Post on 10-Mar-2019
2. TINJAUAN PUSTAKA
Teori Pertumbuhan Ekonomi
Pertumbuhan ekonomi diartikan sebagai perkembangan kegiatan dalam perekonomian
yang menyebabkan barang dan jasa yang diproduksi dalam masyarakat bertambah dan
kemakmuran masyarakat meningkat (Sukirno, 2000). Jadi pertumbuhan ekonomi digunakan
untuk mengukur prestasi dari perkembangan suatu perekonomian serta meningkatkan
kemampuan suatu negara untuk menghasilkan barang dan jasa. Kemampuan yang meningkat
ini disebabkan oleh pertambahan faktor-faktor produksi baik dalam jumlah dan kualitasnya.
Investasi juga semakin berkembang dan akan menambah barang modal dan teknologi yang
digunakan. Di samping itu, tenaga kerja bertambah sebagai akibat perkembangan penduduk
seiring dengan meningkatnya pendidikan dan keterampilan mereka. Menurut Arsyad (1999)
pertumbuhan ekonomi diartikan sebagai kenaikan Produk Domestik Bruto (PDB)/Pendapatan
Nasional Bruto (PNB) tanpa memandang apakah kenaikan tersebut lebih besar atau lebih
kecil dari tingkat pertumbuhan penduduk atau apakah perubahan struktur ekonomi terjadi
atau tidak. Sasaran pembangunan ekonomi daerah adalah meningkatkan laju pertumbuhan
ekonomi daerah. Pertumbuhan ekonomi daerah diukur dengan pertumbuhan Pendapatan
Domestik Regional Bruto (PDRB) menurut harga konstan. Laju pertumbuhan PDRB akan
memperlihatkan proses kenaikan output per kapita dalam jangka panjang. Penekanan pada
”proses”, karena mengandung unsur dinamis, perubahan atau perkembangan. Oleh karena itu,
pemahaman indikator pertumbuhan ekonomi biasanya akan dilihat dalam kurun waktu
tertentu, misalnya tahunan. Aspek tersebut relevan untuk dianalisis sehingga kebijakan-
kebijakan ekonomi yang diterapkan oleh pemerintah untuk mendorong aktivitas
perekonomian domestik dapat dinilai efektifitasnya (Rustiono, 2008).
Teori Pertumbuhan Ekonomi Klasik
Menurut ekonom Klasik, Smith, pertumbuhan ekonomi dipengaruhi oleh dua faktor
utama yakni pertumbuhan output total dan pertumbuhan penduduk (Arsyad,1999). Unsur
pokok dari sistem produksi suatu negara ada tiga, yaitu sumberdaya alam, sumberdaya
manusia dan stok modal. Menurut Teori Pertumbuhan Ekonomi Klasik, pertumbuhan
ekonomi bergantung pada faktor-faktor produksi (Sukirno, 1994). Persamaannya adalah :
Δ Y = f (ΔK, ΔL)
Δ Y = tingkat pertumbuhan ekonomi
Δ K = tingkat pertambahan barang modal
Δ L = tingkat pertambahan tenaga kerja
Model Pertumbuhan Harrod-Domar
Model pertumbuhan yang paling terkenal dalam teori neo-keynesian adalah model
pertumbuhan Harrod-Domar. Model pertumbuhan ini menjelaskan mekanisme perekonomian
yang mengandalkan peningkatan investasi demi mempercepat pertumbuhan ekonomi. Model
pertumbuhan Harrod-Domar adalah sebagai berikut: Δ Y
𝑌 =
s
𝑘
Δ Y
𝑌 = tingkat perubahan atau tingkat pertumbuhan PNB (yaitu, angka
persentase perubahan PNB)
s = rasio tabungan nasional
k = rasio modal-output nasional
Agar dapat tumbuh dengan pesat, maka setiap perekonomian haruslah menabung dan
menginvestasikan sebanyak mungkin bagian dari PNB-nya. Semakin banyak yang ditabung
kemudian diinvestasikan, maka laju pertumbuhan perekonomian itu akan semakin cepat
(Todaro, 2003).
Model Pertumbuhan Solow
Dalam model pertumbuhan ekonomi Neo Klasik Solow (Solow Neo Classical Growth
Model) ini merupakan pengembangan dari formulasi Harrod-Domar dengan menambahkan
faktor kedua yaitu tenaga kerja serta memperkenalkan variabel independen ketiga yakni
teknologi ke dalam persamaan pertumbuhan.
Y = Kα . (AL)
1-α
Y = Produk Domestik Bruto
K = stok modal fisik dan modal manusia
L = tenaga kerja non terampil
A = konstanta yang merefleksikan tingkat teknologi dasar
α = melambangkan elastisitas output terhadap model, yakni persentase kenaikan PDB yang
bersumber dari 1% penambahan modal fisik dan modal manusia. Menurut teori pertumbuhan
Neo Klasik Tradisional, pertumbuhan output selalu bersumber dari satu atau lebih dari 3
(tiga) faktor yakni kenaikan kualitas dan kuantitas tenaga kerja, penambahan modal
(tabungan dan investasi) dan penyempurnaan teknologi (Todaro, 2003).
Investasi
Investasi sering disebut juga sebagai penanaman modal atau Pembentukan Modal Tetap
Bruto (PMTB). Investasi menghubungkan pasar uang dengan pasar barang, masa kini dan
masa datang. Selain itu, fluktuasi investasi berpengaruh besar pada proses bisnis. Poin yang
menonjol adalah investasi dalam jangka panjang, menentukan jumlah stok modal dan
berperan dalam pertumbuhan ekonomi jangka panjang (Blanchard, 2006). Sukirno (2000)
mendefinisikan investasi sebagai pengeluaran-pengeluaran untuk membeli barang-barang
produksi dengan tujuan untuk mengganti dan menambah barang-barang modal dalam
perekonomian yang akan digunakan untuk memproduksi barang dan jasa di masa depan.
Tujuan investasi ini adalah untuk meningkatkan kapasitas memproduksi suatu perekonomian.
Ada 3 jenis investasi menurut Dornbusch and Fischer (1997), Mankiw (2003), Sukirno
(2000) yaitu: (1) Investasi tetap bisnis (Business Fixed Investment) yaitu pengeluaran
perusahaan untuk pembelian pabrik dan peralatan baru, (2) Investasi residensi (residential
investment, yaitu pembelian perumahan baru oleh rumah tangga dan tuan tanah, (3) Investasi
dalam persediaan (inventory investment) yaitu bahan baku, barang setengah jadi, dan barang
jadi yang disimpan oleh perusahaan untuk kemudian dijual. Menurut Dornbusch and Fischer
(1992) ada dua sudut pandang investasi yaitu:
1. Investasi dalam arti sempit yaitu penambahan persediaan fisik modal, atau disebut juga
investasi riil,
2. Investasi dalam arti luas, yang mencakup investasi finansial dan sumber daya manusia.
Investasi dan pertumbuhan mempunyai hubungan yang tidak dapat dipisahkan,
besarnya investasi di daerah akan mempengaruhi tingkat pertumbuhan daerah tersebut.
Untuk itu perlu di uraikan lebih lanjut hubungan antara investasi dan pertumbuhan.
Investasi dan Pertumbuhan
Menurut Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007, penanaman modal (investasi) adalah
segala bentuk kegiatan menanam modal, baik oleh penanam modal dalam negeri maupun
penanam modal asing untuk melakukan usaha di wilayah negara Republik Indonesia. Secara
garis besar, penanaman modal dalam rangka investasi ditinjau dari sumbernya dibagi 2 (dua),
yaitu investasi pemerintah seta investasi swasta. Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 1
tahun 2008, Investasi Pemerintah adalah penempatan sejumlah dana dan/atau barang oleh
pemerintah dalam jangka panjang untuk investasi pembelian surat berharga dan Investasi
Langsung untuk memperoleh manfaat ekonomi, sosial, dan/atau manfaat lainnya.
Investasi swasta dikelompokan menjadi dua yaitu penanaman modal dengan modal
berasal dari dalam negeri dan penanaman modal dengan modal dari pihak asing / luar negeri.
Penanaman modal dalam negeri adalah kegiatan menanam modal untuk melakukan usaha di
wilayah negara Republik Indonesia yang dilakukan oleh penanam modal dalam negeri
dengan menggunakan modal dalam negeri. Penanaman modal asing adalah kegiatan
menanam modal untuk melakukan usaha di wilayah negara Republik Indonesia yang
dilakukan oleh penanam modal asing, baik yang menggunakan modal asing sepenuhnya
maupun yang berpatungan dengan penanam modal dalam negeri (Undang-Undang Nomor 25
Tahun 2007).
Di negara berkembang seperti Indonesia, investasi sangat dibutuhkan untuk
memutuskan lingkaran setan kemiskinan yang ada. Hal ini dikarenakan investasi dapat
meningkatkan pendapatan nasional suatu negara. Sesuai dengan teori yang dicetuskan oleh
Mankiw (2000) yaitu setiap kenaikan jumlah pendapatan sebagai akibat dari pertambahan
investasi akan menaikkan pendapatan dengan jumlah yang berlipat ganda (multiplied effect).
Peningkatan pendapatan khususnya dalam bentuk uang akan meningkatkan permintaan
barang secara keseluruhan (Aggregate Demand). Dengan demikian, terdapat sebuah tuntutan
untuk memenuhi permintaan sehingga mempengaruhi kebutuhan peralatan maupun uang
dalam bentuk modal sebagai akibat kenaikan produksi, sehingga secara tidak langsung akan
meningkatkan investasi. Kenaikan tabungan masyarakat karena peningkatan pendapatan
merupakan investasi secara langsung melalui lembaga keuangan dan secara matematis dapat
dituliskan sebagai berikut :
Y = C + S
Di mana :
Y = Pendapatan masyarakat
C = Konsumsi
I = Investasi
dengan asumsi keseimbangan yaitu S=I, maka akan didapatkan :
Y = C + I
Secara keseluruhan gambaran mengenai peningkatan pendapatan masyarakat yang
disebabkan oleh kenaikan investasi dan tingkat konsumsi dapat dilihat pada Gambar 1 berikut
:
Harga (P)
AD2
AD1
Pendapatan Nasional (Y)
Y1 Y2
Gambar 1. Hubungan Pendapatan, Investasi dan Konsumsi Sumber: Mankiw (2000)
Gambar 1 dapat menjelaskan bahwa adanya investasi mampu mendorong peningkatan
Aggregate Demand (AD). Dengan demikian, peningkatan investasi menggeser kurva AD ke
kanan atas, dari AD1 ke AD2. Dengan meningkatnya AD, maka pertumbuhan ekonomi dan
tingkat pendapatan perkapita di suatu wilayah pun akan meningkat (Y1 ke Y2).
Menurut Mankiw (2000) faktor yang mempengaruhi peningkatan investasi adalah
tingkat suku bunga. Persamaan yang mengaitkan investasi dan suku bunga riil adalah sebagai
berikut:
I = I (r)
Investasi bergantung pada suku bunga riil r karena suku bunga merupakan biaya
peminjaman. Ketika biaya peminjaman (r) meningkat, maka keuntungan yang didapat
investor dapat menurun dengan asumsi ceteris paribus sehingga hal tersebut dapat
menurunkan investasi yang ditanamkan. Sebaliknya, jika biaya peminjaman turun, maka
investor akan meningkatkan jumlah investasinya mengingat keuntungan yang didapat juga
akan meningkat. Hal ini dapat dijelaskan melalui Gambar 2.
b) Perpotongan Keynessian
Pengeluaran (E)
a) Fungsi Investasi
c) Kurva IS
Gambar 2. Investasi Perpotongan Keynesian dan Kurva IS Sumber: Mankiw (2000)
Gambar 2 merupakan kombinasi antara fungsi investasi dengan diagram perpotongan
Keynessian dan grafik kurva IS. Bagian (a) menjelaskan hubungan terbalik antar investasi
dan tingkat bunga. Penurunan tingkat bunga dari r1 ke r2 akan mengakibatkan jumlah
investasi yang ditanamkan meningkat dari I (r1) ke I (r2). Peningkatan investasi yang
direncanakan akan menggeser fungsi pengeluaran yang direncanakan ke atas dari AE1 ke
AE2, sebagaimana yang terlihat dalam bagian (b). Peningkatan pengeluaran yang
Y
2
Y
1
AE2
AE
1 Pendapatan,
Output, Y
Tingkat
bunga, r
Ivestasi, I
Tingkat
bunga,r
Pendapatan,
Output, Y
r1 r2
I1 I2
direncanakan ini akan mengakibatkan tingkat pendapatan nasional meningkat dari Y1 ke Y2.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa satu dari berbagai upaya meningkatan
pendapatan wilayah dengan meningkatkan jumlah investasi pada wilayah tersebut sehingga
akan terjadi pertumbuhan ekonomi. Secara ringkas, grafik hubungan investasi dan
pendapatan nasional dapat dijelaskan oleh gambar 3
Gambar 3. Grafik hubungan Output (Y) dengan Investasi (I) Sumber: Mankiw (2000)
Dalam konteks pembangunan nasional dewasa ini, kepentingan peningkatan investasi
sesungguhnya memiliki tujuan yang lebih luas daripada hanya sekedar penciptaan
pertumbuhan ekonomi secara berkelanjutan. Menurut Mankiw (2000) berkaitan dengan isu
dan permasalahan yang dihadapi, misi peningkatan investasi pada dasarnya mencakup tiga
tujuan yang saling berkaitan, yaitu: (1) penciptaan pertumbuhan ekonomi dan kesempatan
lapangan kerja; (2) berkurangnya jumlah penduduk miskin, dan pada gilirannya (3)
terwujudnya kesejahteraan masyarakat yang berkelanjutan. Berkenaan dengan tujuan
tersebut, upaya peningkatan investasi sangat terkait erat dengan upaya peningkatan kualitas
pelayanan terhadap masyarakat. Dalam kaitan inilah, diperlukan kepemimpinan yang visioner
untuk mengintegrasikan berbagai kepentingan dan upaya memobilisasi para pelaku,
organisasi dan sumberdaya.
Dengan adanya desentralisasi diharapkan pertumbuhan ekonomi di daerah lebih baik,
untuk itu akan dibahsa lebih lanjut keterkaitan desentralisasi dan pertumbuhan ekonomi
Hubungan Desentralisasi Fiskal dan Pertumbuhan Ekonomi
Pembangunan ekonomi adalah pertumbuhan ekonomi yang diikuti oleh perubahan-
perubahan dalam corak dan struktur aktivitas ekonomi yang bertujuan untuk mengurangi atau
menghapuskan kemiskinan, ketimpangan dalam distribusi pendapatan, dan ketimpangan
dalam penggangguran di suatu daerah. Dalam Undang-Undang Dasar 1945 dijelaskan bahwa
pembangunan ekonomi adalah rangkaian upaya pembangunan yang berkesinambungan yang
meliputi seluruh kehidupan masyarakat, bangsa dan negara dalam rangka mewujudkan tujuan
negara. Dalam berbagai teori dinyatakan bahwa nilai inti pembangunan adalah :
Terciptanya keperluan hidup yang berkelanjutan
Terciptanya harga diri masyarakat suatu negara
Terciptanya kemerdekaan
Pembangunan ekonomi itu sendiri bertujuan untuk menghasilkan pertumbuhan ekonomi yang
tangguh. Pertumbuhan ekonomi juga adalah mengukur prestasi dari perkembangan
perekonomian suatu negara (perkembangan jumlah produksi barang, pertambahan jumlah
perkantoran, sekolah, pusat-pusat pariwisata dll). Pertumbuhan ekonomi dapat diukur melalui
persentase tambahan dari pendapatan nasional riil, yakni pendapatan nasional riil dapat
dihitung baik dengan cara pengeluaran, produk bruto maupun dengan cara pendapatan.
Pendapatan, Output, Y
Ivestasi
Dalam mengkaji hubungan antara desentralisasi fiskal dengan pertumbuhan ekonomi
beberapa pengujian telah dilakukan seperti (Chema dan Rondinelli, 1983, Mankiw, Romer,
and Weil, 1992). Hasilnya diperoleh sebagai berikut:
Untuk negara-negara dengan tiga perangkat/level pemerintahan, hubungan antara
desentralisasi fiskal dan pertumbuhan ekonomi cukup kuat.
Untuk negara-negara industri, desentralisasi fiskal mempengaruhi pertumbuhan
ekonomi apabila peran pemerintah pusat yang lebih kecil muncul akibat peran
pemerintah pusat lebih luas dibandingkan dengan peranan propinsi.
Untuk negara-negara sedang berkembang desentralisasi fiskal akan mempengaruhi
pertumbuhan ekonomi apabila peranan pemerintah pusat yang lebih kecil muncul
akibat peranan pemerintah propinsi yang lebih besar dibanding pemerintah di
bawahnya.
Otonomi daerah merupakan saat yang tepat bagi pemerintah daerah untuk berbenah
diri, dengan adanya otonomi daerah semua kewenangan dan urusan anggaran menjadi
tanggungjawab daerah otonom. Pertumbuhan ekonomi, pengangguran dan kemiskinan yang
merupakan indikator dari perekonomian daerah juga ditentukan bagaimana tata kelola
ekonomi daerah tersebut. tata kelola ekonomi daerah yang baik diharapkan akan
meningkatkan Perekonomian Daerah.
Otonomi daerah membawa konsekwensi pada pelimpahan wewenang dan urusan pusat
ke daerah, Tata Kelola sebagai satu dari berbagai hal yang menjadi urusan pusat yang
kemudian dalam era otonomi daerah menjadi urusan daerah.
Pengertian Tata Kelola
Dixit (2001) mendefinisikan tata kelola secara luas menyangkut interaksi interaksi
antara para pelaku pasar dengan kelembagaan-kelembagaan yang dilakukan oleh pemerintah.
Sedangkan beberapa peneliti lain memisahkan tata kelola menjadi konsep yang berbeda dan
lebih sederhana, seperti korupsi (Wei 2000), transparansi (Kaufmann et al. 2003), dan
peraturan (Djankov et al. 2002). Busse et al (2007) menggunakan tata kelola pemerintahan
(governance) sebagai proxy kualitas institusi. North (1990) memasukkan birokrasi sebagai
salah satu unsur dari institusi, sehingga tata kelola pemerintahan merupakan gambaran
kualitas desentralisasi birokrasi.
Menurut Asian Development Bank (2009), terdapat empat prinsip pokok tata kelola
pemerintahan yang baik, antara lain:
1. Accountability, yaitu pejabat dapat mempertanggung-jawabkan kebijakannya, kebijakan
dilakukan berdasarkan hukum dan aturan yang berlaku, dan setiap pekerjaan dilaporkan
secara benar dan akurat.
2. Participation, yaitu pegawai diberikan peran dalam pembuatan keputusan, adanya
pemberdayaan masyarakat, khususnya penduduk miskin, melalui pemenuhan hak akan akses
untuk memperoleh kehidupan yang layak.
3. Predictability, yaitu adanya kepastian hukum melalui penegakan hukum, aturan, dan
kebijakan secara adil dan konsisten.
4. Transparency, yaitu ketersediaan informasi yang murah dan mudah dipahami masyarakat
guna mendukung akuntabilitas yang efektif, dan adanya kejelasan hukum, aturan, dan
kebijakan.
World Bank Institute (2008) mengukur tata kelola pemerintahan menggunakan enam
indikator. Keenam indikator tersebut antara lain: (1) keterbukaan dan akuntabilitas, (2)
stabilitas politik dan ketiadaan kekerasan/terorisme, (3) efektifitas pemerintahan, kualitas
peraturan, (5) penegakan hukum, dan (6) kontrol terhadap korupsi.
Menurut dokumen United Nations Development Program (UNDP), tata kelola
pemerintahan adalah penggunaan wewenang ekonomi politik dan administrasi guna
mengelola urusan-urusan negara pada semua tingkat. Tata pemerintahan mencakup seluruh
mekanisme, proses dan lembaga-lembaga di mana warga dan kelompok-kelompok
masyarakat mengutarakan kepentingan mereka, menggunakan hak hukum, memenuhi
kewajiban dan menjembatani perbedaan-perbedaan di antara mereka. Good
Governance menurut Bank Dunia adalah suatu penyelenggaraan manajemen pembangunan
yang solid dan bertanggung jawab yang sejalan dengan prinsip demokrasi dan pasar yang
efisien, penghindaran salah alokasi dana investasi, dan pencegahan korupsi baik secara
politik maupun administratif, menjalankan disiplin anggaran serta penciptaan legal and
political framework bagi tumbuhnya aktivitas usaha. Masyarakat Transparansi
mendefinisikan Good Governance sebagai pengelolaan pemerintahan yang baik. Kata „baik‟
disini dimaksudkan sebagai mengikuti kaidah-kaidah tertentu sesuai dengan prinsip-prinsip
dasar Good Governance. Tata kepemerintahan yang baik (good governance) menurut Buku
Pegangan Penyelenggaraan Pemerintahan dan Pembangunan Daerah (2007) merupakan suatu
konsepsi tentang penyelenggaraan pemerintahan yang bersih, demokratis dan efektif, serta di
dalamnya mengatur pola hubungan yang sinergis dan konstruktif antara pemerintah, dunia
usaha swasta dan masyarakat. Tata kepemerintahan yang baik meliputi tata kepemerintahan
untuk sektor publik (good public governance) yang merujuk pada lembaga penyelenggara
negara (eksekutif, legislatif dan yudikatif) dan tata kepemerintahan untuk dunia usaha swasta
(good corporate governance), serta adanya partisipasi aktif dari masyarakat (civil society).
Para pihak inilah yang sering disebut sebagai 3 (tiga) pilar penyangga penyelenggaraan
pemerintahan yang baik.
Gambar 4. Pola Interaksi Tiga Pilar Good Governance Sumber: KPPOD (2007)
good governance adalah masalah perimbangan antara negara, pasar dan masyarakat.
Memang sampai saat ini, sejumlah karakteristik kebaikan dari suatu governance lebih banyak
berkaitan dengan kinerja pemerintah. Pemerintah berkewajiban melakukan investasi untuk
mempromosikan tujuan ekonomi jangka panjang seperti pendidikan kesehatan dan
infrastuktur. Tetapi untuk mengimbangi negara, suatu masyarakat warga yang kompeten
dibutuhkan melalui diterapkannya sistem demokrasi, rule of law, hak asasi manusia, dan
dihargainya pluralisme. Good governance sangat terkait dengan dua hal yaitu (1) good
governance tidak dapat dibatasi hanya pada tujuan ekonomi dan (2) tujuan ekonomi pun tidak
dapat dicapai tanpa prasyarat politik tertentu.
Prinsip Good Governance
UNDP merekomendasikan beberapa karakteristik governance, yaitu legitimasi politik,
kerjasama dengan institusi masyarakat sipil, kebebasan berasosiasi dan berpartisipasi,
akuntabilitas birokratis dan keuangan (financial), manajemen sektor publik yang efisien,
kebebasan informasi dan ekspresi, sistem yudisial yang adil dan dapat dipercaya. Sedangkan
World Bank mengungkapkan sejumlah karakteristik good governance adalah masyarakat
sipil yang kuat dan partisipatoris, terbuka, pembuatan kebijakan yang dapat diprediksi,
eksekutif yang bertanggung jawab, birokrasi yang profesional dan aturan hukum. Masyarakat
Transparansi Indonesia menyebutkan sejumlah indikator seperti : transparansi, akuntabilitas,
kewajaran dan kesetaraan, kesinambungan, partisipasi masyarakat, tegaknya supremasi
hukum serta efektivitas dan efisiensi. Jelas bahwa terdapat berbagai prinsip yang melandasi
tata pemerintahan yang baik dari satu institusi ke institusi lain, dari satu pakar ke pakar
lainnya. Namun ada tiga prinsip utama yang melandasi good governance, yaitu Akuntabilitas,
Transparansi, dan Partisipasi Masyarakat.
Tata Kelola Ekonomi yang baik merupakan salah satu faktor untuk meningkatkan
pertumbuhan ekonomi, sehingga perlu di uraikan hubungan antara keduanya.
Hubungan Tata Kelola dan Pertumbuhan Ekonomi
Hubungan tata kelola pemerintahan dengan pertumbuhan ekonomi hingga kini masih
menjadi dilema. Namun, beberapa penelitian membuktikan bahwa ada hubungan kuat antara
tata kelola pemerintahan dengan pertumbuhan ekonomi. Rodrik et all (2004) meneliti
hubungan institusi, integrasi ekonomi (perdagangan internasional) dan geografi terhadap
pembangunan ekonomi di beberapa negara dengan menggunakan data cross section. Kualitas
institusi ditemukan memiliki dampak yang lebih besar terhadap tingkat akumulasi modal fisik
dibandingkan modal manusia. Semakin pentingnya peranan institusi mampu memberikan
insentif yang lebih kuat bagi para pelaku ekonomi untuk berinvestasi sehingga akumulasi
modal fisik meningkat yang akhirnya akan meningkatkan perekonomian. Studi empiris
lainnya dilakukan oleh Abdellatif (2003) menyimpulkan bahwa tata kelola pemerintahan
berhubungan positif dengan pertumbuhan ekonomi. Fakta menunjukkan ada hubungan yang
signifikan secara statistik antara kebebasan politik (tata kelola pemerintahan yang
demokratis) terhadap petumbuhan. Dalam model yang digunakan, tata kelola pemerintahan
yang demokratis mempengaruhi pertumbuhan dengan menghambat tindakan korupsi dan
meghendaki keterbukaan keuangan pemerintah kepada publik sehingga keuangan publik
dapat dipertanggungjawabkan. Tetapi, tata kelola pemerintahan yang demokratis berkorelasi
dengan pertumbuhan ekonomi hanya jika kualitas institusi meningkat. Jika tidak, tata kelola
pemerintahan yang demokratis hanya memberikan dampak yang kecil terhadap pertumbuhan.
Kaufmann dan Kraay (2002) memperkuat pemikiran bahwa hubungan antara tata kelola
pemerintahan dan pertumbuhan ekonomi dapat bersifat dua arah. Hasil penelitian tesebut
ditemukan hubungan sebab akibat yang positif yang kuat dari tata kelola pemerintahan
terhadap pertumbuhan.
Tata Kelola Ekonomi Daerah
Ada dua pihak yang secara garis besar berinteraksi dalam menentukan kinerja
perekonomian daerah yaitu pemerintah daerah dan pelaku usaha. Pemerintah daerah sebagai
pembuat kebijakan publik yang terkait dunia usaha memiliki peran yang besar dalam
penentuan bentuk kompetisi pasar di daerah. Sedangkan pelaku usaha sebagai pencipta nilai
tambah ekonomi turut menentukan kinerja perekonomian daerah melalui peranan investasi
yang berasal dari pemodalan swasta. Faktor Penggerak Produktivitas Daerah terbentuk pada
suatu daerah merupakan sebuah mekanisme dinamika yang terjadi pada sektor swasta. Hal ini
terlihat pada Gambar 5 di bawah. Kompetisi dan inovasi dari adanya kehadiran perusahaan
dan tenaga kerja yang berkualitas baik diharapkan dapat menciptakan tingkat investasi
tertentu. Peranan sektor swasta di daerah dapat menjadi faktor penggerak produktivitas
daerah yang mencerminkan keadaan berusaha yang baik. Berdasarkan hipotesis ini,
keberadaan perusahaan di kabupaten/kota tertentu menjadi sangat penting (KPPOD, 2007).
Gambar 5 Faktor Penggerak Produktivitas Perekonomian Daerah
Sumber: KPPOD 2007
Kebijakan Pemerintah Daerah terutama tercermin pada berbagai Peraturan Daerah
(PERDA), di antaranya perda tentang APBD. Melalui APBD yang merupakan alat kebijakan
utama, Pemda membuat kebijakan pengeluaran untuk memperbaiki kualitas pelayanan
publik. Di samping itu, melalui kebijakan pendapatannya, Pemda diharapkan mampu
mendorong kegiatan berusaha ekonomi sehingga diharapkan tercipta sejumlah pemasukan
yang berasal dari pajak dan retribusi daerah yang cukup memadai. Setelah fungsi pelayanan
publik mendapatkan perbaikan kualitas, maka tahapan berikutnya pada proses pembangunan
berkelanjutan adalah penciptaan keadaan berusaha yang mendukung pergerakan ekonomi
daerah. Pengembangan usaha swasta harus menjadi motor penggerak ekonomi lokal karena
APBD memiliki banyak keterbatasan dalam hal jumlah dan cakupan program pembangunan
yang dapat dibiayainya. Dengan berbagai bentuk kewenangan yang telah didesentralisasikan,
Pemda berperan besar dalam hal meningkatkan kompetisi antar perusahaan di daerah
bersangkutan dan mendorong berbagai inovasi yang berasal dari perkembangan praktek
berusaha yang mendorong kepada penggunaan teknologi.
Dalam penelitian ini selain melihat pengaruh TKED terhadap kinerja perekonomian
daerah, juga melihat bagaimana pengaruh proses perencanaan dan penganggaran APBD
sehingga perlu dibahas lebih lanjut perencanaan pembangunan daerah.
peningkatkan
kompetisi
mendorong insentif
positif bagi
keadaan berusaha
investasi
dimodal fisik
meningkat
kan tingkat
inovasi
perusahaan
PEMDA
Inovasi Kompetisi
Investasi
Keahlian manajemen
meningkatkan kinerja
kewirausahaan
dan bisnis daerah
perusahaan baru
meningkatkan
kompetisi pasar
perusahaan baru meningkat permintaan terhadap
tenaga kerja ahli
tingkat keahlian
mendorong
perusahaan
menggunakan dan
mengembangkan
teknologi baru
Keahlian Perusahaan
PEMDA
meningkatkan kompetisi pasar mendorong
tingkat inovasi
Perencanaan Pembangunan Daerah
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan
Pembangunan Nasional (SPPN), “Perencanaan adalah suatu proses untuk menentukan
tindakan masa depan yang tepat, melalui urutan pilihan, dengan memperhitungkan sumber
daya yang tersedia”. Sedangkan “Pembangunan Nasional adalah upaya yang dilaksanakan
oleh semua komponen bangsa dalam rangka mencapai tujuan bernegara”. Perencanaan secara
umum dapat diartikan sebagai usaha menentukan cara terbaik guna mencapai tujuan yang
telah ditetapkan. SPPN 2004 menetapkan ada lima dokumen perencanaan pembangunan yang
perlu disusun oleh badan perencana, baik pada tingkat nasional maupun tingkat daerah, yaitu
:
a. Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional/Daerah adalah dokumen
perencanaan jangka panjang untuk periode selama 20 tahun. Bersifat umum dan
menyeluruh seperti visi dan misi daerah serta arah pembangunan jangka panjang.
RPJP ini selanjutnya dijadikan dasar dalam penyusunan RPJM dan dokumen
perencanaan lainnya yang terkait.
b. Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional/Daerah adalah dokumen
perencanaan jangka menengah untuk periode 5 tahun ke depan yang berisikan jabaran
lebih kongkrit dari visi dan misi presiden (pada tingkat nasional) atau visi dan misi
kepala daerah (untuk tingkat propinsi, kabupaten, dan kota).
c. Rencana Strategis, lazim disebut sebagai Rencana Strategis Satuan Kerja Perangkat
Daerah yang berisikan jabaran dari visi dan misi kepala SKPD yang diturunkan dari
visi dan misi Kepala Daerah. Renstra SKPD lebih rinci sampai ke kegiatan karena
ruang lingkupnya lebih kecil, yaitu sesuai dengan Tugas Pokok dan Fungsi
(TUPOKSI) dari institusi bersangkutan. Renstra SKPD merupakan dokumen
perencanaan SKPD untuk periode 5 tahun.
d. Rencana Kerja Pemerinta/Rencana Kerja Pemerintah Daerah merupakan rencana
jabaran dari RPJM yang berisikan kebijakan, program, dan kegiatan untuk 1 tahun
(annual planning) sesuai dengan sumber daya yang tersedia pada tahun bersangkutan,
khususnya dana. RKPD selanjutnya dijadikan dasar untuk penyusunan Rencana
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (RAPBD).
e. Rencana Kerja Institusi (Renja) atau Rencana Kerja Satuan Kerja Perangkat Daerah
(Renja SKPD) juga merupakan rencana tahunan bersifat operasional yang isinya
merupakan jabaran dari Renstra yang dibuat oleh masing-masing SKPD sesuai
dengan tupoksinya.
Musrenbang dan Forum SKPD
Untuk menyusun Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKPD) yang berfungsi sebagai
dokumen perencanaan tahunan, Pemerintah Daerah menyelenggarakan forum Musyawarah
Perencanaan Pembangunan (Musrenbang) secara berjenjang, mulai dari tingkat
desa/kelurahan, kecamatan, hingga kabupaten/kota, termasuk penyelenggaraan Forum Satuan
Kerja Perangkat Daerah (Forum SKPD) di tingkat kabupaten.
Musrenbang adalah forum multi-pihak terbuka yang secara bersama mengindentifikasi
dan menentukan prioritas kebijakan pembangunan masyarakat. Kegiatan ini berfungsi
sebagai proses negosiasi, rekonsiliasi, dan harmonisasi perbedaan antara pemerintah dan
pemangku kepentingan non pemerintah, sekaligus mencapai konsensus bersama mengenai
prioritas kegiatan pembangunan berikut anggarannya. Selain itu, pada tingkat kecamatan dan
kabupaten/kota terdapat pula kegiatan serupa yang disebut Forum SKPD, yang membahas
sektor-sektor spesifik seperti kesehatan, dan pendidikan. Kegiatan ini memungkinkan setiap
SKPD memadukan program-program mereka dengan perspektif dan prioritas masyarakat.
Hasil dari Musrenbang kecamatan menjadi bahan diskusi pada Forum SKPD, dan hasilnya
kemudian dibawa ke Musrenbang kabupaten/kota untuk dibahas lebih lanjut.
Keterkaitan Antar Dokumen Perencanaan Pembangunan
Keterkaitan antara perencanaan pembangunan nasional dan daerah terdapat pada setiap
tingkatan perencanaan. Adanya otonomi dengan memberi kewenangan luas kepada Kepala
Daerah memerlukan koordinasi dan pengaturan untuk lebih mengharmoniskan dan
menyelaraskan pembangunan, baik pembangunan nasional, pembangunan daerah maupun
pembangunan antar daerah.
Konsep Keuangan Daerah
Menurut Mardiasmo (2002), anggaran merupakan pernyataan mengenai estimasi
kinerja yang hendak dicapai selama periode waktu tertentu yang dinyatakan dalam ukuran
finansial, sedangkan penganggaran adalah proses atau metode untuk mempersiapkan suatu
anggaran. Sistem anggaran kinerja pada dasarnya merupakan sistem yang mencakup kegiatan
penyusunan program dan tolok ukur kinerja sebagai instrumen untuk mencapai tujuan dan
sasaran program. Penetapan sistem anggaran kinerja dalam penyusunan anggaran dimulai
dengan perumusan program dan penyusunan struktur organisasi pemerintah yang sesuai
dengan program tersebut. Kegiatan tersebut mencakup pula penentuan unit kerja yang
bertanggung jawab atas pelaksanaan program, serta penentuan indikator kinerja yang
digunakan sebagai tolok ukur dalam mencapai tujuan program yang telah ditetapkan.
Anggaran menurut Freeman (2003) adalah sebuah proses yang dilakukan oleh
organisasi sektor publik untuk mengalokasikan sumber daya yang dimilikinya ke dalam
kebutuhan-kebutuhan yang tidak terbatas. Pengertian tersebut mengungkap peran strategis
anggaran selain pengelolaan kekayaan dalam organisasi sektor publik, organisasi sektor
publik tentunya berkeinginan memberikan pelayanan maksimal kepada masyarakat, tetapi
sering kali keinginan tersebut terkendala oleh terbatasnya sumber daya yang dimiliki
(Nordiawan, 2006).
Perencanaan dan penganggaran merupakan proses yang terintegrasi, oleh karenanya
output dari perencanaan adalah penganggaran. Perumusan program di dalam perencanaan
pada akhirnya berimplikasi pada besarnya kebutuhan anggaran yang harus disediakan,
sehingga keberhasilan penggunaan anggaran dimulai dari perencanaannya.
Prosedur Penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD)
Penyusunan APBD dimulai dari penentuan kerangka ekonomi makro dan pokok-pokok
kebijakan fiskal oleh Pemerintah. Dokumen ini disampaikan kepada DPR untuk dibahas
sebagai pembicaraan pendahuluan penyusunan Rancangan APBN. Sedangkan di tingkat
daerah, penyusunan APBD diawali oleh Pemerintah Daerah dengan menyusun Kebijakan
Umum APBD (KUA) sejalan dengan Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKPD). KUA
disampaikan kepada DPRD untuk dibahas sebagi pembicaraan pendahuluan Rancangan
APBD. Setelah kesepakatan antara Pemerintah dengan DPR atau Pemerintah Daerah dengan
DPRD pada pembicaraan pendahuluan, Pemerintah bersama Wakil Rakyat menyusun
Kebijakan Umum dan Prioritas dan Plafon Anggaran Sementara (PPAS) sebagai dasar bagi
tiap unit kerja untuk penyusunan Rencana Kerja Anggaran (RKA). Adapun sinkronisasi
penyusunan Rancangan Peraturan Daerah tentang APBD berdasarkan Undang-Undang
Nomor 17 Tahun 2003, Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004, Undang-Undang Nomor 32
Tahun 2004, dan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 (Gambar 7).
Gambar 6 Alur Perencanaan dan Penganggaran Sumber: UU No 25/2004, UU No 17/2003(BAPPENAS)
Konsep Konsistensi
Perencanaan dan penyusunan APBD tidak terlepas dari sistem perencanaan
pembangunan secara keseluruhan, penjelasan tentang perencanaan pembangunan dimuat
dalam Undang-Undang Nomor 25 tahun 2004 tentang sistem Perencanaan Pembangunan
Nasional sedangkan pengaturan bagaimana penyusunan APBD terdapat dalam Undang-
Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara. Dari kedua peraturan perundangan
tersebut yang harus benar-benar dipahami adalah bagaimana menterjemahkan dokumen
perencanaan pembangunan ke dalam dokumen penganggaran, pengalaman empiris selama ini
kesulitan terbesar dalam penyusunan APBD adalah menjaga tujuan perencanaan
pembangunan secara konsisten agar dapat diwujudkan melalui penganggaran yang tepat.
Konsistensi adalah terjemahan dari kata consistency yang berasal dari kata consistent
yang mengandung pengertian dalam hal ini konsisten adalah terhadap rencana dan anggaran
yang telah disepakati dalam dokumen perencanaan dan penganggaran. Bahkan pengertian
konsisten tidak sebatas itu, konsistensi antara aturan main dengan pelaksanaan, janji dengan
implementasi, peraturan yang lebih tinggi dengan peraturan yang lebih rendah, dan tidak ada
perlakuan diskriminatif dalam berbagai bidang. Namun dalam hal ini perencanaan yang
konsisten terjadi apabila terdapat kesinambungan program dan kegiatan dan sinkronisasi dan
sinergitas setiap program dan kegiatan.
UU No 25/2004 UU No
17/2003
Kinerja Pengelolaan Keuangan Daerah
Penilaian Kinerja
Solihin (2007) menyampaikan bahwa pengertian indikator kinerja adalah uraian
ringkas dengan menggunakan ukuran kuantitatif atau kualitatif yang mengindikasikan
pencapaian suatu sasaran atau tujuan yang telah disepakati dan ditetapkan.
Kegunaan/manfaat indikator kinerja adalah sebagai dasar penilaian kinerja, baik dalam
tahap perencanaan, pelaksanaan maupun setelahnya. Jenis-jenis indikator kinerja dapat
dikelompokkan sesuai proses pengelolaan anggaran (Solihin 2007) yang meliputi:
Indikator inputs, menggambarkan segala sesuatu yang dibutuhkan, baik berupa sumber dana,
sumber daya alam, sumber daya manusia maupun yang berupa teknologi dan informasi, agar
pelaksanaan kegiatan dapat berjalan untuk menghasilkan keluaran.
Indikator process, menggambarkan upaya yang dilakukan di dalam mengolah masukan
menjadi keluaran. Indikator ini umumnya dikaitkan dengan keterlibatan stakeholders
termasuk penerima manfaat serta dikaitkan dengan mekanisme pelaksanaannya, termasuk
koordinasi dan hubungan kerja antar organisasi.
Indikator output, indikator yang diharapkan langsung dicapai dari suatu kegiatan, baik
berupa fisik maupun berupa non-fisik.
Indikator outcome, menunjukkan telah dicapainya maksud dan tujuan dari kegiatan-
kegiatan yang telah selesai dilaksanakan atau indikator yang mencerminkan berfungsinya
keluaran kegiatan pada jangka menengah
Indikator benefit adalah indikator yang terkait dengan tujuan akhir dari pelaksanaan
kegiatan.
Indikator impacts, menunjukkan pengaruh baik positif maupun negatif yang
ditimbulkan pada setiap pelaksanaan kebijakan/program/kegiatan dan asumsi yang telah
ditetapkan.
Persyaratan Indikator Kinerja disebut baik apabila memenuhi kriteria SMART
(Spesific, Measureable, Acceptable, Realistic,Timely) (Solihin 2007):
a. Spesific (spesifik dan jelas) indikator kinerja yang disusun harus jelas, tepat dan sesuai
kebutuhan agar tidak ada kemungkinan kesalahan interpretasi.
b. Measureable (dapat diukur secara objektif) indikator kinerja yang disusun harus
menggambarkan sesuatu yang jelas ukurannya, menunjukkan tempat dan cara untuk
pencapaian indikator sesuai data dasar yang jelas.
c. Acceptable (dapat diterima), indikator kinerja yang ditetapkan maknanya harus dipahami
dan diterima oleh stakeholder pelaksana karena dinilai bermanfaat untuk kepentingan
pengambilan keputusan.
d. Realistic (realistis), indikator kinerja harus dapat dilaksanakan sesuai dengan
kemampuan dan ruang linkup kewenangan stakeholder pelaksana.
e. Time-dependent (rentang waktu), pencapaian indiktor kinerja yang disusun harus
didukung oleh ketersediaan waktu, jadwal pentahapan data yang dapat tersedia.
Penganggaran Berbasis Kinerja
Pendekatan kinerja disusun untuk mengatasi berbagai kekurangan yang terdapat dalam
pendekatan tradisional karena tidak adanya tolak ukur yang dapat digunakan untuk mengukur
kinerja dalam pencapaian tujuan dan sasaran pelayanan publik (Nordiawan, 2006).
Penggunaan anggaran berbasis kinerja secara teori dapat memberikan kelebihan
dibandingkan dengan pendekatan lain. Hasil pendekatan ini pengalokasian sumber daya yang
terbatas dimaksimalkan pada program yang bersifat prioritas dengan ukuran yang jelas untuk
kinerja yang ingin dicapai sehingga dapat dikatakan pendekatan kinerja dapat memberikan
pengaruh terhadap efisiensi alokasi anggaran.
Penganggaran berbasis kinerja adalah pendekatan penganggaran yang mengutamakan
upaya pencapaian hasil kerja atau output dari perencanaan alokasi biaya atau input.
Mahmudi (2005) mengatakan bahwa proses perencanaan dan pengendalian anggaran
didahului dengan tujuan oleh manajemen puncak dan penetapan strategi untuk mencapainya.
Tujuan merupakan hasil yang diinginkan sedangkan strategi adalah cara untuk mencapai
tujuan tersebut. Proses pengelolaan keuangan daerah terdiri dari beberapa tahap yaitu:
a. Perumusan strategi
b. Perencanaan strategik
c. Pembuatan program
d. Penganggaran
Kerangka Pengeluaran Jangka Menengah
Kerangka Pengeluaran Jangka Menengah (KPJM) menurut Salvatore Schiavo-Campo
dalam Managing Government Expenditure (1999) adalah seluruh kebijakan strategik
pemerintah di antara para pengguna anggaran dan tanggung jawab terbesar adalah
mengalokasikan sumber daya. Kunci keberhasilan KPJM adalah adanya mekanisme institusi
yang dapat memfasilitasi keseimbangan secara agregat untuk disandingkan prioritas dari
pemerintah.
Pendekatan kerangka pengeluaran jangka menengah merupakan pendekatan
penganggaran berdasarkan kebijakan, pengambilan keputusan berdasarkan kebijakan tersebut
dilakukan dalam perspektif lebih dari satu tahun anggaran dengan mempertimbangkan
implikasi biaya keputusan yang bersangkutan pada tahun berikutnya yang dituangkan dalam
prakiraan maju. Prakiraan maju merupakan perhitungan kebutuhan dana untuk tahun
anggaran berikutnya dari tahun yang direncanakan guna memastikan kesinambungan
program dan kegiatan yang telah disetujui dan menjadi dasar penyusunan anggaran tahun
berikutnya (Bappenas, 2009).
Studi-studi Terdahulu
Istiandari (2009) menganalisis tata kelola ekonomi daerah dan kesejahteraan
masyarakat di Indonesia dengan mengunakan metode OLS. Data yang digunakan dalam
penelitian tersebut adalah data sekunder. Data sekunder tersebut merupakan data cross
section dari 205 kabupaten dan kota di Indonesia. Data mengenai tata kelola ekonomi daerah
tahun 2007 yang diperoleh dari KPPOD, data Pendapatan Asli Daerah tahun 2006 diperoleh
dari Departemen Keuangan RI serta Indeks Pembangunan Manusia (IPM) tahun 2005 dari
Badan Pusat Statistik. Dari pengujian secara ekonometri terlihat bahwa terdapat indikasi
suatu daerah harus mencapai tingkat pelaksanaan tata kelola ekonomi daerah tertentu agar
tata kelola ekonomi mampu berdampak positif terhadap tingkat kesejahteraan masyarakat di
daerah yang bersangkutan. Selain itu juga, ditemukan indikasi bahwa tata kelola ekonomi
daerah lebih cepat dirasakan dampaknya terhadap laju pertumbuhan pendapatan regional di
wilayah kota dibandingkan dengan wilayah kabupaten. Namun demikian, tata kelola ekonomi
daerah kurang lebih memiliki efek yang sama terhadap proporsi penduduk miskin baik di
wilayah kota maupun kabupaten. Mengingat masih terdapat kesenjangan dalam pelaksanaan
tata kelola ekonomi daerah yang ditunjukkan oleh masih cukup banyak daerah yang belum
mencapai nilai indeks tata kelola ekonomi tertentu, maka khususnya bagi daerah yang masih
memiliki tingkat pelaksanaan tata kelola ekonomi yang kurang, agar perlu ditingkatkan
kualitas tata kelola ekonomi di daerah tersebut supaya dampak positif dari tata kelola
ekonomi daerah terhadap kesejahteraan masyarakat dapat dirasakan di daerah-daerah yang
bersangkutan.
Januar (2009) yang menganalisis keterkaitan iklim investasi berdasarkan persepsi
pelaku usaha dan realisasi investasi pada kasus provinsi Jawa Barat dengan mengunakan
metode OLS. Data yang digunakan dalam penelitian tersebut adalah data sekunder. Data
sekunder tersebut merupakan data cross section dari data sembilan indikator iklim investasi
berdasarkan persepsi pelaku usaha di 25 kabupaten dan kota di Provinsi Jawa Barat tahun
2007 yang diperoleh dari KPPOD serta data realisasi investasi Provinsi Jawa Barat tahun
2007 yang diperoleh dari Badan Koordinasi Promosi dan Penanaman Modal Daerah
(BKPPMD) Provinsi Jawa Barat. Hasil penelitian ini menyimpulkan bahwa secara
keseluruhan pelaku usaha menilai iklim usaha di Provinsi Jawa Barat sudah cukup kondusif
yang terlihat dari nilai indeks TKED yang berada di atas nilai 50 persen. Lima kabupaten dan
kota yang memiliki iklim investasi paling kondusif di Provinsi Jawa Barat, yaitu Kabupaten
Ciamis, Kota Banjar, Kabupaten Kuningan, Kabupaten Karawang, dan Kabupaten
Sumedang. Namun pada kenyataannya, iklim investasi tersebut kurang mampu mendorong
realisasi investasi di Provinsi Jawa Barat. Hal ini terlihat dari menurunnya jumlah investasi
tahun 2007 jika dibandingkan dengan jumlah investasi tahun 2006. Jika dilihat berdasarkan
distribusi penyebaran investasi di Provinsi Jawa Barat, hanya ada 16 kabupaten dan kota yang
mendapatkan realisasi investasi tersebut. Ada lima kabupaten di Provinsi Jawa Barat yang
mendapatkan realisasi investasi terbesar, yaitu Kabupaten Karawang, Kabupaten Bekasi,
Kabupaten Bogor, Kabupaten Cirebon, dan Kabupaten Purwakarta. Ada lima indikator iklim
investasi berdasarkan pelaku usaha dalam penelitian ini yang berpengaruh signifikan terhadap
realisasi investasi di Jawa Barat. Kelima indikator tersebut adalah indikator interaksi pemda
dan pelaku usaha, indikator program pengembangan usaha swasta, dan indikator pajak
daerah, retribusi daerah dan biaya transaksi lain berpengaruh negatif terhadap realisasi
investasi di Provinsi Jawa Barat. Sedangkan indikator kapasitas dan integritas kepala daerah
dan indikator kualitas peraturan daerah berpengaruh positif terhadap realisasi investasi di
Provinsi Jawa Barat.
McCulloch dan Malesky (2010) berusaha menjawab apakah Tata Kelola
Pemerintahan Daerah yang lebih baik meningkatkan Kinerja Pertumbuhan Ekonomi Daerah
di Indonesia? Data yang digunakan dalam penelitian tersebut merupakan data sekunder yang
berasal dari dua sumber utama, yaitu data survei resmi dari Badan Pusat Statistik (BPS) dan
data Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) mengenai kualitas tata
kelola ekonomi daerah. Pengukuran utama terhadap kinerja perekonomian adalah Produk
Domestik Bruto (PDB) di tingkat daerah, baik termasuk minyak dan gas maupun tidak
termasuk minyak dan gas. Metode analisis yang digunakan adalah model regresi berganda
dan model panel dengan menggunakan Indeks TKED tahun 2007. Hasil analisis
menunjukkan bahwa hubungan antara tata kelola pemerintahan daerah dan pertumbuhan
daerah lebih rumit dari pandangan sekilas. Secara mengejutkan penelitian ini mengemukakan
bahwa hanya sedikit atau bahkan tidak ada hubungan statistik yang signifikan antara berbagai
pengukuran tipikal tata kelola perekonomian daerah dengan kinerja pertumbuhan daerah.
Hasil tersebut didorong oleh beberapa kemungkinan, yakni rendahnya kualitas data, hasil
penelitian tersebut ditutupi karena beberapa variabel struktural yang mempengaruhi
pertumbuhan, juga berpengaruh terhadap kualitas tata kelola pemerintahan daerah, tetapi
tidak harus ke arah yang sama.
Irawan (2009) meneliti pengaruh penganggaran berbasis kinerja dan efektivitas
pengendalian keuangan terhadap kinerja keuangan pada pemerintah daerah di propinsi Jawa
Barat. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penganggaran berbasis kinerja dan efektivitas
pengendalian keuangan mempunyai pengaruh cukup kuat terhadap kinerja keuangan di
kabupaten/kota di Jawa Barat.
Rosmana (2010) meneliti tentang pengaruh implementasi kerangka pengeluaran jangka
menengah, penganggaran terpadu dan penganggaran kinerja terhadap implementasi anggaran
dan prinsip-prinsip tata kelola pemerintahan yang baik serta implementasinya terhadap
kinerja keuangan pemerintah daerah di propinsi jawa tengah. Penelitian ini dilakukan dengan
metode sensus pada 36 kabupaten/kota di Jawa Tengah. Data yang digunakan adalah data
primer dan sekunder. Pengumpulan data primer diperoleh melalui quesioner, data sekunder
dengan menggunakan hasil laporan audit laporan keuangan pemerintah daerah oleh badan
pemeriksa keuangan (BPK). Responden penelitian adalah pejabat pengelola keuangan daerah.
Hasil dari penelitian tersebut adalah: terdapat hubungan yang tinggi antara implementasi
pendekatan KPJM, penganggaran terpadu, dan penganggaran berbasis kinerja. implementasi
KPJM penganggaran terpadu dan penganggaran berbasis kinerja berpengaruh secara simultan
maupun parsial terhadap implementasi anggaran pemerintah daerah. Implementasi KPJM,
penganggaran terpadu, penganggaran berbasis kinerja dan implementasi anggaran
pemerintah daerah secara simultan maupun parsial terhadap prinsip-prinsip tata kelola
pemerintah daerah yang baik.
Agus dan Rasida (2011) meneliti masalah pengaruh penganggaran berbasis kinerja
dan kerangka pengeluaran jangka menengah terhadap efisiensi operasional. Hasil yang
didapat adalah : implementasi penganggaran berbasis kinerja dan kerangka pengeluaran
jangka menengah pada satuan kerja secara rata-rata kurang/rendah, implementasi
penganggaran berbasis kinerja berpengaruh terhadap operasional efisiensi. Jadi semakin baik
penganggaran berbasis kinerja, maka akan meningkatkan efisiensi operasional. Implementasi
kerangka pengeluaran jangka menengah berpengaruh terhadap efisiensi operasional. Hal ini
mengandung makna bahwa kerangka pengeluaran jangka menengah cukup kuat untuk
meningkatkan operasional efisiensi.
Sutarsono (2012) meneliti masalah hubungan tatakelola pemerintahan, infrastruktur
dan pertumbuhan di Indonesia. Hasil yang didapatkan adalah Kualitas institusi daerah dan
penyediaan infrastruktur baik jalan, air bersih, maupun listrik di Indonesia belum merata,
baik antar wilayah administrasi maupun geografis. Kualitas institusi dan penyediaan
infrastruktur di kota lebih baik dibandingkan kabupaten, dan kabupaten/kota di Jawa lebih
baik dibandingkan kabupaten/kota di luar Jawa. Tata kelola pemerintahan daerah secara
disagregat mempunyai pengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi, baik secara langsung
maupun tidak langsung melalui penyediaan infrastruktur jalan dan listrik. Hal ini menjawab
mengapa hubungan secara agregat dan langsung penelitian sebelumnya tidak diketemukan
hubungan yang signifikan.
Santi (2012) meneliti masalah keterkaitan antara tata kelola pemerintahan dengan
realisasi investasi di kabupaten/kota Jawa Timur. Hasil yang didapatkan adalah variabel-
variabel yang berhubungan positif terhadap PMDN maupun PMA antara lain tingkat
kebijakan non diskriminatif Pemda, interaksi Pemda yang kecil hambatannya terhadap pelaku
usaha, pelayanan izin usaha yang bebas pungli, izin usaha yang kecil hambatannya terhadap
kinerja perusahaan, dampak PPUS terhadap kinerja perusahaan, kapasitas integritas
bupati/walikota yang kecil hambatannya terhadap dunia usaha, biaya transaksi yang kecil
hambatannya terhadap dunia usaha, kualitas infrastruktur jalan dan infrastruktur yang kecil
hambatannya terhadap dunia usaha. Variabel tata kelola yang berhubungan negatif terhadap
PMA maupun PMDN antara lain: penggusuran lahan oleh Pemda, tingkat pemecahan
masalah oleh Pemda, pengaruh kebijakan pemda terhadap pengeluaran usaha, tingkat
kepastian hukum terkait dunia usaha, tingkat dukungan Pemda terhadap pelaku usaha daerah,
tingkat kebijakan Pemda yang mendorong iklim investasi, pelayanan izin usaha belum bebas
KKN, ketegasan kepala daerah terhadap korupsi birokratnya, tindakan kepala daerah yang
menguntungkan dirinya sendiri, kualitas penanganan masalah kriminal oleh polisi, kualitas
penanganan kasus demonstrasi buruh oleh polisi.
Kebaruan Penelitian (Novelty)
I. Tidak menggunakan indeks komposit TKED seperti yag dilakukan oleh Mc Culloch
dan Malesky (2010) tetapi menggunakan variabel indikator TKED, sehingga secara
metodologi berbeda.
II. Dalam menganalisis kinerja perekonomian daerah memasukkan pengaruh proses
perencanaan dan penganggaran sehingga dimensinya lebih luas.