Post on 06-Feb-2016
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Menurut World Health Organization (WHO), sehat diartikan sebagai
suatu keadaan sempurna baik fisik, mental dan sosial serta bukan saja
keadaan terhindar dari sakit maupun kecacatan. Sedangkan, kesehatan jiwa
menurut Undang-undang No 3 tahun 1996, adalah suatu kondisi yang
memungkinkan perkembangan fisik, intelektual dan emosional yang optimal
dan perkembangan itu selaras dengan keadaan orang lain (Riyadi dan
Purwanto, 2009).
Definisi isolasi sosial menurut Depkes RI (2000) yaitu suatu
gangguan hubungan interpersonal yang terjadi akibat adanya kepribadian
yang tidak fleksibel yang menimbulkan perilaku maladaptif dan mengganggu
fungsi seseorang dalam hubungan sosial. Menurut Balitbang (2007),
merupakan upaya menghindari suatu hubungan komunikasi dengan orang lain
karena merasa kehilangan hubungan akrab dan tidak mempunyai kesempatan
untuk berbagi rasa, pikiran dan kegagalan. Klien mengalami kesulitan dalam
berhubungan secara spontan dengan orang lain yang dimanifestasikan dengan
mengisolasi diri, tidak ada perhatian, dan tidak sanggup berbagi pengalaman
(Direja, 2011).
Hak untuk hidup bebas adalah hak asasi bagi setiap orang, tidak
terkecuali bagi penderita gangguan jiwa. Hal ini tercantum dalam Passal 42
2
Undang Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (UU
HAM) yang berbunyi: Setiap warga negara yang berusia lanjut, cacat fisik
dan atau cacat mental berhak memperoleh perawatan, pendidikan, pelatihan
dan bantuan khusus atas biaya negara, untuk menjamin kehidupan yang layak
sesuai dengan martabat kemanusiannya, meningkatkan rasa percaya diri, dan
kemampuan berpartisipasi dalam kehidupan bermasyarakat , berbangsa, dan
bernegara (Pramesti, 2013).
Mengenai hak-hak penderita gangguan jiwa juga dirumuskan
dalam Pasal 149 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang
Kesehatan (UU Kesehatan) yang berbunyi: Penderita gangguan jiwa yang
terlantar, menggelandang, mengancam keselamatan dirinya dan/atau orang
lain, dan/atau mengganggu ketertiban dan/atau keamanan umum wajib
mendapatkan pengobatan dan perawatan di fasilitas pelayanan kesehatan
(Pramesti, 2013).
Dari pasal di atas dapat kita ketahui bahwa orang dengan gangguan
mental/kejiwaan pun dilindungi oleh undang-undang untuk memperoleh
perawatan dan kehidupan layak sesuai dengan martabat kemanusiaannya.
Pengurungan atau pemasungan orang gila, sekalipun dilakukan oleh
keluarganya dengan tujuan keamanan untuk dirinya sendiri dan orang-orang
sekitar, merupakan perbuatan yang dikategorikan sebagai perampasan hak
untuk hidup secara layak, yang berarti melanggar hak asasi manusia
(Pramesti, 2013).
3
Menurut data dari WHO tahun 2011, lebih dari 24 juta orang didunia
mengalami gangguan jiwa berat. Harapan hidup orang dengan gangguan jiwa
berat adalah 12 sampai 15 tahun, dan 5 persen diantaranya memiliki
kecenderungan untuk bunuh diri (Ikrar, 2011).
Laporan Riskesdas 2013 menyebutkan, prevalensi gangguan jiwa
berat pada penduduk Indonesia 1,7 per mil. Gangguan jiwa berat terbanyak di
Yogyakarta, Aceh, Sulawesi Selatan, Bali, dan Jawa Tengah. Proporsi Rumah
Tangga yang pernah memasung Anggota Rumah Tangga yang mengalami
gangguan jiwa berat 14,3 persen dan terbanyak pada penduduk yang tinggal
di perdesaan (18,2%), serta pada kelompok penduduk dengan indeks
kepemilikan terbawah (19,5%). Prevalensi gangguan mental emosional
penduduk Indonesia 6,0 persen. Provinsi dengan prevalensi gangguan mental
emosional tertinggi adalah Sulawesi tengah, Sulawesi Selatan, Jawa Barat,
Yogyakarta, dan Nusa Tenggara Timur (Trihono, 2013).
Berdasarkan profil kesehatan Jawa Tengah tahun 2012 jumlah
kunjungan gangguan jiwa tahun 2012 di provinsi Jawa Tengah sebanyak
224.617, mengalami peningkatan dibanding tahun 2011 yang mencapai
198.387 kunjungan. Kunjungan terbanyak dirumah sakit yaitu 138.399
kunjungan atau 61,62 persen (Sugihantono A, 2012)
Berdasarkan data Rumah Sakit Jiwa Prof. Dr. Soerojo Magelang
tahun 2014 di beberapa ruangan pada bulan januari-mei, di dapatkan data
jumlah gangguan jiwa dengan halusinasi sebanyak 595 kasus, resiko perilaku
4
kekerasan sebanyak 264 kasus, isolasi sosial sebanyak 113 kasus, dan harga
diri rendah sebanyak 27 kasus.
WHO menyebutkan masalah utama gangguan jiwa di dunia adalah
skizofrenia. Salah satu perubahan yang muncul pada skizofrenia adalah
isolasi sosial. Pada penderita isolasi sosial, apabila tidak dilakukan intervensi
lebih lanjut, maka akan menyebabkan perubahan persepsi sensori : halusinasi
dan resiko menciderai diri, orang lain bahkan lingkungan. Perilaku yang
tertutup dengan orang lain juga bisa menyebabkan intoleransi aktivitas yang
akhirnya bisa berpengaruh terhadap ketidakmampuan untuk melakukan
perawatan secara mandiri (Direja, 2011). Isolasi sosial tidak hanya
berdampak secara individu pada klien yang mengalami tetapi juga pada sistim
klien secara keseluruhan yaitu keluarga dan lingkungan sosialnya. Isolasi
sosial dapat menurunkan produktifitas atau berdampak buruk pada fungsi di
tempat kerja, karena kecenderungan klien menarik diri dari peran dan fungsi
sebelum sakit, membatasi hubungan sosial dengan orang lain dengan berbagai
macam alasan (Wiyati R, Wahyuningsih D, Widiyanti E. D, 2010).
Untuk memenuhi kebutuhan orang dengan masalah kejiwaan yang
dipasung dan terlantar, diperlukan upaya yang komprehensif dari segala
aspek : kesehatan, ekonomi, dan sosial. Upaya tersebut dikenal dengan
program Menuju Indonesia Bebas Pasung yang diluncurkan pemerintah
melalui Kementrian Kesehatan. Upaya ini mengatur tentang peran
pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat dengan dibentuknya tim
Pembina, Pengarah, dan Pelaksana Kesehatan Jiwa Masyarakat (TP-JKN).
5
Pemerintah dan pemerintah daerah bertangggung jawab atas pemerataaan
penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan jiwa termasuk pembiayaan
pengobatan dan perawatan gangguan jiwa untuk masyarakat miskin.
Puskemas diberdayakan sehingga mampu menjadi ujung tombak pelayanan
kesehatan jiwa serta harus menyediakan pengobatan yang diperlukan. Rumah
Sakit Umum harus menyediakan tempat tidur sehingga dapat untuk merawat
orang dengan masalah kejiwaan (ODMK) yang memerlukan perawatan.
Rumah Sakit Jiwa selain sebagai pusat rujukan juga harus mampu menjadi
pusat pembinaan kesehatan jiwa bagi layanan kesehatan jiwa di wilayahnya.
Untuk memudahkan pelayanan kesehatan jiwa bagi masyarakat, pemerintah
juga menyertakan kesehatan jiwa kedalam Jaminan Kesehatan Nasional
(Sedyaningsih, 2010).
Peran serta masyarakat diharapkan mampu mengenali kasus-kasus
gangguan jiwa di masyarakat, menghindari pemasungan dan mendorong
anggota masyarakat untuk berobat dan melakukan kontrol (Sedyaningsih,
2010)
Prosedur penangan pasien dengan gangguan jiwa di RSJ Prof. Dr.
Soerojo Magelang yaitu dengan menggunakan Strategi Pelaksanaan (SP)
kepada pasien maupun keluarga (jika ada kunjungan keluarga) dan Terapi
Aktifitas Kelompok (TAK). SP dan TAK yang diberikan tergantung dari jenis
gangguan jiwa yang dialami oleh pasien.
6
Selain itu, perawatan penderita gangguan jiwa difokuskan pada basis
komunitas. Hal ini sesuai dengan hasil Konferensi Nasional 1 Keperawatan
Jiwa pada bulan oktober tahun 2004 (Direja, 2011).
Berdasarkan latar belakang di atas penulis tertarik untuk melakukan
asuhan keperawatan Isolasi Sosial pada Tn. S Di Wisma Drupada RSJ. Prof.
Dr Soerojo Magelang.
B. Tujuan Penulisan
Adapun tujuan dari pembuatan Karya Tulis Ilmiah ini adalah:
1. Tujuan Umum:
Penulis mampu melakukan asuhan keperawatan isolasi sosial pada Tn. S
secara optimal.
2. Tujuan Khusus:
a) Penulis mampu melakukan pengkajian pada klien dengan masalah
isolasi sosial.
b) Membuat analisa data dan merumuskan diagnosa keperawatan yang
timbul pada klien dengan masalah isolasi sosial.
c) Membuat perencanaan meliputi tujuan dan rencana tindakan sesuai
dengan diagnosa keperawatan berdasarkan prioritas masalah pada
klien dengan isolasi sosial.
d) Melaksanakan tindakan keperawatan sesuai dengan rencana tindakan
pada klien dengan isolasi sosial.
7
e) Melaksanakan evaluasi berdasarkan kriteria yang ingin dicapai
setelah melakukan tindakan keperawatan pada klien dengan isolasi
sosial.
f) Melaksanakan dokumentasi keperawatan sebagai bukti dalam
melakukan asuhan keperawatan pada klien dengan isolasi sosial.
C. Pengumpulan Data
Penulisan KTI : laporan kasus ini dengan menggambarkan masalah
yang terjadi pada saat melaksanakan asuhan keperawatan. Adapun teknik
pengumpulan data yang digunakan adalah :
1. Observasi-Partisipatif
Yaitu penulis melakukan pengamatan secara langsung dan turut serta
dalam melakukan tindakan pelayanan kesehatan.
2. Wawancara
Yaitu penulis melakukan pengumpulan data dengan cara tanya jawab
langsung kepada pasien dan keluarga pasien (jika ada kunjungan pasien).
3. Studi dokumentasi
Yaitu dengan mengadakan pendokumentasian dengan cara diambil dan
dipelajari dari catatan medis.
4. Studi Pustaka
Mempelajari buku-buku dan sumber lain yang relevan dan dapat di
anggap sebagai bahan teoritis yang mendukung dan berkaitan dengan
kasus isolasi sosial.
8
D. Batasan Masalah
Dalam penulisan Karya Tulis Ilmiah ini, penulis hanya akan
melakukan ASUHAN KEPERAWATAN PADA TN.S DENGAN ISOLASI
SOSIAL DI WISMA DRUPADA RSJ. Prof. Dr. SOEROJO MAGELANG.