Post on 26-Jul-2015
Tonsilitis Kronis Hipertrofi dan Obstructive Sleep Apnea (OSA)
Pada Anak
Oleh:
Ahmad Rahmawan
Oldi Dedya
Haudhiya
Pembimbing:
dr. Ida Bagus Ngurah Swabawa, Sp.THT
BAGIAN/SMF ILMU PENYAKIT THT FK UNLAM – RSUD ULIN
BANJARMASIN
Mei, 2009
1
BAB I
PENDAHULUAN
Tonsilitis Kronis merupakan keradangan kronik pada tonsil yang biasanya
merupakan kelanjutan dari infeksi akut berulang atau infeksi subklinis dari tonsil.
Kelainan ini merupakan kelainan tersering pada anak di bidang THT. Untuk
seluruh kasus, prevalensinya tertinggi setelah nasofaring akut, yaitu 3,8% dengan
insidensi sekitar 6,75% dari jumlah seluruh kunjungan. Pada tonsilitis kronis,
ukuran tonsil dapat membesar sedemikian sehingga disebut tonsilitis kronis
hipertrofi.1,2
Tonsilitis kronis dengan hipertrofi tonsil dapat menyebabkan berbagai
gangguan tidur, seperti mendengkur sampai dengan terjadinya apnea obstruktif
sewaktu tidur (Obstructive Sleep apnea). Obstructive sleep apnea atau OSA
merupakan kondisi medik yang serius, ditandai dengan episode obstruksi saluran
napas atas selama tidur sehingga menyebabkan berkurangnya asupan oksigen
secara periodik. Beberapa ahli memperkirakan kelainan ini secara epidemiologi
merupakan kelainan yang umum di masyarakat, namun sering tidak terdiagnosis.
Mengingat dampak yang ditimbulkan, maka tonsilitis kronis hipertrofi yang
disertai dengan sleep apnea harus segera ditindak-lanjuti dengan pendekatan
operatif.2-4
Secara umum, penatalaksanaan tonsilitis kronis dibagi dua, yaitu
konservatif dan operatif. Terapi konservatif dilakukan untuk mengeliminasi kausa,
yaitu infeksi, dan mengatasi keluhan yang mengganggu. Bila tonsil membesar dan
1
2
menyebabkan sumbatan jalan napas, disfagia berat, gangguan tidur, terbentuk
abses, atau tidak berhasil dengan pengobatan konvensional, maka operasi
tonsilektomi perlu dilakukan.5,6
Pada kasus yang tidak tertangani dengan baik, tonsilitis kronis hipertrofi
secara keseluruhan akan mempengaruhi kualitas hidup anak, baik fisik maupun
psikis. Kualitas anak dalam prestasi belajar akan terganggu. Hal ini diperkuat oleh
penelitian Farokah dkk (2007) yang membuktikan adanya perbedaan yang
bermakna antara prestasi belajar siswa yang menderita tonsilitis kronis dan yang
tidak. Dampak lainnya adalah meningkatnya permasalahan psikologi yang
mencakup gangguan emosional, gangguan perilaku, dan neurokognitif.2
Mengingat angka kejadian yang tinggi dan dampak yang ditimbulkan
dapat mempengaruhi kualitas hidup anak, maka pengetahuan yang memadai
mengenai tonsilitis kronis diperlukan guna penegakan diagnosis dan terapi yang
tepat dan rasional.
3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Gambaran Umum Tonsilitis Kronis Hipertrofi Pada Anak
Tonsil adalah salah satu struktur yang terdapat di rongga orofaring. Tonsil
merupakan massa yang terdiri dari jaringan limfoid dan ditunjang oleh jaringan
ikat dengan kriptus didalamnya. Terdapat 3 macam tonsil, yaitu tonsil faringeal
(adenoid), tonsil palatina, dan tonsil lingualis yang membentuk lingkaran yang
disebut cincin waldeyer. Adanya reaksi inflamasi akibat iritasi atau infeksi akan
menyebabkan tonsillitis akut, yang apabila tidak ditangani dengan baik akan
berlanjut menjadi kronis.6,7
Gangguan fungsi normal pada penderita tonsilitis kronik dengan hipertrofi
dan dampaknya terhadap kualitas hidup telah banyak diteliti. Penderita tonsilitis
kronik hipertrofi yang terganggu fungsi respirasi dan deglutisi mengalami
penurunan kualitas hidup, meningkatkan biaya perawatan kesehatan dan
kehilangan waktu untuk sekolah atau bekerja. Pada obstructive sleep apnea
syndrome (OSAS), dimana angka prevalensi 1 – 3 % pada anak TK dan usia
sekolah, menimbulkan permasalahan menyangkut kesulitan bernafas malam hari
terutama saat tidur, gangguan emosional, gangguan perilaku, dan gangguan
neurokognitif.6,8
Hipertrofi dan hiperplasia tonsilar obstruktif merupakan salah satu bentuk
tonsilitis kronik yang paling sering memberikan indikasi untuk dilakukan
tonsilektomi pada anak. Penderita mengalami obstruksi jalan napas pada saat tidur
3
4
dalam berbagai derajat. Gejala yang muncul berupa snoring yang keras (dengan
periode napas yang tidak teratur), batuk dan tersedak saat tidur, sering terbangun
dan kualitas tidur menurun, disfagia, hipersomnolen sepanjang hari, dan
perubahan perilaku. Keadaan jangka panjang yang serius bagi penderita ini adalah
pertumbuhan terhambat dan kor pulmonal, meskipun jarang.8,9
B. Etiopatogenesis Tonsilitis Kronis Hipertrofi
Kuman penyebab sama dengan kuman yang menyebabkan terjadinya
tonsilitis akut terutama Streptococcus hemoliticus (50%), Streptococcus viridans.
Sisanya disebabkan virus. Penyebarannya melalui percikan ludah (droplet
infection). Penyakit ini ada kecenderungan bersifat residif secara periodic.8
Mula-mula terjadi infiltrasi pada lapisan epitel. Bila epitel terkikis, maka
jaringan limfoid superfisial mengadakan reaksi, terdapat pembentukan radang
dengan infiltrasi leukosit polimorfonuklear. Proses ini secara klinis tampak pada
kriptus tonsil yang berisi bercak kuning yang disebut detritus. Detritus merupakan
kumpulan leukosit, bakteri dan epitel yang terlepas. Tonsilitis kronis merupakan
kelanjutan dari infeksi akut berulang atau infeksi subklinik pada tonsil. Biasanya
terjadi pembesaran tonsil sebagai akibat hipertropi folikel-folikel kalenjar limfe.
Pada anak-anak biasanya disertai hipertropi adenoid sehingga sering disebut
adenotonsilitis.1,9,10
Pada radang kronis tonsil terdapat 2 bentuk, yaitu hipertrofi tonsil dan
atrofi tonsil. Karena proses radang berulang, maka selain epitel mukosa terkikis,
jaringan limfoid juga terkikis, sehingga pada proses penyembuhan, jaringan
limfoid diganti oleh jaringan ikat fibrosa. Jaringan ikat ini sesuai dengan sifatnya
5
akan mengalami pengerutan, sehingga ruang antar kelompok jaringan limfoid
melebar. Hal ini secara klinik tampak sebagai pelebaran kriptus, dan kriptus ini
diisi oleh detritus. Proses berjalan terus sehingga terbentuk kapsul, akhirnya
timbul perlengketan dengan jaringan di sekitar fosa tonsilaris. Pada anak, proses
ini disertai dengan proses pembesaran kalenjar limfe submandibularis.1,8
C. Aspek Imunologi Tonsilitis Kronis
Pada tonsilitis kronis telah terjadi penurunan fungsi imunitas dari tonsil.
Penurunan fungsi tonsil ditunjukkan melalui peningkatan deposit antigen persisten
pada jaringan tonsil sehingga terjadi peningkatan regulasi sel-sel imunokompeten
berakibat peningkatan insiden sel yang mengekspresikan IL-1β, TNF-α, IL-6, IL-
8, IL-2, INF-γ, IL-10, dan IL-4. Secara sistematik proses imunologis di tonsil
terbagi menjadi 3 kejadian yaitu :11
1) respon imun tahap I,
2) respon imun tahap II, dan
3) migrasi limfosit.
Pada respon imun tahap I terjadi ketika antigen memasuki orofaring
mengenai epitel kripte yang merupakan kompartemen tonsil pertama sebagai
barier imunologis. Sel M tidak hanya berperan mentranspor antigen melalui barier
epitel tapi juga membentuk komparten mikro intraepitel spesifik yang membawa
bersamaan dalam konsentrasi tinggi material asing, limfosit dan APC seperti
makrofag dan sel dendritik.11
Respons imun tonsila palatina tahap II terjadi setelah antigen melalui
epitel kripte dan mencapai daerah ekstrafolikular atau folikel limfoid.8 Adapun
6
respon imun berikutnya berupa migrasi limfosit. Perjalanan limfosit dari
penelitian didapat bahwa migrasi limfosit berlangsung terus menerus dari darah ke
tonsil melaui HEVdan kembali ke sirkulasi melaui limfe. Tonsil berperan tidak
hanya sebagai pintu masuk tapi juga keluar limfosit, beberapa molekul adesi
(ICAM-1 dan L-selectin), kemokin, dan sitokin. Kemokin yang dihasilkan kripte
akan menarik sel B untuk berperan didalam kripte.11
D. Gambaran Klinis dan Diagnosis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik. Pada
anamnesis dapat diperoleh keterangan dari penderita mengenai nyeri tenggorok
atau nyeri menelan ringan yang bersifat kronik, rasa mengganjal di tenggorokan,
mulut berbau, badan lesu, nafsu makan berkurang, sakit kepala, mendengkur, dan
kadang disertai sesak.1
Pada pemeriksaan fisik didapatkan tonsil yang membesar, tonsil tidak
hiperemi, kripta melebar dan terisi detritus.1,9
Tabel 1. Perbedaan tonsilitis akut, eksaserbasi akut, dan kronis.
Tonsilitis Akut Tonsilitis Kronis Eksaserbasi akut
Tonsilitis Kronis
Hiperemis dan edema
Hiperemis dan edema
Membesar/mengecil tidak hiperemis
Kripte tak melebar Kripte melebar Kripte melebar Detritus (+ / -) Detritus (+) Detritus (+) Perlengketan (-) Perlengketan (+) Perlengketan (+) Antibiotika, analgetika, obat kumur
Sembuhkan radangnya, lakukan 2 – 6 minggu setelah peradangan tenang
Bila mengganggu lakukan tonsilektomi
(Sumber: Derake A, Carr MM. Tonsillectomy. Dalam : Godsmith AJ, Talavera F, Allen Ed.eMedicine.com.inc.2002:1– 10)
Standar pemeriksaan klinis untuk tonsil telah dibuat oleh banyak pusat
penelitian dan kesehatan. Biasanya, meskipun tidak selalu, hipertrofi obstruktif
7
terjadi pada tonsil dan adenoid, dimana keadaan ini harus segera ditangani.
Permasalahan yang timbul adalah apabila obstruksi adenoid telah tampak, namun
pembesaran tonsil masih +1 atau +2. Pada kasus ini, keputusan klinik yang tepat
harus dibuat. Kecuali bila hipertrofi tonsil tampak signifikan, maka operasi tonsil
in situ dapat dilakukan.12
Standar klasifikasi derajat pembesaran tonsil dibuat berdasarkan rasio
tonsil terhadap orofaring (dari sisi medial ke lateral) di antara pillar anterior.12
- 0 : bila tonsil berada di dalam fosa
- +1 : < 25% tonsil menutupi orofaring
- +2 : 25 – 50% tonsil menutupi orofaring
- +3 : 50 – 75% tonsil menutupi orofaring
- +4 : > 75% tonsil menutupi orofaring
E. Obstructive Sleep Apnea (OSA) pada Tonsilitis Kronis Hipertrofi
Obstructive sleep apnea (OSA) merupakan gangguan tidur berulang yang
ditandai menurunnya sirkulasi udara. Salah satu tanda gangguan ini adalah
snoring, disebabkan oleh obstruksi faring yang inkomplit atau adanya perubahan
konfigurasi saluran napas atas selama tidur. Suara yang dihasilkan bersumber dari
kolapsnya sebagian saluran napas atas, bergetarnya uvula, palatum, dan tonsil.
Pada tonsil yang hipertrofi, risiko terjadinya snoring menjadi meningkat..13
Tonsilitis hipertrofi merupakan salah satu penyebab tersering obstructive
sleep apnea (OSA) pada anak. Selain tonsilitis, banyak jenis penyakit yang juga
bermanifestasi sama. Sehingga penting untuk memastikan penyebab sleep apnea.
Anamnesis dan pemeriksaan fisik cukup bermanfaat untuk menegakkan diagnosis.
Apabila penyebab sleep apnea adalah akibat hipertrofi tonsil, maka tindakan
operasi tonsilektomi perlu dilakukan.13,14
8
Pada anak, perubahan fisiologi mendasar yang terjadi pada OSA adalah
hipoksia dan hiperkapnea akibat obstruksi, yang kemudian menstimulasi
baroreseptor dan kemoreseptor perifer. Terganggunya kontinuitas tidur dan
penurunan rapid-eye-movement bermanifestasi pada keadaan mudah mengantuk
sepanjang hari.Tingginya insidensi OSA pada anak dengan hipertrofi tonsil
disebabkan volume jaringan limfoid yang meningkat pada usia 6 bulan sampai
dengan masa pubertas, dan mencapai maksimum pada usia anak sekolah. Meski
demikian, OSA tidak selalu muncul walaupun terjadi penyempitan saluran napas,
karena pada keadaan normal, tonsil yang hipertrofi tidak mengalami kolaps
sewaktu tidur.15
Meskipun secara klinis terdapat banyak kesamaan antara OSA pada anak-
anak dan dewasa, namun terdapat sejumlah perbedaan yang perlu diketahui, yaitu:
Tabel 2. Perbedaan OSA pada Dewasa dan Anak-anak
Gambaran Klinis Dewasa Anak
Snoring Intermiten kontinu
Bernapas lewat mulut Jarang Sering
Obesitas Sering Jarang
Failure to Thrive Jarang Sering
Hipersomnolen Sering Jarang
Predisposisi Gender Laki-laki Laki-laki dan perempuan
Keadaan Obstruksi Apnea Hipopnea
Terbangun saat tidur Sering Jarang (Sumber: Poole MD, Pereira KS. Pediatric Sleep-Disordered Breathing. In: Head and Neck Surgery – Otolaryngology. 3rd Edition. Editor: Bailey BJ, Calhoun KH, Healy GB, et al, 2001.)
9
Derajat keparahan gangguan ini dibagi menjadi 3 tingkatan berdasarkan
indeks apnea dan saturasi oksigen, yaitu ringan, sedang, dan berat. Indeks apnea
adalah jumlah periode apnea yang terjadi dalam 1 jam tidur.13
- Derajat ringan apabila saturasi oksigen > 85% atau indeks apnea 5-20.
- Derajat sedang apabila nilai saturasi oksigen 65-84% atau indeks apnea 21-40.
- Derajat berat bila saturasi oksigen < 65% atau indeks apnea > 40.
Polisomnografi (PSG) multichannel merupakan pemeriksaan gold
standard untuk menegakkan diagnosis OSA. Data PSG normatif menunjukkan
bagaimana karakter OSA pada anak berbeda dengan dewasa. Dari pernyataan
American Thoracic Society, bahwa apnea obstruktif dengan berbagai durasi harus
di nilai skoring. Apnea Index yang dihitung lebih dari satu dalam satu jam
menunjukkan klinis yang signifikan. Mengingat pada anak, OSA secara berkala
menyebabkan hipopnea persisten dengan hipoventilasi daripada apnea obstruksi
total, maka penting untuk mengukur kadar CO2 pada puncak tidal. Bila
meningkat, menunjukkan hipoventilasi telah terjadi.12,15
F. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan tonsilitis kronis terdiri dari terapi lokal dan terapi radikal.
Terapi lokal ditujukan pada higiene mulut, dengan menggunakan obat kumur atau
obat hisap. Antibiotik dapat diberikan bila penyebab adalah bakteri. Terapi radikal
ialah dengan melakukan operasi tonsilektomi setelah tanda-tanda infeksi hilang.9
10
Indikasi tonsilektomi menurut The American Academy of Otolaryngology,
Head and Neck Surgery : 7,9,10
1. Indikasi absolut:
- Pembesaran tonsil yang menyebabkan sumbatan jalan nafas atas, disfagia
menetap, gangguan tidur atau komplokasi kardiopulmunar
- Abses peritonsil yang tidak respon terhadap pengobatan medis
- Tonsilitis yang menimbulkan febris dan konvulsi
- Biopsi untuk menentukan jaringan yang patologis (dicurigai keganasan)
2. Indikasi relatif :
- Penderita dengan infeksi tonsil yang kambuh 3 kali atau lebih dalam
setahun meskipun dengan terapi yang adekuat
- Bau mulut atau bau nafas yang menetap yang menandakan tonsilitis
kronis tidak responsif terhadap terapi media
- Tonsilitis kronis atau rekuren yang disebabkan kuman streptococus yang
resisten terhadap antibiotik betalaktamase
- Pembesaran tonsil unilateral yang diperkirakan neoplasma
3. Kontra indikasi :
- Diskrasia darah kecuali di bawah pengawasan ahli hematologi
- Usia di bawah 2 tahun bila tim anestesi dan ahli bedah fasilitasnya tidak
mempunyai pengalaman khusus terhadap bayi
- Infeksi saluran nafas atas yang berulang
- Perdarahan atau penderita dengan penyakit sistemik yang tidak terkontrol.
- Celah pada palatum
11
Terdapat beberapa teknik operasi tonsilektomi, antara lain cara guillotine,
diseksi, electrosurgery, radiofrekuensi, skalpel harmonik, coblation, tonsilektomi
parsial intraskapular, dan teknik laser (CO2-KTP). Teknik tersering yang
dilakukan di Indonesia adalah teknik guillotine dan diseksi.14
Teknik guillotine dilakukan dengan mengangkat tonsil dan memotong
uvula yang edematosa atau elongasi dengan menggunakan tonsilotom atau
guillotine. Teknik ini merupakan teknik tonsilektomi tertua dan aman. Teknik
diseksi memiliki prinsip yang sama, meliputi fiksasi tonsil, membawanya ke garis
tengah, insisi membran mukosa, mencari kapsul tonsil, mengangkat dasar tonsil
dan mengangkatnya dari fossa dengan manipulasi hati-hati. Lalu dilakukan
hemostasis dengan elektokauter atau ikatan. Selanjutnya dilakukan irigasi pada
daerah tersebut dengan salin. Teknik electrosurgery, radiofrekuensi, skalpel
harmonik, coblation, tonsilektomi parsial intraskapular, dan teknik laser
merupakan modifikasi lain dari teknik diseksi.16
12
DAFTAR PUSTAKA
1. Panitia Medik Farmasi dan Terapi RSUD Dr. Soetomo. Tonsilitis Kronis. Dalam Panitia Medik Farmasi dan terapi. Ed. Pedoman Diagnosis dan Terapi Lab UPF Ilmu Penyakit THT. Surabaya : RSUD Dr. Soetomo 1994 : 53-54
2. Farokah, Suprihati, Suyitno S. Hubungan tonsillitis kronik dengan prestasi
belajar pada siswa kelas II Sekolah Dasar di Kota Semarang. Cermin Dunia Kedokteran 2007;155:87-92
3. Sankar V, Zapanta PE, Truelson JM. Snoring and Obstructive Sleep Apnea,
Physiologic Approach. Emergency Medicine Textbook, 2007. (diakses dari website www.medscape.com, pada tanggal 23 Mei 2009)
4. Nűńez-Fernández D, Garcia-Osornia MA. Snoring and Obstructive Sleep
Apnea, Upper Airway Evaluation. Emergency Medicine Textbook, 2008. (diakses dari website www.medscape.com, pada tanggal 23 Mei 2009)
5. Hermani B, fachrudin D, Syahrial, et al. Tonsilektomi Pada Anak dan
Dewasa. HTA Indonesia, 2004. hal 1-25. 6. Aritomoyo, D. Insiden Tonsilitis Akuta dan Kronika Pada Poliklinik THT RS.
Dr. Kariadi Semarang Tahun 1978 Dalam Kumpulan Naskah Ilmiah Kongres Nasional VI PERHATI. Medan, 1980 : 249 – 255
7. Adams GL. Penyakit – Penyakit Nasofaring dan Orofaring. Dalam : Adams
GL, Boies LR, Higler PA. Ed. Buku Ajar penyakit THT. Jakarta : EGC, 1997 :320 -55
8. Rusmarjono, Soepardi EA. Penyakit dan kelainan tonsil dan Faring. Dalam :
Soepardi EA, Iskandar N. Ed. Buku Ajar Ilmu THT. Jakarta : Balai Penerbit FKUI, 1997 : 176 – 83
9. Derake A, Carr MM. Tonsillectomy. Dalam : Godsmith AJ, Talavera F, Allen
Ed. EMedicine.com.inc.2002 : 1 – 10 10. Hatmansjah. Tonsilektomi. Dalam : Cermin Dunia Kedokteran. Jakarta 1993 :
19 – 21 11. Nave H, Gebert A, Pabst. 2001. Morphology and immunology of the human
palatine tonsil. Anat Embryol 2004: 367-373.
13
12. Brodsky L, Poje C. Tonsillitis, Tonsillectomy, And Adenoidectomy. in: Head and Neck Surgery – Otolaryngology. 3rd Edition. Editor: Bailey BJ, Calhoun KH, Healy GB, et al, 2001.
13. Walker RP. Snoring and Obstructive Sleep Apnea. in: Head and Neck Surgery
– Otolaryngology. 3rd Edition. Editor: Bailey BJ, Calhoun KH, Healy GB, et al, 2001.
14. Goldstein NA, Fatima M, Campbell TF, Rosenfeld RM. Child behavior and
quality of life before and after tonsillectomy and adenoidectomy. Arch Otolaryngol, Head Neck Surg 2002;128:770-5
15. Poole MD, Pereira KS. Pediatric Sleep-Disordered Breathing. in: Head and
Neck Surgery – Otolaryngology. 3rd Edition. Editor: Bailey BJ, Calhoun KH, Healy GB, et al, 2001.
16. Younis RT, Lazar RH. History and current practice of tonsillectomy.
Laryngoscope 2002;112:3-5