Post on 01-Jan-2016
description
Tafsir atas Hukum Murtad dalam Islam
oleh Abdul Moqsith Ghazali
Abstrak
Bahasan murtad hampir merata di seluruh korpusatau karya mengenai hukum Islam, baik dulumaupun sekarang. Konsep murtad itu kinimenghadapi tantangan serius di tengah masyarakatyang mendukung kebebasan beragama.Masyarakat modern cenderung berpendirian bahwapilihan seseorang untuk masuk pada suatu agamaatau keluar dari agama adalah soal privat yang tak boleh diintervensi otoritasapapun. Sementara fikih Islam terutama yang mainstream lebih banyakmengkriminalkan orang murtad. Membuka seluruh argumen yang menyertai konsepmurtad adalah keniscayaan. Tak mungkin ada pandangan tunggal dalam memaknaimurtad. Ada beberapa ayat Alquran yang bicara murtad, tapi ada beragam tafsirmurtad yang dikemukakan para ulama. Ada ulama yang mengkriminalkan orangmurtad dengan merujuk suatu hadis, tapi ada juga ulama yang menolak berhujjahdengan hadis tersebut.
Pendahuluan
Tak sedikit orang yang berpandangan bahwa masuk dan keluar dari suatu agamaadalah hak privat yang melekat pada setiap orang. Tak ada otoritas di luar diriseseorang yang boleh memaksa orang lain untuk menetap dalam suatu agamaatau keluar dari suatu agama. Dengan perkataan lain, setiap manusia bebas danmerdeka untuk memilih suatu agama atau keluar dari suatu agama. Itu sebabnya,dalam masyarakat modern, kita kerap menyaksikan fenomena sekelompok orangyang dalam hidupnya berkali-kali melakukan migrasi dari satu agama ke agama lain.Bahkan, dalam beberapa kasus, satu rumah keluarga dihuni oleh anggota keluargayang berlainan agama. Pendeknya, berpindah-pindah agama telah menjadikecenderungan sebagian masyarakat modern.
Namun, dalam kasus Islam, soal pindah agama itu bukan perkara sederhana.Banyak ulama memandang negatif terhadap orang pindah agama. Menurut mereka,orang lain bebas masuk ke dalam Islam. Tapi, orang Islam tak bebas untuk keluardari Islam. Orang yang keluar dari Islam (murtad) dianggap pelaku kriminal yanghukumannya adalah bunuh. Sejumlah ayat Alquran atau hadits Nabi dihadirkanuntuk menunjukkan bahwa tindakan keluar dari Islam tak dikehendaki Allah danrasul-Nya, bahkan pelakunya layak dihukum bunuh atau hukum mati. Hadits yangsering dirujuk adalah man baddala dinahu faqtuluhu (barangsiapa pindah agama,maka bunuhlah). Dengan hadits ini sejumlah ulama hendak memperlakukan “pindahagama” sebagai tindakan kriminal, sehingga pelakunya layak diganjar denganhukuman berat bahkan hingga hukuman mati seperti dikehendaki teks haditstersebut. Untuk mengukuhkan pandangan itu, bukti-bukti pembunuhan orangmurtad mulai zaman Nabi hingga abad pertengahan ditunjukkan. Lalu disimpulkanbahwa membunuh orang murtad adalah keharusan doktrinal.
Pandangan seperti itu dikritik sejumlah pemikir Islam kontemporer karena dianggaptidak fair; pintu terbuka ketika orang lain masuk ke dalam Islam, tapi tertutup ketikaorang Islam hendak keluar dari Islam. Dengan perkataan lain, Islam hanyamenyediakan pintu masuk dan tak mempersiapkan pintu keluar. Dengan merujuk
Kategori
Pilih Kategori
Farid Akhwan
Buat Lencana Anda
Arsip Tulisan4594
Tafsir atas Hukum Murtad
dalam Islam
Argumen “Islam”
untuk Kebebasan*
Isra’-Mikraj dan Spirit Pluralisme
dalam Perintah ShalaT
DUA MEMBACA TIMUR TENGAH
Menyalalah Nurani Dunia
untuk Suriah!
Korupsi di negara bayangan
Sutarman jangan setirman
Cacat bawaan demokrasi
Indahnya Qanaah
Keajaiban Doa
Pancasila dan martabat
Mahkamah Konstitusi
Delegitimasi total Mahkamah
Konstitusi Koran SINDO Jum’at,
18 Oktober 2013 − 06:53 WIB
Delegitimasi total Mahkamah
Konstitusi ABDUL HAKIM G
NUSANTARA AMANDEMEN UUD
1945 menganugerahkan kepada
Mahkamah Konstitusi (MK)
wewenang untuk melegitimasi
(merestui) atau mendelegitimasi
(membatalkan) berbagai peristiwa
politik, yakni produk legislasi,
solusi sengketa kewenangan
antarlembaga negara, keabsahan
eksistensi partai politik,
Farid Akhwan On LineSatus Persen Pekajangan – Gudang Kliping
pada ayat lā ikrāha fi al-din, mereka berkata bahwa setiap orang bebas untukmemeluk suatu agama. Seseorang tak boleh dipaksa untuk memeluk agama,termasuk untuk memeluk Islam. Jaudat Said, Jamal al-Banna, Abdul Karim Soroushberpendapat bahwa kebebasan beragama adalah dasar ajaran yang diperjuangkanIslam. Para pemikir Islam progresif berpendapat bahwa sebagaimana bebas untukmemeluk suatu agama, maka seharusnya bebas juga untuk keluar dari suatuagama. Fikih seperti ini memberi otonomi penuh kepada manusia untuk memilihsuatu agama atau keluar dari agama itu.
Artikel ini akan berfokus pada bagaimana pandangan para ulama (dulu dansekarang) tentang murtad dalam Islam? Bagaimana tafsir ulama terhadappenerapan hukum bunuh bagi orang murtad? Dalam kaitan itu, secara deskriptif-analitis, artikel ini akan mengkaji dasar-dasar normatif Islam seperti Alquran danhadis terkait orang murtad, lalu bagaimana ulama menafsirkannya dalam buku-bukutafsir dan fikih. Ujungnya, bagaimana meletakkan tafsir-tafsir tersebut dalamkonteks negara modern yang menjamin kebebasan beragama seperti Indonesia.
Tafsir atas Murtad dalam Alquran dan Hadis
Murtad dengan semua kata derivatnya tercantum dalam Alquran. Ia biasanyadipakai untuk orang yang mengganti keimanan dengan kekafiran, dari beragamaIslam lalu keluar dari Islam menjadi Yahudi, Nashrani, dan lain-lain. Sekurangnyaada tiga ayat Alquran yang menunjuk soal murtad ini. Yaitu: Pertama, Q.s. al-Ma’idah [5]: 54
“Hai orang-orang beriman, barang siapa di antara kalian murtad dari agamanya,maka Allah kelak akan mendatangkan suatu kaum yang Allah mencintai mereka danmereka pun mencintai-Nya, yang bersikap lemah lembut terhadap orang mukmin,dan bersikap tegas terhadap orang-orang kafir, yang berjihad di jalan Allah, danyang tidak takut terhadap celaan orang yang suka mencela. Itulah karunia Allah,diberikan-Nya kepada siapa saja yang dikehendaki-Nya, dan Allah Maha Luas(pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui”
Shihab al-Din al-Alusi mencoba mencari korelasi ayat ini dengan ayat sebelumnya.Menurutnya, setelah pada ayat sebelumnya Allah melarang umat Islam menjadikanorang-orang Yahudi dan Nashrani sebagai awliyā’, maka pada ayat ini Allahmenegaskan bahwa sekiranya larangan itu dilanggar, maka pelakunya akanterjatuh pada kemurtadan. Al-Alusi berkata bahwa konsistensi mereka menjadikanorang-orang Yahudi dan Nashrani sebagai awliyā’ menyebabkan mereka murtad(anna muwālātihim mustad’iyatun li al-irtidād `an al-din). Pendapat ini jugadikemukakan Fakhr al-Din al-Razi; bahwa barangsiapa yang menjadikan orang-orang kafir sebagai “wali”nya, maka ia telah murtad dari agamanya (man yatawallāminkum al-kuffār fayartaddu `an dīnihi).
Pendapat al-Alusi ini paralel dengan pendapat M. Quraish Shihab ketika ia berkatabahwa sanksi yang timbul akibat pelarangan tersebut, yaitu kemurtadan. Ayat ini,demikian M. Quraish Shihab, memperingatkan: Hai orang-orang yang beriman,siapa yang mengangkat non-muslim sebagai awliya’, maka itu dapat menjadikanyang bersangkutan murtad, keluar dari Islam dan barang siapa di antara kalianmurtad dari agamanya, walau dalam bentuk rahasia dengan memusuhi para waliAllah dan mencintai musuh-musuh-Nya, maka kelak walau tidak segera Allah akanmendatangkan suatu kaum yang bertolak belakang keadaannya dengan mereka itusehingga Allah mencintai mereka dengan melimpahkan aneka karunia-Nya danmereka pun mencintai-Nya sehingga selalu berupaya mendekat kepada-Nyadengan amal-amal kebajikan. Mereka bersikap lemah lembut terhadap orang-orangmukmin, dan bersikap tegas, kuat pendirian, dan tidak menoleransi dalam hal-halprinsip terhadap orang-orang kafir. Mereka itu terus-menerus berjihad di jalanAllah, tanpa pamrih dan tanpa jemu, dan mereka tidak takut kepada satu celaanapapun dari pencela, walaupun celaan itu sangat buruk. Itulah karunia Allah,diberikan-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Karena itu, berlomba-lombalahmeraih anugerah itu dan Allah Maha Luas anugerah-Nya lagiMaha Mengetahui.
keabsahan hasil pemilihan
umum, dan putusan ada tidaknya
pelanggaran konstitusi oleh
presiden dan/atau wakil presiden.
Belakangan oleh UU MK
dianugerahi pula wewenang untuk
memeriksa, mengadili, serta
memutus secara final dan
mengikat sengketa pemilihan
kepala daerah (pilkada). Dengan
demikian, MK menjalankan peran
sebagai pengontrol peristiwa-
peristiwa politik agar berjalan on
the constitutional track, yaitu
sesuai dengan UUD 1945.
Dengan begitu, praktik politik dan
ketatanegaraan yang melawan
konstitusi seperti yang terjadi
pada masa Orde Lama dan Orde
Baru dapat dicegah atau
diluruskan. Saat ini rakyat
Indonesia menghadapi kenyataan
tragis, yakni MK yang sedang
mengalami delegitimasi total.
Delegitimasi parsial terjadi ketika
Hakim MK melanggar kode etik
atau melanggar hal-hal teknis
prosedural. Delegitimasi total
terjadi ketika ketua MK dan atau
jajarannya diduga terlibat suap
atau korupsi, yang mewujud
dalam praktik jual-beli putusan
MK. Peristiwa tertangkap
basahnya ketua MK saat sedang
bertransaksi suap, tampak bagai
sebuah klimaks dari berbagai
laporan banyak orang yang sejak
MK di bawah kepemimpinan
Mahfud MD mencium bau busuk
praktik kotor di tubuh MK, yang
saat itu selalu dibantah oleh
pimpinan MK. Laporan Refly
Harun, pakar hukum tata negara,
tentang adanya praktik kotor
kepada pimpinan MK tidak
ditanggapi secara memadai dan
tuntas. Sampai saat ini tidak jelas
akhir ceritanya, kecuali kita
menyaksikan seorang hakim MK
yang mengundurkan diri, tanpa
kejelasan status hukumnya.
Sebenarnya proses delegitimasi
MK diduga oleh banyak pihak
sudah dimulai pada saat
rekrutmen para hakim MK,
terutama di DPR dan didomain
kekuasaan presiden. Rekrutmen
hakim MK di MA tidak pernah
transparan pula. Transaksi dan
pertimbangan yang sarat berbagai
Namun, M. Quraish Shihab tak menjelaskan tentang siapa yang akan dicintai Allahdan akan mendapatkan sejumlah karunia itu. Menurut M. Quraish Shihab, Allah takmenyebut siapa mereka sehingga tidak wajar sekiranya kita menetapkan siapamereka itu. Kalau hanya untuk mengisyaratkan, maka tidak keliru, menurut M.Quraish Shihab, jika kita merujuk pada sejarah Islam untuk menemukan siapa yangtelah membela Islam dalam perjalanan sejarahnya yang panjang itu. Lalu M.Quraish Shihab menyebut nama Abu Bakar yang gigih membendung gerakankemurtadan dan pemurtadan dalam periode awal Islam. Ia juga menyebut orang-orang yang berperang dalam perang Salib, mereka yang membendung seranganTartar. Bahkan, M. Quraish Shihab tak ragu menyebut orang-orang yangmembendung kelompok komunis sebagai orang-orang yang masuk dalampengertian ayat ini.
Para mufassir memang berbeda di dalam menentukan siapa sekelompok orangistimewa itu. Di samping Sahabat Abu Bakar dan kelompoknya, ada juga ulamayang berkata bahwa sekelompok orang istimewa itu adalah Salman a-Farisi danorang-orang Persia. Yang lain berkata, mereka itu adalah Abu Musa al-Asy`ari danorang-orang Yaman lain yang dikenal berhati baik dan lembut. Ada juga yangberkata, mereka itu adalah orang-orang Anshar. Thabathabai mengutip pendapatyang mengatakan bahwa mereka itu adalah Ali ibn Abi Thalib dan para pengikutnya.Pendapat ini disetujui Thabathabai setelah ia merujuk pada hadits dimana Nabiberkata, “sungguh saya akan memberikan bendera ini pada seorang laki-laki yangmencintai Allah dan Rasul-Nya dan Allah dan Rasul-Nya pun mencintai dia”(lau`ṭiyanna al-rāyaṯ ghādan yuḥibbu Allāh wa rasūluhu wa yuḥibbuhu Allāh warasūluhu). Lalu Rasullah menyerahkan bendera itu pada Ali ibn Abi Thalib.Muḥammad Rashīd Riḍa mengutip suatu pendapat yang mengatakan bahwapengertian ayat tersebut mencakup kepada setiap orang yang memenuhi ciri-ciriyang terkandung dalam ayat itu (anna al-āyaṯ taṣduqu fī kulli man ittaṣafa bimaẓmunihā).
Sementara tentang pengertian ayat ini, Ibn Jarīr al-Ṭabari berkata orang-orangIslam yang kembali kepada agama lamanya seperti Yahudi dan Nashrani, maka itutak akan berdampak buruk pada Allah (falan yaḍurra Allāh Shai’ā). Alih-alihmemberikan keburukan, Allah justru akan mendatangkan sekelompok orang yangmencintai Allah dan mereka pun mencitai-Nya (yuhibbuhum Allāh wa yuhibbunaAllāh). Setelah terjadi kemurtadan dimana-mana pasca wafatnya Rasulullah, makaAllah membangun kekuataan dengan menghadirkan orang-orang penuh istimewaitu. Dikisahkan Qatadah, seperti dinukil Ibn Jarīr al-Ṭabari, bahwa ayat ini turunsebagai alarm bahwa kelak setelah Rasulullah wafat akan muncul kemurtadan yangmerata di seluruh Arab. Pada zaman kekhalifahan Abu Bakar, sebagian umat Islammisalnya hanya mau mendirikan salat dan tak mau mengeluarkan zakat. Atas itu,Abu Bakar memerangi mereka karena mereka dianggap telah menceraikan salatdari zakat. Abu Bakar berkata, “Demi Allah, aku tak akan memisahkan sesuatu yangdipersatukan Allah” (wallāhi la ufarriqu bayna shai’in jama`a Allāh baynahuma).
Shihab al-Din al-Alusi, Jamāl al-Dīn al-Qāsimi, Muhammad Rashid Rida, Fakh al-Dinal-Razi menyebut sebelas kelompok murtad. Tiga kelompok pada zaman NabiMuhammad, yaitu Banu Mudlaj di Yaman yang dipimpin Dzu al-Himar yang mengakumenjadi nabi, Banu Hanifah (pengikut Musailamah al-Kadzdzab ibn Habib), danBanu Asad (pengikut Thulaihah ibn Khuwailid). Tujuh kelompok orang murtad padazaman Abu Bakar al-Shiddiq, yaitu Fazarah (pengikut `Uyaynah ibn Hashin),Ghathafan (pengikut Qurrah ibn Salamah al-Qusyairi), Banu Salim (pengikut al-Faja’ah ibn Abdi Yalail), Banu Yarbu (pengikut Malik ibn Nuwairah), sebagian baniTamim (pengikut Sajjah binti al-Mundzir yang mengaku menjadi nabi), Kanidah(pengikut al-Asy’ats ibn Qais, Banu Bakar ibn Wa’il di Bahrain (pengikut al-Hathamibn Zaid). Dan satu kelompok murtad pada zaman Khalifah Umar ibn Khattab, yaituGhassan (pengikut Jibillah ibn al-Ayham yang kembali menganut Nashrani, pindahke Syam dan mati dalam keadaan murtad).
Kedua, ayat yang membicarakan soal murtad adalah Q.s. al-Baqarah [2]: 217:
“Barangsiapa yang murtad di antara kalian dari agamanya, lalu dia mati dalamkekafiran, maka mereka itulah yang sia-sia amalnya di dunia dan di akhirat, danmereka itulah penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya”.
kepentingan politik partai,
presiden, dan lembaga MA
menghalangi DPR, presiden, dan
MA memilih orang-orang
berintegritas, beriman kepada
kebaikan publik, keunggulan dan
kecakapan intelektual, serta
keunggulan dalam menangani
berbagai konflik hukum sebagai
hakim MK. Inilah makna
sesungguhnya kriteria
kenegarawanan seorang hakim
MK. Selama ini, rekrutmen hakim
MK sesungguhnya lebih banyak
merefleksikan hasil proses
bargaining politik di DPR, di
lingkungan kekuasaan presiden,
dan pertimbangan kelembagaan
di lingkungan MA. Bukan hasil
sebuah proses rekrutmen yang
profesional, proporsional,
partisipatoris yang semestinya
bagi pengisian jabatan lembaga
penjaga konstitusi itu. Proses
delegitimasi MK terjadi secara
internal, yakni ketika proses
manajemen penanganan seluruh
proses beperkara berjalan tanpa
kontrol yang tepat dan seimbang.
Sudah bisa dipastikan, saat ini
baik DPR, presiden, dan MA tidak
mempunyai parameter dan peranti
untuk mengontrol secara
profesional dan proporsional
terhadap MK. Keadaan MK
sebagaimana digambarkan di
atas membawa kita sebagai
bangsa ke dalam jurang tragedi
yang memilukan dan memalukan,
yaitu delegitimasi total MK.
Delegitimasi total MK itu mustahil
dipulihkan oleh MK sendiri,
dengan misalnya membentuk
majelis kehormatan atau
semacam itu. Ingatlah selalu,
bahwa dalam tragedi besar yang
menimpa MK yang berpotensi dan
layak diduga melanggar etika dan
bahkan mungkin hukum adalah
semua hakim MK, sekjen, dan
seluruh jajarannya. Bagaimana
sembilan hakim MK yang diduga
melanggar etika dan bahkan
mungkin hukum membentuk
majelis ke-hormatan yang
dipimpin oleh hakim MK sendiri?
Tidak mungkin atau hampir
mustahil bagi publik untuk
mempunyai trust dan confidence
terhadap majelis kehormatan
Ayat ini, dalam tafsir Jamal al-Din al-Qasimi, menyasar orang Islam yang kembalikepada kekafiran (yarji`ūna `an dinikum al-islām ilā al-kufr). Muḥammad RashīdRiḍa lebih lanjut menyatakan bahwa ayat ini hendak menegaskan bahwa begituseseorang memilih menjadi kafir dengan meninggalkan agama Islam, maka seluruhamal ibadah yang dilakukan ketika menjadi muslim akan batal dan terhapus secarakeseluruhan. Ia mengutip pendapat sebagian ahli fikih yang berkata bahwa amalkebaikan orang Islam yang memilih murtad hilang tak tersisa. Sehingga ketika yangbersangkutan kembali menjadi muslim, maka wajib baginya mengulang ibadah hajiyang telah dilakukan sebelum murtad (yajibu `alaihi i`adāṯ naḥwi al-ḥajj idha raja`ailā al-islām). Bukan hanya itu; ketika si murtad telah diceraikan dari istrinya lalu inginkembali pada Islam dan ruju’ pada istrinya, maka wajib baginya untuk menjalaniakad nikah baru. Sementara menurut Ibn jarir al-Thabari, ayat ini hendakmenegaskan bahwa jika orang murtad meninggal dunia tanpa sempat bertaubatdan kembali pada Islam, maka batallah seluruh amal ibadah yang pernahdilakukannya ketika menjadi muslim. Hal yang sama juga dikatakan Syihabuddin al-Alusi bahwa orang yang mati dalam keadaan murtad, maka amal ibadah yangdilakukan ketika Islam seperti tak pernah ada (ṣarat a`māluhum al-ḥasanah allati`amilūha fi ḥalah al-islām fāsidaṯ bi manzilati mā lam takun).
Secara semantik, M. Quraish Shihab mencoba menelusuri akar kata ayat itu.Menurutnya, ayat ini menggunakan kata “ḥabiṭat” untuk menunjuk kesia-siaan amalorang murtad. Sihihab menegaskan bahwa kata tersebut pada mulanya untukmenjelaskan sesuatu yang konkret dan duniawi; misalnya untuk binatang yangditimpa penyakit akibat menelan sejenis tumbuhan yang mengakibatkan perutnyakembung yang berdampak pada kematiannya. Hal yang sama dikemukakan al-Qurṭubī dalam al-Jami’ li Ahkām al-Qur’ān; al-habat adalah penyakit yang menimpabinatang ternak karena terlalu banyak memakan sejenis rumput yang menyebabkanperutnya kembung (bengkak) dan tak jarang mengantarkannya pada kematian (al-habat huwa fasād yalḥaqu al-mawāshiya fi butunihā min kathrati aklihā al-kalā’fatantafikhu ajwafuhā warubbamā tamūtu min dhālika).
Dari luar, binatang yang mengidap penyakit itu tampak gemuk dan sehat, tetapigemuk yang seakan mengagumkan itu hakikatnya adalah penyakit yangmeyebabkan dagingnya membengkak atau penyakit tumor yang sangat berbahayabagi kelangsungan hidupnya. Menurut M. Quraish Shihab, demikian juga amalorang-orang kafir (murtad). Selintas amal-amal mereka tampak baik, tetapisebenarnya amal-amal itu “ḥabiṭat” sehingga yang bersangkutan akan menjadiseperti binatang yang memakan sejenis tumbuhan yang mematikan tersebut. Lebihlanjut M. Quraish Shihab, melalui ayat ini, berkata bahwa akibat dan dampak yangakan diterima orang murtad adalah kesia-siaan amal mereka dan kekekalan merekadi neraka.Kata Fakhr al-Din al-Razi, jika keterhapusan amal akibat kemurtadan,maka kekekalan di neraka adalah akibat mati dalam keadaan murtad. Lepas dariitu, al-Qurṭubī mengatakan, ayat ini sebenarnya ingin memberi ancaman agar umatIslam tetap berada dalam Islam (fa al-ayāt tahdīd li al-muslimīn li yuthabbitū `ala dīnial-islām). Pendapat serupa dengan al-Qurṭubī ini dikemukakan Ṭabaṭaba’i dalam al-Mizān fī Tafsīr al-Qur’ān.
Ketiga, ayat yang membicarakan soal murtad adalah Q.s. Muhammad [47]: 25:
“Sesungguhnya orang-orang yang kembali ke belakang (kepada kekafiran)sesudah petunjuk itu jelas bagi mereka, setan telah menjadikan mereka mudah(berbuat dosa) dan memanjangkan angan-angan mereka”.
Al-Qurṭubī dalam al-Jāmi` li Aḥkām al-Qur’ān, mengutip pendapat Ibn Juraij yangmenafsirkan murtad dalam ayat ini bukan sebagai orang yang keluar dari Islam. Iamenafsirkan murtad di situ dengan sekelompok orang-orang Ahli Kitab yangmengingkari kenabian Muhammad SAW padahal mereka sudah mengetahui sifatdan keperibadian Muhammad SAW. Al-Qurṭubī juga mengutip pendapat Ibn Abbas,al-Dhahhak dan al-Suddi yang yang mengartikan murtad dalam ayat itu denganorang-orang munafik yang tak mau berperang padahal mereka tahu tentangkewajiban berperang itu dari Alquran.
Pendapat Ibn Abbas itu juga dikutip Shihāb al-Dīn al-Alūsī dalam Ruḥ al-Ma`ānī,bahwa ayat di atas turun sebagai respons terhadap orang-orang yang telahmenyatakan masuk Islam, tapi dalam hatinya masih mengingkari Islam. Al-Alusi juga
bentukan MK. Pertama, semua
hakim MK telah bekerja bersama
Akil sebagai hakim konstitusi dan
kemudian memilih Akil sebagai
ketua MK.
Mekanismekerjahakimkonstitusi
dan proses pemilihan Akil
sebagai ketua MK layak pula untuk
diaudit kewajaran dan
kelurusannya. Kedua, delapan
hakim MK lainnya itu ikut
memutuskan dan merestui
pembentukan majelismajelis
hakim MK, yang menangani
banyak sengketa pilkada yang
bermasalah dan diduga KKN.
Ketiga, delapan hakim MK lainnya
sebagai anggota pleno ikut pula
memutuskan banyak sengketa
pilkada yang bermasalah dan
diduga KKN. Keempat, delapan
hakim MK lainnya tidak cukup
sensitif atas terjadinya praktik
kotor dalam tubuh MK. Kelima,
delapan hakim MK lainnya itu abai
terhadap lingkungannya yang tidak
peka terhadap asas-asas clean
judicial dan good governance.
Atas dasar pertimbangan itu,
delapan hakim MK lainnya, sekjen,
dan seluruh jajarannya harus
diperiksa dengan cermat,
saksama, penuh tanggung jawab,
dan adil. Siapa yang memeriksa?
jelas tidak tepat dan adil jika
dilakukan oleh MK yang sedang
mengalami delegitimasi total.
peraturan pemerintah pengganti
undang-undang (perppu) yang
akan menetapkan Komisi Yudisial
(KY) sebagai pengawas, sebagai
langkah temporer sudah tepat. KY
bisa segera bergerak membentuk
Tim Pemeriksa yang andal dan
mempunyai Trust dan Konfiden
untuk memeriksa delapan hakim
MK lainnya, sekjen, dan jajaran
MK, serta mengaudit kinerja MK.
Memang ketentuan UU yang
mengatur kewenangan KY untuk
mengawasi hakim konstitusi telah
dibatalkan oleh MK, karena kata
MK inkonstitusional. Namun,
sesungguhnya putusan MK yang
membatalkan wewenang KY untuk
mengawasi hakim MK tidak
sejalan dengan jiwa dan
semangat UUD 1945 yang
mengedepankan prinsip
keseimbangan dan kontrol
mengutip pendapat Qatadah yang berkata bahwa sasaran ayat itu adalah orang-orang Ahli Kitab yang mengetahui diutusnya Muhammad sebagai nabi melalui kitabsuci mereka, yaitu Taurat dan Injil, tapi mereka tetap mengingkari kenabianMuhammad SAW. Pendapat serupa dikemukakan Fakhr al-Din al-Razi. Menurut al-Razi, yang ditunjuk ayat ini adalah orang-orang Ahli Kitab yang mengingkarikenabian Muhammad sekalipun mereka telah lama tahu itu melalui kitab sucimereka. Pendapat semua mufassir ini tampaknya dirujukkan pada Ibn Jarīr al-Ṭabariyang mengutip pendapat Qatadah itu.
Beragam kitab tafsir itu menunjukkan bahwa tak ada ulama yang berkata bahwayang dimaksudkan dengan murtad dalam ayat itu bukanlah orang yang keluar dariIslam, melainkan orang-orang munafik–yang mulutnya mengaku Islam tapi hatinyamengingkari Islam– dan Ahli Kitab yang memilih mengingkari kenabian Muhammadsekalipun mereka mengetahui kebenaran berita itu melalui kitab suci mereka. Daripenjelasan itu bisa ditangkap satu pengertian, sekurangnya melalui tafsir ayat ini,bahwa murtad tak hanya diperuntukkan buat orang-orang yang keluar dari Islammelainkan juga untuk sebagian Ahli Kitab yang mengingkari kenabian MuhammadSAW dan orang-orang munafik yang tak sungguh-sungguh dalam ber-Islam.
Lepas dari beragam penafsiran tersebut, Akram Riḍā dalam al-Riddaṯ wa al-Hurriyyaṯ al-Dīniyyaṯ, berkata bahwa tak ada sanki hukum dunia yang jelas dantegas bagi orang murtad, tak seperti jelas dan tegasnya sanksi hukum bagi pelakupencurian, zina, dan qadzf (lā tarid āyaṯ fī al-Qur’ān fīhā bayān li `uqūbaṯ al-murtadfī al-dunyā illā al-talmīh bi anna lahum `adhāban `alīman fī al-dunyā wa al-akhiraṯ.Falam yarid fīhā hadd manṣūṣ `alaihi fī al-Qur’ān kamā naṣṣa a al-Qur’ān `ala haddal-sariqaṯ wa al-zinā wa al-qadhz). Dengan perkataan lain, Alquran tak menyebutsanksi hukum duniawi bagi orang murtad. Al-Qur’an menjatuhkan hukum duniawihanya kepada beberapa jenis kriminal terutama yang berkaitan dengan tindakanmerugikan orang lain, seperti pembunuhan, pencurian, zina, menuduh zina tanpabukti (qadhf), dan tindakan makar/terorisme (ḥirābaṯ). Tiadanya sanksi hukumduniawi bagi murtad itu sama dengan tiadanya sanksi hukum duniawi bagi orangIslam yang meninggalkan salat, tak berpuasa, tak mengeluarkan zakat, meminumkhamr, tak menutup aurat, dan lain-lain. Alih-alih mengkriminalkan orang murtad,syirik yang dianggap sebagai dosa terbesar dan tak terampuni itu tak disebutkansanksi hukum duniawinya dalam Alquran.
Sekiranya mengacu pada tiga ayat Alquran di atas an sich, kesimpulan itu tak keliru.Bahwa menurut Alquran, tak ada sanksi hukum dunia yang bisa dikenakan kepadaorang murtad. Namun, bagi sebagian besar ulama, bersandar pada Alquran sajatidak cukup. Hadits dianggap sebagai hukum kedua yang berfungi untukmenjelaskan, mengelaborasi, memerinci sejumlah ketentuan umum dalam Alquranatau menjelaskan sesuatu yang belum diatur dalam Alquran. Dalam kasus murtad,ada hadis yang kerap menjadi rujukan. Hadis itu berbunyi, “man baddala dīnahufaqtulūhu” (barang siapa mengganti agamanya, maka bunuhlah). Dikisahkan dariIkrimah bahwa Ali ibn Abi Thalib pernah membakar sekelompok orang. Beritapembakaran itu akhirnya sampai kepada Ibn Abbas. Lalu Ibn Abbas berkata,“seandainya aku, maka aku tak akan membakar mereka karena Nabi Muhammadpernah bersabda “janganlah mengazab dengan azab Allah” (lā tu`adhdhibū bi`adhāb Allāh) dan saya lebih memilih untuk membunuh mereka, sebagaimanadisabdakan Nabi Muhammad SAW, “man baddala dīnahu faqtulūhu” (barangsiapamengganti agamanya, maka bunuhlah).
Dengan redaksi berbeda, diriwayatkan Imam Malik; dari Zaid ibn Aslam bahwaRasulullah bersabda, “man ghayyara dīnahu faḍribū `unuqahu” (barang siapamengubah agamanya, maka pukullah lehernya (bunuhlah). Maksud hadis ini,menurut Imam Malik, bahwa barangsiapa keluar dari Islam dan berpindah ke yanglain misalnya menjadi kafir zindiq, maka hukuman yang pantas baginya adalahhukum bunuh. Menurut Imam Malik, hadis ini tak berlaku bagi orang Yahudi yangpindah ke Kristen atau sebaliknya.
Hadis yang memerintahkan pembunuhan orang murtad itu, menurut Jawdat Sa’īd,perlu dianalisa terutama dari sudut kredibiltas dan integritas perawinya. Pertama,hadis itu hanya diriwayatkan Abdullah ibn Abbas lalu ke Ikrimah baru kemudianmenyebar ke yang lain. Akram Rida mengutip pernyataan sejumlah Sahabat atauulama yang menceritakan kebohongan Ikrimah. Misalnya, Ibn Umar pernah berkatakepada Nafi`, “bertakwalah kepada Allah. Celakalah jika engkau mendustakan akusebagaimana Ikrimah berdusta tentang Ibn Abbas”. Kedua, salah satu rantai perawihadis itu adalah Muhammad ibn al-Fadl al-Sadusi. Perawi ini dianggap memiliki
antarlembaga tinggi negara.
Keputusan MK itu jelas
berorientasi pada kepentingan diri
(vested interest) para hakim
konstitusi yang tidak menghendaki
adanya eksternal kontrol atas diri
mereka. Kini terbukti sebagai
akibat tiadanya eksternal kontrol
itu terjadi korupsi/penyalahgunaan
kekuasaan oleh ketua MK. Karena
itu, sangat bisa dibenarkan dan
sejalan dengan semangat dan
jiwa UUD 1945 jika putusan MK
yang membatalkan wewenang
pengawasan KY atas para hakim
konstitusi itu, sebaiknya diabaikan
atau dianggap tidak pernah ada.
Dalam konteks penyelesaian
sengketa hasil pilkada, MK untuk
sementara moratorium
menangani perkara pilkada. Lebih
tepat, elegan, dan fair, kalau
delapan hakim MK dengan
sukarela mengundurkan diri.
Dengan demikian, memudahkan
DPR, presiden, dan MA
melakukan audit dan evaluasi
sebagai dasar untuk menata
kembali MK yang sudah porak-
poranda. Saat ini jika delapan
hakim MK terus ngotot bertahan
menangani perkara-perkara
pilkada, yang bakal terjadi
semakin kuat dan meluasnya
ketidak percayaan publik yang
bisa mewujud dalam bentuk aksi-
aksi kekerasan, seperti yang telah
terjadi di Kota Waringin,
Tangerang, Maluku,. Sementara
perkara sengketa pilkada pending,
pemerintah dapat mengangkat
PLT di daerah-daerah itu untuk
jangka waktu 6 bulan sampai 1
tahun maksimum. Presiden, DPR,
dan MA harus maju lebih cepat
lagi untukmenata kembali MK.
Selanjutnya, perppu perlu pula
mengatur tentang seleksi hakim
konstitusi, di mana secara umum
syarat, kriteria, dan prosedurnya
diusahakan seragam bagi semua
calon, baik melalui DPR, presiden,
maupun MA. Asas-asas
transparansi, partisipatoris, dan
inclusiveness harus diperlakukan
pada prosedur rekrutmen hakim
konstitusi di DPR, didomain
kekuasaan presiden dan di MA.
Akan lebih afdol jika DPR,
presiden, dan MA membentuk
intelektualitas rendah. Ia dikisahkan pikun. Cacat pada dua perawi inilah yangmenyebabkan kualitas hadis “man baddala dīnahu faqtulūhu” menurun drastis.Hadis itu tak sampai derajat mutawatir, melainkan hadis aḥād.
Namun, penting diketahui bahwa hukum bunuh bagi orang murtad itu tak hanyabersandar pada hadis “man baddala dīnahu faqtulūhu”, melainkan juga pada hadis-hadis lain. Misalnya, dikisahkan, Rasulullah pernah mengirim Abu Musa ke Yaman.Selang beberapa waktu, Rasulullah mengirim Mu`adh ibn Jabal ke tempat yangsama. Sampai di lokasi, Mu`adh dipertemukan dengan seorang laki-laki. Mu’adzbertanya, “siapa laki-laki itu?”. Dijelaskan, pada mulanya laki-laki itu beragamaYahudi, lalu masuk Islam, beberapa waktu kemudian ia kembali beragama Yahudi.Mu’adz berkata, “saya tak akan turun dari pelana unta ini hingga ia dibunuhsebagaimana diperintahkan Allah dan Rasul-Nya”. Atas dasar itu, maka dibunuhlahsi laki-laki tersebut setelah sebelumnya diberi kesempatan bertaubat selama duapuluh hari, ada yang menyebut dua bulan.
Berdasarkan itu, Akram Riḍā berkesimpulan bahwa hukum bunuh bagi orangmurtad tak hanya dinaskan (manṣuṣ) dalam hadis, melainkan juga diterapkan paraSahabat Nabi. Jika Alquran tak menentukan sanksi hukum bagi murtad, makamelalui hadits-hadis itu diketahui bahwa Nabi lah yang menciptakan hukum;membunuh orang murtad. Mengapa? Dengan membaca sejarah kita tahu bahwapembunuhan terhadap orang murtad bukan hanya karena dia murtad, melainkan(terutama) karena mereka menyebarkan kebencian dan permusuhan terhadapIslam. Dikecualikan dari itu, ialah orang yang murtad karena dipaksa. Menurut al-Ahwadhi, sebagaimana dikutip Akram Riḍā, orang yang pindah agama karenasebuah tekanan atau paksaan tak dihukum bunuh.
Dari penjelasan-penjelasan itu, Jamal al-Banna berkata bahwa Alquran memang takmemberikan sanksi hukum bunuh terhadap orang murtad. Hukuman mati bagi orangmurtad ini hanya ada dalam hadis dan tidak dalam Alquran. Persis di sini, bisadikatakan hadis telah melampaui Alquran. Tak sedikit ulama yang berpendapatbahwa hadis tak boleh melampaui apalagi bertentangan dengan Alquran. Denganperkataan lain, Nabi tak diberi otoritas untuk menciptakan hukum baru, hukum manatak tercantum dalam Alquran. Tak ada hukum ektra-Qur’anik yang bisa diciptakanNabi Muhammad. Artinya, jika Allah tak menentukan sanksi hukum dunia bagi orangmurtad, maka tak perlu bagi Nabi Muhammad untuk membuat hukum baru;menghukum mati orang murtad.
Seperti ingin keluar dari kerumitan hadis-hadis murtad tersebut, M. Quraish Shihabberkata bahwa sekalipun ada hadis yang berkaitan dengan larangan pindahagama, maka hadis-hadis itu harus dilihat sebagai bentuk kebijaksanaan di dalammenata suatu masyarakat. Sebab, boleh jadi itu berlaku untuk masyarakat tertentudan tidak untuk masyarakat lain. Bahkan, sekiranya itu merupakan kebijakan Nabi,maka kebijakan itu, demikian Shihab, harus dilihat dalam posisi Nabi sebagai apa;apakah sebagai Rasul, pemberi fatwa, sebagai hakim atau sebagai pemimpinmasyarakat yang arah kebijakannya bisa berbeda-beda karena perbedaan situasidan kondisi. Dengan pernyataannya ini, Shihab hendak menegaskan bahwalarangan pindah agama seperti diujarkan hadis itu bersifat kontekstual bukanuniversal, sehingga tak bisa menjadi patokan umum yang berlaku untuk semuasituasi dan kondisi. Artinya, masih terbuka kemungkinan untuk menerapkanhukuman mati bagi orang murtad ketika kondisi dan situasinya sama dengan ketikahadis itu diujarkan. Namun, Shihab sendiri tak menjelaskan situasi-kondisi apa yangmelatari kehadiran (sabab al-wurud) hadis tersebut. Ia juga tak menjelaskan, hadisitu dinyatakan Nabi dalam kapasitasnya sebagai apa; sebagai rasul, pemberi fatwa,pemimpin atau yang lain.
Tak semoderat M. Quraish Shihab, Jawdat Sa’īd secara tegas berkata bahwa hadisyang menyuruh membunuh orang murtad itu bertentangan dengan nas Alquran,yaitu “lā ikrāha fī al-dīn” (tidak ada paksaan dalam agama). Menurutnya, hadits“man baddala dinahu” itu tak bisa membatalkan Alquran yang menjamin kebebasanberagama. Lebih lanjut Jawdat Sa’īd mengatakan demikian,
“Saya berpendapat bahwa ayat “lā ikrāha fī al-dīn” adalah teks yang terangbenderang mengharamkan pembunuhan orang murtad. Terlalu jelas bahwaturunnya ayat ini ialah untuk melarang pemaksaann agama. Memang hukuman matibagi orang murtad cukup populer di banyak orang. Namun, walau telah populer tak
suatu panitia seleksi hakim
konstitusi yang akan menguji
semua calon hakim konstitusi
yang diajukan DPR, presiden, dan
MA. Hasil uji panitia seleksi ini
final, yang kemudian masing-
masing calon yang lulus langsung
disahkan dan diajukan sebagai
hakim konstitusi oleh masing-
masing DPR, presiden, dan MA.
Proses penataan kembali MK
perlu terus diawasi oleh publik
agar hasilnya sesuai dengan
harapan rakyat, yakni terwujudnya
MK yang mampu secara jujur, adil,
dan objektif mengamalkan
Pancasila dan UUD 1945. ABDUL
HAKIM G NUSANTARA Ketua
Komnas-HAM Periode 2002-2007
Politik buka-bukaan Koran SINDO
Kamis, 17 Oktober 2013 − 07:09
WIB Politik buka-bukaan LAODE
IDA PRESIDEN SBY tampak kesal
dan marah atau kebakaran
jenggot lantaran keterangan Luthfi
Hasan Ishaaq (LHI) di Pengadilan
Tipikor (10/10/2013) terkait posisi
strategis Bunda Putri yang
dianggap memiliki kedekatan
dengan Presiden SBY dan
sejumlah petinggi lain. Mantan
Presiden PKS itu menilai Bunda
Putri sebagai aktor di luar
kekuasaan, namun karena
kedekatan personalnya dengan
Presiden SBY atau pihak Istana,
maka Bunda Putri bisa
mengondisikan para pengambil
kebijakan itu, yang tentu saja
diharapkan bisa memuluskan
“agenda bisnis berbasis
kekuasaan” yang tengah
diurusnya. Kekesalan SBY itu
ditunjukkan dalam jumpa pers di
Lanud Halim Perdanakusumah
(10/ 10/2013), sesaat setelah
mendarat dari lawatannya di
Brunei Darussalam. Barangkali
juga saking geregetannya SBY
kemudian mencoba meng-counter
LHI secara hiperbolis dengan
menyatakan bahwa apa yang
dikatakan LHI itu “1.000 persen
bohong”. Bahkan terkait soal
reshuffle kabinet yang menurut
LHI juga diketahui oleh Bunda
Putri, Ketua Umum Partai
Demokrat itu berkata, “2.000
persen bohong.” Singkatnya,
secara keseluruhan SBY
berarti ia benar dan sah. Ayat “lā ikrāha fī al-dīn” ini adalah ayat yang kukuh, kuat,dan jelas. Begitu juga, kontrak perdamaian yang dibuat Nabi dalam perjanjianHudaibiyah. Saat itu, Nabi tak menyuruh orang Islam membunuh orang MusyrikQuraish. Saya mengakui bahwa panorama Islam penuh dengan pemikiran untukmembunuh orang murtad. Namun, panorama itu bukan sumber hukum. Begitu jugakepopuleran hukum mati bagi murtad tak cukup untuk menjadi kebenaran yangtegak dalam sejarah…. Sekiranya kami memulai dengan pendapat bahwa hadis takbisa menghapus Alquran, maka selesailah permasalahan. Sebab, dalam Alqurantak ada hukum mati bagi orang murtad. Ini yang menjadikan hadis “bolehnyamembunuh orang murtad” itu lemah dan jauh (dari kebenaran). Tambahan pula,perawi hadis itu tak menjelaskan tentang sebab, waktu, dan tempat kehadiran hadistersebut. Sebab, boleh jadi ia hadir dalam kondisi dan peristiwa tertentu”.
Berbeda dengan para ulama tradisional yang cenderung mengafirmasi hukumanmati bagi orang murtad, Jawdat Sa’īd keras menolak upaya kriminalisasi terhadapperkara pindah agama. Baginya, kebebasan beragama adalah nilai pokok dalamIslam yang keberadaannya tak bisa dibatalkan dengan argumen apapun. Tak adaotoritas yang boleh memaksa seseorang untuk masuk atau keluar dari suatuagama. Namun, pandangan Jawdat Sa’īd yang menolak hadis “man baddala dīnahufaqtulūhu” itu seperti berada dalam kesunyian di tengah gemuruh ulama fikih yangmerujuk hadis tersebut. Bagaimana pandangan para ahli fikih tentang hukummurtad?
Murtad dalam Fikih Islam
Tak dibantah bahwa dari hadis yang memerintahkan membunuh orang murtad (manbaddala dīnahu faqtulūhu)itu, para ahli fikih Islam, dari dulu hingga sekarang, terusmelibatkan diri dalam pembahasan murtad. Zainuddin al-Malibari meletakkanpembahasan murtad setelah membahas soal jināyaṯ (pidana). Ini, menurut Shaṭa al-Dimyaṭi, karena riddah menjadi bagian dari tindakan kriminal. Bedanya, sekiranyamembunuh orang merupakan tindakan kriminal terkait pidana atas jiwa (jināyaṯ bī al-nafsi), maka riddaṯadalah jinayat terkait agama (jināyaṯ bi al-dīn). Begitu juga, bedadengan pelaku kriminal biasa, maka ketika orang murtad meninggal dunia, menurutShata al-Dimyati, tak perlu dimandikan, dikafani, disalatkan, dan tak bolehdikuburkan di pekuburan umat Islam.
Beda dengan Alquran dan hadis yang tak menjelaskan pengertian murtad, makafikih memberi pengertian, kriteria, dan batas-batas murtad. Bahkan, pengertianmurtad dalam fikih demikian luas hingga orang-orang yang tak merespons ketikaazan dikumandangkan dan tak mendengarkan tatkala Alquran dibacakan bisadigolongkan sebagai murtad. Zainuddin al-Malibari sebagaimana dielaborasi Shaṭaal-Dimyaṭi dalam I`ānaṯ al-Thālibīn,berkata bahwa kemurtadan tak hanyadisebabkan oleh pengingkaran seseorang terhadap kemukjizatan Alquranmelainkan juga oleh penolakannya pada satu huruf Alquran. Bahkan, penyangkalanseseorang terhadap posisi Abu Bakar al-Shiddiq sebagai Sahabat Nabi bisamengantarkan yang bersangkutan pada kemurtadan. Yang menarik, Syi`ahRafidhah memurtadkan Abu Bakar al-Shiddiq dan para pengikutnya karenadianggap telah merampas kekuasaan (kekhalifahan) yang mestinya diberikankepada Ali ibn Abi Thalib.
Secara etimologi, murtad dimaknai para ahli fikih sebagai al-rujū` `an al-islām(berbalik dari Islam). Sedangkan secara terminologis, murtad diartikanAbdurraḥman al-Juzairī dalam al-Fiqh `alā al-Madhāhib al-Arba`aṯ, sebagai orangIslam yang memilih menjadi kafir setelah sebelumnya mengucapkan dua kalimatsyahadat dan menjalankan syariat Islam. Kemurtadan itu diungkapkan secara jelas(sharīḥ), misalnya, “usyriku bi Allah” (saya menyekutukan Allah).
Menurut Zakaria al-Anṣari, murtad adalah orang Islam yang memutuskeberislamannya dengan kekufuran yang disengaja dengan maksud menghina,mengingkari dan membangkang. Namun, al-Anṣari mengingatkan, tindakanseseorang yang masih dalam lingkup ijtihad tak memurtadkan seseorang. Shaṭa al-Dimyaṭi berkata, hanya ijtihad yang bertentangan dengan naṣ qaṭ’i yang berdampakpada kemurtadan seseorang. Lalu al-Dimyaṭi mencontohkan, kelompok Mu`tazilahyang menyatakan bahwa Allah tak bisa dilihat dengan mata kepala adalah bagiandari ijtihad, sehingga Mu’tazilah tidak murtad. Begitu juga sufi seperti Abu Manshur
mengaku tidak mengenal, tidak
tahu, dan tidak ada hubungannya
dengan Bunda Putri seperti cerita
LHI itu. Pertanyaan siapa benar
atau siapa yang berbohong: LHI
atau SBY? Kita, Pembaca yang
Budiman, tentu berharap jangan
sampai SBY yang berbohong.
Karena dia masih presiden,
pimpinan tertinggi di negeri besar,
simbol figur terluhur bangsa di
mana kejujuran masih jadi bagian
yang melekat sebagai kearifan
tradisional lokal masyarakatnya.
Jika LHI yang berbohong,
meskipun kader Islam dan
mantan Presiden PKS yang
notabene mengklaim diri sebagai
“parpol Islam”, masyarakat
bangsa ini tak heran dan tak ada
yang akan menyesal—lantaran dia
memang sudah jadi narapidana
korupsi. Bahkan, kebohongan
atau fitnahnya pada Presiden SBY
tentang Bunda Putri itu, bila
mungkin, akan menambah bobot
vonisnya nanti di pengadilan
Tipikor-KPK. Namun, terhadap
keterangan LHI itu harus pula
dipahami secara hati-hati dan arif.
Setidaknya kita tidak boleh serta-
merta menuduh alumni Timur
Tengah itulah yang berbohong.
Mengapa? Pertama, dia
mengungkapkan pengetahuannya
di hadapan pengadilan, di mana
dia sudah disumpah secara
agama. Jika SBY keberatan,
seharusnya SBY menyampaikan
langsung pada pihak yang
berwajib. Tidak cukup hanya
dengan menyangkalinya melalui
konferensi pers, karena hal ini
akan mengesankan “hanya
mencari simpati dan pembelaan
masyarakat luas nan awam”—
cara-cara klasik yang cenderung
terus dilakukan SBY selama ini.
Langkah SBY itu juga tidak akan
menggugurkan keterangan LHI
yang dianggap sebagai fakta
hukum di pengadilan itu. Presiden
SBY, dalam kaitan itu, mungkin
dapat mengambil langkah-
langkah hukum: (1) melaporkan
LHI sebagai fitnah atau
pencemaran nama baik ke pihak
kepolisian, dan atau (2) secara
proaktif mendatangi pengadilan
Tipikor-KPK untuk memberikan
al-Hallaj, Muhyiddin Ibn `Arabi, dan lain-lain yang membuat pernyataan-pernyataantak lazim seperti “aku adalah Allah” tak dikategorikan murtad. Namun, Shaṭa al-Dimyaṭi tak bisa menoleransi perkataan penduduk Yamamah bahwa tak adakewajiban beriman kepada Nabi setelah Nabi meninggal dunia dengan alasansyariat Nabi Muhammad telah selesai bersamaan dengan kewafatannya. Perkataanini, demikian Shaṭa al-Dimyaṭi, jelas salah (baṭil qaṭ’an) dan mengantarkan parapengucapnya pada kemurtadan.
Al-Juzairi memerinci sejumlah hal yang menyebabkan kemurtadan seseorang, yaitu:[1]. Melempar atau membakar Alquran dengan niat meremehkan; membalik lipatankertas Alquran dengan niat menghinakan adalah murtad; membuang buku-bukuhadis bahkan buku-buku fikih dengan niat merendahkan syariat Islam; [2]. Memakaipakaian yang menjadi simbol orang kafir; [3]. Belajar ilmu sihir danmengamalkannya, karena sihir berisi ungkapan pemuliaan-pengagungan kepadaselain Allah; [4]. Menyatakan bahwa alam ini adalah dahulu (qadim), karenaungkapan itu meniscayakan tiadanya Sang Pencipta (Allah); [5]. Mempercayaiterjadinya reinkarnasi (tanāsukh al-arwāh); [6]. Mengingkari sejumlah hukum yangtelah menjadi konsensus ulama, seperti wajibnya salat-puasa dan haramnya zina;[7]. Menyatakan bahwa kenabian bisa diperoleh dengan usaha dan riyādaṯ,karenapernyataan itu membuka kemungkinan adanya nabi setelah Nabi Muhammad; [8].Mencaci maki seorang nabi dan malaikat yang telah disepakati kenabian dankemalaikatannya; menyatakan keterbatasan fisik atau kecacatan tubuh seorangnabi seperti pincang.
Untuk memudahkan, ulama fikih mengkategorisasikan riddaṯ ke dalam empatkategori. Pertama, murtad sebab keyakinan (i’tiqādi) yang bertentangan denganpokok akidah Islam. Shaṭa al-Dimyaṭi memerinci beberapa hal yang termasukmurtad i’tiqadi ini, yaitu: [a]. meragukan Allah (al-shakku fi Allāh); [b]. meragukankerasulan seorang rasul; [c]. meragukan satu bagian dari al-Qur’an; [d]. takmempercayai Hari Akhir; [e]. tak mempercayai surga dan neraka; [f]. takmempercayai konsep pahala dan dosa; [g]. tak mempercayai satu sifat dari sifat-sifat Allah; [h]. meyakini kehalalan sesuatu yang diharamkan; [i] mengingkari hal-halyang telah disepakati hukumnya dan telah diketahui publik secara luas seperti salatlima waktu.
Kedua, murtad sebab perbuatan (fi`li). Shaṭa al-Dimyaṭi menyebut, termasuk murtadbi al-fi`li adalah bersujud pada patung, matahari atau yang lain (al-sujūd li ṣanamaw li shams aw makhlūq ākhar).Ketiga, murtad sebab perkataan (qawli). Shaṭa al-Dimyaṭi mencontohkan beberapa perkataan yang menyebabkan kemurtadanseseorang; [a]. memanggil orang Islam lain dengan panggilan “wahai kafir”; [b].perkataan, jika Allah menyiksaku karena tak mengerjakan salat padahal aku sakit,maka Allah zalim kepadaku; [c]. perkataan, “salat tak cocok buat aku”, “saya takmenemukan kebaikan sepanjang aku salat”; [d]. mencaci seseorang yang bernamasama dengan nama Nabi Muhammad dengan maksud mencaci Nabi; [e].meremehkan fatwa ulama dengan maksud meremehkan syariat; [f]. menyerupakanwajah orang saleh dengan babi; [g]. perkataan seseorang, “saya menginginkansejumlah harta, baik yang halal maupun yang haram; [h]. tak merespons azan dantak mendengarkan ketika Alquran dibacakan; [i]; mencaci para Sahabat Nabi.Keempat, murtad karena meninggalkan ajaran (tarki-turuki) dengan maksudmenentang dan mengingkari syariat Islam (al-tarku yadullu `alā al-`inād wa al-mu`araẓāṯ li al-shar’i istikbāran aw juḥudan), seperti meninggalkan salat, puasa, danzakat dengan maksud menentang wajibnya ibadah-ibadah tersebut.
Pertanyaannya, bagaimana kemurtadan bisa dibuktikan? Apakah kemurtadan yangyang dilakukan dalam kesendirian bisa menyeret pelakunya ke meja pengadilan?Zakaria al-Anṣari berkata bahwa kemurtadan seseorang harus dibuktikan dengankesaksian orang lain. Artinya, kemurtadan yang tak tersaksikan, maka tak bisadikriminalkan. Menurut Abdurrahman al-Juzairi, seorang hakim hanya bisamenjatuhkan vonis “murtad” pada seseorang setelah sang hakim mendengarkankesaksian dua orang laki-laki adil yang menyaksikan bahwa orang itu telah berkataatau berbuat murtad. Jika telah divonis murtad, maka ia wajib dihukum mati. Akantetapi, dalam fikih Syafi`iyyah disebutkan, setelah vonis murtad dibacakan, takotomatis hukuman mati bisa langsung dilaksanakan. Seorang hakim tetap wajibmemberi kesempatan pada si murtad selama tiga hari; apakah yang bersangkutantetap murtad atau akan kembali ke Islam. Jika ia kokoh pendirian tak mau kembalike Islam, barulah hukuman mati bisa dilakukan. Demikian nyata hukuman mati bagiorang murtad itu, sehingga al-Sha`rani berkata; seandainya seluruh penduduknegeri itu menyatakan murtad, maka mereka wajib dibunuh, sedang harta
keterangan bantahan atas
”tuduhan” LHI itu. Jika SBY
melakukan itu, masyarakat
bangsa ini pun akan memberi
apresiasi tinggi, sebagai presiden
“ringan melangkah untuk
kebenaran” dan demi tetap
menjaga keluhuran pribadi dan
jabatannya. Pada saat yang sama,
KPK harus segera mendatangkan
sosok Bunda Putri untuk dimintai
keterangan sekaligus
dikonfrontasi dengan LHI. Dengan
cara terakhir ini, publik bangsa ini
tidak terus diliputi tanda tanya
tentang sosok yang sampai
tulisan ini diturunkan dikesankan
”misterius” itu. Pertanyaannya,
apakah SBY mau melakukan itu?
Apakah juga pihak Tipikor-KPK
punya nyali dan atau sudah
memiliki prosedur tetap untuk
menghadirkan seorang yang
sedang menjabat presiden?
Selama ini, jangankan Presiden,
Wakil Presiden yang sudah lama
disebut-sebut terkait dengan
skandal Bank Century saja ”Tidak
berani disentuh, apalagi
dihadirkan untuk diperiksa di
KPK”. Bahkan suatu ketika Ketua
KPK Abraham Samad pernah
menyatakan bahwa Presiden dan
Wapres adalah semacam
“jabatan istimewa yang tak mudah
disentuh oleh hukum”. Kedua,
setelah ribut-ribut tentang
keterangan LHI, dunia media
sosial kita kemudian
memunculkan sejumlah cerita
berikut foto-foto Bunda Putri
dengan sejumlah pejabat negara,
termasuk foto bersama dengan
pemilik otoritas tertinggi PKS,
Hilmi Aminuddin. Fakta hasil
jepretan kamera itu, diakui atau
tidak, cenderung memberi isyarat
adanya kedekatan antara Bunda
Putri dan sejumlah figur pejabat
yang selama ini berada di lingkar
dalam (inner circle) Presiden SBY.
Menteri Pertanian Suswono,
misalnya, mengaku sudah pernah
berkunjung ke lokasi pabrik pupuk
milik Bunda Putri di Kalimantan
Barat. Fakta-fakta berupa foto dan
kesaksian tentang sosok Bunda
Putri dan relasinya dengan
pejabat di sekitar SBY itu agaknya
sulit untuk dibantah. Memang
kepunyaan mereka dihukumi sebagai harta ghanimah. Namun, Abū Ishāq al-Shairāzi mengingatkan bahwa pihak yang mengeksekusi orang murtad itu adalahnegara bukan swasta.
Berbeda dengan Imam Syafii, Imam Abu Hanifah berkata, sunnah bagi kita memintaorang murtad bertaubat. Sedangkan Thawus, al-Hasan, Ibn al-Majitsun al-Maliki,Abu Yusuf, dan seklompok ulama tekstualis (Ahli al-Ẓahir) berpendapat bahwaorang murtad tak perlu diminta bertaubat. Sekiranya ia bertaubat, maka taubatnyahanya bermanfaat di hadapan Allah dan tak menggagalkan hukuman mati yangharus dikenakan padanya. Sementara menurut `Atha’, jika seseorang lahir dalamkeadaan Islam kemudian murtad, maka baginya tak perlu diberi kesempatanbertaubat. Ia bisa langsung dihukum bunuh. Sedangkan orang yang lahir dalamkeadaan kafir, lalu masuk Islam, dan kemudian murtad, maka baginya perlu diberikesempatan bertaubat.
Yang disepakati para ulama fikih adalah hukum mati bagi laki-laki murtad.Sementara bagi perempuan murtad, para ulama memperselisihkan sanksihukumnya. Jumhur ulama berpendapat, sebagaimana laki-laki murtad dihukum mati,maka begitu juga perempuan murtad. Pendapat ini didasarkan pada hadis riwayatJabir. Alkisah, seorang perempuan bernama Umu Ruman telah murtad dari Islam.Dengan cepat berita itu sampai kepada Nabi. Lalu Nabi memerintahkan agarperempuan itu diminta bertaubat. Jika tidak mau, maka ia dihukum bunuh. IbnRushd mengutip pendapat sekelompok orang, perempuan murtad tetap dibunuhsekalipun telah kembali pada Islam (tuqtalu wa in raja`at al-islam). Sementara AbuHanifah punya pendapat lain. Menurutnya, perempuan murtad tak dihukum matiseperti tak dihukum matinya perempuan yang kafir sejak mula (al-kāfiraṯ al-aṣliyyaṯ).
Berbeda dengan kecenderungan umum para ahli fikih tersebut, Ibrahim al-Nakha`idan sejumlah ulama fikih mengajukan pendapat lain. Menurut mereka, orang murtadtak dihukum bunuh. Ia hanya perlu diminta bertaubat secara terus menerussekiranya yang bersangkutan tak kembali ke Islam. Sejauh yang bisa dibaca, ulamayang menolak hukum bunuh bagi murtad itu mendasarkan pandangannya padabeberapa alasan. Pertama, Rasulullah tak membunuh orang munafik, yaitu orangyang secara lahir mengaku Islam tapi hatinya sudah berada di luar Islam.Kedua,Hadis Umar ibn Khattab yang mengatakan, “jika orang-orang murtad itu bertaubat,maka itu baik. Jika tidak mau, mereka dipenjara”. Ketiga, ulama Hanafiyah menolakhukum bunuh bagi perempuan murtad. Menurutnya, perempuan murtad cukupditahan hingga yang bersangkutan bertaubat. Keempat, yang dibunuh pada zamanNabi itu adalah murtad muḥārib, yaitu murtad yang memusuhi umat Islam.
Pandangan terakhir ini tampaknya menarik diperhatikan di era kebebasanberagama seperti sekarang; dimana pilihan orang atas suatu agama dianggapsebagai pilihan individual; keputusan seseorang untuk keluar dari suatu agama,termasuk keluar dari Islam, tak dipandang sebagai tindakan kriminal. Keputusanseseorang untuk memilih suatu agama atau keluar dari suatu agama dipandangsebagai hak dasar yang melekat pada setiap orang. Dalam konteks itu, Abdul KarimSoroush mengatakan, hendaknya suatu agama dipeluk karena pemahaman danketulusan dan bukan karena ketakutan. Pertanyannya, bagaimana kebebasanberagama termasuk kebebasan untuk memilih atau keluar dari suatu agamadibicarakan di Indonesia? Dalam konteks Indonesia jika seseorang telahmenyatakan keluar dari Islam, bisakah ia dipidanakan? Apakah hukum bunuh bisaditerapkan terhadap orang Islam yang pindah agama? Jawabnya, jelas tidak bisa.
Sampai sekarang, KUHP dan sejumlah undang-undang lain tak menyebut pindahagama sebagai perkara pidana. Alih-alih bisa dipenjarakan apalagi dibunuh, UUD1945 memberikan jaminan perlindungan kepada seluruh warga negara dalammenjalankan hak kebebasan beragama. Pasal 28 E ayat (2) menyebutkan bahwasetiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikirandan sikap, sesuai dengan hati nuraninya. Dalam UU No. 39 tahun 1999 tentang HakAsasi Manusia pasal 22 ayat (2) disebutkan, “negara menjamin kemerdekaan setiaporang memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanyadan kepercayaannya itu. Ketentuan itu adalah panduan bagi pemerintah untukmelindungi setiap warga negara dalam menjalankan aktivitas keberagamaannya diIndonesia.
Bukan hanya itu, NU dan Muhammadiyah sebagai organisasi kemasyarakatan Islamterbesar di Indonesia tak pernah merekomendasikan untuk menerapkan hukumanmati bagi orang pindah agama, dari Islam ke agama lain. Begitu juga MUI.
semua itu pun belum bisa
langsung dituduhkan bahwa
Bunda Putri juga dekat dan atau
dikenal SBY, karena tidak semua
orang yang dekat dengan seorang
menteri lalu serta-merta dikenal
atau dekat dengan Presiden.
Itulah pentingnya pembuktian
secara hukum di hadapan
pengadilan, dengan cara seperti
digambarkan di atas. Namun,
fakta-fakta itu pun kemudian bisa
dimentahkan secara hukum
melalui cara-cara canggih
manipulatif. Misalnya dengan
menyingkirkan atau
menyembunyikan yang
bersangkutan, sehingga dicari di
mana pun tak akan ditemui. Cara
seperti ini setidaknya akan
memperlambat proses
penyidikan, dan akan jadi alasan
pihak KPK untuk menghadirkan
saksi secara langsung. Contoh
konkretnya sudah banyak terjadi,
seperti kasus Nunun Nurbaety
(istri Adang Dorojatun), dan
sejumlah koruptor lain yang
menghilang dari Tanah Air hingga
kini, termasuk percobaan me-luar
negeri-kan M Nazaruddin (mantan
bendahara umum Partai
Demokrat). Kita, umumnya warga
bangsa ini, memang masih
menunggu proses-proses hukum
untuk membuktikan kebenaran
atau kebohongan dari keterangan
LHI dan bantahan dari SBY itu.
Namun, di balik perseteruan itu
sebenarnya LHI seolah hendak
menyampaikan sebuah
pernyataan, “Saya hanyalah
bagian dari orang yang nahas
saja, sementara pemain kakapnya
adalah oknum yang dekat dengan
penguasa negeri ini.”Ini
merupakan bagian dari politik
bukabukaan ala mantan Presiden
PKS, karena dia tak mau dianggap
“demikian kotor”, sementara
“pihak penguasa seolah- olah
demikian bersih”. Maka, pantas
bila Presiden SBY agak panik dan
marah. Karena ocehan LHI itu
bukan mustahil akan
menjadikannya akan sulit untuk
landing smoothly di akhir
jabatannya, akan jadi ”bola panas
nan liar” yang menyentuh gawang
kekuasaan. (*) Artikel ini
« Argumen “Islam” untuk Kebebasan* Tulisan Berikutnya »
Organisasi keulamaan yang didirikan rezim Orde Baru yang belakangan otoritasnyamakin kuat itu tak pernah mengeluarkan fatwa yang membolehkan membunuhorang pindah agama. Ini seperti ada konsensus diam-diam di kalangan para ulamaIndonesia untuk tak mengkriminalkan pelaku pindah agama. Pindah agama takdimasukkan ke dalam kejahatan (crime) yang pelakunya harus dijebloskan ke dalampenjara. Ajaran Ahmadiyah pun yang telah difatwa sesat-menyesatkan oleh MUItahun 1980 dan 2005, hak hidup jemaahnya dijamin. Dengan kata lain, sekalipuntelah divonis sesat-menyesatkan, MUI tak menghendaki dan tak menganjurkanuntuk membunuh orang-orang Ahmadiyah.
Penutup
Dari paparan di atas, beberapa hal bisa disimpulkan. Pertama, pengertian murtadterus mengalami perluasan dan pelebaran. Alquran tak menjelaskan pengertianmurtad, lalu coba dispesifikasi di dalam hadis. Murtad dalam hadis itu dilebarkanpengertiannya dalam fikih, sehingga orang yang mencaci para ulama pun bisadisebut murtad. Kedua, hukuman terhadap orang murtad juga mengalamiperubahan. Alquran yang tak menentukan sanksi hukum duniawi terhadap murtad,maka hadis menentukan hukum bunuh bagi orang murtad. Terhadap hadis yangmenyuruh membunuh orang murtad tersebut, kecenderungan ulama lampau,kecuali Ibrahim al-Nakha`i, adalah menyetujuinya. Sementara ulama kontemporerseperti Jamal al-Banna dan Jawdat Sa`id menolak penerapan hukuman matitersebut.Sedangkan M. Quraish Shihab mengajak kita untuk memahami hadismurtad itu secara kontekstual. Ketiga, sekalipun Indonesia ini mayoritas beragamaIslam, perkara pindah agama (riddaṯ) tak dianggap sebagai perkara kriminal. Takada pasal dalam hukum positif Indonesia yang menyatakan bahwa pindah agamamerupakan sebuah kejahatan. NU dan dan Muhammadiyah sebagai dua ormaskeislaman terbesar Indonesia pun tak pernah mengajukan klausul untukmenerapkan hukum bunuh bagi orang murtad. Begitu dengan Majelis UlamaIndonesia. Wallāhu A`lam bi al-Ṣawāb.
Be the first to like this.
By fwan, on 4 November 2013 at 4:25 pm, under 1. Tidak ada Komentar
Komentar tulisan or leave a trackback: Trackback URL.
Tinggalkan Balasan
pandangan Pribadi LAODE IDA
Wakil Ketua DPD RI
Benarkah kita berhaji?
Gudang ArsipNovember 2013
Oktober 2013
Juli 2013
Juni 2013
Februari 2013
Januari 2013
Juni 2012
Mei 2012
April 2012
Maret 2012
Februari 2012
Januari 2012
Desember 2011
Agustus 2011
Juni 2011
Mei 2011
April 2011
Maret 2011
Februari 2011
Januari 2011
Desember 2010
November 2010
Oktober 2010
September 2010
Agustus 2010
Juli 2010
Juni 2010
Mei 2010
April 2010
Maret 2010
Februari 2010
Januari 2010
Desember 2009
November 2009
September 2009
Agustus 2009
Juli 2009
Juni 2009
Mei 2009
April 2009
Maret 2009
Januari 2009
November 2008
Bisnis On LineExploreHR
Pasar Batik
Raja Presentasi
Saroeng Tenun
Seragam Batik
Strategi Manajemen
Study Marketing
Enter your comment here...
Cafe ClubanBotoqPlaxo Berita
Twiter Berita
Hasil PILEG & PILPRES2009Hasil Pilpres & CQ
Kliping 2007Agama
DikSos Iptek & Humaniora
Ekonomi Keuangan
InternaZionale
Politik
Kliping 2008Agama
Brangkas Personal
Ekonomi Keuangan
InternaZionale
Islam Kontekstual
Muhammadiyah
Pancaran Sinar Qolbu
Pendidikan
Politik
Sosok
Kliping 2009Agama
Daerah
Ekonomi dan Keuangan
Hukum
InterNazionale
Islam Kontekstual
Muhammadiyah
Pancaran Sinar Qolbu
Pendidikan Iptek Humaniora
Politik
Sosok
Pdm On Line
Pdm Kab Pekalongan
PemiluBlog Farid Pemilu
Blog Raja Pemilu
Contreng 2009
Hasil Pemilu 2004
Hasil Pemilu 2009
Kanal Pemilu
Pemilu Indonesia
PilPres USA
Photo AlbumFoto Keluarga
Keluarga
Muhammadiyah
Pas Foto
Photobucket
PicasaWeb Keluarga
Rumah BatikBatik Kejora
Batik SaRi Tanjung
Batik Warna Alam
Rumah IslamAl-Quran On Line
Liputan Haji 2008
Media Salaf
Rumah TehnoinfoInfo TehnoKom
Muli Media
Stop Disini BungCaping
Farid Akhwan
Kaki Langit
Kamus On Line
Kiri Luar
Republic Kliping
Tombo Stres
TokohRagam Tokoh
Pdm On LinePdm Kab Pekalongan
MetaDaftar
Masuk
RSS Entri
RSS Komentar
WordPress.com
Blog pada WordPress.com. | Tema: NotesIL oleh Jordan Lewinsky..