Post on 17-Oct-2021
1
Universitas Indonesia
ARSITEKTUR & ACROPHOBIA Peran Arsitektur dalam Merespon Rasa Takut akan Ketinggian
(Teori Persepsi dan Eksplorasi Müller-Lyer)
Cut Alisha Shabrina Zagloel, Dr. Ir. Hendrajaya, M.Sc.
Departemen Arsitektur, Universitas Indonesia, Kampus UI Depok, Depok, Jawa Barat, 16424, Indonesia
zaglishabrict@gmail.com; hendrajaya@arkitekton.com
Abstrak
Meningkatnya pembangunan secara vertikal membuat banyak ruang aktivitas manusia terletak pada ketinggian. Namun, kenyataannya tidak semua manusia merasa nyaman berada jauh diatas permukaan bumi. Rasa takut akan ketinggian disebut dengan acrophobia, yang menurut para ahli merupakan hasil dari persepsi manusia. Terdapat dua faktor dalam pembentukkan persepsi, faktor intangible yang mengacu pada pengalaman dan memori, dan faktor tangible yang merujuk pada lingkungan fisik. Melalui studi kasus, keterkaitan antara dua faktor ini dikaji untuk melihat dan mencari peluang bagi arsitektur dalam perannya pada proses persepsi manusia. Skripsi ini menggunakan teori Müller-Lyer sebagai pendekatan arsitektur dalam mengkaji fenomena ketinggian yang memengaruhi pengelihatan manusia, serta terapannya pada perspektif sebagai cara manusia melihat ruang. Pada akhir skripsi ini, disimpulkan bahwa konfigurasi garis dan bidang dapat menciptakan ilusi volume dan kedalaman ruang sehingga dapat membelokkan fokus pada manusia sebagai pengamat.
Kata Kunci: Acrophobia, Persepsi, Ketinggian, Ilusi, Visual
ARCHITECTURE & ACROPHOBIA The Role of Architecture in Responding to Fear of Height
(Perception Theory and Müller-Lyer Exploration)
Abstract
The increasing development with vertical orientation evokes immense amount of space for human activities in high altitude. However, not everyone is comfortable being far above the earth's surface. Acrophobia is an extreme or irrational fear of height, which experts say that it is the projection of human’s perception. There are two factors associated in perceptual process, those being intangible factors which refers to one’s past experiences and memories, and tangible factors which refers to the physical environment. Through case studies, the relation between these two factors assessed to see and explore the opportunities for architecture, to play its role in the process of human perception. By using Müller-Lyer theory as an architectural approach, this undergraduate-thesis will explore the phenomenon of high altitude and how it affects human’s vision, as well as its application in perspective as human’s way to see space. At the end of this
Arsitektur acrophobia ..., Cut Alisha Shabrina Zagloel, FT UI, 2016
2
Universitas Indonesia
thesis, it was concluded that the configurations of lines and planes can create illusion of volume and depth of space thus deflecting focus for human as the observer. Keywords: Acrophobia, Perception, Height, Illusion, Visual
Pendahuluan
Hutan beton, itulah sebutan bagi kota-kota besar di masa kini. Semakin penuhnya kota yang
mengacu kepada kurangnya lahan dan naiknya kebutuhan manusia serta kemajuan teknologi dan
ilmu struktur membuat bangunan dibangun dengan orientasi vertikal. Bangunan yang menjulang
tinggi memiliki kelebihan memaparkan keindahan kota atau pemandangan dari ketinggian
sehingga jangkauan pengelihatan menjadi lebih luas dan jauh. Hal ini yang membuat bangunan
berorientasi vertikal menjadi tren di kota-kota besar terutama untuk menikmati keindahan di
malam hari ketika lampu kota menyala. Tren tempat dengan pemandangan kota dari titik
ketinggian bangunan membuat ruang aktivitas manusia banyak terletak pada ketinggian. Banyak
tempat berkumpul sosial seperti kafe, restoran, bar, serta hiburan lainnya yang diletakkan pada
lantai-lantai atas bangunan atau rooftop. Hal ini memicu keinginan manusia untuk mengunjungi
tempat-tempat tinggi. Tidak hanya itu, banyak pula manusia yang tinggal atau bekerja di
bangunan tinggi. Namun, apakah semua manusia dapat merasa nyaman menempati ruang yang
terletak pada ketinggian?
Acrophobia adalah takut akan ketinggian yang merupakan salah satu fobia yang umum
ditemukan dan menjadi fobia terbanyak ke-3 di dunia1. Manusia dengan fobia ini merasa takut
secara ekstrem yang diikuti dengan panik, stres, dan/atau depresi jika berada di tempat yang
tinggi. Manusia dengan acrophobia merasa tidak nyaman berada di tempat tinggi dan ketakutan
ini menjadi penghambat bagi diri mereka untuk menikmati keindahan kota atau pemandangan
dari ketinggian serta mengikuti tren masa kini dengan maraknya tempat sosial yang berada di
ketinggian.
Ketinggian merupakan kedalaman secara vertikal dan hubungan manusia yang pertama
terhadap ruang adalah dengan merasakan adanya kedalaman dengan kesadaran akan dimensi,
sehingga persepsi akan kedalaman menjadi penting dalam bahasan ini. Ketinggian memiliki ilusi
visual bagi manusia, dengan adanya distorsi visual terhadap apa yang dilihat manusia yang mana
1fearof.net,(26Februari2016)
Arsitektur acrophobia ..., Cut Alisha Shabrina Zagloel, FT UI, 2016
3
Universitas Indonesia
ketika manusia berada di titik ketinggian, saat melihat kebawah, skala pengelihatan manusia
menjadi berbeda, antara yang dilihat dengan jarak dekat di sekelilingnya dengan yang jarak jauh
atau dalam hal ini adalah yang berada dibawah yang terlihat lebih kecil. Fenomena ini
dipersepsikan oleh manusia yang memiliki fobia ketinggian melalui indera yang dimilikinya.
Pada manusia dengan acrophobia, indera yang mendominasi adalah indera pengelihatan,
sehingga apa yang dilihat oleh manusia sangat berpengaruh terhadap persepsinya.
Ilusi visual merupakan salah satu teknik manipulasi yang membuat indera pengelihatan
kita menangkap kualitas yang berbeda akan suatu hal. Dalam hal ini, ilusi visual menjadi
pendekatan arsitektur dalam perannya untuk memicu persepsi manusia yang menjadi faktor
tangible yang menjadi salah satu aspek yang memengaruhi persepsi manusia. Penggunaan teori
ilusi visual yaitu teori Müller Lyer untuk mengkaji aspek utama yang membentuk ruang. Aspek
lain yang memengaruhi perbedaan persepsi manusia dalam suatu ruang juga dipengaruhi oleh
faktor intangible yaitu pengalaman dan memori yang membuat manusia memiliki persepsi yang
berbeda-beda dan bersifat subjektif.
Penggunaan ilusi visual pada ruang berpengaruh terhadap penciptaan pengalaman ruang
yang akan dirasakan manusia. Sebagai contoh, ruang dapat terasa lebih besar atau lebih kecil dari
ukuran sebenarnya dengan proporsi, material, atau komposisi tertentu. Penggunaan ilusi visual
memicu adanya ambiguitas persepsi manusia dikarenakan faktor yang tangible dan intangible
sehingga membuat manusia yang berada diruang tersebut merasakan pengalaman ruang yang
berbeda-beda. “Analytical reflection starts fromourexperienceof theworldandgoesback to
the subject…”.2 Sehingga pada skripsi ini, kegiatan mengalami ruang menjadi penting terkait
proses perseptual manusia.
Pada skripsi ini, saya ingin membahas mengenai keterkaitan antara persepsi manusia yang
takut akan ketinggian, faktor-faktor yang menyebabkan rasa takut (tangible dan intangible), serta
peran arsitektur dalam memanipulasi ruang dengan menggunakan ilusi visual. Sebagai studi
kasus saya mengambil beberapa subjek manusia dengan acrophobia (acrophobics) dan manusia
yang tidak memiliki fobia akan ketinggian untuk mengkaji faktor yang memicu rasa takut dari
dalam diri manusia (intangible), serta dua studi kasus yaitu tempat berkumpul sosial yang berada
2Ponty,Marleau.PhenomenologyofPerception.(Hlm.ix)
Arsitektur acrophobia ..., Cut Alisha Shabrina Zagloel, FT UI, 2016
4
Universitas Indonesia
di ketinggian dan yang saya ambil adalah restoran rooftop untuk melihat peran arsitektur sebagai
faktor tangible.
Landasan Teori
Acrophobia merupakan ketakutan akan ketinggian. Menurut Oxford Dictionary,
“acrophobia /ˌakrəˈfəʊbɪə/ noun: Extreme or irrational fear of heights.” Menurut 3Hyperdictionary, Manusia dengan acrophobia disebut dengan acrophobic.”acrophobic.
Definition: [adj]suffering fromacrophobia.”Acrophobia merupakan fobia yang umum dialami
oleh manusia dan menjadi fobia ke-3 terbanyak di dunia,4 sehubungan dengan meningkatnya
pembangunan dengan orientasi vertikal. Dalam membahas acrophobia, saya menggunakan teori
“takut” karena acrophobia merupakan salah satu jenis fobia, yang mana merupakan perasaan
takut ekstrem yang spesifik terhadap suatu objek, keadaan, atau situasi tertentu.5 Rasa takut
merupakan hal manusiawi yang pasti dimiliki oleh manusia, namun skala takut yang dimiliki
manusia berbeda-beda. Takut merupakan suatu emosi yang dimiliki manusia yang dipengaruhi
oleh interaksi sosial dan pengalaman. Takut merupakan proyeksi dari persepsi manusia dan
persepsi manusia dipengaruhi oleh dua faktor yaitu faktor internal dari dalam diri manusia
berupa pengalaman dan memori yang bersifat intangible serta faktro eksternal yang merujuk
pada lingkungan fisik yang bersifat tangible. Kedua faktor ini memiliki pengaruh yang saling
memengaruhi dalam proses persepsi manusia. Proses persepsi manusia terdiri dari sensasi,
persepsi, identifikasi, dan aksi. Pada fenomena persepsi, yang terjadi adalah hubungan aktif dari
subjek dan objek dimana yang menjadi fokus utama adalah hubungan persimpangan dari subjek
dan objek tersebut. Objek yang disensasikan oleh indera-indera yang dimiliki manusia yang
diterima secara apa adanya, diolah oleh otak manusia yang dibumbui oleh faktor intangible yaitu
pengalaman dan memori yang menjadi persepsi, kemudian di identifikasi dengan
menghubungkan dengan kejadian di masa lalu.
3"acrophobia."MeaningofAcrophobic.2013.Hyperdictionary.com.23Februari2016.4“acrophobia.”http://www.fearof.net.23Februari20165“phobia.”OxfordDictionaries.2016.Oxforddictionaries.com.15Maret.2016.
Arsitektur acrophobia ..., Cut Alisha Shabrina Zagloel, FT UI, 2016
5
Universitas Indonesia
Dalam mengalami ruang, acrophobics sangat dipengaruhi oleh indera pengelihatannya.
Rasa takut yang dialami oleh acrophobics dipengaruhi oleh faktor tangible dan intangible yang
merupakan faktor utama persepsi manusia.
Keberadaan manusia pada ruang membuat adanya fenomena persepsi yang mana pada
fenomena ini terjadi hubungan antara manusia dengan ruang tersebut. Manusia dengan alat
inderanya menerima informasi dengan adanya stimulus, pada proses ini manusia sadar dan hadir
pada ruang tersebut yang kemudian dilanjutkan dengan sensasi. Kesadaran dan kehadiran
manusia pada suatu ruang membuat manusia dapat menyerap informasi-informasi yang ada
secara mentah dan sederhana. Kemudian informasi tersebut dikirim dan diolah oleh otak manusia
dengan adanya faktor intangible yang berasal dari dalam diri manusia, berupa memori dan
karakter seseorang. Informasi tersebut diolah dan dicerna dengan adanya faktor intangible
tersebut, dan pada proses inilah persepsi didapatkan karena pada proses ini, faktor intangible
manusia berbeda-beda secara individual. Persepsi yang didapatkan masih berupa adjektif atau
kata sifat yang dirasakan oleh manusia. Kemudian manusia memaknai informasi adjektif tersebut
yang kemudian menjadi kata benda yang dapat diaplikasikan pada dunia nyata, proses ini adalah
proses recognition. Setelah pemberian makna, manusia merespon informasi atas keapaan dari
ruang tersebut dengan aksi atau gerakan.
Gambar 1. Bagan Kesimpulan Faktor Acrophobia (sumber: ilustrasi pribadi, diolah berdasarkan ‘Philosophy of Fear’ oleh Sara Svensen)
Arsitektur acrophobia ..., Cut Alisha Shabrina Zagloel, FT UI, 2016
6
Universitas Indonesia
Gambar 2. Kesimpulan Proses Perseptual (Sumber: illustrasi pribadi, diolah berdasarkan Perceptual Perception oleh Dr. Michael Proulx,
Phenomenology of Perception oleh Marleau Ponty, dan Sense of Space oleh David Morris)
Arsitektur acrophobia ..., Cut Alisha Shabrina Zagloel, FT UI, 2016
7
Universitas Indonesia
Ketinggian menawarkan pengalaman ruang yang berbeda bagi manusia, dengan perluasan
jangkauan pandang dibandingkan pada dataran. Hal ini yang membuat proses persepsi pada
acrophobia mengacu pada indera pengelihatan sehingga visual memiliki peran penting. Respon
arsitektur terkait dengan visual manusia yaitu dengan menggunakan ilusi sebagai pendekatan
arsitektur. Teori Müller-Lyer merupakan ilusi yang membahas mengenai panjang suatu garis
yang dapat terlihat berbeda karena elemen garis bantu lain. Ilusi akan panjang dan kedalaman ini
juga terpapar pada ilusi Ames Room yang menjadi salah satu terapan Müller-Lyer, serta pada
perspektif yang menjadi cara pandang manusia. Terkait teori Gestalt (Closure), manusia dalam
melihat ruang dengan perspektif memiliki informasi kosong yang mana manusia cenderung
mengisi informasi kosong tersebut dengan interpretasinya yang memberikan peluang bagi
arsitektur untuk memengaruhi persepsi manusia.
Studi Kasus dan Analisis
Dalam mengkaji faktor intangible yang memicu rasa takut pada acrophobics, saya
mewawancarai subjek acrophobics dan non-acrophobics untuk mengkaji perbedaan yang ada.
Saya mengambil 5 subjek acrophobics dan 5 subjek non-acrophobics dengan pertanyaan yang
sama. Wawancara ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara pengalaman dan memori dari
masa lalu yang berhubungan dengan masa kini yang menjadi salah satu faktor yang
memengaruhi persepsi manusia. Selain itu, terkait dengan faktor tangible, saya juga melihat
gestur subjek untuk menganalisis respon terhadap ruang.
Arsitektur acrophobia ..., Cut Alisha Shabrina Zagloel, FT UI, 2016
8
Universitas Indonesia
(sumber: olahan pribadi berdasarkan hasil wawancara dan gestur)
Tabel 1. Wawancara dan Gestur Subjek Acrophobics
Arsitektur acrophobia ..., Cut Alisha Shabrina Zagloel, FT UI, 2016
9
Universitas Indonesia
(sumber: olahan pribadi berdasarkan hasil wawancara dan gestur)
Tabel 2. Wawancara dan Gestur Subjek Non-Acrophobics
Arsitektur acrophobia ..., Cut Alisha Shabrina Zagloel, FT UI, 2016
10
Universitas Indonesia
Studi kasus yang digunakan dalam skripsi ini adalah Skye dan The 18 Restaurant & Lounge
yang merupakan restoran dan tempat berkumpul sosial yang berada pada lantai paling tinggi
bangunan atau rooftop, yang merupakan bagian luar dari atap bangunan. Kedua tempat ini
merupakan tempat yang menjadi tren di masa kini dengan maraknya pembangunan arsitektur
yang berorientasi secara vertikal dan menggunakan ketinggian untuk memaparkan keindahan
pemandangan kota dari ketinggian sehingga menarik pengunjung. Skye Restaurant & Bar
merupakan restoran rooftop tertinggi di Jakarta dan The 18 Restaurant & Lounge merupakan
restoran rooftop tertinggi di Bandung.
Saya menganalisis studi kasus yang mengaplikasikan subjek acrophobics dan non-
acrophobics terhadap dua studi kasus yang terkait yaitu Skye Restaurant & Bar dan The 18
Restaurant & Lounge. Analisis studi kasus ini dilakukan dengan melihat pembagian zona,
konsep, dan elemen arsitektur utama yaitu pengalas, penopang, dan penutup. Tinjauan ini
melihat sifat utama dari elemen arsitektur yaitu solid dan void serta material solid atau transparan
yang dapat menghalangi atau memperluas jangkauan pandang manusia. Hal ini terkait dengan
indera pengelihatan manusia sebagai reseptor utama (bab 2.2.3) dan mendominasi dalam
mempersepsikan ruang terkait rasa takut akan ketinggian
Kedua studi kasus merupakan rooftop tertinggi pada kota masing-masing yaitu dengan Skye
merupakan rooftop tertinggi di Jakarta yang terletak di lantai 56 Menara BCA dan The 18
Restaurant & Lounge merupakan rooftop tertinggi di Bandung yang terletak di lantai 18 Trans
Luxury Hotel Bandung atau pada ketinggian 80m. Perbedaan antara Skye dan The 18 Restaurant
& Lounge terletak pada elemen arsitekturnya. Pada The 18 Restaurant & Lounge, elemen
arsitektur banyak menggunakan elemen kaca terutama pada pembatas dan penutup atas,
sedangkan pada Skye Bar & Restaurant elemen kaca hanya pada pembatas dan tidak di semua
sisi.
Ruang yang terletak pada ketinggian ini membuat manusia yang berada pada ruang ini
manusia memiliki jarak pandang yang sangat luas dan dengan perbedaan skala yang jauh dalam
pengelihatan manusia antara objek yang berada pada ruang tersebut dan objek yang berada
disekeliling ruang. Hal ini memberikan peluang bagi manusia untuk merasa takut akan
ketinggian dengan apa yang ditangkap dari indera pengelihatannya karena merupakan keadaan
Arsitektur acrophobia ..., Cut Alisha Shabrina Zagloel, FT UI, 2016
11
Universitas Indonesia
yang berbeda dari kehidupan sehari-harinya yang mana jangkauan pengelihatan manusia lebih
kecil pada keadaan normal atau diruang yang datar dibandingkan ketika berada pada ketinggian.
Skye Bar & Restaurant dapat membuat acrophobics tidak merasa takut saat duduk dan
menikmati hidangan atau sedang melakukan kegiatan di ruang tersebut karena pembatas ruang
dan perbatasan ketinggian memiliki jarak sekitar 2 meter sampai 3 meter sehingga pembatas
tidak langsung berhadapan dengan ketinggian melainkan memiliki ekstensi pengalas. Perasaan
takut terjadi hanya saat berjalan di area sirkulasi karena terdapat perbedaan ketinggian yaitu
lebih tinggi 60cm pada area sirkulasi dari area duduk yaitu zona outdoor
Gambar 3. Zona dan Elemen Arsitektur pada Skye (sumber: olahan pribadi berdasarkan survei)
Arsitektur acrophobia ..., Cut Alisha Shabrina Zagloel, FT UI, 2016
12
Universitas Indonesia
Pembatas ketinggian pada Skye Bar & Restaurant cenderung rendah yaitu kurang lebih
40cm namun karena adanya jarak antara perbatasan ketinggian dengan pembatas yang
memberikan jarak antara perbatasan ketinggian dengan ruang kegiatan membuat acrophobics
menjadi merasa aman karena pemandangan kota Jakarta dapat tetap dengan jelas terlihat dan
terasa seperti tanpa ada batas, ekstensi pengalas yang menjadi jarak antara pembatas dan
perbatasan ketinggian tersebut menghalangi pandangan manusia ke arah bawah sehingga
manusia dengan acrophobia bisa tetap menikmati pemandangan dan mereduksi rasa takut.
Gambar 4. Potongan Skye dan View (ilustrasi pribadi berdasarkan survey, foto render dan asia-bars.com)
Gambar 5. Zona dan Elemen Arsitektur pada The 18 Restaurant & Lounge (sumber: olahan pribadi berdasarkan survei, foto pribadi)
Arsitektur acrophobia ..., Cut Alisha Shabrina Zagloel, FT UI, 2016
13
Universitas Indonesia
The 18 Restaurant & Lounge memiliki pembatas bermaterial kaca yang berbatasan langsung
dengan ambang ketinggian, walau ada ekstensi perpanjangan berupa struktur dengan lebar sekiar
60cm dan tinggi sekitar 20cm, namun pandangan tetap dapat melihat kebawah, kecuali jika
sedang duduk. Hal ini yang membuat acrophobics merasa takut karena mereka jarak pandang
mereka menjadi luas dan memungkinkan untuk melihat kebawah.
Indera pengelihatan menjadi indera yang berperan utama dan berpengaruh besar manusia
dalam mempersepsikan keadaan terhadap acrophobics atau orang dengan ketakutan tertentu
sehingga terjadi false input atau distorsi visual yang membuat informasi menjadi salah atau
dengan kata lain terdapat ilusi secara visual. Kesalahan informasi ini yang dipengaruhi oleh
faktor intangible dari internal diri manusia dapat di respon oleh faktor tangible yaitu elemen
arsitektur yang dilihatnya dengan memberikan manipulasi keamanan. Pada bab berikut saya akan
melakukan eksplorasi ilusi visual mengenai kedalaman. Elemen ruang berpengaruh sebagai
penghalang atau penembus pengelihatan manusia. Elemen arsitektur pada ruang merupakan
Gambar 6. Potongan dan View The 18 Restaurant & Lounge (sumber: olahan pribadi berdasarkan survei. foto probadi dan render)
Arsitektur acrophobia ..., Cut Alisha Shabrina Zagloel, FT UI, 2016
14
Universitas Indonesia
objek yang diterima oleh indera pengelihatan manusia secara apa adanya yang dapat membuat
pandangan manusia menjadi semakin luas atau menjadi terbatas.
Perasaan takut yang dialami acrophobics maupun non-acrophobics yang berada pada tempat
tinggi dipengaruhi besar oleh indera pengelihatan. Adanya pembatas akan terasa percuma dan
memicu perasaan tidak aman jika pandangan masih dapat menembus jauh. Perbedaan pada
subjek acrophobics dan non-acrophobics adalah pada subjek acrophobics, subjek tidak berani
sama sekali dan memiliki ketakutan berlebih dengan respon panik, lemas, atau flight
(menghindar).
Respon flight sering digunakan dengan tujuan melindungi diri dari apa yang membuatnya
bahaya, cara yang dilakukan dapat berupa freeze atau terdiam di tempat yang menurutnya aman
yakni kurang lebih 2 meter dari ambang batas ketinggian atau membuat batas tersendiri yaitu
kurang lebih 3 meter dari ambang batas ketinggian. Upaya melindungi diri atau self-defense yang
dilakukan acrophobics juga dapat berupa mengarahkan pengelihatannya ke atas atau ke depan,
bukan ke bawah. Subjek non-acrophobics tidak merasa takut pada tempat tinggi dengan adanya
pembatas, baik berupa pegangan, material solid, maupun material transparan. Adanya pengalas
dengan material solid tidak membuat subjek non-acrophobics merasa takut, namun material
transparan yang memungkinkan pandangan tembus jauh kebawah memicu perasaan takut
terhadap subjek non-acrophobics, tetapi subjek non-acrophobics dapat melampaui perasaan
takutnya dengan beradaptasi pada ruang. Respon awal yang didapatkan pada subjek non-
acrophobics pada tempat yang memiliki pengalas dengan material transparan adalah freeze
namun dalam jeda beberapa detik subjek non-acrophobics mulai menggerakan badannya,
berpindah tempat, dan beraktivitas normal.
Eksplorasi
Pada eksplorasi ilusi Müller-Lyer, saya mengeksplorasi garis karena dalam teori ini garis
menjadi faktor utama dalam pembentukan ilusi. Müller-Lyer yang merupakan ilusi mengenai
panjang garis utama yang merupakan garis yang sama panjang dapat terlihat berbeda dengan
adanya elemen garis. Elemen garis tambahan merupakan garis yang terhubung dan menjadi
sebuah bentuk yang memiliki arah dan sudut memiliki kedalaman yang dapat menjadi ekstensi
dari garis utama sehingga dapat terjadi adanya ilusi.
Arsitektur acrophobia ..., Cut Alisha Shabrina Zagloel, FT UI, 2016
15
Universitas Indonesia
Dari empat variabel yang dieksplorasi dari karakter garis, didapatkan bahwa semakin tipis
garis dengan ketebalan yang sama, dengan sudut yang lancip, dan semakin pendek garis utama,
serta jenis garis yang putus-putus, semakin terlihat ilusi visual akan perbedaan panjang dari
kedua garis utama yang sebenarnya sama. Garis menjadi elemen penting karena merupakan
elemen pembentuk dan mendasar pada suatu bidang. Dari sudut perspektif yang tegak lurus
didapatkan bahwa ruang terlihat datar dan elemen ruang memiliki garis yang sejajar, namun jika
sudut pandang bergeser maka terlihat adanya distorsi-distorsi garis yang menjadikan ruang
tersebut asimetris dan mulai terlihat trik ilusi visual yang ada. Dari sini didapatkan bahwa
perspektif merupakan aspek yang perlu dieksplorasi karena perspektif merupakan cara manusia
melihat dalam kehidupan nyata. Dari hasil penerapan teori Müller-Lyer pada gambar perspektif
pada studi kasus, didapatkan bahwa adanya koneksi antar garis Müller-Lyer dengan arah panah
yang berbeda.
Arsitektur acrophobia ..., Cut Alisha Shabrina Zagloel, FT UI, 2016
16
Universitas Indonesia
Perspektif yang menjadi cara melihat manusia ini dipengaruhi dengan adanya karakter
garis pembentuk ruang itu terkait dengan panjang, sudut, ketebalan, kedalaman, proporsi, dan
kontinuitas. Garis ini membentuk bidang atau objek solid yang bersifat keseluruhan dan dari
hasil analisis didapatkan adanya closure atau teori gestalt sebagai cara manusia melihat. Manusia
cenderung mengisi informasi parsial atau informasi yang hilang dengan interpretasinya. Hal ini
terkait dengan teori persepsi yang mana faktor intangible (pengalaman dan memori) seseorang
memengaruhi persepsinya. Informasi yang didapatkan dari ilusi visual ini merangsang indera
pengelihatan manusia untuk menyederhanakan apa yang dilihatnya dan inilah yang membuat
terjadinya distorsi visual akibat penyederhanaan informasi sehingga informasi yang didapat
secara parsial dan informasi yang didapat secara menyeluruh berbeda. Distorsi visual ini terjadi
pada saat manusia melihat ruang yaitu dengan perspektif. Distorsi visual ini membuka peluang
untuk manusia menjadi merasa takut akan persepsinya karena salah informasi namun juga dapat
menjadi peluang bagi arsitektur untuk melakukan perannya yaitu melakukan manipulasi
sehingga menciptakan informasi baru.
Gambar 7. Penerapan Muller-Lyer pada studi kasus (The 18 Restaurant & Lounge) (sumber: olahan pribadi berdasarkan survei. dokumen pribadi)
Arsitektur acrophobia ..., Cut Alisha Shabrina Zagloel, FT UI, 2016
17
Universitas Indonesia
Kesimpulan
Dalam mengkaji faktor yang memicu rasa takut manusia akan ketinggian, didapatkan
bahwa takut yang merupakan persepsi manusia memiliki dua faktor yaitu tangible dan
intangible. Terkait dengan hipotesa awal, persepsi manusia selain dipengaruhi oleh keberadaan
ruang (faktor tangible) juga dipengaruhi oleh faktor dari dalam diri manusia berupa pengalaman
dan memori. Arsitektur yang berperan sebagai faktor tangible memiliki pengaruh yang sama
besar dengan faktor intangible yang terdapat dalam diri manusia. Arsitektur menyajikan
informasi, memaparkan kemungkinan, karena variabel terikat dalam konteks ini merupakan
faktor dari dalam diri manusia yakni faktor internal yaitu memori. Arsitektur berperan sebagai
variabel bebas yang dapat merespon variabel terikat tersebut. Arsitektur dapat memanipulasi
keadaan, memberikan keambiguitasan ruang atas perbedaan subjektifitas persepsi individu,
sehingga mengupayakan pengalaman ruang yang dialami manusia yang bersifat positif.
Dalam proses persepsi yang dilakukan manusia terhadap ruang, terjadi hubungan timbal
balik antara manusia dan ruang sehingga kedua faktor ini menjadi faktor penting dan utama yang
memengaruhi hasil persepsi. Ruang memberikan informasi dan stimulus-stimulus yang dapat
diterima oleh manusia dengan sensasi, persepsi, pemaknaan, dan aksi. Respon, gerakan, atau aksi
yang dilakukan manusia merupakan cerminan dari perasaan takutnya, dan perasaan takut
manusia merupakan cerminan dari persepsinya. Persepsi manusia dipengaruhi besar oleh memori
sehingga menjadi subjektif tiap individu dan menjadi tantangan bagi arsitek untuk merancang
arsitektur yang dapat memberikan pengalaman ruang yang bersifat positif bagi manusia sebagai
pengguna. Faktor eksternal yang berada di luar diri manusia yakni keberadaan ruang dan elemen
arsitektur yang mengisi ruang tersebut menjadi faktor tangible yang bersifat nyata yang
kemudian dipersepsikan oleh manusia dengan diolah berdasarkan faktor internal yang berada
dari dalam diri manusia yakni memori yang smenjadi faktor intangible yang memengaruhi hasil
persepsi. Memori yang dapat berupa emosi dan perasaan dapat menyentuh alam bawah sadar
manusia untuk melakukan pemaknaan terhadap sesuatu dan memengaruhi respon yang dilakukan
manusia terhadap ruang. Acrophobia, takut akan ketinggian. Perasaan takut ini berada sebagai
faktor intangible manusia saat mempersepsikan sesuatu. Ketakutan ini menjadi salah satu
sensible consciousness dan intellectual consciousness manusia karena telah perasaan takut yang
berkembang sejak lama telah menyentuh emosi dalam diri sehingga berhubungan dengan alam
Arsitektur acrophobia ..., Cut Alisha Shabrina Zagloel, FT UI, 2016
18
Universitas Indonesia
bawah sadar manusia, sementara kejadian-kejadian relevan yang mendukung yang tersimpan
dalam memori tersimpan diotak. Faktor ini menjadi faktor yang membuat persepsi manusia
dengan acrophobia merasakan takut yang berlebihan dengan respon yang berlebihan.
Ruang yang menjadi faktor tangible terbentuk dari garis-garis. Hubungan antara garis
yang membentuk ruang tersebut dilihat oleh manusia dengan adanya perspektif. Hal ini
memberikan peluang bagi manusia untuk mempersepsikan dan menginterpretasikan informasi
yang diberikan oleh ruang. Perspektif yang menjadi cara melihat manusia ini dipengaruhi dengan
adanya karakter garis pembentuk ruang itu terkait dengan panjang, sudut, ketebalan, kedalaman,
proporsi, dan kontinuitas, serta dengan penggunaan material dari elemen arsitektur yang ada
antara solid dan void yang mana transparnsi membuat manusia merasa takut karena terdapat
pengalaman ruang yang berbeda dan perbedaan tersebut membuat manusia harus beradaptasi
terlebih dahulu kepada ruang. Dalam proses adaptasi ini terdapat perbedaan persepsi yang mana
terdapat beberapa manusia yang tidak dapat mentoleransi pengalaman ruang yang baru karena
dianggapnya sebagai ancaman sehingga membuatnya merasa takut. Peran arsitektur disini adalah
untuk mengalihkan fokus manusia terutama dari indera pengelihatannya, sehingga pandangan
manusia dapat dibelokkan dari situasi nyata ke kondisi perspektif. Dengan permainan ilusi
sebuah arsiektur bertingkat tinggi memiliki kesempatan untuk memberikan ruang bagi manusia
yang takut akan ketinggian untuk turut merasakan pengalaman ruang yang bersifat positif.
Ilusi visual digunakan karena dalam kasus acrophobia, subjek acrophobics dipengaruhi
besar oleh indera pengelihatan dan pengelihatan menjadi reseptor utama dalam proses persepsi.
Dapat disimpulkan bahwa dalam ilusi visual, garis merupakan elemen yang esensial dalam
kehidupan sehari-hari manusia, dalam kehidupan yang tiga dimensi maupun dalam gambar dua
dimensi garis tetap menjadi elemen penting yang fundamental karena garis merupakan elemen
penyusun utama. Konfigurasi dari garis dan bidang dapat menciptakan ilusi volume dan
kedalaman ruang bagi pengamat. Informasi yang didapatkan dari ilusi visual ini merangsang
indera pengelihatan manusia untuk menyederhanakan apa yang dilihatnya dan inilah yang
membuat terjadinya distorsi visual akibat penyederhanaan informasi sehingga informasi yang
didapat secara parsial dan informasi yang didapat secara menyeluruh berbeda. Distorsi visual ini
terjadi pada saat manusia melihat dalam bentuk perspektif. Distorsi visual ini membuka peluang
untuk manusia menjadi merasa takut akan persepsinya karena salah informasi namun juga dapat
Arsitektur acrophobia ..., Cut Alisha Shabrina Zagloel, FT UI, 2016
19
Universitas Indonesia
menjadi peluang bagi arsitektur untuk melakukan perannya yaitu melakukan manipulasi
sehingga menciptakan informasi baru. Aplikasi ilusi visual dalam bentuk arsitektur dapat
dilakukan dengan menggunakan material yang tepat pada elemen arsitektur dan dengan bentuk,
skala, dan proporsi yang tepat. Simetris yang kerap masih menjadi standar keindahan dan
menjadi titik aman desain bisa jadi bergeser dan unsur estetika, kebutuhan manusia, dan
ergonomi dapat didapatkan melalui desain yang asimetris atau terselipkan manipulasi berupa
ilusi visual yang menyajikan pengalaman ruang yang lebih dinamis.
Kritik dan Saran
Eksplorasi yang dilakukan merupakan hasil kajian dari bukan ahli melainkan oleh
mahasiswa dan bersifat subjektif. Dapat dilakukan beberapa eksplorasi lain atau eksplorasi
lanjutan serta wawancara dengan subjek acrophobics yang lebih banyak untuk mendapatkan
hasil yang lebih maksimal.
Daftar Referensi Buku: Davidoff, J. B. (1975). Differences in Visual Perception. London: Granada Publishing.
Fish, W. (2009). Perception, Hallucination, and Illusion. New York: Oxford University Press.
Morris, D. (2004). Sense of Space. New York: State University of New York Press.
Goldstein, E. B. (2013). Sensation and Perception. Cengage Learning.
Gordon, I. E. (2004). Theories of Visual Perception. New York: Psychology Press.
Ponty, M. (1981). Phenomenology of Perception. Aalborg: Aalborg Universitetsbibliotek.
Restle, F., & Decker, J. (1977). Perception & Psychophysics. Bloomington: Indiana University.
Svendsen, S. (2008). Philosophy of Fear. London: Reaktion Books Ltd.
T., D., Herskovit, M. J., & Segall, M. H. (1966). The Influence of Culture on Visual Perception. New York: Bobbs-Merrill Co.
Wiederhold, B. K., & Stephane Bouchard. (2014). Series in Anxiety and Related Disorders. San Diego: Springer.
Arsitektur acrophobia ..., Cut Alisha Shabrina Zagloel, FT UI, 2016
20
Universitas Indonesia
Dokumen Online: Adolph, K., K.S., K., & V., L. (n.d.). Fear of Heights in Infants?
Boeree, G. (2000). Gestalt Psychology. Retrieved April 2, 2016, from webspace.ship.edu
Gibson, E. J., & Walk, R. D. (1960). The "Visual Cliff". Retrieved Mei 2016, from kokdemir.info: www.kokdemir.info/courses/psk301/docs/GibsonWalk_VisualCliff(1960).pdf
Odonnell, M. J. (n.d.). Gestalt Theory of Perception. Retrieved Maret 2016, from courseweb.stthomas.edu: http://courseweb.stthomas.edu/mjodonnell/cojo232/pdf/gestalt.pdf
Palmer, S. (2008). Phobias - What, Who, Why and How to Help. London: British Psychological Society. bps.org.uk/systems/files/documents/phobias_information_leaf
Pressey, A. W. (1967). A Theory of the Muller-Lyer Illusion. Manitoba: University of Manitoba.
Proulx, D. M. (n.d.). Perceptual Perception. Retrieved Maret 21, 2016, from psychology.about.com
Rutledge, A. (2009). Andy Rutledge. Retrieved April 2, 2016, from wwww.andyrutledge.com/closure/php
Searle, J. (2005). The Phenomenological Illusion.
The Muller-Lyer Illusion. (n.d.). Retrieved Maret 2016, from rit.edu: www.rit.edu/cla/gssp400/muller/muller.html
Tesis, Disertasi: Ekosiwi, E. K. (2009). Ilusi dalam Seni. Universitas Indonesia, Jakarta.
Website: A Dictionary of Nursing. (2016). Retrieved Februari 23, 2016, from
www.encyclopedia.com/doc/1O62-acrophobia.html Oxford Dictionaries. (2016). Retrieved Februari 23, 2016, from
www.oxforddictionaries.com/definition/english/acrophobia
Meaning of Acrophobic. (2016). Retrieved Februari 23, 2016, from www.hyperdictionary.com/dictionary /acrophobic
fearof.net. (n.d.). Retrieved Februari 2016, from fearof.net
The Law of Closure. (2016). Retrieved April 2, 2016, from vocabulary.com
Arsitektur acrophobia ..., Cut Alisha Shabrina Zagloel, FT UI, 2016