Post on 06-Aug-2015
1
KEBIJAKAN LUAR NEGERI INDONESIA
TETAP TIDAK MEMBUKA HUBUNGAN DIPLOMATIK DENGAN ISRAEL
ERA SUSILO BAMBANG YUDHOYONO (2004 – 2007)
2
KATA PENGANTAR
Skripsi merupakan salah satu prasyarat bagi seorang mahasiswa untuk dapat
meraih gelar Strata Satu (S1) di Universitas. Inilah karya terakhir bagi seorang
mahasiswa sebelum meninggalkan masa kuliah. Fenomena yang sangat kontroversi
mengenai Israel selalu menjadi pembicaraan yang tidak pernah usang di Indonesia.
Penelitian skripsi ini difokuskan mengenai kebijakan luar negeri Indonesia yang tidak
membuka hubungan diplomatik dengan Israel dalam batasan waktu 2004-2007 pada
masa pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Sebagai negara yang
bersatu dan berdaulat, Indonesia memproklamirkan kemerdekaannya pada 17
Agustus 1945, dengan proses yang panjang selama masa kemerdekaan Indonesia
ditentukanlah dasar dan landasan kenegaraan Indonesia yaitu Pancasila dan Undang
Undang Dasar 1945.
Dalam pelaksanaan kebijakan luar negeri Indonesia berpegangan pada politik
luar negeri Indonesia yang bebas aktif dan Undang Undang Dasar 1945. Dengan
melihat kedekatan dan hubungan bilateral Indonesia dengan negara-negara Timur
Tengah, Indonesia menjalankan aktivitas kerjasama dan politik secara formil
semenjak zaman kemerdekaan Indonesia.
Namun di sisi lain penulis melihat adanya satu negara yang Indonesia tidak
memiliki hubungan diplomatik dengan Israel. Penulis sengaja mengangkat kasus ini
v
3
karena di tengah masyarakat Indonesia banyak pendapat yang memberikan solusi pro
dan kontra mengenai hubungan diplomatik dan Israel.
Dasar-dasar konstitusi dan perkembangan kebijakan luar negeri Indonesia dan
Israel menjadi ukuran penulis dalam melakukan penelitian skripsi ini. Tidak terlepas
atas dukungan Indonesia atas kemerdekaan Palestina yang berdaulat juga menjadi
ukuran yang mendasar untuk mencari jawaban kenapa Indonesia tidak membuka
hubungan diplomatik dengan Israel.
Akhir kata penulis memohon maaf bila dalam penelitian ini banyak kekurangan
yang dijumpai dalam karya tulis ini, penulis hanyalah seorang manusia biasa yang tak
luput dari kesalahan. Penulis menyadari masih perlunya banyak belajar untuk
mendapatkan sesuatu yang lebih baik dikemudian hari. Dalam proses penulisan
skripsi yang berjudul Kebijakan Luar Negeri Indonesia Tetap Tidak Membuka
Hubungan Diplomatik dengan Israel Era Susilo Bambang Yudhoyono periode 2004-
2007, penulis tidak berjalan sendiri, karya ini dapat tercipta dengan mendapatkan
banyak bantuan baik secara langsung maupun tidak langsung. Oleh karena itu,
izinkanlah penulis memberikan penghargaan yang setinggi-tingginya dan
mengucapkan Terima Kasih kepada :
1. Allah SWT yang dengan rahmat dan hidayahnya penulis bisa menyelesaikan
skripsi ini dengan lancar.
2. Drs. El Amry Bermawi Putera, M.A selaku Rektor Universitas Nasional.
vi
4
3. Ibunda tercinta Siti Zaenab yang telah melahirkan, membesarkan, mendidik,
menafkahkan dan selalu bersabar mengahadapi penulis dalam setiap
aktivitasnya hingga penulis bisa menyelesaikan akhir masa studinya di
Universitas Nasional. Skripsi ini khusus untuk mama, dan kewajiban mama
sudah selesai, sekarang saatnya aku berbakti yang lebih untuk mama. Juga
kepada Almarhum Ayahanda, terima kasih atas semua nasihat, didikan yang
sangat disiplin kepada penulis semasa hidup Ayah.
4. Drs. Hasto Atmojo Suroyo, selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial Ilmu Politik
Universitas Nasional, terima kasih atas kemudahan dan dukungannya terhadap
penulis semasa menjadi mahasiswa FISIP.
5. Drs. Suhanto, M.Si selaku PUDEK II dan Pembimbing I yang selalu
memberikan masukan dan ilmu pengetahuan yang sangat berharga untuk
penulis dengan penuh kesabaran dan keikhlasan.
6. Drs. Dodi Tri Widodo, selaku PUDEK III dan pembimbing II sekaligus sebagai
penasihat dan pengingat yang baik di kala penulis menjalankan proses
penyelesaian skripsi.
7. Drs. Sigit Rochadi, M.Si selaku PUDEK I FISIP UNAS.
8. Drs. Yumetri Abidin, M.Si selaku Ketua Jurusan Hubungan Internasional yang
selalu memberikan kemudahan dan masukan berharga ketika penulis
membutuhkan.
vii
5
9. Zulkarnain S.IP, M.Si yang selalu mengakomodir kepentingan penulis,
kebutuhan-kebutuhan dan mengeluarkan solusi akademis yang sangat baik
semasa penulis menjadi Ketua HIMAHI dan hingga kini penulis menjalankan
proses penyelesaian masa studi.
10. Keluarga Besar Van Druten, alm Om Frans yang menjadi sosok panutan penulis
serta semua nasihat yang membangun selama masa hidupmu sangatlah berarti
untuk penulis. Bunda Anita yang juga memberikan banyak nasihat kehidupan,
selalu sabar, percaya dan mau curhat kepada penulis. Bang Hans yang juga ikut
memperhatikan penulis dengan caranya yang unik dan membuat hati penulis jadi
bergetar dalam berjuang. Ka Windy, akhirnya kaka balik lagi ke Indonesia. Dan
untuk yang terhormat, tersayang my blad Karel Adam yang selalu memanjakan
penulis, membantu penulis dari setiap permasalahan yang ada, mengajarkan
penulis arti sebuah persaudaraan yang sebenarnya. Terima kasih, kalian memang
keluargaku yang dengan sabar membina penulis dari kecil.
11. Keluarga Besar Indrajanto Soedibyo, om Djanas dan Tante Yanti terima kasih
yang sebesar-besarnya dan sedalam-dalamnya telah mengasuh, mendidik penulis
selama 7 tahun dan penulis sangat berterima kasih kepada om dan tante mau
menerima penulis untuk tinggal di kediaman om dan tante. Dhani, sahabat dari
SMU padahal kita dulu musuhan tau-taunya kita jadi sahabat sampai waktu yang
tidak ditentukan, we are the best dhan!. Nastie, makasih sudah membantu
penulis, manjain, Cuma satu nasihat penulis; sayangin Putra mu, didik dia,
viii
6
nafkahkan dia dan jadikan dia seorang lelaki sejati. Sachrul alias ica, makasih aja
deh, tetap semangat dalam belajar yaa ca, buatlah mama dan papa bangga ya.
12. Keluarga Besar alm Sirwan Dja’afar, wak Lies dan kak Kiky. Terima kasih yang
banyak penulis ucapkan. Penulis tidak bisa berkata apa-apa, karena kalian telah
banyak membantu dan memberikan arti penting terhadap penulis.
13. Keluarga Besar Himpunan Aktivis Mahasiswa Universitas Nasional atau
HAMAS, di organisasi ini penulis banyak mendapatkan pelajaran dan
pengalaman. Bang Semar, Bang Nuruddin, Bang Abel, Othing, Ipank, Gita,
Aiph, Rangga, Angga Jambrong, Aldino, Agung Germo, Havies si Jawa
Gendeng, kalian menjadikan penulis memiliki arti yang besar dan kalian adalah
teman sekaligus saudara dalam berjuang semasa kalian mahasiswa bersama
penulis. Tidak lupa juga Ketua HAMAS yang terhormat Glen Alexander, terima
kasih pak Ketua atas perhatiannya, teruskan perjuangan kalian dan jangan pernah
patah arang dalam setiap godaan yang merintang. Dan semua keluarga besar
HAMAS yang tidak bisa penulis uraikan semua disini, terima kasih banyak
kawan! Kita bersama-sama akan merebut kejayaan sejati. Viva HAMAS!
14. Keluarga Besar Ikatan Mahasiswa Djakarta atau IMADA selaku organisasi yang
paling unik dan memberikan banyak pelajaran, pengetahuan kepada penulis.
Dengan hadirnya IMADA, penulis merasa menanjak naik lebih progresif dalam
memimpin suatu kelompok yang memiliki latar belakang berbeda-beda. Kepada
ix
7
Imadawan Freddy Siahaan, bimbingan mu semasa penulis menjadi anggota dan
pemimpin organisasi tidak akan pernah dilupakan, sangat berharga! Sangat
berharga!. Imadawan Rocky Gerung, terima kasih atas pendidikan dan beberapa
informasi-informasi terhadap penelitian skripsi penulis. Imadawati Findy
Arnanda Lukman, kehadiranmu (judul lagu Samsons). Dan kepada seluruh
aktivis IMADA, penulis juga ucapkan banyak terima kasih atas dukungannya.
When in the future you will find they are many great men, they are really great
men, they come from our IMADA. Aku hanya orang imada,.............AHOI!
15. Pandawa Lima, Muhammad Rahman Salim, terima kasih yang sedalam-
dalamnya mau penulis repotkan dalam hal apapun dan terima kasih atas semua
yang telah anda perbuat kepada penulis. Hans Andrie, semangat Tan Malaka
masih ada pada setiap perjuangan kita kawan, kaum miskin lebih baik kita
persenjatai. Kuple, terima kasih udah mau penulis suruh-suruh dateng dimana aja
kapan aja, itu resiko jadi anak paling kecil diantara kita haha!. Muhammad Haris
Indra, terima kasih atas ilmunya dan semoga sukses dalam setiap perjuanganmu
kawan. Kalau dulu kita pernah membuat gempar satu propinsi, maka ada
waktunya nanti dunia kita gemparkan dengan kekuatan dan kekuasaan yang kita
miliki bersama.
16. Kepada semua saudara, semua teman-teman dan semua yang tidak bisa penulis
uraikan dalam lembaran yang terbatas ini. Siapapun kalian dan apapun kalian
tetaplah memiliki arti tersendiri dalam setiap gerak kehidupan penulis.
8
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Timur Tengah dalam perkembangannya menjadi fokus perhatian dunia. Hal itu
adalah akibat dua alasan pokok. Pertama, di kawasan ini terjadi perkembangan-
perkembangan penting yang luas implikasi-implikasinya, antara lain usaha
perdamaian Arab – Israel, salah satunya agresi Israel ke Lebanon pada tahun 2006
sempat menarik perhatian dunia Internasional, serta usaha penandatanganan Peta
Jalan damai antara Israel dan Palestina yang masih menunggu kelanjutan dan
waktunya di awal tahun 2008. Usaha-usaha perdamaian di Timur Tengah menuntut
langkah-langkah dunia Internasional dan khususnya negara-negara yang memiliki
kepentingan di Timur Tengah agar usaha perdamaian tersebut bisa berjalan dengan
baik. Kedua, kawasan ini mempunyai arti strategis yang besar berkat letak
geografisnya pada titik pertemuan tiga benua dan kekayaan minyaknya maupun
ketergantungan negara-negara Barat dan Asia pada kekayaan minyak tersebut.1
Sejak dahulu Timur Tengah mempunyai arti strategis yang penting dan oleh
sebab itu selalu menjadi incaran negara-negara besar. Berkat letaknya pada
pertemuan Eropa, Asia dan Afrika, kawasan ini menjadi jalan-jalan masuk ketiga
benua itu. Timur Tengah berbatasan dengan Laut Merah, Laut Tengah, Laut Hitam,
1 Kirdi Dipoyudo, Timur Tengah Pusaran Strategis Dunia, Yayasan Proklamasi CSIS Jakarta, h. 5
1
9
Laut Kaspi, Teluk Parsi dan Samudera Hindia. Di kawasan ini juga terdapat jalur-
jalur air yang strategis seperti Selat Bosporus, Selat Dardanella, Terusan Suez, Selat
Bab el Mandeb dan Selat Hormuz. Secara demikian baik lewat daratan maupun lewat
perairan ia memandang ke banyak penjuru, dan sejak fajar sejarah keunikan
geostrateginya itu diakui oleh negara-negara besar. Di jaman modern ini muncul
suatu faktor baru yang memperbesar arti strateginya itu, yaitu lalu lalu lintas udara.2
Melihat latar belakang sejarah hubungan Indonesia – Timur Tengah, mau tidak
mau harus menengok hubungan Indonesia – Mesir. Bagi Indonesia, Timur Tengah,
khususnya Mesir, menempati posisi tersendiri. Mesir menjadi negara pertama yang
mengakui kedaulatan Indonesia. Hubungan Indonesia dengan negara-negara Timur
Tengah bukanlah warisan melainkan bagian dari sebuah komitmen antar negara yang
memang dari dulu sudah menjalin hubungan dengan baik. Pada tahun 1947
kemerdekaan Indonesia pertama kali diakui oleh Mesir secara de facto dan de jure,
Sedangkan untuk masyarakat Indonesia, kawasan ini cukup dikenal baik sejak
lama. Faktor kedekatan dari segi agama membuat kawasan ini sebagai kawasan yang
tidak dipandang asing oleh masyarakat Indonesia. Kemudian berlanjut dengan
kedekatan pada faktor historis, kultural, ekonomi, dan politik. Dengan demikian,
secara langsung maupun tak langsung, antara Indonesia dan Timur Tengah akan
selalu terjadi hubungan saling mempengaruhi.
2 Ibid
10
pengakuan tersebut tidaklah terjadi dengan begitu saja. Pengakuan Mesir tersebut
melalui proses yang cukup panjang. Setidak-tidaknya hal ini terlihat dari jarak waktu
antara Proklamasi Indonesia tahun 1945, dengan pengakuan Mesir yang baru terjadi
pada tahun 1947.3
Secara historis, hubungan antara masyarakat Mesir dan masyarakat Indonesia
(Hindia Belanda) sudah terjalin pada awal abad ke-20, dalam bentuk hubungan
religio-kultural, khususnya agama (Islam) dan pendidikan. Salah satu faktor yang
mempengaruhi munculnya gerakan pembaruan Islam di Indonesia (Muhammadiyah,
misalnya) adalah pergerakan pembaharuan Islam yang dipelopori Jamaluddin al
Afghani dan Muhammad Abduh di Mesir.
4
Indonesia akan menempatkan ini sebagai landasan untuk menjalin kerjasama
lebih kongkrit diberbagai bidang mengingat potensi besar yang dimiliki kawasan
Timur Tengah terutama dengan Mesir, Yordania, Iran, Maroko, Tunisia dan Aljazair.
Kawasan Timur Tengah memang memiliki sejumlah permasalahan, konflik Israel –
Dalam beberapa hal, terdapat persamaan antara Indonesia dan Mesir, seperti
persamaan sebagai negara bekas jajahan, sebagai negara di mana mayoritas rakyatnya
beragama Islam, dan persamaan dalam prinsip kebijaksanaan luar negeri yang anti-
kolonialisme/imperialisme.
3 Riza Sihbudi, Indonesia Timur Tengah Masalah dan Prospek, Gema Insani Press 1997, h 22.
4 Ibid
11
Palestina yang telah terjadi sekian lama memberikan dampak tidak baik bagi
perdamaian dan mempengaruhi dunia internasional. Peperangan antara Israel –
Palestina menimbulkan perpecahan pandangan, karena dalam konflik tersbut terdapat
permasalahan fundamental. Secara garis besar uraian diatas sudah ada di kaji oleh
Riza Sihbudi, yang banyak menjelaskan perjalanan hubungan Indonesia – Timur
Tengah dari masa kemerdekaan, orde lama hingga orde baru.5
Dalam skripsi ini penulis memusatkan pada periode Presiden Susilo Bambang
Yudhoyono dengan batasan waktu dari 2004 hingga 2007. Susilo Bambang
Yudhoyono merupakan seorang presiden yang memiliki cara dan gaya yang berbeda
dalam berbicara dan cara-caranya beliau dalam menarik perhatian masyarakat
Indonesia. Berbeda dengan para Presiden Indonesia terdahulu di masa Orde Lama
dan Orde Baru, bahkan setelah reformasi, Susilo Bambang Yudhoyono lebih
mengedepankan cara-cara dialog dalam menjalankan tugas-tugasnya sebagai
Presiden.
5 Lihat juga Riza Sihbudi, Indonesia Timur Tengah Masalah dan Prospek, Gema Insani Press 1997.
Dalam situs resmi Departemen Luar Negeri Indonesia terdapat banyak penjelasan
mengenai arah dan kebijakan luar negeri Indonesia menyangkut dengan kawasan
Timur Tengah serta menyangkut permasalahan Arab – Israel khususnya Israel –
Palestina. Secara politik memang diakui kawasan Timur Tengah, khususnya negara-
12
negara Arab, merupakan kawasan yang tidak stabil (instability region), dimana
dituntut keterlibatan Indonesia untuk berperan aktif.
Kunjungan kenegaraan Susilo Bambang Yudhoyono akhir April 2006 selama
sepuluh hari, ke negara-negara Timur Tengah, seperti Arab Saudi, Kuwait, Jordania,
Qatar dan Uni Emirat Arab menunjukkan bahwa pelaksanaan politik luar negeri
Indonesia yang bebas aktif. Hal ini mencerminkan citra instrument politik luar negeri
Indonesia akan cenderung berubah seiring dengan perkembangan-perkembangan
domestik dan eksternal yang terjadi di lingkungan internasional.6
6 Dalam artikel Hendra Manurung, Indonesia, ASEAN, dan Konflik TIMTENG.
Dalam hubungan bilateral Indonesia dengan negara-negara Timur Tengah, pada
umumnya Indonesia telah menjalin hubungan diplomatik dengan negara-negara
tersebut, dimana setiap negara menempatkan perwakilan kedutaan di Indonesia guna
memudahkan akses dan aktivitas kerjasama kenegaraan secara formil. Namun hingga
kini Indonesia belum punya hubungan diplomatik dengan Israel, salah satu negara di
kawasan Timur Tengah. Seorang mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Islam
Indonesia, yang juga sebagai peneliti konflik Arab-Israel di komunitas INSAIL
(Initiative Studies of Arab-Israel), di dalam artikelnya yang berjudul Urgensi
Hubungan Diplomatik Israel - Indonesia, mengatakan membangun hubungan
diplomatik dengan Israel, merupakan satu wacana yang sudah dapat dipastikan akan
mendapat protes dari berbagai pihak di Indonesia. Meskipun pada prakteknya
13
kerjasama antar kedua belah negara telah terjalin lama dan banyak dibangun dalam
hal perdagangan internasional, kekuatan militer, intelijen, pariwisata religi dan
sebagainya.7
Melihat dari sisi hubungan bilateral Indonesia dengan Timur Tengah, diantaranya
negara-negara yang berada dalam kawasan tersebut, Indonesia tidak mempunyai
hubungan diplomatik dengan Israel. Berdasarkan konteks tersebut maka muncul
pertanyaan mengapa Indonesia di era pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono
tetap tidak membuka hubungan diplomatik dengan Israel?.
C. Kerangka Teori
B. Pokok Permasalahan
Dalam penelitian ini penulis menggunakan teori yang dianggap relevan sebagai
landasan untuk memahami dan membahas masalah yang akan diangkat, yaitu teori
kebijakan luar negeri. Kebijakan adalah rangkaian konsep dan asas yang menjadi
garis besar dan dasar rencana dalam pelaksanaan satu pekerjaan, kepemimpinan
dalam pemerintahan atau organisasi; pernyataan cita-cita, tujuan, prinsip atau maksud
sebagai garis pedoman dalam mencapai sasaran.8
7
www.ruleroom.blogspot.com, 17 Maret 2009
8 Budiono M.A, Kamus Ilmiah Populer Internasional, Penerbit Alumni Surabaya, 2005, h. 298.
14
Politik atau kebijakan luar negeri pada hakekatnya merupakan kepanjangan
tangan dari politik dalam negeri sebuah negara. Menurut para pakar hubungan
internasional, misalnya, politik luar negeri suatu negara sedikitnya dipengaruhi oleh
tiga faktor: kondisi politik dalam negeri, kemampuan ekonomi dan militer, serta
lingkungan internasionalnya.9 Leo Suryadinata10
Kemudian, politik luar negeri sebagai seperangkat komitmen dan rencana untuk
bertindak (as a set of commitments to and plan for action). Dalam hal ini kebijakan
luar negeri berupa rencana dan komitmen konkrit yang dikembangkan oleh para
pembuat keputusan untuk membina dan mempertahankan situasi lingkungan
eksternal yang konsisten dengan orientasi kebijakan luar negeri. Rencana tindakan ini
termasuk tujuan yang spesifik serta alat atau cara untuk mencapainya yang dianggap
cukup memadai untuk menjawab peluang dan tantangan dari luar negeri.
menyebutkan adanya tiga faktor
yang menentukan politik luar negeri; kapabilitas negara, persepsi para elite politik
nasional tentang masalah-masalah internasinal, serta dominasi budaya dan lembaga-
lembaga politik di negara yang bersangkutan.
11
9 William D. Coplin, misalnya, dalam bukunya yang sudah diterjemahkan dalam bahasa Indonesia Pengantar Politik Internasional (Bandung: Sinar Baru, 1992), khususnya bab III sampai V, menyebutkan adanya sejumlah faktor yang mempengaruhi proses pengambilan keputusan luar negeri suatu negara, diantaranya adalah: politik dalam negeri (termasuk kaum birokrat, partai politik, kelompok kepentingan dan massa); kondisi ekonomi dan militer negara yang bersangkutan; serta apa yang ia sebut sebagai konteks internasional.
10 Dalam buku, Indonesia’s Foreign Policy under Suharto: Aspiring to International Leadership (Singapore: Times Academic Press, 1996)
11 Ibid.,h.10
15
Kebijakan luar negeri ialah suatu sikap yang dilakukan oleh negara dalam
menjalankan hubungan antar negara. Tindakan ataupun ide yang dirancang oleh
pembuat kebijakan untuk memecahkan suatu masalah atau melancarkan perubahan,
yaitu melalui kebijakan, sikap atau tindakan negara-negara lainnya. Hal tersebut,
merupakan aplikasi dari wujud nyata untuk terciptanya kepentingan nasional suatu
negara. Pengertian kebijakan luar negeri ini dibagi dalam empat komponen, mulai
dari yang umum sampai yang khusus: (1) orientasi kebijakan luar negeri, (2) peran
nasional , (3) tujuan nasional, dan (4) tindakan nasional.12
Tingkat keterlibatan suatu negara dalam berbagai isyu internasional paling tidak
merupakan ekspresi dari orientasi umumnya terhadap bagian dunia yang lain.
Orientasi kebijakan luar negeri yang dimaksud K.J Holsti adalah sikap dan
komitmen umum suatu negara terhadap lingkungan eksternal, strategi dasar negara
untuk mencapai tujuan dan aspirasi baik domestik maupun eksternal.
Dari empat komponen
diatas maka dalam penelitian ini penulis menggunakan pengertian kebijakan luar
negeri yang dituliskan oleh K.J. Holsti, terutama yang bertalian dengan orientasi
kebijakan luar negeri.
13
12 K.J Holsti, Politik Internasional Kerangka Untuk Analisis, Terjemahan M. Tahir Azhary, jilid 1, Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 1987, h.135-136.
13 Ibid, h.5
C.1.a. Strategi dasar negara untuk mencapai tujuan.
16
Strategi atau orientasi umum suatu bangsa jarang nampak hanya pada satu
keputusan saja, tetapi merupakan hasil dari serangkaian keputusan kumulatif yang
dibuat dalam rangka menyelaraskan tujuan, nilai, dan kepentingan terhadap kondisi
dan karakteristik, baik lingkungan domestik maupun lingkungan eksternal.
Pada penelitian ini, strategi dasar Indonesia sudah tercantum dalam pembukaan
Undang-Undang Dasar 1945 pada alinea pertama dan keempat yang berbunyi sebagai
berikut; alinea pertama, bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala
bangsa dan oleh sebab itu, maka penajajahan diatas dunia harus dihapuskan karena
tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan. Alinea keempat, kemudian
daripada itu, untuk membentuk suatu pemerintahan negara Indonesia yang
melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, dan untuk
memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut
melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi
dan keadilan sosial maka disusunlah kemerdekaan kebangsaan Indonesia itu dalam
suatu Undang-Undang Dasar Negara Indonesia yang terbentuk dalam suatu susunan
berdasarkan kepada Ke Tuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan
beradab, Persatuan Indonesia, dan Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat
kebijaksanaan dalam Permusyawaratan Perwakilan serta dengan mewujudkan suatu
Keadilan Sosial bagi seluruh Rakyat Indonesia.
Dasar strategi diatas akan menjadi pegangan penulis dalam mengukur
permasalahan dalam penulisan skripsi ini.
17
C.1.b. Sikap dan komitmen umum suatu negara terhadap lingkungan eksternal.
Sikap dan komitmen umum Indonesia terhadap lingkungan eksternal, atau sama
dengan sikap politik luar negeri Indonesia diwujudkan dalam politik luar negeri yang
bebas aktif. Kebijaksanaan ini tidaklah berarti suatu sikap yang netral. Kata “bebas”
dan “aktif” jelas menunjukkan suatu sikap politik luar negeri yang dinamis: “bebas”
berarti hak untuk membuat penilaian kita sendiri terhadap masalah-masalah
internasional dan bebas dari keterikatan pada kekuatan militer mana pun dan sekutu-
sekutunya; “aktif” dalam arti berusaha aktif dan konstruktif memajukan
kemerdekaan, perdamaian dan keadilan di mana pun di dunia.
Pada point ini jelas posisi polugri indonesia sesuai UUD 1945 adalah bebas aktif
yang menjunjung tinggi kemerdekaan dan penghapusan penjajahan atas negara. jadi
sikap RI terhadap lingkungan eksternal adalah menentang penjajahan dan
menciptakan lingkungan kawasan yang harmonis dan damai tanpa ada tekanan dari
negara lain
C.1.c Aspirasi domestik dan eksternal.
Pada point ini, yang dimaksud dengan aspirasi domestik ialah aspirasi yang
terjadi di dalam negeri serta berhubungan dengan kebijakan politik luar negeri
Indonesia yang tidak membuka hubungan diplomatik dengan Israel. Hal ini
tergambarkan dalam tekanan atau permintaan masyarakat Indonesia yang ada
kaitannya dengan penelitian ini. Begitu juga dengan aspirasi eksternal, baik itu
18
pendangan-pandangan individu atau lembaga yang memperhatikan peranan Indonesia
dalam judul penelitian yang penulis angkat.
D. Metode Penelitian
Dalam rangka menemukan dan mengembangkan serta menguji kebenaran dari
karya ilmiah ini, maka dibutuhkan metode dalam penelitian yang menyangkut dengan
faktor-faktor kebijakan luar negeri Indonesia tidak membuka hubungan diplomatik
dengan Israel. Ada beberapa aspek yang perlu mendapat perhatian lebih agar kiranya
tulisan ilmiah ini benar-benar bermakna. Ada tiga aspek yang perlu diperhatikan
dalam rangka memaksimalisasikan keilmiahan tulisan ini, yaitu jenis penelitian, sifat
penelitian, dan teknik pengumpulan data.
D.1.a. Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan dalam penulisan ini adalah penelitian yang
berusaha untuk menyelidiki, memahami, dan kemudian menjelaskan atau
menganalisa suatu gejala yang diteliti dalam lingkungan masyarakat, termasuk
proses-proses sosial dan pola-pola perilaku yang terdapat dalam lingkungan
masyarakat yang dijadikan sebagai obyek penelitian tersebut. Jenis penelitian ini
disebut penelitian kualitatif. Penjelasan atas gejala yang diteliti tersebut tentu
dilakukan lewat penyusunan hasil penelitian secara sistematik.
Proses penyusunan ini memiliki substansi analitik dan interpretatif dalam setiap
penjelasannya. Penelitian ini menggunakan data sebagai bukti dalam menguji
19
kebenaran dan ketidakbenaran hipotesis. Data yang muncul berwujud kata-kata, dan
bukan rangkaian angka. Dalam analisa itu sendiri terdapat reduksi data sebagai proses
pemilihan, pemusatan perhatian pada penyederhanaan pengabstraksian dan
transformasi data suatu kasus yang muncul dati catatan-catatan tertulis di lapangan.
D.1.b. Sifat Penelitian
Penulisan ini menggunakan penelitian yang bersifat deskriptif analitis dimana
penulis berusaha untuk mendapat uraian yang menggambarkan suatu kolektifitas
dengan syarat bahwa representasi harus terjamin.14 Penelitian yang bersifat deskriptif
analitis ini bertujuan melukiskan reaksi sosial yang kompleks dan sedemikian rupa
sehingga relevansinya tercapai. Penelitian ini akan memanfaatkan dan menciptakan
konsep-konsep ilmiah, sekaligus berfungsi mengklasifikasikan gejala-gejala sosial
yang dipersoalkan.15
Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penulisan ini adalah dengan
menggunakan studi kepustakaan. Data diperoleh dari sumber-sumber berupa buku-
buku, jurnal ilmiah, artikel internet, dan referensi-referensi ilmiah lainnya yang
dianggap relevan dengan permasalahan yang diangkat penulis. Data yang diperoleh
D.1.c. Teknik Pengumpulan Data
14 Uredenbergt, Metode dan Teknik PenelitianMasyarakat, Gramedia, Jakarta, 1980, h. 34
15 Hodari Nawawi, Metode Penelitian bidang sosial, Gajah Mada University Press, Cetakan III, Yogyakarta 1987, h. 161.
20
dari sumber-sumber buku ini, menjadi bagian inti yang berfungsi sebagai pendukung
dalam menganalisa permasalahan.
E. Sistematika Penulisan
Untuk memberikan gambaran secara garis besar tentang apa yang hendak
dikemukakan dalam penelitian ini, penulis membagi dalam lima bab, yang kemudian
tiap bab terdiri dari beberapa sub-bab, sebagai berikut :
BAB I : PENDAHULUAN
Bab ini berisi : Latar Belakang Masalah, Pembatasan Masalah,
Rumusan Masalah, Tujuan dan Manfaat Penelitian, Kerangka Dasar
Pemikiran, Metode Penelitian dan Sistematika Penulisan.
BAB II : PERKEMBANGAN POLITIK LUAR NEGERI INDONESIA
Bab ini penulis menguraikan berawal dari Politik Luar Negeri
Indonesia Bebas Aktif. Politk Luar Negeri Indonesia dari masa ke
masa dan arahnya.
BAB III : PERKEMBANGAN POLITIK LUAR NEGERI ISRAEL
21
Bab ini penulis menguraikan mengenai sejarah dan biografi Israel,
konflik Timur Tengah dan dinamika Israel dalam Politik
Internasional khususnya pada wilayah Timur Tengah.
BAB IV : KEBIJAKAN LUAR NEGERI INDONESIA ERA SUSILO
BAMBANG YUDHOYONO.
Bab ini penulis menjelaskan tentang kebijakan politik luar negeri
Indonesia pada masa Susilo Bambang Yudhoyono. Diantaranya,
faktor-faktor Indonesia tidak membuka hubungan diplomatik dengan
Israel dan strategi politik Indonesia terhadap Israel.
BAB V : KESIMPULAN
Bab ini berisikan tentang kesimpulan yang merupakan akhir dari
penulisan skripsi.
22
BAB II
PERKEMBANGAN POLITIK LUAR NEGERI INDONESIA
A. Latar Belakang Politik Luar Negeri Indonesia
Kepentingan nasional Indonesia secara umum terdapat dalam alinea pertama dan
keempat pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 yang berbunyi:
Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, maka penjajahan diatas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan.
Dan perjuangan pergerakan kemerdekaan Indonesia telah sampailah kepada saat yang berbahagia dengan selamat sentosa mengantarkan rakyat Indonesia ke depan pintu gerbang kemerdekaan negara Indonesia, yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur.
Atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa dan dengan didorongkan oleh keinginan luhur, supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas, maka rakyat Indonesia menyatakan dengan ini kemerdekaannya.
Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu pemerintahan negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial maka disusunlah kemerdekaan kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang-Undang Dasar Negara Indonesia yang terbentuk dalam suatu susunan berdasarkan kepada Ke Tuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia, dan Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam Permusyawaratan Perwakilan serta dengan mewujudkan suatu Keadilan Sosial bagi seluruh Rakyat Indonesia16
16
www.mpr.go.id 15 Januari 2009
15
23
Dengan demikian, kepentingan nasional Indonesia meliputi kepentingan-
kepentingan yang menyangkut keutuhan bangsa dan wilayah, kehidupan kebangsaan
yang bebas, kehidupan ideologi, politik, ekonomi, sosial budaya dan pertahanan
keamanan, serta peranan di dunia internasional. Ia merupakan landasan kebijaksanaan
politik luar negeri Indonesia yang terdiri dari lima landasan pokok.
Pertama, bahwa “kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa”. Ungkapan ini
merupakan pengakuan dan penegasan bangsa Indonesia untuk mendukung tiap-tiap
perjuangan kemerdekaan di dunia, karena setiap bangsa berhak untuk memiliki
kemerdekaan itu, berhak untuk menentukan nasib sendiri, berhak untuk menentukan
cara hidupnya sendiri, berhak untuk memberi isi kepada kemerdekaannya sesuai
dengan cita-citanya sendiri.
Kedua, bahwa “penjajahan di dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan
perikemanusiaan dan perikeadilan”. Bangsa Indonesia menentang setiap bentuk
penjajahan karena bertentangan dengan perikemanusiaan dan perikeadilan, oleh sebab
itu bangsa Indonesia menentang kolonialisme dan imperialisme dalam segala bentuk
dan manifestasinya dan dari mana pun datangnya, baik yang bersifat politik, ideologi,
kultural, maupun ekonomis.
Ketiga ialah berkehidupan kebangsaan yang bebas. Bangsa Indonesia “berhak
untuk menentukan nasibnya sendiri, berhak untuk menetapkan cara hidupnya sendiri,
cara mengatur rumahtangganya sendiri. Hal ini berarti bahwa bangsa Indonesia
24
menolak setiap intervensi dari luar. Bangsa Indonesia bebas menentukan pandangan
dan sikapnya terhadap bangsa-bangsa lain di dunia.
Keempat ialah ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan
kemerdekaan, perdamaian dan keadilan sosial. Atas dasar landasan ini, bangsa
Indonesia akan aktif memperjuangkan terciptanya ketertiban dunia yang
bersumberkan kemerdekaan, perdamaian dan keadilan sosial. Tidak mungkin ada
ketertiban dunia tanpa kemerdekaan, perdamaian dan keadilan sosial, sebaliknya
tidak mungkin ada satu keadilan sosial di dunia ini tanpa adanya kemerdekaan,
ketertiban dunia dan perdamaian.
Kelima, Pancasila yang menjiwai, melandasi dan memberikan haluan kepada
bangsa Indonesia dalam segala segi kehidupannya memberi arah kepada politik luar
negeri Indonesia. Dengan demikian, politik dan strategi politik luar negeri Indonesia
tetap berpokok pangkal pada kehendak Tuhan Yang Maha Esa, tetap menjunjung
tinggi kemanusiaan yang adil dan beradab, menjamin persatuan dan kesatuan bangsa,
menjunjung tinggi panji-panji musyawarah untuk mufakat, untuk mewujudkan
keadilan sosial, baik dalam tubuh bangsa sendiri, maupun di antara bangsa-bangsa di
dunia ini.
Politik luar negeri Indonesia sejak perebutan kemerdekaannya memperlihatkan
beberapa ciri yang sangat menonjol yang bersumber kepada kepentingan nasional itu,
diantaranya adalah :
25
a. Rasa nasionalisme yang teramat kuat.
b. Rasa nasionalisme yang kuat ini melahirkan sikap penolakan terhadap setiap
usaha campur tangan dan paksaan dari negara-negara besar yang berusaha
mempengaruhi politik dalam dan luar negeri.
c. Kepercayaan diri yang besar yang lahir dari revolusi yang menegaskan
kemerdekaan dan memaksakan pengakuan kedaulatan Republik Indonesia
sebagai pencerminan dari kemerdekaan sebagai hak segala bangsa serta hak
untuk mengisi kemerdekaannya sesuai dengan cita-citanya sendiri.
A.1.a. Politik Luar Negeri Bebas Aktif
Ciri khas dan sangat menonjol dari politik luar negeri Indonesia sejak ia
memperjuangkan dan merebut kemerdekaannya ialah rasa nasionalisme yang teramat
tebal. Ia merupakan warisan dari perjuangan yang panjang menuju kemerdekaannya,
dan yang dalam kurun waktu 1945-1949 terutama dipacu oleh presiden Soekarno.
Tanpa faktor nasionalisme yang kuat ini sangatlah sulit untuk membangkitkan rasa
kebersamaan nasib di antara berbagai suku bangsa yang terpecah belah dan
mempersatukannya menuju terciptanya kedaulatan bangsa Indonesia.
Prinsip perjuangan untuk merebut kemerdekaan dan memaksakan pengakuan
atas kedaulatan itu merupakan pencerminan yang kuat dan sekaligus penuangan yang
tegas dari hak setiap bangsa yang tertuang ke dalam pendahuluan Undang-Undang
Dasar 1945. Konsekuensi dari sikap dan perjuangan kemerdekaan ini ialah tuntutan
26
untuk memusnahkan setiap bentuk kolonialisme di manapun di dunia, karena ia
bertentangan dengan perikemanusiaan dan perikeadilan.
Karena nasionalisme Indonesia ini berakar dalam perjuangan untuk merebut
kemerdekaan dari kolonialisme dan imperialisme, maka nasionalisme ini melahirkan
suatu sikap waspada yang mendasar terhadap negara-negara besar yang berusaha
untuk mempengaruhi politik luar negeri Indonesia. Bangsa Indonesia berhak untuk
menentukan nasibnya sendiri, berhak untuk menetapkan cara hidupnya sendiri, cara
mengatur rumahtangganya sendiri. Hal ini berarti bahwa bangsa Indonesia menolak
usaha-usaha campur tangan dan paksaan dari luar, menolak setiap intervensi dari luar.
Bangsa Indonesia bebas menentukan pandangan dan sikap terhadap bangsa-bangsa
lain di dunia. Pengalaman Indonesia selama perjuangannya untuk meraih dan
memperoleh pengakuan atas kemerdekaan dan kedaulatannya mengajar bangsa
Indonesia bahwa negara-negara besar tidak membantu negara-negara lain atas dasar
altruisme17
17 Altruisme ialah hak sifat yang mementingkan kepentingan orang lain atau suatu pandangan yang menekankan, bahwa kewajiban yang mutlak bagi manusia adalah memberikan pengabdian dan rasa cinta kepada sesama/orang lain, dalam Budiono M.A, op.cit., h. 28
. Kepentingan mereka sangat terasa saat memberikan bantuan bagi negara-
negara yang baru merdeka saat berkecamuknya Perang Dingin. Mereka berusaha
untuk menarik negara-negara itu ke dalam lingkungan pengaruh mereka menghadapi
lawan utama mereka.
27
Rasa kebangsaan dan percaya diri yang kuat ini membawa bangsa Indonesia
menuju suatu politik luar negeri yang bebas aktif atau politik luar negeri yang tidak
mau bergabung dengan blok negara manapun, yang pertama-tama diperkenalkan dan
dirumuskan oleh Wakil Presiden pertama Republik Indonesia. Pernyataan politik
bebas aktif untuk pertama kali dikumandangkan Muhammad Hatta pada 2 September
1948 di depan Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP), yang
kemudian terkenal dengan judul “Mendayung antara Dua Karang”:
Pemerintah berpendapat bahwa pendirian yang harus kita ambil ialah supaya jangan menjadi obyek dalam pertarungan politik internasional, melainkan harus tetap menjadi subyek yang berhak menentukan sikap kita sendiri, berhak memperjuangkan tujuan kita sendiri, yaitu Indonesia Merdeka seluruhnya.
...Menurut anggapan pemerintah, kita harus tetap mendasarkan perjuangan kita atas adagium: percaya pada diri sendiri dan berjuang atas tenaga dan kesanggupan yang ada pada kita. (Keterangan Pemerintah tentang politiknya kepada Badan Pekerja KNIP, 2 September 1948).18
18
Kebijaksanaan ini tidaklah berarti suatu sikap yang netral. Kata “bebas” dan
“aktif” jelas menunjukkan suatu sikap politik luar negeri yang dinamis: “bebas”
berarti hak untuk membuat penilaian kita sendiri terhadap masalah-masalah
internasional dan bebas dari keterikatan pada kekuatan militer mana pun dan sekutu-
sekutunya; “aktif” dalam arti berusaha aktif dan konstruktif memajukan
kemerdekaan, perdamaian dan keadilan di mana pun di dunia.
www.kjrihamburg.de 18 Januari 2009
28
Hatta selanjutnya menegaskan bahwa Pancasila, di samping anti kolonialisme
dan imperialisme;
merupakan salah satu faktor objektif yang berpengaruh atas politik luar negeri Republik Indonesia, oleh karena Pancasila sebagai falsafah negara mengikat seluruh bangsa Indonesia, sehingga golongan atau partai politik manapun yang berkuasa di Indonesia, tidak dapat menjalankan suatu politik negara yang menyimpang dari Pancasila. (Dasar Politik Luar Negeri R.I., Jakarta: Tintamas, 1953).19
Asal mulanya Pemerintah menyatakan “sikap bebas” dalam perhubungan luar negeri, ialah untuk menegaskan bahwa berhadapan dengan kenyataan adanya dua aliran bertentangan dalam kalangan internasional yang mewujudkan dua blok, yaitu blok Barat dengan Amerika dan sekutu-sekutunya dan blok Timur dengan teman-temannya. Republik Indonesia bersikap bebas dengan makna; (a) tidak memilih pihak untuk selamanya dengan mengikat diri kepada salah satu daripada dua blok dalam pertentangan itu, dan (b) tidak mengikat diri untuk selamanya dengan mengikat diri untuk selamanya akan tidak campur atau akan bersikap netral dalam setiap peristiwa yang terbit daripada pertentangan antara dua blok itu tadi. Sebaliknya kemudian oleh karena keterangan sikap bebas yang semata-mata bersifat negatif itu ternyata menimbulkan salah faham atau sedikitnya keragu-raguan dalam kalangan aliran-aliran politik kepartaian di dalam negeri ataupun pada pihak dua blok yang bertentangan itu atau ... salah satunya, Pemerintah menambahkan keterangan bahwa dalam sesuatu soal peristiwa yang timbul yang mengenai pertentangan antara dua blok itu tadi ataupun banyak sedikitnya ada menyangkut kepada pertentangan itu, Republik Indonesia tetap mendasarkan sikapnya kepada kebebasannya dengan mengingat: (a) pahamnya tentang niat dan tujuannya sebagai suatu anggota yang ikhlas, setia dan bersungguh-sungguh daripada Perserikatan Bangsa-Bangsa, dan (b) pandangannya tentang kepentingan negara dan bangsanya yang
Kabinet Wilopo pada 22 Mei 1952 menegaskan politik luar negeri Indonesia
yang bebas aktif dengan lebih menekankan pada dimensi bebasnya:
19 Bantarto Bandoro, Refleksi Setengah Abad Kemerdekaan Indonesia, Jakarta: CSIS, 1995, h.1015.
29
berpengaruh berdasar di jarak masa dekat ataupun masa jauh ...” (Dua Puluh Lima Tahun Departemen Luar Negeri 1945-1970, 1971:60).20
Politik luar negeri kita yang bebas itu bermoral, yang bersumber pada pandangan hidup kita. Moral Pancasilalah yang membimbing politik luar negeri kita yang bebas aktif itu. Politik luar negeri yang bebas aktif itu kita abdikan
Politik luar negeri bebas aktif ditegaskan kembali oleh Pemerintah Soeharto
sebagai landasan politik luar negeri Indonesia. Dalam rangka mempertahankan dan
mengamalkan Pancasila dan melaksanakan secara konsekuen. Pemerintah orde Baru
menandaskan pula bahwa politik luar negeri yang bebas aktif sama sekali bukanlah
politik yang netral, melainkan politik luar negeri yang tidak mengikatkan diri pada
salah satu blok di dunia atau ikatan-ikatan yang bersifat militer, dan sekaligus aktif
berjuang untuk hapusnya kolonialisme dan imperialisme di dalam segala bentuk dan
manifestasinya demi tercapainya perdamaian di dunia. Politik bebas aktif ini ialah
suatu politik yang bebas, yang berhak menentukan penilaian dan sikap kita sendiri
terhadap permasalahan-permasalahan dunia dan bebas dari keterikatan pada salah
satu blok kekuatan dunia. Bebas dalam arti
kita jalan apa yang menurut kita baik: baik bagi kita sendiri maupun bagi kebaikan seluruh umat manusia. Kita lakukan apa yang kita anggap baik tanpa kita begitu saja mengekor apa yang dilakukan oleh orang lain; walau yang melakukan itu kekuatan besar dunia. Kita juga tidak melakukan sesuatu hanya karena “angin sedang mengarah ke sana”. Politik luar negeri kita yang bebas itu mencerminkan wujud ke luar daripada hakiki negara yang berdaulat. Suatu kedaulatan yang harus kita tegakkan ke dalam dan kita tunjukkan ke luar. Politik luar negeri yang bebas demikian mencerminkan rasa percaya pada diri sendiri ...
20 Ibid
30
untuk tujuan kemanusiaan yang kita anggap luhur: ialah kemerdekaan bagi semua bangsa, kemajuan dan kesejahteraan bagi semua orang, keadilan yang berperikemanusiaan. Tujuan inilah yang kita kejar dalam melaksanakan politik luar negeri kita. Karena itu kita namakan politik luar negeri kita bebas dan aktif. (Soeharto, 1975: 143-144).21
Politik Luar Negeri Orde Baru di bawah Suharto merupakan kebalikan dari Orde
Lama di bawah Sukarno. Pandangan Sukarno tentang politik luar negeri sangat kuat
dipengaruhi pemikiran-pemikiran anti-kolonialisme yang telah berkembang sejak
masa mudanya. Suharto, sebaliknya pandangan politik luar negerinya tidak terlepas
dari pertimbangan dalam negeri. Pengalaman politik yang berbeda membuat
Jadi politik luar negeri Indonesia selama Orde Baru pun bersifat aktif dalam arti
secara aktif dan konstruktif berusaha menyumbang pada tercapainya perdamaian,
keadilan, persahabatan dan kerjasama yang saling menguntungkan antara bangsa-
bangsa di dunia. Keinginan Indonesia akan suatu ketertiban dunia, yang didasarkan
atas kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial membuka kesempatan
baginya untuk aktif berperan dalam kehidupan internasional. Ia ingin memiliki
kebebasan untuk menentukan sendiri peranan aktif yang bagaimana yang ingin
diperankannya dalam dunia internasional. Itulah sebabnya, seperti kita lihat dari
ucapan Bung Hatta, mengapa konsep “bebas aktif” lahir dan berkembang menjadi
sifat hakiki kebijaksanaan dan strategi politik luar negeri Indonesia.
B. Politik Luar Negeri Indonesia Era Orde Lama ke Orde Baru
21 Ibid
31
keduanya memiliki sudut pandang yang sangat berbeda dalam memahami makna
dasar politik luar negeri Indonesia.
Lebih jauh, Orde Baru memahami politik luar negeri sebagai upaya
mempertahankan kelangsungan hidup dan untuk mempertahankan integritas wilayah.
Oleh karena itu, politik luar negeri tidak hanya dipandang dalam pengertian politik-
militer, tetapi lebih luas lagi dilihat sebagai upaya menciptakan Indonesia yang
merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur berdasarkan Pancasila.
Sebagai bangsa yang berdaulat Indonesia memandang penting untuk tidak
menggantungkan dirinya secara politik kepada Barat. Sebagai bagian dari Gerakan
Non Blok sejak awal Indonesia menentang aliansi-aliansi pertahanan karena dinilai
akan mereduksi kedaulatan nasional dan membuka pintu bagi dominasi negara-negara
besar. Oleh karena itu, Indonesia di bawah Suharto konsisten menentang semua
bentuk campur tangan militer Barat di kawasan Asia Tenggara sebagai wujud dari
perlawanan Suharto terhadap campur tangan Barat terhadap kedaulatan nasional.
Untuk mewujudkan cita-cita kesatuan bangsa, Orde Baru menciptakan wawasan
nusantara. Konsep ini menjadikan seluruh komponen bangsa baik sosial, politik,
ekonomi, maupun pertahanan sebagai sesuatu yang satu dan tunduk pada ideologi
Pancasila. Bagi Orde Baru, konsepsi ini membantu pemerintah dan militer
memelihara kesatuan bangsa yang diikat oleh kesetiaan pada Pancasila sebagai satu-
satunya ideologi bangsa.
32
Sejalan dengan upaya mempertahankan kesatuan bangsa di atas pemerintah Orde
baru menjadikan stabilitas politik sebagai strategi utama. Dalam konteks ini Orde
Baru menentang semua bentuk kritik dan pandangan miring terhadap pembentukan
pemerintahan yang kuat. Besarnya dukungan dan intervensi militer dalam politik
membuat Orde Baru tidak dapat membebaskan diri dari kebijakan politik represif.
Kebijakan yang tidak jarang melanggar hak azasi manusia selalu dibenarkan sebagai
upaya menjaga kemurnian Pancasila dan UUD 45.
Pembangunan ekonomi merupakan sisi lain upaya Orde Baru mempertahankan
keamanan nasional. Stabilitas politik dalam kacamata Orde Baru harus ditopang
dengan pembangunan ekonomi, karena tanpa pembangunan ekonomi potensi
ketidakpuasan publik akan semakin lebar. Melalui pembangunan ekonomi juga
diharapkan pemerintahan akan mampu meningkatkan hajat hidup orang banyak.
Persoalan dasar pembangunan ekonomi adalah rendahnya keterbukaan politik yang
merupakan lahan subur bagi kolusi, korupsi dan nepotisme (KKN). Pembangunan
ekonomi ternyata hanya memberi keuntungan bagi segelintir konglomerat dan
keluarga presiden. Kerusuhan Mei 1998 adalah puncak dari ketidakpuasan terhadap
Orde Baru.
C. Politik Luar Negeri Indonesia Era Reformasi
Bulan Mei 1998 terjadi perubahan penting dalam politik Indonesia, di mana
terjadi peralihan kekuasaan dari Soeharto ke BJ Habibie. Reformasi sendiri memiliki
33
pengertian dasar untuk merubah sistem dan aktor pemerintahan Orde Baru. Pada era
Habibie (Mei 1998 – Oktober 1999), kebijakan luar negeri Indonesia praktis tidak
banyak mengalami perubahan, karena pada saat itu yang menjadi Menteri Luar
Negeri adalah Ali Alatas, orang yang juga menjadi Menlu pada era Orde Baru. Selain
itu, pemerintahan Habibie lebih banyak disibukkan oleh berbagai persoalan domestik,
yang mengalami kekacauan sejak terjadinya krisis ekonomi tahun 1997. Namun, pada
era Habibie terjadi peristiwa bersejarah, yaitu lepasnya Propinsi Timor Timur setelah
melalui proses jajak pendapat di bawah Perserikatan Bangsa Bangsa. Setelah
lepasnya Timor Timur banyak terjadinya kekacauan, karena adanya berbagai tindak
kekerasan di wilayah tersebut. Salah satu pihak yang dituduh terlibat dalam kasus itu
adalah militer.
Masalah Timor Timur juga berimbas pada memburuknya hubungan Indonesia –
Australia. Kekuasaan Habibie tidak berlangsung lama, dan Abdurrahman Wahid
muncul sebagai Presiden Indonesia ke-4 (Oktober 1999). Tidak lama setelah dilantik
menjadi Presiden, Wahid melontarkan ide pembentukan Poros Jakarta-Beijing-New
Delhi serta ingin lebih memperkuat kerja sama dengan negara-negara di kawasan
Asia lainnya serta Timur Tengah. Wahid kemudian mengunjungi sejumlah negara
ASEAN.
Beberapa pemimpin ASEAN yang dikunjunginya menjanjikan akan
meningkatkan bantuan ekonomi kepada Indonesia. Hanya dua hari setelah
menyelesaikan lawatannya ke ASEAN, Wahid langsung menuju Amerika Serikat dan
34
Jepang. Menurut Wahid, Indonesia tidak akan mengorbankan hubungannya dengan
Amerika Serikat dan negara maju lainnya walaupun akan mengadakan hubungan
yang lebih intens dengan Republik Rakyat Cina dan India. Perubahan orientasi politik
luar negeri Indonesia ini bisa jadi dilatarbelakangi oleh ”kekecewaan” Wahid
terhadap sikap arogan negara-negara Barat (khususnya Australia) dalam masalah
Timtim.22 Di era Soeharto dan Habibie, kedekatan Indonesia dengan Barat di satu sisi
telah menghasilkan berbagai kemajuan di sektor ekonomi dan teknologi.
Akan tetapi dari aspek politik, justru membuat Indonesia seringkali menjadi
faktor arogansi Barat. Karena itu, secara politis, re-orientasi kebijakan luar negeri
Indonesia di bawah Wahid diharapkan berdampak positif, di mana Jakarta dapat lebih
leluasa menjalankan politik luar negerinya yang bebas dan aktif. Yang lebih
menekankan pada kerja sama dengan sesama negara berkembang. Namun,
kebijaksanaan Wahid pada saat tersebut menyulut kontroversi, ikut terbawa juga di
bidang politik luar negeri. Selain ide membentuk poros Jakarta-Beijing-New Delhi,
rencana pembukaan hubungan dengan Israel sempat menyulut kontroversi, baik di
dalam maupun luar negeri.
22 Riza Sihbudi,
Pada akhir Oktober 1994, empat tokoh Islam Indonesia, yaitu Abdurrahman Wahid (NU), Habib Chirzin (Muhammadiyah), Djohan Efendi (Departemen Agama) dan Bondan Gunawan, berkunjung ke Israel atas undangan pemerintah Tel Aviv guna menghadiri sebuah seminar tentang perdamaian yang diselenggarakan oleh Institut Harry S. Truman, dan sekaligus menyaksikan penandatanganan perjanjian perdamaian Yordania-Israel yang disponsori
www.sinarharapan.com 22 Januari 2009
35
Amerika, akhir Oktober 1994. Keempat tokoh Islam Indonesia itu juga dikabarkan sempat mengadakan pembicaraan dengan Wakil Menlu Israel.23
Pada tahun 1994 sepulangnya dari Israel, Wahid dengan lantang menyerukan
kepada pemerintah Indonesia pada saat itu agar segera menjalin hubungan dengan
Israel.24
Ketika baru sehari pembentukan kabinet, Wahid melontarkan rencana membuka
hubungan dengan Israel. Semula mereka menyatakan keinginan membuka hubungan
diplomatik. Namun, setelah muncul reaksi keras dari masyarakat Indonesia yang
mayoritas penduduknya adalah muslim, mereka menyatakan rencana peresmian
hubungan dengan Israel tersebut hanya sebatas pada sektor perdagangan dan
ekonomi, bukan diplomatik.
Rencana pembukaan hubungan dagang Indonesia – Israel ternyata mendapat
kritikan yang kuat dari masyarakat. Maka, di depan Komisi I DPR-RI, 18 November
1999, pemerintah mengemukakan akan menunda rencana tersebut. Begitu pula
keinginan pemerintah mengembalikan citra dan harga diri bangsa Indonesia dengan
melakukan perjalanan keliling dunia selama setahun pertama periodenya, dalam
kenyataan justru membangkitkan kritikan tajam di dalam negeri.
23 Riza Sihbudi, op.cit., h 134-135.
24 Ibid
Hampir sama
dengan era Habibie, pemerintahan era Wahid juga tidak berumur panjang. Melalui
Sidang Istimewa Majelis Permusyawaratan Rakyat (Agustus 2001), Wahid
36
diturunkan dari kursi kepresidenan, dan ia digantikan oleh Megawati Soekarnoputri
sebagai Presiden Indonesia (yang kelima, atau suksesi yang ketiga kalinya dalam
kurun waktu hanya sekitar 3,5 tahun).
Di bawah kepemimpinan Megawati, politik luar negeri Indonesia tampak
kembali bergeser ke kanan. Ini ditandai dengan dijadikannya Amerika Serikat sebagai
negara non-Asia pertama yang dikunjungi Megawati.
D. Politik Luar Negeri Indonesia Era Susilo Bambang Yudhoyono
Dalam sub bab ini, penulis akan memberikan pengulasan sedikit mengenai
politik luar negeri di era Susilo Bambang Yudhoyono serta dasar-dasar dalam
menentukan kebijakan luar negerinya. Susilo Bambang Yudhoyono merupakan
seorang presiden yang memiliki cara dan gaya yang berbeda dalam berbicara dan
cara-caranya beliau dalam menarik perhatian masyarakat Indonesia.
Berbeda dengan para Presiden Indonesia terdahulu di masa Orde Lama dan Orde
Baru, bahkan setelah reformasi, Susilo Bambang Yudhoyono lebih mengedepankan
cara-cara dialog dalam menjalankan tugas-tugasnya sebagai Presiden. Mengingat
Indonesia pada eranya sekarang ini dibutuhkan adanya kebersamaan dan perubahan
cara dalam mengatur urusan-urusan negara. Indonesia pada masa setelah reformasi ini
sedang menghadapi suatu kondisi dimana bangsa mengalami banyak permasalahan
yang harus diselesaikan satu persatu misalnya seperti; persatuan dan kesatuan bangsa
37
yang mulai retak lagi, terlihat dengan adanya aktivitas separatis di beberapa daerah
seperti Aceh, Maluku, Papua; lalu secara finansial, keuangan dan ekonomi negara
Kebijakan umum pemerintah menegaskan bahwa penyelenggaraan hubungan
luar negeri dan pelaksanaan politik luar negeri merupakan salah satu komponen
utama dalam memperjuangkan NKRI. Penegasan itu mencerminkan kebutuhan
pengembangan wawasan ke-Indonesiaan, baik dalam konteks kewilayahan maupun
kebangsaan. Pada tingkat pelaksanaan, efektifitas penyelenggaraan hubungan luar
negeri dan pelaksanaan politik luar negeri memerlukan sinergi dan keterlibatan di
antara seluruh pemegang kepentingan
Pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono menegaskan bahwa interaksi yang
diciptakan Indonesia dengan negara-negara tetangga dan negara-negara sahabat harus
bersifat kondusif agar tetap dapat memajukan sikap saling pengertian dan
menghormati di antara masyarakat bangsa-bangsa. Dalam kaitan ini, masyarakat
dunia harus dapat menerima realitas kemajemukan dan kompleksitas Indonesia
sebagai daya tarik tersendiri.
yang berwujud pada diplomasi total.
Mencuatnya kembali kekuatan Eropa dalam peta politik internasional yang
mempengaruhi pola hubungan trans-atlantik serta menguatnya pengaruh China dalam
konstelasi global akan memberikan perspektif baru dalam hubungan internasional
menuju konsep multi-polar. Kecenderungan ke depan itu tentu saja membawa
dorongan penting dalam upaya penanganan masalah keamanan internasional
38
disamping membuka alternatif pilihan lebih luas dalam kerjasama antar negara.
Sementara itu pemerintah menjelaskan, persoalan krusial di kawasan Timur Tengah
dan Semenanjung Korea, isu terorisme internasional dan perlombaan senjata masih
tetap terlihat sebagai tantangan berat dalam upaya memelihara perdamaian dan
keamanan internasional. Hak asasi manusia, liberalisasi perdagangan, tenaga kerja,
ketimpangan pembangunan berkelanjutan, serta masalah-masalah sosial dan
pembangunan merupakan isu negatif yang dinilai masih menonjol di sebagian besar
negara berkembang.
Formulasi kebijakan dalam isu ini menegaskan kembali bahwa terorisme tidak
dapat dipisahkan dari isu radikalisme dan kemiskinan. Karena itu, penanganan isu
terorisme mesti menyentuh isu-isu kesejahteraan, penciptaan kehidupan yang lebih
baik dan penyelenggaraan dialog antaragama yang konstruktif. Oleh karena itu,
Indonesia akan memanfaatkan seluruh potensi dan energi yang dimiliki untuk
memajukan langkah-langkah penyelesaian terhadap akar masalah tersebut seperti,
ketimpangan pembangunan yang berakibat pada eskalasi kemiskinan yang meningkat
di banyak negara berkembang, masa depan Palestina dan Irak, ketakutan masyarakat
Barat terhadap Islam, serta keseimbangan kebijakan luar negeri Amerika Serikat di
Timur Tengah.25
25 Ringkasan dari Landasan, Visi, Misi Polugri,
www.deplu.go.id, 17 Januari 2009.
39
Berdasarkan penjelasan diatas, paling tidak terdapat tiga arah kebijakan luar
negeri yang penting dijalankan oleh pemerintah saat ini yakni: (i) Meningkatkan
kualitas diplomasi Indonesia dalam rangka memperjuangkan kepentingan nasional;
(ii) Melanjutkan komitmen Indonesia terhadap pembentukan identitas dan
pemantapan integrasi regional, serta (iii) Melanjutkan komitmen Indonesia terhadap
upaya-upaya pemantapan perdamaian dunia.
40
BAB III
PERKEMBANGAN KEBIJAKAN LUAR NEGERI ISRAEL
A. Latar Belakang Sejarah Israel
Negara yang kini disebut sebagai “negara Yahudi” (The Jewish State Israel,
sebenarnya dibangun di atas wilayah Palestina, dengan cara-cara teror dan konspirasi
Internasional.26
Israel adalah sebuah negara di
Israel begitu banyak mendapat sorotan internasional, karena
melakukan penjajahan, kejahatan, dan terorisme yang dijalankannya terhadap warga
Palestina.
Timur Tengah yang dikelilingi Laut Tengah,
Lebanon, Suriah, Yordania, Mesir dan gurun pasir Sinai. Selain itu dikelilingi pula
dua daerah Otoritas Nasional Palestina, Jalur Gaza dan Tepi Barat. Populasi
penduduk sebesar 7,28 juta jiwa,27 Israel merupakan satu-satunya negara Yahudi di
dunia. Selain itu, terdapat pula beberapa kelompok etnis minoritas lainnya, meliputi
etnis Arab yang berkewarganegaraan Israel, beserta kelompok-kelompok keagamaan
lainnya seperti Muslim, Kristen, Druze, Samaritan, dan lain-lain.
Setelah 1945, Britania Raya menjadi terlibat dalam konflik kekerasan dengan
Yahudi. Pada tahun 1947, pemerintah Britania menarik diri dari Mandat Palestina,
menyatakan bahwa Britania tidak dapat mencapai solusi yang diterima baik oleh
26Adian Husaini, Pragmatisme Dalam Politik Zionis Israel, Penerbit Khairul Bayaan, 2004, h. 1.
27 http://id.wikipedia.org/wiki/israel. 2 Februari 2009
33
41
orang Arab maupun Yahudi. Badan PBB yang baru saja dibentuk kemudian
menyetujui Rencana Pembagian PBB pada 29 November 1947. Rencana pembagian
ini membagi Palestina menjadi dua negara, satu negara Arab, dan satu negara Yahudi.
Yerusalem ditujukan sebagai kota Internasional corpus separatum yang
diadministrasi oleh PBB untuk menghindari konflik status kota tersebut.
Komunitas Yahudi menerima rencana tersebut, tetapi Liga Arab dan Komite
Tinggi Arab menolaknya atas alasan kaum Yahudi mendapat 55% dari seluruh
wilayah tanah meskipun hanya merupakan 30% dari seluruh penduduk di daerah ini.
Pada 1 Desember 1947, Komite Tinggi Arab mendeklarasikan pemogokan selama 3
hari, dan kelompok-kelompok Arab mulai menyerang target-target Yahudi. Perang
saudara dimulai ketika kaum Yahudi yang mula-mulanya bersifat defensif perlahan-
lahan menjadi ofensif. Ekonomi warga Arab-Palestina runtuh dan sekitar 250.000
warga Arab-Palestina diusir ataupun melarikan diri.
Pendirian negara modern Israel berakar dari konsep Tanah Israel (Eretz Yisrael),
sebuah konsep pusat Yudaisme sejak zaman kuno, yang juga merupakan pusat
wilayah Kerajaan Yahudi kuno. Setelah Perang Dunia I, Liga Bangsa-Bangsa
menyetujui dijadikannya Mandat Britania atas Palestina sebagai "negara orang
Yahudi". Pada tahun 1947, PBB menyetujui Pembagian Palestina menjadi dua
negara, yaitu satu negara Yahudi dan satu negara Arab.
Pada 14 Mei 1948, Israel memproklamasikan kemerdekaannya dan ini segera
diikuti oleh peperangan dengan negara-negara Arab di sekitarnya yang menolak
rencana pembagian ini. Israel kemudian memenangkan perang ini dan mengukuhkan
42
kemerdekaannya. Akibat perang ini pula, Israel berhasil memperluas batas wilayah
negaranya melebihi batas wilayah yang ditentukan oleh Rencana Pembagian
Palestina. Sejak saat itu, Israel terus menerus berseteru dengan negara-negara Arab
tetangganya, menyebabkan peperangan dan kekerasan yang berlanjut hingga saat ini.
Sejak awal pembentukan Negara Israel, batas negara Israel beserta hak Israel
untuk berdiri telah dipertentangkan oleh banyak pihak, terutama oleh negara Arab
dan para pengungsi Palestina. Israel telah menandatangani perjanjian damai dengan
Mesir dan Yordania, namun usaha perdamaian antara Palestina dan Israel sampai
sekarang belum berhasil.
Israel merupakan negara demokrasi dengan sistem pemerintahan parlementer dan
hak pilih universal. Perdana Menteri Israel menjabat sebagai kepala pemerintahan dan
Knesset bertugas sebagai badan legislatif Israel. Dalam hal produk domestik bruto,
ekonomi negara ini menduduki peringkat ke-44 di dunia. Israel memiliki peringkat
Indeks Pembangunan Manusia, kebebasan pers, dan daya saing ekonomi yang
tertinggi dibandingkan dengan negara-negara Arab di sekitarnya. Menurut hukum
negara Israel, ibukota Israel adalah Yerusalem. Walaupun demikian badan PBB dan
kebanyakan negara di dunia tidak mengakuinya.
Melihat letak geografisnya Israel berbeda dengan negara-negara lain di wilayah
Timur Tengah. Israel adalah negara Yahudi dikeliling oleh negara dengan mayoritas
muslim. Orang Israel kebudayaan bergaya hidup barat, namun hidup di tengah
masyarakat dengan kebudayaan timur. Mereka adalah masyarakat imigran atau
43
turunan imigran, sementara tetangganya adalah penghuni turun menurun yang
mendiami wilayahnya.
Sejak pertama dikumandangkannya Negara Israel, tercatat ada 9 peperangan yang
menciptakan konflik Timur Tengah tidak berkesudahan. Di bawah adalah daftar
perang di mana Israel terlibat:
1. Perang Arab-Israel (1948)
2. Perang Kanal Suez (1956)
3. Perang Enam Hari (1967)
4. Perang Yom Kippur (1973)
5. Perang Lebanon (1982)
6. Intifadah (1987)
7. Perang Teluk II (Perang Irak) (1991)
8. Intifadah Al Aqsa (2000)
9. Konflik Israel-Lebanon (2006)28
Sebuah usul perdamaian saat ini adalah Peta menuju perdamaian yang diajukan
oleh Empat Serangkai Uni Eropa, Rusia, PBB dan Amerika Serikat pada 17
September 2002. Israel sedang menerapkan sebuah rencana pemisahan diri yang
kontroversial yang diajukan oleh Perdana Menteri Ariel Sharon. Menurut rencana
yang diajukan kepada AS, Israel menyatakan bahwa ia akan menyingkirkan seluruh
28 Ibid, http://id.wikipedia.org/wiki/isreal. 2 Februari 2009
44
kehadiran sipil dan militer yang permanen di Jalur Gaza (yaitu 21 pemukiman Yahudi
di sana, dan 4 pemumikan di Tepi Barat).
A.1.a. Pemisahan Wilayah Palestina oleh PBB
Resolusi Majelis Umum PBB yang dimaksud dalam Teks Deklarasi
Kemerdekaan Israel itu ialah Resolusi 181 yang ditetapkan pada 29 November 1947.
Resolusi ini keluar atas tekanan pemerintahan Truman terhadap sejumlah negara
anggota PBB. Pemungutan suara di MU-PBB menghasilkan 33 suara setuju, lawan 13
suara menolak, dan 10 suara abstein serta 1 absen. Uni Soviet juga mendukung
resolusi ini. Tetapi Inggris yang ketika itu masih memegang mandat PBB atas
palestina tidak mendukug pemisahan Palestina, disebabkan tekana dari negara-negara
Arab.29
Pembagian wilayah Palestina itu ditolak keras oleh Palestina, karena dinilai
terlalu menguntungkan Yahudi. Sesuai dengan rencana pemisahan Perserikatan
Bangsa-Bangsa tahun 1947, maka wilayah Palestina dibagi menjadi tiga yaitu : (1)
Negara Yahudi mencakup 57 persen dari total wilayah Palestina dan meliputi hampir
seluruh daerah yang subur. Penimbangan penduduk dari wilayah ini adalah 498.000
Yahudi dan 497.000 Arab. (2) Negara Arab Palestina mencakup 42 persen dari total
wilayah Palestina, dengan kondisi wilayah hampir semuanya berbukit-bukit dan tidak
produktif. Penimbangan penduduk di wilayah yang dieruntukkan bagi Arab Palestina
29 Riza Sihbudi, Profil-Profil Negara Timur Tengah, (PT. Dunia Pustaka Jaya : Jakarta, 1995), h. 20
45
adalah : 10.000 Yahudi dan 725.000 Arab. (3) Zona Internasional (Jerussalem),
dengan penimbangan penduduk 100.000 Yahudi dan 105.000 Arab.30
Menurut Prof. Dr. Juwono Sudarsono terdapat dua masalah esensial di Timur
Tangah, yaitu masalah Arab-Israel yang belum tentu berkaitan dengan masalah
Palestina dan apa yang disebut sebagai inti masalah Timur Tengah yaitu masalah
Palestina – Israel. Ini berarti bahwa kalau membahas masalah dan proyek konperensi
internasional mengenai Timur Tengah yang harus diingat bahwa ada masalah Arab-
Israel tersendiri, yang lepas dari masalah Palestina dan ada masalah Israel-Palestina
yang merupakan inti persoalan seperti yang sering dikemukan dalam forum
diplomasi.
Israel tidak menyia-nyiakan kesempatan yang diperoleh berdasarkan resolusi 181
yang diberikan PBB kepada Israel. Sejak 29 November 1947, Israel terus berusaha
memperbesar wilayah kedaulatannya dengan mencaplok wialayah-wilayah yang
didiami oleh penduduk Arab Palestina dengan mengahalalkan berbagai cara,
khususnya dengan cara kekerasan dan pengintimidasian.
A.1.b. Konflik Israel – Palestina
31
Konflik Israel-Palestina, sebenarnya bagian dari
konflik Arab-Israel yang lebih
luas, yaitu konflik yang berlanjut antara bangsa Israel dan bangsa Palestina. Konflik
30 Ibid., h. 21
31 Bantarto Bandoro Editor. Juwono Sudarsono. Timur Tengah Pasca Perang Teluk: Dimensi Internal dan Eksternal. Hlm 43-44
46
Israel-Palestina ini bukanlah sebuah konflik dua sisi yang sederhana, seolah-olah
seluruh bangsa Israel memiliki satu pandangan yang sama, sementara seluruh bangsa
Palestina memiliki pandangan yang sebaliknya. Di kedua komunitas terdapat orang-
orang dan kelompok-kelompok yang menganjurkan penyingkiran teritorial total dari
komunitas yang lainnya, sebagian menganjurkan solusi dua negara, dan sebagian lagi
menganjurkan solusi dua bangsa dengan satu negara sekular yang mencakup wilayah
Israel masa kini, Jalur Gaza, Tepi Barat, dan Yerusalem Timur.
Perang Arab-Israel 1948, memunculkan berbagai permasalahan seperti
pengungsi. Ditambah lagi dengan masalah Tepi Barat, Jalur Gaza, dan Yerusalem
Timur diakibatkan dari Perang Enam Hari pada 1967. Selama ini telah terjadi konflik
yang penuh kekerasan, dengan berbagai tingkat intensitasnya dan konflik gagasan,
tujuan, dan prinsip-prinsip yang berada di balik semuanya. Pada kedua belah pihak,
pada berbagai kesempatan, telah muncul kelompok-kelompok yang berbeda pendapat
dalam berbagai tingkatannya tentang penganjuran atau penggunaan taktik-taktik
kekerasan, anti kekerasan yang aktif, dll.
Ada pula orang-orang yang bersimpati dengan tujuan-tujuan dari pihak yang satu
atau yang lainnya, walaupun itu tidak berarti mereka merangkul taktik-taktik yang
telah digunakan demi tujuan-tujuan itu. Lebih jauh, ada pula orang-orang yang
merangkul sekurang-kurangnya sebagian dari tujuan-tujuan dari kedua belah pihak.
Dan menyebutkan "kedua belah" pihak itu sendiri adalah suatu penyederhanaan: Al-
Fatah dan Hamas saling berbeda pendapat tentang tujuan-tujuan bagi bangsa
47
Palestina. Hal yang sama dapat digunakan tentang berbagai partai politik Israel,
meskipun misalnya pembicaraannya dibatasi pada partai-partai Yahudi Israel.
Mengingat pembatasan-pembatasan di atas, setiap gambaran ringkas mengenai
sifat konflik ini pasti akan sangat sepihak. Itu berarti, adanya penganjuran perlawanan
Palestina dengan kekerasan biasanya membenarkannya sebagai perlawanan yang sah
terhadap pendudukan militer oleh bangsa Israel yang tidak sah atas Palestina, yang
didukung oleh bantuan militer dan diplomatik oleh Amerika Serikat. Banyak yang
cenderung memandang perlawanan bersenjata Palestina di lingkungan Tepi Barat dan
Jalur Gaza sebagai hak yang diberikan oleh persetujuan Jenewa dan Piagam PBB.
Sebagian memperluas pandangan ini untuk membenarkan serangan-serangan, yang
seringkali dilakukan terhadap warga sipil, di wilayah Israel itu sendiri.
Perseteruan antara Israel dan Palestina tentu memberikan dampak terhadap
politik dalam negeri masing-masing Negara. Suatu contoh, partai Likud ingin
menyelesaikan intifadah dengan kekerasaan, dengan alasan mengusir seluruh
pemimpin intifadah dari daerah penduduk sehingga tidak ada lagi wilayah perang
Palestina karena pemimpinnya tidak ada. Pemimpin Likud Yitzhak Shamir
mengatakan “Apabila Negara Palestina didirikan di daerah penduduk niscaya akan
menyebabkan perang dunia ketiga”32
Sebaliknya, Partai Buruh ingin menyelesaikan intifadah dengan damai dengan
menyetujui memberikan Tepi Barat kepada Palestina sebagai daerah otonom, asalkan
32 The Jakarta Post, 19 Oktober 1988.
48
berkonfederasi dengan Yordania. Disini partai buruh harus melihat kenyataan, bahwa
Negara Yordania sudah melepas hubungan administratif atau yang lainnya di Tepi
Barat.
B. Prinsip Dasar Politik Luar Negeri Israel
Suatu konsep standar dalam hubungan internasional menyatakan, bahwa politik
luar negeri suatu negara pada dasarnya adalah politik untuk mencapai tujuan nasional
dengan menggunakan segala kekuasaan dan kemampuan yang ada. Jika dilihat dari
unsur-unsur fundamentalnya, politik luar negeri suatu negara terdiri dari dua elemen
yaitu “tujuan nasional” yang akan dicapai dan instrumen yang dimiliki suatu negara
untuk mencapainya. Tujuan nasional yang ingin dicapai dapat dilihat pada
kepentingan nasional yang dirumuskan oleh elite suatu negara.33
Pengamat politik Roy R. Anderson membagi politik luar negeri Israel dalam tiga
periode yang melatar belakangi kebijakan luar negeri Israel. Periode pertama (1945-
1948), pada periode ini Israel masih memusatkan perhatiannya terhadap berdirinya
negara Israel, upaya perolehan pengakuan internasional baik secara de jure maupun
de facto melalui serangkaian diplomasi Israel terhadap dunia internasional, khususnya
dari PBB dan negara-negara Barat, khususnya Amerika Serikat. Dalam hal ini Israel
benar-benar sukses. Negara-negara besar dengan suara bulat mengakui keabsahan
negara Israel. Dukungan luas terhadap Israel terkait meluas di Amerika Serikat, Israel
33 Soesiswo Soenarko, Evaluasi Pelaksanaan Politik Luar Negeri Indonesia (dalam buku Perkembangan Studi Hubungan Internasional dan Tantangan Masa Depan, Pustaka Jaya, 1996)
49
juga menerima bantuan besar dalam bentuk dukungan politik dan keuangan dari
Komunitas Yahudi Amerika (American Jewish Community). Pada periode ini
merebak gerakan “anti-semit” atau “fasis” sebagai bentuk kritik atau kecaman
terhadap segala bentuk dukungan kepada Israel.
Pada periode kedua (1948-1974), politik luar negeri Israel terkait erat dengan
kebijakan politik dalam negerinya. Pembangunan dalam negeri tergantung kepada
jaminan keamanan perbatasan negara. Di masa ini, Israel secara penuh masuk ke
dalam aliansi bipolar. Bantuan dan senjata Amerika Serikat mengalir bebas ke Israel
sejak berdirinya negara ini pada tahun 1948 sampai pada periode III, dimana Amerika
Serikat meninjau kembali hubungannya dengan Israel. Terhadap negara-negara Arab
tetangganya, Israel menerapkan “carrot and stick” policy. “Carrot” atau wortel
diberikan kepada negara-negara tetangganya yang mau bernegosiasi atau bekerjasama
atau dengan kata lain mau memberikan keuntungan dalam berhubungan dengan
Israel. Sedangkan “stick” atau tongkat adalah simbol bahwa Israel superior dalam
bidang militer dengan bantuan Amerika. Pada periode ini pula dengan menganut
strategi “pertahanan terbaik adalah serangan yang baik” maka Israel memasuki
medan Perang Suez tahun 1956 dan Perang tahun 1967. Namun aksi-aksi militer
Israel pada peperangan ini jelas membawa dampak ekonomi yang tinggi bagi
pemerintah Israel.
Pada periode ketiga (1974 dan seterusnya), Israel bersikap lebih pragmatis
terhadap semua bentuk kebijakan luar negerinya, hal ini sejalan dengan
50
ketergantungan Amerika Serikat yang semakin tinggi terhadap minyak Timur Tengah
dan tersudutnya posisi Israel di dunia internasional. Dalam perang tahun 1973,
Presiden Nixon secara terbuka mengirimkan senjata ke Israel dan memberikan
bantuan sebesar 2,2 milyard USD pada 19 Oktober 1973. Nixon telah mengabaikan
permintaan Saudi agar AS tidak bepihak dalam perang tersebut. Embargo minyak
Saudi terhadap Amerika Serikat melumpuhkan Amerika Serikat. Sehingga Menteri
Luar Negeri AS Henry Kissinger mengakui telah berbuat kesalahan.34
Menurut Michael Brecher ada dua tujuan pokok kebijakan politik luar negeri
Israel, (1) pemeliharaan pertahanan militer secara efektif, pencegahan perang
merupakan hal yang penting dibandingkan dengan kemenangan akan perang, (2)
hubungan baik dengan berbagai negara atau melakukan pendekatan dengan dunia
Jika melihat tiga periode yang melatar belakangi kebijakan luar negeri Israel di
atas, maka dapatlah ditarik kesimpulan bahwa tujuan nasional Israel jelas
menekankan pada aspek tercapainya keamanan Israel yang hakiki, sehingga
penyelesaian damai antara Israel dan Palestina akan terwujud tanpa harus mengambil
resiko tinggi yang membahayakan keamanan Israel, dengan landasan peace for
security.
34 Roy R. Anderson, (et. Al), Politics and Change in The Middle East:Sources of Conflict and Accomodation, 2nd edition, Englewood Cliffs, Prentice Hall, Inc. New Jersey, 1987, dalam buku Riza Sihbudi, Profil Negara-Negara Timur Tengah, (Jakarta: Dunia Pustaka jaya, 1997), h. 120
51
internasional agar dapat melemahkan kebencian negara-negara Arab dan akhirnya
membuka jalan proses perdamaian antar kedua negara.35
Kebijakan politik luar negeri suatu negara dihasilkan melalui suatu proses
pengambilan keputusan politik luar negeri (Foreign Policy Decision Making
Process). Seperti dipaparkan John T. Rourke, dalam sebuah negara dengan corak
politik demokratis yang memiliki ciri-ciri (1) terbukaluasnya partisipasi politik (2)
banyaknya hak untuk menentang kebijakan pemerintah atau melakukan kompetisi
politik, maka kebijakan politik luar negeri lebih banyak dipengaruhi oleh faktor
subnasional (domestik). Rourke menyebut enam faktor domestik, yaitu (1)
C. Faktor-faktor Determinan yang Mempengaruhi Pragmatisme Politik Israel
Politik luar negeri suatu negara dirumuskan untuk kepentingan politik dalam
negeri. Israel merupakan negara yang sangat memadukan antara kebijakan politik
dalam negeri dengan politik luar negerinya, dengan menempatkan faktor keamanan
dalam negeri sebagai kepentingan utamanya. Bagian ini akan membahas tentang
faktor-faktor yang mempengaruhi terbentuknya kebijakan politik yang pragmatis
tersebut.
35 Michael Brecher, The Foreign Policy System of Israel (London: Oxford University Press, 1972), h. 286
52
kepemimpinan politik (2) birokrasi (3) legislatif (4) oposisi politik (5) kelompok
kepentingan (6) nilai dan opini publik.36
Negara Israel merupakan negara dengan sistem politik demokratis seperti yang
dicirikan oleh Rourke. Dalam sistem politik terbuka dengan tingkat kompetisi politik
yang tinggi seperti di Israel, maka proses pengambilan keputusan politik cenderung
mengikuti dengan model “politik birokratik” sebagaimana dirumuskan oleh Graham
T. Allison. Model “politik birokratik” ini sangat menekankan faktor “bargaining
games” sebagai penentu perilaku politik luar negeri. Menurut model ini, proses
pembuatan kebijakan politik luar negeri dipandang bukan sebagai hasil dari proses
intelektual yang menghubungkan tujuan dan sarana secara rasional, tetapi politik luar
negeri adalah hasil dari proses interaksi, penyesuaian diri, dan perpolitikan di antara
berbagai aktor dan organisasi. Ini melibatkan berbagai permainan tawar-menawar
(bargaining games) di antara pemain-pemain dalam birokrasi dan arena politik
nasional. Dengan kata lain, pembuatan keputusan politik luar negeri adalah “proses
sosial”, bukan “proses intelektual”, atau “proses birokrasi”.
37
Menurut Holsti, untuk menjelaskan dan memahami kebijakan luar negeri, perlu
dikaji mengenai persepsi, kesan, sikap, nilai, dan keyakinan dari pembuat keputusan
yang bertanggung jawab untuk memformulasikan sasaran dan tindakan (kondisi aktor
pengambil kebijakan). Sedangkan faktor lain yang mempengaruhi penetapan sasaran,
36 Adain Husini, op.cit, h. 87
37 Adain Husini, op.cit, h. 87
53
keputusan, dan tindakan, diklasifikasikan sebagai “penetapan situasi” (definition of
situation). “Penetapan situasi” mencakup kondisi eksternal dan domestik, kondisi
historis, dan kontemporer yang dianggap relevan oleh para pembuat keputusan
terhadap masalah politik luar negeri.38
Dalam sistem politik Israel, juga diberbagai negara, aktor utama pengambil
keputusan kebijakan luar negeri dipegang oleh kepala pemerintahan dan menteri luar
negeri. Di Israel, perdana menteri dan dan kabinet sebagai pemegang kekuasaan
eksekutif, mendominasi sistem politik Israel, meskipun kekuasaannya dibatasi oleh
parlemen (Knesset), yang memiliki supremasi tertinggi dalam sistem politik Israel.
Sesuai “Basic Law” Israel, perdana menteri ditetapkan sebagai “head of the
Merujuk kepada rumusan Holsti tersebut, tiga faktor determinan yang
berpengaruh terhadap formulasi pragmatisme politik luar negeri Israel, dapat
ditempatkan dalam proses pengambilan kebijakan politik luar negeri Israel, dengan
meletakkan aktor utama pengambil kebijakan politik luar negri Israel (Perdana
Menteri Israel) pada posisi sentral pengambilan keputusan. Kedua faktor determinan
lainnya, kondisi politik dalam negeri dan faktor internasional, dapat ditempatkan
sebagai faktor “penentu situasi” yang mempengaruhi sang aktor utama dalam
menentukan kebijakan luar politik Israel yang pragmatis.
C.1.a. Kondisi Aktor Utama Pengambil Kebijakan
38 Roger Garaudy, Israel dan Praktik-praktik Zionisme, 1988:3-4, dalam buku Adian Husaini, op.cit, h. 87.
54
government”. Kekuasaan riil yang perdana menteri tergantung pada kemampuan
personal dan kinerjanya di dalam pemerintahan.
C.1.b. Kondisi Politik dalam Negeri
Dalam perkembangannya sebagai sebuah negara baru yang jelas berbeda dengan
negara-negara lainnya di kawasan Timur Tengah, dimana Israel merupakan negara
Yahudi yang dikelilingi oleh negara-negara yang mayoritas penduduknya menganut
Islam sebagai agama mereka, maka Israel memilih demokrasi parlementer sebagai
sistem pemerintahannya.39
Demokrasi parlementer yang dianut oleh negara Yahudi tersebut adalah
meliputi sistem pemisahan kekuasaan utama yaitu : legislatif, eksekutif serta
yudikatif. Ketiga kekuasaan ini dibiarkan terpisah dan sistem kerjanya menggunakan
Hal ini dikarenakan masyarakat Israel merupakan suatu
kumpulan masyarakat yang berasal dari berbagai latar belakang negara yang
menganut sistem politik yang berbeda-beda, sehingga sistem yang dipilih bagi negara
baru semacam Israel haruslah merupakan sistem yang dapat menampung aspirasi
masyarakat Yahudi tersebut. Selain harus mengedepankan sistem demokratis, negara
Yahudi juga harus bersedia membiarkan berkembangnya berbagai macam kelompok-
kelompok kepentingan bahkan hingga berdirinya partai-partai politik, dimana mereka
harus mengkoordinasi segala aspirasi yang berkembang dalam masyarakat Yahudi
yang kuat di Timur Tengah.
39 Riza Sihbudi, Konflik dan Diplomasi di Timur Tengah, Bandung : PT. Eresco, 1993, h. 106.
55
sistem “saling mengawasi” satu dengan yang lainnya (check and balances).
Kekuasaan eksekutif biasanya dipegang oleh pemerintah dalam hal ini adalah seorang
perdana menteri dan kabinet, kedudukan mereka memang sangat mendominasi sistem
politik Israel, namun kekuasaan mereka dibatasi kekuasaan legislatif atau parlemen
yang di Israel disebut dengan Knesset. Knesset memiliki supremasi tertinggi dalam
sistem politik Israel. Sesuai “basic law” Israel, perdana menteri ditetapkan sebagai
“head of the government”. Kekuasaan riil perdana menteri tergantung pada
kemampuan personal dan kinerjanya dipemerintahan.
Dibidang legislatif, sebagai negara yang menganut sistem demokrasi
parlementer, parlemen Israel mempunyai kedudukan yang sangat strategis. Knesset
Israel merupakan badan legislatif yang tertinggi. Badan ini berfungsi untuk membuat
undang-undang dan mengawasi jalannya roda pemerintahan. Dalam kiprahnya
Knesset dibagi menjadi 12 komisi, dari 12 komisi tersebut ada 2 komisi yang
dianggap paling penting, yaitu komisi urusan luar negeri dan keamanan, dan komisi
keuangan, dimaan dua komisi ini biasanya dikuasai oleh partai yang sedang
berkuasa.40
Kekuasaan yudikatif di Israel, merupakan kekuasaan yang bersifat independen,
bebas dari berbagai macam pengaruh dari badan-badan kekuasaan lainya, baik itu
dari badan legislatif maupun badan eksekutif. Sementara itu Presiden Israel
40 Israel Information Center, Politic Structure and Election, www.israelinfocenter.com
56
merupakan kepala negara yang sifatnya hanya sebagai simbol pemersatu negara,
sedangkan tugas-tugas negara dijalankan oleh seorang perdana menteri.
C.1.c. Faktor Amerika Serikat
Dunia internasional, terutama faktor Amerika Serikat bahkan dunia Arab,
meskipun berbeda posisi, tetapi tetap mendukung dilanjutkannya proses perdamaian
antara Israel dan Palestina. Meskipun kondisi di dalam negeri Israel sendiri,
khususnya tekanan-tekanan partai dan kelompok-kelompok agama, tidak terlalu
kondusif bagi pemerintah Israel, seperti dalam perundingan dengan Palestina di KTT
Camp David II. Israel tidak melanjutkan karena masih melihat besarnya dukungan
terhadap negaranya, baik dari publik Israel maupun dari dunia Internasional.
Dalam konferensi pers di bulan Mei 1977, Presiden Amerika Serikat, dalam
bagian ini, “Amerika Serikat” selanjutnya disingkat dengan “AS”, Jimmy Carter
mengatakan : “We have a special relationship with Israel. It’s absolutely crucial that
no one in our country or around the world ever doubt that our number-one
commitment in the Middle East is to protect the right of Israel to exist, to exist
permanently, and to exist in peace. It’s a special relationship”. Pada bulan Februari
1993, Menteri Luar Negeri AS Warren Christopher menegaskan bahwa : “The
relationship between the United States and Israel is a special relationship for special
reasons. It is based upon shared interests, shared values, and shared commitment to
democracy, pluralism and respect for the individual”. Di musim semi tahun 1994,
57
Presiden Bill Clinton juga membuat pernyataan : “In working for peace in the Middle
East, a first pillar is the security of Israel”. Clinton menyatakan, bahwa Perdana
Menteri Israel Yitzhak Rabin sedang bekerja, dan mengambil resiko untuk
perdamaian. AS selayaknya memenuhi “komitmen yang kokoh” (ironclad
commitment) untuk menjamin bahwa resiko-resiko perdamaian itu tidak akan
membahayakan keamanan Israel.41
41 Bernard Reich, The United States and Israel: The Nature of a Special Relationship, dalam buku The Middle East and The United States: A historical and Political Reassessment, Westview Press, 1996, h. 233
Pernyataan ketiga pejabat tinggi AS itu sudah menggambarkan bagaimana
komitmen AS dalam mempertahankan hubungan dengan Israel dan menempatkannya
sebagai “mitra istimewa” (special ally). Dengan status istimewa tersebut, Israel
mendapat dukungan politik, ekonomi, dan militer, yang luar biasa dai AS. Israel
adalah “anak emas” yang hampir selalu dibela dan dilindungi AS, saat menghadapi
bahaya. Menyimak pernyataan Carter, Christopher, dan Clinton, bisa ditarik garis
dsar kebijakan AS dalam soal timur tengah, khususnya menyangkut hubungan Israel
dengan negara-negara tetangganya, termasuk dengan Palestina. Kebijakan dasar itu
ialah, bahwa apa pun perundingan yang digelar antara Israel dengan negara-negara
Arab dan Palestina, maka itu tidak boleh mengancam keamanan apalagi kelestarian
Israel.
58
Untuk melindungi dan mendukung “kepentingan Israel” itulah, maka AS
melakukan berbagai upaya untuk menyelesaikan krisis di Timur Tengah, khususnya
antara Israel dan Palestina. Bisa dipahami, jika dalam berbagai proses perundingan,
AS bertindak sebagai pemrakarsa dan sutradara. Di KTT Camp David I, 1978, Carter
berhasil menekan Mesir dan Israel untuk duduk bersama dan menandatangani Piagam
Camp David. Di tahun 1993, Clinton mampu memaksa Arafat dan Rabin untuk
berjabat tangan dan menandatangani Kesepakatan Oslo. Dalam puluhan perundingan
untuk implementasi Kesepakatan Oslo, AS juga terlibat langsung.42
42 Adian Husaini, op.cit., h. 117
59
BAB IV
POLITIK LUAR NEGERI INDONESIA PADA MASA SUSILO BAMBANG
YUDHOYONO
Seperti yang sudah penulis uraikan pada bab sebelumnya, bahwa perkembangan
politik luar negeri Indonesia mencerminkan sikap dan pendiriannya dalam kancah
politik internasional. Khususnya yang berhubungan mengenai perdamaian di Timur
Tengah, Indonesia tetap tegas pada sikapnya dalam mendukung kemerdekaan negara
Palestina yang berdaulat.
Dalam penerapan politik luar negeri bebas aktif pemerintah menyesuaikan
dengan perubahan lingkungan strategis baik di tingkat global maupun regional yang
sangat mempengaruhi penekanan kebijakan luar negeri Indonesia. Politik luar negeri
Indonesia dirancang untuk mampu mempertemukan kepentingan nasional Indonesia
dengan lingkungan internasional yang selalu berubah. Tidak dapat dipungkiri
perlunya politik luar negeri yang luwes dan fleksibel untuk menghadapi segala
tantangan. Perubahan lingkungan internasional tersebut tidak hanya disebabkan oleh
dinamika hubungan antar negara tetapi juga perubahan isu, dan munculnya aktor baru
dalam hubungan internasional yang berupa non-state actors.
Untuk lebih lanjut mengenai Kebijakan Luar Negeri Indonesia pada masa Susilo
Bambang Yudhoyono akan penulis uraikan sesuai dengan kebijakan pemerintah yang
sekarang ini.
52
60
A. Kepentingan Umum Pemerintah Indonesia
Pada hakekatnya kepentingan nasional Indonesia adalah menjamin kesejahteraan
seluruh rakyat Indonesia yang berada di dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia
yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Oleh karena itu,
tegaknya negara yang memiliki wilayah yurisdiksi nasional dari Sabang sampai
Merauke sangat perlu untuk dipelihara. Namun mengingat wilayah Indonesia yang
sangat luas, dimana terdiri lebih dari 17.500 pulau,43
Sebagaimana tercantum dalam Pembukaan UUD 1945, maka kepentingan
nasional Indonesia adalah melindungi segenap bangsa dan tumpah darah Indonesia,
mencerdaskan kehidupan bangsa, memajukan kesejahteraan umum dan ikut
melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi
dan keadilan sosial. Kepentingan nasional tersebut diaktualisasikan salah satunya
memiliki posisi yang sangat
strategis di antara benua Asia dan Australia, serta di antara Samudera Pasifik dan
Samudera Hindia, bukanlah hal yang mudah untuk dilakukan.
Dengan posisi strategis tersebut, maka berbagai negara khususnya negara-negara
besar memiliki kepentingan terhadap kondisi stabilitas keamanan di Indonesia.
Implikasi dari kepentingan negara lain tersebut menimbulkan kecenderungan campur
tangan atau kepedulian yang tinggi dari negara-negara tersebut terhadap
kemungkinan gangguan stabilitas keamanan Indonesia.
43 http://id.wikipedia.org/wiki/Jumlah_pulau_di_Indonesia, 15 Pebruari 2009
61
dengan pelaksanaan politik luar negeri bebas dan aktif. Politik luar negri ini
dituangkan kedalam program pemerintah, dan pada saat ini, kebijakan luar negeri
Indonesia merupakan bagian dari kebijakan pemerintahan Kabinet Indonesia bersatu
(2004-2009), yang konsisten diabdikan bagi kepentingan nasional.44
Indonesia mendukung prakarsa Quartet (AS-Rusia-UE dan PBB) dan
mengharapkan kedua negara dapat melaksanakan isi Peta Jalan Perdamaian secara
B. Dukungan Indonesia terhadap Kemerdekaan Palestina
Dalam kerangka upaya-upaya mewujudkan perdamaian di Timur Tengah,
Indonesia tetap konsisten mendukung perjuangan bangsa Palestina berdasarkan
Resolusi DK-PBB No. 242 (1967) dan No. 338 (1973), yang menyebutkan
pengembalian tanpa syarat semua wilayah Arab yang diduduki Israel dan pengakuan
atas hak-hak sah rakyat Palestina untuk menentukan nasibnya sendiri, mendirikan
negara di atas tanah airnya sendiri dengan Al-Quds As-Sharif (Jerusalem) sebagai
ibukotanya serta prinsip “land for peace”. Indonesia selalu menyambut baik upaya
perdamaian yang sejalan dengan resolusi-resolusi yang telah dikeluarkan baik oleh
PBB maupun OKI, termasuk di antaranya Konferensi Perdamaian Madrid (1991),
Oslo (1993), Sharm Al Sheikh (1999), serta Peta Jalan Perdamaian (Road Map)
gagasan quartet AS, Russia, PBB dan UE yang diharapkan dapat dilaksanakan sesuai
jadwal.
44 http://www.deplu.go.id/?category_id=27, 15 Pebruari 2009
62
baik sehingga konflik Palestina – Israel yang telah berlangsung lebih dari setengah
abad dapat terselesaikan dan kedua negara dapat hidup berdampingan secara damai.
Dalam kaitan ini, Indonesia mendukung senantiasa menyambut baik upaya
perdamaian di kawasan Timur Tengah yang sejalan dengan resolusi-resolusi yang
telah dikeluarkan oleh PBB maupun OKI, termasuk di antaranya Konferensi
Perdamaian Madrid (1991), Oslo (1993), Sharm Al Sheikh (1999) serta “Road Map
for Peace” yang diprakarsai oleh Kwartet (AS, Russia, PBB dan Uni Eropa) sehingga
tercapai pembentukan negara Palestina yang merdeka. Indonesia mengharap negara-
negara pemrakarsa Road Map untuk terus mengupayakan agar Road Map tersebut
dilaksanakan oleh kedua negara, Palestina-Israel.
Dalam rangka upaya mediasi penyelesaian konflik Palestina - Israel, Indonesia
mempertimbangkan untuk tidak hanya berbicara dengan Palestina saja, namun juga
dengan Israel dalam kapasitas informal dan low profile. Dengan demikian, maka
pertemuan informal Menteri Luar Negeri Indonesia dengan Menteri Luar Negeri
Israel yang berlangsung di sela-sela Pertemuan Sidang PBB di New York bulan
September 2005 lalu dilaksanakan dalam konteks ini. Pertemuan dengan Israel
tersebut tidak berarti mengindikasikan adanya suatu pengakuan diplomatik terhadap
negara Israel. Pertemuan tersebut berlangsung dengan sepengetahuan pihak Palestina
dan dimaksudkan untuk memajukan kepentingan Palestina.
63
Dalam keterangan pers Menteri Luar Negeri Hassan Wirayudha mengenai
Agenda Kunjungan ke Amerika Serikat dalam rangka Menghadiri Sidang Tahunan
Majelis Umum PBB, 16 September 2005;
saya memang telah mengadakan pertemuan dengan Menteri Luar Negeri Syalom secara informal dalam konteks yang Bapak Presiden baru saja jelaskan. Dalam konteks besar adalah keperluan kita untuk membantu perjuangan bangsa Palestina, termasuk kita berperan dalam proses perdamaian. Ketika kita menjadi tuan rumah Konferensi Asia Afrika, Deputi Perdana Menteri Palestina, Nabil Sa’ad bertemu dengan Bapak Presiden dan menyampaikan harapan dari Presiden Palestina, agar Indonesia menunjuk special envoy, utusan khusus untuk perdamaian Palestina. Kemudian ketika pada kesempatan lain, di Qatar dua bulan lalu saya hadir dalam … summit, saya juga mengadakan pertemuan juga dengan Presiden Mahmud Abbas. Beliau juga menyampaikan harapannya, Indonesia sebagai negara berpenduduk muslim terbesar di dunia layaknya dan diharapkan memainkan peranan penting. Dalam konteks ini tentunya, itu yang tadi sudah kita, sampaikan Bapak Presiden sampaikan, ada keperluan kita. Kalau kita ingin berperan untuk ikut mendorong proses damai, maka terdapat keperluan untuk memastikan sejauh mana pihak lain dapat menerima …, dalam konteks itulah kami bertemu, dan memang harapan dari pihak Israel juga kuat untuk Indonesia berperan.45
45 Dalam Biro Pers dan Media, Rumah Tangga Kepresidenan,
Jadi seperti juga diberitakan di surat kabar , garis keputusan besarnya yaitu upaya
Indonesia untuk ikut membantu proses damai, ke arah terjadinya suatu negara
Palestina merdeka, hidup secara berdampingan secara aman dan damai dengan Israel.
Jadi itu konteksnya, itu alur pokok maksudnya, disepakati memang kepada Menteri
Luar Negeri tidak terlalu mengkomunikasikan kepada public, tapi untuk lebih jelas,
tidak ada simpang siur, salah tafsir.
www.deplu.go.id, 27 Pebruari 2009
64
C. Faktor Indonesia tidak membuka hubungan diplomatik dengan Israel
Pada bab sebelumnya, penulis sudah menjelaskan bahwa politik luar negeri atau
kebijakan luar negeri setidaknya dipengaruhi oleh kondisi internal suatu negara
dimana sebuah kebijakan luar negeri menjadi sebuah komitmen yang tegas.
Mengingat dinamika politik internasional selalu berubah-ubah, maka daripada itu
sebuah kebijakan luar negeri suatu negara harus bisa menyajikan konsistensinya
dalam setiap kebijakan.
Keterkaitan antara perkembangan di kawasan Timur Tengah, khususnya yang
menyangkut proses perdamaian Arab-Israel dan masalah kemungkinan pembukaan
hubungan diplomatik Indonesia-Israel, tampaknya menjadi dua hal yang sulit untuk
dipisahkan dalam kerangka pelaksanaan politik luar negeri Indonesia.46
Menurut Prof. Dr. Juwono Sudarsono terdapat dua masalah esensial di Timur
Tangah, yaitu masalah Arab-Israel yang belum tentu berkaitan dengan masalah
Palestina dan apa yang disebut sebagai inti masalah Timur Tengah yaitu masalah
Palestina – Israel. Ini berarti bahwa kalau membahas masalah dan proyek konperensi
internasional mengenai Timur Tengah yang harus diingat bahwa ada masalah Arab-
Israel tersendiri, yang lepas dari masalah Palestina dan ada masalah Israel-Palestina
46 Kompas (30 Januari 1996). Hal ini kembali ditegaskan oleh Menlu Ali Alatas sewaktu membuka the United Nations Asian Seminar and NGO Forum on the Question Palestine – the Role of Asia, di Jakarta, 5-7 Mei 1997. Menurut Alatas, bagi Indonesia, pendudukan tanah Palestina dan Arab oleh Israel merupakan masalah yang fundamental. Karenanya, tidak akan pernah ada hubungan diplomatik Indonesia-Israel selama masalah Palestina dan konflik Timur Tengah belum terselesaikan secara damai dan adil.
65
yang merupakan inti persoalan seperti yang sering dikemukan dalam forum
diplomasi.47
”kami tetap pantang mundur dalam dukungan kami untuk legitimasi perjuangan rakyat Palestina, dalam rangka mengamankan hak-hak mereka yang tidak bisa dihilangkan untuk menentukan nasib sendiri dan hak untuk merdeka, dan menegaskan kembali tuntutan kami terhadap penarikan pasukan Israel dari seluruh wilayah Arab yang diduduki, termasuk Yerusalem. Kami harap penyelesaian masalah Palestina secara adil dan langgeng atas dasar prinsip-prinsip dan resolusi yang ditetapkan oleh PBB, harus segera tecapai melalui proses perdamaian yang kini sedang berlangsung”
C.1.a. Faktor Historis Kebijakan Luar Negeri Indonesia
48
Pada masa orde baru, pemerintah pernah mengeluarkan sikap sebagai reaksi atas
pernyataan Menteri Keuangan Israel, Abraham Shohat, bahwa masalah pembukaan
hubungan diplomatik kedua negara berkaitan dengan masalah proses perundingan
Itulah antara lain bunyi diktum 7 “Pesan jakarta” yang menyangkut (satu-
satunya) masalah Timur Tengah sebagaimana disepakati pada akhir KTT Gerakan
Non Blok X di Jakarta, September 1992. Sebenarnya tidak ada yang baru. Artinya,
pernyataan yang “mendukung perjuangan Palestina” sebenarnya sudah muncul
bahkan sejak KTT GNB I (1961) di Beogard.
47 Bantarto Bandoro, op.cit., h. 43-44
48 Riza Sihbudi, Op.cit.,h.51
66
perdamaian Timur Tengah, terutama Suriah-Israel, yang sampai akhir Januari 1996
belum mengalami kemajuan yang berarti.49
“Sejak itu memang terlihat jelas antusiasme pihak Israel untuk sesegera mungkin
menjalin hubungan diplomatik dengan Indonesia, yang antara lain tercermin dari dua
kali pertemuan mendadak antara Presiden Suharto dan (mendiang PM Israel) Yitzhak
Rabin.”
Masalah kemungkinan pembukaan hubungan diplomatik Indonesia - Israel
sebenarnya sudah menjadi salah satu topik diskusi dan perdebatan yang cukup hangat
di kancah perpolitikan dalam negeri Indonesia, sejak penandatanganan perjanjian
“Deklarasi Prinsip” antara Organisasi Pembebasan Palestina (PLO) dan Israel di
Washington, 13 September 1993, yang juga dikenal sebagai “Perjanjian Oslo I”.
50
Reaksi dari pemerintah Indonesia sendiri, secara garis besar dapat dibagi dalam
dua kategori, sikap resmi dan tidak resmi. Sikap resmi pemerintah Indonesia adalah
sebagaimana yang di ungkapkan pejabat tinggi pemerintah di atas maupun pernyataan
Presiden Suharto sendiri yang beberapa kali menegaskan bahwa Jakarta sama sekali
belum memikirkan masalah pembukaan hubungan diplomatik dengan Israel. Akan
tetapi, posisi tidak resmi yang tercermin dari pernyataan dan sikap beberapa kalangan
pemerintahan, justru menunjukkan hal yang sebaliknya. Artinya, terkesan adanya
49 Dalam berita yang dilansir kantor berita Reuter (26 Januari 1996), yang disebutkan bahwa “pihak Israel mengantisipasi hubungan antar-kedua negara akan dibuka dalam waktu dekat. Kompas, ibid.
50Riza Sihbudi, Op.cit.,h 130
67
keinginan kuat untuk, minimal menjajaki kemungkinan membuka hubungan dengan
Israel.
Sementara itu, di tingkat masyarakat, terutama dikalangan mayoritas kaum
muslim, pada umumnya masih lebih kuat arus yang menolak pembukaan hubungan
diplomatik dengan Israel. Alasan mereka, selama Israel masih belum bersedia
melepaskan pejajahannya atas semua wilayah bangsa Arab, termasuk kota suci al-
Quds (Yerusalem) yang di dalamnya terdapat Masjid al-Aqsha, yang diduduki sejak
1967, maka tidak seharusnya pemerintah kita membuka hubungan resmi dengan
Israel.51
Dalam KTT Camp David II, Ehud Barak menawarkan penyerahan 90-95 persen
tanah yang diduduki tahun 1967, menjadikan dua atau lebih kawasan yang dihuni
C.1.b. Faktor Pragamatisme Israel terhadap Islam di negara-negara Arab
Sehari setelah proklamasi kemerdekaan Israel, 14 Mei 1948, pasukan lima
negara Arab menyerbu Palestina, dan berperang melawan Israel. Perang 1948 ini
berlangsung selama satu tahun, sampai 6 Januari 1949, yang berakhir dengan
kemenangan Israel. Dalam perang ini Israel berhasil menguasai sekitar 80 persen
wilayah Palestina, jauh diatas porsi 56 persen yang diberikan PBB kepada Israel.
Peperangan kedua, tahun 1967, Israel juga meraih kemenangan telak, dan berhasil
menguasai 100 persen wilayah Palestina, ditambah Dataran Tinggi Golan dan Sinai.
51 Riza Sihbudi, Op.cit.,h 131
68
sekitar 15.000 warga Israel di Tepi Barat di bawah kedaulatan Israel, penempatan
pasukan Israel di sepanjang Sungai Jordan, demiliterisasi negara Palestina, tidak ada
pemulangan pengungsi Palestina kecuali sebagian kecil, otonomi Kota Jerusalem
Timur tanpa kedaulatan Palestina atas Masjid Al Aqsha, dan keterkaitan ekonomi
dengan Palestina. Menurut Ehud Barak, hanya sejauh itu konsesi yang dapat
diberikan oleh Israel, dan itu belum pernah diberikan oleh pemimpin Israel
sebelumnya.
Kegagalan KTT Camp David, disusul dengan perang antara Israel dengan warga
Palestina, telah menyeret negara-negara Arab, ke dalam situasi berhadapan dengan
Israel. Sikap Palestina yang tegas menolak menerima kompromi soal Jerusalem
mendapat dukungan luas dari negara-negara Arab. Jordania dan Mesir telah menarik
duta besarnya dari Israel. Maroko, Oman, Tunisia, dan Qatar, juga menutup kantor
dagang mereka di Israel. Ini adalah kondisi hubungan bilateral terburuk sejak
tercapainya Kesepakatan Oslo, 1993.
Selama ini, Israel memang berupaya keras menghilangkan dimensi Islam dalam
konfliknya dengan Palestina dan dunia Arab. Bahkan, Israel setidaknya hanya
menjadi masalah Arab, dan bukan menjadi masalah Islam.52
“Sesungguhnya yang menjadi problema bangsa Yahudi adalah sikap permusuhan Islam hingga kini. Islam ingin meluaskan daerahnya dan tidak
Di tahun 1976, Yitzhak
Rabin, pernah mengatakan :
52 Adian Husaini, Op.cit.,h.128
69
bersedia menerima perdamaian dengan Israel. Islam adalah musuh kami yang paling keras, yang akan mengancam hari depan Israel dan bangsanya.”53
Namun kondisi objektif di Israel, terutama dominasi kelompok-kelompok kanan
dan ortodoks Yahudi, tidak memungkinkan pemerintah minoritas sekuler Israel
Dalam kasus Israel – Palestina, para pembuat kebijakan di Israel cenderung
merasa bahwa Islam fundamentalis adalah ancaman terhadap elite-elite Barat di
negara-negara Islam, dalam hal ini Israel mempunyai dukungan internasional yang
sangat kuat khususnya dukungan dari Amerika Serikat.
Dalam kerangka menghadapi kebangkitan Islam fundamentalis, kepentingan
Amerika Serikat dan Israel, maka ada kepentingan besar dari Amerika Serikat untuk
tetap mempertahankan Israel sebagai sekutu istimewanya (special ally), mengingat
kemampuan militer Israel yang sangat besar. Israel sendiri juga sangat diuntungkan
dengan sikap Amerika Serikat. Dengan kata lain, telah terjadi hubungan simbiosis
mutualisme, hubungan kerjasama yang saling menguntungkan, anatara Amerika
Serikat dan Israel.
Untuk memperkuat posisi kepentingan bersama Amerika Serikat – Israel, dalam
rangka menghadapi ancaman Islam fundamentalis, keduanya berupaya keras
merangkul negara-negara Arab/Islam yang moderat, dengan janji-janji penyerahan
wilayah Palestina dan Arab, sebagaimana diatur dalam resolusi PBB 242, 338, dan
194.
53 Adian Husaini, Op.cit.,h.128
70
memberikan tawaran seperti yang dituntut Palestina dan negara-negara Arab. Kondisi
ini menyebabkan Israel menjadi terkucilkan, berantakannya proses perdamaian yang
telah berlangsung, dan semakin meningkatnya sentimen anti Israel dan Amerika
Serikat di berbagai belahan dunia Islam. Dalam keadaan seperti ini, tidak ada pilihan
lain bagi Israel, kecuali semakin bergantung kepada Amerika Serikat. Wajar, jika
pemerintah Israel, siapapun yang memimpin, akan bersikap pragmatis dalam
menjalankan politik luar negerinya. Dalam pemilu Januari 2003 yang dimenangkan
Partai Likud pimpinan Ariel Sharon, tindakan pragmatis juga begitu menonjol,
dengan cara menggunakan kekerasan tanpa kompromi terhadap pejuang Palestina.
Selain itu, penting pula menjadi perhatian kita bersama bahwa di kalangan kaum
Yahudi Israel berlaku 'lima prinsip' tak resmi dalam berjuang.54
54
Lima prinsip itu
antara lain: Satu, tidak akan berhenti membangun permukiman. Dua, tidak ada negara
Palestina merdeka. Tiga, tidak akan menarik diri dari penjajahan '67 (meliputi
Dataran Tinggi Golan di Suriah, penjajahan Lebanon Selatan, dan sebagian wilayah
di Jordania). Empat, tidak menyerahkan Quds (Quds ibu kota abadi Israel). Lima,
tidak ada pengembalian pengungsi Palestina ke Israel (lebih dari 4 juta warga
Palestina terlunta menjadi pengungsi). Lima prinsip ini senantiasa menjadi pijakan
siapa pun yang berkuasa di Israel.
C.1.c. Faktor Islam di Indonesia
www.kompas.com/kompas-cetak/opini, 20 Pebruari 2009
71
Indonesia termasuk salah satu negara yang menaruh perhatian cukup serius
terhadap nasib bangsa Palestina secara keseluruhan yang menjadi korban kekejaman
penguasa Israel. Salah satu indikasinya adalah penolakan masyarakat (khususnya
kalangan Muslim) terhadap upaya pemerintah Indonesia untuk membuka hubungan
diplomatik dengan Israel di satu sisi, serta dukungan masyarakat Indonesia terhadap
perjuangan bangsa Palestina.55
Keterkaitan antara perjuangan bangsa Palestina dan masalah pembukaan
hubungan diplomatik Indonesia dengan Israel, menjadi dua hal yang sulit untuk
dipisahkan dalam kerangka pelaksanaan politikluar negeri Indonesia. Paling tidak ini
tercermin dari salah seorang pejabat tinggi Departemen Luar Negeri Indonesia,
bahwa hubungan bilateral Indonsia – Israel baru dapat dijalin setelah tercapainya
perdamaian menyeluruh di Timur Tengah.
56
Di tingat masyarakat Indonesia, khususnya dikalangan mayoritas masyarkat
muslim, pada umumnya masih lebih kuat arus yang menolak pembukaan hubungan
diplomatik dengan Israel. Alasan mereka, selama Israel masih belum bersedia
melepaskan penjajahannya atas semua wilayah Timur Tengah pada umumnya dan
Palestina pada khususnya maka penentangan terhadap setiap aktivitas politik antara
55 Riza Sihbudi dan Achmad Hadi, Palestina: solidaritas islam dan tata politik dunia baru, University of California, 2007, h. 337
56 Dalam wawancara penulis dengan Nanda sebagai Konsuler di Direkorat Jendral Departemen Luar Negeri Indonesia, beliau mengatakan bahwa, “bisa saja Indonesia membuka hubungan diplomatik dengan Israel asalkan perdamaian di Timur Tengah bisa tercapai dan pengembalian Masjid Al Aqsha ke wilayah bangsa Palestina.
72
Indonesia dengan Israel akan tetap terus berlanjut. Masyarakat Indonesia juga selalu
melakukan aksi-aksi pengecaman atas setiap kejahatan militer Israel terhadap
Palestina.
“Masalah-masalah dalam negeri dirasakan mempengaruhi kebijakan luar negeri
Indonesia. Masalah-masalah tersebut bersumber dari perbedaan budaya dari rakyat
Indonesia dan pembentukan identitas bangsa yang tidak selesai....”57
57 Michael Liefer, Indonesiais Foreign Policy, Allen and Uwin, London Press, 1983, h. 136
Perbedaan budaya tersebut tercermin di dalam pembagian elit masyarakat yang
memiliki andil dalam pengambilan kebijakan luar negeri Indonesia..
D. Strategi Politik Luar Negeri Indonesia terhadap Israel
Indonesia yang selama ini dikenal sebagai negara penganut mayoritas muslim
moderat seharusnya dapat mewakili umat Islam di dunia untuk terus melakukan
negosiasi terhadap Israel. Meski demikian, ada keterbatasan peranan Indonesia dalam
mencari penyelesaian konflik Israel – Palestina. Selama ini Indonesia hanya bisa
berperan melalui bantuan kemanusiaan baik yang bersifat formal, dari pemerintah ke
pemerintah, maupun yang tidak formal, dari civil society ke civil society.
Pertimbangan mendasar, desakan hubungan diplomatik dengan Israel tak selalu
mulus. Lebih kerap menuai protes, khususnya dari kalangan ormas-ormas masyarakat
muslim Indonesia. Menjadi beberapa alasan penting sekaligus dapat menjadi
pertimbangan Pemerintah Indonesia sebelum memutuskan sikap.
73
Pertama, secara konstitusional, keinginan membuka hubungan diplomatik akan
tersandung dasar negara, khususnya pembukaan UUD '45. Kedua, pembukaan
diplomatik juga bertentangan dengan prinsip-prinsip Gerakan Non-Blok, di mana
Indonesia menjadi salah satu anggotanya. Karena, membuka hubungan diplomatik
berarti mengakui eksistensi kolonialisme serta menyakiti perasaan umat Islam
sedunia, umat Islam Indonesia khususnya.
Ketiga, Israel tidak pernah mau mentaati Resolusi Dewan Keamanan PBB
Nomor 242 dan 338. Inti kedua resolusi tersebut adalah meminta Israel mundur dari
seluruh wilayah yang didudukinya dalam perang tahun 1967. Keempat, pembukaan
hubungan tidak sejalan dengan prinsip perjuangan Organisasi Konferensi Islam
(OKI), di mana Indonesia salah satu anggotanya.
Pemerintah Indonesia tetap pro-aktif mendorong terciptanya perdamaian yang
abadi dan adil, dengan tetap berpegang pada prinsip dan konstitusi negara.
Perjuangan Indonesia harus memberikan manfaat, bukan saja bagi warga negeri ini,
tetapi juga bagi sebanyak mungkin warga dunia.
Adanya yang menarik untuk mencermati pendapat Nono Anwar Makarim
Ada tiga butir menarik dari wawancara dengan Makarim, yang kalau disarikan
kira-kira seperti berikut ini: pertama bahwa konflik Israel - Palestina bukanlah
konflik agama, kedua bahwa kebijakan politik luar negeri Indonesia sudah tepat
,
seorang ahli hukum yang secara intens mengikuti perkembangan Timur Tengah, yg
dipaparkan dalam Harian Kompas.
74
dengan secara resmi mengutuk dan mengecam tindakan Israel melakukan serangan
membabi buta ke penduduk sipil. Ketiga bahwa kondisi internal Indonesia sangat
lemah, ada begitu banyak masalah di dalam negeri.58
Di samping itu, sebagai bagian dari usaha mewujudkan perdamaian dan
keamanan internasional, pemerintah Indonesia terus meningkatkan dan memperkuat
Dari penjelasan diatas, yaitu: (i) bahwa konflik Israel-Palestina bukanlah perang
agama. Makarim berpendapat bahwa ini bukan perang agama, tapi perang politik
dengan latar belakang etnis dengan sejarah yang panjang, tapi kedua belah pihak
memang membiarkan kesan seperti itu. Israel ingin menunjukkan bahwa muslim sulit
diajak berbicara, sementara Palestina merasa lebih mudah memobilisasi dukungan
dari mayoritas negara muslim bila ini dianggap sebagai perang agama.
Kedua, bahwa kebijakan luar negeri Indonesia sudah tepat dengan
menyampaikan kecaman resmi. Setidaknya menurut saya pada momen ini pemerintah
Indonesia bersikap cukup cerdas. Ketiga, Makarim mengatakan:
"Keadaan kita ini payah...ya ampun ! Kita tak kuat. Kita terlalu banyak problem dalam negeri. Paling dekat Pemilu 2009" Saya sangat terkesan dan setuju sekali dengan pernyataan ini. Indonesia terlalu banyak problem dalam negeri, dan seyogyanya kita selesaikan itu dulu sampai kita cukup punya independensi - kemandirian, barulah kita boleh sisihkan perhatian untuk masalah-masalah internasional. Contoh gamblang: kita harus jadikan negara ini kuat, independen dan percaya diri, barulah boleh bersikap - kalau berani seperti Hugo Chavez dari Venezuela yg dengan lantang menyerukan kritik pedas ke Amerika Serikat. Kapan presiden Indonesia berani bersikap seperti itu ?
58 Harian Kompas, 18 Januari 2009
75
kerjasama di berbagai forum multilateral, regional maupun Perserikatan Bangsa
Bangsa.
Terpilihnya Indonesia menjadi anggota Dewan HAM PBB sebetulnya, menjadi
poin untuk melaksanakan perdamaian berdasarkan UUD 1945. Indonesia telah
langsung terpilih pada putaran pertama dengan dukungan 165 suara dari 191 negara
anggota PBB melalui pemungutan suara yang dilaksanakan Majelis Umum PBB pada
9 Mei 2006.
Di sisi lain Indonesia sebagai anggota Dewan HAM, Indonesia akan memainkan
peran sangat penting dalam pengambilan berbagai keputusan guna mendukung
terbentuknya Dewan HAM yang kuat dan memenuhi aspirasi masyarakat
internasional.
Banyak hal yang telah diperoleh Indonesia di bidang HAM, dan hingga kini
banyak sekali langkah maju yang sudah dicapai, antara lain ratifikasi perangkat HAM
internasional dan nasional, yakni perangkat nasional yang baik UU HAM dan UU
Pengadilan HAM, termasuk Rencana Aksi Nasional HAM yang berisi kebijakan atau
langkah konkret di bidang pemajuan dan perlindungan HAM.59
Indonesia saat ini juga terus mendukung dilakukannya restrukturisasi dan
revitalisasi PBB, diantaranya melalui penambahan jumlah anggota Dewan Keamanan
PBB untuk menambah kepercayaan terciptanya perdamaian.
59 Bantarto Bandoro, Op.Cit., h. 22-23.
76
Terciptanya reformasi dalam tubuh PBB tentu akan membuat PBB lebih
responsif menangani masalah-masalah global. Selain itu, menanggapi persoalan
Timur Tengah terkait dengan konflik Palestina-Israel, Indonesia sebagai negara
demokrasi dan sebagai anggota Dewan HAM PBB, tetap mendukung agar
penyelesaian konflik tersebut dapat diselesaikan dengan jalan damai. Indonesia juga
sangat mengecam dan menolak berbagai aksi kekerasan atau serangan-serangan yang
dilakukan Israel terhadap bangsa Palestina dan Lebanon akan tetapi kebijakan
tersebut belum memberikan dampak yang signifikan.
77
BAB V
KESIMPULAN
Ketika berbicara tentang politik, maka tidak akan terlepas yang namanya
kepentingan. Ada dua hal menurut Alwi Shihab (Mantan Menteri Luar Negeri RI),
yaitu: Pertama, Diharapkan lobi Indonesia di dunia menjadi kuat terhadap tekanan
kepentingan Barat (IMF, WTO, AS, dsb.). Kedua, Investor Yahudi dan Israel
berbondong-bondong menanamkan modalnya di Indonesia.
Akan tetapi, keuntungan tersebut belum pasti tercapai. Namun untuk menuju
rencana tersebut, Indonesia akan mengalami polemik yang sudah tentu akan ditentang
oleh kalangan muslim. Maka nantinya akan menjadi pertanyaan mengapa tidak
meningkatkan hubungan bilateral dengan negara-negara yang secara umum tidak
bermasalah di mata masyarakat Indonesia dan tidak semata karena pertimbangan-
pertimbangan pragmatis. Misalnya kualitas hubungan dengan negara-negara OKI dan
ASEAN ditingkatkan.
Kerugian yang akan dialami dari hubungan RI-Israel paling sedikit: Pertama,
Ketidakpastian proses perdamaian Timur Tengah yang melibatkan wilayah yang
disengketakan menimbulkan reaksi masyarakat (Muslim) Indonesia. Ini menimbulkan
kontra produktif bagi kepentingan pembangunan Indonesia sendiri (serta dunia Islam
pada umumnya). Terlebih lagi mengingat perlakuan Israel terhadap warga Palestina
yang menyakitkan umat Islam (pembakaran atau perusakan Al-Quds, pelanggaran
HAM terhadap warga Palestina). Israel yang telah merampas tanah Arab pada perang
78
1976, sampai saat ini tidak memiliki political will yang kuat untuk berdamai dengan
Arab dengan mengembalikan seluruh wilayah yang direbutnya itu, termasuk
melaksanakan resolusi PBB no. 234 dan 338.
Keuntungan dagang yang diperoleh mau tidak mau akan digunakan untuk
pembangunan Negara Israel (pembangunan pemukiman Yahudi, militer, keamanan,
kesejahteraan warga Israel, dsb.). Sementara hasil pembangunan tersebut akan
mengeksiskan penjajahan Israel atas Palestina. Kedua, Kepentingan dagang erat
sekali hubungannya dengan kepentingan politik. Sistem atau rezim politik yang
mapan kerap memulainya dengan membangun system atau /rezim ekonomi atau
dagang yang kuat. Lihatlah penjajahan Belanda dimulai dari politik dagang
selanjutnya menjalar ke sektor politik, kebudayaan, dan ini lebih berbahaya bagi
bangsa yang ingin mandiri apalagi berdiri tegak dan disegani di dunia.
Berdasarkan bab-bab tersebut diatas, yang juga mengacu pada kerangka dasar
pemikiran. Menurut penulis, alasan mendasar mengapa Negara Indonesia tidak
membuka hubungan diplomatik secara resmi dengan Israel dikarenakan beberapa
faktor, yaitu: Pertama, adanya kesamaan fundamental agama dengan negara-negara
Timur Tengah kecuali Israel. Sebagai negara mayoritas muslim terbesar didunia
menyebabkan sulit memposisikan diri menjadi penengah disetiap permasalahannya.
Oleh sebab itu, seringkali memunculkan sikap politik luar negeri Indonesia yang
pragmatis, hanya mengedepankan kepentingan nasional dengan melakukan kerjasama
dibidang dagang (ekonomi).
79
Kedua, membuka hubungan diplomatik Indonesia dengan Israel secara resmi
berarti mengakui eksistensi dan kedaulatan Israel. Hal ini, bertentangan dengan
prinsip bernegara bangsa Indonesia (Pembukaan UUD 45), dan kerugian-kerugian
lainnya sebagai turunannya. Tiada Israel tanpa fundamentalis agama negaranya, dan
tiada sebuah agama tanpa pemeluknya. Tidak bisa kita pungkiri bahwa betapapun
banyak perbedaan di Israel, tetapi mereka dipersatukan oleh tanah yang dijanjikan
dan tujuan pengakuan kedaulatan negara Israel.
Dengan mengingat kebijakan luar negeri Indonesia berdasarkan landasan politik
luar negeri yang bebas aktif, bukan berarti kebebasan Indonesia untuk bergerak ke
kanan ataupun ke kiri tanpa melihat aspirasi masyarakat dalam negeri serta faktor
historis yang sudah dibangun oleh para founding fathers bangsa Indonesia yang tetap
memiliki komitmen dalam mendukung kedaulatan Palestina seutuhnya.
Dengan pernyataan-pernyataan pemerintah pada bab sebelumnya yang
mengatakan Indonesia akan membuka hubungan diplomatik dengan Israel, dengan
syarat-syarat seperti menjalankan Peta Jalan Damai ataupun resolusi yang sudah di
buat oleh PBB merupakan sebuah political will dari politik luar negeri Indonesia yang
bebas aktif.
Rekomendasi
Dari kedua faktor tersebut, tentu menjadi bahan pertimbangan Indonesia dalam
membuat sebuah strategi terhadap Israel. Oleh sebab itu, ada satu kiranya strategi
80
Indonesia dalam membangun dan mengkontrol kehidupan di kawasan Timur Tengah
khususnya permasalahan Israel dan Palestina, yaitu: membuka hubungan diplomatik
Indonesia dan Israel secara resmi.
Negara Indonesia yang selama ini dikenal sebagai negara yang mayoritas muslim
moderat seharusnya dapat mewakili umat Islam di dunia untuk terus melakukan
negosiasi terhadap Israel. Meski demikian, ada keterbatasan peranan Indonesia dalam
mencari penyelesaian konflik Israel-Palestina. Selama ini Indonesia hanya bisa
berperan melalui bantuan kemanusiaan baik yang bersifat formal, dari pemerintah ke
pemerintah, maupun yang tidak formal, dari civil society ke civil society. Dengan
kata lain, Indonesia harus membuka hubungan diplomatik dengan Israel jika hendak
melakukan negosiasi kepada kedua pihak.
Terbukanya hubungan diplomatik dengan Israel bukan berarti Indonesia akan
menggiatkan atau mendukung Israel dalam menjajah Palestina. Justru dengan begitu,
Indonesia bisa memainkan peran (visi) perdamaian dengan membuka perundingan
kepada kedua pihak. Selama ini Indonesia hanya memainkan peran perdamaian
melalui lembaga-lembaga internasional seperti ASEAN, organisasi negara-negara
Islam (OKI), dan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dan peranan itu tampaknya
tidak terlalu kelihatan karena Indonesia bukanlah negara "kuat" baik dari segi
ekonomi, militer, maupun kondisi sosial-politik dalam negeri.
81
Oleh karena itu, setidaknya ada dua peran vital yang bisa dimainkan Indonesia
jika membuka hubungan diplomatik dengan Israel. Pertama, dengan membuka
hubungan diplomatik, komunikasi Republik Indonesia (RI) dengan Israel akan lebih
terbuka lebar. Lebih dari itu, Indonesia juga bisa mengajak kekuatan-kekuatan
lainnya, seperti negara-negara Arab, Asia Tenggara, dan Afrika, untuk mendukung
dan memprakarsai tercapainya kesepakatan damai antara Israel dan Palestina. Kerja
sama negara-negara itu, di samping menjadi mediator untuk meletakkan dasar-dasar
pemulihan konflik antara Israel dan Palestina, juga harus diarahkan pada penguatan
(internal) pemerintahan Palestina dengan mendukung dan membantu pembangunan
ekonomi mereka, rekonsiliasi faksi-faksi di internal Palestina, dan mengurangi
ketergantungan pada negara-negara lain.
Kedua, peluang untuk melindungi rakyat Palestina pun akan lebih kuat dan
terbuka jika Indonesia membuka hubungan diplomatik dengan Israel. Sebab, jika
suatu saat, misalnya, Israel tiba-tiba menyerang Palestina, Indonesia bisa
menggunakan peranannya dengan mengingatkan dan menegur langsung Israel bahwa
mereka tidak bisa bertindak semena-semena. Dengan kata lain, Indonesia bisa
membujuk Israel untuk tidak bertindak brutal kepada Palestina kalaupun negosiasi
kesepakatan perdamaian mengalami kebuntuan. Lebih dari itu, Indonesia bisa
meminta ketulusan negara-negara kuartet Amerika Serikat, Rusia, Uni Eropa, dan
PBB untuk menghakimi secara adil dan memberi jalan keluar bagi terciptanya negara
Palestina dan Israel yang berdaulat, damai, dan makmur.
82
Jika Pemerintah Indonesia bisa memainkan peranan itu, berarti bangsa Indonesia
akan memberi jalan alternatif dalam mencari dan menemukan kesepakatan damai
untuk mengatasi konflik Israel dan Palestina. Dan, jika hal itu terwujud, Israel dan
Palestina ke depan akan menemukan bahasa rekonsiliasi, bahasa perdamaian dan
kerja sama, kendati akan tetap menjadi sesuatu yang sangat berat dan sulit. Sebab,
hanya dengan pencarian metode-metode alternatif yang seperti itulah Indonesia bisa
mengubah ketidakmungkinan (kesepakatan damai Israel-Palestina) menjadi mungkin
Perubahan konstalasi politik internasional dari bipolar, unipolar, dan multipolar,
lebih hanya membawa konsekuensi pada the politicals of deterrence. Sampai
seberapa jauh pergeseran ruang lingkup komitmen penanggulangan itu dapat
menciptakan perdamaian internasional adalah soal lain. Hal itu yang sekiranya dapat
membantu mendamaikan wilayah kawasan Timur Tengah.
Bagi Israel, hubungan diplomatik dengan Indonesia tentu menjadi sangat berarti
dan memiliki nilai strategis. Pertama, Indonesia adalah negara berpenduduk
mayoritas Muslim terbesar di dunia. Fakta itu diharapkan suara Indonesia didengar,
khususnya di dunia Islam. Selama ini tentangan keras terhadap Israel datang dari
kalangan negara-negara mayoritas Muslim karena Israel dinilai menjajah Palestina.
Kedua, secara historis, Indonesia memiliki hubungan amat baik dengan kalangan
negara-negara Arab. Sejak masa Presiden Soekarno hingga Presiden Susilo Bambang
Yudhoyono kini, Indonesia belum pernah mengalami konflik/masalah berarti dengan
negara-negara Arab, khususnya yang tergabung dalam Liga Arab. Catatan ini
83
membuat Indonesia diterima baik di kalangan para pemimpin Arab. Bagi Israel, dunia
Arab dinilainya menjadi sandungan untuk tercapainya perdamaian, utamanya Suriah,
Iran, dan Arab Saudi.
Ketiga, posisi strategis terpenting adalah efek politik domino. Jika Indonesia
telah mengakui Israel dan menjalin hubungan diplomatik dengan negeri ini, perlahan
namun pasti, akan menyusul negara-negara lainnya. Kekuatan inilah yang tampaknya
disadari betul dan sedang 'digarap' secara serius oleh Israel.
84
DAFTAR PUSTAKA
Anderson, Roy R., Politics and Change in The Middle East:Sources of Conflict and Accomodation, 2nd edition, New Jersey, Englewood Cliffs, Prentice Hall, 1987.
Bandoro, Bantarto, Timur Tengah Pasca Perang Teluk: Dimensi Internal dan Eksternal, Editor. Juwono Sudarsono. Jakarta, CSIS, 2002.
Bandoro, Bantarto, Refleksi Setengah Abad Kemerdekaan Indonesia, Jakarta: CSIS, 1995.
Brecher, Michael, The Foreign Policy System of Israel, London, Oxford University Press, 1972.
Coplin, William D., Pengantar Politik Internasional, Bandung, Sinar Baru, 1992.
Dipoyudo, Kirdi, Timur Tengah Pusaran Strategis Dunia, Yayasan, Jakarta ,Proklamasi CSIS.
Garaudy, Roger, Israel dan Praktik-praktik Zionisme, Bandung, Pustaka,1988.
Holsti, K..J, Politik Internasional Kerangka Untuk Analisis, Terjemahan M. Tahir Azhary, jilid 1, Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 1987
Husaini, Adian, Pragmatisme Dalam Politik Zionis Israel, Surabaya, Penerbit Khairul Bayaan, 2004
Indonesia’s Foreign Policy under Suharto: Aspiring to International Leadership, Academic Press, Singapore Times, 1996.
Liefer, Michael, Indonesia’s Foreign Policy, Allen and Uwin, London Press, 1983.
M.A, Budiono, Kamus Ilmiah Populer Internasional, Surabaya, Penerbit Alumni, 2005.
Manurung, Hendra, Indonesia, ASEAN, dan Konflik TIMTENG. Jakarta, Gramedia 2005.
Nawawi, Hodari, Metode Penelitian bidang sosial, Yogyakarta, Gajah Mada University Press, Cetakan III, 1987
Reich, Bernard, The Middle East and The United States: A historical and Political Reassessment, Westview Press, 1996.
77
85
Sihbudi, Riza, Indonesia Timur Tengah Masalah dan Prospek, Jakarta,Gema Insani Press, 1997.
Sihbudi, Riza, Profil-Profil Negara Timur Tengah, Jakarta, PT. Dunia Pustaka Jaya, 1995.
Sihbudi, Riza, Konflik dan Diplomasi di Timur Tengah, Bandung, PT. Eresco, 1993.
Sihbudi, Riza, dan Achmad Hadi, Palestina: solidaritas islam dan tata politik dunia baru, University of California Press, 2007
Soenarko, Soesiswo, Perkembangan Studi Hubungan Internasional dan Tantangan Masa Depan, Jakarta, Pustaka Jaya, 1996.
Uredenbergt, Metode dan Teknik PenelitianMasyarakat, Jakarta, Gramedia, 1980.
INTERNET
www.mpr.go.id
www.kjrihamburg.de
www.sinarharapan.com
www.deplu.go.id
www.israelinfocenter.com
www.deplu.go.id
www.wikipedia.org
MEDIA CETAK
KOMPAS
The Jakarta Post