Post on 08-Nov-2020
33
BAB 4
IDENTITAS TERITORIAL DI NEGRI HATUNURU
Dalam bab ini, gambaran umum tentang negri Hatunuru
kemudian disajikan dengan turut mengangkat fenomena-fenomena
identitas teritorial di Hatunuru. Bagian ini juga turut mengulas Pulau
Seram, Kabupaten SBB, dan Kecamatan Taniwel Timur secara singkat.
Pulau Seram
Sebelum memberi deskripsi tentang negri Hatunuru, agaknya
terlebih dahulu penulis memberi sedikt gambaran umum tentang Pulau
Seram yang di dalamnya negri Hatunuru berada.
Pulau Seram dikenal atau sering disebut Nusa Ina7 oleh
masyarakat Maluku. Kosmologi Nusa Ina atau Pulau Ibu sendiri tidak
dapat dilepaskan oleh pemahaman dan pemaknaan masyarakat Maluku
terkhususnya masyarakat Nusa Apono (Pulau Ambon), Nusa Ama
(Pulau Haruku), Nusa Iha (Pulau Saparua), dan Nusa Laut tentang asal -
muasal masyarakat tersebut, sehingga sering dijumpai kata gandong
maupun pela8 antara negri-negri tersebut dan negri-negri di Pulau
Seram. Pengaruh Kerajaan Nunusaku9 sebagai mitos integrasi sosial di
Pulau Seram menjadi transfer pengetahuan (penuturan lisan) yang kuat,
melekat erat dalam memori kolektif masyarakat pulau-pulau tersebut,
7 Nusa Ina adalah nama lain dari Pulau Ibu 8 Baik gandong dan pela memiliki makna tentang kekerabatan atau hubungan sosial
yang dilatar belakangi oleh peristiwa sosial budaya, sehingga sejarah ini kemudian diwariskan lintas generasi. 9 Nunusaku merupakan mitos yang berkembang sampai pada saat ini terkait dengan
asal-muasal masyarakat Maluku mula-mula. Kata Nunu sendiri diartikan sebagai pohon beringin, dan saku adalah marsegu atau kelelawar.
IDENTITAS TERITORIAL Studi Tentang Identitas Teritorial di Negri Hatunuru
34
bahwa Pulau Seram adalah sebagai tanah pusaka. Sebagaimana dalam
sebuah kapata10 berbunyi;
“Nunu e Nunu e, Nusaku Nusa Ina. Suru Siwa Lima o, Lau Latane Samasuru” (Oh beringin pelindung Nusa Ina, meneruskan pata siwa dan pata lima terbagi-bagi ke pesisir pantai).
Berdasar pada kapata di atas, maka dapat ditemukan kesan
logis terkait masyarakat di Pulau Ambon dan sekitanya adalah
kelompok yang mendiami wilayah pesisir Pulau Seram pada mula-
mula. Penulis mengambil salah satu contoh dari luar negri Hatunuru
yaitu, negri Hukurila. Masyarakat Hukurila ketika mendiami wilayah
pesisir Pulau Seram, mereka sebelumnya turun dari wilayah
pegunungan Seram Bagian Barat yaitu, Hukuanakota. Kelompok
Hukurila saat itu kemudian mendiami wilayah pesisir yang sekarang
dikenal dengan nama Tihulale atau negri Tihulale. Pengalaman historis
ini kemudian memberi suatu hubungan kekeluargaan antara Hukurila
(di Pulau Ambon), Hukuanakota (Kecamatan Inamosol, Kabupaten
SBB), dan Tihulale (Kecamatan Amalatu, Kabupaten SBB).
Pulau Seram didiami oleh suku Alifuru, suku Alifuru ini
kemudian terbagi menjadi suku Pata Alone Halune atau dikenal
sebagai suku Alune, dan Pata Wemale Mamale atau dikenal sebagai
suku Wemale. Perbedaan menonjol dari dua suku ini melalui tradisi
adalah, Alune melakukan perayaan adat ketika kelahiran anak,
sementara Wemale melakukan ritual adat apabila menstruasi. Di
Hatunuru dikenal sebagai kase kaluar anak11 dan halawane12.
Pulau Seram juga memiliki tiga batang air/tiga sungai yang
disebut sebagai Kwele Batai Telu (Tiga Batang Air) yaitu, Tala Batai (sungai Tala), Eti Batai (sungai Eti), dan Sapalewa Batai (sungai
10
Kapata merupakan penuturan lisan melalui syair maupun lagu yang sering menghiasi pagelaran adat atau ritual-ritual pada masyarakat tradisional di Maluku 11
Kase kaluar anak atau mengeluarkan anak bukan dalam arti mengeluarkan dari dalam rahim ibu, tetapi lebih kepada mengeluarkan anak dari dalam rumah agar masyarakat mengenal anak tersebut, dilakukan biasanya setelah satu minggu atau bahkan satu bulan. Hal ini merupakan tradisi suku Alune yang kemudian diadopsi juga oleh suku Wemale 12
Halawane merupakan upacara kedewasaan. Bagi seorang gadis, apabila menstruasi pertama maka ia akan diasingkan ke hutan, sampai ia dianggap bersih.
Identitas Teritorial di Negri Hatunuru
35
Sapalewa). Pada zaman dahulu, ketiga sungai tersebut menjadi media
migrasi leluhur dari wilayah pegunungan ke wilayah pesisir.
Pulau Seram memiliki luas, 18.652 km2 sekaligus menjadi pulau
terbesar dan terluas di Provinsi Maluku. Secara geografis, Pulau Seram
terletak di sebelah utara Pulau Ambon. Secara administratif, Pulau
Seram memiliki tiga Kabupaten yaitu, Kabupaten Maluku Tengah yang
beribu kota di Masohi, Kabupaten Seram Bagian Barat yang beribu kota
di Piru, dan Kabupaten Seram Bagian Timur yang beribu kota di Bula.
Pulau Seram berada pada garis wallacea, dan memiliki fauna endemik
juga spesies yang khas dengan ekoregion Asia dan Australia. Hampir
seperlima dari hutan di Pulau Seram telah terdegradasi meliputi
sepanjang kawasan pesisir utara, tetapi sebagian hutan masih tetap
utuh. Pulau Seram memiliki iklim hutan hujan tropis13. Berikut adalah
peta Pulau Seram.
Sumber : Google Image
Gambar 4.1. Peta Pulau Seram
Sekilas Mengenai Kabupaten SBB dan Kecamatan Taniwel
Timur
Kabupaten SBB memiliki 11 kecamatan yang terdiri dari;
kecamatan Kairatu, Kairatu Barat, Ina Mosol, Amalatu, Elpaputih,
Huamual, Huamual belakang, Kepulauan Manipa, Taniwel, Seram
13
http://www.eoearth.org/view/article/51cbeede7896bb431f69acc3/
IDENTITAS TERITORIAL Studi Tentang Identitas Teritorial di Negri Hatunuru
36
Barat, dan Taniwel Timur. Dengan luas kabupaten mencapai 6.498,40
km2. Sebagian besar wilayah kecamatan di Kabupaten SBB terletak pada
wilayah pesisir. Selain itu, produksi unggulan di SBB ialah ubi kayu,
yang tercatat pada tahun 2015 memiliki luas lahan mencapai 10.209ha,
dan produksinya meningkat sampai pada jumlah 185.250 ton.
Berdasarkan data yang diperoleh melalui BPS Kabupaten SBB tahun
2015, jumlah penduduk Kabupaten SBB mencapai 180.256 jiwa yang
terdiri atas 92.187 jiwa laki-laki, dan 88.069 jiwa perempuan. Dalam
rangka menggambarkan wilayah Kabupaten SBB, berikut lampiran peta
Kabupaten SBB.
Sumber : BPS Kabupaten SBB, 2015
Gambar 4.2. Peta Kabupaten SBB
Kecamatan Taniwel Timur terletak pada wilayah pesisir atau
seluruh negri-negri di Taniwel Timur berada pada wilayah pesisir,
negri-negri yang berada di Kecamatan Taniwel Timur terdiri dari; negri Sohuwe, Maloang, Lumahlatal, Hatunuru, Matapa, Sekasale,
Makububui, Sukaraja, Lumahpelu. Uwen Pantai, Tounusa, Musihuwei,
Solea, Waraloin, dan Walakone. Luas wilayah Taniwel Timur
mencapai, 733.80 km2. Sedangkan angka kepadatan penduduk sampai
pada tahun 2015 di Kecamatan Taniwel Timur dapat dilihat pada
lampiran gambar di bawah ini.
Identitas Teritorial di Negri Hatunuru
37
Sumber: BPS Kecamatan Taniwel Timur, 2015
Gambar 4.3. Jumlah Penduduk Kecamatan Taniwel Timur
Gambaran Umum Negri Hatunuru
Sumber : Citra Satelit, oleh Greogurius Anung
Gambar 4.4. Peta Letak Hatunuru
Negri Hatunuru secara administratif berada pada Kecamatan
Taniwel Timur, Kabupaten SBB, Provinsi Maluku. Hatunuru terletak
pada wilayah pesisir yang berbatasan langsung dengan Laut Seram di
sebelah utara, negri Matapa di sebelah timur, hutan di sebelah selatan,
dan negri Lumahlatal di sebelah barat. Hatunuru dihuni oleh 317 jiwa
dengan kalkulasi, 154 jiwa laki-laki dan 163 jiwa perempuan dari total
81 kepala keluarga. Ketika melakukan kalkulasi menggunakan citra
satelit untuk mendapat informasi tentang luas wilayah maka ditemukan
IDENTITAS TERITORIAL Studi Tentang Identitas Teritorial di Negri Hatunuru
38
luas wilayah Hatunuru mencapai 1.71 m2, sementara luas petuanan di
Hatunuru yang diklaim oleh masyarakat Hatunuru mencapai 2000ha.
Selain itu, kondisi topografis di Hatunuru adalah tanah berpasir yang
digunakan sebagai area pemukiman, sementara area sumber nafkah
terdapat di dalam hutan. Berikut letak Hatunuru yang diperoleh
melalui citra satelit.
Hatunuru Secara Etimologi
Hatunuru secara etimologi terdiri atas dua kata yakni, hatu dan
nuru. Kata hatu sendiri dalam bahasa kesukuan merupakan penyebutan
lain dari kata batu dan atau hatu diartikan sebagai batu. Kemudian kata
nuru sendiri memiliki arti ganda yaitu, berburu (kata kerja) dan
kelompok (kata benda). Jika kata hatu dan nuru dipadukan maka hatu
dan nuru dimaknai sebagai “batu yang keras” oleh masyarakat
Hatunuru sendiri. Batu yang keras sebagai hasil pemaknaan etimologi
ini memberi kesan bahwa masyarakat Hatunuru merupakan salah satu
dari sekian kelompok yang berpegang pada prinsip, dan memiliki
perwatakan keras atau bersifat teguh pendirian, tidak ingin diatur oleh
pihak eksogen.
Berdasar pada pemaknaan kata batu maka secara semiotika di
Hatunuru, maka batu sebagai tanda atau simbol mengarahkan
masyarakat Hatunuru kepada pengenalan akan identitas, pengenalan
akan teritorial, relasi atau kekerabatan yang bertahan lama, dan tanda
perjanjian. Pertama, identitas hadir melalui pemaknaan kolektif
berdasar pada hegemoni politik di masa lampau seputar ekspansi
wilayah. Keadaan ini mendorong masyarakat Hatunuru untuk terus
berperang demi menduduki wilayah baru. Identitas sebagai pemaknaan
simbolik terhadap batu termanifestasi melalui tradisi perang kelompok
Hatunuru yang selalu melakukan arak-arakan dengan mengangkat batu
yang besar sebelum dan sesudah perang. Dengan demikian, ada kesan
kekuasaan mencitrai identitas di Hatunuru melalui simbol batu yaitu,
masyarakat Hatunuru yang disegani dan ditakuti oleh musuh14.
14
Berdasarkan penuturan lisan MM, pada tanggal 28 Mei 2015
Identitas Teritorial di Negri Hatunuru
39
Kedua, sebagai teritorial adalah melalui ekspansi di masa lampau.
Apabila wilayah musuh telah direbut atau dikuasai maka batu
dijadikan sebagai penanda wilayah. Keadaan di masa lampau ini
memberikan dampak pada luasnya petuanan masyarakat Hatunuru
kontemporer yang kemudian dibagikan kepada beberap negri untuk
dijadikan sebagai wilayah pemukiman15. Hal ini lebih dikenal sebagai
tradisi sejarah heka leka atau membunuh untuk hidup baru. Dengan
kata lain, membunuh untuk hidup baru erat kaitaanya dengan
memusnahkan musuh untuk merebut wilayah atau teritorial musuh
yang dianggap memiliki banyak SDA untuk digunakan.
Ketiga, kekerabatan yang bertahan lama adalah esensi dua suku
yang membentuk satu komunitas yaitu, Hatunuru. Berdasar pada
penuturan lisan beberapa tokoh adat, suku Wemale dan Alune telah
hidup berdampingan di Hatunuru sejak masa dahulu kala, dan
kekerabatan itu tetap terpelihara hingga saat ini. Fenomena langkah ini
memang jarang ditemukan, pasalnya dua suku ini merupakan rival
perang pada zaman dahulu, sebagaimana terjadi di wilayah
pegunungan antara Sumit sebagai suku Wemale dan Hukuanakota
sebagai suku Alune. Keadaan ini kemudian membentuk makna nuru yaitu kelompok dan berburu. Dengan kata lain, kelompok berburu atau
nomaden ini dipertemukan dan mengangkat janji melalui ritual minum
darah agar ada ikatan keluarga yang baru. Dengan demikian, simbol
batu membentuk modal sosial sebagai kepercayaan antara dua suku
yang dipersatukan16.
Keempat, tanda perjanjian lebih menonjolkan sisi religio
masyarakat Hatunuru melalui persembahan hasil-hasil pertanian
maupun perburuan kepada sang Upu Lanite17 melalui batu. Maksudnya
ialah, hasil-hasil pertanian itu diletakan di atas batu dan
dipersembahkan. Hal ini dilakukan agar mereka bisa memenagkan
peperangan18.
15
Berdasarkan penuturan lisan IM, pada tanggal 20 Mei 2015 16
Berdasarkan penuturan lisan MR, pada tanggal 30 Mei 2015 17
Upu Lanite diartikan sebagai Tuhan, atau tuan yang berada di atas langit 18
Berdasarkan penuturan beberapa tokoh adat di Hatunuru
IDENTITAS TERITORIAL Studi Tentang Identitas Teritorial di Negri Hatunuru
40
Proses inisiasi maupun integrasi dua suku tersebut tidak
diceritakan secara terperinci oleh para tokoh adat setempat, karena
ingatan mereka telah termakan usia. Namun, menurut mereka sebagai
informan, bersatunya dua suku ini adalah karena kehidupan yang
berpindah-pindah, dan dipertemukan oleh takdir kemudian
diasosiasikan secara simbolik melalui pemaknaan tradisional terhadap
batu. Sehingga sampai saat ini, esensi “batu yang keras” adalah
semboyan mereka sebagai masyarakat yang memiliki kekhasan.
Struktur Pemerintahan Negri Hatunuru
Pemerintahan desa yang membasiskan budaya lokal memang
menjadi khas negri-negri di Maluku sampai pada saat ini. Hal tersebut
telah diatur dalam UU Nomor 32 Tahun 2004, tentang pengaturan
budaya lokal dalam sistem pemerintahan desa. PERDA Provinsi
Maluku Nomor 7 Tahun 2011 juga telah mengatur tentang penguatan
kapasitas kelembagaan negri. Dengan demikian, pemerintah negri-negri di Maluku sejatinya berdasar pada kedaulatan raja sebagai
pimpinan tertinggi. Berdasar pada hal-hal yang telah disebutkan, maka
dalam sistem pemerintahan di Hatunuru dapat digambarkan pada
gambar di bawah ini.
Gambar 4.5. Struktur Pemerintahan Negri Hatunuru
Raja BPD
Sekretaris Negri
Soa Wemale Soa Alune
Marinyo
Masyarakat Adat Hatunuru
Identitas Teritorial di Negri Hatunuru
41
Strukur pemerintahan di Hatunuru memberi tanggung jawab
penuh terhadap BPD sebagai institusi yang memilih calon raja berdasar
pada kriteria yang ditetapkan oleh BPD sendiri, dan hal ini dijalankan
secara demokratis dengan turut menghadirkan kepala-kepala soa19
untuk menentukan calon dari setiap mata rumah20nya. Peran BPD
sendiri menggantikan peran “Tiga Batu Tungku”21 (selanjutnya
disingkat TBT) sebagai pengambil keputusan tertinggi di Hatunuru.
Sementara posisi raja adalah sebagai pimpinan tertinggi di Hatunuru.
Dalam menjalankan tugasnya, raja dibantu oleh sekertaris negri. Sementara dalam struktur soa, masyarakat Hatunuru memiliki dua soa
yaitu, soa Alune dan soa Wemale, fungsi soa ini adalah mengatur hak-
haknya atas tanah berdasar pada hak-hak kepemilikan tiap-tiap mata rumah. Kemudian marinyo bertugas sebagai pesuruh raja, dalam hal
penyampaian informasi kepada masyarakat Hatunuru. Dalam pemilihan
raja, pemilihan ini sendiri berjalan demokratis sebagaimana lazimnya di
Indonesia. Hatunuru memiliki satu buah gedung balai negri, dan satu
buah gedung baileo. Balai negri sendiri difungsikan sebagai tempat
berlangsungnya pertemuan antara raja dan masyarakat, sementara
baileo sendiri memiliki fungsi sebagai tempat dilangsungkannya
upacara adat.
Pendidikan di Hatunuru
Rata-rata tingkat lulusan dalam hal pendidikan di Hatunuru
mencapai 50% lulusan SD, dan 50% lulusan SMP sampai dengan
Perguruan Tinggi. Berdasarkan RENSTRA GPM Jemaat Hatunuru-
Matapa, tingkat pendidikan di Hatunuru dapat dilihat dalam tabel di
bawah ini.
19
Soa merupakan satu persekutuan genealogis (lihat Effendi, 1987, dalam Pelupessy, 2012). Dengan kata lain, soa dapat diartikan sebagai suku 20
Mata rumah memiliki arti sebagai satu persekutuan genealogis sesudah keluarga (lihat Effendi, 1987 dalam Pelupessy, 2012). Mata rumah dapat dikatakan juga sebagai klan 21
Di Maluku, Keanggotaan TBT sangat variatif, misalnya dalam negri yang dominan agama Kristen memberlakukan TBT yang terdiri dari; pemerintah negri, staf dewan guru, dan majelis jemaat.
IDENTITAS TERITORIAL Studi Tentang Identitas Teritorial di Negri Hatunuru
42
Tabel 4.1. Tingkat Pendidikan Masyarakat Hatunuru dalam Angka
SD SMP SMA D1-D3 S1
61 lulusan 34 lulusan 42 lulusan 3 lulusan 6 lulusan
Sumber : RENSTRA Jemaat Hatunuru-Matapa, 2015
Fasilitas pendidikan di Hatunuru hanya terdiri dari satu buah
gedung SD yaitu, SD Inpres Hatunuru, yang memiliki jumlah siswa/i
yang berasal dari Hatunuru sebanyak 71 siswa/i, beserta tenaga
pendidik di SD tersebut yang berjumlah 8 tenaga pendidik, ditambah
pula 1 kepala sekolah. Ketika dikalkulasikan berdasar pada RENSTRA,
jumlah siswa/i yang saat ini tengah bersekolah di SD Inpres Hatunuru
berjumlah, 142 siswa/i. Berikut adalah gambar SD Inpres Hatunuru.
Sumber : Dok. Penelitian, 2015
Gambar 4.6. SD Inpres Hatunuru
Pada jenjang pendidikan SMP dan SMA, jumlah siswa/i saat ini
mecapai 30 siswa/i (SMP) dan 28 siswa/i (SMA). Untuk menuju lokasi
SMP dan SMA, para siswa ini harus menempuh perjalanan kurang
lebih 1km ke gedung sekolah yang berada di negri Sekasale. Mereka
(para siswa SMP dan SMA) biasanya menggunakan sepeda motor
ataupun berjalan kaki ke sekolah tersebut. Sementara, pada jenjang
Perguruan Tinggi saat ini ada 5 mahasiswa dari Hatunuru yang sedang
melanjutkan ke Perguruan Tinggi di Pulau Ambon. Untuk tiba di
Pulau Ambon, biasanya menempuh perjalan kurang lebih 5 sampai 6
jam, 3 jam melalui perjalanan darat yaitu, Hatunuru ke dermaga feri
yang berada di negri Waipirit, dan 3 jam sisanya adalah menggunakan
jalur laut.
Identitas Teritorial di Negri Hatunuru
43
Jemaat Hatunuru-Matapa
Totalitas masyarakat Hatunuru merupakan pemeluk agama
Kristen Protestan. Masyarakat Hatunuru adalah anggota GPM Klassis
Taniwel. Dalam sejarah pelayanan GPM sejak tahun 50an, Hatunuru
telah disatukan dengan Matapa sebagai satu jemaat yaitu, Jemaat
Hatunuru-Matapa. Secara administratif, Hatunuru dan Matapa
memiliki pemerintahan masing-masing, tetapi dalam satu jemaat,
Hatunuru dan Matapa saat ini dikepalai oleh Pendeta Roland Latuputty
sebagai ketua majelis jemaat setempat. Satu-satunya gedung gereja di
Hatunuru adalah gereja Imanuel.
Kesehatan dan Fasilitas Kesehatan di Hatunuru
Fasilitas kesehatan di Hatunuru diwakili oleh satu buah gedung
POLINDES yang di dalamnya hanya terdiri satu tenaga medis yang
sebenarnya adalah bidan. Tenaga medis merangkap bidan ini sendiri
sangat membantu proses persalinan, tetapi juga sangat membantu
dalam hal pengobatan atau memberi obat kepada masyarakat untuk
dikonsumsi ketika sakit. Selain itu, untuk melakukan pemeriksaan
kesehatan, masyarakat Hatunuru juga sering bepergian ke Kota Piru
maupun Kota Ambon.
Berdasar pada pengetahuan lokal masyarakat Hatunuru sering
menggunakan obat-obatan herbal untuk menyembuhkan penyakit.
Salah satu pengobatan yang sangat terkenal di wilayah Taniwel Timur
adalah “kase kaluar darah mati” atau mengeluarkan gumpalan darah
yang telah membeku (Venous Thromboebolism). Cara ini dilakukan
dengan menghadirkan pawang. Setelah itu, pawang ini menggosokan
lidahnya pada daun yang memiliki sudut tajam, sehingga darah yang
keluar dari lidah pawang itu dipercaya adalah darah si penderita yang
sedang diobati. Selain itu, banyak juga pengetahuan lokal yang
digunakan untuk menyembuhkan penyakit semacam malaria, sakit
gigi, diare, masuk angin, dan lainnya dengan menggunakan tanaman
seperti kelapa, kakao, kayu putih, dan lainnya.
IDENTITAS TERITORIAL Studi Tentang Identitas Teritorial di Negri Hatunuru
44
Lingkungan di Hatunuru atau pemukiman Hatunuru sangatlah
asri dan bersih. Untuk sekedar mencuci perabotan rumah tangga dan
pakaian, mereka biasa melakukannya di sekitar lingkungan rumah
mereka, bukan di sungai. Fasilitas seperti air bersih dan MCK telah
mendapat perhatian Pemerintah Kabupaten SBB melalui pembangunan
air keran yang bersumber dari mata air pegunungan, dan juga MCK di
setiap perumahan masyarakat Hatunuru.
Sumber : Dok. Penelitian, 2015
Gambar 4.7. POLINDES dan Air Keran
Hutan Sebagai “Dapur”
Hutan sebagai “dapur” dalam pemaknaan kosmologi masyarakat
Hatunuru, adalah hutan dipandang sebagai sumber nafkah yang
membentuk identitas teritorial. Berbicara tentang identitas teritorial
sebagai hasil konstruksi hutan sendiri, maka tidak dilepaskan dari
pandangan bahwa hutan merupakan modal teritorial. Istilah modal
teritorial sendiri penulis kutip dari pandangan Camagni (2008) terkait
modal yang berwujud dan modal yang tidak berwujud. Di Hatunuru,
modal yang berwujud adalah hutan yang dipandang dalam bentuk
material sebagaimana, hutan adalah modal alam dan hutan merupakan
modal fisik kemudian mampu menghasilkan modal finansial,
sementara dalam pengertian modal tidak berwujud maka hutan
kemudian membentuk hubungan atau relasi antara manusia dan
Identitas Teritorial di Negri Hatunuru
45
manusia, juga manusia dan alam. Berikut adalah penggalan wawancara
yang menunjukan hutan adalah modal teritorial di Hatunuru.
Hutan itu katong pung dapor, ketika katong pi pagi, sorenya katong pulang deng sumber makanan par katong makan (Hutan merupakan dapur kami.Ketika kami pergi pada pagi hari, sorenya kami kembali dengan sumber makanan untuk dikonsumsi). (IL, 20 Mei, 2015)
Hutan itu akang sama deng dapor. Mangapa setiap rumah ada dapor? karena dapor itu warisan yang musti katong jaga (Hutan sama halnya dengan dapur. Mengapa setiap rumah memiliki dapur? Karena dapur merupakan warisan yang harus kita jaga).(GM, 24 Mei 2015)
Pemaparan empirik di atas menunjukan bahwa fungsi hutan bagi masyarakat Hatunuru adalah sebagai sumber nafkah. Secara fungsional, hutan memang sebagai modal ekonomi di Hatunuru, tetapi hutan juga memiliki muatan-muatan sebagaimana warisan maupun institusi yang harus dipelihara dan memiliki aturan main dalam pemanfaatannya. Hutan sebagai “dapur” memang memberi tujuan yang sama yaitu, keberlanjutan. Dan keberlanjutan sendiri mampu memahami aspek relasional maupun dependensi, juga religio-kosmis. Dengan demikian, hal-hal tersebut menjadi satu kesatuan melalui kosmologi hutan sebagai “dapur” atau sebagai modal teritorial.
Gambar 4.8. Kosmologi Hutan Sebagai Modal Teritorial
Hutan sebagai "dapur" (Modal
Material)
Modal sosial
Religio-kosmis Modal
manusia
Kelembagaan
IDENTITAS TERITORIAL Studi Tentang Identitas Teritorial di Negri Hatunuru
46
Pertama, sebagai modal sosial, hutan memberi jaminan bagi terbentuknya kepercayaan antar petani hutan bukan saja di Hatunuru tetapi juga dengan petani negri lain. Para petani di Hatunuru membuka peluang bagi pemanfaatan hutan secara positif kepada petani lain di luar masyarakat Hatunuru untuk mengelola hutan. Memang dibenarkan bahwa lapangan pekerjaan dalam skala tradisional diberlakukan kepada para petani hutan yang memiliki ikatan kekerabatan atau biasa disebut ipar-ipar atau basudara (saudara-saudara) dari negri lain. Hal ini kemudian memberi sebuah pemahaman bahwa hutan membentuk modal sosial melalui kosmologi “dapur”. Sebagaimana salah seorang informan mengatakan berikut;
Hutan memang katong pung, tapi kalo ada orang yang butuh karja di hutan ya katong kase biar to. Akang sama deng dapor, kalo orang mau mamasa di katong dapor maka katong kase tinggal to. Yang penting jang dapor badaki (Hutan memang milik kami, apabila ada orang yang butuh pekerjaan di hutan kami maka kami biarkan. Hal ini sama saja dengan “dapur”, kalau orang hendak menggunakan “dapur” kami untuk memasak maka akan kami biarakan. Yang penting jangan dikotori/dirusaki) (PS, 20 Mei 2015)
Berdasar pada penggalan wawancara di atas maka dapat disimpulkan bahwa modal sosial terbentuk dalam kosmologi hutan sebagai “dapur”, membangun jejaring antar masyarakat, dan juga kepercayaan, berdasar pada norma-norma terkait hutan jangan dirusaki atau dikotori.
Kedua, religio-kosmis membentuk perilaku masyarakat Hatunuru yang beretika. Etika ini tidak lain mengutamakan hubungan manusia dengan alam atau bagaimana manusia di Hatunuru memandang alam dalam dua kepercayaan yaitu, kesukuan dan Kristen. Secara suku, religio-kosmis berangkat pada memori kolektif melalui hasil penuturan lisan tentang kakehang maupun tangkoleh22 yang sangat mengutamakan budaya melalui sejarah ritus di hutan oleh para leluhur. Memang dewasa ini, ritus-ritus tersebut sudah tidak lagi dipraktekan, tetapi masih membelenggu kepercayaan masyarakat Hatunuru bahwa hutan memiliki superioritas yang transenden atau kekuatan suprakultural yang tidak terlihat. Hal ini menyebabkan tidak sedikit masyarakat Hatunuru tetap menganggap hutan sebagai suatu
22
Baik kakehang dan tangkoleh memiliki arti yang sama yaitu merupakan ritual yang dilakukan pada zaman dahulu oleh suku Wemale dan Alune
Identitas Teritorial di Negri Hatunuru
47
tempat yang sakral. Berbicara mengenai kesakralan, adalah penting menggunakan pandangan Freud juga Durkheim dalam memandang tipologi masyarakat religio. Sebagaimana Freud melihat alam bawah sadar kepribadian dan aspek dorongan biologis membentuk perilaku manusia, maka Durkheim lebih memilih menggunakan dimensi sosial melalui interaksi dan kemasyarakatan (dalam Pals, 2011)
Berdasar pada dua pandangan tersebut dan temuan empirik terkait kosmologi maka dapat dilihat bahwa pola hidup masyarakat Hatunuru dalam memaknai hutan berdasar pada tiga hal yang membangun kepercayaan lokal yaitu, religio-kosmis hadir sebagai warisan sosial maupun keluarga, religio-kosmis hadir melalui keyakinan akan agama, dan religio-kosmis hadir melalui alam perasaan dan alam pikiran. Sehingga identitas yang terbentuk berdasar pada pandangan Valegga (2011 dalam Pollice, 2003) yaitu realitas teritorial, representasi realitas, dan penjelasan realitas berdasar pada pandangan hutan sebagai simbol (semiotika). Realitas wilayah hadir dalam kenyataan bahwa masyarakat Hatunuru sangat bergantung pada hutan. Representasi realitas hadir melalui cara pandang masyarakat Hatunuru terhadap hutan dalam keterkaitannya dengan religio-kosmis. Kemudian penjelasan realitas adalah bagaimana hutan dimaknai dalam pandangan teologi pemberdayaan sebagai sumber daya lokal bersifat material yang mampu memberi keberlanjutan ekonomi berdasar pada dua pandangan masyarakat Hatunuru yang bersifat sakral maupun profan yaitu, hutan adalah berkat dan hutan dapat mendatangkan bencana23.
Ketiga, hutan memberi jaminan bagi terbentuknya identitas teritorial bermuatan pertanian monokultur berdasar pada hutan sebagai media yang membentuk modal manusia. Memang pada skala ekonomi makro, modal manusia berperan signifikan dalam kelas SDM sebagai kelas pekerja, disertai dengan keterampilan dan inovasi, mampu menghasilkan biaya berdasar pada usaha yang memiliki kualitas dan kuantitas (lihat Hall et al, 2003; Davenport, 1998).
Berdasarkan temuan empirik di Hatunuru, SDM memang sangat berfokus pada pengelolaan komoditi sagu sebagai arena keberlanjutan ekonomi maupun mampu menghasilkan modal material sebagai modal finansial yaitu, uang. Namun, skala pertanian di Hatunuru dirasakan belum mampu mendorong Hatunuru sebagai
23
Lihat mitos terbentuknya Danau Tapala pada bagian lampiran buku ini
IDENTITAS TERITORIAL Studi Tentang Identitas Teritorial di Negri Hatunuru
48
wilayah yang lebih kompetitif karena modal manusia agaknya terimperialisme dalam budaya yang lebih masif yaitu, prioritas sagu lebih mendominasi perekonomian lokal, padahal SDA mumpuni lain mampu mendorong Hatunuru untuk bersaing sebagai wilayah yang dapat menerapkan industri lokal sebagaimana kelapa, kakao, kayu putih, dan lain-lain. Lemahnya modal intelektual di Hatunuru, adalah hadir melalui kesadaran akan pendidikan yang sangat minim. Dengan demikian, kosmologi hutan sebagai “dapur” hanya memberi jaminan kepada keterampilan masyarakat Hatunuru dalam memberdayakan sagu maupun umbi-umbian sebagai penunjang ekonomi rumah tangga (modal manusia).
Keempat, hutan dipandang sebagai kelembagaan yang berdasar pada aturan tentang tata kelola hutan secara lokal, dan di dalamnya terkandung norma-norma (bandingkan dengan teori kelembagaan North, 1990). Dalam pemaknaan hutan sebagai kelembagaan, masyarakat Hatunuru memiliki ruang-ruang tradisional sebagaimana sasi adat maupun hak-hak kepemilikan berdasar pada soa untuk mengatur secara mandiri wilayah pertanian di hutan secara terpadu maupun subsisten. Dengan demikian, dalam pola pertanian di Hatunuru terbentuklah pertanian berdasar pada solidaritas, pertanian yang monokultur dan pertanian yang lebih religio-kosmis. Hal-hal tersebut memberi kesan bahwa hutan yang memiliki aturan main mampu mewujudkan kekuasaan, solidaritas, maupun etika, dan hal tersebut merupakan identitas teritorial (bandingkan dengan teori identitas teritorial Pollice, 2003).
Dengan demikian, ada tiga hal menonjol yang menunjukan hutan dalam pandangan kosmologi yaitu, relasi, institusi, dan dependensi. Keempat hal ini terbentuk dalam pemaknaan hutan sebagai “dapur”. Relasi membuka peluang bagi hubungan yang harmonis antara hutan dan manusia, juga manusia dan manusia sebagai hubungan sosial (relational capital), sementara institusi lebih memfokuskan hutan sebagai milik masyarakat Hatunuru tetapi ada regulasi yang dibuat agar masyarakat lain juga dapat menikmati hutan itu melalui pariwisata Tapala secara gratis maupun menikmati hasil-hasil pertanian, namun harus menghargai aturan masyarakat Hatunuru. Kemudian dari segi dependensi, masyarakat Hatunuru menggantungkan diri kepada hutan sebagai sumber nafkah.
Identitas Teritorial di Negri Hatunuru
49
Potret Petani Hutan Wilayah Pesisir
Masyarakat Hatunuru bertipikal petani hutan yang mampu
membuka ruang-ruang perjumpaan antara hutan dan manusia baik
dalam hubungan relasional maupun religius, dan hal ini memang
menjadi esensi identitas regional itu sendiri terkait hubungan yang
saling melengkapi sebagai ruang hidup. Identitas teritorial yang
terwujud melalui pemaknaan ini, adalah terbentuk oleh dua hal yaitu,
warisan secara material dan warisan secara kultural. Secara material,
hutan adalah warisan itu sendiri, sementara secara kultural terbagi lagi
yaitu, pertanian yang monokultur, pertanian berbasis solidaritas, dan
pertanian yang berkenan pada religio-kosmis. Pertanian di Hatunuru
kemudian terbagi atas dua berdasar pada wilayah.Wilayah itu meliputi;
(1) hutan; (2) kebun. Pertama, sentra ekonomi masyarakat Hatunuru
berada pada hutan yang teletak di sekitar Danau Tapala. Untuk menuju
hutan tersebut, maka masyarakat harus menggunakan perahu kecil agar
dapat tiba di sana. Di hutan yang berada pada kawasan Danau Tapala,
terdapat komoditi yang variatif sebagaimana ikan, sagu, dan sayur-
sayuran sebagai modal ekonomi yang berfokus pada konsumsi rumah
tangga. Kedua, di dalam kebun terdapat umbi-umbian sebagaimana
kasbi, keladi, pisang, dan lain sebagainya. Kebun merupakan penunjang
ekonomi subsisten.
Berkenan pada tipikal masyarakat Hatunuru sebagai petani
hutan, berikut adalah jumlah petani hutan di Hatunuru berdasar pada
data yang dihimpun melalui RENSTRA dalam tabel di bawah ini.
Tabel.4.2. Masyarakat Hatunuru dan Pekerjaan
PNS Petani Nelayan Wirausaha Pensiunan
8 orang 62 orang - 4 orang 1 orang
Sumber : RENSTRA Jemaat Hatunuru-Matapa, 2015
Tabel di atas menggambarkan jumlah petani di Hatunuru
adalah sangat banyak ketimbang PNS maupun wirausaha. Kendati PNS
menjadi profesi beberapa masyarakat Hatunuru ataupun wirausaha
menjadi sumber nafkah, tetapi hal ini tidak mengabaikan mereka
(sebagai PNS dan wirausaha) dalam menggunakan hutan melalui
perilaku ekonomi yakni konsumsi. Sementara pekerjaan sebagai
nelayan sama sekali tidak ditemukan di Hatunuru. Berikut penulis
IDENTITAS TERITORIAL Studi Tentang Identitas Teritorial di Negri Hatunuru
50
menyertakan gambar aktivitas pantai yang jauh dari utilitasnya sebagai
SDA mumpuni di Hatunuru.
Sumber : Dok. Penelitian, 2015
Gambar 4.9 Pantai Hatunuru di Sore Hari
Sumber : Dok. Penelitian, 2015
Gambar 4.10. Pantai Hatunuru di Siang Hari
Gambar pertama dan kedua ini diambil oleh penulis atas
dorongan rasa penasaran penulis ketika dikatakan oleh masyarakat
bahwa mereka tidak pernah menjadi nelayan. Gambar pertama, diambil
menjelang malam hari. Penulis sengaja menunggu perahu-perahu yang
datang, tetapi isi dalam seluruh perahu yang datang itu bukanlah hasil
laut melainkan hasil-hasil perkebunan. Laut dipergunakan sebagai rute
transportasi untuk mengangkut hasil-hasil hutan dari kaki air Uli
(muara Uli) sampai ke Hatunuru.
Pada gambar kedua, penulis kemudian menunggu, apakah pada
hari Minggu mereka melakukan aktivitas sebagai nelayan ataukah
tidak? tetapi juga tidak. Ketika selesai beribadah di gereja, masyarakat
Hatunuru kebanyakan menghabiskan waktu bersama keluarga maupun
rekan-rekan untuk sekedar bercerita tentang kehidupan mereka. Oleh
sebab itu, masyarakat Hatunuru adalah masyarakat petani hutan yang
Identitas Teritorial di Negri Hatunuru
51
hidup dalam wilayah pesisir, dan hal ini merupakan kekhasan yang
menjadi identitas teritorial mereka.
Pertanian yang Monokultur
Berdasar pada temuan empirik di Hatunuru, masayarakat
Hatunuru merupakan tipikal petani yang lebih mengandalakan sagu
daripada hasil-hasil hutan yang lain. Mereka terlalu berfokus pada
pemenuhan konsumsi dan belum mampu membuka diri bagi penguatan
ekonomi yang lebih komersial, padahal SDA di Hatunuru bukan hanya
terdiri dari sagu maupun umbi-umbian tetapi juga kelapa, kakao,
kenari, damar, kayu putih, jati mas, dan lain sebagainya. Ketika ditanyai
mengapa mereka bertahan pada komoditi sagu, mereka menjawab
bahwa hal ini telah menjadi warisan leluhur, dan sedari dulu mereka
hidup dengan mengadalkan sagu sebagai produk lokal yang kerap dijual
tetapi juga dikonsumsi. Dengan demikian, baik sagu maupun tata cara
mengelola sagu telah menjadi warisan yang sayang untuk diabaikan
dalam hal menunjang ekonomi lokal. Berikut adalah tempat
pengolahan sagu yang penulis lampirkan dalam gambar di bawah ini.
Sumber :https://www.youtube.com/watch?v=VMF18Vo0eRo
Gambar 4.11. Tempat Pengolahan Sagu
Bukan hanya sagu yang tumbuh di Hatunuru, SDA lain juga telah
menjadi aset sekaligus pernah menjaring investasi melalui industri lokal
sebagaimana investasi perusahaan milik keluarga Apituley yang pernah
beroperasi pada tahun 1996. Perusahaan tersebut mampu menciptakan
lapangan pekerjaan serta mampu mewujudkan impian masyarakat
Hatunuru terkait pengelolaan SDA lokal. Memang hal tersebut sempat
berhasil. Namun, kendala yang dialami perusahaan tersebut adalah
melalui kredit macet dan kemudian ditutup, dan lahan kemudian
dikembalikan ke masyarakat Hatunuru. Beberapa SDA yang menjadi
produk perusahaan tersebut kala itu adalah kelapa dan kakao. Berikut
IDENTITAS TERITORIAL Studi Tentang Identitas Teritorial di Negri Hatunuru
52
penulis akan menunjukan gambar disertai penjelasan terkait beberapa
SDA mumpuni di Hatunuru yang tidak mampu dikelola dengan baik
oleh masyarakat Hatunuru.
Sumber : Dok. Penelitian, 2015
Gambar 4.12. Hutan Kayu Putih
Gambar di atas menunjukan luas hutan atau dusun kayu putih
yang menjadi aset masyarakat Hatunuru namun belum mampu dikelola
secara terpadu guna menjadi produk lokal. Masyarakat Hatunuru
mengatakan bahwa luas hutan kayu putih sendiri mencapai 250ha.
Ketiadaan pertanian yang padat karya melalui penyulingan minyak
kayu putih, serta tertumbuk oleh lemahnya pengetahuan masyarakat
Hatunuru dalam mengelola maupun mengolah tanaman kayu putih ini,
memberi dampak bagi ketiadaan hasil produksi kayu putih, bahkan
industri lokal kayu putih di Hatunuru.
Sumber : Foto, Maryo Mandjaruni, 2015
Gambar 4.13. Batang Kelapa Dijadikan Jembatan Alternatif
Demi kelancaran mobilisasi SDA maupun sebagai jalur
transportasi antar pulau dan dalam pulau di Seram, masyarakat
Hatunuru menggunakan batang kelapa untuk dijadikan jembatan
alternatif dalam rangka menolong para supir angkutan umum dan truk
untuk melintas. Kerusakan jalan disekitar Taniwel maupun Taniwel
Identitas Teritorial di Negri Hatunuru
53
Timur mengakibatkan banyak jembatan yang anjlok dan harus
dibangun secara swadaya oleh masyarakat Hatunuru (juga masyarakat
lainnya). Gambar di atas menunjukan pergeseran utilitas pohon kelapa
sebagai SDA mumpuni demi menunjang ekonomi lokal yang malah
dijadikan sebagai jembatan. Memang pada tahun 1996, kelapa menjadi
komoditi yang sering dipasarkan dengan hadirnya perusahaan milik
keluarga Apituley di Hatunuru. Namun, kendala perusahaan tersebut
oleh karena kredit macet mengakibatkan perusahaan tersebut ditutup
dan berdampak pada lemahnya distibusi komoditi kelapa di pasar.
Sumber : Dok. Penelitian, 2015
Gambar 4.14. Lemahnya Permintaan Kakao
Lemahnya peminat komoditi kakao adalah karena lemahnya
promosi kakao. Sebenarnya kakao menjadi komoditi yang mampu
mendongkrak ekonomi wilayah baik Hatunuru maupun Kecamatan
Taniwel Timur. Namun, berdasar pada beberapa informasi yang penulis
dapati, kakao menjadi komoditi yang tidak banyak digunakan untuk
menunjang pendapatan per kapita. Gambar di atas menunjukan bahwa
kakao yang sedang dijemur hanya digunakan sebagai umpan untuk
menarik hati pembeli, tetapi sayangnya kebanyakan kendaraan yang
melintasi Hatunuru juga memiliki tanaman kakao yang juga tidak
mampu disalurkan ke pasar. Kakao menjadi barang publik yang
mendatangkan kegagalan pasar.
Berdasarkan beberapa penggalan gambar disertai penjelasan di
atas, maka dapat dilihat bahwa, pertanian yang monokultur cenderung
memberi jaminan bagi perilaku konsumsi tanpa ada distribusi yang
lebih menjanjikan demi meningkatnya perekonomian lokal dalam
menunjang pendapatan finansial. Penting melakukan pertanian yang
IDENTITAS TERITORIAL Studi Tentang Identitas Teritorial di Negri Hatunuru
54
lebih komersial, adalah untuk menggantikan pertanian tradisional yang
banyak memiliki kendala dari segi penghasilan atau nyaris tidak
berpenghasilan (Dimova dan Nordman, 2014).
Pertanian Berbasis Solidaritas
Pertanian di Hatunuru bukan saja pertanian yang memberi
dampak bagi penghasilan yang rendah, tetapi juga ada pertanian yang
mampu memberi dampak positif dalam hubungan sosial-ekonomi
sebagaimana pertanian berbasis solidaritas. Pertanian ini sendiri
merupakan konstruksi warisan kultural yang telah terpelihara sejak
dahulu, kemudian menjadi modal sosial yang kuat. Sampai saat ini,
pertanian seperti ini sangat lazim ditemui di Maluku. Memang sedikit
bercorak kapitalisme melalui hierarki sosial-adat, tetapi pola pertanian
ini bukan semata-mata menindas, tetapi lebih kepada pemberdayaan
para petani sesuai dengan pola hidup yang saling bergantung
sebagaimana lazim ditemukan pada tipikal masyarakat
komunitarianisme yang sering dijumpai pada wilayah-wilayah
pedesaan atau melekat pada rural society (lihat Shapcott, dalam
Winarno, 2013).
Pola pertanian berbasis solidaritas di Hatunuru diperuntukan
kepada seluruh masyarakat yang ingin melakukan tugas ganda
pertanian, antara mengurusi pertanian miliknya maupun pertanian
milik orang lain. Salah seorang informan mengatakan bahwa;
Beta pung kabong basar. Untuk karja akang satukaligus susah, makanya beta minta bantu beta pung sodara-sodara, ipar-ipar dong par lia akang. Supaya kalo beta pi urus sagu, ada orang bisa urus beta pung kabong laeng (Kebun milik saya besar. Untuk mengerjakannya sekaligus dirasakan susah, makanya saya meminta bantuan saudara-saudara saya, dan ipar-ipar saya untuk mengurusnya. Supaya, ketika saya mengurus sagu, maka ada orang lain bisa mengurus kebun saya yang lain). (PL, 27 Mei, 2015).
Penggalan wawancara di atas menunjukan bahwa dependensi antar petani menjadi basis solidaritas pertanian ini. Dengan demikian, pola pertanian di Hatunuru sejatinya terbagi dalam dua tipe petani yaitu, petani kapitalis dan petani lahan kecil. Petani kapitalis adalah mereka yang mampu memberi pekerjaan bagi petani lain. Hal ini terjadi oleh pengaruh hierarki adat. Hierarki adat ini hadir melalui
Identitas Teritorial di Negri Hatunuru
55
pembagian hak-hak kepemilikan berdasar pada satu soa, sebagai misal soa Wemale memiliki empat mata rumah, dari empat mata rumah itu, hanya satu atau dua mata rumah yang diberi hak khusus sebagaimana pembagian lahan yang besar kepada mata rumah yang dikhususkan itu. Hal ini terjadi karena pengalaman di masa lalu bahwa mata rumah tersebut merupakan kaum elite, atau tergolong kapitan (jendral perang) sehingga klan/mata rumahnya mendapat hak khusus. Sementara petani lahan kecil biasanya menjadi petani sewaan. Para petani sewaan ini tidak selalu menuntut untuk dibayar, dan pembentukan harga bukan lebih kepada uang semata melainkan saling memberi hasil pertanian dan rokok sebungkus sebagai insentif adalah cara mereka untuk tetap bekerja dalam solidaritas. Berikut hasil wawancara terhadap salah seorang istri petani sewaan;
Kalo bapa pi karja di orang kabong, biasa mama (informan) deng ade-ade (anak-anak informan) dong yang karja katong kabong. Supaya ada hasil kabong par makang, deng ada hasil laeng paer jual (Ketika bapak pergi bekerja ke kebun orang, biasanya mama dan juga adik-adik yang bekerja di kebun kami. Supaya ada hasil kebun untuk makan, dan hasil lain untuk dijual)(IR, 1 Juni 2015).
Penggalan wawancara di atas memberi kesan bahwa pembagian
kerja tidak saja terjadi antara para petani, namun juga berlaku dalam
keluarga. Ketika kepala rumah tangga melakukan pekerjaan pada kebun
milik petani kapitalis, maka istri dan anak-anaklah yang kemudian
melakukan pekerjaan mereka sebagai petani di kebun mereka.
Kebanyakan anak-anak di Hatunuru sangat memaknai kehidupan
pertanian ini. Setelah pulang sekolah, anak-anak di Hatunuru bergegas
ke hutan untuk membantu orang tuanya.
Sumber : Dok. Penelitian, 2015
Gambar 4.15. Solidaritas Petani dan Petani Cilik di Hatunuru
IDENTITAS TERITORIAL Studi Tentang Identitas Teritorial di Negri Hatunuru
56
Gambar di atas menunjukan solidaritas sebagai hubungan
sosial-ekonomi baik dalam tubuh mata rumah dalam satu soa maupun
berbeda soa. Petani Hatunuru baik kapitalis dan sewaan menggunakan
kole-kole atau perahu kecil untuk menyusuri Tapala, karena sagu
berada pada sekitar Tapala. Sementara hal sama juga dilakukan dalam
keluarga yaitu, pembagian kerja terhadap anggota keluarga. Kehidupan
pertanian di Hatunuru sama halnya dengan pertanian di Asia Tenggara
dalam hal saling memberdayakan, sebagaimana Scott (1981)
menyebutnya sebagai patron-klien sebagai hubungan sosial-ekonomi
yang baik dalam mempertahankan subsisten masyarakat pedesaan.
Pertanian yang Berkenan pada Religio-Kosmis
Pertanian religio-kosmis ini merupakan salah satu gaya hidup
masyarakat Hatunuru dalam memaknai hutan. Bagi mereka, kebersihan
hutan sebagai “dapur” adalah yang utama, hal tersebut dilakukan
dengan cara melestarikan hutan. Berkenan dengan itu, hutan menjadi
tempat yang membentuk kepercayaan kepada alam (suprakultural).
Misalnya, masyarakat Wemale menganggap hutan (tanah) sebagai
“tuhan”, dan masyarakat Alune melihat hutan sebagai sumber
kehidupan. Kolaborasi pandangan ini memberi makna lugas bahwa
hutan mencerminkan pandangan masyarakat Hatunuru terkait ruang
yang sakral dan memberi kehidupan.
Dengan demikian, pertanian bermuatan religio-kosmis ini
menjadi upaya dalam melestarikan hutan, membangun hubungan
harmonis antara hutan dan manusia, juga mencegah hal-hal bermuatan
kriminalitas sebagaimana mencuri hasil-hasil hutan. Sehingga pertanian
tersebut sering menggunakan sasi adat sebagai salah satu cara dalam
melestarikan lingkungan dan sebagai upaya preventif agar hutan tidak
tergdegradasi. Pada dasarnya, penulis setuju dengan pandangan Arifin
dan Patra (dalam Evans et al, 1996) terkait sasi adat dipandang sebagai
manajemen lokal. Manajemen lokal ini bagi penulis adalah mampu
mengatur fungsi hutan sejalan dengan pandangan yang berkenan pada
religio-kosmis bahwa hutan harus dipelihara dan digunakan sebagai
Identitas Teritorial di Negri Hatunuru
57
sumber nafkah tanpa melakukan eksploitasi secara negatif, karena
mampu mendatangkan bencana alam akibat murka roh-roh leluhur24.
Sistem Perekonomian di Hatunuru
Masyarakat pasar tradisional mewarnai kehidupan masyarakat
di Hatunuru melalui pasar kaget. Pasar kaget di Hatunuru telah
berlangsung lama, dan masih tetap dipertahankan demi menunjang
ekonomi atau pasar kaget dikategorikan sebagai modal fisik yang
mampu menghasilkan modal finansial. Namun, beberapa temuan
empirik menunjukan utilitas pasar kaget ini malah tidak mampu
memberi perubahan bagi ekonomi di Hatunuru. Beberapa kendala yang
menjadi sumber kegagalan pasar diantaranya; (1) durasi transasaksi; (2)
eksistensi barang publik; (3) barter.
Pertama, durasi transaksi menjadi penghambat ekonomi pasar
kaget dikarenakan lokasi pasar kaget sendiri berada di atas jalan raya,
dan secara otomatis menganggu lalu lintas darat. Oleh karena itu, pasar
kaget kemudian difungsikan antara pukul 05.00 WIT sampai dengan
07.00 WIT. Durasi ini tentu saja mengakibatkan terjadinya kegagalan
pasar. Ketika hasil-hasil pertanian tidak terjual habis oleh sebab
keadaan ini, maka masyarakat Hatunuru kemudian mengkonsumsi
hasil-hasil hutan yang tidak terjual itu.
Kedua, kelemahan lain yang menjadi penyebab kegagalan pasar,
adalah melalui keberadaan sagu dan umbi-umbian sebagai barang
publik. Hampir seluruh pedagang di pasar kaget memperdagangkan
hasil-hasil produksi yang sama, dan nyaris tidak melakukan perubahan
hasil-hasil produksi untuk dijual. Hal ini kemudian membenamkan
ekspektasi masyarakat Hatunuru tentang pasar kaget sebagai penunjang
ekonomi lokal, tetapi memberi jalur kompetitif dalam perdagangan
yang terbangun melalui solidaritas.
Ketiga, ketika hasil-hasil dagangan tidak mampu menjadi jawaban
untuk memperoleh modal finansial, maka barter menjadi harapan
24
Berdasar pada penuturan IM, 20 Mei 2015. Penulis kemudian mengubah hasil wawancara tersebut sesuai gaya bahasa penulis
IDENTITAS TERITORIAL Studi Tentang Identitas Teritorial di Negri Hatunuru
58
terakhir. Beberapa informan bahwa, barter dilakukan agar pola
konsumsi tidak selalu bertahan pada hasil-hasil pertanian melainkan
ada inovasi lain di meja makan melalui nasi, ikan air laut, dan lainnya.
Berdasarkan ketiga temuan empirik ini, penulis sejalan dengan
pandangan Szabo (2014) melalui studinya yang memperlihatkan
subsisten hadir sebagai hak asasi manusia yang di satu sisi menjadi
tantangan pembangunan, tetapi di sisi lain menjauhkan masyarakat dari
perilaku kredit (utang). Penulis melihat bahwa masyarakat Hatunuru
bukan menganut pola ekonomi subsisten tetapi semi-subsisten.
Alasannya sederhana yaitu, mereka memang pada dasarnya
menggunakan hasil hutan untuk dikonsumsi, tetapi mereka mampu
melihat peluang distribusi dan kemudian membangun pasar kaget
sebagai kemandirian ekonomi lokal. Namun, hal-hal yang tidak mampu
mereka pikirkan adalah eksistensi pasar kaget sebagai upaya inovatif ini
malah menjauhkan mereka dari serangkaian gagasan inovatif lain yang
sekiranya mampu meningkatkan ekonomi lokal, sebagaimana mereka
mengatakan kepada penulis terkait ide mereka dalam hal; pengadaan
Koperasi Unit Desa (KUD), pembangunan industri lokal sejalan dengan
prioritas, dan menjadikan Danau Tapala sebagai destinasi pariwisata.
Berdasarkan pada RENSTRA Jemaat Hatunuru-Matapa, penulis
menemukan rata-rata pendapatan per-bulan masyarakat Hatunuru
yang berjumlah, Rp. 300.000,00-Rp. 500.000,00, adalah pendapatan dari
mereka yang sehari-hari hidup sebagai petani hutan yang setiap hari
menyalurkan hasil-hasil pertanian mereka ke pasar. Sementara mereka
sebagai PNS maupun wirausaha rata-rata memiliki pendapatan per-
bulan berkisar, Rp. 1.500.000,00-Rp. 2.000.000,00.
Berdasar pada perhitungan BPS, tingkat kemiskinan didasarkan pada jumlah konsumsi berupa makanan yaitu kurang dari 2100 kalori per orang per hari (dari 52 jenis komoditi yang dianggap mewakili pola konsumsi penduduk yang berada pada masyarakat lapisan bawah), dan konsumsi nonmakan (dari 45 jenis komoditi makanan sesuai kesepakatan nasional dan tidak dibedakan antara wilayah pedesaan dan perkotaan)25
25
Dalam Sunarjan, 2014. Survival Strategy: Komunitas Makam Gunung Brintik Semarang, hlm 14
Identitas Teritorial di Negri Hatunuru
59
Dengan demikian, masyarakat Hatunuru termasuk pada
masyarakat memiliki tingkat kemiskinan yang tinggi, karena mampu
menghasilkan 4 sampai 6 komoditi per harinya. Penting melakukan
manajemen teritorial sebagai usaha dalam memulai pembangunan di
Hatunuru, adalah dirasakan baik sebagai upaya pengentasan
kemiskinan, melalui gagasan pembangunan masyarakat Hatunuru yang
inovatif sebagaimana telah disebutkan di atas melalui gagasan
masyarakat Hatunuru sendiri.
Analisis Identitas Teritorial Masyarakat Hatunuru
Berdasarkan pembahasan di atas, penulis kemudian melakukan
analisa dalam mengidentifikasi identitas teritorial di Hatunuru.
Pertama, identitas teritorial berkenan terbentuk melalui integrasi dua
suku yaitu, Wemale dan Alune. Dua suku ini memiliki interpretasi
yang sama terhadap hutan yaitu sebagai sumber nafkah, kendati ada
sedikit kesan religius. Integrasi sosial ini membentuk satu masyarakat
yang disebut Hatunuru. Dalam pemaknaan simbolik, kata hatu dan
nuru adalah representasi hubungan kelompok yang terjalin kekal, solid,
dan saling mempercayai (modal sosial).
Kedua, identitas teritorial di Hatunuru berkenan hadir melalui
pemaknaan kosmologi yaitu, hutan sebagai “dapur”. Secara fungsional,
hutan sebagai “dapur” terbentuk melalui kebiasaan ekonomi
masyarakat Hatunuru yang membenarkan bahwa hutan adalah sumber
nafkah. Secara kelembagaan, hutan dikapling sesuai hak-hak
kepemilikan, dan hal ini merupakan warisan kultural atau lebih kepada
pembagian lahan yang menonjolkan sisi hierarki sosial-adat. Selain itu,
pemaknaan hutan sebagai “dapur” bermuatan religio-kosmis melalui
pandangan masyarakat Hatunuru tentang hutan adalah berkat, tetapi
apabila tidak dilestarikan maka akan mendatangkan bencana apabila
tidak dijaga fungsinya.
Ketiga, identitas teritorial di Hatunuru berkenan dengan sumber
nafkah yang mempertahankan prototype masyarakat Hatunuru sebagai
petani hutan. Dengan demikian, hubungan sosial-ekonomi terbangun
melalui pertanian yang saling memberdayakan (patron-klien),
IDENTITAS TERITORIAL Studi Tentang Identitas Teritorial di Negri Hatunuru
60
pertanian yang berbasis pada religio-kosmis (transfer pengetahuan
melalui penuturan lisan), dan pertanian yang monokultur (hanya
berfokus pada sagu). Tugas berat yang harus dibenahi di Hatunuru
berdasar pada budaya pertanian yang kerap monokultur, dan nyaris
berpenghasilan rendah, adalah terjadi karena lemahnya modal manusia
di Hatunuru, sebagaimana esensi modal manusia yang berfokus pada
keterampilan dan inovasi, menghasilkan biaya berdasar pada usaha
yang memiliki kualitas dan kuantitas (lihat Hall et al, 2003; Davenport,
1998).
Dengan demikian, identitas teritorial di Hatunuru lebih
menunjukan sisi identitas defensif. Esensi identitas defensif sendiri
berkenan pada dependensi, dan tidak mengarah pada usaha-usaha yang
inovatif26. Memang sudah ada kemandirian ekonomi di Hatunuru
melalui pasar kaget, akan tetapi kendala pasar kaget kerap mengkung-
kung masyarakat Hatunuru sebagai petani hutan yang semi-subsisten27.
26
Lihat Bassand dan Guindani, 1982 27
Semi-subsisten bagi penulis sendiri adalah ekonomi yang memang dipusatkan untuk menjawab kebutuhan, tetapi juga disalurkan (baik barter maupun pasar).Apabila transaksi tidak berhasil, maka hasil-hasil pertanian itu kemudian dikonsumsi.