Post on 16-Apr-2019
ANALISIS KEDUDUKAN DAN KEKUATAN PEMBUKTIAN DIGITAL
EVIDENCE DALAM PEMBUKTIAN PERKARA KORUPSI
(SUATU STUDI TERHADAP UU NOMOR 11 TAHUN 2008 TENTANG
INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK DAN UU NOMOR
20 TAHUN 2001 TENTANG PEMBERANTASAN
TINDAK PIDANA KORUPSI)
Penulisan Hukum
(Skripsi)
Disusun dan Diajukan untuk Melengkapi Persyaratan Guna Meraih
Derajat Sarjana dalam Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum
Universitas Sebelas Maret Surakarta
Oleh :
SASONGKO ADHI NUGROHO NIM. E 0006221
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
2010
1
PERSETUJUAN PEMBIMBING
Penulisan Hukum (Skripsi)
ANALISIS KEDUDUKAN DAN KEKUATAN PEMBUKTIAN DIGITAL
EVIDENCE DALAM PEMBUKTIAN PERKARA KORUPSI
(SUATU STUDI TERHADAP UU NOMOR 11 TAHUN 2008 TENTANG
INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK DAN UU NOMOR
20 TAHUN 2001 TENTANG PEMBERANTASAN
TINDAK PIDANA KORUPSI)
Oleh :
SASONGKO ADHI NUGROHO
E0006221
Telah disetujui untuk dipertahankan di hadapan Dewan Penguji Penulisan Hukum
(Skripsi) Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta
Dosen Pembimbing
Kristiyadi, S.H., M.Hum NIP. 195812251986011001
2
PENGESAHAN PENGUJI
Penulisan Hukum ( Skripsi )
ANALISIS KEDUDUKAN DAN KEKUATAN PEMBUKTIAN DIGITAL
EVIDENCE DALAM PEMBUKTIAN PERKARA KORUPSI
(SUATU STUDI TERHADAP UU NOMOR 11 TAHUN 2008 TENTANG
INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK DAN UU NOMOR
20 TAHUN 2001 TENTANG PEMBERANTASAN
TINDAK PIDANA KORUPSI)
Oleh :
SASONGKO ADHI NUGROHO E0006221
Telah disahkan oleh Dewan Penguji Penulisan Hukum (Skripsi) Fakultas Hukum
Universitas Sebelas Maret Surakarta
Pada : Hari : Selasa Tanggal : 20 Juli 2010
DEWAN PENGUJI
(1). Edy Herdyanto, S.H., M.H. ( ) NIP. 195706291985031002
(2). Bambang Santoso, S.H., M.Hum. ( ) NIP. 196202091989031001
(3). Kristiyadi, S.H., M.Hum ( ) NIP. 195812251986011001
Mengetahui : Dekan
(Mohammad Jamin, S.H., M.Hum) NIP. 196109301986011001
3
HALAMAN PERNYATAAN
Nama : Sasongko Adhi Nugroho
NIM : E 0006221
Menyatakan dengan sesungguhnya bahwa penulisan hukum (skripsi) berjudul
ANALISIS KEDUDUKAN DAN KEKUATAN PEMBUKTIAN DIGITAL
EVIDENCE DALAM PEMBUKTIAN PERKARA KORUPSI (SUATU STUDI
TERHADAP UU NOMOR 11 TAHUN 2008 TENTANG INFORMASI DAN
TRANSAKSI ELEKTRONIK DAN UU NOMOR 20 TAHUN 2001 TENTANG
PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI) adalah betul-betul karya
sendiri. Hal-hal yang bukan karya saya dalam penulisan hukum (skripsi) ini diberi
tanda citasi dan ditunjukan dalam daftar pustaka. Apabila di kemudian hari
terbukti pernyataan saya tidak benar, maka saya bersedia menerima sanksi
akademik berupa pancabutan penulisan hukum (skripsi) dan gelar yang saya
peroleh dari penulisan hukum (skripsi) ini.
Surakarta, 18 Juni 2010
Yang menyatakan
(Sasongko Adhi Nugroho) NIM. E 0006221
4
ABSTRAK Sasongko Adhi Nugroho, 2010, ANALISIS KEDUDUKAN DAN KEKUATAN PEMBUKTIAN DIGITAL EVIDENCE DALAM PEMBUKTIAN PERKARA KORUPSI (SUATU STUDI TERHADAP UU NOMOR 11 TAHUN 2008 TENTANG INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK DAN UU NOMOR 20 TAHUN 2001 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI). Fakultas Hukum UNS. Penelitian ini mengkaji mengenai kedudukan serta kekuatan pembuktian digital evidence dalam pembuktian perlara korupsi ditinjau dari Undang Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Elektronik serta Undang Undang Nomor 20 tahun 2001 tentang Pemberantsan Tindak Pidana Korupsi. Penelitian ini termasuk jenis penelitian hukum normatif yang bersifat preskriptif, karena penelitian ini adalah suatu penelitian ilmiah untuk menemukan kebenaran berdasarkan logika keilmuan dari sisi hukum. Dengan menggunakan pendekatan peraturan perundang undangan. Jenis bahan hukum yang penulis gunakan adalah bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder. Bahan hukum primer yang penulis gunakan adalah Undang Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Elektronik serta Undang Undang Nomor 20 tahun 2001 tentang Pemberantsan Tindak Pidana Korupsi . Sedangkan bahan hukum sekunder yang penulis gunakan adalah bahan kepustakaan, dokumen, arsip, artikel, makalah, literatur yang sesuai dengan obyek penelitian. Teknik pengumpulan bahan hukum dilakukan dengan cara identifikasi isi bahan hukum primer dan sekunder dari studi kepustakaan. Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan dihasilkan simpulan, kesatu Kedudukan alat bukti digital dalam pembuktian perkara korupsi adalah sebagai bukti petunjuk. KUHAP tidak mengatur mengenai keberadaan alat bukti digital, pengaturan mengenai alat bukti digital dalam pembuktian perkara korupsi diatur secara Lex Specialist di dalam UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik dan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi. Pasal 26 A UU Nomor 20 tahun 2001 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi memperluas cakupan alat bukti petunjuk dalam KUHAP, sehingga alat bukti digital juga termasuk di dalam alat bukti petunjuk. Kedua, pada dasarnya semua alat bukti dalam acara pidana mempunyai kekuatan pembuktian yang bebas serta tidak mengikat hakim, begitu pula dengan alat bukti digital, alat bukti digital juga mempunyai kekuatan pembuktian yang bebas serta tidak mengikat hakim. Kata Kunci : Pembuktian, alat bukti digital, korupsi.
5
MOTTO DAN PERSEMBAHAN
My special thanks to ……..
Karya ini kupersembahkan kepada:
· Kedua orang tuaku, bapak sri utomo dan ibu darwati, yang tidak pernah lepas
tetes demi tetes air mata mendo’akanku. Terimakasih.
· Kakak kakakku, agung & sari terimakasih untuk semua kebersamaan dan
kebanggaannya…………(tunggu aku menyusul kalian)
· My twins…………………………………………………………………..
· Sahabat sahabatku mcc fh uns (bang ody, bang fadli, bang juned, mba veri,
mba daning, desy, nia, yaya, ari, nonie, mega, nanang, anis, ratna, qomar,
raharjo, eky, tata,)………..terimakasih atas semua keceriaan dan kesempatan
jadi bagian dari kalian selama ini……….(kalian bener bener keluarga
bagiku)
-----Bandung – Surabaya – Semarang – Jakarta-----
(bener bener perjalanan yg luar biasa)
buat adek – adekku mcc fh uns kibarkan terus panji panji mcc fh
uns.………….
--------BANGGALAH MENJADI BAGIAN MCC FH UNS--------
(PROUD TO BE A PART OF MCC FH UNS)
· Temen temen anggota tim bola basket fh uns (puput, pekik, angga, gembong,
vincent, sidiq, bagus, frida, ndaru, dhani), thanks guys atas kenangan and
keringatnya................
· Temen temen green house community <denny, hanung, kris, toni,
budi>........................thanks banget atas semua keceriaan and tumpangannya
selama ini ( ga tau deh kalo ga ada kalian & sory dah ngrepotin kalian selama
ini)………………………………..
· Buat fajar makasih buat pinjeman printernya, pokoknya thanks banget
kapten.
· Buat andri, aji, yuda mksh bwt tumpangannya waktu awal kuliah.................
6
· Sahabat-sahabatku, angkatan ’06. (pokoknya buat semua
aja…………..thanks)
· For someone thanks banget..........................................................................
· Yang tak tersebut..........................................................................................
7
KATA PENGANTAR
Segala puja dan puji syukur kehadirat Allah SWT yang melimpahkan
segala rahmad dan hidayah-Nya. Yang selalu memberikan jalan dan kemudahan
kepada penulis sehingga Penulisan Hukum (Skripsi) yang berjudul, “ANALISIS
KEDUDUKAN DAN KEKUATAN PEMBUKTIAN DIGITAL EVIDENCE
DALAM PEMBUKTIAN PERKARA KORUPSI (SUATU STUDI
TERHADAP UU NOMOR 11 TAHUN 2008 TENTANG INFORMASI DAN
TRANSAKSI ELEKTRONIK DAN UU NOMOR 20 TAHUN 2001
TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI)” dapat
terselesaikan tepat waktu.
Banyak hambatan dan permasalahan yang dihadapi penulis dalam
menyelesaikan Penulisan Hukum ini. Penulis menyadari bahwa keberhasilan
dalam menyelesaikan Penulisan Hukum ini tidak bisa terlepas dari bantuan semua
pihak yang telah memberikan bantuan baik secara langsung maupun tidak
langsung, secara materiil maupun non materiil. Oleh karena itu penulis ingin
menyampaikan ucapan terima kasih yang sedalam-dalamnya, terutama kepada :
1. Allah SWT, atas segala rahmat dan karunianya.
2. Nabi Muhammad SAW, semoga penulis dapat istiqomah dijalanNya
hingga akhir jaman.
3. Bapak Mohammad Jamin, S.H., M.Hum selaku Dekan Fakultas Hukum
Universitas Sebelas Maret, ynag telah memberikan ijin dan kesempatan
kepada penulis untuk dapat melaksanakan Penulisan Hukum ini.
4. Pembantu Dekan I, Pembantu Dekan II dan Pembantu Dekan III yang telah
membantu dalam pemberian ijin dilakukannya penulisan ini.
5. Bapak Edy Herdyanto S.H. M.H. selaku Ketua Bagian Hukum Acara
Fakultas Hukum UNS.
6. Bapak Bambang Santoso, S.H.,M.Hum., selaku Ketua Laboratorium Ilmu
Hukum Fakultas Hukum UNS yang telah membantu penulis dalam
menyusun judul penulisan hukum ini.
8
7. Bapak Kristiyadi, S.H, M.Hum selaku Dosen Pembimbing Penulisan
Hukum ini, yang telah memberikan masukan serta bimbingannya. Terima
kasih atas segala kemudahan dan bantuan yang sangat penulis butuhkan
8. Bapak Muhammad Rustamaji, S.H, M.H selaku Dosen Acara Pidana dan
Pembimbing MCC Fakultas Hukum UNS.
9. Ibu Sasmini S.H., L.LM. selaku Pembimbing Akademik penulis selama
menuntut ilmu di Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta.
10. Seluruh Dosen Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret yang tidak
dapat saya sebutkan satu persatu, atas semua ilmu pengetahuan yang tiada
terkira berharganya bagi hidup dan kehidupan penilis.
11. Seluruh Pimpinan dan Staf Administrasi Fakultas Hukun Universitas
Sebelas Maret, atas semua kemudahan, fasilitas serta kesempatan-
kesempatan yang telah diberikan.
12. Pengelola Penulisan Hukum (PPH) Fakultas Hukum UNS
13. Seluruh keluarga, terima kasih untuk semua doa, perhatian, kasih sayang
dan tetes air mata yang diberikan.
14. Pihak-pihak lain yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu, atas semua
bantuan baik materiil maupun imateriil.
Penulis menyadari bahwa Penulisan Hukum ini sangat jauh dari sempurna,
untuk itu kritik dan saran yang membangun sangat diperlukan dari para pembaca
yang budiman. Akhir kata, semoga penulisan hukum ini dapat bermanfaat bagi
semua pihak.
Surakarta, Juni 2010 Sasongko Adhi Nugroho NIM. E 0006221
9
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL………………………………………………………...... i
HALAMAN PERSETUJUAN……………………………………………….. ii
HALAMAN PENGESAHAN………………………………………………... iii
HALAMAN PERNYATAAN………………………………………………... iv
ABSTRAK ……………………………............................................................. v
HALAMAN PERSEMBAHAN..............................................……………...... vii
KATA PENGANTAR………………………………………………………... ix
DAFTAR ISI………………………………………………………………....... xi
DAFTAR TABEL……………………………………………………………... xii
BAB I PENDAHULUAN…………………………………………………. 1
A. Latar Belakang………………………………………………….. 1
B. Rumusan Masalah………………………………………………. 8
C. Tujuan Penelitian……………………………………………….. 8
D. Manfaat Penelitian……………………………………………… 9
E. Metode Penelitian………………………………………………. 9
F. Sistematika Penulisan Hukum…………………………………. 12
BAB II TINJAUAN PUSTAKA…………………………………………. 15
A. Kerangka Teori………………………………………………… 15
1. Tinjauan Umum Tentang Pembuktian………….................. 15
a). Pengertian Pembuktian…………………………........... 15
b). Sistem Pembuktian……..…………………………….... 16
c). Sistem Pembuktian Yang Dianut KUHAP ..................... 18
d). Prinsip Minimum Pembuktian ………………………. 19
e). Asas Asas dalam Pembuktian……………………….... 19
2. Tinjauan Umum Tentang Korupsi………………………… 20
a). Pengertian Korupsi…..………………………………... 20
b). Sifat Korupsi…………………………………….……. 21
c). Ciri Ciri Korupsi……………….…………………….. 22
d). Faktor Faktor Penyebab Korupsi……………………… 22
10
3. Tinjauan Umum Tentang Alat Bukti………..…………….. 24
a). Pengertian Alat Bukti………………………………….. 24
b). Alat Bukti yang Sah Menurut KUHAP ..……………… 24
4. Tinjauan Umum Tentang Alat Bukti Digital / Elektronik….. 29
a). Pengertian Alat Bukti Digital / Elektronik……………... 29
b). Macam Macam Alat Bukti Digital……………………... 29
b). Pengaturan Alat Bukti Digital / Elektronik……………. 30
B. Kerangka Pemikiran…………………………………………… 34
BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN………………… 36
A. Kedudukan Alat Bukti Digital dalam Pembuktian Perkara Korupsi.. 36
B. Kekuatan Pembuktian Alat Bukti Digital dalam Pembuktian
Perkara Korupsi................................................................................. 43
BAB IV PENUTUP………………………………………………………. 47
A. Kesimpulan……………………………………………….……
….. 47
B. Saran-
Saran………………………………………………….…….. 48
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN-LAMPIRAN
11
DAFTAR TABEL
Tabel 1. Tabel Skor CPI (Cooruption Perception Index) Negara Asia Tenggara.
Table 2. Rekap Perkara Korupsi yang Diputus di Pengadilan Umum Semester I
2009
Tabel 3. Contoh Kasus Korupsi Yang Pembuktiannya Menggunakan Alat Bukti
Digital
12
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG MASALAH
Pembangunan nasional sebagaimana diamanatkan UUD RI Tahun 1945
adalah pembangunan manusia Indonesia yang seutuhnya, implementasinya adalah
pembangunan di segala bidang dalam rangka mewujudkan kesejahteraan
masyarakat Indonesia. Namun, upaya menuju ke arah tersebut bukan perkara
mudah, prakteknya di lapangan banyak rintangan yang harus dihadapi oleh
pemerintah dalam upaya mewujudkan cita cita tersebut.
Pembangunan nasional selain dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat
juga menyebabkan perubahan kondisi sosial masyarakat yang berdampak negatif.
Dampak perubahan tersebut diantaranya adalah meningkatnya kecenderungan
terjadinya tindak pidana yang dapat meresahkan kehidupan masyarakat. Salah
satunya adalah meningkatnya tindak pidana korupsi, peningkatan tindak pidana
korupsi terjadi karena sifat dasar manusia yang selalu merasa kurang atas apa yang
ia peroleh, sifat dasar tersebut memicu perilaku perilaku korup di masyarakat.
Korupsi merupakan kejahatan yang termasuk dalam kategori kejahatan luar
biasa / Extraordinary Crime. Kejahatan ini telah menggerogoti hampir semua
sendi sendi kehidupan berbangsa dan bernegara, sehingga Usaha penanggulangan
bentuk kejahatan tersebut sangat diprioritaskan karena korupsi dipandang dapat
mengganggu dan menghambat pembangunan nasional, merintangi tercapainya
tujuan nasional, mengancam keseluruhan sosial, merusak citra aparatur yang
bersih dan berwibawa yang pada akhirnya akan merusak kualitas manusia dan
lingkungannya (Widodo T Novianto, 2007:1).
Korupsi dan kekuasaan, ibarat dua sisi dari satu mata uang. Korupsi selalu
mengiringi perjalanan kekuasaan dan sebaliknya kekuasaan merupakan “pintu
13
masuk” bagi tindak korupsi. Inilah hakikat dari pernyataan Lord Acton, guru
besar sejarah modern di Universitas Cambridge, Inggris, yang hidup di abad ke-19.
Dengan adagium-nya yang terkenal ia menyatakan: “Power tends to corrupt, and
absolute power corrupt absolutely” (kekuasaan itu cenderung korup, dan
kekuasaan yang absolut cenderung korup secara absolut) (H.M. Arsyad Sanusi.
2009:83).
Denny Indrayana (2008:4) menganggap korupsi sebagai sumber segala
bencana dan kejahatan, the root of all evils. Koruptor bahkan relatif lebih
berbahaya dari teroris. Uang yang telah ”dimakan” koruptor adalah hidup mati
bagi ribuan rakyat, dalam konteks inilah koruptor adalah the real terrorist. Sebuah
mimpi belaka pemberantasan kemiskinan dan peningkatan kualitas hidup
masyarakat dapat tercapai, bila korupsi masih merajalela.
Korupsi di Indonesia dilihat dari segi kualitas maupun kuantitas dari tahun ke
tahun terus mengalami peningkatan, hasil survey terbaru yang dirilis oleh
Transparency International Indonesia, sebuah organisasi yang concern terhadap
pemberantasan korupsi yang berpusat di Berlin Jerman dan telah mempunyai 99
chapter di seluruh dunia, menunjukkan bahwa skor Indonesia dalam Corruption
Perception Index (CPI) tahun 2009 adalah 2,8. Skor tersebut menunjukkan bahwa
Indonesia masih merupakan negara dengan tingkat kerawanan terjadinya korupsi
tinggi. Skor tersebut menunjukkan bahwa komitmen pemerintah dalam upaya
menciptakan tata kelola pemerintahan yang bersih serta bebas dari KKN masih
perlu dipertanyakan.
Lebih jauh Transparency Internasional Indonesia menyebutkan bahwa
hampir separuh negara negara yang disurvey memiliki CPI dibawah 5, semakin
rendah CPI yang diperoleh suatu negara maka semakin rendah pula instabilitas
negara tersebut. Sebagai contoh negara negara yang menduduki posisi terbawah
dalam indeks, seperti Somalia dengan nilai 1.1, Afghanistan dengan nilai 1.3,
Myanmar dengan nilai 1.4 dan Sudan bersama Irak mendapat nilai 1.5, stabilitas
14
ekonomi serta politik negara tersebut saat ini berada di titik terendah. Asumsi
tersebut menjadi legitimasi bahwa korupsi berkorelasi dengan konflik dan perang.
Hasil survey yang dikeluarkan tanggal 17 November 2009 yang lalu tersebut
menempatkan Indonesia di posisi 114 dari keseluruhan 180 negara yang disurvey.
Dengan skor 2,8, Indonesia tertinggal jauh dari negara negara di kawasan lain.
Bahkan, dengan negara negara kawasan Asia Tenggara pun Indonesia masih
tertinggal. (lihat tabel).
Tabel 1.
TABEL SKOR CPI NEGARA ASIA TENGGARA
NO NEGARA SKOR CPI
1 Singapura 9,2
2 Brunei Darrusalam 5,5
3 Malaysia 4,5
4 Thailand 3,3
5 Indonesia 2,8
6 Vietnam 2,7
7 Filipina 2,4
8 Timor Leste 2,2
9. Kamboja 2,0
10. Laos 2,0
11. Myanmar 1,4
Sumber : Transparency Internasional Indonesia
Dari survey tersebut, partai politik, parlemen, polisi dan lembaga peradilan
dianggap sebagai pihak yang sangat rawan dari pengaruh korupsi. Khusus
Mengenai korupsi yang terjadi di lembaga peradilan, hal ini disebut sebagai
Judicial Corruption. Saat ini prinsip kemandirian kekuasaan kehakiman tidak
dapat diintervensi adalah menyesatkan. Prinsip independensi demikian memang
diakui namun hanya berlaku bagi sistem peradilan yang bersih. Di dalam sistem
15
peradilan yang kotor, dimana putusan dapat dipesan dan diperjual belikan, maka
intervensi menjadi wajib hukumnya (Denny Indrayana, 2008:11).
Hasil survey tersebut setidaknya membuktikan bagaimana korupsi telah
merasuk ke dalam seluruh sistem hukum dan kehidupan bermasyarakat. Lembaga
peradilan yang diharapkan menjadi benteng terakhir pemberantasan korupsi justru
menjadi satu dari empat lembaga yang sangat rentan terhadap korupsi. Tidak
jarang perkara korupsi yang justru mental ketika sampai di pengadilan.
Data yang dirilis oleh Indonesian Corruption Watch berdasarkan
pemantauan selama semester I tahun 2009 terdapat 119 perkara korupsi dengan
222 orang terdakwa yang diperiksa dan divonis oleh pengadilan diseluruh
Indonesia mulai dari tingkat pertama (Pengadilan Negeri =82 perkara), banding
(Pengadilan Tinggi= 12 perkara), kasasi / peninjauan kembali (MA=15 perkara)..
Sedangkan nilai kerugian negara dari perkara yang diperiksa dan diputus
pengadilan diperkirakan mencapai Rp 1,662 triliun. Dari 222 terdakwa korupsi
yang telah diperiksa dan diputus, sebanyak 153 terdakwa (68,92 %) divonis bebas
/ lepas oleh pengadilan. Hanya 69 terdakwa (31,08 %) yang akhirnya divonis
bersalah, (Lihat Tabel). Namun dari yang akhirnya diputuskan bersalah tersebut,
dapat dikatakan belum memberikan efek jera bagi para pelaku korupsi, karena
secara rata rata hukuman penjara yang dijatuhkan adalah 6,2 bulan
http://www.antikorupsi.org/docs/bahanrilisputusanbebaspengadilanumumsemester
I20095agustus2009.pdf) diakses tanggal 18 Desember 2009.
Tabel 2.
Rekap Perkara Korupsi yang Diputus di Pengadilan Umum Semester I 2009
TERDAKWA Vonis
Bebas –1 Th 1,1-2 2,1-5 5,1- 10 >10 Percobaan
TERDAKWA 222 153 28 17 11 3 1 9
(%) 100 68,92 12,61 7,66 4,95 1,35 0,45 4,05
Sumber : penelitian ICW Semester I 2009
16
Banyaknya terdakwa perkara korupsi yang diputus bebas oleh pengadilan
umum atau pengadilan negeri didasari berbagai alasan, salah satunya adalah tindak
pidana korupsi yang didakwakan kepada terdakwa tidak terbukti. Harus diakui,
korupsi adalah delik yang pembuktiannya dapat dikatakan sangat sulit. Banyak
aspek yang harus dipenuhi untuk benar benar dapat membuktikan bahwa seorang
terdakwa tersebut telah melakukan tindak pidana korupsi. Sebagai salah satu white
collar crime / kejahatan kerah putih, korupsi biasanya dilakukan oleh orang orang
yang mempunyai kedudukan secara hierarki dan dilakukan dengan cara cara yang
sistematis serta rapi. Pola pola yang dilakukan oleh para koruptor dapat dikatakan
sangat terencana dan bersih, korupsi biasanya dilakukan oleh birokrat yang
mempunyai dukungan kuat secara politis dan ekonomi serta telah mengetahui
celah celah hukum agar korupsi yang mereka lakukan tidak dapat terlacak.
Sebagai suatu kejahatan luar biasa / Extraordinary crrime, pembuktian
dalam tindak pidana korupsi dianggap lebih sulit dibanding dengan tindak pidana
yang lain. Untuk itu diperlukan suatu upaya yang luar biasa pula dalam
pembuktiannya. Untuk membuktikan bahwa terdakwa memang benar benar telah
melakukan tindak pidana korupsi tidak cukup dengan pembuktian konvensional
seperti halnya dalam tindak pidana umum lainnya. Kesulitan ini terjadi lantaran
umumnya tindak pidana korupsi dilakukan oleh orang-orang yang memiliki
kesempatan, kewenangan ataupun sarana yang dimungkinkan oleh jabatan yang
diperolehnya. Dengan demikian pada sebagian besar kasus korupsi dilakukan oleh
pembuat keputusan bukan pada tingkat bawah. Dalam posisi semacam ini, apabila
seseorang --yang katakanlah pegawai bawahan-- mengetahui bahwa atasannya
melakukan tindak pidana korupsi, kemungkinan besar ia enggan melaporkan kasus
tersebut karena khawatir akan mengancam pekerjaannya yang sudah jelas berada
di bawah si pelaku tersebut. Tanpa adanya perlindungan hukum terhadap orang-
orang seperti ini, kemungkinan besar kasus-kasus korupsi yang besar tidak akan
pernah terungkap (Naskah Akademik RUU Lembaga Perlindungan Saksi dan
Korban)
17
Pembentuk undang undang menyadari betul mengenai kesulitan yang
mungkin dihadapi oleh para penegak hukum dalam upaya pembuktian tindak
pidana korupsi, maka disamping tetap mengacu pada segi segi hukum pembuktian
umum yang diatur dalam KUHAP, pembentuk undang undang memberikan
pengecualian pembuktian perkara korupsi. Salah satunya adalah penggunaan alat
bukti digital / elektronik, baik itu melalui penggunaan email, telegram,
penyadapan telepon, teleconference, televideoconferene ataupun rekaman CCTV
dll. Banyak contoh kasus korupsi yang dalam pembuktiannya menggunakan alat
bukti elektronik, contohnya adalah penggunaan bukti penyadapan telepon dan
rekaman CCTV pada kasus jaksa Urip Tri Gunawan dan Arthalita Suryani. Selain
itu, ada pula penggunaan teleconference pada saat pemeriksaan saksi mantan
Presiden B.J. Habibie pada sidang kasus korupsi Bulloggate II dengan terdakwa
Akbar Tanjung.
Penggunaan alat bukti elektronik dalam pembuktian perkara korupsi
digunakan oleh para penegak hukum dalam upaya mengungkap tindak pidana
korupsi. Penggunaan alat bukti elektronik sendiri diakomodir dalam beberapa
peraturan perundangan. Diantaranya, Undang Undang Nomor 11 tahun 2008
tentang Informasi dan Transaksi Elektronik dan Undang Undang Nomor 20 tahun
2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Berdasarkan uraian di atas penulis tertarik untuk merumuskannya menjadi
sebuah judul penelitian, yaitu:
”ANALISIS KEDUDUKAN DAN KEKUATAN PEMBUKTIAN DIGITAL
EVIDENCE DALAM PEMBUKTIAN PERKARA KORUPSI (SUATU
STUDI TERHADAP UU NOMOR 11 TAHUN 2008 TENTANG
INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK DAN UU NOMOR 20
TAHUN 2001 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA
KORUPSI) ”
18
B. RUMUSAN MASALAH
Masalah dapat diartikan sebagai suatu informasi yang mengandung
pertanyaan atau yang dapat dipertanyakan, mengandung ketidakjelasan atau
ketidakpastian. Setiap penelitian yang akan dilakukan selalu berangkat dari
masalah. Perumusan masalah ini di maksudkan untuk lebih memfokuskan hal hal
yang akan di teliti, sehingga dapat dicapai tujuan penelitian. Berdasarkan hal
tersebut diatas, permasalahan dalam penelitian ini sebagai berikut :
1. Bagaimanakah kedudukan alat bukti digital / elektronik dalam
pembutkian perkara korupsi ?
2. Bagaimana kekuatan pembuktian alat bukti digital / elektronik dalam
pembuktian perkara korupsi?
C. TUJUAN PENELITIAN
Tujuan penelitian meupakan hal- hal apakah yang hendak dicapai
dalam suatu penelitian. Berdasarkan latar belakang masalah dan perumusan
masalah di atas, maka tujuan dalam penelitian ini adalah :
1. Tujuan Objektif
a. Untuk mengetahui kedudukan alat bukti digital / elektronik dalam
pembuktian korupsi.
b. Untuk mengetahui kekuatan pembuktian alat bukti digital /
elektronik dalam pembuktian perkara korupsi
2. Tujuan Subjektif
a. Mengembangkan dan memperluas wacana pemikiran dan
pengetahuan serta untuk lebih meningkatkan dan mendalami
berbagai teori yang penulis dapatkan selama menempuh kuliah di
Fakultas Hukum Sebelas Maret.
b. Untuk mengumpulkan data penelitian guna penyusunan penulisan
hukum sebagai persyaratan dalam pencapaian gelar kesarjanaan
di bidang Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sebelas
Maret.
19
c. Memberikan gambaran dan sumbangan pemikiran bagi Ilmu
pengetahuan Hukum Acara, khususnya Hukum Acara Pidana.
D. MANFAAT PENELITIAN
Suatu penelitian akan bernilai apabila dapat memberi manfaat bagi
berbagai pihak. Adapun manfaat dai penelitian ini adalah :
1. Manfaat Teoritis
a. Penelitian ini diharapkan dapat berguna bagi perkembangan Ilmu
Hukum pada umumnya, serta Hukum Acara Pidana pada
khususnya, utamanya berkaitan dengan penggunaan alat bukti
digital / elektronik dalam pembuktian tindak pidana korupsi
b. Penelitian ini di harapkan dapat menyumbangkan pengetahuan
dan menambah kepustakaan di bidang ilmu pengetahuan,
khususnya dalam bidang hukum acara pidana.
2. Manfaat Praktis
a. Hasil penelitian ini diharapkan dapat mengembangkan penalaran
dan pola kritis bagi pihak- pihak terkait, berkenaan dengan
pembuktian perkara korupsi khususnya penggunaan alat bukti
digital / elektronik.
b. Hasil penulisan ini diharapkan mampu membantu dan
memberikan tambahan pengetahuan bagi para pihak yang terkait
dengan masalah yang sedang di teliti.
E. METODE PENELITIAN
Metode penelitian dalam penelitian ini menggunakan metode penelitian
antara lain sebagai berikut :
1. Jenis Penelitian.
Penelitian ini merupakan penelitian hukum. Menurut Peter
Mahmud Marzuki, Penelitian hukum adalah suatu proses untuk
menemukan aturan hukum, prinsip-prinsip hukum, maupun doktrin
20
hukum guna menjawab isu hukum yang dihadapi” (Peter Mahmud
Marzuki, 2007: 35). Penelitian hukum menurut Hutchison dibedakan
menjadi 4 tipe yaitu:
a. Doctrinal Research;
b.Reform-Oriented Research;
c. Theoretical Research;
d.Fundamental Research (Hutchison dalam Peter Mahmud Marzuki,
2007: 32-33).
Ketiga tipe penelitian hukum yang dikemukakan Hutchinson yaitu
Doctrinal Research, Reform-Oriented Research, dan Reform-Oriented
Research menurut Peter Mahmud Marzuki merupakan penelitian doktrinal
sedangkan penelitian sosiolegal termasuk dalam tipe keempat yaitu
Fundamental Research (Peter Mahmud Marzuki, 2007: 33).
Penelitian hukum ini masuk kedalam penelitian doktrinal karena
keilmuan hukum memang bersifat preskriptif yaitu melihat hukum sebagai
norma sosial bukan gejala sosial.
2. Sifat Penelitian
Penelitian yang dilakukan ini dalah penelitian yang bersifat preskriptif
dan terapan. Sebagai suatu ilmu yang bersifat preskriptuf, ilmu hukum
mempelajari tujuan hukum, nilai nilai keadilan, validitas aturan hukum,
konsep konsep hukum dan norma norma hukum. Sebagai ilmu terapan
ilmu hukum menetapkan standar prosedur, ketentuan ketentuan, rambu
rambu dalam melaksanakan aturan hukum (Peter Mahmud Marzuki.
2005:22)
Oleh sebab itu, dalam penelitian ini peneliti akan memberikan
preskriptif mengenai kedudukan dan kekuatan pembuktian digital evidence
dalam pembuktian perkara korupsi yang ditinjau dari preskiptif UU Nomor
21
11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik serta UU
Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
3. Pendekatan Penelitian
Pendekatan yang dipakai dalam penelitian hukum diantaranya:
a. Pendekatan perundang-undangan (Statute Approach).
b. Pendekatan kasus (Case Approach).
c. Pendekatan historis (Historical Approach).
d. Pendekatan perbandingan (Comparative Approach).
e. Pendekatan konseptual (Conseptual Approach) (Peter Mahmud
Marzuki, 2007:93-94).
Peneliti dalam hal ini menggunakan pendekatan perundang-
undangan (Statute Approach) yaitu pendekatan terhadap Undang-Undang
Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik dan
Undang Undang Nomor 20 tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi.
4. Pengumpulan Bahan Hukum
Setelah isu hukum ditetapkan, peneliti melakukan penelusuran
mencari bahan-bahan hukum yang relevan terhadap isu hukum yang
dihadapi. Dalam hal penelitian menggunakan pendekatan perundang-
undangan (statute approach), yang dilakukan adalah mencari peraturan
perundang-undangan mengenai atau berkaitan dengan isu tersebut yaitu
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi
Elektronik dan Undang Undang Nomor 20 tahun 2001 Tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
5. Sumber Penelitian Hukum
Sumber-sumber penelitian hukum dapat dibedakan menjadi
sumber-sumber penelitian yaitu berupa:
22
a. Bahan hukum primer yang terdiri dari perundang-undangan, catatan-
catatan resmi atau risalah dalam pembuatan perundang-undangan dan
putusan-putusan hakim. Penelitian Hukum ini bahan hukum primernya
adalah Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan
Transaksi Elektronik dan Undang Undang Nomor 20 tahun 2001
Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi..
b. Bahan hukum sekunder, berupa semua publikasi tentang hukum yang
bukan merupakan dokumen-dokumen resmi. Publikasi tentang hukum
meliputi buku-buku teks, kamus-kamus hukum, jurnal-jurnal hukum,
dan komentar-komentar atas putusan pengadilan. Dalam hal ini peneliti
menggunakan bahan hukum sekunder berupa jurnal-jurnal hukum dari
dalam dan luar negeri, hasil-hasil penelitian hukum serta hasil karya
dari kalangan hukum termasuk artikel-artikel hukum di internet (Peter
Mahmud Marzuki, 2007: 141).
6. Pengolahan Hasil dan Analisis Bahan Hukum
Setelah peneliti mengumpulkan bahan-bahan hukum, diuraikan dan
dihubungkan sedemikian rupa, peneliti akan menarik kesimpulan yang
menjawab isu yang diajukan atau permasalahan yang telah dirumuskan.
Selanjutnya bahan hukum dianalisis untuk melihat Bagaimana kedudukan
dan kekuatan pembuktian Digital Evidence dalam pembuktian perkara
korupsi ditinjau dari Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang
Informasi dan Transaksi Elektronik dan Undang Undang Nomor 20 tahun
2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
F. SISTEMATIKA PENULISAN HUKUM
Sistematika penulisan hukum terdiri dari 4 (empat) Bab, yaitu
pendahuluan, tinjauan pustaka, pembahasan dan penutup ditambah lampiran-
lampiran dan daftar pustaka. Penyusunan penulisan hukum tersebut dengan
sistematika sebagai berikut :
BAB I : PENDAHULUAN
23
Pada Bab ini penulis menguraikan mengenai latar
belakang masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian,
metode penelitian yang digunakan, dan yang terakhir
adalah sistematika penulisan hukum.
BAB II : TINJAUAN PUSTAKA
a. Dalam bab ini diuraikan beberapa pemaparan yang
berkaitan dengan penelitian yang dilakukan, dan
dijelaskan dari literatur- literatur sehingga pembaca
dapat memahami kedudukan dan kekuatan
pembuktian alat bukti digital evidence dalam
pembuktian perkara korupsi. Secara umum dibagi
manjadi kerangka teori dan kerangka pemikiran.
Dalam pemaparan kerangka teori diuraikan
mengenai Tinjauan Umum Tentang pembuktian,
Tinjauan Umum tentang korupsi, Tinjauan Umum
Tentang Alat bukti serta Tinjauan umum tentang alat
bukti digital / elektronik.
b. Dalam kerangka pemikiran, memberikan gambaran
hubungan antara konsep- konsep khusus yang ingin
dan akan di teliti.
BAB III : PEMBAHASAN
A. Dalam Bab ini penulis menjelaskan mengenai
kedudukan alat bukti digital evidence dalam
pembuktian perkara korupsi ditinjau dari UU Nomor
11 tahun 2008 dan UU Nomor 20 tahun 2001.
Secara umum dijelaskan mengenai kedudukan alat
bukti digital / elektronik dalam upaya pembuktian
perkara korupsi.
24
B. Selain itu di jelaskan pula mengenai kekuatan
pembuktian penggunaan alat bukti digital /
elektronik dalam upaya pembuktian perkara korupsi.
BAB IV : PENUTUP
Dalam Bab ini akan dikemukakan mengenai kesimpulan
yang di peroleh dari penelitian yang telah dilakukan, serta
dikemukakan saran yang relevan dari peneliti.
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN – LAMPIRAN
25
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Kerangka Teoritis
1. Tinjauan Umum Tentang Pembuktian.
a) Pengetian Pembuktian
KUHAP memberikan ruang bagi pembuktian, tetapi tidak
memberikan definisi yang secara khusus mengenai pembuktian.
Sehingga muncul beberapa definisi dari beberapa ahli yang
mencoba memberikan definisi mengenai pembuktian, diantaranya :
1. M. Yahya Harahap.
M. Yahya Harahap (2000: 252) memberikan definisi
pembuktian yaitu:
Sebagai ketentuan-ketentuan yang berisi penggarisan dan
pedoman tentang cara-cara yang dibenarkan undang-
undang membuktikan kesalahan yang didakwakan kepada
terdakwa. Pembuktian juga merupakan ketentuan yang
mengatur alat-alat bukti yang dibenarkan undang-undang
dan yang boleh dipergunakan hakim untuk membuktikan
kesalahan yang didakwakan kepada seorang terdakwa.
2. Hari Sasangka.
Merupakan sebagian dari hukum acara pidana yang
mengatur macam-macam alat bukti yang sah menurut
hukum, sistem yang dianut dalam pembuktian, syarat-
syarat dan tata cara mengajukan bukti-bukti tersebut serta
kewenangan hakim untuk menerima, menolak, dan
menilai suatu pembuktian.
26
Dari pengertian pengertian diatas dapat ditarik kesimpulan inti dari
hukum pembuktian adalah :
1. Hukum pembuktian merupakan ketentuan-ketentuan yang
memberikan pedoman mengenai cara-cara untuk
membuktikan kesalahan yang didakwakan kepada
terdakwa yang dibenarkan oleh undang-undang
2. Hukum pembuktian mengatur mengenai jenis-jenis alat
bukti yang boleh digunakan hakim dan diakui undang-
undang yang digunakan untuk membuktikan kesalahan
terdakwa
3. Hukum pembuktian merupakan ketentuan yang mengatur
cara menggunakan maupun menilai kekuatan pembuktian
dari masing-masing alat bukti.
b) Sistem Pembuktian.
Yahya Harahap (2000:256) menjelaskan beberapa sistem
Pembuktian yang dikenal adalah :
a). Conviction- in time.
Penilaian tentang bersalah atau tidaknya terdakwa hanya
bergantung kepada penilaian “keyakinan” hakim. Fokus dalam
sistem ini adalah penilaian keyakinan hakim, tidak bergantung
kepada hal hal yang lain.
Dalam sistem Conviction- in time, dari mana hakim menarik
dan menyimpulkan keyakinannya tidak menjadi masalah.
Keyakinan boleh diambil dan disimpulkan hakim dari alat alat
bukti yang diperiksanya di pengadilan, bisa juga hasil alat alat
bukti yang diabaikan oleh hakim, dan langsung menraik
keyakinan dari keterangan atau pengakuan terdakwa.
27
b). Conviction-Raisonee.
Dalam sistem pembuktian ini “keyakinan hakim” tetap mempunyai
peranan yang sangat penting dalam menentukan bersalah atau tidaknya
terdakwa. Berbeda dengan sistem Conviction- in time. Dimana
“keyakinan hakim” sangat leluasa, dalam sistem pembuktian ini
“keyakinan hakim” harus lah disertai dengan “alasan alasan yang jelas”.
Tegasnya dalam sistem pembuktian ini alasan alasan yang
digunakan hakim sebagai dasar dalam menentukan bersalah atau
tidaknya terdakwa harus lah logis dan benar benar dapat diterima akal.
c). Pembuktian Menurut Undang Undang Secara Positif. (Positief
Wettelijke Bewijstheorie)
Pembuktian menururt undang undang secara positif merupakan
pembuktian yang bertolak belakang dengan sistem pembuktian
conviction- in time.
Pembuktian menururt undang undang secara positif, ”keyakinan
hakim tidak ikut ambil bagian” dalam membuktikan kesalahan terdakwa.
Keyakinan hakim dalam sistem ini, tidak ikut berperan menentukan
bersalah atau tidaknya terdakwa.
Sistem ini berpedoman pada prinsip pembuktian dengan alat alat
bukti yang ditentukan oleh undang undang. Untuk membuktikan bersalah
atau tidaknya terdakwa semata mata ”digantungkan pada alat alat bukti
yang sah”. Asal sudah dipenuhi syarat syarat dan ketentuan pembuktian
menurut undang undang, sudah cukup menentukan kesalahan terdakwa
tanpa menentukan keyakinan hakim.
28
d). Pembuktian Menurut Undang Undang Secara Negatif. (Negatief
Wettelijke Bewijstheorie).
Sistem pembuktian menurut undang undang secara negatif merupakan
teori antara sistem pembuktian menurut undang undang secara positif
dengan sistem pembuktian menurut keyakinan atau conviction- in time.
Sistem pembuktian ini merupakan keseimbangan antara kedua sistem
yang saling bertolak belakang secara ekstrem. Sistem pembuktian menurut
undang undang secara negatif mengkombinasikan secara terpadu sistem
pembuktian menurut keyakinan dengan sistem pembuktian menurut
undang undang secara positif.
Menentukan bersalah atau tidaknya terdakwa tidak cukup hanya
berdasar keyakinan hakim semata mata atau pun berdasar pada cara dan
ketentuan pembuktian dengan alat alat bukti yang ditentukan undang
undang. Seorang terdakwa baru dpat dinyatakan bersalah apabila kesalahan
yang didakwakan kepadanya dapat dibuktikan dengan cara dan alat alat
bukti yang sah sekaligus dibarengi dengan keyakinan hakim bahwa tindak
pidana yang dilakukan terdakwa memang benar benar telah terjadi.
Dalam sistem pembuktian menurut undang undang secara negatif terdapat
dua komponen untuk menentukan bersalah atau tidaknya terdakwa :
a). Pembuktian harus dilakukan menurut cara dan dengan alat alat bukti
yang sah menurut undang undang,
b). Keyakinan hakim yang juga harus didasarkan atas cara dan dengan alat
alat bukti yang sah menurut undang undang.
c). Sistem Pembuktian yang dianut KUHAP.
Untuk mengkaji sistem pembuktian yang dianut oleh KUHAP, dapat
kita lihat rumusan Pasal 183 KUHAP.
29
Pasal 183 KUHAP.
Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali apabila dengan sekurang kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya
Dari rumusan pasal tersebut telah menunjukkan bahwa KUHAP
menganut sistem pembuktian Menurut Undang Undang Secara
Negatif (Negatief Wettelijke Bewijstheorie), dimana dua komponen
utama pembuktian menurut undang undang, yaitu alat bukti yang
sah dan keyakinan hakim harus terpenuhi untuk menentukan
seorang terdakwa tersebut bersalah atau tidak.
d) Prinsip minimum pembuktian.
Prinsip minimum pembuktian adalah prinsip yang harus
dipedomani dalam menilai cukup atau tidaknya alat bukti
membuktikan salah atau tidaknya terdakwa. (M. Yahya Harahap
2000: 262).
Dalam menentukan minimum pembuktian tersebut tetap
harus berpegang pada Pasal 183 serta Pasal 184 ayat (1) KUHAP,
dari rumusan Pasal 183 serta Pasal 184 ayat (1) KUHAP maka
prinsip minimum pembuktian yang dianggap cukup.
a). sekurang kurangnya dengan dua alat bukti yang sah, atau
paling minimum kesalahan terdakwa harus dibuktikan
dengan dua alat bukti yang sah.
b). Dengan demikian tidak dibenarkan dan dianggap tidak
cukup kesalahan terdaka jika hanya dengan satu alat bukti
saja. Pasal 183 tidak membenarkan pembuktian kesalahan
terdakwa hanya dengan satu alat bukti yang berdiri sendiri.
e) Asas Asas dalam Pembuktian.
Dalam pembuktian dikenal adanya asas asas sebagai
pedoman yang harus dipatuhi dalam pembuktian, diantaranya :
30
a). Pengakuan tidak melenyapkan kewajiban pembuktian, karena
pengakuan terdakwa tidak menghilangkan syarat minimum
pembuktian, jadi, meskipun terdakwa mengaku, penuntut umum dan
persidangan tetap wajib membuktikan kesalahan terdakwa dengan
alat bukti yang lain, karena yang dikejar adalah kebenaran material
(Pasal 189 ayat (4) KUHAP).
b). Hal yang secara umum sudah diketahui tidak perlu dibuktikan /
notoire feiten (Pasal 184 ayat (2) KUHAP)
c). Menjadi saksi adalah kewajiban (Pasal 159 ayat (2) KUHAP).
d). Keterangan terdakwa hanya dapat digunakan terhadap dirinya sendiri,
sehingga hanya mengikat dirinya sendiri (Pasal 189 ayat (3)
KUHAP).
e). Satu saksi bukan saksi / unus testis nullus testis (Pasal 185 ayat (2)
KUHAP).
2. Tinjauan Umum tentang korupsi
a) Pengertian korupsi
Dalam ensiklopedia Indonesia, Korupsi berasal dari bahasa Latin:
corruptio dari kata kerja corrumpere = busuk, rusak, menggoyahkan,
memutarbalik, menyogok (http://id.wikipedia.org/wiki/Korupsi)
diakses 28 November 2009.
Menurut Anne van Aaken, Lars P. Feld, Stefan Voigt :
“Corruption is defined as the misuse of public office for private benefit.
Private benefit need not be confined to individual benefit but can
include benefits to political parties and other associations”
(Korupsi didefinisikan sebagai penyalahgunaan jabatan publik
untuk keuntungan pribadi. Keuntungan tersebut tidak terbatas pada
keuntungan individu tetapi juga termasuk keuntungan kepada partai
politik dan asosiasi lainnya).
31
Menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia, korupsi berarti
perbuatan yang buruk, seperti penggelapan uang, penerimaan uang
sogok dsb. (Poerwadarminta, 1984:524).
Menurut Transparency International adalah perilaku pejabat publik,
baik politikus|politisi maupun pegawai negeri, yang secara tidak wajar
dan tidak legal memperkaya diri atau memperkaya mereka yang dekat
dengannya, dengan menyalahgunakan kekuasaan publik yang
dipercayakan kepada mereka.
Menurut Subekti dan Tjitrosoedibio dalam Kamus Hukum,
curruptie adalah korupsi; perbuatan curang; tindak pidana yang
merugikan negara.
Secara harfiah dapat ditarik kesimpulan bahwa sesungguhnya korupsi
memiliki arti yang sangat luas.
1. Korupsi, penyelewengan atau penggelapan (uang Negara atau
perusahaan dan sebaginya ) untuk kepentingan pribadi dan orang
lain.
2. Korupsi : busuk; rusak; suka memakai barang atau uang yang
dipercayakan kepadanya; dapat disogok (melalui kekuasaannya
untuk kepentingan pribadi).
(Evi Hartanti:, 2007:9)
b). Sifat Korupsi
Baharuddin Lopa membagi korupsi menurut sifatnya ke dalam 2 (dua)
bentuk, yaitu sebagai berikut :
a. Korupsi yang bermotif terselubung.
Yakni korupsi secara sepintas kelihatannya bermotif politik,
tetapi secara tersembunyi sesungguhnya bermotif mendapatkan
uang semata.
b. Korupsi yang bermotif ganda.
32
Yaitu seseorang melakukan korupsi secara lahiriah kelihatannya
hanya bermotifkan mendapatkan uang, tetapi sesungguhnya
bermotif lain, yakni kepentingaan politik. (Evi Hartanti, 2007:10).
` c) Ciri Ciri Korupsi.
Dijelaskan oleh Shed Husein Alatas, korupsi mempunyai ciri ciri
sebagai berikut :
a). Korupsi senantiasa melibatkan lebih dari satu orang.
b). Korupsi pada umumnya dilakukan secara rahasia.
c). Korupsi melibatkan elemen kewajiban dan
keuntungan timbal balik.
d). Mereka yang mempraktekkan korupsi biasanya berusaha
untuk menyelubungi perbuatannya dengan berlindung
dibalik pembenaran hukum.
e). Mereka yang terlihat korupsi menginginkan keputusan yang
tegas dan mampu untuk mempengaruhi keputusan
keputusan itu.
f). Setiap korupsi mengandung perbuatan yang menipu.
g). Setiap perbuatan korupsi adalah suatu pengkhianatan
terhadap kepercayaan.
h). Setiap perilaku korupsi melibatkan fungsi ganda yang
kontradiktif dari mereka yang melakukan tindak pidana
tersebut.
i). Korupsi melanggar norma norma tugas dan
pertanggungjawaban dalam tatanan masyarakat.
(Evi Hartanti, 2007:10-11).
d) Faktor Faktor Penyebab.
a). Selo Soemardjan.
Faktor Faktor sosial yang mendukung terjadinya tindak pidana
korupsi adalah :
33
1. Desintegarsai (anomie) sosial karena perubahan sosial terlalu cepat
sejak revoluisi sosial dan melemahnya batas milik negara dan milik
pribadi.
2. Fokus budaya bergeser, nilai utama orientasi sosial beralih menjadi
orientasi harta. Kaya tanpa harta menjadi kaya dengan harta.
3. Pembangunan ekonomi menjadi panglima bukan pembangunan
sosial atau budaya.
4. Penyalahgunaan kekuasaan negara sebagai short cut
mengumpulkan harta.
5. Paternalisme, korupsi tingkat tinggi, menurun, menyebar, meresap
dalam kehidupan masyarakat.
6. Pranata Pranata kontrol sosial tidak efektif lagi.
b). Masyarakat Transparansi Internasional.
Masyarakat Transparansi Internasional menemukan ada sembilan
faktor penyebab korupsi, yaitu:
1. Absennya kemauan politik pemerintah.
2. Amburadulnya sistem administrasi umum dan keuangan
pemerintah.
3. Dominannya militer dalam bidang politik.
4. Politisasi birokrasi.
5. Tidak independennya lembaga pengawas.
6. Kurang berfungsinya parlemen.
7. Lemahnya kekuatan masyarakat sipil.
8. Kurang bebasya media massa.
9. Oportunisme sektor swasta.
c). Andi Hamzah.
Andi Hamzah (2005:13) menyebutkan ada beberapa faktor yang
menyebabkan tumbuh suburnya korupsi:
34
1. Kurangnya gaji Pegawai Negeri Sipil (PNS) jika dibandinkan dengan
kebutuhan sehari hari yang semakin meningkat.
2. Kultur kebudayaan Indonesia yang merupakan sumber meluasnya
korupsi.
3. Manajemen yang kurang baik serta komunikasi yang tidak efektif dan
efisien.
4. Modernisasi.
3. Tinjauan Umum Tentang Alat Bukti
a) Pengertian Alat Bukti.
Yang dimaksud dengan alat bukti adalah segala sesuatu yang ada
hubungannya dengan suatu perbuatan, dimana dengan alat-alat bukti
tersebut, dapat dipergunakan sebagai bahan pembuktian guna
menimbulkan keyakinan hakim atas kebenaran adanya suatu tindak
pidana yang telah dilakukan terdakwa.
b) Alat Bukti yang Sah Menurut KUHAP.
Ketentuan hukum acara pidana telah mengatur mengenai beberapa
alat bukti yang Sedangkan Pasal 184 KUHAP yang menyebutkan
“Alat bukti yang sah ialah :
(a). Keterangan saksi
(b). Keterangan ahli
(c). Surat
(d). Petunjuk
(e). Keterangan terdakwa”
Berikut ini adalah uraian mengenai alat bukti yang diatur dalam
KUHAP :
(a). Keterangan saksi
35
Saksi adalah orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan
penyidikan, penuntutan dan peradilan tentang suatu perkara yang ia dengar,
ia lihat dan ia alami sendiri (Pasal 1 butir 26 KUHAP).
Pengertian keterangan saksi terdapat pada Pasal 1 angka 27
KUHAP disebutkan bahwa keterangan saksi adalah salah satu alat bukti
yang berupa keterangan dari saksi mengenai suatu peristiwa pidana yang ia
dengar sendiri, lihat sendiri dan alami sendiri dengan menyebut alasan dari
pengetahuannya itu.
Keterangan saksi sebagai alat bukti ialah apa yang saksi nyatakan di
sidang pengadilan (Pasal 185 ayat (1) KUHAP). Jika dihubungkan dengan
ketentuan Pasal 1 butir 27 KUHAP maka yang harus diterangkan dalam
sidang adalah :
- apa yang saksi lihat sendiri;
- apa yang saksi dengar sendiri
- apa yang saksi alami sendiri
Keterangan saksi di depan penyidik, bukan keterangan saksi, jadi bukan
merupakan alat bukti. Keterangan saksi di depan penyidik hanya sebagai
pedoman hakim untuk memeriksa perkara dalam sidang. Apabila berbeda
antara keterangan yang diberikan di depan penyidik dengan yang diberikan
di muka sidang, hakim wajib menanyakan dengan sungguh-sungguh dan
dicatat (Pasal 163 KUHAP).
Menurut Pasal 186 KUHAP ada Kekecualian untuk menjadi saksi, yaitu
sebagai berikut :
1) Keluarga sedarah atau semenda dalam garis lurus ke atas atau ke bawah
sampai derajat ketiga dari terdakwa atau yang bersama-sama sebagai
terdakwa;
36
2) Saudara dari terdakwa atau yang bersama-sama sebagai terdakwa,
saudara ibu atau saudara bapak, juga mereka yang mempunyai hubungan
karena perkawinan, dan anak-anak saudara terdakwa sampai derajat
ketiga;
3) Suami atau istri terdakwa meskipun telah bercerai atau yang bersama
sama sebagai terdakwa.
Disamping karena hubungan keluarga atau semenda, juga ditentukan
oleh Pasal 170 KUHAP bahwa mereka yang karena pekerjaan, harkat
martabat atau jabatannya diwajibkan menyimpan rahasia, dapat minta
dibebaskan dari kewajiban untuk memberi keterangan sebagai saksi. Contoh
orang yang harus menyimpan rahasia jabatannya misalnya seorang dokter
yang harus merahasiakan penyakit yang diderita pasiennya. Sedangkan yang
dimaksud karena martabatnya dapat mengundurkan diri adalah mengenai hal
yang dipercayakan kepada mereka, misalnya pastor agama Katolik Roma
yang berhubungan dengan kerahasiaan orang-orang yang melakukan
pengakuan dosa kepada pastor tersebut. Menurut Pasal 170 KUHAP di atas
mengatakan “dapat minta dibebaskan dari kewajiban untuk memberi
keterangan sebagai saksi…” maka berarti apabila mereka bersedia menjadi
saksi, dapat diperiksa oleh hakim. “Oleh karena itu, kekecualian menjadi
saksi karena harus menyimpan rahasia jabatan atau karena martabatnya
merupakan kekecualian relatif”. Kekecualian menjadi saksi dibawah sumpah
juga ditambahkan dalam Pasal 171 KUHAP, yaitu :
1) Anak yang umurnya belum cukup lima belas tahun dan belum pernah
kawin;
2) Orang sakit ingatan atau sakit jiwa meskipun kadang-kadang ingatannya
baik kembali.
(b) Keterangan Ahli
Pasal 1 angka 27 disebutkan keterangan ahli adalah keterangan yang
diberikan oleh seseorang yang memiliki keahlian khusus tentang hal yang
37
diperlukan untuk membuat terang suatu perkara pidana guna kepentingan
pemeriksaan.
Perlu diperhatikan bahwa KUHAP membedakan keterangan seorang
ahli di pengadilan sebagai alat bukti “keterangan ahli” (Pasal 186
KUHAP) dan keterangan ahli secara tertulis di luar sidang pengadilan
sebagai alat bukti “ surat”. Apabila keterangan diberikan pada waktu
pemerikaan oleh penyidik atau penuntut umum, yang dituangkan dalam
suatu bentuk laporan, dan dibuat dengan mengingat sumpah sewaktu ia
menerima jabatan atau pekerjaan , maka keterangan ahli tersebut sebagai
alat bukti surat. Contoh mengenai kedua hal tersebut diatas adalah visum
et repertum yang dibuat oleh seorang dokter.
(c). Surat
Pasal 187 mengatakan surat sebagaimana tersebut dalam Pasal 184
(1) huruf c, dibuat atas sumpah jabatan atau dikuatkan dengan
sumpah, adalah:
- berita acara dan surat lain dalam bentuk resmi yang dibuat oleh pejabat umum yang berwenang dan yang memuat keterangan tentang kejadian atau keadaan yang didengar, dilihat atau yang dialaminya sendiri
- surat yang dibuat menurut ketentuan peraturan perundang-undangan atau yang dibuat oleh pejabat mengenai hal yang termasuk dalam tata laksana yang menjadi tanggung jawabnya
- surat keterangan dari seorang ahli yang membuat pendapat berdasarkan keahliannya
- surat lain yang hanya dapat berlaku jika ada hubungannya dengan isi dari alat pembuktian yang lain.
(d). Petunjuk
Pasal 188 (1) KUHAP mengatakan bahwa petunjuk adalah
perbuatan, kejadian atau keadaan yang karena persesuaiannya, baik
antara yang satu dengan yang lain maupun dengan tindak pidana itu
sendiri menandakan bahwa telah terjadi suatu tindak pidana dan
38
siapa pelakunya. Dalam ayat selanjutnya disebutkan bahwa
petunjuk sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) hanya dapat
diperoleh dari keterangan saksi, surat atau keterangan terdakwa.
Apabila alat bukti yang menjadi sumber dari petunjuk tidak ada
dalam persidangan pengadilan, maka dengan sendirinya tidak akan
ada alat bukti petunjuk.
Penilaian atas kekuatan pembuktian dari suatu petunjuk dalam
setiap keadaan tertentu dilakukan oleh hakim dengan arif dan
bijaksana setelah ia mengadakan pemeriksaan dengan penuh
kecermatan dan kesaksamaan berdasarkan hati nuraninya.. Pada
akhirnya persoalan diserahkan pada hakim, dengan demikian
menjadi sama dengan pengamatan hakim sebagai alat bukti.
(e) Keterangan Terdakwa
Dalam Pasal 1 butir 15 terdakwa adalah seorang tersangka
yang dituntut, diperiksa dan di adili di sidang pengadilan.
Sedangkan keterangan terdakwa adalah apa yang terdakwa
nyatakan di depan sidang pengadilan tentang perbuatan yang telah
ia lakukan atau yang ia ketahui sendiri atau ia alami sendiri.
Kekuatan alat bukti keterangan terdakwa diatur dalam Pasal
183 ayat (3) dan (4) KUHAP. Keterangan terdakwa tidak dapat
digunakan untuk membuktikan kesalahan orang lain, kecuali
disertai oleh alat bukti lain. Hal ini mengingatkan bahwa terdakwa
dalam memberikan keterangannya, tidak perlu mengucapkan
sumpah atau janji. Karena keterangan terdakwa bukanlah
pengakuan terdakwa, maka ia boleh menyangkal segala tuduhan
karena ia tidak disumpah. Penyangkalan terdakwa adalah hak
terdakwa dan harus dihormati. Oleh sebab itu, suatu penyangkalan
39
terhadap suatu perbuatan mengenai suatu keadaan tidak dapat
dijadikan alat bukti.
4. Tinjauan Umum tentang Alat Bukti Digital / Elektronik.
a) Pengertian Bukti digital.
Alat Bukti digital didefinisikan sebagai fisik atau informasi
elektronik yang dikumpulkan selama investigasi komputer yang
dapat digunakan untuk bukti dalam persidangan, namun tidak
terbatas pada komputer file (seperti file log atau dihasilkan laporan)
dan file yang dihasilkan manusia (seperti spreadsheet, dokumen,
atau pesan email)
(http://yogapw.wordpress.com/2009/11/13/pengertianbukti-digital-
digital-evidence/).
b) Macam Macam Alat Bukti Digital
Macam Macam Alat bukti Digital diantaranya :
* Email.
Adalah singkatan dari Electronic Mail, yaitu surat yang baik
berupa teks maupun gabungan dengan gambar, yang
dikirimkan dari satu alamat email ke alamat lain di jaringan
internet.
* SMS (Short Message Service)
Short Message Service (SMS) adalah suatu fasilitas untuk
mengirim dan menerima suatu pesan singkat berupa teks
melalui perangkat nirkabel, yaitu perangkat komunikasi teleon
selular, dalam hal ini perangkat nirkabel yang digunakan
adalah telepon selular
* File berbentuk (J.PG, T.IF, G.IF dll) .
File dengan Extension J.PG, T.IF, G.IF, yang biasanya
berupa gambar.
* Rekaman penyadapan.
40
Yaitu rekaman yang didapat dari penyadapan pembicaraan
seseorang dengan orang lain yang diduga kuat berhubungan
secara langsung ataupun tidak langsung dengan tindak pidana
korupsi.
* CCTV (Closed Circuit Television)
Yaitu perangkat kamera video digital yang digunakan untuk
mengirim sinyal ke layar monitor di suatu ruang atau tempat
tertentu. Hal tersebut memiliki tujuan untuk dapat memantau
situasi dan kondisi tempat tertentu, sehingga dapat mencegah
terjadinya kejahatan atau dapat dijadikan sebagai bukti tindak
kejahatan yang telah terjadi.
* Teleconference, Televideoconference. dll
Yaitu hubungan jarak jauh antara orang satu dengan yang
lain, dimana kita dapat mendengar suara dan gambar lawan
bicara kita secara real time
c) Pengaturan Alat Bukti Digital.
Penggunaan alat bukti elektronik di negara negara maju
sudah diakui sebagai alat bukti yang sah serta dipertimbangkan
hakim dalam memutus perkara baik pidana atau perdata. Di negara
negara lain terdapat peraturan yang mengatur alat bukti elektronik
sebagai alat bukti yang sah di pengadilan. Sebagai contoh negara
Malaysia, di Malaysia alat bukti diatur dalam Evidence Act 1950
atau UU tentang Alat Bukti 1950. Dalam UU tersebut alat bukti
dibagi atas dua macam, yaitu alat bukti primer dan alat bukti
sekunder. Yang dimaksud alat bukti primer berdasarkan Pasal 62
evidence act adalah alat bukti berupa dokumen yang original yang
dihadirkan dipengadilan. Dalam evidence act 1950 yang dimaknai
sebagai dokumen adalah seluruh dokumen yang dibuat secara
tertulis, maupun terekam pada pita foto, baik berupa surat, buku,
jurnal, film, video dan lain sebagainya. Bagian-bagian dari
41
dokumen tersebut sepanjang itu original dianggap sebagai alat bukti
primer. Sedangkan yang dimaksud dengan alat bukti sekunder ialah
alat bukti yang tidak original. Ketidak originalan alat bukti tersebut
bisa dikarenakan ia merupakan copy-an, rekaman yang merupakan
duplikasi dari alat bukti primer. Masuknya alat bukti elektronik
dalam evidence act 1950 yaitu adanya perubahan atau lebih
tepatnya penambahan pada Pasal 62 tentang alat bukti primer.
Dalam klausul terakhir pasal tersebut dinyatakan bahwa dokumen
yang dikeluarkan dari komputer merupakan alat bukti primer.
Dalam Undang Undang tersebut memberikan definisi
komputer tidak tersekat oleh penamaan benda, tetapi lebih kepada
prosesnya, apapun nama benda tersebut.
(http://rifq1.wordpress.com/2008/04/21/alat-bukti-elektronik-
catatan-singkat-mengenai-keberadaannya/) diakses 28 November
2009.
Di Indonesia alat bukti elektronik sesungguhnya juga
diperkenankan dalam rumusan beberapa undang undang,
diantaranya :
a. Undang Undang Nomor 8 Tahun 1997 tentang dokumen
perusahaan.
Dengan dikeluarkannya Undang-undang No.8 Tahun 1997
tanggal 24 Maret 1997 tentang Dokumen Perusahaan, Pemerintah
berusaha untuk mengatur pengakuan atas mikrofilm dan media
lainnya (alat penyimpan informasi yang bukan kertas dan
mempunyai tingkat pengamanan yang dapat menjamin keaslian
dokumen yang dialihkan atau ditransformasikan). Pengaturan
tersebut diatur dalam Pasal 12 UU tentang Dokumen Perusahaan
tersebut sebagai alat bukti yang sah”
42
b. Undang Undang Nomor 31 Tahun 1999 yang telah diubah dan
ditambah dengan Undang Undang Nomor 20 Tahun 2001.
Berdasarkan Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang
Perubahan Atas Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, adanya perluasan
mengenai sumber perolehan alat bukti yang sah berupa petunjuk.
Tetapi, menurut Undang-Undang No. 20 Tahun 2001, bukti
petunjuk juga dapat diperoleh dari alat bukti lain yang berupa
informasi yang diucapkan, dikirim, diterima, atau disimpan secara
elektronik dengan alat optik atau yang serupa dengan itu tetapi
tidak terbatas pada data penghubung elektronik (electronic data
interchange), surat elektronik (email), telegram, teleks, faksimili,
dan dari dokumen, yakni setiap rekaman data atau informasi yang
dapat dikeluarkan dengan atau tanpa bantuan suatu sarana, baik
yang tertuang di atas kertas, benda fisik apapun selain kertas,
maupun yang terekam secara elektronik, yang berupa tulisan, suara,
gambar, peta, rancangan, foto, huruf, tanda, angka, atau perforasi
yang memiliki makna.
c. Undang Undang Nomor 25 Tahun 2003 Tentang Pencucian Uang.
Kejahatan pencucuian uang / money laundering merupakan
kejahatan yang biasanya melibatkan antar negara, untuk
menyamarkan tindak pidana pencucian uang biasanya uang hasil
kejahatan disimpan di luar negeri.
Pasal 2 angka (1q) Undang-undang pencucian uang
mengatur juga mengenai alat bukti elektronik atau digital evidence
sesuai dengan Pasal 38 huruf (b), yaitu alat bukti lain berupa
informasi yang diucapkan, dikirimkan, diterima, atau disimpan
secara elektronik dengan alat optik atau yang serupa dengan itu.
43
d. Undang Undang Nomor 21 Tahun 2007 Tentang Tindak pidana
perdagangan orang
Pasal 29 Undang-Undang No. 21 tahun 2007 tentang
Perdagangan Orang ini mengatur mengenai alat bukti selain
sebagaimana ditentukan dalam Undang-Undang Hukum Acara
Pidana, dapat pula berupa” :
1) Informasi yang diucapkan, dikirimkan, diterima, atau
disimpan secara elektronik dengan alat optik atau yang
serupa dengan itu; dan
2) Data, rekaman, atau informasi yang dapat dilihat, dibaca,
dan/atau didengar yang dapat dikeluarkan dengan atau
tanpa bantuan suatu sarana, baik yang tertuang di atas
kertas, benda fisik apapun selain kertas, atau yang terekam
secara elektronik, termasuk tidak terbatas pada :
a) tulisan, suara atau gambar;
b) peta, rancangan, foto atau sejenisnya;
Kendati telah diatur dalam beberapa UU, namun alat bukti elektronik
sifatnya masih parsial dan limitatif, sebab ia hanya dapat dipergunakan
terbatas dalam tindakan hukum serta kasus kasus tertentu. KUHAP
sebagai sumber hukum acara pidana sendiri tidak mengatur mengenai
alat bukti digital.
44
2. Kerangka Pemikiran
PENGGUNAAN
ALAT BUKTI DIGITAL
/ ELEKTRONIK
Extraordinary Crime
Tindak Pidana Korupsi
Pembuktian Perkara Korupsi
KEDUDUKAN KEKUATAN PEMBUKTIAN
UU No 11 Tahun 2008 Dan
UU No 20 Tahun 2001
45
Penjelasan :
Berdasarkan kerangka berpikir di atas, salah satu contoh
Extraordinary Crime / Kejahatan luar biasa adalah Tindak pidana
korupsi. Sebagai suatu kejahatan luar biasa maka dalam proses
pembuktian nya harus dilakukan dengan upaya luar biasa pula. Salah
satu upaya pembuktian yang luar biasa tersebut adalah diadopsinya
penggunaan alat bukti digital / elektronik dalam rangka pembuktian
tindak pidana korupsi.
KUHAP sebagai dasar hukum acara di Indonesia tidak
mengatur mengenai keberadaan alat bukti digital / elektronik.
Pengaturan mengenai kedudukan alat bukti digital elektronik
ditemukan di Undang Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang
Informasi dan Transaksi Elektronik dan Undang Undang Nomor 20
Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
46
BAB III
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Kedudukan Alat Bukti Digital / Elektronik Dalam Pembutkian Perkara
Korupsi
Berdasar penelitian yang penulis lakukan, alat bukti elektronik diatur
secara lex Specialist. Alat bukti digital / elektronik diatur di dalam Undang
Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik
serta Undang Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan tindak
pidana korupsi. Kedua undang undang tersebut walaupun merupakan produk
politik dari DPR dan Pemerintah, sejatinya merupakan aturan yang secara
sosilogis dimaksudkan agar dapat menjadi payung hukum bagi penggunaan
alat bukti digital serta pemberantasan tindak pidana korupsi yang saat ini
memerlukan penanganan yang luar biasa.
Pengaturan alat bukti digital terdapat di dalam Pasal 5 ayat (1), (2), (3),
undang undang nomor 11 tahun 2008, yang menyebutkan bahwa :
(1) Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dan/atau hasil cetaknya merupakan alat bukti hukum yang sah.
(2) Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dan/atau hasil cetaknya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan perluasan dari alat bukti yang sah sesuai dengan Hukum Acara yang berlaku di Indonesia.
(3) Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dinyatakan sah apabila menggunakan Sistem Elektronik sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang ini.
Selanjutnya, Pasal 44 menyebutkan bahwa : Alat bukti penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di sidang pengadilan
menurut ketentuan Undang-Undang ini adalah sebagai berikut: a. Alat bukti sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Perundang-
undangan; dan b. Alat bukti lain berupa Informasi Elektronik dan / atau Dokumen
Elektronik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 1 dan angka 4 serta Pasal 5 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3)”.
47
Pasal 5 ayat 1 Undang Undang Nomor 11 Tahun 2008 menyebutkan alat
informasi elektronik merupakan alat bukti yang sah untuk digunakan sebagai alat
bukti. informasi elektronik dapat berupa catatan elektronik, dokumen elektronik,
kontrak elektronik, surat elektronik, atau tanda tangan elektronik. Juga meliputi
informasi elektronik tertentu yang merupakan rujukan dari suatu informasi
elektronik. Lebih lanjut ayat 2 menyebutkan alat bukti digital merupakan
perluasan dari alat bukti yang sah yang diatur dalam KUHAP khususnya Pasal
184. Penggunaan alat bukti digital sebagaimana diatur dalam undang undang ini
dinyatakan sah jika penggunaan alat bukti digital tersebut menggunakan sistem
elektronik yang diatur dalam undang undang tersebut. Sistem elektronik sesuai
dengan Pasal 1 ayat (5) undang undang tersebut diartikan sebagai :
“Serangkaian perangkat dan prosedur elektronik yang berfungsi mempersiapkan, mengumpulkan, mengolah, menganalisis, menyimpan, menampilkan, mengumumkan, mengirimkan, dan/atau menyebarkan Informasi Elektronik”
Pengaturan dalam Pasal 1 ayat (5) tersebut dimaksudkan sebagai kontrol
agar tidak terjadi pelanggaran terhadap hak hak setiap warga negara untuk
melakukan komunikasi serta mendapatkan informasi. Harus diakui bahwa
Amandemen Undang Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 secara tegas
telah menyatakan hak setiap warga negara untuk mendapat informasi, dengan
adanya rumuan tersebut mencegah para pihak yang berwajib untuk sewenang
wenang dalam memeroleh informasi dan dokumen yang menyangkut dengan
privasi seseorang.
Berdasarkan uraian Pasal 5 ayat (1) dan (3) tersebut diatas, maka Informasi
Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dan/atau hasil cetaknya merupakan alat
bukti hukum yang sah., apabila menggunakan Sistem Elektronik sesuai dengan
ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang ini. Bahkan secara tegas, Pasal 6 UU
ITE menentukan bahwa :
“Dalam hal terdapat ketentuan lain selain yang diatur dalam Pasal 5 ayat (4) yang mensyaratkan bahwa suatu informasi harus berbentuk tertulis atau asli, Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dianggap sah sepanjang informasi yang tercantum di dalamnya dapat diakses,
48
ditampilkan, dijamin keutuhannya, dan dapat dipertanggungjawabkan sehingga menerangkan suatu keadaan.”. Selanjutnya Pasal 44 menyebutkan bahwa penggunaan alat bukti digital /
Elektronik dapat digunakan mulai dari tingkat penyidikan, penuntutan, serta
pemeriksaan di pengadilan. Rumusan pasal tersebut secara jelas menyatakan
bahwa alat bukti digital / elektronik dapat digunakan sebagai alat bukti,
penggunaan alat bukti tersebut sudah dapat dimulai dari tingkat penyidikan,
penuntutan hingga pemeriksaan di persidangan. Dengan adanya ketentuan Pasal 44
ini diharapkan mempermudah aparat penegak hukum untuk mendapat alat bukti,
karena penggunaan alat bukti tersebut telah dibenarkan untuk digunakan mulai
dari tingkat penyidikan.
Dalam perkara korupsi secara lebih tegas kedudukan alat bukti digital
diatur di dalam Pasal 26 A Undang Undang nomor 20 tahun 2001 tentang
pemberantasan tindak pidana korupsi.
Pasal 26 A menyebutkan bahwa :
”Alat bukti yang sah dalam bentuk petunjuk sebagaimana dimaksud dalam Pasal 188 ayat (2) Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, khusus untuk tindak pidana korupsi juga dapat diperoleh dari: a. alat bukti lain yang berupa informasi yang diucapkan, dikirim,
diterima, atau disimpan secara elektronik dengan alat optik atau yang serupa dengan itu; dan
b. dokumen, yakni setiap rekaman data atau informasi yang dapat dilihat, dibaca, dan atau didengar yang dapat dikeluarkan dengan atau tanpa bantuan suatu sarana, baik yang tertuang di atas kertas, benda fisik apapun selain kertas, maupun yang terekam secara elektronik, yang berupa tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto, huruf, tanda, angka, atau perforasi yang memiliki makna”.
Dari rumusan Pasal 26 A Undang Undang Nomor 20 Tahun 2001 tersebut
secara jelas menyebutkan bahwa kedudukan alat bukti digital dalam pembuktian
suatu perkara korupsi adalah sebagai alat bukti petunjuk. Sehingga secara formal
tidak perlu diragukan lagi bahwa kedudukan alat bukti digital adalah sebagai
petunjuk. Pasal 26 A UU tersebut memperluas bukti petunjuk, termasuk alat bukti
lain berupa informasi yang diucapkan, dikirim, diterima, atau disimpan secara
49
elektronik dengan alat optik atau yang serupa dengan itu, dan dokumen, yaitu
setiap rekaman data atau informasi yang dapat dilihat, dibaca, dan atau didengar
yang dapat dikeluarkan dengan atau tanpa bantuan suatu sarana, baik yang
tertuang di atas kertas, benda fisik apa pun selain kertas maupun yang terekam
secara elektronik, yang berupa tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto, huruf,
tanda, angka, atau perforasi yang memiliki makna.
Alat bukti digital yang dimaksud dalam Pasal 26 A tersebut sangat luas.
Sesuai penjelasan pasal tersebut, Yang dimaksud dengan "alat optik atau yang
serupa dengan itu" tidak terbatas pada data penghubung elektronik (electronic data
interchange), surat elektronik (e-mail), telegram, teleks, dan faksimili. Dengan
adanya ketentuan ini, maka hampir tidak ada bagian informasi dan atau dokumen
yang dengan menggunakan alat atau yang ada hubungannya dengan alat alat
elektronik atau optik yang tidak termasuk di dalamnya.
Perluasan alat bukti petunjuk tersebut dapat dimaklumi berdasarkan
pertimbangan :
1. Tindak pidana korupsi di Indonesia sudah dapat digolongkan pada tindak pidana yang luar biasa (extra ordinary crime). Kriteria kejahatan luar biasa adalah meluas dan sukar pemberantasannya, persis korupsi di Indonesia. Oleh karena itu harus dihadapi dengan upaya yang luar biasa pula. Perluasan bahan untuk membentuk alat bukti petunjuk ini adalah salah satu upaya yang luar biasa tersebut.
2. Pembuktian kasus tindak pidana korupsi tergolong sukar, berhubung dilakukan secara sistematis, terencana oleh oknum berpendidikan (terutama birokrat) dan pengusaha yang amat kuat secara politik dan ekonomi, yang dapat mempengaruhi jalannya proses peradilan. Untuk mengatasi kesulitan tersebut, selain sistem beban pembuktian terbalik, juga dengan upaya memperluas bahan untuk membentuk alat bukti petunjuk (Adami Chazawi.2008:108).
Adanya ketentuan perluasan bahan untuk membentuk alat bukti petunjuk
sesuai dengan yang dimaksud dalam Pasal 26 A tersebut diatas maka secara formal
tidak diragukan lagi bahwa informasi dan dokumen kedudukannya sejajar atau
sama dengan 3 (tiga) alat bukti lain yang digunakan untuk membentuk alat bukti
petunjuk yaitu : keterangan saksi, surat, dan keterangan terdakwa yang disebut
dalam Pasal 188 ayat (2) KUHAP.
50
Pertanyaan logis kemudian muncul, berkaitan dengan apakah alat bukti
petunjuk sudah dapat dibentuk hanya dengan alat bukti digital saja atau kah masih
memerlukan alat bukti bukti keterangan saksi, surat, keterangan terdakwa
sebagaimana ketentuan dalam Pasal 188 ayat 2 KUHAP. Mengenai hal tersebut
dalam rumusan Pasal 26 A huruf a secara tegas disebutkan “alat bukti lain”. Diksi
“alat bukti lain” dalam Pasal 26 A huruf a tersebut artinya adalah kedudukan
informasi dan dokumen adalah sebagai alat bukti yang sah dan sama dengan alat
bukti pembentuk alat bukti petunjuk yaitu keterangan saksi, surat, keterangan
terdakwa. Dengan alasan tersebut, maka alat bukti petunjuk dalam perkara korupsi
sudah dapat dibentuk berdasarkan informasi dan dokumen saja, tanpa
menggunakan alat bukti pembentuk alat bukti petunjuk : keterangan saksi, surat
dan keterangan terdakwa.
Perlu diingat, bahwa berdasar Pasal 183 KUHAP alat bukti petunjuk yang
didapat melalui rekaman tidak dapat berdiri sendiri, dengan kata lain digunakan
sebagai satu satu nya alat bukti. Pembentuk Undang Undang memasukkan
ketentuan Pasal 188 ayat (3) karena alat bukti petunjuk merupakan alat bukti yang
masih memerlukan alat bukti lain untuk kesempurnaan pembuktian. Fungsi
dokumen dan informasi disini sebagai alat bukti hanya bernilai sebagai bahan
membentuk alat bukti petunjuk saja, tidak dapat digunakan untuk kepentingan lain.
Banyak kasus korupsi yang dalam upaya pembuktiannya menggunakan alat
bukti digital (Lihat Tabel 3). Penggunaan alat bukti digital tersebut bertujuan agar
tindak pidana korupsi yang didakwakan terhadap terdakwa dapat terbukti, karena
salah satu ciri tindak pidana korupsi adalah umumnya perbuatan tersebut
dilakukan secara rahasia. Untuk itu alat bukti digital berperan untuk mengungkap
kerahasiaan tersebut. Contoh konkret adalah rekaman pembicaraan serta antara
Arthalita Suryani dan Jaksa Urip Tri Gunawan, rekaman penyadapan tersebut
akhirnya mampu mengungkap skenario rahasia antara keduanya mengenai uang
suap yang diterima Jaksa Urip Tri Gunawan yang didalilkan sebagai uang yang
pinjaman yang akan digunakan untuk bisnis. Selain itu ada pula rekaman video
yang menunjukkan bahwa jaksa urip Tri Gunawan membawa uang yang diduga
hasil dari Gratifikasi tersebut. Dengan adanya rekaman penyadapan serta video
51
tersebut telah menunjukkan mengenai tindak pidana yang dilakukan serta siapa
yang melakukan, yang akan memberi petunjuk kepada hakim kebenaran dari suatu
peristiwa.
Tabel 3
KASUS KORUPSI YANG PEMBUKTIANNYA MENGGUNAKAN ALAT
BUKTI DIGITAL
NO KASUS KORUPSI BUKTI DIGITAL YANG DIGUNAKAN 1. Kasus suap Jaksa Urip Tri
Gunawan 1. Rekaman Penyadapan. 2. Rekaman Video.
2. Gratifikasi Anggota DPR Al Amin Nasution
Rekaman Penyadapan dan Video.
3. Korupsi Bulloggate II Teleconference saksi B.J. Habibie. 4. Suap oleh Arthalita Suryani Rekaman Penyadapan dan video 5. Dugaan Kasus suap dan
Gratifikasi Hakim PTUN Ibrahim
Rekaman Video
Penggunaan alat bukti digital dewasa ini sudah dianggap bagian dari
proses penegakkan hukum, harus diakui penggunaan alat bukti digital sangat
membantu bagi aparat penegak hukum untuk membuktikan terjadinya tindak
pidana korupsi. Mengingat KUHAP sebagai dasar dalam hukum acara pidana
tidak menyebut alat bukti digital sebagai alat bukti yang sah. KUHAP secara
limitatif dalam Pasal 184 hanya menyebut alat bukti yang sah adalah :
1. Keterangan Saksi;
2. Keterangan Ahli;
3. Surat;
4. Petunjuk;
5. Keterangan Terdakwa.
Di luar alat alat bukti tersebut diatas tidak dibenarkan dipergunakan
sebagai alat bukti untuk membuktikan kesalahan terdakwa. Para pihak dalam
persidangan mulai Hakim, Penuntut Umum, Penasihat Hukum terikat dan
terbatas hanya diperbolehkan mempergunakan alat alat bukti ini saja. Mereka
52
tidak leluasa mempergunakan alat bukti yang dikehendaki diluar alat bukti
yang disebut dalalm Pasal 184 ayat 1 KUHAP.
Dengan adanya ketentuan secara lex specialist mengenai penggunaan alat
bukti digital di Undang Undang Nomor 11 Tahun 2008 serta Undang Undang
Nomor 20 Tahun 2001 maka sekiranya alat bukti digital sudah dapat
digunakan sebagai alat bukti yang sah dalam proses pembuktian tindak pidana
korupsi, yang merupakan perluasan alat bukti petunjuk.
B. Kekuatan Alat Bukti Digital / Elektronik Dalam Pembuktian Perkara
Korupsi
Berbicara mengenai kekuatan pembuktian tidak bisa lepas dari sistem
pembuktian. Sistem hukum pembuktian sampai saat ini masih menggunakan
ketentuan hukum yang lama, yang belum mampu menjangkau pembuktian atas
kejahatan-kejahatan yang menggunakan perangkat digital. Hukum pembuktian
dalam proses peradilan baik dalam perkara pidana maupun perdata, akibat
kemajuan Teknologi Informasi, ada suatu persoalan mengenai bagaimana
kedudukan produk teknologi sebagai alat bukti.
Bertolak dari ketentuan tersebut, jelaslah pengajuan alat bukti digital di
muka pengadilan sebagai alat bukti akan menemukan hambatan dan
mengalami proses pembuktian yang rumit, bahkan terdakwa dan penasihat
hukum kemungkinan besar akan menolaknya karena memang dalam KUHAP
tidak mengatur. Akibatnya, timbul ketidakpastian hukum terhadap alat bukti
digital, yang ironisnya, berbanding terbalik dengan semakin meluasnya
perkembangan teknologi digital baik dalam negeri maupun dengan luar negeri.
Padahal dengan adanya pengajuan perkara di pengadilan, hakim tidak boleh
menolak untuk memeriksa, mengadili dan memutus suatu perkara yang
diajukan dengan dalih bahwa hukumnya tidak ada atau kurang jelas,
melainkan wajib untuk memeriksa atau mengadilinya (Pasal 10 ayat (1) UU
No 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman) atau lebih tegas dengan
adanya asas “ius curia novit” sesuai Penjelasan UU No 48 Tahun 2009 tentang
kekuasaan kehakiman, yang menyatakan bahwa “hukum merupakan urusan
53
hakim dan apabila ada perkara, maka hakim tidak boleh menolak dengan
alasan tidak ada hukumnya, tapi disini hakim harus melakukan penemuan
hukum karena asas hukum acara menyatakan hakim dianggap mengetahui
hukumnya”.
Hukum pidana menganggap bahwa pembuktian merupakan bagian yang
sangat esensial untuk menentukan nasib seseorang terdakwa.
Bersalah atau tidaknya terdakwa sebagaimana yang didakwakan dalam surat dakwaan ditentukan pada proses pembuktiannya. Dengan kata lain, pembuktian merupakan suatu upaya untuk membuktikan kebenaran dari isi surat dakwaan yang disampaikan oleh para jaksa penuntut umum yang kegunaannya untuk memperoleh kebenaran materiil terhadap :
1. Perbuatan perbuatan manakah yang dianggap terbukti menurut pemeriksaan persidangan.
2. Apakah telah terbukti bahwa terdakwa bersalah atas perbuatan perbuatan yang didakwakan kepadanya.
3. Tindak pidana apakah yang dilakukan sehubungan dengan perbuatan perbuatan itu.
4. Hukuman apakah yang harus dijatuhkan kepada terdakwa bukan pekerjaan mudah (Dikdik M. Arief Mansur, Elisatris Gultom, 2005:107).
Sementara M. Yahya Harahap menyatakan bahwa :
“Pembuktian merupakan masalah yang memegang peranan penting dalam proses pemeriksaan sidang pengadilan. Melalui pembuktian ditentukan nasib terdakwa. Apabila hasil pembuktian dengan alat-alat bukti yang ditentukan undang-undang “tidak cukup” membuktikan kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa, terdakwa “dibebaskan” dari hukuman. Sebaliknya, kalau kesalahan terdakwa dapat dibuktikan dengan alat-alat bukti yang disebut dalam Pasal 184 KUHAP, terdakwa dinyatakan “bersalah” dan kepadanya akan dijatuhkan hukuman. Oleh karena itu, hakim harus hati-hati, cermat dan matang menilai dan mempertimbangkan nilai pembuktian. Meneliti sampai di mana batas minimum kekuatan pembuktian atau bewijs karcht dari setiap alat bukti yang disebut dalam Pasal 184 KUHAP” (M. Yahya Harahap, 2000 : 273).
Pernyataan diatas menunjukkan betapa alat bukti beserta kekuatan
pembuktiannya memegang peranan yang sangat penting dalam pembuktian
perkara pidana. Sebelum menjawab mengenai kekuatan pembuktian alat bukti
digital dalam proses pembuktian perkara korupsi, yang notabene berada di
ranah pidana. Ada baiknya kita melihat mengenai macam alat bukti dalam
54
hukum perdata. Karena, nilai kekuatan pembuktian alat bukti dalam hukum
acara perdata sedikit berbeda dengan nilai kekuatan pembuktian dalam hukum
acara pidana. Di dalam hukum acara pidana semua alat bukti bernilai sama,
artinya kedudukan suatu alat bukti tidak lebih kuat dibandingkan alat bukti
yang lain, tidak ada alat bukti yang bersifat menentukan. Didalam hukum
acara pidana pada dasarnya semua alat bukti yang terdapat dalam Pasal 184
KUHAP bersifat bebas dan tidak mengikat hakim. Sedangkan di hukum
perdata ada alat bukti yang lebih kuat kedudukannya dibanding alat bukti lain
dan lebih menentukan, sebagai contoh adalah pengakuan dari pihak yang
bersengketa yang diucapkan di dalam persidangan mempunyai kekuatan
pembuktian yang lengkap dan menentukan. Artinya hakim sudah dapat
memutus suatu perkara dengan adanya alat bukti pengakuan. Ketentuan
tersebut tidak berlaku di dalam pembuktian hukum pidana, semua alat bukti
mempunyai nilai yang sama. Tidak ada alat bukti yang lebih menentukan
dibanding alat bukti lain.
Lalu bagaimanakah kekuatan pembuktian alat bukti digital? Mengenai
kekuatan pembuktian Alat bukti digital, uraian hasil penelitian pada rumusan
masalah pertama secara jelas telah menyebutkan mengenai kedudukan alat
bukti digital adalah sebagai alat bukti petunjuk, hal tersebut diatur dalam Pasal
5 ayat (1), (2), (3) Undang Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi
dan Transaksi Elektronik serta Pasal 26 A Undang Undang Nomor 20 Tahun
2001 Tentang Pemberantsan Tindak Pidana Korupsi yang mana merupakan
perluasan alat bukti petunjuk dalam Pasal 184 KUHAP. Sebagai alat bukti
petunjuk maka kekuatan pembuktian alat bukti digital sesuai dengan uraian
diatas adalah sebagai adalah sebagai “bukti bebas”, sama hal nya dengan
kekuatan pembuktian alat bukti yang lain yang juga mempunyai kekuatan
pembuktian yang bebas.
“Kekuatan pembuktian alat bukti petunjuk serupa, sifat dan kekuatannya dengan alat bukti lain :
1. Hakim tidak terikat atas kebenaran persesuaian yang diwujudkan oleh petunjuk, oleh karena itu hakim bebas menilainya dan mempergunakannya sebagai upaya pembuktian.
55
2. Petunjuk sebagai alat bukti tidak bisa berdiri sendiri membuktikan kesalahan terdakwa (terikat pada prinsip batas minimum pembuktian ). Oleh karena itu petunjuk mempunyai nilai pembuktian yang cukup harus didukung dengan sekurang-kurangnya alat bukti lain”. (M. Yahya Harahap, 2000 : 317)
Sebagai alat bukti “yang bebas” maka alat bukti digital tidak mengikat
hakim atas kebenaran persesuaian yang diwujudkan oleh petunjuk. Oleh
karena itu hakim bebas menilainya dan menggunakan sebagai upaya
pembuktian. Lebih lebih kalau diperhatikan bunyi Pasal 188 ayat 3 KUHAP
yang mengatakan bahwa penilaian atas kekuatan pembuktin dari suatu
petunjuk dalam keadaan tertentu dilakukan oleh hakim dengan arif lagi
bijaksana, setelah ia mengadakan pemeriksaan dengan penuh kecermatan dan
keseksamaan berdasar hati nuraninya.
Pernyataan diatas menunjukkan bahwa penilaian sebuah alat bukti
petunjuk menjadi kewenangan hakim untuk menilainya. Hakim bebas untuk
melakukan penilaian terhadap alat bukti petunjuk tersebut. Penilaian antara
hakim yang satu dengan hakim yang lain akan berbeda berkaitan dengan alat
bukti petunjuk, penilaian tersebut sepenuhnya menjadi kebebasan dari hakim
yang memeriksa suatu perkara. Tetapi yang perlu diingat penilaian tersebut
tetap harus memperhatikan kesesuaian alat bukti petunjuk tersebut. Kata
persesuaian (Pasal 188 ayat 1 KUHAP), merupakan kekuatan utama petunjuk
sebagai alat bukti, karena persesuaian tersebut antara satu dengan yang lain
dalam hal perbuatan, kejadian atau keadaan maka hakim menjadi yakin akan
perbuatan yang dilakukan terdakwa (Hari Sasangka dan Lily Rosita.2003:233).
Pasal 26 A huruf (b) Undang Undang Nomor 20 Tahun 2001 juga telah
memberikan rambu berkaitan dengan penggunaan alat bukti digital dalam
pembuktian perkara korupsi. Alat bukti digital yang dapat digunakan sesuai
dengan Pasal 26 A tersebut adalah alat butki digital yang mempunyai makna.
Hal tersebut semakin menguatkan bahwa penggunaan alat bukti petunjuk harus
ada persesuaian dengan perbuatan, kejadian atau keadaan. Persesuaian yang
diwujudkan alat bukti petunjuk harus mampu mewujudkan suatu petunjuk
56
yang “Nyata dan Utuh” yang bermuara pada keyakinan hakim tentang
terjadinya tindak pidana dan terdakwalah yang melakukannya.
Keyakinan yang dibentuk hakim sesungguhnya harus berpijak pada
keadaan (obyektif) dari isi setidak tidaknya dua alat bukti yang dapat
membuktikan terjadinya tindak pidana korupsi. Alat bukti digital tidak dapat
digunakan sebagai satu satunya alat bukti. Sistem pembuktian yang dianut
KUHAP adalah sistem pembuktian menurut undang undang secara negatif
(Negatief Wettelijke Bewijstheorie) yang menuntut adanya 2 (dua) alat bukti
yang sah dan keyakinan hakim, hal ini terlihat dari rumusan Pasal 183
KUHAP.
“Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang kecuali
apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh
keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa
terdakwalah yang bersalah melakukannya”
Rumusan Pasal 183 KUHAP tersebut secara jelas telah mensyaratkan
adanya 2 (dua) alat bukti yang sah untuk membuktikan bersalah atau tidaknya
terdakwa. Alat bukti tersebut masih harus ditambah dengan adanya keyakinan
hakim bahwa memang benar terdakwalah yang telah melakukan tindak pidana
tersebut. Berdasar Pasal 183 KUHAP tersebut penggunaan alat bukti petunjuk
tetap terikat kepada prinsip minimum pembuktian yang dianut oleh KUHAP.
Alat bukti petunjuk tidak dapat berdiri sendiri, oleh karena itu agar petunjuk
mempunyai nilai kekuatan pembuktian yang cukup haruslah didukung dengan
sekurang kurangnya satu alat bukti lain yang sah.
Adanya ketentuan minimal dua (2) alat bukti yang sah serta keyakinan
hakim sejatinya bertujuan untuk menjamin tegaknya kebenaran, keadilan dan
kepastian hukum. Sehingga, proses peradilan yang berjalan diharapkan dapat
menjadi proses untuk mencari keadilan yang didasarkan pada alat bukti yang
sah.
Sistem pembuktian menurut undang undang secara negatif (Negatief
Wettelijke Bewijstheorie) dianggap paling tepat serta pantas untuk
57
dipertahankan(Wirjono Projodikoro dalam Andi Hamzah.1996:265) dengan
alasan :
1. Memang sudah selayaknya harus ada keyakinan hakim tentang
kesalahan terdakwa untuk dapat menjatuhkan suatu hukuman pidana,
janganlah hakim terpaksa memidana orang padahal dia tidak yakin atas
kesalahan terdakwa.
2. Berfaedah jika ada aturan yang mengikat hakim dalam menyusun
keyakinannya agar ada patokan tertentu yang harus diturut oleh hakim
dalam melakukan peradilan.
58
BAB IV
PENUTUP
A. SIMPULAN
1. Kedudukan alat bukti digital dalam pembuktian perkara korupsi adalah
sebagai bukti petunjuk. KUHAP tidak mengatur mengenai keberadaan
alat bukti digital, pengaturan mengenai alat bukti digital dalam
pembuktian perkara korupsi diatur secara Lex Specialist di dalam UU
Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik dan
UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi.
Pasal 26 A UU Nomor 20 tahun 2001 tentang pemberantasan tindak
pidana korupsi memperluas cakupan alat bukti petunjuk dalam KUHAP,
sehingga alat bukti digital juga termasuk di dalam alat bukti petunjuk.
2. Semua alat bukti pada Hukum Acara Pidana memiliki kekuatan
pembuktian yang sama. Atas dasar kesamaan tersebut hakim bebas serta
tidak terikat untuk memakai alat bukti yang dihadirkan dalam persidangan,
manakala menurut hakim alat bukti tersebt tidak mempunyai nilai
pembuktian. Begitu pula dengan alat bukti digital / elektronik, hakim
bebas serta tidak terikat untuk menggunakannya di dalam pembuktian di
persidangan.
B. SARAN
1. Perlu segera adanya penyempurnaan pada KUHAP yang mengakomodir
mengenai penggunaan alat bukti digital. Mengingat, seiring dengan
kemajuan zaman dan teknologi yang membawa dampak pada banyaknya
kejahatan kejahatan yang menggunakan media komputer dan elektronik
yang dalam pembuktiannya pasti memerlukan adanya pembuktian
menggunakan alat bukti digital.
2. Perlu adanya keseriusan dari seluruh aparat penegak hukum dalam
memberantas tindak pidana korupsi, mengingat modus serta motif tindak
59
pidana korupsi dari waktu ke waktu semakin berkembang yang pasti akan
semakin sulit dalam upaya pembuktiannya.
3. Perlunya peningkatan dan keahlian para aparat penegak hukum di bidang
Teknologi Informasi untuk mengantisipasi kejahatan yang menggunakan
peralatan digital / elektronik di masa mendatang. Karena perkembangan
zaman dipastikan membawa dampak terhadap perkembangan kejahatan di
semua bidang, termasuk tindak pidana korupsi.
60
DAFTAR PUSTAKA
Adami Chazawi. 2008. Hukum Pembuktian Tindak Pidana Korupsi.
Bandung:Alumni. . 2005. Hukum Pidana Materiil Dan Formil Korupsi Di Indonesia.
Malang:Bayumedia Publishing. Andi Hamzah. 2005. Pemberantasan Korupsi melalui Hukum Pidana Nasional
dan Internasional. Jakarta:PT Raja Grafindo. . 1996. Hukum Acara Pidana Indonesia Edisi Revisi.Jakarta:CV.
Sapta Artha Jaya. Andi Hamzah. 2002. Hukum Acara Pidana Indonesia Edisi Revisi. Jakarta:PT.
Sinar Grafika Anne van Aaken, Lars P. Feld, Stefan Voigt. 2010. “Independent prosecutors
deter political corruption? An empirical evaluation across seventy-eight countries”. American Law and Economics Association
Anonim. http://id.wikipedia.org/wiki/Korupsi diakses 28 november 2009. Anonim.http://www.antikorupsi.org/docs/bahanrilisputusanbebaspengadilanumum
semesterI20095agustus2009.pdf diakses 18 Desember 2009. Denny Indrayana. 2008. Negeri Para Mafioso, Hukum di Sarang Koruptor.
Jakarta:Kompas. Dikdik M. Arief Mansur, Elisatris Gultom. 2005. Cyberlaw aspek Hukum
Teknologi Informasi. Bandung:PT Refika Aditama. Evi Hartanti. 2007. Tindak Pidana Korupsi edisi kedua. Jakarta:PT Sinar Grafika. Hari Sasangka dan Lily Rosita. 2003. Komentar Kitab Undang Undang Hukum
Acara Pidana (KUHAP) Buku Pedoman Mahasiswa dan Praktisi. Bandung:CV. Mandar Maju.
H.M. Arsyad Sanusi. 2009. ”Relasi antara Korupsi dan Kekuasaan”. Jurnal
Konstitusi Volume 6 Nomor 2, Juli 2009. Jakarta:Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia.
61
M. Rifqinizamy Karsayuda. http://rifq1.wordpress.com/2008/04/21/alat-bukti-elektronik-catatan-singkat-mengenai-keberadaannya/ diakses 28 november 2009.
M.Yahya Harahap. 2000. Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP
Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi dan Peninjauan Kembali Edisi Kedua. Jakarta:Sinar Grafika.
Naskah Akademik RUU Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban Peter Mahmud Marzuki. 2005. Penelitian Hukum. Jakarta:Kencana Prenada Media
Group. Subekti dan Tjitrosoedibio. 1973. Kamus Hukum. Jakarta:Pradnya Paramita. Undang Undang Nomor 11 tahun 2008 tentang informasi dan transaksi elektronik Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman. Undang Undang Nomor 20 tahun 2001 tentang pemberantasan tindak pidana
korupsi. Undang Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana. Widodo Tresno Novianto. 2007. ” Korporasi Sebagai Subyek Tindak Pidana
Korupsi Dan Prospeknya Bagi Penanggulangan Korupsi Di Indonesia”. Jurnal Yustisia Edisi Nomor 70 Januari - April 2007. Surakarta:FH UNS.
W.J.S. Poerwadarminta. 1984. Kamus Umum Bahasa Indonesia. Jakarta:PN Balai
Pustaka. Yoga Permana Wijaya. (http://yogapw.wordpress.com/2009/11/13/pengertian-
bukti-digital-digital evidence/).