Post on 11-Dec-2014
BAB I
PENDAHULUAN
Definisi sindrom koroner akut tegantung pada ciri khusus pada masing-
masing elemen dari trias berupa presentasi klinis (termasuk riwayat penyakit arteri
koroner), perubahan elektrokardiografi dan marker biokimia jantung. Suatu sindrom
koroner akut dapat terjadi tanpa adanya perubahan elektrokardiografi atau
peningkatan marker biokimia, saat diagnosis didasari adanya riwayat penyakit arteri
koroner sebelumnya atau pemeriksaan konfirmasi berikutnya.1
Di Amerika Serikat setiap tahun sebanyak 1 juta pasien dirawat di rumah sakit
karena angina pektoris tak stabil dan sekitar 6-8 persen kemudian mendapat serangan
infark jantung yang tidak fatal atau meninggal dalam satu tahun setelah diagnosis
ditegakkan.2
Penatalaksanaan dini pada pasien dengan sindrom koroner akut ditentukan
oleh adanya perubahan khas pada elektrokardiografi, berupa ada atau tidak adanya
segmen ST elevasi. Kombinasi terhadap presentasi klinis, suatu elevasi segmen ST
sindrom koroner akut didefinisikan sebagai adanya peningkatan > 1 mm ST segmen
pada sekurangnya pada dua sadapan ekstremitas yang berdekatan, > 2 mm elevasi ST
pada sekurangnya dua sadapan prekordial yang bersebelahan, atau adanya suatu
bundle branch block yang baru. Dalam hal tidak adanya peningkatan segmen ST
(non-ST segmen elevation acute coronary syndrome), penatalaksanaan pasien akan
diawali dengan penanganan tanpa terapi reperfusi emergensi. 1
Salah satu terapi yang diberikan pada penderita sindrom koroner akut adalah
antikoagulan. Antikoagulan standar yang dipakai berupa unfractionated heparin
(UFH). Efek samping dan risiko perdarahan yang besar dapat terjadi pada pemberian
unfractionated heparin, maka low molecular weight heparin (LWMH) telah menjadi
alternatif yang lebih disukai pada kondisi ini. Namun efektifias pemberian jangka
panjang untuk pencegahan komplikasi lanjut berupa kejadian reinfark miokard,
1
iskemia rekuren, ternyata tidak terlalu berbeda bila diberikan lebih dari delapan
hari.1,2
Direct thrombin inhibitor merupakan antikoagulan dengan target spesifik
pada trombin. Direct thrombin inhibitor memiliki efek antikoagulan yang dapat
diprediksi dengan variabilitas individu yang kecil, tidak berinteraksi langsung
terhadap trombosit atau protein plasma dan tidak memerlukan antitrombin sebagai
kofaktor. 3
Tinjauan pustaka ini diangkat untuk memberikan gambaran dan pilihan terapi
antikoagulan pada penderita sindrom koroner akut, sehingga terapi yang diberikan
efektif dan dengan risiko yang mungkin timbul dapat diminimalisasi.
2
BAB II
SINDROM KORONER AKUT
2.1 Definisi
Istilah sindrom koroner akut merujuk pada adanya suatu keadaan iskemik akut
otot jantung. Sindrom koroner akut meliputi angina pektoris tidak stabil, non-elevasi
segmen ST infark miokard (tidak ada elevasi segmen ST), dan elevasi segmen ST
infark miokard (ada elevasi segmen ST yang menetap).
Angina pektoris tidak stabil merupakan suatu sindrom klinis antara angina
pektoris stabil dengan infark miokard akut. Ada tiga bentuk utama yang
digambarkan; angina pektoris saat istirahat, angina pektoris yang baru terjadi (new
onset), dan angina pektoris yang semakin meningkat.4,5
2.2 Tampilan Klinis pada Sindrom Koroner Akut
Angina pektoris stabil ditandai oleh adanya gejala iskemik berupa perasaan
tidak nyaman di dada oleh karena penyempitan arteri koroner, hal tersebut akan
menyebabkan berkurangnya hantaran oksigen untuk keperluan metabolisme otot
jantung. Angina pektoris juga berhubungan dengan gejala lainnya, seperti berkeringat
dingin, sakit kepala, mual, perasaan sempit, dan lelah. Angina pektoris tidak stabil
secara klinis ditandai oleh perubahan bentuk angina pektoris stabil dengan gejala
yang lebih sering atau lebih berat, gejala tidak hilang selama 20 menit atau lebih, atau
berkembang menjadi angina pektoris saat istirahat. Istilah sindrom koroner akut
mendeskripsikan spektrum kejadian angina tidak stabil hingga menjadi infark
miokard.6
3
2.3 Patogenesis
Proses utama suatu inisiasi sindrom koroner akut adalah adanya gangguan
terhadap plak aterom. Terjadi celah atau ruptur pada plak tersebut akan mengarah
pada pembentukan trombin dan deposisi fibrin lokal. Terjadi peningkatan agregasi
dan adhesi trombosit serta terbentuknya trombus intrakoroner. Angina tidak stabil dan
non-Elevasi segmen ST infark miokard berhubungan dengan oklusi partial trombus
berwarna putih dan kaya trombosit. Mikrotrombus dapat lepas dan menyebarkan
emboli, menyebabkan iskemik dan infark. Sebaliknya, Elevasi segmen ST (atau
gelombang Q) infark miokard berupa trombus putih, kaya fibrin, oklusif yang lebih
stabil. 4,7
Gambar 1. Skema yang menggambarkan pembentukan plak aterosklerosis, diawali
deposit lapisan lemak hingga terjadinya trombosis8.
4
Gambar 2. Spektrum sindrom koroner akut berdasarkan gambaran elektrokardiografi
dan marker biokimia nekrosis miokard (troponin T, troponin I, dan
creatine kinase myocard band), pada pasien dengan nyeri dada kardiak
akut.4
2.4 Penatalaksanaan
Agregasi trombosit dan pembentukan trombus merupakan peranan kunci
terjadinya sindrom koroner akut, penatalaksanaan lanjut (seperti pemberian
glikoprotein IIb/IIIa inhibitor, low molecular weight heparin, dan clopidrogel),
keamanan serta penggunaan yang luas atas percutaneous coronary intervention
menyebabkan banyaknya pertanyaan mengenai managemen penatalaksanaan yang
optimal.
Pasien dengan angina pektoris tidak stabil atau non-elevasi segmen ST infark
miokard mewakili kelompok heterogen atas tampilan spektrum klinis yang luas, tidak
hanya meyakinkan pasien untuk menerima terapi yang paling sesuai atas faktor risiko
yang dimiliki, tetapi juga menghindari potensi bahaya atas pengobatan yang
5
dilakukan. Oleh karena itu, diagnosis yang akurat dan estimasi faktor risiko terhadap
efek samping pengobatan merupakan prasyarat pemilihan terapi yang paling sesuai.6,7
2.4.1 Strategi penanganan konservatif dibandingkan invasif dini.
Terapi konservatif melibatkan managemen medis intensif, diikuti dengan
stratifikasi risiko dengan tes non invasif (biasanya dengan stres tes) untuk
menentukan apakah pasien memerlukan angiografi koroner. Pendekatan ini
berdasarkan hasil dari dua uji klinis acak (TIMI IIIB dan VANQWISH) yang
menunjukkan bahwa tidak ada perbaikan hasil akhir atas strategi tindakan invasif dini
bila dilakukan secara rutin, dibandingkan dengan pendekatan selektif.
Namun hal tersebut bertolak belakang dengan uji klinis acak berikutnya
(FRISC II, TACTICS-TIMI 18, dan RTA 3) yang menunjukkan manfaat atas
penggunaan stent yang disertai glikoprotein IIb/IIIa inhibitor. Ketiga penelitian
tersebut menunjukkan bahwa strategi invasif dini (percutaneous coronary
intervention atau coronary artery bypass) memberikan hasil akhir yang lebih baik
dari pada terapi non-invasif. TACTIC-TIMMI 18 juga menunjukkan manfaat yang
lebih besar atas pengobatan invasif dini terhadap pasien risiko tinggi, yang
ditunjukkan dengan adanya peningkatan konsentrasi troponin T plasma, sementara
pada pasien dengan risiko rendah memiliki hasil akhir yang sama antara tindakan
invasif dini dibandingkan dengan terapi non-invasif. 9
2.4.2 Identifikasi pasien risiko tinggi
Identifikasi pasien dengan risiko tinggi terhadap kematian, infark miokard,
dan iskemia berulang yang perlu diberikan terapi antirombotik agresif dan angiografi
koroner segera. Diagnosis awal dibuat berdasarkan riwayat perjalanan penyakit,
elektrokardiografi, dan peningkatan konsentrasi marker biokimia. Informasi yang
sama juga digunakan untuk menilai risiko efek samping yang muncul.9
6
2.4.3 Skor risiko TIMI (Thrombolysis In Myocardial Infarction)
Usaha untuk membuat model formulasi faktor-faktor klinis lebih mudah
digunakan. Antman dan kawan-kawan telah mengidentifikasi tujuh faktor risiko
prognostik bebas atas kematian awal dan infark miokard.
Pasien dengan skor risiko TIMI ≥ 3 akan mendapat manfaat yang signifikan
atas terapi invasif dini, semantara skor < 2 tidak akan bermanfaat. Oleh karena itu,
pasien dengan skor risiko TIMI > 3 sebaiknya dipertimbangkan untuk dilakukan
angiografi segera (idealnya dalam 24 jam), dengan melihat revaskularisasi melalui
percutaneous intervention atau operasi pintas. Sebagai tambahan, pasien dengan
peningkatan marker troponin, elevasi ST segmen, atau hemodinamik yang tidak stabil
sebaiknya juga segera menjalani angiografi.1,9,10
Tujuh variabel skor risiko TIMI :
Usia > 65 tahun
> 3 faktor risiko untuk penyakit arteri koroner
> 50% stenosis koroner pada agiografi
Perubahan ST segmen > 0,5 mm
Peningkatan konsentrasi serum marker kardiak
Penggunaan aspirin pada 7 hari sebelum kejadian
Skor < 2 , risiko rendah; skor > 2 risiko tinggi.
7
Gambar 3. Pintas manajeman pasien dengan angina pektoris tidak stabil atau non-
elevasi segmen ST infark miokard 4
2.5 Terapi Antitrombosit
2.5.1 Aspirin
Dibandingkan dengan plasebo, aspirin mengurangi setengah kejadian
komplikasi vaskuler pada pasien dengan angina tidak stabil (kematian
kardiovaskuler, infark miokard yang tidak fatal dan stroke yang tidak fatal), dan
mengurangi sepertiga kejadian infark miokard akut.1
2.5.2 Kombinasi terapi aspirin dan clopidrogel
2.5.2.1 Sindrom koroner akut non-elevasi segmen ST
Pada uji klinis clopidogrel in unstable angina to prevent recurrent events
(CURE), kombinasi aspirin (300 mg awal dan 75-150 mg harian) disertai clopidrogel
8
(300 mg awal dan 75 mg harian) lebih efektif dibandingkan aspirin saja. Kombinasi
terapi lebih jauh menurunkan 2,1% absolute risk reduce (20% relative risk reduce)
atas kombinasi hasil akhir terhadap kejadian kematian kardiovaskuler, stroke atau
infark miokard pada pasien risiko tinggi (elektrokardiografi menunjukkan bukti
iskemik atau peningkatan marker jantung) pada non-ST elevasi sindrom koroner akut.
Manfaat tersebut terlihat pada 24 jam terapi dan utamanya karena reduksi infark
miokard atau iskemik yang berkurang.1
2.5.2.2 Sindrom koroner akut elevasi segmen ST
Penelitian CLARITY-TIMI 28 (clopidogrel 300 mg dilanjutkan 75 mg per
hari) dan COMMIT/CCS (clopidogrel 75 mg per hari) menunjukkan peningkatan
patensi (terbukanya lumen) pada arteri yang berhubungan dengan infark miokard dan
mengurangi mortalitas bila terapi aspirin kombinasi clopidogrel dibandingkan
terhadap aspirin saja. Reduksi atas angka kematian, reinfark atau stroke (9% relative
risk reduce) didapatkan tanpa adanya peningkatan perdarahan mayor. 1
2.5.3 Glikoprotein IIB/IIIA antagonis reseptor.
2.5.3.1 Sindrom koroner akut non-elevasi segmen ST
Pasien risiko tinggi dengan non-ST elevasi sindom koroner akut sebaiknya
diberikan glikoprotein IIb/IIIa antagonis reseptor, terutama bila pasien sedang
menjalani percutaneous coronary intervention (PCI).
2.5.3.2 Sindrom koroner akut elevasi segmen ST
Hanya sedikit manfaat yang didapatkan bila glikoprotein IIb/IIIa antagonis
reseptor diberikan pada kelompok pasien ini. Sedikit sekali mengurangi kejadian
reinfark, terjadinya peningkatan perdarahan mayor dan tidak ada perbedaan pada
angka mortalitas.1,4
9
2.5.4 Terapi Antikoagulan
2.5.4.1 Unfractionated Heparin
Pada pasien dengan dengan sindrom koroner akut non elevasi segmen ST,
pemberian unfractionated heparin dalam 48 jam mengurangi angka kematian
maupun infark miokard. Sementara pada pasien dengan sindrom koroner akut elevasi
segmen ST, bila disertai pemberian aspirin dan fibrinolitik, unfractionated heparin
mengurangi angka kejadian reinfark.1,2,4
2.5.4.2 Low Molecular Weight Heparin (LMWH)
2.5.4.2.1 Sindrom koroner akut non-elevasi segmen ST
Chocrane telah mengulas tujuh randomised controlled trials (RCT) atas
penggunaan LMWH dibandingkan dengan unfractionated heparin untuk mengurangi
infark miokard dan kejadian prosedur revaskulariasi koroner. Kejadian mortalitas
dan perdarahan mayor ternyata tidak berbeda. Penggunaan LMWH setelah rawat inap
lebih dari delapan hari ternyata tidak bermanfaat. Bila disertai dengan penggunaan
glikoprotein IIb/IIIa reseptor antagonis, efektifitas LWMH tidak lebih baik
dibandingkan unfractionated heparin, tetapi komplikasi perdarahan lebih sedikit.
2.5.4.2.2 Sindrom koroner akut elevasi segmen ST
RCT yang membandingkan LMWH dengan UFH pada sindrom koroner akut
elevasi segmen ST, menunjukkan bahwa LMWH lebih menguntungkan, menurunkan
angka infark miokard, dan rekuren iskemia. Namun terapi diatas tidak menurunkan
insidens mortalitas, sehingga dikembangkanlah antikoagulan direct thrombin
inhibitor.4
2.5.4.3 Direct Thrombin Inhibitor
Suatu metaanalisis dari 11 uji acak menunjukkan superioritas direct thrombin
inhibitor dibandingkan dengan UFH pada pasien sindrom koroner akut. Terjadi 20 %
relative risk reduce atas reinfark dalam tujuh hari, dan terperlihara pada 30 hingga
10
180 hari. Meskipun tidak didapatkan perbedaan pada angka mortalitas. Dibandingkan
dengan UFH, maka direct thrombin inhibitor tidak memiliki risiko perdarahan mayor,
kecuali pada pasien sindrom koroner akut elevasi segmen ST yang disertai dengan
pemberian trombolisis, terjadi 30% relative risk reduce reinfark selama empat hari
yang diimbangi dengan peningkatan 32% risiko relatif atas perdarahan moderat.1,11
2.5.5 Terapi Fibrinolitik
Penggunaan fibrinolitik streptokinase, anistreplase, dan tissue plasminogen
activator menurunkan angka kematian dibandingkan dengan plasebo. Namun terapi
tersebut bermanfaat pada pasien dengan sindrom koroner akut elevasi segmen ST,
dan tidak berbeda bermakna pada pasien dengan sindrom koroner akut non-elevasi
segmen ST maupun angina pektoris tidak stabil.1,4
11
BAB III
ANTIKOAGULAN
Antikoagulan merupakan substansi yang dapat mencegah pembekuan darah.
Kelompok antikoagulan digunakan sebagai terapi medis gangguan trombosis,
transfusi darah, dialisis ginjal serta mencegah pembekuan dalam tabung pemeriksaan
darah. 12
3.1 Coumarin (Antagonis vitamin K)
Merupakan antagonis vitamin K oral. Preparat yang tersedia adalah warfarin,
acenocoumarol. Diperlukan waktu 48 hingga 72 jam hingga efek antikoagulannya
bekerja. Sering kali disertai dengan pemberian heparin bila diperlukan efek
antikoagulan yang cepat. Antikoagulan ini digunakan untuk terapi pasien dengan
deep vein thrombosis (DVT), emboli paru, atrial fibrilasi, dan katup jantung prostetik
mekanis.
3.1.1 Mekanisme aksi
Warfarin menghambat sintesis faktor pembekuan yang tergantung vitamin K
yaitu faktor II, VII, IX dan X, serta regulasi protein C dan protein S. Prekursor faktor
pembekuan ini memerlukan karboksilasi residu asam glutamat agar faktor pembekuan
terikat pada permukaan fosfolipid endotel pembuluh darah. Enzim yang digunakan
untuk karboksilasi asam glutamat adalah gamma-glutamyl carboxyalase. Reaksi
karboksilasi akan terjadi bila enzim karboksilase dapat mengubah bentuk reduksi
vitamin K (vitamin K hydroquinone) menjadi vitamin K epoxide. Vitamin K epoxide
diubah kembali menjadi vitamin K dan vitamin K hydroquinone oleh enzim vitamin
K epoxide reduktase (VKOR).
Warfarin menghambat epoxide reduktase (khususnya subunit (VKORC1),
sehingga menghilangkan kemampuan vitamin K dan vitamin K hydroquinone dalam
12
jaringan, yang menghambat aktifitas karboksilasi glutamil karboksilase. Bila ini
terjadi, faktor pembekuan tidak dapat lagi meng-karboksilasi residu asam glutamat,
dan tidak dapat terikat pada permukaan endotel pembuluh darah, sehingga menjadi
tidak aktif. Faktor pembekuan yang aktif, yang telah diproduksi sebelumnya akan
mengalami degradasi (dalam beberapa hari) dan digantikan oleh faktor pembekuan
yang tidak aktif, sehingga efek antikoagulan menjadi nyata.13
Protein C dan protein S juga bergantung pada aktifitas vitamin K, sehingga
warfarin juga menyebabkan penurunan kadar protein C dan protein S. penurunan
kadar protein S akan menyebabkan penurunan aktifitas protein C (yang berfungsi
sebagai kofaktor) sehingga mengurangi degradasi faktor Va dan faktor VIIIa. Efek
antitrombosis tidak akan tampak hingga terjadi pengurangan yang signifikan atas
faktor II yang terjadi beberapa hari kemudian. Sehingga, untuk mendapatkan efek
antikoagulan yang cepat, perlu ditambahkan heparin.14
3.2 Heparin
Heparin, yang juga di kenal sebagai unfractionated heparin (UFH),
merupakan glikosaminoglikan sulfat tinggi, yang digunakan sebagai antikoagulan
injeksi. Meskipun digunakan sebagai antikoagulan utama dalam pengobatan, peranan
fisiologis di dalam tubuh masih belum jelas, karena antikoagulan darah yang diterima
kebanyakan berupa derivat proteoglikan heparin sulfat dari sel endotel.15 Heparin
biasanya disimpan dalam granula sekretori sel mast dan hanya dilepaskan ke
pembuluh darah yang mengalami cedera. Telah diusulkan bahwa heparin memiliki
kegunaan utama selain sebagai antikoagulan, yaitu sebagai mekanisme pertahanan
terhadap invasi bakteri atau material asing.
3.2.1 Mekanisme Kerja
Heparin dan derivat low molecular weight heparin (enoxaparin, dalteparin,
tinzaparin) efektif untuk mencegah deep vein thromboses dan emboli pulmonal pada
pasien yang berisiko,16 namun tidak ada bukti bahwa salah satu terapi lebih efektif
13
dari pada yang lain dalam mencegah mortalitas. Heparin terikat pada enzim inhibitor
antitrombin III yang menyebabkan antitrombin III menjadi aktif. Aktifasi antitrombin
III kemudian menginaktifasi trombin dan protesase lain yang terlibat dalam
pembekuan darah, terutama faktor Xa. Kecepatan inaktifasi protease oleh antitrombin
III dapat meningkat hingga 1000 kali karena ikatan heparin.17
Perubahan antitrombin III karena ikatan dengan heparin akan menginhibisi
faktor Xa. Untuk menghambat trombin, maka trombin juga harus mengikat polimer
heparin pada situs proximal pentasakarida. Terbentuknya komplek antara antitrombin
III, trombin dan heparin menyebabkan inaktifasi trombin. Untuk alasan tersebut,
aktivitas heparin melawan trombin tergantung dengan ukurannya, ternary complex
memerlukan sedikitnya 18 unit sakarida untuk formasi yang efesien. Sementara
aktifitas anti faktor Xa hanya memerlukan satu ikatan.
Hal tersebut mengarahkan dikembangkannya low molecular weight heparin
(LMWH), serta fondaparinux sebagai antikoagulan. Target terapi LMWH dan
fondaparinux berupa anti faktor Xa dari pada anti-trombin (IIa). Fondaparinux
merupakan pentasakarida sintetik, yang memiliki struktur yang nyaris identik dengan
rangkaian pentasakarida (dapat ditemukan pada polimer heparin dan heparin sulfat)
yang terikat pada antritrombin III.
LMWH dan fondaparinux mengurangi risiko osteoporosis dan heparin
induced thrombocytopenia (HIT). Tidak diperlukan monitoring activated partial
thromboplastin time (aPTT), karena aPTT tidak sensitif terhadap perubahan faktor
Xa. Sementara efek heparin diukur dengan activated thromboplastin time (aPTT).17
3.3 Low Molecular Weight Heparin (LMWH)
Heparin merupakan polisakarida dengan panjang rantai dan berat molekul
yang bervariasi. Berat molekul unfractionated heparin antara 5000 hingga 40.000
dalton. Berbeda dengan LMWH, yang terdiri dari polisakarida rantai pendek dan
berat molekul yang ringan. LMWH didefinisikan sebagai garam heparin dengan berat
14
molekul rata-rata kurang dari 5000 dalton, dan didapatkan dengan cara fraksinasi atau
depolimerisasi heparin.18
3.3.1 Aktifitas anti faktor Xa
Efek LMWH tidak dapat diukur dengan menggunakan tes partial
thromboplastin time (PTT) atau activated clotting time (ACT). Terapi LMWH
dimonitor dengan menggunakan anti-factor Xa assay, mengukur aktifitas antifaktor
Xa. Sementara aktifitas antifaktor Xa relatif tidak berpengaruh pada heparin dengan
molekul yang berat dan karenanya kurang terpengaruh oleh efek potent antagonis
heparin yang dapat dilepaskan oleh trombosit. Metodelogi pemeriksaan anti-faktor
Xa adalah memeriksa sejumlah residu faktor Xa dengan menambahkan substrat
kromogenik yang menyerupai substrat alami faktor Xa, membuat residu faktor Xa
dipecahkan, melepaskan senyawa berwarna yang dapat dideteksi oleh
spektrofotometer. LMWH memiliki rasio anti-faktor Xa terhadap anti-trombin
sebesar lebih dari 1,5.18
LMWH memiliki perbedaan dengan unfrationated heparin berupa:
Berat molekul rata-rata : unfractionated heparin 15 kDa dan LMWH 4,5 kDa
Tidak memerlukan monitor parameter koagulasi aPTT
Risiko perdarahan yang lebih kecil
Risiko osteoporosis yang lebih kecil pada penggunaan jangka panjang
Efek antikoagulan pada unfractionated heparin dapat reversibel dengan
protamin sulfat, namun pada LMWH efek protemin sulfat terbatas.
Efek yang kurang terhadap trombin dibandingkan heparin
3.4 Direct thrombin inhibitor (DTI)
15
Antikoagulan lainnya adalah direct thrombin inhibitor. Termasuk dalam
kelompok ini adalah lepirudin, bivalirudin, argatroban dan dabigatran. Suatu oral
direct thrombin inhibitor, ximelagatran telah ditolak oleh Food and Drug
Administration (FDA) pada september 2004 dan ditarik dari pasaran pada Februari
2006 atas laporan adanya gangguan fungsi hati yang berat. Pada november 2010,
Dabigatran oral telah disetujui oleh FDA untuk terapi pada pasien dengan atrial
fibrilasi.11, 19
3.5 Antikoagulan lainnya
Digunakan dalam instrumen laboratorium, tabung tes, kantung transfusi.
Kebanyakan bekerja dengan mengikat ion kalsium, mencegah pembekuan darah.
Yang tersedia adalah, ethylenediaminetetraacetic acid (EDTA), sitrat, dan oxalat.
3.6 Indikasi terapi
Antikoagulan digunakan sebagai terapi pada pasien dengan atrial fibrilasi,
emboli pulmonal, deep vein thrombosis (DVT), venous thromboembolism (VTE),
stroke, infark miokard dan hiperkoagubilitas didapat atau genetik.12
BAB IV
16
DIRECT THROMBIN INHIBITOR
Terapi antikoagulan untuk klinis dimulai sejak keberhasilan isolasi
glikosaminoglikan sulfat dari hati anjing, yang disebut dengan heparin, oleh Howell
tahun 1923 dan digunakan untuk pengobatan emboli trombus tahun 1939. Kemudian,
bishidroksikoumarin dinyatakan sebagai antagonis vitamin K, dan diakui memiliki
potensi sebagai terapi oral pada penyakit tromboemboli. Pengakuan tersebut memicu
pengembangan struktur antagonis lainnya untuk kepentingan klinis. Manfaat dari
preparat tersebut kemudian digunakan sebagai profilaksis tindakan bedah dan
nonbedah. Obat-obat tersebut secara umum memiliki efek samping yang bervariasi,
interaksi antar obat yang kompleks dan multipel, dan tidak memadai sebagai
profilaksis. Isu dan masalah tersebut mengarahkan pencarian obat yang lebih efektif,
kurang toksik, dan target yang lebih baik.20
4.1 Struktur
Ada dua kelompok direct thrombin inhibitor : inhibitor divalent dan inhibitor
monovalen. Divalent inhibitor mengikat substrate recognition site (exosite 1) dan
catalytic site trombin. Monovalen inhibitor hanya mengikat catalytic site.
Termasuk dalam kelompok bivalen inhibitor adalah desirudin, lepirudin, dan
bivalirudin (bentuk rekombinan ekstrak hirudin lintah). Kelompok monovalen
inhibitor adalah argratoban, ximelagatran, dan melagatran.3,11
4.1.1 Kelompok 1: Desirudin, Lepirudin, dan Bivalirudin
Desirudin dan lepirudin rekombinan terdiri dari 65 asam amino polipeptida
yang berbeda dari hirudin melalui sulfasi C-terminal tyrosin dan melalui perubahan
isoleusin menjadi leusin. Ukuran 7 kDa. Bagian terminal amino dari bentuk
polipeptida globuler mengikat catalytic site trombin, sementara terminal carboxy dua
belas mengurangi pembentukan dan perluasan interaksi dengan mengikat exosite 1
17
fibrinogen. Ikatan peptida dengan trombin bersifat irreversibel dan menghambat
pemecahan fibrinogen menjadi fibrin. Ikatan pada substat tersebut memerlukan akses
exosite 1, karenanya peptida-peptida tersebut tidak menghambat trombin yang telah
terikat dengan fibrinogen.
Bivalirudin merupakan derivat 20 asam amino hirudin. Amino terminal terdiri
dari rangkaian situs inhibitor aktif, D-Phe-Pro-Arg, yang terhubung dengan rantai
tetra-glisin yang fleksibel dengan dua belas asam amino dari carboxy terminal hirudin
yang terikat pada exosite 1. Ikatan Pro-Arg- peptida dapat dipecah secara lambat oleh
catalytic site trombin, oleh karenanya fungsi bivalirudin dapat menghambat secara
reversibel dan memiliki waktu paruh yang pendek (20 hingga 30 menit). 3,11
4.1.2 Kelompok 2 : Argatroban, Dabigatran, Ximelagatran, dan Melagatran
Merupakan inhibitor monovalen yang memiliki ikatan reversibel dan afinitas
yang tinggi terhadap trombin. Kelompok ini merupakan molekul sintetis kecil yang
merupakan turunan modifikasi N-tosyl-L-arginine methyl ester. Suatu struktur kristal
kompleks antara trombin dan argatroban menunjukkan bahwa ikatan inhibitor pada
kantung hidrofobik dalam catalytic site trombin. Ximelagatran merupakan pro-drug
dan bentuk metabolit aktifnya berupa peptidomietik sintetis kecil yang menyerupai
rangkaian D-Phe-Pro-Arg tripeptide bivalirudin.
Dabigatran etexilate mesilate merupakan prodrug yang menjadi senyawa aktif
setelah dimetabolisme dihati menjadi dabigatran. Dabigaran juga memiliki
reversibilitas dan afinitas yang tinggi terhadap inhibisi trombin. Dabigatran tidak
memerlukan monitoring rutin koagulan, tidak memerlukan titrasi dosis, efek
antikoagulan yang konsisten dan dapat diprediksi, mula kerja yang cepat, tidak
diperlukan pembatasan diet makanan serta tidak memiliki interaksi antar obat. 11,21,22
4.2 Mekanisme Kerja
18
Setelah pembuluh darah mengalami jejas, faktor jaringan terpapar pada
permukaan endotelium yang rusak. Interaksi faktor jaringan dengan plasma faktor VII
mengaktifkan kaskade koagulasi, menghasilkan trombin melalui tahapan aktifasi seri
proenzim. Aktifasi faktor V, VIII, dan XI, akan membentuk trombin lebih banyak
lagi dan menstimulasi trombosit. Trombin merupakan sentral dari proses pembekuan.
Trombin mengubah fibrinogen menjadi fibrin. Lebih lanjut, aktifasi faktor XIII, akan
membentuk anyaman ikatan fibrin, menstabilkan bekuan. Kaskade koagulasi
diregulasi oleh antikoagulan alamiah, sistem protein C dan protein S, dan
antitrombin, yang akan membantu membatasi pembentukan plak hemostasis pada
tempat jejas.20,22
Gambar 5. Target Intervensi kaskade koagulasi 11,22
4.3 Perbedaan dengan Heparin
Heparin bekerja dengan mengikat dan mengkatalisis aktifitas antitrombin.
Kompleks heparin-antitrombin akhirnya menghambat aktifitas faktor Xa dan IIa
(trombin). Sebagai tambahan, UFH menghambat trombin dengan cara mengikat
antitrombin secara simultan dan menjaga kelangsungan kedua molekul tersebut.
19
D T I
Heparin tidak dapat menghambat trombin yang telah terikat dengan fibrin, dan
trombin yang terikat dengan fibrin degradation products (FDS). Heparin yang terikat
pada sel endotel dan plasma protein akan membatasi avaibilitasnya untuk berikteraksi
dengan antitrombin sehingga mengurangi efek potensial antikoagulan dari heparin.
Sementara rantai LMWH tidak cukup panjang untuk menjembatani trombin ke
antitrombin, sehingga kondisi tersebut menyebabkan faktor Xa lebih banyak
dihambat dari pada inhibisi trombin.22,23
Obat penghambat trombin dapat memblokade aksi trombin dengan ikatan
pada tiga tempat: active site, catalytic site, dan dua exosite. Exosite 1 merupakan
tempat ikatan fibrin, dengan demikian peptida yang sesuai akan terikat pada active
site. Exosite 2 sebagai tempat ikatan heparin. Trombin oleh low molecul weight
heparins (LMWH) diikat secara tidak langsung. LMWH mengkatalisis fungsi
antitrombin. Suatu kompleks heparin-trombin-antitrombin terbentuk bila heparin
beserta antitrombin mengikat secara terus-menerus pada exosite 2 trombin.
Selanjutnya, heparin menjadi jembatan antara trombin dan fibrin dengan mengikat
fibrin dan exosite 2. Karena kedua trombin exosite digunakan oleh kompleks fibrin-
heparin-trombin, aktifitas enzimatik trombin diproteksi dari inaktifasi oleh komplek
heparin-antitrombin. Maka dari itu, heparin memiliki kemampuan reduksi dan
inhibisi ikatan fibrin-trombin, yang tampak mengganggu, karena trombin yang aktif
dapat memicu terjadinya pembentukan trombus.22
Direct thrombin inhibitor dapat bereaksi tanpa terikat dengan antitrombin.
Direct thrombin inhibitor dapat menghambat ikatan trombin terhadap fibrin atau
fibrin degeneration products (FDP). Direct thrombin inhibitor bivalen memblokade
trombin pada active site dan exosite 1, sementara direct thrombin inhibitor
monovalen hanya mengikat active site. Termasuk dalam kelompok direct thrombin
inhibitor bivalen adalah hirudin, bivalirudin, lepirudin dan desirudin. Sementara
kelompok direct thrombin inhibitor monovalen adalah argatroban, dabigatran,
melagatran dan ximelagatran. Hirudin alamiah dan rekombinant (lepirudin dan
desirudin) membentuk suatu kompleks irreversibel stochiometric 1:1 pada trombin.
20
Hirudin sintetik (bivalirudin) dengan cara yang sama mengikat active site dan exosite
1, tetapi saat terikat, bivalirudin tersebut dipecah oleh trombin, sehingga fungsi active
site trombin mengalami restorasi. Karena itu, bivalirudin menghasilkan inhibisi
trombin sementara.11,22
Dengan berinteraksi hanya pada active site, direct thrombin inhibitor
uinvalent menginaktifasi ikatan fibrin trombin. Argatroban dan melagatran
memisahkan fibrin dari trombin, meninggalkan enzim trombin aktif dalam jumlah
sedikit untuk interaksi hemostasis. Dengan mengurangi aktifasi trombosit yang
dimediasi oleh trombin, direct thrombin inhibitor juga memiliki efek antitrombosit.
Karena direct thrombin inhibitor tidak terikat dengan protein plasma, maka direct
thrombin inhibitor akan menghasilkan respon yang dapat diprediksi dari pada
unfractionated heparin.22
Gambar 6. Tiga tempat ikatan pada molekul trombin 22
21
Gambar 7. Mekanisme aksi direct thrombin inhibitor dibandingkan dengan heparin.11
Keterangan gambar : Tanpa heparin, kecepatan inaktifasi trombin oleh antitrombin relatif rendah, namun setelah perubahan conformational change yang diinduksi oleh heparin, antitrombin terikat irreversibel dan menghambat active site trombin. Oleh karena itu, aktifitas antikoagulan heparin berasal dari kemampuannya untuk menghasilkan komplek heparin-trombin-antitrombin. Aktifitas direct thrombin inhibitor lebih independen, tidak memerlukan antitrombin dan berikteraksi langsung dengan molekul trombin. Meskipun direct thrombin inhibitor bivalen menigkat exosite 1 dan active site secara simultan, direct thrombin inhibitor univalen berikteraksi hanya pada active site. Pada kadar yang rendah, kompleks heparin-antirombin tidak dapat mengikat trombin yang terikat fibrin, sementara direct thrombin inhibitor dapat mengikat dan menghambat aktifitas trombin tidak hanya pada trombin yang larut namun juga pada trombin yang terikat fibrin pada bekuan darah.11
22
BAB V
PERAN DIRECT THROMBIN INHIBITOR
PADA SINDROM KORONER AKUT
Beberapa direct thrombin inhibitor, seperti hirudin, bivalirudin, ximelagatran,
melagatran, dan dabigatran, baik sendiri maupun kombinasi, telah menjalani evaluasi
yang luas pada penelitian fase 3 terhadap pencegahan dan pengobatan trombosis
arteri dan vena. Food and drug administration (FDA) telah menyetujui empat direct
thrombin inhibitor parenteral. Hirudin dan argatroban untuk pengobatan heparin-
induced thrombocytopenia (HIT), bivalirudin sebagai alternatif terhadap heparin pada
percutaneous coronary intervention (PCI), dan desirudin sebagai profilaksis
tromboemboli pada operasi tulang pinggul. Pada tahun 2010, FDA menyetujui
dabigatran sebagai terapi atrial fibrilasi.11, 22, 23
5.1 Sindrom Koroner Akut dengan atau tanpa Percutaneous Coronary
Intervention
Pasien dengan sindroma koroner akut (infark miokard akut, baik dengan atau
tanpa ST-segmen elevasi, dan unstable angina) tetap berisiko terhadap terjadinya
iskemik miokard yang berulang, sehingga diperlukan terapi dengan aspirin,
clopidogrel, dan heparin.1,2
Peran direct thrombin inhibitor pada manajemen sindrom koroner akut telah
diulas pada penelitian meta analisis Direct Thrombin Inhibitor Trialists Collaborative
Group. Telah dikumpulkan sebelas uji acak, dengan jumlah 35.970 pasien yang telah
menyetujui menggunakan direct thrombin inhibitor atau unfractionated heparin dari
24 jam hingga 7 hari kemudian, dan pasien dipantau setidaknya selama 30 hari.
Dibandingkan dengan heparin, direct thrombin inhibitor dapat mengurangi insiden
kematian dan miokard infark pada akhir pengobatan dan tiga puluh hari. Perbedaan
yang bermakna terutama pada reduksi infark miokard, sementara insiden kematian
23
perbedaannya tidak bermakna. Analisis berdasarkan bahan obat menyatakan bahwa
hirudin dan bivalirudin memberikan manfaat yang sama, terjadi sedikit peningkatan
yang tidak bermakna atas insiden kematian dan infark miokard. Perdarahan yang
serius lebih sering terjadi pada hirudin dibandingkan dengan heparin namun jarang
sekali pada bivalirudin dan inhibitor univalen.11,24,25,26
Gambar 4. Patofisilogi heparin induced thrombocytopenia (HIT)27
Keterangan : Patogenesis HIT: Heparin terikat pada platelet faktor 4 (PF4), yang mengekspos neoepitop PF4 dan memicu terbentuknya antibodi (1). Terbentuk kompleks imun heparin-PF4-IgG (2), dan IgG pda kompleks multimolekuler memicu aktifasi trombosit via ikatan pada Fc reseptor (3). Aktifasi trombosit melepaskan PF4 tambahan (4a) dan mikropartikel protrombotik trombosit (4b), yang akan memperkuat reaksi koagulasi. Risiko trombosis lebih jauh ditingkatkan oleh ikatan dari PF4 terhadap heparin-like molecules pada EC, berkontribusi terhadap antibodi yang dimediasi oleh cedera endotel.Singkatan : HIT, heparin induced thrombocytopenia; PF4, platelet factor 4; EC, endothelial cells.
24
Pada tahun 2001 telah didapatkan data penelitian klinis acak pada sindrom
koroner akut. Pada penelitian tersebut, dilakukan penelitian pada pasien dengan
infark miokard elevasi segmen ST yang telah menerima bivalirudin atau
unfractionated heparin yang dikombinasikan dengan streptokinase. Tidak didapatkan
perbedaan yang bermakna dalam observasi selama tiga puluh hari terhadap angka
kematian dari kedua kelompok perlakuan, meskipun bivalirudin menunjukkan
manfaat pada kejadian reinfark dalam 96 jam. Selain itu, hasil meta analisis
menunjukkan bahwa perdarahan yang serius tidak lebih rendah pada bivalirudin.11
Telah banyak penilaian yang dilakukan atas peranan direct thrombin inhibitor
pada sindrom koroner akut. Dalam ulasan penelitian meta analisis dan Hirulog and
Early Reperfusion or Occlusion 2 (HERO-2), direct thrombin inhibitor telah
dibandingkan dengan unfractionated heparin. Namun demikian, sejumlah analisis
memperkirakan bahwa low molecul weight heparin mungkin lebih superior
dibandingkan dengan unfractionated heparin pada pasien dengan unstable angina
dan infark miokard. Lebih lanjut, terapi agresif dengan antiplatelet telah menjadi
standar pengobatan pada sindrom korener akut, sementara peranan direct thrombin
inhibitor yang dikombinasikan dengan aspirin dan clopidogrel, serta inhibitor
glikoprotein IIb/IIIa belum ditegakkan.
Hirudin bukanlah pilihan terapi yang menarik bagi pasien dengan sindrom
koroner akut, karena observasi selanjutnya menunjukkan peningkatan perdarahan,
serta biaya yang lebih mahal dibandingkan dengan unfractionated heparin.
Bivalirudin juga tidak lebih aman atau lebih bermanfaat dibandinkan unfractionated
heparin dan tidak direkomendasikan untuk penatalaksanaan penyakit tersebut.11
5.2 Percutaneous Coronary Intervention (PCI)
Pasien yang menjalani percutaneous coronary Intervention (PCI) tidak
mendapatkan manfaat klinis yang signifikan bila diberikan hirudin dan bivalirudin
dibandingkan dengan unfractionated heparin. Tetapi kejadian perdarahan yang serius
lebih sedikit pada hirudin dan bivalirudin dibandingakan unfractionated heparin.11
25
Bivalirudin telah dibandingkan dengan heparin selama prosedur angioplasti
pada post infark miokard dan unstable angina. Penilaian atas kejadian kematian,
infark miokard, dan revaskularisasi pada 7 dan 90 hari, lebih sedikit pada bivalirudin,
terutama diperlihatkan dari kebutuhan akan tindakan revaskularisasi. Pada hari ke 90,
perdarahan serius bekurang secara signifikan pada grup bivalirudin (3,7 persen vs 9,3
persen).25,26,28
Dalam penelitian Randomized Evaluation in Percutaneous Coronary
Intervention Linking Angiomax to Reduced Clinical Events 2 (REPLACE-2), pasien
yang menjalani PCI elektif atau segera, secara acak menerima unfractionated heparin
plus inhibitor glikoprotein IIb/IIIa atau menerima bivalirudin dan ditambahkan
inhibitor glikoprotein IIb/IIIa hanya bila terjadi komplikasi selama prosedur tindakan.
Hasil gabungan penilaian manfaat dan keamanan mengenai angka kematian, infark
miokard, pengulangan revaskularisasi urgensi, dan perdarahan serius ternyata
tidaklah bermakna antara kedua grup. Namun, penggunaan bivalirudin berhubungan
dengan kejadian perdarahan serius yang lebih rendah. Hanya 7,2 persen yang
menerima bivalirudin diberikan tambahan inhibitor GPIIb/IIIa, sehingga biaya
pengobatan menjadi lebih lendah. Disimpulkan bahwa bivalirudin tampaknya lebih
aman dibandingkan heparin pada pasien yang mejalani prosedur PCI.25 ,26,28
5.3 Terapi Jangka Panjang Sindrom Koroner Akut
Pada pasien sindrom koroner akut, pemberian aspirin telah mengurangi risiko
relatif kejadian iskemik sebanyak 23 persen. Kemudian penambahan antagonis
vitamin K mengurangi komplikasi kardiovaskuler, namun memerlukan biaya yang
lebih mahal. Terapi jangka panjang dengan low molecular weight heparin tidak
menunjukkan manfaat tambahan dari pada pemberian dengan aspirin saja. Peranan
direct thrombin inhibitor pada profilaksis jangka panjang pada pasien yang juga
menggunakan aspirin, telah diteliti pada Efficacy and Safety of the Oral Direct
Thrombin Inhibitor Ximelagatran in Patients with Recent Myocardial Damage
(ESTEEM). Empat dosis oral Ximelagatran telah dibandingkan dengan plasebo pada
26
pasien dengan infark miokard. Ximelagatran secara bermakna telah mengurangi
insiden mortalitas, infark miokard nonfatal, dan iskemia berat yang berulang selama
periode enam bulan pengobatan dibandingkan dengan plasebo. Penggunaan
ximelagatran tidak berhubungan dengan peningkatan kejadian perdarahan yang lebih
serius dibandingkan dengan penggunaan aspirin saja, namun risiko total perdarahan
menjadi lebih tinggi berhubungan dengan peningkatan dosis. Peningkatan alanin
aminotransferase tiga kali lipat atau lebih dari limit normal terjadi pada 11 persen
pasien yang diterapi dengan ximelagatran dibandingkan 2 persen pasien yang
menerima plasebo. Namun tahun 2004, obat ini tidak disetujui oleh FDA, karena efek
samping pada gangguan fungsi hati dan telah ditarik di pasaran pada tahun 2006.11,27,29
Sediaan oral lainnya adalah dabigatran. Preparat ini telah disetujui di Eropa,
Kanada dan Jepang pada tahun 2008 sebagai profilaksis dan terapi venous
thromboembolism pada pasien pasca operasi total penggantian lutut dan pinggul.
Agen ini akhirnya disetujui oleh FDA Amerika Serikat pada tahun 2010 sebagai
terapi atrial fibrilasi.19,30,
BAB VI
27
EFEK SAMPING DIRECT THROMBIN INHIBITOR
PADA SINDROM KORONER AKUT
Terdapat sejumlah efek samping penggunaan antikoagulan pada sindrom
koroner akut. Efek samping yang paling berbahaya adalah perdarahan mayor.
Perdarahan mayor (major bleeding) adalah:22,32
- Terjadinya perdarahan yang nyata secara klinis
- Memerlukan transfusi darah > 2 unit packed red cell atau whole blood
- Terjadi penurunan haemoglobin 2 g/dl
6.1 Dabigatran
Dispepsia dan gastritis (35% dibandingkan dengan warfarin 24%) bukan
perdarahan major (16,6% dibandingkan warfarin 18,4%), perdarahan mayor (3,3%
dibandingkan warfarin 3,6%), peningkatan alanin aminotransferase (ALT) > 3 kali
batas normal (3%), perdarahan intrakranial (0,3% dibandingkan warfarin 0,8%),
hipersensitif, termasuk urtikaria, pruritus, ruam (<0,1%) 31,32
6.2 Argatroban
Perdarahan gastrointestinal (14%), hematuria (12%), penurunan hemoglobin
dan hematokrit (10%), perdarahan mayor (5,3%) 33
6.3 Ximelagatran
Peningkatan alanin aminotransferase (ALT) > 3 kali batas normal (6-12%),
perdarahan mayor (0,9% dibandingkan warfarin 0,5%), perdarahan mayor dan minor
(5,1% dibandingkan warfarin 4,1%)34,35
6.4 Bivalirudin
28
Perdarahan mayor, nyeri punggung (42%), sakit kepala (12%), hipotensi
(12%), hipertensi, bradikardi, mual, muntah dispepsia , insomnia (<5%)36
6.5 Lepirudin
Perdarahan mayor (19,5%), perdarahan pada tempat injeksi (14%), anemia
(12%), hematom (11%), perdarahan (<11%), hematuria (7%), abnormalitas fungsi
hati (5%), pneumonia (5%).37
6.6 Desirudin
Perdarahan mayor dan minor (30%), anemia (3%), tromboflebitis (2%), mual
(2%), reaksi alergi (2%). Kurang dari 1% ; perdarahan mayor, hipotensi, edem
tungkai, demam, hematuria, sakit kepala, epistaksis, muntah, hematemesis.38
BAB VII
29
MONITORING DIRECT THROMBIN INHIBITOR
7.1 Rentang terapi dan monitoring
Rekombinan hirudin perlu dimonitor dengan menggunakan activated partial
thromboplastin time (aPTT). Lepirudin dimonitor sejak empat jam setelah terapi
inisial dan tiap perubahan dosis dan setiap hari berikutnya. Target aPTT adalah 1,5
hingga 2,5 kali rata-rata nilai referensi. Di sisi lain, desirudin hanya perlu dimonitor
bila pasein memiliki insufisiensi renal atau adanya peningkatan risiko perdarahan.
Bila perlu, aPTT harus diperiksa setiap hari. Namun demikian, aPTT bukanlah
monitor yang ideal untuk hirudin pada tingkat dosis yang tinggi, karena tidak ada
hubungan linier terhadap peningkatan respon dosis. Pada saat diperlukan dosis tinggi
seperti operasi bypass kardiopulmonal, respon aPTT tetap datar sehinga perlu
digunakan ecarin clotting time (ECT) untuk memonitor terapi dengan hirudin.
Bivalirudin dapat dimonitor dengan activated clotting time (ACT). Namun,
hanya perlu dimonitor pada pasien dengan insufisiensi renal atau risiko perdarahan
yang meningkat.
Argatroban sebaiknya dimonitor dengan aPTT atau ACT. Nilai aPTT harus
diukur setiap dua jam sejak terapi inisial hingga rentang terapi mencapai 1,5 hingga 3
kali nilai dasar aPTT didapatkan.
Untungnya melagatran, ximelagatran, serta dabigatran memiliki respon
antikoagulan yang dapat diprediksi sehingga tidak memerlukan monitor pada
kebanyakan pasien. Nilai aPTT tidak memiliki korelasi terhadap manfaat dan risiko
perdarahan. 3,22,30
Tabel 1. Direct Thrombin Inhibitor3
30
Direct Thrombin Inhibitor
Pemberian Waktu Paruh Klirens Dosis Monitor
Argatroban Intravena 39-51 menit Hepar HIT 2 ug/kg/mntPCT pada HIT -
Monitor aPTT setiap dua jam hingga nilai aPTT 1,5-3 kali.
Bivalirudin Intravena 20-30 menit 80% metabolit plasma, 20% renal
0,75 mg/kg BB bolus, disertai infus 1,75 mg/kg/jam selama PTCA atau PCI
Pasien dengan gangguan ginjal dimonitor dengan activated clotting time (ACT). ACT >300 detik menunjukkan antikoagulan adekuat
Lepirudin Intravena 60 menit Renal. 0,15 mg/kg/jam Target aPTT 1,5 – 2,5.
Ximelagran
Melagatran
Oral
Subkutan
1,5-4 jam Renal Ximelagtran 24 mg, dua kali sehari
Tidak rutin diperlukan
Dabigatran Oral 12-17 jam Hepar 150 mg, dua kali sehari
Tidak rutin diperlukan
BAB VIII
31
SIMPULAN
Penatalaksanaan dini pada pasien dengan sindrom koroner akut ditentukan
oleh adanya perubahan khas pada elektrokardiografi, berupa ada atau tidak adanya
segmen ST elevasi. Dalam hal tidak adanya peningkatan segmen ST (non-ST segmen
elevation acute coronary syndrome), penatalaksanaan pasien akan diawali dengan
penanganan tanpa terapi reperfusi emergensi.
Salah satu terapi yang diberikan pada pasien dengan sindroma koroner akut
adalah pemberian antikoagulan. Heparin telah lama digunakan dalam prosedur
penatalaksanaan sindrom koroner akut. Sejumlah keterbatasan pada obat tersebut
mendorong pengembangan lebih lanjut untuk mendapatkan obat yang lebih baik.
Direct thrombin inhibitor merupakan antikoagulan dengan target spesifik
pada trombin. Direct thrombin inhibitor memiliki efek antikoagulan yang dapat
diprediksi dengan variabilitas individu yang kecil, tidak berinteraksi langsung dengan
protein plasma dan tidak memerlukan antitrombin sebagai kofaktor. Penggunaan
preparat ini menjanjikan keamanan dan kemudahan dalam terapi pada pasien dengan
sindrom koroner akut.
32