BAB I. pdf

8
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Menurut World Health Organization (WHO), sehat diartikan sebagai suatu keadaan sempurna baik fisik, mental dan sosial serta bukan saja keadaan terhindar dari sakit maupun kecacatan. Sedangkan, kesehatan jiwa menurut Undang-undang No 3 tahun 1996, adalah suatu kondisi yang memungkinkan perkembangan fisik, intelektual dan emosional yang optimal dan perkembangan itu selaras dengan keadaan orang lain (Riyadi dan Purwanto, 2009). Definisi isolasi sosial menurut Depkes RI (2000) yaitu suatu gangguan hubungan interpersonal yang terjadi akibat adanya kepribadian yang tidak fleksibel yang menimbulkan perilaku maladaptif dan mengganggu fungsi seseorang dalam hubungan sosial. Menurut Balitbang (2007), merupakan upaya menghindari suatu hubungan komunikasi dengan orang lain karena merasa kehilangan hubungan akrab dan tidak mempunyai kesempatan untuk berbagi rasa, pikiran dan kegagalan. Klien mengalami kesulitan dalam berhubungan secara spontan dengan orang lain yang dimanifestasikan dengan mengisolasi diri, tidak ada perhatian, dan tidak sanggup berbagi pengalaman (Direja, 2011). Hak untuk hidup bebas adalah hak asasi bagi setiap orang, tidak terkecuali bagi penderita gangguan jiwa. Hal ini tercantum dalam Passal 42

Transcript of BAB I. pdf

Page 1: BAB I. pdf

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Menurut World Health Organization (WHO), sehat diartikan sebagai

suatu keadaan sempurna baik fisik, mental dan sosial serta bukan saja

keadaan terhindar dari sakit maupun kecacatan. Sedangkan, kesehatan jiwa

menurut Undang-undang No 3 tahun 1996, adalah suatu kondisi yang

memungkinkan perkembangan fisik, intelektual dan emosional yang optimal

dan perkembangan itu selaras dengan keadaan orang lain (Riyadi dan

Purwanto, 2009).

Definisi isolasi sosial menurut Depkes RI (2000) yaitu suatu

gangguan hubungan interpersonal yang terjadi akibat adanya kepribadian

yang tidak fleksibel yang menimbulkan perilaku maladaptif dan mengganggu

fungsi seseorang dalam hubungan sosial. Menurut Balitbang (2007),

merupakan upaya menghindari suatu hubungan komunikasi dengan orang lain

karena merasa kehilangan hubungan akrab dan tidak mempunyai kesempatan

untuk berbagi rasa, pikiran dan kegagalan. Klien mengalami kesulitan dalam

berhubungan secara spontan dengan orang lain yang dimanifestasikan dengan

mengisolasi diri, tidak ada perhatian, dan tidak sanggup berbagi pengalaman

(Direja, 2011).

Hak untuk hidup bebas adalah hak asasi bagi setiap orang, tidak

terkecuali bagi penderita gangguan jiwa. Hal ini tercantum dalam Passal 42

Page 2: BAB I. pdf

2

Undang Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (UU

HAM) yang berbunyi: Setiap warga negara yang berusia lanjut, cacat fisik

dan atau cacat mental berhak memperoleh perawatan, pendidikan, pelatihan

dan bantuan khusus atas biaya negara, untuk menjamin kehidupan yang layak

sesuai dengan martabat kemanusiannya, meningkatkan rasa percaya diri, dan

kemampuan berpartisipasi dalam kehidupan bermasyarakat , berbangsa, dan

bernegara (Pramesti, 2013).

Mengenai hak-hak penderita gangguan jiwa juga dirumuskan

dalam Pasal 149 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang

Kesehatan (UU Kesehatan) yang berbunyi: Penderita gangguan jiwa yang

terlantar, menggelandang, mengancam keselamatan dirinya dan/atau orang

lain, dan/atau mengganggu ketertiban dan/atau keamanan umum wajib

mendapatkan pengobatan dan perawatan di fasilitas pelayanan kesehatan

(Pramesti, 2013).

Dari pasal di atas dapat kita ketahui bahwa orang dengan gangguan

mental/kejiwaan pun dilindungi oleh undang-undang untuk memperoleh

perawatan dan kehidupan layak sesuai dengan martabat kemanusiaannya.

Pengurungan atau pemasungan orang gila, sekalipun dilakukan oleh

keluarganya dengan tujuan keamanan untuk dirinya sendiri dan orang-orang

sekitar, merupakan perbuatan yang dikategorikan sebagai perampasan hak

untuk hidup secara layak, yang berarti melanggar hak asasi manusia

(Pramesti, 2013).

Page 3: BAB I. pdf

3

Menurut data dari WHO tahun 2011, lebih dari 24 juta orang didunia

mengalami gangguan jiwa berat. Harapan hidup orang dengan gangguan jiwa

berat adalah 12 sampai 15 tahun, dan 5 persen diantaranya memiliki

kecenderungan untuk bunuh diri (Ikrar, 2011).

Laporan Riskesdas 2013 menyebutkan, prevalensi gangguan jiwa

berat pada penduduk Indonesia 1,7 per mil. Gangguan jiwa berat terbanyak di

Yogyakarta, Aceh, Sulawesi Selatan, Bali, dan Jawa Tengah. Proporsi Rumah

Tangga yang pernah memasung Anggota Rumah Tangga yang mengalami

gangguan jiwa berat 14,3 persen dan terbanyak pada penduduk yang tinggal

di perdesaan (18,2%), serta pada kelompok penduduk dengan indeks

kepemilikan terbawah (19,5%). Prevalensi gangguan mental emosional

penduduk Indonesia 6,0 persen. Provinsi dengan prevalensi gangguan mental

emosional tertinggi adalah Sulawesi tengah, Sulawesi Selatan, Jawa Barat,

Yogyakarta, dan Nusa Tenggara Timur (Trihono, 2013).

Berdasarkan profil kesehatan Jawa Tengah tahun 2012 jumlah

kunjungan gangguan jiwa tahun 2012 di provinsi Jawa Tengah sebanyak

224.617, mengalami peningkatan dibanding tahun 2011 yang mencapai

198.387 kunjungan. Kunjungan terbanyak dirumah sakit yaitu 138.399

kunjungan atau 61,62 persen (Sugihantono A, 2012)

Berdasarkan data Rumah Sakit Jiwa Prof. Dr. Soerojo Magelang

tahun 2014 di beberapa ruangan pada bulan januari-mei, di dapatkan data

jumlah gangguan jiwa dengan halusinasi sebanyak 595 kasus, resiko perilaku

Page 4: BAB I. pdf

4

kekerasan sebanyak 264 kasus, isolasi sosial sebanyak 113 kasus, dan harga

diri rendah sebanyak 27 kasus.

WHO menyebutkan masalah utama gangguan jiwa di dunia adalah

skizofrenia. Salah satu perubahan yang muncul pada skizofrenia adalah

isolasi sosial. Pada penderita isolasi sosial, apabila tidak dilakukan intervensi

lebih lanjut, maka akan menyebabkan perubahan persepsi sensori : halusinasi

dan resiko menciderai diri, orang lain bahkan lingkungan. Perilaku yang

tertutup dengan orang lain juga bisa menyebabkan intoleransi aktivitas yang

akhirnya bisa berpengaruh terhadap ketidakmampuan untuk melakukan

perawatan secara mandiri (Direja, 2011). Isolasi sosial tidak hanya

berdampak secara individu pada klien yang mengalami tetapi juga pada sistim

klien secara keseluruhan yaitu keluarga dan lingkungan sosialnya. Isolasi

sosial dapat menurunkan produktifitas atau berdampak buruk pada fungsi di

tempat kerja, karena kecenderungan klien menarik diri dari peran dan fungsi

sebelum sakit, membatasi hubungan sosial dengan orang lain dengan berbagai

macam alasan (Wiyati R, Wahyuningsih D, Widiyanti E. D, 2010).

Untuk memenuhi kebutuhan orang dengan masalah kejiwaan yang

dipasung dan terlantar, diperlukan upaya yang komprehensif dari segala

aspek : kesehatan, ekonomi, dan sosial. Upaya tersebut dikenal dengan

program Menuju Indonesia Bebas Pasung yang diluncurkan pemerintah

melalui Kementrian Kesehatan. Upaya ini mengatur tentang peran

pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat dengan dibentuknya tim

Pembina, Pengarah, dan Pelaksana Kesehatan Jiwa Masyarakat (TP-JKN).

Page 5: BAB I. pdf

5

Pemerintah dan pemerintah daerah bertangggung jawab atas pemerataaan

penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan jiwa termasuk pembiayaan

pengobatan dan perawatan gangguan jiwa untuk masyarakat miskin.

Puskemas diberdayakan sehingga mampu menjadi ujung tombak pelayanan

kesehatan jiwa serta harus menyediakan pengobatan yang diperlukan. Rumah

Sakit Umum harus menyediakan tempat tidur sehingga dapat untuk merawat

orang dengan masalah kejiwaan (ODMK) yang memerlukan perawatan.

Rumah Sakit Jiwa selain sebagai pusat rujukan juga harus mampu menjadi

pusat pembinaan kesehatan jiwa bagi layanan kesehatan jiwa di wilayahnya.

Untuk memudahkan pelayanan kesehatan jiwa bagi masyarakat, pemerintah

juga menyertakan kesehatan jiwa kedalam Jaminan Kesehatan Nasional

(Sedyaningsih, 2010).

Peran serta masyarakat diharapkan mampu mengenali kasus-kasus

gangguan jiwa di masyarakat, menghindari pemasungan dan mendorong

anggota masyarakat untuk berobat dan melakukan kontrol (Sedyaningsih,

2010)

Prosedur penangan pasien dengan gangguan jiwa di RSJ Prof. Dr.

Soerojo Magelang yaitu dengan menggunakan Strategi Pelaksanaan (SP)

kepada pasien maupun keluarga (jika ada kunjungan keluarga) dan Terapi

Aktifitas Kelompok (TAK). SP dan TAK yang diberikan tergantung dari jenis

gangguan jiwa yang dialami oleh pasien.

Page 6: BAB I. pdf

6

Selain itu, perawatan penderita gangguan jiwa difokuskan pada basis

komunitas. Hal ini sesuai dengan hasil Konferensi Nasional 1 Keperawatan

Jiwa pada bulan oktober tahun 2004 (Direja, 2011).

Berdasarkan latar belakang di atas penulis tertarik untuk melakukan

asuhan keperawatan Isolasi Sosial pada Tn. S Di Wisma Drupada RSJ. Prof.

Dr Soerojo Magelang.

B. Tujuan Penulisan

Adapun tujuan dari pembuatan Karya Tulis Ilmiah ini adalah:

1. Tujuan Umum:

Penulis mampu melakukan asuhan keperawatan isolasi sosial pada Tn. S

secara optimal.

2. Tujuan Khusus:

a) Penulis mampu melakukan pengkajian pada klien dengan masalah

isolasi sosial.

b) Membuat analisa data dan merumuskan diagnosa keperawatan yang

timbul pada klien dengan masalah isolasi sosial.

c) Membuat perencanaan meliputi tujuan dan rencana tindakan sesuai

dengan diagnosa keperawatan berdasarkan prioritas masalah pada

klien dengan isolasi sosial.

d) Melaksanakan tindakan keperawatan sesuai dengan rencana tindakan

pada klien dengan isolasi sosial.

Page 7: BAB I. pdf

7

e) Melaksanakan evaluasi berdasarkan kriteria yang ingin dicapai

setelah melakukan tindakan keperawatan pada klien dengan isolasi

sosial.

f) Melaksanakan dokumentasi keperawatan sebagai bukti dalam

melakukan asuhan keperawatan pada klien dengan isolasi sosial.

C. Pengumpulan Data

Penulisan KTI : laporan kasus ini dengan menggambarkan masalah

yang terjadi pada saat melaksanakan asuhan keperawatan. Adapun teknik

pengumpulan data yang digunakan adalah :

1. Observasi-Partisipatif

Yaitu penulis melakukan pengamatan secara langsung dan turut serta

dalam melakukan tindakan pelayanan kesehatan.

2. Wawancara

Yaitu penulis melakukan pengumpulan data dengan cara tanya jawab

langsung kepada pasien dan keluarga pasien (jika ada kunjungan pasien).

3. Studi dokumentasi

Yaitu dengan mengadakan pendokumentasian dengan cara diambil dan

dipelajari dari catatan medis.

4. Studi Pustaka

Mempelajari buku-buku dan sumber lain yang relevan dan dapat di

anggap sebagai bahan teoritis yang mendukung dan berkaitan dengan

kasus isolasi sosial.

Page 8: BAB I. pdf

8

D. Batasan Masalah

Dalam penulisan Karya Tulis Ilmiah ini, penulis hanya akan

melakukan ASUHAN KEPERAWATAN PADA TN.S DENGAN ISOLASI

SOSIAL DI WISMA DRUPADA RSJ. Prof. Dr. SOEROJO MAGELANG.