Post on 30-Jan-2018
ANALISIS SISTEM PEMASARAN BERAS CIHERANG di
KECAMATAN CIBEBER, KABUPATEN CIANJUR
ALEXANDRO EPHANNUEL SARAGIH
DEPARTEMEN AGRIBISNIS
FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014
PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Analisis Sistem
Pemasaran Beras Ciherang di Kecamatan Cibeber, Kabupaten Cianjur adalah
benar karya saya dengan arahan dosen pembimbing dan belum pernah diajukan
dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang
berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari
penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di
bagian akhir skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada
Institut Pertanian Bogor.
Bogor, Juni 2014
Alexandro Ephannuel Saragih
NRP. H34100157
ABSTRAK
ALEXANDRO EPHANNUEL SARAGIH. Analisis Sistem Pemasaran Beras
Ciherang di Kecamatan Cibeber, Kabupaten Cianjur. Dibimbing oleh NETTI
TINAPRILLA.
Beras merupakan komoditi utama yang menjadi pangan pokok bagi
sebagian besar penduduk Indonesia. Tujuan penelitian adalah menganalisis
saluran pemasaran, fungsi, struktur, dan perilaku lembaga-lembaga pemasaran
beras Ciherang di Kecamatan Cibeber. Selain itu, penelitian bertujuan
menganalisis efisiensi saluran pemasaran berdasarkan pendekatan marjin,
farmer’s share dan rasio keuntungan terhadap biaya pemasaran. Berdasarkan
penelitian di 3 desa sampel yakni Cisalak, Karangnunggal dan Salamnunggal
dengan jumlah responden sebanyak 30 petani sampel, terdapat 7 lembaga
pemasaran di kecamatan ini. Secara umum, struktur pasar beras di kecamatan ini
adalah oligopsoni. Berdasarkan fungsi pemasaran dan rasio keuntungan terhadap
biaya pemasaran, saluran yang melalui petani-tengkulak-pengumpul besar dan
pabrik beras-pengecer-konsumen di Jakarta merupakan saluran paling efisien
secara keseluruhan. Petani sebaiknya menjadikan kelompok tani atau koperasi tani
sebagai bagian dari sistem pemasaran untuk meningkatkan posisi tawar dan
mempermudah pemodalan seperti melalui sistem resi gudang yang berada di
Cianjur
Kata kunci: Efisiensi, Beras, Farmer’s Share, Marjin Pemasaran
ABSTRACT
ALEXANDRO EPHANNUEL SARAGIH. The Analyze Marketing System of
Ciherang Variety in Cibeber Subdistrict, Cianjur. Supervised by NETTI
TINAPRILLA.
Rice is the basic commodity that became the staple food for the Indonesian.
The purposes of this research were analyzing marketing channels, function,
structure and marketing institutions of farmer Ciherang Variety in Cibeber
Subdistrict. Beside that, the purposes of this research were analyzing the
marketing efficiency by marketing margin, farmer’s share and benefit cost ratio
approaching. The research was conducted in 3 villages that are Cisalak,
Karangnunggal, Salamnunggal with 30 farmers as the respondents and there are 7
marketing institutions in the subdistrict. Generally, the market structure in this
subdistrict is oligopsonistic . Based on the marketing function and the profitable
ratio about marketing cost, the channels that through farmers-middlemen-major
collector and rice mills in village-retailer-consumer rice in Jakarta is the most
efficient channels. The farmer should have made farmer groups or cooperation as
part of the marketing system to improve the bargaining position and easier
capitalization like through the warehouse system in Cianjur.
Keywords : Efficiency, Farmer’ Share , Marketing Margin, Rice
ANALISIS SISTEM PEMASARAN BERAS CIHERANG di
KECAMATAN CIBEBER, KABUPATEN CIANJUR
ALEXANDRO EPHANNUEL SARAGIH
Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memeperoleh gelar
Sarjana Ekonomi
Pada
Departemen Agribisnis
DEPARTEMEN AGRIBISNIS
FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014
Judul Skripsi : Analisis Sistem Pemasaran Beras Ciherang di Kecamatan
Cibeber, Kabupaten Cianjur
Nama : Alexandro Ephannuel Saragih
NRP : H34100157
Tanggal Lulus :
Disetujui Oleh
Dr Ir Netti Tinaprilla, MM
Pembimbing
Diketahui Oleh
Dr Ir Dwi Rachmina, MSi
Ketua Departemen
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah yang kudus atas segala
anugerahNya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema penelitian
yang dilaksanakan sejak Januari 2014 ini ialah pemasaran, dengan judul Analisis
Sistem Pemasaran Beras Ciherang di Kecamatan Cibeber, Kabupaten Cianjur.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Ibu Dr Ir Netti Tinaprilla, MM selaku
pembimbing skripsi, Dr Ir Dwi Rachmina, MSi selaku pembimbing akademik
selama perkuliahan dan Bapak Irwan, SP sebagai pembimbing di lapangan dalam
penelitian ini. Terima kasih kepada Ibu Prof Dr Ir Rita Nurmalina, MS sebagai
dosen penguji utama dan Bapak Rahmat Yanuar, SP, MSi sebagai dosen penguji
dari Departemen Agribisnis yang memberi kritik dan saran dalam skripsi ini.
Ungkapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada Ayah, Ibu, serta seluruh
keluarga atas seluruh doa, dukungan dan kasih sayangnya.
Semoga skripsi ini bermanfaat.
Bogor, Juni 2014
Alexandro Ephannuel Saragih
NRP. H34100157
DAFTAR ISI PENDAHULUAN 1
Latar Belakang 1 Perumusan Masalah 3 Tujuan Penelitian 5 Manfaat Penelitian 5 Ruang Lingkup Penelitian 6
TINJAUAN PUSTAKA 6
Karakteristik Komoditi Beras 6 Lembaga, Saluran dan Fungsi Pemasaran 7
Struktur dan Perilaku Pasar 8 Marjin Pemasaran, Farmer's Share dan Rasio Keuntungan 9
Terhadap Biaya Pemasaran
KERANGKA PEMIKIRAN 11
Kerangka Pemikiran Teoritis 11
Konsep Pemasaran 11
Konsep Lembaga, Saluran dan Fungsi Pemasaran 11
Konsep Rasio Keuntungan dan Biaya 14
Konsep Marjin Pemasaran 14
Konsep Perilaku Pasar 16
Konsep Struktur Pasar 17
Konsep Efisiensi Pemasaran 18
Konsep Farmer’s Share 18
Kerangka Pemikiran Operasional 19
METODE PENELITIAN 21 Lokasi dan Waktu Penelitian 21
Jenis dan Sumber Data 21
Metode dan Pengumpulan Data 21
Metode Pengolahan Data 22 Analisis Saluran Pemasaran 22 Analisis Lembaga dan Fungsi Pemasaran 22
Analisis Struktur Pasar 23
Analisis Perilaku Pasar 23
Analisis Efisiensi Pemasaran 23 Analisis Marjin Pemasaran 23
Analisis Farmer’s Share 24 Analisis Rasio Keuntungan dan Biaya 24 Defenisi Operasional 25
GAMBARAN KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN 25
Gambaran Wilayah Kecamatan Cibeber 25
Karakteristik Petani Responden 26 HASIL dan PEMBAHASAN 29
Identifikasi Lembaga dalam Sistem Pemasaran 29 Analisis Fungsi Pemasaran Setiap Lembaga Tataniaga 30
Identifikasi Saluran Pemasaran 35 Analisis Struktur Pasar 41
Analisis Perilaku Pasar 45
Analisis Marjin Pemasaran 48
Analisis Farmer's Share 51
Analisis Rasio Keuntungan dan Biaya 51
Analisis Efisiensi Operasional Pemasaran 55
SIMPULAN dan SARAN 56
Simpulan 56
Saran 57
DAFTAR PUSTAKA 58
DAFTAR TABEL 1 Persentase Pengeluaran Rata-rata per Kapita pada Bulan September 1
2013 Menurut Kelompok Makanan
2 Konsumsi Komoditas Pangan setiap Kapita/Tahun di Beberapa Negara 2
Tahun 2012
3 Karakteristik dan Struktur Pasar 17
4 Pencapaian Target Luas Tanam, Luas Panen, Produktivitas, Produksi 19
Komoditi Padi Kabupaten Cianjur Tahun 2013
5 Luas Areal Sawah (Ha) Berdasarkan Jenis Irigasi di Kecamatan 26
Cibeber Tahun 2011
6 Sebaran Petani Responden Berdasarkan Usia 27
7 Sebaran Petani Responden Berdasarkan Tingkat Pendidikan Terakhir 27
8 Sebaran Petani Responden Berdasarkan Lama Pengalaman Usahatani 28
Padi
9 Sebaran Petani Responden Berdasarkan Luas Lahan Usahatani Padi 28
10 Sebaran Petani Responden Berdasarkan Status Kepemilikan Lahan 29
Usahatani Padi
11 Fungsi Pemasaran di Setiap Lembaga Pemasaran 31
12 Marjin Pemasaran Setiap Lembaga Pemasaran pada Seluruh Saluran 48
13 Nilai Farmer’s Share pada Setiap Saluran Pemasaran 51
14 Total Rasio Keuntungan pada Setiap Saluran Pemasaran 52
15 Nilai Marjin, Farmer’s Share dan Rasio Keuntungan Terhadap Biaya 56
Pemasaran pada Setiap Saluran
DAFTAR GAMBAR
1 Kurva Marjin Pemasaran 15
2 Kerangka Pemikiran Operasional Penelitian 20
3 Saluran Pemasaran Beras Ciherang di Kecamatan Cibeber dengan 35
Konsumen Akhir di Cianjur
4 Saluran Pemasaran Beras Ciherang di Kecamatan Cibeber dengan 36
dengan Konsumen Akhir di Jakarta
DAFTAR LAMPIRAN 1 Biaya dan Marjin Pemasaran pada saluran 1 61
2 Biaya dan Marjin Pemasaran pada saluran 2 62
3 Biaya dan Marjin Pemasaran pada saluran 3 63
4 Biaya dan Marjin Pemasaran pada saluran 4 64
5 Biaya dan Marjin Pemasaran pada saluran 5 65
6 Biaya dan Marjin Pemasaran pada saluran 6 66
7 Biaya dan Marjin Pemasaran pada saluran 7 67
8 Biaya dan Marjin Pemasaran pada saluran 8 68
9 Biaya dan Marjin Pemasaran pada saluran 9 69
10 Biaya dan Marjin Pemasaran pada saluran 10 70
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2012
pangan adalah segala sesuatu dari sumber hayati, baik yang diolah maupun tidak,
diperuntukkan sebagai konsumsi dalam bentuk makanan atau minuman. Sumber
hayati tersebut dapat berasal dari produk pertanian, perkebunan, kehutanan,
perikanan, peternakan, perairan dan air. Bahan tambahan, bahan baku dan bahan
lainnya yang digunakan dalam proses penyiapan, pengolahan, pembuatan
makanan atau minuman juga termasuk pangan.
Universal Declaration of Human Right tahun 1948 dan Rome Declaration
on World Food Security tahun 1996 menyepakati bahwa setiap individu berhak
memperoleh pangan yang cukup. Itulah sebabnya setiap negara di dunia
menjadikan pertanian pangan sebagai hal yang sangat penting. Dalam UUD 1945
pasal 34 disebutkan bahwa negara bertanggungjawab dalam memenuhi kebutuhan
dasar, termasuk pangan.
Terpilihnya padi sebagai sumber karbohidrat utama adalah karena padi
memiliki kelebihan sifat tanaman bila dibandingkan dengan tanaman sumber
karbohidrat lainnya, antara lain: (1) memiliki produktivitas tinggi, (2) dapat
disimpan lama, dan (3) lahan sawah relatif tidak mengalami erosi (Taslim dan
Fagi dalam Sudiyono 2001). Menurut Mears dalam Sudiyono (2001), padi
menempati prioritas penting di Indonesia karena alasan-alasan berikut : (1) padi
adalah bahan konsumsi penting baik dari segi pengeluaran rumah tangga, sebagai
sumber kalori maupun sumber protein, (2) padi sebagai sumber pendapatan dan
kesempatan kerja bagi sebagian besar penduduk, (3) padi merupakan komoditas
politis. Menurut Khumaidi dalam Hata (2011), beras (padi-padian) telah
mengambil porsi terbesar dalam hidangan dan menjadi sumber energi terbesar
bagi penduduk Indonesia. Hal ini dapat dilihat melalui Tabel 1 yang menunjukkan
pengeluaran penduduk Indonesia untuk konsumsi beras (padi-padian) mencapai
7.46 persen dari total pengeluaran pada September 2013. Hal ini berarti penduduk
Indonesia masih bergantung pada beras sebagai pemenuhan pangan pokoknya.
Tabel 1 Persentase Pengeluaran Rata-rata per Kapita Penduduk Indonesia pada
Bulan September 2013 Menurut Kelompok Makanan
Sumber: Badan Pusat Statistika 2013
Kelompok Makanan Persentase Pengeluaran
Padi-padian 7.46
Umbi-umbian 0.47
Ikan 3.98
Daging 1.80
Telur dan susu 2.85
Sayur-sayuran 3.91
Kacang-kacangan 1.24
Buah-buahan 1.84
Makanan lain 23.64
Jumlah makanan 47.19
Bagi konsumen, beras tidak dapat dipungkiri merupakan makanan pokok di
Indonesia. Tingkat partisipasi konsumen beras mencapai 95 persen meskipun
tingkat tersebut bervariasi di setiap daerah di Indonesia. Hal ini disebabkan hasil
olahan beras yang dimasak, yakni nasi, memiliki rasa yang sesuai selera
masyarakat Indonesia. Selain itu, beras juga mengandung gizi yang sangat baik.
Setiap 100gr, beras giling memiliki energi 360 Kkal. Pemerintah juga amat
bekepentingan dengan komoditas beras tidak saja sebagai komoditas upah (wage
goods) tetapi juga komoditas politik (political goods). Tersedianya beras yang
cukup di pasar dan harganya yang stabil dapat mendorong berkembangnya
industri dan sektor lainnya. Apabila terjadi gejolak harga dan persediannya
berkurang di pasar maka akan meningkatkan keresahan sosial dan berbagai
tuntutan.
Menurut proyeksi Badan Pusat Statistik Indonesia (2010), total penduduk
Indonesia pada tahun 2012 mencapai 239 juta jiwa. Indonesia adalah
pengkonsumsi beras tertinggi di dunia dengan tingkat rata-rata konsumsi per
kapita penduduk mencapai 139 kg/tahun pada tahun 2012 (FAOSTAT 2012).
Berikut Tabel 2 dimana konsumsi beras merupakan komoditas pangan yang
paling banyak dikonsumsi penduduk Indonesia dibandingkan penduduk negara-
negara lain, seperti Malaysia, RRC, Jepang. Amerika Serikat (AS) dan dunia pada
tahun 2012.
Tabel 2 Konsumsi Komoditas Pangan setiap Kapita/Tahun di Beberapa Negara
Tahun 2012
Komoditas
Pangan
Konsumsi (Kg/Kapita/Tahun)
Indonesia Malaysia RRC Jepang AS Dunia
Beras 139.50 76.52 76.80 56.63 8.26 52.96
Daging 4.90 48.99 53.45 46.13 122.79 40.09
Susu 11.48 36.89 28.70 76.45 253.8 84.93
Telur 9.60 12.24 17.41 19.59 14.29 8.57
Ikan 31.64 50.08 26.46 60.78 24.05 16.69
Sayur 54.30 45.21 279.89 106.18 127.61 119.53
Buah 30.20 57.40 64.42 58.20 110.96 69.09
Sumber : FAOSTAT, untuk data Indonesia diolah BPS, Kementan, dan KK dalam Investor Daily
(2012)
Menurut Direktorat Perbenihan dan Direktorat Jenderal Tanaman Pangan,
varietas Ciherang mendominasi areal pertanaman padi di Indonesia. Pada tahun
2008, proporsi penyebarannya mendominasi di provinsi Jawa Barat, Jawa Tengah
dan Jawa Timur dengan persentase masing-masing sebesar 56.19%, 44.87%,
50.72%. Varietas unggul lainnya yang cukup populer di ketiga propinsi penghasil
beras ini adalah IR64, Cigeulis, Way Apoburu, Memberamo dan Cibogo.
Luas tanam padi di Indonesia pada tahun 2011 mencapai 12.8 juta hektar
dengan dominasi tanaman padi Ciherang 47 persen dan sisanya diisi IR64 dan
puluhan padi varietas lain (Haryono 2011). Menurut Darajat (2012), varietas
Ciherang mampu mendominasi preferensi masyarakat Indonesia karena rasa nasi
yang enak, memiliki potensi hasil tinggi dan tahan terhadap hama/penyakit serta
sangat laku di pasaran dalam negeri karena memiliki rendemen yang tinggi.
Provinsi Jawa Barat merupakan salah satu lumbung padi di Indonesia. Pada
tahun 2013 produksi padi di Jawa Barat mencapai 12 083 162 ton dari 71 291 494
ton total produksi nasional (Badan Pusat Statistika 2013). Kabupaten Cianjur
sendiri menjadi penyumbang yang cukup besar dibandingkan 25 kota dan
kabupaten lainnya untuk jumlah produksi padi di Provinsi Jawa Barat tersebut
yakni mencapai 868 538 ton pada tahun 2012 (Dinas Pertanian Jawa Barat 2012).
Hal ini menjadi suatu keunggulan bagi daerah tersebut dan seharusnya hasil
produksi yang cukup tinggi mendapatkan penanganan pasca produksi yang baik
dan efisien sehingga harga beli oleh konsumen tidak memberatkan mereka dan di
sisi lain petani tetap mendapatkan keuntungan yang mampu mendorongnya
meningkatkan skala usahanya. Hal ini juga dasar untuk mencapai ketahanan
pangan di Indonesia.
Kecamatan Cibeber merupakan salah satu daerah unggulan tanaman pangan
komoditas padi dengan menggunakan sistem irigasi pedesaan di Kabupaten
Cianjur menurut Surat Keputusan Bupati Nomor 520/KEP.240-DISTAN/2012
tentang perwilayahan tanaman pangan dan hortikultura. Hal ini ditunjukkan dari
jumlah gabah kering panen (GKP) pada tahun 2013 mencapai 52 582 ton dengan
produktivitas 7.22 ton/ha. Produktivitas yang ditunjukkan juga cukup baik karena
berada diatas produktivitas nasional tahun 2013 yakni 5.15 ton/ha. Produksi yang
besar ini juga menjadikannya salah satu kecamatan surplus beras yang
membutuhkan penanganan pasca produksi melalui proses tataniaga yang efisien.
Perumusan Masalah
Menurut Mardiyanto (2005), lembaga di tingkat petani masih belum banyak
berfungsi sebagai lembaga pemasaran. Keberadaan gabungan kelompok tani
maupun koperasi tani pada umumnya masih memiliki keterbatasan dalam
mengolah maupun mengevaluasi manajemen pemasaran sehingga kajian dalam
menganalisis pemasaran beras diperlukan untuk meningkatkan efisensi dan
efektivitas rantai pemasaran beras dari hasil produksi padi di Kecamatan
Cibeber, Kabupaten Cianjur, Jawa Barat. Di kecamatan ini petani umumnya
memanfaatkan sebagian dari hasil usahataninya untuk dikonsumsi sendiri (motif
subsisten).
Harga gabah kering panen (GKP) padi Ciherang di tingkat petani
berfluktuasi sekitar Rp 3.000-Rp 4 000/kg (Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan
Hortikultura Kabupaten Cianjur 2013) dan masih cukup jauh dari rata-rata harga
berasnya di pasar yakni Rp 8.533/kg sehingga diperlukan analisis untuk
memeriksa manfaat dan biaya yang dikeluarkan setiap lembaga yang terlibat.
Saat panen raya, harga gabah di tingkat petani juga sering anjlok karena
pada saat panen raya penawaran gabah dari petani meningkat melebihi
peningkatan permintaan dari lembaga pemasaran. Pemerintah telah berupaya
mengurangi dampak tertekannya harga saat panen raya tersebut melalui kebijakan
Harga Pembelian Pemerintah (HPP). Namun demikian, program pemerintah ini
tetap memiliki keterbatasan baik dari segi kemampuan maupun jangkauan
pemerintah. Oleh karena itu, diperlukan terobosan skim pemasaran yang
diharapkan mampu mengatasi rendahnya harga gabah saat panen raya dan
diharapkan petani mendapatkan keuntungan yang layak.
Kerugian akibat anjloknya harga gabah saat panen raya dapat diatasi dengan
melakukan tunda jual. Namun, sebagian besar petani tidak mempunyai posisi
tawar yang kuat. Hal ini disebabkan skala usaha petani yang kecil dan sebagian
besar petani memberlakukan hasil panennya sebagai cash crop. Hal ini
mengartikan bahwa petani membutuhkan segera uang tunai guna memenuhi
kebutuhan hidupnya serta untuk melakukan usahatani di musim berikutnya.
DPR RI telah menyahkan UU No 9 tahun 2006 tentang Sistem Resi
Gudang (SRG) yang kemudian diamandemen dengan UU No 9 tahun 2011. SRG
merupakan bukti kepemilikan atas barang atau gabah yang disimpan oleh para
petani di gudang (Documen of Title) yang dapat dialihkan, diperjualbelikan
bahkan dijadikan agunan tanpa perlu persyaratan agunan yang lain. Resi gudnag
sebagai instrumen surat berharga dapat diperdagangkan, diperjualbelikan,
dipertukarkan, ataupun digunakan sebagai jaminan saat peminjaman. Resi gudang
dapat juga digunakan untuk pengiriman barang dalam transaksi derivatif seperti
halnya kontrak serah (futures contract). Di Cianjur sendiri telah terdapat Sistem
Resi Gudang di Kecamatan Warungkondang sejak tahun 2011. Kementerian
Perdagangan yang menginisiasi SRG mengarapkan skim ini menjadi salah satu
solusi dalam rangka stabilisasi harga komoditas pertanian sekaligus untuk menjadi
stok komoditas seperti gabah. Secara mendalam, melalui penerapan SRG ini,
petani dapat menunda waktu penjualan hasil panen saat panen raya serta
menunggu saat yang tepat untuk mendapatkan harga yang lebih baik.
Menurut Sadaristuwati (2008), RG memiliki posisi penting dalam
meningkatkan kesejahteraan pelaku usaha di sektor pertanian dengan argumen
sebagai berikut (a) RG merupakan salah satu bentuk sistem tunda jual yang
menjadi alternatif dalam meningkatkan nilai tukar petani, (b) Di era perdagangan
bebas, RG sangat diperlukan untuk membentuk petani menjadi pengusaha yang
mandiri dan (c) SRG bisa memangkas pola perdagangan komoditas pertanian
sehingga petani bisa mendapatkan peningkatan harga jual. Namun dalam
implementasinya di lapangan, SRG memiliki banyak kendala di lapangan. Hal ini
karena sikap petani yang tidak sabar dengan sistem tunda jual produk yang
diagunkan dan terbatasnya sosialisasi mengenai SRG terutama di daerah-daerah
sentra pertanian seperti Kecamatan Cibeber ini. Selain itu, kualitas gabah atau
rendemen juga belum bisa konsisten baik dan kelompok tani yang seharusnya
dapat menghimpun hasil petani belum berjalan dengan baik. Hal ini sering
menjadi kendala karena pihak gudang baru mau menerima hasil panen petani
dengan syarat GKP minimal 10 ton. Di Kecamatan Cibeber, SRG sering
dimanfaatkan oleh pabrik beras yang memiliki persediaan gabah yang besar.
Kelompok tani merupakan hal penting yang diperlukan untuk meningkat
posisi tawar petani. Di Kabupaten Subang terdapat Gapoktan Panca Sari yang
terdiri dari petani padi Ciherang yang termasuk binaan program PMI (Peningkatan
Mutu Intensifikasi). Dalam kelompok terdapat kerjasama dan pembinaan teknik
budidaya tanaman padi yang baik (GAP) untuk meningkatkan produktivitas dan
kualitas gabahnya. Terdapat pula pembinaan efisiensi biaya usahatani
menggunakan teknologi spesifikasi lokasi yang dianjurkan oleh Dinas Pertanian
Tanaman Pangan Subang. Selain itu, terdapat pembinanan teknologi penggilingan
yang baik (GMP), penyusunan dokumen mutu, standar operasional (SOP) GAP
dan GMP serta uji preferensi konsumen produk beras dari Balai Besar Litbang
Pascapanen Pertanian, Litbang Deptan. Gapoktan Panca Sari merupakan gapoktan
yang berusaha meningkatkan produktivitas, mutu gabah/beras, efisiensi usahatani
dan konsistensi produksi. Melalui aktivitas tersebut dapat dijalin kemitraan antara
petani dengan penggilingan dengan tujuan jaminan harga dan pasar.
Pemasaran padi yang kemudian diolah menjadi beras merupakan hal yang
sangat penting dibahas karena merupakan kebutuhan pokok orang banyak. Beras
adalah komoditi pangan yang harus disediakan dengan jumlah, waktu, dan harga
yang tepat. Penjelasan ini akan mendasari rumusan permasalahan yang akan
dibahas untuk kepentingan penelitian yang berkaitan dengan analisis pemasaran
beras, yaitu:
1. Bagaimana saluran pemasaran beras Ciherang dan fungsi-fungsi pemasaran
yang dilakukan oleh lembaga-lembaga pemasaran di Kecamatan Cibeber,
Kabupaten Cianjur, Provinsi Jawa Barat?
2. Bagaimana struktur dan perilaku pasar pada masing-masing lembaga yang
terlibat dalam pemasaran beras Ciherang di Kecamatan Cibeber, Kabupaten
Cianjur, Provinsi Jawa Barat?
3. Bagaimana tingkat efisiensi saluran pemasaran beras Ciherang di
Kecamatan Cibeber dengan pendekatan marjin pemasaran, farmer’s share
serta rasio keuntungan dan biaya?
Tujuan Penelitian
Berdasarkan perumusan masalah maka tujuan dari penelitian ini adalah:
1. Menganalisis saluran pemasaran, fungsi, struktur dan perilaku pasar oleh
lembaga-lembaga pemasaran pada komoditas beras Ciherang di Kecamatan
Cibeber, Kabupaten Cianjur.
2. Menganalisis efisiensi pemasaran pada setiap saluran pemasaran beras
Ciherang di Kecamatan Cibeber dengan pendekatan marjin pemasaran,
farmer’s share serta rasio keuntungan dan biaya pemasaran.
Manfaat Penelitian
Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi pihak-
pihak yang berkepentingan, yaitu:
1. Bagi Penulis
Sebagai sarana dalam meningkatkan kemampuan menulis dalam
mengidentifikasi rantai pemasaran sebagai wujud aplikasi ilmu yang telah
diperoleh
2. Bagi Petani
Sebagai referensi dalam memutuskan saluran pemasaran yang efektif dan
efisien sehingga dapat melakukan kebijakan yang lebih tepat dalam
menyalurkan hasil produksi padi
3. Bagi Pemerintah
Sebagai bahan dalam mengidentifikasi kondisi lapang sistem pemasaran
padi Ciherang hingga menjadi beras. Hal ini membantu pemerintah dalam
mengontrol dan membentuk program-program yang turut mencapai sistem
pemasaran yang efektif dan efisien yang bertujuan meratakan keuntungan
Ruang Lingkup Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Kecamatan Cibeber, Kabupaten Bogor, Provinsi
Jawa Barat. Penelitian fokus membahas analisis pemasaran beras Ciherang.
Lembaga pemasaran yang menjadi responden adalah lembaga yang terlibat
langsung dalam proses pemasaran beras Ciherang di Kecamatan Cibeber dan
lembaga-lembaga yang berkaitan. Pendekatan yang digunakan dalam penelitian
ini adalah pendekatan efisiensi operasional saja. Efisiensi operasional
berhubungan dengan pelaksanaan aktivitas pemasaran yang dapat meningkatkan
rasio output-input. Dalam penelitian ini efisiensi diukur melalui analisis marjin
pemasaran, farmer’s share serta rasio biaya dan keuntungan untuk melihat tingkat
efisiensi pemasaran beras Ciherang hasil produksi petani di Kecamatan Cibeber.
Peneliti menganalisis sistem pemasaran beras dengan menelusuri saluran
distribusi dan mengevaluasi rantai-rantai pemasaran untuk meningkatkan efisiensi
saluran pemasaran.
TINJAUAN PUSTAKA
Karakteristik Komoditi Beras
Tanaman padi termasuk ke bangsa Oryza Sativa dan terdiri dari ribuan
varietas. Setiap varietas mempunyai ciri-ciri khas tersendiri sehingga berdasarkan
sudut bentuk tubuh (morphologic) tidak terdapat dua varietas padi yang
mempunyai bentuk tubuh (morphologie) yang sama. Antar varietas senantiasa
terdapat perbedaaan meskipun mungkin perbedaannya hanya sedikit. Perbedaan-
perbedaan yang nampak antara varietas yang satu dengan yang lain disebabkan
oleh perbedaaan dalam pembawaan atau sifat varietas. Namun demikian, diantara
ribuan varietas dari tanaman padi itu ada beberapa sifat yang sama untuk beberapa
varietas dan berdasarkan sifat-sifat yang sama, varietas padi dapat digolongkan
sebagai berikut:
1. Golongan Indica, pada umumnya terdapat di negara-negara yang termasuk
daerah tropis
2. Golongan Yaponica/sub-Yaponica, pada umumnya terdapat di negara-
negara di luar daerah tropis.
Padi varietas Ciherang merupakan hasil persilangan IR 64 terhadap
beberapa galur IR lainnya. Padi Ciherang dikenal tahan terhadap hama dan
penyakit terutama hama wereng Coklat biotipe 2 dan 3 serta penyakit Hawar
Daun Bakteri strain III dan IV. Varietas Ciherang memiliki umur tanaman 116-
125 hari dan cocok ditanam pada musim hujan dan kemarau dengan ketinggian di
bawah 500 meter dari permukaan laut (dpl) (Badan Litbang Pertanian 2013).
Komoditi beras berasal dari tumbuhan padi (Oryza sativa L.). Beras adalah
bagian biji yang terdiri dari aleuron, lapis terluar yang sering kali ikut terbuang
dalam proses pemisahan kulit. Selain itu terdapat endospermia, tempat sebagian
besar pati dan protein beras berada. Berikutnya terdapat embrio yang merupakan
calon tanaman baru (dalam beras tidak dapat tumbuh lagi, kecuali dengan bantuan
teknik kultur jaringan). Beras mengandung pati (sekitar 80-85 persen), protein,
vitamin (terutama pada aleuron), mineral dan air. Pati beras tersusun dari dua
polimer karbohidrat : amilosa, pati dengan struktur tidak bercabang dan disusun
oleh amilopektin, pati dengan stuktur bercabang dan bersifat lengket.
Perbandingan komposisi kedua golongan ini sangat mempengaruhi warna
(transparan atau tidak) dan tekstur nasi (lengket, lunak, keras atau pera).
Berikut ini beberapa ciri yang sering menjadi dasar pengelompokan beras,
yaitu (Haryadi 2006):
1. Asal daerah, seperti beras Cianjur, beras Solok, beras Delanggu dan beras
Banyuwangi
2. Varietas padi, misalnya beras Rojolele, beras Bulu dan beras IR
3. Cara pengolahan, dikenal beras tumbuk dan beras giling
4. Gabungan antara varietas dengan hasil penyosohan pada derajat yang
berbeda, yang berlaku untuk suatu daerah. Misalnya di Jawa Tengah dikenal
beras TP, SP dan BP; di Jawa Barat dikenal beras TA, BGA, dan TC.
Terdapat beberapa patokan dalam memilih beras yang baik, yakni (Moehyi
1992):
1. Beras berwarna keputih-putihan dan sedikit mengkilat. Beras yang
warnanya agak keabu-abuan tanda bahwa beras disimpan di tempat yang
lembab atau pernah basah. Warna beras yang agak kehijauan merupakan
tanda bahwa beras itu berasal dari padi yang belum masak benar waktu
digiling
2. Butir-butiran biji beras tampak utuh atau tidak banyak yang patah
3. Beras tidak mengeluarkan bau yang tidak wajar, seperti bau apek dan bau
karung
4. Beras tampak bersih dari kotoran seperti debu, ulat atau kutu beras dan
pasir.
Nasi adalah beras (atau kadang-kadang serelia lain) yang telah direbus dan
ditanak. Walaupun belum ada ketentuan untuk menetapkan ciri-ciri mutu nasi,
namun pada tingkat pasar, mutu rasa mempunyai kaitan langsung dengan selera
dan tingkat kesukaaan atau penerimaan konsumen dan dengan harga beras
(Juliana 1994). Rasa merupakan selera pribadi sehingga tidak termasuk dalam
syarat penetuan mutu beras secara baku. Namun, mutu rasa secara tidak langsung
sudah termasuk dalam pengelompokan jenis beras atau varietas padi.
Penentuan mutu rasa, nasi dapat digolongkan sebagai nasi pera dan nasi
pulen. Nasi pera merupakan nasi keras dan kering setelah dingin, tidak lekat satu
sama lain dan lebih mengembang daripada nasi pulen. Nasi pulen merupakan nasi
yang cukup lunak walaupun sudah dingin, bersifat lengket namun tidak sampai
seperti ketan. Selain itu, nasi pulen juga memiliki jarak antar biji yang lebih
berlekatan satu sama lain dan mengkilat.
Lembaga, Saluran dan Fungsi Pemasaran
Hata (2011) dengan judul penelitian “Analisis Tataniaga Beras di Indonesia
(Kasus : Jawa Barat dan Sulawesi Selatan)” menunjukkan bahwa sistem
pemasaran beras varietas unggul baru berbeda di setiap lokasi penelitian termasuk
mengenai lembaga yang terlibat dan saluran yang terbentuk. Sistem pemasaran
beras di Kabupaten Karawang terdiri dari sepuluh saluran tataniaga yang terdiri
dari makelar/komisioner, penggilingan, pedagang grosir, pedagang ritel, Subdivre
Bulog Karawang dan pedagang grosir luar daerah. Sistem pemasaran beras di
Kabupaten Cianjur terdiri dari tujuh saluran pemasaran yang terdiri dari
tengkulak, pedagang grosir, pedagang ritel dan pedagang grosir luar daerah.
Sistem pemasaran beras di Kabupaten Soppeng terdiri dari tiga belas saluran
pemasaran yang disusun oleh lembaga seperti tengkulak, penggilingan, pedagang
grosir, pedagang ritel, pengumpul luar daerah, Subdivre Bulog Sidrap dan
pedagang grosir luar daerah. Sedangkan di Kabupaten Wajo, saluran pemasaran
terdiri dari tengkulak, penggilingan, pedagang grosir, pedagang ritel, pengumpul
luar daerah, perusahaan benih, Subdivre Bulog Wajo dan pedagang grosir luar
daerah. Fungsi pemasaran di keempat lokasi penelitian tersebut relatif sama hanya
berbeda sebaran di setiap saluran. Fungsi pemasaran secara umum meliputi fungsi
pertukaran, fungsi fisik dan fungsi fasilitas telah dilakukan oleh lembaga-lembaga
pemasaran di empat daerah tersebut. Namun, tidak semua aktivitas dan fungsi
pemasaran tersebut dilakukan oleh masing-masing lembaga-lembaga.
Murdani (2008) dengan judul penelitian “Analisis Usahatani dan Pemasaran
Beras Varietas Pandan Wangi dan Varietas Unggul Baru (Kasus Kecamatan
Warungkondang, Kabupaten Cianjur, Jawa Barat)” menunjukkan pemasaran beras
Pandan Wangi di Warungkondang terdiri dari dua saluran, yakni (1) petani-
pedagang besar di Pasar Tani Deptan-konsumen dan (2) petani-Gapoktan Citra
Sawargi-CV, Quasindo-retail-konsumen. Pemasaran beras varietas unggul baru
terdiri dari tiga saluran yaitu (1) petani-pedagang-pengumpul-konsumen ; (2)
petani-pedagang pengumpul-pedagang besar (grosir)- konsumen dan (3) petani-
pedagang pengumpul-pedagang pengecer-konsumen. Lembaga-lembaga tersebut
juga melakukan fungsi-fungsi pemasaran seperti fungsi pertukaran, fisik dan
fasilitas.
Gandhi (2008) menganalisis usahatani dan tataniaga padi varietas unggul,
yakni padi Pandan Wangi di Kecamatan Warungkondang, Kabupaten Cianjur.
Hasil analisis pemasaran yang dilakukan adalah (1) Saluran pemasaran yang
terbentuk di lokasi penelitian memasarkan beras pandanwangi murni dan beras
pandawangi campuran. Jumlah saluran yang memasarkan beras pandanwangi
campuran (10 saluran) lebih banyak dibandingkan dengan yang murni (6 saluran).
(2) Lembaga-lembaga yang terlibat dalam penyaluran beras dari tingkat petani
hingga konsumen akhir adalah pedagang pengumpul, pedagang besar daerah dan
luar daerah, pasar swalayan, pedagang pengecer daerah dan luar daerah. Fungsi
pemasaran yang dilakukan oleh lembaga-lembaga tersebut berupa fungsi
pertukaran (pembelian dan penjualan), fungsi pengadaan secara fisik
(penyimpanan, pengolahan dan pengangkutan) serta fungsi pelancar (sortasi dan
grading).
Secara umum, fungsi-fungsi pemasaran telah dijalankan oleh lembaga-
lembaga pemasaran. Pada pemasaran beras di Cianjur, pada umumnya melibatkan
pedagang diluar daerah seperti pada penelitian Hata (2011) dan Gandhi (2008)
Struktur dan Perilaku Pasar
Hata (2011) dengan judul penelitian “Analisis Tataniaga Beras di Indonesia
(Kasus : Jawa Barat dan Sulawesi Selatan) menunjukkan bahwa struktur pasar
yang terbentuk pada sistem pemasaran beras di Kabupaten Karawang, Kabupaten
Cianjur, Kabupaten Soppeng dan Kabupaten Wajo mengarah pada pasar
persaingan tidak sempurna yaitu pasar oligopolistik. Pada umumnya pasar
dikuasai dan dipengaruhi oleh lembaga penggilingan dan pedagang grosir. Hal ini
dikarenakan jumlah penggilingan dan pedagang grosir yang sedikit dan memiliki
kemampuan modal yang besar untuk menyerap gabah dan beras dalam jumlah
banyak. Struktur pasar tesebut berpengaruh kepada perilaku lembaga pemasaran
dalam pasar beras. Praktek jual beli yang dilakukan pada umumnya dilakukan
dengan jual beli putus namun ada juga menggunakan praktek jual beli tebasan.
Jual beli tebasan umumnya dilakukan tengkulak atau penggilingan. Struktur pasar
menjadikan tengkulak dan penggilingan memiliki posisi tawar yang kuat dalam
penentuan harga ketika berhadapan dengan petani. Penentuan harga yang
dilakukan antara penggilingan dengan grosir adalah melalui proses tawar
menawar. Sedangkan penentuan harga antara pedagang ritel dengan konsumen
menjadikan pedagang ritel sebagai penetap harga.
Perilaku pasar pada sistem tataniaga di empat lokasi penelitian
menunjukkan adanya perilaku sistem pembayaran tunai dan sistem tunda bayar.
Adapun sistem tunda bayar menunjukkan rendahnya posisi tawar petani terhadap
lembaga pemasaran lainnya pada musim panen raya. Umumnya, kerjasama antar
lembaga tataniaga belum terkoordinasi dengan baik. Petani merupakan lembaga
pemasaran yang paling rendah posisi tawarnya.
Perilaku pasar hasil penelitian Hata (2011) memiliki relevansi dengan
penelitian yang dilakukan oleh Aditama (2011) yang berjudul “Analisis Tataniaga
Beras di Desa Kenduren, Kecamatan Wedung, Kabupaten Demak” Lembaga-
lembaga yang terlibat dalam alur pemasaran tersebut yaitu petani, tengkulak,
RMU, grosir dan ritel. Tengkulak masih menjadi pihak yang dominan menerima
penjualan gabah hasil panen petani. Sebagian besar tengkulak membeli hasil
panen dengan sistem tebas. Sistem tebas banyak dipilih karena petani
membutuhkan uang cepat dan kemudahan fasilitas untuk panen. Karena petani
dengan skala kecil dalam jumlah banyak dan petani tidak melakukan tunda bayar,
hal ini mempengaruhi struktur pasar di tingkat petani. Berdasarkan fungsi, Bulog
sebagai lembaga yang memberikan jaminan harga dan pasar bagi produsen dan
petani dinilai belum berfungsi dengan baik. Hal ini ditunjukkan dengan aktivitas
Bulog yang hanya menyerap beras dari grosir dan RMU.
Struktur pasar pada sistem tataniaga penelitian Hata (2011) memiliki
perbedaan dengan penelitian Fitriani (2012) berjudul “Analisis Tataniaga Padi
Varietas Ciherang di Kecamatan Pamijahan Kabupaten Bogor Provinsi Jawa
Barat”. Hasil penelitian menunjukkan terdapat beberapa pelaku dan lembaga
pemasaran seperti petani, pedagang pengumpul, pedagang besar, pedagang
pengecer hingga sampai ke konsumen akhir. Struktur pasar pada setiap lembaga
cenderung merupakan pasar persaingan sempurna yang ditandai dengan
karakteristik komoditi yang homogen dan penjual pembeli banyak disertai
hambatan keluar-masuk pasar kecil.
Marjin Pemasaran, Farmer’s Share dan
Rasio Keuntungan Terhadap Biaya Pemasaran
Hata (2011) dengan judul penelitian “Analisis Tataniaga Beras di Indonesia
(Kasus : Jawa Barat dan Sulawesi Selatan) menunjukkan secara umum pemasaran
beras di Kabupaten Karawang dan Cianjur memiliki nilai marjin yang lebih tinggi
dari pemasaran beras di Kabupaten Soppeng dan Wajo. Lembaga pemasaran di
Kabupaten Karawang dan Cianjur lebih sedikit dari Kabupaten Soppeng dan Wajo
tetapi teknologi yang digunakan lebih modern serta citra dan kualitas beras Jawa
Barat telah dianggap lebih baik oleh konsumen. Hal ini menyebabkan lembaga-
lembaga pemasaran beras di Karawang dan Cianjur dapat menetapkan keuntungan
per kilogram yang lebih besar daripada lembaga pemasaran beras di Kabupaten
Soppeng dan Wajo. Hal ini ditunjukkan oleh nilai farmer’s share di Kabupaten
Karawang dan Cianjur lebih rendah daripada di Kabupaten Soppeng dan Wajo.
Alasan ini menyebabkan rasio keuntungan dan biaya Kabupaten Karawang dan
Cianjur lebih merata dibandingkan di kabupaten Soppeng dan Wajo. Hal ini
menunjukkan bahwa dengan fungsi pemasaran, struktur pasar dan perilaku pasar
yang sama, sistem pemasaran beras Provinsi Jawa Barat lebih efisien dibandingan
tataniaga beras di Provinsi Sulawesi Selatan.
Murdani (2008) dengan judul penelitian “Analisis Usahatani dan Pemasaran
Beras Varietas Pandan Wangi dan Varietas Unggul Baru (Kasus Kecamatan
Warungkondang, Kabupaten Cianjur, Jawa Barat)” menunjukkan pemasaran beras
Pandan Wangi di Warungkondang terdiri dari dua saluran, yakni (1) petani-
pedagang besar di Pasar Tani Deptan-konsumen dan (2) petani Gapoktan Citra
Sawargi-CV Quasindo-retail-konsumen. Pemasaran beras varietas unggul baru
terdiri dari tiga saluran yaitu (1) petani-pedagang-pengumpul-konsumen (2)
petani-pedagang pengumpul-pedagang besar (grosir)- konsumen dan (3) petani-
pedagang pengumpul-pedagang pengecer-konsumen. Saluran pemasaran beras
Pandan Wangi yang dapat dikatakan efisien adalah saluran (2c) karena memiliki
total marjin yang terkecil, nilai farmer’s share terbesar jika dibandingkan dengan
saluran (2a) dan (2b) serta rasio lembaga pemasaran salurannya juga paling
merata. Saluran pemasaran beras varietas unggul baru yang dapat dikatakan
efisien adalah saluran pemasaran (2) karena memiliki total marjin terkecil, nilai
farmer’s share terbesar dan penyebaran rasio pada setiap lembaga pemasaran di
saluran (2) lebih merata dibandingkan dengan saluran lainnya. Disamping itu,
saluran pemasaran (2) lebih banyak digunakan sehingga volume penjualan lebih
banyak.
Penelitian yang dilakukan oleh Aditama (2011) yang berjudul “Analisis
Tataniaga Beras di Desa Kenduren, Kecamatan Wedung, Kabupaten Demak”.
Saluran dengan total marjin terkecil yakni Rp 1 464. Berdasarkan farmer’s share,
terdapat saluran terbesar dengan nilai farmer’s share yakni 71 persen. Melalui
analisis rasio keuntungan dan biaya, terdapat saluran dengan rata-rata rasio
sebesar 3.64 yang dinilai paling efisien dibandingkan saluran lain. Terdapat juga
saluran dengan volume perdagangan terbesar yakni 2 581.9 ton atau 21.22 persen
dari total pangsa pasar perdagangan bebas yang berarti memberikan prospek
terbaik kepada petani dan seluruh lembaga untuk memasarkan produknya.
Judul penelitian Fitriani (2012) adalah “Analisis Tataniaga Padi Varietas
Ciherang di Kecamatan Pamijahan Kabupaten Bogor Provinsi Jawa Barat”.
Analisis menggunakan pendekatan marjin pemasaran, farmer’s share serta rasio
kuntungan dan biaya yang menunjukkan bahwa tingkat efisiensi oleh masing-
masing lembaga tataniaga setiap saluran berbeda-beda. Berikut tingkat efisiensi
setiap saluran pemasaran padi varietas Ciherang di Kecamatan Pamijahan tahun
2012 : saluran pemasaran I total marjinnya Rp 6 200, rasio Li/Ci 1,61, farmer’s
share 40.95 persen ; saluran pemasaran II total marjinnya Rp 4 000, rasio Li/Ci
1.50, farmer’s share 48.72 persen ; saluran pemasaran III total marjinnya Rp 4
240, rasio sebesar Li/Ci 1.46, farmer’s share 44.21 persen.
Terdapat perbedaan antara penelitian Murdani (2008) dengan Fitriani
(2012). Murdani (2008) menemukan saluran yang paling efisien adalah saluran
yang semua indikator efisiennya berada pada saluran yang sama. Namun, Fitriani
(2012) menemukan bahwa indikator marjin pemasaran, farmer’s share dan rasio
keuntungan terhadap biaya yang efisien secara teori pemasaran tidak berada
dalam satu saluran yang sama.
KERANGKA PEMIKIRAN
Kerangka Pemikiran Teoritis
Kerangka pemikiran teoritis merupakan batasan teori yang digunakan
sebagai landasan penelitian. Kerangka pemikiran teoritis menggambarkan variabel
yang akan diteliti. Variabel yang akan diteliti dalam penelitian ini terdiri dari
sistem dan pola saluran pemasaran, fungsi lembaga pemasaran, struktur dan
perilaku pasar serta efisiensi pemasaran berdasarkan marjin pemasaran, farmer's
share dan rasio keuntungan terhadap biaya.
Konsep Pemasaran
Menurut Asmarantaka (2012), pemasaran atau tataniaga dari perspektif
makro merupakan aktivitas atau kegiatan dalam mengalirkan produk mulai dari
petani (produsen primer) sampai ke konsumen akhir.
John Philips (1968) mendefenisikan pemasaran pertanian semua aktivitas
perdagangan yang meliputi aliran barang-barang dan jasa-jasa secara fisik dari
pusat produksi pertanian ke pusat konsumsi pertanian.
Defenisi tataniaga menurut Limbong dan Sitorus (1987) adalah segala
kegiatan dan usaha yang berhubungan dengan perpindahan hak milik dan fisik
dari barang hasil pertanian dan kebutuhan usaha pertanian dari produsen ke tangan
konsumen, temasuk di dalamnya kegiatan-kegiatan tertentu yang menghasilkan
perubahan bentuk dan dari barang yang dimaksud untuk lebih memudahkan
penyalurannya dan memberikan kepuasan lainnya kepada konsumennya. Oleh
karena itu, dalam tataniaga pertanian terdapat perpindahan kepemilikan yang
menciptakan kegunaan waktu (time utility), tempat (place utility), bentuk (form
utility) terhadap komoditi-komoditi pertanian.
Konsep Lembaga, Saluran dan Fungsi Pemasaran
Lembaga pemasaran adalah badan usaha atau individu yang
menyelenggarakan pemasaran, menyalurkan jasa dan komoditi dari produsen ke
konsumen akhir serta mempunyai hubungan dengan badan usaha atau individu
lainnya. Lembaga pemasaran ini timbul karena adanya keinginan konsumen untuk
memperoleh komoditi yang sesuai dengan waktu, tempat, dan bentuk yang
diinginkan konsumen. Tugas lembaga pemasaran ini adalah menjalankan fungsi-
fungsi pemasaran serta memenuhi keinginan konsumen semaksimal mungkin.
Konsumen memberikan balas jasa kepada lembaga pemasaran berupa marjin
pemasaran.
Menurut penguasaannya terhadap komoditi yang diperjualbelikan, lembaga
pemasaran dapat dibedakan menjadi tiga, yaitu :
1. Lembaga yang tidak memiliki tapi menguasai benda seperti agen perantara,
makelar (broker, selling broker, dan buying broker)
2. Lembaga yang memiliki dan menguasai komoditi-komoditi pertanian yang
diperjualbelikan seperti pedagang pengumpul, tengkulak, eksportir, dan
importir
3. Lembaga tataniaga yang tidak memiliki dan menguasai komoditi-komoditi
pertanian yang diperjualbelikan seperti perusahaan-perusahaan penyediaan
fasilitas-fasilitas transportasi, asuransi pemasaran dan perusahaan penentu
kualitas produk pertanian.
Khols dan Uhls dalam Asmarantaka (2012) menjelaskan bahwa lembaga
pemasaran adalah badan-badan yang menyelenggarakan kegiatan atau fungsi
fungsi pemasaran dimana barang bergerak dari produsen sampai ke konsumen
akhir. Lembaga pemasaran ini bisa termasuk golongan produsen, pedagang
perantara dan lembaga pemberi jasa.
Lembaga pemasaran merupakan lembaga perantara yang melakukan
aktivitas bisnis dalam suatu sistem pemasaran. Menurut Khols dan Uhls (1990),
lembaga-lembaga yang terlibat dalam proses pemasaran digolongkan menjadi
lima kelompok diantaranya:
1. Pedagang perantara (merchant middlemen) adalah individu pedagang yang
melakukan penanganan berbagai fungsi tataniaga dalam pembelian dan
penjualan produk dari produsen ke konsumen. Pedagang ini memiliki dan
menguasai produk. Pedagang pengumpul, pedagang eceran, dan pedagang
grosir termasuk pedagang perantara. Pedagang grosir merupakan pedagang
yang menjual produknya kepada pedagang eceran dan pedagang lainnya.
Volume usahanya relatif lebih besar daripada pedagang eceran. Sedangkan
pedagang eceran sendiri merupakan pedagang yang menjual produknya
langsung ke konsumen akhir.
2. Agen perantara (agent middlemen), hanya mewakili klien yang disebut
principlas dalam melakukan penanganan produk /jasa. Kelompok ini hanya
menguasai produk. Komisioner, juru lelang, dan komisioner merupakan
bagian yang termasuk dalam kelompok ini. Komisioner memiliki kekuasaan
yang lebih luas dalam penanganan fisik dan penetapan harga produk
dibandingkan komisioner.
3. Spekulator (speculative middlemen) adalah pedagang perantara yang
membeli-menjual produk untuk mendapatkan keuntungan dari pergerakan
harga. Biasanya spekulator bekerja dalam jangka pendek dengan
memanfaatkan fluktuasi harga. Dalam kondisi tetentu, pedagang grosir dan
eceran menjadi spekulator melalui penanganan dan beli-jual yang
meminumkan risiko.
4. Pengolah dan Pabrikan (processors and manufactures) adalah kelompok
pebisnis yang aktivitasnya menangani produk dan merubah bentuk menjadi
bahan setengah jadi atau produk akhir. Aktivitasnya meningkatkan nilai
tambah waktu, bentuk, tempat, maupun kepemilikan dari bahan baku.
5. Organisasi (facilitative organization) yang membantu memperlancar
aktivitas pemasaran misal membuat peraturan-peraturan, kebijakan,
pelelangan, dan asosiasi importir maupun eksportir
Saluran pemasaran atau saluran distribusi adalah saluran yang digunakan
produsen dan lembaga pemasaran lainnya untuk menyalurkan produknya dari
produsen sampai konsumen. Menurut Limbong dan Sitorus dalam Sudiyono
(2001), saluran pemasaran merupakan himpunan perusahaan dan perorangan yang
mengambil alih hak atau membantu mengalihkan hak atas barang atau jasa
tertentu selama barang atau jasa tertentu berpindah dari produsen hingga ke
konsumen. Jumlah pihak yang terlibat dalam proses pengalihan barang atau jasa
tersebut akan mempengaruhi panjangnya saluran pemasaran. Ada beberapa faktor
yang harus dipertimbangkan dalam memilih saluran pemasaran (Limbong dan
Sitorus dalam Sudiyono 2001), yaitu :
1. Pertimbangan pasar : siapa konsumen (rumah tangga atau industri),
besarnya potensi pembelian, bagaimana konsentrasi pasar secara geografis,
berapa jumlah pesanan dan bagaimana kebiasaan konsumen dalam membeli
2. Pertimbangan produk : berapa besar nilai per unit barang tersebut, besar dan
berat barang (mudah rusak atau tidak), sifat teknis (berapa barang atau
standar atau pesanan) dan bagaimana luas produk yang bersangkutan
3. Pertimbangan dari segi perusahaan : sumber permodalan, kemampuan dan
pengalaman manajerial, pengawasan penyaluran dan pelayanan yang
diberikan penjual
4. Pertimbangan terhadap lembaga perantara meliputi : pelayanan yang dapat
diberikan oleh lembaga perantara, sikap perantara terhadap kebijakan
produsen, volume dan pertimbangan biaya.
Menurut Sa'id dan Intan (2001), fungsi pemasaran didefenisikan sebagai
serangkaian aktivitas fungsional yang dilakukan oleh lembaga-lembaga
pemasaran, baik proses aktivitas fisik maupun proses jasa, yang ditujukan untuk
memberikan kepuasan kepada konsumen sesuai dengan kebutuhan dan
keinginannya melalui penciptaan atau penambahan kegunaan bentuk, waktu,
tempat, dan kepemilikan terhadap suatu produk.
Fungsi pemasaran dikelompokkan menjadi tiga fungsi utama, yaitu :
1. Fungsi Pertukaran, meliputi :
a) Fungsi Pembelian
Sebagian besar adalah pencarian sumber persediaan bahan baku,
penetapan jumlah dan kualitas barang dibeli, penetapan harga dan
syarat pembelian
b) Fungsi Penjualan Produk
Aktivitas yang berhubungan dengan penciptaan permintaan terhadap
produk, pencarian pasar, penentuan jumlah, kualitas serta saluran
tataniaga produk.
2. Fungsi Fisik, meliputi :
a) Fungsi Penyimpanan
Fungsi utama untuk membuat kondisi barang tetap baik sampai saat
konsumen menginginkannya
b) Fungsi Pengangkutan
Fokus utama membuat komoditi berada pada tempat yang tepat
diinginkan
c) Fungsi Pengolahan Produk
Aktivitas yang berhubungan dengan manufaktur yang mengubahss
bahan mentah menjadi produk yang diinginkan
d) Fungsi Pengemasan
Fokus membungkus barang dengan tampilan ukuran yang diinginkan
3. Fungsi Fasilitas, meliputi :
a) Fungsi Permodalan
Melibatkan aktivitas pengadaan uang atau modal lain dalam proses
pemasaran
b) Fungsi Penanggulangan Risiko
Penerimaan kemungkinan kerugian dalam pemasaran produk karena
risiko fisik dan pasar.
c) Fungsi Informasi Pasar
Aktivitas mengumpulkan dan menginterpretasikan data yang penting
dalam pelaksanaan proses pemasaran.
a) Fungsi Standarisasi
Keseragaman ukuran dalam penentuan dan perawatan produk. Ukuran
termasuk dalam kuantitas maupun kualitas.
Konsep Rasio Keuntungan dan Biaya
Tingkat efisiensi tataniaga dapat diukur melalui besarnya rasio keuntungan
terhadap biaya tataniaga. Penyebaran rasio keuntungan dan biaya yang semakin
merata serta semakin rendahnya marjin pemasaran terhadap biaya pemasaran
menunjukkan bahwa sistem pemasaran tersebut semakin efisien secara
operasional.
Konsep Marjin Pemasaran
Marjin pemasaran dapat didefenisikan dengan dua cara, yaitu : Pertama,
marjin pemasaran merupakan perbedaaan antara harga yang dibayarkan konsumen
dengan harga yang diterima petani (Daly dalam Asmarantaka 2012). Kedua,
marjin pemasaran merupakan biaya dari jasa-jasa pemasaran yang dibutuhkan
sebagai akibat permintaan dan penawaran dari jasa-jasa pemasaran (Waite dan
Trelogan dalam Asmarantaka 2012). Komponen-komponen marjin pemasaran ini
terdiri dari biaya-biaya yang diperlukan lembaga-lembaga pemasaran untuk
melakukan fungsi-fungsi pemasaran yang disebut biaya pemasaran atau biaya
fungsional. Selain itu, terdapat pula keuntungan lembaga pemasaran sebagai
komponen marjin pemasaran. Apabila dalam pemasaran suatu produk pertanian,
terdapat lembaga-lembaga yang melakukan fungsi-fungsi pemasaran, maka marjin
pemasaran secara matematis dapat ditulis sebagai :
M = Cij+∑ j
dimana :
M = marjin pemasaran
Cij = biaya pemasaran untuk melaksanakan fungsi pemasaran ke-i oleh lembaga
pemasaran ke-j
j = keuntungan yang diperoleh lembaga pemasaran ke-j
m = jumlah jenis biaya pemasaran
n = jumlah lembaga pemasaran
Marjin pemasaran dapat dianalisis melalui pendekatan kurva berikut :
Gambar 1 Kurva Marjin Pemasaran Sumber : Dahl dan Hammond (1977)
Keterangan :
Q = jumlah barang
Pr = harga tingkat eceran
Pf = harga tingkat petani
Sr = kurva penawaran tingkat pasar eceran
Sf = kurva penawaran tingkat petani
Dr = kurva permintaan tingkat pasar eceran
Df = kurva permintaan tingkat petani
Permintaan konsumen atas suatu produk di tingkat pengecer disebut
permintaan primer. Permintaan suatu produk di tingkat petani disebut permintaan
turunan sebab permintaan ini diturunkan dari permintaan konsumen di tingkat
pengecer.
Berdasarkan sisi penawaran, penawaran primer adalah penawaran komoditi
pertanian di tingkat petani. Penawaran primer ini biasanya berupa penawaran
bahan mentah ataupun bahan baku sedangkan penawaran turunan adalah
penawaran di tingkat pengecer.
Menurut Daly (1958), harga yang dibayarkan kosumen merupakan harga di
tingkat pengecer, yaitu merupakan perpotongan antara kurva permintaan primer
(primary demand curve) dengan kurva penawaran turunan (derived supply curve).
Harga di tingkat petani merupakan potongan antara kurva permintaan turunan
(derived demand curve) dengan kurva penawaran primer (primary supply curve).
Gambar 1 menginformasikan kurva permintaan primer yang berpotongan
dengan kurva penawaran turunan membentuk harga di tingkat pengecer (pr).
Sedangkan kurva permintaan turunan berpotongan dengan kurva penawaran
Marketing margin
(Pr-Pf)
Value of the marketing margin
(VMM= (Pr-Pf). Q)
VMM
primer membentuk harga di tingkat petani (pf). Marjin pemasaran sama dengan
selisih harga di tingkat pengecer dengan harga di tingkat petani (M= Pr-Pf).
Berdasarkan gambar 1 dapat diukur nilai marjin pemasaran atau value of the
marketing margin (VMM) yang dinikmati oleh lembaga-lembaga pemasaran yang
terlibat dalam pemasaran komoditi pertanian. Nilai marjin pemasaran merupakan
hasil kali antara perbedaaan harga di tingkat pengecer dengan harga di tingkat
petani dengan jumlah yang ditransaksikan (VMM= (Pr-Pf). Q)
Marjin pemasaran yang semakin besar belum tentu menunjukkan suatu
pemasaran semakin tidak efisien. Apabila marjin pemasaran besar dan biaya untuk
melaksanakan fungsi-fungsi pemasaran juga besar, agar komoditi pertanian yang
dihasilkan sesuai dengan keinginan konsumen maka keuntungan pemasaran
menjadi kecil. Untuk menentukan apakah tingginya marjin pemasaran
menyebabkan ketidakefisienan pemasaran maka dalam menganalisis pemasaran
harus mempertimbangkan aspek-aspek berikut :
1. Penggunaan teknologi baru dalam proses produksi dapat menekan biaya
produksi sehingga marjin pemasaran tampak cukup besar
2. Adanya kecenderungan konsumen untuk mengkonsumsi produk jadi,
walaupun harganya lebih mahal
3. Adanya spesialisasi produksi yang pada akhirnya dapat menaikkan biaya
pemasaran terutama biaya transfer
4. Adanya tambahan biaya pengolahan dan penyimpanan untuk meningkatkan
kegunaan bentuk
5. Meningkatnya upah buruh dan tenaga kerja, terutama di sub sektor
pemasaran eceran.
Konsep Perilaku Pasar
Analisis efisiensi pemasaran berdasarkan tingkah laku pasar adalah
bagaimana peserta pasar, yaitu produsen, konsumen dan lembaga pemasaran
menyesuaikan diri terhadap situasi penjualan dan pembelian yang terjadi. Dalam
menganalisis tingkah laku pasar ini maka terdapat tiga pihak peserta pasar yang
mempunyai kepentingan berbeda. Produsen menginginkan harga yang tinggi,
pasar output secara lokal, terdapat pilihan pembeli (tidak terjadi struktur
monopsonis maupun oligopsonistik), tersedia waktu dan informasi pasar yang
cukup dan adanya kekuatan tawar-menawar yang lebih kuat. Lembaga pemasaran
menginginkan keuntungan yang maksimal, yaitu selisih marjin pemasaran dengan
biaya untuk melaksanakan fungsi-fungsi pemasaran relatif besar. Konsumen
menginginkan tersedianya produk pertanian sesuai kebutuhan konsumen dengan
harga yang wajar.
Tingkah laku pasar dapat semakin efisien dengan adanya :
1. Praktek-praktek penentuan harga harus memungkinkan adanya grading dan
standarisasi komoditi pertanian
2. Biaya pemasaran harus seragam
3. Penentuan harga harus bebas dari praktek-praktek kerjasama yang tidak
jujur
4. Intervensi pemerintah dalam bentuk kebijakan harga harus dapat
memperbaiki mutu produk dan peningkatan keputusan konsumen.
Konsep Struktur Pasar
Struktur pasar merupakan salah satu elemen penting dalam melakukan
analisis tataniaga. Teknologi produksi, skala produksi, intervensi pemerintah, dan
penguasaan sumberdaya tertentu menyebabkan suatu perusahaan memiliki kuasa
pasar yang sangat menentukan struktur pasar tersebut. Menurut Limbong dan
Sitorus (1987), terdapat tiga indikator dalam menganalisis struktur pasar, yaitu, :
(1) konsentrasi pasar dan jumlah produsen, (2) sistem keluar masuk barang yang
terjadi di pasar dan (3) difrensiasi produk.
Menurut Dahl dan Hammond (1977), terdapat empat faktor penentu dari
karakteristik struktur pasar, yaitu (1) jumlah dan ukuran penjual dan pembeli, (2)
keadaan produk yang diperjualbelikan, (3) Kemudahan masuk dan keluar pasar,
(4) pengetahuan konsumen terhadap harga dan struktur biaya produksi.
Ditinjau dari sisi penjualan, maka struktur pasar dibedakan menjadi : (1)
pasar persaingan sempurna, (2) persaingan monopolistik, (3) oligopoli, (4)
monopoli. Sedangkan dari sisi pembeli, maka struktur pasar dapat dibedakan
menjadi : (1) pasar persaingan sempurna, (2) olipgosonistik, (3) olipgosoni, (4)
monopsoni. Karakteristik masing-masing struktur pasar dapat dilihat pada Tabel
3.
Tabel 3 Karakteristik dan Struktur Pasar
Karakteristik Pasar Struktur Pasar
No Jumlah
Pembeli
Jumlah
Penjual
Sifat
Produk
Pengetahuan
Informasi
Pasar
Hambatan
Keluar
Masuk
Pasar
Sisi
Pembeli
Sisi
Penjual
1 Banyak Banyak Homogen Rendah Rendah Persaingan
murni
Persaingan
murni
2 Banyak Banyak Difrensiasi Tinggi Tinggi Persaingan
monopolistik
Persaingan
monopolistik
3 Sedikit Sedikit Homogen Tinggi Tinggi Oligopsoni
murni
Oligopoli
murni
4 Sedikit Sedikit Difrensiasi Tinggi Tinggi Oligopsoni
difrensiasi
Oligopoli
difrensiasi
5 Satu Satu Unik Tinggi Tinggi Monopsoni Monopoli
Sumber : Dahl dan Hammond (1977)
Pengoptimuman efisiensi pemasaran pertanian di negara berkembang dapat
dilakukan dengan kriteria struktur pasar sebagai berikut : (1) ukuran jumlah
pembeli dan penjual harus banyak sehingga menjamin adanya suatu intensitas
persaingan yang memadai dalam hal harga dan kualitas produk, (2) adanya
kebebasan masuk dan keluar pasar bagi lembaga-lembaga pemasaran, (3) jumlah
pembeli harus memadai sehingga mendorong peningkatan efisiensi investasi
dalam usaha pemasaran komoditi pertanian.
Konsep Efisiensi Pemasaran
Efisiensi sistem pemasaran merupakan tujuan akhir yang ingin dicapai
dalam suatu sistem pemasaran. Efisiensi pemasaran dapat tercapai jika sistem
tersebut dapat memberikan kepuasan pihak-pihak yang terlibat produsen,
konsumen akhir, dan lembaga-lembaga pemasaran. Sistem pemasaran yang
efisien akan tercapai apabila seluruh lembaga pemasaran yang terlibat dalam
kegiatan memperoleh kepuasan dengan aktivitas pemasaran tersebut (Limbong
dan Sitorus dalam Sudiyono 2011). Penurunan biaya input dari pelaksanaan
pekerjaan tertentu tanpa mengurangi kepuasan konsumen akan output barang dan
jasa menunjukkan efisiensi.
Pengukuran efisensi pemasaran dapat menggunakan pendekatan efisiensi
operasional dan efisiensi penetapan harga. Efisiensi operasional digunakan untuk
mendekati efisensi produksi sedangkan penetapan harga digunakan untuk
medekati efisiensi distribusi dan kombinasi produk optimum.
Efisiensi operasional diukur dengan membandingkan output pemasaran
terhadap input pemasaran. Output berupa kepuasan konsumen bukan hanya
terhadap fisik produk, namun termasuk atribut lain dan nilai tambah produk. Input
didekati melalui biaya pemasaran yang dikeluarkan.
Efisiensi penetapan harga berhubungan dengan keefektifan pemasaran
sehingga harga dapat digunakan untuk menilai hasil kerja proses pemasaran dalam
menyampaikan ouput pertanian dari daerah produsen ke konsumen. Usaha
peningkatan efisiensi penetapan harga ini juga harus memungkinkan adanya
perbaikan dalam tata cara pelaksanaan pembelian, penjualan, dan harga dalam
proses pemasaran sehingga terdapat keuntungan yang layak bagi lembaga
pemasaran untuk mengantarkan output pertanian dari daerah produksi ke daerah
konsumsi. Menurut A.M. Saefildin (1969), dalam membangun efisiensi penetapan
harga, diperlukan : (1) terjaminnya banyak alternatif pilihan bagi konsumen,
artinya konsumen tidak berhadapan dengan pasar output yang bersaing tidak
sempurna, (2) perbedaan harga tingkat produsen dengan harga tingkat konsumen,
harus cukup mencerminkan biaya pelaksanaan fungsi-fungsi pemasaran, (3)
adanya kebebasan bagi lembaga pemasaran untuk masuk-keluar pasar, artinya
apabila tercapai keuntungan ekonomi, lembaga pemasaran baru boleh masuk
dalam pasar dan apabila tidak tercapai keuntungan normal, lembaga pemasaran
boleh keluar pasar.
Konsep Farmer’s Share
Menurut Khols dan Uhls (1990), farmer’s share adalah persentase harga
yang diterima petani sebagai imbalan dari kegiatan usahatani yang dilakukannya
dalam menghasilkan suatu komoditas. Nilai farmer’s share ditentukan oleh
besarnya rasio harga yang diterima oleh produsen terhadap harga yang yang
dibayarkan oleh konsumen. Secara matematik dapat dirumuskan :
Keterangan :
Fs = farmer’s share
Pf = harga di tingkat petani
Pr = harga di tingkat konsumen
Farmer’s share dapat digunakan untuk menganalisis efisiensi pemasaran
dari sisi pendapatan petani. Saluran yang efisien pada umumnya saat farmer’s
share saluran tersebut bernilai paling besar diantara saluran lain dan total marjin
pemasarannya bernilai paling kecil. Ketentuan ini tidak selalu dapat diandalkan
dengan mempertimbangkan fungsi-fungsi dan manfaat yang dihasilkan oleh
lembaga-lembaga tataniaga dalam saluran tersebut.
Kerangka Pemikiran Operasional
Kabupaten Cianjur merupakan salah satu lumbung padi di Jawa Barat meski
laju alih fungsi lahan meningkat setiap tahun. Hal ini dapat dilihat berdasarkan
nilai pencapaian target produksi padi yang ditetapkan setiap tahun, seperti pada
Tabel 4.
Tabel 4 Pencapaian Target Luas Tanam, Luas Panen, Produktivitas, Produksi
Komoditi Padi Kabupaten Cianjur Tahun 2013
Uraian
Padi Sawah Padi Ladang Jumlah
Target Realisasi Target Realisasi Target Realisasi Persentase
1.Luas
Tanam
(Ha)
133 177 138 852 20 756 18 787 154 533 157 639 102.01
2.Luas panen
(Ha)
126 832 139 910 20 612 18 636 147 444 158 546 107.53
3.Produktivitas
(Ton/Ha)
6.557 6.176 3.76 3.19 6.158 5.840 94.84
4.Produksi
GKG (Ton)
831 637 864 117 76 88 61 849 908 025 925 996 101.98
Sumber : Dinas Pertanian Kabupaten Cianjur (2013)
Berdasarkan Surat Keputusan Bupati No. 520/Kep.168-Distan/2013,
Kecamatan Cibeber merupakan salah satu daerah unggulan tanaman padi di
Kecamatan Cibeber dengan total produksi gabah kering giling (GKG) pada tahun
2013 mencapai 45 231 ton GKG dengan persentase pencapaian target oleh Dinas
Pertanian Cianjur 107.19 persen di wilayah tersebut. Produksi padi yang besar ini
seharusnya dapat menghasilkan beras yang dengan mudah dibeli dan dikonsumsi
masyarakat, termasuk penduduk Kecamatan Cibeber yang berjumlah 118 813 jiwa
(Badan Pusat Statistika Kabupaten Cianjur 2012).
Harga gabah kering panen (GKP) di tingkat petani yang berfluktuasi sekitar
Rp 3 000-Rp 4000 masih cukup jauh dari rata-rata harga berasnya di pasar yakni
Rp 8 533 (Dinas Pertanian Kabupaten Cianjur 2013). Penurunan harga gabah
akibat panen raya juga sering membuat pendapatan petani tidak maksimal padahal
petani sebagai salah satu bagian dalam tataniaga perlu mendapatkan insentif yang
merata untuk meningkatkan pertumbuhan di sektor ini.
Analisis pemasaran perlu dilakukan pada perdagangan beras yang ada untuk
mengidentifikasi dan mengatasi masalah pemasaran pada komoditi ini. Analisis
yang dilakukan mengidentitikasi tentang lembaga dan saluran pemasaran beras,
marjin pemasaran, farmer’s share, rasio keuntungan terhadap biaya pemasaran
dan struktur serta perilaku pasar pada setiap saluran pemasaran. Melalui penelitian
ini diharapkan dapat tercipta dan dipilih pola pemasaran beras yang semakin
efisien.
Gambar 2 Kerangka Pemikiran Operasional Penelitian
1. Kecamatan Cibeber merupakan daerah unggulan produksi tanaman pangan
padi di Kabupaten Cianjur menurut Surat Keputusan Bupati No.
520/Kep.168-Distan/2013
2. Harga gabah di tingkat petani mengalami perbedaan harga pembelian
dengan pola pemasaran yang berbeda
Sistem pemasaran beras
(Produksi padi Ciherang di
Kecamatan Cibeber, Kabupaten
Cianjur, Provinsi Jawa Barat)
Fungsi
pemasaran
Perilaku pasar
Aktivitas pembelian dan
penjualan, penentuan harga, sistem
pembayaran, kerjasama lembaga
pemasaran
Harga di tingkat petani dan harga di
tingkat konsumen akhir
Farmer’s share
Rasio
keuntungan
terhadap biaya
pemasaran
Lembaga dan
saluran pemasaran
Identifikasi efisiensi operasional pemasaran beras di Kecamatan Cibeber
Saran kepada petani dan lembaga terlibat pemasaran beras di Kecamatan Cibeber
Marjin pemasaran
Jumlah serta ukuran penjual dan
pembeli , sifat produk, hambatan
keluar masuk-pasar, informasi pasar
Struktur pasar
Harga penjualan dan pembelian di
setiap lembaga
METODE PENELITIAN
Lokasi dan Waktu Penelitian
Pemilihan lokasi penelitian dilakukan secara sengaja (purposive) dengan
pertimbangan tempat penelitian memiliki kesesuaian dengan topik yang akan
dianalisis yakni pemasaran beras dari hasil produksi padi yang sangat besar dari
Kecamatan Cibeber. Lokasi penelitian berada di Kecamatan Cibeber, Kabupaten
Cianjur, Provinsi Jawa Barat. Penelitian dilakukan di 3 desa sampel yang
mewakili 18 desa di Kecamatan tersebut. Ketiga desa yang dipilih yakni Desa
Salamnunggal, Karangnunggal dan Cisalak. Ketiga desa dengan hasil produksi
padi yang besar di Kecamatan Cibeber ini diharapkan mampu menggambarkan
keadaaan umum tataniaga padi di Kecamatan Cibeber, Kabupaten Cianjur.
Pengumpulan data dilaksanakan pada bulan Januari hingga Maret 2014.
Jenis dan Sumber Data
Data yang digunakan dalam penelitian terdiri dari data primer dan data
sekunder. Data primer merupakan hasil wawancara dan observasi. Data sekunder
dari studi literatur buku-buku dan hasil penelitian yang relevan, artikel terkait
topik penelitian, data dan informasi dari Dinas Pertanian Jawa Barat dan Cianjur,
Badan Penyuluh Pertanian Kecamatan Cibeber, Badan Pusat Statistik Indonesia
dan lain sebagainya.
Pengambilan data menggunakan metode snowball sampling dengan
mengikuti alur pemasaran mulai dari petani sebagai produsen sampai ke tingkat
konsumen. Dari tingkat petani akan diketahui aliran produk dan lembaga apa saja
yang terlibat dalam proses pemasaran. Metode ini menggunakan informasi dari
responden sebelumnya sehingga responden yang terpilih di saluran pemasaran
akan disesuaikan dengan pola pemasaran yang terdapat di lokasi penelitian.
Tahap awal melibatkan masing-masing 10 orang petani dari desa sampel
yang menjadi lokasi pengambilan sampel sehingga terdapat 30 petani yang terlibat
secara keseluruhan sebagai responden awal. Berikutnya proses wawancara
melibatkan lembaga-lembaga pemasaran yakni 4 orang tengkulak, 1 penggiling, 2
pengumpul besar dan pabrik beras dalam desa, 1 pabrik beras dengan skala lebih
besar diluar desa, 3 distributor di Cianjur, 3 distributor di Jakarta, 3 pengecer di
Cianjur dan 3 pengecer di Jakarta.
Metode Pengumpulan Data
Pengumpulan data dilakukan sejak Januari hingga Maret 2014. Metode
digunakan untuk pengumpulan data adalah metode obsevasi langsung,
wawancara, pembagian kuisioner, akses internet dan informasi dari skripsi, buku,
literatur. Observasi merupakan pengamatan langsung untuk mengamati dan
menganalisis kondisi petani, tengkulak, pabrik beras dan lembaga lain yang
terlibat dalam saluran pemasaran. Wawancara dilakukan dengan menyiapkan
daftar dan kerangka pertanyaan serta membagi kuisioner. Akses data sekunder
juga dilakukan dengan browsing di internet terkait artikel, jurnal dan tulisan
ilmiah yang terkait dengan topik penelitian.
Responden petani dipilih secara purposive sampling dengan kriteria yang
telah ditetapkan, yakni petani padi Ciherang. Informasi dari lembaga pemasaran
didapatkan dengan menggunakan teknik snowball sampling dari petani hingga
konsumen akhir. Dalam pengumpulan data, peneliti didampingi oleh penyuluh
dari Dinas Pertanian Cianjur.
Metode Pengolahan Data
Metode pengolahan data dilakukan dengan analisis kualitatif dan kuantitatif.
Analisis kualitatif digunakan untuk menganalisis saluran tataniaga, struktur pasar
dan perilaku pasar sedangkan analisis kuantitatif digunakan untuk menganalisis
marjin tataniaga, farmer’s share serta rasio keuntungan dan biaya. Dalam
pengolahan data padi di setiap lembaga pemasaran dikonversi menjadi gabah
kering giling (GKG). Hal ini berdasarkan nilai konversi GKP ke GKG sebesar
86.02 persen dan GKG ke beras sekitar 62.74 persen (Dinas Pertanian dan
Tanaman Pangan Kabupaten Cianjur 2013).
Analisis Saluran Pemasaran
Saluran pemasaran merupakan organisasi yang saling tergantung dan terlibat
dalam penyampaian atau pengaliran produk dari produsen hingga konsumen
akhir. Analisis saluran tataniaga beras di Kecamatan Cibeber dapat dilakukan
dengan pendekatan terhadap setiap lembaga tataniaga yang terlibat dalam saluran.
Peneliti mengambil sampel sebanyak 30 petani dari 3 desa berbeda untuk
diwawancarai secara langsung termasuk menggunakan kuisioner. Berikutnya
peneliti mewawancarai lembaga-lembaga pemasaran yang terlibat sesuai dengan
informasi dari petani atau lembaga pemasaran sebelumnya. Apabila harga yang
berlaku berbeda pada lembaga dalam saluran yang sama, peneliti akan mengambil
rata-rata dari harga jual atau harga beli oleh para pelaku pemasaran tersebut.
Perbedaan saluran pemasaran berpengaruh terhadap pembagian pendapatan yang
diterima oleh masing –masing lembaga dalam saluran.
Analisis Lembaga dan Fungsi Pemasaran
Analisis lembaga pemasaran bertujuan untuk mengetahui fungsi-fungsi
pemasaran yang dilakukan dalam menyalurkan produk. Fungsi-fungsi secara
umum dibagi menjadi fungsi pertukaran, fungsi fungsi fisik dan fungsi fasilitas.
Aktivitas yang dijalankan oleh setiap lembaga dan saluran pemasaran diamati oleh
peneliti dan ditentukan apakah memenuhi ketiga fungsi pemasaran secara umum.
Fungsi pertukaran terdiri dari aktivitas penjualan dan pembelian. Fungsi fisik
meliputi aktivitas penyimpanan, pengolahan, pengangkutan, pengemasan. Fungsi
fasilitas meliputi aktivitas penanggungan risiko, informasi pasar, permodalan dan
standarisasi. Setiap aktivitas dalam fungsi tersebut diperiksa oleh peneliti dan
diberi tanda centang apabila memenuhi dan hasilnya ditunjukkan oleh tabel fungsi
tataniaga di setiap lembaga. Analisis diperlukan untuk mengetahui aktivitas, biaya
yang dikeluarkan dan fasilitas yang dibutuhkan dari setiap lembaga. Selanjutnya
berdasarkan analisis lembaga dan fungsi pemasaran ini akan dapat dihitung besar
marjin tataniaga.
Analisis Stuktur Pasar
Analisis struktur pasar dianalisis secara kulititatif yakni berdasarkan jumlah
penjual dan pembeli, sifat difrensiasi produk, pengetahuan dan informasi pasar
serta hambatan untuk masuk-keluar pasar. Peneliti menentukan nilai dari masing-
masing kriteria tersebut berdasarkan hasil pengamatan di lapangan. Struktur pasar
yang mungkin dihadapi oleh pelaku pemasaran adalah pasar persaingan sempurna,
persaingan monopolistik, oligopoli dan monopoli. Secara normatif, pemasaran
yang efisien adalah struktur pasar persaingan sempurna, namun secara realita
struktur pasar ini hampir tidak dapat ditemukan.
Analisis Perilaku Pasar
Usaha dan aktivitas dalam menghadapi perubahan yang terjadi dalam
pemasaran sangat dibutuhkan. Kegiatan pembelian, penjualan, penetapan harga,
cara pembayaran dan kerjasama yang dilakukan setiap lembaga pemasaran
merupakan perilaku yang berhubungan struktur pasar yang dihadapi. Analisis
perilaku pasar bermanfaat untuk mengetahui dan memenuhi kebutuhan konsumen
yang berkarakter.
Analisis Efisiensi Pemasaran
Efisiensi pemasaran pada penelilitian ini diukur berdasarkan efisiensi
operasional atau teknis yang berhubungan dengan aktivitas pemasaran yang
meningkatkan atau memaksimumkan rasio output-input pemasaran. Nilai output
merupakan penilaian konsumen terhadap barang yang dikonsumsi dimana tidak
hanya penilaian fisik saja, namun termasuk atribut yang dapat memberikan
kepuasan bagi konsumen. Nilai input adalah semua biaya pemasaran yang timbul
karena adanya sistem pemasaran, namun termasuk keuntungan yang diterima
lembaga-lembaga pemasaran. Efisiensi operasional pemasaran padi pada
penelitian ini diukur berdasarkan marjin pemasaran, farmer’s share serta analisis
keuntungan dan biaya. Selain itu, dilihat juga saluran pemasarannya, fungsi-fungsi
pemasaran, struktur dan perilaku pasar.
Analisis Marjin Pemasaran
Marjin pemasaran berguna untuk mengetahui tingkat efisiensi pemasaran
padi di Kecamatan Cibeber. Marjin dihitung dari selisih antara harga penjualan
dengan harga pembelian di setiap lembaga. Marjin pemasaran digunakan untuk
mengetahui perbedaan pendapatan yang diterima oleh masing-masing lembaga
pemasaran yang terlibat. Secara luas, marjin merupakan cerminan dari aktivitas-
aktivitas bisnis atau fungsi-fungsi pemasaran yang dilakukan dalam sistem
pemasaran tersebut. Artinya, marjin merupakan kumpulan balas jasa karena
kegiatan produktif dalam mengalirnya produk dari petani sampai ke konsumen
akhir. Secara sistematis, marjin pemasaran dapat dirumuskan sebagai berikut:
MT = ∑Mi ..................................................................................................... 1
Mi = Psi-Pbi .................................................................................................. 2
Mi = Ci + ................................................................................................... 3
Psi-Pbi= Ci + ............................................................................................. 4
Sehingga keuntungan lembaga di tingkat ke-i
i = Psi – Pbi – Ci ........................................................................................ 5
Keterangan :
Mi : Marjin pemasaran tingkat ke-i
Psi : Harga jual pasar tingkat ke-i
Pbi : Harga beli pasar tingkat ke-i
Ci : Biaya lembaga pemasaran tingkat ke-i
i : Keuntungan lembaga pemasaran tingkat ke-i
MT : Marjin total
Analisis Farmer’s Share
Analisis farmer’s share digunakan untuk mengetahui persentase harga yang
diterima oleh petani padi terhadap harga di konsumen akhir. Farmer’s share
menjadi salah satu indikator efisiensi pemasaran. Farmer’s share berhubungan
negatif dengan marjin pemasaran. Artinya, semakin tinggi marjin pemasaran maka
semakin kecil bagian yang diperoleh oleh petani. Secara sistematis farmer’s share
dirumuskan sebagai berikut :
Keterangan :
Fs = farmer’s share
Pf = harga di tingkat petani
Pr = harga di tingkat konsumen
Analisis Rasio Keuntungan dan Biaya
Indikator efisiensi pemasaran dapat juga dilihat dari rasio keuntungan
terhadap biaya tataniaga. Rasio keuntungan terhadap biaya yang semakin merata
menunjukkan sistem efisien secara operasional. Penyebaran rasio keuntungan dan
biaya pada masing-masing lembaga tataniaga dapat dirumuskan sebagai berikut
(Dahl dan Hammond 1977):
Keterangan :
= keuntungan lembaga tataniaga
Ci = biaya tataniaga
Definisi Operasional
Defenisi operasional bertujuan membatasi ruang lingkup penelitian yang
dilakukan. Selain itu, defenisi operasional ini digunakan untuk menjelaskan
variabel yang dianalisis dalam penelitian.
1. Sistem merupakan suatu kesatuan yang terdiri dari beberapa elemen yang
saling berhubungan untuk mencapai suatu tujuan;
2. Pemasaran produk agribisnis merupakan keragaaan dari semua aktivitas
bisnis dalam mengalirkan barang/jasa dari petani produsen (usahatani)
sampai ke konsumen akhir;
3. Padi merupakan golongan tumbuhan Graminae yang memiliki ciri khusus
yakni berupa batang yang tersusun dari beberapa ruas yang dapat
menghasilkan gabah sebagai bahan dasar mengahasilkan beras;
4. Beras merupakan produk hasil pengolahan gabah yang menjadi hasil utama
tanaman padi;
5. Hasil produksi adalah hasil produksi fisik berupa gabah kering panen (GKP)
dalam satuan kg/ha/musim atau kg/ha/tahun;
6. Harga jual petani dalam analisis tataniaga adalah harga gabah yang diproses
untuk menghasilkan beras dalam satuan Rp/kg;.
7. Farmer’s share merupakan proporsi atau persentase harga yang diperoleh
petani terhadap harga produk yang mengalir ke konsumen akhir
8. Marjin pemasaran merupakan selisih harga jual dan harga beli oleh suatu
lembaga tataniaga sedangkan marjin total adalah perbedaan harga di tingkat
petani sebagai produsen terhadap harga di konsumen akhir.
GAMBARAN KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN
Gambaran Wilayah Kecamatan Cibeber
Kecamatan Cibeber merupakan salah satu kecamatan yang berada di
wilayah Kabupaten Cianjur. Kecamatan Cibeber secara geografis terletak di 6°52’
Lintang Selatan dan 107°02’-107°13’ Bujur Timur dengan batas wilayah :
Sebelah utara berbatasan dengan Kecamatan Warungkondang, Kecamatan
Cilaku, Kecamatan Sukaluyu dan Kecamatan Bojongpicung
Sebelah timur berbatasan dengan Kabupaten Sukabumi
Sebelah selatan berbatasan dengan Kecamatan Campaka
Sebelah barat berbatasan dengan Kabupaten Bandung
Kecamatan Cibeber memiliki ketinggian rata-rata 490 meter dari permukaan laut
(mdpl). Desa dengan lokasi tertinggi ialah Karangnunggal dengan tinggi 714 mdpl
dan terendah ialah Girimulya dengan tinggi 400 mdpl.
Luas Kecamatan Cibeber adalah 108.3 km² dengan jumlah penduduk 117
410 jiwa pada tahun 2013. Kecamatan Cibeber terdiri dari 18 desa, 164 RW dan
548 RT. Laju pertumbuhan penduduknya 0.88 dan kepadatan penduduk lebih dari
892 orang per km². Nilai sex ratio atau perbandingan penduduk laki-laki
dibandingkan dengan perempuan adalah sebesar 107.97. Hal tersebut
menunjukkan bahwa penduduk laki-laki lebih banyak dibandingkan perempuan.
Penduduk Kabupaten Cianjur pada umumnya bekerja sebagai petani, begitu
pula di Kecamatan Cibeber. Di kecamatan ini, terdapat 41% keluarga yang
berusaha di sektor pertanian dan 59 persen tersebar di berbagai sektor
nonpertanian ( Statisika Daerah Kecamatan Cibeber Tahun 2012). Padi
merupakan salah satu komoditi yang paling banyak diusahakan di Kecamatan
Cibeber sehingga menjadikan kecamatan ini termasuk produsen padi terbesar
dibandingkan 31 kecamatan lainnya di Kabupaten Cianjur. Pada tahun 2013
kecamatan ini menghasilkan 51 072 ton GKP dari total GKP yakni 1 004 554 di
Kabupaten Cianjur. Padi menjadi komoditi yang diusahakan di 18 desa di
Kecamatan Cibeber seperti ditunjukkan oleh Tabel 5 berikut.
Tabel 5 Luas Areal Sawah (Ha) Berdasarkan Jenis Irigasi di Kecamatan Cibeber
Tahun 2011
Desa
Irigasi Tadah
Hujan Jumlah Teknis Setengah
Teknis
Sederhana
1.Cibokor - 64.64 67.64 22 154.28
2.Kanoman - 18.00 140.00 21 179.00
3.Cipetir 25 29.69 36.93 18 109.62
4.Cikondang 70 42.50 - - 112.50
5.Cihaur 55 34.76 - - 89.76
6.Sukamanah - - 118.80 18 136.80
7.Salagedang - - 119.00 32 151.00
8.Cibadak 23 - 40.00 16 79.00
9.Girimulya - - 83.98 25 108.98
10.Cimanggu - 30.00 19.83 - 49.83
11.Cisalak 37 42.14 50.66 3 132.80
12.Mayak 15 90.00 39.51 22 166.51
13.Peuteuycondong - 27.00 260.18 8 295.18
14.Sukaraharja 68 80.87 84.00 - 232.87
15.Sukamaju 62 40.00 60.19 - 162.19
16.Cibaregbeg - 40.22 26.31 16 82..53
17.Karangnunggal - - 173.65 22 195.65
18.Salamnunggal - - 168.00 27 195.00
Jumlah 335 540 1 448.68 250 2 663.50
Sumber : Balai Pertanian Kecamatan Cibeber Tahun 2012
Karakteristik Petani Responden
Petani sebagai responden penelitian ini berjumlah 30 orang dan ditentukan
syarat petani tersebut merupakan petani yang mengusahakan padi varietas
Ciherang dan melakukan penjualan hasil panennya pada bulan Januari-Maret
2014. Sebanyak 10 petani diambil dari setiap desa sampel, yakni Cisalak,
Karangnunggal dan Salamnunggal. Sistem pengairan sawah petani responden
Cisalak adalah menggunakan irigasi sederhana sedangkan di Karangnunggal dan
Salamnunggal menggunakan sistem tadah hujan. Selain itu petani di Cisalak telah
dapat melakukan pemanenan 3 kali dalam setahun sedangkan di Desa
Karangnunggal dan Salamnunggal memiliki rata-rata 2 kali musim panen dalam
setahun. Secara umum, petani responden dalam penelitian ini dapat
diklasifikasikan berdasarkan usia, tingkat pendidikan terakhir, pengalaman usaha
padi, luas lahan dan status lahan yang diusahakan.
Petani responden di 3 desa sampel di Kecamatan Cibeber didominasi oleh
petani yang berusia lebih dari 40 tahun dimana totalnya mencapai 26 orang
(86.6%). Angkatan kerja yang usianya kurang dari 40 tahun pada umumnya lebih
memilih bekerja di sektor non pertanian termasuk menjadi buruh/karyawan. Hal
ini disebabkan luas lahan yang diusahakan terbatas dan minat terhadap usaha
pertanian semakin menurun. Hal ini dimungkinkan karena penghasilan tetap
apabila menjadi buruh/karyawan membuat mereka lebih meminati pekerjaan
tersebut. Berikut Tabel 6 yang menunjukkan sebaran petani responden
berdasarkan usia.
Tabel 6 Sebaran Petani Responden Berdasarkan Usia
Usia Petani (Tahun) Jumlah Responden (Orang) Persentase(%)
21-30 2 6.7
31-40 2 6.7
41-50 9 30.0
51-60 8 26.6
>60 9 30.0
Total 30 100.0
Petani yang menjadi responden dalam penelitian didominasi oleh petani
yang berpendidikan terakhir sekolah dasar atau sederajat, yakni 27 orang (90%).
Hal ini dapat mempengaruhi sumber daya di sektor pertanian padi tersebut
menjadi rendah. Informasi pasar dan peluang menjadi lebih sulit dimanfaatkan.
Petani cenderung berusaha untuk memenuhi kebutuhannya sendiri (subsisten).
Sebaran petani berdasarkan tingkat pendidikan terakhirnya ditunjukkan oleh Tabel
7.
Tabel 7 Sebaran Petani Responden Berdasarkan Tingkat Pendidikan Terakhir
Pendidikan Terakhir Jumlah Responden (Orang) Persentase (%)
SD/Sederajat 27 90.0
SMP/Sederajat 2 6.7
SMA/Sederajat 1 3.3
Total 30 100.0
Sebaran petani berdasarkan lama pengalaman usahatani pada Tabel 8
menunjukkan bahwa mereka telah menekuni usaha tersebut dalam waktu yang
panjang. Petani yang pengalamannya lebih dari 20 tahun berjumlah 25 (86.7%).
Hal ini seharusnya mendorong kemampuan mereka terutama dalam teknik
budidaya dan pemasaran produk mereka. Namun, pada umumnya usaha dipilih
dan tetap bertahan pada usahatani tersebut justru karena kesulitan untuk mencari
pekerjaan lain karena pendidikan rendah.
Tabel 8 Sebaran Petani Responden Berdasarkan Lama Pengalaman Usahatani
Padi
Pengalaman Usahatani Padi (Tahun) Jumlah Responden (Orang) Persentase (%)
5-10 1 3.3
11-20 3 10.0
21-30 9 30.0
>30 17 56.7
Total 30 100.0
Umumnya luas lahan yang diusahakan oleh petani responden kurang dari
0.59 ha. Hal ini ditunjukkan oleh Tabel 9. Di sisi lain, hal ini juga dapat
mempengaruhi lemahnya posisi tawar petani sebagai individu dalam sistem
tataniaga akibat ukuran usaha yang rendah. Petani yang luas lahannya kurang dari
0.59 ha berjumlah 26 orang (86.7%).
Tabel 9 Sebaran Petani Responden Berdasarkan Luas Lahan Usahatani Padi
Luas Lahan (Hektar) Jumlah Responden (Orang) Persentase (%)
0.10-0.59 26 86.7
0.60-1.00 1 3.3
>1.00 3 10.0
Total 30 100.0
Berdasarkan status kepemilikan lahan usahatani padi, terdapat petani yang
memiliki lahan secara pribadi sejumlah 14 orang (46.7%). Petani yang menggarap
lahan berjumlah 5 orang (16.7%). Sistem garap yang dimaksud adalah petani
berusaha di lahan orang lain dimana hanya biaya pupuk dan tenaga kerja
pemanenan yang ditanggung bersama oleh petani dan pemilik lahan, selebihnya
ditanggung oleh petani. Sistem sewa yang berlaku adalah petani menanggung
seluruh biaya budidaya dan pemanenan dimana lahan yang diusahakannya adalah
milik orang lain. Sebagai biaya sewa, petani harus memberikan 300 kg GKP
kepada pemilik lahan untuk setiap hektar lahan yang disewanya. Petani yang
menggunakan sistem sewa adalah 4 orang (13.3%). Selengkapnya mengenai status
kepemilikan lahan responden ditunjukkan oleh Tabel 10.
Tabel 10 Sebaran Petani Berdasarkan Status Kepemilikan Lahan Usahatani Padi
Status Kepemilikan Lahan Jumlah Responden (Orang) Persentase (%)
Milik Pribadi 14 46.7
Garap 5 16.7
Sewa 4 13.3
Milik Pribadi dan Garap 6 20.0
Milik Pribadi dan Sewa 1 3.3
Total 30 100.0
HASIL DAN PEMBAHASAN
Identifikasi Lembaga dalam Sistem Pemasaran
Lembaga pemasaran dalam penelitian ini merupakan individu atau
kelompok yang terlibat dalam menyalurkan barang dari produsen atau petani padi
varietas Ciherang sampai ke konsumen akhir. Sistem pemasaran dalam penelitian
ini melibatkan beberapa lembaga seperti petani, tengkulak, penggiling, pengumpul
besar dan pabrik beras dalam desa, pabrik beras luar desa, distributor dan
pengecer. Berikut pengertian dari lembaga tataniaga yang dimaksud :
1. Petani adalah produsen yang melakukan usahatani atau budidaya padi yang
menghasilkan gabah kering panen (GKP) yang kemudian dijual kepada
lembaga tataniaga selanjutnya.
2. Tengkulak adalah lembaga perantara yang menyalurkan GKP dari petani
kepada lembaga pemasaran selanjutnya. Pada umumnya tengkulak
menjemput hasil panen langsung dari petani sehingga lembaga ini banyak
dipilih petani karena membantu padi yang sering kesulitan dalam
memasarkan hasil panennya terutama karena terkendala alat pengangkutan.
Terdapat 4 tengkulak dari 3 desa sampel yang menjadi responden dalam
penelitian ini.
3. Penggiling merupakan lembaga pemasaran yang melakukan pengolahan
GKP menjadi beras. Beras kemudian dijual ke lembaga tataniaga
selanjutnya tanpa menggunakan merek pabrik. Penggiling pada umumnya
berskala kecil dan kapasitas penggilingan kurang dari 1 ton. Penggiling juga
lebih banyak melakukan aktivitas jasa penggilingan gabah milik petani dan
kemudian beras kembali diperoleh petani untuk memenuhi kebutuhan
rumah tangga petani. Pada penelitian ini, terdapat 1 responden penggilingan
di Desa Karangnunggal milik Bapak Fahruddin.
4. Pengumpul besar dan pabrik beras dalam desa adalah lembaga yang
membeli GKP dimana terdapat GKP yang tanpa diolah dan dijual lagi
kepada lembaga lain atau pabrik beras lain. Sebagian GKP diolah menjadi
beras dan dikemas dengan menggunakan merek dari pabrik. Kapasitas
penggilingan pabrik dalam desa ini adalah 3-6 ton padahal lembaga ini
dapat memperoleh gabah dalam jumlah besar dari petani karena lokasinya
berada di sekitar lahan usaha dan tempat tinggal petani. Dalam penelitian ini
terdapat 2 responden di Desa Cisalak dan Salamnunggal masing-masing
milik Pak Rohidin dan Pak Effendi.
5. Pabrik beras luar desa adalah lembaga yang mengolah GKP menjadi beras
dan dikemas dengan menggunakan merek pabrik tersebut. Kapasitas
penggilingan pabrik mencapai 20 ton seperti yang terdapat pada PB Jayasa
yakni responden dalam penelitian ini. Lokasinya berada dalam Kecamatan
Cibeber, namun berada diluar desa sampel. Pabrik beras ini jugalah yang
membeli gabah dari pengumpul besar di desa sampel.
6. Distributor adalah lembaga tataniaga yang melakukan penjualan dan
pembelian beras dalam skala besar dan pada umumnya menjual kembali
beras tersebut kepada pengecer. Terdapat 3 distributor di Cianjur yang
menjadi responden dengan kapasitas penyimpanan rata-rata mencapai 5-10
ton. Di Cipinang Jakarta, terdapat 3 distributor besar yang kapasitas
penyimpanannya mencapai 600 ton beras per gudang meskipun beras dari
Cianjur yang masuk rata-rata kurang dari 10 persen kapasitas penyimpanan
tersebut.
7. Pengecer adalah lembaga pemasaran yang melakukan pembelian dan
penjualan beras dalam skala lebih kecil dibandingkan distributor dan beras
tersebut kemudian dijual kepada konsumen akhir. Pada penelitian ini
terdapat 3 responden pengecer di Pasar Induk Cianjur dan 3 responden
pengecer di Pasar Cipinang.
Analisis Fungsi Pemasaran Setiap Lembaga Tataniaga
Fungsi pemasaran secara umum merupakan aktivitas bisnis yang terjadi atau
proses dalam sistem pemasaran yang akan meningkatkan dan atau menciptakan
nilai untuk memenuhi kepuasan konsumen. Berdasarkan pendekatan fungsi,
terdapat beberapa fungsi dalam pemasaran yakni fungsi pertukaran, fungsi fisik
dan fungsi fasilitas. Fungsi pertukaran terdiri dari fungsi penjualan dan pembelian
yang merupakan aktivitas perpindahan hak milik barang/jasa. Fungsi fisik terdiri
dari fungsi penyimpanan, pengolahan, pengangkutan dan pengemasan sebagai
aktivitas penanganan, pergerakan dan perubahan fisik dari produk/jasa dan
turunannya. Fungsi fasilitas merupakan aktivitas yang memperlancar fungsi
pertukaran dan fisik yang terdiri dari fungsi penanggungan risiko, pembiayaan,
standarisasi dan informasi pasar. Pada penelitian ini, lembaga pemasaran yang
terlibat secara umum menjalankan fungsi pemasaran seperti yang terdapat pada
Tabel 11.
Tabel 11 Fungsi Pemasaran di Setiap Lembaga Pemasaran
Berdasarkan Tabel 11, dapat dilihat setiap lembaga menjalankan fungsi-
fungsi pemasaran dan hal tersebut dapat bermanfaat dalam menganalisis biaya-
biaya pemasaran berdasarkan aktivitas yang dilakukan. Berikut merupakan
penjelasan aktivitas yang dijalankan setiap lembaga sebagai fungsi pemasaran.
1. Fungsi Pemasaran di Tingkat Petani
Seluruh petani responden dalam penelitian ini melakukan fungsi pertukaran
yakni aktivitas penjualan gabah kering panen (GKP). Beberapa petani memang
sengaja menyimpan hasil panennya dan tidak untuk dijual, namun aktivitas
tersebut tidak termasuk dalam volume yang menjadi bagian sistem pemasaran
dalam penelitian ini. Penyimpanan tersebut dilakukan oleh petani untuk menjaga
persediaan pangan dalam rumah tangga mereka dengan cara membayar biaya
penggilingan gabah kering giling (GKG) ke pabrik sebesar Rp 15/kg. Proses
penjemuran dilakukan sendiri oleh petani yang memang dapat memakan waktu 3-
4 hari. Petani yang terlibat dalam sistem pemasaran ini pada umumnya menjual
GKP karena minimnya lahan untuk penjemuran dan ingin mendapatkan uang
dalam waktu singkat.
Fungsi fisik berupa pengemasan biasanya dilakukan oleh petani yang
menjual hasil panennya kepada penggiling atau pengumpul besar dan pabrik beras
dalam desa. Dengan melakukan pengemasan, petani mengeluarkan biaya
pengemasan Rp 300/karung yang berkapasitas 50 kg atau Rp 6/kg. Biaya tersebut
sebagai upah pengemasan tenaga kerja pemanenan. Karung sebagai kemasan
secara terus menerus digunakan apabila masih bagus. Setiap petani mengantarkan
GKP dalam karung, lembaga pemasaran selanjutnya sebagai pembeli GKP akan
mengganti atau mengembalikan karung yang digunakan oleh petani tersebut.
Fungsi fisik lain seperti pengangkutan juga dilakukan oleh petani saat ingin
menjual langsung hasil panennya kepada penggiling atau pengumpul besar dan
Fungsi
Pemasaran
Lembaga Pemasaran
Petani Tengkulak RMU Pengumpul
Besar
Pabrik
Beras
Distributor Pengecer
Fungsi
Pertukaran
Beli
Jual
Fungsi
Fisik
Simpan
Angkut
Olah
Kemas
Fungsi
Fasilitas
Risiko
Modal
Standarisasi
Informasi
Pasar
pabrik beras. Biaya pengangkutan adalah sebesar Rp 50/kg dengan menggunakan
motor atau ojek.
Fungsi fasilitas berupa penanggungan risiko produksi dan harga ditanggung
oleh petani. Kualilatas gabah sering menjadi penyebab risiko harga ditambah lagi
mekanisme pasar yakni dari sistem penawaran dan permintaan beras yang
mengakibatkan fluktuasi harga. Fungsi pemodalan atau pembiayaan dilakukan
petani dengan modal sendiri dan peminjaman dari petani lain ataupun lembaga
pemasaran seperti pabrik beras dan pengumpul besar. Informasi pasar diperoleh
petani dari penyuluh, sesama petani, tengkulak atau pabrik bahkan informasi dari
lokasi pasar secara langsung seperti pasar tingkat kecamatan.
2. Fungsi Pemasaran di Tingkat Tengkulak
Fungsi pertukaran dilakukan oleh oleh tengkulak dengan membeli GKP dari
petani dan kemudian dijual kepada lembaga pemasaran selanjutnya seperti
penggiling atau pengumpul besar dan pabrik beras dalam desa.
Umumnya, tengkulak menjemput langsung hasil panen petani langsung dari
sawah pasca panen. Tengkulak dengan tujuan penjualan ke penggiling
mengeluarkan biaya pengangkutan sebesar Rp 50/kg dan biaya pengemasan sama
seperti di tingkat petani yakni Rp 6/kg. Tengkulak yang melakukan pembelian
hasil panen cukup besar yakni 2 000-4 000kg menjual hasil panennya ke
pengumpul besar dan pabrik beras. Biaya pengangkutan pada aktivitas ini sekitar
Rp 150 000 dengan menggunakan mobil. Hal ini tentu lebih efisien karena biaya
pengangkutan menjadi Rp 37.5/kg, namun tengkulak harus mengeluarkan biaya
pemuatan dan bongkar muatan masing-masing sebesar Rp 10/kg. Fungsi lain
seperti penyimpanan juga sering dilakukan oleh tengkulak untuk mengumpulkan
hasil panen dari petani lainnya.
Risiko fluktuasi harga juga ditanggung oleh tengkulak mengikuti
mekanisme pasar. Harga beras di tingkat pasar sering menjadi indikator dalam
fluktuasi harga gabah di tingkat petani. Risiko penyusutan juga dialami oleh
tengkulak terutama saat meyimpan gabah dalam waktu lebih dari 2 hari. Fungsi
pemodalan dilakukan oleh tengkulak dengan mencari pinjaman dari pengumpul
besar dan pabrik beras. Fungsi informasi pasar didapat petani dari pabrik beras
yang menjual beras ke pasar, namun tengkulak juga dengan mudah memperoleh
informasi pasar termasuk dari pasar induk yang berada di Cianjur.
3. Fungsi Pemasaran di Tingkat Penggiling
Penggiling melakukan fungsi pertukaran berupa pembelian GKP dari petani
dan atau tengkulak. Penjualan beras, hasil olahan gabah tersebut, dilakukan ke
pengecer dan konsumen.
Fungsi fisik berupa penyimpanan dilakukan oleh penggiling baik
penyimpanan gabah sebelum digiling maupun penyimpanan beras sebelum dijual.
Fungsi fisik berupa pengolahan juga dilakukan oleh penggiling dimulai dari
penjemuran dengan biaya Rp 50/kg, penggilingan sebesar Rp 15/kg dan sortasi
menir dari beras yang digiling kemudian dikemas sebesar Rp 250/kg. Kemasan
yang digunakan penggiling adalah karung yang harganya Rp 1 100 untuk ukuran
50 kg atau senilai dengan Rp 22/kg beras. Penggilingan sendiri menggunakan
mesin ichi dan molen yang harganya berkisar Rp 7 juta dan Rp 4 juta. Selain itu,
proses penggilingan dibantu mesin penggerak yang dibeli dengan harga Rp 4.5
juta dengan penggunaan bahan bakar Rp 130/kg beras. Transportasi penjualan
menambah biaya saat penggiling yang skalanya kecil tersebut ingin menjual
berasnya ke pengecer. Biaya tersebut sebesar Rp 50/kg beras sebagai ongkos
sepeda motor atau ojek.
Risiko harga ditanggung oleh penggiling mengikuti fluktuasi harga beras.
Selain itu kualitas gabah yang tidak stabil juga sering menjadi risiko di tingkat
penggiling. Rendemen gabah menjadi beras terkadang hanya mencapai 40 persen
saat digiling apabila kualitas gabah tersebut rendah. Fungsi pembiayaan atau
pemodalan dilakukan dengan pinjaman atau hasil keuntungan dari proses
penggilingan. Sebagai fungsi informasi pasar, penggiling selalu mengikuti
informasi harga di tingkat pasar induk dan melakukan penjualan kepada
pengecernya dengan selisih harga lebih murah Rp 200.
4. Fungsi Pemasaran di Tingkat Pengumpul Besar dan Pabrik Beras dalam
Desa
Fungsi pertukaran berupa penjualan dan pembelian dilakukan oleh
pengumpul besar, yakni dengan membeli GKP dan menjual kembali GKP atau
GKG ke pabrik dengan skala yang biasanya lebih besar. Sebagai pabrik beras,
pabrik juga membeli GKP dan kemudian melakukan penjualan dalam bentuk
beras.
Fungsi fisik sebagai pengumpul besar adalah aktivitas penyimpanan
sebelum dijual kembali ke pabrik yang skalanya lebih besar. Selain itu, terdapat
juga proses perubahan fisik GKP menjadi GKG dengan cara dijemur dengan biaya
Rp 40/kg. Proses pengolahan sebagai pabrik beras membutuhkan biaya lain selain
biaya penjemuran diantaranya biaya penggilingan Rp 15/kg, sortir Rp 150/kg dan
pengemasan Rp 0.3/kg beras. Pabrik beras juga menggunakan kemasan yang
harganya Rp 1 300/karung dengan kapasitas 50 kg atau biaya karung adalah Rp
26/kg. Karung tersebut dibuat dan dibeli di Kabupaten Cianjur. Karung sebagai
kemasan juga disertai merek dari pabrik tersebut. Beras yang dijual juga
mengalami proses pemindahan tempat sehingga membutuhkan biaya pemuatan
,bongkar muatan dan biaya pengangkutan. Biaya pemuatan dan bongkar muatan
masing-masing sebesar Rp 10/kg. Untuk penjualan ke pabrik beras dan distributor
yang berada di Cianjur biaya transportasi sekitar Rp 37.5/kg sedangkan yang
berada di kota lain seperti Jakarta, yakni Pasar Cipinang, membutuhkan biaya
transportasi Rp 125/kg. Untuk penjualan ke kota lain seperti Jakarta, pabrik beras
tersebut juga harus menyiapkan biaya retribusi sekitar Rp 10/kg. Selain itu,
pengumpul besar dan pabrik beras juga harus menyiapkan biaya penimbangan
sebesar Rp 10/kg apabila ingin menjual GKP dan GKG ke pabrik beras yang
skalanya umumnya lebih besar.
Risiko produksi yang dialami oleh pengumpul besar dan pabrik beras
adalah penyusutan gabah tersebut terutama saat digiling karena hanya sekitar 54
persen GKP yang nantinya menjadi beras. Apabila kondisi gabah buruk, nilai itu
bisa menurun menjadi 40 persen. Risiko harga di pasar terutama saat penawaran
beras di tingkat pasar tinggi dengan masuknya beras impor juga dirasakan oleh
pengumpul besar dan pabrik beras tersebut. Fungsi pembiayaan di tingkat
lembaga ini juga sering melalui pinjaman ke perbankan. Selain itu, terdapat fungsi
pembiayaan dengan cara mengagunkan atau menggadaikan gabah yang dimiliki
pengumpul besar tersebut dengan sistem resi gudang. Dalam sistem resi gudang
tersebut, sebelumnya gabah mengikuti prosedur registrasi sehingga nantinya
mendapatkan pelayanan asuransi, uji mutu, dan bongkar muat. Bukti
penyimpanan dengan sistem resi gudang dapat menjadi alat bantu bagi pengumpul
besar mendapatkan pinjaman ke perbankan. Meskipun pemilik gabah harus
mengeluarkan biaya penyimpanan sebesar Rp 100/kg pada bulan pertama dan Rp
25 pada bulan selanjutnya dan minimum penyimpanan 10 000 kg, sistem resi
gudang ini dimanfaatkan oleh pengumpul besar terutama saat panen raya dan
harga gabah sedang rendah. Standarisasi dilakukan oleh pabrik beras setelah beras
digiling dan diperhatikan beberapa kriteria seperti jumlah patahan beras, menir,
aroma dan warna beras tersebut. Fungsi informasi pasar sendiri dilakukan oleh
pengumpul besar dan pabrik beras seperti dengan mengikuti dan mempelajari
fluktuasi harga di tingkat distributor dan pasar induk.
5. Fungsi Pemasaran di Tingkat Pabrik Beras luar Desa
Pabrik beras melakukan fungsi pertukaran yakni pembelian GKP dan GKG
dan menjual beras ke distributor.
Fungsi fisik dilakukan oleh pabrik beras dengan meningkatkan nilai tambah
tempat dengan biaya Rp 37.5 untuk daerah Cianjur dan Rp 125 untuk daerah
Jakarta. Dalam hal ini juga muncul biaya pemuatan dan bongkar muat masing-
masing Rp 10/kg. Biaya retribusi saat menjual ke Jakarta ditanggung oleh pabrik
beras, yakni sebesar Rp 10/kg. Selain itu, untuk mengubah fisik gabah dilakukan
pengolahan yang menimbulkan beberapa biaya, yakni biaya pengeringan Rp
10/kg, penjemuran Rp 40/kg, penggilingan Rp 15/kg, pemolesan Rp 12/kg,
penyortiran Rp 150/kg, pengemasan 0.3/kg dan harga kemasan Rp 2 500 untuk
kapasitas Rp 25 kg atau biaya kemasan senilai Rp 100/kg beras. Kemasan disertai
merek dan cap halal. Mesin mesin yang digunakan adalah pemoles seharga Rp
610 juta, tungku seharga 160 juta, pengering Rp 800 juta, penggerak Rp 800 juta,
penggiling Rp 800 juta dan pengering berkisar Rp 500 juta. Sumber energi di
pabrik menggunakan energi listrik yang biayanya Rp 15 juta-16 juta untuk
menghasilkan beras 600 ton. Fungsi penyimpanan juga dilakukan oleh pabrik
beras, baik penyimpanan gabah maupun beras.
Fungsi fasilitas berupa penanggungan risiko yang bersumber dari kualitas
dan persediaan gabah, fluktuasi harga beras, kualitas sumber daya dimilki
merupakan risiko yang dihadapi oleh pabrik beras. Aktivitas standarisasi terutama
saat penjualan beras dilakukan oleh pabrik beras untuk menjaga kerjasama dan
harga jual kepada distributor. Informasi pasar diperoleh dan digunakan oleh
pabrik beras termasuk mengenai kebijakan pemerintah dari media cetak, informasi
harga di tingkat distributor dan pasar induk.
6. Fungsi Pemasaran di Tingkat Distributor
Fungsi pertukaran di tingkat distributor adalah melalui aktivitas pembelian
dan penjualan beras baik ke pengecer maupun konsumen akhir.
Fungsi fisik berupa pemuatan, bongkar muat dan pengangkutan dilakukan
untuk penjualan ke tingkat pengecer yang masing-masing biayanya sebesar Rp
10/kg, Rp 10/kg dan Rp 37.5/kg. Fungsi fisik lain seperti penyimpanan juga
dilakukan oleh distributor, bahkan harga sewa per gudang di Cipinang mencapai
Rp 180 per gudang setiap tahun dengan kapasitas penyimpanan 600 ton.
Fungsi fasilitas seperti penanggungan risiko terutama dihadapi oleh
distributor yang bersumber dari fluktuasi harga. Aktivitas standarisasi dilakukan
oleh distributor untuk menetapkan harga jual. Fungsi pemodalan sendiri banyak
menggunakan pinjaman kepada perbankan. Informasi pasar sendiri sebagai bagian
dari fungsi fasilitas diperoleh dengan mempertimbangkan penawaran dari beras
dari tingkat pabrik dan permintaan dari pengecer atau konsumen. Informasi pasar
dari sesama distributor juga menjadi hal yang penting diperoleh oleh distributor
tersebut.
7. Fungsi Pemasaran di Tingkat Pengecer
Pengecer melakukan penjualan dan pembelian beras. Pembelian berasal dari
penggiling atau pabrik beras dan kemudian dijual kepada konsumen akhir.
Pengecer menggunakan tenaga kerja dalam membantu penjualan kepada
konsumen akhir yang upahnya menjadi biaya yang ditanggung oleh pengecer,
yakni Rp 50/kg beras.
Fungsi fisik berupa penyimpanan beras dilakukan oleh pengecer meskipun
pada umumnya dalam waktu sangat pendek. Fungsi pengemasan menyesuaikan
pembelian konsumen apakah menggunakan kemasan kecil karena pembelian
sedikit atau bahkan pengecer tidak melakukan pengemasan lagi karena konsumen
langsung membeli beras sesuai dengan jumlah yang dimuat karung beras.
Fungsi fasilitas berupa penanggungan risiko harga ditanggung oleh
pengecer apabila beras telah dibelinya dari distributor atau pabrik beras. Fungsi
standarisasi dilakukan oleh pengecer, yakni berdasarkan kualitas beras. Fungsi
pembiayaan dapat berasal dari milik sendiri maupun pinjaman ke orang lain atau
perbankan.
Identifikasi Saluran Pemasaran
Saluran pemasaran secara umum merupakan serangkaian lembaga
penggiling yang mengambil alih hak atas barang dan jasa, dalam hal ini hasil
panen padi varietas Ciherang, dimulai dari petani sebagai produsen sampai ke
konsumen akhir.
Gambar 3 Saluran Pemasaran Beras Ciherang di Kecamatan Cibeber dengan
Konsumen Akhir di Cianjur
: Saluran 1
: Saluran 2
: Saluran 3
: Saluran 4
: Saluran 5
: Saluran 6
: Saluran 7
Keterangan :
Gambar 4 Saluran Pemasaran Beras Ciherang di Kecamatan Cibeber dengan
Konsumen Akhir di Jakarta
Berdasarkan pengamatan di lapangan, terdapat 10 pola saluran pemasaran
beras Ciherang, yakni :
1. Petani-Tengkulak-Penggiling-Pengecer-Konsumen (di Cianjur)
2. Petani-Penggiling-Pengecer-Konsumen (di Cianjur)
3. Petani-Tengkulak-Penggiling-Konsumen (di Cianjur)
4. Petani-Tengkulak-Pengumpul Besar dan Pabrik Beras dalam Desa-
Distributor-Pengecer-Konsumen (di Cianjur)
5. Petani-Tengkulak-Pengumpul Besar dan Pabrik Beras dalam Desa-
Distributor-Konsumen (di Cianjur)
6. Petani-Pengumpul Besar dan Pabrik Beras dalam Desa-Distributor-
Pengecer-Konsumen (di Cianjur)
7. Petani-Pengumpul Besar dan Pabrik Beras dalam Desa-Distributor-
Konsumen (di Cianjur)
8. Petani-Tengkulak-Pengumpul Besar dan Pabrik Beras dalam Desa-
Pengecer-Konsumen (di Jakarta)
9. Petani-Tengkulak-Pengumpul Besar dan Pabrik Beras dalam Desa-Pabrik
Beras luar Desa-Distributor-Pengecer-Konsumen (di Jakarta)
10. Petani-Pengumpul Besar dan Pabrik Beras dalam Desa-Pabrik Beras luar
Desa-Distributor-Pengecer-Konsumen (di Jakarta)
Seluruh saluran dimulai dari tingkat petani yang kemudian melakukan
penjualan ke 3 lembaga yang berbeda, yakni tengkulak, penggiling, pengumpul
besar dan pabrik beras dalam desa. Berdasarkan volume penjualan, penjualan
petani ke 3 setiap lembaga tersebut adalah 51.98 ton beras (96.47%), 0.78 ton
beras (1.45%) dan 2.08 ton beras (2.08%). Terdapat 24 orang petani yang menjual
: Saluran 8
: Saluran 9
: Saluran 10
Keterangan :
hasil panennya melalui tengkulak, 3 orang petani langsung ke penggiling dan 3
orang langsung ke pengumpul besar dan pabrik beras dalam desa. Pada
identifikasi saluran tataniaga ini, volume produk yang mengalir pada seluruh
lembaga merupakan volume beras.
Petani pada saluran 1 menjual hasil panennya ke tengkulak. Hal ini
dikarenakan keinginan petani untuk mendapatkan uang tunai secara cepat. Petani
pada saluran 1 pada umumnya memiliki hasil panen kurang dari 1 ton sehingga
tengkulak menjemput hasil panen petani langsung dari sawah dengan
menggunakan jasa ojek dengan biaya Rp 50/kg. Kemudian tengkulak membayar
tenaga kerja yang sebelumnya melakukan pemanenan untuk mengemas hasil
panen petani dengan karung yang telah dimiliki oleh tengkulak. Biaya tersebut
sebesar Rp 6/kg. Tengkulak pun menjual GKP tersebut ke penggiling dengan
harga Rp 3 600 atau Rp 100 lebih mahal daripada harga pembeliannya di tingkat
petani. Kapasitas penggiling pada umumnya masih kecil, yakni dengan kapasitas
maksimum penggilingan 100 kg/ hari. Penggiling yang menerima GKP terlebih
dahulu menjemurnya sehingga menjadi GKG dengan biaya Rp 50/kg. Kemudian
dihasilkanlah GKG yang siap digiling dengn biaya Rp 15/kg. Dalam penggilingan
Penggiling memiliki mesin molen dan ichi yang harganya Rp 7 juta dan 15 juta.
Mesin tersebut digerakkan oleh mesin penggerak yang harganya sekitar Rp 4.5
juta. Dalam pengolahan tersebut, penggiling sebenarnya mengeluarkan biaya
penyusutan Rp 1 656 karena hanya sekitar 54% GKP menjadi beras. Pada kondisi
buruk, rendemen gabah tersebut bahkan bisa menjadi hanya 40%. Beras yang
dimiliki oleh penggiling kemudian disortir dan dikemas dengan biaya tenaga kerja
Rp 250/kg. Penyortiran dilakukan untuk mengikuti standarisasi dimana menir dan
derajat patahan beras sering menjadi kriteria utama. Karung yang digunakan
seharga Rp 1 100 dengan kapasitas 50 kg. Beras kemudian diantar dan dijual oleh
pemilik penggiling menggunakan motor atau jasa ojek dengan biaya Rp 50/kg.
Beras dijual ke pengecer dengan harga Rp 8 300 atau biasanya lebih rendah Rp
200 dengan harga di tingkat konsumen yang membeli beras di pasar kecamatan.
Pengecer pun kemudian menjual berasnya kepada konsumen dengan harga Rp 8
500. Pengecer yang menggunakan tenaga kerja dalam membantu penjualan harus
mengeluarkan biaya Rp 100/kg beras yang dikelola oleh tenaga kerja. Volume
beras yang masuk melalui tengkulak ke penggiling pada saluran ini adalah 2.59
ton, namun yang dijual RMU ke penggiling adalah 80% dari total beras yang
dihasilkan yakni 2.696 ton dan pengecer di Cianjur menjual 100% dari total beras
yang masuk yakni 11.786 ton. Total beras yang diperdagangkan pada saluran ini
adalah 17.072 ton.
Pola dalam saluran 2 dimulai dari petani, kemudian ke penggiling, pengecer
sampai ke konsumen. Pada pola ini, petani langsung menjual hasil panennya ke
penggiling karena jarak penggiling yang dianggap dekat dan petani juga ingin
menginginkan uang tunai secara cepat. Selain itu, motivasi utama yang
mendorong petani ingin langsung menjual hasil panennya ke penggiling adalah
penerimaan yang akan lebih tinggi karena harga jual oleh petani menjadi Rp 100
lebih tinggi dibandingkan apabila menjual ke tengkulak. Harga jual GKPnya
menjadi Rp 3 600. Sebenarnya pada pola ini, petani menanggung biaya pemasaran
seperti pengemasan dan pengangkutan yang besarnya sama dengan biaya
pemasaran yang ditanggung oleh tengkulak pada saluran pertama. penggiling
yang membeli hasil panen padi juga mengembalikan karung yang telah digunakan
oleh petani dalam proses penjualan. GKP yang kemudian diolah penggiling
menjadi beras kembali dijual oleh penggiling ke pengecer. Pengecer pada saluran
2 ini sama seperti saluran 1 yang juga menjual beras dengan harga Rp 8 500.
Volume beras petani responden yang dijual langsung ke RMU adalah 0.78 ton,
volume beras RMU yang dijual kepada pengecer adalah 80% dari total beras yang
dihasilkan yakni 2.696 ton dan pengecer di Cianjur menjual 100% dari total beras
yang masuk yakni 11.786 ton. Total beras yang diperdagangkan pada saluran ini
adalah 15.262 ton.
Pola saluran 3 adalah kondisi dimana petani menjual hasil panennya melalui
tengkulak lalu ke penggiling, hampir sama dengan saluran 1, namun pada saluran
ini penggiling langsung menjual berasnya pada konsumen. Pada umumnya
konsumen yang membeli ke penggiling langsung adalah konsumen yang jarak
tempat tinggalnya berada di dekat penggiling. Harga jual penggiling kepada
konsumen sama dengan harga di tingkat pengecer yakni Rp 8 500. Volume beras
yang masuk melalui tengkulak ke RMU pada saluran ini adalah 2.59 ton atau 5%
dari total beras di tengkulak, namun yang dijual RMU ke konsumen adalah 20%
dari total beras yang dihasilkan yakni 0.674 ton. Total beras yang diperdagangkan
pada saluran ini adalah 3.264 ton.
Petani pada saluran 4 menjual hasil panennya kepada tengkulak. Tengkulak
menjemput langsung hasil panen petani untuk memberi kemudahan kepada petani.
Hasil panen petani dibeli oleh tengkulak dengan harga Rp 3 700/kg. Namun,
tengkulak pun harus mengeluarkan biaya pemasaran yakni pengangkutan
menggunakan mobil Rp 150 000 untuk kapasitas 4 000 kg, tenaga kerja pemuatan
dan bongkar muat masing-masing Rp 10/kg dan biaya kemasan Rp 6/kg sama
seperti biaya kemasan pada saluran 1. Tengkulak pada umumnya merupakan
lembaga yang disukai oleh pengumpul besar dan pabrik beras dalam desa
sehingga pengumpul besar dan pabrik beras membayar tengkulak dengan harga
beli Rp 3 800 atau Rp 100 lebih tinggi daripada pembelian pabrik tersebut
terhadap petani. Hal ini disebabkan pembelian melalui tengkulak dianggap lebih
mudah karena volume di tingkat tengkulak lebih besar. Pengumpul besar dan
pabrik beras pun kemudian melakukan pengolahan dengan cara dijemur dengan
biaya Rp 40/kg. Proses pengolahan sebagai pabrik beras membutuhkan biaya lain
selain biaya penjemuran diantaranya biaya penggilingan Rp 15/kg, sortir Rp
150/kg dan pengemasan Rp 0.3/kg beras. Pabrik beras menggunakan kemasan
yang harganya Rp 1 300/karung dengan kapasitas 50 kg atau biaya karung adalah
Rp 26/kg. Karung tersebut dibuat dan dibeli di Kabupaten Cianjur. Karung
sebagai kemasan disertai merek dari pabrik tersebut. Beras yang dijual juga
mengalami proses pemindahan tempat sehingga membutuhkan biaya pemuatan
,bongkar muatan dan biaya pengangkutan. Biaya pemuatan dan bongkar muatan
masing-masing sebesar Rp 10/kg. Untuk penjualan ke distributor yang berada di
Cianjur biaya transportasi sekitar Rp 37.5. Distributor kemudian menjual berasnya
kepada pengecer dengan menanggung biaya transportasi penjualan dan bongkar
muatnya. Biaya pemuatan dan transportasi sama dengan tingkat pemuatan dan
transportasi di tingkat pengumpul besar dan pabrik besar. Selanjutnya, pengecer
menjual berasnya ke konsumen akhir dengan harga Rp 8 500. Volume penjualan
beras yang masuk ke pengumpul besar dan pabrik beras ialah 95% dari total beras
yang ada di tengkulak yakni 49.381 ton. Beras yang dijual oleh pengumpul besar
dan pabrik beras tersebut ke distributor di Cianjur sebesar 20% dari total beras
dihasilkan yakni 10.10 ton. Beras yang dijual distributor ke pengecer 90% dari
total beras dimilikinya yakni 9.09 ton dan dari pengecer ke konsumen akhir di
Cianjur adalah 100% atau 11.786 ton. Total beras yang diperdagangkan pada
saluran ini adalah 80.357 ton.
Saluran 5 memiliki pola yang hampir sama dengan saluran 4. Harga
pembelian di tingkat petani sampai harga penjualan di tingkat pengumpul besar
dan pabrik beras sama seperti saluran 4. Dimulai dari petani kemudian tengkulak,
pengumpul besar dan pabrik beras dalam desa, distributor namun berikutnya beras
dijual langsung ke konsumen akhir. Distributor yang membeli beras dari
pengumpul besar dan pabrik beras seharga Rp 7 800 menjual beras tersebut ke
konsumen akhir dengan Rp 8 200. Dalam hal ini, konsumen akhir diuntungkan
karena memperoleh harga lebih rendah Rp 300 apabila dibandingkan membeli di
pengecer seperti pada saluran 4. Volume penjualan beras yang masuk ke
pengumpul besar dan pabrik beras ialah 95% dari total beras yang ada di
tengkulak yakni 49.381 ton. Beras yang dijual oleh pengumpul besar dan pabrik
beras tersebut ke distributor di Cianjur sebesar 20% dari total beras dihasilkan
yakni 10.10 ton. Beras yang dijual distributor ke konsumen akhir 10% dari total
beras dimilikinya yakni 1.01 ton. Total beras yang diperdagangkan pada saluran
ini adalah 72.277 ton.
Petani pada saluran 6 langsung menjual hasil panennya kepada pengumpul
besar dan pabrik beras dalam desa. Harga jual petani ke pengumpul besar dan
pabrik beras tersebut sebenarnya sama dengan harga jual kepada tengkulak.
Namun, jarak yang dianggap dekat dan kebutuhan uang tunai secepatnya menjadi
alasan petani menjual ke pengumpul besar dan pabrik beras. Selain itu, hal ini bisa
saja disebabkan tengkulak juga merasa kurang tertarik melakukan pembelian
kepada petani tersebut karena hasil panen yang sedikit atau jarak menuju lokasi
pembelian dirasakan jauh oleh tengkulak. Harga beli pengumpul besar dan pabrik
beras dalm desa adalah Rp 3 700. GKP yang selanjutnya diolah oleh pengumpul
besar dan pabrik beras disalurkan melalui distributor, pengecer sampai ke
konsumen akhir dimana polanya sssshampir sama dengan saluran 4. Harga jual di
pengecer adalah Rp 8 500. Volume penjualan beras yang masuk ke pengumpul
besar dan pabrik beras ialah 1.12 ton secara langsung dari petani responden. Beras
yang dijual oleh pengumpul besar dan pabrik beras tersebut ke distributor di
Cianjur sebesar 20% dari total beras dihasilkan yakni 10.10 ton. Beras yang dijual
distributor ke pengecer 90% dari total beras dimilikinya dan dari pengecer ke
konsumen akhir di Cianjur adalah 100% atau 11.786 ton. Total beras yang
diperdagangkan pada saluran ini adalah 32.096 ton.
Saluran 7 melalui petani, pengumpul besar dan pabrik beras dalam desa,
distributor langsung ke konsumen akhir. Perbedaan saluran ini ke saluran 5 adalah
petani menjual langsung GKP ke pengumpul besar dan pabrik beras, namun harga
beli pengumpul besar dan pabrik beras kepada petani berbeda dengan harga beli
kepada tengkulak, harga beli petani kepada sebesar Rp 3 700. Pengumpul besar
dan pabrik beras selanjutnya mengolah dan menjual beras kepada distributor dan
kemudian dijual ke konsumen akhir. Harga jual di konsumen akhir oleh
distributor adalah Rp 8 200. Volume penjualan beras yang masuk ke pengumpul
besar dan pabrik beras ialah 1.12 ton secara langsung dari petani responden. Beras
yang dijual oleh pengumpul besar dan pabrik beras tersebut ke distributor di
Cianjur sebesar 20% dari total beras dihasilkan yakni 10.10 ton. Beras yang dijual
distributor ke konsumen akhir 10% dari total beras dimilikinya yakni 1.01 ton.
Total beras yang diperdagangkan pada saluran ini adalah 12.23 ton.
Saluran 8 dimulai dari petani yang menjual hasil panennya melalui
tengkulak. Harga GKP biasanya Rp 3 700. Hasil panen tersebut kemudian
mengalir ke pengumpul besar dan dan pabrik beras dalam desa. Setelah itu, GKP
diolah oleh pengumpul besar dan pabrik beras menjadi beras dengan biaya
pengolahan sama seperti saluran 4. Beras kemudian dijual ke pengecer di Jakarta
terutama yang berada di pasar Induk Cipinang. Biaya transportasi yang harus
ditanggung oleh pengumpul besar dan pabrik beras adalah Rp 125/kg. Biaya
bongkar muat juga ditanggung oleh pengumpul besar dan pabrik beras.
Pemesanan biasanya dilakukan melalui telepon. Setiap pengantaran pada
umumnya berkisar 2-10 ton beras untuk beberapa orang pengecer. Pengecer
kemudian menjual berasnya kepada konsumen akhir dengan harga Rp 9 500.
Volume penjualan beras yang masuk ke pengumpul besar dan pabrik beras ialah
95% dari total beras yang ada di tengkulak yakni 49.381 ton. Beras yang dijual
oleh pengumpul besar dan pabrik beras tersebut ke pengecer adalah 40% dari total
beras yang dimilikinya, yakni 20.20 ton. Pengecer kemudian 100% menjual
berasnya, yakni 40.40 ton. Total beras yang diperdagangkan pada saluran ini
adalah 109.981 ton.
Saluran 9 dimulai dari petani yang menjual hasil panennya kepada
tengkulak dengan harga Rp 3 700 dimana tengkulak mengeluarkan biaya-biaya
pemasaran seperti pada saluran 4. Lalu dari tengkulak, GKP dijual kepada
pengumpul besar dan pabrik beras dalam desa. Namun, pada lembaga ini gabah
tidak diolah menjadi beras melainkan tetap menjadi GKP atau hanya dijemur
menjadi GKG. Proses tersebut membutuhkan aktivitas penyimpanan. Risiko GKP
menyusut dapat mencapai 3%. GKP atau GKG kemudian dijual kepada pabrik
beras luar desa yang skalanya lebih besar bahkan kapasitas penggilingan pabrik
tersebut dapat mencapai 20 000 kg/hari. Harga GKP yang dibayarkan oleh pabrik
beras lebih besar Rp 200/kg daripada harga pembelian pengumpul besar terhadap
tengkulak desa. Biaya transportasi dan pemuatan seluruhnya ditanggung oleh
pengumpul besar. Apabila yang menjemput GKP adalah pabrik beras maka harga
pembelian pabrik lebih besar Rp 100 terhadap harga pembelian pengumpul besar
di tengkulak desa. Pabrik beras dengan skala besar telah dapat memanfaatkan
semua bagian dari proses ini menjadi lebih efektif. Dedak yang menjadi hasil
sampingan penggilingan GKP dijual seharga Rp 2 300-2 700/kg. Rata-rata dedak
yang dihasilkan adalah 20% dari total gabah yang digiling. Selain itu, abu hasil
penggilingan dijual Rp 5 000/karung. Penggilingan yang menghasilkan beras 20
ton bisa menghasilkan 50 karung abu. Selain itu, sekam sebagai bahan bakar
penggilingan, diperoleh kembali oleh pabrik beras sebanyak 50 karung dalam
setiap penggilingan gabah yang menghasilkan beras 20 ton. Mesin-mesin yang
digunakan antara lain mesin penggerak, pengering, pemoles, penggiling dan
pengering. Beras yang dihasilkan oleh pabrik beras kemudian dijual ke distributor
di Cipinang yang kapasitas gudangnya mencapai 600 ton untuk setiap gudang.
Harga jual beras oleh pabrik beras ialah Rp 8 700. Pabrik beras bertanggungjawab
dalam bongkar muat dan transportasi penjualan yang mencapai Rp 125/kg.
Retribusi di jalan juga ditanggung oleh pabrik beras yang besarnya Rp 10/kg.
Distributor yang kapasitasnya sangat besar tersebut memang tidak hanya membeli
dari Cianjur saja, namun beras dari beberapa daerah di Indonesia seperti Demak,
Karawang, Kabupaten Bandung dan beberapa daerah lain. Pabrik beras yang
menjadi mitra distributor telah bekerjasama dengan waktu yang lama secara
berlanjut. Hal ini untuk memudahkan standar beras yang diterapkan distributor
berjalan dengan baik, meskipun sebenarnya tetap selalu terdapat pemeriksaan
produk saat beras sampai di distributor. Beras yang diperoleh distributor
kemudian dijual ke pengecer dimana biaya bongkar muat dan transportasi kini
menjadi tanggung jawab distributor. Retribusi melintasi lokasi gudang Cipinang
yakni Rp 10/kg kini ditanggung oleh distributor. Hal ini tentu biaya tambahan
selain biaya sewa gudang mencapai Rp 180 juta/gudang dan pajak usaha. Setelah
beras dijual ke tingkat pengecer, beras kemudian seluruhnya dijual oleh pengecer
ke konsumen dengan harga Rp 9 700. Volume penjualan beras yang masuk ke
pengumpul besar dan pabrik beras ialah 95% dari total beras yang ada di
tengkulak yakni 49.381 ton. Beras yang dijual oleh pengumpul besar dan pabrik
beras tersebut ke pabrik beras yang skalanya lebih besar di Cianjur sebesar 40%
dari total beras dihasilkan yakni 20.20 ton. Beras yang dijual oleh pabrik beras
tersebut ke distributor adalah 100% dari total beras dimilikinya yakni 20.20 ton.
Beras yang dijual oleh distributor ke pengecer adalah 100% dari beras yang
dimilikinya yakni 20.20 ton. Pengecer pun secara langsung menjual 100% beras
yang dibelinya, yakni 40.40 ton. Total beras yang diperdagangkan pada saluran ini
adalah 150.381 ton.
Saluran 10 memiliki kesamaan dengan saluran 9, namun pada saluran ini
hasil panen petani langsung dijual kepada pengumpul besar dan pabrik beras.
Berikutnya GKP atau GKG disalurkan melaui pabrik beras, distributor, pengecer
sampai ke konsumen. Volume penjualan beras yang masuk ke pengumpul besar
dan pabrik beras melalui responden petani secara langsung adalah 1.12 ton. Beras
yang dijual oleh pengumpul besar dan pabrik beras tersebut ke pabrik beras yang
skalanya lebih besar di Cianjur sebesar 40% dari total beras dihasilkan yakni
20.20 ton. Beras yang dijual oleh pabrik beras tersebut ke distributor adalah
100% dari total beras dimilikinya yakni 20.20 ton. Beras yang dijual oleh
distributor ke pengecer adalah 100% dari beras yang dimilikinya yakni 20.20 ton.
Pengecer pun secara langsung menjual 100% beras yang dibelinya, yakni 40.40
ton.
Analisis Struktur Pasar
Struktur pasar secara umum merupakan karakteristik yang mempengaruhi
keputusan pelaku pasar. Struktur pasar dapat dianalisis secara kuantitatif dan
kualitatif. Secara kuantitatif, struktur pasar dianalisis berdasarkan konsentrasi
rasio, namun penelitian ini hanya membahas hasil analisis kualitatif yakni dengan
menganalisis menggunakan beberapa indikator. Indikator tersebut antara lain
jumlah pembeli dan penjual, sifat produk, hambatan masuk dan keluar pasar pasar
serta informasi mengenai harga dan kualitas produk. Berikut merupakan analisis
struktur pasar di setiap lembaga tataniaga dalam penelitian ini.
Struktur Pasar di Tingkat Petani
Struktur pasar di tingkat petani cenderung mendekati struktur pasar
persaingan sempurna. Hal ini dilihat dari jumlah petani sebagai penjual GKP
berjumlah banyak begitu juga jumlah pembeli. Beras sebagai kebutuhan pokok di
Indonesia menjadikan permintaan akan hasil panen padi di tingkat petani juga
tinggi. Selain itu, pangsa pasar masing-masing petani juga masih kecil terutama
karena belum bekerjanya kelompok tani di tingkat petani sebagai lembaga
tataniaga sehingga petani juga belum dapat mempengaruhi harga pasar. GKP
sebenarnya produk subsitusinya masih sangat sulit, namun petani sebagai individu
tidak mampu mempengaruhi harga pasar karena ukuran dan skala usaha petani
sebagai individu kecil dan petani tidak melakukan perubahan produk sehingga
pembeli GKP dapat berpindah secara mudah apabila petani menaikkan harga jual
mereka. Untuk memasuki pasar juga cenderung mudah, artinya petani baru baik
sebagai penggarap, penyewa, atau pemilik lahan dapat memperoleh keuntungan
dalam setiap musim panen. Hambatan keluar pasar juga tidak begitu sulit, artinya
petani dapat beralih profesi karena faktor produksi utama yang dimanfaatkan oleh
petani adalah lahan yang dapat dimanfaatkan dalam bentuk usaha lain. Petani juga
tidak perlu mengeluarkan biaya lain apabila ingin beralih profesi apalagi petani di
Cibeber belum menggunakan alat atau mesin pertanian modern yang mahal.
Informasi pasar mengenai persediaan dan harga GKP di Kecamatan Cibeber juga
relatif mudah didapat oleh petani karena lokasi lahan dan tempat tinggal petani
saling berdekatan, namun informasi harga terutama di konsumen akhir yang
berada di Cianjur masih cukup sulit didapatkan petani. Petani melalui kelompok
tani juga sering berkumpul dan mengadakan kegiatan berbagi informasi harga,
teknik budidaya serta program pemerintah yang secara langsung maupun tidak
langsung mempengaruhi petani padi di Cibeber tersebut.
Struktur Pasar di Tingkat Tengkulak
Dilihat sebagai pembeli, tengkulak cenderung oligopsoni terhadap petani.
Hal ini berdasarkan jumlah tengkulak yang relatif lebih sedikit dibandingkan
jumlah petani sebagai penjual hasil panen. GKP tetap merupakan produk yang
belum terdifrensiasi secara baik. Sebagai pembeli juga terdapat hambatan yang
cukup sulit terutama bagi tengkulak baru. Jaringan yang dibangun oleh tengkulak
terhadap petani pada umumnya telah terbentuk dalam waktu yang sangat lama,
bahkan berpuluhan tahun. Petani bahkan sering merasa tidak nyaman saat
melakukan penjualan melalui tengkulak lain atau lembaga lain karena telah lama
melakukan kerjasama dengan tengkulak yang tujuan penjualannya saat ini.
Informasi mengenai harga pembelian GKP oleh tengkulak kebanyakan hanya
dipengaruhi informasi harga yang ditawarkan pengumpul besar atau penggiling
yang menjadi tujuan penjualan tengkulak tersebut selanjutnya.
Dilihat sebagai penjual, tengkulak cenderung mendekati pasar persaingan
sempurna. Jumlah tengkulak memang lebih sedikit daripada petani, namun
sebenarnya jumlah tersebut lebih banyak dibandingkan jumlah lembaga tujuan
penjualan tengkulak berikutnya. Tengkulak sebenarnya hanya sebagai pengambil
harga yang menjadi tujuan penjualannya selama ini. GKP yang disalurkan
merupakan produk yang belum terdefrensiasi sehingga tengkulak masih sebagai
penerima harga. Hambatan masuk pasar cukup sulit karena pada umumnya
tengkulak juga merupakan orang kepercayaan yang telah lama bekerjasama
dengan pengumpul besar atau pabrik beras. Kepercayaan terhadap tengkulak
untuk menyediakan gabah secara berlanjut menyebabkan tengkulak mendapatkan
harga pembelian yang lebih tinggi oleh pengumpul besar dan pabrik beras jika
dibandingkan harga pembelian GKP oleh pengumpul besar atau pabrik beras di
tingkat petani. Informasi pasar oleh tengkulak juga cenderung terbatas dari
pengumpul besar dan pabrik beras atau dari penggiling saja.
Struktur Pasar di Tingkat Penggiling
Struktur pasar di tingkat penggiling baik sebagai pembeli maupun penjual
berada pada pasar persaingan tidak sempurna. Hal ini berdasarkan jumlah
penggiling yang cukup banyak namun pangsa pasar setiap penggiling relatif kecil.
Produk yang disalurkan belum terdifrensiasi. Hambatan menjadi penggiling
sebenarnya tidak begitu sulit apabila dilihat dari jumlah pembiayaan yang
dijalankan atau mesin yang dimiliki. Namun, jaringan petani yang menjual hasil
panennya kepada penggiling cukup kuat meskipun harga pembelian yang
dilakukan penggiling lebih rendah daripada harga pembelian di tingkat pabrik
yang lebih efisien. Informasi mengenai harga banyak dipengaruhi oleh harga di
tingkat pengecer di pasar kecamatan maupun di pasar induk. Informasi untuk
memperluas pangsa pasar oleh penggiling sangat sulit diraihnya karena
keterbatasan sumber daya yang dimiliki.
Struktur Pasar Pengumpul Besar dan Pabrik Beras dalam Desa
Sebagai pengumpul besar, struktur pasar yang dihadapi dari sisi pembeli
maupun penjual adalah cenderung pasar persaingan tidak sempurna. Cukup
banyak jumlah pengumpul besar yang membeli GKP dari petani dan menjualnya
kembali ke pabrik beras yang skalanya lebih besar. Pengumpul besar memperoleh
posisi tawar yang lebih baik ketika berhadapan dengan pabrik besar yang skalanya
kecil karena pengumpul besar tersebut juga sebenarnya memiliki mesin
pengolahan sendiri. Harga pembelian GKP oleh pabrik beras yang skalanya lebih
besar juga lebih tinggi terhadap pengumpul besar dibandingkan dengan harga
pembelian di tingkat petani. Informasi pasar mengenai harga gabah dan beras di
tingkat pasar sebenarnya juga didapatkan oleh pengumpul besar meskipun pada
kenyataannya pengumpul tersebut tidak dapat mengolah dan memanfaatkan data
tersebut karena ukuran dan pangsa pasar pengumpul besar yang masih rendah.
Hambatan masuk sebagai pengumpul besar cukup sulit karena harus memiliki
pembiayaan atau modal seperti alat transportasi sebagai alat pengangkutan hasil
panen padi.
Pabrik beras yang sebelumnya merangkap sebagai pengumpul besar disini
cenderung berada pada struktur pasar oligopsoni jika dilihat dari sisi pembeli. Hal
ini disebabkan pabrik beras sekaligus pengumpul besar ini jumlahnya sebenarnya
sedikit di setiap desa di Kecamatan Cibeber apalagi jika dibandingkan dengan
jumlah tengkulak dan petani di desa tersebut. Hal tersebut menjadikan posisi
tawar pabrik beras ketika membeli lebih kuat dan bahkan harga pesaing sesama
pabrik yang paling besar mempengaruhi harga pembelian hasil panen oleh pabrik
beras. Hambatan menjadi pabrik beras juga cukup besar karena harus memiliki
jaringan tengkulak, mesin pengolahan dan transportasi serta pembiayaan yang
cukup dalam operasional pabrik. Informasi mengenai kesediaan gabah juga relatif
baik dikuasai oleh pabrik beras karena memiliki jaringan tengkulak dan sesama
pabrik beras. Dari sisi penjual, pabrik beras berada pada struktur pasar
monopolistik. Hal ini disebabkan pabrik beras mempunyai alternatif saluran
penjualan yakni ke grosir, pengecer atau bahkan hanya menjual gabah ke pabrik
yang skalanya lebih besar dan lebih efisien. Meskipun memang setiap pabrik
beras yang berada pada tingkat desa tidak dapat mempengaruhi harga
keseimbangan pasar secara langsung, namun posisi tawarnya lebih baik
dibandingkan dengan petani. Jumlah beras yang ditahan dan dijual oleh pabrik
beras secara agregat dapat mempengaruhi tingkat harga.
Struktur Pasar di Tingkat Pabrik Beras luar Desa
Sebagai pembeli maupun penjual pabrik beras cenderung menghadapi
struktur pasar oligopsoni dan oligopoli. Sebagai pembeli, jumlah pabrik beras
yang asetnya mencapai Rp 7 milyar dalam penelitian sangat sedikit dibandingkan
tujuan pembeliannya seperti petani, tengkulak, bahkan pengumpul besar dan
pabrik beras yang dijelaskan sebelumnya. Hal ini mengakibatkan posisi tawarnya
cukup kuat ketika berhadapan dengan penjual. Selain itu, pabrik beras juga
mampu berproduksi dengan lebih efisien sehingga harga pembeliannya cukup
tinggi. Sebagai penjual, jumlah pabrik beras juga sangat sedikit apabila
dibandingkan dengan jumlah distributor. Pangsa pasarnya cukup baik dan
mencapai distributor diluar Cianjur. Gudang penyimpanan yang dimiliki cukup
besar sehingga mampu mengatur tingkat penawaran ke tingkat distributor yang
secara langsung akan mempengaruhi harga beras meskipun secara agregat nilai
pengaruhnya masih sangat kecil. Pabrik beras juga dengan skala besar juga sangat
mempertimbangkan keputusan harga yang ditetapkan oleh pabrik beras dengan
ukuran besar di tempat lain. Hambatan menjadi pabrik beras dalam penelitian ini
sangat besar karena membutuhkan pembiayaan yang besar. Hambatan keluar juga
cukup besar karena mesin yang harganya sangat mahal dan memiliki umur
ekonomis rata-rata diatas 10 tahun.
Struktur Pasar di Tingkat Distributor
Distributor di Cianjur cenderung menghadapi struktur pasar persaingan
tidak sempurna oligopoli. Jumlahnya cukup banyak jika dibandingkan dengan
dengan jumlah pabrik beras, namun, jika dibandingkan dengan pengecer
jumlahnya memang lebih sedikit. Produk yang disalurkan merupakan beras yang
subsitusinya masih dirasakan sulit di Indonesia, namun tetap saja karena beras
yang dijual oleh distributor tidak mengalami perlakukan khusus sehingga pembeli
dapat dengan mudah berpindah ke distributor lain apabila harga beras tidak
mengikuti harga pasar. Hambatan masuk adalah pembiayaan yang cukup besar
ditambah modal lain seperti alat pengangkutan atau transportasi dan lokasi
penyimpanan yang strategis. Hambatan keluar relatif lebih mudah karena tidak
ada keterikatan usaha dan penggunaan mesin pengolahan. Informasi pasar didapat
dari sesama distributor maupun kondisi di pengecer. Distributor di Cipinang
cenderung pada oligopoli. Hal ini disebabkan fungsinya sebagai penyalur beras
memiliki kapasitas besar bahkan penyimpanan mencapai ratusan ton. Hal ini
meyebabkan terdapat kemampuan distributor ini mempengaruhi pasar dengan
penentuan beras yang akan ditawarkannya ke pasar. Informasi pasar dapat dengan
mudah didapat dari pengecer di pasar. Selain itu, distributor disini juga banyak
dipengaruhi kebijakan pemerintah dalam penentuan harga jual meskipun secara
tidak langsung.
Struktur Pasar di Tingkat Pengecer
Struktur pasar di tingkat pengecer cenderung mendekati pasar persaingan
sempurna. Jumlah pengecer cukup banyak ketika berhadapan dengan distributor.
Produk yang disalurkan adalah beras yang sebenarnya masih menjadi kebutuhan
pokok di Indonesia, namun beras di masing-masing pengecer belum terdifrensiasi
dengan baik. Hambatan masuk dan keluar cenderung mudah. Informasi pasar
terutama berasal dari sesama pengecer atau dari pemasok beras kepadanya seperti
distributor. Pengecer dengan pangsa pasar kecil adalah sebagai penerima harga
keseimbangan dan pengecer tentunya berusaha menjual di harga keseimbangan
yang berlaku di pasar. Apabila pengecer menjual dibawah harga keseimbangan,
tentu membuat usahanya memperoleh keuntungan yang semakin kecil padahal
beras yang dijual juga sedikit. Apabila pengecer menjual diatas harga
keseimbangan, konsumen yang membeli kepadanya akan berkurang atau bahkan
beralih ke penjual lain.
Analisis Perilaku Pasar
Perilaku pasar dapat digambarkan sebagai aktivitas yang dilakukan
menghadapi dan menyesuaikan kondisi pasar atau struktur pasar. Pada penelitian
ini akan dibahas aktivitas pembelian dan penjualan, penentuan harga dan sistem
pembayaran, kerjasama lembaga pemasaran. Berikut pembahasan mengenai
aktivitas tersebut yang terjadi pada setiap lembaga.
Aktivitas Pembelian dan Penjualan
Petani pada umumnya menjual gabah kering panen setelah melakukan
pemanenan. Petani cenderung lebih menyukai menjual GKP dibandingkan GKG
karena menginginkan uang tunai secepatnya. Tujuan penjualan petani adalah ke
penggiling, tengkulak, maupun pengumpul besar dan pabrik beras. Saat penjualan
ke tengkulak, petani biasanya telah melakukan perjanjian ke tengkulak beberapa
minggu sebelum masa panen agar tengkulak menjemput hasil panennya. Biaya
pengemasan dan transportasi menjadi tanggung jawab tengkulak. Sistem tebas
atau borongan juga sering dilakukan antara petani dan tengkulak. Antara petani
petani dan tengkulak telah menyepakati harga pembelian hasil panen padi petani
dimana aktivitas ini dilakukan sebelum masa panen. Biaya pemanenan biasanya
menjadi tanggung jawab pemborong atau tengkulak. Hal ini sebenarnya dapat
menyebabkan kerugian bagi petani atau tengkulak karena risiko produksi dan
harga nantinya. Saat penjualan ke penggiling atau pengumpul besar dan pabrik
beras, petani dapat mendatangi langsung lembaga tersebut dan biaya taransportasi
kini menjadi tanggung jawab petani.
Aktivitas penjualan tengkulak sendiri dilakukan ke penggiling atau
pengumpul besar dan pabrik beras. Pada umumnya, tengkulak telah melakukan
kesepakatan harga beli oleh penggiling atau pengumpul besar dan pabrik beras
tersebut. Biaya transportasi, tenaga bongkar muat ke lembaga tujuan menjadi
tanggung jawab tengkulak. Tengkulak pada umumnya telah menjadi mitra
penggiling atau pengumpul besar dan pabrik beras. Pada saat panen raya, biasanya
tengkulak diberikan pinjaman modal untuk membeli hasil pembelian dari petani
Pembelian penggiling sendiri biasanya berasal tengkulak, meskipun tetap ada yang berasal dari petani. Tujuan penjualannya adalah ke pengecer dan konsumen. Saat mengantarkan ke pengecer, biaya transportasi ditanggung oleh penggiling sehingga harga jualnya lebih mahal dibandingkan ke konsumen yang langsung membeli ke lokasi penggiling. Penggiling sendiri biasanya masih memiliki skala kecil dan hanya melakukan pembelian dan penjualan kepada lembaga yang jaraknya tidak begitu jauh dari lokasi penggiling.
Pengumpul besar dan pabrik beras melakukan pembelian gabah dari petani
dan tengkulak kemudian beras hasil olahan dijual ke pengecer atau distributor.
Pada kondisi ini, semua biaya pengolahan dan pemasaran beras sampai ke
pengecer atau distributor ditanggung oleh pengumpul besar dan pabrik beras.
Pengecer atau distributor juga diberikan penawaran apabila ingin menjemput
beras secara langsung. Biasanya terdapat kesepakatan harga yang berbeda apabila
dijemput langsung oleh pengecer dan distributor. Sebagai pengumpul besar, GKP
atau kadang diolah menjadi GKG oleh pengumpul besar, juga dijual ke pabrik
beras yang skalanya lebih besar. Hal ini dilakukan karena kapasitas penggilingan
pengumpul besar dan pabrik beras yang terbatas padahal lembaga ini biasanya
mampu memperoleh gabah yang banyak karena lokasinya berada dekat dengan
daerah atau lokasi petani.
Pabrik beras yang skalanya lebih efisien biasanya memiliki jaringan yang
kuat. Sebagai pembeli, pabrik mampu membeli dengan harga lebih tinggi karena
skala ekonominya yang lebih baik. Pembelian gabah bukan hanya dilakukan dari
petani atau tengkulak sekitarnya, bahkan dari pengumpul besar dan pabrik beras
yang berada di daerah tersebut dan daerah lain seperti Karawang. Tujuan
penjualannya biasanya didominasi oleh distributor besar terutama yang berada di
kota. Kualitas beras yang baik menjadi kekuatan pabrik beras dalam meyakinkan
pembeli di kota-kota besar termasuk Jakarta.
Distributor melakukan pembelian dari pabrik beras dan melakukan
penjualan ke konsumen termasuk pengecer. Distributor biasanya cukup selektif
dalam memilih pabrik beras karena kualitas beras akan mempengaruhi penjualan
distributor selanjutnya. Distributor yang semakin besar biasanya mampu
melakukan penjualan dengan harga lebih rendah sehingga lebih disukai oleh
pengecer.
Aktivitas pembelian pengecer berasal dari RMU, pengecer, pengumpul
besar dan pabrik beras. Seluruh biaya pemasaran dan pengolahan sampai ke lokasi
pengecer adalah tanggung jawab lembaga tataniaga sebelumnya. Pengecer
biasanya berfokus pada penjualan ke konsumen langsung dan kebanyakan
pengecer tidak hanya melakukan penjualan beras di kios atau lokas penjualannya.
Terdapat juga pengecer yang menjemput langsung beras ke RMU dengan
mempertimbangkan harga beli lebih murah padahal biaya transportasi sebenarnya
tidak terlalu mahal.
Aktivitas Penentuan Harga dan Sistem Pembayaran
Penentuan harga pada sistem tataniaga penelitian ini pada umumnya bersifat
tawar menawar namun posisi tawar-menawar setiap lembaga tataniaga berbeda.
Petani cenderung sebagai pengambil harga dari harga yang ditetapkan oleh
tengkulak. Petani hanya dapat menawar sangat sedikit dari harga yang ditawarkan
tengkulak dan harga tersebut memang hampir sama di setiap tengkulak.
Tengkulak juga menjadi pengambil harga ketika menjual gabah ke penggiling,
pengumpul besar dan pabrik beras dimana harga yang ditetapkan oleh lembaga ini
biasanya telah memperhitungkan biaya pemasaran yang dilakukan oleh tengkulak.
Tengkulak sebagai pengambil harga karena tengkulak tidak memiliki mesin
pengolahan dan sumber daya yang memadai sehingga harus melakukan penjualan
dalam waktu cepat. Penggiling, pengumpul besar dan pabrik beras memiliki
kekuatan yang cukup baik ketika berhadapan dengan pengecer. Hal tersebut
karena pengecer jumlahnya sangat banyak. Semakin besar ukuran dan skala
penggilingan, posisi tawarnya semakin baik karena kualitas beras biasanya
semakin baik. Namun, ketika berhadapan dengan distributor, setiap pabrik beras
umumnya sangat mempertimbangkan harga yang ditetapkan oleh distributor
apalagi jika kapasitas distributor semakin besar. Hal ini didasari anggapan bahwa
distributor lebih memahami dan yang akan menaggung risiko harga beras yang
cukup berfluktuatif. Pabrik beras pada umumnya lebih mempertimbangkan jumlah
permintaan saat ingin menjual ke distributor. Distributor cenderung sangat kuat
dalam menentukan harga kepada pengecer. Pengecer hanya dapat mengikuti harga
yang ditetapkan oleh distributor. Pengecer kemudian menjual beras dengan
menetapkan harga penjualan ke konsumen dimana setiap harga jual yang
ditetapkan oleh pengecer selalu memasukkan besarnya keuntungan yang
diharapkan pengecer dan besarnya itu hampir selalu sama setiap waktunya di
tingkat pengecer. Secara umum, fokus penetapan harga adalah untuk
memaksimumkan volume transaksi lembaga-lembaga tataniaga mengingat
banyaknya pelaku tataniaga lain yang menjadi saingan.
Sistem pembayaran yang paling mendominasi adalah sistem pembayaran
tunai. Jumlah tengkulak yang banyak membuatnya berusaha meningkatkan
kepuasan petani saat menjual kepadanya terutama karena petani sangat
menginginkan uang tunai. Hampir di setiap lembaga menerapkan sistem
pembayaran tunai untuk memberikan kepuasan, namun pembayaran distributor
kepada pabrik beras sering menggunakan sistem tunda bayar yang membutuhkan
waktu 3-7 hari. Pada musim panen raya, sistem tunda bayar juga sering terjadi di
seluruh saluran karena penawaran yang tinggi sedangkan pembiayaan untuk
pembelian dari lembaga tujuan penjualan tidak mengalami peningkatan yang
signifikan.
Kerjasama Lembaga Pemasaran
Kerjasama sesama petani melalui kelompok tani masih hanya sebatas kerja
bakti seperti pengadaan irigasi. Kelompok tani sendiri belum menjadi lembaga
tataniaga yang dapat meningkatkan posisi tawar petani dengan skala usaha yang
kecil. Kerjasama petani dengan tengkulak telah berlangsung cukup lama dan
terdapat kebiasaaan hanya akan menjual melalui tengkulak. Kerjasama tengkulak
dengan penggiling, pengumpul besar dan pabrik beras dapat dilihat dari pinjaman
yang digunakan tengkulak juga sebagai modal pembelian dari petani. Hal tersebut
mengikat tengkulak untuk menjual hasil pembeliannya seluruhnya kepada
penggiling, pengumpul besar dan pabrik beras yang juga telah membantunya
selama ini. Kerjasama di tingkat penggiling, pengumpul besar dan pabrik beras
dilihat bagaimana dari pengumpul besar gabah dijual lagi ke pabrik beras lain
padahal pengumpul tersebut memiliki penggilingan. Sesama penggiling saling
berbagi informasi dan jual-beli gabah juga sehingga dapat terus berproduksi.
Lebih jauh lagi, penggiling atau pabrik beras saling berbagi informasi dan
menyepakati harga pembelian gabah yang akan mereka lakukan. Pabrik beras juga
sering memanfaatkan resi gudang sebagai bagian dari tataniaga untuk pengadaan
modal dan penundaan penjualan dengan harapan harga penjualan yang akan lebih
tinggi. Distributor yang juga melakukan penyimpanan dan mengahadapi risiko
harga juga sering bekerjasama dalam pengadaan beras dan informasi pasar.
Distributor dengan kapasitas besar saling bekerjasama untuk menentukan harga
pembelian dan penjualan. Dari bentuk kerjasama yang disampaikan belum terlihat
secara signifikan pemerintah melalui Bulog untuk bekerjasama menjadi bagian
tataniaga beras.
Analisis Marjin Pemasaran
Marjin pemasaran merupakan salah satu indikator dalam mengukur efisiensi
operasional sistem pemasaran. Marjin pemasaran merupakan selisih antara harga
jual dan harga beli pada masing-masing lembaga pemasaran dan marjin tersebut
memperhitungkan komponen biaya pemasaran dan keuntungan. Berikut Tabel 12
merupakan perhitungan marjin pemasaran pada masing-masing lembaga tataniaga
pada setiap saluran, namun marjin pemasaran tidak dihitung pada tingkat petani
karena selisih harga jual dan harga beli di tingkat petani sebenarnya mengandung
juga biaya produksi oleh petani.
Tabel 12 Marjin Pemasaran Setiap Lembaga Pemasaran pada Seluruh Saluran
Lembaga
Pemasaran
Saluran
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Tengkulak 100 100 100 100 100
Penggiling 4 700 4 700 4 700 4 100
Pengumpul
Besar dan
Pabrik Beras
4 000 4 000 4 100 100 200 300
Pabrik Beras 5 400 4 700 4 700
Distributor 400 400 400 400 700 4 700
Pengecer 200 200 300 300 300 300 300
Total Marjin 5 000 4 900 4800 4 800 4 500 4 800 4 500 5 800 6 000 6 000
Analisis Marjin Pemasaran Saluran 1
Total marjin pemasaran pada saluran 1 adalah Rp 5 000/kg beras. Total
marjin tersebut berasal dari tengkulak Rp 100, penggiling sebesar Rp 4 700/kg,
pengecer sebesar Rp 200/kg.
Total biaya pemasaran adalah Rp 2 329/kg. Total biaya tersebut berasal dari
tengkulak Rp 56, penggiling sebesar Rp 2173, pengecer sebesar Rp 100/kg.
Lampiran 1 yang menunjukkan uraian dari total biaya tersebut.
Analisis Marjin Pemasaran Saluran 2 Total marjin pemasaran pada saluran 2 adalah Rp 4 900/kg beras. Total
marjin tersebut berasal dari penggiling sebesar Rp 4 700/kg, pengecer sebesar Rp
200/kg.
Total biaya pemasaran adalah Rp 2 273/kg. Total biaya tersebut berasal dari
penggiling sebesar Rp 2173, pengecer sebesar Rp 100/kg. Lampiran 2 yang
menunjukkan uraian dari total biaya tersebut.
Analisis Marjin Pemasaran Saluran 3
Total marjin pemasaran pada saluran 3 adalah Rp 4 800/kg beras. Total
marjin tersebut berasal dari tengkulak Rp 100, RMU sebesar Rp 4 700/kg.
Total biaya pemasaran adalah Rp 2 229/kg. Total biaya tersebut berasal dari
tengkulak Rp 56, RMU sebesar Rp 2173/kg. Berikut merupakan tabel 15 yang
menunjukkan uraian dari total biaya tersebut.
Analisis Marjin Pemasaran Saluran 4
Total marjin pemasaran pada saluran 4 adalah Rp 4 800/kg beras. Total
marjin tersebut berasal dari tengkulak Rp 100, pengumpul besar dan pabrik beras
dalam desa sebesar Rp 4 000/kg, distributor sebesar Rp 400/kg, pengecer sebesar
Rp 300/kg.
Total biaya pemasaran adalah Rp 2 387.53/kg. Total biaya tersebut berasal
dari tengkulak Rp 63.5, pengumpul besar dan pabrik beras sebesar Rp 2 166.53,
distributor sebesar Rp 57.5, pengecer sebesar Rp 100/kg. Lampiran 4 yang
menunjukkan uraian dari total biaya tersebut.
Analisis Marjin Pemasaran Saluran 5
Total marjin pemasaran pada saluran 5 adalah Rp 4 500/kg beras. Total
marjin tersebut berasal dari tengkulak Rp 100, pengumpul besar dan pabrik beras
sebesar Rp 4 000/kg, distributor sebesar Rp 400/kg.
Total biaya pemasaran adalah Rp 2 330.03/kg. Total biaya tersebut berasal
dari tengkulak Rp 63.5, pengumpul besar dan pabrik beras sebesar Rp 2 166.53,
distributor sebesar Rp 100. Lampiran 5 yang menunjukkan uraian dari total biaya
tersebut.
Analisis Marjin Pemasaran Saluran 6
Total marjin pemasaran pada saluran 6 adalah Rp 4 800/kg beras. Total
marjin tersebut berasal dari pengumpul besar dan pabrik beras sebesar Rp 4
100/kg, distributor sebesar Rp 400/kg, pengecer sebesar Rp 300/kg.
Total biaya pemasaran adalah Rp 2 324.03/kg. Total biaya tersebut berasal
dari pengumpul besar dan pabrik beras sebesar Rp 2 166.53, distributor sebesar
Rp 57.5, pengecer sebesar Rp 100/kg. Lampiran 6 yang menunjukkan uraian dari
total biaya tersebut.
Analisis Marjin Pemasaran Saluran 7
Total marjin pemasaran pada saluran 7 adalah Rp 4 500/kg beras. Total
marjin tersebut berasal dari pengumpul besar dan pabrik beras sebesar Rp 4
100/kg, distributor sebesar Rp 400/kg.
Total biaya pemasaran adalah Rp 2 266.53/kg. Total biaya tersebut berasal
dari pengumpul besar dan pabrik beras sebesar Rp 2 166.53, distributor sebesar
Rp 100. Lampiran 7 yang menunjukkan uraian dari total biaya tersebut.
Analisis Marjin Pemasaran Saluran 8
Total marjin pemasaran pada saluran 8 adalah Rp 5 800/kg beras. Total
marjin tersebut berasal dari tengkulak Rp 100, pengumpul besar dan pabrik beras
sebesar Rp 5 400/kg, pengecer sebesar Rp 300/kg.
Total biaya pemasaran adalah Rp 2 427.53/kg. Total biaya tersebut berasal
dari tengkulak Rp 63.5, pengumpul besar dan pabrik beras sebesar Rp 2 264.03,
pengecer sebesar Rp 100. Lampiran 8 yang menunjukkan uraian dari total biaya
tersebut.
Analisis Marjin Pemasaran Saluran 9
Total marjin pemasaran pada saluran 9 adalah Rp 6 000/kg beras. Total
marjin tersebut berasal dari tengkulak Rp 100, pengumpul besar dan pabrik beras
sebesar Rp 200/kg, pabrik beras sebesar Rp 4 700, distributor sebesar Rp 700/kg,
pengecer sebesar Rp 300/kg.
Total biaya pemasaran adalah Rp 2 568.53/kg. Total biaya tersebut berasal
dari tengkulak Rp 63.5, pengumpul besar dan pabrik beras sebesar Rp 67.5, pabrik
beras sebesar Rp 2255.03 distributor sebesar Rp 82.5, pengecer sebesar Rp
100/kg. Lampiran 9 yang menunjukkan uraian dari total biaya tersebut.
Analisis Marjin Pemasaran Saluran 10
Total marjin pemasaran pada saluran 10 adalah Rp 6 000/kg beras. Total
marjin tersebut berasal dari pengumpul besar dan pabrik beras sebesar Rp 300/kg,
pabrik beras sebesar Rp 4 700, distributor sebesar Rp 700/kg, pengecer sebesar Rp
300/kg.
Total biaya pemasaran adalah Rp 2 505.03/kg. Total biaya tersebut berasal
pengumpul besar dan pabrik beras sebesar Rp 67.5, pabrik beras sebesar Rp
2255.03 distributor sebesar Rp 82.5, pengecer sebesar Rp 100/kg. Lampiran 10
yang menunjukkan uraian dari total biaya tersebut.
Analisis Farmer’s Share Farmer’s share merupakan salah satu indikator yang menunjukkan efisiensi
operasional di tingkat petani berdasarkan perbandingan harga di tingkat petani
dengan harga di tingkat konsumen akhir. Berikut Tabel 13 yang menunjukkan
farmer’ share di setiap saluran tataniaga.
Tabel 13 Nilai Farmer’s Share pada Setiap Saluran Pemasaran
Saluran
Tataniaga
Harga Gabah di
Tingkat Petani(Rp/Kg)
Harga Beras di Tingkat
Konsumen Akhir(Rp/Kg)
Farmer’s Share
(%)
1 3 500 8 500 41.17
2 3 600 8 500 42.35
3 3 500 8 500 41.17
4 3 700 8 500 43.52
5 3 700 8 200 45.12
6 3 700 8 500 43.52
7 3 700 8 200 45.12
8 3 700 9 500 38.94
9 3 700 9 700 38.14
10 3 700 9 700 38.14
Nilai farmer’ share pada saluran yang terbesar adalah pada saluran 5 dan
7, yakni 45.12 % dimana marjin pemasaran pada saluran tersebut adalah yang
paling kecil, yakni Rp 4 500. Hal tersebut sesuai dengan teori bahwa semakin
kecil marjin pemasaran maka semakin besar farmer’s share. Hal ini juga
menggambarkan secara tidak langsung petani lebih diuntungkan dengan proporsi
harga terhadap konsumen akhir apabila menjual ke pengumpul besar dan pabrik
beras yang mengolah dan menjual beras ke distributor yang secara langsung
menjual ke konsumen akhir.
Analisis Rasio Keuntungan dan Biaya
Rasio keuntungan dan biaya yang menggambarkan keuntungan yang
diperoleh masing-masing lembaga tataniaga pada setiap satuan rupiah biaya
pemasaran yang dikeluarkan dapat dilihat pada Tabel 14
Lembaga
Tataniaga
Saluran Pemasaran
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Petani
Marjin
Pemasaran
Biaya 56 56 56 56 56
Pemasaran (c)
Keuntungan (
Rasio (
Tengkulak
Marjin
Pemasaran
100 100 100 100 100 100
Biaya
Pemasaran(c)
56 56 63.5 63.5 63.5 63.5
Keuntungan( 44 44 36.5 36.5 36.5 36.5
Rasio( 0.78 0.78 0.57 0.57 0.57 0.57
RMU
Marjin
Pemasaran
4700 4700 4700
Biaya
Pemasaran(c)
2173 2173 2173
Keuntungan( 2527 2527 2527
Rasio( 1.16 1.16 1.16
Pengumpul Besar dan Pabrik Beras
Marjin
Pemasaran
4000 4000 4100 4100 5400 200 300
Biaya
Pemasaran(c)
2166.53 2166.53 2166.53 2166.53 2264.03 67.5 67.5
Keuntungan( 1833.47 1833.47 1933.47 1933.47 3135.97 132.5 232.5
Rasio( 0.84 0.84 0.89 0.89 1.38 1.96 3.44
Pabrik Beras
Marjin
Pemasaran
4700 4700
Biaya
Pemasaran(c)
2255.03 2255.03
Keuntungan( 2444.97 2444.97
Rasio( 1.08 1.08
Distributor
Marjin
Pemasaran
400 400 400 400 700 700
Biaya
Pemasaran(c)
57.5 100 57.5 100 82.5 82.5
Keuntungan( 342.5 300 342.5 300 617.5 617.5
Rasio( 5.95 3.0 5.95 3.0 7.48 7.48
Pengecer
Marjin
Pemasaran
200 200 300 300 300 300 300
Biaya
Pemasaran(c)
100 100 100 100 100 100 100
Keuntungan( 100 100 200 200 200 200 200
Rasio( 1.0 1.0 2.0 2.0 2.0 2.0 2.0
Total
Marjin
Pemasaran
5000 4900 4800 4800 4500 4800 4500 5800 6000 6000
Biaya
Pemasaran(c)
2329 2273 2229 2387.53 2330.03 2324.03 2266.53 2427.53 2568.53 2505.03
Keuntungan( 2671 2627 2571 2412.47 2169.97 2475.97 2233.47 3372.47 3431.47 3494.97
Rasio( 1.14 1.15 1.15 1.01 0.93 1.06 0.98 1.38 1.33 1.39
Tabel 14 Total Rasio Keuntungan pada Setiap Saluran Pemasaran
Rasio Keuntungan dan Biaya Saluran 1
Rata-rata rasio keuntungan terhadap biaya pada saluran 1 adalah 1.14
artinya setiap satu rupiah yang dikeluarkan lembaga pemasaran akan memberikan
keuntungan sebesar Rp 1.14. Rasio pada masing-masing lembaga di saluran ini
adalah tengkulak sebesar 0.78, penggilingsebesar 1.16 dan pengecer sebesar 1.0.
Pada saluran ini, rasio keuntungan terhadap biaya pada masing-masing lembaga
relatif merata. Tengkulak memang mendapatkan rasio keuntungan dan biaya yang
paling kecil padahal peranannya dan manfaatnya cukup dirasakan oleh petani
karena memberikan kemudahan pengangkutan. Rasio keuntungan dan biaya
paling besar adalah di tingkat penggiling. Harga pembelian hasil panen oleh
penggiling dibandingkan pabrik beras lebih rendah di tingkat petani padahal harga
penjualannya mendekati harga yang berlaku di pasar. Hal tersebut mengakibatkan
secara satuan penjualan penggiling lebih diuntungkan, namun volume penjualan
dan pangsa pasarnya kecil dan sulit untuk bersaing.
Rasio Keuntungan dan Biaya Saluran 2
Rata-rata rasio keuntungan terhadap biaya pada saluran 2 adalah 1.15
artinya setiap satu rupiah yang dikeluarkan lembaga pemasaran akan memberikan
keuntungan sebesar Rp 1.15. Rasio pada masing-masing lembaga di saluran ini
adalah penggiling sebesar 1.16 dan pengecer sebesar 1.0. Dengan semakin
pendeknya lembaga pemasaran yang terlibat dalam penelitian ini, yakni tidak
melibatkan tengkulak, mengakibatkan total rata-rata rasio keuntungan terhadap
biaya meningkat.
Rasio Keuntungan dan Biaya Saluran 3
Rata-rata rasio keuntungan terhadap biaya pada saluran 3 adalah 1.15
artinya setiap satu rupiah yang dikeluarkan lembaga pemasaran akan memberikan
keuntungan sebesar Rp 1.15. Rasio pada masing-masing lembaga di saluran ini
adalah tengkulak sebesar 0.78, penggiling sebesar 1.16. Pada saluran ini, rasio
keuntungan tengkulak terhadap biaya di tingkat tengkulak dibandingkan
penggiling tetap lebih kecil karena peranan penggiling sebagai pengolah dan
penjual memberikan manfaat yang lebih besar sehingga mampu menetapkan
keuntungan yang lebih besar dibandingkan di tingkat tengkulak.
Rasio Keuntungan dan Biaya Saluran 4
Rata-rata rasio keuntungan terhadap biaya pada saluran 4 adalah 1.01
artinya setiap satu rupiah yang dikeluarkan lembaga pemasaran akan memberikan
keuntungan sebesar Rp 1.01. Rasio pada masing-masing lembaga di saluran ini
adalah tengkulak sebesar 0.57, pengumpul besar dan pabrik beras sebesar 0.84,
distributor 5.95 dan pengecer sebesar 2.0. Pada saluran ini, tengkulak
mendapatkan rasio keuntungan dan biaya yang semakin kecil dibandingkan
saluran sebelumnya, namun volume pembelian dan penjualan yang dilakukan
lebih besar. Pengumpul besar dan pabrik beras juga mendapatkan rasio
keuntungan dan biaya lebih kecil dibandingkan penggiling pada saluran
sebelumnya, namun ukuran usaha yang lebih besar membuat lembaga ini lebih
mampu bersaing apalagi persaingan persaingan harga pembelian di tingkat petani
dapat dilakukannya dengan lebih baik. Pada saluran ini, distributor mendapatkan
rasio keuntungan terhadap biaya yang paling besar.
Rasio Keuntungan dan Biaya Saluran 5
Rata-rata rasio keuntungan terhadap biaya pada saluran 5 adalah 0.93
artinya setiap satu rupiah yang dikeluarkan lembaga pemasaran akan memberikan
keuntungan sebesar Rp 0.93. Rasio pada masing-masing lembaga di saluran ini
adalah tengkulak sebesar 0.57, pengumpul besar dan pabrik beras sebesar 0.84,
distributor 3.0. Tengkulak pada saluran ini mendapatkan rasio keuntungan
terhadap biaya paling kecil sama seperti saluran sebelumnya. Rasio paling besar
di distributor adalah paling besar meskipun sebenarnya nilainya mengecil
dibandingkan pada saluran 4. Hal ini disebabkan distributor harus mengeluarkan
tenaga kerja tambahan untuk secara khusus melayani pembelian konsumen. Pada
praktiknya sebenarnya hal ini lebih memudahkan distributor dalam proses
penjualan karena konsumen datang langsung ke lokasi penjualan distributor.
Rasio Keuntungan dan Biaya Saluran 6
Rata-rata rasio keuntungan terhadap biaya pada saluran 6 adalah 1.06
artinya setiap satu rupiah yang dikeluarkan lembaga pemasaran akan memberikan
keuntungan sebesar Rp 1.06. Rasio pada masing-masing lembaga di saluran ini
adalah pengumpul besar dan pabrik beras sebesar 0.89, distributor 5.95 dan
pengecer sebesar 2.0. Rasio keuntungan terhadap biaya di tingkat pengumpul
besar dan pabrik beras pada saluran ini paling kecil, namun mengalami
peningkatan dibandingkan saluran sebelumnya. Hal ini disebabkan karena petani
mau menjual dan mengantarkan sendiri hasil panennya kepada pengumpul besar
dan pabrik beras padahal harga pembelian lembaga ini sama dengan harga
pembelian di tingkat tengkulak.
Rasio keuntungan dan Biaya Saluran 7
Rata-rata rasio keuntungan terhadap biaya pada saluran 7 adalah 0.98
artinya setiap satu rupiah yang dikeluarkan lembaga pemasaran akan memberikan
keuntungan sebesar Rp 0.98. Rasio pada masing-masing lembaga di saluran ini
adalah pengumpul besar dan pabrik beras sebesar 0.89, distributor 3.0.
Rasio keuntungan dan Biaya Saluran 8 Rata-rata rasio keuntungan terhadap biaya pada saluran 8 adalah 1.38
artinya setiap satu rupiah yang dikeluarkan lembaga pemasaran akan memberikan
keuntungan sebesar Rp 1.38. Rasio pada masing-masing lembaga di saluran ini
adalah tengkulak sebesar 0.57, pengumpul besar dan pabrik beras sebesar 1.38,
pengecer 2.0. Pada saluran ini, tengkulak tetap mendapatkan rasio keuntungan
terhadap biaya yang paling kecil. Nilai rasio keuntungan terhadap biaya
pengumpul besar dan pabrik beras pada saluran ini mengalami peningkatan
dibandingkan saluran sebelumnya karena lembaga ini mampu mengakses pasar
diluar Cianjur yang mau membeli dengan harga lebih tinggi meskipun sebenarnya
tenaga atau biaya transportasi yang dikeluarkan oleh pengumpul besar dan pabrik
beras juga mengalami peningkatan. Pengecer mendapatkan rasio keuntungan
terhadap biaya yang sama dengan saluran sebelumnya, namun pada saluran ini
nilai rasio yang diperoleh oleh lembaga tersebut adalah terbesar dibandingkan
lembaga lain.
Rasio Keuntungan dan Biaya Saluran 9 Rata-rata rasio keuntungan terhadap biaya pada saluran 9 adalah 1.33
artinya setiap satu rupiah yang dikeluarkan lembaga pemasaran akan memberikan
keuntungan sebesar Rp 1.33. Rasio pada masing-masing lembaga di saluran ini
adalah tengkulak sebesar 0.57, pengumpul besar dan pabrik beras sebesar 1.96,
pabrik beras 1.08, distributor 7.48, pengecer 2.0. Tengkulak adalah lembaga
dengan rasio keuntungan terhadap biaya terkecil. Pengumpul besar dan pabrik
beras pada saluran ini hanya menjual gabah kepada pabrik beras yang skalanya
lebih besar. Secara rasio, penjualan gabah ini justru lebih tinggi dibandingkan
aktivitas penjualan beras, namun secara nominal penerimaan melalui penjualan
beras lebih besar dibandingkan penjualan gabah. Pabrik beras, sebagai pengolah
dan lembaga yang melakukan penjualan ke Jakarta, mendapatkan rasio
keuntungan terhadap biaya yang lebih kecil dibandingkan saat pengumpul besar
dan pabrik beras melakukan penjualan ke pengecer di Cianjur pada saluran
sebelumnya tetapi volume penjualan ke distributor seperti yang dilakukan pabrik
beras lebih besar. Distributor di Jakarta memiliki posisi tawar yang kuat dan
memahami cukup memahami fluktuasi harga di pasar. Distributor yang
menghadapi risiko harga memiliki posisi tawar yang kuat dan mampu melakukan
pembelian dan penjualan dalam jumlah sangat besar karena memiliki informasi
pasar dan sumber daya yang baik, terutama pada sektor pembiayaan.
Rasio Keuntungan dan Biaya Saluran 10 Rata-rata rasio keuntungan terhadap biaya pada saluran 10 adalah 1.39
artinya setiap satu rupiah yang dikeluarkan lembaga pemasaran akan memberikan
keuntungan sebesar Rp 1.39. Rasio pada masing-masing lembaga di saluran ini
adalah pengumpul besar dan pabrik beras sebesar 3.44, pabrik beras 1.08,
distributor 7.48, pengecer 2.0. Pada saluran ini hampir sama dengan saluran 9
dimana tengkulak memperoleh rasio keuntungan terhadap biaya terkecil dan
distributor memperoleh rasio terbesar. Pada saluran ini, petani menanggung biaya
dan mau mengantarkan hasil panennya langsung ke pengumpul besar dan pabrik
beras dengan harga pembelian sebenarnya sama dengan harga di tingkat
tengkulak. Hal ini mengakibatkan pengumpul besar dan pabrik beras memperoleh
rasio keuntungan terhadap biaya yang semakin besar apabila dibandingkan saluran
9.
Analisis Efisiensi Operasional Pemasaran
Efisiensi pemasaran merupakan ukuran kepuasan dari konsumen, produsen
maupun lembaga-lembaga yang terlibat dalam mengalirkan barang mulai dari
produsen sampai ke konsumen akhir. Pada penelitian ini digunakan indikator
ukuran efisiensi operasional untuk mengukur efisiensi sistem pemasaran. Efisiensi
ini menggambarkan rasio output dengan input tataniaga. Output merupakan
penilaian konsumen terhadap beras baik secara fisik maupun atribut lain dalam
pemasaran yang menciptakan kepuasan bagi konsumen. Input merupakan biaya
pemasaran termasuk keuntungan yang diterima lembaga tataniaga. Hal ini secara
kuantitatif dapat dilihat berdasarkan nilai marjin pemasaran, farmer’s share dan
rasio keuntungan terhadap biaya pemasaran. Nilai-nilai indikator tersebut pada
setiap saluran dirangkum dalam Tabel 15 berikut.
Tabel 15 Nilai Marjin, Farmer’s Share dan Rasio Keuntungan Terhadap Biaya
Pemasaran pada Setiap Saluran
Saluran Marjin Tataniaga (Rp) Farmer’s Share (%) Rasio Keuntungan Terhadap
Biaya Tataniaga ( )
1 5 000 41.17 1.14
2 4 900 42.35 1.15
3 4 800 41.17 1.15
4 4 800 43.52 1.01
5 4 500 45.12 0.93
6 4 800 43.52 1.06
7 4 500 45.12 0.98
8 5 800 38.94 1.38
9 6 000 38.14 1.33
10 6 000 38.14 1.39
Berdasarkan nilai marjin terkecil dan farmer’s share terbesar pada saluran 7
yang melalui lembaga petani, pengumpul besar dan pabrik beras, distributor
sampai ke konsumen. Secara tidak langsung, pada kondisi ini petani lebih
diuntungkan karena proporsi harga yang diterimanya dibandingkan harga di
tingkat konsumen lebih besar yakni 45.12%. Hal ini karena distributor tidak
melakukan diskriminasi harga terhadap pengecer maupun konsumen yang mau
membeli beras di lokasi penjualan distributor. Namun berdasarkan volume yang
mengalir, hanya sekitar 10% dari beras distributor yang dijual langsung ke
konsumen akhir karena konsumen lebih sering melakukan pembelian di pengecer
yang tidak hanya menjual beras saja. Total perdagangan beras melalui saluran 7
juga hanya 2.05 persen dari total perdagangan seluruh saluran. Distributor di
Jakarta dalam penelitian juga ini tidak ada yang menjual ke konsumen akhir.
Berdasarkan rasio keuntungan terhadap biaya, saluran 8 yang melalui
petani, pengumpul besar dan pabrik beras, pengecer sampai ke konsumen
memiliki rasio yang cukup besar yakni 1.38. Rasio keuntungan terhadap biaya di
setiap lembaga juga cukup merata. Hal ini menunjukkan lembaga pemasaran pada
saluran ini paling efisien berdasarkan tingkat rasio. Lembaga pemasaran pada
saluran ini berusaha menyediakan dan menawarkan beras ke lokasi perkotaan
yang berada cukup jauh dari lokasi pertanian dan pengolahan di Cianjur. Total
perdagangan beras melalui saluran 8 adalah 18. 48 persen dari total perdagangan
seluruh saluran. Saluran ini paling efisien dari seluruh saluran.
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Sistem pemasaran beras Ciherang di Kecamatan Cibeber melibatkan 7
lembaga pemasaran diantaranya petani, tengkulak, penggiling, pengumpul besar
dan pabrik beras dalam desa, pabrik beras dengan skala lebih besar luar desa,
distributor dan pengecer. Setiap lembaga menjalankan fungsi pertukaran, fisik
dan fasilitas meskipun fungsi dijalankan dengan berbeda cara dan biaya.
Lembaga-lembaga tersebut membentuk pola pengaliran gabah di tingkat petani
menjadi beras di tingkat konsumen. Pola aliran itu menjadi saluran pemasaran
yang terdiri dari 10 saluran.
Struktur pasar sistem pemasaran beras Ciherang di Kecamatan Cibeber
secara umum pada struktur oligopsoni. Jumlah lembaga pemasaran yang membeli
hasil panen di tingkat petani lebih sedikit dibandingkan dengan jumlah petani
sebagai penjual. Padi yang berikutnya diolah menjadi beras dengan standar
tertentu menjadikan produk semakin terdifrensiasi.
Berdasarkan rasio keuntungan dan biaya, saluran 8 memiliki nilai rasio yang
besar yakni 1.38 dan rasio pada setiap lembaga juga cukup merata. Saluran 8
secara kualitatif juga menerapkan fungsi dan manfaat bagi masyarakat di kota lain
yang membutuhkan beras. Dalam hal ini, saluran 8 menjadi saluran paling efisien
dibandingkan seluruh saluran termasuk saluran 7 yang nilai marjin dan farmer’s
sharenya lebih efisien karena mempertimbangkan nilai output yang dihasilkan
terhadap biaya dan proses pemasaran yang dilakukan dalam saluran 8 ini. Saluran
8 juga merupakan saluran yang dilalui perdagangan beras yang besar
diabndingkan saluran yang lain yakni 109.981 atau 18.48 persen dari total
perdagangan seluruh saluran
Saran
Petani dalam memasarkan hasil panennya seharusnya memanfaatkan
pembentukan kelompok tani atau koperasi dalam meningkatkan posisi tawarnya
terutama karena petani dengan pangsa pasar kecil berada pada struktur pasar
mendekati persaingan sempurna. Kelompok tani atau koperasi di tingkat petani
diharapkan bukan hanya dapat membantu petani dalam aktivitas on-farm, namun
juga mampu menjadi bagian yang kuat dalam sistem tataniaga hasil panen petani
tersebut. Adanya kelompok tani dan atau koperasi di tingkat petani yang terlibat
dalam saluran tataniaga dapat menghimpun hasil panen sehingga tingkat
penawaran ketika berhadapan dengan lembaga tataniaga lain dapat lebih baik.
Selain itu, dengan adanya kelompok tani atau koperasi di tingkat petani akan
memudahkan petani dalam proses pembiayaan tanpa harus menjual hasil panen
secepatnya dalam bentuk GKP. Kelompok tani atau koperasi diharapkan juga
mampu bekerjasama dengan lembaga pembiayaan formal melalui resi gudang
yang berada di Cianjur terutama saat panen raya dan harga gabah turun. Melalui
resi gudang, pembiayaan dapat diperoleh melalui bank bahkan surat tanda
kepemilikan dapat dijual kepada pihak lain kapanpun sehingga petani tetap
mendapatkan modal dengan mudah. Dalam proses penjualan, petani juga
disarankan melakukan penjualan kepada pabrik dengan ukuran dan skala usaha
besar dan jaringan pelanggannya bukan hanya di Cianjur karena harga beli oleh
pabrik akan semakin tinggi karena pabrik memiliki efisiensi dan fungsi yang
semakin baik.
DAFTAR PUSTAKA
Aditama P. 2011. Analisis Tataniaga Beras di Desa Kenduren, Kecamatan
Wedung, Kabupaten Demak [skripsi]. Bogor (ID): Fakultas Ekonomi dan
Manajemen, Institut Pertanian Bogor.
Ammang B, Sawit MH. 2001. Kebijakan Beras dan Pangan Nasional: Pelajaran
dari Orde Baru dan Era Reformasi. Bogor (ID): IPB Press
Antara. 2007. Resi Gudang perkuat Posisi Tawar Petani. [internet]. [diunduh 2014
Juni 8]. Tersedia pada http://id.berita. Yahoo.com/dpr-resi-gudang-perkuat-
posisi-tawar-petani-000815023.html
Asmarantaka RW. 2012. Pemasaran Agribisnis (Agrimarketing). Bogor (ID):
Institut Pertanian Bogor.
Badan Litbang Pertanian. 2013. Varietas Ciherang. [internet]. [dinduh 2014 Mei
17]. Tersedia pada: http://www.litbang.deptan.go.id/varietas/one/130
[BPS] Badan dan Pusat Statistik. 2011. Kecamatan Cibeber dalam Angka. Cianjur
(ID): Badan Pusat Statistik.
[BPS] Badan dan Pusat Statistik. 2012. FAOSTAT, untuk data Indonesia diolah
BPS, Kementan, dan KK dalam Investor Daily. Jakarta (ID): Badan Pusat
Statistik.
[BPS] Badan dan Pusat Statistik. 2012. Statistik Indonesia. Jakarta (ID): Badan
Pusat Statistik.
[BPS] Badan dan Pusat Statistik. 2013. Kabupaten Cianjur dalam Angka. Cianjur
(ID): Badan Pusat Statistik.
[BPS] Badan dan Pusat Statistik. 2013. Luas Panen, Produktivitas, Produksi
Tanaman Padi Seluruh Provinsi. [internet]. [diunduh 2014 Mei 17]. Tersedia
pada: http://www.bps.go.id/tnmn_pgn.php.
Bupati Cianjur. 2012. Perwilayahan Komoditas Unggulan Tanaman Pangan dan
Hortikultura. Cianjur (ID): Pemerintah Daerah Cianjur.
Dahl, D.C, Hammond, I. 1977. Market and Price Analysis The Agricultural
Industry. United States (US): Mc. Draw-Hill, Inc.
Dinas Pertanian dan Tanaman Pangan Kabupaten Cianjur. 2013. Hasil Laporan
Produksi, Luas Lahan, Produktivitas, Harga Komoditi Padi. Cianjur (ID):
Disperta Cianjur.
Dinas Pertanian dan Tanaman Pangan Kabupaten Cianjur. 2013. Profil Dinas
Pertanian dan Tanaman Pangan Kabupaten Cianjur. Cianjur (ID): Disperta
Cianjur.
Fitriani. 2013. Analisis Tataniaga Padi Varietas Ciherang di Kecamatan
Pamijahan Kabupaten Bogor Provinsi Jawa Barat [skripsi]. Bogor (ID):
Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor.
Gandhi P. 2008. Analisis Usahatani dan Tataniaga Varietas Unggul (Studi kasus
Padi Pandan Wangi di Kecamatan Warung Kondang, Kabupaten Cianjur)
[skripsi]. Bogor (ID): Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.
Hanafiah, AM. 1983. Tataniaga Hasil Perikanan. Jakarta (ID): UI Press.
Kementrian Pertanian Indonesia. 28 Januari 2014. Basis Data Pertanian. Indonesia
(ID).
Kohls, R.L, Uhl, J.N. 2002. Marketing of Agricultural Products. New York (US):
Prentice-Hall, Inc.
Kusumah, HM. 2011. Analisis Tataniaga Beras di Indonesia (Kasus: Jawa Barat
dan Sulawesi Selatan) [skripsi]. Bogor (ID): Fakultas Ekonomi dan Manajemen
Institut Pertanian Bogor.
Murdani D. 2008. Analisis Usahatani Padi dan Pemasaran Beras varietas Pandan
Wangi dan Varietas Unggul Baru (Kasus Kecamatan Warungkondang,
Kabupaten Cianjur, Jawa Barat [skripsi]. Bogor (ID): Fakultas Ekonomi dan
Manajemen, Institut Pertanian Bogor.
Sadarestuwati. 2008. Pentingnya Sistem Resi Gudang bagi Petani. Makalah
disampaikan pada Seminar Nasional Sistem Resi Gudang. Pengembangan
Alternatif Pembiayaan melalui Sistem Resi Gudang. Hotel Borobudur, tanggal
4 November 2008.
Sekretariat Jenderal Pertanian. 2012. Undang-Undang Pangan. [internet].
[diunduh 2014 Mei 17]. Tersedia pada: www.hukumonline.com.
Siregar H. 1987. Budidaya Tanaman Padi di Indonesia. Jakarta (ID): Sastra
Hudaya.
Sudiyono A. 2001. Pemasaran Pertanian. Malang (ID): UMM Press
Suryana A, Mardianto S. 2001. Bunga Rampai Ekonomi Beras. Jakarta (ID):
LPEM-FEUI.
Wikipedia Bahasa Indonesia. 2014. Beras. [internet]. [diunduh 2014 Januari 3].
Tersedia pada: http://id.wikipedia.org/wiki/Beras.
LAMPIRAN
Lampiran 1 Biaya dan Marjin Pemasaran pada Saluran 1
Petani
Harga Jual 3 500
Tengkulak
Harga Beli 3 500
Transportasi Penjualan 50
Pengemasan 6
Biaya Pemasaran 56
Marjin Pemasaran 100
Harga Jual 3 600
Penggilingan
Harga Beli 3 600
Penjemuran 50
Penggilingan 15
Bahan Bakar Pengolahan 130
Pengemasan dan Sortasi 250
Kemasan 22
Transportasi Penjualan 50
Penyusutan gabah 1 656
Biaya Pemasaran 2 173
Marjin Pemasaran 4 700
Harga Jual 8 300
Pengecer
Harga Beli 8 300
Tenaga Kerja Penjualan 100
Biaya Pemasaran 100
Marjin Pemasaran 200
Harga Jual 8 500
Konsumen
Lampiran 2 Biaya dan Marjin Pemasaran pada Saluran 2
Petani
Transportasi Penjualan 50
Pengemasan 6
Biaya Pemasaran 56
Harga Jual 3 600
Penggilingan
Harga Beli 3 600
Penjemuran 50
Penggilingan 15
Bahan Bakar Pengolahan 130
Pengemasan dan Sortasi 250
Kemasan 22
Transportasi Penjualan 50
Penyusutan gabah 1 656
Biaya Pemasaran 2 173
Marjin Pemasaran 4 700
Harga Jual 8 300
Pengecer
Harga Beli 8 300
Tenaga Kerja Penjualan 100
Biaya Pemasaran 100
Marjin Pemasaran 200
Harga Jual 8 500
Konsumen
Lampiran 3 Biaya dan Marjin Pemasaran pada Saluran 3
Petani
Harga Jual 3 500
Tengkulak
Harga Beli 3 500
Transportasi Penjualan 50
Pengemasan 6
Biaya Pemasaran 56
Marjin 100
Harga Jual 3 600
Penggilingan
Harga Beli 3 600
Penjemuran 50
Penggilingan 15
Bahan Bakar Pengolahan 130
Pengemasan dan Sortasi 250
Kemasan 22
Transportasi Penjualan 50
Penyusutan gabah 1 656
Biaya Pemasaran 2 173
Marjin Pemasaran 4 900
Harga Jual 8 500
Konsumen
Lampiran 4 Biaya dan Marjin Pemasaran pada Saluran 4
Petani
Harga Jual 3 700
Tengkulak
Harga Beli 3 700
Transportasi Penjualan 37.5
Bongkar Muat Pembelian 10
Bongkar Muat Penjualan 10
Pengemasan 6
Biaya Pemasaran 63.5
Marjin Pemasaran 100
Harga Jual 3 800
Pengumpul Besar dan Pabrik Beras dalam Desa
Harga Beli 3 800
Penjemuran 40
Bahan Bakar Pengolahan 130
Penggilingan 15
Pengemasan dan Sortasi 150.03
Kemasan 26
Transportasi Penjualan 37.5
Pemuatan 10
Bongkar Muat Penjualan 10
Penyusutan Gabah 1 748
Biaya Pemasaran 2 166.53
Marjin Pemasaran 4 000
Harga Jual 7 800
Distributor
Harga Beli 7 800
Transportasi Penjualan 37.5
Pemuatan 10
Bongkar Muat Penjualan 10
Biaya Pemasaran 57.5
Marjin Pemasaran 400
Harga Penjualan 8 200
Pengecer
Harga Beli 8 200
Tenaga Kerja Penjualan 100
Biaya Pemasaran 100
Marjin Pemasaran 300
Harga Penjualan 8 500
Konsumen
Lampiran 5 Biaya dan Marjin Pemasaran pada Saluran 5
Petani
Harga Jual 3 700
Tengkulak
Harga Beli 3 700
Transportasi Penjualan 37.5
Bongkar Muat Pembelian 10
Bongkar Muat Penjualan 10
Pengemasan 6
Biaya Pemasaran 63.5
Marjin Pemasaran 100
Harga Jual 3 800
Pengumpul Besar dan Pabrik Beras dalam Desa
Harga Beli 3 800
Penjemuran 40
Bahan Bakar Pengolahan 130
Penggilingan 15
Pengemasan dan Sortasi 150.03
Kemasan 26
Transportasi Penjualan 37.5
Pemuatan 10
Bongkar Muat Penjualan 10
Penyusutan Gabah 1 748
Biaya Pemasaran 2 166.53
Marjin Pemasaran 4 000
Harga Jual 7 800
Distributor
Harga Beli 7 800
Tenaga Kerja Penjualan 100
Biaya Pemasaran 100
Marjin Pemasaran 400
Harga Penjualan 8 200
Konsumen
Lampiran 6 Biaya dan Marjin Pemasaran pada Saluran 6
Petani
Transportasi Penjualan 50
Pengemasan 6
Biaya Pemasaran 56
Harga Jual 3 700
Pengumpul Besar dan Pabrik Beras dalam Desa
Harga Beli 3 700
Penjemuran 40
Bahan Bakar Pengolahan 130
Penggilingan 15
Pengemasan dan Sortasi 150.03
Kemasan 26
Transportasi Penjualan 37.5
Pemuatan 10
Bongkar Muat Penjualan 10
Penyusutan Gabah 1 748
Biaya Pemasaran 2 166.53
Marjin Pemasaran 4 100
Harga Jual 7 800
Distributor
Harga Beli 7 800
Transportasi Penjualan 37.5
Pemuatan 10
Bongkar Muat Penjualan 10
Biaya Pemasaran 57.5
Marjin Pemasaran 400
Harga Penjualan 8 200
Pengecer
Harga Beli 8 200
Tenaga Kerja Penjualan 100
Biaya Pemasaran 100
Marjin Pemasaran 300
Harga Penjualan 8 500
Konsumen
Lampiran 7 Biaya dan Marjin Pemasaran pada Saluran 7
Petani
Transportasi Penjualan 50
Pengemasan 6
Biaya Pemasaran 56
Marjin Pemasaran 100
Harga Jual 3 700
Pengumpul Besar dan Pabrik Beras dalam Desa
Harga Beli 3 700
Penjemuran 40
Bahan Bakar Pengolahan 130
Penggilingan 15
Pengemasan dan Sortasi 150.03
Kemasan 26
Transportasi Penjualan 37.5
Pemuatan 10
Bongkar Muat Penjualan 10
Penyusutan Gabah 1748
Biaya Pemasaran 2 166.53
Marjin Pemasaran 4 100
Harga Jual 7 800
Distributor
Harga Beli 7 800
Tenaga Kerja Penjualan 100
Biaya Pemasaran 100
Marjin Pemasaran 400
Harga Penjualan 8 200
Konsumen
Lampiran 8 Biaya dan Marjin Pemasaran pada Saluran 8
Petani
Harga Jual 3 700
Tengkulak
Harga Beli 3 700
Transportasi Penjualan 37.5
Bongkar Muat Pembelian 10
Bongkar Muat Penjualan 10
Pengemasan 6
Biaya Pemasaran 63.5
Marjin Pemasaran 100
Harga Jual 3 800
Pengumpul Besar dan Pabrik Beras dalam Desa
Harga Beli 3 800
Penjemuran 40
Bahan Bakar Pengolahan 130
Penggilingan 15
Pengemasan dan Sortasi 150.03
Kemasan 26
Transportasi Penjualan 125
Retribusi Pemasaran 10
Pemuatan 10
Bongkar Muat Penjualan 10
Penyusutan Gabah 1 748
Biaya Pemasaran 2 264.03
Marjin Pemasaran 5 400
Harga Jual 9 200
Pengecer
Harga Beli 9 200
Tenaga Kerja Penjualan 100
Biaya Pemasaran 100
Marjin Pemasaran 300
Harga Penjualan 9 500
Konsumen
Lampiran 9 Biaya dan Marjin Pemasaran pada Saluran 9
Petani
Harga Jual 3 700
Tengkulak
Harga Beli 3 700
Pengangkutan 37.5
Bongkar Muat Pembelian 10
Bongkar Muat Penjualan 10
Pengemasan 6
Biaya Pemasaran 63.5
Marjin Pemasaran 100
Harga Jual 3 800
Pengumpul Besar dan Pabrik Beras dalam Desa
Harga Beli 3 800
Transportasi Penjualan 37.5
Pemuatan 10
Bongkar Muat Penjualan 10
Biaya Penimbangan 10
Biaya Pemasaran 67.5
Marjin Pemasaran 200
Harga Jual 4 000
Pabrik Beras luar Desa
Harga Beli 4 000
Penjemuran 40
Pengeringan 10
Bahan Bakar Pengolahan 25
Penggilingan 15
Pengemasan dan Sortasi 150.03
Pemolesan 12
Kemasan 100
Transportasi Penjualan 125
Retribusi Pemasaran 10
Pemuatan 10
Bongkar Muat Penjualan 10
Penyusutan Gabah 1 748
Biaya Pemasaran 2 255.03
Marjin Pemasaran 4 700
Harga Jual 8 700
Distributor
Harga Beli 8 700
Retribusi pemasaran 25
Transportasi Penjualan 37.5
Pemuatan 10
Bongkar Muat Penjualan 10
Biaya Pemasaran 82.5
Marjin Pemasaran 700
Harga Jual 9 400
Pengecer
Harga Beli 9 400
Tenaga Kerja Penjualan 100
Biaya pemasaran 100
Marjin Pemasaran 300
Harga Penjualan 9 700
Konsumen
Lampiran 10 Biaya dan Marjin Pemasaran pada Saluran 10
Petani
Transportasi Penjualan 50
Pengemasan 6
Biaya Pemasaran 56
Harga Jual 3 700
Pengumpul Besar dan Pabrik Beras dalam Desa
Harga Beli 3700
Transportasi Penjualan 37.5
Pengangkutan 10
Bongkar Muat Penjualan 10
Biaya Penimbangan 10
Biaya Pemasaran 67.5
Marjin Pemasaran 300
Harga Jual 4 000
Pabrik Beras luar Desa
Harga Beli 4 000
Penjemuran 40
Pengeringan 10
Bahan Bakar Pengolahan 25
Penggilingan 15
Pengemasan dan Sortasi 150.03
Pemolesan 12
Kemasan 100
Transportasi Penjualan 125
Retribusi Pemasaran 10
Pemuatan 10
Bongkar Muat Penjualan 10
Penyusutan Gabah 1748
Biaya Pemasaran 2 255.03
Marjin Pemasaran 4 700
Harga Jual 8 700
Distributor
Harga Beli 8 700
Retribusi pemasaran 25
Transportasi Penjualan 37.5
Pemuatan 10
Bongkar Muat Penjualan 10
Biaya Pemasaran 82.5
Marjin Pemasaran 700
Harga Jual 9 400
Pengecer
Harga Beli 9 400
Tenaga Kerja Penjualan 100
Biaya pemasaran 100
Marjin Pemasaran 300
Harga Penjualan 9 700
Konsumen
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Pematangsiantar, 1 Januari 1993 dari ayah Harmedin
Saragih dan ibu Emelia Damaiana Sihombing. Penulis adalah putera pertama dari
empat bersaudara. Tahun 2010 penulis lulus dari SMA Santo Thomas 1 Medan
dan pada tahun yang sama penulis lulus seleksi masuk Institut Pertanian Bogor
(IPB) melalui jalur Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri dan diterima
di Departemen Agribisnis , Fakultas Ekonomi dan Manajemen.
Selama mengikuti perkuliahan, penulis aktif sebagai staf Departemen
Bureau of External Relationship (B’Extion) di Himpunan Profesi Mahasiswa
Peminat Agribisnis (HIPMA) IPB pada tahun 2011-2012. Pada tahun 2012-2013,
penulis menjadi Kepala Departemen di B’Extion HIPMA tersebut. Pada tahun
2012, penulis juga menjadi anggota Perhimpunan Organisasi Profesi Mahasiswa
Sosial Ekonomi Pertanian Indonesia (POPMASEPI).
Sejak tahun 2011, penulis mendapatkan beasiswa PPA-DIKTI dalam
perkuliahan. Saat ini, penulis sedang menempuh pendidikan pascasarjana melalui
jalur fast track Magister Sains Agribisnis.