Post on 28-Oct-2020
ANALISIS PERTANGGUNGJAWABAN KORPORASI DALAM TINDAK
PIDANA KORUPSI
(Skripsi)
Oleh:
DINI NURINA CHAIRANI
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS LAMPUNG
BANDAR LAMPUNG
2020
ABSTRAK
ANALISIS PERTANGGUNGJAWABAN KORPORASI DALAM TINDAK
PIDANA KORUPSI
Oleh
DINI NURINA CHAIRANI
Korporasi tidak dikenal sebagai subyek hukum pidana dalam Kitab Undang-
Undang Hukum Pidana (KUHP). Korporasi diakui sebagai subyek hukum pidana
melalui undang-undang di luar KUHP, termasuk Undang-Undang No 31 tahun
1999 jo Undang-Undang No. 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi. Perkembangan ilmu hukum pidana semakin maju dengan
kemunculan teori/doktrin pertanggungjawaban pidana korporasi. Namun dalam
putusan pengadilan pada tahun 2010 PT Giri Jaladhi Wana korporasi dituntut
sebagai pelaku korporasi tindak pidana korupsi, maka timbul mengenai korporasi
untuk dapat dimintakan pertanggungjawaban pidana dan penerapan sanksi pidana.
Permasalahan dalam penulisan ini adalah Bagaimanakah Pertanggungjawaban
Korporasi Dalam Tindak Pidana Korupsi?, dan Bagaimanakah Penerapan Sanksi
Pidana Terhadap Korporasi Dalam Tindak Pidana Korupsi?.
Pendekatan permasalahan yang digunakan dalam penulisan ini adalah pendekatan
secara yuridis normatif dan yuridis empiris. Penelitian normatif dilakukan sebagai
norma atau kaidah yang berlaku dalam masyarakat, dan perilaku setiap orang,
sedangkan penelitian empiris yaitu sebagai perilaku nyata, gejala sosial yang
sifatnya tidak tertulis.
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan bahwa pertanggungjawaban pidana
terhadap korporasi pada kasus PT GJW telah terbukti melakukan tindak pidana
korupsi, hal tersebut telah sesuai berdasarkan Pasal 20 ayat (2) UU TPK dengan
perkembangan ilmu hukum pidana semakin maju, maka muncul doktrin
pertanggungjawaban pidana yaitu vicarious liability, strict liability, dan
identification theory, sehingga dari semua doktrin dalam kasus tersebut dapat
digunakan dalam meminta pertanggungjawaban pidana. Sedangkan penerapan
sanksi pidana terhadap korporasi melalui putusan No.04/Pid.Sus/2011/PT.BJM.
Majelis Hakim dalam perkara tersebut menjatuhkan sanksi pidana denda sebesar
Rp 1.317.782.129,- (satu milyar tiga ratus tujuh belas juta tujuh ratus delapan
puluh dua ribu seratus dua puluh Sembilan rupiah) dan menjatuhkan sanksi pidana
tambahan berupa penutupan sementara PT. Giri Jaladhi Wana selama 6 (enam)
bulan yang sesuai dengan tuntutan dan timbulnya kerugian keuangan negara
akibat perbuatan Perusahaan tersebut.
Dini Nurina Chairani Saran penelitian ini adalah (1) Majelis hakim dalam rangka menanggulangi tindak
pidana korupsi perlu adanya keseragaman dalam hal pengaturan pertanggung
jawaban pidana korporasi seperti apa teori/doktrin yang akan digunakan dalam
meminta pertanggungjawaban pidana korporasi. (2) Hakim dalam menjatuhkan
putusan pemidanaan terhadap korporasi di masa yang akan datang seharusnya
dalam penemuan hukum yang progresif karena mengandung pembaharuan hukum
dan dapat digunakan sebagai acuan dalam mempidana pelaku korporasi tindak
pidana korupsi.
Kata Kunci: Korporasi, Pertanggungjawaban Pidana, Tindak Pidana
Korupsi.
ANALISIS PERTANGGUNGJAWABAN KORPORASI DALAM TINDAK
PIDANA KORUPSI
Oleh
DINI NURINA CHAIRANI
Skripsi
Sebagai salah satu syarat untuk mencapai gelar
Sarjana Hukum
Pada
Bagian Hukum Pidana
Fakultas Hukum Universitas Lampung
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS LAMPUNG
BANDAR LAMPUNG
2020
RIWAYAT HIDUP
Penulis bernama lengkap Dini Nurina Chairani, lahir di
Bandar Lampung pada tanggal 06 Juni 1998, sebagai anak
keempat dari empat bersaudara, buah hati pasangan Bapak
Wiyono dan Ibu Zahra, S.Pd. Penulis merasa beruntung dan
bersyukur karena berkat doa, dukungan dan semangat dari
kedua orang tua.
Penulis mengawali pendidikan formal di TK Aisyah yang diselesaikan pada tahun
2004, SDN 1 Kupang Teba yang diselesaikan pada tahun 2010, SMPN 16 Bandar
Lampung yang diselesaikan pada tahun 2013 dan SMAN 4 Bandar Lampung yang
diselesaikan pada tahun 2016.
Penulis terdaftar sebagai mahasiswa program pendidikan Strata (S1) Fakultas
Hukum Universitas Lampung melalui jalur SNMPTN dan mengambil minat
Hukum Pidana. Selama menjadi mahasiswa, penulis pernah aktif di organisasi
sebagai anggota Forum Silaturrahim & Studi Islam Fakultas Hukum Unila.
Penulis juga telah melaksanakan Kuliah Kerja Nyata (KKN) selama 40 hari di
Desa Sambirejo, Kecamatan Jabung, Kabupaten Lampung Timur Periode I Bulan
Januari-Februari pada tahun 2019.
MOTTO
“Hai orang-orang yang beriman, jadikanlah sabar dan shalat sebagai
penolongmu, sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar” (QS. Al-
Baqarah:153).
PERSEMBAHAN
Dengan segala ketulusan hati kupersembahkan karya Skripsi ini kepada:
Ibu dan Bapak
Ibunda Zahra, S.Pd. dan Ayahanda Wiyono yang selalu memberikan cinta, kasih
sayang, do‟a, dukungan moral, spiritual yang tak pernah berhenti dan takkan
mampu terbalas yang akan terus hadir melengkapi perjalanan hidup ini.
Saudari yang ku banggakan
Kakakku Wiranti SE., Rini Dwi Astuti S.Pd., dan Dian Ceria Sari, A.md, Kep.
Atas segala canda dan tawa
serta yang selalu memotivasi, melindungi, memberi bantuan, dan memberikan
doa untuk keberhasilanku.
Sahabat-sahabatku, terima kasih atas kasih sayang tulus yang diberikan, semoga
Allah membalas segala budi yang kalian berikan di dunia maupun di akhirat.
Almamater tercinta Universitas Lampung
Sebagai langkah awal untukku belajar dan berkarya agar lebih baik dan
membanggakan
SANWACANA
Alhamdulillahirabbil „alamin, Puji syukur kehadirat Allah SWT, atas rahmat dan
hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi yang berjudul
“Analisis Pertanggungjawaban Korporasi Dalam Tindak Pidana Korupsi” sebagai
salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum
Universitas Lampung.
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa selama proses penyusunan skripsi dengan
terselesaikannya skripsi ini, penulis mendapatkan bantuan dan bimbingan dari
berbagai pihak. Oleh karena itu, dalam kesempatan ini penulis menyampaikan
rasa hormat dan terima kasih yang tulus kepada:
1. Bapak Prof. Dr. Karomani, M.Si., selaku Rektor Universitas Lampung
2. Bapak Prof. Dr. Maroni, S.H., M.H. selaku Dekan Fakultas Hukum
Universitas Lampung;
3. Bapak Eko Raharjo, S.H., M.H. selaku Ketua Bagian Hukum Pidana Fakultas
Hukum Universitas Lampung;
4. Ibu Dona Raisa Monica, S.H., M.H. selaku Sekretaris Bagian Hukum Pidana
Fakultas Hukum Universitas Lampung;
5. Bapak Dr. Eddy Rifai, S.H., M.H. selaku Dosen Pembimbing I yang telah
membimbing, memberikan arahan, dan masukan sehingga penulis dapat
menyelesaikan penulisan skripsi ini;
6. Ibu Rini Fathonah, S.H., M.H. selaku Dosen Pembimbing II yang telah
memberikan kritik, saran dan masukan dalam proses perbaikan skripsi ini;
7. Bapak Prof. Dr. Sunarto DM, S.H., M.H. selaku Dosen Pembahas I yang
telah memberikan kritik, saran dan masukan dalam proses perbaikan skripsi
ini;
8. Ibu Sri Riski, S.H., M.H. selaku Dosen Pembahas II yang telah memberikan
kritik, saran dan masukan dalam proses perbaikan skripsi ini.
9. Ibu Emilia Susanti, S.H., M.H. selaku Dosen Pembimbing Akademik yang
telah membimbing penulis dalam proses perkuliahan ini.
10. Seluruh dosen pengajar Fakultas Hukum Universitas Lampung yang telah
berdedikasi dalam memberikan ilmu pengetahuan kepada penulis selama
menempuh studi;
11. Para staf dan karyawan Fakultas Hukum Universitas Lampung, terutama Mba
Tika, Ibu Aswati, dan Mas Ijal terima kasih banyak atas bantuannya;
12. Bapak Salman Alfarasi, S.H., M.H., Bapak Salahuddin, S.H., M.H., Bapak
Sopian Sitepu, S.H., M.H., M.Kn., dan Ibu Maya Shafira, S.H., M.H., selaku
narasumber yang telah memberikan pendapatnya dalam penulisan skripsi ini;
13. Teristimewa kepada kedua orang tuaku Ibu Zahra, S.Pd. dan Ayah Wiyono
yang telah mencintai, membesarkan, mendidik, dan memberikan segala
dukungan kepadaku semoga Allah selalu memberikan kebaikan dan
kebahagiaan untuk ibu dan bapak di dunia maupun di akhirat kelak;
14. Kakakku Wiranti, S.E., Rini Dwi Astuti, S.Pd., dan Dian Ceria Sari, A.md,
Kep. Terima kasih atas segala canda tawa, motivasi untuk membangkitkan
semangat adek.
15. Orang special Girindra Yoga Aditya terima kasih yang telah memberikan
do’a, memberikan dukungan, memberikan semangat, dan motivasi sejak awal
kuliah hingga di ujung akhir perkuliahan untuk menjadi yang terbaik
sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian dan skripsi ini.
16. Sahabat terbaikku, Siti Meylinda, Ratna Septiana, Riski Ardiansyah,
Muhammad Ridwan, Nur’Aini, Amelia Risa, Jaka, dan Febi Mulyani yang
telah menghabiskan waktu bersamaku dalam setiap petualangan, perdebatan,
pertikaian, kebahagian, kesedihan dan segala hal yang terjadi selama ini,
walaupun masih banyak impian yang belum tercapai aku yakin kita bisa
menggapainya bersama;
17. Sahabat seperjuanganku di perkuliahan, Uli Khairani, Perina Kherend, Fitri
Handayani, Mustafa Azhom, Dewi Maryana, Chania Putri, Azam, Villi,
Punama Sari, Shinta, Nanda Puspita, Abed Nego, Merdy, caca, harun, mawar,
yang sudah menemaniku semenjak awal perkuliahan sampai akhirnya skripsi
ini dapat diselesaikan, terima kasih atas kekompakan, canda tawa dan
keseruan selama ini. Semoga kita semua meraih kesuksesan dan masih bisa
meluangkan waktu untuk berkumpul bersama;
18. Kepada teman-teman seperjuangan KKN Desa Sambirejo, Kabupaten
Lampung Timur; Ferli Hartati, Riska Auliyanti, Rena Yolanda, Ridho Adika,
Irfan Andrianto, Syaiful Anwar, dan seluruh teman KKN dari Kecamatan
Jabung, terima kasih atas pengalaman pengabdian yang luar biasa selama 40
hari dalam kesedihan maupun kebahagiaan, aku meminta maaf jika ada salah
dan kekurangan ketika bersama kalian, dan aku berharap kebahagiaan dan
kesuksesan adalah masa depan kita semua;
19. Terima kasih kepada teman-teman seperjuangan Bagian Pidana Fakultas
Hukum Universitas Lampung yang telah memberikan bantuan, dukungan dan
doa untuk penulis;
20. Terima kasih untuk seluruh pihak yang telah berperan di dalam kehidupan
penulis yang tidak bisa penulis sebutkan satu persatu.
Akhir kata, sangat penulis sadari bahwa berakhirnya masa studi ini adalah awal
darp perjuangan panjang untuk menjalani kehidupan yang sesungguhnya. Sedikit
harapan semoga karya kecil ini dapat berguna dan bermanfaat bagi kita semua.
Bandar Lampung, 24 Februari 2020
Penulis
Dini Nurina Chairani
DAFTAR ISI
Halaman
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ............................................................. 1
B. Permasalahan dan Ruang Lingkup . .... ....................................... 5
C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian ................................................. 5
D. Kerangka Teoritis dan Konseptual . ............................................ 6
E. Sistematika Penulisan ................................................................. 17
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Pengertian Korporasi . ................................................................. 19
B. Sejarah Korporasi Sebagai Subjek Hukum .. .............................. 21
C. Sistem Pertanggungjawaban Pidana Korporasi . ......................... 30
D. Pengertian Tindak Pidana Korupsi . ............................................ 36
III. METODE PENELITIAN
A. Pendekatan Masalah .................................................................... 39
B. Sumber Data dan Jenis Data ...... ................................................. 39
C. Penentuan Narasumber ............................................................... 41
D. Prosedur Data dan Pengolahan Data ................... ....................... 42
E. Analisis Data ............................................................................... 43
IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Pertanggungjawaban Korporasi Dalam Tindak Korupsi ........... 44
B. Penerapan Sanksi Pidana Terhadap Korporasi Dalam Tindak
Pidana Korupsi ............................................................................ 65
V. PENUTUP
A. Simpulan .................................................................................... 77
B. Saran ........................................................................................... 78
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
1
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Persoalan korupsi di indonesia merupakan salah satu persoalan yang rumit.
Hampir semua ini kehidupan sudah terjangkit wabah korupsi, baik lingkungan
masyarakat maupun aparat penegak hukum itu sendiri. Dapat berupa
penyelewangan, penyalahgunaan jabatan ataupun suap atau pemerasan.1 Hingga
saat ini tindak pidana korupsi justru semakin merajalela bahkan dilakukan dengan
cara-cara yang semakin canggih dan tersistematis. Salah satu cara atau modus
operandi tindak pidana korupsi yang dilakukan dewasa ini adalah dengan
menggunakan korporasi sebagai sarana, subjek maupun objek dari tindak pidana
korupsi. Dengan demikian, tindak pidana korupsi yang dilakukan dapat
dikategorikan sebagai tindak pidana korporasi.2
Korporasi sebagai subjek hukum memang bukanlah hal yang baru dalam hukum
pidana. Di Inggris, kedudukan korporasi sebagai subjek hukum pidana sudah
dikenal melalui kasus Birmingham & Glocester Railway Co. pada tahun 1842.3 Di
Belanda, kedudukan korporasi sebagai subjek hukum pidana secara tegas sudah
1Sigid Suseno & Nella Sumika Putri, Hukum Pidana Indonesia: Perkembangan dan
Pembaharuan, Bandung: PT Remaja Rosdakarya, hal. 102. 2Kristian, 2018, Sistem Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Dalam Perkara Tindak Pidana
Korupsi Pasca Terbitnya PERMA RI No. 13 Tahun 2016. Bandung: Sinar Grafika, hal.57. 3R v Birmingham & Glocester Railway Co. (1842) 3 QB 223
2
diakui semenjak berlakunya Wet Economische Delicten (W.E.D) pada tahun 1950,
meski terbatas untuk delik-delik yang diatur dalam W.E.D.4 Pengakuan ini
kemudian semakin dipertegas pada perubahan Wetboek van Straftrecht (W.v.S)
pada tahun 1976 yang mengakui kedudukan korporasi sebagai subjek hukum
pidana umum (commune strafrecht).5 Di Indonesia kedudukan korporasi sebagai
subjek hukum pidana saat ini secara khusus baru diakui dalam Undang-Undang
yang mengatur tindak pidana di luar KUHP. Hal ini dikarenakan Kitab Undang-
Undang Hukum Pidana Indonesia masih menganut pandangan societas delinquere
non potest sehingga belum mengakomodir kedudukan korporasi sebagai subjek
hukum pidana.
Kenyataannya korupsi yang terjadi di Indonesia bukan saja melibatkan orang per
orang atau manusia alamiah saja, tetapi juga bisa dengan mudah dijumpai perkara
korupsi yang melibatkan suatu perseroan terbatas, yang menurut Pasal 1 Angka 1
jo. Pasal 7 Ayat (4) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan
Terbatas adalah badan hukum. Beberapa kasus korupsi masih dalam proses
penyidikan, ataupun yang sedang dalam tahap proses persidangan maupun yang
telah diputus oleh pengadilan menunjukkan tidak sedikit korporasi yang
berbentuk perseroan terbatas tersangkut paut dengan tindak pidana korupsi.
Tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh korporasi tampaknya baru pada tahap
pembebanan pertanggungjawaban pidana kepada pengurus korporasi, penerapan
korporasi sebagai subyek hukum pidana yang dituntut dan dijatuhi pidana masih
4Pengaturan kedudukan korporasi sebagai subjek hukuk pidana diatur dalam Pasal 15 ayat (1)
W.E.D, J.M. van Bemmelen, Hukum Pidana 1, (Bandung: Binacipta, 1987), hlm. 236 5Schaffmeister, D, Keijzer, N, & Sutorius, EPH. Hukum Pidana. (Editor: JE Sahetapy),
(Yogyakarta: Liberty,1995). hlm. 423
3
jarang diterapkan oleh penegak hukum. Pemidanaan yang dikenakan kepada
korporasi hanya berupa pidana denda yang kurang mempunyai efek penjera dari
pada pidana mati atau penjara dan kesulitan pembuktian “kesalahan” korporasi
sebagai bagian unsur melawan hukum dari pada membuktikan kesalahan orang
perorang yang berakibat terdakwa dibebaskan.6
Korporasi tidak dikenal sebagai subyek hukum pidana dalam Kitab Undang-
Undang Hukum Pidana (KUHP). Korporasi diakui sebagai subyek hukum pidana
melalui undang-undang di luar KUHP, termasuk Undang-Undang No 31 Tahun
1999 jo Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi. Perkembangan ilmu hukum pidana semakin maju dengan
kemunculan teori/doktrin pertanggungjawaban pidana korporasi. Namun dalam
putusan pengadilan pada tahun 2010 PT Giri Jaladhi Wana korporasi dituntut
sebagai pelaku korporasi tindak pidana korupsi.
Kasus tindak pidana korupsi yang melibatkan korporasi, diantaranya adalah
contoh pada kasus PT. Giri Jaladhi Wana yang merupakan korporasi yang dijerat
UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. PT. Giri Jaladhi Wana ditetapkan
sebagai tersangka dalam perkara korupsi penyalahgunaan pasar sentra antasari
Banjarmasin pada 2010. Perkara yang penyidikanya ditangani oleh kejati
Kalimantan Selatan itu di limpahkaan ke Kejaksaan Negeri Banjarmasin untuk di
sidangkan di Pengadilan Tipikor Banjarmasin dan berkekuatan hukum tetap pada
tingkat banding setelah Pengadilan Tinggi Banjarmasin memutus PT. Giri Jaladhi
Wana terbukti bersalah melakukan tindak pidana korupsi karena telah melakukan
6Eddy rifai, Persepekti Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Sebagai Pelaku Tindak Pidana
Korupsi, Abstrack. Jurnal. Mimbar hukum. Diakses tanggal,28/03/2018, pukul 19.36.
4
beberapa perbuatan yang masing-masing merupakan kejahatan yang ada
hubungannya sehingga harus dipandang sebagai suatu perbuatan berlanjut secara
melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya dirisendiri atau orang lain
atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian
negara, Pengadilan Tinggi Banjarmasin telah menjatuhkan sanksi pidana denda
1,3 miliyar dan pidana tambahan berupa penutupan sementara PT. Giri Jaladhi
Wana selama 6 bulan. Putusan Pengadilan ini No.812/Pid.Sus/2010/PN.Bjm
tanggal 09 Juni 2011
Dilihat dari kasus di atas yang sudah terjadi, dalam membebankan
pertanggungjawaban pidana terhadap korporasi pelaku tindak pidana korupsi,
mengingat tindak pidana korupsi yang terjadi di Indonesia tidak hanya dilakukan
oleh manusia sebagai individu, melainkan juga melibatkan korporasi sebagai
subyek hukum dalam tindak pidana korupsi, korporasi dalam melakukan
perbuatannya tetap dilakukan oleh pengurus.7 Korporasi tidak dapat di
pertanggungjawabkan atas suatu perbuatan, melainkan pengurus yang melakukan
perbuatan tersebut. Dengan demikian hanya pengurus yang dapat diancam pidana
dan dipidana. Menentukan pengurus mana yang bertanggungjawab juga sulit,
mengingat kompleksnya bentuk kepengurusan dalam suatu korporasi. Karenanya
timbul keraguan mengenai korporasi untuk dapat dimintakan pertanggungjawaban
pidana dan penerapan sanksi pidana. Berdasarkan uraian di atas maka penulisan
akan melakukan penelitian ke dalam Skripsi berjudul: “Analisis Pertanggung
jawaban Korporasi Dalam Tindak Pidana Korupsi”.
7Roeslan Saleh, Tentang Tindak-Tindak Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana, (Jakarta:
BPHN, 1984), hlm.50-51
5
B. Permasalahan dan Ruang Lingkup Penelitian
1. Permasalahan
Berdasarkan latar belakang di atas, maka permasalahan dalam penelitian ini
adalah sebagai berikut:
a. Bagaimanakah pertanggungjawaban korporasi dalam tindak pidana
korupsi?
b. Bagaimanakah penerapan sanksi pidana yang diterapkan terhadap
korporasi dalam tindak pidana korupsi?
2. Ruang Lingkup Penelitian
Ruang lingkup penelitian yang berkaitan dengan ilmu hukum pidana, objek kajian
penelitian mencakup pertanggungjawaban korporasi dalam tindak pidana korupsi
dan penerapan sanksi pidana terhadap korporasi dalam tindak pidana korupsi.
Penelitian ini dilakukan pada tahun 2019.
C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Berdasarkan permasalahan yang diajukan maka tujuan penelitian ini adalah:
a. Untuk mengetahui pertanggungjawaban pidana terhadap korporasi sebagai
pelaku tindak pidana korupsi.
b. Untuk mengetahui penerapan sanksi pidana yang diterapkan terhadap
korporasi dalam tindak pidana korupsi.
6
2. Kegunaan Penelitian
Kegunaan penelitian ini terdiri dari kegunaan teoritis dan kegunaan praktis
sebagai berikut:
a. Kegunaan teoritis
Memberikan sumbangan pemikiran di bidang ilmu hukum pada umumnya,
khususnya hukum pidana dalam kaitannya dengan pertanggungjawaban
korporasi dalam tindak pidana korupsi.
Penelitian merupakan latihan dan pembelajaran dalam menerapkan teori
yang diperoleh, sehingga dapat menambah pengetahuan, pengalaman dan
dokumentasi ilmiah.
b. Kegunaan Praktis
Hasil penelitian terkait pertanggungjawaban pidana korporasi sebagai
pelaku tindak pidana korupsi, perlu disumbangkan pemikiran di bidang
ilmu hukum pidana. Proses penegakan hukum pidananya meliputi
tahapan-tahapan penyidikan, penuntutan dan pengadilan serta pembaharu
dan pembentuk undang-undang hukum pidana, khususnya di bidang
pemberantasan, pencegahan dan penanggulangan TPK.
D. Kerangka Teoritis
1. Kerangka Teoritis
Kerangka teoritis adalah konsep-konsep yang sebenarnya merupakan abstraksi
dari hasil pemikiran atau kerangka acuan pada dasarnya bertujuan untuk
7
mengadakan kesimpulan terhadap dimensi-dimensi sosial yang dianggap relevan
untuk penelitian.8
a. Teori Pertanggungjawaban Pidana
Teori dasar pertanggungjawaban dalam hukum pidana serta pengaruh asas “tiada
pidana tanpa kesalahan” dalam pertanggungjawaban pidana korporasi. Selain itu
juga telah dibahas mengenai sejarah latar belakang dimasukannya korporasi
sebagai subjek hukum pidana. Dengan diterimanya korporasi sebagai subjek
hukum pidana telah membawa perubahan pandangan mendasar dalam hukum
pidana, yang mulanya hanya mengenal manusia sebagai subjek hukum pidana.
Korporasi dapat dianggap memiliki kesalahan. Hal ini bersumber dari atribusi
perbuatan terhadap para pengurus atau direksi dari korporasi tersebut yang dalam
melaksanakan tugas fungsionarisnya. Selain itu, dalam perkembangannya, muncul
pula beberapa teori pertanggungjawaban pidana yang mengesampingkan unsur
kesalahan. Sehingga dalam teori tersebut asas “tiada pidana tanpa kesalahan”
tidak mutlak berlaku. Teori-teori tersebut pada umumnya berkembang dari
negara-negara Anglo Saxon. Karenanya melihat pertanggungjawaban pidana
dengan mengkaitkannya pada maxim “actus non facit reum nisi mens sit rea”.
Meski demikian perlu diketahui sejauh mana doktrin tersebut dapat menyimpangi
asas fundamental dari hukum pidana ini.
Teori-teori dalam pertanggungjawaban pidana dan pemidanaan terhadap
korporasi, terdapat dari tiga teori yaitu identification theory, strict laibility, dan
vicarious liability. Ketiga teori yang disebutkan tersebut merupakan teori yang
8Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: UI Press, 1986, hlm. 125.
8
berasal dari negara-negara Anglo Saxon. Karenanya teori tersebut melihat
pertanggungjawaban pidana dengan mengkaitkannya pada unsur actus reus dan
mens rea. Beberapa teori yang digunakan sebenarnya merupakan doktrin yang
sudah berlaku pada bidang hukum lain, seperti vicarious liability dan strict
liability yang merupakan doktrin yang diakai dalam hukum perdata. Teori-teori
ini yang kemudian digunakan dalam membebankan pertanggungjawaban pidana
dan pemidanaan terhadap korporasi.
1. Identification Theory
Identification theory atau direct corporate criminal liability9 merupakan salah
satu doktrin pertanggungjawaban pidana korporasi yang berasal dari negara-
negara Anglo Saxon, seperti Inggris dan Amerika.10
Doktrin ini bertumpu pada
asumsi bahwa semua tindakan legal maupun ilegal yang dilakukan oleh high level
manager atau direktur diidentifikasikan sebagai tindakan korporasi. Identification
theory juga dikemukakan oleh Muladi dalam bukunya. Muladi mengemukakan
bahwa melalui doktrin identifikasi, sebuah perusahaan dapat melakukan sejumlah
delik secara langsung melalui orang-orang yang sangat berhubungan erat dengan
perusahaan dan dipandang sebagai perusahaan sendiri.11
Doktrin Identifikasi ini juga sering disebut sebagai alter ego theory.12
Doktrin ini
terkenal ketika digunakan oleh Hakim Reid dalam kasus Tesco Supermarket Ltd.
v. Nattrass.13
Dalam pertimbangannya, Hakim Reid menyebutkan bahwa “(a
9Barda Nawawi Arief, Kapita Selekta Hukum Pidana, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2003), hlm.
233-238 10
Muladi, Dwidja Priyatno, Op.cit., hlm. 233 11
Muladi, Dwidja Priyatno, Ibid., 12
Cristina de Maglie, Ibid., 13
Tesco Supermarkets Ltd v. Nattrass [1972] A.C. 153
9
corporation) must act through living persons then the person who acts is acting as
the mind of the company”.14
Dengan demikian, berdasarkan kedudukan orang
tertentu, seperti high level manager, dapat dianggap sebagai “directing mind” dan
“will” dari korporasi tersebut. Hal ini menjadikan anasir “mens rea” yang tidak
mungkin ditemukan pada korporasi secara langsung, dapat diadakan melalui
“mens rea” yang terdapat pada individu yang merupakan “directing mind” dari
korporasi. Dalam menentukan individu yang dianggap sebagai “directing mind”
sebuah korporasi, dalam perkara R v ICR Haulage Ltd15
, disebutkan bahwa
penentuan “directing mind” tersebut tergantung dari fakta-fakta yang ada pada
masing-masing kasus.16
Disebutkan dalam perkara tersebut, pengadilan
berpendapat, bahwa penentuan tersebut harus digantungkan kepada sifat tuduhan
tersebut, kepada kedudukan relatif dari pegawai tersebut, kepada fakta-fakta, dan
kepada keadaan-keadaan lainnya dalam perkara tersebut.17
Putusan mengenai identification theory tersebut muncul enam asas, yakni:18
1) Directing mind dari suatu korporasi tidak terbatas pada satu orang saja,
melainkan juga sejumlah pejabat (officer) dan direktur.
2) Geografi tidak menjadi faktor, atau dengan kata lain perbedaan wilayah
operasional dari suatu korporasi tidak mempengaruhi penentuan siapa
orang-orang yang merupakan directing mind dari perusahaan yang
14
Ibid., hlm. 170 96 15
R v ICR Haulage Ltd. [1944] KB 551 16
Sutan Remy Sjahdeini, Ibid., hlm. 102 17
Ibid., 100 18
Christopher M Little, Natasha Savoline, Corporation Criminal Liability in Canada: The
Criminalization of Occupational Health and Safety Offences. (Fillion Wakely Thorup Angeletti
LLP. Management Labour Lawyers, 2002)., sebagaimana mengutip dari Sutan Remy S. Op.cit.,
hlm. 106-107.
10
bersangkutan. Sehingga perbedaan wilayah tidak bisa menjadi alasan
seseorang mengelak sebagai directing mind.
3) Suatu korporasi tidak dapat mengelak untuk bertanggungjawab dengan
mengemukakan bahwa orang atau orang-orang tertentu telah melakukan
tindak pidana meskipun telah ada perintah yang tegas kepada mereka agar
hanya melakukan perbuatan yang tidak melanggar hukum.
4) Agar seseorang dapat dinyatakan bersalah karena telah melakukan tindak
pidana, maka ia harus memiliki kalbu yang salah atau nilai yang jahat,
yaitu yang dikenal dalam hukum pidana sebagai mens rea. Apabila pejabat
atau direktur korporasi yang merupakan directing mind tersebut tidak
menyadari tindak pidana yang dilakukannya, maka ia tidak dapat
dipertanggungjawabkan.
5) Untuk dapat menerapkan identification theory tersebut, maka harus dapat
ditunjukan bahwa perbuatan yang dilakukan individu sebagai directing
mind merupakan bagian dari kegiatan yang ditugaskan kepadanya.
Perbuatan tersebut juga bukan merupakan perbuatan curang yang
ditujukan kepada korporasi. Serta tindak pidana yanag dilakukan harus
bertujuan untuk memberi manfaat korporasi.
6) Pertanggungjawaban pidana korporasi mensyaratkan adanya analisis
kontekstual atau dengan kata lain, analisis harus dilakukan berdasarkan
kasus per kasus.19
Doktrin identifikasi ini merupakan doktrin yang memungkinkan korporasi
memiliki suatu pertanggungjawaban pidana dengan dasar suatu perbuatan yang
19
Christopher M Little, Natasha Savoline, Loc.cit.,
11
dilakukan oleh individu yang diidentifikasikan sebagai tindakan korporasi. Agar
individu tersebut dapat diidentifikasikan sebagai korporasi, maka individu
tersebut harus bertindak sebagai directing mind. Menentukan directing mind dapat
dilakukan dengan melihat fakta-fakta pada kasus seperti kedudukan dari individu
tersebut atau wewenang yang dimilikan sehingga dapat dianggap bahwa
perbuatannya memang perbuatan perusahaan.Wewenang yang sedemikian
besarnya pada umumnya terdapat pengurus dengan jabatan tinggi seperti high
level manager atau direksi.
2. Strict Liability
Strict liability atau (tanggungjawab mutlak) merupakan doktrin pertanggung
jawaban pidana korporasi yang diadopsi dari doktrin dalam hukum perdata.
Doktrin ini sering diterapkan pada perbuatan melawan hukum (the law of torts)
dalam hukum perdata.20
Pengertian strict liability dalam hukum perdata dapat
merujuk pada Black’s Law Dictionary, definisi “liability that does not depend on
actual negligence or intent to harm, but that is based on the breach of an absolute
duty to make something safe”.21
Hukum pidana, doktrin strict liability merupakan doktrin yang mengesampingkan
unsur kesalahan atau unsur mens rea dalam petanggungjawaban pidana. Lebih
jelasnya Black’s Law Dictionary mendefinisikan strict liability crime sebagai “a
crime that does not require a mens rea element, such as traffic offenses and
illegal sales of intoxicating liquor”.22
Dari definisi yang dikemukakan oleh
Black’s Law Dictionary tersebut jelas menunjukkan bahwa doktrin strict liability
20
Muladi, Dwidja Priyatno, Op.cit., hlm. 111 21
Black’s Law Dictionary, Eight Edition, (United States of America: West, 2004), hlm. 934 22
Black’s Law Dictionary, Eight Edition, (United States of America: West, 2004), hlm. 400
12
menyimpangi asas utama dalam hukum pidana yakni asas kesalahan atau
asasmens rea.23
Muladi dan Dwidja Priyatno berpendapat, bahwa terkait penerapan doktrin strict
liability, sebaiknya hanya diberlakukan terhadap jenis perbuatan pelanggaran yang
sifatnya ringan, seperti pelanggaran lalu lintas. Menurut Loebby Luqman,24
penerapan doktrin ini sebenarnya sudah dilakukan pada delik pelanggaran lalu
lintas. Hal ini dikarenakan, Hakim dalam memutus perkara tersebut tidak akan
mempersoalkan ada tidaknya kesalahan pada pengemudi yang melanggar
peraturan tersebut.25
Sedangkan untuk korporasi, dapat diterapkan untuk meminta
pertanggungjawaban pada delik-delik yang menyangkut perlindungan terhadap
kepentingan umum, seperti kesehatan lingkungan hidup.26
Strict Liability merupakan doktrin yang memandang kesalahan atau mens rea
sebagai unsur yang tidak relevan untuk dipertimbangkan. Atau dengan kata lain
mengesampingkan unsur kesalahan. Dalam penerapannya, doktrin ini tetap harus
dibatasi berdasarkan peraturan yang menyatakan keberlakuan doktrin ini. Hal ini
bertujuan untuk melindungi masyarakat atas hak-hak fundamental. Doktrin ini
sebaiknya diterapkan untuk tindak pidana yang ringan. Sedangkan terhadap
korporasi, doktrin ini dapat diterapkan untuk tindak pidana yang berkaitan dengan
perlindungan kepentingan umum atau masyarakat.
23
Sutan Remy S. Op.cit., hlm. 78 24
Loebby Luqman, Kapita Selekta Tindak Pidana di Bidang Perekonomian, (Jakarta: Datacom,
2002), hlm. 93 25
Loebby Luqman, Loc.cit., 26
Ibid.,hlm 95
13
3. Vicarious Liability
Vicarious Liability atau doktrin pertanggungjawaban pidana pengganti merupakan
doktrin pertanggungjawaban pidana korporasi lainnya yang diadopsi dari hukum
perdata. Dalam hukum perdata terdapat doctrine ofrespondeat superior, dimana
ada hubungan antara employee dengan employer atau principal dengan agents,27
dan berlaku maxim yang berbunyi qui facit per alium facit perse, yang berarti
seseorang yang berbuat melalui orang lain dianggap dia sendiri yang melakukan
perbuatannya. Doktrin ini biasanya diterapkan terkait dengan perbuatan melawan
hukum (the law of tort).
Konsep dari pembebanan pertanggungjawaban kepada pihak lain yang kemudian
dipakai kedalam hukum pidana sebagai doktrin vicarious liability yang mendasari
salah satu bentuk pertanggungjawaban pidana korporasi. Doktrin ini mengajarkan
mengenai suatu pertanggungjawaban pidana yang dibebankan kepada seseorang
atas perbuatan orang lain (the legal responsibility of one person for the wrongful
acts of another).28
Pertanggungjawaban sebagaimana dimaksud adalah
pertanggungjawaban pidana yang terjadi dalam hal perbuatan-perbuatan yang
dilakukan oleh orang lain adalah dalam ruang lingkup perkerjaan atau jabatan.29
b. Teori Pemidanaan
Teori tujuan sebagai Theological Theory dan teori gabungan sebagai pandangan
integratif di dalam tujuan pemidanaan beranggapan bahwa pemidanaan
mempunyai tujuan pliural, di mana kedua teori tersebut menggabungkan
27
Black’s Law Dictionary, Eight Edition, (United States of America: West, 2004) 28
Romli Atmasasmita, Asas-Asas Perbandingan Hukum Pidana, (Jakarta: Yayasan Lembaga
Bantuan Hukum Indonesia, 1989)., hlm. 93 29
Muladi, Dwidja Priyatno, Op.cit., hlm. 113
14
pandangan Utilitarian dengan pandangan Retributivist. Pandangan Utilitarians
yang menyatakan bahwa tujuan pemidanaan harus menimbulkan konsekuensi
bermanfaat yang dapat dibuktikan dan pandangan retributivist yang menyatakan
bahwa keadilan dapat dicapai apabula tujuan yang Theological tersebut dilakukan
dengan menggunakan ukuran prinsip-prinsip keadilan.30
Beberapa teori yang
berkaitan dengan tujuan pemidanaan adalah sebagai berikut :
1) Teori Absolut / Retribusi
Menurut teori ini pidana dijatuhkan semata-mata karena orang yang telah
melakukan suatu tindak pidana atau kejahatan. Imamanuel Kant
memandang pidana sebagai “Kategorische Imperatif” yakni seseorang
harus dipidana oleh Hakim karena ia telah melakukan kejahatan sehingga
pidana menunjukan suatu tuntutan keadilan. Tuntutan keadilan yang
sifatnya absolute ini terlihat pada pendapat Imamanuel Kant di dalam
bukunya “Philosophy of Law” sebagai berikut:
“Pidana tidak pernah dilaksanakan semata-mata sebagai sarana untuk
mempromosikan tujuan/kebaikan lain, baik bagi sipelaku itu sendiri
maupun bagi masyarakat tapi dalam semua hal harus dikenakan karena
orang yang bersangkutan telah melakukan sesuatu kejahatan”.31
2) Teori Tujuan / Relatif
Pada penganut teori ini memandang sebagaimana sesuatu yang dapat
digunakan untuk mencapai pemanfaatan, baik yang berkaitan dengan
orang yang bersalah maupun yang berkaitan dengan dunia luar, misalnya
dengan mengisolasi dan memperbaiki penjahat atau mencegah penjahat
30
Muladi, Lembaga Pidana Bersyarat, Alumni. Bandung, 2002, hlm 23. 31
Muladi dan Barda Nawawi Arief, Teori-Teori dan Kebijakan Pidana. Alumni, Bandung, 2005,
hlm 56.
15
potensial, akan menjadikan dunia tempat yang lebih baik.32
Dasar
pembenaran dari adanya pidana menurut teori ini terletak pada tujuannya.
Pidana dijatuhkan bukan quia peccatum est (karena orang membuat
kesalahan)melakukan ne peccetur (supaya orang jangan melakukan
kejahatan), maka cukup jelas bahwa teori tujuan ini berusaha mewujudkan
ketertiban dalam masyarakat.33
3) Teori Gabungan
Teori gabungan adalah kombinasi dari teori relatif. Menurut teori
gabungan, tujuan pidana selalu membalas kesalahan penjahat juga
dimaksudkan untuk melindungi masyarakat dengan mewujudkan
ketertiban dengan ketentuan beratnya pidana tidak boleh melampaui batas
pembalasan yang adil.34
Tim Pengkaji Bidang Hukum Pidana Badan Pembinaan Hukum Nasional dalam
Laporan Hasil Pengkajian Bidang Hukum Pidana Tahun 1980/1981 menyatakan
dasar pertimbangan pemidanaan korporasi ialah:35
“Jika dipidananya pengurus
saja tidak cukup untuk mengadakan represi, terhadap delik-delik yang dilakukan
oleh atau dengan suatu korporasi, atau bahwa keuntungan yang didapat diterima
korporasi karena delik itu cukup besar atau kerugian yang ditimbulkan dalam
masyarakat”. Dengan demikian, dipidananya pengurus bukan berarti bahwa
korporasi tidak akan sekali lagi melakukan perbuatan yang dilarang oleh undang-
32
Muladi, alumni, Op cit, hlm 65. 33
Ibid, hlm, 145. 34
Samosir, Djisman, 1992.,Fungsi Pidana Penjara Dalam Sistem Pemidanaan Indonesia, Bina
Cipta,Bandung, hlm 67. 35
Badan Pembinaan Hukum Nasional, Himpunan Laporan Hasil Pengkajian Bidang Hukum
Pidana Tahun 1980/1981, BPHN, Jakarta, 1985, hlm. 36 yang dikutip dalam Muladi dan Dwidja
Priyatno, Op.Cit, hlm. 146
16
undang. Menurut Muladi dan Dwidja Priyatno36
, bahwa di berbagai negara
menuntut dan pemidanaan korporasi biasanya dianut apa yang dinamakan
“bipunishment provisionsi”. Hal ini berarti, baik pelaku (pengurus) maupun
korporasi itu sendiri dapat dijadikan subjek pemidanaan. Sementara dalam
pemidanaan korporasi yang menjadi persoalan adalah memilih dan menetapkan
pidana apa yang tepat yang akan digunakan dalam pemidanaan korporasi,
mengingat berdasarkan ketentuan Pasal 10 KUHP tentang jenis pidana atau
bentuk pidana, tidak semua yang terdapat dalam pasal tersebut dapat diberlakukan
kepada korporasi sebagaimana halnya manusia alamiah (naturaljik persoon),
seperti pidana mati, pidana penjara, dan pidana kurungan.
2. Konseptual
Kerangka konseptual adalah susunan dari beberapa konsep sebagai satu kebulatan
yang utuh, sehingga terbentuk suatu wawasan untuk dijadikan landasan, acuan,
dan pedoman dalam penelitian atau penulisan.37
Sumber konsep adalah undang-
undang, buku, laporan penelitian, ensiklopedia, kamus, dan fakta/peristiwa. Agar
tidak terjadi kesalahpahaman pada pokok permasalahan, maka dibawah ini penulis
memberikan beberapa konsep yang dapat dijadikan pegangan dalam memahami
tulisan ini. Berdasarkan judul akan diuraikan berbagai istilah sebagai berikut:
a. Analisis adalah cara pemeriksaan suatu peristiwa atau kejadian dengan tujuan
menemukan unsur-unsur dasar dan hubungan antara unsur-unsur yang
bersangkutan (Kamus Ensiklopedia Indonesia, 1986).
36
Muladi dan Dwidja Priyatno, Op.Cit, hlm. 143 37
Abdul Kadir Muhammad, Hukum dan Penelitian Hukum, Bandung: Citra Aditya Bakti. 2004,
Hal 78.
17
b. Pertanggungjawaban Korporasi adalah organ korporasi yang menjalankan
pengurusan korporasi sesuai anggaran dasar atau undang-undang yang
berwenang mewakili korporasi, termasuk mereka yang tidak memiliki
wewenang untuk mengambil keputusan, namun dalam kenyataannya dapat
mengendalikan atau turut mempengaruhi kebijakan korporasi atau turut
memutuskan kebijakan dalam korporasi yang dapat dikualifikasikan sebagai
tindak pidana (Perma No. 13 Tahun 2016 Pasal 1 Ayat 10).
c. Tindak Pidana Korupsi adalah setiap orang yang secara melawan hukum
melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu
korporasi yang dapat merugikan keuangan Negara dan perekonomian negara.
(Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun
2001 Pasal 2 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi).
E. Sistematika Penulisan
Untuk memberikan pendekatan pemikiran mengenai hal-hal apa saja yang
menjadi fokus pembahasan dalam skripsi ini penulisan menyusun terdiri dari 5
(lima) BAB, yaitu:
I. PENDAHULUAN
Bab ini menguraikan tentang latar belakang pemilihan judul yang akan diangkat
dalam penulisan skripsi. Kemudian permasalahan-permasalahan yang dianggap
penting disertai pembatasan ruang lingkup penelitian. Selanjutnya juga membuat
tujuan dan kegunaan penelitian yang dilengkapi dengan kerangka teori dan
konseptual serta sistematika penulisan.
18
II. TINJAUAN PUSTAKA
Bab ini merupakan pemahaman kedalam pengertian-pengertian umum serta pokok
bahasan. Dalam uraian bab ini lebih bersifat teoritis yang akan digunakan sebagai
bahan studi perbandingan antara teori yang berlaku dengan kenyataannya yang
berlaku dalam praktek.
III. METODE PENELITIAN
Bab ini merupakan metode penelitian yang digunakan dalam penulisan skripsi ini
yang berisi metode penelitan, sumber dan jenis data, penentuan narasumber,
prosedur pengumpulan dan pengolahan data, dan analisis data.
IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Bab ini merupakan hasil penelitian dan pembahasan yang disertai dengan uraian
mengenai hasil penelitian yang merupakan paparan uraian atas permasalahan yang
ada.
V. PENUTUP
Bab ini merupakan penutup dari penulisan skripsi yang berisikan secara singkat
hasil pembahasan dari penelitian dan beberapa saran dari peneliti sehubungan
dengan masalah yang dibahas, memuat lampiran-lampiran, serta saran-saran yang
berhubungan dengan penulisan dan permasalahan yang dibahas.
19
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Pengertian Korporasi
Perkembangan hukum di Indonesia, penggunaan istilah “korporasi” merupakan
sebutan yang lazim dipergunakan dalam kalangan pakar hukum pidana untuk
menyebutkan apa yang biasa digunakan dalam bidang hukum lain, khususnya
dalam bidang hukum perdata yang disebut dengan “badan hukum”
(rechtspersoon) atau yang dalam bahasa inggris disebut dengan legal entities atau
corporation, bahasa jerman disebut corporation, dan bahasa Belanda disebut
corporatee38
yang berasal dari kata corporation dalam bahasa latin.
Pengertian atau defenisi tindak pidana oleh korporasi merupakan tindak pidana
yang dilakukan oleh orang berdasarkan hubungan kerja, atau berdasarkan
hubungan lain, baik sendiri-sendiri maupun bersama-sama yang bertindak untuk
dan atas nama korporasi di dalam maupun diluar lingkungan korporasi (Perma
No. 13 Tahun 2016). Secara etimologis kata korporasi corporatie (Belanda),
corporation (Inggris), korporation (Jerman) berasal dari kata “corporatio” dalam
bahasa Latin, seperti halnya dengan kata lain yang berakhir dengan “tio” maka
“corporatio” sebagai kata benda (substantivum), berasal dari kata kerja
38
Rudhy Prasetya, Perkembangan Korporasi Dalam Proses Mordenisasi, Makalah pada Seminar
Nasional: Kejahatan Korporasi, yang dilaksanakan oleh Fakultas Hukum Undip, Semarang, 1989,
h.2.
20
“corporare” yang banyak dipakai orang pada jaman abad pertengahan atau
sesudah itu. “Corporare” sendiri berasal dari kata “corpus” (Indonesia = badan),
yang berarti memberikan badan atau membadankan. Dengan demikian maka
akhirnya “corporatio” itu berarti hasil pekerjaan membadankan, dengan lain
perkataan badan yang dijadikan orang, badan yang diperoleh dengan perbuatan
manusia sebagai lawan terhadap badan manusia, yang terjadi menurut alam.39
Beberapa pengertian tentang batasan korporasi yang dapat penulis kemukakan di
sini antara lain:
1. A.Z. Abidin
Korporasi dipandang sebagai realitas dan sekumpulan manusia yang diberikan
hak sebagai unit hukum, yang diberikan pribadi hukum untuk tujuan
tertentu.40
`
2. Subekti dan Tjitrosudiro
Korporasi (corporatie) adalah suatu perseroan yang merupakan badan hukum41
3. Black’s Law Dictionary
Suatu kesatuan yang lahir dalam bidang usaha yang memiliki kekuasaan untuk
bertindak secara hukum layaknya seperti manusia nyata dari para pemegang
saham sebagai pemiliknya dan berhak untuk memberikan sesuai dengan jumlah
sahamnya dalam tenggang waktu yang tidak terbatas.
Pengertian korporasi sebagai subjek hukum pidana, menurut Undang-Undang No.
31 Tahun 1999 tentang pemberantasan Tindak Pidana Korupsi memberikan
kualifikasi sebagai berikut menurut Pasal 20 Ayat (2): “Tindak pidana korupsi
39
Soetan K Malikoel Adil, Dalam Muladi, Dwidja Priyatno, op cit, Hlm 12 . 40
Muladi dan Dwipa Prijatna, Pertanggungjawaban Korporasi dalam Hukum Pidana, Sekolah
Tinggi Hukum Bandung Press, Bandung, 1991, hlm 14. 41
Ibid., hlm, 15.
21
dilakukan oleh korporasi apabila tindak pidana tersebut dilakukan oleh orang-
orang baik berdasarkan hubungan kerja maupun berdasarkan hubungan lain,
bertindak dalam lingkungan korporasi tersebut baik sendiri maupun bersama-
sama”.42
B. Sejarah Korporasi Sebagai Subjek Hukum
Asal mula adanya korporasi sampai sekarang masih menjadi persoalan, akan
tetapi pada masyarakat yang primitif dengan karakteristik hidup dalam suatu
kelompok, sebenarnya sudah dikenal perbedaan individu yang terlepas dari suatu
kelompok masyarakat. Pada zaman dahulu perkembangan korporasi terlihat
dengan adanya pembentukan kelompok yang terjadi seperti dalam masyarakat
Asia Kecil, Yunani, dan masyarakat Romawi. Dalam perkembangannya,
kelompok-kelompok tersebut di Romawi membentuk suatu organisasi yang
fungsinya mirip dengan korporasi pada zaman sekarang ini.43
Perkembangan korporasi pada permulaan zaman modern dipengaruhi oleh bisnis
perdagangan yang sifatnya semakin kompleks pada negara-negara Eropa misalnya
di negara Inggris.44
Pengakuan korporasi sebagai subjek delik dalam hukum
pidana sudah berlangsung sejak tahun 1635, ketika sistem hukum Inggris
mengakui bahwa korporasi dapat bertanggungjawab secara pidana atas tindak
pidana ringan. Sedangkan Amerika baru mengakuinya pada tahun 1909 melalui
putusan pengadilan. Setelah itu banyak negara-negara yang mengakui korporasi
sebagai pelaku tindak pidana seperti Belanda, Italia, Prancis, Kanada, Australia,
42
A.Z. Abidin, Bunga Rampai Hukum Pidana, Jakarta: Pradnya Paramita 1983, hlm.54. 43
Muladi dan Dwija Priyatno, op.cit.,hlm. 35. 44
Ibid., hlm. 36
22
Swiss, dan beberapa negara di Eropa.45
Dalam perkembangannya korporasi
ternyata tidak hanya bergerak di bidang kegiatan ekonomi saja, akan tetapi
sekarang ini ruang lingkupnya sudah semakin luas karena dapat mencakup bidang
pendidikan, kesehatan, riset, pemerintahan, sosial, budaya, dan agama.46
Perkembangan dan pertumbuhan korporasi dapat menimbulkan efek negatif,
sehingga kedudukannya mulai bergeser menjadi subjek hukum pidana. Dalam
kongres PBB VII pada tahun 1985 telah dibicarakan tentang jenis kejahatan dalam
tema “dimensi baru kejahatan dalam konteks pembangunan”, dengan melihat
gejala kriminalitas merupakan suatu kelanjutan dari kegiatan dan pertumbuhan
ekonomi dimana korporasi banyak berperan di dalamnya seperti terjadinya
penipuan pajak, kerusakan lingkungan hidup, penipuan asuransi, pemalsuan
invoice yang dampaknya dapat merusak sendi-sendi perekonomian suatu negara.
Sebelumnya pertanggungjawaban korporasi secara kolektif telah dikenal dalam
hukum adat Indonesia. Menurut J. E. Sahetapy dalam penelitiannya pada tahun
1988 tentang permasalahan denda dalam hukum adat Indonesia menyatakan
bahwa, di beberapa daerah di Kepulauan Indonesia sering kali terjadi bahwa
kampung si penjahat terjadinya suatu pembunuhan atau kerugian kepada golongan
familinya orang yang dibunuh, ada kewajiban mambayar denda atau kerugian
kepada golongan famili orang yang dibunuh atau yang kecurian.47
Zainal Abidin yang menyatakan bahwa disebagian daerah di Indonesia dahulu
kala dikenal hukum pidana adat yang mengancam pidana bagi keluarga atau
45
Mahrus Ali, op. cit., hlm. 98. 46
Muladi dan Dwija Priyatno, op. cit., hlm. 41. 47
Ibid., hlm. 42.
23
kampung seseorang yang dipersalahkan melakukan kejahatan.48
Jadi, hukum
pidana adat Indonesia sudah mengenal pertanggungjawaban kolektif yang mirip
dengan pertanggungjawaban korporasi pada zaman sekarang ini.
Pertanggungjawaban korporasi dalam hukum pidana muncul tidak melalui
penelitian yang mendalam dari para ahli, tetapi merupakan akibat dari
kecenderungan formalisme hukum (legal formalism). Pertanggungjawaban pidana
korporasi telah berkembang tanpa adanya teori yang membenarkannya.
Penerimaan korporasi sebagai subjek hukum layaknya manusia hanya melalui
peran pengadilan. Hakim di dalam sistem hukum common law melakukan suatu
analogi atas subjek hukum manusia, sehingga korporasi juga memiliki identitas
hukum dan penguasaan kekayaan dari pengurus yang menciptakannya.
Hakim yang pada waktu itu tidak memiliki banyak teori untuk membebankan
tindakan para pengurus kepada korporasi, berusaha untuk menjerat korporasi
dengan mengajukan pertanyaan apakah suatu korporasi dengan hukum tanpa
memiliki bentuk psikis yang jelas dapat juga dipersyaratkan memiliki
kondisi/keadaan psikologis untuk adanya suatu penuntutan sebagaimana halnya
kejahatan-kejahatan lain yang mensyaratkan adanya hal itu. Berdasarkan
pemikiran ini, akhirnya disepakati bahwa korporasi juga dianggap sebagai subjek
hukum yang bertanggung jawab hanya pada kejahatan-kejahatan ringan. Konsep
ini bertahan hingga akhir abad ke-19. Pada abad ke-19 berkembang suatu
pemikiran tentang pertanggungjawaban korporasi, bahwa korporasi juga
bertanggungjawab atas tindakan-tindakan para pengurus.49
Setelah munculnya
pemikiran tentang pertanggungjawaban korporasi atas tindakan pengurus, para 48
A. Z. Abidin, op. cit., hlm. 50. . 49
Ibid., hlm. 99.
24
ahli mencari dasar pembenar perlunya korporasi dibebani pertanggungjawaban
dalam hukum pidana. Hal ini didasari alasan yang sedemikian rupa misalnya
karena korporasi merupakan pelaku utama dalam perekonomian dunia, sehingga
kehadiran hukum pidana dianggap sebagai metode yang paling efektif untuk
mempengaruhi tindakan-tindakan pengurus korporasi.50
Selain itu, keuntungan
yang diperoleh korporasi dan kerugian yang diderita masyarakat dapat demikian
besarnya, sehingga tidak akan mungkin seimbang bilamana korporasi hanya
dijatuhi sanksi keperdataan. Sanksi pidana diperlukan dalam hal ini. Tindakan
korporasi melalui pengurus-pengurusnya pada satu sisi sering kali menimbulkan
kerugian yang sangat besar bagi masyarakat, sehingga kehadiran sanksi pidana
diharapkan mampu mencegahnya dari pengulangan tindakannya tersebut.
Korporasi sebagai subjek dalam hukum pidana tidak terlepas dari modernisasi
sosial. Menurut Satjipto Rahardjo, modernisasi sosial dampaknya pertama harsu
diakui bahwa semakin modern masyarakat itu akan semakin kompleks sistem
sosial, ekonomi, dan politiknya, maka kebutuhan akan sistem pengendalian
kehidupan yang formal akan menjadi semakin besar pula. Kehidupan sosial tidak
dapat lagi diserahkan kepada pola aturan yang santai, melainkan dikehendaki
adanya pengaturan yang semakin terorganisasi, jelas, dan terperinci. Sekalipun
cara-cara seperti itu mungkin memenuhi kebutuhan kehidupan masyarakat yang
semakin berkembang dengan disertai persoalanpersoalan yang banyak pula.
Selanjutnya, dikemukakan oleh A. Z. Abidin yang mendukung korporasi sebagai
subjek hukum pidana, yaitu: “pembuat delik yang merupakan korporasi itu oleh
Roling dimasukkan functioneel daderschaap, oleh karena korporasi dalam dunia
50
Ibid., hlm. 100.
25
modern mempunyai peranan penting dalam kehidupan ekonomi yang mempunyai
banyak fungsi, pemberi kerja, produsen, penentu harga, pemakai devisa, dan lain-
lain”.51
Selanjutnya dalam hukum positif di berbagai negara mencantumkan
korporasi sebagai subjek hukum pidana seperti di negara Belanda yang tercantum
dalam Pasal 15 Ayat 1 Wet Economic Delicten 1950, yang kemudian dalam
perkembangannya dicantumkan dalam Undang-Undang tanggal 23 Juni 1976 Stb.
377, yang disahkan tanggal 1 September 1976, yang kemudian diubah isinya
dalam Pasal 51 W.v.S. sehingga korporasi di negara Belanda merupakan subjek
hukum pidana umum, dengan menghapus Pasal 15 Ayat 1 Wet Economic Delicten
1950.52
Amerika Serikat, korporasi dipandang sebagai realitas sekumpulan
manusia yang diberikan hak sebagai unit hukum, yang diberikan pribadi hukum
untuk tujuan tertentu. Tujuan pemidanaan korporasi bagi Amerika Serikat
adalah“to deter the corporation from permitting wrongfull acts”. Pada tahun 1909,
Amerika Serikat menempatkan korporasi sebagai subjek yang dapat dimintai
pertanggungjawaban pidana melalui putusan Supreme Courts dalam kasus New
York Cental and Hudson Riwer R.R.v. United States.53
Indonesia, korporasi sebagai subjek hukum pidana dikenal sejak tahun 1951 yang
dicantumkan dalam Undang-Undang penimbunan barang-barang. Akan tetapi
mulai dikenal lebih luas dalam Undang-Undang Tindak Pidana Ekonomi yaitu
Pasal 15 Ayat 1 UU No. 7 Drt. Tahun 1955, juga dalam Pasal 17 Ayat 1 UU
No.11 PNPS tahun 1963 tentang tindak pidana subversi, dan Pasal 49 Undnag-
Undang No. 9 tahun 1976, kemudian dalam Undang-Undang tindak pidana
51
A. Z. Abidin, op. cit., hlm. 51. 52
Muladi dan Dwija Priyatno, op. cit., hlm. 44. 53
Ibid, hlm. 45.
26
narkotika, Undang-Undang lingkungan hidup, Undang-Undang tentang
psikotropika, Undang-Undang tindak pidana korupsi dan Undang-Undang tindak
pidana pencucian uang. Dengan demikian, korporasi sebagai subjek hukum
pidana di Indonesia hanya ditemukan dalam perundang-undangan khusus diluar
KUHP, karena KUHP sendiri hanya mengakui manusia sebagai subjek hukum
pidana.
Pengakuan korporasi sebagai subjek hukum dalam hukum pidana penuh dengan
hambatan-hambatan teoritis, tidak seperti pengakuan sebagai subjek hukum
pidana pada manusia. Terdapat dua alasan mengapa kondisi tersebut. Pertama,
begitu kuatnya pengaruh teori fiksi (fiction theory) yang dicetuskan oleh Von
Savigny, yakni kepribadian hukum sebagai kesatuankesatuan dari manusia
merupakan hasil suatu khayalan. Kepribadian sebenarnya hanya ada pada
manusia. Negara-negara, lembaga-lembaga, tidak dapat menjadi subjek hak dan
perseorangan, tetapi diperlakukan seolah-olah badan-badan itu manusia. Semua
hukum ada demi kemerdekaan yang melekat pada tiap individu. Oleh karena itu,
konsepsi asli kepribadian harus sesuai dengan cita-cita manusia, Kedua, masih
dominannya asas universitas delinguere non potest yang berarti bahwa badan-
badan hukum tidak dapat melakukan tindak pidana dalam sistem hukum pidana di
banyak negara. Asas ini merupakan hasil pemikiran dari abad ke-19, dimana
kesalahan menurut hukum pidana selalu disyaratkan dan sesungguhnya
merupakan kesalahan dari manusia, sehingga erat kaitannya dengan
individualisasi Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).54
Dalam konteks
KUHP yang hingga saat ini masih diberlakukan di Indonesia, asas tersebut
54
Ibid, hlm. 65.
27
ternyata begitu mempengaruhi munculnya Pasal 59 KUHP yang berbunyi sebagai
berikut:
“Dalam hal menentukan hukuman karena pelanggaran, terhadap pengurus,
anggota salah satu pengurus atau komisaris, maka hukuman tidak
dijatuhkan atas pengurus atau komisaris jika nyata bahwa pelanggaran itu
telah terjadi diluar tanggungannya”.
Pasal 59 KUHP tersebut mengenai tentang tindak pidana yang hanya bisa
dilakukan oleh manusia, tidak termasuk korporasi. Pasal 59 KUHP tersebut
menunjukkan bahwa tindak pidana hanya dapat dilakukan oleh manusia, fiksi
badan hukum tidak berlaku dalam KUHP. Secara lebih rinci Van Bemmelen
menyatakan bahwa pasal itu tidak membicarakan tindak pidana korporasi, tetapi
hanya memuat dasar penghapus pidana bagi anggota pengurus atas suatu
pelanggaran yang dilakukan tanpa sepengetahuannya. Dalam perkembangannya,
dua alasan di atas lama kelamaan semakin melemah pengaruhnya. Hal ini dapat
dilihat dengan adanya usaha untuk menjadikan korporasi sebagai subjek hukum
dalam hukum pidana, yaitu adanya hak dan kewajiban yang melekat padanya.
Usaha tersebut dilatarbelakangi oleh fakta bahwa tidak jarang korporasi mendapat
keuntungan yang banyak dari hasil kejahatan yang dilakukan. Begitu juga dengan
kerugian yang dialami masyarakat yang disebabkan oleh tindakan-tindakan
korporasi tersebut. Oleh karena itu, dianggap tidak adil jika korporasi tidak
dilekatkan hak dan kewajiban baginya seperti halnya manusia. Kenyataan inilah
yang kemudian memunculkan tahaptahap perkembangan korporasi sebagai subjek
hukum dalam hukum pidana. Pada umumnya secara garis besar perkembangan
korporasi sebagai subjek hukum pidana dapat dibedakan dalam tiga tahap.
28
a. Tahap Pertama
Dimulai dari tahap pertama, yang ditandai dengan adanya usaha-usaha agar sifat
delik yang dilakukan korporasi dibatasi pada perorangan (natuurlijk persoon).
Sehingga apabila suatu tindak pidana terjadi dalam lingkungan korporasi, maka
tindak pidana tersebut dianggap dilakukan oleh pengurus korporasi tersebut.
Tahap ini merupakan dasar perumusan Pasal 51 W.v.S. Belanda atau Pasal 59
KUHP.55
Para penyusun Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dahulu
dipengaruhi oleh asas societas delinquere non potetast, yaitu badan hukum tidak
dapat melakukan tindak pidana. Menurut Enschede, ketentuan universitas
delinquere non potest adalah contoh yang khas dari pemikiran secara dogmatis
dari abad 19, dimana kesalahan menurut hukum pidana selalu disyaratkan dan
sesungguhnya hanya kesalahan dari manusia, sehingga erat kaitannya dengan
individualisasi KUHP. Pada tahap pertama ini, pengurus yang tidak memenuhi
kewajiban-kewajiban, yang sebenarnya merupakan kewajiban korporasi dapat
dinyatakan bertanggungjawab.56
b.Tahap Kedua
Tahap kedua, ditandai dengan adanya pengakuan yang timbul sesudah perang
Dunia I dalam perumusan Undang-Undang, bahwa suatu tindak pidana dapat
dilakukan oleh korporasi.57
Namun, tanggungjawab untuk itu menjadi beban dari
pengurus korporasi. Perumusan yang khusus ini, yaitu apabila suatu tindak pidana
dilakukan oleh pimpinan atau karena suatu korporasi maka tuntutan pidana dan
55
Muladi dan Dwija Priyatno, op. cit., hlm. 52. 56
Ibid., hlm. 53. 57
Ibid., hlm. 54.
29
pidananya dijatuhkan terhadap anggota pimpinan tersebut. Secara perlahan-lahan
tanggung jawab pidana beralih dari anggota pengurus kepada mereka yang
memerintahkan atau kepada mereka yang secara nyata memimpin dan melakukan
perbuatan yang dilarang tersebut. Dalam tahap ini, korporasi diakui dapat
melakukan tindak pidana akan tetapi yang dapat di pertanggungjawabkan secara
pidana adalah pengurusnya yang secara nyata memimpin korporasi tersebut.
Dalam tahap ini, pertanggungjawaban korporasi secara nyata belum muncul.
Contoh peraturan perundang-undangan tentang pertanggungjawaban korporasi
dalam tahap ini Undang-Undang No. 1 Tahun 1951, LN. 1951-2, Undang-Undang
tentang pernyataan berlakunya Undang-Undang kerja tahun 1948 No. 12 dari RI
untuk seluruh Indonesia.
c. Tahap Ketiga
Tahap ketiga, merupakan permulaan dari adanya tanggungjawab langsung dari
korporasi, yang dimulai pada waktu dan sesudah perang dunia II. Dalam tahap ini
dibuka kemungkinan untuk menuntut korporasi dan meminta pertanggung
jawabannya menurut hukum pidana. Alasannya adalah jika misalnya dalam delik-
delik ekonomi dan fiskal, keuntungan yang diperoleh korporasi dan kerugian yang
diderita masyarakat dapat demikian besarnya, sehingga tidak akan mungkin
seimbang bilamana pidana hanya dijatuhkan kepada pengurus korporasi saja. Juga
diajukan alasan lain, bahwa dengan hanya memidana para pengurus tidak atau
belum ada jaminan bahwa korporasi tidak akan mengulangi delik tersebut.
Dengan demikian, memidana korporasi dengan jenis dan beratnya yang sesuai
dengan sifat korporasi itu, diharapkan dapat memaksa korporasi untuk menaati
30
peraturan yang bersangkutan.58
Peraturan perundang-undangan yang
menempatkan korporasi sebagai subjek hukum dan secara langsung dapat di
pertanggungjawabkan secara pidana Pasal 15 Ayat (1) Undang-Undang No. 7 Drt
tahun 1955 tentang pengusutan, penuntutan, dan peradilan tindak pidana ekonomi,
yaitu: Jika suatu tindak pidana ekonomi dilakukan oleh atau atas nama suatu
badan hukum, suatu perseroan, suatu perserikatan orang atau yayasan, maka
tuntutan pidana dilakukan dan hukuman pidana serta tindakan tata tertib
dijatuhkan.
C. Sistem Pertanggungjawaban Pidana Korporasi
1. Pertanggungjawaban Pidana Korporasi
Korporasi disebut sebagai legal personality yang artinya korporasi dapat
memiliiki harta kekayaan sebagaimana manusia dan dapat menuntut dan dituntut
dan dituntut dalam kasus perdata.59
Menurut Perma No. 13 Tahun 2016 Pasal 4
Ayat (1) yaitu: korporasi dapat dimintakan pertanggungjawaban pidana sesuai
dengan ketentuan pidana korporasi dalam undang-undang yang mengatur tentang
korporasi. Dalam korporasi sebagai subjek hukum dalam sistem hukum pidana
Indonesia dapat dibedakan antara yang melakukan tindak pidana (pembuat) dan
yang bertanggungjawab. Karena itu, pengaturan korporasi sebagai subjek tindak
pidana bergantung pada cara atau sistem perumusan pertanggungjawaban pidana
yang akan digunakan.
58
Ibid., hlm. 56. 59
Hanafi, “Reformasi Sistem Pertanggungjawaban Pidana”, tulisan dalam jurnal Hukum, Fakultas
Hukum UII, Yogyakarta, No, Vol 6, Tahun 1999, hlm. 35.
31
Pertanggungjawaban pidana korporasi, tidak dapat dipisahkan dengan tindak
pidana. Dalam pengertian tindak pidana tidak termasuk pertanggungjawaban
tindak pidana hanya menunjukkan kepada dilarangnya suatu perbuatan60
.
Pandangan di atas sejalan dengan pendapat yang dikemukakan oleh Moelyatno,
yang membedakan dengan tegas “dapat dipidananya perbuatan” (de strafbaarheid
van het feit atau het verboden zjir van het feit) dan “dapat dipidananya orang”
(strafbaarheid van den persoon), dan sejalan dengan itu beliau memisahkan
antara pengertian “perbuatan pidana” (criminal act) dan “pertanggungjawaban
pidana” (criminal responsibility atau criminal liability).61
Oleh karena hal tersebut
dipisahkan, maka pengertian perbuatan pidana tidak meliputi pertanggungjawaban
pidana. Menurut Simons Jadi unsur-unsur strafbaar feit adalah:
1. Perbuatan manusia (positif atau negatif; berbuat atau tidak berbuat atau
membiarkan);
2. Diancam dengan pidana (strafbaar gesteld);
3. Melawan hukum (onrechtmatig);
4. Dilakukan dengan kesalahan (met schuld in verband staand);
5. Oleh orang yang mampu bertanggung jawab (toerekeningsvatbaar
persoon).
Sudarto, memang harus diakui, bahwa untuk sistematik dan jelasnya pengertian
tentang tindak pidana dalam arti ”keseluruhan syarat untuk adanya pidana ”(der
inbegriff dervoraussetzungen der strafe), pandangan dualistis itu memberikan
manfaat, yang penting ialah kita harus senantiasa menyadari bahwa untuk
60
Dwidja Priyatno. op ci. hlm 30. 61
Moelyatno.Seperti dikutip oleh Sudarto. Dalam Sudarto. Hukum Pidana I. Cetakan ke II.
Semarang. Yayasan Sudarto. 1990. hlm 40
32
mengenakan pidana itu diperlukan syarat-syarat tertentu. Apakah syarat itu demi
jelasnya kita jadikan satu melekat padaperbuatan, atau seperti yang dilakukan oleh
Simons dan sebagainya, ataukah dipilah-pilah, ada syarat yang melekat pada
perbuatan dan ada syarat yang melekat pada orangnya seperti dikemukakan oleh
Moelyatno, itu adalah tidak prinsipiil, yang penting ialah bahwa semua syarat
yang diperlukan untuk pengenaan pidana harus lengkap adanya.
Berdasarkan uraian di atas bahwa dipidananya seseorang tidak cukup apabila
perbuatan seseorang telah memenuhi unsur delik dalam undang-undang, tetapi
masih ada syarat lain yang harus dipenuhi yaitu bahwa orang yang melakukan
perbuatan itu harus mempunyai kesalahan atau bersalah. Dengan perkataan lain
orang tersebut harus dapat dipertanggungjawabkan atas perbuatannya atau jika
dilihat dari sudut perbuatannya maka perbuatan tersebut harus dapat
dipertanggungjawabkan kepada orang tersebut. Jadi di sini berlaku asas ”Geen
Straf Zonder Schuld” (tiada pidana tanpa kesalahan). Asas ini tidak tercantum
dalam KUHP Indonesia ataupun peraturan lainnya, namun berlakunya asas ini
sekarang tidak diragukan karena akan bertentangan dengan rasa keadilan, bila ada
orang yang dijatuhi pidana padahal ia sama sekali tidak bersalah. Karena asas
utama dalam pertanggungjawaban pidana adalah kesalahan, maka timbul
permasalahan baru dengan diterimanya korporasi sebagai subjek hukum pidana.
2. Pemidanaan Terhadap Korporasi
Pemidanaan merupakan salah satu sarana untuk menanggulangi masalah-masalah
sosial dalam mencapai tujuan, yaitu kesejahteraan masyarakat. Penggunaan sanksi
yang berupa pidana terhadap kejahatan korporasi yang penuh motif ekonomi
33
harus dipertimbangkan benar urgensinya. Sehubungan dengan hal tersebut maka
perlu untuk mempertimbangkan peringatan Sudarto, bahwa sanksi pidana akan
menemui kegagalan dan mendatangkan kecemasan belaka. Terlalu banyak
menggunakan ancaman pidana dapat mengakibatkan devaluasi dari undang-
undang pidana.62
Packer menyatakan bahwa pidana itu menjadi penjamin yang
utama apabila digunakan secara cermat, hati-hati dan secara manusiawi. Akan
tetapi sebaliknya menjadi pengancam yang membahayakan apabila digunakan
secara Indiscriminately dan coercively. Oleh karena itu Packer menegaskan bahwa
syarat-syarat penggunaan sanksi pidana secara optimal harus mencakup hal-hal
sebagai berikut:
1. Perbuatan yang dilarang tersebut menurut pandangan sebagian besar
anggota masyarakat secara menyolok dianggap membahayakan
masyarakat dan tidak dibenarkan oleh apa saja yang oleh masyarakat
dianggap penting.
2. Penerapan sanksi pidana terhadap perbuatan tersebut konsisten dengan
tujuan-tujuan pemidanaan.
3. Pemberantasan terhadap perbuatan tersebut tidak akan menghalangi
perilaku masyarakat yang diinginkan.
4. Perilaku tersebut dapat dihadapi melalui cara yang tidak berat sebelah dan
tidak bersifat diskriminatif.
5. Pengaturan melalui proses hukum pidana tidak akan memberikan kesan
memperberat baik secara kualitatif maupun secara kuantitatif.
62
Ibid, hlm 117
34
6. Tidak ada pilihan-pilihan yang beralasan daripada sanksi pidana tersebut
guna menghadapi perilaku tersebut.63
Pertimbangan pemidanaan korporasi menurut Tim Pengkajian Bidang Hukum
Pidana Badan Pengkajian Hukum Nasional, dalam laporan hasil Pengkajian
Bidang Hukum tahun 1980/1981 menyatakan bahwa: “jika dipidananya pengurus
saja tidak cukup untuk mengadakan represi terhadap delik-delik yang dilakukan
oleh atau dengan suatu korporasi karena delik itu cukup besar atau kerugian yang
ditimbulkan dalam masyarakat atau saingan-saingan yang sangat berarti”.64
Dengan demikian dipidananya pengurus saja tidak dapat memberikan jaminan
yang cukup bahwa korporasi tidak akan sekali lagi melakukan perbuatan yang
dilarang oleh undang-undang. Berdasarkan uraian di atas bahwa pemidanaan
korporasi didasarkan kepada atau mengandung tujuan pemidanaan baik yang
bersifat preventif (khusus) dan tindakan represif.65
Tujuan pemidanaan korporasi yaitu menyangkut tujuan bersifat integratif yang
mencakup Tujuan pemidanaan adalah pencegahan (umum dan khusus). Tujuan
pencegahan khusus adalah untuk mendidik dan memperbaiki penjahatnya;
sedangkan tujuan pencegahan umum adalah agar orang lain tidak melakukan
kejahatan tersebut. Jadi jika dihubungkan dengan korporasi, maka tujuan
dipidananya korporasi agar korporasi itu tidak melakukan pidana lagi, dan agar
korporasi-korporasi yang lain tercegah untuk melakukan tindak pidana, dengan
tujuan demi pengayoman masyarakat. Pemidanaan terhadap korporasi harus
63
Ibid, hlm 157. 64
Dwidja Priyatno, op cit, hlm 121 65
Ibid, hlm 234.
35
sesuai dengan pendirian integratif tentang tujuan pemidanaan seperti tersebut di
atas. Korporasi dijadikan subjek hukum pidana sama dengan manusia alamiah,
namun perlu diingat bahwa tidak semua tindak pidana dapat dilakukan oleh
korporasi dan sanksi pidana sebagaimana dirumuskan dalam pasal 10 KUHP tidak
semuanya dapat dikenakan pada korporasi. Dalam KUHP yang berlaku sekarang
ini, korporasi tidak dikenal sebagai subjek hukum pidana, dalam merumuskan
sanksi pidana dikenal “double track system” (sistem dua jalur), yaitu di samping
sanksi pidana dikenal juga tindakan yang dapat dikenakan pada pelaku. Sanksi
pidana diatur dalam pasal 10 KUHP.
Pidana terdiri atas:
a. Pidana pokok:
1. pidana mati,
2. pidana penjara,
3. kurungan,
4. denda, dan
5. pidana tutupan (berdasarkan UU No. 20 Tahun 1946 Berita RI II
No. 247)
b. Pidana tambahan:
1. pencabutan hak-hak tertentu;
2. perampasan barang-barang tertentu;
3. Putusan Hakim
Jenis hukuman yang diuraikan di atas jelas bahwa untuk pidana pokok yang dapat
dijatuhkan pada korporasi adalah denda, untuk pidana tambahan pencabutan hak-
hak tertentu sesuai dengan ketentuan Pasal 35 KUHP tidak dapat dikenakan pada
korporasi oleh karena hak-hak tersebut hanya melekat pada manusia alamiah.
Perkembangan selanjutnya lahir berbagai ketentuan pidana khusus, yang
mengatur korporasi sebagai subjek hukumnya, dengan merumuskan sanksi pidana
untuk korporasi bervariasi, yaitu ada yang merumuskannya kumulatif-alternatif,
alternatif dan merumuskannya tunggal. Perumusan sanksi pidana tunggal akan
36
menimbulkan masalah, yaitu bagaimana jika pidananya tidak dilaksanakan,
misalnya pidana pokok hanya denda yang dijatuhkan pada korporasi. Dalam
KUHP indonesia jika denda tidak dibayar maka dapat dikenakan pidana kurungan
pengganti denda Pasal 30 Ayat (2) KUHP, sedangkan pidana kurungan tidak
dapat dijatuhkan pada korporasi. Hal ini merupakan masalah yang harus
dipertimbangkan dalam merumuskan sanksi pidana untuk korporasi dalam
peraturan pidana yang tersebar di luar KUHP.
D. Pengertian Tindak Pidana Korupsi
Istilah Korupsi berasal dari bahasa latin corruptive atau corruptus, Selanjutnya
kata corruption itu berasal dari kata corrumpore (suatu kata latin yang tua). Dari
bahasa latin inilah yang kemudian diikuti dalam bahasa Eropa seperti corruption
dan corrupt (Inggris), corruption (Prancis), dan corruptie (Belanda). Menurut
Suyatno, Tindak Pidana Korupsi dapat didefinisikan ke dalam 4 jenis yaitu:
1. Discritionery Corruption adalah korupsi yang dilakukan karena adanya
kebebasan dalam menentukan kebijaksanaan, sekalipun nampaknya bersifat
sah,bukan praktik-praktik yang dapat diterima oleh para anggota organisasi.
2. Ilegal Corruption merupakan jenis tindakan yang bermaksud mengacaukan
bahasa atau maksud-maksud hukum, peraturan dan regulasi tertentu.
3. Mercenry Corruption adalah jenis tindak pidana korupsi yang dimaksud untuk
memperoleh keuntungan pribadi melalui penyalahgunaan wewenang dan
kekuasaan.
Tindak Pidana Korupsi sebagai tindak pidana khusus di luar KUHP dinyatakan
secara tegas pada Pasal 25 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1960 yang
37
mulai berlaku pada tanggal 9 juni 1960 tentang pengusutan, penuntutan dan
pemeriksaan Tindak Pidana Korupsi. Hukum pidana khusus adalah hukum pidana
yang ditetapkan untuk golongan orang khusus atau yang berhubungan dengan
perbuatan-perbuatan khusus, termasuk di dalamnya hukum pidana militer.
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun
2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU No. 31 Tahun 1999 jo.
UU No. 20 Tahun 2001) memuat pengertian korupsi yang hampir identik dengan
pengertian Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) itu sendiri, yaitu sebagai berikut:
1. Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya
diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan
keuangan negara atau perekonomian negara (Pasal 2 UU No. 31 Tahun 1999
jo. UU No. 20 Tahun 2001).
2. Setiap orang yang dengan tujuan sendiri menguntungkan diri sendiri atau orang
lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan wewenang, kesempatan, atau
sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan
keuangan negara atau perekonomian negara (Pasal 3 UU No. 31 Tahun 1999
jo. UU No. 20 Tahun 2001).
3. Setiap orang yang memberi atau menjanjikan sesuatu kepada hakim dengan
maksud untuk mempengaruhi putusan perkara yang diserahkan kepadanya
untuk diadili, atau memberi atau menjanjikan sesuatu kepada seseorang yang
menurut ketentuan peraturan perundang-undangan ditentukan menjadi advokat
untuk menghadiri sidang pengadilan dengan maksud untuk mempengaruhi
nasihati atau pendapat yang akan diberikan berhubung dengan perkara yang
38
doserahkan kepada pengadilan untuk diadili (Pasal 6 Ayat (1) UU No. 20
Tahun 2001).66
Pasal 28 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi, memberikan kewenangan kepada hakim untuk menjatuhkan
pidana pokok secara kumulatif terhadap pelaku tindak pidana korupsi, yakni
berupa pidana penjara dan pidana denda sekaligus. Ketentuan seperti itu jelas
mengandung penyimpangan dari asas umum hukum pidana tentang penjatuhan
pidana pokok, yang tidak memperkenankan seseorang untuk di jatuhi lebih dari
satu jenis pidana pokok. Ketentuan mengenai kumulasi pidana seperti itu dianut
kembali, dan bahkan untuk pasal-pasal tertentu di dalam Undang-Undang Nomor
31 Tahun 1999 dipertegas.
66
Azis Syamsudin, Op.Cit,.hlm. 139
39
III. METODE PENELITIAN
A. Pendekatan Masalah
Jenis penelitian yang dilakukan dalam penelitian ini adalah secara pendekatan
yuridis normatif dan pendekatan yuridis empiris yakni sebagai berikut:
1. Pendekatan yuridis normatif atau kepustaan adalah metode atau cara yang
dipergunakan di dalam penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti
bahan pustaka yang erat hubungannya dengan masalah yang akan diteliti.
2. Pendekatan yuridis empiris yaitu pendekatan mengkaji hukum yang
dikonsepkan sebagai perilaku nyata (actual behavior), sebagai gejala sosial
yang sifatnya tidak tertulis, yang dialami setiap orang dalam hubungan hidup
bermasyarakat. Pendekatan Empiris tidak bertolak belakang dari undang-
undang pemberantasan tindak pidana korupsi sebagai data sekunder, tetapi dari
perilaku nyata sebagai data primer yang diperoleh dari lokasi penelitian
lapangan (field research).
B. Sumber Data dan Jenis Data
Jenis data dapat dilihat dari sumbernya, dapat dibedakan antara data yang
diperoleh langsung dari masyarakat dan data yang diperoleh dari bahan pustaka.
Sumber dan jenis data yang digunakan dalam penulisan proposal skripsi ini,
adalah sebagai berikut:
40
1. Data Primer
Data primer merupakan hasil penelitian lapangan yang akan dilakukan bersumber
dari pengamatan dan wawancara terbuka dan mendalam dengan pejabat yang
terlibat langsung atau mengetahui masalah pertanggungjawaban korporasi dalam
tindak pidana korupsi.
2. Data Sekunder
Data sekunder yaitu data yang diperoleh dari bahan pustaka dengan cara
membaca, mencatat hal-hal yang bersifat teoritis, asas-asas konsepsi, sikap dan
pandangan, doktrin-doktrin hukum, serta isi kaidah hukum yang berkaitan dengan
penulisan skripsi ini, yang terdiri dari bahan hukum primer, sekunder dan tersier.
Berikut ini adalah uraian mengenai bahan hukum tersebut:
a. Bahan Hukum Primer berupa peraturan perundang-undangan dan putusan
pengadilan. Dalam penelitian ini bahan hukum primer terdiri dari:
1. Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 Tentang Kitab Undang-
Undang Hukum Acara Pidana.
2. Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 yang telah diubah dengan
Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi.
b. Bahan Hukum Sekunder
Bahan hukum sekunder berupa literatur dan hasil penelitian. Peraturan
perundang-undangan yang berkaitan dengan pengaturan korporasi terdiri
dari:
41
1. Peraturan Pemerintah No. 58 Tahun 2010 sebagaimana dirubah
dengan Peraturan Pemerintah Nomor 92 Tahun 2015 tentang
Pelaksanaan KUHAP.
2. Peraturan Mahkamah Agung No. 13 Tahun 2016
c. Bahan Hukum Tersier
Bahan hukum tersier yaitu bahan-bahan hukum yang memberikan
petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan
sekunder. Di dalam penelitian ini yang menjadi bahan hukum tersier
adalah karya ilmiah, kamus, ensiklopedi legal, dan hasil penelitian yang
berkaitan dengan masalah yang akan dibahas atau diteliti dalam skripsi ini.
C. Penentuan Narasumber
Narasumber adalah orang yang dapat memberi informasi yang dibutuhkan oleh
peneliti, dengan demikian maka dalam penelitian ini penentuan narasumber yang
akan diwawancarai sangat penting guna mendapatkan informasi terkait yang
diteliti. Sebagaimana tersebut diatas maka narasumber dalam penelitian ini adalah
sebagai berikut:
1. Jaksa di Kejaksaan Negeri Bandar Lampung : 1 (satu) orang
2. Hakim Tipikor di Pengadilan Negeri Tanjung Karang : 1 (satu) orang
3. Dosen Bagian Hukum Pidana Universitas Lampung : 1 (satu) orang
4. Kantor Hukum Sopian Sitepu & Partners : 1 (satu) orang
Jumlah : 4 (Empat) orang
42
D. Prosedur Data dan Pengolahan Data
1. Prosedur Data
Untuk memperoleh data yang benar dan akurat dalam penelitian ini ditempuh
prosedur sebagai berikut:
a. Studi Kepustakaan (LibraryResearch)
Studi kepustakaan adalah mengumpulkan data yang dilakukan dengan cara
membaca, mengutip, mencatat, dan memahami berbagai literatur yang ada
hubungannya dengan materi penelitian, seperti buku-buku, peraturan
perundang-undangan, majalah-majalah serta dokumen lain yang berhubungan
dengan masalah yang dibahas.
b. Studi Lapangan
Studi lapangan adalah mengumpulkan data dengan mengadakan penelitian
langsung pada tempat atau objek penelitian. Dalam penelitian ini digunakan
wawancara terbuka langsung di Kejaksaan Negeri Bandar Lampung,
Pengadilan Negeri Tanjung Karang, Dosen Fakultas Hukum Universitas
Lampung, dan Kantor Hukum Sopian Sitepu & Partners.
2. Pengolahan Data
Pengolahan data adalah kegiatan untuk merapikan data yang telah berhasil
dikumpulkan sehingga menjadi sistematik dan siap dianalisis. Prosedur
pengumpulan bahan hukum yang digunakan dalam penelitian ini adalah studi
kepustakaan yaitu pengumpulan data dengan jalan membaca peraturan perundang-
undangan, dokumen-dokumen resmi maupun literatur-literatur yang erat
kaitannya dengan permasalahan yang dibahas berdasarkan data sekunder. Dari
43
data tersebut kemudian diolah, dianalisis dan dirumuskan dengan langkah-langkah
sebagai berikut :
1. Editing, yaitu proses pemeriksaan kembali data yang diperoleh sehingga untuk
mengetahui apakah masih terdapat kekurangan-kekurangan dan kesalahan-
kesalahan serta apakah data tersebut telah sesuai dengan permasalahan yang
akan dibahas.
2. Klasifikasi data, yaitu hasil identifikasi data yang selanjutnya diklarifikasikan
atau dikelompokkan sehingga diperoleh data yang benar-benar objektif.
3. Sistematis, yaitu menyusun data menurut sistematika yang telah ditetapkan
dalam penelitian sehingga memudahkan peneliti dalam menginterprestasikan
data.
E. Analisis Data
Analisis data adalah proses pengurutan data dalam pola, kategori dan uraian dasar,
sehingga dapat ditemukan tema dan dapat ditemukan hipotesis kerja yang
disarankan oleh bahan hukum.67
Setelah mengumpulkan dan pengolahan data
selesai kemudian dilakukan analisis secara kualitatif dengan pendekatan yuridis
normatif dan pendekatan yuridis empiris, yaitu dengan menguraikan semua hasil
penelitian yang diperoleh dari teori, dan data lapangan menurut sifat dan peristiwa
hukum yang berlaku yang dikaitkan dengan teori hukum pidana.
67
LEXY. J. MOLEONG, Metodologi Penelitian Kualitatif (Edisi Revisi), Bandung: Remaja
Rosdakarya, 1994, Hal. 94.
77
V. PENUTUP
A. Simpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan maka simpulan dalam penelitian ini
adalah sebagai berikut:
1. Pertanggungjawaban pidana terhadap korporasi pada kasus PT GJW telah
terbukti melakukan tindak pidana korupsi, hal tersebut telah sesuai berdasarkan
Pasal 20 ayat (2) UU TPK dengan perkembangan ilmu hukum pidana semakin
maju, maka muncul doktrin pertanggungjawaban pidana yaitu vicarious
liability, strict liability, dan identification theory, sehingga semua doktrin
dalam kasus tersebut dapat digunakan dalam meminta pertanggungjawaban
pidana.
2. Penerapan sanksi pidana terhadap korporasi melalui putusannya
No.04/Pid.Sus/2011/PT.BJM. Majelis Hakim dalam perkara tersebut
menjatuhkan sanksi pidana denda sebesar Rp 1.317.782.129,- (satu milyar
tiga ratus tujuh belas juta tujuh ratus delapan puluh dua ribu seratus dua puluh
Sembilan rupiah) telah sesuai dengan ketentuan Pasal 20 ayat (7) UU TPK
yaitu pidana pokok yang dapat dijatuhkan terhadap korporasi hanya pidana
denda dengan, ketentuan maksimum ditambah 1/3 dan pada perkara tersebut
juga menjatuhkan sanksi pidana tambahan berupa penutupan sementara PT.
78
Giri Jaladhi Wana selama 6 (enam) bulan yang sesuai dengan tuntutan dan
timbulnya kerugian keuangan negara akibat perbuatan PT GJW dengan
pidana tambahan berupa pembayaran uang pengganti dapat dibebankan
kepada perusahaan tersebut.
B. Saran
Saran yang diajukan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Majelis hakim dalam menanggulangi tindak pidana korupsi perlu adanya
keseragaman dalam hal pengaturan pertanggungjawaban pidana korporasi
seperti teori/doktrin apa yang akan digunakan dalam meminta
pertanggungjawaban pidana korporasi.
2. Hakim dalam menjatuhkan putusan pemidanaan terhadap korporasi untuk masa
yang akan datang dalam penemuan hukum yang progresif karena mengandung
pembaharuan hukum dan dapat digunakan sebagai acuan dalam mempidana
pelaku korporasi tindak pidana korupsi.
DAFTAR PUSTAKA
A. Literatur
Achmad Ali. 2009. Menguak Teori Hukum Dan Teori Peradilan, Kencana
Prenada Media Grup, Jakarta.
Ali, Mahrus. 2013. Asas, Teori & Praktek Hukum Pidana Korupsi. Yogyakarta:
UII Press.
Atmasasmita Romli. 2001. Reformasi Hukum Hak Asasi Manusia Dan Penegakan
Hukum. Bandung, Mandar Maju.
Aulia Ali Reza, 2015, Pertanggungjawaban Korporasi Dalam Rancangan KUHP,
Institute For Criminal Justce Reform, Jakarta Selatan.
Chazawi, Adami. 2002. Pelajaran Hukum Pidana Bag, 1, Raja Grafido Persada,
Jakarta.
F. Sjawie Hasbullah. 2017. Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Pada Tindak
Pidana Korupsi, Jakarta: Kencana.
Hartanti, Evi. 2008. Tindak Pidana Korupsi. Jakarta: Sinar Grafika.
Hanafi. 1999. Reformasi Sistem Pertanggungjawaban Pidana. Yogyakarta: Jurnal
Hukum Fakultas Hukum UII.
Hamzah, Andi. 1984. Korupsi di Indonesia Masalah dan Pemecahannya. Jakarta:
PT Gramedia Pustaka Umum
--------. 2005. Pemberantasan Korupsi Melalui Hukum Nasioanl dan Internasional,
Jakarta: Raja Grafindo Persada.
--------. 2001. Bunga Rampai Hukum Pidana dan Acara Pidana. Jakarta: Ghalia
Indonesia.
Kristian. 2018. Sistem Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Dalam Perkara
Tindak Pidana Korupsi Pasca Terbitnya PERMA RI No. 13 Tahun 2016.
Bandung: Sinar Grafika.
Lamintang, P.A.F. 2009. RUU KUHP Baru Sebuah Restrukturisasi Sistem Hukum
Pidana Indonesia. Semarang: Universitas Diponegoro.
Muhammad Kadir, Abdul. 2004. Hukum dan Penelitian Hukum. Bandung: Citra
Aditya Bakti.
Muladi dan Barda Nawawi Arief. 2005. Teori-Teori dan Kebijakan Pidana.
Bandung: Alumni.
Munir Fuady. 2013. Teori-Teori Besar (Grand Theory) Dalam Hukum, Jakarta:
Kencana Prenadameda Group.
Nawawi Arief Barda. 2002. Sari Kuliah Perbandingan Hukum Pidana, Edisi 1.
cetakan 1, Jakarta: RafaGrafindo Persada.
Poerwadarminta, W.J.S, 1976. Kamus Umum Bahasa Indonesia, Jakarta: PN
Balai Pustaka.
Regar, Moenaf. 2000. Dewan Komisaris Perannya Sebagai Organ Perseroan.
Jakarta: Bumi Aksara.
Reksodipuro Mardjono, 1994, Kemajuan Pembangunan Ekonomi Dan Kejahatan,
Kumpulan Karangan Buku Kesatu, Jakarta: Pusat Pelayanan Keadilan Dan
Pengabdian Hukum.
Rifai, Eddy, 2002. Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Bandar Lampung: PP
Magister Hukum Unila.
Soekanto, Soerjono.1986. Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta: UI Press.
Suseno, Sigid dan Nella Sumika Putri. 2018. Hukum Pidana Indonesia:
Perkembangan dan Pembaharuan. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
Setiyono. 2009. Kejahatan Korporasi Analisis Viktimologi dan Pertanggung
jawaban Korporasi dalam Hukum Pidana Indonesia. Malang: Bayumedia
Publishing.
Yunara, Edi. 2012. Korupsi dan Pertanggung jawaban Pidana Korupsi. Bandung:
PT Citra Aditya Bakti.
B. Peraturan Perundang-Undangan
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana dirubah dengan
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2001 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum
Acara Pidana.
Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2010 sebagaimana dirubah dengan
Peraturan Pemerintah Nomor 92 Tahun 2015 tentang Pelaksanaan KUHAP.
Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas.
Peraturan Mahkamah Agung No. 13 Tahun 2016
C. Internet
Eddy rifai, Persepekti Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Sebagai Pelaku
Tindak Pidana Korupsi, Abstrack. Jurnal. Mimbar hukum. Diakses tanggal,
28/03/2018.
http://sitimaryamnia.blogspot.co.id,diakses pada tanggal 11 februari 2018.
http://siteresources.worldbank.org/INTINDONESIA/Resources/Publication/Meer
angi_Korupsi_dprd.pdf,Diakses pada tanggal 13 Februari 2018, Pukul 12.30
WIB.