Post on 30-Mar-2019
i
i
ANALISIS STRUKTUR DAN FUNGSI GUAL DALAM UPACARA SAYUR MATUA MASYARAKAT SIMALUNGUN DI KECAMATAN RAYA
Tesis
Program Studi Magister Penciptaan dan Pengkajian Seni
diajukan oleh
DENATA RAJAGUKGUK NIM 167037001
Kepada
PROGRAM STUDI MAGISTER
PENCIPTAAN DAN PENGKAJIAN SENI FAKULTAS ILMU BUDAYA
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN
2018
ii
ANALISIS STRUKTUR DAN FUNGSI GUAL DALAM UPACARA SAYUR MATUA MASYARAKAT SIMALUNGUN DI KECAMATAN RAYA
diajukan oleh Denata Rajagukguk
NIM 167037001
Telah disetujui oleh: Komisi Pembimbing
Ketua,
Drs. Muhammad Takari, M.Hum, Ph.D. tanggal ............................ NIP 0021126501 Anggota,
Prof. Dr. Ikhwanuddin Nasution, M,Si. tanggal ............................. NIP 0008285604
Program Studi Magister Penciptaan dan Pengkajian Seni
Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara
Ketua,
Drs. Muhammad Takari, M. Hum, Ph.D. tanggal……………………
iii
ABSTRAK
Tesis ini berjudul “Analisis Struktur dan Fungsi Gual dalam Upacara Sayur Matua Masyarakat Simalungun di Kecamatan Raya.” Analisis difokuskan kepada: (1) upacara sayur matua, (2) fungsi gual, dan (3) struktur gual. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan pengumpulan data melalui penelitian lapangan, wawancara, perekaman data audiovisual, dan sebagai pengamat terlibat. Untuk menganalisis fungsi gual di dalam upacara sayur matua digunakan teori penggunaan dan fungsi dari Merriam, ditambah teori fungsionalisme dari Malinowski. Dalam hal menganalisis struktur gual dipedomani teori weighted scale dari Malm ditambah dengan teori struktur musik dari Nettl, Titon, Slobin, dan Apel. Dalam menganalisis upacara sayur matua digunakan teori upacara dari Sunjata. Hasil yang diperoleh dari penelitian ini adalah, secara konseptual bagi masyarakat Simalungun jika seseorang sudah berada pada status meninggal sayur matua (semua anaknya telah menikah dan berhasil dalam kehidupan), maka orang yang meninggal tersebut dipersepsikan telah berhasil pada kehidupan yang dia tinggalkan. Istilah gual bagi masyarakat Simalungun adalah komposisi musik tanpa vokal yang pembawa melodinya dibawakan oleh sarunei. Biasanya gual dibawakan dalam dua ensambel, yakni gonrang sipitu-pitu dan gonrang dua. (A) Tahapan-tahapan yang harus dilalui atau dilaksanakan pada upacara sayur matua: (a) padalan tugah-tugah, (b) riah tongah jabu, (c) tampei porsa, (d) pahata gonrang, (e) mandingguri, (f) mangoromi, (g) pamasuk hu rumah-rumah, (h) pangiligion, (i) hio parpudi, dan (j) paragendaon. (B) Guna gual dalam upacara ini adalah: (i) untuk mengiringi upacara adat sayur matua dan (ii) memeriahkan jalannya upacara, di sisi lain fungsi gual dalam upacara sayur matua adalah: (a) untuk mengabsahkan upacara, (b) sebagai sarana integrasi sosial, (c) sebagai ekspresi emosi gembira dan sekaligus sedih, (d) sebagai sarana doa kepada Tuhan, dan (e) sebagaisarana hiburan. (C) Pada upacara adat sayur matua ada lima gual yang wajib dimainkan: (1) Gual Huda-huda, (2) Gual Parahot, (3) Gual Sayur Matua, (4) Gual Rambing-rambing, dan (5) Gual Dinggur-dinggur. Struktur yang diperoleh dari gual ialah sebagai berikut: (1) tangga nada yang digunakan adalah heksatonik, bes – c – cis – f – g –as, (2) jumlah nada-nada didominasi nada C 43% pada gual parahot, nada C 44% pada gual huda-huda, nada F 45% pada gual rambing-rambing, nada C 47% pada gual sayur matua, nada C 39% pada gual dinggur-dinggur, (3) nada dasar yang digunakan pada gual yaitu bes, (4) wilayah nada yaitu nada paling rendah C dan nada paling tinggi G, (5) pola kadensa gual terdiri dari satu dan dua pola kadensa. Yang memiliki dua pola kadensa gual parahot dan gual dinggur-dinggur, sementara gual sayur matua, gual rambing-rambing dan gual huda-huda memiliki satu pola kadensa, (6) kontur yang terdapat pada kelima gual tersebut discending, pendulos, dan teracced, (7) Meter yang digunakan kelima gual tersebut 4/4, (8) Tempo ketukan dasar rata-rata per menit yang terdapat pada gual parahot 112, gual huda-huda 57, gual rambing-rambing 55, gual sayur matua 75, dangual dinggur-dinggur 110. Kata kunci: fungsi, gual, sayur matua, struktur.
iv
ABSTRACT
This thesis is titled "Analysis of Structural and Functions of Gual in the Sayur Matua Ceremony of the Simalungun Community in the Raya District." The analysis focused on: (1) the sayur matua ceremony, (2) functions, and (3) the gual structure. This study uses qualitative methods with data collection through field research, interviews, recording audiovisual data, and as a participant observer. To analyze the gual function in the sayur matua ceremony, Merriam's use and function theory was used, plus the functionalism theory of Malinowski. In terms of analyzing the gual structure, it was guided by the weighted scale theory of Malm coupled with the music structure theory of Nettl, Titon, Slobin, and Apel. In analyzing the sayur matua ceremony, ceremonial theory from Sunjata is used. The results obtained from this study are, conceptually for the Simalungun community if someone is already in the sayur matua death status (all of his children are married and succeed in life), then the deceased person is perceived as having succeeded in the life he left behind. The term gual for the people of Simalungun is the composition of music without vocals that carries the melody by sarunei (shawm). Usually the song is carried in two ensembles, namely gonrang sipitu-pitu and gonrang dua.(A) The stages that must be passed or carried out at the sayur matua ceremony: (a) padalan tugah-tugah, (b) riah tongah jabu, (c) tampei porsa, (d) pahata gonrang, (e) mandingguri, (f ) mangoromi, (g) pamasuk hu rumah-rumah, (h) pangiligion, (i) hio parpudi, and (j) paragendaon. (B) The use of gual activity in this ceremony are: (i) to accompany sayur matua traditional ceremonies and (ii) enliven the course of the ceremony, on the other hand the gual function in the sayur matua ceremony is: (a) to validate the ceremony, (b) as a means social integration, (c) as an emotional expression of joy and sadness, (d) as a means of prayer to God, and (e) as a means of entertainment. (C) There are five guals that must be played in the sayur matua ceremony: (1) Guda Huda-huda, (2) Gual Parahot, (3) Gual Sayur Matua, (4) Gual Rambing-Rambing, and (5) Gual Dinggur-dinggur. The structure obtained from gual is as follows: (1) the scales used hexatonic, bes - c - cis - f - g - as, (2) the number of tones is predominantly C tone 43% in the gual parahot, C tone 44% in gual huda-huda, F tone 45% on the gual rambing-rambing, C 47% on sayur matua, C tone 39% on the gual dinggur-dinggur, (3) the basic tone used in all guals is bes, (4) tone area that is, the lowest tone is C and the highest tone is G, (5) the cadence pattern consists of one and two cadence patterns. Those who have two patterns of gual parahot and dinggur-dinggur, while gual sayur matua, gual rambing-rambing, and gual huda-huda have one cadence pattern. (6) the contour at five guals are discending, pendulous, and teracced. (7) The meter used by the five bulls is 4/4, (8) The basic beat rate per minute is found on gual parahot 112, gual huda-huda 57, gual rambing-rambing 55, gual sayur matua 75, and gual dinggur-dinggur 110. Keywords: function, gual, sayur matua, structure.
v
PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam tesis ini tidak pernah terdapat
karya yang diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan
tinggi, dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat
yang pernah ditulis atau yang pernah diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang
secara tertulis diacu dalam naskah ini dan disebutkan di dalam daftar pustaka.
Medan, . September 2018
Denata Rajagukguk NIM 167037001
vi
PRAKATA
Puji dan syukur kepada Tuhan Yesus Kristus atas pernyetaan-Nya dan
kasih karunia kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan tesis ini pada
Program Studi Magister Penciptaan dan Pengkajian Seni, Fakultas Ilmu Budaya,
Universitas Sumatera Utara. Tesis ini berjudul “Analisis Fungsi dan Struktur Gual
dalam upacara sayur matua masyarakat Simalungun di Kecamatan Raya.
Tesis ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister
Seni (M.Sn) pada Program Magister Penciptaan dan Pengkajian Seni, Fakultas
Ilmu Budaya, Universitas Sumatera Utara, Medan. Tesis ini merupakan hasil
penelitian yang membahas analisis fungsi dan struktur gual dalam upacara sayur
matua masyarakat Simalungun di Kecamatan Raya, adapun pokok permasalahan
yang timbul yaitu tentang proses upacara adat kematian Sayur Matua, fungsi gual
tersebut, dan struktur gual yang disajikan pada Sayur Matua.
Pada kesempatan ini penulis ingin berterima kasih kepada berbagai pihak atas
penyelesaian tesis ini, tentu saja bantuan maupun dukungan yang diterima penulis
sangat berarti bagi penyelesaian tesis ini, untuk itu penulis mengucapkan banyak
terima kasih kepada :
1. Prof. Dr. Runtung, S.H., M.Hum. sebagai Rektor Universitas Sumatera
Utara, dan segenap jajarannya yang telah menata dan bertanggung jawab
atas segala urusan akademik Universitas Sumatera Utara.
vii
2. Dr. Budi Agustono, M.S sebagai Dekan Fakultas Universitas Sumatera
Utara dan segenap jajarannya yang telah memfasilitasi urusan akademik
Fakultas Ilmu Budaya.
3. Drs. Muhammad Takari, M.Hum., Ph.D selaku ketua Prodi Magister
Penciptaan dan Pengkajian Seni Fakultas Ilmu Budaya dan sebagai Dosen
Pembimbing I penulis yang memberikan banyak arahan mengenai Tesis
ini.
4. Drs. Torang Naiborhu, M.Hum., selaku sekertaris Prodi Magister
Penciptaan dan Pengkajian Seni Fakultas Ilmu Budaya, atas bimbingan
akademis dan juga arahan kepada penulis.
5. Prof. Dr. Ikhwanuddin Nasution sebagai Dosen Pembimbing II yang
memberikan waktunya untuk membimbing penulis agar tesis ini
terselesaikan dengan baik.
6. Drs. Setia Dermawan Purba, M.Si selaku Dosen Etnomusikologi
Universitas Sumatera Utara sekaligus budayawan Simalungun yang telah
banyak memberikan informasi terkait tesis ini.
7. Drs. Kumalo Tarigan, M.A., Ph.D., selaku Dosen Prodi Magister
Penciptaan dan Pengkajian Seni sekaligus sebagai dosen penguji tesis ini.
8. Dr. Asmyta Surbakti, M.Si selaku Dosen Prodi Magister Penciptaan dan
Pengkajian Seni sekaligus sebagai dosen penguji tesis ini.
9. Dr. Dardanila, M.Hum selaku Dosen Prodi Magister Penciptaan dan
Pengkajian Seni sekaligus sebagai dosen penguji tesis ini.
viii
10. Seluruh dosen Prodi Magister Penciptaan dan Pengkajian Seni Fakultas
Ilmu Budaya, Universitas Sumatera Utara yang telah memberikan ilmunya
kepada penulis.
11. Seluruh dosen Prodi S-1 Departemen Etnomusikologi Fakultas Ilmu
Budaya, Universitas Sumatera Utara yang tidak dapat disebutkan namanya
satu persatu, buat ilmu dan didikan selama masa perkuliahan sarjana.
12. Drs. Ponisan selaku pegawai sataf administrasi Prodi Magister Penciptaan
dan Pengkajian Seni Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Sumatera Utara.
13. Bapak J Badu Purba sebagai informan kunci yang bersedia memberikan
informasi terkait tesis ini, juga kepada informan pendukung yang telah
bersedia membantu penulis.
14. Kedua orang tua saya Almarhum Drs. Daris Rajagukguk M.Pd dan ibu
Serlina Lumbanraja yang telah mendukung saya baik materi, motivasi dan
kasih sayang sebagai orang tua serta segala hal keperluan penulis.
15. Adik saya Ganda pola Rajagukguk, Andreas kusuma Rajagukguk,
Novitasari Rajagukguk, Dorkas Agustina Rajagukguk, yang telah
memberikan dukungan secara moril kepada penulis.
16. Ayu Permatasari Lumbantoruan S.Sn yang telah setia menemani dalam
proses penyelesaian tesis ini dan juga mendukung secara moril serta
membantu dalam transkripsi notasi dalam tesis ini.
17. Ingrid aritonang, Andreas yohannes saragih, hiskia, rosnita selaku adik-
adik saya yang telah memberikan banyak bantuan dalam proses penelitian
lapangan.
ix
DAFTAR ISI
ABSTRAK ......................................................................................................... iii PERNYATAAN ................................................................................................. v PRAKATA ........................................................................................................ vi DAFTAR ISI ..................................................................................................... ix DAFTAR GAMBAR ........................................................................................ xii DAFTAR TABEL ........................................................................................... xiii DAFTAR RIWAYAT HIDUP ........................................................................ xiv BAB I PENDAHULUAN ................................................................................... 1
1.1 Latar Belakang Masalah..................................................................... 1 1.2 Rumusan Masalah............................................................................. 11 1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian.......................................................... 12
1.3.1 Tujuan penelitian ........................................................................... 12 1.3.2 Manfaat penelitian ......................................................................... 13
1.4 Tinjauan Pustaka .............................................................................. 14 1.4.1 Penelitian lapangan dan wawancara ......................................... 17 1.4.2 Observasi........................................................................................ 17 1.4.3 Wawancara..................................................................................... 18 1.4.4 Kerja laboratorium ........................................................................ 18
1.5 Konsep dan Teori.............................................................................. 19 1.5.1 Konsep ........................................................................................... 19 1.5.1.1 Kebudayaan ................................................................................ 19 1.5.1.2 Penggunaan dan fungsi .............................................................. 20 1.5.1.3 Gual ............................................................................................. 21 1.5.1.4 Sayur Matua ................................................................................ 22 1.5.1.5 Struktur ....................................................................................... 22 1.5.2 Teori ............................................................................................... 22
1.6 Metode Penelitian ............................................................. 31 BAB II DESKRIPSI MASYARAKAT SIMALUNGUN DI KECAMATAN
RAYA.................................................................................................. 41 2.1 Letak Geografis Simalungun .......................................................... 41 2.2 Sistem Kekerabatan ........................................................................ 42
2.2.1 Struktur Sosial Tolu Sahundulan Lima Saodoran ....................... 47 2.3 Mata Pencaharian .......................................................................... 47 2.4 Bahasa ........................................................................................... 49 2.5 Kesenian......................................................................................... 51
2.5.1 Seni Sastra...................................................................................... 51 2.5.2 Seni Musik ..................................................................................... 52 2.5.3 Seni Tari ......................................................................................... 53 2.5.4 Seni Rupa ....................................................................................... 55
x
2.6 Agama dan Kepercayaan ................................................................ 55 BAB III UPACARA SAYUR MATUA PADA MASYARAKAT
SIMALUNGUN DI KECAMATAN RAYA ...................................... 58 3.1 Sayur Matua dalam Budaya Simalungun ........................................ 58 3.2 Tatacara Adat Kematian Sayur matua ............................................. 59
3.2.1 Padalan tugah-tugah ..................................................................... 60 3.2.2 Riah Tongah Jabu ......................................................................... 62 3.2.3 Tampei Porsa ................................................................................. 63 3.2.4 Pahata gonrang oleh cucu laki-laki dan perempuan sulung ...... 65 3.2.5 Mandingguri .................................................................................. 66 3.2.5.1 Mamungka gonrang ................................................................... 66 3.2.5.2 Mandingguri hasutan bolon ...................................................... 66 3.2.6 Mangoromi na matei ..................................................................... 67 3.2.7 Pamasuk hu rumah-rumah............................................................ 68 3.2.8 Pangiligion .................................................................................... 69 3.2.9 Hio Parpudi dan manangkih gonrang ........................................... 72 3.2.10 Paragendaon ............................................................................... 74
BAB IV GUNA DAN FUNGSI GUAL DALAM UPACARA SAYUR MATUA
PADA MASYARAKAT SIMALUNGUN .......................................... 78 4.1 Pengantar ....................................................................................... 78 4.2 Pengertian Gual .............................................................................. 78
4.2.1 Gual Parahot ........................................................................ 79 4.2.2 Gual Huda-huda ................................................................... 79
4.2.3 Gual Rambing-rambing ................................................................ 80 4.2.4 Gual Sayur Matua ......................................................................... 80 4.2.5 Gual dinggur-dinggur ................................................................... 81
4.3 Pengertian Fungsi ........................................................................... 81 4.3.1 Penggunaan Gual .................................................................. 84
4.3.1.1 Untuk mengiringi upacara adat sayur matua............................ 85 4.3.1.2 Memeriahkan Jalannya Upacara ............................................... 85
4.3.2 Fungsi Gual .......................................................................... 86 4.3.2.1 Untuk mengabsahkan upacara adat sayur matua ..................... 86 4.3.2.2 Sebagai sarana integrasi sosial .................................................. 86 4.3.2.3 Sebagai ekspresi emosi gembira dan sekaligus sedih .............. 87 4.3.2.4 Sebagai sarana doa kepada Tuhan ............................................. 87 4.3.2.5 Sebagai sarana hiburan .............................................................. 88
BAB V ANALISIS STRUKTUR GUAL PADA UPACARA SAYUR MATUA ................................................................ 91
5.1. Analisis Struktur Gual ................................................................... 91 5.1.1 Tangga Nada .................................................................................. 91 5.1.1.1 Parahot ........................................................................................ 92 5.1.1.2 Huda-huda................................................................................... 92
xi
5.1.1.3 Rambing-rambing ...................................................................... 93 5.1.1.4 Sayur Matua ................................................................................ 93 5.1.1.5 Dinggur-dinggur ......................................................................... 94
5.1.2 Jumlah Nada-nada ................................................................ 94 5.1.2.1 Parahot ........................................................................................ 95 5.1.2.2 Huda-huda................................................................................... 95 5.1.2.3 Rambing-rambing ...................................................................... 96 5.1.2.4 Sayur Matua ................................................................................ 97 5.1.2.5 Dinggur-dinggur ......................................................................... 98 5.1.3 Nada Dasar ..................................................................................... 99 5.1.3.1 Parahot ...................................................................................... 100
5.1.3.2 Huda-huda .............................................................. 101 5.1.3.3 Rambing-rambing .................................................................... 101 5.1.3.4 Sayur Matua .............................................................................. 101 5.1.3.5 Dinggur-dinggur ....................................................................... 102 5.1.4 Wilayah Nada .............................................................................. 102 5.1.4.1 Parahot ...................................................................................... 103 5.1.4.2 Huda-huda................................................................................. 103
5.1.4.3 Rambing-rambing ................................................... 104 5.1.4.4 Sayur Matua .............................................................................. 104
5.1.4.5 Dinggur-dinggur ..................................................... 104 5.1.5 Pola-pola Kadensa ....................................................................... 105 5.1.5.1 Parahot ...................................................................................... 105 5.1.5.2 Huda-huda................................................................................. 106 5.1.5.3 Rambing-rambing .................................................................... 107 5.1.5.4 Sayur Matua .............................................................................. 108 5.1.5.5 Dinggur-dinggur ....................................................................... 109 5.1.6 Kontur .......................................................................................... 109
5.1.6.1 Parahot ................................................................... 110 5.1.6.2 Huda-huda................................................................................. 111 5.1.6.3 Rambing-rambing .................................................................... 111 5.1.6.4 Sayur Matua .............................................................................. 111 5.1.6.5 Dinggur-dinggur ....................................................................... 112 5.1.7 AnalisisMeter............................................................................... 112 5.1.8 Analisis Pulsa .............................................................................. 118
BAB VI PENUTUP ........................................................................................ 124
6.1 Kesimpulan .................................................................................. 124 6.2 Saran ............................................................................................ 128
DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 129 DAFTAR INFORMAN .................................................................................. 132 GLOSARIUM ................................................................................................ 134 LAMPIRAN ................................................................................................... 136
xii
DAFTAR GAMBAR
Gambar 3.1: Penyerahan batu ni demban ........................................................... 61 Gambar 3.2: Penggunaan porsa (kain putih di ikat kepala) ................................. 64 Gambar 3.3: Proses pemindahan jenazah ke dalam peti ...................................... 69 Gambar 3.4: Tondong membuka boras tenger .................................................... 70 Gambar 3.5: Tondong memberikan hiou parpudi ............................................... 74
xiii
DAFTAR TABEL Tabel 5.1 Tabel Jumlah Nada Gual Parahot ................................................................... 95 Tabel 5.2 Tabel Jumlah Nada Gual Huda-huda .............................................................. 96 Tabel 5.3 Tabel Jumlah Nada Gual Rambing-rambing ................................................... 96 Tabel 5.4 Tabel Jumlah Nada Gual Sayur Matua ........................................................... 97 Tabel 5.5 Jumlah Nada Gual Dinggur-dinggur............................................................... 98 Tabel 6.1 Tabel Tahapan Upacara Sayur Matua .................. Error! Bookmark not defined.
xiv
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
Nama : Denata Rajagukguk Tempat/Tanggal Lahir : Samarinda, 12 November 1992 Jenis Kelamin : Laki-laki Agama : Kristen Protestan Kewarganegaraan : Indonesia Nomor Telepon : 081360046134 Alamat : Dusun XV Jati Permai Desa Pasar Melintang, Kecamatan Lubuk Pakam, Kabupaten Deli Serdang Pekerjaan : Wirausaha
xv
PENDIDIKAN 1. SD Negeri 101901 Lubuk Pakam Lulus tahun 2004 2. SMP Negeri 1 Lubuk Pakam Lulus tahun 2007 3. SMA RK Serdang Murni Lubuk Pakam Lulus tahun 2010 4. Sarjana Jurusan Etnomusikologi Lulus tahun 2015
Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara
PENGALAMAN DI BIDANG KESENIAN
1. Festival Radio Republik Indonesia di Medan pada tahun 2009 2. Festival Musik Gerejawi bernuansa Etnis di Tarutung pada tahun 2013 3. Asian Beat Acoustic di Medan pada tahun 2014 4. North Sumatera Jazz Festival di Medan pada tahun 2016 5. Musik Jazz TVRI Sumut pada tahun 2016 6. Festival Band Rohani Piala Ketua DPRD Medan Bamagnas pada tahun
2016 7. Seminar Seni Budaya Nusantara Antar Bangsa di UiTM Malaysia pada
tahun 2017 8. Jong Bataks Arts Festival #4 di Medan pada tahun 2017 9. Pertunjukan dan Diskusi Musik oleh Medan Creative Hub pada tahun
2018 10. Andung-andung Tao Toba di Taman Budaya Sumatera Utara pada tahun
2018 11. Tao Silalahi Arts Festival di Paropo pada tahun 2018
1
1
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Bangsa Indonesia dikenal dengan keberagaman suku dan etniknya, setiap
suku dan etnik tentunya memiliki kekhasan ada istiadat dan budaya1 masing-
masing. Dalam setiap warisan budaya nenek moyang yang sudah ada sejak dahulu
dan salah satunya kesenian yang turun-temurun diwariskan kepada generasinya
walaupun pada setiap perkembangannya tidak bisa dijaga keutuhannya, ada seni
tari, seni ukir, seni tekstil, seni patung, serta seni musik. Simalungun adalah salah
satu etnik yang terdapat di Sumatera Utara. Etnik Simalungun dimasukkan dalam
sub etnik Batak, bersama sub-sub etnik Batak lainnya ialah Karo, Toba, Pakpak,
Mandailing, dan Angkola. Bagi etnik2 Simalungun musik menjadi sebuah
1Di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) terdapat “perbedaan kecil” (nuansa)
antara istilah budaya dan kebudayaan. Kata budaya (bu.da.ya) n. 1. pikiran, akal budi; 2. adat istiadat; 3. sesuatu mengenai kebudayaan yang sudah berkembang (beradab, maju); 4. sesuatu yang menjadi kebiasaan yang sudah sukar diubah. Di sisi lain, kebudayaan (ke.bu.da.ya.an), n. 1. hasil kegiatan dan penciptaan batin (akal budi) manusia seperti kepercayaan, kesenian, dan adat istiadat; 2. dalam ilmu antropologi adalah keseluruhan pengetahuan manusia sebagai makhluk sosial yang digunakan untuk memahami lingkungan serta pengalamannya dan yang menjadi pedoman tingkah lakunya.
2Dalam tesis ini, konsep mengenai etnik atau kelompok etnik (ethnic group) atau dalam bahasa Indonesia suku bangsa atau suku, menurut disiplin ilmu antropologi adalah (melalui Narroll, 1964), sebagai populasi yang: (1) secara biologis mampu berkembang biak dan bertahan; (2) mempunyai nilai-nilai budaya yang sama dan sadar akan rasa kebersamaan dalam sebuah bentuk budaya; (3) membentuk jaringan komunikasi dan interaksi sendiri; dan (4) menentukan ciri kelompoknya sendiri yang diterima oleh kelompok lain dan dapat dibedakan dari kelompok populasi lain.Dalam rangka mengkaji kelompok etnik ini adalah pentingnya asumsi bahwa mempertahankan batas etnik tidaklah penting, karena hal ini akan terjadi dengan sendirinya, akibat adanya faktor-faktor isolasi seperti: perbedaan ras, budaya, sosial,dan bahasa. Asumsi ini juga membatasi pemahaman berbagai faktor yang membentuk keragaman budaya. Hal ini juga mengakibatkan seorang ahli antropologi berkesmpulan bahwa setiap kelompok etnik mengembangkan budaya dan bentuk sosialnya dalam kondisi terisolasi. Ini terbentuk karena faktor ekologi setempat yang menyebabkan berkembangnya kondisi adaptasi dan daya cipta dalam kelompok tersebut. Kondisi seperti ini telah menghasilkan suku bangsa dan bangsa yang berbeda-beda di dunia. Setiap bangsa memiliki budaya dan masyarakat pendukung tersendiri. Dalam tulisan
2
2
kebutuhan yang banyak digunakan untuk tujuan hiburan, ritual, serta upacara adat.
Pada masyarakat Simalungun ada dua jenis ensambel musiknya yang disebut
gonrang. Yang pertama adalah gonrang sidua-dua dan kedua, gonrang sipitu-pitu
atau disebut juga sebagai gonrang bolon. Sidua-dua yang berarti sepasang atau
dua buah alat musik gendang. Gonrang sipitu-pitu mengacu pada jumlah alat
musik berupa gendang yang digunakan yaitu berjumlah tujuh, sedangkan
pengertian bolon diartikan besar. Gonrang sipitu-pitu secara umum banyak
digunakan untuk berbagai upacara yaitu perkawinan dan kematian.3
Istilah yang paling lazim dalam menyebutkan lagu untuk ansambel musik
gonrang adalah gual. Unsur-unsur sangat penting dari gual ialah 1) Alunan
melodi sarunei yang bervariasi, 2) Struktur kolotomis dasar yang dimainkan pada
ogung dan mongmongan, dan 3) Pola irama yang berhubungan yang divariasikan
oleh imbal irama yang dimainkan pada alat musik gonrang.
Diterapkannya metode siklus pernafasan pada permainan serunei, melodi
yang dihasilkan pada alat musik akhirnya berupa alunan nada yang tidak terputus
mulai dari awal hingga akhir. Setiap variasi alunan nada-nada dilakukan sambung
menyambung tanpa adanya perhentian atau istirahat dalam suatu alunan melodi.
Ada lima gual yang digunakan dalam upacara kematian di Simalungun,
yaitu: (1) pertama adalah gual huda-huda, yang biasa digunakan sebagai
penyambutan pada saat pihak tondong datang, pada prosesnya gual ini juga
ini, Simalungun dipandang sebagai satu kelompok etnik, adakalanya dijadikan sbagai satu subetnik dari etnik Batak, yang menjadi bahagian tidak terpisahkan dari bangsa (nation state) Indonesia.
3Dalam kebudayaan Simalungun, kematian merupakan salah satu dari proses yang dialami manusia, sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari siklus yang dijalaninya. Bagi masyarakat Simalungun, baik sebelum dan setelah datangnya agama Islam, Protestan, dan Katolik, mereka meyakini bahwa setelah kehidupan ini manusia akan mati dan kemudian hidup kembali di dalam akhirat.
3
3
mengiringi tari-tarian yang dilakukan untuk menyambut anggota keluarga lain
yang baru datang. Pihak tondong mengenakan toping-toping dan huda-huda untuk
menghibur keluarga yang ditinggalkan, dahulunya gual ini dimainkan oleh
gonrang dua tetapi dalam perkembanganya saat ini sudah dimainkan oleh
gonrang sipitu-pitu. (2) Kedua, gual parahot, biasanya gual ini dimainkan ketika
menutup tarian, dengan tempo cepat gual ini memiliki makna sebagai pengikat
agar menjadi satu. Hot dalam bahasa simalungun yang artinya kuat, parahot
menjadi pengikat yang kuat. (3) Ketiga, gual dinggur-dinggur dimainkan pada
tahapan mamungka gonrang, tahapan ini ialah awal mula proses adat berlangsung.
Dinggur-dinggur merupakan gual khusus yang diambil dari kata mandinguri,
mandinguri sendiri merupakan sebuah istilah yang digunakan untuk
menggambarkan kematian dan mandinguri merupakan tahapan awal pada upacara
sayur matua. (4) Keempat, gual rambing-rambing merupakan lagu pengiring bagi
yang ingin menari melepaskan kepergian almarhum karena gual ini memiliki
makna bahwasanya keturunan yang ditinggalkan sudah rambing atau ramos dalam
bahasa simalungun. (5) Kelima gual sayur matua dapat digunakan sebagai
permohonan panjang umur dan sejahtera bagi mereka yang ditinggalkan sang
almarhum atau digunakan sebagai penggembira di tengah-tengah acara sayur
matua.
Dalam kaitannya hubungan antara gual dan kematian dalam konteks
budaya Simalungun, perlu dijelaskan bahwa terdapat lima jenis kematian pada
orang Simalungun, yakni: (1)matei manorus4, (2) matei grama/anakboru5, (3)
4Pada masyarakat Simalungun dikenal istilah matei manorus yang berarti seeorang wanita
meninggal sewaktu melahirkan. Seperti diketahui bahwa dalam proses melahirkan ini, secara
4
4
matei matalpok6, (4) matei matua7, dan (5) matei sayur matua8. Dalam hal
kematian, terutama dalam keadaan matei sayur matua, maka penting dilakukan
kegiatan sosiomusikal berupa pertunjukan musik gonrang maupun gual sebagai
syarat penting untuk berlangsungnya acara adat ini.
Selain itu, dalam pengamatan secara etnomuskologis, gual yang disajikan di
dalam upacara matei sayur matua ini memiliki guna dan fungsi yang khas.
Menurut penulis guna dari gual ini adalah: (1) sebagai sarana untuk memeriahkan
jalannya upacara, karena upacara ini setelah dalam bentuk kesedihan yakni
meninggalnya seseorang dalam keadaan sayur matua, proses berikutnya adalah
ekspresi kegembiraan dan kebanggan bagi keluarga dan segenap orang yang hadir.
(2) Guna lain dari gual ini dalam upacara sayur matua adalah memberitahu bahwa
yang meninggal adalah oranmg yang memiliki derajat kematian tertinggi, yang
menjadi cita-cita setiap orang Simalungun.
alamiah umumnya masyarakat Simalungun pada masa sebelum dijumapinya teknologi bedah cesar, masih mengandalkan dukun beranak. Maka sudah menjadi takdir Tuhan sebagian ibu-ibu meninggal dunia saat melahirkan anaknya. Namun dengan ditemukannya teknologi terkini dalam bidang kedokteran kematian ibu-ibu dalam melahirkan ini dapat dikurangi.
5Pada masyarakat Simalungun dikenal istilah matei grama/anakboru yang berarti meninggal sewaktu lajang atau belum menikah. Artinya orang ini belum mencapai siklus membina rumah tangga, sebagai salah satu yang dijalani seseorang berdasarkan fitrahnya sebagai manusia di dunia ini.
6Pada masyarakat Simalungun dikenal istilah matei matalpok yang berarti orang yang meninggal dunia, namun pada saat itu semua anak baik laki-laki maupun perempuan sudah menikah tetapi belum memiliki cucu. Dalam keadaan yang seperti ini ia baru menurunkan generasi kedua saja, belum sampai ke generasi ketiga.
7Pada masyarakat Simalungun dikenal istilah matei matua yang berarti meninggal sewaktu tua tetapi ada anak yang belum menikah. Kematian yang sedemikian rupa dipandang belum menjadi kematian “sempurna” seperti matei sayur matua, karena masih tersisa salah satu anaknya belum berumah tangga.
8Yang terakhir, pada kebudayaan masyarakat Simalungun dikenal istilah matei sayur matuayang berarti meninggal sewaktu tua dan seluruh anaknya telah menikah serta mendapat cucu dari anak laki-laki dan anak perempuan. Kematian yang seperti inilah yang menjadi cita-cita setiap orang Simalungun. Ia dipandang bahwa selama dalam kehidupannya ini berhasil mendidik dan “menjadikan” anak-anaknya sampai bekeluarga semuanya dan memiliki cucu-cucu, yang kemudian akan meneruskan garis keturunannya di dunia ini. Dengan konsep keberhasilan membina keturunan yang seperti ini, sebenarnya cita-cita setiap orang Simalungun adalah mengekalkan kebudayaan mereka di dunia ini.
5
5
Adapun fungsi dari gual yang dipertunjukkan dalam upacara metei sayur
matua, menurut penulis adalah sebagai berikut. (1) Fungsi sebagai sarana
pengabsahan upacara kematian yang dicita-citakan setiap orang Simalungun,
sebagai kematian yang “sempurna,” (2) Fungsi gual ini adalah untuk
mengkomunikasikan peristiwa budaya yang khusus yang menjadi tujuan hidup ke
alam kematian, yakni kematian sayur matua; (3) Fungsi gual dalam upacara ini
adalah untuk memandu integrasi kekerabatan yang berkaitan dengan hubungan
seseorang dengan jenazah; (4) Fungsi lainnya gual dalam upacara matei sayur
matua ini adalah sebagai hiburan, karena segenap keluarga bergembira atas
keberadaan kematian secara sayur matua ini; (5) Fungsi gual ini adalah untuk
kesinambungan kebudayaan Simalungun secara umum, dan lain-lainnya.
Gual dan upacara kematian dalam kebudayaan Simalungun tersebut,
khususnya di Kecamatan Raya sangat menarik untuk dikaji melalui disiplin utama
etnomusikologi dan dibantu oleh antropologi. Untuk itu perlu diuraikan sekilas
mengenai apa itu etnomusikologi dan antropologi dalam tesis ini.
Seperti yang penulis ketahui dari pakar etnomusikologi yaitu Merriam yang
dimaksud etnomusikologi adalah sebagai berikut.
Ethnomusicology carries within itself the seeds of its own division, for it has always been compounded of two distinct parts, the musicological and the ethnological, and perhaps its major problem is the blending of the two in a unique fashion which emphasizes neither but takes into account both. This dual nature of the field is marked by its literature, for where one scholar writestechnically uponthe structure of music sound as a system in itself, another chooses to treat music as a functioning part of human culture and as an integral part of a wider whole. At approximately the same time, other scholars, influenced in considerable part by American anthropology, which tended to assume an aura of intense reaction against the evolutionary and diffusionist schools, began to study
6
6
music in its ethnologic context. Here the emphasis was placed not so much upon the structural components of music sound as upon the part music plays in culture and its functions in the wider social and cultural organization of man. It has been tentatively suggested by Nettl (1956:26-39) that it is possible to characterize German and American "schools" of ethnomusicology, but the designations do not seem quite apt. The distinction to be made is not so much one of geography as it is one of theory, method, approach, and emphasis, for many provocativestudies were made by early German scholars in problems not at all concerned with music structure, while many American studies heve been devoted to technical analysis of music sound (Merriam 1964:3-4).9
Menurut pendapat Merriam seperti kutipan di atas, para ahli etnomusikologi
membawa dirinya sendiri kepada benih-benih pembagian ilmu, untuk itu
selalu dilakukan percampuran dua bagian keilmuan yang terpisah, yaitu
musikologi dan etnologi [antropologi]. Selanjutnyamenimbulkan kemungkinan-
kemungkinan masalah besar dalam rangka mencampur kedua disiplin itu dengan
cara yang unik, dengan penekanan pada salah satu bidangnya, tetapi tetap
mengandung kedua disiplin tersebut.
Sifat dualisme lapangan studi etnomusikologi ini, dapat ditandai dari
bahan-bahan bacaan yang dihasilkannya. Katakanlah seorang sarjana
etnomusikologi menulis secara teknis tentang struktur suara musik sebagai suatu
sistem tersendiri. Di lain sisi, sarjana lain memilih untuk memperlakukan
musik sebagai suatu bagian dari fungsi kebudayaan manusia, dan sebagai
bagian yang integral dari keseluruhan kebudayaan. Di dalam masa yang
bersamaan, beberapa sarjana dipengaruhi secara luas oleh para pakar
9Sebuah buku yang terus populer di kalangan etnomusikologi dunia sampai sekarang ini,
dalam realitasnya menjadi “bacaan wajib” bagi para pelajar dan mahasiswa etnomusikologi seluruh dunia, dengan pendekatan kebudayan, fungsionalisme, strukturalisme, sosiologis, dan lain-lainnya. Buku yang diterbitkan tahun 1964 oleh North Western University di Chicago Amerika Serikat ini, menjadi semacam “karya utama” di antara karya-karya yang bersifat etnomusikologis.
7
7
antropologi Amerika, yang cenderung untuk mengasumsikan kembali suatu
reaksi terhadap aliran-aliran yang mengajarkan teori-teori evolusioner difusi,
dimulai dengan melakukan studi musik dalam konteks etnologisnya. Di
dalam kerja yang seperti ini, penekanan etnologis yang dilakukan para sarjana ini
lebih luas dibanding dengan kajian struktur komponen suara musik sebagai suatu
bagian dari permainan musik dalam kebudayaan, dan fungsi-fungsinya dalam
organisasi sosial dan kebudayaan manusia yang lebih luas.
Hal tersebut telah disarankan oleh Bruno Nettl yaitu terdapat kemungkinan
karakteristik "aliran-aliran" etnomusikologi di Jerman dan Amerika, yang
sebenarnya tidak persis sama. Mereka melakukan studi etnomusikologi ini,
tidak begitu berbeda, baik dalam geografi, teori, metode, pendekatan, atau
penekanannya. Beberapa studi provokatif awalnya dilakukan oleh para
sarjana Jerman. Mereka memecahkan masalah-masalah yang bukan hanya
pada semua hal yang berkaitan dengan struktur musik saja. Para sarjana Amerika
telah mempersembahkan teknik analisis suara musik.
Dari kutipan di atas tergambar dengan jelas bahwa etnomusikologi
dibentuk dari dua disiplin ilmu dasar yaitu antropologi dan musikologi.
Walaupun terdapat variasi penekanan bidang yang berbeda dari masing-masing
ahlinya. Namun terdapat persamaan bahwa mereka sama-sama berangkat dari
musik dalam konteks kebudayaannya.
Khusus mengenai beberapa definisi tentang etnomusikologi telah
dikemukakan dan dianalisis oleh para pakar etnomusikologi. Pada tulisan edisi
berbahasa Indonesia, Rizaldi Siagian dari Universitas Sumatera Utara (USU)
8
8
Medan, dan Santosa dari Sekolah Tinggi Seni Indonesia (STSI) Surakarta, telah
mengalihbahasakan berbagai definisi etnomusikologi, yang terangkum dalam
buku yang berjudul Etnomusikologi tahun 1995, yang diedit oleh Rahayu
Supanggah, terbitan Masyarakat Seni Pertunjukan Indonesia, yang berkantor pusat
di Surakarta. Dalam buku ini, Alan P. Merriam mengemukakan 42 definisi
etnomusikologi dari beberapa pakar, menurut kronologi sejarah dimulai oleh
Guido Adler 1885 sampai Elizabeth Hesler tahun 1976.10
Dalam rangka penelitian ini, disiplin etnomusikologi digunakan untuk
mengkaji musik (gual) dalam konteks kebudayaan Simalungun, termasuk guna
dan fungsinya. Dalam pendekatan etnomusikologis ini, kajian terhadap gual
mencakup struktur melodis dan ritmis yang disajikan dalam gonrang sipitu-pitu.
Selanjutnya pengertian mengenai disiplin antropologi dalam tesis ini adalah
mengacu kepada pendapat Haviland (1999). Menurutnya, antropologi merupakan
sebuah disiplin ilmu pengetahuan yang mengkaji manusia dan kebudayaannya.
Ilmu ini berasal dari dua kata yaitu anthropos dan logos. Dalam bahasa Yunani,
anthropos berarti manusia dan logos berarti pikiran atau ilmu. Dengan demikian,
10Buku berbahasa Indonesia ini diedit oleh Rahayu Supanggah (kini guru besar di ISI Surakarta), diterbitkan tahun 1995, dengan tajuk Etnomusikologi. Diterbitkan di Surakarta oleh Yayasan bentang Budaya, Masyarakat Seni Pertunjukan Indonesia. Buku ini merupakan kumpulan enam tulisan oleh empat pakar etnomusikologi (Barat) seperti: Barbara Krader, George List, Alan P. Merriam, dan K.A. Gourlay; yang dialihbahasakan oleh Santosa dan Rizaldi Siagian. Dalam buku ini Alan P. Merriam menulis tiga artikel, yaitu: (a) “Beberapa Definisi tentang ‘Musikologi Komparatif’ dan ‘Etnomusikologi’: Sebuah Pandangan Historis-Teoretis,” (b) “Meninjau Kembali Disiplin Etnomusikologi,” (c) “Metode dan Teknik Penelitian dalam Etnomusikologi.” Sementara Barbara Krader menulis artikel yang bertajuk “Etnomusikologi.” Selanjutnya George List menulis artikel “Etnomusikologi: Definisi dalam Disiplinnya.” Pada akhir tulisan ini K.A. Gourlay menulis artikel yang berjudul “Perumusan Kembali Peran Etnomusikolog di dalam Penelitian.” Buku ini barulah sebagai alihbahasa terhadap tulisan-tulisan etnomusikolog (Barat). Ke depan, dalam konteks Indonesia diperlukan buku-buku panduan tentang etnomusikologi terutama yang ditulis oleh anak negeri, untuk kepentingan perkembangan disiplin ini. Dalam ilmu antropologi telah dilakukan penulisan buku seperti Pengantar Ilmu Antropologi yang ditulis antropolog Koentjaraningrat, diikuti oleh berbagai buku antropologi lainnya oleh para pakar generasi berikut seperti James Dananjaya, Topi Omas Ihromi, Parsudi Suparlan, Budi Santoso, dan lain-lainnya.
9
9
secara sederhana pengertian antropologi adalah ilmu yang mempelajari manusia.
Antropologi merupakan ilmu pengetahuan yang mempelajari keanekaragaman
manusia dan kebudayaannya. Melalui kajian keilmuan terhadap keanekaragaman
dan budaya manusia, maka disiplin antropologi fokus melakukan studi yang
berusaha menjelaskan tentang berbagai macam bentuk perbedaan dan persamaan
dalam aneka ragam kebudayaan manusia. Pakar lainnya, yaitu Koentjaraningrat,
pakar antropologi Indonesia, mengemukakan bahwa pengertian antropologi adalah
ilmu yang mempelajari umat manusia pada umumnya, dengan mempelajari aneka
warna, bentuk fisik masyarakat, serta kebudayaan yang dihasilkan.
Dalam konteks sejarah perkembangan ilmu pengetahuan manusia,
antropologi merupakan cabang ilmu, yang usia perkembangannya relatif lebih
muda, dibandingkan dengan cabang ilmu lainnya. Antropologi sebenarnya mulai
berkembang bersamaan dengan abad pelayaran dunia. Sebagai sebuah ilmu,
antropologi banyak bersinggungan dengan ilmu-ilmu sosial lainnya, bahkan ilmu
alam (eksakta), seperti biologi dan kedokteran. Antropologi acapkali memperoleh
pengaruh dari berbagai ilmu tersebut, baik dalam bentuk teori, metode, bahkan
hasil penelitiannya. Secara sistematis keilmuan, para ahli antropologi terus-
menerus mengembangkan teori, metode, dan hasil penelitiannya yang sangat khas.
Pengaruh dari berbagai ragam ilmu tersebut membuat cara pemahaman seorang
antropolog terhadap sebuah kebudayaan dan masyarakat yang ada di dalamnya,
menjadi jauh lebih kaya, luas, dan mendalam.
Dalam perkembangannya terbagi dalam beberapa cabang, seperti uraian
berikut ini. (a) Antropologi fisik, yaitu cabang antropologi yang mengkaji
10
10
hubungan antara kebudayaan dan manusia dengan pendekatan biologis (fisik).
Kadangkala disebut juga dengan antropologi ragawi. Pada awal-awal
perkembangan antropologoi, kajian antropologi fisik lebih ditekankan pada usaha
untuk membandingkan manusia dengan primata lain, seperti simpanse, gorila, dan
orang utan. Antropologi fisik juga mencari hubungan antara manusia modern
(homo sapiens) dengan nenek moyang manusia seperti homo erectus, homo
pekinensis, homo wajakensis, homo neandertal, dan lainnya.
(b) Antropologi budaya, yaitu cabang yang terbesar dalam ilmu antropologi.
Cabang ilmu ini memfokuskan kajiannya yang meliputi anekaragam kebudayaan,
usaha mencari unsur-unsur kebudayaan universal, mengungkapkan hubungan
antara struktur sosial masyarakat dengan kebudayaannya, juga membahas
mengenai interpretasi simbolik.
Cabang antropologi selanjutnya adalah (c) antropologi linguistik (kadang
disebut antropolinguistik) adalah cabang disiplin antropologi yang mengkaji
tentang keanekaragaman bahasa. Namun, ruang lingkupnya jauh lebih kecil dari
ilmu linguistik. Antropologi linguistik melihat bahasa dalam konteks latar
belakang kebudayaan masyarakat penuturnya. (d) Arkeologi, cabang ini seringkali
dianggap sebagai ilmu tersendiri yang terpisah dari antropologi. Namun, menurut
sebagian besar antropolog, arkeologi sebenarnya adalah sebuah cabang ilmu dari
antropologi. Kajian pada arkeologi adalah menunjukkan hubungan antara manusia
masa lampau dengan habitat hidupnya, serta struktur sosial dan budaya
masyarakatnya. (d) Etnologi, adalah cabang antropologi yang secara khusus
mempelajari sejarah perkembangan kebudayaan manusia.
11
11
Dengan menggunakan disiplin etnomusikologi dan antropologi, maka dalam
penelitian ini penulis mengkaji gual (musik) dalam konteks upacara kematian
sayur matua.11 Dua disiplin ilmu digunakan dalam kerja ini yakni musikologi
untuk mengkaji struktur gual, dan antropologi untuk mengkaji upacara kematian
itu sendiri. Dengan demikian tesis ini diberi judul: “Analisis Fungsi dan Struktur
Gual dalam Upacara Sayur Matua Masyarakat Simalungun di Kecamatan Raya.”
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka dapat dirumuskan tiga
masalah utama dalam penelitian ini, yaitu sebagai berikut.
1. Bagaimanakah pelaksanaan kegiatan upacara sayur matua pada
masyarakat Simalungun di Kecamatan Raya?
2. Bagaimanakah fungsi gual dalam upacara sayur matuapada kebudayaan
masyarakat Simalungun di Kecamatan Raya?
3. Bagaimanakah struktur gual yang disajikan pada upacara sayur matuapada
kebudayaan masyarakat Simalungun di Kecamatan Raya?
Untuk mengkaji rumusan masalah pertama, yakni tentang pelaksanaan
kegiatan upacara matei sayur matua dan penggunaan gual di dalamnya, digunakan
pendekatan antropologis, seperti uraian mengenai tahapan secara kronologis
upacara, waktu demi waktu. Demikian pula siapa yang memimpin upacara, di
mana upacara diselenggarakan, siapa-siapa saja yang terlibat dalam upacara, siapa
11Di dalam kebudayaan masyarakat Batak, terdapat kematian sejenis yang istilahnya
menggunakan bahasa kelompoknya sendiri. Dalam budaya Karo kematian seperti ini disebut dengan cawir metua; dalam kebudayaan Batak Toba disebut dengan kematian saur matua [tidak pakai konsonan y); dan dalam kebudayaan Simalungun sendiri disebut sayur matua [memakai konsonan y].
12
12
yang bertindak sebagai tuan rumah, tamu, dan orang-orang yang hanya sekedar
melihat, apa saja benda-benda upacara, demikian pula makna-makna yang
terkandung di dalam upacara ini.
Untuk menganalisis bagaimana fungsi gual dalam upacara matei sayur
matua, digunakan teori uses and functions dari Merriam. Dalam hal ini penulis
melihat gual dalam dua sudut pandang. Yang pertama adalah gunanya dalam
upacara tersebut. Lebih lanjut adalah sejauh apa fungsi-fungsi gual sebagai musik
dalam upacara matei sayur matua.
Dalam hal mengkaji rumusan masalah ketiga yakni struktur gual yang
disajikan dalam upacara matei sayur matua, maka penulis menggunakanb
pendekatan-pendekatan struktural dalam mengkaji musik secara etnomusikologis.
Struktur gual ini diurai baik berdasarkan dimensi ruang (melodis) maupun waktu
(ritmis). Dengan demikian dihasilkan penelitian yang holistik dan mendalam dari
fenomena kebudayaan seperti itu.
1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian
1.3.1 Tujuan penelitian
Adapun yang menjadi tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Untuk menganalisis pelaksanaan kegiatan upacara sayur matua pada
masyarakat Simalungun di Kecamatan Raya.
2. Untuk menganalisis fungsi gual dalam upacara sayur matuapada
masyarakat Simalungun di Kecamatan Raya.
13
13
3. Untuk menganalisis struktur gual yang disajikan pada upacara sayur
matuapada masyarakat Simalungun di Kecamatan Raya.
1.3.2 Manfaat penelitian
Manfaat yang di ambil dari penelitian yang diwujudkan dalam laporan
penelitian ini adalah sebagai berikut.
1) Menambah referensi bagi lembaga-lembaga pendidikan dan
kebudayaan terutama dalam tema utama kebudayaan Simalungun,
2) Menambah wawasan di bidang penelitian terhadap musik dalam
konteks upacara kematian di dalam budaya masyarakat Sumatera
Utara, khususnya Simalungun.
3) Memberi sumbangan kepada perkembangan disiplin ilmu-ilmu seni,
khususnya etnomusikologi, dan lebih luas lagi antropologi, sosiologi,
dan lain-lainnya.
4) Menjadi bahan perbandingan atau bacaan awal bagi peneliti
selanjutnya dengan topik yang berkaitan dengan penelitian yang
penulis lakukan ini.
5) Dapat menjadi perbendaharaan bagi Departemen Pariwisata dalam
rangka memungsikan berbagai seni dan warisan tak benda untuk tujuan
kepariwisataan.
14
14
1.4 Tinjauan Pustaka
Pada studi kepustakaan untuk mempelajari literature yang berkaitan
dengan penulisan Sayur matua, Buku-buku yang di gunakan untuk menunjang
penulisan ini, penulis mengunakan diantaranya adalah :
1) Damanik, Erond L. 2016, Ritus Peralihan yang membahas tentang
Upacara Adat Simalungun seputar kelahiran, Perkawinan dan
Penghormatan kepada Orangtua serta Kematian. Medan: Simetri Institute.
Buku ini berisi deskripsi secara umum tentang upacara-upacara yang
terdapat di dalam kebudayaan Simalungun berdasarkan daur hidup
manusianya. Buku ini menjadi rujukan penulis dalam penelitian ini,
terutama upacara kematian sayur matua.
2) Hornbostel, Erich M. Von and Curt Sach. 1961. Calssification of Musical
Instrument. Ini merupakan artikel yang menjadi rujukan utama bagi para
etnomusikolog dan musikolog di seluruh dunia. Artikel ini menjadi dasar
untuk mengkategorikan alat-alat musik, terutama alat musik tradisi di
seluruh dunia, termasuk alat-alat musik dalam kebudayan musik (modern)
Eropa.
3) Jansen, Arlin Dietrich. 2003, Gonrang Simalungun membahas tentang
Struktur dan Fungsinya dalam Masyarakat Simalungun. Buku ini
diterbitkan di Medan oleh Penerbit Bina Media.
4) Koentjaraningrat, 1983, Metode-Metode Penelitian Masyarakat. Jakarta:
Gramedia. Di dalam buku ini diurai secara rinci tentang bagaimana metode
meneliti masyarakat, terutama dari sisi kebudayaan dan sosialnya. Buku ini
15
15
menjadi panduan penulis dalam meneliti masyarakat Simalungun, terutama
dalam proses upacara kematian sayur matua.
5) Malm. William P. 1977. Music Culture of the Pasific, the Near East, and
Asia (terjemahan). Medan. Departemen Etnomusikologi Fakultas Sastra
Universitas Sumatera Utara (terjemahan Takari). Buku ini
mendeskripsikan tentang kebudayaan-kebudayaan musik dunia di akwan
Pasifik (Oseania), Timur Tengah, dan Asia. Namun di bahagian awal
dimuat sebuah teori tentang menganalisis melodi yang disebutnya dengan
teori weighted scale. Buku ini nmenjadi panduan penulis dalam mengurai
aspek struktur melodi gual dalam upacara kematian sayur matua.
6) Moh. Nazir, Metode Penelitian yang berisikan tentang metode penelitian.
Buku ini menjadi rujukan penulis dalam melakukan penelian ini, terutama
menggunakan metode kualitatif.
7) Malinowski yang berjudul Teori Fungsional dan Struktural, yang
berisikan tentang teori-teori fungsional dan struktural. Artikel ini menjadi
rujukan penulis dalam mengkaji fungsi gual dalam upacara kematian
tersebut.
8) Merriam, Allan P.yang berjudul The Anthropology of Music, diterbitkan
oleh North Western University Press di kota Chiocago tahun 1964. Buku
ini yang berisikan tentang aspek-aspek kebudayaan musik yang ditinjau
secara antropologis, termasuk juga penggunaan dan fungsi musik. Teori
penggunaan dan fungsi musik di dalam buku ini penulis gunakan dalam
menganalisis fungsi gual dalam upacara kematian sayur matua.
16
16
9) Moleong, Lexy J. 2002. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: PT.
Remaja Rosdakarya. Buku ini mengurai secara rinco tentang metode-
metode penelitian secara kualitatif, termasuk wawancara, pengamatan
terlibat, dan lainnya.
10) Sugiyono yang berjudul Metode Penelitian Kuantitatif & Kualitatif dan R
& D, yang berisikan tentang metode penelitian kuantitatif dan kualitatif.
Dalam penelitian ini, penulis banyak merujuk tulisan mengenai metode
kualitatif dan juga melihat kemungkinan-kemungkinan riset dan
pengembangnnya.
11) Saragih, Simon. 2014. Taralamsyah Saragih, Jejak sepi seorang
Komponis Legendaris berisikan tentang biografi Taralamsyah Saragih
serta musik Simalungun. Medan : Penerbit Bina Media Perintis. Biografi
Taralamsyah Saragih ini digunakan untuk melihat peran seniman dalam
masyarakat. Dalam penelitian ini tentu saja pemusik gonrang di dalam
masyarakat Simalungun.
12) Skripsi Maria Fabiyola. 2016 “Bentuk Penyajian dan Fungsi Gonrang
Sipitu-pitu pada Upacara Kematian Sayur Matua di Desa
Raya,Kecamatan Pematang Raya, Kabupaten Simalungun.” Skripsi
sarjana ini membahas tentang bentuk penyajian dan fungsi gonrang sipitu-
pitu pada upacara kematian sayur matua sedangkan tulisan yang peniliti
bahas di sini tentang struktur dan Fungsi gual pada upacara sayur matua
tersebut.
17
17
1.4.1 Penelitian lapangan dan wawancara
Penelitian lapangan yang dilakukan dalam penelitian ini adalah observasi
danwawancara. Penelitian lapangan yang dimaksud adalah mengamati dan
mendokumentasikan secara langsung upacara pada peristiwa dimaksud. Masalah
yang berkaitan dengan pendalaman fungsi gual dan struktur musikal didekati
dengan wawancara-wawancara kepada para ionforman kunci dalam penelitian ini.
Wawancara yang dilakukan adalah berfokus, dengan mendalami pokok
permasalahan dalam penelitian ini.
1.4.2 Observasi
Observasi di gunakan untuk mengetahui bagaiamana situasi yang akan
dihadapi si penulis, pada saat observasi dilakukan penulis juga dapat memastikan
bahwasanya si penulis mendapatkan informan yang tepat. Observasi juga bisa
dilakukan dengan mencari informasi yang terkait contoh dari buku, media online,
artikel, maupun tulisan yang terkait dengan bahan yang ingin diteliti. Pada tanggal
22 Februari 2018 penulis melakukan observasi melalui beberapa informasi yang di
dapat dari sumber internet lalu memastikan kembali kepada pak setia dermawan
purba sebagai etnomusikolog yang banyak meneliti tentang budaya simalungun
dan beliau juga sebagai dosen etnomusikologi di Universitas Sumatera Utara,
kemudian berangkat dari situ ditemukan lah no handphone pak Badu purba yang
dianggap penulis mampu memberikan lebih banyak lagi informasi tentang gual
pada tentang sayur matua, Penulis segera menghubungi pak badu purba meminta
18
18
ketersediaan beliau sebagai informan lalu beliau menjelaskan situasi pada lokasi
yang penulis ingin teliti.
1.4.3 Wawancara
Wawancara merupakan suatu cara untuk mengumpulkan data atau
memperoleh informasi secara langsung dengan informan baik bertatap muka
maupun dengan menggunakan teknologi komunikasi yang ada, sehingga
mendapatkan gambaran lengkap tentang objek yang sedang diteliti. Pada metode
kualitatif tentunya wawancara merupakan hal yang utama digunakan sebagai
media mendapatkan informasi. Pada tanggal 16 maret penulis bertemu dengan pak
badu purba sebagai informan kunci, pada saat itu pak badu purba sedang
menjalankan pekerjaan nya sebagai panggual pada upacara adat sayur matua.
1.4.4 Kerja laboratorium
Setelah pengumpulan data dilaksanakan, data penelitian ini diolah dengan
menggunakan metode kualitatif, dengan mendeskripsikan kemudian menganalisis
fungsi dan struktur gual dalam upacara sayur matua atas data yang didapat dari
lapangan maupun dari tulisan yang terkait. Kemudian data diolah dibuat dalam
bentuk tulisan.
Dalam kerja laboratorium ini khusus untuk menganalisis struktur musik,
langkah awal adalah mentranskripsi dalam bentuk notasi balok yang diadopsi dari
peradaban Barat, namun disesuaikan dengan kondisi musik Simalungun.
Alasannya adalah notasi balok adalah bahasa musik secara “internasional.”
19
19
Sementara masyarakat Simalungun pun kini menggunakan notasi ini di samping
notasi angka.
Seterusnya notasi hasil transkripsi tersebut dianalisis dengan menggunakan
teori-teori kajian struktur musik dalam disiplin etnomusikologi. Analisis yang
dilakukan mencakup dimensi ruang seperti: tangga nada, wilayah nada, jumlah
nada-nada, kontur, dan lainnya. Begitu juga dengan dimensi waktu, seperti
ketukan dasar atau pulsa, metrum atau meter, durasi, dan lain-lainnya.
1.5 Konsep dan Teori
1.5.1 Konsep
Dalam melakukan penelitian ini, Penulis menggunakan beberapa konsep
yang berkaitan dengan fungsi dan struktur gual dalam upacara sayur matua.
Konsep yang penulis akan uraikan yaitu (1) kebudayaan, (2) penggunaan dan
fungsi, (3) gual, (4) sayur matua, dan (5) struktur.
1.5.1.1 Kebudayaan
Menurut Koentjaraningrat (1984:10) kebudayaan adalah keseluruhan
gagasan dan karya manusia, yang harus dibiasakan dengan belajar, beserta
keseluruhan dari hasil budi dan karyanya itu. Karena cakupannya sangat luas
maka untuk memudahkan analisa konsep kebudayaan dipilah kedalam unsur-
unsur yang bersifat universal. Ada tujuh unsur yang bersifat universal dan
kebudayaan, yaitu: (1) sistem religi dan upacara keagamaan; (2) sistem dan
20
20
organisasi kemasyarakatan; (3) sistem pengetahuan; (4) bahasa; (5) kesenian; (6)
sistem mata pencaharian hidup; (7) sistem teknologi dan peralatan.
1.5.1.2 Penggunaan dan fungsi
Dengan demikian menguraikan fungsi gual sama pentingnya dengan
menguraikan keterlibatan pelakunya dalam aktivitas seni maupun kehidupan
masyarakat. Uraian terhadap fungsi dan struktur gual. Istilah penggunaan dan
fungsi, lazim dipakai dalam disiplin etnomusikologi. Merriam menjelaskan kaitan
dan perbedaan yang bernuansa antara konsep penggunaan dan fungsi musik dalam
masyarakat, seperti berikut ini. Merriam membedakan pengertian penggunaan
(uses) dan fungsi (functions) musik berasaskan kepada tahap dan pengaruhnya
dalam sebuah masyarakat. Musik dipergunakan dalam situasi tertentu dan menjadi
bagiannya. Penggunaan bisa atau tidak bisa menjadi fungsi yang lebih dalam.
Merriam memberikan contoh, jika seseorang menggunakan nyanyian yang
ditujukan untuk kekasihnya, maka fungsi musik seperti itu bisa dikaji sebagai
perwujudan dari kontinuitas dan kesinambungan keturunan manusia yaitu untuk
memenuhi kehendak biologis bercinta, menikah, dan berumah tangga dan pada
akhirnya menjaga kesinambungan keturunan manusia. Jika seseorang
menggunakan musik untuk mendekatkan diri kepada Tuhan, maka mekanismenya
berhubungan dengan mekanisme lain, seperti menari, berdoa, mengorganisasikan
ritual, dan kegiatan kegiatan upacara. Oleh karena itu, menurut Merriam
“penggunaan” menunjukkan situasi musik yang dipakai dalam kegiatan manusia;
sedangkan “fungsi” berkaitan dengan alasan mengapa si pemakai melakukan, dan
21
21
terutama tujuan-tujuan yang lebih jauh dari sekedar apa yang dapat dilayani oleh
musik yang dikaji. Dengan demikian, sesuai dengan pendapat Merriam, menurut
penulis penggunaan lebih berkaitan dengan sisi praktis, sedangkan fungsi lebih
berkaitan dengan sisi integrasi dan konsistensi internal budaya. Dalam kaitannya
dengan tulisan ini, maka dapat dikatakan bahwa penggunaan repertoar gual pada
sayur matua adalah untuk mengiringi jalannya upacara sayur matua, sedangkan
fungsinya adalah untuk mengabsahkan upacara tersebut, sebagai hiburan,
komunikasi, perlambangan,integrasi sosial, mengekspresikan struktur kekerabatan
dan lain-lainnya.
1.5.1.3 Gual
Gual yang dimaksud disini ialah suatu komposisi musik atau disebut juga
dengan repertoar, komposisi gual tidak memiliki vokal hanya terdiri dari setiap
bunyi instrument atau alat musik tradisi Simalungun yang dibawakan oleh
gonrang sipitu-pitu dan gonrang dua, artinya ada gual yang hanya bisa dibawakan
oleh gonrang sipitu-pitu ada juga yang hanya bisa dibawakan gonrang dua.
Meskipun pada perkembangan nya saat ini gonrang dua sudah jarang dimainkan
sehingga gual yang seharusnya dimainkan oleh gonrang dua diambil alih
dimainkan pada gonrang sipitu-pitu. Contoh nya gual huda-huda, pargual
sekarang ini tidak lagi membawa instrument gonrang pada gonrang dua. Pargual
hanya membawa satu set instrument gonrang sipitu-pitu, ditemukan dilapangan
bahwa gual huda-huda dimainkan dengan gonrang sipitu-pitu.
22
22
1.5.1.4 Sayur matua
Sedangkan sayur matua ialah suatu upacara adat kematian pada
masyarakat Simalungun, dimana seseorang yang telah meninggal dunia tersebut
telah memiliki keturunan yang sudah lengkap yang dimaksud sudah lengkap disini
ialah seluruh anak-anaknya sudah menikah dan yang meninggal dunia telah
memiliki cucu/cicit, masyarakat simalungun menganggap suatu keberhasilan
apabila sudah meninggal dengan status sayur matua. Dan pada upacara sayur
matua hanya ada lima gual yang wajib dimainkan.
1.5.1.5 Struktur
Yang dimaksud dengan struktur di dalam tulisan ini adalah Gual disusun
atau dibangun oleh ritme-ritmenya yang terdiri dari meter (birama), pulsa dasar
(taktus), dan unit-unit pembentuk birama, seperti durasi not, aksentuasi, down
beat, up beat, dupel, kuadrupel, cepat dan lambatnya tempo lagu, tangga nada,
nada dasar, wilayah nada, jumlah nada-nada, kontur, pola kadensa dan lain-
lainnya.
1.5.2 Teori
Untuk menganalisis fungsi gual di dalam upacara sayur matua kebudayaan
masyarakat Simalungun, penulis menggunakan teori fungsionalisme. Menurut
Malinowski, yang dimaksud fungsi itu intinya adalah bahwa segala aktivitas
kebudayaan sebenarnya bermaksud memuaskan suatu rangkaian dari sejumlah
keinginan naluri makhluk manusia yang berhubungan dengan seluruh
23
23
kehidupannya. Contohnya, kesenian sebagai salah satu unsur kebudayaan, terjadi
karena mula-mula manusia ingin memuaskan keinginan nalurinya terhadap
keindahan. Ilmu pengetahuan juga timbul karena keinginan naluri manusia untuk
tahu. Teknologi muncul karena manusia ingin mudah bekerja di dalam mengisi
hidupnya. Namun banyak pula aktivitas kebudayaan yang terjadi karena
kombinasi dari beberapa macam kebutuhan pada masyarakat itu sendiri. Dengan
paham ini seorang peneliti bisa menganalisis dan menerangkan banyak masalah
dalam kehidupan masyarakat dan kebudayaan manusia.
Dengan tetap bertolak dari teori fungsi, yang kemudian mencoba
menerapkannya dalam etnomusikologi, lebih lanjut secara tegas Merriam
membedakan pengertian fungsi ini dalam dua istilah, yaitu penggunaan dan
fungsi. Menurutnya, membedakan pengertian penggunaan dan fungsi adalah
sangat penting. Para pakar etnomusikologi pada masa lampau tidak begitu teliti
terhadap perbedaan ini. Jika kita berbicara tentang penggunaan musik, maka kita
menunjuk kepada kebiasaan (the ways) musik dipergunakan dalam masyarakat,
sebagai praktik yang biasa dilakukan, atau sebagai bahagian daripada pelaksanaan
adat istiadat, sama ada ditinjau dari aktivitas itu sendiri maupun kaitannya dengan
aktivitas-aktivitas lain (1964:210).
Membahas struktur yang dimaksud pada pokok permasalahan di atas,
dengan melihat gaya atau prinsip dasar struktur musikal, Willy Apel mengatakan
bahwa gaya adalah unsur atau elemen penting yang sangat berhubungan dengan
struktur suatu komposisi. Unsur atau elemen dimaksud ialah bentuk (Inggris:
form), melodi (Inggris: melody), maupun ritme atau irama (Inggris: rhythm).
24
24
Di pihak lain, Titon dan Slobin mengatakan bahwa gaya adalah sesuatu
yang terdapat dan terorganisasi di dalam musik itu sendiri, seperti elemen nada,
elemen waktu, elemen suara, dan intensitas bunyi. Elemen nada itu sendiri txerdiri
dari; tangga nada (Inggris: modus), melodi, dan sistem laras; elemen waktu terdiri
dari; birama (Inggris: metrum), dan irama (Inggris: rhythm); elemen suara terdiri
dari kualitas suara, kualitas bunyi instrumen; dan elemen intensitas bunyi yaitu
keras lembutnya bunyi suatu musik (dinamika).Selanjutnya, oleh Nettl dikatakan
bahwa suatu komposisi musik di dalam suatu tradisi musikal akan pula memiliki
kumpulan karakter atau gaya yang sama dengan karakter-karakter pada komposisi
lainnya di dalam ruang lingkup tradisi kebudayaan dimana musik itu berada.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa gaya adalah elemen-elemen musikal
yang dijadikan sebagai dasar atau perangkat untuk membangun musik hingga
menghasilkan sebuah komposisi musik.Dalam melakukan analisis,selain metode-
metode di atas dapat juga dikombinasikan dengan metode weighted scale (“bobot
tangga nada”) dari William P. Malm serta langkah-langkah description of musical
compositions yang ditawarkan oleh Bruno Nettl.
Malm mengatakan bahwa gaya musikal berkaitan dengan dua hal yang
tidak terpisahkan, yaitu melodi dan ritme atau ruang dan waktu. Unsur melodi
berkaitan dengan ruang, dimana setiap nada dalam garis melodi bergerak sesuai
dengan tinggi rendahnya nada.Sementara ketinggian dan kerendahan nada
mempunyai durasi secara panjang dan pendek yang dalam hal ini merupakan
unsur dari ritme. Dengan perkataan lain, ritme berkaitan dengan waktu, dimana
25
25
setiap nada dalam melodi memiliki durasi yang berbeda-beda, dan dengan
perbedaan durasi itulah tercipta gerak melodi yang harmonis.
Unsur-unsur yang berkaitan dengan melodi terdiri dari:
(1) tangga nada (Inggris: modus),
(2) nada dasar (Inggris: pitch centre),
(3) wilayah nada (Inggris: range),
(4) jumlah nada-nada,
(5) jumlah interval,
(6) pola-pola kadensa,
(7) formula-formula melodik,
(8) kontur,
(9) durasi,
(10) ritme,
(11) frase dan kalimat, serta
(12) periode atau siklus.
Yang berkaitan dengan dimensi waktu yaitu:
(1) tempo,
(2) pulsa,
(3) ketukan,
(4) pola dan motif, serta
(5) birama.
Dipihak lain Bruno Nettl mengatakan bahwa untuk mendeskripsikan komposisi
musikal harus memperhatikan unsur-unsur berikut:
26
26
(1) perbendaharaan nada,
(2) tangga nada (Inggris: modus),
(3) tonalitas,
(4) interval,
(5) kantur melodi,
(6) ritme,
(7) tempo, dan
(8) bentuk.
Upacara adat adalah salah satu cara menelusuri jejak sejarah masyarakat
Indonesia pada masa lalu dapat kita jumpai pada upacara-upacara adat merupakan
warisan nenek moyang kita. Selain melalui mitologi dan legenda, cara yang dapat
dilakukan untuk mengenal kesadaran sejarah pada masyarakat yang belum
mengenal tulisan yaitu melalui upacara. Upacara pada umumnya memiliki nilai
sakral oleh masyarakat pendukung kebudayaan tersebut (Wahyudi Pantja Sunjata,
1997: 1). Upacara adat tradisional adalah peraturan hidup sehari-hari ketentuan
yang mengatur tingkah anggota masyarakat dalam segala aspek kehidupan
manusia. Pengertian adat adalah tingkah laku dalam suatu masyarakat (sudah,
sedang, akan) diadakan. Wahyudi Pantja Sunjata (1997: 2), mengatakan upacara
tradisional merupakan bagian yang integral dari tradisi masyarakat pendukungnya
dan kelestariannya, hidupnya dimungkinkan oleh fungsi bagi kehidupan
masyarakat pendukungnya.
Pelaksanaan upacara adat tradisional termasuk dalam golongan adat yang
tidak mempunyai akibat hukum, hanya saja apabila tidak dilakukan oleh
27
27
masyarakat maka timbul rasa kekhawatiran akan terjadi sesuatu yang menimpa
dirinya. Upacara adat adalah upacara yang dilakukan secara turuntemurun yang
berlaku di suatu daerah. Dengan demikian, setiap daerah memiliki upacara adat
sendiri-sendiri, seperti upacara perkawinan, upacara kematian. Upacara adat yang
dilakukan di daerah sebenarnya juga tidak lepas dari unsur sejarah.
1. Unsur-unsur upacara adat tradisional
Menurut Koentjaraningrat ada beberapa unsur yang terkait dengan
pelaksanaan upacara adat diantaranya adalah:
a. Tempat berlangsungnya upacara
Tempat yang digunakan untuk melaksanakan suatu upacara biasanya
adalah tempat keramat atau bersifat sakral/suci, tidak setiap orang dapat
mengunjungi tempat itu. Tempat tersebut hanya digunakan oleh orang-orang yang
berkepentingan saja, dalam hal ini adalah orang yang terlibat dalam pelaksanaan
upacara seperti pemimpin upacara.
b. Saat berlangsungnya upacara/waktu pelaksanaan
Waktu pelaksanaan upacara adalah saat-saat tertentu yang dirasakan tepat
untuk melangsungkan upacara. Dalam upacara rutin yang diselenggarakan setiap
tahun biasanya ada patokan dari waktu pelaksanaan upacara yang lampau.
c. Benda-benda atau alat dalam upacara
Benda-benda atau alat dalam pelaksanaan upacara adalah sesuatu yang
harus ada macam sesaji yang berfungsi sebagai alat dalam pelaksanaan upacara
adat tersebut.
28
28
d. Orang-orang yang terlibat didalamnya
Orang-orang yang terlibat dalam pelaksanaan upacara adalah mereka yang
bertindak sebagai pemimpin jalanya upacara dan beberapa orang yang paham
dalam ritual upacara adat (Koentjaraningrat, 1967: 241)
Unsur-unsur diatas merupakan kewajiban, oleh karena itu dalam setiap
melaksanakan upacara, keempat unsur diatas harus disertakan. Didalam unsur-
unsur tersebut, terdapat beberapa unsur perbuatan yang terkait dengan
pelaksanaan upacara adat. Beberapa perbuatan yang berkenaan pada saat
berlangsungnya upacara seringkali dilakukan. Mereka menganggap bahwa
perbuatan tersebut sudah menjadi kebiasaan dan memang perlu dilakukan.
Adapun, kegiatan tersebut diantaranya adalah:
a. Bersesaji
Bersesaji adalah perbuatan-perbuatan untuk menyajikan makan, benda-
benda, dan sebagainya yang ditujukan kepada dewa-dewa, roh-roh nenek moyang,
atau makhluk halus. Hal ini dianggap menjadi suatu perbuatan kebiasaan, dan
dianggap seolah-olah suatu aktivitas yang secara otomatis akan menghasilkan apa
yang dimaksud.
b. Berdoa
Berdoa adalah suatu unsur yang banyak terdapat dalam berbagai upacara.
Biasanya diiringi dengan gerak -gerak dan sikap-sikap tumbuh yang pada
dasarnya merupakan sikap dan gerak menghormat serta merendahkan diri
terhadap para leluhur, para dewata, ataupun terhadap Tuhan.
c. Makan bersama
29
29
Makan bersama merupakan suatu unsur yang amat penting dan selalu
dilaksanakan dalam banyak upacara.
d. Berprosesi
Berprosesi atau berpawai juga merupakan suatu perbuatan yang amat
umum dalam banyak religi di dunia . Pada prosesi sering dibawa benda-benda
keramat seperti patung dewa-dewa, lambang-lambang, totem benda-benda yang
sakti dan sebagainya, dengan maksud supaya kesaktian yang memancar dari
benda-benda itu bisa memberi pengaruh kepada keadaan sekitar tempat tinggal
manusia, dan terutama pada tempat-tempat yang dilalui pawai itu. Upacara ini
sering juga mempunyai maksud yang pada dasarnya sama tetapi dilakukan dengan
cara yang lain yaitu mengusir makhluk halus, hantu dan segala kekuatan yang
menyebabkan penyakit serta bencana dari sekitar tempat tinggal manusia.
e. Berpuasa
Berpuasa sebagai suatu perbuatan keagamaan yang ada dalam hampir
semua religi dan agama diseluruh dunia, tidak membutuhkan suatu uraian yang
panjang lebar. Dasar pikiran yang ada dibelakang perbuatan ini bisa macam-
macam, misalnya membersihkan diri atau menguatkan batin pelaku.
f. Bersemedi
Adalah macam perbuatan religi yang bertujuan memusatkan perhatian si
pelaku kepada maksudnya atau kepada hal-hal yang suci (Koentjaraningrat, 1967:
257). Rangkaian kegiatan adat di atas merupakan unsur pokok di dalam
melaksanakan upacara tradisional. Oleh karena itu, pada saat upacara tradisional
dilangsungkan akan terdiri dari beberapa rangkaian kegiatan yang telah disebutkan
30
30
di atas. Namun tidak semua kegiatan secara terperinci dilakukan pada saat
pelaksanaan upacara tradisional. Ada yang terdiri dari semua kegiatan yang telah
disebutkan di atas tetapi ada pula yang hanya melakukan beberapa dari kegiatan
tersebut karena disesuaikan dengan kebutuhan pada saat pelaksanaan upacara
tradisional.
2. Tujuan upacara adat tradisional
Maksud dan tujuan penyelenggaraan upacara sebagai ungkapan rasa
syukur terhadap Tuhan Yang Maha Esa, serta para leluhur yang telah
melimpahkan rahmatnya. Pelaksanaan upacara tradisional dilakukan sebagai
wujud penghormatan atas budaya warisan nenek moyang yang turun temurun
yang harus dilestarikan. Tanpa adanya usaha pelestarian dari masyarakat, maka
budaya nenek moyang yang berupa upacara tradisional itu akan punah dan tinggal
cerita. Sangat disayangkan apabila hal ini terjadi mengingat dizaman sekarang
negeri ini mengalami krisis moral yang sebenarnya dapat kita cegah dengan
pelestarian upacara tradisional. Pelaksanaan upacara tradisional dapat memupuk
rasa persaudaraan dan menumbuhkan nilai-nilai luhur yang penting bagi
masyarakat dan bangsa Indonesia.
Tujuan umum dari upacara adat adalah untuk membentuk individu dan
masyarakat yang berbudi pekerti luhur. Secara khusus, upacara adat dilakukan
sebagai wujud penghormatan dan penghargaan kepada yang ghaib. Adanya rasa
cinta, hormat, dan bakti adalah pendorong bagi manusia untuk melakukan
berbagai perbuatan yang bertujuan mencari hubungan dengan dunia ghaib
(Koentjaraningrat, 1967: 240). Upacara tradisional dimaksudkan untuk mencapai
31
31
kehidupan yang tentram dan sejahtera, diberi kemudahan dalam memenuhi
kebutuhan hidup. Selain itu, upacara tradisional juga dimaksudkan untuk
menghindari dari hal-hal yang tidak diinginkan, dijauhkan dari malapetaka yang
dikhawatirkan akan menimpa masyarakat apabila tidak dilaksanakan
(Koentjaraningrat, 1967: 241).
1.6 Metode Penelitian
Metode adalah cara kerja untuk dapat memahami objek yang menjadi
sasaran ilmu yang bersangkutan, (Koentjaraningrat, 1997:16). Dalam penelitian
ini penulis menggunakan metode penelitian kualitatif untuk memahami
permasalahan yang telah ditetapkan.
1.6.1 Metode Kualitatif
Tentang metode kualitatif ini, lebih jauh peneliti mengutip pendapat K irk
dan Miller (1986) seperti yang dicatatkan oleh Lexy J Moleong (1996) bahwa
penelitian kualitatif adalah tradisi tertentu dalam ilmu pengetahuan sosial yang
secara fundamental bergantung pada perhatian pada manusia dalam kawasannya
sendiri dan berhubungan dengan orang-orang tersebut dalam bahasanya dan dalam
peristilahannya.
Selanjutnya menurut Taylor dan Bogdan (1984) bahwa penelitian kualitatif
merupakan prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-
kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diperhatikan dari
32
32
orang-orang atau subjek itu sendiri. Jadi penelitian ini lebih menekankan kepada
apa-apa yang ada di dalam persepsi dan pikiran para informannya.
Selain itu, penelitian ini berusaha mendapatkan pandangan para pelaku
seni terhadap konteks penelitian. Dalam memahami pemikiran itu, peneliti
sepatutnya melakukan empati dalam kehidupan para pelaku seni sebagai subjek,
serta menghayati kehidupan berdasarkan pengalaman dan pandangan mereka.
Marshall dan Rossman (1995) menegaskan bahwa peneliti dalam
penelitian kualitatif berperan sebagai instrumen. Oleh karena itu, peneliti harus
turut serta dalam kehidupan pelaku seni. Berdasarkan pendapat tersebut, peneliti
mewujudkan interaksi sosial secara intensif dan kondusif, yang memungkinkan
peneliti mendalami dan memahami pandangan pelaku seni.
Kerja yang dilakukan dalam penelitian ini terdiri dari: tahap sebelum ke
lapangan (pra-lapangan), Tahap kerja lapangan, Analisis data dan penulisan
laporan 27 (Moleong, 2002:109). Di samping itu, untuk mendukung metode
penelitian yang dikemukakan oleh Moleong, penulis juga menggunakan kerja
lapangan (field work) dan kerja laboratorium (laboratory work).Hasil dari kedua
disiplin ini kemudian digabungkan menjadi satu hasil akhir. Untuk memperoleh
data dan keterangan yang dibutuhkan dalam penulisan ini, penulis menggunakan
metode pengumpulan data.Dalam hal ini digunakan dua macam metode, yakni
menggunakan daftar pertanyaan tertulis (questionnaires), dan menggunakan
wawancara (interview).Untuk melengkapi pengumpulan data dengan daftar
pertanyaan maupun wawancara tersebut, dalam penelitian ini digunakan
pengamatan (observation) dan penggunaan catatan harian (Djarwanto, 1984:25).
33
33
Sebagai orang yang berasal dari etnik Batak Toba (yaitu outsider), berada
di luar topik penelitian yang akan diteliti, sedikit banyaknya peneliti mempunyai
berbagai kelemahan dan juga sebagai sebuah “kekuatan” lintas budaya,
mengenai adat-istiadat, etika, maupun bahasa Simalungun. Namun berbagai hal
tentang jarak kebudayaan peneliti usahakan untuk dijembatani dengan cara
bertindak sebagai pengamat terlibat (participant observer).
Prinsip kerja yang dilaksanakan dalam penelitian ini secara garis besar
adalah dengan kegiatan pembacaan literatur, wawancara, dan pengamatan
terutama pada persoalan yang ingin diteliti. Membaca literatur adalah untuk
menambah wawasan, memecahkan masalah, dan membantu mengkaji pokok
masalah penelitian. Wawancara adalah untuk mengumpulkan data, kemudian
menganalisisnya, dan mendalami analisis, terutama tertuju kepada upacara,
funngsi, dan struktur musikal gual dalam upacara sayur matua. Pengamatan
dilakukan untuk memperoleh gambaran tentang pokok masalah dan kenyataan
yang terjadi di lapangan, yang dapat dimasukkan ke dalam memori peneliti berupa
memori auditif maupun visual. Selain itu, pengamatan ini menjadi bahagian yang
integral dari kajian peneliti yang terlibat dalam ranah penelitiannya.
1.6.2 Pengamatan
Aktivitas awal yang juga dilakukan dalam penelitian lapangan ini adalah
melakukan pengamatan terhadap penyajian gual dalam upacara sayur matua,
untuk melihat langsung fenomena penyajiannya. Peneliti juga berusaha melakukan
34
34
pengamatan terlibat (participant observation), dengan cara melibatkan diri dalam
proses penyajian gual.
Karena objek yang peneliti amati sangat kompleks, peneliti juga
mengumpulkan beberapa rekaman video, foto-foto penyajian gual dalam upacara
sayur matua melalui rekan-rekan peneliti, baik berupa koleksi pribadi maupun
koleksi lembaga-lembaga penggiat seni lainnya, untuk membantu peneliti
mengamati lebih mendalam aspek-aspek yang berkaitan dengan penyajian gual ini
dalam kebudayaan Simalungun.
1.6.3 Studi perpustakaan
Penelitian perpustakaan diperlukan untuk memperoleh data-data dari
sumber-sumber tertulis, untuk melengkapi data yang diperoleh dari hasil
rekonstruksi berbagai wawancara dan pengamatan. Bahkan penelitian
perpustakaan sudah dilakukan sebelum terjun ke lapangan, juga secara bersama-
sama, maupun sesudah kerja lapangan.
Untuk keperluan penelitian perpustakaan, penulis melakukan kunjungan ke
berbagai perpustakaan umum, perpustakaan kampus, toko-toko buku, untuk
memperoleh tulisan yang berhubungan dengan topik pembahasan.
1.6.4 Wawancara
Wawancara ini dilakukan kepada tokoh-tokoh adat Simalungun,beberapa
orang pemusik gonrang sipitu-pitu maupun gonrang sidua-dua Simalungun, serta
melakukan wawancara mendalam dengan mereka, berdasarkan daftar persoalan
35
35
yang sudah ditetapkan terlebih dahulu. Hal ini dilakukan untuk mengetahui
pengalaman, pengetahuan, gagasan-gagasan mahupun ide-ide mereka yang
berkaitan dengan penyajian gual dalam konteks upacara adat kematian sayur
matua.
Di samping itu, penelitijuga melakukan wawancara dengan pemerhati
budaya dan kesenian Simalungun, untuk mengenal pasti pandangan mereka
tentang aspek-aspek lainnya yang berhubungan dengan topik penelitian.
Wawancara dengan para responden ini penulis rekam dengan menggunakan handy
camera Sony.
1.6.5 Metode transkripsi dan analisis
Dalam proses transkripsi penulis berpedoman pada pendapat Nettl (1991:23)
yang mengatakan ada dua pendekatan yang bisa digunakan untuk
mendeskripsikan musik, yaitu : (1) kita dapat menganalisa dan mendeskripsikan
musik dari apa yang kita dengar, (2) kita dapat menuliskan bunyi musik itu dalam
tulisan sehingga dapat mendeskripsikan tulisan itu.
Dalam hal notasi penulis mengacu pada pendapat Seeger (1958:184-195)
yang membedakan dua notasi ditinjau dari tujuannya, yaitu: notasi perskriptif dan
notasi deskriptif. Notasi perskriptif yaitu notasi yang hanya menuliskan garis besar
dari bunyi. Notasi ini merupakan pedoman bagaimana musik itu dapat di
wujudkan oleh pemain musik. Notasi deskriptif adalah laporan yang disertai
dengan lengkap tentang bagaimana sebenarnya suatu komposisi musik
diwujudkan.
36
36
Dalam mentranskripsi lima gual yang dignakan dalam upacara sayur matua
ini, yakni: (1) Gual Huda-huda, (2) Gual Parahot, (3) Gual Sayur Matua, (4)
Gual Rambing-rambing, dan (5) Gual Dinggur-dinggur, untuk tahapan awal
peneliti menggunakan transkripsi manual. Artinya segala yang terdengar
dituliskan di dalam bentuk notasi balok Barat. Kemudian setelah itu, dalam
menuliskan notasi ini penulis menggunakan sebuah perangkat lunak yang umum
digunakan pada masa sekarang di bidang etnomusikologi dan musikologi, yaitu
sibelius.
Dalam rangka metode transkripsi ini, perlu peneliti jelaskan tentang teknik-
teknik transkripsi yang digunakan, sebagai berikut.
(1) Transkripsi meliputi keseluruhan alat musik yang digunakan dalam
ensambel gonrang sipitu-pitu, yakni sarunei, ting-ting, panongah, jangat,
ogung, dan mongmongan, seperti notasi berikut ini.
37
37
(2) Sarunei ditulis menggunakan tanda kunci (clef G), dan tanda mula dua mol
(b) yang dikaitkan dengan sistem tangga nada sarunei Simalungun, bukan
tangga nada berdasar tonalitas seperti musik Barat pada umumnya.
Aplikasi notasinya adalah sperti contoh berikut.
(3) Notasi ting-ting, panongah, dan jangat diasosiasikan kepada alat-alat
musik pembawa ritme saja, sehingga tidak menggunakan tanda kunci
(clef) C, G, atau F, sebagaimana alat-alat musik pembawa melodi. Contoh
penerapannya adalah seperti berikut ini.
(4) Transkripsi terhadap alat musik ogung yang terdiri dari dua buah, masing-
masing menhasilkan nada Bb dan C, ditulis dengan menggunakan tanda
kunci G, dan dikaitkan dengan alat musik penghasil nada atau melodi.
Terapannya dalam bentuk notasi adalah sebagai berikut.
(5) Transkripsi terhadap alat musik mongmongan adalah sama dengan ogung,
yakni menghasilkan nada Bb dan C, yang juga ditulis dengan
menggunakan tanda kunci G, dan dihubungkan dengan alat musik
penghasil nada. Terapannya dalam notasi balok adalah sebagai berikut.
38
38
Dengan menggunakan teknik transkripsi seperti di atas, maka hasil lima gual
seperti disebutkan di atas, sepenuhnya dapat dilihat pada lampiran tesis ini.
1.7 Organisasi Tulisan
Tulisan ini secara keseluruhannya terdiri atas enam bab. Ketujuh-tujuh bab
ini ditulis menjadi satu kesatuan dalam menguraikan pokok masalah yang
diajukan pada Bab I, yang terfokus ke dalam tiga aspek: (a) deskripsi upacara, (b)
fungsi, dan (b) struktur gual yang digunakan dalam konteks upacara sayur matua
dalam budaya Simalungun. Ketujuh bab itu dapat diuraikan seperti berikut ini.
Bab Satu merupakan Pendahuluan, yang kemudian dapat dirinci lagi dengan
uraian tentang Latar Belakang, Rumusan Masalah yang dikaji, Tujuan dan
Manfaat Penelitian, Tinajuan Pustaka, Metode Penelitian, Observasi, Wawancara,
Kerja Laboratorium, Konsep, Teori, Metode penelitian, dan lainnya. Bab ini berisi
mengenai faktor-faktor sosial dan kebudayaan apa yang menjadikan penulis
tertarik meneliti dan menulis fenomena ini, serta bagaimana fenomena tersebut
dikaji berdasarkan keilmuan etnomusikologi dalam konteks multidisiplin ilmu.
Bab Dua, adalah deskripsi etnografis yang berfokus kepada masyarakat
Simalungun (khususnya di Kecamatan Raya) dan kebudayaannya. Aspek yang
dideskripsikan di antaranya adalah gografi, wilayah budaya, bahasa, seni tari, seni
musik, alat-alat musik, dan lain-lainnya. Pada dasarnya bab ini adalah
mendeskripsikan secara umum masyarakat Simalungun dan kebudayaannya.
39
39
Deskripsi ini berkaitan bagaimana kondisi etnografis masyarakat Simalungun dan
kebudayaannya serta hubungannya dengan lima gual yang difungsikan dalam
upacara sayur matua.
Bab Tiga, adalah deskripsi upacara sayur matua serta penggunaan gual
pada budaya masyarakat Simalungun di Kecamatan Raya. Tulisan di dalam bab
ini mengacu dari penelitian lapangan, dengan menerapkan deskripsi upacara yang
ditawarkan oleh para ahli. Isi di dalamnya mencakup Sayur Matua dalam Budaya
Simalungun, Tatacara Adat Kematian Sayur matua, Padalan tugah-tugah, Riah
Tongah Jabu, Tampei Porsa, Pahata gonrang oleh cucu laki-laki dan perempuan
sulung, Mandingguri, Mamungka gonrang, Mandingguri hasutan bolon,
Mangoromi na matei, Pamasuk hu rumah-rumah, Pangiligion, Hio Parpudi dan
manangkih gonrang, dan Paragendaon.
Selanjutnya Bab Empat, berisi analisis tentang guna dan fungsi gual dalam
konteks upacara sayur matua dalam adat Simalungun. Di dalam bab ini dikaji hal-
hal sebagai berikut: pengertian gual, Gual Parahot, Gual Huda-huda, Gual
Rambing-rambing, Gual Sayur Matua, Gual Dinggur-dinggur, pengertian guna
dan fungsi, penggunaan gual, untuk mengiringi upacara adat sayur matua,
memeriahkan jalannya upacara, fungsi gual untuk mengabsahkan upacara adat
sayur matua, sebagai sarana integrasi sosial, sebagai ekspresi emosi gembira dan
sekaligus sedih, sebagai sarana doa kepada Tuhan, sebagai sarana hiburan, dan
lainnya.
40
40
Selanjutnya Bab Lima, adalah bab yang berisi tentang kajian struktur lima gual
yang digunakan dalam upacara sayur matua dalam kebudayaan Simalungun.
Analisis pada bab ini mencakup hal-hal sebagai berikut. (a) Tangga nada, (b) nada
dasar, (c) wilayah nada, (d) pola-pola kadesa, dan (e) kontur terhadap lima gual,
yakni: Parahot, Huda-huda, Rambing-rambing, Sayur Matua, Dinggur-dinggur.
Demikian pula analisis terhadap aspek waktu, yakni meter dan pulsa atau ketukan
dasarna.
Bab Enam adalah berupa bab penutup yang merupakan kesimpulan dan
saran. Kesimpulan yang penulis tuliskan adalah kembali untuk menjawab tiga
pokok masalah utama di dalam bab satu. Selain itu, beberapa saran penulis
kemukakan dalam konteks penelitian ini.
41
41
BAB II DESKRIPSI MASYARAKAT SIMALUNGUN
DI KECAMATAN RAYA
2.1 Letak Geografis Simalungun
Pada umumnya keadaan alam suatu wilayah ditentukan oleh letak
geografis wilayah tersebut di mana kondisi dan tempat sangat menentukan. Letak
wilayah tersebut dapat mencerminkan budaya yang berlaku di masyarakat
setempat. Untuk dapat mengetahui ataupun mengenal budaya suatu tempat dapat
dilakukan dengan menggunakan pendekatan etnografi. Etnografi dapat diartikan
sebagai berikut, 1. Etnografi merupakan studi deskriptif tentang masyarakat-
masyarakat yang sederhana, serta gambaran dari suku-suku bangsa yang hidup; 2.
Etnografi merupakan ilmu yang melukiskan tentang kebudayaan dari setiap suku
bangsa yang tersebar di muka bumi ini; 3. Etnografi adalah suatu gambaran
tentang suku-suku bangsa dan bahan-bahan penyelidikannya yang telah
dikumpulkan, kemudian diuraikan dalam suatu metode ilmiah tertentu dengan
cara mempelajari bahan yang terkumpul (Ariyono Suyono, 1985:113). Dengan
pendekatan inilah penulis akan membahas bahan kajiannya dengan metode-
metode ilmiah yang terdapat dalam disipin etnomusikologi.
Berdasarkan sistem administratif, wilayah tempat tinggal masyarakat
Simalungun terletak dalam wilayah kabupaten Simalungun khususnya. Daerah ini
merupakan salah satu pemerintahan kabupaten di Sumatera Utara dengan ibukota
Pematang Siantar, terletak pada koordinat 02º 36’-03º 1’ LU dan 98 BT serta
memiliki ketinggian rata-rata 369 m di atas permukaan laut. Luas daerah
42
42
Simalungun sekitar 4.386,60 km² (6,12% dari luas wilayah Sumatera Utara) yang
terdiri dari 30 kecamatan dan 311 kelurahan/desa. Wilayah Pemerintahan
Kabupaten Simalungun berada di antara Kabupaten-Kabupaten lain di Sumatera
Utara, dengan tata letak sebagai berikut: 1. Sebelah Utara berbatasan dengan
Kabupaten Deli Serdang 2. Sebelah Barat berbatasan dengan Kabupaten Karo 3.
Sebelah Selatan berbatasan dengan Kabupaten Toba Samosir 4. Sebelah Timur
berbatasan dengan Kabupaten Asahan Jika ditinjau secara keseluruhan Kabupaten
Simalungun termasuk daerah yang berbukit-bukit, daerah tersebut berada di
dataran tinggi dan dialiri sungai-sungai, antara lain Sungai Bah Bolon (118 Km),
Sungai Bah Tonggiman (91 Km), Sungai Bah Sibalakbak (98 Km). Sedangkan
gunung (dolok) yang terdapat di daerah Simalungun antara lain, Gunung Sipiso-
piso, Gunung Singgalang, Gunung Simarsolpah, Gunung Simarjarunjung, Gunung
Simbolon dan Gunung Simarsolpit dan juga daerah Simalungun masih memiliki
hutan-hutan yang cukup luas. Keadaan suhu di sebagian besar daerah Simalungun
termasuk dingin, seperti di daerah Pematang Raya, Tiga Runggu, Parapat,
Pematang Purba, Simarjarunjung dan lain-lain.
2.2 Sistem Kekerabatan
Sistem kekerabatan merupakan sistem pertalian keluarga yang sedarah
maupun yang masih memiliki hubungan keluarga. Sistem kekerabatan sangat
penting dalam kehidupan masyarakat tradisi karena selalu memerlukannya dalam
segala aktivitas budayanya. Dalam sistem kekerabatan Simalungun, ada dua cara
untuk menentukan bagaimana jauh dekatnya seseorang di dalam kekerabatan
menurut adat istiadat Simalungun, pertama menurut garis keturunan pihak laki-
laki (ayah) disebut juga patrilineal dan kedua adanya pertalian darah akibat
43
43
perkawinan sehingga dapat ditarik garis keturunan dari kedua orangtua disebut
juga bilateral.
Menurut M.D. Purba dalam bukunya yang berjudul Adat perkawinan
Simalungun, masyarakat Simalungun termasuk masyarakat yang menarik garis
keturunan dari salah satu pihak saja, yaitu dari garis keturunan ayah (garis
keturunan laki-laki) yang secara otomatis jika anak laki-laki dan perempuan lahir
akan mengikuti garis keturunan ayah (1985:108). Oleh karena itu kekerabatan
menyangkut jauh dekatnya hubungan seseorang dengan seseorang (individu) dan
antara seseorang dengan sekelompok orang (keluarga) dapat dilihat berdasarkan
posisi dari kedua hal tersebut. Ditegaskan kembali oleh Kenan Purba dalam
bukunya Adat Istiadat Simalungun yang menyatakan bahwa kekerabatan timbul
akibat dua hal, yaitu disebabkan adanya hubungan darah dan akibat adanya
perkawinan.
Adapun kekerabatan yang dilihat dari hubungan darah merupakan
kekerabatan yang dilihat dari garis keturunan sedarah yang masih keluarga
ataupun yang masih dalam garis keturunan ayah (garis keturunan laki-laki).
Dengan menerapkan pengertianseperti itu membuat masyarakat Simalungun
menggunakan paham patrilineal yaitu mengikuti garis keturunan ayah. Sedangkan
kekerabatan yang disebabkan adanya perkawinan merupakan kekerabatan yang
dilihat dari keluarga dari kedua belah pihak yang dilihat dari relasi dari setiap
keluarganya. Sehingga dapat dilihat bagaimana peran garis keturunan pihak laki-
laki untuk generasi penerus dalam masyarakat Simalungun. Bukti bahwa garis
keturunan diambil dari pihak laki-laki adalah dengan adanya marga dalam
masyarakat Simalungun. Setiap anak yang lahir dalam suatu keluarga di etnik
44
44
Simalungun, secara otomatis akan memiliki marga yang sama dengan marga si
ayah. Tradisi seperti ini membuat posisi seorang anak laki-laki dalam sebuah
keluarga sangat penting karena merupakan generasi penerus marga keluarganya.
Sehingga jika dalam sebuah keluarga tidak memiliki anak laki-laki maka penerus
marga sang ayah dalam keluarga tersebut akan terputus. Dan pada umumnya
masyarakat Simalungun lebih condong terhadap keturunannya laki-laki mengingat
pentingnya peran laki-laki dalam sistem tradisi masyarakat Simalungun. Sistem
kekerabatan dalam masyarakat Simalungun juga dilihat dari garis keturunan
marga-marga induk yang akan dilihat hubungannya dengan garis keturunan ayah
dan ibu. Adapun golongan marga induk yang ada di Simalungun adalah Purba,
Saragih, Damanik, dan Sinaga. Masing-masing marga tersebut mempunyai cabang
sendiri yang merupakan satu keturunan.
Adapun marga-marga di Simalungun beserta cabang-cabangnya dilihat dari
tempat asalnya pada zaman kerajaan dulu adalah sebagai berikut:
1. Marga Purba berpusat di Pematang Purba dan terbagi atas:
a. Purba Tambak
b. Purba Tambunsaribu
c. Purba Sidadolok
d. Purba Dasuha
e. Purba Girsang
f. Purba Sigumonrong
g. Purba Siboro
h. Purba Pak-pak
i. Purba Sidagambir
45
45
j. Purba Tanjung
k. Purba Tondong
2. Marga Saragih berpusat di Pematang Raya dan terbagi atas:
a. Saragih Garingging
b. Saragih Sumbayak
c. Saragih Munthe
d. Saragih Dajawak
e. Saragih Simanihuruk
f. Saragih Simarmata
g. Saragih Sidauruk
h. Saragih Sitio
i. Saragih Turnip
3. Marga Damanik berpusat di Pematang Siantar dan terbagi atas:
a. Damanik Malau
b. Damanik Barita
c. Damanik Limbong
d. Damanik Tomok
e. Damanik Rampogos
4. Marga Sinaga berpusat di Pematang Tanah Jawa dan terbagi atas:
a. Sinaga Sipayung
b. Sinaga Haloho
c. Sinaga Sitopu
d. Sinaga Dadihoyong
46
46
Sistem kekerabatan yang dimiliki oleh masyarakat Simalungun
berdasarkanprinsip tolu sahundulan dan lima saodoran. Tolu sahundulan terdiri
dari: tondong, sanina, dan anak boru. Dalam pengaturan parhundulan,pihak dari
sanina di jabu bona (sebelah kanan rumah), pihak kelompok tondongdi sebelah
kanan pihak sanina, dan pihak anak boru di sebelah kanan pihaktondong. Itulah
sebabnya dikatakan tolu sahundulan (pengaturan tempat dudukdalam tiga
kelompok). Lima saodoran ialah kerabat keluarga luas yangmerupakan gabungan
dari seluruh lembaga adat dan hal ini terjadi pada saatupacara besar. Jadi
pengertian lima disini ialah pesta upacara yang dihadiri olehlima kelompok
kerabat yang terdiri dari tondong (kelompok istri), sanina (sanak saudara satu
keturunan/marga), anak boru (pihak ipar), tondong ni tondong (kelompok pemberi
istri kepada tondong), anak boru mintori (kelompok boru dari ipar). Dalam setiap
upacara adat, para kerabat-kerabatnya akan membawa rombongan masing-masing
dengan bawaannya (buah tangan) masing-masing juga. Tetapi karena mereka
terdiri dari satu kaum kerabat, maka buah tangannya dibuat menjadi satu. Sebagai
contoh misalnya pada saat upacara perkawinan, rombongan dari tiap kaum kerabat
membuat acaranya secara bergiliran dalam upacara tersebut. Pihak perwakilan
pesta akan memanggil mereka untuk mempersembahkan sesuatu untuk pihak yang
melakukan upacara perkawinan tersebut. Hal ini merupakan suatu kehormatan
bagi masyarakaat Simalungun untuk menunjukkan sistem kekerabatannya (Kenan
Purba 1997:32).
47
47
2.2.1 Struktur Sosial Tolu Sahundulan Lima Saodoran
Masyarakat Simalungun dalam ikatan sosialnya terhisab ke dalam
organisasi social yang disebut Tolu Sahundulan Lima Saodoran yang mengikat
orang Simalungun dalam kekerabatan menurut adat istiadat Simalungun dalam
kekerabatan menurut adat istiadat Simalungun. Adapun Tolu Sahundulan itu
terdiri dari: Tondong, Sanina, Boru, dan Boru ni Boru (Anak Boru Mintori).
Hubungan kekerabatan di kerajaan-kerajaan Simalungun boleh dikatakan
seluruhnya diikat oleh hubungan perkawinan. Hal ini dimungkinkan karena
konsep puangbolon (permaisuri) dan puangbona (isteri yang pertama) yang
merupakan prasyarat utama dalam menentukan seseorang menjadi pengganti raja
sebelumnya. Anakboru sanina yang terdapat pada suku bangsa Simalungun turut
mengikat hubungan yang lebih erat yang semakin memperkokoh hubungan
kekerabatan di antara raja-raja Simalungun.
2.3 Mata Pencaharian
Secara umum mata pencaharian masyarakat Simalungun adalah petani,
pegawai negeri, pegawai swasta juga wiraswasta, bagi yang berdomisili di tepi
Danau Toba umumnya bekerja sebagai nelayan, dan melihat daerah Simalungun
lebih banyak daratan maka pada umumnya bekerja sebagai petani. Masyarakat
yang bekerja sebagai petani biasanya menanam makanan pokok seperti padi, ada
juga yang menanam palawija dan sayur-mayur. Pekerjaan bertani merupakan
rutinitas yang dilakukan oleh masyarakat Simalungun dulunya untuk memenuhi
segala kebutuhan sehari-hari dan hingga sekarang masih ada masyarakat
48
48
Simalungun yang melakukan rutinitas tersebut mengingat adanya kegiatan
tahunan yang dilakukan untuk merayakan hasil panennya.
Dalam masyarakat Simalungun ada dikenal sistem gotong royong yang
disebut dengan marharoan. Marharoan adalah sekelompok masyarakat yang
bertetangga bersama-sama mengerjakan ladang atau sawah secara bergiliran.
Keikutsertaan seseorang dalam marharoan ini adalah sukarela dan merasa meiliki
kebutuhan yang sama. Lamanya marharoan tergantung dari pekerjaan yang harus
dikerjakan serta merupakan hasil keputusan bersama.Marharoan kini sudah jarang
ditemukan pada masyarakat Simalungun, namun di beberapa desa seperti daerah
Saribu Dolok dan sekitarnya masih sering dilakukan. Kegiatan ini dulunya
dilakukan untuk menyelesaikan pekerjaan ladang dengan ditambah sebagai bentuk
solidaritas antar masyarakat di dalamnya.Masyarakat Simalungun juga ada yang
berprofesi sebagai pegawai negeri dan pegawai swasta.Sebagai pegawai negeri
mereka berprofesi sebagai guru, polisi, dokter, pejabat pemerintahan dan lain-
lainnya.Sebagai pegawai swasta meraka bekerja di pabrik, perkebunan dan
perusahaan milik swasta. Sedangkan bagi masyarakat yang berwiraswata
pekerjaannya adalah pedagang, pengusaha kilang, bertenun, dan lain sebagainya.
Pekerjaan-pekerjaan seperti ini pada umumnya pekerjaan yang sudah mendekati
daerah kota dan adapun di daerah desa sudah disebabkan oleh pengaruh dari luar
ataupun kota.
Tidak hanya pekerjaan seperti itu saja, sebagian kecil dari daerah
Simalungun juga memiliki pekerjaan dan usaha budidaya ikan.Masyarakat
nelayan di Simalungun terdapat di sekitar tepian Danau Toba, seperti Haranggaol,
Parapat dan sekitarnya. Pembudidayaan ikan mas salah satu mata pencaharian
49
49
yang berkembang untuk saat ini. Oleh karena itu, masyarakat Simalungun secara
keseluruhan daerah memiliki pekerejaan yang sesuai dengan kependudukan
masing-masing sehingga memiliki keberagaman mata pencaharian.
2.4 Bahasa
Bahasa adalah alat komunikasi yang dipakai oleh manusia untuk
mengungkapkan dan mengemukakan apa yang dipikirannya terhadap orang lain.
Koentjaraningrat dalam bukunya yang berjudul Ritus Peralihan di Indonesia
menulis “bahasa adalah sistem perlambangan manusia yang lisan maupun tulisan
untuk berkomunikasi satu dengan yang lain” (1986:339). Melalui bahasa juga
kebudayaan tiap bangsa dapat dikembangkan dan diwariskan kepada generasi
yang akan datang. Suatu bahasa menentukan bagaimana ciri dan khas suatu
masyarakat dan khususnya suatu kebudayaan, sehingga dapat dilihat peran bahasa
yang diguakan suatu masyarakat.
Masyarakat Simalungun memiliki bahasa yang disebut dengan bahasa
Simalungun, secara umum merupakan bahasa pengantar dalam kehidupan
keseharian masyarakatnya yang digunakan dalam kegiatan-kegiatan adat istiadat,
acara kebaktian gereja, perkumpulan-perkumpulan marga dan lain sebagainya.
Meskipun demikian, bagi masyarakat Simalungun yang telah berdomisili di luar
wilayah Simalungun, bahasa Simalungun tidak selamanya menjadi bahasa
pengantar utama, melainkan bahasa Indonesia atau bahasa daerah domisili
mereka. Masyarakat Simalungun juga kadang menggunakan bahasa yang
dicampur dengan bahasa di luar kebudayaannya mengingat dekatnya perbatasan
daerah Simalungun dengan daerah kebudayaan lain. Sistem bahasa yang
50
50
digunakan masyarakat Simalungun memiliki ciri tersendiri yang menjadi lambang
maupun status sebagai masyarakt Simalungun.
Salah satu ciri masyarakat Simalungun adalah memiliki tingkatan bahasa
yang disebut dengan ratting ni hata. Adapun tingkatan tersebut adalah: 1. Lapang
ni hata, merupakan bahasa sehari-hari yang dipakai oleh masyarakat umum
Simalungun. Bahasa ini merupakan bahasa yang menjadi kebiasaan masyarakat
Simalungun dan pada umumnya selalu digunakan para remaja karena
menggunakan bahasa yang dicampur dengan bahasa kebudayaan lain mengingat
mereka yang selalu berinteraksi dengan di luar kebudayaannya. 2. Guru ni hata,
merupakan bahasa yang paling halus, baik dari cara penyampaiannya maupun
kata-katanya. Ini merupakan bahasa yang hormat dan biasanya dipergunakan
untuk memberi nasehat, sering sekali disampaikan melalui perumpamaan ataupun
peristilahan. 3. Sait ni hita, merupakan bahasa yang kasar baik cara
penyampaiannya maupun kata-katanya. Ini biasanya bahasa seseorang dalam
mengungkapkan kemarahan, yang berisi dengan makian dan sindiran. Pada masa
sekarang, yang paling sering dipakai adalah lapang ni hata, karena merupakan
bahasa yang sangat umum dipakai dalam kehidupan masyarakat, namun dalam
keadaan tertentu seseorang bisa saja mempergunakan bahasa yang kasar ketika
sedang marah atau mempergunakan bahasa yang halus ketika hendak memberi
nasehat.
Penggunaan bahasa dalam masyarakat Simalungun disesuaikan dengan
posisi tempat dan keadaan saat melakukan komunikasi. Seperti yang dijelaskan di
atas dapat dilihat dari situasi dan tempatnya, sebagai contoh penggunaan bahasa
yang digunakan dalam suatu upacara adat yang digunakan oleh ketua adat atau
51
51
pemimpin adatnya yang selalu menggunakan bahasa ni guru. Penyampaian
bahasanya akan menunjukkan integritas si pembicara dalam posisimaupun
jabatannya sebagai pembicara dan hal itu menjadi simbolis seseorang dalam
berkomunikasi di kehidupan sehari-hari.
2.5 Kesenian
Menurut Koentjaraningrat (1982:395-397), kesenian merupakan ekspresi
manusia terhadap keindahan, dalam kebudayaan suku-suku bangsa yang pada
mulanya bersifat deskriptif. Kesenian dalam masyarakat Simalungun
menggambarkan bagaimana deskripsi masyarakat tersebut dan pada umumnya
seperti itu dalam suatu masyarakat yang memiliki tradisi sendiri. Kesenian
jugaakan menentukan identitas suatu masyarakat sehingga bentuk kesenian dalam
masyarakat Simalungun disesuaikan dengan bentuk, sistem, bahasa,
kepercayaan,dan sejarah yang terdapat dalam masyarakat Simalungun.
Masyarakat Simalungun memiliki berbagai macam bentuk kesenian, yaitu seni
sastra, senimusik, seni tari dan seni rupa.
2.5.1 Seni Sastra
Seni sastra dikenal di Simalungun dalam bentuk cerita-cerita baik dongeng
atau legenda, dan pantun-pantun. Masih banyak dongeng maupun legenda yang
dikenal oleh masyarakat Simalungun, dan bahkan yang dipercayai dalam bentuk
keyakinan. Salah satu contoh dongeng yang cukup terkenal adalah Turi-turin
nipaes pakon begu. Mengingat masyarakat Simalungun dulunya menganut
pahamanimisme, maka banyak sejarah legenda yang menceritakan di luar akal
52
52
danpikiran masyarakat sekarang. Namun bukan hanya disebabkan oleh itu juga,
melainkan melihat masyarakat Simalungun yang menghargai tradisi dan
kebudayaan yang berlaku dalam masyarakatnya. Seni berbalas pantun juga pernah
berkembang di Simalungun, perkembangan kata-kata perumpamaan, pepatah-
pepatah, hutinta (teka-teki) dan lain-lain. Kesenian ini biasanya digunakan dalam
kehidupan sehari-hari danbahkan juga digunakan dalam kepentingan adat, seperti
pantun yang diungkapkan dalam acara makkioi daboru yang menyampaikan pesan
sesuatu dalam bentuk pantun dengan menyampaikan kiasan dahulu kemudian
makna sebenarnya. Kesenian yang ditunjukkan dalam bentuk pelafalan bahasa
merupakan hal yang umum dalam masyarakat Simalungun melihat bagaimana
pentingnya tradisi yang digunakan dalam masyarakat tersebut.
2.5.2 Seni Musik
Masyarakat Simalungun memiliki dua jenis musik yaitu musik
vokal/senisuara (inggou) dan musik instrumental (gual). Musik vokal (inggou) ada
dua jenis yaitu musik vokal solo dan musik vokal berkelompok. Musik vokal solo
disebut dengan doding sedangkan musik vokal kelompok disebut ilah. ada
berbagai jenisnyanyian Simalungun diantaranya taur-taur dan simanggei, ilah,
doding-doding, urdo-urdo, tihta, yangis, tangis-tangis, manalunda, orlei dan
mandogei. Musik instrumental (gual) yang tedapat di Simalungun juga terbagi
atas dua yaitu ensambel (gonrang) dan instrumen tunggal/solo instrument.
Adapun gonrang Simalungun terbagi dua yaitu gonrang sipitu-pitu dan gonrang
sidua-dua.
53
53
Gonrang sipitu-pitu adalah ensambel yang menggunakan tujuh buah
gendang masing-masing memiliki ukuran yang berbeda, satu buah sarune, dua
buah ogung dan mongmongan. Sedangkan gonrang sidua-dua adalah ensambel
yang terdiri dua buah gendang, satu buah sarune, dua buah ogung dan
mongmongan.
Ada juga beberapa instrumen musik tradisional Simalungun yang
dimainkan secara tunggal, antara lain sordam, saligung, sulim, tulila, sarunei
buluh, sarunei bolon, arbab, hodong-hodong, garantung dan sitalasayak. Alat
musik ini (ansambel atau solo instrument) ada yang digunakan untuk upacara-
upacara adat ataupun untuk menghibur diri sendiri. Instrumen musik dalam tradisi
masyarakat Simalungun sangat penting karena perannya yang selalu digunakan
dalam setiap upacara-upacara yang diadakan. Setiap alat musik baikitu yang
dimainkan secara ansambel maupun yang dimainkan secara tunggal memiliki
fungsi dan peranan masing-masing dalam upacara-upacara sepertiupacara adat,
upacara ritual, ataupun acara hiburan semata.
2.5.3 Seni Tari
Dalam masyarakat Simalungun tari merupakan hal yang penting apalagi
dalam konteks adat istiadat. Tari dapat membedakan kelompok status yang
menari, misalnya kelompok suhut, tondong, dan sanina boru. Peran tari dalam
masyarakat Simalungun sangat mempengaruhi setiap jalannya suatu upacara. Hal
ini disebabkan dalam suatu upacara dalam masyarakat Simalungun dengan contoh
upacara perkawinan akan membuat suatu konsep acara dengan urutan atau
rentetan acara yang sudah ditetapkan. Tari atau disebut juga tor-tor dalam
54
54
masyarakat Simalungun ada yang dipergunakan untuk upacara adat istiadat,
upacara bersifat kepercayaan, ada juga dipakai dalam pergaulan muda-
mudi.Dalam seni tari masyarakat Simalungun memiliki dua jenis pola dasar yaitu
gerak serser dan ondok.
Dalam upacara kepercayaan juga dipakai tor-tor sebagai pelengkap
maupun pendukung upacara yang digunakan sebagai makna simbolis, dan ini
biasanya dilakukan oleh orang yang sedang kesurupan. Tor-tor ini disebut tor-
tornasiaran. Gerakan tarian ini bebas dimulai dengan tempo yang lambat
kemudian semakin lama semakin cepat. Gerakan yang dilakukan oleh penari
merupakan gerakan yang dilakukan di luar kesadarannya yang artinya penari
tersebut hanya merupakan media bagi roh yang memasukinya. Dasar gerakannya
adalah tangan atau jarinya yang mengepal dan juga menggunakan ekspresi yang
tidak jelas yang terkadang menggunakan bahasa yang sulit dipahami. Ada
beberapa tari yang digunakan untuk upacara kepercayaan seperti:
1. Tor-tor turahan, tor-tor ini bersifat gotong royong digunakan pada waktu
menarik balok besar dari hutan untuk dijadikan losung
2. Tor-tor podang,tor-tor ini dilakukan oleh dua laki-laki yang masing-masing
memegang pedang sambil menari dan diiringi dengan musik.Tujuan daritarian
ini adalah untuk menambah semangat orang-orang yang sedang bekerja.
Kegiatan ini dilakukan dengan
3. Tor-tor tunggal panaluan, tor-tor ini dilakukan oleh seorang guru bolon(dukun)
untuk mengayun tunggal panaluan
4. Tor-tor muda-mudi dan tor-tor pencak adalah jenis tor-tor yang bersifat
hiburan. Tor-tor muda-mudi biasanya digunakan dalam acara-acara yang
55
55
bersifat sukacita, misalnya rondang bittang, marsapu-sapu, dan maranggir
borngin. Tor-tor pencak adalah tarian dengan gerakan dasar pencak yang
dihiasi dengan gerakan lain dan seirama dengan gonrang. Biasanya dilakukan
oleh dua orang. Dulunya gerak tor-tor pencak inidigunakan juga oleh orang
yang kesurupan karena digunakan sebagaimedia dalam sebuah upacara ritual,
dan hal ini menunjukkan suatu bentukekspresi marah dari roh yang
merasukinya.
2.5.4 Seni Rupa
Seni rupa dalam masyarakat Simalungun disebut dengan gorga yaitu
motif-motif hiasan berbentuk hewan, manusia, tumbuhan, dan berbentuk
geometris. Motif-motif ini biasanya terdapat pada kain adat (hiou), rumah adat,alat
musik, sarung, gagang pedang, dan peralatan-peralatan lainnya. Motif-motif khas
Simalungun ini diaplikasikan terhadap benda-benda yang merupakan bentuk
maupun ciri tradisi masyarakatnya dan yang sudah biasa digunakan dalam
kehidupan sehari-hari terkhusus dalam aktivitas budayanya.
2.6 Agama dan Kepercayaan
Menurut Purba (1998:28-31), sebelum masuknya agama Islam dan Kristen
di Simalungun, masyarakat Simalungun masih menganut Aninisme yang disebut
supajuh begu-begu dan politeisme yaitu kepercayaan pada sang pencipta alam
yang bersemayam di langit tertinggi yang disebut Ompung Naibata yang
terdiritiga Naibata yaitu:
1. Naibata na I babou ( benua atas)
56
56
2. Naibata na I tongah (benua tengah)
3. Naibata na I toruh (benua bawah)
Selain mempercayai adanya ketiga Naibata tersebut, penganut supajah begu-
begujuga mempercayai roh nenek moyang mereka. Masyarakat Simalungun
jugamempercayai roh-roh orang mati (begu) dan dianggap memiliki kekuatan gaib
danbiasanya berdiam di tempat-tempat tertentu yang dianggap keramat. Selain
ituada juga kepercayaan masyarakat Simalungun bahwa suatu tempat juga
memilikipenghuni, misalnya penghuni perladangan yang disebut dengan
pangianni talun.
Masyarakat Simalungun juga mengenal pemberian sesajen atau
persembahanterhadap hal-hal yang dipercayai mereka dengan tujuan meminta
berkah dankeselamatan. Tempat pemberian sesajen tersebut disebut dengan
parsinumbahan.Berdasarkan kepercayaan sipajuh begu-begu, ada beberapa ritual
yang merekalakukan seperti :
1. Maranggir yaitu upacara ritual untuk membersihkan diri dari gangguanroh
jahat.
2. Manumbah yaitu upacara ritual untuk mendekatkan diri pada sembahanmereka.
3. Ondos Hosah yaitu upacara ritual untuk seluruh penduduk suatu desa atausatu
keluarga agar terhindar dari marabahaya.
4. Manabari/manulak bala yaitu upacara ritual untuk mengusir marabahayadalam
suatu desa atau diri seseorang.
5. Marbahbah yaitu upacara ritual untuk menjauhkan penyakit atau
menundakematian seseorang dengan membuang patung orang tersebut. Patung
inibiasa terbuat dari batang pisang.
57
57
6. Mangindo pasu-pasu yaitu upacara ritual untuk meminta berkah dan doarestu
dari roh nenek moyang agar tetap sehat dan mendapat rezeki.
7. Mardilo tonduy yaitu upacara ritual pegobatan untuk memanggil rohseseorang
yang mengalami sakit yang disebabkan roh jahat.
Masuknya agama ke daerah masyarakat Simalungun memberikanpengaruh
terhadap bentuk dan sistem tradisi yang ada di dalam masyarakattersebut. Ada
sebagian norma-norma yang ditinggalkan dan bahkan ditambahijuga yang sesuai
dengan aliran agama tersebut. Agama Islam masuk keSimalungun pada abad ke-
15 melalui daerah Asahan dan Bedagai yang dibawaoleh orang-orang dari
kerajaan Aceh. Awalnya perkembangan agama Islamberada di daerah sekitar
Perdagangan dan Bandar (Sihotang 1993:23). Sedangkanagama Kristen masuk ke
Simalungun pada awal abad ke-20 tepatnya pada tanggal2 September 1903, yang
dibawa oleh misionaris bernama August Theis dipematang Raya. Pada mulanya
agama Kristen mendapat kesulitan untukberkembang karena kuatnya pengaruh
kepercayaan mereka dan kalanganbangsawan dan raja yang juga enggan untuk
menerimanya. Melihat masuknyaagama dalam masyarakat Simalungun tidak juga
mempengaruhi rasa kebudayaanakan nilai-nilai tradisi dalam masyarakatnya.
58
58
BAB III UPACARA SAYUR MATUA PADA MASYARAKAT
SIMALUNGUN DI KECAMATAN RAYA
3.1 Sayur Matua dalam Budaya Simalungun
Terdapat lima jenis kematian pada orang Simalungun, yaitu: i) matei
manorus (meninggal sewaktu melahirkan), ii matei garama/anakboru (meninggal
sewaktu lajang, atau belum menikah), iii) matei matalpok, (semua anak baik laki-
laki dan perempuan telah menikah tetapi belkum mendapatakan cucu satupun), iv)
matei matua(meninggal sewaktu tua, tetapi masih ada anaknya yang belum
menikah) dan v) matei sayur matua (meninggal sewaktu tua dan seluruh anaknya
telah menikah serta mendapat cucu Dari anak laki-laki dan anak perempuan ).
Namun demikian, pada dewasa ini, matei matua dan matei sayur matuasudah
nyaris sama karena walaupun seorang matei matua, terkadang adat atau ritual
kematian yang dijalankan adalah ritual sayur matua.
Menurut Saragih (2016), adapun yang dimaksud dengan matei sayur
matua memiliki beberapa prasyarat yaitu: i) telah memiliki cucu (pahompu) dari
anak laki-laki dan anak perempuan. jenis upacara adat yang dilakukan terhadap
orang yang meninggal dalam kategori ini disebut dengan adat na gok (adat yang
penuh) karena semua adat yang berkenaan dengan kematian tersebut dijalankan,
ii) namun, jika hanya mendapat cucu dari anak laki-laki, tetapi belum mendapat
cucu dari anak perempuan, atau sebaliknya, maka tetap disebut matei sayur matua
hanya saja adat na gok tidak dapat dijalankan.
59
59
Dalam tradisi adat kematian orang Simalungun, jika yang meninggal
termasuk pada kategori matei manorus, matei garama/anakboru maupun matei
matalpok, maka jenajah hanya dapat disemayamkan selama lebih dari satu hari.
Namun sering sekali bahwa matei matalpok dimana jenajah disemayamkan lebih
dari satu hari berhubung karena anak-anak (niombah) dari yang meninggal masih
belum tiba di rumah duka sehingga masih harus mennunggunya.
Adapun alasan sehingga jenajah harus dikuburkan tidak lebih dari satu hari
jika kematian adalah matei matorus, matei garama/anakboru maupun matei
matalpok dipercaya karena rohnya masih penasaran sehingga dikhawatirkan akan
mengganggu masyarakat yang ditinggalkan . Hal ini berbeda dengan matei matua
ataupun mateisayur matua dimana kematian tidak lagi dianggap sebagai kesedihan
luar biasa, tetapi dianggap sebagai ekspresi sukacita, karena yang meninggal telah
dianggap memiliki kehidupan yang sempurna (semua anak telah menikah dan
mendapat cucu dari laki-laki dan perempuan, bahkan sering pula telah
mendapatkan nini dan nono.
3.2 Tatacara Adat Kematian Sayur matua
Bagi masyarakat Simalungun penting untuk melaksanakan adat-istiadat
yang berlaku sehingga sampai sekarang masih kita dapati upacara kematian jika
seorang telah meninggal dunia, dari data yang penulis dapat di lapangan berikut
tata cara adat kematian sayur matua pada masyarakat Simalungun.
60
60
3.2.1 Padalan tugah-tugah
Padalan tugah-tugahatau disebut juga sebagai penyampaian berita
duka,Seseorang yang meninggal harus diberitahukan kepada kerabatnya yakni
komponen tolu sahundulan dan lima saodoran. Pada kematian Sayur matua,
pemberitahuan ini dilakukan dengan cara: i) jika yang meninggal adalah Bapak
atau seorang laki-laki, maka berita kematian disampaikan kepada Tondong
Pamupus yaitu paman dari ayah (saudara laki-laki ibunya). Pada pemberitahuan
berita duka, disertakan gotong yang di dalamnya telah ditaruh (diselipkan) uang.
Sebelum diberikan kepada paman, maka terlebih dahulu diberikan sirih (apuran)
dan uang (batu ni demban) dalam lipatan sirih. Pemberian apuran dan gotong ini
dimaksudkan sebagai cara meminta maaf sekaligus ajakan untuk menghadiri acara
adat atas meninggalnya orangtua kepada paman dari ayahnya. Gotong yang
diserahkan kepada tondong pamupusakan dikenakan kembali kepada anak laki-
laki sulung dari yang meninggal sebagai isyarat pengganti yang meninggal di
rumah tangganya.Pemakaian gotong kepada anak laki-laki sulung dilakukan pada
saat acara adat kematian di kediaman yang meninggal dunia.Isyarat ini menandai
bahwa adik-adik dari yang meninggal dianggap tidak kehilangan orangtuanya,
sebab telah digantikan oleh anak laki-laki sulungnya.
Sebaliknya, ii) jika yang meninggal adalah Ibu (perempuan), maka
penyampaian berita dukacita dilakukan dengan membawa bulang (penutup kepala
perempuan sesuai adat) dan bajud (tempat sirih). Bawaan ini diikat menggunakan
kain dan diserahkan kepada TondongJabu (paman dari ibu) setelah didahului
menyuguhkan apuran (sirih) yang dilengkapi dengan batu ni demban(uang dalam
lipatan sirih). Bulang yang diberikan pada saat penyampaian berita duka
61
61
akandikenakan di kepala istri anak laki-laki sulung sebagai isyarat pengganti ibu
di rumah tangga yang berduka.Oleh karena itu, pengenaan bulang adalah
‘pelantikan’ istri anak laki-laki sulung sebagai pengganti ibu yang meninggal
dunia.
Gambar 3.1: Penyerahan batu ni demban
(Dokumentasi Denata Rajagukuk, 2018)
Dalam penyampaian berita duka ini, (baik laki-laki maupun perempuan),
turut pula disertakan hiou parpudi (kriya tenunan terakhir) dan porsa sangkobang
(sekira 1,5 x 2 meter) yang nantiknya diletakkan Tondong Pamupus pada jenazah
pada saat acara adat kematian sayur matua. Penaruhan Hiou Parpudi dan porsa
pada jenazah menandakan bahwa yang meninggal telah sayur matua.
Penyampaian berita dukacita dilakukan oleh sanina ni hasuhuton (saudara
semarga dari yang berdukacita) bersama Boru (saudari yang keluarga yang
berdukacita). Penyampaian berita duka cita kepada tondong pamupus (jika yang
62
62
meninggal adalah laki-laki) dan tondong jabu (jika yang meninggal perempuan)
adalah manifestasi permulaan perkawinan.
Pada awalnya, sebelum menikah, maka kedua penganti harus ‘pamit’ kepada
paman masing-masing.Pamit dilakukan dengan serangkaian adat yang harus
dilalui.Oleh karena itu, jika kelak pun meninggal maka keluarga yang berduka
harus ‘pamit’ kepada paman dari yang meninggal tersebut. Jadi, pada saat
menikah dan meninggal, maka acara ‘pamit’ kepada paman harus tetap dilakukan
sebagai ‘permohonan’ maaf atas peristiwa atau kejadian yang dialaminya.
3.2.2 Riah Tongah Jabu
Setelah pemberitahuan adat kemalangan kepada tondong pamupus atau
tondong jabu, maka dilanjutkan dengan riah tongah jabu yang artinya mufakat
internal keluarga atau kerabat yang berduka. Pada acara ini, seluruh seisi kampung
atau Serikat Tolong Menolong diundang untuk musyawarah.Pada acara ini
tondong sebagai pangalopan podah (pemberi nasehat) harus hadir. Walaupun seisi
kampung atau STM diundang, inti pemufakatan ini ada pada suhut dikarenakan
suhut merupakan keluarga inti yang berduka, sementara masyarakat kampung
atau STM bersifat pangolobi (mengiyakan).
Dalam arti bahwa, prosedur maupun kualitas serta kuantitas horja adat,
terletak pada keluarga inti yang berduka (hasuhuton) dan bukan pada kampung
atau STM.Biasanya, setelah mufakat di internal keluarga inti yang berduka, maka
mufakat tersebut disampaikan kepada musyawarah kampung atau STM. Adapun
inti riah tongah jabu suhut, adalah penentuan waktu penguburan, kuantitas acara
adat melibatkan komponen tolu sahundulan dan lima saodoran maupun kualitas
63
63
adat seperti penggunaan ansambel musik gonrang, waktu memulai adat dan
penguburan, makanan pelayat, dan lain-lain.
3.2.3 Tampei Porsa
Setelah selesai acara mufakat keluarga inti atau disebut jugariah tongah
jabu, maka acara selanjutnya dilakukan dengan padashon hiou putih atau tampei
porsa (menyampaikan kain putih) yang dimulai oleh tondong pamupus (jika yang
meninggal laki-laki) atau tondong jabu (jika yang meninggal perempuan). Pihak
paman (tondong pampus atau tondong jabu) akan memberikan dan mengenakan
kain putih (porsa) kepada suami (jika yang meninggal adalah istrinya) dan
selanjutnya kepada seluruh suhut bolon danBoru Ampuan. Pada malam itu juga,
disampaikan porsa kepada suhi ni ampang na opat. Pihak tondongakan
mengenakan porsa di kepalanya sendiri dan selanjutnya tondongakan
memakaikan porsa kepada suhut bolon (keluarga yang berdukacita) dan
panagolan-nya (keponakan) dan suhut bolonakan memakaikan porsa kepada Anak
Boru Jabu-nya.Sebelum menyerahkan porsa, maka dilakukan terlebih dahulu
penyuguhan apuran marbatu (uang dalam lipatan sirih) dan apuran tangan-
tangan (sirih dari tangan ke tangah).
Adapun ukuran porsa adalah sebagai berikut: i) nasapargotongan (kurang
lebih 100 x 100 cm) kepada hasuhuton bolon (keluarga yang ebrduak), yaitu anak
laki-laki sulung, bapatua, Anak boru Jabu (suami dari putri sulung), tondong
pamupus/tondong jabu sikahanan (paman yang paling sulung), ii)
saparsaputangan (kurang lebih 70 x 10 cm) yaitu suhut, boru dan tondong, serta
iii) sapargolangan (kurang lebih 50 x 50 cm) yakni kepada kolega atau pelayat
64
64
laki-laki yang datang. Dari ukuran porsa yang dikenakan, maka pelayat yang hadir
dapat menentukan kedekatan pelayat (posisi adatnya) terhadap yang meninggal
dunia.
Gambar 3.2: Penggunaan porsa (kain putih di ikat kepala)
(Dokumentasi Denata Rajagukuk, 2018)
Pada acara ini, Anak Boru Jabu diberikan pisou panggolat yakni pisau
yang tidak memiliki gagang yang diguankan untuk menarik garis di atas tanah
yang akan digali sebagai liang lahat. Setelah digariskan, maka pisau tersebut
dicampakkan, kemudian diambil lagi dan diberi gagangnya.Pisau ini diberikan
kembali kepada Anak Boru Jabu.Jika pisau tersebut tidak diberikan kepada Anak
Boru Jabu, maka poisis Anak Boru Jabu tersebut adalah pengganti suhut (keluarga
yang berduka).Pisau tersebut digunakan jgua untuk membuat batang yakni peti
jenazah (rumah-rumah atau jabu-jabu) bagi orang meninggal.Awalnya, material
peti jenazah adalah kayu dosih (seperti kayu nangka) yang dihiasi dengan padung-
padung (ornament hias) dan diikat menggunakan rotan.Peti jenazah dibalut
65
65
menggunakan kain hitam, perlambang dunia kematian yang beradi di Nagori
Toruh (Negeri bawah).
3.2.4 Pahata gonrang oleh cucu laki-laki dan perempuan sulung
Setelah tampei porsa atau mengenakan porsa, maka dilanjutkan dengan
pahata gondrang (memulai gendang).Pahata gondrang adalah hasil kemufakatan
keluarga inti yang berduka.Untuk memulai pahata gondrang, maka pemukulan
gondrang pertama kali dilakukan oleh cucu laki-laki dan cucu perempuan yang
paling sulung dari keluarga yang berduka.Panggual atau pemain gendang
disuguhkan masakan ayam sembelihan (dayok binatur).
Adapun musik gendang yang diperankan adalah gual sipitu-pitu (gual
bolon). Sebelum pahata gondrang, maka terlebih dahulu disuguhkan kepada
pemain gendang (panggual) pinggan na marbatu (cawan berisi uang) kepada
peniup serunai (panarunei) dan satu cawan kepada pemukul gendang yang
tertutup pada bulung tinapak (daun pisang dibentuk melingkar sesuai ukuran
cawan). Pada awalnya, kecuali pinggan na marbatu (cawan berisi uang), juga
diberikan halambir sagandeng, boras sagampil/garam sabungkusan, kaen putih
sangkobang dan kain putih bagi seluruh pemain gendang. Seluruh pemain musik
harus mengenakan porsa, demikian pula pada gendang terbesar dari tujuh gendang
tabuh tersebut.
Untuk penyerahan seperangkat ini dilakukan oleh Anak Boru Jabu.Setelah
diterima panggual, maka dilanjutkan pemukulan gendang oleh cucu laki-laki dan
cucu perempuan yang paling sulung.Pemukulan gendang ini dilakukan sebanyak
tiga kali dan setiap pemukulan tahap pertama hingga ketiga, diakhir dengan
66
66
penaburan beras disertai ucapan ‘horas’ sebanyak tiga kali.Setelah itu, acara
pahata gondrang telah selesai dan dilanjutkan ‘mandingguri’.
3.2.5 Mandingguri
Mandingguri hasutan bolon pusok ni uhur yang berarti menari keluarga
inti pada acara ini keluarga inti diberikan kesempatan dan waktunya untuk menari
sebagai simbolis merelakan kepergian yang meninggal dunia serta sebagai simbol
kegembiraan karena keturunan almarhum telah dianggap berhasil atau disebut
juga sudah sayur matua.
3.2.5.1 Mamungka gonrang
Sebelum pihak keluarga inti menari dan meminta gual sebagai pengiring,
panggual memainkan gualdinggur-dinggur dan dilanjut dengan gual sabung-
sabung anduhur kemudian ditutup dengan gualparrahotketiga gual ini dimainkan
tidak putus.Selama ketiga gualini dimainkan seluruh pelayatbelum
diperkenankanmanortor.Ketiga gual ini sebagai pembuka yang memiliki makna
bentuk pujian kepada Tuhan agar memberkati seluruh rangkaian kerja adat sayur
matua.Setelah ketiga gual sudah dimainkan, pihak keluarga intimenaburkan beras
yang disebut dengan boras sihoras-horassebanyak tiga kali diikuti penyampaian
kata ‘horas’ sebanyak tiga kali.
3.2.5.2 Mandingguri hasutan bolon
Untuk acara manortor, pertama kali dilakukan oleh tondong (hasuhuton
bolon) dan boru, kemudian tondong lainnya.Sebelum manortor, tondong disuguhi
67
67
terlebih dahulu sirih memohon untuk menari atau disebut dengan apuran ojur-
ojur.
Biasanya, gual yang dimainkan adalah: gual dinggur-dinggur,sayur
matua, rambing-rambing, olob-olob, ilah hinalang, ilah sibaoru, tapisan,
haroharo rayausang, imbou manibung, birbir palopahlopah dalan, dan
sebagainya.
3.2.6 Mangoromi na matei
Selama jenazah masih disemayamkan di rumah duka (belum dikuburkan)
maka biasanya dilakukan mangoromi na matei (menjagai jenazah). Aktifitas ini
dilakukan dengan tujuan menemani keluarga duka sembari menajga
jenazah.Banyak hal yang dapat dilakukan sealma mangoromi ini seperti belajar
silsilah (taromboui), onjab-onjab (teka-teki), belajar meratap (tangis-tangis)
maupun bercerita sejarah asal usul keluarga yang meninggal.
Sembari acara ini berjalan, pada hari kedua sebelum acara dilanjutkan,
maka dilakukan mangkurak kuburan (menggali liang lahat). Liang lahat digali di
Tempat Pemakaman Umum (TPU) atau di tempat yang dihunjuk Hasuhuton bolon
(keluarga yang berduka). Pada waktu menentukan lokasi kuburan, maka pisou
panggolat yang diserahkan kepada Anak Boru Jabu dipergunakan manggolat
(menggaris) tanah kuburan yang akan digali. Biasanya, pisou panggolat
disarungkan pada bilah bamboo dan gagangnya terbuat dari kayu.Tidak
diperkenankan gagang terbuat dari besi.
Seperti yang dikemukakan, setelah Anak Boru Jabu menggaris tanah
kuburan yang akan digali, maka pisau tersebut dicampakkan ke belakangnya dan
68
68
kemudian diambil oleh boru atau sanina dan dibawa ke rumah duka. Sesampai di
rumah, maka pisau tersebut diserahkan kepada keluarga yang berduka. Pengerjaan
penggalian liang lahat dilakukan oleh warga kampung atau STM.Sementara itu,
sebagian warga kampung atau STM mengerjakan pembuatan peti jenazah.Peti
jenazah ini diperbuat setelah mengukur tubuh jenazah dan biasanya dibuat dari
dua bagian yakni bagian tempat jenazah dan penutup jenazah.Kedua bagian ini
dibalut kain hitam yang diberikan hiasan berupa ornamen Simalungun.
3.2.7 Pamasuk hu rumah-rumah
Setelah seluruh rangkaian acara ini dilewati, maka acara selanjutnya adalah
pamasukhon hu rumah-rumahni (memasukkan jenazah ke peti jenazah).Kegiatan
ini dilakukan pada pagi hari sebelum pukul 10 (nangkok mataniari).Untuk
memasukkan jenazah ke petinya, maka tondong harus hadir menyaksikan
pemasukan jenazah tersebut. Sebelum jenazah dimasukkan, maka disuguhkan
apuran na marbatu (sirih berisi uang). Kemudian, tondong memeriksa peti
jenazah dan setelah menyatakan bahwa peti tersebut sangat layak, maka
dilanjutkan menaruh jenazah ke dalam petinya. Proses memasukkan jenazah ke
dalam peti dilakukan di dalam rumah dan setelahnya diangkat keluar rumah untuk
acara pemberian adat yang terakhir (pangiligion).
69
69
Gambar 3.3: Proses pemindahan jenazah ke dalam peti
(Dokumentasi Denata Rajagukguk, 2018)
3.2.8 Pangiligion
Setelah acara memasukkan jenazah ke dalam peti, maka dilanjutkan
dengan pangiligion yaitu pemberian adat oleh pihak tondong. Pada cara ini,
tondong hadir dengan menjunjung tombuan sayur matua. Perbedaan tombuan ini
dengan tombuan malas uhur sewaktu perkawinan adalah penutup tombuanpusok
ni uhur dibuat setengah lingkaran (ipuhekkon), sedangkan tombuanmalas uhur
penutupnya dibuat menyerupai mahkota (rudang-rudang).
Untuk pertama sekali, mangiligi dilakukan pihak tondong pamupus (jika
yang meninggal laki-laki) atau tondong jabu (jika yang meninggal
perempuan).Rombongan tondong disambut (i alo-alo) dengan menyuguhkan sirih
di atas hiouyang ditaruh di atas apei (tikar).Artinyasuhut (keluarga duka)
menggelar appei (tikar) dan pihak tondong menggelar hiou ragi panei yang
ditaruh di bawah tikar.Kemudian suhut menaruh sirih di atas hiou dan tondong
membukanya sebanyak dua kali.Pada yang ketiga kalinya, tondong menerima
70
70
apuran sekaligus menggendong cucu laki-laki sulung dari yang meninggal dan
mengenakan cucu itu hiou ragi panei yang telah dipersiapkan suhut.Hiou tersebut
ada pada pihak tondong. Sewaktu penerimaan sirih yang ketiga kalinya, pihak
suhut dalam posisi menyembah seraya menyatakan: ‘ooouuu Bapa’ atap ‘ooouuu
Inang’ dan pihak tondong menjawab: ‘ijon do hanami’ yang artinya kami ada
disini.
Gambar 3.4: Tondong membuka boras tenger
(di bawah sirih berisikan uang)
(Dokumentasi Denata Rajagukguk, 2108)
Pada acara pangiligion ni Tondang Pamupus atau Tondong Jabu,
memberikan hiou parpudi (kriya tenunan adat untuk terakhir kali) kepada
keluarga yang ditinggalkan jenazah. Jika hiou tersebut diterima oleh kerabat yang
ditinggalkan jenazah, serta tidak mengizinkan hiou jatuh hingga jenazah, berarti
hubungan kekerabatan diantaranya masih melekat kuat.Akan tetapi, jika
hioutersebut dibiarkan jatuh dan tiba di atas jenazah, artinya bahwa hubungan
kekerabatan diantaranya tidak lagi baik.
71
71
Setelah pangiligion dari pihak tondong pamupus atau tondong jabu, maka
dilanjutkan pangiligion dari odoran ni tondong bona, tondong mataniari, tondong
jabu, tondong manrihutkon, tondong ni tondong dan seluruh turut tondong.
Kepada pihak tondong ini hanya diberika apuran namarbatu dan bukan seperti
yang disuguhkan kepada tondong pamupus atau tondong jabu. Pada adat kematian
sayur matua Simalungun, tondong tidak akan memberikan hiou. Orang
Simalungun hanya mengenal hiouparpudi atau lazim disebut hiou tampei tuah
(hiou berkat) yang diberikan tondong, dan hiou sittakan (hiou tutup peti jenazah)
dari hasuhuton kepada Anak Boru Jabu sewaktu di penguburan.Demikian pula
tidak ada hiou tujung (hiou penutup kepala) kepada suami atau istri yang
meninggal, karena yang meninggal telah sayur matua.
Setelah selesai pangiligion dari pihak tondong keseluruhan, dilanjutkan
pangiligion dari pihak sanina samorgahon (saudara satu marga), kemudian sanina
sapanganonkon atau sanina pariban (saudara sepengambilan istri atau
suami).Kedatangan mereka ini seraya membawa tuppak (bantuan) kepada
keluarga yang berduka.Bantuan (tumpak) tersebut ditaruh di atas pinggan (cawan).
Selanjutnya adalah rombongan (odoran) boru dan panagolan (keponakan).Pada
acara ini suhut adalah tondong dari panagolannya. Rombongan boru hadir dengan
membawa tombuan pusok ni uhur yang ditaruh miring ke kiri dan tidak memiliki
rudang-rudang (mahkota). Rombongan ini datang menyembah tondongnya yaitu
keluarga yang berduka disertai orangtuanya masing-masing.
Pada zaman dahulu, rombongan boru ini hadir dengan tarian huda-huda
pakon toping-toping (tarian gerakan kesatria berkuda dan topeng).Posisi antara
tondong dan boru/panagolan adalah saling berhadapan.Hal ini karena, rombongan
72
72
yang datang yakni boru dan panagolan menganggap paman (keluarga duka) yakni
tondongnya sebagai raja yang mengarahkan mereka di kemudian hari.Sebab,
tarian huda-huda dan toping-toping hanya diperuntukkan bagi keluarga raja yang
meninggal dunia.
Setelah acara rombongan keponakan (panagolan), dilanjutkan acara dari
pihak kolega, pemerintah setempat, dan lain-lain. Kemudian diakhiri denga tortor
ni pahomppu (tarian dari seluruh cucu). Pada tarian pahomppu ini, cucu menari
dan menaruh kain putih kepada jenazah (oppungnya).Jika masih ada yang hidup
salah satu diantara oppung nya itu, maka sering dilakukan acara menaburkan uang
logam dan permen yang diaduk dengan beras, sebagai bukti bahwa kakek atau
nenek mereka adalah seorang pemilik rezeki yang melimpah (pansari).
3.2.9 Hio Parpudi dan manangkih gonrang
Setelah acara pangiligion selesai keseluruhan maka dilanjutkan acara
maralaman.Pada acara maralaman (acara di halaman rumah duka) terdiri dari dua
komponen yakni, makan bersama dan percakapan antara tutur.Sewaktu makan
bersama bagi seluruh pelayat, disuguhkan makanan-makanan adat berupa ikan
mas (dekke sayur) dan ayam sembelihan (dayok binatur) kepada yang layak
menerima.Setelahitu dilanjutkan percakapan adat.Pertama sekali adalah hasuhuton
pahidua (suhut pahidua) yakni saudara semarga kandung yaknibapatua atau
bapanggi dengan muatan acara yakni pembacaan riwayat hidup yang
meninggal.Setelah itu, dilanjutkan oleh pihak sanina (saudara
semarga).Percakapan selanjutnya ialah dari tondong seraya menyampaikan hiou
parpudi (tampei tuah) atau ‘hiou berkat’.
73
73
Pertama kali adalah tondong pamupus (jika meninggal laki-laki) atau
tondong jabu (jika meninggal perempuan).Pada waktu ini, pihak tondong ini
menyampaikan kata-kata kebaikan kepada yang meninggal seraya ingin
memberikanhiou parpudi kepada yang meninggal.Pemberian itu adalah tanda hiou
terakhir kali dari tondongnya kepada yang meninggal. Kemudian, anak-anak dari
yang meninggal melerainya dengan cara menangkap hiou tersebut sehingga tidak
jatuh atau sampai ke jenazah. Kemudian, pihak tondongakan melilitkan hiou
tersebut kepada anak-anak dari yang meninggal. Artinya, hubungan kekerabatan
antara tondong dengan anak-anaknya dari yang meninggal masih terus berlanjut
(tidak pernah putus) karena kekerabatan itu akan dilanjutkan oleh anak-anak dari
yang meninggal dunia. Setelah itu, dilanjutkan percakapan dari tondong lainnya,
seterusnya hingga utusan se-kampung, dari pemerintah (gamot ni huta dan
pangulu dusun), seterusnya ke Anak Boru Jabu dan tutur boru. Terakhir adalah
mangabing sahap (menerima seluruh saran dan nasehat serta ucapan terima kasih)
dari hasuhuton (keluarga yang berduka).
Setelah seluruh rangkaian acara ini, maka dilanjutkan manangkilgondrang
(menutup gendang).Acara ini dimaksudkan untuk menutup gendang sayur
matua.Kepada panggual disuguhkan ayam sembelihan (dayok binatur) disertai
nasi untuk dibawa pulang pemain gendang.
74
74
Gambar 3.5: Tondong memberikan hiou parpudi
(Dokumentasi Denata Rajagukguk, 2018)
3.2.10 Paragendaon
Biasanya, setelah acara mangabing sahap, dilanjutkan acara gereja (jika
yang meninggal beragama Kristen). Pada acara ini, paragendaon atau
pemberangkatan jenazah secara kristiani maka peti jenazah ditutup dengan hiou
ragi panei (hiou sinttakan ni Anak Boru Jabu), hiou putih (tanda sayur matua) dan
terakhir dilapisi dengan hiou penutup peti dari gereja. Hiou berwarna hitam milik
gereja ini akan ditarik kemudian oleh pengurus gereja sesaat sebelum jenazah
ditaruh ke liang lahat. Demikian pula hiou sittakan akan ditarik Anak Boru Jabu
sesaat sebelum jenazah diturunkan ke liang lahat.
Paragendaon (pemberangkatan jenazah) bagi seorang pengurus gereja
dilakukan di gedung gereja.Tetapi bagi yang tidak pengurus, maka dilakukan di
halaman rumah duka.Tetapi, bagi anggota gereja, dapat juga dilakukan kebaktian
pemberangkatan jenazah di gedung gereja apabila diminta oleh kerabat
duka.Intidaripada pemberangkatan jenazah secara kristiani ini adalah penekanan
pada kreasi Tuhan yang menciptakan dan mengambil manusia.Tuhan telah
75
75
menciptakan manusia dan Tuhan pula yang berhak mengambilnya kembali. Dari
debu tanah manusia itu diciptakan Tuhan, dan ia akan dikembalikan Tuhan
menjadi tanah. Sembari rohnya kembali ke penciptanya menunggu hari
penghakiman kelak.
Jenazah ditandu (itantan) menggunakan semacam keranda yang terbuat
dari bambu atau kayu.Sisi sebelah kanan dipikul empat orang dan sisi sebelah kiri
dipikul empat orang.Pemikulan jenazah ini dilakukan oleh boru dari keluarga
duka dibantu oleh STM atau kerabat se-kampung.Di penguburan, terlebih dahulu
jenazah dibaringkan di atas galang kayu atau bambu dan diturunkan menggunakan
tali pilin.Posisi kepala jenazah menghadap ke matahari terbit (hapoltakan) sedang
kaki menghadap ke matahari terbenam (hasundutan).Bila yang meninggal adalah
seorang Kristen, maka seluruh acara penguburan menjadi otoritas gereja maupun
STM.
Rohaniawan membawa tatacara secara kristiani dan diakhiri dengan
menjatuhkan tanah sebanyak tiga kali.Ini dimaknai bahwa ciptaan Tuhan yang
dari tanah dikembalikan Tuhan menjadi tanah. Setelah itu, hal sama diikuti oleh
keluarga dan kerabat terdekat, pertanda ikhlas bahwa orangtua yang sayur matua
telah kembali kepada penciptanya. Kemudian, kuburan pun ditutup dan ditimbun
dengan tanah yang dilakukan pihak boru dan STM.
Berikut ini adalah tabel tahapan Upacara Sayur Matua, yang bverdasar
kepada penelitian yang dilakukan.
76
76
Tabel 5.1 Tabel Tahapan Upacara Sayur Matua
No. Tahapan Pelaku Upacara Keterangan
I. Padalah tugah-tugah Keluarga inti Keluarga inti menyampaikan berita duka kepada pihak tondong.
II. Riah tongah jabu Keluarga inti, pihak tondong, masyarakat sekitar
Mufakat internal keluarga dengan pihak tondong dan masyarakat sekitar tentang penentuan waktu penguburan, waktu mulainya acara.
III. Tampei porsa Pihak tondong Pihak tondong memakaikan tampei porsa (kain putih diikat di kepala) kepada keluarga inti.
IV. Pahata gonrang Cucu laki-laki, cucu perempuan, keluarga inti, pihak tondong, panggual
Pemukulan gonrang pertama dilakukan oleh cucu laki-laki dan cucu perempuan. Saat itu juga panggual disuguhkan masakan ayam sembelihan.
V. Mandingguri Keluarga inti Acara keluarga inti. 1. Mamungka
gonrang Panggual Sebelum pihak keluarga
inti menari pada tahapan mandingguri, panggual membuka acara dengan sebutan mamungka gonrang, panggual memainkan dua gual sebagai tanda pembuka.
2. Mandingguri hasutan bolon
Tondong (hasutan bolon), pargual
Pihak tondong (hasutan bolon) diperkenankan menari dan meminta gual yang diinginkan.
VI. Mangoromi na matei Keluarga inti, pihak tondong, masyarakat sekitar
Aktivitas ini dilakukan dengan tujuan menemani keluarga duka sembari menjaga jenazah sebelum dikebumikan.
VII. Pamasuk hu rumah-rumah
Keluarga inti, pihak tondong
Proses memasukkan jenazah ke dalam peti dilakukan oleh pihak tondong dan keluarga inti.
VIII. Pangiligion Keluarga inti, pihak tondong,
Proses pemberian adat oleh pihak tondong, pihak
77
77
panggual tondong menghibur keluarga yang berduka.
IX. Hio parpudi dan manangkih gonrang
Keluarga inti, pihak tondong, panggual
Acara di halaman rumah duka, proses pemberian cinderamata terakhir oleh pihak tondong. Setelah seluruh rangkaian acara tersebut selesai, maka dilanjutkan manangkih gonrang (menutup gendang).
X. Paragendaon Keluarga inti, pihak tondong, pargual, tokoh agama
Pemberangkatan jenazah dan acara diambil alih oleh tokoh agama.
78
78
BAB IV GUNA DAN FUNGSI GUAL DALAM UPACARA SAYUR MATUA
PADA MASYARAKAT SIMALUNGUN
4.1 Pengantar
Pada bab ini penulis berfokus pada pokok permasalahan fungsi gual dalam
upacara sayur matua, tentunya atas data yang di dapat penulis di lapangan yang
akan dituangkan. Penggunaan dan fungsi musik di dalam masyarakat merupakan
dua hal yang dibedakan di dalam disiplin etnnomusikologi seperti yang di
ungkapkan Merriam (1964). Merriam membedakan pengertian penggunaan (uses)
dan fungsi (functions) musik berasaskan kepada tahap dan pengaruhnya dalam
sebuah masyarakat.
4.2 Pengertian Gual
Gual yang dimaksud disini ialah suatu komposisi musik atau disebut juga
dengan repertoar, komposisi gual tidak memiliki vokal hanya terdiri dari setiap
bunyi instrument atau alat musik tradisi Simalungun yang dibawakan oleh
gonrang sipitu-pitu dan gonrang dua, serunai Simalungun sebagai pembawa
melodi pada komposisi gual. Terdapat lima gual yang wajib dimainkan pada
upacara sayur matua, (1) Gual Parahot, (2) Gual Huda-huda, (3) Gual rambing-
rambing, (4) Gual Sayur Matua, (5) Gual Dinggur-dinggur. Berikut ini pengertian
dan makna yang terkandung dalam setiap gual tersebut dan kapan saja gual
tersebut dimainkan.
79
79
4.2.1 Gual Parahot
Gual parahot dimainkan biasanya sebagai penutup tahapan-tahapan dalam
upacara, sebagai contoh ketika tondong datang penyambutan dilakukan dengan
iringan gual huda-huda setelah tondong diterima masuk maka gual parahot
sebagai pengiring, maka sehabis gual huda-huda dimainkan dilanjutkan langsung
dengan gual parahot tanpa terputus. Gual ini juga bisa diminta kepada pargual
apabila keluarga inti maupun pihak tondong menginginkan gual ini dimainkan
ditemani dengan menari bersama. Parahot yang terdiri dari kata par dan hot, hot
yang artinya satu atau kuat, memiliki makna sebagai pemersatu atau penguat
ikatan kekeluargaan. Berikut ini transkripsi dari gual parahot.
4.2.2 Gual Huda-huda
Gual huda-huda biasa digunakan sebagai penyambutan pada saat pihak
tondong datang, pada prosesnya gual ini juga mengiringi tari-tarian yang
dilakukan untuk menyambut anggota keluarga lain yang baru datang. pihak
tondong mengenakan toping-toping dan huda-huda untuk menghibur keluarga
yang ditinggalkan, dahulunya gual ini dimainkan oleh gonrang dua tetapi dalam
perkembanganya saat ini sudah dimainkan oleh gonrang sipitu-pitu. Dahulu pada
masa kerajaan simalungun gual ini dimainkan untuk menghibur sang raja atas
meninggalnya sang anak raja, dengan menggunakan topeng sambil menari-nari
dihadapan sang raja dan saat itu raja pun merasa terhibur. Pada perkembangan nya
huda-huda menjadi diadopsi dan di gunakan pada kalangan masyarakat biasa dan
80
80
sampai sekarang masih berlanjut hanya saja pihak tondong yang sebagai
penghibur tidak lagi mengenakan topeng. Berikut ini transkripsi gual huda-huda.
4.2.3 Gual Rambing-rambing
Gual rambing-rambing biasanya dimainkan pada saat acara keluarga inti,
pada saat acara keluarga inti pihak keluarga diberikan kesempatan untuk menari
dan meminta gual yang ingin dimainkan. Ada beberapa pilihan gual salah satuya
gual rambing-rambing. Gual ini memiliki makna bahwasanya keturunan yang
ditinggalkan sudah rambing atau ramos dalam bahasa simalungun, yang artinya
almarhum telah memiliki banyak anak cucu dan diberikan kesehatan oleh Tuhan.
Berikut ini transkripsi gual rambing-rambing.
4.2.4 Gual Sayur Matua
Gual sayur matua biasanya diamainkan pada saat diminta pihak keluarga
inti, tondong, maupun kerabat-kerabat yang datang mengikuti jalannya upacara
sayur matua. Gual ini merupakan ekspresi kegembiraan dimana sang almarhum
dianggap sudah sempurna dalam menjalankan kehidupan diliat dari keturunan
yang ditinggalkan sudah lengkap dan sehat-sehat, almarhum memiliki anak, cucu
bahkan cicit. Pada masyarakat simalungun matei sayur matua tidak lagi dianggap
sebagai kesedihan melainkan kegembiraan. Gual sayur matua juga diyakini
sebagai permohonan kepada Tuhan agar panjang umur dan sejahtra bagi
keturunan maupun keluarga yang ditinggalkan almarhum. Berikut ini transkripsi
gual sayur matua.
81
81
4.2.5 Gual dinggur-dinggur
Gual dinggur-dinggur, tahapan upacara sayur matua dimulai dengan gual
dinggur-dinggur, dahulunya gual ini digunakan sebagai media pemberitahuan saat
seorang raja wafat, gual ini dimainkan maka masyarakat sudah mengerti bahwa
ada seorang raja yang meninggal dunia. Pada perkembangan nya, sekarang ini
gual dinggur-dinggur dimainkan pada tahapan mamungka gonrang dimana pada
tahapan ini ialah awal mula proses adat berlangsung. Dinggur-dinggur merupakan
gual khusus yang diambil dari kata mandinguri, mandinguri sendiri merupakan
sebuah istilah yang digunakan untuk menggambarkan kematian dan mandinguri
merupakan tahapan awal pada upacara sayur matua. Berikut ini transkripsi gual
dinggur-dinggur.
4.3 Pengertian Fungsi
Menurut Bronislaw Malinowski, yang dimaksud fungsi itu intinya adalah
bahwa segala aktivitas kebudayaan itu sebenarnya bermaksud memuaskan suatu
rangkaian dari sejumlah keinginan naluri makhluk manusia yang berhubungan
dengan seluruh kehidupannya. Kesenian sebagai contoh dari salah satu unsur
kebudayaan, terjadi karena mula-mula manusia ingin memuaskan keinginan
nalurinya terhadap keindahan. Ilmu pengetahuan juga timbul karena keinginan
naluri manusia untuk tahu. Namun banyak pula aktivitas kebudayaan yang terjadi
karena kombinasi dari beberapa macam human need itu. Dengan pemahaman ini
seorang peneliti bisa menganalisis dan menerangkan banyak masalah dalam
kehidupan masyarakat dan kebudayaan manusia. Sesuai dengan pendapat
82
82
Malinowski, Sayur matua dapat bertahan di dalam kebudayaan Simalungun
karena diperlukan untuk memuaskan suatu rangkaian keinginan naluri masyarakat
pendukungnya yang cinta dan merasa memiliki kebudayaan Simalungun, yang
perlu dilestarikan oleh mereka. Bentuk-bentuk pemuasan itu dapat berupa
tingkatan nilai kesadaran kultural.
Keseluruhan aktivitas, yang pada akhirnya akan berfungsi bagi
kelangsungan kehidupan budaya masyarakat pengamalnya, dalam hal ini
masyarakat Simalungun. Fungsinya lebih jauh adalah untuk mencapai tingkat
harmoni dan konsistensi internal. Pencapaian kondisi itu, dilatar belakangi oleh
berbagai kondisi sosial dan budaya. Masih berdasar dari teori fungsi, yang
kemudian mencoba menerapkannya dalam etnomusikologi, lebih lanjut secara
tegas Merriam membedakan pengertian fungsi ini dalam dua istilah, yaitu
penggunaan dan fungsi. Menurut Merriam, pengertian penggunaan dan fungsi
adalah sangat penting. Para pakar etnomusikologi pada masa lampau tidak begitu
teliti terhadap perbedaan kedua istilah yang sangat penting ini. Jika kita berbicara
tentang penggunaan musik, maka kita menunjuk kepada kebiasaan (the ways)
musik yang dipergunakan dalam masyarakat, sebagai praktik yang biasa
dilakukan, atau sebagai bahagian dari pelaksanaan adat istiadat, baik ditinjau dari
aktivitas itu sendiri maupun kaitannya dengan aktivitas-aktivitas yang lain
(1964:210). Lebih jauh Merriam menjelaskan perbedaan pengertian antara
penggunaan dan fungsi sebagai berikut.
Music is used in certain situations and becomes a part of them, but itmay or may not also have a deeper function. If the lover uses songto w[h]o his love, the function of such music may be analyzed as thecontinuity and perpetuation of the biological group. When the
83
83
supplicant uses music to the approach his god, he is employing aparticular mechanism in conjunction with other mechanism as suchas dance, prayer, organized ritual, and ceremonial acts. The functionof music, on the other hand, is enseparable here from the function ofreligion which may perhaps be interpreted as the establishment of asense of security vis-á-vis the universe. “Use” them, refers to thesituation in which music is employed in human action; “function”concerns the reason for its employment and perticularly the broaderpurpose which it serves (1964:210).
Dari kutipan di atas terlihat bahwa Merriam membedakan pengertian
penggunaan dan fungsi musik berdasarkan kepada tahap dan pengaruhnya dalam
sebuah masyarakat. Musik dipergunakan dalam situasi tertentu dan menjadi
bagiandari situasi tersebut. Penggunaan bisa atau tidak bisa menjadi fungsi yang
lebih dalam. Dia memberikan contoh, jika seseorang menggunakan nyanyian
(lagu) yang ditujukan untuk kekasihnya, maka fungsi musik seperti itu bisa
dianalisis sebagai perwujudan dari kontinuitas dan kesinambungan keturunan
manusia yaitu untuk memenuhi kehendak biologis bercinta, menikah, dan
berumah tangga dan pada akhirnya menjaga kesinambungan keturunan manusia.
Jika seseorang menggunakan musik untuk mendekatkan diri kepada Tuhan, maka
mekanisme tersebut berhubungan dengan mekanisme lain, seperti menari, berdoa,
mengorganisasikan ritual, dan kegiatan-kegiatan upacara.Istilah “penggunaan”
menunjukkan situasi musik yang dipakai dalam kegiatan manusia; sedangkan
“fungsi” berkaitan dengan alasan mengapa si pemakai melakukan, dan terutama
tujuan-tujuan yang lebih jauh dari sekedar apa yang dapat dilayaninya. Dengan
demikian, sesuai dengan Merriam, penggunaan lebih berkaitan dengan sisi
praktikal, sedangkan fungsi lebih berkaitan dengan sisi integrasi dan konsistensi
internal budaya.
84
84
Bila ditinjau dari penggunanya maka Gual pada Upacara Sayur matua
berguna untuk berikut ini.
(1) Untuk mengiringi upacara adat Sayur matua.
(2) Gual memiliki kegunaan untuk memeriahkan jalannya upacara,
Adapun fungsi gual ini, berdasarkan teori fungsi yang ditawarkan oleh Merriam
adalah sebagai berikut.
(i) Untuk mengabsahkan upacara adat ritual Sayur matua;
(ii) Sebagai sarana integrasi sosial terutama kerabat-kerabat dalam konteks Tolu
Sahundulan terdiri dari: Tondong, Sanina, Boru, dan Boru ni Boru (Anak
Boru Mintori)
(iii) Sebagai ekspresi emosi gembira, yang merupakan bahagian dari emosi
kegembiraan karena jenazah mati dalam status sangat terhormat yaitu Sayur
matua, dan juga sekaligus sebagai ekspresi emosi sedih karena mereka yang
hidup terutama keluarga yang ditinggalkan akan berpisah dengan almarhum
(almarhumah)
(iv) Sebagai sarana doa kepada Tuhan, agar yang meninggal diterima di sisi
Tuhan dengan sebaik-baiknya.
(v) Sebagai sarana hiburan, bagi semua yang terlibat di dalam upacara kematian
ini, baik pihak kerabat dan masyarakat yang hadir dalam aktivitas ini.
4.3.1 Penggunaan Gual
Melalui proses wawancara, mengumpulkan data yang terkait dengan gual
baik artikel, skripsi maupun buku dan terjun langsung ke lapangan penulis
85
85
mendapatkan suatu analisis dari penggunaan gual itu sendiri, khususnya gual pada
upacara adat sayur matua. Berikut penggunaan gual pada uapcara sayur matua.
4.3.1.1 Untuk mengiringi upacara adat Sayur matua
Dalam upacara adat sayur matua terdapat beberapa kompenen yang tidak
bisa dipisahkan. Persembahan sebagai simbol saling menghormati contohnya daun
sirih yang diberikan pada pihak tondong lalu menari atau biasa disebut dengan
manortor memiliki makna yang cukup luas seperti ucapan selamat datang untuk
menyambut pihak tondong, juga bisa memiliki makna sebagai rasa hormat,
kegembiraan, kesedihan, sementara tarian tidak bisa dipisahkan dengan iringan
musik. Dalam hal ini gual berperan sebagai pengiring, maka dapat disimpulkan
gual termasuk dalam kompenen adat sayur matua. Disisi lain gual diminta sebagai
jembatan yang digunakan si raja parhata untuk mengawali proses komunikasi
serta mengakhirinya.
4.3.1.2 Memeriahkan Jalannya Upacara
Gual merupakan sebuah komposisi musik yang dimiliki masyarakat
simalungun, biasanya digunakan pada upacara adat. Gual ini dimainkan apabila
yang punya acara memanggil pargual. Seperti lazimnya fungsi musik bagi
kehidupan ini dapat dikatakan gual juga memeriahkan jalannya upacara.
86
86
4.3.2 Fungsi Gual
Seperti yang sudah dijelaskan mengenai fungsi gual, berikut ini analisis
fungsi gual yang didapat penulis melalui proses penelititan lapangan dan juga
mengumpulkan sumber-sumber terkait, dengan berpedoman kepada teori yang
diungkapkan merriam penulis menemukan fungsi gual dalam upacara sayur matua
sebagai berikut.
4.3.2.1 Untuk mengabsahkan upacara adat Sayur matua
fungsi gual untuk mengabsahkan upacara adat sayur matua bisa
dibenarkan, berikut penjelasan yang harus kita ketahui, contoh gual huda-huda
yang dimainkan untuk mengiringi masuknya tondong dan penari sebagai
penyambutan bahwa tondong telah diterima datang pada upacara sayur matua,
begitu juga dengan gual yang lainnya masing-masing memiliki fungsi. Muncul
beberapa pertanyaan dibenak penulis sebelum melakukan penelitian langsung ke
lapangan, apakah upacara adat sayur matua dapat berjalan tanpa gual tentu
dengan penjeleasan diatas tidak bisa berjalan upacara adat sayur matua tanpa
gual-gual yang dimainkan pada saat upacara sayur matua. Maka dapat
disimpulkan gual dapat dikatakan sebagai pengabsahan upacara adat sayur matua
4.3.2.2 Sebagai sarana integrasi sosial
Dalam upacara adat sayur matua berkumpul lah berbagai macam lapisan
masyarakat, baik dari pihak tondong, keluarga inti, teman sekampung, dan kerabat
lainnya.Untuk hal itu terdapat suatu interaksi dan juga integrasi sosial tak pandang
87
87
jabatan diluar adat, pekerjaan, status sosial mereka dipersatukan oleh sistem adat
yang mengatur tentu dalam hal ini gual bagian dari adat yang tak terpisahkan.
Sistem kekrabatan yang berlaku Tolu sahundulan, jika kita kaitkan dengan
integrasi sosial sangat tepat. Dapat dikatakan ada sebuah integrasi sosial yang
terjadi pada upacara sayur matua.
4.3.2.3 Sebagai ekspresi emosi gembira dan sekaligus sedih
Dalam setiap gual yang dimainkan terdapat makna yang terkandung
didalamnya, apabila pargual memainkan gual yang memiliki makna kegembiraan
karena yang sudah wafat dianggap berhasil dalam dunia ini maka setiap orang
yang mengikuti upacara adat sayur matua juga ikut merasakan kegembiraan
tersebut. Begitu juga sebaliknya untuk gual yang menceritakan makna sedih,
untuk penjelasan lebih lanjut tentang makna-makna gual yang dimainkan pada
upacara sayur matua bisa dilihat pada bab selanjutnya.
4.3.2.4 Sebagai sarana doa kepada Tuhan
Masyarakat simalungun meyakini bahwa gual parahot rambing-rambing
memiliki makna sebagai tanda kesejahtraan, apabila gual ini dimainkan itu
sebagai tanda permintaan agar meraka yang hadi pada upacara sayur
matuamendapatkan kesejahtraan. gualsayur matua juga memiliki makna
pemberian umur yang panjang, jadi masyarakat simalungun menganggap gual ini
salah satu komunikasi kepada Tuhan agar diberikannya umur yang panjang.
Dengan demikian dapat disimpulkan gual juga sebagai doa kepada Tuhan.
88
88
4.3.2.5 Sebagai sarana hiburan
Salah satu realita kehidupan masyarakat agraris ialah rutinitas kegiatan
kerja dan kurangnya alternatif kegiatan untuk dijadikan sarana hiburan.Pada salah
satu desa di Simalungun tidak dijumpai adanya bioskop, tempat bermain bowling,
diskotek maupun gedung konser, juga tidak dijumpai sarana telepon, hanya radio
transistor dan televisi yang lazim dikenal.Singkatnya, baik kaum muda dan kaum
tua harus mengadakan kegiatan selingan agar terbebas dari rutinitas yang
membosankan dan dapat menumbuhkan dimensi hidup baru.
Pesta merupakan salah satu bentuk acara selingan.Ada sejumlah pesta yang
dilaksanakan setiap tahun, termasuk di dalamnya adalah Manumbah
(penyembahan tempat keramat maupun arwah para nenek moyang). Sejumlah
pesta lain diselenggarakan pada saat situasi-situasi khusus tertentu seperti:
Manraja (pemahkotaan seorang raja), Mandingguri dan Huda-huda (upacara
pemakaman), Manogu Losung/Marsapu-sapu (pencarian gelondong kayu untuk
upacara peresmian dan menumbuk beras),Manogu Palas Tiang-tiang Rumah
Bolon (mencari gelondong kayu di hutan untuk pendirian rumah tradisional),
Palaho Boru/Paroh Boru (pesta pernikahan), Mamongkot Rumah (selamatan
memasuki rumah baru), Matabari (ritual “normalisasi” untuk mengusir roh-roh
jahat penyebab penyakit atau bencana didesa), Martondur i Bah (Upacara wudhu
yang disandingkan dengan konsultasi dengan arwah nenek moyang serta acara
santap bersama) dan Mangalo-alo Tamuei (ritual untuk menyambut tamu dan
pendatang istimewa). Tentu masih banyak upacara dan perayaan lain yang belum
disebutkan, namun kita sudah dapat memahami bahwa suatu desa sebetulnya
89
89
memiliki begitu banyak macam perayaan untuk diselenggarakan. Undangan untuk
menghadiri perayaan di desa-desa tetangga mereka miliki ikatan hubungan
boru,tondong, dan sanina diharapkan kehadirannya.
Pada perayaan-perayaan tersebut ansambel musik gonrang memainkan
peran penting dalam menyediakan musik sesuai bagi setiap acara.Awalnya kaum
warga Simalungun mendengarkan rangkaian gual Parahot, kemudian disusul
dengan acara tarian adat dan terakhir diikuti dengan acara tarian yang diiringi
dengan gual yang diminta oleh perorangan ataupun kelompok. Kita mendapatkan
kesan melalui apa yang dikatakan oleh J.E.Saragih bahwa tarian ini merupakan
salah satu bagian dari acara yang dinanti-nantikan oleh para warga. Kebanyakan
di antara mereka mempunyai sejumlah gualfavorit yang ingin mereka tarikan dan
Banyak orang yang duduk-duduk atau menunggu karena mereka tidak
ingin menari dengan iringan gual yang bukan pilihan mereka. Contohnya saya
maupun kelompok saya tidak akan mau menari jika gualnya bukan gual yang saya
minta.Salah satu alasan mengapa mereka diperkenankan memilih-milih bahkan
dihargai, karena pesta-pesata itu berlangsung non stop siang dan malam selama
beberapa hari sehingga tersedia waktu yang cukup bagi kaum muda maupun kaum
tua untuk menari menurut gual kesukaan mereka. Kalangan muda-mudi, karena
status mereka yang relatif rendah, biasanya baru mendapat kesempatan untuk
melatih tarian mereka pada saat-saat menjelang akhir perayaan.
Gual yang digunakan pada tari-tarian adat dapat dimainkan secara ”tak
resmiasalkan sigumbangi tidak dipasangkan pada sarunei.Dengan demikian, kaum
muda-mudi warga desa dapat melatih tarian mereka pada saat-saat santai.Acara
90
90
Pesta Muda-mudi tampaknya baru belakangan dimunculkan di antara ragam acara
pesta.Tiga buah gual dibawakan untuk diperdengarkan bagi kaum muda (Nokah
Sinaga menyebutkan Parahot Habian, Rin-rin, dan porang), sedangkan sisa
konteks ini kaum muda membiasakan diri mereka dengan musik maupun tari-
tarian sambil bersosialisasi dan menghibur diri.
Musik gonrang sebagai sarana hiburan juga dijumpai pada kegiatan huda-
huda yang diadakan sebagai bagian dari upacara pemakaman.Ansambel musik
gonrang dibawakan mengiringi tarian jenaka huda-huda (burung enggang) dan
setidaknya dua orang penari bertopeng yang bertugas menghidupkan para arwah
serta menghibur para tamu dan pendatang yang tiba untuk memberikan
penghormatan yang terakhir. Gual terpenting yang digunakan pada situasi ini
sebagaimana dikemukakan sebelumnya adalah gual Huda-huda meskipun gual
lainnya yang sesuai dapat juga dibawakan untuk mengiringi tarian jenaka tersebut.
Akhir kata kita dapat menunjuk pada musik di luar tradisi musik gonrang
sebagai sarana hiburan. Para warga desa khususnya kaum pria banyak meluangkan
waktu untuk bernanyi dan memainkan lagu-lagu rakyat sebagai sarana hiburan
pribadi maupun kelompok pada saat malam hari setelah selesai bekerja. Berbagai
macam alat musik seperti suling, harmonika, rebab, gambang, sarunei bambu
maupun alat-alat musik lain dipergunakan untuk mengiringi lagu ataupun
memainkan ornamentasi musik selingan.Maka salah satu fungsi musik yang
menonjol di kalangan masyarakat Simalungun adalah menghibur dengan cara
mendengarkan dan berpartsipasi secara langsung dan sebagai prasyarat untuk
acara tari-tarian.
91
91
BAB V ANALISIS STRUKTUR GUAL
PADA UPACARA SAYUR MATUA
5.1. Analisis Struktur Gual
Dalam menganilis struktur gual seperti yang sudah penulis paparkan pada
Bab II, penulis berpacu kepada teori Malm, dimana analisis terbagi dalam unsur
melodi dan unsur waktu, hanya saja tidak semua unsur penulis dapat paparkan
berikut ini unsur yang akan penulis analisa dari struktur gual; yang berkaitan
dengan unsur melodi (1) tangga nada, (2) jumlah nada-nada, (3) nada dasar (4)
wilayah nada (5) pola-pola kadensa, (6) kontur, dan yang berkaitan dengan unsur
waktu (7) meter (8) pulsa.
5.1.1 Tangga Nada
Setelah mentranskripsikan kelima gual tersebutke dalam bentuk notasi,
langkah selanjutnya yang penulis lakukan adalah menganalisis struktur musiknya.
Dalam menentukan tangga nada, penulis melakukan pendekatan weighted scale,
seperti yang dikemukakan oleh William P. Malm (1977). Dari hasil transkripsi
maka ditemukan tangga nada repertoar kelima gual tersebut adalah sebagai
berikut.
92
92
5.1.1.1 Parahot
Nada: bes - c - cis - f - g - as
Laras: 1 ½ 2 1 ½
Sent: 200 100 400 200 100
Dari komposisi tangga nada di atas, maka dapat dikatakan bahwa tangga
nada gual parahot menggunakan enam nada yaitu bes-c-cis-f-g-as disebut dengan
inggou.
5.1.1.2 Huda-huda
Nada: bes - c - cis - f - g - as
Laras: 1 ½ 2 1 ½
Sent: 200 100 400 200 100
Dari komposisi tangga nada di atas, maka dapat dikatakan bahwa tangga
nada gual Huda-huda menggunakan enam nada yaitu bes-c-cis-f-g-as disebut
dengan inggou.
93
93
5.1.1.3 Rambing-rambing
Nada: bes - c - cis - f - g - as
Laras: 1 ½ 2 1 ½
Sent: 200 100 400 200 100
Dari komposisi tangga nada di atas, maka dapat dikatakan bahwa tangga
nada gual rambing-rambing menggunakan enam nada yaitu bes-c-cis-f-g-as
disebut dengan inggou.
5.1.1.4 Sayur Matua
Nada: bes - c - cis - f - g - as
Laras: 1 ½ 2 1 ½
Sent: 200 100 400 200 100
Dari komposisi tangga nada di atas, maka dapat dikatakan bahwa tangga
nada gual Sayur matua menggunakan enam nada yaitu bes-c-cis-f-g-as disebut
dengan inggou.
94
94
5.1.1.5 Dinggur-dinggur
Nada: bes - c - cis - f - g - as
Laras: 1 ½ 2 1 ½
Sent: 200 100 400 200 100
Dari komposisi tangga nada di atas, maka dapat dikatakan bahwa tangga
nada gual dinggur-dinggur menggunakan enam nada yaitu bes-c-cis-f-g-as
disebut dengan inggou.
5.1.2 Jumlah Nada-nada
Untuk menentukan jumlah nada-nada keempat sampel lagu, terdapat dua
cara yang perlu dilakukan. Pertama adalah melihat banyaknya kemunculan setiap
nada tanpa melihat durasinya secara kumulatif. Kedua adalah melihat
kemunculannya dan menghitung durasi kumulatif. Dalam analisis ini, penui
menggunakan cara yang pertama, yaitu menghitung kemunculan nada tanpa
melihat durasinya. Adapun nada-nada yang digunakan di dalam kelima gual ini
adalah sebagai berikut.
95
95
5.1.2.1 Parahot
bes - c - cis - f - g - as
3 128 44 24 32 62
Tabel 5.1 Tabel Jumlah Nada Gual Parahot
Nada Jumlah nada yang muncul Persentase
Bes 3 1,02 %
C 128 43,68 %
Cis 44 15,01 %
F 24 8,19 %
G 32 10,92 %
As 62 21,16 %
Total 293 100 %
5.1.2.2 Huda-huda
bes - c - cis - f - g - as
0 337 175 98 49 104
96
96
Tabel 5.2 Tabel Jumlah Nada Gual Huda-huda
Nada Jumlah nada yang muncul Persentase
Bes 0 0 %
C 337 44,16 %
Cis 175 22,93 %
F 98 12,84 %
G 49 6,42 %
As 104 13,63 %
Total 763 100 %
5.1.2.3 Rambing-rambing
bes - c - cis - f - g - as’
1 175 0 403 308 6
Tabel 5.3 Tabel Jumlah Nada Gual Rambing-rambing
Nada Jumlah nada yang muncul Persentase
Bes 1 0,11 %
C 175 19,59 %
Cis 0 0 %
F 403 45,12 %
97
97
G 308 34,49 %
As 6 0,67 %
Total 893 100 %
5.1.2.4 Sayur Matua
bes - c - cis - f - g - as’
686 692 0 77 4 1
Tabel 5.4 Tabel Jumlah Nada Gual Sayur Matua
Nada Jumlah nada yang muncul Persentase
Bes 686 46,98 %
C 692 47,39 %
Cis 0 0 %
F 77 5,27 %
G 4 0,27 %
As 1 0,06 %
Total 1460 100 %
98
98
5.1.2.5 Dinggur-dinggur
bes - c - cis - f - g - as’
0 65 32 47 11 11
Tabel 5.5 Jumlah Nada Gual Dinggur-dinggur
Nada Jumlah nada yang muncul Persentase
Bes 0 0 %
C 65 39,15 %
Cis 32 19,27 %
F 47 28,31 %
G 11 6,62 %
As 11 6,62 %
Total 166 100 %
99
99
5.1.3 Nada Dasar
Dalam menentukan nada dasar dari kelima gual, penulis berpedoman pada
teori yang dikemukakan oleh Bruno Nettl. Teori ini sering digunakan oleh para
etnomusikolog untuk menentukan nada dasar.
Following are some methods which ethnomusicologist have used to identify tonal centers and to distinguish a hierarchy of tones in a piece: 1) Frequency of appearance is perhaps the most widely used criterion. 2) Duration of notes is sometimes used, that is, those tones which are long—whether they appear frequently or not—are considered tonal centers. 3) Appearance at the end of a composition or of its subdivisions is thought to give tonic weight to a tone. Initial position is also a criterion. 4 Appearance at the low end of the scale, or, again, at the center of the scale, may be a criterion. 5) Intervallic relationship to other tones—for example, appearance at two octave positions (while other tones appear only once), or appearance a fifth below a frequently used tone—is another criterion sometimes used. 6) Rhythmically stressed position is a further one. 7) We must never neglect the possibility that a musical style will contain a system of tonality which can only be identified by means other than those already known and used. An intimate acquaintance with the music of such a style would seem to be the best insurance against ignorance of such a system.
1. Patokan yang paling umum adalah melihat nada mana yang sering
muncul dan nada yang jarang dipakai dalam suatu komposisi musik.
2. Kadang-kadang nada yang memiliki nilai ritmis besar dianggap
sebagai nada dasar, meskipun jarang digunakan.
3. Nada yang dipakai pada awal atau akhir komposisi maupun pada
bagian tengah komposisi dianggap mempunyai fungsi penting dalam
tonalitas tersebut.
4. Nada yang menduduki posisi paling rendah dalam tangga nada ataupun
posisi tepat berada di tengah-tengah dapat dianggap penting.
100
100
5. Interval-interval yang terdapat dalam nada kadang-kadang dipakai
sebagai patokan. Contohnya sebuah posisi yang digunakan bersama
oktafnya, sedangkan nada lain tidak memakainya, maka nada pertama
tersebut dapat dianggap lebih penting.
6. Adanya tekanan ritmis pada sebuah nada juga dapat dipakai sebagai
patokan tonalitas.
7. Harus diingat kemungkinan adanya gaya-gaya musik yang mempunyai
sistem tonalitas yang tidak dapat dideskripsikan dengan patokan-
patokan di atas.
Dengan berpedoman pada teori tersebut, maka dapat diuraikan nada dasar
kelima gual sebagai berikut.
5.1.3.1 Parahot
1. Nada yang paling sering digunakan: C
2. Nada yang memiliki nilai ritmis terbesar: C
3. Nada awal yang digunakan: C
Nada akhir yang digunakan: C
4. Nada yang memiliki posisi paling rendah: C
5. Nada yang berada pada posisi oktaf: C, As
6. Nada dengan tekanan ritmis paling kuat: C, Cis, As
7. Nada dasar yang digunakan: Bes
101
101
5.1.3.2 Huda-huda
1. Nada yang paling sering digunakan: C
2. Nada yang memiliki nilai ritmis terbesar: C
3. Nada awal yang digunakan: C
Nada akhir yang digunakan: C
4. Nada yang memiliki posisi paling rendah: C
5. Nada yang berada pada posisi oktaf: C
6. Nada dengan tekanan ritmis paling kuat: C, Cis
7. Nada dasar yang digunakan: Bes
5.1.3.3 Rambing-rambing
1. Nada yang paling sering digunakan: F
2. Nada yang memiliki nilai ritmis terbesar: F
3. Nada awal yang digunakan:
Nada akhir yang digunakan: C
4. Nada yang memiliki posisi paling rendah: C
5. Nada yang berada pada posisi oktaf: C, F, G
6. Nada dengan tekanan ritmis paling kuat: F, G, C
7. Nada dasar yang digunakan: Bes
5.1.3.4 Sayur Matua
1. Nada yang paling sering digunakan: C
2. Nada yang memiliki nilai ritmis terbesar: C
102
102
3. Nada awal yang digunakan: F
Nada akhir yang digunakan: C
4. Nada yang memiliki posisi paling rendah: C
5. Nada yang berada pada posisi oktaf: C
6. Nada dengan tekanan ritmis paling kuat: C, Bes
7. Nada dasar yang digunakan: Bes
5.1.3.5 Dinggur-dinggur
1. Nada yang paling sering digunakan: C
2. Nada yang memiliki nilai ritmis terbesar: C
3. Nada awal yang digunakan: C
Nada akhir yang digunakan: C
4. Nada yang memiliki posisi paling rendah: C
5. Nada yang berada pada posisi oktaf: C
6. Nada dengan tekanan ritmis paling kuat: C, F, Cis
7. Nada dasar yang digunakan: Bes
5.1.4 Wilayah Nada
Wilayah nada (ambitus) diperoleh dengan memperhatikan rentang jarak
(range) antara nada terendah dengan nada tertinggi dalam satu komposisi lagu.
Diukur dengan menggunakan satuan cent, laras atau interval.Dari hasil transkripsi
di atas, maka diperoleh ambitus suara dari kelima gual tersebut adalah sebagai
berikut.
103
103
5.1.4.1 Parahot
Bes – C – Cis – F – G – As’
1 ½ 2 1 ½
Nada paling rendah: C Nada paling tinggi: G
Jarak dalam laras: 9 ½
Jarak dalam cent: 1900
5.1.4.2 Huda-huda
Bes – C – Cis – F – G – As’
1 ½ 2 1 ½
Nada paling rendah: C Nada paling tinggi: G
Jarak dalam laras: 9 ½
Jarak dalam cent: 1900
104
104
5.1.4.3 Rambing-rambing
Bes – C – Cis – F – G – As’
1 ½ 2 1 ½
Nada paling rendah: C Nada paling tinggi: F
Jarak dalam laras: 8 ½
Jarak dalam cent: 1700
5.1.4.4 Sayur Matua
Bes – C – Cis – F – G – As’
1 ½ 2 1 ½
Nada paling rendah: C Nada paling tinggi: F
Jarak dalam laras: 8 ½
Jarak dalam cent: 1700
5.1.4.5 Dinggur-dinggur
Bes – C – Cis – F – G – As’
105
105
1 ½ 2 1 ½
Nada paling rendah: C Nada paling tinggi: F
Jarak dalam laras: 8 ½
Jarak dalam cent: 1700
5.1.5 Pola-pola Kadensa
Sebagaimana kalimat bahasa yang diberi tanda baca berupa koma dan
titik, maka demikian juga halnya dengan musik diberi tanda baca melalui kadens-
kadens yang terdapat di dalamnya. Pola kadensa dapat dikonsepkan sebagai
rangkaian nada akhir pada setiap akhir frase dalam suatu komposisi musik yang
diwakili oleh dua atau lebih nada rangkaiannya. Pola-pola kadensa kelima gual
tersebut adalah seperti dalam analisis berikut ini.
5.1.5.1 Parahot
106
106
Dari analisis di atas menunjukkan bahwa gual parahot memiliki dua pola
kadensa yang diulang-ulang sesuai dengan perulangan melodi. Struktur kedua
pola kadensa tersebut dapat dideskripsikan sebagai berikut.
a) Pola kadensa a diisi oleh nada c dalam durasi not seperempat dan diakhiri
oleh nada c dengan durasi not setengah. Pola kadensa a ini diulang
sebanyak tiga kali dalam keseluruhan komposisi gual.
b) Pola kadensa b diisi oleh nada as dalam durasi not seperdelapan dan
diakhiri oleh nada c dengan durasi not setengah. Pola kadensa b ini
diulang sebanyak dua kali dalam keseluruhan komposisi gual.
5.1.5.2 Huda-huda
Dari analisis di atas menunjukkan bahwa gual huda-huda memiliki satu
pola kadensa yang diulang-ulang sesuai dengan perulangan melodi. Struktur pola
kadensa tersebut diisi oleh nada as dalam durasi not seperempat dan diakhiri oleh
107
107
nada c dengan durasi not seperempat. Pola kadensa a ini diulang sebanyak 21 kali
dalam keseluruhan komposisi gual.
5.1.5.3 Rambing-rambing
Dari analisis di atas menunjukkan bahwa gual rambing-rambing memiliki
satu pola kadensa yang diulang-ulang sesuai dengan perulangan melodi. Struktur
pola kadensa tersebut diisi oleh nada c dalam durasi not seperempat dan diakhiri
oleh nada f dengan durasi not seperdelapan. Pola kadensa a ini diulang sebanyak
21 kali dalam keseluruhan komposisi gual.
108
108
5.1.5.4 Sayur Matua
Dari analisis di atas menunjukkan bahwa gual sayur matua memiliki satu
pola kadensa yang diulang-ulang sesuai dengan perulangan melodi. Struktur pola
kadensa tersebut diisi oleh nada c dalam durasi not seperenambelas dan diakhiri
oleh nada c dengan durasi not seperempat. Pola kadensa a ini diulang sebanyak 16
kali dalam keseluruhan komposisi gual.
109
109
5.1.5.5 Dinggur-dinggur
Dari analisis di atas menunjukkan bahwa gual dinggur-dinggur memiliki
dua pola kadensa yang diulang-ulang sesuai dengan perulangan melodi. Struktur
kedua pola kadensa tersebut dapat dideskripsikan sebagai berikut.
a) Pola kadensa a diisi oleh nada c dalam durasi not seperempat dan diakhiri
oleh nada as dengan durasi not setengah. Pola kadensa a ini diulang
sebanyak lima kali dalam keseluruhan komposisi gual.
b) Pola kadensa b diisi oleh nada as dalam durasi not setengah dan diakhiri
oleh nada c dengan durasi not setengah. Pola kadensa b ini diulang
sebanyak empat kali dalam keseluruhan komposisi gual.
5.1.6 Kontur
Kontur adalah garis suatu lintasan melodi dalam sebuah lagu yang dapat
dibedakan ke dalam beberapa jenis (Malm, 1977), yaitu:
110
110
1. Ascending (menaik), yaitu garis melodi yang bergerak naik dari nada yang
rendah ke nada yang tinggi.
2. Descending (menurun) adalah garis melodi yang bergerak turun dari nada
yang tinggi ke nada yang rendah.
3. Pendulous adalah garis melodi yang bergerak dengan membentuk
lengkungan (melengkung setengah lingkaran).
4. Terraced (berjenjang) adalah garis melodi yang membentuk gerakan
berjenjang seperti anak tangga.
5. Statis (level) adalah melodi yang gerakan-gerakan intervalnya terbatas
atau garis melodi yang bergerak datar atau statis.
Dari kelima jenis kontur di atas, maka kontur pada kelima gual tersebut
adalah sebagai berikut.
5.1.6.1 Parahot
Gual parahot memiliki satu jenis kontur, yaitukontur descendingseperti
gambar berikut.
111
111
5.1.6.2 Huda-huda
Gual huda-huda memiliki satu jenis kontur, yaitukontur descendingseperti
gambar berikut.
5.1.6.3 Rambing-rambing
Gual rambing-rambing memiliki dua jenis kontur, yaitu:
1) Kontur descending
2) Kontur pendulous
5.1.6.4 Sayur Matua
Gual sayur matua memiliki satu jenis kontur, yaitu kontur terraced seperti
gambar berikut.
112
112
5.1.6.5 Dinggur-dinggur
Gual dinggur-dinggur memiliki dua jenis kontur, yaitu:
1) Kontur descending
2) Kontur pendulous
5.1.7 AnalisisMeter
Meter atau tanda sukat dikenal juga dengan istilah metrum adalah hitungan
ritmik yang berlaku secara teratur dalam jumlah yang sama bagi seluruh ruas
birama pada sebuah lagu dan dinyatakan dalam bentuk tanda pembilang dan
penyebut, seperti 2/2, 2/4, 4/4, 5/4, 6/8, dan sebagainya.Banoe, Pono. 2003.
Kamus Musik. Yogyakarta: Kanisius, halaman 273-274 Satu ruas birama
ditunjukkan oleh batas-batas garis vertical yang disebut garis birama. Kelima
repertoar gual pada upacara sayur matua menggunakan meter empat yang artinya
dalam satu birama terdapat empat bilangan hitungan dimana tiap bilangan bernilai
not seperempat. Setiap birama terdiri dari empat ketukan dasar yang dimulai
dengan ketukan pertama pada aksen kuat disertai dengan ketukan kedua, ketiga,
dan keempat pada aksen lemah.Dalam transkripsi, meter empat ini ditulis dengan
113
113
tanda sukat 4/4.Analisis kelima repertoar gual dalam meter empat tersebut adalah
sebagai berikut.
1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4
Meter (metrum) 4 dengan tanda sukat 4/4
114
114
12 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4
Meter (metrum) 4 dengan tanda sukat 4/4
115
115
1 23 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4
Meter (metrum) 4 dengan tanda sukat 4/4
116
116
12 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4
Meter (metrum) 4 dengan tanda sukat 4/4
117
117
1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4
Meter (metrum) 4 dengantandasukat 4/4
118
118
5.1.8 Analisis Pulsa
Pulsa adalah rangkaian denyutan yang datang secara berulang dan teratur
yang dapat dirasakan dan dikhayati dalam musik.Pulsa dapat terdengar atau
kelihatan yang disebut dengan ketukan.Kecepatan jarak waktu bergeraknya pulsa
ditentukan oleh satuan-satuan pulsa dan tempo yang digunakan.Metronome
Maelzel (MM) adalah alat yang digunakan untuk mengukur tempo atau
banyaknya ketukan dalam satu menit.
Kelima repertoal gual dalam upacara sayur matua ini menggunakan pulsa
sebagai berikut.
1. Parahot menggunakan pulsa 112 ketukan per menit; artinya dalam tempo
yang cepat dan akuratnya secara kuantitatif satu ketukan membutuhkan
waktu 60/112 x 1 = 0,53 detik melalui rumus satu menit dibagi dengan
pulsa yang digunakan oleh komposisi musik yang terikat meter dikali satu.
2. Huda-huda menggunakan pulsa 57 ketukan per menit; artinya dalam
tempo yang sedang dan akuratnya secara kuantitatif satu ketukan
membutuhkan waktu 60/57 x 1 = 1,05 detik.
3. Rambing-rambing menggunakan pulsa 55 ketukan per menit; artinya
dalam tempo yang sedang dan akuratnya secara kuantitatif satu ketukan
membutuhkan waktu 60/55 x 1 = 1,09 detik.
4. Sayur matua menggunakan pulsa 75 ketukan per menit; artinya dalam
tempo yang cepat dan akuratnya secara kuantitatif satu ketukan
membutuhkan waktu 60/75 x 1 = 0,80 detik.
119
119
5. Dinggur-dinggur menggunakan pulsa 110 ketukan per menit; artinya
dalam tempo yang cepat dan akuratnya secara kuantitatif satu ketukan
membutuhkan waktu 60/110 x 1 = 0,54detik.
Analisis pulsa kelima repertoar gual ini adalah sebagai berikut.
1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4
Pulsa
60/112 x 1 = 0,53 detik
120
120
12 34 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4
Pulsa
60/57 x 1 = 1,05 detik
121
121
1 23 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4
Pulsa
60/55 x 1 = 1,09 detik
122
122
12 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4
Pulsa
60/75 x 1 = 0,80 detik
123
123
1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4
Pulsa
60/110 x 1 = 0,54detik
124
124
BAB VI PENUTUP
6.1 Kesimpulan
Pada bab ini penulis ingin memberikan kesimpulan untuk menjawab pokok
permasalahan dalam penelitian ini dan berdasarkan seluruh uraian yang telah
dijabarkan tentang analisis fungsi dan struktur Gual dalam Upacara Sayur Matua
Masyarakat Simalungun Kecamatan Raya Kabupaten Simalungun.
Dalam hasil penelitian penulis melalui prsoses wawancara dengan beberapa
informan seperti J. Badu Purba, Radansius Saragih, Sahat Damanik, menjelaskan
bahwa gual pada upacara sayur matua sudah mengalami proses penguruangan dari
segi jumlah gual. Dahulunya untuk mamungka gonrang saja ada tujuh gual yang
dimainkan sekarang ini hanya tiga, jika informan masih dapat mengingat ke empat
gual yang hilang maka seharusnya ada sembilan gual yang wajib dimainkan
dalam upacara sayur matua, menurut analisa penulis kurang nya regenerasi
parserunei yang mahir memainkan repertoar gual dalam masyarakat simalungun,
berunjuk pada minat anak-anak muda masyarakat simalungun yang tidak banyak
mempelajari alat-alat musik tradisi terukhusus serunei. Akibat susahnya sumber
daya masyarakat yang mahir memainkan serunei simalungun berkurang lah gual-
gual yang dimainkan pada setiap upacara adat.
Adapun kesimpulan untuk menjawab rumusan masalah atau disebut juga
pokok permasalahan yang sudah di uraikan pada bab sebelumnya (1) Pelaksanaan
kegiatan upacara sayur matua (2) fungsi gual (3) struktur gual, adalah sebagai
berikut.
125
125
(1) Pelaksanaan kegiatan upacara sayur matua, penulis dapat menyimpulkan
bahwa ada sepuluh tahapan yang harus dilalui atau dilakasanakan agar upacara
adat dianggap sah dalam masyarakat Simalungun. Berikut ini tahapan yang harus
dilalui dalam upacara adat sayur matua: (1) padalah tugah-tugah, (2) riah tongah
jabu, (3) tampei porsa, (4) pahata gonrang, (5) mandingguri, (6) mangoromi na
matei, (7) pamasuk hu rumah-rumah, (8) pangiligion, (9) hio parpudi dan
manangkih gonrang, dan (10) paragendaon.
(2) Fungsi gual, dengan berpedoman pada teori merriam fungsi dibagi
menjadi guna dan fungsi, penulis menyimpulkan bahwa penggunaan gual dan
fungsinya pada upacara sayur matua adalah sebagai berikut. Penggunaan gual: (i)
untuk mengiringi upacara adat sayur matua, (ii) memeriahkan Jalannya Upacara.
Fungsi gual: (i) untuk mengabsahkan upacara adat sayur matua, (ii) sebagai
sarana itegrasi sosial, (iii) sebagai ekspresi gembira dan sekaligus sedih, (iv)
sebagai saran doa kepada Tuhan, (v) sebagai sarana hiburan.
(i) Untuk mengiringi upacara adat sayur matua, gual berperan sebagai
pengiring dalam tahapan-tahapan tertentu, sebagai contoh tahapan
penyambutan tondong datang, pengiring pihak keluarga menari, dan
banyak tahapan lainnya menggunakan gual sebagai pengiring.
(ii) Memeriahkan jalannya upacara, gual merupakan sebuah komposisi
musik, dan seperti lazimnya fungsi musik dalam setiap aktivitasnya
gual juga dapat dikatakan sebagai unsur memeriahkan jalannya
upacara.
126
126
(i) Untuk mengabsahkan upacara adat sayur matua, pada upacara sayur
matua terdiri dari beberapa tahapan, dalam tahapan tersebut gual
sangat berperan, sebagai contoh gual huda-huda yang dimainkan
untuk mengiringi masuknya tondong sebagai tahapan penyambutan,
begitu juga dengan gual yang lainnya masing-masing memiliki fungsi.
Apabila tahapan-tahapan tersebut tidak tidak dilaksanakan maka tidak
sah upacara adat yang dilaksanakan dengan begitu bisa disimpulkan
gual termasuk dlam bagian upacara dan sebagai pengabsahan dalam
upacara.
(ii) Sebagai sarana integrasi sosial, dalam upacara adat sayur matua
berkumpul berbagai macam lapisan masyarakat, baik dari pihak
tondong, keluarga inti, teman sekampung, dan kerabat lainnya. Gual
disini sebagai pemersatu dalam status sosial ketika gual dimainkan
mereka yang hadir dalam aktivitas bersama. Contoh menari diiringi
gual huda-huda, rambing-rambing maupun ketiga gual lainnya.
(iii) Sebagai ekspresi emosi gembira dan sekaligus sedih, dalam setiap
gual yang diamainkan terdapaat makna yang terkandung didalamnya,
sebagai contoh gual sayur matua memiliki makna kegembiraan karena
seseorang telah meninggal dunia pada status sayur matua yang
dianggap sudah sukses dimasa hidupnya dengan memiliki keturunan
yang lengkap, begitu juga dengan gual yang lainnya.
(iv) Sebagai saran doa kepada Tuhan, masyarakat simalungun meyakini
bahwa gual parahot memiliki makna sebagai pengikat atau pemersatu,
127
127
maka dengan memainkan gual tersebut masyarakat simalungun
memiliki harapan dan doa agar hal tersebut dikabulkan. Begitu juga
dengan gual rambing-rambing sebagai doa ucapan syukur kalau
keturunan mereka rambing dan ramos dalam bahasa simalungun.
(v) Sebagai sarana hiburan, gual sebagai sarana hiburan dapat dijumpai
pada saat pihak tondong ataupun keluarga inti menari bersama, menari
dalam konteks ini bersifat menghibur maka gual juga dapat dikatakan
sebagai saran hiburan.
(3) Struktur Gual, dalam analisis penulis tentang struktur gual penulis
menemukan bahwa (1) tangga nada yang digunakan bes – c – cis – f – g –as, (2)
jumlah nada-nada didominasi nada C 43% pada gual parahot, nada C 44% pada
gual huda-huda, nada F 45% pada gual rambing-rambing, nada C 47% pada gual
sayur matua, nada C 39% pada gual dinggur-dinggur, (3) nada dasar yang
digunakan pada gual yaitu Bes, (4) wilayah nada yaitu nada paling rendah C dan
nada paling tinggi G, (5) pola kadensa gual ada yang hanya memiliki satu pola
kadensa dan ada yang memiliki dua pola kadensa, yang memiliki dua pola
kadensa gual parahot dan gual dinggur-dinggur, sementara gual sayur matua,
gual rambing-rambing dan gual huda-huda hanya memiliki satu pola kadensa, (6)
kontur yang terdapat pada kelima gual tersebut discending, pendulos, teracced,
(7) Meter yang digunakan kelima gual tersebut 4/4, (8) Pulsa yang terdapat pada
gual parahot 112 ketukan per menit, gual huda-huda 57 ketukan per menit, gual
rambing-rambing 55 ketukan per menit, gual sayur matua 75 ketukan per menit,
gual dinggur-dinggur 110 ketukan permenit.
128
128
6.2 Saran
Untuk mengatasi kurangnya sumber daya masyarakat simalungun yang
mahir memainkan serunei simalungun dan alat musik tradisi lainnya maka harus
diciptakan ruang agar simalungun memiliki pemusik tradisi yang profesional dan
tetap menjaga keutuhan buadaya terkhusus dibidang musik. Penulis berharap
setiap unsur dapat mendukung kehidupan para pemusik tradisi baik masyarakat
nya sendiri maupun pemerintah. Juga akan sangat berguna bila generasi sekarang
ini menyadari pentingnya akan identitas bangsa sehingga tradisi akan tetap
diwariskan dari generasi ke generasi dengan keutuhannya.
Penulis juga berharap hasil penelitian ini dapat dimanfaatkan sebagai
sumber penguat informasi gual pada upacara sayur matua dalam tradisi
simalungun, tulisan ini sebagai hasil dokumentasi yang dapat di arsipkan dan
berguna bagi penelitian yang berkelanjutan tentang tradisi Simalungun.
129
129
DAFTAR PUSTAKA Adler, Mortimer J. et al. (eds.). 1983. Encyclopaedia Britannica (Vol. XII).
Chicago: Helen Hemingway Benton. Banoe, Pono. 2003. Kamus Musik. Yogyakarta: Kanisius Blacking, John. 1974. How Musical is Man? Seattle: University of Washington
Press. Castles, Lance. 1972. The Political Life of A Sumatra Resiency: Tapanuli 1915-
1940. Yale: Yale University. Disertasi Doktoral. Damanik, Erond L. 2016. Ritus Peralihan. Medan: Simetri Institute Damanik, Jahutar, 1974. Jalannya Hukum Adat Simalungun. Medan: P.D. Aslan. Dasuha, Juandaha Raya P dan Martin Lukito Sinaga. 2003. Tole! Den
Timorlanden Den DasEvangelium. Kolportase GKPS (bekerjasama dengan Panitia Bolon 100 Tahun Injil di Simalungun).
Denzin, Norman K. dan Yvonna S. Lincoln (eds.). 1995. Handbook of Qualitative
Research. Thousand Oaks, London, dan New Delhi: Sage Publications. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia. 1988. Kamus Besar
Bahasa Indonesia. Jakarta: Depdikbud. Hall, D.G.E., 1968, A History of South-East Asia, St. Martin's Press, New York.
Terjemahannya dalam bahasa Indonesia, D.G.E. Hall, Sejarah Asia Tenggara, 1988, diterjemahkan oleh I.P. Soewasha dan terjemahan disunting oleh M. Habib Mustopo, Surabaya: Usaha Nasional.
Hornbostel, Erich M. Von and Curt Sach. 1961. “Calssification of Musical
Instrument.” Honigmann, John J. (ed.). 1973. Handbook of Social and Cultural
Anthropology.Chicago: Rand Mc Nally College Publishing Co.
Haviland, J. Karel. 1999. Antropologi jilid I. Surakarta: Gelora Asmara Pratama
Jansen, Arlin Dietrich. 2003. Gonrang Simalungun. Medan: Penerbit Bina Media.
Jenks, Chris. 2013. Culture : Studi Kebudayaan. Yogyakarta. Pustaka Pelajar
Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), 2002. Jakarta: Balai Pustaka
Koentjaraningrat. 1983. Metode-Metode Penelitian Masyarakat. Jakarta: Gramedia.
130
130
Malm,William P., 1977. Music Cultures of the Pacific, Near East, and Asia. New Jersey: Prentice Hall, Englewood Cliffs; serta terJemahannya dalam bahasa Indonesia, William P. Malm, 1993, Kebudayaan Musik Pasiflk, Timur Tengah, dan Asia, dialihbahasakan oleh Muhammad Takari, Medan: Universitas Sumatera Utara Press.
Malinowski, 1987. “Terori Fungsional dan Struktural,” dalam Teori Antropologi
I, Koentjaraningrat (ed), Jakarta : Universitas Indonesia Press.
Merriam, Allan P. 1964. The Anthropology of Music. Chicago: North Westren University Press.
Moleong, Lexy J. 2002. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.
Manik, Kepler H. 2002. Kajian Tekstual dan Musikal Doding Ni Paragat Pada Masyarakat Simalungun Di Kelurahan Girsang I Kecamatan Girsang Sipangon Bolon-Simalungun. Medan: Skripsi Sarjana Departemen Etnomusikologi, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Sumatera Utara.
Manurung, Maria Fabyola., 2016. Bentuk Penyajian dan Fungsi Gonrang Sipitu-
pitu pada Upacara Kematian Sayur Matua di Desa Raya Kecamatan Pematang Raya Kabupaten Simalungun. Medan: Skripsi sarjana jurusan Sendratasik Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Medan.
Nazir, Moh. 1988. Metode Penelititan. Jakarta : Ghalia Indonesia.
Nettl, Bruno. 1964. Theory and Method in a Ethnomusicolgy. New York: The Free Press of Glencoe.
Pasaribu, Ben M. 1986. Taganing Batak Toba: Suatu Kajian dalam Konteks Gondang Sabangunan. Skripsi Etnomusikologi Fakultas Sastra, Universitas Sumatera Utara. Medan.
Purba, Kenan D. 1955. Sejarah Simalungun. Jakarta : Bina Budaya Simalungun.
Purba, M.D. 1977. Mengenal Kepribadian Asli Rakyat Simalungun. Medan: M.D. Purba.
Purba, Setia Dermawan., 1985. “Musik Tradisional Simalungun.” Medan : Skripsi
sarjana jurusan Etnnomusikologi Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara.
Purba, Setia Dermawan, 1994. Penggunaan, Fungsi, dan Perkembangan Nyanyian Rakyat Simalungun bagi Masyarakat Pendukungnya: Studi Kasus di Desa Dolok Meriah, Kecamatan Dolok Silau, Kabupaten Simalungun, Sumatera Utara. Tesis S-2. Jakarta: Universitas Indonesia.
Putro, Brahma. 1981. Karo dari Jaman ke Jaman. Medan: Yayasan Masa.
131
131
Sachs, Curt dan Eric M. Von Hornbostel, 1914. “Systematik der Musikinstrumente.” Zeitschrift für Ethnologie. Berlin: Jahr. Juga terjemahannya dalam bahasa Inggeris, Curt Sachs dan Eric M. von Hornbostel, 1992. “Classification of Musical Instruments.” Terjemahan Anthony Baines dan Klaus P. Wachsmann. Ethnomusicology: An Inroduction. Helen Myers (ed.). New York: The Macmillan Press.
Sangti, Batara. 1977. Sejarah Batak. Balige: Karl Sianipar. Saragih, Simon. 2014. Taralamsyah Saragih, Jejak sepi seorang Komponis
Legendaris. Medan : Penerbit Bina Media Perintis.
Sinaga, Irpan Raviandi., 2017. Analisis Teknik Meamainkan Gonrang Sipitu-pitu: Badu Purba Siboro di Kecamatan Siantar Barat Kabupaten Simalungun. Medan: Skripsi sarjana jurusan Etnomusikologi Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara.
Sunjata, Wahyudi Pantja, 1997. Kupatan Jalasutera Tradisi, Makna dan.
Simboliknya. Yogyakarta: Tjipta Pustaka. Supanggah, Rahayu, 1995. Etnomusikologi. Surakarta: Yayasan Bentang Budaya,
Masyarakat Seni Pertunjukan Indonesia.
132
132
DAFTAR INFORMAN INFORMAN KUNCI
Nama : J Badu Purba Siboro
Umur : 76 Tahun
Pekerjaan : PNS pensiun / Pargual (Pemain musik tradisi Simalungun)
Alamat : Jl. Nangka 1 no. 18 Siantar
Penulis bersama Pak Badu Purba
(Dokumentasi penulis, 2018)
133
133
INFORMAN PENDUKUNG
1. Nama : Sahat Damanik Umur : 56 Tahun
Pekerjaan : Pemilik Sanggartor-tor elak-elak / Pargual
(Pemain musik tradisi Simalungun)
Alamat : Sirpang Dalig Raya
2. Nama : Radansius Saragih Umur : 38 Tahun
Pekerjaan : Pargual (Pemain musik tradisi Simalungun)
Alamat : Jl. Sutomo sondi raya
3. Nama : Jamin Purba Umur : 61 Tahun
Pekerjaan : Pimpnan museum Simalungun
Alamat : Pematang Siantar
4. Nama : Hiskia Umur : 23 Tahun
Pekerjaan : Pargual / Mahasiswa Etnomusikologi
Alamat : Pematang Raya
5. Nama : Drs. Setia Dermawan Purba, M.Si Umur : 65 Tahun
Pekerjaan : Dosen Etnnomusikologi USU
Alamat : Lubuk Pakam
6. Nama : Miden Purba Umur : 42 Tahun
Pekerjaan : Pargual (Pemain musik tradisi Simalungun)
Alamat : Pematang Raya
134
134
GLOSARIUM
Aksentuasi : tekanan
Birama : ruas-ruas yang membagi kalimat lagu ke dalam ukuran-ukuran yang sama, ditandai dengan lambang hitungan atau bilangan tertentu
Down beat : gerak turun dalam aba-aba konduktor, khususnya gerak berakses pada saat masuk hitungan pertama dalam suatu hitungan metrum (sukat)
Duprel : dua not dimainkan dalam jarak tiga hitungan, atau sejumlah hitungan lainnya ditandai dengan lengkung pengikat yang dibubuhi angka dua
Intensitas : kekuatan
Interval : jarak antara dua nada
Irama : pola ritme tertentu
Kadensa : pengakhiran, cara yang ditempuh unuk mengakhiri komposisi musik dengan berbagai kemungkinan kombinasi ragam akord, sehingga terasa efek berakhirnya sebuah lagu atau frase lagu
Kolotomis : instrumen sebagai penyekat nada yang dimainkan pada setiap birama
Kuadrupel : rangkap empat; nada rangkap berupa rangkaian empat nada senilai tiga hitungan atau nilai hitung lainnya, ditandai dengan lengkung pengikat berangka empat
Laras : istilah dalam karawitan Jawa untuk menyatakan nada, tangga nada, penalaan dan keharmonisan
Melodi : lagu pokok
Mongmongan : sepasang gong yang memiliki ukuran lebih kecil dari ogung
135
135
Nada : suara dengan frekuensi tertentu yang dilukiskan dengan lambang tertentu pula
Ogung : komponen dalam musik gonrang Simalungun yang terbuat dari logam perunggu atau kuningan
Oktaf : interval berjarak delapan
Repertoar : sejumlah lagu yang dikuasai, sejumlah karya yang dimiliki, sejumlah buku musik yang dikoleksi, dimiliki dan dikuasai isinya dan (umumnya) mampu dimainkan
Ritme : langkah teratur
Sarunei : sejenis alat musik tiup yang terdiri atas tiga bagian penyususn, yaitu baluh, nalih, dan sigumbangi
Sintagmatis : hubungan linier antara unsur bahasa dalam tataran tertentu
Tempo : waktu; kecepatan dalam ukuran langkah tertentu
Tonalitas : pengenalan suara tangga nada tertentu berdasarkan pengenalan nada dasarnya (tonal; tonika) dalam suatu lagu
Tondong : keluarga pihak yang memberikan anak wanitanya kepada marga lain menjadi istrinya
Transkripsi : menyadur lagu dari bentuk aslinya ke bentuk yang baru tanpa mengurangi bobotnya (menulis kembali)
Up beat : gerakan ke atas pada tongkat pengaba dirigen atau tangan pemimpin musik, khususnya menjelang masuknya hitungan birama baru; lagu (musik) dengan awalan menjelang masuknya irama atau aksen awal birama
136
136
LAMPIRAN
137
137
138
138
139
139
140
140
141
141
142
142
143
143
144
144
145
145
146
146
147
147
148
148
149
149
150
150
151
151
152
152
153
153
154
154
155
155
156
156
157
157
158
158
159
159
160
160
161
161
162
162
163
163
164
164
165
165
166
166
167
167
168
168
169
169
170
170
171
171
172
172
173
173
174
174
175
175
176
176
177
177
178
178
179
179
180
180
181
181
182
182
183
183
184
184
185
185
186
186
187
187
188
188
189
189
190
190
191
191
192
192
193
193
194
194
195
195
196
196
197
197
198
198
199
199
200
200
201
201
202
202