Post on 21-Sep-2020
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Masa remaja atau masa aldolescence adalah suatu fase perkembangan
yang dinamis dalam kehidupan seorang individu. Masa remaja terjadi lebih
dini pada remaja putri dibanding remaja putra, dan kemungkinan terjadinya
perbedaan ini dikarenakan remaja putri lebih cepat matang dalam hal
psikologikal dan emosionalnya (Liali & Dewi, 2014). Pada masa ini, remaja
putri akan mengalami perubahan yang sangat penting, yaitu perubahan fisik
dan psikologis. Perubahan fisik yang dimaksud adalah proses kematangan
yang terjadi pada organ reproduksi remaja putri yang ditandai dengan
peristiwa menstruasi, yaitu peristiwa pengeluaran darah dari dalam rahim bila
sel telur tidak dibuahi (Aloysius dkk, 2007). Menstruasi atau pendarahan
periodik normal uterus merupakan proses katabolisme yang terjadi akibat
adanya pengaruh dari hormon hipofisis dan ovarius, seperti hormon
esterogen dan progesteron. Umumnya menstruasi akan terjadi secara normal
setiap bulan (Ratikasari, 2015).
Biasanya 7 - 10 hari sebelum terjadi menstruasi, wanita akan
mengalami beberapa gejala perubahan tertentu dari segi fisik (nyeri payudara,
sakit kepala, jerawat, nyeri panggul bahkan edema) maupun emosional
(perubahan mood, penurunan fungsi sosial, penurunan konsentrasi bahdan
depresi dan kecemasan) yang akan mereda ketika siklus menstruasi dimulai.
Namun pada beberapa wanita juga dapat terjadi gejala yang terus
2
berkelanjutan hingga 24 - 48 jam pertama siklus menstruasi dan akan mereda
selama beberapa hari kedepan. Gejala – gejala tersebut dikenal dengan Pre
Menstrual Syndrome (Ratikasari, 2015).
Pre Menstrual Syndrome (PMS) merupakan kumpulan gejala fisik,
psikologis, dan emosi yang terkait dengan siklus menstruasi wanita dan secara
konsisten terjadi selama tahap luteal dari siklus menstruasi akibat perubahan
hormonal yang berhubungan dengan siklus saat ovulasi (pelepasan sel telur
dari ovarium) dan menstruasi (Laili & Dewi, 2014). Penyebab dari adanya
PMS ini diperkirakan karena adanya efek progesteron dalam neurotransmitter
seperti pada seorotonin, opioid, katekolamin dan GABA (Gamma-Aminobutyric
Acid), peningkatan sensitifitas akibat peningkatan level prolaktanin, resistensi
insulin dan defisiensi nutrisi (Kalium, Magnesium, dan B6) (Firoozi et.al.,
2012). Sepanjang periode menstruasi awal, gejala yang sering dialami remaja
putri adalah sakit kepala, sakit punggung, kejang dan sakit perut yang
terkadang dapat diikuti dengan gejala pingsan, mual, muntah, gangguan kulit,
pembengkakkan tungkai kaki dan pergelangan kaki. Akibat timbul rasa lelah,
tertekan, cemas, dan mudah marah (Al-Mighwar, 2007). Berbagai gejala
emosional yang paling umum dialami wanita saat PMS salah satunya timbul
suatu kecemasan ketika menghadapi PMS (Laili & Dewi, 2014).
Kecemasan sebagai salah satu gejala utama dan gangguan tidur seperti
insomnia atau hiperinsomnia merupakan gejala penyerta dari PMS (Kathleen
et.al., 2010). Kecemasan adalah salah satu keadaan yang ditandai dengan
perasaan ketakutan yang disertai dengan tanda somatik yaitu terjadinya
hiperaktivitas sistem saraf otonom. Kecemasan merupakan gejala yang tidak
3
spesifik yang sering di temukan dan sering kali merupakan suatu emosi yang
normal. Remaja yang mengalami pubertas akan lebih cepat murung, khawatir,
cemas, marah, dan menangis hanya karena hasutan yang sangat kecil (Al –
Mighwar, 2007). Pada awal siklus menstruasi, remaja akan lebih rentan untuk
mengalami PMS. Hal ini dapat diperkuat dengan adanya penurunan serotonin
saat fase luteal yang dapat menstimulasi gangguan mood (Firoozi et al., 2012).
Selain itu, tingkat gangguan mood akan cenderung meningkat dengan adanya
perubahan hormon pada remaja (Anggrajani & Muhdi, 2011).
Penyebab pasti munculnya kecemasan dalam menghadapi PMS
diantaranya adalah faktor hormonal pada tubuh wanita, yaitu
ketidakseimbangan antara hormon estrogen dan progesteron. Beberapa
keluhan yang dirasakan saat PMS yaitu sakit kepala, sakit punggung, nyeri
pada payudara, gangguan tidur, dan lain-lain. Akibat dari beberapa keluhan
yang dirasakan tersebut dapat menimbulkan kecemasan pada wanita yang
mengalami PMS. Apabila kecemasan tidak diatasi segera akan dapat
menimbulkan berbagai respon kecemasan, antara lain gelisah, keringat dingin,
takut, dan berbagai gangguan kesehatan seperti, diare, sering berkemih, mual
muntah dan lain- lain. Kecemaasan menyangkut respon parasimpatis yang
meningkatkan aktifitas sistem pencernaan (Laili & Dewi, 2014).
Wanita dengan PMS di Australia dilaporkan sulit mengalami dan
memulai tidur, gagal dalam bangun tidur diwaktu yang ditentukan dan
peningkatan ketidaknyamanan saat tidur. Efisiensi tidur pada wanita PMS
sebenarnya hampir sama disetiap fasenya. Namun, kualitas tidur dapat
4
mengalami gangguan jika wanita tersebut mengalami depresi atau kecemasan
(Baker et. al., 2007). Tidur merupakan suatu stase aktif, penting untuk fisik
mental dan emosional agar dalam kondisi yang baik dan penting pula untuk
mengoptimalkan fungsi otak dan tubuh secara umum. Masalah – masalah
dalam proses tidur sangat umum dan berpengaruh pada 20% remaja (Roth,
2008). Survey data yang di indentifikasi terkait gangguan pada kualitas tidur,
seperti sulit tidur, fatigue, letargi, dan insomnia. Namun masih sangat sedikit
penelitian yang mengidentifikasikan terkait gangguan tidur pada wanita yang
mengalami PMS (Baker et.al., 2007).
Menurut penelitian dalam survey di Amerika Serikat menunjukkan
sekitar 40% wanita berusia 14-50 tahun, mengalami PMS dan 50% PMS
dialami wanita dengan sosial-ekonomi menengah yang datang ke Klinik
Ginekologi. Data dari jurnal Archieves of Internal Medicine, 90% perempuan
mengalami PMS sebelum menstruasi dan studi yang dilakukan terhadap 3000
wanita, sekitar 90% perempuan mengalami satu atau lebih tanda atau gejala
PMS. Berdasarkan data dari Divisi Imunoendokrinologi Reproduksi
Departemen Obstetri dan Ginekologi Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia RSCM, PMS merupakan kondisi medis umum yang memengaruhi
hubungan wanita, aktivitas sosial, produktivitas kerja dan kualitas hidup.
Berbagai gejala emosional yang paling umum dialami wanita saat pra-haid
meliputi perasaan mudah tersinggung sebanyak 48% dan timbul suatu
kecemasan ketika menghadapi PMS, kurang berenergi atau lemas 45% dan
mudah marah 39%. Gejala fisik yang paling umum dialami wanita meliputi
5
kram atau nyeri perut 51%, nyeri sendi, otot atau punggung 49%, nyeri pada
payudara 46% dan perut kembung 43% (Wahyuni, 2014).
Pada tahun 2011, Mahin et, al melakukan penelitian tentang PMS di
Iran, ditemukan sebanyak 98,2% mahasiswi yang berusia 18 - 27 tahun
mengalami gejala sindrom premenstruasi. Gejala yang dirasakan berupa gejala
fisik dan psikologis yang memengaruhi aktivitas sehari - hari, penurunan
minat belajar dan fungsi sosial terganggu. Adapun penelitian yang dilakukan
oleh American College of Obstetricians and Gynecologists (ACOG) pada tahun 2011
di Srilanka, diperoleh hasil bahwa remaja yang mengalami sindrom
premenstruasi sekitar 65,7%. Gejala yang sering muncul adalah perasaan
sedih dan tidak berpengharapan sebesar 29,6%. (Singal, 2013)
Berdasarkan data yang diperoleh dari Departemen Kesehatan tahun
2009 tentang prevalansi sindrom premenstruasi di Indonesia, diperoleh hasil
sebanyak 40% wanita Indonesia mengalami sindrom premenstruasi dan
sebanyak 2 - 10% mengalami gejala berat. Berdasarkan penelitian yang
dilakukan oleh Puspitorini pada mahasiswi Akademi Kebidanan Pemerintah
Kabupaten Kudus pada tahun 2007, dari 259 subyek penelitian, terdapat 109
mahasiswi atau 42,9% yang mengalami PMS. Hal ini mengakibatkan
penurunan konsentrasi belajar, terganggunya komunikasi dengan teman di
kampus juga terjadi penurunan produktivitas belajar di asrama dan
peningkatan absensi (Singal, 2013).
Hasil studi pendahuluan pada remaja putri di SMP Muhammadiyah 4
Malang didapatkan 4 dari 8 atau jika dipersentasekan sebesar 50% remaja
6
putri menyatakan bahwa dirinya sering mengalami ganguan tidur, perubahan
fisik, emosional, dan kecemasan yang tiba - tiba dan tanpa sebab saat akan
menstruasi. Bahkan, perubahan tersebut mengakibatkan mereka harus
berdiam di Unit Kesehatan Sekolah dan tidak mengikuti pelajaran di sekolah
mereka. Oleh karena itu peneliti tertarik untuk melakukan penelitian terkait
hubungan antara tingkat keparahan PMS dengan tingkat kecemasan dan
kualitas tidur pada remaja putri di SMP Muhammadiyah 4 Malang.
1.2 Rumusan Masalah
Adakah hubungan antara tingkat keparahan PMS dengan tingkat
kecemasan dan kualitas tidur pada remaja putri di SMP Muhammadiyah 4
Malang ?
1.3 Tujuan Penelitian
1.3.1 Tujuan Umum
Tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi
adanya hubungan antara tingkat keparahan PMS dengan tingkat kecemasan
dan kualitas tidur pada remaja putri di SMP Muhammadiyah 4 Malang.
1.3.2 Tujuan Khusus
1.3.2.1 Mengidentifikasi tingkat keparahan PMS pada remaja putri di SMP
Muhammadiyah 4 Malang.
1.3.2.2 Mengidentifikasi tingkat kecemasan pada remaja putri di SMP
Muhammadiyah 4 Malang
1.3.2.3 Mengidentifikasi kualitas tidur pada remaja putri di SMP Muhammadiyah
4 Malang
7
1.3.2.4 Menganalisa hubungan tingkat keparahan PMS dengan tingkat kecemasan
pada remaja putri di SMP Muhammadiyah 4 Malang.
1.3.2.5 Menganalisa hubungan tingkat keparahan PMS dengan kualitas tidur pada
remaja putri di SMP Muhammadiyah 4 Malang.
1.4 Manfaat Penelitian
1.4.1 Manfaat Bagi Peneliti
Bagi peneliti manfaat dari penelitian adalah ini dapat menambah ilmu
pengetahuan dan pengalaman dalam bidang penelitian serta memperluas teori
dan praktik keperawatan, khusunya dalam bidang psikiatri tentang pentingnya
mengetahui hubungan antara tingkat keparahan PMS dengan tingat
kecemasan dan kualitas tidur pada remaja putri dan dapat melengkapi
penelitian yang pernah ada sebelumnya tentang gejala dan dampak yang
terkait dengan PMS.
1.4.2 Manfaat Bagi Bidang Keperawatan
Memberikan informasi tentang keterkaitan hubungan antara tingkat
keparahan PMS dan tingkat kecemasan dan kualitas tidur, serta menambah
referensi keilmuan dalam bidang keperawatan.
1.4.3 Manfaat Bagi Masyarakat
Hasil dari penelitian ini di harapkan dapat memberikan pengetahuan
baru bagi masyarakat khususnya pada remaja putri mengenai hubungan antara
tingkat keparahan PMS dengan tingkat kecemasan dan kualitas tidur pada
remaja putri. Hal ini agar remaja dapat melakukan waspada dini dan
mengurangi kecemasan saat gejala – gejala PMS muncul.
8
1.5 Keaslian Penelitian
1.5.1 Augner C (2011), melakukan penelitian yang berjudul Associations of Subjective
Sleep Quality with Depression Score, Anxiety, Physical Symptoms And Sleep Onset
Latency in Students. Pada penelitian ini meneliti tentang asosiasi kualitas tidur
subjektif dengan skor depresi, kegelisahan, gejala fisik dan sleep onset latency
(SOL) yaitu lamanya waktu untuk memulai tidur pada siswa. Peneliti ingin
mengevaluasi asosiasi ini pada siswa muda dan sehat dengan survei yang
bertujuan untuk mendeteksi relevansi SOL dan durasi tidur untuk kualitas
tidur. Sampel yang diteliti (N = 196) dengan tujuan untuk mengukur kualitas
tidur subjektif, SOL, durasi tidur, skor depresi, gejala fisik, sifat kecemasan,
dan perilaku makan patologis.
Hasil dari penelitian ini adalah kualitas tidur subyektif itu sangat negatif
berkorelasi dengan skor depresi, gejala fisik, dan sifat-kecemasan (p <0,001
untuk ketiga). Subjektif asosiasi kualitas tidur dengan SOL lebih kuat dari
pada dengan lamanya tidur. Tinggi skor depresi dan lama SOL adalah
prediktor terbaik dari kualitas tidur subjektif yang kurang. Kesimpulan dari
penelitian ini adalah penelitian ini mendukung bukti yang menghubungkan
gejala fisik dan mental dengan kualitas tidur yang buruk. Terutama yang
terpenting adalah kenyataan bahwa peneliti menemukan hubungan ini pada
orang dewasa muda dan pada dasarnya sehat. Dengan mempertimbangkan
bahwa kualitas tidur yang buruk memiliki dampak negatif jangka panjang
besar kesehatan, program-program pencegahan harus fokus terutama pada
hubungan antara gejala depresi dan kualitas tidur subjektif yang secara
signifikan dipengaruhi oleh SOL.
9
Persamaan penelitian yang ada di jurnal diatas dengan penelitian yg akan
dilakukan ini adalah bersama – sama mengukur kualitas tidur yang
berhubungan gejala fisik dan mental saat menjelang menstruasi.
Perbedaannya terdapat pada sampel yang mana dalam penelitian yang di
diatas menggunakan dewasa muda, sedangkan pada penelitian ini dilakukan
pada remaja. Sehingga perbedaan yang didapatkan adalah umur dari sampel
yang akan diteliti.
1.5.2 Firoozi, dkk (2012), dengan judul penelitian “The Relationship between Severity of
Prementrual Syndrome and Psychiatric Symptom”. Penelitian ini menjelaskan
tentang hubungan antara keparahan PMS dengan gejala psikologis. Penelitian
ini dilakukan dengan menggunakan metode cross sectional dengan populasi
sebanyak 390 (264 wanita dengan PMS/PMDD (Premestrual Dysphoric Disorder)
dan 126 mahasiswi sehat di Universitas Guilan) yang telah mengisi kuesioner
demografi, tingkat gejala harian, dan 90 ceklis yang telah direvisi.
Hasil dari nilai rata – rata gejala kejiwaan (depresi, kecemasan, Agresi,
sensitivitas interpersonal) pada kelompok PMS secara signifikan lebih tinggi
daripada kelompok yang sehat (p <0,05), dan peningkatan keparahan PMS
dari ringan sampai berat disertai dengan peningkatan nilai rata-rata dari sub-
skala tersebut. Pengaruh yang signifikan dari pengelompokan tingkat gejala
harian (PMS dan kelompok Sehat) dan interaksi waktu muncul sensitivitas
interpersonal dan agresi, efek yang signifikan pada kelompok tingkat gejala
harian (ringan , sedang, parah) dan pengaruh kali ini ditunjukkan dari
sensitivitas masing – masing individu.
10
Kesimpulan dari penelitian ini adalah pasien yang mengarah pada PMDD di
khawatirkan akan mengakibatkan gejala kejiwaan. Oleh karena itu, mengenali
gejala kejiwaan pada pasien dengan PMDD adalah sangat penting. Semua
penyedia layanan kesehatan harus peka terhadap status mental wanita dengan
PMS.
Persamaan penelitian yang ada di jurnal diatas dengan penelitian yg akan
dilakukan ini adalah menggunakan metode yang sama dengan memberikan
kuesioner untuk mengukur tingkat keparahan PMS. Perbedaannya teretak
pada sampel yang akan diteliti pada sampel yang diteliti. Pada jurnal diatas
terdapat dua kelompok, yaitu kelompok kontrol dan kelompok ekperimen.
Sedangkan dalam penelitian ini hanya akan meneliti satu kelompok
eksperimen.
1.5.3 Baker,dkk (2007), dengan judul penelitian “Sleep Quality and the Sleep
Electroencephalogram in Women with Severe Premenstrual Syndrome” atau kualitas
tidur dan elektroensefalogram tidur pada wanita dengan sindrom
pramenstruasi berat. Wanita dengan PMS yang parah atau gangguan
premenstruasi dysphoric (PMDD) umumnya melaporkan gangguan tidur.
Peneliti mengukur menyelidiki kualitas tidur dan komposisi tidur
menggunakan elektroensefalografik dengan analisis konvensional dan
kuantitatif pada wanita dengan PMS yang parah, dibandingkan dengan yang
kontrol. Desain dan Peserta yaitu Wanita (usia 18-40 tahun) yang disaring
untuk memastikan bahwa gejala PMS mereka parah dan bahwa mereka
memiliki ovulasi siklus menstruasi. Sembilan wanita dengan PMS atau
PMDD dan 12 asimtomatik subyek kontrol , kemudian data di masukkan ke
11
laboratorium berbasis rekaman polysomnographic pada 2 fase siklus
menstruasi: fase folikuler dan fase akhir luteal (pre menstrual).
Hasil dari penelitian ini bahwa wanita dengan PMS parah melaporkan kualitas
tidur yang lebih buruk di tunjukan pada data subjektif selama akhir fase luteal
(P = 0,02), ada bukti tidur terganggu berdasarkan polysomnogram khusus
untuk ekspresi gejala PMS.
Kesimpulan dari penelitian ini yaitu persepsi kualitas tidur yang buruk adalah
karakteristik yang keparahan PMS, tetapi komposisi tidur berdasarkan
langkah-langkah polysomnographic dan electroencephalographic analisis kuantitatif
tidak berbeda dalam hubungan dengan ekspresi gejala pramenstruasi pada
fase luteal akhir.
Persamaan penelitian yang ada di jurnal diatas dengan penelitian yg akan
dilakukan ini adalah mengukur tingkat kualitas tidur pada wanita PMS.
Sedangkan perbedaannya terdapat pada sampel yang diteliti yaitu wanita
dengan PMS parah dan kelompok kontrol. Perbedaan intervensi penelitian
dimana pada jurnal diatas memakai alat ukur kualitas tidur berupa
elektroensefalografik, sedangkan pada penelitian ini akan menggunakan alat
ukur berupa kuesioner.
1.5.4 Nur Rohma Prihatin (2010), meneliti “Hubungan antara Tingkat Kecemasan
dengan Kejadian Dismenorea pada Remaja Putri di Pondok Pesantren Imam Polokarto
Sukoharjo”. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode
korelasional dengan rancangan penelitian cross sectional. Sampel penelitian
adalah seluruh remaja putri kelas X dan XI di pondok pesantren Imam
Syuhodo Polokarto Sukoharjo sebanyak 44 siswi. Pengambilan data
12
mengunakan skala, yaitu HRS-A untuk mengukur tingkat kecemasan dan
skala disminorea untuk mengetahui gejala kejadian dismenorea. Analisis data
menggunakan metode regresi linear sederhana. Nilai signifikan p=0,00
(<0,05) maka H0 ditolak dan Ha diterima serta menunjukkan ada hubungan
yang signifikan antara tingkat kecemasan dengan tingkat kejadian dismenorea
dengan kekuatan korelasi sedang yaitu 0,054.
Tingginya kejadian dismenorea yang disebakan oleh variasi tingkat kecemasan
sebesar 29,2% dan sisanya sebesar 70,8% dipengaruhi oleh hal-hal lain diluar
persamaan ini seperti karena faktor genetik, mengalami konflik di
lingkungannya, kultur keluarga dan masyarakat terhadap perempuan yang
menstruasi, asupan zat gizi dan sebagainya. Hasil analisis regresi linear
sederhana didapatkan persamaan yaitu Y = 15,603 + 0,346 X. Kesimpulan
penelitian ini terdapat hubungan positif yang bermakna antara tingkat
kecemasan dengan kejadian dismenorea pada remaja putri di pondok
pesantren Imam Syuhodo Polokarto. Tingginya kejadian dismenorea yang
diseabkan oleh variasi tingkat kecemasan adalah sebesar 29,2%.
Persamaan jurnal diatas dengan penelitian ini adalah menggunakan desain
penelitian cross sectional dan sampel yang diteliti adalah remaja putri.
Perbedaannya terdapat pada pengambilan data untuk mengukur tingkat
keparahan PMS, pada jurnal diatas hanya meneliti kejadian dismenore
sedangkan pada penelitian ini mengukur tingkat keparan PMS secara
keseluruhan.
1.5.5 Liali & Dewi (2014), meneliti tentang “Tingkat Kecemasan Remaja Putri dalam
Menghadapi Premenstrual Syndrome di SMP 2 Sooko Kabupaten Mojokerto”. Desain
13
penelitian ini adalah deskriptif. Populasi adalah 117 remaja perempuan di
SMPN 2 Sooko Mojokerto dan sampel penelitian ini adalah 117 remaja
perempuan yang diambil oleh total sampling. Data dikumpulkan melalui
kuesioner yang diberikan dalam bentuk distribusi frekuensi tabel.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa setengah dari responden
mendapatkan tingkat menengah khawatir dalam menghadapi PMS adalah 71
responden. Kesimpulan penelitian ini adalah lebih dari setengah, 71
responden (60,6%) pada remaja putri yang sudah menstruasi di SMPN 2
Sooko Kabupaten Mojokerto dalam menghadapi PMS mengalami tingkat
kecemasan sedang.
Perbedaan penelitian jurnal ini dengan penelilian ini adalah dimana desain
penelitian ini adalah deskriptif, sedangkan pada penelitian ini akan
menggunakan desain cross sectional. Persamaannya terdapat pada sampel yang
akan diteliti yaitu pada remaja putri, dan intervesi yang sama yaitu
mengunakan kuesioner.