Post on 15-Feb-2018
3
2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Deskripsi, Klasifikasi dan Komposisi Kimia Ikan Bandeng
Deskripsi dan klasifikasi merupakan bagian yang penting dalam
mempelajari suatu jenis ikan.
2.1.1 Deskripsi dan klasifikasi ikan bandeng
Bandeng (Gambar 1) mampu mentolelir salinitas perairan yang luas (0-
158 ppt) sehingga digolongkan sebagai ikan eurihalin. Ikan muda dan dewasa
dapat menyesuaikan diri pada perubahan salinitas. Ikan ini juga dapat bertahan
pada perubahan jumlah makanan yang tiba-tiba. Makanan alami mereka adalah
bentos dan fitoplankton. Ikan bandeng mampu beradaptasi terhadap perubahan
lingkungan yakni suhu, pH, dan kekeruhan air serta tahan terhadap serangan
penyakit (Schuster 1959; Ghufron dan Kardi 1997).
Klasifikasi ikan bandeng menurut Saanin (1984) adalah sebagai berikut :
Filum : Chordata
Subfilum : Vertebrata
Kelas : Pisces
Subkelas : Teleostei
Ordo : Malacopterygii
Famili : Chanidae
Genus : Chanos
Spesies : Chanos chanos
Tipe ikan bandeng yang ditemukan di Indonesia memiliki ciri dengan
adanya perpanjangan sirip dorsal dan pektoral. Tipe ikan dengan perpanjangan ini
hanya ditemukan di Indonesia (Schuster 1959).
Gambar 1 Ikan bandeng (Chanos chanos) (FAO 2011).
4
Swanson (1998) menyatakan bahwa kadar garam perairan (salinitas)
berpengaruh terhadap fisiologi dan tingkah laku ikan. Pertumbuhan ikan yang
lebih tinggi pada salinitas 50‰ dibandingkan salinitas 35‰ dan pertumbuhannya
sedang pada salinitas 15‰, sedangkan aktivitas paling tinggi ditunjukkan ikan
dengan salinitas air 35‰. Pola yang bervariasi tersebut berhubungan dengan laju
metabolisme ikan dengan kisaran salinitas yang relatif tinggi, yaitu 15‰ dan
55‰.
Toleransinya yang besar terhadap salinitas tersebut sangat menguntungkan
petani ikan. Ikan bandeng juga dapat dibudidaya secara polikultur. Suharyanto
(2008) melakukan penelitian tentang kemungkinan polikultur rajungan
(Portunus pelagius), udang vanamei (Litopenaeus vannamei), ikan bandeng
(Chanos chanos), dan rumput laut (Gracilari sp.) di tambak dan pakan yang
diberikan ikan rucah (Clupea sp.) selama 105 hari mendapatkan hasil, produksi
rajungan adalah 32,6% (18 kg), udang vanamei 70% (10%), ikan bandeng 100%
(30 kg), dan rumput laut 125% (36,25 kg).
Temperatur adalah faktor utama yang bertanggung jawab terhadap
pembatasan habitat spesies pada daerah tropis dan subtropis di Samudera Hindia
dan Pasifik. Batas maksimal toleransi suhu Chanos chanos di atas spesies laut
lainnya, Chanos chanos dapat bertahan pada suhu di atas 40 ºC (Schuster 1959).
Chanos chanos juga ditemukan di pantai-pantai sekitar Laut Merah, pantai
timur Afrika termasuk Zanzibar dan Madagaskar, Teluk Aden, pantai barat daya,
selatan dan barat India, pantai Ceylon, Malaysia, Thailand, Vietnam dan Taiwan,
perairan antara Filipina dan Indonesia, pantai-pantai di Australia, New Zealand,
New Guinea, Fiji, Samoa, the Society, Gilbert, Lau dan Pulau Tuamoto,
kepulauan Hawai, pantai barat USA (selatan San Francisco), teluk California dan
pantai Meksiko. Berdasarkan informasi ini, sebaran geografis spesies ini adalah
dari 40º BT-100º BB dan 30º-40º LU sampai 30º-40º LS (Schuster 1959).
2.1.2 Komposisi kimia ikan bandeng
Ikan merupakan pangan yang bergizi. Tabel 1 menunjukkan komposisi
kimia ikan bandeng.
5
Tabel 1 Komposisi kimia ikan bandeng (Chanos chanos)
Zat gizi Jumlah Satuan
Kalori 126 Kalori
Protein 17,4 Gram
Lemak 5,7 Gram
Air 60,2 Gram
Kalsium 43,4 Milligram
Fosfor 138 Milligram
Besi 0,3 Milligram
Vitamin A 85 Milligram
Vitamin B6 0,4 Milligram
Vitamin B12 2,9 Milligram
Sumber: www.nutritiondata.com (2007)
Jaringan ikan sebagian besar terdiri dari protein. Kandungan protein dalam
daging ikan sehat adalah 16-18%. Protein ditemukan di dalam semua sel dan
semua bagian sel (Lehninger 1982; Burgess et al. 1967). Satu molekul protein
dapat terdiri dari 12 sampai 18 macam asam amino dan dapat mencapai jumlah
ratusan dari setiap macam asam aminonya. Berdasarkan kelarutannya dalam air,
protein dapat digolongkan menjadi tiga macam, yaitu protein miofibril, protein
sarkoplasma, dan protein stroma (Suhardjo dan Kusharto 1987; Muchtadi et al.
1993).
Protein miofibril merupakan bagian terbesar dalam jaringan daging dan
merupakan jenis protein yang larut dalam larutan garam. Protein ini terdiri dari
miosin, aktin, dan protein regulasi (tropomiosin, troponin, dan aktin). Penyusun
utama protein miofibril adalah aktin (hampir 20% dari total miofibril) dan miosin
(sebesar 50-60% dari total protein miofibril). Gabungan aktin dan miosin
membentuk aktomiosin. Miosin merupakan protein esensial yang dapat
meningkatkan elastisitas gel protein. Protein miofibril berfungsi untuk kontraksi
otot (Muchadi et al. 1993; Suzuki 1981). Menurut Nurjanah et al. (2004), protein
larut garam pada ikan merupakan protein miofibril. Kadar miofibril dalam daging
ikan 65-75% yang terdiri dari miosin, aktin, dan komponen minor lainnya.
Sarkoplasma merupakan protein terbesar kedua di dalam protein daging, memiliki
6
sifat larut dalam air dan secara umum ditemukan dalam plasma sel. Protein
sarkoplasma tidak berperan dalam pembentukan gel dan kemungkinan
mengganggu pembentukan gel (Hall dan Ahmad 1992). Sarkoplasma memiliki
bobot molekul yang relatif rendah, pH isoelektrik tinggi dan struktur berbentuk
bulat. Karakteristik fisik ini mungkin yang bertanggung jawab untuk daya larut
sarkoplasma yang tinggi dalam air (Muchtadi et al.1993). Protein stroma adalah
protein yang membentuk jaringan ikat. Protein stroma tidak dapat diekstrak
dengan larutan asam, alkali atau larutan garam netral pada konsentrasi
(0,01-0,10) M. Protein stroma terdapat pada bagian luar sel otot. Selain protein
stroma, protein kontraktil, seperti konektin dan desmin juga tidak dapat terekstrak
(Suzuki 1981).
Analisis protein untuk bahan pangan, umumnya lebih ditujukan pada
kadar total protein daripada keberadaan protein spesifik dalam bahan pangan
tersebut. Jumlah gram protein dalam bahan pangan biasanya dihitung sebagai
hasil perkalian jumlah gram nitrogen dengan faktor 6,25 dan kadar protein yang
dilaporkan adalah kadar protein kasar (crude protein) (Danitasari 2010).
Kandungan lemak pada suatu makanan dapat rendah maupun tinggi hal
tersebut tergantung pada bahannya. Asam lemak dibagi menjadi dua golongan,
yaitu asam lemak jenuh dan tak jenuh, asam lemak jenuh bertitik leleh lebih tinggi
dibandingkan dengan asam lemak tidak jenuh (deMan 1997). Asam lemak tak
jenuh yang mengandung satu ikatan rangkap disebut asam lemak tak jenuh
tunggal (Monounsaturated fatty acid/MUFA). Asam lemak yang mengandung dua
atau lebih ikatan rangkap disebut asam lemak tak jenuh majemuk
(Polyunsaturated fatty acid/PUFA) (Muchtadi et al. 1993).
Asam lemak yang mengandung dua atau lebih ikatan rangkap disebut
asam lemak tak jenuh majemuk. Asam lemak tidak jenuh umumnya terdapat
dalam bentuk cis, sedangkan bentuk trans banyak terdapat pada asam lemak susu
ruminansia pada hewan teresterial dan lemak yang telah dihidrogenasi
(Muchtadi et al. 1993). Lemak daging ikan mengandung asam-asam lemak jenuh
dengan panjang rantai C14-C22 dan asam lemak tidak jenuh dengan jumlah ikatan
1-6. Lemak ikan berbeda dengan lemak pada tanaman dan hewan darat. Lemak
7
tanaman dan hewan darat jarang yang memiliki asam lemak dengan rantai karbon
lebih dari 18 (Adawyah 2006; Nurjanah dan Abdullah 2010).
Ikan tidak makan terlalu banyak karbohidrat, tetapi makanan mereka
mengandung banyak protein dan lemak. Ketiga jenis makanan, karbohidrat, lemak
dan protein dapat digunakan sebagai bahan bakar untuk memenuhi kebutuhan
energi. Jika total pemasukan makanan kurang dari total kebutuhan energi yang
dibutuhkan, maka jaringan lemak akan digunakan untuk melengkapinya. Lemak
tidak dapat menggantikan protein yang dibutuhkan untuk pertumbuhan tetapi
dapat menjaga cadangan protein (Burgess et al. 1967).
Karbohidrat dalam daging ikan merupakan polisakarida yaitu glikogen
yang terdapat dalam sarkoplasma diantara miofibril-miofibril. Glikogen terdapat
dalam jumlah jumlah terbanyak dari karbohidrat yang terdapat pada daging ikan
yaitu 0,05 – 0,085 %, selain itu terdapat juga glukosa (0,038 %), asam laktat
(0,005 – 0,43 %) dan berbagai senyawa antara dalam metabolisme karbohidrat
(Hadiwiyoto 1993).
Mineral dalam makanan ditentukan dengan pengabuan atau insinerasi
(pembakaran). Pada proses pembakaran yang terbakar adalah bahan-bahan
organik karena itulah disebut abu (deMan 1997; Winarno 1992). Akan tetapi
mineral yang didapat dengan pembakaran tidak mengandung nitrogen yang ada
dalam protein, sehingga jumlahnya berbeda dengan kandungan mineral bahan
yang sebenarnya. Karbonat dalam abu dapat dibentuk karena penguraian bahan
organik. Beberapa unsur sesepora (trace elements) dan beberapa garam dapat
hilang karena penguapan. Oleh karena itu, jumlah mineral dalam makanan
bergantung kepada metode analisisnya (deMan 1997).
Mineral dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu komponen garam utama
dan unsur sesepora (trace elements). Komponen garam utama mencakup kalium,
natrium, kalsium, magnesium, klorida, sulfat, fosfat, dan bikarbonat. Unsur
sesepora dapat dibagi menjadi tiga golongan yang pertama adalah unsur gizi
esensia, termasuk Fe, Cu, I, Co, Mn, dan Zn, yang kedua adalah unsur gizi
nontoksik, termasuk Al, B, Ni, Sn, dan Cr, dan yang terakhir adalah unsur nongizi
dan toksik, termasuk Hg, Pb, As, Cd, dan Sb (deMan 1997).
8
Vitamin yang terdapat pada daging ikan terbagi menjadi dua golongan,
yaitu vitamin yang larut dalam air seperti vitamin B kompleks dan vitamin yang
larut dalam lemak seperti vitamin A, D, dan E. Vitamin A dan D banyak
ditemukan pada spesies-spesies ikan berlemak, terutama dalam hati, seperti pada
ikan cod (Junianto 2003).
2.2 Kemunduran Mutu Ikan
Ikan merupakan bahan pangan yang mudah mengalami kerusakan dan
kemunduran mutu (perishable food). Kerusakan ini dapat terjadi secara
biokimiawi maupun mikrobiologi. Proses kerusakan ikan ini berlangsung cepat
terutama di daerah tropis yang mempunyai kelembaban harian yang tinggi. Proses
tersebut dipercepat dengan praktek-praktek penangkapan atau pemanenan yang
tidak baik, cara penanganan yang kurang tepat, sanitasi dan higiene yang tidak
memadai, terbatasnya sarana distribusi dan sarana pemasaran dan sebagainya
(Yuniarti 2010).
Menurut Eskin (1990) ikan yang telah mati akan mengalami perubahan-
perubahan yang mengakibatkan penurunan mutu ikan. Perubahan biokimia dan
fisikokimia mengakibatkan turunnya kesegaran ikan. Proses perubahan tersebut
dibagi menjadi tiga tahap, yaitu pre rigor, rigor mortis dan post rigor. Jika masih
ingin dilanjutkan penyimpanan ikan yang telah mencapai fase post rigor
selanjutnya ikan akan masuk pada kebusukan. Ikan yang busuk sudah tidak layak
konsumsi lagi, biasanya ikan ini hanya digunakan sebagai tepung ikan.
Kondisi daging ikan pada fase pre rigor masih lembut dan lunak, dan
secara kimiawi ditandai dengan penurunan jumlah ATP dan kreatin fosfat, seperti
halnya pada reaksi aktif glikolisis. Sirkulasi darah berhenti pada awal kematian
dan terjadi perubahan susunan yang kompleks pada daging. Sirkulasi darah yang
terhenti pada ikan mati akan mengakibatkan habisnya aliran oksigen di dalam
jaringan. Tahap berikutnya adalah terjadinya perubahan ATP yang telah terbentuk
selama ikan masih hidup sebagai sumber energi, sehingga sumber ATP semakin
berkurang. Adenosin trifosfat (ATP) mengalami perubahan akibat aktivitas enzim
ATPase, bersamaan dengan itu glikogen akan diurai menjadi asam laktat. Proses
ini menyebabkan terjadinya akumulasi asam laktat sehingga pH jaringan otot ikan
akan terus menurun, kondisi ini disebut rigor mortis. Rigor mortis ditandai dengan
9
keadaan otot yang kaku dan keras. Lamanya tahap rigor dipengaruhi oleh
kandungan glikogen dalam tubuh ikan dan suhu lingkungan. Kandungan glikogen
yang tinggi dapat menunda datangnya proses rigor. Pada fase rigor mortis terjadi
penurunan kelenturan otot terus berlangsung seiring dengan semakin sedikitnya
jumlah ATP. Kelenturan otot yang hilang ini diakibatkan ion Ca2+
yang berikatan
dengan protein troponin sehingga menyebabkan terjadinya ikatan elektrostatik
antara filamen aktin dan miosin (aktomiosin) yang ditandai dengan terjadinya
pengkerutan atau kontraksi serabut otot yang tidak dapat balik (irreversible).
Adenosin trifosfat merupakan sumber energi tertinggi bagi aktivitas ikan. Pada
ikan mati, ATP diperoleh dari penguraian kreatin fosfat. Kemudian ATP mulai
mengalami penguraian ketika kandungan kreatin fosfat dan ATP mencapai titik
yang sama. Hidrolisis ATP menjadi ADP dengan bantuan enzim ATPase akan
menghasilkan energi. Penguraian tersebut terjadi berdasarkan reaksi berikut ini
(Eskin 1990):
ATP + H2O ATPase ADP + H3PO4
Otot ikan ketika baru mati memiliki pH netral atau sedikit basa. Selama
rigor mortis, nilai pH perlahan-lahan turun menjadi 6,2-6,5 karena akumulasi
asam laktat. Kandungan glikogen yang lebih banyak pada otot ikan mati akan
memperpanjang fase rigor mortis (Govidan 1985). Penguraian ATP berkaitan erat
dengan terjadinya rigor mortis. Pada saat ATP mulai mengalami penurunan, rigor
mortis pun mulai terjadi dan mencapai kejang penuh (full-rigor) ketika kandungan
ATP sekitar 1 µmol/g. Energi pada jaringan otot ikan setelah mati diperoleh
secara anaerobik dari pemecahan glikogen melalui proses glikolisis menghasilkan
ATP dan asam laktat. Akumulasi asam laktat selain menurunkan pH otot, juga
diikuti oleh peristiwa rigor mortis (Eskin 1990).
Fase post rigor terjadi pada saat otot ikan melunak setelah melewati fase
rigor mortis terjadi kenaikan pH ikan secara perlahan-lahan dengan meningkatnya
laju perubahan autolitik yang ditandai dengan proses pelunakan daging ikan
(Govidan 1985). Serabut otot daging ikan hidup mengandung protein dalam gel
lunak. Selama rigor, gel ini menjadi kaku dan bila rigor telah berlalu, otot daging
menjadi lunak, keadaan ini berlangsung selama 1-7 jam sesaat setelah ikan mati.
10
Nilai pH daging ikan pada fase ini sekitar 6-7. Kelenturan ikan yang hilang
tersebut karena terbentuknya aktomiosin yang berlangsung lambat pada tahap
awal dan kemudian menjadi cepat pada tahap selanjutnya. Lama tahap rigor
dipengaruhi oleh kandungan glikogen dalam tubuh ikan dan suhu lingkungannya.
Kandungan glikogen yang tinggi dapat menunda datangnya proses rigor (Eskin
1990). Penguraian protein daging ikan karena aktivitas enzim proteolitik
mengakibatkan daging ikan menjadi lunak, mudah dilepaskan dari tulang,
kehilangan elastisitasnya, dan meninggalkan bekas jari pada saat ditekan
(Govidan 1985).
Reaksi kimiawi yang terjadi selama proses kemunduran kesegaran ikan
adalah penguraian lemak oleh aktivitas enzim jaringan tubuh dan enzim yng
dihasilkan oleh bakteri serta berlangsung akibat oksidasi dengan adanya oksigen
menjadi asam lemak. Akibat dari reaksi ini adalah terjadinya ketengikan,
perubahan warna daging menjadi pucat yang mengarah pada rasa, bau dan
perubahan lain yang tidak dikehendaki. Geesink et al. (2006) melakukan
penelitian mengenai peran µ-kalpain terhadap proteolisis post mortem pada
protein otot menghasilkan kesimpulan bahwa µ-kalpain memiliki peran yang
sangat besar dalam aktivitas proteolisis post mortem.
Mikroorganisme dominan yang berperan penting di dalam proses
penurunan kesegaran ikan adalah bakteri. Pada daging ikan yang masih segar
bakteri dapat ditemukan di permukaan kulit, insang, dan saluran pencernaan. Pada
ikan mati, bakteri yang terkonsentrasi pada ketiga tempat tersebut perlahan-lahan
berpenetrasi dan bergerak aktif menyebar ke seluruh jaringan dan organ ikan
selanjutnya mulai dijadikan tempat berkembangnya bakteri. Dekomposisi berjalan
intensif, khususnya setelah ikan melewati fase rigor mortis, saat itu jaringan otot
longgar dan jarak antar serta diisi oleh cairan (Irianto dan Giyatmi 2009).
2.3 Histologi
Histologi (Histos = jaringan, Logos = ilmu) mempelajari struktur jaringan
tubuh hewan. Histologi adalah ilmu yang mempelajari struktur dari hewan atau
tumbuhan secara terperinci dan hubungan antara pengorganisasian sel dan
jaringan serta fungsi-fungsi yang dilakukannya. Histologi dapat juga disebut
sebagai ilmu anatomi mikroskopis (Hartono 1989).
11
2.3.1 Jaringan otot
Peranan jaringan otot yang utama ialah sebagai alat gerak, karena sifatnya
yang mampu berkontraksi. Kontraksi dapat berlangsung bila ada rangsangan
(stimulus) dari syaraf atau pengaruh lain (Hartono 1989). Ikan seperti juga
vertebrata lainnya memiliki tiga tipe sel otot: (1) lurik, tidak bercabang, bekerja
secara sadar; (2) otot jantung yang terdiri dari serabut otot bercabang dan (3) otot
halus yang bekerja secara tidak sadar. Otot lurik dibagi menjadi dua jenis, yaitu
merah and putih. Otot merah (Gambar 2) memiliki jumlah mitokondria dan
aktivitas respirasi yang lebih besar dibandingkan dengan otot putih (Gambar 3)
(Morrison et al. 2007).
Gambar 2 Otot merah ikan (Morrison et al. 2007).
Gambar 3 Otot putih ikan (Morrison et al. 2007).
12
2.3.2 Mata
Mata terdiri dari tiga bagian dasar atau lapisan (Gambar 4). Bagian paling
luar disebut fibrous tunic, yang dibagi menjadi kornea dan sklera. Fibrous tunic
memberikan mata bentuk yang cocok sebagai sistem visual. Bagian luar dari
fibrous tunic adalah kornea yang transparan sehingga memungkinkan cahaya
masuk dan bentuknya cocok sebagai refraktor (pembelok) cahaya dengan tepat
menuju retina mata (Samuelson 2007).
Bagian tengah mata (Gambar 4) terdapat uvea atau vaskular tunic atau
pembungkus yang terdiri dari koroid, ciliary body dan iris. Koroid terletak pada
pertengahan posterior mata diantara sklera dan retina. Fungsi koroid adalah
menyediakan makanan untuk retina yang sangat tinggi metabolismenya. Ciliary
body berfungsi sebagai tempat pelekatan lensa dan tempat produksi cairan
aqueous humor. Bagian anterior dari vaskular tunic adalah iris, yaitu
perpanjangan ciliary body. Iris sangat kaya pigmen dan otot (pupil) yang mampu
mengatur jumlah cahaya untuk masuk ke bagian posterior (retina). Bagian ketiga
dan yang paling sentral adalah retina (Gambar 5) dan saraf optik. Retina terdiri
dari sel-sel sensitif cahaya dan fotoreseptor yang mentransmisikan rangsangan
kepada otak melalui saraf optik. Bagian lainnya dari mata adalah cairan
intraokular yang terdiri dari vitreous dan aquaeos humor yang bersama-sama
menciptakan sebuah medium transparan untuk mentransmisikan cahaya
(Samuelson 2007).
Gambar 4 Anatomi mata (Care and healed 2010).
13
2.4 Pembuatan Preparat Histologi
Proses pembuatan preparat histologis disebut mikroteknik. Jaringan yang
diambil kemudian diproses secara fiksatif untuk menjaga agar sediaan tidak rusak
(bergeser posisinya, membusuk atau rusak). Proses ini juga dapat mengawetkan
morfologi jaringan sehingga tetap seperti keadaan sewaktu hidup dan
mengeraskan jaringan agar dapat diiris serta mencegah jaringan larut selama
proses pembuatan preparat. Zat fiksatif yang baik adalah zat yang dapat
mengeraskan jaringan dengan cukup cepat sehingga tidak terjadi perubahan
bentuk pada saat proses-proses selanjutnya dilakukan (Tabel 3). Zat yang umum
digunakan adalah formalin sebab memiliki karakteristik mampu menembus dan
memfiksasi jaringan dengan cepat, menyimpan dan mempertahankan lemak,
myelin, serabut-serabut saraf, amiloid, homosiderin dan komponen alat tubuh
lainnya (Salim 2010; Rumawas et al. 1974).
Menurut Samuelson (2007), fiksasi dilakukan dengan mengekspos
jaringan pada pengawet kimia seperti formaldehid. Pengeksposan ini dapat
dilakukan dengan cara aktif dan pasif (Tabel 2).
Gambar 5 Retina mata ikan normal (Morrison et al. 2007).
14
Tabel 2 Perbedaan fiksasi aktif dan pasif
Kriteria Fiksasi aktif (perfusion
fixation)
Fiksasi pasif (immersion
fixation)
Waktu relatif lebih cepat lebih lambat
Jumlah fiksatif
(agen fiksasi)
relatif lebih sedikit perbandingan dengan
sampel 5:1
Cara fiksasi Fiksatif diinjeksi ke dalam
arteri utama
merendam sampel dalam
fiksatif
Ukuran spesimen relatif besar kecil (ketebalan 2 cm
atau lebih kecil)
Sumber: Samuelson (2007)
Proses fiksasi dilanjutkan dengan dehidrasi yang merupakan proses
menarik air dalam jaringan sehingga jaringan menjadi keras dan kadar airnya
menjadi sangat kecil. Proses selanjutnya adalah clearing atau penjernihan yang
bertujuan menarik alkohol dari jaringan sehingga jaringan menjadi jernih,lebih
keras tetapi elastis (Rumawas et al. 1974).
Embedding merupakan proses memasukkan parafin cair ke dalam sel.
Tujuannya adalah untuk memudahkan dalam pemotongan jaringan menjadi sangat
tipis. Parafin menerobos masuk ke dalam jaringan tanpa mengganggu struktur sel-
sel dan zat-zat dalam jaringan. Jaringan yang telah dibenamkan dalam parafin cair
lalu diblok (dicetak agar mudah dipotong) dengan parafin cair yang kemudian
dibekukan dan selanjutnya akan dipotong (Rumawas et al. 1974). Hidrasi
merupakan proses pemasukan air ke dalam preparat jaringan pada gelas objek
yang dilakukan setelah proses dewaxing (pengeluaran parafin).
Preparat siap diwarnai, pewarna yang sering digunakan adalah pewarna
hematoksilin-eosin. Hematosikslin adalah zat warna alami yang pertama
digunakan pada tahun 1863. Zat ini memiliki afinitas yang kecil terhadap jaringan
jika digunakan sendiri, sehingga dikombinasikan dengan aluminium, besi,
kromium, tembaga dan wolfram (yang berfungsi sebagai penajam atau katalisator)
akan menjadi pewarnaan yang baik untuk inti dan kromatin. Bahan aktifnya, yaitu
hematein, dibentuk dengan mengoksidasi hematosiklin. Proses ini dikenal dengan
nama “pamatangan” selama beberapa hari/minggu jika tidak dipercepat dengan
penambahan suatu bahan oksidator (oxydizing agent), seperti HgO dan H2O2.
Formula yang paling sering dimasukkan pada pewarnaan dengan hematosiklin
15
adalah pengkombinasian dengan aluminim dalam bentuk tawas. Potongan
jaringan yang diwarnai dengan hematosiklin ini biasanya ditambahkan dengan
eosin, safranin atau pewarna kontras lainnya. Kombinasi hematosiklin dengan
besi atau wolfram/tungsten sering digunakan dalam pewarnaan khusus. Preparat
jaringan yang telah diwarnai dapat dibuat preparat yang lebih awet dengan cara
mounting menggunakan mounting agent misalnya enthelan (Rumawas et al.
1974).
Tabel 3 Kelebihan dan kekurangan berbagai larutan pengawet
Larutan
Pengawet Kelebihan Kekurangan
Formalin Cairan pengawet umum, pH netral,
potongan jaringan dapat
ditinggalkan dalam pengawet tanpa
terjadi perubahan berarti (sampai 1
tahun)
Waktu perendaman > 24 jam,
terjadi pengerutan jaringan
Muller Daya penetrasi cepat dan baik,
memfiksasi nukleus dan sitoplasma
dengan baik
Jika sampel direndam dalam
pengawet (> 24 jam), jaringan
menjadi rapuh, tidak dapat
dipakai untuk pewarnaan
dengan metode histokimia,
harus dicuci dulu dengan air
kran mengalir sebelum
dilakukan dehidrasi
Bouin Daya penetrasi cepat dan merata
tetapi menyebabkan pengerutan,
memberikan warna cemerlang bila
diwarnai dengan metode trichrome,
sangat baik untuk nukleus dan
kromoson, warna kuning membuat
jaringan mudah dilihat saat
perendaman dan pengirisan
jaringan
Bila direndam dalam
pengawet (> 24 jam), jaringan
menjadi rapuh, harus dicuci
dulu dengan air kran untuk
menghilangkan kelebihan
pikrat
Zenker
Formol
(Cairan
Helly)
Daya fiksasi cepat dan kuat, sangat
baik untuk fiksasi sumsum tulang,
limpa dan organ lain yang banyak
mengandung darah, warna
sitoplasma menjadi lebih cemerlang
Pemaparan jaringan dalam
larutan yang melebihi waktu
yang ditentukan
mengakibatkan jaringan rapuh
Sumber: Zulham (2009)
16
Pada proses pembuatan preparat histologis sering terjadi beberapa
kesalahan sehingga terjadi kegagalan. Samuelson (2007 menguraikan beberapa
masalah yang mungkin terjadi beserta langkah koreksinya (Tabel 4).
Tabel 4 Masalah-masalah dalam preparasi histologis spesimen
Problem Penyebab Hasil Langkah koreksi
Fiksasi yang
tidak cukup
(inadequate
fixation)
Agen fiksasi
yang tidak
cocok, ukuran
spesimen yang
terlalu besar
Kesulitan embedding
(uneven embedding),
lautan hipotonik akan
mengembungkan
spesimen, larutan
hipertonik akan
mengerutkan
spesimen, improper
staining
Uukuran specimen
diperkecil atau
dilakukan fiksasi
dengan metode
perfusion, lihat
kembali kekuatan
agen fiksatif untuk
mendapat tonisitas
yang terbaik
Improper
embedding
Fiksasi yang
tidak cukup dan
atau dehidrasi,
medium
embedding yang
tidak cukup
Specimens section
unevenly, adanya
lubang-lubang di
dalam section
Tingkatkan fiksasi,
gunakan mediam
embedding yang
seharusnya
Irregular
sections
Embedding yang
tidak cukup,
penggunaaan
pisau yang
tumpul,
kesalahan
microtome
Adanya bekas tekanan,
spesimen terburai
Gunakan pisau sekali
pakai yang baru atau
pisau yang tajam,
perbaiki mikrotom
Inadequate
staining
Fiksasi yang
tidak cukup,
stain dan
pewarna yang
sudah lama
Sedikit atau didak ada
warna yang terbagi
oleh stain atau pewarna
Tingkatkan fiksasi,
buat larutan stain dan
pewarna yang baru
Sumber: Samuelson (2007)