran yang penting (Ahimsa-Putra, 1985 :
106-107).
39
Respon masyarakat atas kunjungan wisatawan di Kinahrejo setelah erupsi
Merapi 2010 telah memunculkan fenomena baru kehidupan wisata di sana. Respon
kepariwisataan ini yang disebut etno pariwisata yaitu perangkat pengetahuan yang
muncul dan dikembangkan oleh suatu masyarakat –berdasarkan atas pengetahuan dan
pemahaman mereka mengenai situasi dan kondisi yang mereka hadapi untuk
menyambut dan melayani wisatawan yang berkunjung (Ahimsa-Putra, 2012 : 109).
Etno-pariwisata berupaya mengungkap gejala yang dianggap penting oleh warga
Kinahrejo, Pangukrejo serta bagaimana mereka mengorganisir berbagai gejala
tersebut dalam sistem pengetahuannya. Sistem pengetahuan masyarakat terwujud
dalam klasifikasi, kategorisasi dan taksonomi unsur-unsur lingkungan (Ahimsa-
Putra, 1997 : 55) yang kemudian akan menuntun masyarakat dalam melakukan
model-model pemanfaatan dan pengelolaan sumber daya lingkungan tersebut.
Kajian etno-pariwisata digunakan untuk menemukenali beberapa aspek yang
terkait dengan pengelolaan pariwisata setelah terjadi erupsi gunung Merapi tahun
2010. Perubahan yang terjadi dalam lingkungan melahirkan pemaknaan yang baru
dalam kehidupan masyarakat. Etno-pariwisata yang mendasarkan pada pendekatan
etnosains dipandang dapat memberikan penjelasan secara lebih mendetail
menyangkut pengelolaan pariwisata atas dasar pandangan masyarakat. Pembahasan
ini tidak terlepas dari mendefinisikan kebudayaan sebagaimana yang dikemukakan
Goodenough, yakni bahwa kebudayaan bukanlah fenomena atau gejala material.
Kebudayaan merupakan :
40
“does not consist of things, people, behavior or emotions. It is rather theorganization of these things. It is the forms of things that people have in mind,their models for perceiving, relating and otherwise interpreting them as such.The things that people say and do, their social arrangement and events areproducts or by products of their culture as they apply it to the task ofperceiving and dealing with circumstances” (dalam Ahimsa-Putra, 2002 : 36).
Kajian ini memusatkan perhatian pada kebudayaan sebagai “…..the forms of
things that people have in mind, their models for perceiving”, yang dalam hal ini
ditafsirkan sebagai model-model untuk mengklasifikasi lingkungan atau situasi sosial
yang dihadapi. Dengan begitu kajian ini akan mengetahui perangkat pengetahuan dan
aktivitas serta bagaimana mengorganisir berbagai gejala tersebut. Bilamana hal
tersebut diketahui maka akan terungkap pula berbagai prinsip yang digunakan untuk
memahami lingkungan dan situasi yang dihadapi, sebagai landasan tingkah laku
(Tyler dalam Ahimsa-Putra, 1985 : 108).
Dengan demikian masalah yang berkenaan atau terkait dengan kerangka
pemikiran penelitian dapat ditelusuri lebih lanjut pada konsep-konsep yang mengkaji
tentang kawasan Kinahrejo, pariwisata di Kinahrejo, pandangan warga dan pengelola
wisata volcano serta dinas pariwisata tentang kawasan dan pariwisata di Kinahrejo
serta upaya-upaya pengembangan pariwisata setelah erupsi Merapi tahun 2010 baik
yang dilakukan oleh penduduk setempat maupun pengelola wisata volcano serta dinas
pariwisata.
1. Kawasan
Menurut Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 26 Tahun 2008
tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional, yang dimaksud kawasan adalah
41
wilayah yang memiliki fungsi utama lindung atau budi daya. Kawasan lindung
adalah wilayah yang ditetapkan dengan fungsi utama melindungi kelestarian
lingkungan hidup yang mencakup sumber daya alam dan sumber daya buatan.
Sedangkan kawasan budi daya adalah wilayah yang ditetapkan dengan fungsi utama
untuk dibudidayakan atas dasar kondisi dan potensi sumber daya alam, sumber daya
manusia, dan sumber daya buatan.
Di bab ketiga, pasal 63 Peraturan Pemerintah ini disebutkan bahwa salah satu
kawasan budi daya bisa difungsikan sebagai kawasan peruntukan pariwisata 21
dengan kriteria-kriteria sebagaimana disebutkan dalam pasal 70 ayat (1) yaitu 22:
a. Memiliki objek dan daya tarik wisata; dan / atau
b. Mendukung upaya pelestarian budaya, keindahan alam, dan lingkungan.
Kawasan dalam konteks kegiatan pariwisata menunjuk pada suatu kawasan
yang memiliki fungsi utama pariwisata atau memiliki potensi untuk pengembangan
21 Kawasan peruntukan pariwisata adalah kawasan yang didominasi oleh fungsi kepariwisataan dapatmencakup sebagian areal dalam kawasan lindung atau kawasan budi daya lainnya dimana terdapatkonsentrasi daya tarik dan fasilitas penunjang pariwisata.Kebutuhan pariwisata berkaitan dengan segala sesuatu yang berhubungan dengan wisata, termasukpengelolaan objek dan daya tarik wisata yang mencakup :(a). Objek dan daya tarik wisata ciptaan Tuhan Yang Maha Esa, yang berwujud keadaan alam serta
flora dan fauna; dan(b). Objek dan daya tarik wisata hasil karya manusia yang berwujud museum, peninggalan
purbakala, peninggalan sejarah, seni budaya, wisata agro, wisata tirta, wisata petualanganalam, taman rekreasi, dan tempat hiburan.
22 Penerapan kriteria peruntukan pariwisata secara tepat diharapkan akan mendorong terwujudnyakawasan pariwisata yang diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai berikut : (a) meningkatkandevisa dari pariwisata dan mendayagunakan investasi; (b) meningkatkan perkembanganpembangunan lintas sektor dan sub sektor serta kegiatan ekonomi sekitarnya; (c) tidak mengganggufungsi lindung; (d) tidak mengganggu upaya pelestarian kemampuan sumber daya alam; (e)meningkatkan pendapatan masyarakat; (f) meningkatkan pendapatan nasional dan daerah; (g)menciptakan kesempatan kerja; (h) melestarikan nilai warisan budaya, adat istiadat, kesenian danmutu keindahan lingkungan alam; dan/atau (i) meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
42
pariwisata yang mempunyai pengaruh penting dalam satu atau lebih aspek, seperti
pertumbuhan ekonomi, sosial dan budaya, pemberdayaan sumber daya alam, daya
dukung lingkungan hidup, serta pertahanan dan keamanan (UU Kepariwisataan,
2009 : 4).
Menurut Peraturan Menteri Kebudayaan dan Pariwisata No. PM. 88/ HK 501/
MKP/ 2010, kawasan pariwisata merupakan usaha komersial yang selanjutnya
disebut dengan usaha pariwisata yaitu usaha pembangunan dan/atau pengelolaan
kawasan untuk memenuhi kebutuhan pariwisata sesuai dengan peraturan perundang-
undangan.
Sedangkan Peraturan Pemerintah RI No. 67 tahun 1996 pasal 96, tentang
penyelenggaraan kepariwisataan menyebutkan kegiatan usaha kawasan pariwisata
meliputi : 1). Penyewaan lahan yang telah dilengkapi dengan prasarana sebagai
tempat untuk menyelenggarakan usaha pariwisata; 2). Penyewaan fasilitas pendukung
lainnya; 3). Penyediaan bangunan-bangunan untuk menunjang kegiatan usaha
pariwisata didalam kawasan pariwisata.
Jadi konsep kawasan dapat diartikan sebagai satu wilayah yang mempunyai
fungsi utama pariwisata atau pengembangan pariwisata yaitu pembangunan atau
pengelolaan kawasan yang didasarkan pada potensi sumber daya alam, sumber daya
manusia, dan sumber daya buatan untuk memenuhi kebutuhan pariwisata yang
mempunyai pengaruh penting dalam beberapa aspek seperti pertumbuhan ekonomi,
mendukung upaya pelestarian budaya, keindahan alam dan lingkungan.
43
2. Pariwisata
Pariwisata di sini didefinisikan sebagai segala aktivitas yang berhubungan
dengan wisata yang didukung oleh komponen-komponen pariwisata berupa atraksi
wisata, fasilitas, aksesibilitas serta layanan yang disediakan oleh masyarakat
Kinahrejo, Pangukrejo, pengusaha, pemerintah, pemerintah daerah. Pascaerupsi
Merapi 2010, atraksi wisata yang muncul adalah mengunjungi petilasan Mbah
Maridjan dan wisata petualangan di Kepuharjo. Atraksi lainnya adalah upacara
labuhan setiap bulan Ruwah. Fasilitas dapat dilihat dari penyediaan warung, toilet,
tempat ibadah, pos informasi, transportasi di objek wisata yaitu ojek, trail, jeep.
Aksesibilitas meliputi prasarana jalan menuju Kinahrejo, moda transportasi yang
digunakan pengunjung untuk sampai ke Kinahrejo, peraturan pemerintah yang
berkaitan dengan pariwisata di Kinahrejo. Sedangkan keramahtamahan (hospitality)
dapat dilihat dari penerimaan warga yang bekerja di sektor pariwisata terhadap
pengunjung yang datang ke Kinahrejo dan sikap mereka dalam melayani pengunjung.
3. Etno Pariwisata
Etno pariwisata didefinisikan sebagai perangkat pengetahuan yang muncul
dan dikembangkan oleh masyarakat Kinahrejo –berdasarkan atas pengetahuan dan
pemahaman mereka mengenai situasi dan kondisi yang mereka hadapi- untuk
menyambut dan melayani wisatawan yang berkunjung ke Kinahrejo. Berbagai
perilaku, aktivitas dan hasil aktivitas dalam suatu masyarakat tidak akan dipahami
dengan baik bilamana peneliti tidak memahami pandangan-pandangan dan
44
pengetahuan yang dimiliki oleh masyarakat tersebut. Oleh karena itu, untuk
memahami berbagai perilaku, aktivitas dan hasil aktivitas masyarakat Kinahrejo
untuk menyambut dan melayani wisatawan yang berkunjung ke Kinahrejo, maka
peneliti harus memahami pandangan-pandangan dan pengetahuan yang dimiliki oleh
warga Kinahrejo. Selain mengungkap pengetahuan yang ada di masyarakat,
penelitian ini berusaha juga untuk mengungkap pengetahuan dan pandangan dari
pengelola wisata volcano Desa Umbulharjo dan Dinas Pariwisata Sleman
menyangkut Kinahrejo dan pariwisata di Kinahrejo pascaerupsi Merapi 2010. Hal ini
didasarkan pada perspekif etnosains, bahwa setiap individu dapat memiliki pendapat
dan pandangan yang berbeda mengenai hal yang sama. Setiap individu memiliki
alasan-alasan sendiri, mengapa dia mewujudkan perilaku tertentu atau melakukan
tindakan tertentu.
4. Pengembangan Pariwisata
Pengembangan pariwisata di Kinahrejo merupakan salah satu rangkaian dari
empat fase pembangunan kepariwisataan pascabencana yang dilakukan sesuai dengan
kondisi yang terjadi di lapangan. Rangkaian pembangunan kepariwisataan
pascabencana tersebut diawali dengan fase response atau penyelamatan (tanggap
darurat), fase recovery atau pemulihan kembali, fase reconstruction atau rehabilitasi,
dan fase development atau pengembangan (pembangunan) (Harjito, 2011 : 175).
Konsep pengembangan mengisyaratkan suatu proses evolusi dengan konotasi positif
atau sekurang-kurangnya bermakna “tidak jalan di tempat”. Kata pengembangan
45
dapat dikaitkan dengan dua hal, yakni : ‘proses’ dan ‘tingkat’ perkembangan sesuatu
(Sammeng, 2000 : 227). Dalam konteks Kinahrejo, pengembangan menyiratkan suatu
proses mengembangkan sesuatu yang sudah ada atau sudah dimiliki lebih dulu. Ini
berarti bila hendak mengembangkan sesuatu dilakukan dengan menambahkan atau
mengubah sesuatu yang sudah dimiliki menjadi sesuatu yang lebih baik dalam hal
kualitasnya.
Sumberdaya wisata yang telah dimiliki Kinahrejo merupakan modal dasar
yang dapat dikembangkan. Dari sumberdaya wisata yang telah tersedia berupa
potensi lingkungan dan potensi budaya ini selanjutnya upaya pengembangan
dilakukan. Fokus pengembangan yang dikaji pada dua aspek yakni aspek pariwisata
dan aspek sumberdaya manusia (SDM). Aspek pariwisata dilihat dari jenis atraksi
yang dikembangkan, fasilitas dan aksesibilitas yang disediakan baik secara kuantitas
maupun kualitas. Sementara untuk aspek SDM, arah pengembangan ditekankan pada
aspek pengetahuan (knowledge) dan ketrampilan (skill). Setidaknya arah
pengembangan yang diberikan dapat diklasifikasikan dalam tiga wujud yakni wujud
kognitif (knowledge), wujud pola perilaku, dan wujud materi (material).
Sementara itu, upaya pengembangan yang dilakukan tidak hanya dikerjakan
oleh masyarakat setempat namun juga dilakukan oleh pihak-pihak terkait sesuai
dengan aspek yang dikembangkannya. Beberapa pihak yang mendukung
pengembangan Kinahrejo diantaranya dari pengelola wisata volcano Desa
Umbulharjo serta Dinas Pariwisata Sleman bekerjasama dengan swasta dan LSM.
46
1.7 Metode Penelitian
1.7.1 Lokasi Penelitian
Penelitian akan dilakukan di kawasan wisata Kinahrejo yang termasuk dalam
wilayah Desa Umbulharjo Kecamatan Cangkringan. Beberapa pertimbangan
pemilihan lokasi di kawasan Kinahrejo adalah : pertama, Kinahrejo merupakan salah
satu ikon pariwisata di Yogyakarta yang terkenal dengan tokoh fenomenal yaitu
almarhum Mbah Maridjan alias Ki Surakso Hargo. Cerita tentang almarhum Mbah
Maridjan merupakan salah satu daya tarik tersendiri bagi wisatawan untuk
berkunjung ke Kinahrejo. Kedua, kawasan Kinahrejo merupakan kawasan yang
masih menjadi perselisihan antara warga dan pemerintah. Menurut warga, Kinahrejo
merupakan kawasan wisata yang tetap potensial untuk dikembangkan pascaerupsi
Merapi 2010 untuk membangun kesejahteraan warga, namun di sisi lain pemerintah
berkepentingan melindungi warganya dari ancaman bahaya erupsi Merapi sehingga
kawasan Kinahrejo akan diakuisisi oleh pemerintah menjadi taman nasional
(Retnaningtyas, 2011 : 77).
1.7.2 Pemilihan Informan
Etnografer bekerja sama dengan informan untuk menghasilkan sebuah
deskripsi kebudayaan. Informan merupakan sumber informasi; secara harfiah, mereka
menjadi guru bagi etnografer (Spradley, 1997:35). Berdasarkan pada rumusan
masalah penelitian, penentuan informan kunci adalah (1) Warga Kampung Kinahrejo
dan Pangukrejo Desa Umbulharjo dengan beberapa kriteria : a) Korban erupsi Merapi
47
2010; b) Bekerja sehari-hari baik sebagai pedagang, menyediakan layanan jeep
wisata, menyewakan trail atau menjadi pengojek di Kinahrejo; (2) Dinas Pariwisata
dan Kebudayaan Kabupaten Sleman sebagai organisasi yang membawahi sektor
pariwisata di Sleman; (3) Pengelola wisata volcano tour Desa Umbulharjo sebagai
organisasi yang mendapat legalitas dari pemerintah Kabupaten Sleman untuk
mengelola wisata di Kinahrejo.
1.7.3 Pengumpulan Data
Data yang diperoleh dalam penelitian ini terbagi atas studi pustaka dan studi
lapangan. Studi pustaka dimaksudkan untuk memperoleh data sekunder berupa buku
teks yang berkaitan dengan aspek pariwisata, tesis, jurnal, berita koran baik berbentuk
hardcopy maupun softcopy yang membahas pariwisata setelah erupsi Gunung
Merapi tahun 2010. Data sekunder berfungsi untuk memperkuat analisis data baik di
awal, selama penelitian maupun saat penyusunan laporan penelitian, sehingga peneliti
memiliki orientasi lebih luas mengenai permasalahan yang dikaji dalam hal ini
mengenai sistem pengetahuan yang dimiliki oleh masyarakat setempat.
Studi lapangan dilakukan untuk melihat fenomena pariwisata yang ada di
lokasi penelitian dengan analisis data kualitatif. Data kualitatif diperoleh dengan :
a. Partisipasi observasi. Kerja partisipasi berarti peneliti ikut terlibat dalam kehidupan
masyarakat, yang seolah-olah menjadi warga masyarakat yang diteliti; sambil
berpartisipasi peneliti melakukan pengamatan dengan menggunakan instrumen
panca indera. Dengan demikian, partisipasi observasi adalah proses studi
48
berkenaan dengan kejadian sosio-budaya, yakni: hubungan-hubungan antar
penduduk, pengorganisasiannya, serta peristiwa sosio-budaya yang rutin sehari-
hari maupun yang periodik dan insidentil. Hasil yang didapat adalah tulisan
etnografi. Peneliti menulis tentang proses kehidupan rutin warga masyarakat yang
ia kaji dari perspektif emik atau the native point of views (Suhardi, 2011:7).
b. Wawancara. Wawancara dalam suatu penelitian bertujuan untuk mengumpulkan
keterangan tentang kehidupan manusia dalam suatu masyarakat serta pendirian-
pendirian mereka. Metode wawancara merupakan alat bantu metode observasi.
(Koentjaraningrat, 1977 : 129). Ada beberapa macam bentuk wawancara.
Wawancara yang paling mudah dilakukan adalah wawancara sambil lalu. Cara ini
biasanya digunakan untuk mendapatkan pengetahuan awal mengenai suatu daerah
atau masalah. Berdasarkan atas hasil dari wawancara sambil lalu, seorang peneliti
kemudian menyusun sejumlah pertanyaan yang bersifat memperdalam
pengetahuan yang telah diperoleh. Wawancara sambil lalu dapat dilakukan di
mana saja, kapan saja dan dengan siapa saja. Oleh karena wawancara ini umumnya
berlangsung dalam suasana informal, dan orang yang diwawancara biasanya tidak
menyadari bahwa dia sedang ditanya oleh seorang peneliti, maka jawaban yang
diberikan pada umumnya lebih jujur, dan karena itu pula tingkat kebenarannya
cukup tinggi.
Bentuk wawancara yang lain adalah wawancara mendalam. Wawancara
semacam ini dilakukan terhadap informan-informan tertentu yang dianggap atau
49
menurut keterangan banyak mengetahui masalah-masalah yang diteliti, atau dapat
memberikan keterangan yang cukup rinci mengenai berbagai macam hal yang
ingin diketahui. Informan semacam ini dapat diketahui dari hasil wawancara
sambil lalu yang telah dilakukan sebelumnya. Berbeda dengan wawancara
sebelumnya, wawancara mendalam biasanya dilakukan di tempat tertentu, pada
waktu tertentu, berdasarkan atas kesepakatan yang telah dibuat oleh peneliti
dengan orang yang akan diwawancara. (Ahimsa-Putra, 1997 : 7-8).
1.7.4 Analisis Data
Analisis, dalam bentuk yang bagaimanapun melibatkan suatu cara berpikir.
Analisis merujuk pada pengujian sistematis terhadap sesuatu untuk menentukan
bagian-bagiannya, hubungan di antara bagian-bagian, serta hubungan bagian-bagian
itu dengan keseluruhannya (Spradley, 1997:117). Analisis etnografis merupakan
penyelidikan berbagai bagian yang dikonseptualisasikan oleh informan untuk
menemukan pengetahuan budaya yang masih terpendam. Pengetahuan budaya
seorang informan secara sistematik berhubungan dengan kebudayaan secara
keseluruhan. Penggunaan berbagai macam cara untuk menganalisis budaya
mempunyai satu tujuan tunggal yaitu mengungkapkan sistem makna budaya yang
digunakan oleh masyarakat.
Langkah strategis untuk memudahkan analisis data adalah memahami bahasa
tineliti berikut dengan pencatatan istilah makna tertentu. Karena etnosains berangkat
dari pandangan masyarakat tineliti dengan mencoba menjelaskan berbagai gejala
50
sosial melalui penafsiran para pelaku budaya (Ahimsa-Putra, 1985 : 30). Untuk itu
dibutuhkan perhatian khusus pada istilah-istilah lokal berikut dengan interpretasi
tineliti atau informan untuk melihat budaya mereka. Setelah data yang dibutuhkan
terkumpul, maka proses selanjutnya adalah taksonomi bahasa, objek dipilah-pilah dan
diklasifikasikan menurut kategori yang cocok.
Langkah selanjutnya adalah analisis komponen yang meliputi keseluruhan
berbagai kontras yang teridentifikasi menjadi kategori-kategori budaya. prinsip
kontras menegaskan bahwa makna sebuah simbol dapat ditemukan dengan
menemukan bagaimana sebuah simbol berbeda dari simbol-simbol yang lain
(Spradley, 1997 : 205). Prinsip tersebut berfungsi untuk mengumpulkan aneka
kategori menjadi dimensi-dimensi yang berbeda. Sebagaimana uraian James Spradley
(1997) bahwa analisis komponen dapat mencakup prinsip kontras berikut dengan
pengkategorian istilah budaya.