Post on 16-Mar-2019
1
BAB I
PENDAHULUAN
1. Permasalahan
1.1 Latar Belakang Masalah
Putusan pengadilan merupakan bagian dari proses penegakan hukum.
Putusan pengadilan merupakan produk penegak hukum yang didasarkan pada hal-hal
yang relevan, secara yuridis yang muncul secara sah di persidangan. Kualitas suatu
putusan pengadilan menurut Artidjo Alkostar berkorelasi dengan profesionalisme,
kecerdasan moral dan kepekaan nurani dari seorang hakim.
Dalam upaya menemukan dan menerapkan keadilan dan kebenaran, putusan
pengadilan harus sesuai dengan tujuan asasi dari suatu putusan pengadilan tersebut.
Tujuan putusan pengadilan sesungguhnya harus mengandung hal-hal sebagai
berikut :
1) Harus mengandung solusi autoritatif, artinya memberikan jalan keluar dari
masalah hukum yang dihadapi oleh para pihak, dan tidak ada lembaga lain
selain badan peradilan yang lebih tinggi, yang dapat mengoreksi suatu
putusan pengadilan.
2) Harus mengandung efisiensi, yaitu cepat, sederhana, biaya ringan, karena
keadilan yang tertunda itu merupakan suatu ketidakadilan (justice delayed is
justice denied) tersendiri.
3) Harus sesuai dengan tujuan undang-undang yang dijadikan sebagai dasar
dalam putusan pengadilan tersebut.
2
4) Harus mengandung aspek stabilitas, yaitu putusan pengadilan harus
mengandung ketertiban sosial dan ketentraman masyarakat.
5) Harus mengandung fairness, yaitu suatu putusan pengadilan harus
memberikan kesempatan yang sama bagi pihak-pihak (dalam perkara pidana
yaitu pihak terdakwa atau jaksa) yang berperkara di pengadilan.1
Disamping hal-hal yang dikemukakan di atas, dalam perkara pidana
berdasarkan KUHAP, hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang,
kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah, ia memperoleh
keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah
yang bersalah melakukannya.
Berkaitan dengan fungsi putusan pengadilan harus memberikan kesempatan
yang sama bagi pihak-pihak yang berperkara di pengadilan, hal tersebut sudah
merupakan suatu prinsip universal yang menyatakan bahwa semua orang sama dan
mempunyai hak yang sama di hadapan hukum serta berhak atas perlindungan hukum
tanpa perlakuan atau sikap diskriminatif. Dan setiap orang berhak atas peradilan
yang efektif dari pengadilan nasional jika ada pelanggaran hak-hak asasi yang
dijamin oleh ketentuan peraturan perundang-undangan nasional.
Sejalan dengan asas tersebut, bahwa tidak seorangpun boleh ditangkap,
ditahan atau diperlalukan secara sewenang-wenang dan setiap orang berhak diadili
secara adil oleh pengadilan yang bebas dan tidak memihak, baik mengenai hak-hak
dan kewajiban-kewajibannya maupun dalam tuntutan pidana yang ditujukan kepada
terdakwa.
1 Artidjo Alkostar,2009, Dimensi Kebenaran dalam Putusan Pengadilan,Varia Peradilan, Majalah Hukum
Tahun XXIV Nomor. 281, Ikatan Hakim Indonesia (IKAHI), Jakarta, hal. 36-37.
3
Asas perlakuan yang sama dimuka hukum dan tidak membeda-bedakan
perlakuan (tanpa diskriminasi) merupakan hak dasar bagi setiap orang. Tersangka,
terdakwa maupun terpidana dalam proses peradilan pidana tidak boleh diperlakukan
sewenang-wenang. Hal ini sejalan dengan ketentuan Pasal 28 D ayat 1 Undang-
undang Dasar 1945, yang menyatakan bahwa : “Setiap orang berhak atas pengakuan,
jaminan, perlindungan dan kepastian hukum”, juga dalam Pasal 28 I ayat 2 Undang-
undang Dasar 1945 menentukan bahwa : “Setiap orang berhak bebas dari perlakuan
yang bersifat diskriminatif atas dasar apapun dan berhak mendapatkan perlindungan
terhadap yang bersifat diskriminatif itu.
Sebagai tindak lanjut (follow up) dari ketentuan dalam konstitusi tersebut,
hal itu juga terwujud dalam pasal dari Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009
tentang Kekuasaan Kehakiman yang menentukan : “ Pengadilan mengadili menurut
hukum dengan tidak membeda-bedakan orang”. Hal ini berarti bahwa setiap orang
dihadapan pengadilan harus diadili secara bebas, adil serta tidak memihak dan tidak
sewenang-wenang.
Sesuai prinsip due process of law, dimana dalam proses hukum yang adil
tersebut, setidak-tidaknya meliputi :
1. Perlindungan terhadap tindakan sewenang-wenang dari pejabat negara
2. Pengadilanlah yang berhak menentukan salah atau tidaknya terdakwa
3. Sidang pengadilan harus bersifat terbuka untuk umum, kecuali terhadap
perkara anak dan kesusilaan
4
4. Tersangka atau terdakwa harus diberikan jaminan untuk dapat membela
kepentingan dirinya. 2
Bila dicermati, ternyata perlindungan hak asasi manusia lebih besar
diberikan kepada tersangka atau terdakwa daripada korban dari tindak pidana itu
sendiri. Jadi KUHAP di bangun pada saat gencar-gencarnya perhatian dunia terhadap
hak-hak asasi manusia dari pelaku pidana, dari kesewenang-wenangan aparat
penegak hukum dengan mengabaikan hak asasi manusia korban yang menderita
akibat perbuatan pelaku dari tindak pidana itu sendiri. Hal ini terbukti dalam
KUHAP begitu minimnya ketentuan yang mengatur perlindungan terhadap korban
tindak pidana, yaitu dalam Kitab Undang-Undang Hukum acara pidana hanya diatur
dalam Pasal 98 sampai dengan Pasal 101, yang pada dasarnya ketentuan ini
memberikan peluang kepada korban tindak pidana tersebut, untuk menggabungkan
gugatan ganti kerugiannya kepada perkara pidana tersebut. Pasal 98 ayat (1)
menyebutkan :
Jika suatu perbuatan yang menjadi dasar dakwaan di dalam suatu pemeriksaan
perkara pidana oleh Pengadilan Negeri menimbulkan akibat bagi orang lain,
maka hakim ketua sidang atas permintaan orang itu dapat menetapkan untuk
menggabungkan perkara gugatan ganti kerugian kepada perkara pidana itu.3
Sementara Pasal 99 sampai Pasal 101 hanya berkaitan pada prosedur
penggabungan ganti kerugian tersebut.
Oleh karena itulah, korban bukan hanya dimaksud sebagai obyek dari suatu
tindak pidana, akan tetapi harus dipahami pula sebagai subyek yang perlu
2 I Gusti Ketut Ariawan,2008, Eksistensi Konsep Due Process of Law HAM dalam KUHAP, Bahan
Pendalaman Mata Kuliah (MK) Bantuan Hukum dan Penyantuan Terpidana, Program Magister Ilmu Hukum,
Universitas Udayana, Denpasar, hal 8.
3 Anonim,Departemen Kehakiman Republik Indonesia, 1996/1997, Undang-Undang Hukum Acara
Pidana, hal. 44
5
mendapatkan perlindungan secara sosial dan hukum. Korban tindak pidana adalah
mereka yang menderita jasmaniah dan rohaniah sebagai akibat dari tindakan orang
lain yang mencapai pemenuhan kepentingan diri sendiri atau orang yang
bertentangan dengan kepentingan dan hak asasi pihak yang dirugikan.4
Secara luas, pengertian korban bukan hanya sekedar korban yang menderita
secara langsung, akan tetapi korban tidak langsung pun juga mengalami penderitaan
yang dapat dikualifikasikan sebagai korban. Korban tidak langsung disini seperti
seorang istri kehilangan suami (seperti Suciwati yang kehilangan suaminya, Munir),
seorang anak kehilangan bapaknya, orang tua kehilangan anaknya dan seterusnya.
Bahwa korban atau keluarga korban dalam mengekspresikan tuntutan
terhadap pelaku tindak pidana tersebut kepentingannya telah diakomodasi oleh Jaksa,
karena dalam perkara pidana Jaksa sebagai pihak dalam berperkara di Pengadilan,
disamping mempresentasikan kepentingan negara dan masyarakat, juga
mempresentasikan kepentingan korban atau keluarga korban.
Bertitik tolak dari pemikiran pengadilan memberikan kesempatan yang
sama bagi pihak-pihak yang berpekara yaitu hal mana sudah merupakan sebagai
suatu prinsip universal yaitu bahwa semua orang pihak-pihak sama dan mempunyai
hak yang sama di hadapan hukum, oleh karena itulah Jaksa di samping mewakili
kepentingan negara dan masyarakat juga sebagai presentasi mewakili kepentingan
korban atau keluarga korban. Oleh karena itu Jaksa sebagai salah satu pihak dalam
perkara pidana, tidak ditentukan secara tegas kewenangannya untuk mengajukan
upaya hukum Peninjauan Kembali , seperti hak yang diberikan secara tegas kepada
4 Arief Gosita, 1993. Masalah Korban Kejahatan., Akademika Pressindo,Jakarta hal. 262
6
terpidana. Namun dalam perkembangan praktek peradilan upaya hukum Peninjauan
Kembali yang diajukan oleh Jaksa /Penuntut Umum telah dikabulkan oleh
Mahkamah Agung. Hal ini diatur dalam Pasal 263 ayat 1 KUHAP tidak secara
tegas mengaturnya, dimana Pasal 263 ayat 1 KUHAP menyatakan sebagai berikut :
Terhadap putusan Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap,
kecuali putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum, terpidana atau ahli
warisnya dapat mengajukan permintaan Pengajuan Kembali kepada Mahkamah
Agung.
Alasan-alasan yang dijadikan oleh Mahkamah Agung dalam mengabulkan
permohonan Peninjauan Kembali oleh Jaksa/Penuntut Umum, misalnya dapat dilihat
dalam perkara terdakwa Joko Soegiarto Tjandra, Nomor 12 PK/Pid.Sus/2009,
tanggal 11 Juni 2009, yaitu :
1. Pasal 244 KUHAP menegaskan putusan bebas yang secara tegas tidak
dapat dimintakan permohonan kasasi, namun melalui penafsiran
terhadap Pasal 244 KUHAP telah diciptakan aturan hukum baru
berupa putusan bebas murni tidak dapat dimintakan kasasi, putusan
bebas tidak murni dapat dimintakan kasasi dan penafsiran ini lalu
menjadi yurisprudensi tetap Mahkamah Agung.
2. Pasal 21 Undang-undang Nomor 14 tahun 1970 jo Pasal 23 ayat (1)
Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004 (sekarang Pasal 24 ayat (1)
Undang-undang Nomor 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan
Kehakiman), dimana ketentuan Pasal ini ditafsirkan bahwa di dalam
perkara pidana selalu terdapat dua pihak yang berkepentingan yaitu
terdakwa dan Kejaksaan yang mewakili kepentingan umum (negara).
Oleh karena itu, pihak yang berkepentingan yang disebut dalam Pasal
7
21 Undang-undang Nomor 14 tahun 1970 (sekarang Pasal 24 ayat
(1) Undang-undang Nomor 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan
Kehakiman) tersebut ditafsirkan adalah Kejaksaan yang tentunya juga
berhak memohon pemeriksaan Peninjauan Kembali ke Mahkamah
Agung.
3. Pasal 263 ayat (3) menurut penafsiran Mahkamah Agung Republik
Indonesia, maka ditujukan kepada Jaksa oleh karena Jaksa/Penuntut
Umum adalah pihak yang paling berkepentingan agar putusan Hakim
diubah, sehingga putusan yang berisi pernyataan kesalahan terdakwa
tapi tidak diikuti pemidanaan dapat diubah dengan diikuti pemidanaan
terhadap terdakwa.
4. Berdasarkan asas legalitas serta penerapan asas keseimbangan hak
asasi antara kepentingan perseorangan (termohon Peninjauan
Kembali ) dengan kepentingan umum, bangsa dan negara di lain
pihak, di samping perseorangan (terdakwa) juga kepentingan umum
yang diwakili Kejaksaan tersebut dapat juga melakukan Peninjauan
Kembali (PK).
5. Mahkamah Agung sebagai badan peradilan tertinggi di negara
Republik Indonesia bertugas untuk membina dan menjaga agar semua
hukum dan Undang-undang diterapkan secara tepat dan adil, karena
itu Mahkamah Agung akan mengisi kekosongan dalam hukum acara
pidana tentang masalah Peninjauan Kembali putusan Kasasi perkara
pidana yang ternyata ada hal-hal yang belum diatur oleh KUHAP
8
dengan cara menciptakan hukum acara sendiri (yurisprudensi) demi
untuk adanya kepastian serta mengakomodasi kepentingan yang
belum diatur dalam hukum acara pidana.
6. Berdasarkan argumentasi yuridis sebagaimana disebutkan di atas
maka Mahkamah Agung berpendirian bahwa secara formal
permohonan Kejaksaan untuk Peninjauan Kembali (PK) terhadap
putusan kasasi Mahkamah Agung Nomor 398 K/Pid/1995 tanggal 29
Septemer 1995 dapat diterima oleh Mahkamah Agung RI sehingga
dapat diperiksa kembali.
Mahkamah Agung atas dasar pertimbangan untuk memelihara keseragaman
putusan Mahkamah Agung (consistency in court decision), maka Mahkamah Agung
dalam memeriksa dan mengadili perkara Peninjauan Kembali terpidana tersebut,
akan mengikuti pendapat Mahkamah Agung dalam putusan-putusannya yang
terdahulu (yaitu putusan tanggal 25 Oktober 1996 Nomor 55 PK/Pid/1996, putusan
Mahkamah Agung tanggal 2 Agustus 2001 Nomor 3 PK/Pid/2001 dan putusan
Mahkamah Agung tanggal 25 Januari 2008 Nomor 109 PK/Pid/2007) tersebut diatas,
yang secara formal telah mengakui hak atau wewenang Jaksa/Penuntut Umum untuk
mengajukan permintaan Peninjauan Kembali .
Ternyata upaya-upaya hukum Peninjauan Kembali oleh Jaksa/Penuntut
Umum yang dibenarkan oleh Mahkamah Agung, khususnya dalam Putusan Nomor
12 PK/Pid.Sus/2009 atas nama terdakwa Joko Soegiarto Tjandra, ternyata banyak
pihak-pihak yang tidak sependapat dengan pendirian Mahkamah Agung tersebut,
antara lain :
9
1. OC. Kaligis, SH berpendapat bahwa :
Sebenarnya Kitab Undang-Undang Hukum acara pidana (KUHAP)
berkaitan dengan Peninjauan Kembali (PK) sebagai upaya hukum luar
biasa amat sangat jelas. Pasal 263 KUHAP dan penjelasan tidak
membuka peluang bagi Jaksa untuk melakukan upaya hukum
Peninjauan Kembali (PK).
Sayang, upaya coba-coba Jaksa mendapatkan justifikasi dari judex
juris. Kalau hukum acara yang merupakan lex certa ditabrak, maka
terbuka peluang untuk menabrak pasal-pasal lain di dalam
KUHAP.5
2. Herman Suryokumoro, berpendapat bahwa :
Bahwa hukum Peninjauan Kembali dalam KUHAP merupakan suatu
sistem. Oleh sebab itu, menolak putusan Mahkamah Agung yang
membenarkan Peninjauan Kembali oleh Jaksa/Penuntut Umum,
dengan alasan bahwa putusan Mahkamah Agung itu sudah keluar dari
sistem. Suatu sistem hukum yang berpihak pada landasan Peninjauan
Kembali hanya ditujukan untuk mengembalikan keadilan dan hak-hak
terdakwa yang telah dirampas oleh negara secara tidak sah. Putusan
Mahkamah Agung itu bertentangan dengan jiwa dibentuknya lembaga
Peninjauan Kembali .6
3. Laden Marpaung, berpendapat bahwa :
5. H. Adami Chazawi, 2009 Lembaga Peninjauan Kembali (PK) Perkara Pidana,Penegakan Hukum
dalam Penyimpangan Praktek dan Peradilan Sesat, Penerbit Sinar Grafika,Jakarta hal. 5 (selanjutnya disebut
H.Adami Chazawi I)
6 Ibid. hal. 7-8
10
- Pengajuan Permohonan Kembali oleh Jaksa/Penuntut Umum selama
ini belum lumrah, sebagaian para pakar telah mengungkapkan
keberatan atau ketidak setujuan pendapat-pendapat para pakar tersebut
ada yang berbeda meremehkan Mahkamah Agung.7
4. Adami Chazani, berpendapat :
- Bahwa putusan Mahkamah Agung yang membenarkan alasan
pengajuan permintaan Peninjauan Kembali Jaksa/Penuntut Umum,
merupakan putusan yang dengan jelas memperlihatkan kekhilafan
hakim atau suatu kekeliruan yang nyata sebagaimana dimaksud Pasal
263 ayat 2 huruf c KUHAP hal ini dapat dimasukkan ke dalam
putusan peradilan sesat dalam hukum, bukan sesat dalam hal dan
karena fakta8
Bukan hanya dikalangan para pakar saja yang tidak sependapat dengan
upaya hukum Peninjauan Kembali Jaksa/Penuntut Umum, juga sikap tidak setuju
tersebut juga ditunjukkan oleh anggota majelis yang menangani perkara Nomor
12.PK/Pid.Sus/2009 atas nama terdakwa Joko Soegiarto Tjandra, yang mengambil
posisi dissenting opinion yaitu
a. Komariah E. Sapardjaja, dengan pendapatnya sebagai berikut :
- Bahwa dalam sejarah pembentukan KUHAP, masalah Peninjauan
Kembali disampaikan oleh pemerintah dalam Rapat Paripurna DPR
tanggal 9 Oktober 1979 (vide Sejarah Pembentukan Undang-Undang
7 Laden Marpaung,2000, Perumusan Memori Kasasi dan Peninjauan Kembali Perkara Pidana, Sinar
Grafika, Jakarta, hal 84-85 (selanjutnya disebut Laden Marpaung I) 8 Adami Chazawi, Op.cit. hal 36
11
Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum acara
pidana, disusun oleh Direktorat Jenderal Hukum dan Perundang-
undangan Depertemen Kehakiman RI, Jakarta, Jakarta, 2 April 1982,
halaman 119). Masalah Peninjauan Kembali tersebut telah ditanggapi
oleh berbagai Fraksi di DPR, bahwa “Lembaga Peninjauan Kembali
ini justru dijadikan untuk melindungi kepentingan terpidana” sehingga
tidak sulit untuk disepakati.
- Bahwa Pasal -Pasal tentang Peninjauan Kembali, harus ditafsirkan
secara sistematis dengan Pasal 3 KUHAP dan Pasal 182 ayat (1)
huruf b, yang menyatakan bahwa : “dengan ketentuan bahwa
terdakwa atau Penasehat Hukum selalu mendapat giliran terakhir”,
maka jelaslah bahwa Peninjauan Kembali adalah juga upaya hukum
luar biasa bagi terpidana, dan bukan bagi Jaksa/Penuntut Umum.
- Bahwa dalam bagian “menimbang” dalam Undang-Undang RI Nomor
8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana
butir c, telah digariskan “bahwa Pembangunan Nasional di bidang
hukum acara pidana adalah agar masyarakat menghayati hak dan
kewajibannya dan untuk meningkatkan pembinaan sikap para
pelaksana penegak hukum sesuai dengan fungsi dan wewenang
masing-masing ke arah tegaknya hukum, keadilan dan perlindungan
terhadap harkat dan martabat manusia”.
- Bahwa alasan-alasan yang dikemukakan diatas adalah alasan yuridis
untuk membantah dalil Jaksa/Penuntut Umum (Pemohon Peninjauan
12
Kembali, pada halaman 6 Memori Peninjauan Kembali ), bahwa
dilarang Jaksa/Penuntut Umum mengajukan Peninjauan Kembali .
- Bahwa dalam sejarah perjuangan hak asasi manusia khususnya
tentang asas legalitas dalam KUHAP ( jo Pasal 3 KUHAP) yang
merupakan hasil perjuangan rakyat terhadap rezim kekuasaan absolut
pada zaman ancient regime, sehingga diperlukan jaminan kepastian
hukum bagi perlindungan individu dari kesewenang-wenangan
penguasa, adalah alasan historis utuk membantah dalil Jaksa/Penuntut
Umum seperti disebutkan di atas.
b. Suwardi, berpendapat :
- Bahwa alasan-alasan Peninjauan Kembali Jaksa/Penuntut Umum
tidak dapat dibenarkan, oleh karena :
1. Pasal 23 ayat (1) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang
Kekuasaan Kehakiman menerapkan peraturan secara umum
tentang Peninjauan Kembali , sedangkan Peninjauan Kembali
dalam perkara pidana diatur secara khusus dalam Pasal 263
KUHAP.
2. Pasal 263 ayat (1) KUHAP menentukan, “Terhadap putusan
pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, kecuali
putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum, terdakwa
atau ahli warisnya dapat mengajukan permintaan Peninjauan
Kembali kepada Mahkamah Agung”.
3. Bahwa ketentuan tersebut bersifat limitatif :
13
a) Bahwa putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum
tidak dapat diajukan permintaan Peninjauan Kembali .
b) Yang berhak mengajukan permintaan Peninjauan Kembali
hanya terdakwa atau ahli warisnya. Jaksa/Penuntut Umum
tidak dapat mengajukan Peninjauan Kembali .9
Atas pendapat yang kontra itu, ada pakar hukum yang sependapat dengan
pendirian Mahkamah Agung dalam mengabulkan upaya hukum Peninjauan Kembali
Jaksa/ Penuntut Umum, yaitu :
- Muhamad Alim, berpendapat bahwa :
- Apabila sebagai narapidana, karena putusan perkaranya sudah
berkekuatan hukum tetap dan sudah dieksekusi, sebab
permohonan Peninjauan Kembali tidak menunda eksekusi sesuai
ketentuan Pasal 268 ayat 2 KUHAP, masih diberikan kesempatan
untuk mengajukan permohonan Peninjauan Kembali, yang
ketentuan ini adalah ketentuan hukum acara yang harus
memperlakukan sama terhadap semua pihak betapa tidak adilnya
jika Jaksa/Penuntut Umum yang mewakili masyarakat pada
umumnya, korban pada khususnya, tidak diberi kesempatan yang
sama untuk mengajukan permohonan Peninjauan Kembali .
Adalah suatu perlakuan yang tidak sama (unequal treatment)
apabila seorang narapidana sangat dilindungi, sementara korban
yang dalam perkara pidana diwakili oleh Jaksa/Penuntut Umum
tidak diberikan perlindungan yang sepadan dengan terpidana
dalam hal ada Novum untuk memohon Peninjauan Kembali.
terpidana sudah nyata, berdasarkan putusan yang telah
memperoleh kekuatan hukum tetap adalah orang yang bersalah
masih diberi kesempatan untuk mengajukan Peninjauan Kembali
sementara korban yang diwakili oleh Jaksa/Penuntut Umum
adalah orang yang baik yang telah dizalimi oleh terpidana, tetapi
tidak diberi kesempatan untuk mengajukan permohonan
Peninjauan Kembali.10
9 Ibid. hal. 134-135
10 Budi Suharianto,2012, Peninjauan Kembali Putusan Pidana oleh Jaksa Penuntut Umum, Pusat
Penelitian dan Pengembangan Hukum dan Peradilan Mahkamah Agung, Jakarta,hal 22-23.
14
Terjadinya perbedaan pendapat diantara para pakar hukum terhadap
dikabulkannya upaya hukum Peninjauan Kembali Jaksa/Penuntut Umum oleh
Mahkamah Agung, akan tetapi Mahkamah Agung tetap secara konsisten terhadap
pendiriannya tersebut, hal ini terbukti dengan dikabulkannya upaya hukum
Peninjauan Kembali Jaksa/Penuntut Umum dalam perkara terdakwa Ram Gulunal
pada tahun 2001, pada tahun 2006 dalam perkara terdakwa Soetyawati dan terakhir
pada tahun 2007 Mahkamah Agung juga menerima permohonan Peninjauan Kembali
Jaksa/Penuntut Umum dalam perkara Pollycarpus.11
Melihat problem dalam permasalahan upaya hukum Peninjauan Kembali,
bagaimana sebaiknya nanti upaya hukum Peninjauan Kembali diatur pada masa yang
akan datang, apabila Jaksa/Penuntut Umum ternyata dapat membuktikan adanya
kesalahan atau memiliki alasan-alasan seperti yang ditentukan dalam Pasal 263ayat 1
KUHAP, ketika putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.
Namun harus disadari dalam praktek peradilan bahwa putusan pengadilan yang telah
memperoleh kekuatan hukum tetap ternyata terdapat kekeliruan atau kesalahan baik
mengenai faktanya maupun dalam penerapan hukumnya. Atas peristiwa tersebut
lembaga upaya hukum Peninjauan Kembali sebagai sarana rekorektif terhadap
putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, diharapkan benar-benar dapat
menyelesaikan permasalahan hukum yang terjadi, tanpa meninggalkan asas keadilan
maupun asas kepastian hukum. Oleh karena itu untuk memahami upaya hukum
Peninjauan Kembali itu secara menyeluruh, perlu dikaji secara utuh, lembaga upaya
11 Ibid, hal 3
15
hukum Peninjauan Kembali dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Perdata
(KUHAP).
Sesuai ketentuan Pasal 263 ayat 1 KUHAP bahwa yang dapat mengajukan
upaya hukum Peninjauan Kembali : “hanya terpidana atau ahliwarisnya”. Dalam
ketentuan tersebut seolah-olah upaya hukum Peninjauan Kembali, menutup
kemungkinan hak Jaksa/Penuntut Umum untuk dapat mengajukan upaya hukum
Peninjauan Kembali.
Kalau disimak secara seksama dan mendalam dari ketentuan Pasal 263 ayat
1 KUHAP tersebut, disana disebutkan “..........kecuali putusan bebas atau lepas dari
segala tuntutan hukum, terpidana atau ahli warisnya dapat mengajukan permintaan
Peninjauan Kembali kepada Mahkamah Agung”, menjadi pertanyaan sekarang,
terhadap putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum, siapa yang dapat
mengajukan permintaan Peninjauan Kembali tersebut, sedangkan penjelasan Pasal
263 ayat 1 KUHAP, hanya disebutkan cukup jelas, menurut penulis dalam ketentuan
tersebut terdapat “norma kosong”.
Begitu juga dalam ketentua Pasal 263 ayat 3 ditentukan bahwa : “ Atas
dasar alasan yang sama sebagaimana tersebut Pasal 263 ayat 2 (dari Pasal 263
KUHAP), terhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum
tetap dapat diajukan permintaan permohonan Peninjauan Kembali apabila dalam
putusan itu sudah dinyatakan terbukti tapi tidak diikuti suatu pemidanaan. Dalam
ketentuan Pasal 263 ayat 3 KUHAP tersebut juga tidak menjelaskan siapa yang dapat
mengajukan upaya hukum Peninjauan Kembali tersebut. Ternyata dalam Penjelasan
16
dari Pasal 263 ayat 3 KUHAP juga hanya dinyatakan cukup jelas, oleh karena itu
dalam ketentuan tersebut juga dapat dipandang sebagai “norma kosong”.
Atas ketidak jelasan dari pada ketentuan Pasal 263 ayat 1 KUHAP maupun
Pasal 263 ayat 3 KUHAP itulah, telah dijadikan alasan oleh Mahkamah Agung
dalam mengabulkan permintaan upaya hukum Peninjauan Kembali yang diajukan
oleh Jaksa/Penuntut Umum dalam perkara Joko Soegiarto Tjandra, perkara Nomor :
12 PK/Pid Sus /2009, tanggal 11 Juni 2009, dalam pertimbangannya pada angka 3
sebagaimana telah diuraikan diatas.
Selanjutnya hemat penulis, terlepas dari diskursus terhadap upaya hukum
hukum Peninjauan Kembali Jaksa/Penuntut Umum tersebut, namum yang menjadi
masalahnya sekarang bagaimana pengaturan hak mengajukan upaya hukum
Peninjauan Kembali bagi terpidana terkait dikabulkan upaya hukum Peninjauan
Kembali Jaksa/Penuntut Umum, sehubungan keluarnya Surat Edaran Mahkamah
Agung Nomor 10 Tahun 2009.
Berdasarkan atas permasalahan tersebut diatas, penulis tertarik dan
memandang perlu untuk membahas dan menulis tesis ini yang berjudul :
“Pengaturan hak mengajukan upaya hukum Peninjauan Kembali bagi terpidana,
(terkait dikabulkannya upaya hukum Peninjauan Kembali Jaksa/Penuntut Umum”)
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang dan isu hukum yang telah diuraikan
sebagaimana tersebut di atas, maka permasalahan yang dikaji dalam penelitian tesis
ini adalah :
17
1. Bagaimanakah pengaturan hak mengajukan upaya hukum Peninjauan
Kembali bagi terpidana terkait dikabulkannya upaya hukum Peninjauan
Kembali Jaksa/Penuntut Umum?
2. Bagaimanakah sebaiknya pengaturan upaya hukum Peninjauan Kembali
dimasa datang untuk tetap dapat mencerminkan rasa keadilan bagi pencari
keadilan?
1.3 Ruang Lingkup Masalah
Suatu permasalahan yang akan dibahas perlu dibatasi pada segi tertentu
yang dianggap penting serta yang perlu diketahui. Dalam setiap penulisan karya
ilmiah perlu diadakan pembahasan secara tegas mengenai hal-hal yang perlu
dijadikan inti permasalahan yang akan dibahas. Bertitik tolak dari hal tersebut guna
mencegah cakupan permasalahan pengaturan hak mengajukan upaya hukum
Peninjauan Kembali bagi terpidana terkait dikabulkannya upaya hukum Peninjauan
Kembali Jaksa /Penuntut Umum, diperlukan batasan-batasan dimana ruang lingkup
pembahasannya adalah bagaimana hak terpidana untuk mengajukan upaya hukum
Peninjauan Kembali yang diberikan oleh undang-undang, terhadap ketentuan
Peninjauan Kembali hanya dapat diajukan satu kali (Pasal 24 ayat 2 Undang-
undang 48 tahun 2009), ketika upaya hukum Peninjauan Kembali oleh
Jaksa/Penuntut Umum dikabulkan oleh Mahkamah Agung.
1.4 Tujuan Penelitian
a. Tujuan Umum :
18
Secara Umum penelitian ini untuk mendiskripsikan mengenai upaya
hukum Peninjauan Kembali oleh Jaksa/Penuntut Umum dalam praktek
peradilan di Indonesia
b. Tujuan Khusus :
1. Untuk mengetahui dasar pertimbangan dari Mahkamah Agung dalam
mengabulkan upaya hukum Peninjauan Kembali oleh Jaksa Penuntut
Umum.
2. Untuk mengatahui, apakah terpidana dapat mengajukan Peninjauan
Kembali, terkait dikabulkannya, Peninjauan Kembali oleh
Jaksa/Penuntut Umum.
3. Untuk menemukan konsep hukum bagaimana upaya hukum
Peninjauan Kembali sebaiknya diatur secara tegas di masa yang akan
datang, supaya tidak menimbulkan multi-tafsir atas dasar
pertimbangan keadilan dan perikemanusiaan.
1.5 Manfaat Penelitian
a. Manfaat Teoritis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat berguna untuk kalangan
praktisi dan kalangan akademisi dalam mengembangkan ilmu
pengetahuan hukum acara pidana, yang ternyata sekarang paradigma yang
berkembang bukan semata-mata hanya memberikan perlindungan hukum
terhadap pelaku tindak pidana saja, tetapi juga memberikan perlindungan
hukum terhadap korban tindak pidana itu juga tidak kalah pentingnya
untuk diperhatikan.
19
b. Manfaat Praktis
Hasil dari penelitian ini dapat dijadikan bahan masukan dalam
rangka perubahan hukum acara pidana yang akan datang, agar upaya
hukum Peninjauan Kembali tidak lagi menimbulkan mutitafsir.
1.6 Originalitas Penelitian
Sepengetahuan penulis, Penulis menemukan tesis yang judulnya hampir
mirip dengan judul tesis yang penulis ajukan :
1. Bona Fernandez MT. Simbolon, tesis tahun 2009 Universitas Sumatera Utara,
Medan, dengan judul : Kewenangan Jaksa Dalam Melakukan Peninjauan
Kembali Dalam Perkara Pidana.
Dalam tesis ini masalah yang dikaji mengenai :
a) Apakah Jaksa/Penuntut Umum berwenang untuk melakukan
permohonan Peninjauan Kembali menurut perundang-undangan
yang berlaku di Indonesia.
b) Bagaimana dengan praktek Peradilan Indonesia apakah yang
membenarkan Jaksa/Penuntut Umum untuk melakukan
permohonan Peninjauan Kembali terhadap putusan pengadilan
yang berkekuatan hukum tetap.
c) Alasan-alasan apakah yang digunakan oleh Jaksa/Penuntut Umum
mengajukan Peninjauan Kembali dalam praktek peradilan.
2. Rio Adhitya Wicaksono, tesis tahun 2010, Universitas Pembangunan
Nasional Veteran, Jawa Timur – Surabaya, dengan judul : Kewenangan
Jaksa/Penuntut Umum Dalam Pengajuan Peninjauan Kembali Perkara
20
Tindak Pidana Korupsi, studi kasus Putusan Mahkamah Agung Nomor 12 /
Pid.Sus / 2009, terpidana Joko Sugiarto Tjandra.
Dalam tesis ini masalah yang dikaji mengenai :
a) Mengapa Jaksa/Penuntut Umum mengajukan upaya hukum
Peninjauan Kembali dalam perkara tindak pidana korupsi.
b) Bagaimana cara pembuktian Novum (keadaan baru) dalam
kehilafan hakim.
c) Apa dasar pertimbangan Mahkamah Agung mengabulkan
Peninjauan Kembali Jaksa/Penuntut Umum dalam praktek tindak
pidana korupsi.
Bila judul tesis tersebut bermiripan akan tetapi permasalahan dan penyajian
dari penelitian ini tidaklah sama dengan penelitian-penelitian tersebut. Permasalahan
dan penyajian dalam penelitian ini merupakan hasil dari pemikiran dan ide penulis
sendiri yang di dasarkan pada referensi buku-buku dan informasi. Maka berdasarkan
pada alasan-alasan tersebut maka dapat disimpulkan bahwa penelitian ini adalah asli
dan dapat dipertanggung jawabkan kebenarannya secara ilmiah, karena penekanan
pada penelitian ini belum pernah memperoleh kajian oleh peneliti-peneliti lainnya.
Oleh karena itu penelitian yang penulis lakukan dapat dikemukakan bersifat orisinal
dan layak untuk dijadikan sebagai obyek penulisan dalam bentuk tesis.
1.7 Landasan Teoritis dan Kerangka Berfikir
1.7.1 Landasan Teoritis
Sebagai landasan untuk membahas permasalahan penelitian maka
diperlukan landasan teori. Landasan teori sebagai landasan berfikir yang
21
bersumber dari suatu teori yang sering diperlukan sebagai tuntutan untuk
mengucapkan berbagai permasalahan dalam sebuah penelitian. Landasan
teori tersebut juga merupakan upaya untuk mengidentifikasi teori-teori
hukum, konsep-konsep hukum, asas-asas hukum serta norma-norma
hukum.12
Dalam tesis (tulisan) ini tentang Pengaturan Hak Mengajukan
Upaya Hukum Peninjauan Kembali bagi terpidana (terkait dikabulkannya
Upaya Hukum Peninjauan Kembali Jaksa/Penuntut Umum), akan
dibahas lebih luas dan lebih mendalam. Sebagaimana upaya hukum
(rechts middelen) lainnya, seperti perlawanan, banding, kasasi dimana
upaya hukum Peninjauan Kembali dalam proses peradilan pidana dapat
dikatakan bagian dari proses penegakan hukum sebagaimana pendapat
dari Bagir Manan. 13 Penegakan hukum di Indonesia sejalan dengan
perkembangan masyarakat telah banyak mengalami pergeseran
peradigma, sesuai KUHAP telah terjadi perlakuan yang cukup besar
terhadap tersangka atau terdakwa, dimana tersangka atau terdakwa, sejak
pada tingkat penyidikan sudah dapat didampingi oleh Penasehat Hukum.
Upaya penegakan supremasi hukum, menurut Nyoman Serikat
Putra Jaya, harus ditegakkan asas persamaan didepan hukum (equality
before the law) yang didukung oleh Kekuasaan Kehakimanyang
merdeka dari segala pengaruh (baik internal maupun eksternal) sebagai
12 Anonim, 2008, Buku Pedoman Pemeriksaan Usulan Penelitian dan Tesis Program Magister Ilmu
Hukum, Universitas Udayana, hal 10. 13 Bagir Manan,2005, “Penegakan Hukum yang Berkeadilan,” dalam Varia Peradilan Tahun ke XX
Nomor 241, Ikatan hakim Indonesia (IKAHI), Jakarta (selanjutnya disebut Bagir Manan I), hal 10.
22
langkah dalam menciptakan sistim checks and balances antara kekuasaan
eksekutif, legislatif dan yudikatif agar tidak terjadi dominasi kekuasaan
oleh salah satu cabang penyelenggaraan negara tersebut. 14
Terkait dengan proses penegakan hukum, menurut Bagir Manan
terdapat dua aspek penting dalam keberhasilan penegakan hukum
tersebut, yaitu tata cara penegakan hukum (prosudural justice). 15 Tata
cara dimaksud adalah tata cara untuk mewujudkan keadilan, karena
menurut Bagir Manan, tujuan mewujudkan keadilan hanya dapat dicapai
dengan cara-cara yang adil pula. Penegakan hukum sebagai suatu proses
menurut Wayne La Favre sebagaimana dikutif Soerjono Soekamto, pada
hakekatnya merupakan penerapan diskresi yang menyangkut membuat
keputusan yang tidak secara ketat diatur oleh kaedah hukum, akan tetapi
mempunyai unsur penilaian pribadi. 16
Berkaitan dengan pendapat-pendapat tersebut diatas, dalam
pandangan Satjipto Rahardjo, menyatakan penegakan hukum pada
hakekatnya berbicara tentang penegakan ide-ide serta konsep-konsep
yang notabene adalah abstrak. Dikatakan demikian karena pada
hakekatnya hukum mengandung ide atau konsep-konsep yang dapat
digolongkan sebagai sesuatu yang abstrak. Karenanya Satjipto Rahardjo
mengelompokkan pendapat Gustav Radbruch sebagai yang abstrak
14 Nyoman Serikat Putra Jaya, 2008, Beberapa Pemikiran Kearah Pengembangan Hukum Pidana, PT.
Citra Aditya Bakti, Bandung, hal 132. 15 Bagir Manan, Op.cit hal 10. 16 Soerjono Soekamto, 2008, Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, PT Raja Grafindo
Persada, Jakarta, hal 7.
23
tersebut termasuk ide tentang keadilan, kepastian hukum dan
kemanfaatan sosial. 17
Bertitik tolak dari pendapat-pendapat para sarjana tersebut, dapat
dikatakan bahwa upaya hukum (rechts middlelen) baik perlawanan,
banding, kasasi maupun Peninjauan Kembali merupakan bagian dari
proses penegakan hukum, karena pada hakekatnya upaya hukum (rechts
middelen) juga merupakan upaya mewujudkan ide mencapai keadilan
ataupun kepastian hukum serta kemanfaatan sosial.
Sebagaimana yang ditentukan dalam Pasal 1 angka 12 dari Kitab
Undang-undang Hukum Acara Pidana bahwa upaya hukum (rechts
middlelen) adalah hak terdakwa atau penuntut umum untuk menerima
putusan pengadilan yang berupa perlawanan atau banding atau kasasi
atau hak terpidana untuk mengajukan permohonan Peninjauan Kembali
serta menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini (KUHAP).
Secara singkat eksistensi upaya hukum tersebut adalah upaya untuk
mendapatkan keadilan dan kebenaran materiil (materiil waarheid) bagi
terdakwa/terpidana maupun Jaksa/Penuntut Umum dari pengadilan yang
lebih tinggi. 18
Berdasarkan Pedoman Pelaksanaan Kitab Undang-undang Hukum
Acara Pidana, maksud dari upaya hukum pada pokoknya adalah untuk
memperbaiki kesalahan yang dibuat oleh instansi yang sebelumnya dan
17 Satjipto Rahardjo, 2009, Penegakan Hukum, Suatu Tinjauan Sosiologis, Genta Publishing, Yogyakarta,
(selanjutnya disebut Satjipto Raharjo I) hal 12. 18 Lilik Mulyadi, 2007, Putusan Hakim dalam Hukum Acara Pidana, Teori, Praktek, Tehnik Penyusunan
dan Permasalahannya, PT.Citra Aditya Bakti, Bandung, hal 210.
24
untuk kesatuan dalam peradilan.19 Disamping itu Martiman
Prodjohamidjojo juga menyatakan bahwa upaya hukum adalah alat untuk
memperbaiki kesalahan-kesalahan atas putusan hakim. 20
Adapun tujuan daripada upaya hukum itu sendiri pada dasar
sebagai berikut:
a. Diperolehnya kesatuan dan kepastian dalam hal menyatakan
peradilan (operasi justice)
b. Melindungi tersangka terhadap tindakan-tindakan yang bersifat
sewenang-wenang dari hakim
c. Memperbaiki kealpaan –kealpaan dalam menjalankan peradilan
d. Usaha dari para pihak, baik terdakwa maupun Jaksa memberikan
keterangan baru (novum).
Peninjauan Kembali (herzeining) sebagai upaya hukum luar biasa,
mulai serius dibicarakan setelah munculnya kasus Sengkon dan Karta.
Karena pada saat itu telah terjadi kesalahan negara yang telah terlanjur
menghukum Sengkon dan Karta, yang kemudian terbukti tidak bersalah
karena itu diterbitkan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 tahun 1980
yang sifatnya sementara. Sifat sementara ini dikarenakan hukum acara
mengenai upaya hukum Peninjauan Kembali tidak seharusnya dibuat
dalam bentuk Peraturan Mahkamah Agung, melainkan harus melalui
undang-undang. Namun dalam keadaan yang sangat mendesak
19 Anonim, 1982, Pedoman Pelaksanaan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana, Yayasan
Pengayoman, Jakarta, hal 159. 20 Martiman Prodjohamidjojo, 1982, Komentar Atas Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana,Jakarta,
hal 144.
25
Mahkamah Agung kembali mengeluarkan Peraturan Mahkamah Agung
Nomor 1 Tahun 1969 yang sudah dicabut karena mendapat reaksi dari
pihak parlemen. Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 1980
dikeluarkan mengacu kepada Pasal 21 Undang-undang Nomor 14 Tahun
1970 tentang Pokok-pokok Kekuasaan Kehakiman. 21 Melalui Peraturan
Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 1980, upaya hukum Peninjauan
Kembali terhadap perkara pidana ketika itu menjadi dimungkinkan
sebagaimana diatur dalam Pasal 9 nya, untuk mengatasi perkara Sengkon
dan Karta. Selanjutnya setelah lahir Kitab Undang-undang Hukum Acara
itu, ketentuan upaya hukum Peninjauan Kembali telah diatur dalam
ketentuan Pasal 263 ayat 2 KUHAP.
Dalam perkembangan praktek peradilan selama ini, upaya hukum
Peninjauan Kembali bukan saja diajukan oleh terpidana atau ahli
warisnya, tetapi juga diajukan oleh Jaksa/Penuntut Umum. Adapun
beberapa perkara pidana yang diajukan oleh Jaksa/Penuntut Umum
upaya hukum Peninjauan Kembali, yang telah diputus oleh Mahkamah
Agung seperti perkara Muchtar Pahpahan, perkara Ram Gulumal alias
V.Ram (The Gandhi Memorial School), Soetiawati alias Ahua binti
Kartaningsih, perkara Joko Soegiarto Tjandra, serta perkara Pollycarpus
Budihari Priyanto, terlihat Mahkamah Agung telah menyimpang dari
ketentuan Pasal 263 KUHAP.disamping memperlihatkan kesan tidak
adanya konsistensi dalam penerapan Undang-undang (KUHAP) oleh
21 H.R, Otje Salman,S dan Anton F. Susanto, 2007, Teori Hukum, Mengingat, Mengumpulkan
dan Membuka Kembali, Refika Aditama, Bandung, hal 22.
26
Mahkamah Agung dalam mengadili perkara yang dimohonkan upaya
hukum Peninjauan Kembali, karena dalam penegakan hukum pidana
akan menimbulkan tidak adanya kepastian hukum dan juga menimbulkan
ketidak adilan karena Mahkamah Agung dengan Surat Edarannya Nomor
10 Tahun 2009 telah melarang permohonan upaya hukum Peninjauan
Kembali lebih dari satu kali dan memerintahkan Ketua Pengadilan
Tingkat Pertama dengan penetapannya untuk menyatakan permohonan
upaya hukum Peninjauan Kembali itu dinyatakan tidak dapat diterima,
bila permohonan Peninjauan Kembali diajukan lebih dari satu kali.
Padahal sesuai norma ketentuan Pasal 263 KUHAP bahwa yang berhak
mengajukan upaya hukum Peninjauan Kembali adalah terpidana atau ahli
warisnya, sementara karena perkembangan praktek saja, kemudian
Jaksa/Penuntut Umum dibolehkan mengajukan upaya hukum Peninjauan
Kembali semestinya untuk keadilan, bila kemudian setelah upaya hukum
Peninjauan Kembali oleh Jaksa/Penuntut Umum, ternyata kemudian
terpidana memiliki fakta hukum baru (novum) yang potensial dapat
melumpuhkan putusan sebelumnya, kepada terpidana juga harus
diberikan kesempatan atau dibuka ruang untuk dapat mengajukan
Peninjauan Kembali.
Untuk menjawab permasalahan tersebut perlu diklarifikasi secara
akademik melalui teori-teori yang berkaitan. Dalam Shorter Oxford
Dictionary dikatakan bahwa definisi teori adalah merupakan suatu skema
atau sistem gagasan atau pernyataan yang dianggap sebagai penjelasan
27
atau keterangan dari sekelompok fakta atau fenomena ........suatu
pernyataan tentang sesuatu yang dianggap sebagai hukum, prinsip umum
atau penyebab sesuatu yang diketahui atau diamati.22 Dalam tesis ini
teori-teori dimaksud untuk menggambarkan dan menjelaskan suatu
fenomena tertentu yang berkaitan dengan pengaturan hak, pengaturan
Upaya Hukum Peninjauan Kembali Bagi Terpidana (Terkait
Dikabulkannya Upaya Hukum Peninjauan Kembali Jaksa/Penuntut
Umum). Penguraian landasan teoritis ini berangkat dari teori atau konsep
antara lain :
1.7.1.1 Teori Keadilan dari John Rawls
Bahwa Pasal 263 ayat (1) sampai ayat (3) Kitab Undang-
Undang Hukum Acara Pidana, yang mengatur tentang upaya hukum
Peninjauan Kembali harus memberikan rasa keadilan, baik terhadap
pelaku tindak pidana tersebut maupun korban dari tindak pidana, dengan
memberikan keadilan prosedural kepada kedua pihak tersebut.
Sedangkan pihak korban, kepentingannya diwakili oleh Jaksa/Penuntut
Umum.
Sejalan dengan pemikiran di atas, dalam yurisprudensi tersebut
(Perkara Nomor 275 K/Pid/1983 tanggal 10 Desember 1983) dapat
dijelaskan antara lain dari pertimbangan hak asasi antara kepentingan
perseorangan (Termohon Peninjauan Kembali ) dengan kepentingan
umum, bangsa dan negara. Di lain pihak, disamping perseorangan
22 H.R, Otje Salman,S dan Anton F. Susanto, 2007, Teori Hukum, Mengingat, Mengumpulkan dan
Membuka Kembali, Refika Aditama, Bandung, hal 22.
28
(terdakwa) juga kepentingan umum yang diwakili kejaksaan tersebut
dapat pula melakukan Peninjauan Kembali .
Bahwa pertimbangan tersebut di atas, sesuai dengan model yang
bertumpu pada konsep “daad-dader-strafrecht”, yang oleh Muladi
disebut model “keseimbangan kepentingan”, yaitu model yang realistis
yang memperhatikan pelbagai kepentingan yang harus dilindungi hukum
pidana, yaitu kepentingan negara, kepentingan umum, kepentingan
individu, kepentingan pelaku tindak pidana dan kepentingan korban
kejahatan23 dan selaras pula dengan tujuan hukum dari filsafat hukum
Pancasila, yaitu pengayoman. Dimana hukum harus mengayomi semua
orang, baik yang menjadi tersangka, terdakwa atau terpidana maupun
korban tindak pidana.
Dalam praktek acapkali menghadapi kasus perkara yang dalam
penerapan hukumnya telah terjadi benturan kepentingan. Di satu sisi
kepentingan kepastian hukum yang bermuara pada aspek prosedural, dan
di sisi lain berhadapan dengan kepentingan kebenaran dan keadilan yang
bermuara pada kepentingan umum atau negara. Harus disadari bahwa
nilai keadilan dan kebenaran tidak dapat diperoleh dari fungsinya aspek
kepastian hukum, akan tetapi ditentukan oleh faktor keseimbangan aspek
perlindungan hukum terhadap korban maupun pelaku kejahatan. Oleh
karena itu, konsekuensinya semakin serius akibat dan sifat kejahatannya,
maka semakin besar pula tuntutan nilai keadilan yang harus dicapai dan
23 Muladi, 1995, Kapita Selekta Hukum Pidana, Bajan Penerbit Universitas Diponogoro, Semarang, hal 5
29
melebihi dari tuntutan nilai kepastian hukum. Dengan kata lain, agar
dapat mencapai nilai keadilan dan kebenaran yang lebih tinggi, hakim
harus berani mereduksi nilai kepastian hukum.24
Pendirian diatas sejalan dengan praktik peradilan yang terjadi
selama ini, seperti dalam beberapa putusan Mahkamah Agung yaitu :
dalam perkara Mochtar Pakpahan, Ram Gulumal alias V Ram (kasus The
Gandhi Memorial School ), Soetiyawati alias Ahua binti Kartaningsih,
Joko S Tjandra maupun Pollycarpus budihari Priyanto, telah terjadi
reduksi terhadap nilai kepastian hukum yang terkandung dalam norma
Pasal 263 ayat 1 KUHAP. Dalam beberapa putusan tersebut Mahkamah
Agung dalam tingkat Peninjauan Kembali telah menerima permintaan
upaya hukum Peninjauan Kembali yang diajukan Jaksa/Penuntut Umum.
Putusan Mahkamah Agung mana telah menyimpang dari norma yang
terdapat dalam KUHAP, karena sesuai ketentuan Pasal 263 ayat 1
KUHAP, Jaksa/Penuntut Umum bukan sebagai pihak yang dapat
mengajukan upaya hukum Peninjauan Kembali, melainkan pihak yang
dapat mengajukan upaya hukum Peninjauan Kembali adalah terpidana
atau ahli warisnya saja. Disini menunjukkan dari Mahkamah Agung telah
melakukan langkah mereduksi nilai kepastian hukum yang terdapat
dalam norma Pasal 263 ayat 1 KUHAP.
Terhadap pendirian Mahkamah Agung dalam putusan-
putusannya tersebut, bagi kalangan yang menganut aliran positivisme
24 Varia Peradilan. Op.cit. hal. 98-99
30
atau analytical positivism atau rechts dogmatick, yang cenderung melihat
bahwa hukum sebagai suatu otonom, bahwa tujuan hukum tidak lain dari
sekedar mencapai terwujudnya kepastian hukum, 25 dengan demikian
putusan Mahkamah Agung tersebut diatas sudah tentu dipandangnya
telah melampaui kewenangannya, karena telah meriduksi nilai kepastian
hukum yang ditentukan undang-undang. Karena sesuai pandangan aliran
positivisme, bahwa penyimpangan terhadap undang-undang juga
dianggap telah meniadakan kepastian hukum. Kesimpulan dari
pendekatan ini adalah satu-satunya hukum yang diterima sebagai hukum
merupakan tata hukum, sebab hanya hukum inilah dapat dipastikan
kenyataannya. 26
Kenyataan-kenyataan dasar yang dimaksud oleh aliran
positivisme diatas, telah ditentukan sebagai berikut :
1. Tata hukum negara tidak dianggap berlaku, karena hukum itu
mempunyai dasarnya dalam kehidupan sosial (menurut Conte dan
Spencer), bukan juga karena hukum itu bersumber dari jiwa bangsa
(menurut Von Savigny), bukan juga karena hukum itu merupakan
cermin dari suatu hukum alam. Dalam pandangan positivisme
yuridis hukum hanya berlaku, oleh karena hukum itumendapat
bentuk positifnya dari suatu instansi yang berwenang.
2. Dalam mempelajari hukum hanya bentuk yuridisnya dapat
dipandang, dengan kata lain bahwa hukum sebagai hukum hanya
ada hubungan dengan bentuk formalnya. Dengan ini bentuk yuridis
hukum dipisahkan dari kaidah-kaidah hukum material.
3. Isi material hukum memang ada, tetapi tidak dipandang sebagai
bahan ilmu pengetahuan hukum, oleh sebab isi ini dianggap
variabel dan bersifat sewenang-wenang. Isi hukum tergantung
situasi etis dan politik suatu negara, maka harus dipelajari dalam
25 Ahmad Ali, 1996, Menguak Tabir Hukum (Suatu Kajian Filosofis dan Sosiologis), Chandra Pratama,
Jakarta, hal. 94
26 Theo Huijbers, 1982, Filsafat Hukum dalam Lintasan Sejarah, Kanisius, Yogyakarta, (selanjutnya
disebut Theo Huijbers I) hal. 128
31
suatu ilmu pengetahuan lain, bukan dalam ilmu pengetahuan
hukum. 27
Berkaitan dengan pandangan positifisme diatas, dalam teori
HLA Hart, terdapat pembedaan dua sistem hukum, yaitu apa yang
disebut sebagai aliran primer (primery rules) dan aturan sekunder
(secondary rules). 28 Aturan primer (primery rules) lebih menekankan
kepada kewajiban manusia untuk bertindak atau tidak bertindak. Artinya
agar berbuat atau bertingkah laku sebagaimana seharusnya sesuai dengan
norma yang ada. Sedangkan dalam secondary rules atau yang disebut
sebagai aturan tentang aturan (rules about rules) meliputi :
- Pertama : aturan yang menetapkan persisnya aturan mana yang
dapat dianggap sah (rules of recognation)
- Kedua : bagaimana dan oleh siapa dapat diubah (rules of change)
dan
- Ketiga : bagaimana dan oleh siapa dapat dikuatkan/dipaksa (rules
of adjudication) 29
Dari teori positivisme yang memandang hukum hanya berlaku
oleh karena hukum itu mendapat bentuk positifnya dari suatu instansi
yang berwenang dan hukum sebagai hukum hanya ada hubungan dengan
bentuk formalnya, ajaran ini menggambarkan dan menjelaskan bahwa
suatu produk hukum dibatasi oleh aturan-aturan yang mengikat sebagai
pedoman. Oleh karenanya keputusan-keputusan hukum yang akan
dihasilkan oleh pihak manapun tidak dengan mudah berubah-ubah, tidak
27 Ibid, hal. 128-129
28 HR Otje Salman S dan Anton F Susanto, Op.cit, hal. 90
29 HR Otje Salman Salman, Ibid hal. 90-91
32
bertentangan satu dengan yang lainnya, mudah dimengerti dan tidak
membingungkan serta memiliki nilai kepastian.
Putusan-putusan Mahkamah Agung sebagaimana disebutkan
diatas, dalam pandangan aliran positivisme akan sulit untuk diterima,
karena tidak berdasarkan pada ketentuan hukum (KUHAP), karena
putusan Mahkamah Agung tersebut telah menyimpang dari norma pasal
263 ayat 1 KUHAP, dimana Mahkamah Agung telah menerima upaya
hukum Peninjauan Kembali dari Jaksa/Penuntut Umum, yang tidak
ditentukan sebagai pihak dalam pasal 263 ayat 1 KUHAP. Penyimpangan
yang dilakukan Mahkamah Agung tersebut menurut pandangan aliran
positivisme dinilai tidak konsisten terhadap pelaksanaan undang-undang
karena tidak berdasarkan pada aturan yang ada dan tidak memberikan
kepastian hukum. Ketidak pastian hukum ini akan berlanjut, bagaimana
hak bagi terpidana untuk mengajukan upaya hukum Peninjauan Kembali
terkait dikabulkannya upaya hukum Peninjauan Kembali oleh
Jaksa/Penuntut Umum, mengingat sesungguhnya Pasal 263 ayat 1
KUHAP hanya memberikan hak untuk mengajukan upaya hukum
Peninjauan Kembali hanya pada terpidana atau ahli warisnya, hal inilah
menjadi kajian dalam tesis ini dan pembahasannya lebih mendalam akan
dibahas dalam bab tersendiri.
Bahwa pandangan positivisme diatas, kalau dilihat dalam
penegakan hukum, sepintas nampaknya dapat dijadikan pegangan dalam
usaha menegakkan asas kepastian hukum tersebut. Hal ini dikarenakan
33
hukum ditanggapi sebagai kaidah-kaidah (undang-undang) yang
mengatur hidup bersama, dibuat oleh instansi yang berwenang dan
berlaku sebagai norma. Akan tetapi, dibalik pandangan tersebut, banyak
juga pendapat para ahli hukum yang mengkritisi, apakah kaidah-kaidah
hukum dalam suatu undang-undang sudah dipastikan dapat dikatakan
sebagai hukum yang baik dalam tata kehidupan masyarakat sebagaimana
yang dicita-citakan.
Bila ditinjau dari sisi keadilan, dimana putusan-putusan
Mahkamah Agung yang menerima upaya hukum Peninjauan Kembali
yang diajukan oleh Jaksa/Penuntut Umum, belum tentu dikatakan sebagai
putusan yang keliru atau salah karena telah menyimpang dari ketentuan
yang berlaku (KUHAP) karena berdasarkan fakta ternyata ada peraturan
perundang-undangan yang tidak mencerminkan pada prinsip-prinsip
keadilan. Dimana hal tersebut sebagaimana diketahui bahwa KUHAP,
khususnya dalam Pasal 263 ayat 1 KUHAP, tentang upaya hukum
Peninjauan Kembali, ternyata hanya memungkinkan terpidana atau ahli
warisnya saja yang boleh mengajukan upaya hukum Peninjauan Kembali
dan tidak memberi kesempatan kepada pihak lainnya, yaitu
Jaksa/Penuntut Umum yang mewakili kepentingan korban kejahatan atau
masyarakat lainnya ketentuan Pasal 263 ayat 1 KUHAP jelas bersifat
diskriminatif, karena tidak memberikan hak yang sama (equal treatment)
bagi pihak dalam suatu proses perkara (pidana), hal ini jelas bertentangan
dengan Undang-undang Dasar 1945 (Pasal 28 D ayat 1 UUD 1945,
34
bahwa setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan,
kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan
hukum), karena membeda-bedakan hak terpidana dengan Jaksa/Penuntut
Umum, hal ini sejalan dengan substansi putusan Mahkamah Kostitusi
Nomor 65/PUU-IX/2011. 30
Perlakuan tidak adil (unequal treatment) dalam suatu peraturan
perundang-undangan akan sulit untuk mencari kebenaran materiil dalam
suatu proses perkara pidana, apabila ternyata kemudian dapat diketahui
bahwa terdapat kesalahan atau kekeliruan yang nyata telah dilakukan
oleh hakim dalam memutus suatu perkara pidana, yang mengakibatkan
kerugian bagi korban kejahatan atau masyarakat umum. Apabila terjadi
kejadian seperti ini, Mahkamah Agung sebagai lembaga peradilan
tertinggi di Indonesia, yang mempunyai tugas dan kewenangan untuk
mencari jalan keluar dan menyelesaikansudah pada tempatnya
mengambil tindakan yang didasarkan masalah tersebut dan apabila
Mahkamah Agung sebagai institusi yang mempunyai tugas
menyelesaikan masalah tersebut, bila memutus perkara itu hanya semata-
mata apa katanya undang-undang sebagai corong undang-undang maka
dapat dibayangkan korban kejahatan atau masyarakat umum untuk
selamanya tidak bisa membela kepentingannya.
Bertitik tolak dari fakta dan kenyataan tersebut, Mahkamah
Agung sudah pada tempatnya mengambil tindakan yang didasarkan pada
30 Berita Kompas, hari Selasa, Tanggal 3 Pebruari 2015, hal. 6 kolom 2-5
35
prinsip-prinsip keadilan hal tersebut dilakukan dengan pertimbangan
memberikan rasa keadilan bagi mereka yang secara langsung berhadapan
dengan persoalan itu. Karena pada prinsip-prinsip keadilan, jika
diterapkan pada fakta struktur masyarakat, harus mengerjakan 2 (dua)
hal, yaitu :
1. Memberi penilaian konkrit tentang adil tidaknya institusi-institusi dan
praktek-praktek institusional.
2. Membimbing kita dalam mempertimbangkan kebijakan-kebijakan
dan hukum untuk mengoreksi ketidakadilan dalam struktur dasar
masyarakat tertentu. 31
Berkaitan dengan prinsip keadilan diatas John Rawls dalam
teorinya yang disebut sebagai Kerdetan Prosudural Murai, menyatakan :
The procedure for determining the just result must actually be carried
out for in these cases there is no independent critirion by refrence to
whict a definite autcome can be know to be just. Clearly we cannot say
that a particular state of affair is just because it could have been reached
by following a fair procedure. This sould permit for too much and would
lead to absurdly consequences. 32
Menurut Jhon Rawls, bahwa prosudur untuk menentukan hasil
yang adil harus benar-benar dijalankan. Sebab dalam hal ini tidak ada
kriteria independen yang bisa dijadikan acuan agar hasil nyata bisa adil.
Lebih lanjut disebutkan John Rawls, kita tidak bisa mengatakan bahwa
kondisi tertentu adalah adil karena ia bisa dicapai dengan mengikuti
31 Darji Darnodiharjo dan Sidharta, 2006, Pokok Filsafat Hukum, Apa dan Bagaimana Filsafat Hukum
Indonesia, PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, hal 163
32 John Rawls, 1972, A Theory of Justice, Harvard University Press, Cambrigde, Massachusetts, hal 86
36
prosudur yang fair. Hal ini akan terlampau banyak membiarkan dan
secara absurd akan mengarah pada konsekuensi-konsekuensi yang tidak
adil.
Melalui teori John Rawls diatas, ingin dijelaskan bahwa
penerapan Pasal 263 KUHAP secara tekstual tidaklah menjamin akan
mendatangkan nilai adil dalam penyelesaian suatu perkara yang diajukan
Peninjauan Kembali, oleh karenanya pencarian prosudur yang adil perlu
diupayakan, yaitu ketika ditemukan adanya unsur ketidak adilan.
Selain itu John Rawls juga menegaskan, bahwa The minimum
cafacity for the sense of justice insures that everyone has equel rights.
The claims of all are to be adjudicated by the principle of justice.
Equality is supported by the general facts of nature and not merely by
aprosudural rule withhout substantive force.33 Untuk menjamin
pencapaian keadilan prosudur diatas, menurut Jhon Rawls, setiap orang
harus mempunyai hak yang setara. Kesetaraan tersebut didukung oleh
fakta-fakta alamiah umum, bukan sekedar dengan sebuah aturan prosedur
tanpa kebenaran substantif. Teori keadilan dari Jhon Rawls adalah
sejalan dengan putusan-putusan Mahkamah Agung yang telah
mengabulkan upaya hukum Peninjauan Kembali yang diajukan oleh
Jaksa/Penuntut Umum.
Keadilan yang tercipta setelah dikabulkannya atau
dibenarkannya Jaksa/Penuntut Umum mengajukan upaya hukum
33 Berita Kompas, Hari Selasa, Tanggal 3 Pebruari 2015, hal. 6 kolom 2-5
37
Peninjauan Kembali, kemudian kembali terjadi ketidak adilan prosudur
dalam proses perkara pidana dengan dikeluarnya Surat Edaran Nomor
10 Tahun 2009 oleh Mahkamah Agung, dimana Surat Edaran tersebut
pada pokoknya menyatakan : “bahwa permohonan Peninjauan Kembali
perkara yang sama perdata maupun pidana yang diajukan lebih dari satu
kali bertentangan dengan undang-undang.” Dan apabila terjadi
pelanggaran terhadap ketentuan tersebut Ketua Pengadilan Tingkat
Pertama, diperintahkan untuk menyatakan permohonan Peninjauan
Kembali tersebut dinyatakan tidak dapat diterima.
Padahal kalau dicermati secara seksama sesungguhnya dengan
dibenarkannya Jaksa/Penuntut Umum, mengajukan upaya hukum
Peninjauan Kembali oleh Mahkamah Agung, sebenarnya terpidana
secara faktual belum pernah menggunakan haknya yang diberikan oleh
ketentuan Pasal 263 ayat 1 KUHAP tersebut. Dan bagaimana halnya
kemudian suatu kelak setelah upaya hukum Peninjauan Kembali yang
diajukan Jaksa/Penuntut Umum dikabulkan Mahkamah Agung, ternyata
kemudian terpidana mempunyai alasan bahwa “terdapat keadaan baru
(novum) yang kualitasnya mampu atau potensial dapat melumpuhkan
Putusan Mahkamah Agung tersebut, oleh karena itu adalah memenuhi
rasa keadilan apabila kepada terpidana itu dibuka ruang untuk dapat
mengajukan upaya hukum Peninjauan Kembali, terkait dikabulkannya
upaya hukum Peninjauan Kembali yang diajukan Jaksa/Penuntut Umum.
38
Karena itu teori-teori keadilan dari John Rawls, selanjutnya akan
dipergunakan untuk menganalisis, Surat Edaran Nomor 10 Tahun 2009
tersebut, yang melarang diajukannya permohonan upaya hukum
Peninjauan Kembali lebih dari satu kali.
1.7.1.2. Teori Responsif oleh Nonet-Selznick
Pandangan positivisme muncul sebagai akibat pengaruh
perkembangan masyarakat modern yang ditandai oleh kemajuan
tingkat sosial ekonomi sebagai akibat dari pesatnya industrialisasi.
Sehingga hal itu mempengaruhi cara berfikir masyarakat modern
terutama selama masa pencerahan, pada umumnya bersifat
rasionalistis dan individualistis. Dalam rasionalisme itu orang
berfikir dengan bertolak atau berangkat dari ide-ide yang umum
yang berlaku bagi semua manusia individual. 34 Hal ini dikatakan
oleh Satjipto Rahardjo bahwa :
Masyarakat terutama masyarakat modern, sangat membutuhkan
adanya kepastian dalam berbagai interaksi antara para
anggotanya dan tugas itu diletakkan dipundak hukum. Kepastian
hukum menjadi semacam idiologi dalam kehidupan berhukum,
sehingga diperlukan suatu pemahaman yang kritis mengenai
kata tersebut. Dengan menjadi idiologi, terjadi kecenderungan
untuk mencampur adukkan antara pernyataan dan
kebenarannya. 35
Kepastian hukum (rechts sicherkeit/security/rechts zekerheid)
adalah sesuatu yang baruyaitu sejak hukum itu dituliskan,
dipositifkan dan menjadi publik. Kepastian hukum menyangkut
34 Theo Huijbers I, Op.cit hal 104
35 Satjipto Rahardjo, 2006, Hukum Dalam Jagat Ketertiban, Bacaan Mahasiswa Program Doktor Ilmu
Hukum Universitas Diponogoro, Uki Press, Jakarta,(selanjutnya disebut Satjipto Rahardjo II), hal 133
39
masalah “law being written down” bukan tentang keadilan dan
kemanfaatan. Kepastian hukum adalah sicher keit des rechts selbst
(kepastian tentang hukum itu sendiri) 36 sehingga terlihat bahwa
hukum hadir bukan lagi untuk melayani masyarakat dan
mendatangkan kesejahteraan bagi manusia, melainkan hadir demi
dirinya sendiri.
Seiring dengan dinamika perkembangan masyarakat,
seringkali aturan hukum yang ada tidak mendukung terhadap suatu
peristiwa konkrit, seperti yang terlihat pada aturan yang mengatur
tentang upaya hukum luar biasa berupa Peninjauan Kembali.
Dimana dalam ketentuan pasal 263 ayat 1 KUHAP hanya mengatur
terpidana atau ahliwarisnya yang dapat mengajukan permohonan
upaya hukum Peninjauan Kembali kepada Mahkamah Agung.
Ketentuan mana terkesan diskriminatif, karena hanya melindungi
individu pelaku dari tindak pidana tersebut (terpidana) atau ahli
warisnya, dan tidak mencerminkan asas persamaan didepan hukum
(equality before the law) maupun asas perlindungan hak warga
negaramelalui proses hukum yang adil (due process of law)
sebagaimana ditentukan Pasal 28 D ayat 1 Undang-undang Dasar
1945, bahwa setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan,
perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang
sama dihadapan hukum.
36 Ibid, hal 135-136
40
Fakta menunjukkan dalam pandangan positivisme demi
terwujudnya kepastian hukum dan keteraturan yang ada dalam
kehidupan bermasyarakat, Mahkamah Agung sebagai penegak
hukum sekaligus sebagai salah satu pemegang kekuasaan
kehakiman (tertinggi), diharuskan melaksanakan aturan hukum
(undang-undang) apa adanya atau sesuai teks yang tertulis dalam
undang-undang. Penegakan hukum yang demikian sepertinya tidak
memberikan ruang bagi pihak-pihak yang merasa kepentingannya
terganggu untuk membela diri, padahal dalam praktek peradilan,
tidak tertutup kemungkinan terjadi kekeliruan atau kealpaan atau
kesalahan penerapan hukum oleh hakim dalam suatu putusan
peradilan.ketika terjadi kealpaan atau kesalahan penerapan hukum
dalam putusan pengadilan, maka pihak korban kejahatan atau
masyarakat umum maupun negara yang merasa kepentingannya
terganggu, berdasarkan Pasal 263 ayat 1 KUHAP tersebut, dimana
Jaksa/Penuntut Umum sebagai institusi yang dalam perkara pidana
mewakili kepentingan korban kejahatan atau masyarakat umum
maupun negara, menjadi tidak dapat menuntut hak yang terganggu
tersebut karena memang sudah dibatasi oleh undang-undang.
Apabila ketentuan diatas diberlakukan secara strict atau kaku,
maka pasti sudah dapat dibayangkan essensi tujuan hukum pada
segi yang lain, yaitu rasa keadilan, akan sulit dapat diwujudkan.
Karena sebagaimana diketahui bahwa tujuan hukum tidak hanya
41
ingin untuk mewujudkan tercapainya kepastian hukum semata,
tetapi juga bertujuan untuk mewujdkan ketertiban dan keadilan
secara konkrit dan nyata dalam masyarakat.
Hukum disatu pihak memperlihatkan kecenderungan untuk
berupaya memelihara dan mempertahankan apa yang telah dicapai,
tetapi lain pihak juga memperlihatkan usaha untuk mendorong dan
mengarahkan perubahan. Pemositifan hukum dalam perundang-
undangan menjadikan hukum itu terbatas dan sering tertinggal oleh
dinamika perkembangan masyarakat. Untuk itu menurut
Khudzaifah Dumyati diperlukan cara-cara yang dapat menjadi
sistim hukum positif itu survive dan tetap mampu menyelesaikan
persoalan yang dihadapkan kepadanya baik pada saat sekarang
maupun yang akan datang (ius constituendum), konstruksi hukum,
penafsiran analogi, penghalusan hukum, adalah contoh-contoh
untuk itu. 37
Berkaitan dengan persoalan hukum diatas, Philippe Nonet
dan Philip Selznick (Nonet-Selznick) dalam teorinya yang dikenal
dengan teori hukum responsif, menempatkan hukum sebagai sarana
respon terhadap ketentuan-ketentuan sosial dan aspirasi publik.
Sesuai dengan sifatnya yang terbuka, maka hukum mengedepankan
37 Khudzaefah Dunyati,2005, Teorisasi Hukum, Studi Tentang Perkembangan Pemikiran Hukum di
Indonesia, 1945-1990, Muhammadiah University Press, Surakarta, hal 65
42
akomodasi untuk menerima perubahan-perubahan sosial demi
mencapai keadilan dan emansipasi publik. 38
Perkembangan hukum yang terjadi sekarang ini, telah timbul
permasalahan tentang hak permintaan upaya hukum Peninjauan
Kembali atas putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan
hukum tetap dalam perkara pidana. Praktik peradilan dalam
menyikapi permintaan upaya hukum Peninjauan Kembali tersebut,
ternyata telah melangkah melebihi aturan hukum yang telah diatur
dalam Pasal 263 ayat 1 KUHAP, dimana Jaksa/Penuntut Umum
telah dibenarkan mengajukan upaya hukum Peninjauan Kembali,
dengan pertimbangan utama untuk memberikan nilai keadilan bagi
pihak-pihak dalam suatu perkara, hal ini terbukti dengan telah
dikabulkannya oleh Mahkamah Agung beberapa upaya hukum
Peninjauan Kembali yang diajukan oleh Jaksa/Penuntut Umum,
sebagaimana telah disinggung diatas.
Praktik peradilan tersebut terlihat sebagai respon terhadap
perkembangan yang terjadi dalam masyarakat. Hal ini seperti teori
hukum responsif yang dikemukakan Nonet-Selznick bahwa hukum
dituntut menjadi sistim yang terbuka dalam perkembangan yang
ada dengan mengandalkan keutamaan tujuan (the souvereignity of
38 Bernart L Tanya dkk, Teori Hukum Strategi Tertib Manusia Lintas Ruang dan Generasi, CV.Kita,
Surabaya,hal 239
43
purpose), yaitu tujuan sosial yang ingin dicapainya serta akibat-
akibat yang timbul dari kerjanya hukum. 39
Hukum seperti ini yang dibutuhkan dalam masa transisi.
Artinya, ketika suatu aturan hukum yang telah ada tidak lagi bisa
menjawab permasalahan yang timbul akibat perkembangan yang
terjadi terjangkau oleh aturan hukum tersebut, maka hukum harus
peka mengakomodasi perkembangan yang ada itu demi mencapai
keadilan dalam masyarakat.
Atas dasar itu maka dalam doktrinnya Nonet-Selznick
mengemukakan, pertama hukum itu harus fungsional, pragmatik,
betujuan dan rasional. Kedua, kompetensi menjadi patokan
evaluasi terhadap semua pelaksanaan hukum. 40 Karena kompetensi
sebagai tujuan berfungsi norma kritik, maka tatanan hukum
responsif menekankan kepada :
1. Keadilan substantif sebagai dasar legitimasi hukum
2. Peraturan merupakan sub-ordinasi dari prinsip dan
kebijakan
3. Pertimbangan hukum harus berorientasi pada tujuan dan
akibat bagi kemaslahatan masyarakat
4. Penggunaan diskresi sangat dianjurkan dalam
pengambilan keputusan hukum dengan tetap berorientasi
pada tujuan
5. Memupuk sistim kewajiban sebagai ganti sistim paksaan
6. Moralitas kerjasama sebagai prinsip moral dalam
menjalankan hukum
7. Kekuasaan didayagunakan untuk mendukung vitalitas
hukum dalam melayani masyarakat
8. Penolakan terhadap hukum harus dilihat sebagai gugatan
terhadap legitimasi hukum
39 Ibid, hal 239
40 Ibid, hal 240
44
9. Akses partisipasi publik dibuka lebar dalam rangka
integrasi advokasi hukum dan sosial 41
Menarik teori hukum responsif diatas, dalam hal suatu
keputusan hukum berorientasi pada maksud mencari keadilan atau
kemanfaatan bagi masyarakat, seperti dalam pemberlakuan hak
mengajukan upaya hukum Peninjauan Kembali terhadap putusan
pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, meskipun
dalam aturan hukum yang telah ada (Pasal 263 ayat 1 KUHAP),
Jaksa/Penuntut Umum tidak disebutkan sebagai pihak yang dapat
mengajukan upaya hukum Peninjauan Kembali, namun Mahkamah
Agung dalam beberapa putusannya telah mengabulkan atau
membenarkan Jaksa/Penuntut Umum mengajukan upaya hukum atas
dasar pertimbangan terciptanya nilai keadilan dalam masyarakat.
Dengan dikeluarkannya Surat Edaran Nomor 10 Tahun 2009
oleh Mahkamah Agung, yang pada pokoknya telah melarang diajukan
upaya hukum Peninjauan Kembali lebih dari satu kali terhadap perkara
yang sama, telah menimbulkan ketidak adilan (baru) lagi terhadap
terpidana. Karena walaupun secara normatif (Pasal 263 ayat 1 KUHAP)
terpidana atau ahli warisnya dinyatakan dapat mengajukan permintaan
(upaya hukum) Peninjauan Kembali. Akan tetapi kalau dicermati dengan
seksama, sesungguhnya secara faktual terpidana belum pernah
menggunakan haknya untuk mengajukan upaya hukum Peninjauan
41 Ibid, hal 240-241
45
Kembali yang diberikan oleh peraturan perundang-undangan (Pasal 263
ayat 1 KUHAP). Terkait dikabulkannya upaya hukum Peninjauan
Kembali yang diajukan oleh Jaksa/Penuntut Umum. Karena bagaimana
halnya setelah dikabulkan upaya hukum Peninjauan Kembali yang
diajukan Jaksa/Penuntut Umum, kemudian terpidana atau ahli warisnya
menemukan atau memiliki alat bukti baru (novum) yang kualitasnya
mampu atau potensial dapat melumpuhkan putusan Mahkamah Agung
tersebut. Oleh karena itu akan memenuhi nilai rasa keadilan, apabila
kepada terpidana atau ahli warisnya dibuka ruang untuk mengajukan
upaya hukum Peninjauan Kembali, terkait dikabulkannya upaya hukum
Peninjauan Kembali yang diajukan Jaksa/Penuntut Umum. Oleh karena
itu teori hukum responsif dari Nonet-Selznick juga akan dipergunakan
untuk menganalisa upaya hukum Peninjauan Kembali yang diajukan oleh
terpidana atau ahli warisnya, terkait dikabulkannya upaya hukum
Peninjauan Kembali yang diajukan Jaksa/Penuntut Umum.
1.7.1.3. Teori Perlindungan Hukum
Disamping itu penelitian tesis ini menggunakan teori
perlindungan hukum, baik terhadap masyarakat yang terlibat
dalam proses peradilan pidana sebagai pelaku tindak pidana
maupun masyarakat (pihak) yang menjadi korban daripada tindak
pidana tersebut.
Sebagaimana diketahui, secara umum sering dikatakan
bahwa fungsi dari suatu undang-undang acara pidana adalah untuk
46
membatasi kekuasaan negara dalam melindungi setiap warga
masyarakat yang terlibat dalam proses peradilan pidana, sehingga
diharapkan terjamin perlindungan para tersangka dan terdakwa
dari tindakan aparat penegak hukum dan pengadilan. Dengan
demikian, hukum yang sama memberikan pula pembatasan
terhadap hak asasi warganya. Jaminan dan perlindungan terhadap
hak asasi manusia dalam peraturan hukum acara pidana
mempunyai arti yang sangat penting sekali, karena sebagian besar
dalam rangkaian proses dari hukum acara pidana ini menjurus
kepada pembatasan-pembatasan hak asasi manusia.
Di lain pihak, korban dari tindak pidana, bukan hanya
dimaksudkan sebagai obyek dari suatu tindak pidana, akan tetapi
harus dipahami pula sebagai subyek yang perlu mendapatkan
perlindungan hukum. Korban adalah mereka yang menderita
jasmaniah dan rohaniah sebagai akibat dari tindakan orang lain
yang mencari pemenuhan kepantingan diri sendiri atau orang lain
yang bertentangan dengan kepentingan dan hak asasi pihak yang
dirugikan. Memperhatikan sejarah perkembangan hukum pidana,
pada mulanya reaksi atas suatu tindak pidana adalah menjadi hak
dari korban, yang berakibat terjadi balas dendam yang tidak
berkesudahan. Karena perbuatan tersebut mengganggu ketertiban
masyarakat, maka kemudian reaksi itu diambil alih oleh negara,
yang dalam pelaksanaannya didelegasikan kepada jaksa dalam
47
rangka mewakili kepentingan masyarakat, termasuk kepentingan
korban di dalamnya.
Jaksa yang merupakan presentasi mewakili kepentingan
korban dan disamping untuk mewakili kepantingan negara dan
masyarakat, maka dalam memberikan perlindungan terhadap
korban kejahatan, adalah adil kalau kepada Jaksa/Penuntut Umum
dapat diberikan hak untuk mengajukan upaya hukum Peninjauan
Kembali . Berdasarkan pembahasan perlindungan terhadap korban
dari suatu tindak pidana, dipahami bahwa upaya hukum
Peninjauan Kembali yang dilakukan oleh Jaksa/Penuntut Umum
merupakan sebagai sarana hukum untuk melindungi kepentingan
korban tindak pidana, disamping juga untuk melindungi
kepentingan umum dan negara atas pelaku dari tindak pidana
tersebut. Sehingga pihak korban dari tindak pidana tersebut
merasakan adanya perlindungan yang adil terhadap dirinya.
Penelitian tesis ini juga akan melihat eksistensi perlindungan
korban sebagaimana diputuskan dalam Kongres Perserikatan
Bangsa-Bangsa VII/1998 di Milan (tentang “The Prevention of
Crime and The Treatment of Offenders”). Dalam kongres tersebut
dikemukakan bahwa hak-hak korban seyogyanya dilihat sebagian
integral dari keseluruhan sistem peradilan pidana (victims right
48
should be perceived as an integral aspect of the total criminal
justice sistem).42
Kemudian apabila dikaji dari perspektif teoritis, pengertian
korban kejahatan mempunyai pelbagai dimensi. Berdasarkan
ketentuan dalam angka 1 dalam “Declaration of Basic Principle of
Justice for Victim of Crime and Abuse of Power” pada tanggal 6
September 1985 dari Perserikatan Bangsa-Bangsa, Deklarasi
Nomor. A/Res/40/34 tahun 1985 menegaskan sebagai berikut :
“Victim means persons who, individually or cellectively have
suffered harm, including physical or mental injury, emotional
suffering, ecoNomormic loss or substansial inspirement of their
fundamental right, through acts or omissions that are in violation
of criminal laws operative within member states, including those
laws proscribing criminal abuse power.” (Korban adalah orang-
orang baik secara individual maupun kolektif, yang menderita
kerugian baik kerugian fisik maupun mental, penderitaan
emosional, kerugian ekonomi atau kerusakan substansial dari hak-
hak asasi mereka, yang melanggar hukum pidana yang berlaku di
suatu negara, termasuk peraturan-peraturan yang melarang
penyalahgunaan kekuasaan)43
Pengertian korban oleh Arif Gosita diartikan adalah mereka yang
menderita jasmaniah dan rohaniah sebagai akibat tindakan orang
lain yang mencari pemenuhan kepentingan diri sendiri atau orang
lain yang bertentangan dengan kepentingan dan hak asasi yang
menderita.
42 Dokumen Kongres PBB ke-7, Nomor. Kode A/CONF.121/C.2/L.14, hal. 14, dan vide pula Report
Seventeen UN Congress, New York 1986, hal. 147
43 Korban kejahatan dalam Sistem Peradilan Pidana Indonesia dengan titik tolak KUHAP dan KUHP,
mempergunakan terminologi yang berbeda yaitu sebagai pelapor, pengadu, saksi korban, pihak ketiga yang
berkepentingan dan pihak yang dirugikan.
49
Apabila dikaji lebih jauh, perspektif kerugian korban dapat
diderita oleh seseorang, kelompok masyarakat maupun
masyarakat luas. Selain itu, kerugian korban dapat bersifat
materiil yang lazimnya dinilai dengan uang dan immateriil, yakni
perasaan takut, sakit, kejutan psikis dan lain-lain.44 Dalam sistem
peradilan pidana di Indonesia, ternyata kedudukan korban relatif
kurang diperhatikan karena ketentuan hukum masih bertumpu
pada perlindungan bagi pelaku tindak pidana. Sedangkan
kepentingan korban kejahatan diwakili oleh Jaksa/Penuntut
Umum, hal ini merupakan bagian dari perlindungan masyarakat
sebagai konsekuensi logis dari teori kontrak sosial dan teori
solidaritas sosial.45
Upaya hukum Peninjauan Kembali sebagaimana diatur
dalam Pasal 263 KUHAP, dari segi keadilan kepada korban
kejahatan yang kepentingannya diwakili oleh Jaksa/Penuntut
Umum, sudah pada tempatnya upaya hukum Peninjauan Kembali
oleh Jaksa/Penuntut Umum tidak perlu dipermasalahkan dan
diperdebatkan oleh semua kalangan. Namun yang perlu dikaji
lebih lanjut bagaimana pengaturan hak mengajukan upaya hukum
Peninjauan Kembali bagi terpidana, terkait dikabulkannya upaya
Peninjauan Kembali Jaksa/Penuntut Umum tersebut.
44 Mardjono Reksodipoetro, 1994. Kriminologi dan Sistem Peradilan. Jakarta, Universitas
Indonesia,(selanjutnya disebut Mardjono Reksodipoetro I) hal. 78
45 Muladi dan Barda Nawawi Arief, 1992. Bunga Rampai Hukum Pidana., PT. Alumni, Bandung, hal. 78
50
1.7.1.4 Teori Ajaran Prioritas Baku
Penelitian ini menggunakan teori keadilan tentang ajaran
“prioritas baku” tentang tujuan hukum dari Gustav Radbruch,
dimana keadilan selalu diprioritaskan. Ketika hakim harus
memilih antara keadilan dan kemanfaatan, maka pilihan harus
pada keadilan, demikian juga ketika harus memilih antara
kemanfaatan atau kepastian hukum, maka pilihannya harus pada
kemanfaatan. Ajaran “prioritas baku” tersebut dianut pula dalam
Rancangan Undang-Undang KUHP dalam Pasal 18 yang
berbunyi sebagai berikut :
Keadilan dan kepastian sebagai tujuan hukum mungkin
saling mendesak dalam penerapan pada kejadian-kejadian nyata.
Dengan menyadari hal tersebut, maka dalam mempertimbangkan
hukum yang akan diterapkannya, hakim sejauh mungkin
mengutamakan keadilan di atas kepastian hukum.
Bahwa berdasarkan pelaksanaan KUHAP yang dikeluarkan
oleh Menteri Kehakiman bahwa :
Tujuan dari hukum acara pidana adalah untuk mencari dan
mendapatkan atau setidak-tidaknya mendekatkan kebenaran
materiil ialah kebenaran selengkap-lengkapnya dari suatu perkara
pidana dengan menerapkan ketentuan hukum acara pidana secara
jujur dan tepat dengan tujuan untuk mencari siapakah pelaku yang
dapat didakwa melakukan suatu pelanggaran hukum dan
selanjutnya meminta pemeriksaan dan putusan dari pengadilan
guna menemukan apakah terbukti bahwa suatu tindak pidana telah
dilakukan dan apakah orang yang didakwa itu dapat dipersalahkan,
maka KUHAP harus secara maksimal digunakan untuk
mendapatkan kebenaran materiil dengan cara melakukan penafsiran
ekstensif terhadap ketentuan-ketentuannya.46
46 Varia Peradilan. Op.cit. hal. 99
51
Apabila memperhatikan undang-undang, bahwa undang-
undang tidak saja menunjukkan banyak kekurangan-kekurangan,
tapi seringkali tidak jelas. Walaupun demikian harus melakukan
peradilan. Teranglah, bahwa dalam hal sedemikian, undang-undang
memberi kuasa kepada hakim untuk menetapkan sendiri maknanya
ketentuan undang-undang itu atau artinya suatu kata yang tidak
jelas dalam suatu ketentuan undang-undang. Dan hakim boleh
menafsir suatu ketentuan undang-undang secara gramatikal atau
historis, baik recht maupun wet historis.47
Dari hal-hal yang diuraikan di atas, apabila terdapat
ketidakjelasan suatu aturan hukum, dalam hal aturan mengenai
upaya hukum Peninjauan Kembali , maka mengatasi perseoalan ini
pendekatan keadilan yang harus dikedepankan daripada kepastian
hukum. Hal ini sejalan dengan pendapat Paulus E. Lotulung, bahwa
hakim harus pandai-pandai menemukan hukum dan pencarian
hukum, karena hakim bukan sebagai corong undang-undang dan
disamping itu banyak aturan hukum yang sudah tidak sesuai
dengan rasa keadilan. Untuk penemuan hukum itu, titik tolaknya
didasarkan semata-mata dengan rasa keadilan.48
1.7.1.5 Teori Hukum Progresif
Kehadiran hukum progresif bukanlah sesuatu yang
kebetulan, bukan sesuatu yang lahir tanpa sebab dan bukan
sesuatu yang jatuh dari langit. Hukum progresif adalah bagian dari
47 Lie Oen Hock. Yurisprudensi sebagai Sumber Hukum. hal. 11
48 Paulus E. Lotulung, dalam ceramah “Temu Wicara antara Mahkamah Agung dengan Bank Indonesia”
di Hotel Novotel Palembang tanggal 20 Mei 2010.
52
proses searching for the truth (pencarian kebenaran) yang tidak
pernah berhenti. Adapun teori ini adalah merupakan buah
pemikiran Satjipto Rahardjo yang timbul dari rasa keprihatinannya
terhadap kondisi penegakan hukum di Indonesia.
Keprihatinan terhadap keadaan hukum di Indonesia terlihat
ketika pada tahun 1970 an sudah ada istilah “mafia peradilan”
dalam kosakata hukum di Indonesia, pada Orda Baru hukum
sudah bergeser dari social engineering ke dark engineering karena
digunakan untuk mempertahankan kekuasaan. Pada era reformasi
dunia hukum makin mengalami komersialisasi. Menurut Sutjipto
Rahardjo, inti dari kemunduran diatas adalah makin langkanya
kejujuran, empati dan dedikasi dalam menjalankan hukum. 49.
Selain atas alasan tersebut, gagasan hukum progresif
dimunculkan oleh Satjipto Rahardjo karena dilandasi rasa
keprihatinannya terhadap terpuruknya kondisi hukum di Indonesia
yang dianggap gagal mengantarkan bangsa di Indonesia kepada
kehidupan yang adil, sejahtera dan bahagia. Keterpurukan hukum
itu terjadi karena cara penyelenggaraan hukum terus dijalankan
sepertinya halnya dalam kondisi masyarakat yang normal ,
meskipun sebenarnya sedang terjadi persoalan-persoalan hukum
dalam nuansa transisi. Dalam keadaan demikian hukum
mengalami kelambanan, sehingga tidak dapat berfungsi melayani
49 Satjipto Rahardjo, 2005, Hukum Progresif, Hukum yang Membebaskan, Jurnal Hukum Progresif, Vol
1/Nomor.1, PDIH Ilmu Hukum UNDIV, hal 3
53
manusia. Disamping itu penyelenggaraan hukum juga tidak peka
untuk merespon persoalan hukum yang sedang berkembang dalam
masyarakat, sehingga sering terjadi kekacauan akibat adanya
ketidak puasan masyarakat dalam kehidupan berhukum.
Dinamika kehidupan masyarakat diatas menurut Satjipto
Rahardjo, muncul karena situasi yang lama sudah tidak memadai
lagi dan tidak mampu mewadahi kehidupan yang berubah.50
Karenanya baik dalam dunia pemikiran maupun praktek, hukum
mengalami perubahan dan perkembangan. Teori lama
ditinggalkan untuk menemukan penjelasan yang lebih baru.
Praktik lama ditingalkan karena menjadikan hukum tidak mampu
menyalurkan proses-proses dalam masyarakat secara produktif. 51
Dari keadaan tersebut dalam pemikirin Satjipto Rahardjo
diperlukan hukum yang progresif, yaitu cara berhukum yang
memiliki karakteristik sebagai berikut :
Pertama, paradigma hukum progresif adalah bahwa hukum
adalah untuk manusia. Pandangan ,optik atau keyakinan dasar
ini tidak melihat hukum sebagai sesuatu yang sentral dalam
berhukum, melainkan manusialah yang berada dititik pusat
perputaran hukum.
Kedua, hukum progresif menolak untuk mempertahankan status
quo dalam berhukum. Mempertahankan status quo memberi
efek yang sama seperti pada waktu orang berpendapat, bahwa
hukum adalah tolak ukur untuk semuanya, dan manusia adalah
untuk hukum.
Ketiga, hukum progresif memberikan perhatian besar terhadap
peranan prilaku manusia dalam hukum. Peranan manusia disini
50 Satjipto Rahardjo, 2007, Biarkan Hukum Mengalir (Catatan Tentang Pergulatan Manusia dan Hukum),
Buku Kompas, Jakarta (selanjutnya disebut Satjipto Rahardjo III), hal 146
51 Ibid, hal 146-147
54
merupakan konsekwensi terhadap pengakuan, bahwa sebaiknya
kita tidak berpegangan secara mutlak kepada teks formal suatu
peraturan. 52
Melihat pada karakteristik diatas, maka oleh Bernard
L.Tanya dapat disimpulkan :
Bagaimana hukum Progresif, proses perubahan tidak lagi
berpusat pada peraturan , tetapi pada kreatifitas perilaku hukum
mengaktualisasikan hukum dalam ruang dan waktu yang tepat.
Pada pelaku hukum progresif dapat melakukan perubahan dengan
melakukan pemaknaan yang kreatif terhadap peraturan yang ada,
tanpa harus menunggu perubahan peraturan (changing the law).
Peraturan yang buruk tidak harus menjadi penghalang bagi para
pelaku hukum progresif untuk menghadirkan keadilan untuk
rakyat dan pencari keadilan, karena mereka dapat melakukan
interpretasi secara baru setiap kali terhadap suatu peraturan. 53
Dari konsep hukum progresif diatas yang melandasi
bagaimana hukum tidak saja merespon terhadap setiap
perkembangan kehidupan masyarakat yang ada, melainkan juga
bagaimana para pelaku hukum mengaktualisasikan hukum sesuai
dengan kondisi yang sedang berkembang.
Landasan konseptual gagasan hukum progresif dalam
terminologinya cenderung agak asing bagi sebagian kalangan.
Kamus Webster New Universal Unabridged Dictionary, yang
52 Ibid, hal 139-144
53 Bernard L.Tanya dkk, Op.cit hal 247
55
berasal dari kata progress yang berarti moving forward (bergerak
kearah depan), dapat dilacak lagi kedalam dua suku kata yaitu pro
before yang artinya sebelum) dan gradi (to step yang artinya
langkah). 54
Setidaknya memahami istilah progresivisme dalam konteks
hukum progresif bertolak dari pandangan kemanusiaan bahwa
pada dasarnya manusia baik. Dengan demikian hukum progresif
mempunyai kandungan moral yang kuat semangat progresivisme
ingin menjadikan hukum sebagai institusi yang bermoral.55 Jadi,
asumsi dasar hukum progresif dimulai dari hakikat hukum adalah
untuk manusia. Karena hukum tidak hadir untuk dirinya sendiri
tetapi untuk nilai-nilai kemanusiaan dalam rangka mencapai
keadilan, kesejahteraan dan kebahagiaan manusia.
Agenda dasar hukum progresif adalah menempatkan
manusia sebagai sentralitas utama dari seluruh perbincangan
mengenai hukum. Dengan kebijaksanaan hukum progresif
mengajak untuk memperhatikan faktor perilaku manusia. Oleh
karena itu hukum progresif menempatkan perpaduan antara faktor
peraturan dan perilaku penegak hukum di dalam masyarakat.
Disinilah arti penting pemahaman hukum progresif, bahwa konsep
hukum terbaik musti diletakkan dalam konteks keterpaduan yang
54 Mahmud Kusuma, 2009, Menyelami Semangat Hukum Progresif, Terapi Paradigmatik Atas Lemahnya
Penegakan Hukum Indonesia, Antonylib bekerjasama LSHP, Yogyakarta, hal 30
55 Ibid.
56
bersifat utuh (holistic) dalam memahami problem-problem
kemanusiaan.
Teori ini mengajarkan bahwa berhukum progresif adalah
sebuah kerelaan dan kesediaan untuk membebaskan diri dari
paham legal positivis. Ide pembebasan diri tersebut berkaitan erat
dengan factor psikologis atau spirit yang ada dalam diri para
penegak huku yaitu keberanian. Masuknya faktor keberanian
tersebut memperluas peta cara berhukum, yaitu tidak hanya
mengedepankan aspek peraturan (rule), tetapi juga aspek perilaku
(behavior). Dengan demikian cara berhukum yang ditunjukkan
tidak hanya tekstual, akan tetapi juga melakukan proses pencarian
terhadap makna yang tersembunyi dibalik teks secara tertulis
maupun teks yang hidup dalam masyarakat.
1.7.1.6. Teori Hukum Ekologis Oleh Carlos Cossio
Pandangan para ahli dalam aliran penemuan hukum oleh
hakim yang muncul ketika aliran legisme tidak lagi mampu
memecahkan problem-problem hukum yang ada, para ahli hukum
aliran ini berpendapat bahwamelakukan penemuan hukum oleh
hukim adalah suatu yang wajar. Pendukung aliran legisme ketika
itu memandang bahwa hakim tidak boleh berbuat selain dari
menerapkan undang-undang secara tegas.
Penganut aliran legisme, berpendapat bahwa undang-
undang dianggap sudah lengkap dan jelas dalam mengatur segala
57
persoalan yang ada didalamnya. 56 Hal itu seperti dikemukakan
oleh Montesquieu sebagaimana yang dikutip oleh Paul Scholten,
bahwa hakim tidak lain hanya corong yang mengucapkan teks
undang-undang. Jika teks itu tidak berjiwa dan tidak manusiawi,
para hakim tidak boleh mengubahnya, baik tentang kekuatannya
maupun keketatannya. 57
Penemuan hukum oleh hakim menurut Paul Scholten seperti
dikutip Achmad Ali, adalah sesuatu yang dari pada hanya
penerapan peraturan pada peristiwanya. Kadang-kadang dan
bahkan sangat sering terjadi bahwa peraturannya harus
ditemukan, baik dengan jalan interpretasi maupun dengan jalan
analogi. 58 Sedangkan Van Eikema Hommes dalam bukunya
logica en Rechtsvinding sebagaimana dikutip oleh sudikno
Mertokusumo dan A.Pitlo, mengemukakan bahwa penemuan
hukum lazimnya diartikan sebagai proses pembentukan hukum
oleh hakim atau petugas-petugas hukum lainnya yang diberikan
tugas melaksanakan hukum terhadap peristiwa-peristiwa hukum
yang konkrit. Ini merupakan proses konkritisasi dan
individualisasi peraturan hukum yang bersifat umum dengan
mengingat peristiwa konkrit. 59
56 Ahmad Ali, Op cit, hal 144
57 Ahmad Ali, Op cit, hal 143
58 Achmad Ali, Op cit, hal 146
59 Sudikno Mertokusumo & A. Pitlo, 1993, Bab-bab Tentang Penemuan Hukum, Citra Aditya Bakti, hal 4
58
Pandangan aliran penemuan hukum oleh hakim penting
ditangkap untuk mendukung alasan-alasan hakim dalam usaha
mendekati cita hukum yang ditopang oleh tiga nilai dasar
sebagaimana diungkap oleh Gustav Radbruch, yaitu keadilan
(gerechtigkeit), kemanfaatan (zweckmaeszigkeit) dan kepastian
hukum (rechts sicherkeit). 60
Berkaitan dengan tugas hakim (Mahkamah Agung) dalam
penanganan suatu perkara, menurut Franccois Geny, salah
seorang tokoh terkemuka dalam ajaran etis dengan teorinya yaitu
penafsiran hukum, dikatakan bahwa seorang hakim pertama-tama
harus mengindahkan undang-undang dengan memperhatikan
maksud tujuan pembentuk undang-undang. Bila tidak ada
undang-undang, yakni bila terdapat kekosongan hukum,
kekosongan itu harus diisi dengan hukum adat. Bila hukum adat
juga tidak ada, keputusan dapat diambil atas dasar ajaran hukum
yuris dan putusan-putusan para hakim. Hanya apabila pedoman
ini tidak ada, diperbolehkan penyelidikan ilmiah bebas. 61 Teori
Francois Geny tersebut sejalan dengan maksud Pasal 28 ayat 1
Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan
Kehakiman (sekarang Pasal 5 ayat 1 Undang-undang Nomor 48
Tahun 2009), yang menyatakan bahwa “ Hakim wajib menggali,
60 Satjipto Rahardjo II, Op cit, hal 135
61 Theo Huijbers, 1995, Filsafat Hukum, Kamisius, Yogyakarta, (selanjutnya disebut Theo Huijbeers II)
hal 128
59
mengikuti dan memahami nilai hukum dan rasa keadilan yang
hidup dalam masyarakat.”
Para ahli pendukung aliran etis, yang menganggap bahwa
tujuan hukum adalah semata-mata untuk mencai keadilan, sesuai
dengan maksud Pasal 28 D ayat 1 Undang-undang Dasar 1945,
bahwa “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan,
perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang
sama dihadapan hukum” maupun ketentuan Pasal 28 I ayat 2
Undang-undang Dasar 1945 yang menyatakan bahwa “ Setiap
orang berhak bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas
dasar apapun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap
perlakuan yang bersifat diskriminatif itu”
Mengacu pada pasal-pasal dalam Undang-undang Dasar
1945 diatas, ketentuan Pasal 263 ayat 1 KUHAP dapat
dikatagorikan sebagai aliran yang diskriminatif, karena dalam
ketentuan pasal tersebut terdapat adanya ketidak seimbangan
perlakuan dihadapan hukum, yaitu adanya pembedaan hak antara
yang dimiliki terpidana atau ahli warisnya dengan korban
kejahatan atau masyarakat umum maupun negara, yang dalam hal
ini diwakili oleh Jaksa/Penuntut Umum. Karena apabila ketentuan
Pasal 263 ayat 1 KUHAP diterapkan secara strict oleh Mahkamah
Agung (hakim), akan terjadi fenomena perlakuan tidak adil dan
bersifat diskriminatif, terhadap korban kejahatan atau masyarakat
60
umum maupun negara, yang kepentingannya diwakili oleh
Jaksa/Penuntut Umum. Karena tidak menutup kemungkinan
putusan hakim yang telah dijatuhkan sebelumnya terdapat
kekeliruan atau kesalahan yang nyata.
Ternyata dalam perkembangan praktek peradilan di
Indonesia, terhadap ketentuan Pasal 263 ayat 1 KUHAP yang
dipandang telah mengandung perlakuan tidak adil dan bersifat
diskriminatif itu, Mahkamah Agung dalam beberapa perkara
pada akhir-akhir ini telah mengambil sikap telah membenarkan
atau mengabulkan, upaya hukum Peninjauan Kembali yang
diajukan oleh Jaksa/Penuntut Umum, yang dalam hal ini
mewakili kepentingan korban kejahatan atau masyarakat umum
maupun kepentingan negara.
Telah terjadi ketidak adilan dan perlakuan diskriminatif
dalam suatu peraturan, dengan telah terbitnya Surat Edaran
Mahkamah Agung Nomor 10 Tahun 2009 yang pada pokoknya
menyatakan bahwa “ upaya hukum Peninjauan Kembali baik
perdata maupun pidana yang diajukan lebih dari satu kali
bertentangan dengan undang-undang. Karena walaupun secara
normatif (Pasal 263 ayat 1 KUHAP), terpidana atau ahli
warisnya dapat mengajukan upaya hukum Peninjauan Kembali,
akan tetapi terkait dikabulkannya atau dibenarkannya upaya
hukum Peninjauan Kembali Jaksa/Penuntut Umum sebagai
61
perujudan mewakili kepentingan korban kejahatan atau
masyarakat umum maupun kepentingan negara, dalam hal ini
sesungguhnya secara faktual terpidana atau ahli warisnya belum
pernah menggunakan haknya yang diberikan undang-undang
untuk mengajukan upaya hukum Peninjauan Kembali. Sebab
bagaimana halnya ketika upaya hukum Peninjauan Kembali
Jaksa/Penuntut Umum dikabulkan atau dibenarkan oleh
Mahkamah Agung, ternyata kemudian terpidana atau ahli
warisnya menemukan atau memiliki bukti baru (novum) yang
mampu atau potensial dapat melumpuhkan putusan Mahkamah
Agung sebelumnya. Untuk menganalisa dan mencari solusi
terhadap permasalahan ini akan dilakukan analisa melalui teori
hukum ekologis oleh Carlos Cossio.
Dalam pengamatan Francois Geny, sebagaimana dikutip
oleh Wolfgang Friedmann, penafsiran code civil oleh pengadilan
Perancis, ternyata merupakan rangkaian aksi kreatif. Para hakim
tidak hanya mengandalkan undang-undang tetapi juga adat
kebiasaan, keputusan dan doktrin serta penelitian ilmiah yang
bebas. 62 Pendapat Francois Geny tersebut menentang metode
rasionalisme yang berkembang pada abab ke 18 dan ke 19 yang
meyakini bahwa undang-undang bersifat sempurna dan lengkap
62 Bernard L. Tanya, dkk, Op.cit hal 231
62
sehingga dapat diterapkan begitu saja pada perkara-perkara. 63
Menurut Francois Geny, undang-undang tidak sempurna (apalagi
peraturannya berupa surat edaran). Sebuah undang-undang
(begitu juga sebuah surat edaran) tidak pernah mampu dengan
sempurna mempersentasikan kebutuhan realitas yang ada dalam
bentangan kehidupan sosial. 64
Pada sisi yang berbeda, dengan teori lain yang membahas
bagaimana hakim atau pengadilan memandang dan menyikapi
suatu aturan hukum dalam penerapan suatu perkara, kiranya dapat
diambil teori hukum ekologis dari Carlos Cossio, bahwa hukum
sebagai objek ekologis, yakni perilaku manusia dalam campur
tangan intersubyektif. Menurut Carlos Cassio, pada dasarnya
keputusan pengadilan terdiri dari 3 ( tiga ) unsur utama, yakni
pertama struktur logis yang diturunkan dari suatu kerangka
aturan. Kedua, kesatuan isi dari suatu situasi yang disebabkan
oleh suatu keadaan khusus. Ketiga, penilaian yuridis yang
diberikan oleh hakim pada dua unsur ini dalam suatu situasi
tertentu 65.
Atas dasar itu menurut Carlos Cassio sebagaimana ditulis
Wolfgang Friedenan, bahwa dalam menghadapi suatu aturan
hukum, seorang hakim tidak bertindak sebagai robot tetapi
63 Theo Huijbers I, Op.cit, hal 247
64 Bernard L Tanya,dkk.Loc.cit
65 Bernard L. Tanya, dkk, Op.cit hal 233
63
sebagai manusia. Dalam konteks hakim sebagai manusia ia
dituntut mengambil keputusan yang sesuai dengan prinsip-prinsip
keadilan dan kepentingan umum. Dalam hal ini tiada norma yang
spesifik, para hakim wajib berusaha mengikuti prinsip-prinsip
hukum atau norma-norma dasar yang dianggap adil. Untuk
sampai pada suatu keputusan yang didasarkan atas konsep
keadilan 66.
Berkaitan dengan permintaan upaya hukum Peninjauan
Kembali, Mahkamah Agung sebagai salah satu lembaga tertinggi
pemegang atau penyelenggara kekuasaan kehakiman diharapkan
bisa memberikan kontribusi positif dalam penegak hukum. Oleh
karenanya produk putusan yang dihasilkan tentunya diharapkan,
disamping akan memberikan nilai kemanfaatan dan nilai keadilan
bagi masyarakat sebagaimana esensi dari cita hukum.
Nampaknya Mahkamah Agung dalam beberapa putusannya telah
mengabulkan suatu membenarkan upaya hukum Peninjauan
Kembali dari Jaksa/Penuntut Umum sebagai perwujudan yang
mewakili kepentingan korban kejahatan atau masyarakat umum
maupun kepentingan negara. Namun kemudian kembali
terjadinya ketidak adilan dalam peraturan berupa Surat Edaran
Nomor 10 Tahun 2009 yang dikeluarkan Mahkamah Agung
sebagaimana telah disinggung diatas.
66 Berrnard L. Tanya, dkk, Op.cit, hal 233-234
64
Tuntutan demikian seiring dengan dinamika
perkembangan masyarakat yang ada sekarang ini maupun
karakteristik masyarakat Indonesia, yaitu tuntutan adanya nilai
keseimbangan. Karena karakteristik masyarakat menurut Barda
Nawawi Arief, lebih bersifat monodualistik dan prulalistik, dan
berdasarkan berbagai kesimpulan seminar nasional, sumber
hukum nasional diharapkan berorientasi pada nilai-nilai hukum
yang hidup dalam masyarakat 67). Ide keseimbangan tersebut
antara lain mencakup ;
Keseimbangan monodualistik antara kepentingan
umum/masyarakat dan kepentingan individual/perorangan,
keseimbangan antara perlindungan atau kepentingan pelaku
tindak pidana dan korban tindak pidana, keseimbangan antara
kreteria formal dan material, maupun keseimbangan antara
kepastian hukum, kelenturan jelastisitas fleksibelitas dan
keadilan 68).
Atas pemahaman ide keseimbangan diatas, tentu sudah
seharusnya juga pandangan terhadap permintaan (upaya hukum)
Peninjauan kembali terhadap putusan pengadilan yang telah
memperoleh kekuatan hukum tetap, berisi nilai-nilai yang tidak
saja memenuhi nilai-nilai kepastiannya, akan tetapi juga
diharapkan memenuhi nilai-nilai keadilan. Hal tersebut kiranya
sesuai dengan filosofi peradilan, bahwa tujuan peradilan
memberikan nilai yang adil, yakni keadilan bagi masyarakat.
67 Barda Nawawi Arief, 2005, Pembaharuan Hukum Pidana,dalam Perspektif kajian Perbandingan, Citra
Aditya Bakti, Bandung (selanjutnya disebut Barda Nawawi Arief I) hal 7 68 Ibid, hal 12
65
Kedilan ialah terciptanya suatu suasana damai dikalangan
masyarakat. 69
Teori Carlos Cossio tersebut diambil kiranya sesuai filosofi
pradilan bahwa tujuan peradilan ialah memberikan nilai yang adil,
yakni keadilan bagi masyarakat. Sehingga dengan landasan teori
yang dikemukakan Carlos Cossio tersebut, esensi dari upaya
hukum Peninjauan Kembali sebagai hukum luar biasa untuk
mengoreksi terhadap segala adanya kesalahan atau kehilafan atau
adanya hal yang kurang adil dalam suatu putusan pengadilan
dapat dicapai, dengan tujuan agar masyarakat tidak sampai
dirugikan, yaitu baik bagi terpidana atau ahli warisnya maupun
bagi korban kejahatan atau masyarakat umum/kepentingan
negara.
Dari landasan teori tersebut, juga diharapkan dapat
mengimbangi kekakuan aturan hukum ketika terdapat norma yang
tidak adil maupun diskriminatif, juga apabila ketiadaan norma
yang mengatur persoalan konkrit yang terjadi dalam masyarakat.
Sebab seperti yang dikemukakan oleh Francois Geny, bahwa
undang-undang (peraturan) tidak pernah mampu dengan
sempurna mempresentasikan kebutuahan realitas yang ada
dalam bentangan waktu kehidupan sosial. Juga seperti yang
dikemukakan oleh Satjipto Rahardjo, hal tersebut disebabkan oleh
69 Soerjono Soekanto & Purnadi Purbacaraka, 1978,Prihal Kaedah Hukum, Alumni, Bandung, hal 19
66
karena dalam ilmu hukum yang legalistis positivitis, hukum
sebagai institusi pengaturan yang komplek telah di reduksi
menjadi suatu yang sederhana, linier, mekanistis, dan diteministis
terutama untuk kepentingan profesi. 70
Dalam legalistis positivistis, kebiasaan yang dominan
adalah melihat dan memahami hukum sebagai suatu yang rasional
logis, yang penuh dengan kerapian dan keteraturan.71 Padahal
sebagaimana dikatakan oleh Charles Samford, sesungguhnya
hukum itu tidak merupakan bangunan yang penuh dengan
keteraturan logis rasional. 72 Hukum dibangun dari hubungan
antar manusia bersifat Melee (keadaan cair sehingga tidak
memiliki format formal atau sruktur yang pasti dan kaku), yaitu
hubungan sosial antar individu dengan sekalian fariasi dan
kompleksitas. 73
Pemberlakuan Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 10
Tahun 2009 bagi pencari keadilan atau masyarakat umum.
Seyogyanya sesuai dengan prinsip keadilan dan tidak
diskriminatif dan juga seharusnya sesuai dengan konstitusi
negara, sebagaimana diatur dalam Pasal 28 D ayat 1 Undang-
undang Dasar 1945, yang menyatakan bahwa “setiap orang
berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian
70 Satjipto Rahardjo, 2000, Mengantarkan Keteraturan Menemukan Ketidakteraturan (Teacting Order
Finding Disorder, Pidato mengakhiri masa jabatan sebagai Guru Besar Tetap pada Fakultas Hukum Universitas
Diponogoro, Pleburan (selanjutnya disebut Satjipto Rahardjo III), hal.17 71 Ibid 72 Ibid 73 Ibid
67
hukum maupun sebagaimana yang diatur dalam Pasal 28 I ayat 2
Undang-undang Dasar 1945 yang menyatakan bahwa “setiap
orang berhak bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas
dasar apapun dan berhak mendapat perlindungan terhadap
perlakuan yang bersifat diaskriminatif itu.
1.7.2 Kerangka Berfikir atau Kerangka Teoritis (Teorical Framework)
Kerangka berfikir dari Si peneliti yang bersifat teoritis
mengenai masalah yang diteliti, yang menggambarkan hubungan
antara konsep-konsep atau variabel-variabel yang akan diteliti.
Kerangka berfikir tersebut dilandasi oleh teori-teori yang sudah
dirujuk sebelumnya.
Permasalah Upaya Hukum Peninjauan Kembali oleh
Jaksa/Penuntut Umum Dalam Praktek Peradilan di Indonesia, terus
menerus menjadi debatable antara kalangan praktisi terutama antara
Mahkamah Agung dengan kalangan akademisi maupun dari kalangan
pengacara. Akan tetapi terlepas dari debatable tersebut, bagaimana
korelasi dari ketentuan Peninjauan Kembali hanya dapat diajukan satu
kali, terhadap hak terpidana untuk mengajukan Peninjauan Kembali ,
terkait upaya hukum Peninjauan Kembali Jaksa/Penuntut Umum
dikabulkan oleh Mahkamah Agung.
Bertitik tolak dari landasan teori yang diacu dalam pengkajian
permasalahan, maka dapat dimuat suatu kerangka berfikir atau
kerangka teori atas dasar acuan teori-teori yang telah disebutkan atau
68
diuraikan tersebut diatas, yaitu untuk mengetahui bagaimana hak
terpidana untuk pengajuan upaya hukum Peninjauan Kembali yang
diberikan oleh undang-undang terhadap ketentuan Peninjauan
Kembali hanya dapat diajukan satu kali (Pasal 24 ayat 2 Undang-
undang Nomor 48 tahun 2009), ketika upaya hukum Peninjauan
Kembali oleh Jaksa/Penuntut Umum dikabulkan oleh Mahkamah
Agung, perlu dilakukan penelitian berdasarkan teori-teori yang telah
dikemukakan sebelumnya.
1.8 Metode Penelitian
Penelitian merupakan pedoman dari istilah research yang berasal dari
bahasa Inggris. Research terdiri dari kata re yang berarti kembali dan search
yang berarti mencari sehingga penelitian berati mencari kembali. Penelitian
dilakukan untuk mencari pengetahuan yang benar, yang akan digunakan
untuk menjawab masalah atau ketidaktahuan 74
1.8.1 Jenis Penelitian
Penelitian ini menggunakan jenis penelitian hukum Normatif
adalah penelitian hukum yang mengkaji hukum tertulis dari berbagai
aspek, yakni aspek teori, sejarah, filosofi, perbandingan struktur dan
komposisi, lingkup dan materi, konsistensi, penjelasan umum pasal
demi pasal, formalitas dan kekuatan mengikat suatu undang-undang,
serta bahasa hukum yang digunakan, akan tetapi penelitian hukum
74 Bambang Sunggono, 2007, Metode Penelitian Hukum, PT. Raja Gratindo Persada, Jakarta, Hal 27-28
69
normatif tidak mengkaji aspek terapan atau implementasinya. 75 Salah
satu ciri penelitian hukum normatif adalah berangkat dari kesenjangan
dalam norma/asas hukum. Sedangkan Johay Ibrahim menyatakan
penelitian hukum normatif adalah suatu prosedur penelitian ilmiah untuk
menemukan kebenaran berdasarkan logika. Keilmuan hukum dari sisi
normatifnya, logika keilmuan hukum dari sisi normatifnya dibangun
berdasarkan disiplin ilmiah dan cara-cara kerja ilmu hukum normatif. 76
1.8.2 Sumber Bahan Hukum dan Bahan Hukum
Jenis data dan sumber bahan-bahan hukum dalam penulisan ini,
terdiri dari data sekunder yang mencakup :
a. Bahan hukum primair, yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat dan
terdiri dari :
1) Norma atau kaidah dasar, yaitu Pembukaan Undang-
Undang Dasar 1945.
2) Peraturan dasar, terdiri dari :
- Batang Tubuh Undang-Undang Dasar 1945.
- Ketetapan-ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat
3). Peraturan perundang-undangan, yaitu :
- Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab
Undang-Undang Hukum acara pidana.
75 Abdul Kadir Muhamad,2004, Hukum dan Penelitian, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, Hal 101.
76 Johny Ibrahim, 2006, Teori dan Metode Penelitian Hukum Normatif, Bayu Media, Malang, hal 47.
70
- Yurisprudensi, yaitu putusan-putusan Mahkamah Agung
yang berkaitan dengan upaya hukum Peninjauan
Kembali yang dilakukan oleh Jaksa Penuntut Umum.
b. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan-bahan yang memberikan
penjelasan mengenai badan hukum primair, seperti Rancangan
Undang-undang, hasil-hasil penelitian, hasil karya dari kalangan
hukum yang berhubungan dengan upaya hukum Peninjauan
Kembali oleh Jaksa/Penuntut Umum.
c. Bahan hukum tertier, yakni bahan yang memberikan petunjuk
maupun penjelasan terhadap bahan hukum primair dan sekunder,
seperti kamus, ensiklopedia, indeks komulatif dan sebagainya.77
1.8.3 Metode Pengumpulan Bahan Hukum
Pada penelitian ini, metode yang digunakan dalam pengumpulan
data adalah dokumentasi. Pengumpulan data dengan metode
dokumentasi ini dilakukan melalui penelusuran terhadap sumber bahan
hukum Peninjauan Kembali, khususnya upaya hukum Peninjauan
Kembali oleh Jaksa/Penuntut Umum, serta membaca dan mempelajari
sumber-sumber bacaan, dokumen dan laporan yang berkaitan dengan
obyek penelitian.
Metode dokumentasi ini termasuk ke dalam penelitian
kepustakaan (library research) yang bertujuan untuk mendapatkan data
yang bersifat teoritis sebagai penunjang atau dasar teoritis dalam
77 Ibid. hal. 13
71
memahami teori. Setelah memperoleh bahan-bahan hukum dari hasil
penelitian kepustakaan, maka dilakukan pengelolaan bahan-bahan
hukum yang didapatkan dengan cara mengadakan sistematisasi terhadap
bahan-bahan hukum tertulis.
1.8.4 Pengolahan dan Analisa Bahan Hukum
Semua data yang telah berhasil diperoleh, kemudian dianalisis
dengan menggunakan metode kualitatif, yaitu dengan menganalisis
kualitas data yang diperoleh, baik dari bahan-bahan hukum primair,
sekunder maupun tersier, sehingga diperoleh gambaran yang jelas dan
relevan tentang permasalahan-permasalahan hukum tentang upaya
Peninjauan Kembali oleh Jaksa Penuntut Umum. Kemudian penarikan
kesimpulan dalam penelitian tesis ini menggunakan logika berpikir
deduktif, yaitu penalaran yang berlaku umum pada kasus konkrit yang
dihadapi. Proses yang terjadi dalam deduksi adalah konkritisasi, karena
hal-hal yang dirumuskan secara umum diterapkan pada keadaan khusus.
Sehingga aturan-aturan hukum yang bersifat umum dijabarkan dalam
wujud aturan-aturan hukum konkrit, sehingga dapat ditafsirkan dan
disimpulkan ke dalam aturan-aturan hukum khusus tentang Peninjauan
Kembali oleh Jaksa/Penuntut Umum.