Post on 13-Feb-2015
description
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Hidrosefalus berasal dari kata hidro yang berarti air dan chepalon yang
berarti kepala (De jong W, Sjamsuhidajat R., 2005). Hidrosefalus merupakan
penumpukan cairan serebrospinal (CSS) secara aktif yang menyebabkan
dilatasi sistem ventrikel otak dimana terjadi akumulasi CSS yang berlebihan
pada satu atau lebih ventrikel atau ruang subarachnoid. Keadaan ini
disebabkan oleh karena terdapat ketidak seimbangan antara produksi dan
absorpsi dari CSS. Bila akumulasi CSS yang berlebihan terjadi diatas
hemisfer serebral, keadaan ini disebut higroma subdural atau koleksi cairan
subdural. Pada kasus akumulasi cairan yang berlebihan terjadi pada sistem
ventrikuler, keadaan ini disebut sebagai hidrosefalus internal.Selain itu
beberapa lesi intrakranial menyebabkan peninggian TIK, namun tidak sampai
menyebabkan hidrosefalus. Peninggian volume CSS tidak ekivalen dengan
hidrosefalus; ini juga terjadi pada atrofi serebral. Hidrosefalus sebagai
kesatuan klinik dibedakan oleh tiga faktor: a).peninggian tekanan
intraventrikuler, b).penambahan volume CSS, c).dilatasi rongga CSS. Secara
keseluruhan, insiden dari hidrosefalus diperkirakan mendekati 1 : 1000.
sedangkan insiden hidrosefalus kongenital bervariasi untuk tiap-tiap populasi
yang berbeda. Hershey BL mengatakan kebanyakan hidrosefalus pada anak-
anak adalah kongenital yang biasanya sudah tampak pada masa bayi. Jika
hidrosefalus tampak setelah umur 6 bulan biasanya bukan oleh karena
kongenital. Mujahid Anwar dkk mendapatkan 40 – 50% bayi dengan
perdarahan intraventrikular derajat 3 dan 4 mengalami hidrosefalus.
Pongsakdi Visudiphan dkk pada penelitiannya mendapatkan 36 dari 49 anak-
anak dengan meningitis TB mengalami hidrosefalus, dengan 3 catatan 8 anak
dengan hidrosefalus obstruktif dan 26 anak dengan hidrosefalus komunikans.
Hidrosefalus yang terjadi sebagai komplikasi meningitis bakteri dapat
dijumpai pada semua usia (Sri M., et. al. 2006).
B. HIDROSEFALUS
1. DEFINISI
Hidrosefalus dapat didefinisikan secarfa luas sebagai suatu gangguan
pembentukan,aliran, atau penyerapan cerebrospinal fluid (CSF) yang
mengarah ke peningkatan volume cairan di dalam SSP. Kondisi ini juga
bisa disebut sebagai gangguan hidrodinamik dari CSF (Rekate, 2009)
2. KLASIFIKASI
Hidrosefalus adalah suatu kondisi yang ditandai oleh volume intrakranial
cairan cerebrospinal fluid yang berlebihan. Dapat berupa communicant
dan noncommunicant, tergantung pada apakah atau tidak hubungan cairan
cerebrospinal antara sistem ventrikel dan subarachnoid space (De Jong, W.
dan Sjamsuhidajat, R.; 2005).
a. Hidrosefalus Obstruktif (Non-komunikans)
Terjadi peningkatan tekanan cairan serebrospinal yang disebabkan
obstruksi pada salah satu tempat pembentukan likuor, antara pleksus
koroidalis sampai tempat keluarnya dari ventrikel IV melalui foramen
Magendi dan Luschka.
2
b. Hidrosefalus Komunikans
Terjadi peningkatan tekanan cairan serebrospinal tanpa disertai
penyumbatan system ventrikel.
Hidrosefalus kongenital terjadi pada sekitar satu per seribu kelahiran.
Hal ini umumnya terkait dengan malformasi congenital lain dan
mungkin disebabkan oleh gangguan genetik atau gangguan intra uterine
seperti infeksi dan perdarahan7.
3. EPIDEMIOLOGI
Insidensi kongenital hidrosefalus pada United States adalah 3 per
1.000 kelahiran hidup; insiden hidrosefalus yang didapat tidak diketahui
secara pasti persis karena berbagai gangguan yang dapat menyebabkan
kondisi tersebut. sekitar 100,000 shunts digunakan setiap tahunnya di
beberapa Negara, namun sedikit informasi yang tersedia untuk Negara
lainnya. Jika hidrosefalus tidak ditatalaksana, kematian dapat terjadi akibat
sekunder tonsilar herniasi akibat kompresi sel otak dan menyebabkan
respiratory arrest (Rekate, 2009).
Ketergantungan shunt terjadi pada 75% dari semua kasus
hidrosefalus yang ditatalaksana dan 50% pada anak anak dengan
hydrocephalus tipe communicant. Pasien tersebut sering datang ke rumah
sakit untuk revisi shunt atau untuk pengobatan komplikasi shunt atau
kegagalan shunt. Gangguan pengembangan fungsi kognitif pada bayi dan
anak-anak, atau hilangnya fungsi kognitif pada orang dewasa, merupakan
komplikasi pada hidrosefalus yang tidak di obati. Hal ini dapat menetap
setelah pengobatan. Kehilangan visual juga merupakan penyulit dari
3
hidrosefalus yang tidak diobati dan dapat menetap setelah pengobatan
(Rekate, 2009).
Insiden hidrosefalus berdasarkan usia menyajikan kurva bimodal.
Satu puncak terjadi pada masa bayi dan terkait dengan berbagai bentuk
cacat bawaan. Puncak lain yang terjadi di masa dewasa, sebagian besar
dihasilkan dari NPH. Hidrosefalus dewasa dijumpai sekitar 40% dari total
kasus hidrosefalus. berdasarkan usia tidak dijumpai perbedaan insidensi
hidrosefalus (Espay, A.J., et. al.; 2010).
4. FAKTOR RESIKO DAN ETIOLOGI
Hidrosefalus terjadi karena gangguan sirkulasi likuor di dalam
system ventrikel atau oleh produksi likuor yang berlebihan. Hidrosefalus
terjadi bila terdapat penyumbatan aliran likuor pada salah satu tempat,
antara tempat pembentukan likuor dalam system ventrikel dan tempat
absorpsi dalam ruang subarachnoid. Akibat penyumbatan, terjadi dilatasi
ruangan CSS di bagian proksimal sumbatan. Tempat yang sering
tersumbat dan terdapat dalam klinis adalah foramen Monro, foramen
Luschka dan Magendi, sisterna magna dan sisterna basalis (De Jong, W.
dan Sjamsuhidajat, R.; 2005).
Secara teoritis, pembentukan CSS yang terlalu banyak dengan
kecepatan absorpsi yang normal akan menyebabkan terjadinya
hidrosefalus, namun dalam klinik sangat jarang terjadi, misalnya terlihat
pelebaran ventrikel tanpa penyumbatan pada adenomata pleksus
koroidalis. Penyebab penyumbatan aliran CSS yang sering terdapat pada
4
bayi dan anak yaitu kelainan bawaan, infeksi, neoplasma dan perdarahan
(De Jong, W. dan Sjamsuhidajat, R.; 2005).
a. Kelainan Bawaaan (Hasan R. dan Alatas H.; 2002)
1) Stenosis Akuaduktus Sylvius, merupakan penyebab terbanyak pada
hidrosefalus bayi dan anak ( 60-90% ). Akuaduktus dapat merupakan
saluran buntu atau abnormal lebih sempit dari biasa. Umumnya ge-
jala hidrosefalus terlihat sejak lahir atau progresif dengan cepat pada
bulan-bulan pertama setelah lahir.
2) Spina bifida dan cranium bifida, hidrosefalus pada kelainan ini bi-
asanya berhubungan dengan sindroma Arnord-Chiari akibat ter-
tariknya medulla spinalis, dengan medulla oblongata dan serebelum
letaknya lebih rendah dan menutupi foramen magnum sehingga ter-
jadi penyumbatan sebagian atau total.
3) Sindrom Dandy-Walker,merupakan atresiakongenital foramen
Luschka dan Magendi dengan akibat hidrosefalus obstruktif dengan
pelebaran system ventrikel, terutama ventrikel IV yang dapat
sedemikian besarnya hingga merupakan suatu kista yang besar di
daerah fossa posterior.
4) Kista arakhnoid,dapat terjadi congenital maupun didapat akibat trau-
ma sekunder suatu hematoma.
5) Anomaly pembuluh darah, dalam kepustakaan dilaporkan terjadi
hidrosefalus akibat aneurisma arterio-vena yang mengenai arteria
serebralis posterior dengan vena Galeni atau sinus tranversus dengan
akibat obstruksi akuaduktus.
5
b. Infeksi, akibat infeksi dapat timbul perlekatan meningen sehingga terja-
di obliterasi ruang subarachnoid. Pelebaran ventrikel pada fase akut
meningitis purulenta terjad bila aliran CSS terganggu oleh obstruksi
mekanik eksudat purulen di akuaduktus Sylvius atau sisterna basalis.
Pembesaran kepala dapat terjadi beberapa minggu sampai beberapa bu-
lan sesudah sembuh dari meningitisnya. Secara patologis terlihat
penebalan jaringan piamater dan arakhnoid sekitar sisterna basalis dan
daerah lain. Pada meningitis serosa tuberkulosa, perlekatan meningen
terutama terdapat di daerah basal sekitar sisterna kiasmatika dan inter-
pendunkularis, sedangkan pada meningitis purulenta lokasinya lebih
tersebar.
c. Neoplasma, hidrosefalus oleh obstruksi mekanis yang dapat terjadi di
setiap tempat aliran CSS. Pengobatan dalam hal ini ditujukan kepada
penyebabnya dan apabila tumor tidak bisa dioperasi, maka dapat di-
lakukan tindakan paliatif dengan mengalirkan CSS melalui saluran bu-
atan atau pirau. Pada anak, kasus terbanyak yang menyebabkan
penyumbatan ventrikel IV dan akuaduktus Sylvius bagian terakhir bi-
asanya suatu glioma yang berasal dari serebelum, sedangkan penyum-
batan bagian depan ventrikel III biasanya disebabkan suatu kraniofarin-
gioma.
d. Perdarahan, telah banyak dibuktikan bahwa perdarahn sebelum dan
sesudah lahir dalam otak dapat menyebabkan fibrosis leptomeningen
terutama pada daerah basal otak, selain penyumbatan yang terjadi aki-
bat organisasi dari darah itu sendiri.
6
5. PATOFISIOLOGI
Secara teoritis hidrosefalus terjadi sebagai akibat dari tiga
mekanisme yaitu; produksi liquor yang berlebihan, peningkatan resistensi
aliran liquor, peningkatan tekanan sinus venosa. Sebagai konsekuensi dari
tiga mekanisme diatas adalah peningkatan tekanan intracranial sebagai
upaya mempertahankan keseimbangan sekresi dan absorbs. Mekanisme
terjadinya dilatasi ventrikel masib belum dipahami dengan jelas, namun
hal ini bukanlah hal yang sederhana sebagaimana akumulasi akibat dari
ketidakseimbangan antara produksi dan absorbs. Mekanisme terjadinya
dilatasi ventrikel cukup rumit dan berlangsung berbeda beda tiap saat tiap
saat selama perkembangan hidrosefalus. Dilatasi ini terjadi sebagai akibat
dari (Listiono, 2010):
a. Kompensasi sistem serebrovascular
b. Redistribusi dari liquor serebrospinal atau cairan ekstraseluler atau
kedunya dalam susunan sistem saraf pusat.
c. Perubahan mekanis dari otak (peningkatan elastisitas otak, gang-
guan viskoelastisitas otak, kelainan turgor otak)
d. Efek tekanan denyut liquor serebrospinal (masih diperdebatkan)
e. Hilangnya jaringan otak
f. Pembesaran volume tengkorak (pada penderita muda) akibat
adanya regangan abnormal pada sutura cranial.
Produksi liquor yang berlebihan hampir semua disebabkan oleh tumor
pleksus khoroid (papiloma dan karsinoma). Adanya produksi yang
berlebihan akan menyebabkan tekanan intracranial meningkat dalam
7
mempertahankan keseimbangan antara sekresi dan absorbs liquor,
sehingga akhirnya ventrikel akan membesar. Adapula beberapa laporan
mengenai produksi liquor yang berlebihan tanpa adanya tumor pada
pleksus khoroid, di samping juga akibat hipervitaminosis A (Listiono,
2010).
Gangguan aliran liquor merupakan awal dari kebanyakan dari kasus
hidrosefalus. Peningkatan resistensi yang disebabkan oleh gangguan aliran
akan meningkatkan tekanan liquor secara proporsional dalam upaya
mempertahankan resorbsi yang seimbang. Derajat peningkatan resistensi
aliran cairan liquor adan kecepatan perkembangan gangguan hidrodinamik
berpengaruh pada penampilan klinis (Listiono, 2010).
6. MANIFESTASI KLINIS
Gejala klinis bervariasi sesuai dengan umur penderita8. Gejala yang
tampak berupa gejala akibat tekanan intracranial yang meninggi6. Pada
pasien hidrosefalus berusia di bawah 2 tahun gejala yang paling umum
tampak adalah pembesaran abnormal yang progresif dari ukuran kepala.
Makrokrani mengesankan sebagai salah satu tanda bila ukuran lingkar
kepala lebih besar dari dua deviasi standart di atas ukuran normal, atau
persentil 98 dari kelompok usianya (Listiono, 2010).
Selain itu menentukan telah terjadinya makrokrania juga dapat
dipastikan dengan mengukur lingkaran kepala suboksipito-bregmatikus
dibandingkan dengan lingkaran dada dan angka normal pada usia yang
sama. Lebih penting lagi ialah pengukuran berkala lingkaran kepala, yaitu
8
untuk melihat pembesaran kepala yang progresif dan lebih cepat dari
normal (Listiono, 2010).
Gejala tekanan intracranial yang meninggi dapat berupa muntah,
nyeri kepala dan pada anak yang agak besar mungkin terdapat edema papil
saraf kranialis II pada pemerikaan funduskopi (Listiono, 2010).
Makrokrania biasanya disertai empat gejala hipertensi intracranial
lainnya yaitu (Listiono, 2010) :
a. Fontanel anterior yang sangat tegang. Biasanya fontanel anterior dalam
keadaan normal tampak datar atau bahkan sedikit cekung ke dalam pada
bayi dalam posisi berdiri (tidak menangis)
b. Sutura cranium tampak atau teraba melebar
c. Kulit kepala licin mengkilap atau tampak vena vena supervisial menon-
jol. Perkusi kepala akan terasa seperti pot bunga yang retak (cracked
pot sign)
d. Fenomena matahari tenggelam (sunset phenomena) tampak kedua bola
mata deviasi kebawah dan kelopak mata atas tertarik, sclera tampak di
atas iris sehingga iris seakan akan matahari yang akan terbenan. Fenom-
ena ini seperti halnya tanda perinaud, yang terdapat gangguan pada
daerah tektam. Esotropia akibat parase n.VI dan kadang terdapat parase
pada n. III, dapat menyebabkan penglihatan ganda dan mempunya re-
siko bayi menjadi ambliopia.
Kerusakan saraf yang memberi gejala kelainan neurologis berupa
gangguan kesadaran, motoris atau kejang, kadang-kadang gangguan pusat
vital, bergantung kepada kemampuan kepala untuk membesar dalam
9
mengatasi tekanan intracranial yang meninggi. Bila proses berlangsung
lambat, maka mungkin tidak terdapat gejala neurologis walaupun telah
terdapat pelebaran ventrikel yang belum begitu melebar (Listiono, 2010).
Gejala lainnya yang dapat terjadi ialah spastisistas yang biasanya
melibatkan ekstremitas inferior (sebagai konsekuensi peregangan traktus
pyramidal sekitar ventrikel lateral yang dilatasi) dan berlanjut sebagai
gangguan berjalan, gangguan endoktrin (karena distraksi hipotalamus dan
‘pituitari stalk’ oleh dilatasi ventrikel III) (Listiono, 2010)
7. PENATALAKSANAAN
Pada sebagian penderita, pembesaran kepala berhenti sendiri (arrested
hydrocephalus) mungkin oleh rekanalisasi ruang subarachnoid atau
kompensasi pembentukan CSS yang berkurang. Tindakan bedah belum
ada yang memuaskan 100%, kecuali bila penyebabnya ialah tumor yang
masih bisa diangkat. Ada tiga prinsip pengobatan hidrosefalus, yaitu;
mengurangi produksi CSS dengan merusak sebagian pleksus koroidalis,
dengan tindakan reseksi atau koagulasi, akan tetapi hasilnya tidak
memuaskan, memperbaiki hubungan antara tempat produksi CSS dengan
tempat absorpsi yakni menghubungkan ventrikel dengan ruang
subarachnoid. Misalnya, ventrikulo-sisternostomi Torkildsen pada stenosis
akuaduktus. Pada anak hasilnya kurang memuaskan, karena sudah ada
insufisiensi fungsi absorpsi, Pengeluaran CSS ke dalam organ
ekstrakranial
a. Penanganan sementara
10
Terapi konservatif medikamentasa ditujukan untuk mebatasi evolusi
hidrosefalus melalui upaya mengurangi sekresi cairan dan pleksus
choroid (asetazolamit 100 mg/kgBB/hari; furosemid 1,2
mg/kgBB/hari) atau upaya meningkatkan resorpsinya (isorbid). Terapi
diatas hanya bersifat sementara sebelum dilakukan terapi defenitif
diterapkan atau bila ada harapan kemungkinan pulihnya gangguan
hemodinamik tersebut; sebaliknya terapi ini tidak efektif untuk
pengobatan jangka panjang mengingat adanya resiko terjadinya
gangguan metabolic (Espay, A.J., et. al.; 2010 dan Listiono, 2010)
Drainase liqouor eksternal dilakukan dengan memasang kateter
ventrikuler yang kemudian dihubungka dengan suatu kantong drain
eksternal. Keadaan ini dilakukan untuk penderita yang berpotensi
menjadi hidrosefalus (hidrosefalus transisi) atau yang sedang
mengalami infeksi. Keterbatasan tindakan ini adalah adanya ancaman
kontaminasi liquor dan penderita harus selalu dipantau secara ketat
(Listiono, 2010). Cara lain yang mirip dengan metode ini adalah puksi
ventrikel yang dilakukan berulang kali untuk mengatasi pembesaran
ventrikel yang terjadi.
Cara cara untuk mengatasi pembesaran ventrikel diatas dapat
diterapkan pada beberapa situasi tertentu seperti pada kasus stadium
akut hidrosefalus paska perdarahan (Listiono, 2010).
b. Penanganan Alternatif (selain shunting)
Tindakan alternatif selain operasi pintas (shunting) diterapkan
khususnya bagi kasus kasus yang mengalami sumbatan didalam
11
sistem ventrikel termasuk juga saluran keluar ventrikel IV (misal;
stenosis akuaduktus, tumor fossa posterior, kista arakhnoid). Dalam
hal ini maka tindakan terapeutik semacam ini perlu dipertimbangkan
terlebih dahulu, walaupun kadang lebih rumit daripada memasang
shunt, mengingat restorasi aliran liqour menuju keadaan atau
mendeteksi normal selalu lebih baik daripada suatu drainase yang
artifisiel (Listiono, 2010).
Terapi etiologic. Penanganan terhadap etiologi hidrosefalus
merupakan strategi terbaik; seperti antara lain; pengontrolan kasus
yang mengalami intoksikasi vitamin A, reseksi radikal lesi massa yang
mengganggu aliran liquor, pembersihan sisa darah dalam liquor atau
perbaikan suatu malformasi. Pada beberapa kasus diharuskan untuk
melakukan terapi sementara terlebih dahulu sebelum diketahui secara
pasti lesi penyebab; atau masih memerlukan tindakan operasi shunting
karena kasus yang mempunyai etiologi multifactor atau mengalami
gangguan aliran liquor skunder (Listiono, 2010).
Penetrasi membrane. Penetrasi dasar ventrikel III merupakan suatu
tindakan membuat jalan alternative melalui rongga subarachnoid bagi
kasus kasus stenosis akuaduktus atau (lebih umum) gangguan aliran
pada fossa posterior (termasuk tumor fossa posterior). Selain
memulihkan fungsi sirkulasi liquor secara pseudo fisiologi,
ventrukulostomi III dapat menciptakan tekanan hidrostatik yang
uniform pada seluruh sistem saraf pusat sehingga mencegah terjadinya
perbedaan tekanan pada struktur struktuk garis tengah yang rentan2.
12
Saat ini metode yang terbaik untuk melakukan tindakan tersebut
adalah dengan teknik bedah endoskopik, dimana suatu neuroendoskop
(rigid atau fleksibel) dimasukkan melalui burrhole coronal (2-3 cm
dari garis tengah) kedalam ventrikel lateral, kemudian melalui
foramen monro (diidentifikasi berdasarkan pleksus khoroid dan vena
septalis serta dan vena thalamus triata) masuk kedalam ventrikel III.
Lubang di buat didepan percabangan arteri basilaris sehingga
terbentuk saluran antara ventrikel III dengan sisterna
interpedinkularis. Lubang ini dapat dibuat dengan memakai laser,
monopolar kuagulator, radiofrekuensi, dan kateter balon (Listiono,
2010).
c. Operasi pemasangan ‘pintas’ (shunting)
Sebagian besar pasien hidrosefalus memerlukan shunting, bertujuan
membuat aliran liquor baru (ventrikel atau lumbar) dengan kavitas
drainase (seperti; peritoneum, atrium kanan, pleura). Pada anak anak
lokasi kavitas yang terpilih adalah rongga peritoneum, mengingat
mampu menampung kateter yang cukup panjang sehingga dapat
menyesuaikan pertumbuhan anak serta resiko terjadi infeksi relatif
lebih kecil dibanding rongga jantung. Biasanya cairan LCS didrainasi
dari ventrikel, namun terkadang pada hidrosefalus kommunikan ada
yang didrain ke rongga subarachnoid lumbar (Listiono, 2010).
Pada dasarnya alat shunt terdiri dari tiga komponen yaitu; kateter
proksimal, katub (dengan/tanpa reservior), dan kateter distal.
Komponen bahan dasarnya adalah elastomer silicon. Pemilihan
13
pemakaian didasarkan atas pertimbangan mengenai penyembuhan
kulit yang alam hal ini sesuai dengan usia penderita, berat badan,
ketebalan kulit dan ukuran kepala. Sistem hidrodinamik shunt tetap
berfungsi pada tekanan yang tinggi, sedang dan rendah, dan pilihan
ditetapkan sesuai dengan ukuran ventrikel, status pasien (vegetative,
normal) pathogenesis hidrosefalus, dan proses evolusi penyakit
(Espay, A.J., et. al.; 2010 dan Listiono, 2010).
Penempatan reservoir shunt umunya dipasang di frontal atau temporo-
oksipital yang kemudian disalurkan di bawah kulit. Tehnik operasi
penempatan shunt didasarkan pada pertimbangan anatomis dan
potensi kontaminasi yang mungkin terjadi. Terdapat dua hal yang
perlu diorbservasi pasca operasi, yaitu: pemeliharaan luka kulit
terhadap kontaminasi infeksi dan pemantauan kelancaran dan fungsi
alat shunt yang dipasang (Listiono, 2010). Terdapat dua jenis tempat
pemasangan cateter VP shunt pada daerah kepala, yang pertama
penusukkan pada daerah frontal ventrikel, dengan tempat penusukkan
sekitar 3 cm dari garis tengah (pada garis tengah pupil) dan 1cm
anterior dari sutura coronal, sedangkan tempat penusukkan yang
kedua pada daerah posterior ventrikel, dengan menusukkan sekitar 3-
4cm dari garis tengah dan anterior dari sutura lambroidea (Piatt, J.H,
2002).
14
Gambar1. Teknik melakukan penuskkan di kepala pada VP shunt (Piatt, J.H, 2002).
Penempatan shunting pada abdominal harus memuhi tujuan berikut
(Piatt, J.H, 2002).
a. Kateter abdominal dari shunting harus tepat masuk pada rung peri-
toneal, bukan pada ruang preperitonial atau jaringan subkutan
ataupun pada organ berongga lainnya
b. Luka tidak menyebabkan kebocoran LCS
c. Luka bersih dari infeksi, atau jika terjadi infeksi superficial, kateter
shunting jangan sampai terkontaminasi
d. Luka sebaiknya tidak menyolol mata.
Penusukkan dinding abdominal dibantu dengan jari pada tangan yang
tidak dominan, sedangkan tangan yang dominan mendorong kateter.
Penusukkan melewati laposan fasia dan otot dari dinding abdomen
dan peritoneum parietal pada beberappa saentimeter diatas insisi
(Piatt, J.H, 2002).
15
Gambar2.Penusukkan abdominal pada pemasangan VP shunt
(Piatt, J.H, 2002).
Gambar3. Ventrikulo peritoneal shunting
Komplikasi shunt dikategorikan menjadi tiga komplikasi yaitu; infeksi,
kegagalan mekanis, dan kegagalan fungsional, yang disebabkan jumlah
aliran yang tidak adekuat. Infeksi meningkatkan resiko akan kerusakan
intelektual, lokulasi ventrikel dan bahkan kematian. Kegagalan mekanis
mencakup komplikasi komplikasi seperti; oklusi aliran di dalam shunt
(proksimal katub atau distal), diskoneksi atau putusnya shunt, migrasi dari
tempat semula, tempat pemasangan yang tidak tepat. Kegagalan fungsional
16
dapat berupa drainase yang berlebihan atau malah kurang lancarnya
drainase. Drainase yang terlalu banyak dapat menimbulkan komplikasi
lanjutan seperti terjadinya efusi subdural, kraniosinostosis, lokulasi
ventrikel, hipotensi ortostatik (Espay, A.J., et. al.; 2010 dan Listiono,
2010)
8. KOMPLIKASI
a. Berhubungan dengan progresifitas hidrosefalus
1) Perubahan Visual
Gangguan penglihatan bilateral sangat jarang terjadi. Kerusakan nervus
optikus adalah akibat desakkan di region frontal atau frontotemporal,
timbul segera setelah mengalami desakkan. Gejala klinik bergantung
pada lokasi pendesakkan, umumnya berupa penurunan visus (daya
lihat), skotoma, dilatasi pupil dengan reaksi cahaya negatif, atau
hemianopia bitemporal. Peningkatan tekanan intra serebral
menyebabkan papil edema, sehingga menyebabkan ketajaman
penglihatan akan menurun dan lebih lanjut dapat mengakibatkan
kebutaan yang irreversible bila terjadi atrofi papila N.II (Garton H. J.
L., dan Piatt J.H., 2004).
2) Oklusi dari arteri cerebral posterior akibat proses skunder dari
transtentorial herniasi
3) kronik papil udema akibat kerusakan nervus optikus.
4) Dilatasi dari ventrikel ke tiga dengan kompresi area kiasma optikum.
5) Disfungsi cognitive dan inkontunensia
b. Berhubungan dengan pengobatan
17
1) Electrolit imbalance
2) Metabolic acidosis
c. Berhungan dengan terapi bedah
1) Tanda dan gejala dari peningkatan tekanan intracranial dapat dise-
babkan oleh gangguan pada shunt.
2) Subdural hematoma atau subdural hygroma akibat skunder dari
overshunting. Nyeri kepala dan tanda neurologis fokal dapat di-
jumpai.
3) Tatalaksana kejangn dengan dengan obat antiepilepsi.
4) Okasional Infeksi pada shunt dapat asimtomatik. pada neonates, dap-
at bermanifestasi sebagai perubahan pola makan, irritabilitas, vomit-
ing, febris, letargi, somnolen, dan ubun ubun menonjol. Anak-anak
yang lebih tua dan orang dewasa biasa dengan gejala dengan sakit
kepala, febris, vomitus, dan meningismus. Dengan ventriculoperi-
toneal (VP) shunts, sakit perut dapat terjadi.
5) Shunts dapat bertindak sebagai saluran untuk metastasis extraneural
tumor tertentu (misalnya, medulloblastoma).
6) Komplikasi dari VP shunt termasuk; peritonitis, hernia inguinal, per-
forasi organ abdomen, obtruksi usus, volvulus, dan CSF asites.
7) Komplikasi dari ventriculoatrial (VA) shunt termasuk; septicemia,
shunt embolus, endocarditis, dan hipertensi pulmunal.
8) Kompliaksi dari Lumboperitoneal shunt termasuk; radiculopathy dan
arachnoiditis.
18
C. ABSES OTAK
Abses otak dikenal sebagai salh satu bentuk supurasi yang terjadi di intra
cranial. Lesi ini dapat ditangani secara pembedahan. Bakteri yang
menyebablan abses pada otak biasanya campuran dari bakteri aerob dan
anaerob. Bakteri yang dapat diisolasi pada 50 kasus adalah sebagai berikut
(Lakshmi V; Rao R.R. dan Dinakar, I. 1993)
Tabel1. Bakteri penyebab abses otak
Sumber: (Lakshmi V; Rao R.R. dan Dinakar, I. 1993)
Letak penyebaran abses otak, dapat diidentifikasi dari sumber awal infeksi
terjadi.
19
Tabel2. Lokasi abses otak terdasarkan presdisposisi sumber infeksi.
Sumber: (Lakshmi V; Rao R.R. dan Dinakar, I. 1993)
Tuberkulosis pada sistem saraf pusat terjadi karena penyebaran hematogen
dari M. tuberculosis. Tuberkulosis meningitis dapat terjadi karena penyebaran
secara limfatik, dari noduli limfaticus servikal. Bakteri tuberculosis
terimmobilisasi pada arteri akhir yang menyebabkan pembentukan fokus
tuberkulosis pada submeningeal. Permukaan meningeal menjadi terlapisi oleh
eksudat berwarna abu abu kekuningan. Hingga akhirnya bakteri tuberkulosis
dapat memasukki otak yang memiliki suplai darah yang banyak.
Tuberkuloma yang tertama terbentuk, dan merangsang reaksi sekunder yang
dapat membentuk kapsul yang tebal. Jika tuberkuloma menyumbat aliran
cairan serebro spinal, maka dapat terjadi hydrocephalus (Liau, P.W., et.al.
2010).
D. ANESTESI GENERAL
20
Anestesi berarti pembiusan, bersal dari bahasa yunani yaitu “an” berarti
“tidak, tanpa” dan “aestheos” berarti “persepsi, kemampuan untuk merasa”.
Secara umum berarti suatu tindakan menghilangkan rasa sakit ketika
melakukan pembedahan dan berbagai prosedur lainnya yang menimbulkan
rasa sakit pada tubuh. Anestesi umum / general anesthesia merupakan
tindakan untuk menghilangkan nyeri secara sentral disertai dengan hilangnya
kesadaran, dan bersifat pulih kembali (reversibel). Trias anestesi meliputi
sedasi, analgesi dan relaksasi. Pemberian obat anestesi umum dapat secara
parenteral dan inhalasi (Dahnert, 2003; Ekayuda, 2006). Stadium anestesi
terdiri dari :
a. Stadium I : stadium analgesia atau stadium disorientasi
Mulai dari induksi sampai hilangnya kesadaran. Walaupun disebut
Stadium analgesia, tapi sensasi terhadap ransang sakit tidak berubah,
biasanya operasi-operasi kecil sudah bisa dilakukan. Stadium ini berakhir
dengan ditandai oleh hilangnya refleks bulu mata.
b. Stadium II : stadium eksitasi atau stadium delirium
Mulai dari akhir stadium I dan ditandai dengan pernafasan yang
irreguler, pupil melebar dengan refleks cahaya (+), pergerakan bola mata
tidak teratur, lakrimasi (+), tonus otot meninggi dan diakhiri dengan
hilangnya refleks menelan dan kelopak mata.
c. Stadium III : stadium pembedahan
Mulai dari akhir stadium II, dimana pernafasan mulai teratur. Dibagi
dalam 4 plana, yaitu :
1. Plana 1
21
Ditandai dengan pernafasan teratur, pernafasan torakal sama kuat
dengan pernafasan abdominal, pergerakan bola mata terhenti, kadang-
kadang letaknya eksentrik, pupil mengecil lagi dan refleks
cahaya (+), lakrimasi akan meningkat, refleks farings dan muntah
menghilang, tonus otot menurun.
2. Plana 2
Ditandai dengan pernafasan yang teratur, volume tidal menurun dan
frekwensi pernafasan naik. Mulai terjadi depresi pernafasan torakal,
bola mata terfiksir ditengah, pupil mulai midriasis dengan refleks
cahaya menurun dan refleks kornea menghilang.
3. Plana 3
Ditandai dgn pernafasan abdominal yang lebih dominan daripada
torakal karena paralisis otot interkostal yang makin bertambah
sehingga pada akhir plana 3 terjadi paralisis total otot interkostal,
juga mulai terjadi paralisis otot-otot diafragma, pupil melebar dan
refleks cahaya akan menghilang pada akhir plana 3 ini, lakrimasi
refleks farings & peritoneal menghilang, tonus otot-otot makin
menurun.
4. Plana 4
Pernafasan tidak adekuat, irreguler, ‘jerky’ karena paralisis otot
diafragma yg makin nyata, pada akhir plana 4, paralisis total diafragma,
tonus otot makin menurun dan akhirnya flaccid, pupil melebar dan
refleks cahaya (-), refleks sfingter ani menghilang.
d. Stadium IV : stadium paralisis
22
Mulai dari kegagalan pernapasan yang kemudian akan segera diikuti
kegagalan sirkulasi (Morgan, 2006).
Dalam operasi bedah saraf terdapat tiga sasaran yaitu mengendalikan
tekanan intrakranial dan volume otak dengan pengaturan CBF, volume CSF,
melindungi jaringan saraf dari iskemia dan injuri sekunder dengan proteksi
otak, mengurangi perdarahan dengan teknik hipotensi tanpa menurunkan
CPP. Prinsip pengelolaan anestesi pada operasi bedah saraf :
a. Jalan nafas selalu bebas sepanjang waktu
b. Ventilasi kendali : oksigenasi adekuat (Pao2: 100-200 mmHg), hipokarbi
(PaCO2 : 25-30 mmHg)
c. Hindari lonjakan tekanan darah
d. Hindari faktor mekanis yang meningkatkan tekanan vena serebral seperti :
a) Tidak ada batuk atau mengejan
b) Tidak ada tekanan pada abdomen atau tahanan pengembangan thoraks
c) Tidak ada PEEP yang tidak disengaja
e. Hindari obat dan teknik yang meningkatkan CBF, volume CSF, ICP
f. Menggunakan teknik khusus bila diperlukan untuk mengurangi ICP dan
edema serebri
g. Pemberian cairan dengan tepat (Tatang, 1997; Hughes, 2008).
1. Evaluasi pra bedah
Tindakan preoperatif ditujukan untuk menyiapkan kondisi pasien
seoptimal mungkin dalam menghadapi operasi. Persiapan prabedah
menentukan keberhasilan suatu operasi. Persiapan prabedah yang kurang
memadai merupakan faktor sebab terjadinya kecelakaan anestesia. Dokter
23
spesialis anestesiologi hendaknya mengunjungi pasien sebelum pasien
dibedah, agar dapat mempreersiapkan fisik dan mental pasien,
merencanakan dan memilih teknik anestesi serta obat yang dipakai, dan
menentukan klasifikasi pasien berdasarkan ASA. Penilaian dan persiapan
pasien diantaranya meliputi:
1) Anamnesis
a. Identifikasi pasien (nama, umur, alamat, dll).
b. Keluhan saat ini dan tindakan operasi yang akan dihadapi
c. Riwayat penyakit yang sedang atau pernah diderita untuk
mengetahui kemungkinan penyulit anestesi (misalnya alergi,
diabetes melitus, penyakit paru kronis, penyakit jantung, penyakit
ginjal, dan penyakit hati.
d. Riwayat pemakaian obat meliputi alergi obat, intoleransi obat, dan
obat yang sedang digunakan dan dapat menimbulkan interaksi
dengan obat anestetik
e. Riwayat anestetik atau operasi sebelumnya, meliputi tanggal, jenis
pembedahan, dan anestesi, komplikasi dan perawatan intensif pasca
bedah.
f. Riwayat kebiasaan sehari-hari yang dapat mempenaruhi tindakan
(merokok, minum alkohol, obat penenang, narkotik.
g. Riwayat berdasarkan sistem organ
h. Makanan yang terakhir dimakan (Mangku, 2010; Gupta, 2001).
2) Pemeriksaan fisik
24
a. Tinggi dan berat badan, untuk memperkirakan dosis obat, terapi
cairan yang diperlukan, serta jumlah urin selama dan sesudah pem-
bedahan.
b. Frekuensi nadi, tekanan darah, pola dan frekuensi pernafasan, serta
suhu tubuh.
c. Jalan nafas (air way),
d. Kesadaran, Jantung, paru-paru, abdomen, punggung, neurologis, Ek-
stremitas.
e. Evaluasi tekanan intrakranial, efek samping penyakit intrakranial
(Mangku, 2010; Gupta, 2001).
3) Pemeriksaan Penunjang
a. Rutin: darah, urin, foto dada (terutama untuk bedah mayor), elek-
trokardiografi (untuk pasien diatas umur 40 tahun).
b. Khusus, dilakukan bila ada riwayat atau indikasi
c. CT-Scan (Mangku, 2010; Gupta, 2001).
2. Premedikasi
Premedikasi sebaiknya diberikan karena sistem saraf pusat pada
pasien dengan penyakit intrakranial menjadi sangat sensitif. Sebelum
pasien dilakukan induksi anestesi, langkah selanjutny adalah dilakukan
premedikasi yaitu pemberian obat sebelum induksi anestesi diberi dengan
tujuan untuk melancarkan induksi, rumatan dan bangun dari anestesi
diantranya :
a. Meredakan kecemasan dan ketakutan
b. Mengurangi sekresi kelenjar ludah dan bronkus
25
c. Mengurangi mual dan muntah pasca bedah
d. Mengurangi isi cairan lambung.
Pembersihan dan pengosongan saluran pencernaan untuk mencegah
aspirasi isi lambung karena regurgitasi atau muntah. Pada operasi
elektif, pasien dewasa dipuasakan 6 jam sebelum operasi. Pasien
dengan penurunan kesaddaran mengalami perlambatan pengosongan
lambung sehingga harus hati-hati adanya bahaya aspirasi
e. Membuat amnesia
f. Memperlancar induksi anestesi
g. Meminimalkan jumlah obat anestesi
h. Mengurangi reflek yang membahayakan (Dahnert, 2003)
Obat premedikasi
a. Diazepam dapat diberikan pada pasien 0,1-0,2 mg/KgBB.
Penambahan sedasi dapat diberikan pada pasien saat datang di ruang
operasi. Jika pasien dengan tekanan intrakranial tinggi, penggunaan
opioid sebaiknya dihindari karena berefek depresi pernapasan dan
peningkatan CBF dan menyebabkan hiperkarbi (Hughes, 2008).
b. Hipnoz (Midazolam) : obat penenang (transquilaizer). Modazolam
merupakan obat induksi jangka pendek yang dapat digunakan untuk
premedikasi, induksi dan pemeliharaan anestesi. Dibandingkan den-
gan diazepam, midazolam bekerja lebih cepat karena transformasi
metabolitnya cepat dan lama kerjanya singkat. Pada pasien orang tua,
dengan perubahan oganik otak atau gangguan fungsi jantung dan per-
napasan, dosis midazolam harus ditentikan secara hati-hati. Dosis pre-
26
medikasi dewasa 0.07-0.10 mg/KgBB. Dosis pada orang tua 0.025-
0.05 mg/kgBB. Efek sampingnya terjadi perubahan tekanan darah ar-
teri, denyutnadi dan pernafasan, umumnya hanya sedikit
c. Cedantron (Ondansentrone). Suatu antagonis reseptor serotonin 5 –
HT 3 selektif. Baik untuk pencegahan dan pengobatan mual, muntah
pasca bedah. Efek samping berupa hipotensi, bronkospasme, konsti-
pasi, dan sesak nafas. Dosis dewasa 2-4mg.
d. Fentanil dapat dipertimbangkan untuk menekan respon nyeri (Dunn,
2007; Hughes, 2008).
3. Monitoring
Monitoring anestesi yang dilakukan antara lain :
a. Monitoring sirkulasi terdiri dari elektrokardiogram, tekanan darah,
central venous pressure (CVP) saat ada indikasi
b. Monitoring ventilasi terdiri dari volum tidal, frekuensi nafas dan
tahanan jalan nafas, pulse oksimeter
c. Monitoring keseimbangan cairan terdiri dari urin output, elektrolit,
pengukuran hematokrit
d. Monitoring derajat relaksasi otot
e. Monitoring suhu tubuh untuk mencegah hipotermi dan hipertermi
(Tatang, 1997;Mangku, 2010)
4. Teknik anestesi umum
a. INHALASI dengan Respirasi Spontan,
1) Sungkup wajah
2) Intubasi endotrakeal
27
3) Laryngeal mask airway (LMA)
b. INHALASI dengan Respirasi kendali
1) Intubasi endotrakeal
2) Laryngeal mask airway
c. ANESTESI INTRAVENA TOTAL (TIVA)
1) Tanpa intubasi endotrakeal
2) Dengan intubasi endotrakeal
Anestesi dengan menggunakan sungkup wajah dianjurkan apabila :
a. pembedahan singkat ½ - 1 jam tanpa membuka peritoneum
b. bukan operasi daerah kepala atau leher
c. lambung kosong
d. ASA 1 – 2.
Jika di luar dari kriteria di atas, sebaiknya digunakan intubasi
endotrakeal. Anestesi umum dengan menggunakan intubasi endotrakeal
diindikasikan untuk :
a. pembedahan lama (> 1 jam)
b. pembedahan daerah kepala dan leher
c. jika kesulitan mempertahankan jalan napas karena berbagai sebab.
LMA hanya dianjurkan pada pasien yang puasanya cukup (lambung
kosong) (Dahnert, 2003).
5. Induksi dan intubasi
Induksi merupakan tahap yang kritis, tidak jarang terjadi kenaikan
tekanan intrakranial karena teknik yang salah. Beberapa faktor penting
yang dapat menyebabkan kenaikan tekanan intrakranial saat intubasi yaitu
28
anestesi dan relaksasi otot kurang adekuat, peningkatan PaCO2 karena
henti nafas, hipoksia, karena oksigenasi kurang memadai, posisi kepala
salah sehingga menyebabkan gangguan drainase likuor (Mangku, 2010;
Hughes, 2008).
Tujuan anestesi pada pasien dengan prosedur operasi intrakranial yaitu
hipnosis, amnesia, imobilitas, kontrol tekanan intrakranial, dan penjagaan
hipertensi, hipotensi, hipoksia, hiperkarbi serta batuk. Induksi anestesi
merupakan tindakan untuk membuat pasien sadar menjadi tidak sadar,
sehingga memungkinkan dimulainya anestesi dan pembedahan, yang
bersifat reversibel. Induksi anestesi dapat dikerjakan melalui intravena,
inhalasi, intramuskular, atau rektal.
• S : Scope. Stetoskop, untuk mendengarkan suara paru dan jantung.
Laringo-scope, untuk membantu memasukan endotrakeal tube.
• T : Tubes. Pipa trakea, dipilih berdasarkan usia. Pada anak usia <5
tahun tanpa balon (cuffed) dan >5 tahun dengan balon.
• A : Air way. Pipa mulut faring (guedel, orotracheal-airway) atau pipa
hidung faring (naso-tracheal airway). Pipa ini ditujukan untuk menahan
lidah saat pasien tidak sadar dan menjaga lidah tidak menutup jalan na-
pas.
• T : Tape. Plaster untuk menfiksasikan tube, supaya tidak terdorong
ataupun tercabut.
• I : Introducer. Mandrin atau stilet dari kawat dibungkus plastik yang
mudah dibengkokan, sehingga memudahkan tube mudah masuk.
• C : Connector. Penyambung antara pipa dan peralatan anestesi.
29
• S : Suction. Penyedot lendir, darah, dan lain-lainnya.
Induksi intravena dapat dikerjakan secara full dose maupun sleeping
dose. Induksi intravena sleeping dose yaitu pemberian obat induksi dengan
dosis tertentu sampai pasien tertidur. Sleeping dose ini dari segi takarannya
di bawah dari full dose ataupun maximal dose. Induksi sleeping dose
dilakukan terhadap pasien yang kondisi fisiknya lemah (geriatri, pasien
presyok).
Obat yang digunakan untuk induksi inhalasi adalah obat-obat yang
memiliki sifat-sifat :
a. tidak berbau menyengat / merangsang
b. baunya enak
c. cepat membuat pasien tertidur.
Sifat-sifat tadi ditemukan pada halotan dan sevofluran. Tanda-tanda
induksi berhasil adalah hilangnya refleks bulu mata. Jika bulu mata
disentuh, tidak ada gerakan pada kelopak mata (Tatang, 1997; Mangku,
2010).
Obat Induksi Intravena yang Digunakan.
1) Recofol (Profofol)
Mekanisme kerja propofol dengan meningkatkan inhibisi transmisi
saraf melalui GABA. Propofol tidak larut dalam air dan tersedia dalam
bentuk larutan dengan konsentrasi 1 % berupa suspensi lemak dalam air
dan mengandung minyak kacang kedelai, gliserol, dan lecithin telur.
Adanya riwayat alergi telur tidak menjadi kontraindikasi pemberian
propofol, karena unsur lecithin telur diekstrak dari kuning telur,
30
sementara alergi telur umumnya terkait dengan albumn (kuning telur).
Dosis yang diberikan 2-4 mg/kg (Dahnert, 2003).
Efek pada Organ Tubuh
a. Kardiovaskuler :
Efek utama adalah turunnya tekanan darah karena turunnya
resistensi perifer (inhibisi aktivitas vasokonstriktor simpatis),
kontraktilitas miokard dan menurunnya preload. Hipotensi lebih
menonjol daripada pemberian thiopental namun biasanya mudah
pulih dengan rangsangan laringoskopi dan intubasi. Faktor yang
memperberat hipotensi adalah dosis yang besar, pemberian yang
cepat dan usia tua.
Propofol menghambat refleks baroreseptor terhadap hipotensi
terutama pada keadaan normokarbia ataupun hipokarbia. Walaupun
jarang terjadi, penurunan tensi dapat mengakibatkan bradikardi
akibat dari refleks vagal. Perubahan pada frekuensi dan curah
jantung biasanya tidak menonjol, namun dapat cukup berat hingga
menimbulkan asistol terutama pada usia-usia yang ekstrim, obat-
obatan dengan efek kronotropik negaif, atau menjalani operasi yng
dapat menimbulkan refleks okulokardiak.
Pasien dengan fungsi ventrikel yang menurun dapat
mengalami penurunan tensi yang cukup signifikan sebagai hasil
dari penurunan tekanan diastolik dan kontraktilitas yang menurun.
Konsumsi oksigen miokard dan aliran darah jantung menurun,
namun ternyata ditemukan pula peningkaan laktat pada pembuluh
31
darah koroner yang menunjukkan adanya ketidaksesuaian antara
suplai oksigen dan kebutuhannya.
b. Respirasi
Seperti halnya barbiturat, propofol mempunyai efek depresi
pernapasan yang cukup besar yang sering menyebabkan apnea
setelah pemberian dosis induksi. Bahkan bila hanya diberikan
dalam dosis subanestetik sebagai sedatif, propofol menghambat
refleks pernapasan akibat stimulasi kondisi hiperkarbia, sehingga
obat ini hanya dapat digunakan oleh orang yang terlatih.
Propofol menurunkan refleks di saluran napas atas sehingga
berguna saat intubasi atau pemasangan LMA.
Walaupun propofol mempunyai efek pelepasan histamin,
insidensinya bila dibandingkan dengan barbiturat maupun etomidat
lebih kecil, sehingga tidak dikontraindikasikan terhadap pasien-
pasien asma.
c. Otak
Propofol mengurangi aliran darah otak dan tekanan
intrakranial. Pada pasien dengan tekanan intrakranial yang
meningkat propofol dapat menyebabkan penurunan CPP yang
drastis hingga < 50 mmHg kecuali dilakukan langkah-langkah
untuk menjaga MAP.
Propofol dan thiopental mempunyai karakteristik proteksi otak
yang sama kuat pada kejadian iskemia. Propofol mempunyai efek
32
antipruritik, dan efek antiemetiknya membuat obat ini cocok untuk
pasien ODS.
Propofol juga menurunkan tekanan intraokuler dan tidak
memberikan toleransi setelah pemebrian infus propofol dalam
waktu lama.
2) Fentanil
Fentanil merupakan opioid sintetik yang agonis selektif yang
bekerja terutama pada reseptor μ dengan sedikit berpengaruh pada
reseptor δ dan κ. Fentanil merupakan opioid yang poten, mempunyai
potensi analgesia 100-300 kali efek morfin. Bersifat lipofilik yang
memungkinkan masuk ke struktur susunan saraf pusat dengan cepat.
Dosis Fentanil
a. Premedikasi : 50-100 mcg IM disuntikkan intramuskular 30-60
menit sebelum pembedahan.
b. Tambahan untuk anestesi regional : 50-100mcg disuntikkan intra-
muskular atau intravena secara perlahan selama 1-2 menit saat
penghilang rasa sakit tambahan dibutuhkan.
c. Sesudah operasi (ruang pemulihan) : 50-100 mcg disuntikkan intra-
muskular, bisa diulangi dalam waktu 1-2 jam sesuai kebutuhan
Efek Samping
Depresi pernapasan, otot kaku, hipotensi, bradikardia, laringospasme,
mual dan muntah. Kedinginan, kelelahan, halusinasi setelah operasi,
gejala-gejala ektrapiramidal saat digunakan dengan suatu tranquilizer
seperti Droperidol.
33
Opioid menyebabkan perubahan minimal pada hemodinamik cerebral
dan berfungsi mengurangi respon intubasi dan kraniotomi. Karena
intubasi, penempatan kepala, dan prosedur kraniotomi (insisi dan
manipulasi periosteum) termasuk periode yang sangat merangsang
tekanan intrakranial. Fentanil dosis 5-10 µg/kg) dan remifentanil biasa
digunakan, karena keduanya memiliki onset cepat dan poten.
Konsentrasi rendah dari agen volatil dapat berfungsi untk mencegah
hipertensi selama awal pembedahan. Setelah intubasi, mata ditutup
untuk mencegah iritasi dari larutan prabedah. Pada induksi pemberian
oksigenasi yang adekuat, kemudian diberikan lidokain 1-1,5 mg/kgbb
(iv) untuk menekan rangsang simpatis saat intubasi, intubasi dengan
propofol, dan laringskopi, pemasangan ETT, dan fiksasi (Gupta, 2001;
Hughes, 2008).
6. Pemeliharaan anestesi
Maintenance/ rumatan anestesi dapat dikerjakan melalui intravena
atau inhalasi atau campuran intravena inhalasi. Maintenance mengacu
pada trias anastesi: hipnotic, analgetic, dan relaksasi. Rumatan anestesi
bisa dengan narkotik atau volatil anestesi. Setiap kenaikan ICP akibat
volatil anestesi dapat dikurangi dengan pemberian pentotal atau diazepam
lebih dahulu, bersama dengan keadaan hipokarbia 10 menit sebelum
pemberian isofluran. Bebrapa hal yang perlu diperhatikan selama
pemeliharaan antara lain
a. Kombinasi obat yaitu N2O:O2 =60%:40%, fentanil.
Dehidrobenzperidol, muscle relaxan non depolarisasi. Pilihan lain
34
N2O:O2 =60%:40%, disertai isofluran atau desfluran/sevofluran dan
pelumpuh otot misalnya vecuronium 0,1 mg/kg BB/jam untuk menjaga
pergerakan.
b. Isofluran diberikan setelah tulang tengkorak dibuka. Otak menjadi lebih
bengkak dengan volatil anestei dibandingkan dengan anestesi iv. Untuk
mengurangi pembengkakan akibat volatil dapat diberikan diuretik. Di
beberapa center digunakan volatil anestesi sejak permulaan dan obat
anestesi inhalasi terpilih yaitu isofluran. Keuntungan isofluran antara
lain Mudah memakai, Efek proteksi otak, Mudah mengendalikan
tekanan darah, Pemulihan cepat, Pada konsentrasi 0,5% CBF menurun
dan baru meningkat pada konsteras 0,95% tetapi peningkatan ICP oleh
isofluran 1% mudah dilawan dengan hipokapnia, Peningkatan ICP oleh
isofluran berakhir 30 menit setelah obat dihentikan, sedangkan akibat
halotan atau enfluran berakhir setelah 3 jam obat dihentikan.
Penggunaan kombinasi anestesi iv dan inhalasi dapat digunaakan
sampai tulang dibuka.
c. Pemberian osmotik diuresis dan steroid, bertujuan untuk menurunkan
TIK meski hal ini masih kontroversi
d. Analgesik dibutuhkan selama insisi kulit dan meneghubungkan drain
dari kepala sampai abdomen. Fentanil dapat diberikan (1–3 μg/kg)
e. Perubahan hemodinamik mungkin terjadi saat volume besar CSF
dialirkan dengan cepat pada kateter ventrikular. Hal ini harus
diwaspadai karena dapat menyebabkan bradikardi dan hipotensi
(Tatang, 1997; Dunn, 2007; Mangku, 2010, Hughes, 2008).
35
7. Terapi cairan dan transfusi darah selama operasi
Pada perdarahan < 20% dari perkiraan volume darah pasien, diberikan
cairan pengganti kristaloid atau koloid, namun bila > 20% diberikan
transfusi darah (Mangku, 2010).
8. Pemulihan anestesi
Menjelang akhir operasi, dosis pelemas otot diturunkan sampai
TOF=1. EtCO2 dinaikkan perlahan mencapai normal untuk mencegah
kenaikan cepat dari perubahan PaCO2. IPPV diteruskan sampai kepala
selesai diperban dan anestesi dipertahankan cukup untuk mencegah
sraining akibat tube. Dangkalnya anestesi dan reaksi terhadap ETT dapat
menyebabkan peningkatan ICP dan tekanan arteri sehingga dipertahankan
jangan terjadi straining, batuk atau kenaikan tekanan darah saat ekstubasi
(Tatang, 1997; Basil, 2000).
9. Medikasi post operasi
a. Analgetik : Ketorolac
Ketorolak adalah suatu OAINS yang menunjukkan efek analgesia
yang potensi tetapi hanya memiliki aktifitas antiinflamasi yang moderat
bila diberi secara intramuscular atau intravena. Obat ini dipakai
sebagai analgesia paska pembedahan baik sebagai obat tunggal (kurang
nyeri pada pasien rawat jalan) maupun suplemen dengan opioid.
Ketorolak mempotensiasi aksi antinociceptif dari opioid. Hal yang
berlawanan efek analgesia opioid tergantung dosis, ketorolak dan obat
AINS lain menimbulkan efek pada analgesia paska pembedahan.
36
Keuntungan ketorolak sewaktu induksi adalah tidak adanya depresi
pada kardiovaskuler maupun pernafasan. Tidak seperti opioid,
ketorolak sedikit atau tidak mempengaruhi saluran empedu .
Farmakokinetik
Setelah injeksi intramuscular, maksimum plasma konsentrasi
tercapai pada 30 sampai 60 menit, dan waktu paruh eliminasi sekitar 6-
8 jam. Mula kerjanya adalah 10 menit. Efek puncak dicapai dalam 2-3
jam. Obat dan hasil metabolitnya akan dikeluarkan melalui urin. Ikatan
dengan protein melebihi 99 % dan bersihan obat ini menurun
dibandingkan opioid.
Farmakodinamik
Bekerja di jalur siklooksigenase dari metabolisme asam arakidonat
yang kemudian menghambat sintesis dari prostaglandin dan
menghasilkan efek analgesia.
1) Efek analgesia.
Pada percobaan di beberapa hewan animal, mempunyai efek
analgesia 200-800 kali lebih poten dibandingkan dengan aspirin,
indometasin, naproksen dan fenil butazon.
2) Efek anti inflamasi
Mempunyai anti inflamasi yang kurang dibandingkan dengan efek
analgesinya. Efek antiinflamasinya hampir sama dengan
indometasin.
3) Efek pada fungsi platelet dan hemostasik
37
Ketorolak menghambat asam arakhidonat dan kolagen mencetuskan
agregasi platelet. Tidak ada interaksi dengan heparin dan
menimbulkan efek pada waktu trombin dan waktu protrombin.
4) Efek pada mukosa gastrointestinal
Tergantung pada dosis untuk menimbulkan erosi mukosa
gastrointestinal (Mangku, 2010).
b. Antiemetic : Ondansetron
Secara fisiologis, reseptor 5-HT3 berkaitan dengan muntah dan
didapatkan pada saluran cerna dan otak (area postrema). Reseptor 5-
HT2 bertanggungjawab untuk kontraksi otot polos dan agregasi
trombosit; reseptor 5-HT4 terdapat pada saluran cerna yang berguna
untuk sekresi dan peristaltik, dan reseptor 5-HT7 yang terutama
terdapat pada sistem limbik mempunyai peran dalam depresi.
Ondansetron, granisetron, dolasetron dan tropisetron secara selektif
menghambat reseptor serotonin 5-HT3, dengan sedikit atau tanpa efek
terhadap reseptor dopamin. Reseptor 5-HT3 yang terdapat perifer
(eferen vagal abdominal) dan sentral (kemoreseptor trigger zone pada
area postrema dan nukleus traktus solitarius) tampknya mempunyai
peranan penting dalam permulaan refleks muntah. Tidak seperti
metoklopramid, oba-obaan ini tidak mempunyai efek terhadap motilitas
saluran cerna dan tonus sfingter esofagus bagian bawah (Mangku,
2010).
Penggunaan Klinis
38
Semua obat ini telah terbukti efektif sebagai antiemetik pada
periode post operatif. Pemberian profilaksis dapat diberikan pada pasien
yang mempunyai riwayat mual post operatif, pasien yang menjalani
prosedur yang memiliki resiko tinggi untuk muntah (laparoskopi); pada
keadaan dimana keadaan mual muntah harus dihindari (operasi bedah
saraf) dan pasien yang sedang mengalami mual muntah. Pada saat ini
hanya ondansetron dan dolasetron yang disetujui oleh FDA untuk mual
muntah post operasi; granisetron hanya untuk pencegahan mual muntah
yang dipicu oleh khemoterapi.
Dosis
Dosis dewasa intravena yang direkomendasikan untuk
ondansetron sebagai pencegahan mual muntah perioperatif adalah 4 mg
yang dapat diberikan sebelum induksi anestesi atau pada akhir operasi.
Mual muntah post operatif juga dapat diterapi dengan pemberian dosis
4 mg, yang dapat diulangi sesuai kebutuhan setiap 4 – 8 jam (Mangku,
2010).
39
BAB II
LAPORAN KASUS
A. IDENTITAS PASIEN
Nama : Nn. S
Jenis Kelamin : Perempuan
Usia : 20 tahun
Berat Badan : 38 kg
Tinggi Badan : 150 cm
Agama : Islam
Alamat : Aman Rt2/Rw3 Kaligondah, Purbalingga
No. RM : 884010
B. PRIMARY SURVEY
Pemeriksaan
1. Airway
Clear, Mallampati 2, tidak terdapat gigi ompong dan gigi palsu.
2. Breathing
Napas spontan, thoraco-abdominal, tidak tampak ketertinggalan gerak
pada dada (gerak dada simetris), RR 28x per menit, reguler, tidak terdapat
retraksi, trakea terletak di median, terdapat suara rhonki pada pulmo
dekstra dan tidak terdengar suara wheezing.
3. Circulation
Kulit hangat, TD 120/70 mmHg, nadi 76x per menit, ireguler, isi dan
tegangan cukup.
4. Disability
Keadaan umum tampak sakit sedang, gizi kurang, kesadaran : compos
mentis, GCS E4V5M6 = 15, pupil bulat, isokor, 5mm/5mm dan reflek
cahaya +/+ menurun, visus 1/300 oculi dexta et sinistra
40
C. SECONDARY SURVEY
1. Anamnesis
a. Keluhan utama : Kepala pusing selama 1 bulan terakhir
b. Keluhan tambahan :
Pandangan mata kabur, leher terasa kaku
c. Riwayat penyakit sekarang :
Pasien rujukan dari RSUD Purbalingga datang ke IGD RSMS
tanggal 4 Januari 2012 pukul 17.15 WIB dengan keluhan kepala terasa
pusing, pandangan mata kabur, dan leher terasa kaku. Pada bulan
agustus 2011, pasien menyatakan pernah menderita sakit paru-paru,
mendapat pengobatan namun obat tidak dihabiskan karena merasa
sudah sembuh. Satu bulan kemudian pasien mengalami kejang
sebanyak 4 kali.
d. Riwayat penyakit dahulu :
1) Riwayat asma disangkal
2) Riwayat alergi makanan dan obat disangkal
3) Riwayat penyakit jantung disangkal
4) Riwayat penyakit hipertensi disangkal
5) Riwayat penyakit ginjal disangkal
6) Riwayat penyakit DM disangkal
7) Riwayat penyakit TB kasus putus obat
8) Riwayat trauma atau kecelakaan disangkal
e. Riwayat asma, alergi, penyakit jantung, ginjal, paru-paru, DM,
hipertensi, dan riwayat penyakit yang sama dengan pasien dalam
keluarga keluarga disangkal
2. Pemeriksaan Fisik
GCS : E4V5M6 = 15
Vital Sign : Tekanan darah : 130/90 mmHg
41
Nadi : 116 x/menit
Suhu : 36,8°C
Pernafasan : 28 x/menit
Status Generalis
a. Kulit : Warna kulit sawo matang, tidak ikterik, tidak
sianosis, turgor kulit cukup, capilary refill kurang
dari 2 detik dan teraba hangat.
b. Kepala : Tampak tidak ada jejas, tidak ada bekas trauma,
rambut hitam, distribusi merata dan tidak mudah
dicabut.
c. Muka : Simetris tidak terdapat jejas.
d. Mata : Tidak terdapat konjungtiva anemis dan sklera
ikterik, pupil isokor Φ5mm/5mm dan terdapat
reflek cahaya +/+ menurun, visus 1/300 oculi
dextra et sinistra
e. Hidung : Tidak didapatkan deviasi septum, discharge (darah
atau cairan) dan napas cuping hidung.
f. Mulut/Gigi : Tidak terdapat bibir sianosis, hematom, lidah
kotor,carries dan hiperemis pada faring.
g. Telinga : Simetris dan tidak didapatkan discharge (darah
atau cairan).
h. Pemeriksaan Leher
1) Inspeksi : Tidak terdapat jejas
2) Palpasi : Terdapat leher kaku, trake teraba di tengah, tidak
terdapat pembesaran kelenjar tiroid dan kelenjar
limfe.
i. Pemeriksaan Thorax
1) Jantung
a) Inspeksi : Tampak ictus cordis 2cm dibawah papila mamae
sinistra
b) Palpasi : Ictus cordis teraba kuat angkat
c) Perkusi :
42
i. Batas atas kiri : SIC II LPS sinsitra
ii. Batas atas kanan : SIC II LPS dextra
iii. Batas bawah kiri : SIC V LMC sinistra
iv. Batas bawah kanan : SIC IV LPS dextra
d) Auskultasi : S1 > S2 reguler, tidak ditemukan gallop dan murmur.
2) Paru
a) Inspeksi : Dinding dada simetris pada saat statis dan di-
namis serta tidak ditemukan retraksi dan ketert-
inggalan gerak.
b) Palpasi : Simetris, vokal fremitus kanan sama dengan kiri
dan tidak terdapat ketertinggalan gerak.
c) Perkusi : Sonor kedua lapang paru
d) Auskultasi: Terdengar suara rhonkhi pada pulmo dextra.
Tidak terdengar suara wheezing
j. Pemeriksaan Abdomen
a) Inspeksi : Perut datar, simetris, tidak terdapat jejas dan
massa
b) Auskultasi : Terdengar suara bising usus
c) Perkusi : Timpanitis
d) Palpasi : Supel, tidak terdapat nyeri tekan. Hepar dan
lien tidak teraba.
k. Pemeriksaan Ekstremitas :
1) Inspeksi :
Tidak terdapat jejas, bekas trauma, massa, dan sianosis
2) Palpasi :
1) KM : 5555 5555 3) Turgor kulit cukup
5555 5555 tidak edema
2) Tonus : N N 4) Akral hangat
N N
43
3. Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan 04-1-2012 Nilai normalHematologiHemoglobin 12,4 12,0-16,0 g/dLLeukosit 10420 4800-10800/µLHematokrit 37 37-47%Eritrosit 4,1x106 4,2-5,4x106/µTrombosit 345000 150000-450000/µLMCV 90,4 79,0-99,0 flMCH 30,5 27,0-31,0 pgMCHC 33,8 33,0-37,0 %RDW 13,9 11,5-14,5 %MPV 7,8 7,2-11,1 flHitung Jenis Basofil 0,1 0,0-1,0 % Eosinofil 0,0 2,0-4,0% Batang 0,00 2,0-5,0% Segmen 78,8 40,0-70,0% Limfosit 11,5 25,0-40,0% Monosit 9,7 2,0-8,0%PT 12,7 11,5-15,5 detikAPTT 31,8 25-35 detikKimia KlinikSGOT 18 15-37 U/LSGPT 16 30-65 U/LUreum 29,1 14,98-38,52 mg/dLCreatinin 0,47 0,60-1,00 mg/dLGDS 80 ≤ 200 mg/dLNatrium 143 136-148 mmol/LKalium 4,0 3,5-8,1 mmol/LKlorida 96 98-107 mmol/LSeroimmunologiHBsAg Non-reaktif Non-reaktif
4. Pemeriksaan Head CT Scan
Tampak lesi hiperdens dikelilingi ring enhancement regio temporal dan
parietal dekstra ukuran 0,5x 0,5, ventrikulomegali +,
periventrikel inhibisi
D. DIAGNOSIS
Hidrocephalus obstruktif dan abses multipel dengan riwayat Tb paru kasus
putus obat
44
E. PENATALAKSANAAN
1. Dokter umum IGD konsul ke Bagian Bedah
Penatalaksanaan yaitu :
a IVFD RL 20 tpm
b Citicolin 2x250mg iv
c Dexametasone 3x1A iv
d Levofoxacin 1x1A iv
e Piracetam 1x1g iv
f Pemeriksaan Rontgen thorax AP
g Pemeriksaan Head CT scan
h Pemeriksaan darah perifer lengkap
i Konsul ke Bagian Bedah
2. Bagian Bedah konsul ke Bagian Anestesi
Penatalaksanaan yaitu :
a Pro Ventrikuloperitoneal Shunt Cito
b Diamox 3x500mg
c KCl 3x500mg
d Ceftriaxon 2x2 gr
e Kemicetin 4x1gr
f Ketorolac 3x1 Amp
g Rantin 2x1 Amp
h Piracetam 3x3g
i Fenitoin 3x100mg
j Rontgen thorax AP
k Informed Consent Operasi
l Konsul ke Bagian Anestesi
m Sedia WB 2 kolf
b. Informed Conset Pembiusan
c. Rencana Post op : HCU
3. Dilakukan operasi dengan general anastesi dgn status ASA III dengan
diagnosis pasca bedah sesuai dengan diagnosis awal
45
F. KESIMPULAN
ACC ASA III
G. LAPORAN ANESTESI
1. Diagnosis Pra Bedah
Hidrocephalus obstruktif dan abses multipel dengan riwayat Tb paru
kasus putus obat
2. Diagnosis Pasca Bedah
Hidrocephalus obstruktif dan abses multipel dengan riwayat Tb paru
kasus putus obat
3. Penatalaksanaan Preoperasi
a Cukur rambut kepala
b. Sedia WB 2 Kolf
4. Penatalaksanaan Operasi
a. Jenis Pembedahan : Vp Shunt
b. Jenis Anestesi : General Anestesi
c. Teknik Anestesi : ET-Semiclosed
d. Mulai Anestesi : 5 Januari 2012 pukul 06.00 WIB
e. Mulai Operasi : 5 Januari 2012 pukul 06.15 WIB
f. Premedikasi : -
g. Medikasi : Propofol 80mg, Fentanyl 100μg
h. Maintanance : O2,N2O, Isofluran
i. Relaksasi : Rocuronium 25 mg
j. Respirasi : Ventilator
k. Posisi : Supine
l. Cairan Durante Operasi : NaCl 1000ml
m. Pemantauan Tekanan Darah dan HR
Waktu Hasil Pantauan Tindakan06.00 WIB TD 133/94
mmHgHR 104x/mSpO2100%
Pasien masuk ke ruang OK IGD dan dilakukan pemasangan NIBP
46
dan saturasi O2. Infus NaCl terpasang pada tangan kanan. Mulai anestesi dengan GA semiclosed dengan Propofol dan Fentanyl. Dipasang ET No.7. Nafas dikontrol ventilator
06.15 WIB TD 116/94 mmHgHR 125x/mSpO2100%
Dimulai pembedahan
06.30 WIB TD 110/60 mmHg
Dimaukkan Ondansetron 4 mg iv, dan ketorolac 30 mg iv
HR 100x/mSpO2100%
06.45 WIB TD 115/57 mmHg
Dimasukkan NaCl 500 cc
HR 98x/mSpO2100%
07.00 WIB TD100/52 mmHgHR 90x/m\SpO2100%
07.15 WIB TD 110/52 mmHgHR 100x/mSpO2100%
07.30 WIB TD 112/52 mmHg
Operasi selesai. Pasien dikirim ke HCU
HR 98 x/mSpO2100%
n . Selesai operasi : 07.30 WIB
o. Selesai anestesi : 07.40 WIB
p. Perdarahan : 80 cc
q. Urin Tampung : 100 cc
H. PEMBAHASAN
1. Preoperatif
Pasien yang akan dioperasi terlebih dahulu dilakukan
pemeriksaan yang meliputi anamnesis, pemeriksaan fisik, serta
47
pemeriksaan penunjang untuk menentukan ASA. Kondisi pasien yang
akan di operasi dalam kasus ini adalah ASA III yaitu pasien dengan
kelainan sistemik berat yang mengganggu aktivutas. Selanjutnya
ditentukan rencana jenis anestesi yang akan digunakan yaitu anestesi
general. Persiapan yang dilakukan pada pasien ini sebelum operasi :
a. Informed consent
Informed consent ini meliputi penjelasan mengenai penyakit yang
diderita pasien, tindakan-tindakan yang akan dilakukan, alasan
dilakukannya tindakan tersebut, resiko dilakukannya tindakan,
komplikasi, prognosis, biaya dan hal-hal lainnya yang berhubungan
dengan kondisi pasien maupun tindakan yang dilakukan kepada pasien
dan keluarga terdekat yang bertanggung jawab terhadap pasien.
Tujuannya untuk mendapatkan persetujuan dan ijin dari pasien atau
keluarga pasien dalam melakukan tindakan anestesi dan operasi sehingga
resiko-resiko yang mungkin akan terjadi pada saat operasi dapat
dipertimbangkan dengan baik.
b. Puasa
Tujuan puasa untuk mencegah terjadinya aspirasi isi lambung
karena regurgitasi atau muntah pada saat dilakukannya tindakan anestesi
akibat efek samping dari obat- obat anastesi yang diberikan sehingga
refleks laring mengalami penurunan selama anestesia. Pada pasien
dewasa umumnya dipuasakan selama 6-8 jam, anak kecil 4-6 jam, dan
pada bayi 3-4 jam (Latief, 2001). Pada kasus ini, pasien dapat
48
dipuasakan selama 6 jam karena operasi baru dilakukan pada pukul 06.00
WIB sementara pasien telah diminta berpuasa sejak pukul 00.00 WIB.
c. Laboratorium
Hasil pemeriksaan laboratorium pada pasien ini secara umum
baik sehingga memenuhi toleransi operasi. Adapun pemeriksaan
laboratorium pada pasien ini meliputi: pemeriksaan darah lengkap, hitung
jenis, waktu perdarahan, waktu pembekuan, kimia klinik, dan sero
imunologi. Pemeriksaan darah lengkap dilakukan untuk menilai ada
tidaknya gangguan dan merencanakan koreksi jika terdapat gangguan.
Kadar hemoglobin yang baik, diperlukan guna memfasilitasi
distribusi oksigenasi ke jaringan dan pengangkutan karbon dioksida.
Oksigenasi atau perfusi yang baik diperlukan jaringan guna mencegah
terjadinya syok. Jumlah trombosit,masa pembekuan dan defisiensi faktor
pembekuan perlu dievaluasi agar dapat diantispasi risiko komplikasi
perdarahan. Trombosit merupakan unsur dasar dalam darah yang dapat
meningkatkan koagulasi. Penurunan trombosit dalam sirkulasi sebanyak
kurang dari 50% nilai normal akan menyebabkan perdarahan. Protombin
time (PT) akan mengukur kemampuan pembekuan faktor I (fibrinogen),
II (protrombin), V, VII, dan X. Protrombin akan dikonversi menjadi
trombin akibat aksi tromboplastin, yang diperlukan dalam pembekuan
darah. Activated protrombin time (APTT) digunakan untuk mendeteksi
apakah terdapat defisiensi terhadap seluruh faktor pembekuan kecuali
faktor VII dan XII. Pada pasien ini, nilai trombosit, PT, dan APTT dalam
49
batas normal sehingga diharapkan tidak terjadi perdarahan hebat (Kee,
2008).
Elektrolit penting juga untuk dievaluasi mengingat peranannya
dalam berbagai proses fisiologis tubuh. Natrium adalah ion yang
dominan berada di petak cairan ekstrasel dengan nilai normal 135-145
mEq/L. Keadaan hiponatremia, bila tidak dikoreksi secara cepat dan tepat
dapat mengakibatkan oedem otak, selanjutnya menimbulkan kerusakan
otak yang ireversibel. Hipernatremia jarang terjadi, sebagai akibat ginjal
sangat efisien dalam mengeksresikan Na. Hipo- dan hiperkalemia
merupakan keadaan yang gawat karena dapat menyebabkan aritmia
jantung dan perlu segera dikoreksi (Mangku, 2010). Pada pasien ini
kadar Na dan K dalam batas normal.
2. Durante Operasi
Pada pasien ini dilakukan teknik General Anestesi (GA) dengan
ET- semiclosed, yaitu pemberian obat anestesi melalui intravena dan
dilakukan intubasi dengan endotracheal tube kemudian disambungkan
dengan ventilator oksigen. Teknik ini dilakukan pada operasi-operasi
besar, pembiusan secara total dan memerlukan waktu lama, sehingga
diperlukan pembebasan jalan nafas dengan ET dan bantuan oksigen yang
adekuat. Pasien berada dalam posisi supine kemudian dilakukan
pemberian obat anestesi secara intravena.
Tujuan anestesi pada prosedur intrakranial adalah hipsnosis,
amnesia, imobilitas, kontrol tekanan intrakranial, dan penjagaan tekanan
perfusi jaringan. Pasien diberikan medikasi dengan propofol sebanyak 80
50
mg dan fentanil sebanyak 100μg. Propofol merupakan derivat fenol
dengan nama kimia di-iso-profil fenol, berupa cairan berwarna putih
susu, tidak larut dalam air, dan bersifat asam. Sebagai obat induksi, mulai
kerjanya cepat, dengan dosis 2-2,5 mg/KgBB. Penurunan kesadaran
segera terjadi setelah pemberian obat ini secara intravena. Pada
pemberian dosis induksi (2mg/kgBB), pemulihan kesadaran berlangsung
cepat, pasien akan bangun setelah 4-5 menit tanpa disertai efek samping
misalnya mual, muntah, sakit kepala, dan lainnya.
Propofol bersifat mendepresi respirasi yang beratnya sesuai dengan dosis
yang diberikan. Selain itu, propofol juga mendepresi sistem
kardiovaskuler sehingga terjadi penurunan tekanan darah yang segera
dengan kompensasi peningkatan denyut nadi. Propofol tidak mendepresi
sinitesis hormon adrenal dan tidak menimbulkan pelepasan histamin.
Khasiat farmakologiknya adalah hipnotik murni, tidak memiliki efek
analgetik maupun relaksasi otot (Mangku, 2010). Oleh karena itu, pada
pasien ini diberikan tambahan fentanyl sebagai analgetik.
Fentanil merupakan opioid sintetik yang agonis selektif yang
bekerja terutama pada reseptor μ dengan sedikit berpengaruh pada
reseptor δ dan κ. Fentanil merupakan opioid yang poten, mempunyai
potensi analgesia 50-100 kali efek morfin, dan bersifat lipofilik yang
memungkinkan masuk ke struktur susunan saraf pusat dengan cepat.
Fentanyl bersifat depresan terhadap saraf pusat , pernapasan, menekan
respon sistem hormonal dan metabolik akibat stress anestesia dan
51
pembedahan, namun tidak mempengaruhi sistem kardiovaskular. Dosis
fentanyl sebagai analgesia adalah 1-2μg/KgBB (Mangku, 2010).
Untuk mencapai trias anestesi yang ketiga, yaitu relaksasi,
digunakan rocuronium 25mg yang merupakan obat pelumpuh otot non
depolarisasi. Penggunaannya dalam klinik adalah untuk memfasilitasi
intubasi endotrakea, menghilangkan refleks laring dan refleks jalan
napas, memudahkan napas kendali, dan membuat relaksasi lapangan
operasi. Dosis awal rokuronium adalah 0,6-1 mg/KgBB, sedangkan dosis
pemeliharaannya 0,10-0,15mg/KgBB, dengan durasi 30-60 menit
(Mangku, 2010).
Tahapan maintenance dilakuakan dengan pemberian O2, N2O,
dan Isofluran. Nitrous oksida (N2O) berkhasiat sebagai analgesia dan
tidak memiliki khasiat hipnotikum. Khasiat analgesianya relatif lemah
oleh karena itu dikombinasikan dengan oksigen. Padapemakaiannya yang
lazim dalam anestesia, N2O tidak menimbulkan pengaruh negatif
terhadap sistim kardiovaskuler, hanya menimbulkan sedikit dilatasi pada
jantung. Sistem organ lain seperti sistem respirasi, ginjal, reproduksi, otot
rangka, endokrin, dan metabolisme tidak mengalami perubahan. Dalam
penggunaannya, N2O dapat dikombinasikan dengan O2 dengan
perbandingan yang bervariasi, N2O:O2=70:30 pada pasien normal,
N2O:O2=60:40 pada pasien yang memerlukan tunjangan oksigen lebih
banyak, dan N2O:O2=70:30 pada pasien risiko tinggi (Mangku, 2010).
Pada kasus ini digunakan N2O sebanyak 2L demikian O2 sebanyak 2L.
52
Pada kasus ini, Isofluran 1,5% digunakan sebagai komponen
hipnotik dalam pemeliharaan anaestesia umum. Selain itu, isofluran
memiliki efek analgesi ringan dan relaksasi otot ringan. Dosis
pemeliharaan dengan pola napas spontan adalah 1-2,5%, sedangkan pada
napas kendali berkisar antara 0,5-1%> Isofluran akan mendepresi sistem
saraf pusat sesuai dengan dosis yang diberikan, pada dosis anestesia tidak
menimbulkan vasodilatasi dan perubahan sirkulasi serebral serta
mekanisme autoregulasi tetap stabil. Kelebihan lainnya adalah penurunan
konsumsi oksigen otak sehingga isofluran merupakan obat pilihan untuk
anestesia pada kraniotomi karena tidak mempengaruhi tekanan
intrakranial dan mempunyai efek proteksi serebral dan efek metaboliknya
yang menguntungkan pada teknik hipotensi kendali (Mangku, 2010).
Tekanan darah dipantau setiap 15 menit sekali untuk
mengetahui penurunan tekanan darah yang bermakna. Penurunan tekanan
sistole pada pasien sekitar 20 mmHg dan belum mencapai 20% dari
tekanan darah awal sehingga tidak perlu diberi tindakan untuk menaikkan
tekanan darah. Selain itu, nadi dan SpO2 juga dipantau dengan bantuan
pulse oxymetri untuk mengetahui ada tidaknya peningkatan atau
penurunan nadi maupun gangguan perfusi O2.
Selanjutnya, pasien diberikan ketorolac 30mg iv dan
ondansetron 4mg iv. Ketorolac 30mg diindikasikan untuk
penatalaksanaan jangka pendek terhadap nyeri akut sedang sampai berat
setelah prosedur pembedahan. Ketorolac adalah anti inflamasi non
steroid dengan durasi kerja sedang dengan waktu paruh 4-6 jam sehingga
53
digunakan sebagai analgesik dalam penggunaan intravena bukan sebagai
antiinfalamasi. Ketorolac memiliki ikatan protein yang tinggi den di
metabolisme secara ekstensif menjadi metabolit yang aktif dan tidak
aktif. Obat ini mempunyai efektiftas analgesik yang nyata dan telah
dipakai dengan hasil yang baik untuk menggantikan morfin pada nyeri
ringan hingga sedang sesudah operasi. Kebanyakan dinerikan secara
intramuskular dan intravena, tetap terdapat juga dalam bentuk obat oral.
(Katzung, 2002).
Ondansetron secara selektif akan menghambat reseptor
serotonin 5-HT3, dengan sedikit atau tanpa efek terhadap reseptor
dopamin. Reseptor 5-HT3 yang terdapat perifer (eferen vagal abdominal)
dan sentral (kemoreseptor trigger zone pada area postrema dan nukleus
traktus solitarius) yang mempunyai peranan penting dalam permulaan
refleks muntah. Tidak seperti metoklopramid, obat ini tidak mempunyai
efek terhadap motilitas saluran cerna dan tonus sfingter esofagus bagian
bawah. Dosis dewasa intravena yang direkomendasikan untuk
ondansetron sebagai pencegahan mual muntah perioperatif adalah 4 mg
yang dapat diberikan sebelum induksi anestesi atau pada akhir operasi.
Mual muntah post operatif juga dapat diterapi dengan pemberian dosis 4
mg, yang dapat diulangi sesuai kebutuhan setiap 4 – 8 jam.
Pada pasien ini digunakan cairan infus NaCl 1000ml untuk
mempertahankan circulating blood volume dengan mencukupi kebutuhan
maintenance, pengganti puasa, dan stress operasi. Terapi cairan durante
operasi dijabarkan sebagai berikut :
54
Usia : 20 tahun
Berat badan : 38 kg
Terapi Cairan :
Maintanance = 2cc x BB (kg)= 2 x 38= 76 cc
Pengganti Puasa
(PP)
=
=
=
6 x maintenance
6 x 76
456Stress Operasi = 6cc/kgBB (Sedang)
= 6cc x 38 = 228 cc
Jam I = ½ PP + M + SO= 228 + 76 + 228= 532 cc
Jam II = ¼ PP + M + SO=
=
114 + 76 + 228 cc
418 ccJam III = ¼ PP + M + SO
= 418 ccJam IV = M + SO
= 76+228= 304 cc
Estimated Blood Volume = 65xBB
= 65x38 kg
= 2470 cc
Allowed Blood Loss = 20%xEBV
= 20%x2470
= 494 cc
3. Post operatif
Setelah operasi selesai, pasien dibawa ke ruang HCU. Pasien di
observasi selama 5 jam meliputi vital sign, input cairan, dan urine
output. Hasil pemantauan di HCU sebagai berikut
Pemantauan Pukul Pukul Pukul Pukul Pukul
55
08.00 09.00 10.00 11.00 12.00Tekanan
darah
133/93
mmHg
138/97
mmHg
138/97
mmHg
114/87
mmHg
120/86
mmHgNadi 115 x/m 90 x/m 90 x/m 103 x/m 88 x/mLaju
respirasi18 x/m 20 x/m 15 x/m 21 x/m 17 x/m
Suhu 36°CSaturasi O2 100% 100% 100% 100% 100%Terapi O2 Binasal 3L/m
Infus NaCl, KaEN mg3 1500cc/24jamUrine
output250cc
Terapi yang diberikan selama di berikan selama dirawat di ruang
HCU adalah :
1. Ceftriaxon 2x2gr
2. Kemicetin 4x1gr
3. Rantin 2x1Amp
4. Ketorolac 3x1Amp
5. Phenitoin 3x100mg
6. Piracetam 3x1Amp
Sebelum pasien dipindahkan ke ruang cempaka pada pukul 13.00 WIB,
dilakukan pemeriksaan darah dan analisis cairan serebrospinal dengan
hasil sebagai berikut :
Pemeriksaan 04-1-2012 Nilai normalHematologiHemoglobin 13,4 12,0-16,0 g/dLLeukosit 7870 4800-10800/µLHematokrit 39 37-47%Eritrosit 4,3x106 4,2-5,4x106/µTrombosit 312000 150000-450000/µLMCV 91 79,0-99,0 flMCH 31 27,0-31,0 pgMCHC 34 33,0-37,0 %
56
RDW 14,1 11,5-14,5 %MPV 7,9 7,2-11,1 flHitung Jenis Basofil 0,3 0,0-1,0 % Eosinofil 0,1 2,0-4,0% Batang 0,00 2,0-5,0% Segmen 74,7 40,0-70,0% Limfosit 12,6 25,0-40,0% Monosit 12,3 2,0-8,0%Kimia KlinikTotal Protein 7,55 6,4-8,2 g/dlAlbumin 2,92 3,4-5,0 g/dlGlobulin 3,63 2,7-3,2 g/dlUreum 28,3 14,98-38,52 mg/dLCreatinin 0,86 0,60-1,00 mg/dLGDS 102 ≤ 200 mg/dLNatrium 143 136-148 mmol/LKalium 3,6 3,5-8,1 mmol/LKlorida 100 98-107 mmol/LKalsium 8,7 8,4-10,2 mg/dlCairan OtakWarna Kuning kemerahanKejernihan KeruhBekuan NegatifBerat jenis 1,005Jumlah sel 4 0-5Hitung jenisSegmen 20,0Limfosit 80,0Tes nonne PositifTes Pandy NegatifGlukosa 56 70-110mg/flProtein 30 <11,9mg/dlKlorida 111 119-130mmol/L
57
BAB III
KESIMPULAN
1. Hidrosefalus adalah suatu gangguan pembentukan ,aliran, atau penyerapan
cerebrospinal fluid (CSF) yang mengarah ke peningkatan volume cairan di
dalam SSP.
2. Tuberkulosis adalah salah satu penyebab abses otak dan hidrosefalus
obstruktif
3. Nona S, dengan hidrocephalus obstruktif dan multipel absess, dilakukan
tindakan ventriculoperitoneal shunt, dengan teknik anestesi general, metode
semiclosed dengan ETT no 7, medikasi anestesi yang diberikan adalah
propofol 80mg, fentanyl 100μg, rocuronium 25mg, N2O 2L, O2 2L, Isofluran
58
1,5%, ketorolac 30mg, dan ondansetron 4mg, NaCL 1000cc, dengan
perdarahan 80cc dan urin output 100cc , post op dirawat di HCU
4. Penaganan hidrosefalus dengan menggunakan teknik VP shunt, dan
digunakan metode anestesi general anestesi.
DAFTAR PUSTAKA
Basil, F Matta., Menon, David. Textbook of neuroanaesthesia and critical care.
London. Greenwich Medical Media. 2000.
Dahnert W, MD, Brain Disorders, Radioogy Review Manual, second edition,
Williams & Wilkins, Arizona,2003, 117 – 178
Dunn, peter F. 2007. Clinical anesthesia procedures of the massachusetts general
hospital. 7th edition. Lippincott williams&Wilkins
Ekayuda I., Angiografi, Radiologi Diagnostik, edisi kedua, Balai Penerbit FKUI,
Jakarta, 2006, 359-366
Espay A J, Murro A M, Talavera F, Caselli R J, Benbadis S R, Crysta H A. April
Hydrocephalus. Medscape reference. 2010. Available at
http://emedicine.medscape.com/article/1135286-overview#showall last
update 10 Januari 2012.
De jong W, Sjamsuhidajat R. Buku ajar ilmu bedah edisi 2. Bab 24 Kepala dan
Leher Penerbit Jakarta: EGC; 2005. 335-386
59
Gupta, A., Summors, A. Notes in neuroanaesthesia and critical care. London;
Greenwich Medical Media. 2001.
Hassan R dan Alatas H. Buku Kuliah 1 Ilmu Kesehatan anak. Bagian ilmu
kesehatan anak Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia : Jakarta 2002.
Hughes, Richard. Anaesthesia for ventriculo-peritoneal shunt insertion. London,
Ormond Street Hospital for Children. 2008.
Mangku, Gde., Senapathi, T.G.A. Senapathi. Buku Ajar Ilmu Anestesia Dan
Reanimasi. Jakarta; Indeks. 2010
Morgan GE, Michail MS, Muray MJ. Clinical Anesthesiology, 4th ed. New York:
Lange, 2006.
Katzung, G Bertram.. Farmakologi Dasar dan Klinik. Salemba Medika: Jakarta,
2002
Kee, Joyce LeFever, Pedoman Pemeriksaan Labolatorium dan Diagnostik.
Jakarta: EGC, 2008.
Lakshmi V; Rao R.R. dan Dinakar, I. Bacteriology of brain abscess. J. Med.
Microbiol. 1993. 39:187-190
Latief . Kartini A.S., M. Ruswan D. Anestesiologi, edisi kedua. Jakarta : FKUI,
2001
Liau, P.W.; Chiang, T.R.; Lee, M.C. et. al. Tuberculosis with Meningitis,
Myeloradiculitis, Arachnoiditis and Hydrocephalus: A Case report. Acra
Neurol Taiwan. 2010. 19: 189-193
Listiono L D. Ilmu Bedah Saraf Satyanegara, edisi III; Cedera Kepala Bab 6.
Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. 2010.
Piatt, J.H. Insertion of ventriculoperitoneal dan ventriculovenous cerebrospinal
fluid shunt. Techniques in Neurosurgery. 2002. 7(3): 197-205.
Rekate HL. A contemporary definition and classification of hydrocephalus. Semin
Pediatr Neurol. 2009.16(1):9-15.
Sri M, Sunaka N, Kari K. Hidrosefalus. Dexa Media. 2006. 1 (19):40-48
Tatang bisri. Neuroanestesi. Neuroanestesi . Bandung; UNPAD. 1997.
60