Post on 26-Feb-2020
SKRIPSI
PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP ANAK SEBAGAI PELAKU TINDAK
PIDANA KEKERASAN DALAM PROSES PENYIDIKAN
(Studi Kasus Kepolisian Resort Gowa Tahun 2014 – 2017)
OLEH :
ANZAR G.
B 111 12 651
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2017
i
HALAMAN JUDUL
PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP ANAK SEBAGAI PELAKU TINDAK
PIDANA KEKERASAN DALAM PROSES PENYIDIKAN
(Studi Kasus Kepolisian Resort Gowa Tahun 2014 – 2017)
SKRIPSI
Diajukan sebagai Tugas Akhir dalam Rangka Penyelesaian Studi Program Studi Ilmu Hukum
disusun dan diajukan oleh:
ANZAR G.
B 111 12 651
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2017
ii
iii
PERSETUJUAN PEMBIMBING
Diterangkan bahwa skripsi :
Nama : ANZAR G.
Nomor Induk : B 111 12 651
Bagian : HUKUM PIDANA
Judul : PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP ANAK SEBAGAI PELAKU TINDAK PIDANA KEKERASAN DALAM PROSES PENYIDIKAN (Studi Kasus Kepolisian Resort Gowa Tahun 2014 – 2017)
Telah diperiksa dan disetujui untuk diajukan dalam ujian skripsi di Fakultas
Hukum Universitas Hasanuddin.
Pembimbing I
Makassar, Oktober 2017
Pembimbing II
Dr. Syamsuddin Muchtar, S.H., M.H. NIP . 19631024 198903 1 002
Dr. Nur Azisa, S.H., M.H. NIP. 19671010 199202 2 002
iv
v
KATA PENGANTAR
Assalaamu’alaikum warahmatullaahi wabarakaatuh.
Segala Puji bagi Allah, kami memuji, memohon pertolongan dan
ampunan-Nya. Kami berlindung dari kejahatan amal-amal dan keburukan diri-
diri kami. Aku bersaksi bahwasanya tidak ada sesembahan yang berhak
disembah melainkan Allah dan aku bersaksi bahwasanya Muhammad itu
adalah hamba dan Rasul-Nya. Dengan seizin-Nya akhirnya penulis, dari
dimulai sampai selesainya penulisan skripsi yang berjudul “PERLINDUNGAN
HUKUM TERHADAP ANAK SEBAGAI PELAKU TINDAK PIDANA
KEKERASAN DALAM PROSES PENYIDIKAN”. Penulisan skripsi ini
dimaksudkan sebagai salah satu persyaratan guna menyelesaikan studi pada
Fakultas Hukum, Universitas Hasanuddin.
Penulis menyadari, bahwa skripsi ini dapat terselesaikan atas seizin-
Nya, doa kedua orang tua, memberikan semangat yang tak pernah henti-
hentinya buat penulis, sehingga penulis berusaha seoptimal mungkin dalam
menyelesaikan skripsi ini.
Penulis juga menyadari bahwa penulisan hukum ini tidak akan
terwujud tanpa adanya bantuan, motivasi, dan bimbingan dari berbagai pihak,
vi
baik secara langsung maupun tidak langsung. Untuk itu penulis ingin
mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:
1. Ibu Prof. Dr. Dwia Aries Tina Pulubuhu, M.A., selaku Rektor
Universitas Hasanuddin.
2. Ibu Prof. Dr. Farida Patittingi, S.H., M.Hum., selaku Dekan Fakultas
Hukum, Universitas Hasanuddin.
3. Bapak Dr. Syamsuddin Muchtar, S.H., M.H., selaku Dosen
Pembimbing 1 yang telah meluangkan waktunya untuk membimbing
dan memberikan pengarahan kepada penulis dalam rangka
penyelesaian penulisan skripsi hukum ini.
4. Ibu Dr. Nur Azisa. S.H., M.H., selaku Dosen Pembimbing 2 yang telah
membimbing, mengarahkan, dan penerima kehadiran penulis untuk
berkonsultasi dengan tangan terbuka hingga penulis dapat
menyelesaikan penulisan skripsi hukum ini.
5. Bapak Prof. Dr. Andi Muhammad Sofyan. S.H., M.H., Ibu Dr.
Haeranah. S.H., M.H., dan Bapak H.M. Imran Arief. S.H., M.H.,
selaku Dosen Penguji yang telah memberikan evaluasi dan solusi
dalam forum ujian proposal hingga skripsi hukum ini.
6. Keluarga Besar Instansi Kepolisian Resort Gowa, yang tentunya
mendukung karir dan memberikan kesempatan dalam menyelesaikan
skripsi hukum ini.
vii
7. Kepala Unit dan Anggota Penyidik Unit Perlindungan Perempuan
dan Anak Kepolisian Resort Gowa yang memberikan terus
semangat kepada penulis untuk menyelesaikan penulisan skripsi
hukum ini.
8. Keluarga kecil, Istri, dan Buah hati yang tentunya menjadi motivasi
dan inspirasi penulis dalam menyelesaikan penulisan skripsi hukum
ini.
9. Civitas Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin.
10. Civitas Universitas Hasanuddin.
Makassar, Oktober 2017
Penulis
viii
ABSTRAK
ANZAR G. (B111 12 651) dengan judul skripsi “Perlindungan Hukum Terhadap Anak Sebagai Pelaku Tindak Pidana Kekerasan Dalam Proses Penyidikan (Studi Kasus Kepolisian Resort Gowa Tahun 2014 – 2017)” Tujuan penelitian yang diharapkan penulis ialah Pertama, untuk mengetahui upaya perlindungan hukum terhadap anak yang menjadi pelaku tindak pidana kekerasan anak di tingkat penyidikan. Kedua, untuk mengetahui peran penyidik dalam perlindungan hukum terhadap anak yang menjadi pelaku tindak pidana kekerasan anak di Kepolisian Resort Gowa. Penelitian ini merupakan penelitian empiris. Pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah library reseacrh (studi kepustakaan) dan interview (wawancara). Dianalisis secara kualitatif. Berdasarkan hasil penelitian, perlindungan hukum terhadap Anak pada tahap penyidikan dalam Sistem Peradilan Pidana Anak dapat terwujud melalui peran Penegak hukum dalam hal ini Pihak Kepolisian (Penyidik) yaitu melalui Diskresi Kepolisian, Pelaksanaan Diversi dan Faktor pendukung lainnya seperti Infrastruktur baik sarana maupun prasarana dalam proses penyidikan. Selanjutnya, Ada 3 faktor yang menjadi kendala dalam perlindungan hukum terhadap anak pada tahap penyidikan. Pertama, residivis menjadikan salah satu faktor pertimbangan untuk pemberian pemberatan hukuman kepada pelaku anak. Kedua, para pelapor dan/atau korban merasa keadilan itu terpenuhi apabila pelaku anak ini ditahan, diadili, dan dipenjara. Ketiga, kurangnya tempat penitipan anak yang layak menjadi kendala para anak untuk bersosialisasi dengan sesama anak ketika para orang tua bekerja atau tidak berada di lingkungan rumah, khususnya daerah hukum Kepolisian Resort Gowa.
ix
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ............................................................................. i
PERSETUJUAN PEMBIMBING ......................................................... ii
KATA PENGANTAR ........................................................................... iii
ABSTRAK .......................................................................................... vi
DAFTAR ISI ........................................................................................ vii
BAB I PENDAHULUAN ................................................................... 1
A. Latar Belakang Masalah ..................................................... 1
B. Rumusan Masalah .............................................................. 8
C. Tujuan Penelitian ................................................................. 9
D.. Manfaat Penelitian ............................................................... 10
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ......................................................... 11
A. Definisi Anak ...................................................................... 11
B. Hak - hak Anak .................................................................... 14
C. Perlindungan Hukum Anak .................................................. 19
D. Tinjauan Tindak Pidana ....................................................... 28
E. Unsur Tindak Pidana ........................................................... 30
1. Unsur Formal ................................................................ 30
2. Unsur Material ............................................................... 31
F. Tinjauan Tindak Pidana Anak .............................................. 33
1. Definisi Tindak Pidana Anak ......................................... 33
x
2. Bentuk Tindak Pidana Anak .......................................... 36
G. Tinjauan Mengenai Penyidikan dalam Tindak Pidana ......... 37
1. Definisi Penyidikan ........................................................ 37
2. Proses Penyidikan terhadap Anak sebagai pelaku
kejahatan ...................................................................... 41
BAB III METODE PENELITIAN ...................................................... 45
A. Tipe Penelitian .................................................................... 45
B. Lokasi Peneltian .................................................................. 45
C. Jenis Data ............................................................................ 45
D. Metode Pengumpulan Data ................................................. 46
E. Analisis Data ........................................................................ 46
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ......................... 48
A. Upaya Perlindungan Hukum terhadap Anak yang menjadi
Pelaku Tindak Pidana Kekerasan Anak di tingkat
Penyidikan ........................................................................... 48
B. Kendala Penyidik dalam memberikan Perlindungan Hukum
terhadap Anak yang menjadi Pelaku Tindak Pidana
Kekerasan Anak di Polres Gowa ......................................... 65
BAB V PENUTUP............................................................................. 69
A. Kesimpulan ......................................................................... 69
B. Saran .................................................................................. 70
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................ 71
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Masa anak atau pengalaman hidup sebagai anak punya daya tarik
tersendiri. Masa anak juga merupakan masa yang istimewa, tetapi juga
adalah suatu periode batas dalam sejarah hidup seseorang, sebab
keberhasilan atau kegagalan dirinya di awal kehidupan ini sangat
menentukan perkembangan pribadi dan masa depannya kelak. Masalah
anak selalu menjadi pusat perhatian bangsa, karena anak adalah generasi
muda yang merupakan penerus cita-cita bangsa dan merupakan sumber
daya manusia sebagai faktor penting dalam pelaksanaan pembangunan.
Anak merupakan bagian fundamental yang tidak terpisahkan dari
keberlangsungan hidup manusia dan keberlangsungan hidup sebuah bangsa
dan negara. Dalam konstitusi indonesia, anak memiliki peran strategis yang
secara tegas dinyatakan bahwa negara menjamin hak setiap anak atas
kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang serta atas perlindungan dari
kekerasan dan diskriminasi.1 Apabila melihat konsep bernegara Indonesia,
berdasarkan Undang – undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945,
Pasal 1 ayat (3) menetapkan bahwa “Negara Indonesia adalah Negara
hukum”. Konsep negara hukum yang kemudian sangatlah menjunjung tinggi
nilai – nilai hak asasi manusia, maka perlindungan terhadap anak merupakan
1 Lihat Undang – undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945, Pasal 28B ayat (2).
2
bagian dari ketentuan konstitusi negara Indonesia dan kepentingan anak
patut dihayati sebagai kepentingan terbaik bagi kelangsungan hidup
bernegara.
Anak perlu mendapat perlindungan dari dampak negatif
perkembangan pembangunan yang cepat, arus globalisasi di bidang
komunikasi dan informasi, kemajuan ilmu pengetahuan dan tekhnologi, serta
perubahan gaya dan cara hidup sebagian orang tua yang telah membawa
perubahan sosial yang mendasar dalam kehidupan masyarakat yang sangat
berpengaruh terhadap nilai dan perilaku anak. Penyimpangan tingkah laku
atau perbuatan melanggar hukum yang dilakukan oleh anak, antara lain
disebabkan oleh faktor di luar diri anak tersebut.
Anak adalah cikal bakal pemuda. Oleh karena itu, penanganan
terhadap Anak yang berhadapan dengan Hukum janganlah sampai
memunculkan stigmatisasi dan kurangnya atau bahkan ketiadaan pembinaan
terhadap mereka sehingga membuyarkan harapan mereka menjadi pemuda
yang dapat berguna bagi bangsanya. Mengacu hal tersebut penting untuk
menyepakati model penanganan Anak yang berhadapan dengan Hukum.
Prinsip perlindungan hukum terhadap anak harus sesuai dengan
Konvensi Hak – Hak Anak (convention on the rights of the child)
sebagaimana telah diratifikasi oleh pemerintah Republik Indonesia dengan
Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1990 tentang pengesahan Konvensi
Hak – Hak Anak (convention on the rights of the child). Setelah dilakukannya
3
ratifikasi atas Konvensi Hak-Hak Anak oleh Pemerintah Indonesia dengan
mengeluarkan Keppres Nomor 36 Tahun 1990, maka secara hukum
menimbulkan kewajiban kepada Indonesia (negara peserta) untuk
mengimplementasikan hak-hak anak tersebut dengan menyerapnya ke
dalam hukum nasional, dimana dalam hal ini tertuang dalam Undang-Undang
Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak dan Undang -
Undang Nomor 35 Tahun 2014 perubahan atas Undang – undang Nomor 23
tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.
Seperti halnya orang dewasa, anak sebagai pelaku tindak pidana juga
akan mengalami proses hukum yang identik dengan orang dewasa yang
melakukan tindak pidana, arti kata identik disini mengandung arti ”hampir
sama”, yang berbeda hanya lama serta cara penanganannya. Menghadapi
dan menangani proses peradilan anak yang terlibat tindak pidana, maka hal
yang pertama yang tidak boleh dilupakan adalah melihat kedudukannya
sebagai anak dengan semua sifat dan ciri-cirinya yang khusus, dengan
demikian orientasi adalah bertolak dari konsep perlindungan terhadap anak
dalam proses penangannya sehingga hal ini akan berpijak pada konsep
kejahteraan anak dan kepentingan anak tersebut. Penanganan anak dalam
proses hukumnya memerlukan pendekatan, pelayanan, perlakuan,
perawatan serta perlindungan yang khusus bagi anak dalam upaya
memberikan perlindungan hukum terhadap anak yang berhadapan dengan
hukum.
4
Perlindungan anak merupakan suatu bidang Pembangunan Nasional,
melindungi anak adalah melindungi manusia, dan membangun manusia
seutuh mungkin. Hakekat Pembangunan Nasional adalah pembangunan
manusia Indonesia seutuhnya yang berbudi luhur. Mengabaikan masalah
perlindungan anak berarti tidak akan memantapkan pembangunan nasional.2
Akibat tidak adanya perlindungan anak akan menimbulkan berbagai
permasalahan sosial yang dapat mengganggu penegakan hukum, ketertiban,
keamanan, dan pembangunan nasional. Maka, ini berarti bahwa
perlindungan anak harus diusahakan apabila kita ingin mengusahakan
pembangunan nasional yang memuaskan.
Undang – undang Nomor 11 tahun 2012 tentang Sistem Peradilan
Anak, selanjutnya disingkat UU Sistem Peradilan Pidana Anak, dimaksudkan
untuk melindungi dan mengayomi Anak yang berhadapan dengan Hukum.
Undang-Undang ini bermaksud agar Anak dapat menyongsong masa
depannya yang masih panjang serta memberi kesempatan kepada anak agar
melalui pembinaan yang diperoleh jati dirinya untuk menjadi manusia yang
mandiri, bertanggung jawab, dan berguna bagi diri sendiri, keluarga,
masyarakat, Bangsa, dan Negara.
Substansi mendasar yang diatur dalam UU Sistem Peradilan Pidana
Anak adalah pengaturan tegas mengenai keadilan Restoratif dan Diversi
yang dimaksudkan untuk menghindari dan menjauhkan Anak dari proses
2 Romli Atmasasmita, Peradilan Anak di Indonesia, Mandar Maju, 1997, Bandung, hal. 166.
5
peradilan, sehingga dapat menghindari stigmatisasi terhadap anak yang
berhadapan dengan hukum dan diharapkan anak dapat kembali ke dalam
lingkungan sosial secara wajar.3 Proses itu harus bertujuan pada terciptanya
keadilan Restoratif, baik bagi Anak maupun bagi korban. Keadilan Restoratif
yang dimaksud dalam Undang-Undang ini merupakan suatu proses Diversi.
Dalam Diversi semua pihak yang terlibat dalam suatu tindak pidana tertentu
bersama-sama mengatasi masalah serta menciptakan suatu kewajiban untuk
membuat segala sesuatunya menjadi lebih baik dengan melibatkan korban,
Anak, dan masyarakat dalam mencari solusi untuk memperbaiki, rekonsiliasi,
dan menentramkan hati, yang tidak berdasarkan pembalasan. Mengingat ciri
dan sifat khas pada Anak dan demi perlindungan terhadap Anak, perkara
Anak yang berhadapan dengan Hukum, wajib disidangkan di Pengadilan
Pidana Anak yang merupakan bagian dari ruang lingkup Peradilan umum.
Sistem Peradilan Pidana (Criminal Justice System) adalah sistem
dalam suatu masyarakat untuk menanggulangi masalah kejahatan.
Berkenaan dengan istilah sistem peradilan pidana atau criminal justice
system tidak terpisah dari istilah sistem yang digambarkan oleh Davies et.al
sebagai “the word system conveys an impression of a complec to end”
artinya bahwa kata system menunjukkan adanya suatu kesan dari objek yang
3 Lilik Mulyadi, Pengadilan Anak Di Indonesia, CV.Mandar Maju, 2005, Bandung, hal. 55.
6
komplek lainnya dan berjalan dari awal sampai akhir.4 Oleh karena itu, dalam
mewujudkan tujuan sistem tersebut ada empat instansi yang terkait yaitu
kepolisian, kejaksaan, pengadilan dan lembaga pemasyarakatan. Keempat
komponen tersebut harus bekerja sama secara terpadu. Berproses secara
terpadu artinya bahwa keempat sub sistem ini bekerja sama berhubungan
walaupun masing-masing berdiri sendiri. Polisi selaku penyidik melakukan
penyidikan termasuk penyelidikan, penangkapan, penahanan,
penggeledahan, penyitaan dan pemeriksaan surat. Jaksa selaku penuntut
umum melakukan penuntutan berdasarkan hasil penyidikan yang
disampaikan oleh penyidik. Hakim atas dasar dakwaan penuntut umum
melakukan pemeriksaan dalam sidang pengadilan.
Proses penanganan anak yang berhadapan dengan hukum erat
kaitannya dengan penegakan hukum itu sendiri, dimana dalam Sistem
Peradilan Pidana Anak. Menurut Barda Nawawi Arief, Sistem Peradilan
Pidana pada hakikatnya merupakan ”sistem kekuasaan menegakkan hukum
pidana” yang diwujudkan dalam 4 (empat) subsistem yaitu :5
1. Kekuasaan ”Penyidikan” (oleh Badan/Lembaga Penyidik);
2. Kekuasaan ”Penuntutan” (oleh Badan/Lembaga Penuntut Umum);
4 Mardjono Reksodiputro, Kriminlogi dan Sistem Peradilan Pidana, (Pusat Pelayanan dan Pengabdian Hukum Universitas Indonesia), 1997, Jakarta, hal. 84. 5 Barda Nawawi Arief, Kapita Selekta Hukum Pidana tentang Sistem Peradilan Pidana Terpadu, Badan Penerbit Universitas Diponegoro, 2006, Semarang, hal. 20.
7
3. Kekuasaan ”Mengadili dan Menjatuhkan putusan/pidana” (oleh Badan
Pengadilan);
4. Kekuasaan ”Pelaksanaan Putusan Pidana” (oleh Badan/Aparat
Pelaksana/Eksekusi).
Keempat institusi pilar sistem peradilan pidana anak telah diatur dalam
peraturan perundang-undangan tersendiri sebagai landasan yuridis bagi
aparat penegak hukum dalam menjalankan kewenangannya. Oleh karena itu,
perlindungan dalam proses penyidikan kepada anak terhadap tindak pidana
yang dilakukan oleh anak adalah sebagai bentuk perhatian dan perlakuan
khusus untuk melindungi kepentingan anak. Perhatian dan perlakuan khusus
tersebut berupa perlindungan hukum agar anak tidak menjadi korban dari
penerapan hukum yang salah yang dapat menyebabkan penderitaan mental,
fisik dan sosialnya. Perlindungan terhadap anak sudah diatur dalam
ketentuan hukum mengenai anak. Khususnya bagi anak yang melakukan
tindak pidana diatur dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang
Sistem Peradilan Pidana Anak dan Undang - Undang Nomor 35 Tahun 2014
perubahan atas Undang – undang Nomor 23 tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak.
Anak bukan untuk dihukum melainkan harus diberikan bimbingan dan
pembinaan, sehingga bisa tumbuh dan berkembang sebagai anak normal
8
yang sehat dan cerdas seutuhnya.6 Akan tetapi, anak mengalami situasi sulit
yang membuatnya melakukan tindakan yang melanggar hukum. Walaupun
demikian, anak yang melanggar hukum tidaklah layak untuk dihukum apalagi
kemudian dimasukkan dalam penjara.
Polisi sebagai institusi terdepan dalam penegakan hukum memiliki
tanggungjawab yang cukup besar untuk mengharmonisasikan tugas dan
wewenang Polri sebagaimana yang telah diatur dalam Undang – Undang
Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam
menangani anak yang berkonflik dengan hukum, polisi senantiasa harus
memperhatikan kondisi anak yang berbeda dari orang dewasa. Sifat dasar
anak sebagai pribadi yang masih labil, masa depan anak sebagai aset
bangsa, dan kedudukan anak di masyarakat yang masih membutuhkan
perlindungan dapat dijadikan dasar untuk mencari suatu solusi alternatif
bagaimana menghindarkan anak dari suatu sistem peradilan pidana formal,
penempatan anak dalam penjara, dan stigmatisasi terhadap kedudukan anak
sebagai narapidana.
Proses penyidikan merupakan suatu tahap awal dimana seorang anak
berhadapan dengan polisi, Penyimpangan yang biasanya sering terjadi
dalam proses penyidikan tindak pidana anak berupa penganiyaan,
pemukulan dan perlakuan buruk lainnya serta penempatannya satu sel dalam
tahanan dengan tersangka dewasa. Hal ini jelas bertentangan dengan
6 M. Nasir Djamil, Anak Bukan Untuk Dihukum, Sinar Grafika, 2013, hal.1.
9
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana
Anak dan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan
Anak. yang harus memberikan jaminan perlindungan hak-hak anak secara
lebih kuat ketika berhadapan dengan hukum dan harus menjalani proses
peradilan.
Berdasarkan data statistik kriminal Polres Gowa, terjadi peningkatan
kasus anak sebagai tindak pidana khususnya dalam kasus kekerasan fisik.
Pada tahun 2014 ada 10 laporan yang masuk ke Polres Gowa, lalu kemudian
pada tahun 2017 meningkat menjadi 43 laporan yang masuk ke Polres
Gowa.7 Oleh karena itu, atas dasar situasi inilah penulis tertarik menguraikan
lebih jauh mengenai anak yang berkonflik dengan hukum yaitu khususnya
sebagai pelaku tindak pidana kekerasan anak dalam penulisan skripsi
mengenai “Perlindungan Hukum terhadap Anak sebagai Pelaku yang
menjadi Pelaku Tindak Pidana khususnya Kekerasan Anak Ditingkat
Penyidikan”.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimanakah upaya perlindungan hukum terhadap anak sebagai
pelaku tindak pidana kekerasan anak di tingkat penyidikan ?
2. Bagaimanakah kendala penyidik dalam memberikan perlindungan
hukum terhadap anak sebagai pelaku tindak pidana kekerasan anak di
Kepolisian Resort Gowa ?
7 Data dari Unit PPA, Polres Gowa, Sulawesi Selatan.
10
C. Tujuan Penelitian
1. Untuk mengetahui upaya perlindungan hukum terhadap anak sebagai
pelaku tindak pidana kekerasan di tingkat penyidikan.
2. Untuk mengetahui peran penyidik dalam perlindungan hukum
terhadap anak sebagai pelaku tindak pidana kekerasan anak di
Kepolisian Resort Gowa.
D. Manfaat Penilitian
1. Secara teoretis, memberikan sumbangsih pemikiran yang bermanfaat
bagi perkembangan ilmu pengetahuan dan dapat menjadi referensi
khususnya bagi kalangan di bidang hukum dan bagi seluruh
masyarakat pada umumnya.
2. Secara praktis, Memberikan sumbangsih pemikiran di bidang Hukum
Pidana khususnya terkait dalam menangani perlindungan hukum
terhadap anak yang menjadi pelaku tindak pidana.
11
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Definisi Anak, Hak – Hak Anak, dan Perlindungan Hukum Anak.
1. Definisi Anak
Berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), anak adalah
keturunan kedua. Dalam Undang – undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang
perlindungan anak, dikatakan bahwa anak adalah amanah dan karunia
Tuhan Yang Maha Esa, yang dalam dirinya melekat harkat dan martabat
sebagai manusia seutuhnya. Lebih lanjut dikatakan bahwa anak adalah
tunas, potensi, dan generasi muda penerus cita – cita perjuangan bangsa,
memiliki peran strategis dan mempunyai ciri dan sifat khusus yang menjamin
kelangsungan eksistensi bangsa dan negara pada masa depan. 8 Oleh
karena itu, agar setiap anak kelak mampu memikul tanggung jawab tersebut,
maka ia perlu mendapat kesempatan yang seluas – luasnya untuk tumbuh
dan berkembang secara optimal, baik fisik, mental maupun sosial, dan
berakhlak mulia, perlu dilakukan upaya perlindungan serta untuk
mewujudkan kesejahteraan anak dengan memberikan jaminan terhadap
pemenuhan hak – haknya serta adanya perlakuan diskriminasi.
8 Ibid. hal. 8
12
Kemudian di dalam hukum adat sebagaimana yang dinyatakan oleh
Soerojo Wignjodipoero bahwa:9
”kecuali dilihat oleh orang tuanya sebagai penerus generasi juga anak
itu dipandang pula sebagai wadah di mana semua harapan orang
tuanya kelak kemudian hari wajib ditumpahkan, pula dipandang
sebagai pelindung orang tuanya kelak bila orang tua itu sudah tidak
mampu lagi secara fisik untuk mencari nafkah”
Berikut ini merupakan pengertian anak menurut beberapa peraturan
perundang-undangan yang berlaku Di Indonesia antara lain:
1) Undang – undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum
Pidana dalam Pasal 45 menyatakan hal penuntutan pidana
terhadap orang yang belum dewasa yang berumur di bawah enam
belas tahun karena melakukan suatu perbuatan, hakim dapat
menentukan: memerintahkan supaya yang bersalah itu
dikembalikan kepada orang tuanya, walinya atau pemeliharanya,
tanpa dikenakan suatu pidana apa pun; atau memerintahkan
supaya yang bersalah itu diserahkan kepada pemerintah tanpa
pidana apa pun, bila perbuatan tersebut merupakan kejahatan atau
salah satu pelanggaran berdasarkan Pasal 489, 490, 492, 496,
497, 503-505, 514, 517-519, 526, 531, 532, 536, dan 540 KUHP,
serta belum lewat dua tahun seiak dinyatakan bersalah karena
melakukan kejahatan atau salah satu pelanggaran tersebut di alas,
9 Ibid. hal. 10
13
dan putusannya telah menjadi tetap atau menjatuhkan pidana
kepada yang bersalah.
2) Undang – undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak,
Anak adalah orang yang dalam perkara Anak Nakal telah
mencapai umum 8 (delapan) tahun tetapi belum mencapai umur 18
(delapan belas) tahun dan belum pernah kawin.
3) Undang – undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi
Manusia dinyatakan bahwa anak adalah setiap manusia yang
berusia di bawah 18 (delapan belas) tahun dan belum menikah,
termasuk anak yang masih dalam kandungan apabila hal tersebut
adalah demi kepentingannya.
4) Undang – undang Nomor 35 Tahun 2014 Perubahan atas Undang
– undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan anak
dinyatakan bahwa anak adalah seseorang yang belum berusia 18
tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan.
5) Convention On The Rights Of Child (1989) yang telah diratifikasi
pemerintah Indonesia melalui Keppres Nomor 39 Tahun 1990
disebutkan bahwa anak adalah mereka yang berusia 18 tahun
kebawah.
6) Undang – undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan
membolehkan bekerja 15 tahun,
14
7) Undang – undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional memberlakukan Wajib belajar 9 tahun, yang
dikonotasikan menjadi anak berusia 7 sampai 15 tahun.
8) Undang – undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan
Anak menyatakan Anak yang Berkonflik dengan Hukum yang
selanjutnya disebut Anak adalah anak yang telah berumur 12 (dua
belas) tahun, tetapi belum berumur 18 (delapan belas) tahun yang
diduga melakukan tindak pidana.
Berdasarkan beberapa ketentuan diatas, maka dapat dinyatakan
dapat diperoleh suatu kesimpulan bahwa penetapan batas umur anak adalah
relatif tergantung pada kepentingannya.
2. Hak – Hak Anak
Berikut ini merupakan hak-hak anak menurut beberapa peraturan
perundang-undangan yang berlaku Di Indonesia antara lain:
a. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak
Dalam Bab II Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang
Kesejahteraan Anak, mengatur tentang hak-hak anak atas
kesejahteraan, yaitu:
1) Hak atas kesejahteraan, perawatan, asuhan dan bimbingan.
2) Hak atas pelayanan.
15
3) Hak atas pemeliharaan dan perlindungan.
4) Hak atas perlindungan lingkungan hidup.
5) Hak mendapatkan pertolongan pertama.
6) Hak untuk memperoleh asuhan.
7) Hak untuk memperoleh bantuan.
8) Hak diberi pelayanan dan asuhan.
9) Hak untuk memeperoleh pelayanan khusus.
10) Hak untuk mendapatkan bantuan dan pelayanan.
b. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia
Hak anak dalam Undang-Undang ini diatur dalam Bab III bagian kesepuluh,
pasal 52-66, yang meliputi:
1) Hak atas perlindungan
2) Hak untuk hidup, mempertahankan hidup, dan meningkatkan taraf
kehidupannya.
3) Hak atas suatu nama dan status kewarganegaraan.
4) Bagi anak yang cacat fisik dan atau mental hak:
a) memperoleh perawatan, pendidikan, pelatihan, dan bantuan
khusus.
b) untuk menjamin kehidupannya sesuai dengan martabat
kemanusiaan,
c) berpartisipasi dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa,
dan bernegara.
16
5) Hak untuk beribadah menurut agamanya.
6) Hak untuk dibesarkan, dipelihara, dirawat, dididik, diarahkan, dan
dibimbing.
7) Hak untuk mendapatkan perlindungan hukum.
8) Hak memperoleh pendidikan dan pengajaran.
9) Hak memperoleh pelayanan kesehatan dan jaminan sosial.
10) Hak untuk tidak dirampas kebebasannya secara melawan hukum.
Selain itu, secara khusus dalam Pasal 66 Undang-Undang 39 Tahun
1999 tentang hak anak-anak yang dirampas kebebasannya, yakni meliputi:
a) Hak untuk tidak dijatuhi hukuman mati atau hukuman seumur
hidup.
b) Hak untuk mendapatkan perlakuan secara manusiawi dan
dengan memperhatikan kebutuhan pengembangan pribadi
sesuai dengan usianya dan harus dipisahkan dari orang
dewasa, kecuali demi kepentingannya.
c) Hak untuk memperoleh bantuan hukum atau bantuan lainnya
secara efektif dalam setiap tahapan upaya hukum yang
berlaku.
d) Hak untuk membela diri dan memperoleh keadilan di depan
Pengadilan Anak yang objektif dan tidak memihak dalam
sidang yang tertutup untuk umum.
c. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak
17
Dalam Undang-Undang Perlindungan Anak ini, hak-hak anak diatur
dalam Pasal 4 - Pasal 18, yang meliputi:
1) Hak untuk hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi, serta
mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.
2) Hak atas suatu nama sebagai identitas diri dan status
kewarganegaraan.
3) Hak untuk beribadah menurut agamanya.
4) Hak memperoleh pelayanan kesehatan dan jaminan sosial.
5) Hak memperoleh pendidikan dan pengajaran.
6) Bagi anak yang menyandang cacat juga hak memperoleh
pendidikan luar biasa, sedangkan bagi anak yang memiliki
keunggulan juga hak mendapatkan pendidikan khusus.
7) Hak menyatakan dan didengar pendapatnya.
8) Hak untuk beristirahat dan memanfaatkan waktu luang..
9) Bagi anak penyandang cacat berhak memperoleh rehabilitasi,
bantuan sosial, dan pemeliharaan taraf kesejahteraan sosial.
10) Bagi anak yang berada dalam pengasuhan orang tua/ wali, berhak
mendapat perlindungan dari perlakuan:
a) Diskriminasi;
b) Eksploitasi, baik ekonomi maupun seksual;
c) Penelantaran;
d) Kekejaman, kekerasan, dan penganiayaan;
18
e) Ketidakadilan; dan
f) Perlakuan salah lainnya.
11) Hak untuk memperoleh perlindungan dari :
a) Penyalahgunaan dalam kegiatan politik;
b) Pelibatan dalam sengketa bersenjata;
c) Pelibatan dalam kerusuhan sosial;
d) Pelibatan dalam peristiwa yang mengandung unsur
kekerasan; dan
e) Pelibatan dalam peperangan.
12) Hak untuk memperoleh kebebasan sesuai dengan hukum.
13) Setiap anak yang dirampas kebebasannya hak untuk :
a) Mendapatkan perlakuan secara manusiawi dan
penempatannya dipisahkan dari orang dewasa;
b) Memperoleh bantuan hukum atau bantuan lainnya secara
efektif dalam setiap tahapan upaya hukum yang berlaku; dan
c) Membela diri dan memperoleh keadilan di depan pengadilan
anak yang objektif dan tidak memihak dalam sidang tertutup
untuk umum.
14) Setiap anak yang menjadi korban atau pelaku kekerasan seksual
atau yang berhadapan dengan hukum berhak dirahasiakan.
15) Setiap anak yang menjadi korban atau pelaku tindak pidana
berhak mendapatkan bantuan hukum dan bantuan lainnya.
19
Konstitusi Indonesia, Undang – Undang Dasar Negara Republik
Indonesia 1945 sebagai norma hukum tertinggi telah menggariskan bahwa
“setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang
serta berhak atas perlindungan kekerasan dan diskriminasi” 10 . Dengan
dicantumkannya hak anak tersebut dalam batang tubuh konstitusi, maka bisa
diartikan bahwa kedudukan dan perlindungan hak anak merupakan hal
penting yang harus dijabarkan lebih lanjut dan dijalankan dalam kenyataan
sehari – hari.
3. Perlindungan Hukum
Dalam kaitannya dengan perlindungan hukum terhadap anak di
Indonesia, telah ditegaskan dalam Pasal 34 Undang-Undang Dasar 1945
bahwa “Fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh negara”.
Menindaklanjuti hal tersebut maka pemerintah telah membuat berbagai
peraturan perundang-undangan yang memuat mengenai hak – hak anak.
Wagiati Soetodjo dalam bukunya Hukum Pidana Anak mengklasifikasikannya
sebagai berikut:
a. Bidang hukum, melalui Undang-Undang No. 3 Tahun 1997 tentang
Peradilan Anak.
10 Lihat Pasal 28B ayat (2) UUD 1945
20
b. Bidang kesehatan melalui Undang-Undang No. 9 Tahun 1960 tentang
Pokok-pokok Kesehatan, diatur dalam Pasal 1, Pasal 3 ayat (1), dan
Pasal 9 ayat (2).
c. Bidang pendidikan diatur melalui Undang-Undang Dasar 1945 Pasal
31 ayat (1) dan Undang-Undang No. 12 Tahun 1954 tentang Dasar-
dasar Pendidikan dan Pengajaran di Sekolah, diatur dalam Pasal 19
dan Pasal 17.
d. Bidang ketenagakerjaan, melalui Ordonansi tanggal 17 Desember
1925 tentang Peraturan Pembatasan Kerja Anak dan Kerja Malam
bagi Wanita jo Ordonansi tanggal 27 Februari 1926 stbl. No. 87 Tahun
1926 ditetapkan tanggal 1 Mei 1976 tentang Peraturan Mengenai
Keselamatan Kerja Anak-anak dan Orang-orang muda di atas Kapal jo
Undang-Undang No. 1 Undang-Undang Keselamatan Kerja stbl. 1947
No. 208 jo Undang-Undang No. 1 Tahun 1951 yang memberlakukan
Undang-Undang Kerja No. 12 Tahun 1948 di Republik Indonesia.
e. Bidang kesejahteraan sosial, melalui Undang-Undang No. 4 Tahun
1979 tentang Kesejahteraan Anak.
Dalam perkembangannya perlindungan terhadap anak di bidang
hukum juga ditur dalam Undang-Undang No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem
Peradilan Pidana Anak. Perlindungan hukum terhadap anak di Indonesia,
telah diatur dalam berbagai peraturan perundang-undangan, namun secara
khusus diatur dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang
21
Perlindungan Anak. Menurut pasal 1 nomor 2 , Undang-Undang Nomor 23
Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak disebutkan bahwa: Perlindungan
anak adalah segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dan hak-
haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi, secara
optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan serta mendapat
perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak,
meliputi:
a. Perlindungan di bidang Agama
1) Perlindungan untuk beribadah menurut agamanya.
2) Perlindungan anak dalam memeluk agamanya dijamin oleh negara,
pemerintah, masyarakat, keluarga, orang tua, wali, dan lembaga
sosial. Perlindungan anak dalam memeluk agamanya meliputi
pembinaan, pembimbingan, dan pengamalan ajaran agama bagi
anak.
b. Perlindungan di bidang Kesehatan
1) Pemerintah wajib menyediakan fasilitas dan menyelenggarakan
upaya kesehatan yang komprehensif bagi anak.
2) Orang tua dan keluarga bertanggung jawab menjaga kesehatan
anak jika tidak mampu melaksanakan tanggung jawab, maka
pemerintah wajib memenuhinya.
22
3) Negara, pemerintah, keluarga, dan orang tua wajib mengusahakan
agar anak yang lahir terhindar dari penyakit yang mengancam
kelangsungan hidup dan/atau menimbulkan kecacatan
4) Negara, pemerintah, keluarga, dan orang tua wajib melindungi
anak dari upaya transplantasi organ tubuhnya untuk pihak lain.
5) Negara, pemerintah, keluarga, dan orang tua wajib melindungi
anak dari perbuatan :
a) Pengambilan organ tubuh anak dan/atau jaringan tubuh anak
tanpa memperhatikan kesehatan anak;
b) Jual beli organ dan/atau jaringan tubuh anak; dan
c) Penelitian kesehatan yang menggunakan anak sebagai objek
penelitian tanpa seizin orang tua dan tidak mengutamakan
kepentingan yang terbaik bagi anak.
c. Perlindungan di bidang Pendidikan
1) Pemerintah wajib menyelenggarakan pendidikan dasar minimal 9
(sembilan) tahun untuk semua anak.
2) Anak yang menyandang cacat fisik dan/atau mental diberikan
kesempatan yang sama dan aksesibilitas untuk memperoleh
pendidikan biasa dan pendidikan luar biasa.
3) Anak yang memiliki keunggulan diberikan kesempatan dan
aksesibilitas untuk memperoleh pendidikan khusus.
23
4) Pemerintah bertanggung jawab untuk memberikan biaya
pendidikan dan/atau bantuan cuma-cuma atau pelayanan khusus
bagi anak dari keluarga kurang mampu, anak terlantar, dan anak
yang bertempat tinggal di daerah terpencil.
5) Anak di dalam dan di lingkungan sekolah wajib dilindungi dari
tindakan kekerasan yang dilakukan oleh guru, pengelola sekolah
atau teman-temannya di dalam sekolah yang bersangkutan, atau
lembaga pendidikan lainnya.
d. Perlindungan di bidang Sosial
1) Pemerintah wajib menyelenggarakan pemeliharaan dan
perawatan anak terlantar dalam hal penyelenggaraan
pemeliharaan dan perawatan pengawasannya dilakukan oleh
Menteri Sosial.
2) Pemerintah dalam menyelenggarakan pemeliharaan dan
perawatan wajib mengupayakan dan membantu anak, agar anak
dapat :
a) Berpartisipasi;
b) Bebas menyatakan pendapat dan berpikir sesuai dengan hati
nurani dan agamanya;
c) Bebas menerima informasi lisan atau tertulis sesuai dengan
tahapan usia dan perkembangan anak;
d) Bebas berserikat dan berkumpul;
24
e) Bebas beristirahat, bermain, berekreasi, berkreasi, dan
berkarya seni budaya; dan memperoleh sarana bermain yang
memenuhi syarat kesehatan dan keselamatan.
3) Anak terlantar karena suatu sebab orang tuanya melalaikan
kewajibannya, maka lembaga, keluarga, atau pejabat yang
berwenang dapat mengajukan permohonan ke pengadilan untuk
menetapkan anak sebagai anak terlantar.
4) Penetapan pengadilan sebagaimana dimaksud sekaligus
menetapkan tempat penampungan, pemeliharaan, dan
perawatan anak.
e. Perlindungan Khusus
1) Perlindungan khusus bagi anak yang menjadi pengungsi
dilaksanakan sesuai dengan ketentuan hukum humaniter.
2) Perlindungan khusus bagi anak korban kerusuhan, korban
bencana, dan anak dalam situasi konflik bersenjata, meliputi:
a) Pemenuhan kebutuhan dasar, yaitu: pangan, sandang,
pemukiman, pendidikan, kesehatan, belajar dan berekreasi,
jaminan keamanan, dan persamaan perlakuan; dan
b) Pemenuhan kebutuhan khusus bagi anak yang menyandang
cacat dan anak yang mengalami gangguan psikososial.
25
3) Perlindungan khusus bagi anak yang berhadapan dengan
hukum, anak yang berkonflik dengan hukum dan anak korban
tindak pidana, meliputi:
a) Perlakuan atas anak secara manusiawi sesuai dengan
martabat dan hak-hak anak;
b) Penyediaan petugas pendamping khusus anak sejak dini;
c) Penyediaan sarana dan prasarana khusus;
d) Penjatuhan sanksi yang tepat untuk kepentingan yang terbaik
bagi anak;
e) Pemantauan dan pencatatan terus menerus terhadap
perkembangan anak yang berhadapan dengan hukum;
f) Pemberian jaminan untuk mempertahankan hubungan
dengan orang tua atau keluarga; dan
g) Perlindungan dari pemberitaan identitas melalui media massa
dan untuk menghindari labelisasi.
4) Perlindungan khusus bagi anak yang menjadi korban tindak
pidana meliputi:
a) Upaya rehabilitasi, baik dalam lembaga maupun di luar
lembaga;
b) Upaya perlindungan dari pemberitaan identitas melalui media
massa dan untuk menghindari labelisasi;
26
c) Pemberian jaminan keselamatan bagi saksi korban dan saksi
ahli, baik fisik, mental, maupun sosial; dan
d) Pemberian aksesibilitas untuk mendapatkan informasi
mengenai perkembangan perkara.
5) Perlindungan khusus bagi anak dari kelompok minoritas dan
terisolasi dilakukan melalui penyediaan prasarana dan sarana
untuk dapat menikmati budayanya sendiri, mengakui dan
melaksanakan ajaran agamanya sendiri, dan menggunakan
bahasanya sendiri.
6) Perlindungan khusus bagi anak yang dieksploitasi secara
ekonomi dan/atau seksual, meliputi:
a) Penyebarluasan dan/atau sosialisasi ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berkaitan dengan perlindungan
anak yang dieksploitasi secara ekonomi dan/atau seksual;
b) Pemantauan, pelaporan, dan pemberian sanksi; dan
c) Pelibatan berbagai instansi pemerintah, perusahaan, serikat
pekerja, lembaga swadaya masyarakat, dan masyarakat
dalam penghapusan eksploitasi terhadap anak secara
ekonomi dan/atau seksual.
7) Perlindungan khusus bagi anak yang menjadi korban
penyalahgunaan narkotika, alkohol, psikotropika, dan zat adiktif
lainnya (napza), dan terlibat dalam produksi dan distribusinya,
27
dilakukan melalui upaya pengawasan, pencegahan, perawatan,
dan rehabilitasi oleh pemerintah dan masyarakat.
8) Perlindungan khusus bagi anak korban penculikan, penjualan,
dan perdagangan anak dilakukan melalui upaya pengawasan,
perlindungan, pencegahan, perawatan, dan rehabilitasi oleh
pemerintah dan masyarakat.
9) Perlindungan khusus bagi anak korban kekerasan meliputi
kekerasan fisik, psikis, dan seksual dilakukan melalui upaya :
a) Penyebarluasan dan sosialisasi ketentuan peraturan
perundang-undangan yang melindungi anak korban tindak
kekerasan; dan pemantauan, pelaporan, dan pemberian
sanksi.
10) Perlindungan khusus bagi anak yang menyandang cacat
dilakukan melalui upaya :
a) Perlakuan anak secara manusiawi sesuai dengan martabat
dan hak anak;
b) Pemenuhan kebutuhan-kebutuhan khusus; dan
c) Memperoleh perlakuan yang sama dengan anak lainnya untuk
mencapai integrasi sosial sepenuh mungkin dan
pengembangan individu.
28
11) Perlindungan khusus bagi anak korban perlakuan salah dan
penelantaran dilakukan melalui pengawasan, pencegahan,
perawatan, dan rehabilitasi oleh pemerintah dan masyarakat.
B. Pengertian Tindak Pidana dan Unsur Tindak Pidana
1. Pengertian Tindak Pidana
Pengertian tindak pidana yang di muat di dalam Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana (KUHP) oleh pembentuk undang-undang sering disebut
dengan strafbaarfeit. Para pembentuk undang-undang tersebut tidak
memberikan penjelasan lebih lanjut mengenai strafbaarfeit itu, maka dari itu
terhadap maksud dan tujuan mengenai strafbaarfeit tersebut sering
dipergunakan oleh pakar hukum pidana dengan istilah tindak pidana,
perbuatan pidana, peristiwa pidana, serta delik.
Seperti yang diungkapkan oleh seorang ahli hukum pidana yaitu
Moeljatno yang berpendapat bahwa pengertian tindak pidana yang menurut
istilah beliau yakni perbuatan pidana adalah :
”Perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum larangan mana
disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu, bagi barang siapa
melanggar larangan tersebut”
Jadi berdasarkan pendapat tersebut di atas pengertian dari tindak
pidana yang dimaksud adalah bahwa perbuatan pidana atau tindak pidana
senantiasa merupakan suatu perbuatan yang tidak sesuai atau melanggar
29
suatu aturan hukum atau perbuatan yang dilarang oleh aturan hukum yang
disertai dengan sanksi pidana yang mana aturan tersebut ditujukan kepada
perbuatan sedangkan ancamannya atau sanksi pidananya ditujukan kepada
orang yang melakukan atau orang yang menimbulkan kejadian tersebut.
Dalam hal ini maka terhadap setiap orang yang melanggar aturan-aturan
hukum yang berlaku, dengan demikian dapat dikatakan terhadap orang
tersebut sebagai pelaku perbuatan pidana atau pelaku tindak pidana. Akan
tetapi haruslah diingat bahwa aturan larangan dan ancaman mempunyai
hubungan yang erat, oleh karenanya antara kejadian dengan orang yang
menimbulkan kejadian juga mempunyai hubungan yang erat pula.11
Adapun perumusan tersebut yang mengandung kalimat “Aturan
Hukum Pidana” dimaksudkan akan memenuhi keadaan hukum di Indonesia
yang masih mengenal kehidupan hukum yang tertulis maupun hukum yang
tidak tertulis, Bambang Poernomo juga berpendapat mengenai kesimpulan
dari perbuatan pidana yang dinyatakan hanya menunjukan sifat perbuatan
terlarang dengan diancam pidana. Maksud dan tujuan diadakannya istilah
tindak pidana, perbuatan pidana, maupun peristiwa hukum dan sebagainya
itu adalah untuk mengalihkan bahasa dari istilah asing straftbaar feit namun
belum jelas apakah disamping mengalihkan bahasa dari istilah straftbaar feit
dimaksudkan untuk mengalihkan makna dan pengertiannya, juga oleh karena
sebagian besar kalangan ahli hukum belum jelas dan terperinci menerangkan
11 Ibid
30
pengertian istilah, ataukah sekedar mengalihkan bahasanya, hal ini yang
merupakan pokok perbedaan pandangan, selain itu juga ditengah-tengah
masyarakat juga dikenal istilah kejahatan yang menunjukkan pengertian
perbuatan melanggar norma dengan mendapat reaksi masyarakat melalui
putusan Hakim agar dijatuhi pidana 12.
2. Unsur – Unsur Tindak Pidana
Unsur tindak pidana terbagi atas 2 (Dua) unsur, yakni unsur formal
dan unsur material, unsur formal meliputi 13 :
- Perbuatan manusia, yaitu perbuatan dalam arti luas, artinya tidak berbuat yang termasuk perbuatan dan dilakukan oleh manusia.
- Melanggar peraturan pidana. dalam artian bahwa sesuatu akan dihukum apabila sudah ada peraturan pidana sebelumnya yang telah mengatur perbuatan tersebut, jadi hakim tidak dapat menuduh suatu kejahatan yang telah dilakukan dengan suatu peraturan pidana, maka tidak ada tindak pidana.
- Diancam dengan hukuman, hal ini bermaksud bahwa KUHP mengatur tentang hukuman yang berbeda berdasarkan tindak pidana yang telah dilakukan.
- Dilakukan oleh orang yang bersalah, dimana unsur-unsur kesalahan yaitu harus ada kehendak, keinginan atau kemauan dari orang yang melakukan tindak pidana serta Orang tersebut berbuat sesuatu dengan sengaja, mengetahui dan sadar sebelumnya terhadap akibat perbuatannya. Kesalahan dalam arti sempit dapat diartikan kesalahan yang disebabkan karena si pembuat kurang memperhatikan akibat yang tidak dikehendaki oleh undang-undang.
- Pertanggungjawaban yang menentukan bahwa orang yang tidak sehat ingatannya tidak dapat diminta pertanggungjawabannya. Dasar dari pertanggungjawaban seseorang terletak dalam keadaan jiwanya.
12 Moeljatno, 2009. Asas-asas Hukum Pidana, Rineke Cipta,Jakarta 13 Ibid
31
Unsur material dari tindak pidana bersifat bertentangan dengan
hukum, yaitu harus benar-benar dirasakan oleh masyarakat sehingga
perbuatan yang tidak patut dilakukan. Jadi meskipun perbuatan itu memenuhi
rumusan undang-undang, tetapi apabila tidak bersifat melawan hukum, maka
perbuatan itu bukan merupakan suatu tindak pidana. Unsur-unsur tindak
pidana dalam ilmu hukum pidana dibedakan dalam dua macam, yaitu unsur
objektif dan unsur subjektif. Unsur objektif adalah unsur yang terdapat di luar
diri pelaku tindak pidana. Unsur ini meliputi :14
- Perbuatan atau kelakuan manusia, dimana perbuatan atau kelakuan manusia itu ada yang aktif (berbuat sesuatu), misal membunuh (Pasal 338 KUHP), menganiaya (Pasal 351 KUHP).
- Akibat yang menjadi syarat mutlak dari delik. Hal ini terdapat dalam delik material atau delik yang dirumuskan secara material, misalnya pembunuhan (Pasal 338 KUHP), penganiayaan (Pasal 351 KUHP), dan lain-lain.
- Ada unsur melawan hukum. Setiap perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana oleh peraturan perundang-undangan hukum pidana itu harus bersifat melawan hukum, meskipun unsur ini tidak dinyatakan dengan tegas dalam perumusan.
Unsur lain yang menentukan sifat tindak pidana :
Ada beberapa tindak pidana yang untuk mendapat sifat tindak pidanya
itu memerlukan hal-hal objektif yang menyertainya, seperti penghasutan
(Pasal 160 KUHP), melanggar kesusilaan (Pasal 281 KUHP), pengemisan
(Pasal 504 KUHP), mabuk (Pasal 561 KUHP). Tindak pidana tersebut harus
dilakukan di muka umum.
14 Ibid
32
Unsur yang memberatkan tindak pidana. Hal ini terdapat dalam delik-
delik yang dikualifikasikan oleh akibatnya, yaitu karena timbulnya akibat
tertentu, maka ancaman pidana diperberat, contohnya merampas
kemerdekaan seseorang (Pasal 333 KUHP) diancam dengan pidana penjara
paling lama 8 (delapan) tahun, jika perbuatan itu mengakibatkan luka-luka
berat ancaman pidana diperberat lagi menjadi pidana penjara paling lama 12
(dua belas) tahun.
Unsur tambahan yang menentukan tindak pidana. Misalnya dengan
sukarela masuk tentara asing, padahal negara itu akan berperang dengan
Indonesia, pelakunya hanya dapat dipidana jika terjadi pecah perang (Pasal
123 KUHP).
Tindak pidana juga mengenal adanya unsur subjektif, unsur ini meliputi :15
- Kesengajaan (dolus), dimana hal ini terdapat di dalam pelanggaran kesusilaan (Pasal 281 KUHP), perampasan kemerdekaan (Pasal 333 KUHP), pembunuhan (Pasal 338).
- Kealpaan (culpa), dimana hal ini terdapat di dalam perampasan kemerdekaan (Pasal 334 KUHP), dan menyebabkan kematian (Pasal 359 KUHP), dan lain-lain.
- Niat (voornemen), dimana hal ini terdapat di dalam percobaan atau poging (Pasal 53 KUHP)
- Maksud (oogmerk), dimana hal ini terdapat dalam pencurian (Pasal 362 KUHP), pemerasan (Pasal 368 KUHP), penipuan (Pasal 378 KUHP), dan lain-lain
- Dengan rencana lebih dahulu (met voorbedachte rade), dimana hal ini terdapat dalam membuang anak sendiri (Pasal 308 KUHP), membunuh anak sendiri (Pasal 341 KUHP), membunuh anak sendiri dengan rencana (Pasal 342 KUHP).
15 Leden Marpaung, 2009. Asas – Teori - Praktik Hukum Pidana, Sinar Grafika, Jakarta.
33
C. Tinjauan Tindak Pidana Anak
1. Definisi Tindak Pidana Anak
Tindak pidana anak adalah tindak pidana yang dilakukan oleh anak-
anak. Tindak pidana anak dapat dihubungkan dengan istilah “Juvenile
Deliquency”, yang dalam Bahasa Indonesia dikenal dengan beragam istilah,
yaitu kenakalan anak, kenakalan remaja, kenakalan pemuda, taruna tersesat,
ataupun jalin quersi anak. Secara etimologis dapat dijabarkan bahwa
“Juvenile” berarti “anak” sedangkan “Deliquency” berarti “kejahatan”. Dengan
demikian “Juvenile Deliquency” adalah “Kejahatan Anak ”, sedangkan apabila
menyangkut subjek atau pelakunya, maka “Juvenile Deliquency” berarti
penjahat anak atau anak jahat.
Paulus Hadisuprapto yang menyebutkan bahwa yang dimaksud
Juvenile Delinquency adalah:16
Setiap perbuatan atau tingkah laku seseorang anak di bawah
umur 18 tahun dan belum kawin yang merupakan pelanggaran
terhadap norma-norma yang berlaku serta dapat membahayakan
perkembangan pribadi si anak yang bersangkutan.
Selain itu, Dr. Fuad Hasan dalam Sudarsono juga merumuskan bahwa
“Juvenile Delinquency”, adalah perbuatan anti sosial yang dilakukan oleh
anak remaja yang bilamana dilakukan orang dewasa dikualifikasikan sebagai
16 Paulus Hadisuprapto, Delinkuensi Anak Pemahaman dan Penanggulangannya, (Malang: Selaras, 2010), hal. 11.
34
tindak pidana. Khumaidi Tohar juga merumuskan bahwa yang dikatan
sebagai “Juvenile Delinquency” adalah:17
Perilaku jahat/dursila, atau kejahatan/kenakalan anak-anak
muda, merupakan gejala sakit (patologi) secara sosial pada anak-anak
dan remaja yang disebabkan oleh suatu bentuk pengabaian sosial
sehingga mereka itu mengembangkan bentuk pengabaian tingkah laku
yang menyimpang.
Juvenile Delinquency merupakan istilah yang dalam bahasa Indonesia
melahirkan berbagai macam istilah dengan latar belakang pemikiran sendiri-
sendiri. Salah satu terjemahan Juvenile Delinquency adalah perilaku
delinkuensi anak. Menurut Pasal 1 Huruf 2 Undang-Undang No.3 Tahun
1997 tentang Pengadilan Anak, terdapat dua kategori perilaku anak yang
dapat membuat seorang anak berhadapan dengan hukum yakni status
offences dan criminal offences. Status Offence adalah perilaku kenakalan
anak yang apabila dilakukan oleh orang dewasa tidak dianggap sebagai
kejahatan, seperti tidak menurut, membolos sekolah atau kabur dari rumah;
sedangkan Criminal Offence adalah perilaku kenakalan anak yang apabila
dilakukan oleh orang dewasadianggap kejahatan atau pelanggaran hukum.
Namun terlalu ekstrim apabila tindak pidana yang dilakukan oleh anak-
anak disebut dengan kejahatan, karena pada dasarnya anak-anak memiliki
kondisi kejiwaan yang labil, proses kemantapan psikis menghasilkan sikap
17 Khumaidi Tohar, Artikel “Memahami perilaku Delinkuensi dan Rasionalisasinya” (Jakarta: 2007), hal. 2.
35
kritis, agresif dan menunjukkan tingkah laku yang cenderung bertindak
mengganggu ketertiban umum. Hal ini belum dapat dikatakan sebagai
kejahatan, melainkan kenakalan yang ditimbulkan akibat dari kondisi
psikologis yang tidak seimbang dan si pelaku belum sadar dan mengerti atas
tindakan yang telah dilakukannya.18
Ada beberapa faktor penyebab yang paling mempengaruhi timbulnya
kejahatan yang dilakukan anak, yaitu:19
1. Faktor lingkungan
2. Faktor ekonomi/ sosial
3. Faktor psikologis
Tindakan kenakalan yang dilakukan oleh anak-anak merupakan
manifestasi dari kepuberan remaja tanpa ada maksud merugikan orang lain
seperti yang diisyaratkan dalam suatu perbuatan kejahatan yang tercantum
dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dimana pelaku harus
menyadari akibat dari perbuatannya itu serta pelaku mampu bertanggung
jawab terhadap perbuatannya tersebut. Oleh karena itu, perlu adanya
kesadaran diri dari orang tua anak yang bersangkutan bahwa anak juga
berpotensi menjadi pelaku perbuatan terlarang menurut hukum yang berlaku.
18 Wagiati Soetodjo, Hukum Pidana Anak (Bandung: PT Refika Aditama, 2006), hal. 12. 19A.Syamsudin Meliala dan E.Sumaryono, Kejahatan Anak Suatu Tinjauan dari Psikologis dan Hukum (Yogyakarta: Liberty, 1985), hal. 31.
36
2. Bentuk Tindak Pidana Anak
Menurut Sudarsono, norma-norma hukum yang sering dilanggar oleh
anak-anak remaja pada umumnya adalah Pasal – pasal tentang :20
a. Kejahatan – kejahatan kekerasan
1) Pembunuhan
2) Penganiayaan
3) Pemerkosaan
4) Pemukulan
5) Intimidasi
b. Kejahatan terhadap suatu benda
1) Pencurian biasa
2) Pencurian dengan pemberatan
c. Penggelapan
d. Penipuan
e. Pemerasan
f. Gelandangan
g. Narkotika
Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, dinyatakan bahwa
tindak pidana anak merupakan salah satu dari pelanggaran terhadap Pasal
489, 490, 492, 497, 503, 505, 514, 517, 518, 519, 526, 531, 532, 536, dan
20 Sudarsono. Kenakalan Remaja. Rineka Cipta. Jakarta : 1991. Hlm 32.
37
540, yaitu:
a. Pelanggaran keamanan umum, seperti:
1) Mabuk di muka umum dan merintangi lalu lintas, menganggu
ketertiban, atau mengancam keamanan orang lain.
2) Menyebabkan kebakaran di muka umum.
b. Melakukan pelanggaran terhadap ketertiban, meliputi:
1) Membuat kegaduhan, keramaian sehingga mengaganggu
masyarakat.
2) Menggelandang.
3) Penadah.
4) Pemalsuan.
5) Perusakan informasi di muka umum.
c. Melakukan pelanggaran kesusilaan, meliputi:
1) Menyanyikan lagu, berpidato, dan menyebarkan tulisan yang
melangggar kesusilaan di muka umum.
2) Berzina
3) Berkata dusta
D. Tinjauan Mengenai Penyidikan dalam Tindak Pidana
1. Definisi Penyidikan
Definisi penyidikan seperti yang terkandung di dalam Undang- Undang
38
Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana
Pasal 1 Ayat ( 2 ) dan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 Tentang
Kepolisian Negara Republik Indonesia Pasal 1 Ayat ( 13 ) memuat
pemahaman yang sama tentang penyidikan yaitu serangkaian tindakan
penyidik dalam hal dan cara yang diatur dalam undang-undang untuk
mencari serta mengumpulkan barang bukti yang dengan bukti itu membuat
terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan
tersangkanya.
Dalam sistem hukum Indonesia sesuai dengan Undang-Undang RI
Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana pada Pasal 6 Ayat ( 1 a )
disebutkan bahwa penyidik adalah pejabat Polisi Negara Republik Indonesia.
Kemudian Pasal 7 Ayat ( 1 g ) bahwa karena kewajibannya penyidik memiliki
wewenang :
a. Menerima laporan atau pengaduan dari seseorang tentang adanya
tindak pidana;
b. Melakukan tindakan pertama pada saat di tempat kejadian;
c. Menyuruh berhenti seseorang tersangka dan memeriksa tanda
pengenal diri tersangka;
d. Melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan dan penyitaan;
e. Melakukan pemeriksaan dan penyitaan surat;
f. Mengambil sidik jari dan memotret seseorang;
g. Memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka
39
atau saksi;
h. Mendatangkan orang ahli yang diperlukan dalam hubungannya
dengan pemeriksaan perkara;
i. Mengadakan penghentian penyidikan;
j. Mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab
Selanjutnya di dalam Undang-Undang RI Nomor 8 Tahun 1981
Tentang Hukum Acara Pidana Pasal 10 Ayat ( 1 ) bahwa dalam
melaksanakan kewenangannya penyidik di bantu oleh Penyidik pembantu.
Kemudian Pasal 11 juga menyebutkan bahwa Penyidik pembantu memiliki
wewenang seperti penyidik kecuali mengenai penahanan yang wajib
diberikan dengan pelimpahan wewenang dari penyidik.
Berkaitan dengan tugas dan tanggung jawabnya yang mengacu
kepada Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana,
yang mana sesuai pula dengan ketentuan Undang-undang Nomor 2 Tahun
2002 Tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, Polri sebagai penyidik
tindak pidana berwenang untuk :
a. Melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan dan penyitaan;
b. Melarang setiap orang meninggalakan atau memasuki tempat kejadian
perkara untuk kepentingan penyidikan;
c. Membawa dan menghadapkan orang kepada penyidik dalam rangka
penyidikan;
d. Menyuruh berhenti orang yang dicurigai dan menanyakan serta
40
memeriksa tanda pengenal diri;
e. Melakukan pemeriksaan dan penyitaan surat;
f. Memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka
atau saksi;
g. Memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka
atau saksi;
h. Mengadakan penghentian penyidikan;
i. Menyerahkan berkas perkara kepada penuntut umum;
j. Mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab.
Berdasarkan Undang-undang Republik Indonesia No. 2 Tahun 2002
Tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, untuk kepentingan
penyidikan, pihak Kepolisian sebagai penyidik berwenang melakukan
penangkapan yang selanjutnya melakukan penahanan terhadap anak yang
diduga keras melakukan tindak pidana berdasarkan bukti permulaan yang
cukup. Bukti permulaan cukup adalah bukti yang berupa keterangan –
keterangan dan data yang terkandung di dalam dua diantara :21
1) Laporan Polisi.
2) B.A.P di Tempat Kejadian Perkara.
3) Keterangan saksi termasuk saksi ahli (visum et Repertum).
4) Barang bukti.
21 Sonaryo, dkk , Himpunan Juklak dan Juknis tentang Proses Penyidikan Tindak Pidana , Jakarta 1982, hal. 78.
41
2. Proses Penyidikan Terhadap Anak sebagai Pelaku Kejahatan
Seperti halnya orang dewasa, anak sebagai pelaku tindak pidana juga
akan mengalami proses hukum yang identik dengan orang dewasa yang
melakukan tindak pidana, arti kata identik disini mengandung arti ”hampir
sama”, yang berbeda hanya lama serta cara penanganannya. Lama
penahanan pada tingkat penyidikan untuk anak – anak di tahap pertama
adalah 7 (tujuh) hari dan jika proses penyidikan belum selesai dapat di
perpanjang selama 8 (delapan) hari, jadi totalnya adalah 15 (lima belas) hari.
Sedangkan untuk orang dewasa pada proses penyidikan tahanan dewasa
untuk tahap pertama di tahan selama 20 (dua puluh) hari dan dapat di
perpanjang paling lama 40 (empat) hari jadi totalnya adalah 60 (enam puluh)
hari.
Di samping itu, penanganan oleh petugas Polri atau penyidik terhadap
anak – anak tidak sama dengan penyidik untuk orang dewasa, hal ini di atur
di dalam Pasal 26 Undang – undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem
Peradilan Pidana Anak.
Penangkapan dan penahanan terhadap anak pelaku kejahatan atau
anak yang berhadapan dengan hukum diatur dalam Pasal 30, 31, 32, 33, 34,
35, 36, 37, 38, 39, dan 40 Undang – undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang
Sistem Peradilan Pidana Anak bahwa : Penangkapan anak yang berhadapan
dengan hukum sama seperti penangkapan terhadap orang dewasa yang
dilakukan sesuai dengan ketentuan Kitab Undang-undang Hukum Acara
42
Pidana (KUHAP) yaitu pada Pasal 19 dan penangkapan tersebut dilakukan
guna kepentingan pemeriksaan untuk paling lama 1 ( satu ) hari.
Penahanan tahap pertama terhadap anak yaitu dilakukan hanya
berlaku paling lama 15 (dua puluh) hari dan apabila belum selesai, atas
permintaan penyidik dapat diperpanjang oleh penuntut umum yang
berwenang untuk paling lama 5 (lima) hari.
Dalam waktu 15 (lima belas) hari, Polri sebagai penyidik tindak pidana
sudah harus menyerahkan berkas perkara yang bersangkutan kepada
Penuntut Umum. Apabila jangka waktu tersebut dilampaui dan berkas
perkara belum diserahkan maka tersangka harus dikeluarkan dari tahanan
demi hukum.
Perbedaan antara penahanan terhadap anak dengan penahanan
orang dewasa terletak di jangka waktu perpanjangan penahanan apabila
proses penyidikan belum selesai. Jika anak – anak diperpanjang paling lama
8 (delapan) hari tapi jika orang dewasa dapat diperpanjang paling lama 40
(empat puluh) hari. Disamping itu penahanan terhadap anak dilaksanakan di
tempat khusus untuk anak di lingkungan Rumah Tahanan Negara, Cabang
Rumah Tahanan Negara atau di tempat tertentu.
Pasal 27 Undang – undang Sistem Peradilan Pidana Anak
menyebutkan bahwa penahanan dilakukan setelah dengan sungguh-sungguh
mempertimbangkan kepentingan anak dan/atau kepentingan masyarakat.
Alasan penahanan harus dinyatakan secara tegas dalam surat perintah
43
penahanan. Tempat penahanan anak harus dipisahkan dari tempat tahanan
orang dewasa dan selama anak ditahan, kebutuhan jasmani, rohani serta
sosial anak harus dipenuhi.
Proses penyidikan terhadap anak yang berhadapan dengan hukum
yang diatur dalam Undang – undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem
Peradilan Pidana Anak, Pasal 26 ayat (1) dan (3) menetapkan bahwa :
1) Penyidikan terhadap perkara anak dilakukan oleh Penyidik yang
ditetapkan berdasarkan Keputusan Kepala Kepolisian Negara
Republik Indonesia atau Pejabat lain yang ditunjuk oleh Kepala
Kepolisian Negara Republik Indonesia.
2) Syarat untuk dapat ditetapkan sebagai penyidik sebaimana dimaksud
pada ayat (1) meliputi :
a) Telah berpengalaman sebagai penyidik
b) Mempunyai minat, perhatian, dedikasi, dan memahami masalah
anak, dan
c) Telah mengikuti pelatihan teknis tentang peradilan anak.
Selanjutnya, di dalam Pasal 18 dan Pasal 19 ayat (1) dan (2) Undang
– undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak
menetapkan bahwa :
Pasal 18
“Dalam menangani perkara anak, anak korban, dan/atau anak saksi,
pembimbing kemasyarakatan, pekerja sosial profesional dan tenaga
44
kesejahteraan sosial, penyidik, penuntut umum, hakim, dan advokat
atau pemberi bantuan hukum lainnya wajib memerhatikan kepentingan
terbaik bagi anak dan mengusahakan suasana kekeluargaan tetap
terpelihara.”
Pasal 19
1) Identitas anak, anak korban, dan/atau anak saksi wajib
dirahasiakan dalam pemberitaan di media cetak ataupun elektronik
2) Identitas sebagaimana dimaksud ayat (1) meliputi nama anak,
nama anak korban, nama anak saksi, nama orang tua, alamat,
wajah dan hal lain dapat mengungkapkan jati diri anak, anak
korban, dan/atau anak saksi.
45
BAB III
Metode Penelitian
A. Tipe Penelitian
Penulis menggunakan tipe penelitian hukum empiris adalah suatu tipe
penelitian hukum yang berfungsi untuk melihat hukum dalam artian nyata dan
meneliti bagaimana bekerjanya hukum di lingkungan masyarakat.
Dikarenakan dalam penelitian ini meneliti orang dalam hubungan hidup di
masyarakat maka metode penelitian hukum empiris dapat dikatakan sebagai
penelitian hukum sosiologis. Dapat dikatakan bahwa penelitian hukum yang
diambil dari fakta-fakta yang ada di dalam suatu masyarakat, badan hukum
atau badan pemerintah.22
B. Lokasi Penelitian
Lokasi penelitian dilakukan diwilayah hukum Kepolisian Resort Gowa.
Penulis memilih lokasi penelitian dengan pertimbangan bahwa lokasi
penelitian relevan dengan masalah yang akan ditelliti. Perlu suatu
penelusuran secara sistematis terhadap instansi tersebut.
C. Jenis dan sumber data
Adapun jenis dan sumber data dalam penelitian ini adalah, sebagai
22 Diakses https://idtesis.com/metode-penelitian-hukum-empiris-dan-normatif/#sthash.0XRyeJoy.dpuf pada tanggal 13 April 2017, pukul 19.00
46
berikut :
a) Data Primer, yakni data yang diperoleh langsung di lapangan
dengan cara mengadakan wawancara terhadap pihak
Kepolisian di Polres Gowa.
b) Data Sekunder, yaitu data yang diperoleh dari beberapa
literatur, dokumen resmi, peraturan perundang-undangan, dan
sumber-sumber kepustakaan lain yang mendukung.
D. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data yang dilakukan dengan cara sebagai berikut :
a) Wawancara (Interview) dengan mendatangi narasumber dan
responden, dan melakukan tanya jawab langsung, tipe
pertanyaannya teratur dan terstruktur yang berkaitan dengan
penelitian ini.
b) Sumber Penelitian Kepustakaan (Library Research), sumber
data yang diperoleh dari hasil penelaahan beberapa literatur
dan sumber bacaan lainnya yang dapat mendukung penulisan
skripsi ini.
E. Analisis data
Data yang diperoleh baik data primer dan data sekunder akan diolah
dan di analisis berdasarkan rumusan masalah yang telah diterapkan
47
sehingga diharapkan dapat diperoleh gambaran yang jelas. Analisis data
yang digunakan oleh penulis adalah analisis data yang berupaya
memberikan gambaran secara jelas dan konkrit terhadap objek yang dibahas
secara kuantitatif dan selanjutnya data tersebut disajikan secara deskriptif
yaitu menjelaskan, menguraikan dan menggambarkan sesuai dengan
permasalahan yang erat kaitannya dengan penelitian ini.
48
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Upaya Perlindungan Hukum terhadap Anak sebagai Pelaku Tindak
Pidana Kekerasan Anak di tingkat Penyidikan.
Hasil penelitian pada unit PPA Satuan Reserse Kriminal Kepolisian
Resort Gowa sejak diberlakukannya Undang – Undang Sistem Peradilan
Pidana Anak Nomor 11 tahun 2012 yaitu tanggal 31 Juli 2014 sampai dengan
tahun 2017, terdapat sejumlah laporan polisi yang masuk merupakan tindak
pidana kekerasan fisik yang melibatkan Anak, antara lain :
Tabel 1.1 Laporan Tindak Pidana Kekerasan Anak Di Kepolisian Resort Gowa
No. Tahun Laporan Kekerasan Fisik
1 2014 10 laporan
2 2015 12 laporan
3 2016 9 laporan
4 2017 12 laporan
Jumlah 43 laporan
Sumber : Unit Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA) Kepolisian Resort Gowa.
Dari Kasus Tindak Pidana sebagaimana tersebut di atas, ditemukan
beberapa praktek Diskresi oleh Penyidik Anak (Penyidik dan/atau Penyidik
Pembantu) Kepolisian Resort Gowa yaitu tidak dilakukannya penangkapan &
penggeledahan terhadap Anak didepan umum, Tidak dilakukan penahanan
terhadap Anak dan pada saat Diversi ditolak, Penyidik menerapkan
49
ketentuan dalam Undang-undang dengan ancaman pidana terendah
sebagaimana dapat dilihat dari data dibawah ini :
Tabel 1.2
Data Perlindungan Hukum terhadap Anak sebagai Pelaku Tindak Pidana
Kekerasan Anak di tingkat Penyidikan
No. Tahun Penangkapan dan
Penggeledahan Didepan Umum
Tidak Ditahan Diversi
1 2014 2 Pelaku Anak 9 Pelaku Anak 8 Pelaku Anak
2 2015 2 Pelaku Anak 10 Pelaku Anak 10 Pelaku Anak
3 2016 1 Pelaku Anak 9 Pelaku Anak 9 Pelaku Anak
4 2017 3 Pelaku Anak 11 Pelaku Anak 11 Pelaku Anak
Jumlah 8 Pelaku Anak 39 Pelaku Anak 38 Pelaku Anak
Sumber : Unit Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA) Kepolisian Resort Gowa.
Perkara pidana yang dilakukan oleh anak-anak pada umumnya
ketentuan yang dilanggar adalah peraturan pidana yang terdapat dalam Kitab
Undang – Undang Hukum Pidana (KUHP), maka penyidikannya dilakukan
oleh penyidik umum dalam hal ini penyidik Polri. Sejalan akan
diberlakukannya Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak, telah
dipertegas bahwa penyidikan terhadap perkara anak nakal dilakukan oleh
penyidik Polri dengan dasar hukum Pasal 26 ayat (1) Nomor 11 Tahun 2012
tentang Sistem Peradilan Pidana Anak dan yang pada intinya menyebutkan
bahwa ”penyidikan terhadap perkara anak dilakukan oleh penyidik yang
ditetapkan berdasarkan Surat Keputusan Kepala Kepolisian RI atau pejabat
lain yang ditunjuk oleh Kapolri”. Meskipun penyidiknya penyidik Polri, akan
50
tetapi tidak semua penyidik Polri dapat melakukan penyidikan terhadap
perkara anak nakal. Undang – Undang Sistem Peradilan Pidana Anak dikenal
adanya penyidik anak, yang berwenang melakukan penyidikan. Penyidik
anak diangkat oleh Kapolri dengan Surat Keputusan Khusus untuk
kepentingan tersebut. Undang – Undang Sistem Peradilan Pidana Anak
melalui Pasal 26 Ayat (3) menetapkan syarat – syarat yang harus dipenuhi
oleh seorang Penyidik adalah :
1. Telah berpengalaman sebagai penyidik;
2. Mempunyai minat, perhatian, dedikasi dan memahami masalah anak.
3. Telah mengikuti pelatihan teknis tentang peradilan Anak
Perlindungan hukum terhadap anak dalam proses peradilan dilakukan
dimulai semenjak tingkat penyelidikan, penyidikan, penuntutan, pemeriksaan
di sidang pengadilan sampai pada pelaksanaan putusan pengadilan tersebut.
Selama proses peradilan tersebut , maka hak-hak anak wajib dilindungi oleh
hukum yang berlaku dan oleh sebab itu harus dilakukan secara konsekuen
oleh pihak-pihak terkait dengan penyelesaian masalah anak nakal tersebut.
Penyidikan itu sendiri, berarti serangkaian tindakan penyidik, dalam
hal dan menurut cara yang diatur dalam Undang – Undang ini untuk mencari
dan mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang
tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya, sedangkan
bukti, dalam ketentuan tersebut di atas adalah meliputi alat bukti yang sah
dan benda sitaan/barang bukti. Kewenangan dan ketentuan mengenai
51
penyidikan diatur di dalam Undang – Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang
Kitab Undang – Undang Hukum Acara Pidana yang menjadi dasar hukum
pidana formil di Indonesia.
Penyidikan terhadap anak tersebut haruslah dalam suasana
kekeluargaan sebagaimana diatur dalam Pasal 18 Undang – Undang RI
Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak menetapkan
bahwa :
Dalam menangani perkara Anak, Anak Korban, dan/atau Anak Saksi,
Pembimbing Kemasyarakatan, Pekerja Sosial Profesional dan Tenaga
Kesejahteraan Sosial, Penyidik, Penuntut Umum, Hakim, dan Advokat
atau pemberi bantuan hukum lainnya wajib memperhatikan
kepentingan terbaik bagi Anak dan mengusahakan suasana
kekeluargaan tetap terpelihara.
Menurut Aiptu Hasmawati Hamzah, ketetapan ini menghendaki bahwa
pemeriksaan dilakukan dengan pendekatan secara efektif dan simpatik. 23
Efektif dapat diartikan, bahwa pemeriksaannya tidak memakan waktu lama,
dengan menggunakan bahasa yang mudah dimengerti, dan dapat mengajak
tersangka memberikan keterangan yang sejelas-jelasnya. Simpatik
maksudnya pada waktu pemeriksaan, penyidik bersikap sopan dan ramah
serta tidak menakut – nakuti tersangka. Tujuannya adalah agar pemeriksan
berjalan dengan lancar, dikarenakan seorang anak yang merasa takut
sewaktu menghadapi penyidik, akan mengalami kesulitan untuk
23 Hasil wawancara Aiptu Hasmawati Hamzah, Kanit Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA) Sat Reskrim Polres Gowa, tanggal 4 Oktober 2017.
52
mengungkapkan keterangan yang benar dan sejelas-jelasnya. Aiptu
Hasmawati Hamzah juga menambahkan, pada waktu pemeriksaan
tersangka, penyidik tidak memakai pakaian seragam dan hanya memakai
pakaian yang sopan, dikarenakan seorang anak juga dapat tertekan ketika
melihat seragam Polisi.
Bentuk perlindungan hukum terhadap pelaku anak pada tahap
penyidikan selanjutnya ialah, wajib dirahasiakan yang sesuai dengan aturan
Pasal 19 ayat (1) Undang – Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem
Peradilan Pidana Anak. Tindakan penyidik berupa penangkapan, penahanan,
dan tindakan lain yang dilakukan mulai dari tahap penyelidikan hingga tahap
penyidikan, wajib dilakukan secara rahasia.
Secara garis besarnya tugas – tugas penyidikan terdiri dari tugas
menjalankan operasi lapangan dan tugas administrasi hukum. Berdasarkan
Undang – Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana
Anak, terdapat tugas-tugas penyidik yang berhubungan dengan tugas yang
meliputi :
1. Penangkapan
Mengenai tindakan penangkapan diatur dalam ketentuan-ketentuan
KUHAP. Berdasarkan Pasal 16 KUHAP dapat diketahui bahwa tujuan
penangkapan tersangka ialah untuk kepentingan penyelidikan dan
kepentingan penyidikan. Perintah penangkapan dilakukan terhadap
seseorang yang diduga keras melakukan tindak pidana berdasarkan bukti
53
yang cukup (Pasal 17 KUHAP). Pelaksana tugas penangkapan dilakukan
oleh petugas kepolisian Negara RI, dengan memperlihatkan surat tugas dan
memberikan kepada tersangka surat–surat perintah penangkapan yang
mencantumkan identitas tersangka. Menyatakan alasan penangkapan, dan
uraian singkat perkara kejahatan yang dipersangkakan,serta mengemukakan
tempat tersangka diperiksa (Pasal 18 KUHAP).
Pengertian penangkapan berdasarkan KUHAP Pasal 1 butir (20)
menetapkan bahwa :
“Penangkapan adalah suatu tindakan penyidik berupa pengekangan
sementara waktu kebebasan tersangka atau terdakwa apabila
terdapat cukup bukti guna kepentingan penyidikan atau penuntutan
dan atau peradilan dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam
undang-undang ini”.
Wewenang penangkapan dalam menangani anak yang berhadapan
dengan hukum harus pula memperhatikan asas hukum pidana
yaitu Presumsion Of Innocence ( Asas Praduga Tak Bersalah). Dalam
melakukan penangkapan diperhatikan hak - hak anak sebagai tersangka,
seperti hak mendapat bantuan hukum pada setiap tingkat pemeriksaan
menurut tata cara yang ditentukan oleh undang-undang (Pasal 54 KUHAP).
KUHAP tidak mengatur secara tegas bukti cukup atau tidak. Hal ini tidak
mencerminkan perlindungan hukum terhadap anak, oleh karena itu, perlu
diatur secara tegas dalam KUHAP yang berlaku secara khusus untuk anak.
54
Kedudukan anak dalam proses pemeriksaan penyidikan terdapat
nuansa yang menimbulkan hak-hak anak secara khusus yang dapat
mengesampingkan upaya paksa dan tindakan paksa dari proses penyidikan.
Kontak awal antara anak dan polisi harus dihindarkan dalam suasana
kekerasan fisik dan psikis sehingga dalam proses penyidikan terdapat hak-
hak anak yang meliputi :
1. Terhadap keluarga anak sebagai tersangka wajib diberitahukan
terlebih dahulu baik melalui surat maupun lisan sebelum proses
penangkapan dilakukan.
2. Penangkapan terhadap anak tidak dibolehkan dengan menggunakan
alat atau senjata upaya paksa atau wewenang paksa.
3. Tersangka anak haru segera mendapat bantuan hukum secara wajib
dan cuma – cuma (dalam penangkapan penyidik penuntut umum
harus mengikutsertakan seorang pengacara yang kelak akan menjadi
penasehat hukum anak tersebut).
4. Tersangka anak atau orang belum dewasa harus segera mendapatkan
proses pemeriksaan.
5. Hak untuk mendapatkan ganti kerugian sebagai akibat dari kesalahan.
2. Penahanan
Setelah tindakan penangkapan, dapat dilakukan tindakan penahanan.
Berdasarkan Pasal 1 ayat 21 KUHAP menetapkan bahwa :
55
“Penahanan adalah penempatan tersangka atau terdakwa di tempat
tertentu oleh penyidik, atau penuntut umum atau hakim dengan
penetapannya, dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam
undang-undang ini”.
Berdasarkan wewenang tersebut maka setiap instansi penegak hukum
memiliki wewenang untuk melakukan penahanan. Penahanan oleh penyidik
anak atau penuntut umum anak atau hakim anak dengan penetapan, dalam
hal serta menurut cara yang diatur dalam undang-undang No.11 tahun 2012
dan KUHAP, menentukan bahwa tersangka atau terdakwa dapat ditahan.
Dikarenakan adanya istilah “dapat” ditahan, berarti penahanan anak tidak
selalu harus dilakukan, sehingga dalam hal ini penyidik diharap betul-betul
mempertimbangkan apabila melakukan penahanan anak. Menurut Pasal 21
ayat (1) KUHAP, alasan penahanan adalah dikarenakan ada kehawatiran
melarikan diri, agar tidak merusak atau menghilangkan barang bukti, agar
tidak mengulangi tindak pidana. Menurut hukum acara pidana,
menghilangkan kemerdekaan seseorang tidak merupakan keharusan, tetapi
untuk mencari kebenaran bahwa seseorang melanggar hukum, kemerdekaan
seseorang itu dibatasi dengan melakukan penangkapan dan penahanan.
Maka dari itu, Penahanan Anak harus memperhatikan kepentingan yang
menyangkut pertumbuhan dan perkembangan anak baik fisik, mental,
maupun sosial anak serta mempertimbangkan kepentingan masyarakat
56
misalnya dengan ditahannya anak akan membuat masyarakat aman dan
tentram.
Tempat penahanan anak, harus dipisah dari tempat penahanan orang
dewasa dan selama anak ditahan, kebutuhan jasmani, rohani, dan sosial
anak harus tetap dipenuhi berdasarkan Pasal 33 ayat (4) dan ayat (5)
Undang – Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana
Anak. Penahanan anak ditempatkan lembaga penempatan anak sementara
(LPAS) atau lembaga Penyelenggaraan kesejahteraan social (LPKS) apabila
belum terdapat (LPAS), tempatnya terpisah dari narapidana anak. Hal ini
dilatar belakangi oleh pertimbangan psikologis, untuk menghindari akibat
negatif sebab anak yang ditahan belum tentu terbukti melakukan kenakalan,
bergaul dengan narapidana anak, dikhawatirkan dapat menularkan
pengalaman-pengalamannya kepada anak yang berstatus tahanan, dan
mempengaruhi perkembangan mentalnya. Dalam praktek, diketahui bahwa
tahanan anak digabung dengan orang dewasa, dengan alasan bahwa tempat
penahanan di lembaga pemasyarakatan orang dewasa belum penuh. Hal ini
sangat berbahaya dan tidak mencerminkan perlindungan anak. Narapidana
anak dan tahanan anak, berpengaruh dengan sikap dan tindakan tahanan
dewasa. Anak bisa saja mengetahui pengalaman-pengalaman melakukan
kejahatan yang belum pernah didengar dan dilakukannya, atau bahkan anak
dapat menjadi korban pelecehan seksual selama berada dalam tahanan
tersebut.
57
Penyidikan dalam hal ini tindak pidana kekerasan fisik yang
merupakan termasuk tindak pidana ringan, memang sangat dimungkinkan
untuk melakukan upaya diversi, termasuk juga menghentikannya
berdasarkan Pasal 109 ayat (2) KUHAP. Adapun alasan pemberian
wewenang penghentian penyidikan ada dua yaitu ;
1. Untuk menegakan prinsip penegakan hokum yang cepat, tepat, dan
biaya ringan, sekaligus untuk tegaknya kepastian hukum dalam
kehidupan masyarakat. Jika penyidik berkesimpulan bahwa hasil
penyelidikan dan penyidikan tidak cukup bukti atau alasan untuk
menuntut tersangka ke pengadilan, penyidik secara rmenyatakan
penghentianpemeriksaan penyidikan, agar dengan demikian segera
tercipta kepastian hokum, baik bagi penyidik sendiri, terutama kepada
tersangka dan masyarakat;
2. Agar supaya penyidik terhindar dari kemungkinan tuntutan ganti
kerugian, jika perkaranya diteruskan ternyata tidak cukup bukti atau
alasan untuk menuntut atau menghukum, dengan sendirinya memberi
hak kepada tersangka/terdakwa untuk menuntut ganti kerugian
berdasarkan Pasal 95 KUHAP.
Sedangkan dalam praktiknya, menurut Aiptu Hasmawati Hamzah
alasan penghentian penyidikan adalah :24
24 Hasil wawancara Aiptu Hasmawati Hamzah, Kanit Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA) Sat Reskrim Polres Gowa, tanggal 4 Oktober 2017.
58
1. Delik yang terjadi merupakan delik aduan yang dapat dilakukan
pencabutan; perbuatan yang terjadi bukan merupakan perbuatan
pidana; atau hanya melanggar norma – norma yang ada dalam
masyarakat.
2. Anak masih sekolah dan masih dapat dibina orang tuanya, sehingga
anak tersebut dikembalikan kembali kepada orang tuanya dan
kasusnya tidak akan dilimpahkan ke kejaksaan untuk dilakukan
penuntutan ke pengadilan.
3. Adanya perdamaian antara pihak anak nakal dengan korban.
Perlindungan dalam proses penyidikan kepada anak terhadap tindak
pidana yang dilakukan oleh anak adalah sebagai bentuk perhatian dan
perlakuan khusus untuk melindungi kepentingan anak. Perhatian dan
perlakuan khusus tersebut berupa perlindungan hukum agar anak tidak
menjadi korban dari penerapan hukum yang salah yang dapat menyebabkan
penderitaan mental, fisik dan sosialnya.
Penegak hukum sangat berperan dalam proses perlindungan terhadap
Anak pada tahap penyidikan. Penegak hukum dalam hal ini POLRI wajib
menyelenggarakan perlindungan terhadap Anak. Peran dan upaya POLRI
terlihat melalui :
1. Pelaksanaan Diskresi Kepolisian
Tindakan diskresi yang dapat dilakukan oleh lembaga Kepolisian
harus memenuhi ketentuan-ketentuan sebagai berikut :
59
a. Bukan merupakan suatu bentuk pelanggaran yang nyata terhadap
suatu kaidah hukum, sehingga tujuan dari diskresi bertentangan
dengan kaidah hukum tertentu. Hal ini dapat diartikan bahwasanya
diskresi hendaknya memiliki keserasian dengan hukum positif
maupun hukum lainnya yang berlaku dimana diskresi oleh lembaga
kepolisian tersebut diputuskan untuk diambil. Di Indonesia dikenal
beberapa macam kaidah hukum yang diakui dan diperbolehkan
untuk diterapkan, meliputi hukum yang dibentuk oleh negara atau
biasa disebut dengan hukum positif yang diterapkan dan ditaati
oleh masyarakat, selanjutnya Indonesia juga mengenal adanya
hukum agama, dimana hal ini sesuai dengan dengan dasar negara
kita yang mengatakan bahwasanya kehidupan negara hendaklah
berjalan sesuai dengan prinsip pengakuan terhadap adanya Tuhan
yang dalam Pancasila terdapat pada sila pertama. Kemudian
Indonesia juga mengakui serta melindungi eksistensi penggunaan
hukum adat atau kebiasaan yang dilakukan oleh suatu masyarakat
jika mereka menghadapi suatu persoalan.
b. Sejalan, selaras, dan sesuai dengan adanya kewajiban hukum
dimana menimbulkan keharusan tindakan tersebut dilakukan.
Dengan kata lain, tindakan yang diambil yang mana termasuk
dalam kategori diskresi, oleh kaidah lain ditentukan sebagai suatu
kewajiban yang wajib ditegakkan.
60
c. Diharuskan sesuai dengan asas kepatutan, dapat diterima oleh
akal dan pikiran manusia yang sehat yang juga merupakan
anggota dari lingkungan dimana tindakan tersebut diambil, serta
tidak melebihi apa yang sudah dientukan sebagai kewenangannya
sebagai akibat dari jabatan yang dipangkunya.
Diskresi Kepolisian itu dapat juga berwujud dari penerapan hukum itu
sendiri (Applicating the Law). Bahkan dapat berupa penciptaan hukum
(Creating the law) meskipun lingkupnya terbatas dan sifatnnya temporer.25
2. Pelasakanaan Diversi
Substansi yang paling mendasar dalam Undang – Undang nomor 11
tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak adalah pengaturan secara
tegas mengenai Keadilan Restoratif (Restorative Justice) dan Diversi yang
dimaksudkan untuk menghindari dan menjauhkan Anak dari proses peradilan
sehingga dapat menghindari stigmatisasi terhadap Anak yang berhadapan
dengan Hukum dan diharapkan Anak dapat kembali ke dalam lingkungan
sosial secara wajar. Oleh karena itu, sangat diperlukan peran serta semua
pihak dalam rangka mewujudkan hal tersebut. Proses itu harus bertujuan
pada terciptanya Keadilan Restoratif, baik bagi Anak maupun bagi korban.
Keadilan restorative merupakan suatu proses Diversi, yaitu semua pihak
25 Marlina, Peradilan Pidana Anak di Indonesia, Jakarta : 2009, Refika Aditama, hlm. 11.
61
yang terlibat dalam suatu tindak pidana tertentu bersama-sama mengatasi
masalah serta menciptakan suatu kewajiban untuk membuat segala
sesuatunya menjadi lebih baik dengan melibatkan korban, Anak dan
masyarakat dalam mencari solusi untuk memperbaiki, rekonsiliasi, dan
menenteramkan hati yang tidak berdasarkan pembalasan.26
Pelaksanaan Diversi yang dilakukan oleh Unit PPA Satuan Reserse
Kriminal Kepolisian Resort Gowa dilakukan sesuai dengan ketentuan dalam
Undang-undang Sistem Peradilan Pidana Anak yaitu Pada saat proses
penyidikan, Penyidik/Penyidik Pembantu melakukan upaya Diversi dengan
proses sebagai berikut :
a. Permintaan Penelitian Kemasyarakatan, setelah dilakukan
pemeriksaan sebagai Anak yang berkonflik dengan hukum (pelaku),
Pihak Penyidik/Penyidik Pembantu, melakukan permintaan Penelitian
Kemasyarakatan dengan tujuan Pihak Pembimbing Kemasyarakatan
dapat meneliti latar belakang, kondisi psikologi Anak, sehingga
kepentingan Anak tetap diutamakan.
b. Proses Musyarawah, setelah menerima hasil penelitian dari Balai
Pemasyarakatan Gowa, Pihak Penyidik/Penyidik Pembantu dan
Pembimbing Kemasyarakatan melakukan mediasi terhadap kedua
belah Pihak dengan disaksikan oleh Tokoh Agama, Tokoh
26 Penjelasan Undang – Undang nomor 11 tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.
62
Masyarakat, Pemerintah Desa / Kelurahan dan Pihak Sekolah. Apabila
musyawarah mufakat diperoleh dan ada kesepakatan antara kedua
belah pihak, Pihak Penyidik/Penyidik Pembantu membuat Berita Acara
Kesepakatan Diversi dan ditandatangani oleh Kedua Pihak dan
keluarga, Pembimbing Kemasyarakatan, Tokoh Agama, Tokoh
Masyarakat, Pemerintah Desa / Kelurahan dan Pihak Sekolah dengan
terlebih dahulu Kedua belah pihak baik Anak sebagai Korban tindak
pidana dan Anak yang berkonflik dengan hukum membuat surat
pernyataan bahwa tidak akan melanjutkan perkara tersebut.
Penyidik/Penyidik Pembantu dalam proses Diversi (musyawarah)
bersikap netral dengan tidak memihak ke salah satu pihak, namun
berupaya mencari jalan keluar / solusi terbaik untuk Anak sehingga
terjadi kesepakatan bersama tanpa merugikan salah satu pihak dan
juga memberi pemahaman kepada kedua belah pihak bahwa proses
Diversi ataupun musyawarah adalah cara terbaik yang dapat ditempuh
untuk penyelesaian perkara diluar proses peradilan. Penyidik/Penyidik
Pembantu Apabila tidak tercapai kesepakatan antara kedua belah
pihak atau musyawarah gagal, Pihak Penyidik/Penyidik Pembantu
membuat Berita Acara Tidak ada Kesepakatan Diversi dan
ditandatangani oleh Kedua Pihak dan keluarga, Pembimbing
Kemasyarakatan, Tokoh Agama, Tokoh Masyarakat, Pemerintah Desa
/ Kelurahan dan Pihak Sekolah.
63
c. Proses Penetapan Diversi, dalam hal Diversi diterima, Pihak
Penyidik/Penyidik Pembantu melakukan permohonan Penetapan
Diversi kepada Pengadilan Negeri Sungguminasa dengan dilampirkan
hasil Penelitian Kemasyarakatan oleh Balai Pemasyarakatan Gowa,
Surat Perintah Penyidikan dan Berita Acara Kesepakatan Diversi dari
Kepolisian Resort Gowa. Proses penetapan ini merupakan
kewenangan dari Pihak Pengadilan Negeri.
d. Lanjut Perkara, dalam hal Diversi ditolak / tidak ada kesepakatan
antara kedua belah pihak, Pihak Penyidik/Penyidik Pembantu
melanjutkan / menyerahkan perkara tersebut ke Kejaksaan Negeri
Gowa untuk diproses lanjut sesuai dengan ketentuan yang berlaku
namun tetap memperhatikan kepentingan Anak.
3. Faktor Pendukung Dalam Proses Penyidikan Anak
Adapun faktor pendukung dalam proses penyidikan anak yaitu antara
lain :
a. Infrastuktur (sarana dan prasarana). Pada saat pemeriksaan, Anak
yang berhadapan dengan hukum tidak berada di ruangan yang
sama dengan orang dewasa, walaupun Ruangan pemeriksaan
menggunakan ruangan yang sama. Apabila terdapat pemeriksaan
terhadap Orang dewasa dan Anak di waktu yang sama,
Penyidik/Penyidik pembantu memindahkan pemeriksaan terhadap
64
Orang dewasa di ruangan yang berbeda. Tidak hanya perlakuan
yang berbeda dengan orang dewasa namun pembedaan tersebut
juga terdapat dalam registrasi administrasi penyidikan, dimana
registrasi berkas perkara Anak baik penahanan, penangkapan,
surat panggilan memiliki nomor register yang berbeda dan memiliki
pengarsipan tersendiri.
b. Kualifikasi Penyidik/Penyidik Pembantu. Kualifikasi Tenaga
Penyidik / Penyidik Pembantu yang ada di Unit PPA Satuan
Reserse Kriminal Kepolisian Resort Gowa sebagai berikut
: Penyidik Penuh : 2 (dua) Orang, terdiri dari : KAPOLRES &
KASAT RESKRIM ; Penyidik Pembantu : 5 (lima) Orang, terdiri dari
: 2 (dua) POLWAN dan 3 (tiga) POLKI. Penyidik / Penyidik
Pembantu yang ada berpengalaman sebagai penyidik, mempunyai
minat, perhatian, dedikasi dan memahami masalah anak serta
telah mengikuti pelatihan teknis tentang peradilan Anak melalui
pelatihan – pelatihan dan pendidikan pengembangan spesialis
(DIKBANGSPES BRIGADIR POLWAN PPA) yang diadakan oleh
Lembaga Pendidikan POLRI.
65
B. Kendala Penyidik dalam memberikan Perlindungan Hukum terhadap
Anak sebagai Pelaku Tindak Pidana Kekerasan Anak di Kepolisan
Resort Gowa.
Kendala timbul dari faktor keluarga dan lingkungan, dalam praktiknya
menurut Aiptu Hasmawati Hamzah, banyaknya anak yang telah menjadi
residivis atau anak tersebut pernah dihukum dan mengulangi lagi tindak
kejahatan yang serupa khususnya tindak kejahatan kekerasan anak
merupakan kurangnya tindakan pencegahan oleh orang tua anak tersebut.
Artinya, apabila anak tersebut telah digolongkan sebagai residivis akan ada
pertimbangan untuk pemberian pemberatan hukuman yang akan diberikan.
Tabel 1.3 Pelaku Anak Tindak Pidana Kekerasan Anak yang Digolongkan Sebagai
Residivis
No. Tahun Residivis Anak
1 2014 3 anak
2 2015 5 anak
3 2016 3 anak
4 2017 4 anak
Jumlah 15 anak
Sumber : Unit Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA) Kepolisian Resort Gowa.
Berdasarkan data diatas, pelaku anak tindak pidana kekerasan fisik
yang digolongkan sebagai residivis di yurisdiksi Kepolisian Resort Gowa
memang menjadi salah satu kendala yang harus diberikan tindakan
66
pencegahan mengingat anak merupakan salah satu aktor penerus generasi
di kehidupan berbangsa dan bernegara.
Kekuasaan Penyidikan adalah tahap yang paling menentukan dalam
operasionalisasi Sistem Peradilan Pidana Terpadu tersebut dalam rangka
tercapainya tujuan dari Penegakan Hukum Pidana, karena pada tahap
penyidikanlah dapat diketahui adanya tersangka suatu peristiwa kejahatan
atau tindak pidana serta menentukan tersangka pelaku kejahatan atau tindak
pidana tersebut sebelum pelaku kejahatan tersebut pada akhirnya dituntut
dan diadili di pengadilan serta diberi sanksi pidana yang sesuai dengan
perbuatannya. Tanpa melalui proses atau tahapan penyidikan maka secara
otomatis, tahapan-tahapan selanjutnya dalam proses peradilan pidana yaitu
tahapan penuntutan, pemeriksaan di muka pengadilan dan tahap
pelaksanaan putusan pidana tidak dapat dilaksanakan.
Pada tahap penyidikan, penyidik wajib mengupayakan Diversi, yang
bertujuan mencapai perdamaian antara korban dengan anak, menyelesaikan
perkara anak di luar proses peradilan, menghindarkan anak dari perampasan
kemerdekaan, mendorong masyarakat untuk berpartisipasi, menanamkan
rasa tanggung jawab kepada anak. Dalam melakukan penyidikan anak,
penyidik wajib meminta pertimbangan atau saran dari pembimbing
kemasyarakatan, dan apabila perlu juga dapat meminta pertimbangan atau
saran dari ahli pendidikan, ahli kesehatan jiwa, ahli agama, atau petugas
kemasyarakatan lainnya.
67
Akan tetapi, dalam mewujudkan itu semua terutama perintah dari
dasar hukum Undang – Undang nomor 11 tahun 2012 tentang Sistem
Peradilan Pidana Anak masih ditemukan beberapa kendala baik secara
normatif maupun secara praktiknya. Kendala normatif dalam mewujudkan
perintah Undang – Undang nomor 11 tahun 2012 tentang Sistem Peradilan
Pidana Anak sebagai dasar hukum materiil ialah masih berlandaskan dengan
hukum formil Kitab Undang – Undang Hukum Acara Pidana. Sebagai contoh
dalam praktiknya, Pasal 32 ayat (3) Undang – Undang Nomor 11 Tahun 2012
tentang Sistem Peradilan Pidana Anak menentukan bahwa alasan
penahanan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus dinyatakan secara
tegas dalam surat perintah penahanan. Pelanggaran atau kelalaian atas
Pasal 32 ayat (3) Undang – Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem
Peradilan Pidana Anak, tidak diatur dengan tegas akibat hukumnya, sehingga
dapat merugikan anak. Penahanan anak, didasarkan atas pertimbangan
kepentingan anak dan kepentingan masyarakat yang harus dinyatakan
secara tegas dalam surat perintah penahanan. Dalam praktik di daerah
hukum Kepolisian Resort Gowa, inilah salah satu kendala perlindungan
hukum kepada pelaku anak, sebagaimana pihak pelapor dan/atau korban
menginginkan agar supaya para pelaku anak ditahan, sehingga apabila para
pelaku anak tidak ditahan, pihak pelapor dan/atau korban berasumsi kepada
penyidik bahwa laporannya itu tidak dijalankan sesuai dengan hukum yang
berlaku.
68
Kendala lain dalam praktiknya di daerah hukum Kepolisan Resort
Gowa, sebagaimana faktor lingkungan yang tentunya sangat berperan
fundamental, para anak – anak kebanyakan bergaul atau bersosialisasi tidak
pada lingkungan yang seharusnya, para anak – anak ini bergaul atau
bersosialisasi dengan tidak sesama anak – anak bahkan mereka cenderung
bergaul atau bersosialisasi dengan orang yang lebih dewasa, akibatnya
banyak diantara anak – anak ini terpengaruh dengan kebiasaan orang yang
lebih dewasa. Tentu peran orang tua sangat diperlukan disini, akan tetapi
kebanyakan dari anak – anak ini menyatakan bahwa ketika orang tua mereka
bekerja ataupun tidak berada di lingkungan rumah, hal inilah yang menjadi
kesempatan untuk mereka bergaul dan bersosialisasi dengan bebas bahkan
melewati batas. Perlu diperhatikan juga bahwa tempat penitipan anak yang
layak di daerah hukum Kepolisian Resort Gowa memang hampir dikatakan
belum maksimal sebagai solusi tempat para anak – anak bergaul atau
bersosialisasi sesama anak – anak.
69
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Kesimpulan yang diambil penulis berdasarkan hasil penelitian ini
adalah :
1. Perlindungan hukum terhadap Anak pada tahap penyidikan dalam
Sistem Peradilan Pidana Anak dapat terwujud melalui peran Penegak
hukum dalam hal ini Pihak Kepolisian (Penyidik). Adapun Upaya yang
dilakukan Penegak Hukum (Kepolisian) dalam kerangka perlindungan
hukum terhadap Anak yang menjadi pelaku kekerasan fisik yaitu
melalui Diskresi Kepolisian, Pelaksanaan Diversi dan Faktor
pendukung lainnya seperti Infrastruktur baik sarana maupun prasarana
dalam proses penyidikan.
2. Ada 3 faktor yang menjadi kendala dalam perlindungan hukum
terhadap anak pada tahap penyidikan. Pertama, residivis menjadikan
salah satu faktor pertimbangan untuk pemberian pemberatan
hukuman kepada pelaku anak. Kedua, para pelapor dan/atau korban
merasa keadilan itu terpenuhi apabila pelaku anak ini ditahan, diadili,
dan dipenjara. Ketiga, kurangnya tempat penitipan anak yang layak
menjadi kendala para anak untuk bersosialisasi dengan sesama anak
ketika para orang tua bekerja atau tidak berada di lingkungan rumah,
khususnya daerah hukum Kepolisian Resort Gowa.
70
B. Saran
Saran yang dapat diberikan dari hasil penelitian ini adalah :
1. Perlu ditingkatkan Koordinasi dan Kerjasama antara Pihak
Kepolisian, Balai Pemasyarakatan, Kejaksaan Negeri, Pengadilan
Negeri, Pemerintah dalam penanganan kasus/perkara yang
berhubungan dengan Anak pada tahap penyidikan sesuai Undang –
Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana
Anak.
2. Pemerintah diharapkan dapat memperhatikan infrastruktur yang ada
dengan menyediakan fasilitas yang memadai antara lain Ruang
Pemeriksaan Khusus terhadap Anak yang berhadapan dengan hukum
(ABH) di Kepolisiaan Resort Gowa dan Lembaga Penempatan Anak
Sementara (LPAS)/Lembaga Pemasyarakatan Khusus Anak (LPKS).
Selain itu juga Kepolisian Republik Indonesia diharapkan dapat
mengembangkan pengetahuan dan kemampuan tentang Perlindungan
Hukum terhadap Anak bagi setiap Penyidik/Penyidik Pembantu yang
berada di Unit PPA Reserse Kriminal Kepolisian Resort Gowa.
3. Kerja sama dengan Pihak Pemerintah dalam rangka pencegahan
tindak pidana yang dilakukan terhadap dan / atau oleh Anak yaitu
sosialisasi rutin tentang Anak dengan instansi pemerintah yang
berhubungan langsung dengan Anak, Tokoh Agama dan tokoh
Masyarakat.
71
DAFTAR PUSTAKA
BUKU – BUKU
Abdulsalam, R. 2007. Sistem peradilan pidana. Jakarta : Restu agung. Andi Hamzah, 2006, Pengantar Hukum Acara Pidana Indonesia, Cet.5, Sinar Grafika, Jakarta. Andi Sofyan, Nur Azisa. 2016. HUKUM PIDANA. Pustaka Pena Press : Makassar. Barda Nawawie Arief, Beberapa Aspek Hak Asasi Manusia Ditinjau dari Sudut Hukum Pidana, Makalah Seminar Nasional Hak Asasi Manusia diselenggarakan oleh FH. UNDIP, tanggal 25 Januari 1993 Chandra Gautama, 2000, Konvensi Hak Anak Panduan Bagi Jurnalis, Lembaga Studi Pers Dan Pembangunan : Jakarta. Erdianto Efendi, 2011. Hukum Pidana Indonesia Suatu Pengantar. Yang Menerbitkan PT Refika Aditama: Bandung. Fatahilla A.Syukur. 2011. Mediasi Penal: Penerapan Restorative Justice di Pengadilan Anak I ndonesia. Depok : Indie Pre Publishing. Kadja, Thelma Selly M, 2000, Perlindungan Terhadap Anak Dalam Proses Peradilan, Jurnal Hukum Yurisprudensia. Kartini Kartono, 1992, Pathologi Sosial (2), Kenakalan Remaja, Rajawali Pers : Jakarta, Khumaidi Tohar, 2007. Artikel “Memahami perilaku Delinkuensi dan Rasionalisasinya”. Jakarta. Leden Marpaung, 2009. Asas – Teori - Praktik Hukum Pidana, Sinar Grafika, Jakarta. Lilik Mulyadi, 2005. Pengadilan Anak Di Indonesia, CV.Mandar Maju, Bandung.
72
Mardjono Reksodiputro, 1997. Kriminlogi dan Sistem Peradilan Pidana, (Pusat Pelayanan dan Pengabdian Hukum Universitas Indonesia), Jakarta. Marlina. 2009. Peradilan Pidana Anak Di Indonesia Pengembangan Konsep Diversi dan Restorative Justice. Bandung : Refika Aditama. Moeljatno, 2009. Asas-asas Hukum Pidana, Rineke Cipta,Jakarta. Nasir djamil. 2013. Anak bukan untuk dihukum. Sinar Grafika. Jakarta Paulus Hadisuprapto, 2010. Delinkuensi Anak Pemahaman dan Penanggulangannya, Selaras. Malang. Pramadya. 1977. Beberapa Tugas dan Wewenang Polri,Jakarta:PTIK Press. Romli Atmasasmita, Yesmil Anwar, dkk. 1997. Peradilan Anak di Indonesia. Bandung : Mandar Maju. Shanty Delyana. 1988. Wanita dan anak di mata hukum. Yogyakarta: Liberty. Soetodjo,Wagiati. 2006. Hukum Pidana Anak. Bandung : PT. Refika Aditama. Sonaryo, dkk , 1982. Himpunan Juklak dan Juknis tentang Proses Penyidikan Tindak Pidana , Jakarta. Sudarsono. 1991. Kenakalan Remaja. Rineka Cipta. Jakarta. Supramono, 2007, Hukum Acara Pengadilan Anak, Djambatan : Jakarta. Syamsudin Meliala dan E.Sumaryono, 1985. Kejahatan Anak Suatu Tinjauan dari Psikologis dan Hukum. Liberty. Yogyakarta. Wagiati Soetodjo, 2006. Hukum Pidana Anak. PT Refika Aditama. Bandung. Wahyudi,Setya. 2011. Implementasi Ide Diversi dalam Pembaruan Sistem Peradilan Pidana Anak di Indonesia. Genta. Yogyakarta. PERUNDANG – UNDANGAN Undang – Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945.
73
Undang – Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak. Undang – Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Undang – Undang Nomor 35 Tahun 2014 perubahan atas Undang – undang Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.
Undang – Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak. Undang – Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. KEPRES Nomor 39 Tahun 1990 tentang Konvensi Hak Anak. Kitab Undang – Undang Hukum Pidana (KUHP) Kitab Undang – Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP)