Post on 13-Jun-2015
80 Gagasan BesarYang Mengubah DuniaLompatan KuantumRelativitas Einstein
FILSAFAT
Pembuat Jam, Penjudi, atau Apa?”Ide-ide tentang Tuhan
Dosa Asal
Bagi Tuhan, sang Pencipta alam, bukan para wakil, yang telah menciptakan manusia dengan tegak; tapi manusia, dengan menjadi dirinya sendiri akan menjadi tidak suci, dan menjadi terhukum, melahirkan anak yang tidak suci dan terhukum. Karena kita semua telah berada dalam satu manusia itu, sejak kita semua adalah satu manusia itu yang telah terjerumus ke dalam dosa oleh seorang perempuan yang telah diciptakan darinya sebelum dosa. Untuk memastikan, bentuk-bentuk khusus dalam mana kita sebagai individu-individu hidup, belum diciptakan dan terbagi; tapi telah ada sifat seminal di sana dari mana kita dikembang-biakkan; dan semenjak ini telah direndahkan kualitasnya oleh dosa, terikat oleh rantai kematian, dan dalam keadaan terhukum, manusia tidak dapat terlahir dalam keadaan yang lain.
St. Agustinus, The City of God (410) Book XIII
Kita mulai dengan sesuatu yang sederhana, pikir anda. Adam, Eva,
buah-buahan, ular, dosa: apa lagi yang sederhana?
Sebenarnya, banyak. Dalam kisah Bibel tentang kedurhakaan
pertama manusia---memakan Pohon Pengetahuan---tidak pernah sekali
pun terdapat istilah bahasa Ibrani untuk “dosa” muncul. (Istilah ini
akan menunggu Cain.) Tidak juga ungkapan (atau doktrin) “dosa asal”
dintunjukkan di mana saja dalam Perjanjian Lama atau Baru.
Mereka tersembunyi, pastinya. “Tentang setiap pohon dari
taman [Eden] engkau boleh bebas memakannya,” firman Tuhan
kepada Adam (Genesis 2). “Tapi, terkait pohon pengetahuan tentang
kebaikan dan keburukan, engkau tidak boleh memakannya: karena di
hari engkau makan pohon ini, engkau pasti akan mati.” Ketika Adam
dan Eva tidak mati pada hari itu, Tuhan, harusnya, memaksudkan ini
seperti yang dinyatakan dalam teks bahasa Ibrani: “kamu akan dikutuk
hingga kematian menjemput.” Oleh karena itu, demikian pula, dengan
kita semua.
Tapi, sekalipun bahwa semacam transgresi telah terjadi, bahwa
ia adalah sebuah “dosa”, dan bahwa kehidupan fana kita berhutang
kepadanya, kita masih tidak memiliki “dosa asal” yang sebenarnya.
Bagi yang meyakini doktrin ini yang menyatakan bahwa tindakan
Adam dan Eva telah meninggalkan sebuah cetakan yang terus
membekas pada setiap jiwa manusia. Kita tidak sekadar akan mati,
kita terlahir dalam dosa---telah tercemar sebelum kita mempunyai
sebuah peluang.
St. Paulus menyatakan sesuatu sepanjang baris-baris ini dalam
Kisah Para Rasul-nya kepada penduduk Roma: “Atas dasar apa, ketika
satu manusia pendosa memasuki dunia ini, dan mati dalam dosa; dan
sehingga kematian dialami secara turun-temurun oleh semua manusia,
karena semuanya telah berdosa” (Penduduk Roma 5). Anda dapat
membaca penggalan ayat ini dengan banyak cara---sebagaimana yang
ditempuh oleh orang-orang Kristen---karena kata kematian dan
hubungan-hubungan sebab-akibat, keduanya bersifat ambigu. Apakah
Paulus benar-benar memaksudkan dosa itu sebagai bersifat warisan,
atau apakah dia hanya berbicara tentang kematian spiritual yang kita
undang melalui perbuatan dosa?
Pandangan dasar ini, meskipun tertulis dalam Genesis dan
Penduduk Roman, dapat ditelusuri jejaknya secara lebih langsung pada
tulisan-tulisan dari teolog klasik Gereja yang terbesar, St. Agustinus
dari Hippo (354-430). Penjelasan Agustinus tentang dosa asal, dalam
bukunya: “City of God, tidak berbagi keraguan dengan Paulus.
Pertama, Agustinus membedakan kematian tubuh dari kematian jiwa,
yang pertama bersifat tak terhindarkan dan yang kedua bersifat
kondisional (bersyarat). Kita adalah fana secara fisik, tapi jika kita
“terbebaskan oleh rahmat Tuhan” jiwa-jiwa kita mungkin dapat
diselamatkan dari neraka.
Kedua, dia mendesak bahwa kematian fisik dan keadaan berdosa
adalah warisan turun-temurun dari transgresi Adam. “Karena sifat
orangtua itu menurun kepada anak.” (“For as man the parent is, such
is man the offspring.”). berdasarkan pada kehendak bebasnya sendiri,
Adam terjerumus ke dalam perbuatan dosa, dan ini dia wariskan
kepada semua anak-anaknya. (ngomong-ngomong, ini telah menjadi
jelas dalam Genesis bahwa seluruh umat manusia diturunkan dari
Adam).
Dalam memformulasikan pandangan-pandangannya tentang
dosa, Agustinus sedang berupaya untuk meletakkan kembali penutup
pada kepompong ulat yang sangat besar. Salah satu dari isu-isu
teologis yang sangat membingungkan, dari dulu hingga sekarang ini,
adalah masalah kejahatan. Jika Tuhan itu Maha Baik, Maha
Mengetahui, dan Maha Kuasa, lalu bagaimana mungkin terdapat
kejahatan di dunia ini? Bagaimana mungkin kebaikan sempurna
menjadi sumber dari keburukan, atau bahkan mengizinkannya?
Masalah ini tidak muncul dalam agama-agama politeistik, ketika tak
satupun dari dewa itu yang maha baik atau maha kuasa; dan ketika
dewa-dewa itu saling berselisih, hanya keburukan yang akan timbul.
Sebuah jawaban atas teka-teki ini telah diberikan oleh rekan
semasa Agustinus, seorang pendeta bernama Pelagius. Kejahatan,
kata Pelagius, hanyalah akibat langsung dari tindakan-tindakan
manusia, yang mempunyai kebebasan untuk memilih. Jika anda
memilih untuk mendurhakai hukum-hukum Tuhan, Tuhan akan
menimpakan keburukan kepadamu. Jika banyak warga masyarakat
yang melakukan perbuatan buruk, maka bencana yang meluas akan
mengikuti. Teori Pelagius, kecuali dalam penekanannya tentang
kehendak bebas, dalam kenyataannya, konsisten dengan apa yang
kita temukan dalam Perjanjian Lama: angin dari dosa manusia dan
angin puyuh sebagai hukuman dari Tuhan.
Yang menjadi masalah dengan teori ini, dari sudut pandang
kaum ortodoksi, adalah bahwa ia memberi sifat fana pada kuasa untuk
mengacaukan kebaikan penciptaan. Manusia, berbeda dengan Tuhan,
berada dalam kursi sang pengemudi. Orang-orang boleh memilih untuk
melakukan perbuatan baik atau buruk, tapi kemudian, Tuhan
memaksa untuk menghukum mereka. Dengan perilakunya, manusia
dapat memutuskan apakah jiwanya ingin diselamatkan atau dihukum.
Bagaimana kemudian dengan ke-Maha Tahu-an dan ke-Maha Kuasa-an
Tuhan?
Disinilah poin dimana pendapat Agustinus diterima (yang
bersama dengan Gereja, mencap Pelagius sebagai bidah). Manusia
tidak dapat “memilih” untuk berbuat dosa, karena dosa itu bukan
sebuah tindakan melainkan suatu keadaan makhluk, yang kita warisi
pada saat kelahiran. Kejahatan dan keburukan terkandung dalam sifat
kita yang melekat begitu mendalam sehingga tidak ada perbuatan
kebaikan atau serangkaian kebaikan dapat mencuci dan
membersihkannya. Karena dosa asal inilah, manusia dihukum dengan
kematian fisik dan penderitaan abadi. Satu-satunya cara dari kedua
faktor ini adalah rahmat Tuhan, yang mungkin Dia anugerahkan atau
tidak Dia anugerahkan sesuai kehendak-Nya, dan hanya Dia, yang
mengetahui kelayakannya. Jadi, kehendak bebas, setidaknya, ketika ia
mengarah pada dosa dan penyelamatan, adalah sebuah ilusi yang
jahat.
Seolah-olah ini tidak cukup memberi tekanan, ia masih
menambahkan penjelasan bahwa ketika Tuhan itu Maha Tahu, maka
Dia telah tahu jauh sebelum anda dilahirkan apakah Dia akan
menyelamatkan anda atau tidak. Ide Agustinus ini merupakan basis
filsafat bagi teologi Calvinistik, yang menganut pendapat bahwa
manusia itu terbagi menjadi dua kelompok, “yang terpilih” (ditakdirkan
selamat) dan “yang tidak terpilih” (ditakdirkan masuk neraka).
Tentu saja, ini membawa kita kembali untuk menyesuaikan dan
mencocokkan pandangan. Bagaimana mungkin Tuhan Yang Maha
Pemurah mentakdirkan mayoritas umat manusia ke dalam neraka?
Atau, untuk mengembalikan masalah ke akarnya, mengapa Tuhan
menciptakan Adam dan Eva untuk mampu berbuat dosa pada
penciptaan yang paling awal? Sungguh argumen-argumen ini tidak
akan ada akhirnya, yang telah berperan besar dalam terjadinya skisma
(perpecahan) dalam tubuh Protestan pada abad lima belas dan enam
belas.
Argumen-argumen sekitar kehendak bebas dan takdir ini adalah
tidak terbatas pada wilayah teologi saja. Beberapa penganut
materialisme---yang meyakini bahwa pikiran itu bukan apa-apa kecuali
materi belaka---berargumen yang membela determinisme sebagai
basis keilmuannya. Ketika otak manusia disebut sebagai sebuah obyek
fisik, teori ini melanjutkan, ia harus mematuhi hukum-hukum fisika,
demikian pula dengan pemikiran danperilaku, sejalan dengan segala
sesuatu yang alam semesta ini. Mengikuti sebuah jalan yang telah
ditentukan. Setidaknya, teori ini telah menjelaskan tentang keadaan
dari alam semesta sekarang ini, segala sesuatunya dapat diprediksi,
termasuk apa yang akan anda makan setiap hari dalam sisa hidup
anda. Tentu saja, jika ini benar, maka apakah anda meyakini atau tidak
juga telah ditakdirkan, yang membuat perdebatan tentang masalah ini
menjadi agak kurang berarti.
Sang Penggerak Utama
Maka, posisi kita sekarang adalah ini: kita telah berargumen bahwa selalu terdapat gerakan dan selalu akan ada gerakan sepanjang waktu, dan kita telah menjelaskan apa prinsip pertama dari gerakan abadi ini: kita telah menjelaskan selanjutnya mana gerakan yang primer dan mana satu-satunya gerakan yang dapat menjadi abadi: dan kita telah mendeklarasikan bahwa gerakan pertama [atau “Penggerak Utama”] adalah tidak berubah.
Aristoteles, Physics, Book VIII, Chapter 9.
Anda mungkin telah akrab dengan ide dasar dibalik “Penggerak
Utama”-nya Aristoteles. Segala sesuatu yang terjadi, disebabkan oleh
sesuatu yang lain. Marilah kita contohkan suatu hujan lebat yang
menimbulkan banjir di dalam ruang bawah tanah anda. Apa yang
menyebabkan turunnya hujan? Tingkat kelembaban yang tinggi. Tapi,
apa yang menyebabkan tingkat kelembaban yang cukup tinggi ini?
Demikianlah, pertanyaan-pertanyaan terus bermunculan. Tiap-tiap
sesuatu yang menyebabkan sesuatu yang lain adalah karena ia sendiri
disebabkan oleh sesuatu yang lain, dan kita dapat menelusuri jejak
dari mata rantai penyebab-penyebab ini sejauh yang kita inginkan.
Tapi, cepat atau lambat, kita akan sampai pada penyebab pertama
yang menyebabkan sesuatu tapi ia sendiri tidak disebabkan oleh
sesuatu yang lain. Ini adalah sang Penggerak Utama.
Apa yang mendorong proses berpikir Aristoteles adalah ajaran
filsafat Parmenides, yang dengan bantuan dari muridnya yang
paradoks, Zeno, telah membuktikan bahwa gerakan itu adalah
mustahil. Parmenides mengungkapkan hal berikut ini: jika sesuatu
eksis, ia memang eksis, dan ia bukan sesuatu yang tidak
dikandungnya. Tapi, jika sesuatu ini ingin bergerak, ia harus
melangkah dari titik mana ia ada menuju titik dimana ia tidak ada. Tapi
kemudian, ia tidak lagi menjadi dirinya secara apa adanya. Akibatnya,
gerak, atau jenis perubahan apapun, adalah mustahil, dan dengan
demikian, apa yang kita pahami sebagai gerak dan perubahan adalah
ilusi.
Bukan sebuah argumen yang sangat mendesak untuk
diperhatikan, tapi, ia menimbulkan beberapa masalah pada masa itu.
Aristoteles berharap dapat menjadikan argumen Parmenides sebagai
dasar pijakan bagi filsafatnya, dan dia mulai dengan menunjukkan
bahwa logikanya bersifat melingkar. Untuk mengatakan bahwa apa
yang eksis adalah persis seperti ia eksis hanyalah sekadar sebuah
tautologi, dan ia mengabaikan fakta bahwa terdapat banyak jenis
wujud yang berbeda, yang mungkin sekali dapat dibagi ke dalam
kualitas-kualitas dan kategori-kategori sehingga dapat dikombinasikan
dan dipisahkan. Aristoteles setuju bahwa pada beberapa level, yang
eksis itu bersifat stabil dan tidak berubah, karena dalam kenyataan,
jika kita membicarakan perubahan atau gerak, kita harus setuju bahwa
ia adalah sesuatu yang berubah atau bergerak. Tapi, tingkat realitas
ini---yang dia sebut sebagai “materi” (matter)---mungkin sekali
mengandung sejumlah kualitas, bentuk-bentuk dan posisi-posisi,
dimana Aristoteles secara kolektif menamakannya “bentuk-bentuk.”
(Forms).
Materi dan bentuk adalah dua komponen realitas yang esensial,
menurut Aristoteles; materi tetap menjadi apa adanya ia, bahkan
ketika ia mengadopsi bentuk-bentuk baru. (Sebuah pohon mungkin
mengambil bentuk seperti papan, yang dapat dibentuk menjadi kursi,
yang mungkin dicat merah, dan lain-lain). Tapi, ini memunculkan
pertanyaan-pertanyaan tentang bagaimana dan mengapa sesuatu itu
bergerak dan berubah. Pertanyaan-pertanyaan bagaimana dan
mengapa ini disebut oleh Aristoteles sebagai “sebab-sebab,” yang dia
maksudkan sebagai “sarana-sarana untuk mengetahui bagaimana
sesuatu itu menjadi.” Dia membedakan empat jenis penyebab ini---
material, formal, efisien, dan final, tapi, saya tidak ingin membahas
secara mendalam disini. Sudah cukup untuk mengatakan bahwa jenis
penyebab yang penting bagi tujuan-tujuan Aristoteles adalah
penyebab efisien, suatu tindakan yang mengawali perubahan apapun.
penyebab efisien dari sebuah kursi, misalnya, adalah tukang kayu
yang mengubah materi menjadi bentuk. Udara dan api cenderung
untuk naik, sedangkan air dan bumi cenderung untuk turun, hanya
karena mereka melakukan yang demikian ini; ia terbangun menjadi
material. Demikian pula, langit-langit (heavens) bergerak dalam
sebuah lingkaran karena mereka terbuat dari sebuah unsur yang dia
sebut “aether,” (eter) yang secara alamiah bergeraka secara
melingkar. Tapi, pada akhirnya, dia mulai meragukan teori ini,
sebagian karena gerak melingkarnya itu sendiri, dan sebagian karena
ini sangat tidak mempertimbangkan fenomena alam.
Inilah dimana ide tentang penyebab efisien ini menjadi penting.
Tidak cukup untuk mengatakan bahwa sesuatu itu “secara alami”
bergerak ke atas, ke bawah, atau berkeliling, karena itu menghindari
soal tentang siapa atau apa yang membuat mereka bergerak dengan
cara seperti itu untuk memulainya. Pertanyaan yang sama muncul
tentang gerak-gerak dari makhluk-makhluk hidup. Katakanlah, saya
menggerakkan diri saya untuk memperoleh bir dari dalam kulkas. Apa
yang membuat saya untuk melakukan ini? Saya sedang haus: itulah
penyebab efisiennya. Tapi, apa yang menyebabkan saya haus? Kita
dapat mengikuti semacam sebuah garis yang mempertanyakan dari
penyebab ke penyebab dan ke penyebab berikutnya, tapi, untuk
menghindari risiko mempertanyakan secara terus-menerus, kita harus
menganggap bahwa pada poin yang sama, kita akan sampai pada
sebuah penyebab yang dirinya sendiri tidak disebabkan oleh apapun
juga.
Aristoteles mengklaim bahwa setiap perubahan atau gerak, pada
akhirnya, kembali pada “penyebab yang tidak disebabkan” dan
“penggerak yang tidak tergerakkan” yang tunggal dan sama, yang dia
sebut sebagai sang “Penggerak Utama.” Selanjutnya, dia menegaskan
bahwa semua hal yang bergerak dan berubah agar dapat mendekati
beberapa tujuan atau “penyebab final” (final cause). Bagi segala
sesuatu, tujuan ini adalah sempurna: segala sesuatu berupaya keras
untuk menjadi apa yang seharusnya ia dapat menjadi. Penyebab final
ini, kesempurnaan ini, adalah satu dan sama dengan sang Penggerak
Utama, yang kesempurnaannya terekspresikan oleh sebuah fakta
bahwa ia tidak berubah dan tidak juga bergerak.
Dari sudut pandang ilmiah, Aristoteles memahami sang
Penggerak Utama ini sebagai akhir dari mata rantai penyebab, sebuah
prinsip yang bersifat non-materi dan tak berubah yang merancang
berbagai hal yang lain dalam gerak, secara langsung maupun tidak
secara langsung. (dalam kenyataan, satu-satunya hal dimana sang
Penggerak Utama ini menggerakkan secara langsung adalah langit-
langit paling luar [outermost heavens]). Sebagai seorang filosuf,
Aristoteles juga mempunya pandangan metafisik tentang sang
Penggerak Utama ini: dengan menjadi sempurna, ini seharusnya sama
dengan “pemikiran” (filsafat).
Akhirnya, Aristoteles membawa dan mengarahkan sang
Penggerak Utama ke dalam wilayah teologi. Sebagai sumber
kehidupan, sang Penggerak Utama itu sendiri haruslah hidup;
sebagaimana halnya dengan pemikiran, ia harus berpikir secara terus-
menerus. Jika ia memikirkan tentang pergeseran dan hal-hal yang
tidak sempurna di dunia ini, maka pemikiran-pemikirannya, mengikuti
obyek-obyeknya, akan juga menjadi berubah dan tidak sempurna.
Tapi, sebagai sang Penggerak Utama itu sendiri, ini adalah mustahil.
Oleh karena itu, sang penggerak Utama adalah pemikiran yang
berpikir tentang dirinya sendiri, kesempurnaan yang memikirkan
kesempurnaannya sendiri. Siapa lagi yang dapat melakukan ini kecuali
Tuhan?
Poin yang bagus, demikian yang dipikirkan oleh teolog abad tiga
belas, St. Thomas Aquinas, yang menggunakan argumen yang sama
untuk membuktikan eksistensi dari suatu “penggerak yang tak
tergerakkan, yaitu Tuhan. Tapi, Aquinas, seperti Aristoteles, bersandar
pada sejumlah asumsi yang tidak dapat dibuktikan---misalnya, bahwa
semua gerak dan penyebab, secara logika, harusnya kembali pada
sebuah entitas primer yang bersifat tunggal. Ini akan terasa logis
untuk berargumen bahwa penyebab-penyebab bergerak secara
melingkar, atau bahwa penyebab-penyebab itu telah ditentukan secara
murni oleh hukum-hukum fisika, atau bahwa dibalik setiap peristiwa
terdapat penyebab-penyebab ganda dimana mereka itu sendiri
mempunyai banyak penyebab, dan demikian seterusnya, dengan
menghasilkan penyebab-penyebab “orisinal yang tak terbatas,
daripada hanya satu penyebab saja. Anda bahkan dapat berargumen---
sebagaimana yang dikemukakan oleh beberapa pihak---bahwa
kausalitas itu adalah sebuah fiksi, suatu kreasi dari pikiran manusia.
Tapi kemudian, tak seorang pun yang pernah mempunyai banyak
keberuntungan dengan membuktikan eksistensi Tuhan pada pijakan-
pijakan dasar yang logis, sebagaimana akan kita lanjutkan
pembahasannya pada bab ini.
Silet Occam
Plularitas itu tidak diperlukan tanpa ada kebutuhan yang mendesak.William of Ockham, Quodlibeta, Book v (ca. 1324)
William of Ockham (“Occam” adalah ejaan bahasa Latin), seorang
teolog Inggris pada awal abad empat belas, sangat tidak dikenal di era
sekarang ini. Thomas Aquinas dan Duns Scotus adalah para Super Star
sebagai bandingannya, namun, adalah Occam yang pemikirannya
menunjukkan apa yang akan terjadi di masa depan dan
membayangkan era modern sekarang.
Satu hal yang diingat oleh beberapa pihak adalah sebutan “silat
cukur”, yang melekat pada nama Occam, karena penegakan logika
yang dia terapkan untuk memangkas absurditas dari argumen-
argumen yang dikemukakan. Prinsip dasar Occam adalah bahwa
semakin sederhana sebuah penjelasan itu, maka semakin lebih baik ia.
Jika tidak perlu menghadirkan kompleksitas-kompleksitas atau
pernyatan-pernyataan yang masih bersifat hipotesa ke dalam suatu
argumen, jangan lakukan itu; bukan hanya akan berakibat pada
kurang elegan dan kurang meyakinkan, ia juga akan menjadi kurang
akurat.
Seperti yang akan kita lihat, salah satu pernyataan hipotetis
yang dibuang oleh silet Occam adalah pernyataan tentang eksistensi
Tuhan. Bukan berarti ia tidak meyakini bahwa Tuhan itu eksis, tentu
saja; dia hanya berpikir bahwa anda tidak dapat membuktikan-Nya,
karena untuk melakukan yang demikian ini, anda harus menempuh
argumen-argumen yang kompleks (dan tidak masuk akal). Para teolog
menginginkan sebuah bukti ilmiah tentang Tuhan; tapi apa yang telah
dikatakan Occam, dan mayoritas setiap orang yang pada akhirnya
menerima, adalah bahwa ilmu pengetahuan dan teologi mempunyai
obyek-obyek pembahasan yang berbeda dan menuntut metode-
metode yang berbeda.
Sebenarnya, Occam bukanlah orang pertama yang
menggunakan silet pe mangkas argumen ini; dan banyak tersebar
dalam karya-karyanya dimana kita menemukan pernyataan favoritnya:
“Entitas-entitas tidak dilipatgandakan tanpa ada kebutuhan yang
mendesak.” Tapi, dia menggunakannya dengan sikap balas dendam,
seringkali dalam bentuk reaksi terhadap motode-metode teologi dan
filsafat yang mengemuka dan berpengaruh kuat. Pendahulunya,
Aquinas, dan para sarjana “Skolastik” lain---sebuah nama yang mereka
peroleh dengan lebih merujuk pada teks ketimbang pada
pengalaman---sangat sangat ingin untuk menjadikan teologi bersifat
ilmiah. Mereka berharap untuk dapat memecahkan kontradiksi-
kontradiksi yang tampak antara ilmu pengetahuan kuno dengan
ajaran-ajaran kitab suci, dan menawarkan penjelasan-penjelasan
rasional atau bukti-bukti dari konsep-konsep teologis (misalnya,
eksistensi Tuhan).
Satu tahap dalam proses ini adalah untuk menangani konsep-
konsep universal seperti “kebaikan” atau “keagungan” (dan bahkan
semacam hal-hal duniawi yang meluas seperti “pohon” atau “anjing”)
sebagai nyata, sebagai entitas-entitas yang independen. Jika kita
menyebut ini adalah “pohon” elm dan itu adalah “pohon” oak, maka
harus ada sesuatu yang nyata, yang eksis dimana keduanya saling
berbagi kegunaan dan pengalaman yang sama (“kepohonan”
[treeness]). Demikian pula, jika Sokrates dan Parmenides adalah baik,
ini karena terdapat sesuatu semacam kebaikan yang dimiliki oleh
keduanya. Doktrin semacam ini---yang bersifat lebih Platonis daripada
Aristotelian---dikenal sebagai “realisme.”
Occam memikirkan realisme sebagai sesuatu yang sangat tidak
masuk akal, sebuah pengkaburan tentang kategori-kategori yang
diangkat ke dalam wilayah ilmu pengetahuan. Ini adalah suatu
kesalahan, pikirnya, untuk memperlakukan nama-nama sebagai
realitas-realitas daripada sebagai deskripsi-deskripsi. (Ide ini bahwa
nama-nama hanyalah sekadar nama-nama belaka disebut dengan
“nominalisme). Jika kita menyebut kedua “pohon” ini elm dan oak, ini
karena kita telah memutuskan apa yang membuat pohon itu sebagai
pohon, bukan karena “kepohonan” eksis secara terpisah dalam
realitas. Jika semua pohon, tiba-tiba saja, lenyap, maka tidak akan ada
“kepohonan” yang tersisa untuk dibicarakan, kecuali sebagai sebuah
memori atau sebagai abstraksi murni.
Occam menggunakan silet cukur ini untuk mengakhiri realisme
universal, dengan menegaskan bahwa penjelasan-penjelasan yang
valid harus didasarkan pada fakta-fakta yang sederhana dan dapat
diobservasi, yang dilengkapi dengan logika murni. Dengan menerima
syarat-syarat ini berarti bahwa kita tidak akan mampu untuk
membuktikan eksistensi Tuhan atau kebaikan-Nya secara ilmiah, atau
doktrin-doktrin keimanan apapun. Kesimpulan semacam ini tidak
mengganggu dia sama sekali; dia memikirkan teologi sebagai satu hal
(sebuah materi pewahyuan) dan ilmu pengetahuan adalah hal lain
yang berbeda (sebuah materi tentang penemuan). Ide ini hanya sesaat
mengemuka, ketika Galileo telah menjelaskan kepada anda, tapi pada
akhirnya, ilmu pengetahuan dan agama menempun cara mereka
masing-masing yang berbeda. Inilah seluruh kandungan dari
modernisme itu.
Bukti Ontologis
“Bukti ontologis” masih merupakan upaya lain untuk menunjukkan
secara pasti bahwa Tuhan itu Eksis. Dikemukakan pertama kali oleh St.
Anselmus of Canterburry (1033-1109), seorang Italia, pernyataanya
berbunyi seperti ini: selama kita dapat membayangkan kesempurnaan
absolut, maka ia harus eksis. Jika ia eksis, maka inilah Tuhan.
Tidak yakin? Marilah kita lihat pembuktian ini lebih dekat lagi,
pembubuhan istilah “ontologis” oleh Immanuel Kant setelah istilah
penggunaan istilah Yunani ontos (being=ada). Anselmus mulai dengan
eksperimen berikut ini: bayangkan sebuah wujud yang lebih sempurna
dari apapun yang lain. Jika anda memahami kalimat ini, anda harusnya
mempunyai beberapa konsep tentang wujud yang sejenis ini; jika
tidak, berarti kalimat ini tidak dapat dipahami. (Sebagaimana halnya
dengan kalimat “Membayangkan sebuah kuda besar yang bertanduk
[unicorn]” hanya akan masuk akal jika anda mempunyai beberapa
konsep tentang “seekor kuda besar yang bertanduk).
Lalu, apakah wujud ini yang anda bayangkan (sebutlah ia “B”)
hanya sekadar sebuah fantasi? Anselmus tidak berpikir demikian.
Karena jika B tidak eksis, maka anda dapat membayangkan sebuah
wujud yang lebih sempurna lagi, dengan memberi nama sebuah wujud
yang seperti B lain yang juga eksis. Karena dapat dipahami bahwa
sebuah kebaikan yang nyata adalah lebih sempurna daripada sebuah
kebaikan yang dibayangkan. Jadi, asumsi bahwa B adalah sebuah
fantasi mestinya adalah palsu, karena jika ia benar, maka kita dapat
membayangkan sebuah wujud yang lebih sempurna, yang
bertentangan dengan hipotesa ini.
Jadi, B eksis, dan Anselmus mendefinisikannya sebagai Tuhan.
Dengan kata lain, Tuhan persisnya adalah wujud itu yang kita
bayangkan sebagai yang paling sempurna. Jika kita hanya sekadar
mencari wujud paling sempurna yang sedang eksis, kita tidak akan
sampai pada kesimpulan Anselmus ini, karena kita tidak akan dapat
membuktikan bahwa apa yang kita temukan adalah Tuhan. Kunci
untuk dapat memahami bukti Anselmus ini terletak pada konsep
tentang wujud ini sebagai suatu jenis kesempurnaan dalam dirinya,
tidak dalam pengalaman apapun sebelum ini tentang eksistensinya.
Tapi, itulah persisnya yang bermasalah dengan bukti ontologis
Anselmus. Dengan membangun eksistensi ke dalam definisi tentang
“wujud paling sempurna yang dapat dibayangkan”, maka untuk
mengatakan bahwa sebuah wujud semacam itu eksis hanyalah
sekadar menyatakan kembali definisinya. Jika tidak, maka dengan
menentangnya, tidak harus menentang fakta atau kebenaran,
sebagaimana yang disyaratkan oleh bukti ini. Eksistensi dan
kesempurnaan, persisnya, merujuk pada hal yang sama. Bukti
Anselmus ini, dengan demikian, menggunakan pernyataan Immanuel
Kant, hanyalah sekadar “sebuah tautologi yang menyedihkan.”
Kant bukan yang pertama kali menyadari bahwa penunjukan
bukti dari Anselmus ini mengandung masalah-masalah. Dalam
kenyataan, salah satu rekan semasa Anselmus, Gaunilo of Marmoutier,
menjelaskan bahwa bukti ontologis ini dapat digunakan untuk
membuktikan eksistensi dari hampir segala hal. Contoh khusus yang
dikemukakan Gaunilo adalah tentang sebuah pulau yang sempurna,
yang lebih baik dari pulau lain yang pernah dikenal, sebuah tempat
yang sangat menyenangkan yang dapat dibayangkan. Ketika kita
dapat membayangkan hal yang semacam ini, kita harus mempunyai
sebuah konsep tentangnya; dan jika ia tidak eksis, maka kita dapat
membayangkan yang lebih sempurna lagi yaitu pulau (yang eksis),
oleh karena itu, ia harus eksis.
Ketika Anselmus merespon kritik Gaunilo, Gaunilo gagal untuk
memahami intisarinya. Karena konsep tentang sebuah pulau ini tidak
melibatkan konsep tentang eksistensi, sebagaimana halnya konsep
tentang sebuah lingkaran sempurna tidak bergantung pada eksistensi
dari jenis lingkaran apapun. Namun, konsep tentang sebuah wujud,
pastinya, melibatkan konsep tentang eksistensi. Kita dapat dengan
mudah membayangkan bahwa sebuah pulau yang sempurna atau
sebuah lingkaran yang sempurna tidak eksis; tapi kita tidak dapat
membayangkan bahwa wujud paling sempurna yang dibayangkan
sebagai tidak eksis, karena konsep yang sama ini membuatnya
menjadi tidak mungkin. Apa yang mungkin tidak eksis berdasarkan
definisi yang lebih sempit dari apa yang tidak dapat tidak eksis. Logika
ini berhasil melambungkan Descartes, Spinoza, dan Leibniz, ke dalam
kelompok filosuf yang menempati posisi tertinggi, tentang validitas
dari bukti ontologis Anselmus.
Lebih dari tujuh abad sebelum Kant akhirnya menuntaskan bukti
ontologis ini. Dalam karyanya Critique of Pure Reason (1781), dia
menunjukkan bahwa Anselmus telah mencampur-adukkan kategori-
kategorinya, dengan memperlakukan suatu unit gramatika (sang
predikat “to be”) sebagai sebuah kuantitas ontologis. Untuk
mengatakan bahwa sebuah sesuatu “ada” atau “eksis” adalah,
menurut Kant, tidak menambahkan sesuatu kepadanya. Tapi, lebih
untuk menyatakan bahwa sesuatu dalam realitas itu sesuai dengan
sebuah konsep yang kita miliki. Untuk mengatakan bahwa “kursi ini
eksis” adalah tidak untuk menambahkan sesuatu pada kursi ini, tapi
hanya untuk membuat sebuah vonis tentangnya---bahwa pengalaman
kita menunjukkannya sebagai nyata. Kita mungkin hanya mengatakan
bahwa sesuatu itu “ada” atau “eksis” jika kita dapat mengalaminya;
kebenaran dari pernyataan semacam ini bergantung pada kesesuaian
antara kata atau konsep dengan sebuah sesuatu dalam realitas.
Singkatnya, jika Tuhan tidak eksis, dia tidak dapat menjadi “lebih
baik” atau dibuat lebih sempurna dengan menambahkan eksistensi
kepadanya, ketika tidak ada “Dia” untuk menambahkan sesuatu
kepada yang lain. Jika predikat “eksis” lenyap, maka demikian pula
dengan subyek “Tuhan” (atau “wujud paling sempurna yang
dibayangkan”, atau “kursi”, atau subyek apa saja yang telah kita
kemukakan). Demikian pula, untuk mengatakan “Tuhan tidak eksis”
tidak “mengurangi” apapun dari Tuhan, ketika kita hanya
mengemukakan bahwa tidak ada wujud semacam “Tuhan” untuk
mengambil sesuatu dari yang lain---dalam hal ini, “Tuhan” adalah
subyek gramatikal, bukan subyek yang aktual.
Dengan kata lain, tidak ada kontradiksi logis dalam pernyataan
bahwa “wujud paling sempurna yang dibayangkan itu tidak eksis”: kita
sedang menyatakan, atau mencoba untuk menyatakan, bahwa wujud
semacam ini tidak mempunyai realitas obyektif, lebih tepatnya,
daripada mempertentangkan ide tentang wujud semacam ini dalam
dirinya sendiri. dan jika pernyataan negatif (“X tidak eksis”) secara
logika tidak bertentangan, maka pernyataan positif (“X eksis”) secara
logika adalah tidak perlu. Satu-satunya tes yang benar mengenai
apakah sesuatu itu eksis adalah pengalaman.
Dan itulah akhir dari “bukti” ontologis Anselmus, meskipun
terdapat banyak upaya untuk menyelamatkan beberapa dari argumen
semacam ini dari keruntuhan. Tak satupun yang terbukti sukses,
sejauh semua dari argumen-argumen ini melibatkan beberapa
kekaburan kategori-kategori, tapi anda harus respek terhadap orang-
orang itu atas upaya-upaya mereka.
Perjudian Pascal
Marilah kita mempertimbangkan poin ini dan berkata: “Tuhan eksis atau Dia tidak eksis.” Tapi, alternatif mana yang akan kita pilih? Akal tidak dapat menentukan apa-apa: terdapat suatu chaos yang tak terhingga yang membelah kita. Sebuah koin telah diputar pada titik yang ekstrim dari jarak yang tak terukur, yang akan menunjukkan gambar kepala atau gambar ekor. Apa taruhan anda?
Blaise Pascal, Pensees (posthumous edition, 1844)
Tuhan mungkin tidak “bermain dadu” [lihat hal. 105], tapi, kita semua
memainkan dadu dengan Tuhan. Itulah kesimpulan dari pakar
matematika Perancis abad tujuh belas, Blaise Pascal, ketika dia merasa
sangat tertarik untuk mengangkat pertanyaan yang membingungkan
tentang eksistensi Tuhan.
Pascal, tidak seperti Anselmus, mengakui (dengan rasa enggan)
bahwa adalah tidak mungkin untuk “membuktikan” bahwa Tuhan itu
eksis---dalam kenyataan, klaimnya, akal manusia tidak mampu
membuktikan apapun secara pasti. Pertanyaan penting ini, baginya,
adalah apakah seseorang harus meyakini eksistensi Tuhan, dan
jawaban dia adalah bahwa anda akan menjadi bodoh jika tidak
meyakini-Nya. Pemaparan bukti oleh Pascal melibatkan penggunaan
ilmu matematika yang menawarkan berbagai kemungkinan
(mathematics of probability), dimana dia telah membantu untuk
menemukannya. (Ia berharap dapat menarik perhatian sahabat-
sahabat aristokratiknya yang merupakan penggemar berat judi).
Dalam pandangan Pascal, keyakinan anda atau ketidakyakinan
anda kepada Tuhan adalah sama dengan perjudian. Jika Tuhan eksis
dan Kitab Suci itu benar, keyakinan akan membuat anda meraih
kebahagiaan tak terhingga setelah kematian. Jika Tuhan tidak eksis,
semua yang anda sia-siakan dengan meyakini Dia adalah kesenangan-
kesenangan terbatas dari sebuah kehidupan yang fana. Bahkan jika
anda berpikir yang aneh-aneh tentang eksistensi Tuhan yang
mendekati titik nol---Pascal menawarkan ide untuk dipertimbangkan
bahwa mereka ini mendekati 50 persennya---satu-satunya hal rasional
yang dapat dilakukan adalah memainkan permainan ini. (Dalam istilah
matematika, persentase apapun yang terbatas tentang yang tak
terbatas adalah tetap tak terbatas). Oleh karena itu, akal mendiktekan
bahwa anda harus meyakini Tuhan.
Tentu saja, anda masih menentang alasan ini, tapi itu hanya
akan terjadi dengan membiarkan nafsu-nafsu anda untuk
mengalahkan diri anda. Menurut Pascal, hasrat-hasrat dapat dijinakkan
dengan berperilaku seolah-olah anda meyakini Tuhan dan dengan
berpartisipasi dalam ritual-ritual kesalehan Kristiani. Begitu anda telah
terbiasa dengannya, anda akan menemukan bahwa dalam
meninggalkan kebiasaan-kebiasaan anda yang tidak bermoral, anda
bahkan akan merasa lebih bahagia daripada sebelumnya---dan ini,
dalam pandangan Pascal, adalah pembayaran sebenarnya dari
perjudian ini.
Argumen Pascal cukup sistematis, tapi ketika dirinya sendiri
mungkin telah mengetahui, dengan menggandakan dan membagi
ketakterbatasan adalah sebuah urusan yang sangat sulit. Logika
pascal akan menimbulkan upaya untuk mengejar premis apapun
tentang kebahagiaan yang tak terbatas, agama atau jika tidak
demikian, maka ini adalah hal rasional yang dilakukan jika terdapat
peluang non-zero untuk sukses. (Katakanlah terdapat satu persen
peluang Fountain of Youth1; anda harus menanggalkan semuanya
sekarang dan mulai mencarinya).
Agar perjudian Pascal dapat berfungsi, anda harus memberikan
apa saja yang diminta oleh Pascal untuk dapat membuktikan---bahwa
jika Tuhan eksis, maka Dia adalah tak terbatas, Maha Tahu, Maha
Kuasa, dan Penulis sebenarnya dari Bibel. Tapi, tentu saja, terdapat
jumlah tak terhingga tentang kemungkinan-kemungkinan---misalnya,
1 Fountain of Youth = Mata air yang dapat dianggap dapat membuat orang menjadi awet muda. (penerjemah).
bahwa Tuhan eksis tapi tidak begitu peduli tentang perilaku masing-
masing individu (atau lebih merugikan argumen Pascal yaitu) Tuhan
eksis tapi tidak dalam wujud yang tak terbatas.
Bagaimanapun juga, adalah lebih sulit untuk bertindak
berdasarkan keyakinan-keyakinan yang tidak anda anut yang ingin
diakui oleh Pascal. (dan menduga bahwa Tuhan akan tahu apakah
anda tulus atau hanya sekadar berjudi). Sejauh menyangkut sifat
manusia, kesenangan-kesenangan yang telah pasti akan lebih dipilih
ketimbang kesenangan-kesenangan yang belum pasti, tak peduli
betapa menjanjikan ia. Pada puncak gairah, kemungkinan-
kemungkinan tak terbatas tampaknya terlalu kecil untuk dapat
dijadikan sebagai ukuran.
Tuhan Telah Mati
Apakah kamu telah mendengar tentang orang gila itu yang menyalakan lentera pada jam-jam pagi yang cerah, berlari menuju pasar, dan terus-menerus berteriak : “Aku mencari Tuhan! Aku mencari Tuhan!” ketika banyak dari mereka yang tidak meyakini Tuhan itu kemudian berdiri mengerumuninya, banyak yang tertawa atas tingkahlakunya ini....
“Dimana Tuhan,” teriaknya. “Aku akan memberitahumu. Kita telah membunuh-Nya---engkau dan aku. Kita semua adalah para pembunuh.... Tuhan telah mati. Tuhan akan terus mati. Dan kita telah membunuhnya....”
Friedrich Nietzsche, The Gay Science (1882), bagian 125
Shakespeare tidak mengatakan: “Menjadi atau tidak menjadi.” Dia
telah menulisnya, tapi Hamlet-lah yang mengatakannya. Tidak juga
Friedrich Nietzsche mengatakan “Tuhan telah mati”; orang gila itulah
yang melakukannya. Sementara itu, adalah benar bahwa Nietzsche
sendiri telah menjadi gila pada 45, masih terdapat perbedaan antara
kehidupan dengan sastra, bahkan ketika yang disebut terakhir ini
dinamakan filsafat.
Lalu, apa yang dimaksud dengan orang gila itu? Bukan bahwa
terdapat “orang-orang kafir” di dunia ini, karena itu selalu benar; tidak
juga bahwa Tuhan tidak eksis. Karena jika “Tuhan telah mati”, maka
dia harus pernah hidup; tapi ini adalah paradoks, karena jika Tuhan itu
pernah hidup, maka, Dia, Yang Abadi, tidak dapat mati.
Jadi, orang gila itu tidak berbicara tentang orang-orang yang
ingkar terhadap Tuhan, yang selalu dan selalu akan terus terjadi, tapi
lebih tepatnya, Tuhan apa yang telah dihadirkan dan dimaksudkan
oleh kebudayaannya. Tuhan ini adalah suatu keyakinan yang
digunakan bersama-sama terhadap Tuhan, dan ini adalah sejenis
keyakinan yang kadaluwarsa. Dimana Tuhan telah berdiri---pada pusat
pengetahuan dan pemaknaan ---sekarang, terdapat kehampaan. Ilmu
pengetahuan dan filsafat, sama-sama memperlakukan Tuhan sebagai
sesuatu yang tidak relevan, dan sekali lagi, manusia telah menjadi
acuan dari segala sesuatu.
Kita orang Barat, yang lebih cenderung pada dunia materi dan
menjauh dari hal-hal supernatural, “telah membunuh” Tuhan para
leluhur kita. Orang-orang kafir ini dalam cerita Nietzsche berpikir
bahwa mencari Tuhan itu hanya lelucon belaka; hanya orang gila yang
menyadari situasi yang sangat gawat dari kematian Tuhan. Bukan
bahwa dia menyesalinya; dalam kenyataan, dia menyebutnya sebagai
suatu “perbuatan yang agung”, bahkan suatu perbuatan yang
tampaknya terlalu agung bagi kita, para pembunuh, untuk
menanggungnya. “Haruskah kita sendiri yang menjadi tuhan-tuhan
hanya karena merasa layak?”
Inilah pertanyaan yang diajukan oleh parabel Nietzsche, untuk
kembali ke poin pertama kita, yang adalah sebuah fiksi dan bukan
sebuah pernyataan filsafat. Nietzsche, sebenarnya, sangat membenci
spekulasi-spekulasi metafisik tentang yang dapat dipahami, sifat, dan
eksistensi (atau tidak ada eksistensi) tentang abstraksi-abstraksi
supernatural seperti “Tuhan.” Dia tidak dapat memberi teriakan keras
untuk Tuhan, tapi dia telah mempunyai banyak hal untuk dikatakan,
terutama tentang agama Kristen. Baginya, agama, dengan
memfokuskan diri pada kehidupan abadi, sebenarnya adalah sejenis
kematian: ia menjauhkan kita dari kehidupan dan kebenaran, yang
keduanya berada di dalam dunia ini dan bukan di pulau supernatural
yang tidak akan pernah terjangkau.
Selanjutnya, sebuah agama semacam agama Kristen, meskipun
ini adalah ajaran-ajaran Yesus, mengabadikan sikap tidak adanya
toleransi dan konformitas (perilaku yang sesuai dengan tradisi
masyarakat), dimana Nietzsche mendapatinya sebagai sesuatu yang
sangat menjijikkan. Apa saja yang sudah menjadi tua, telah menjadi
kebiasaan, yang bersifat normatif, atau dogmatik, pikirnya, adalah
bertentangan dengan kehidupan dan bertentangan dengan martabat;
ia akan menghadirkan apa yang dia sebut sebagai “mentalitas budak”.
Dalam pengertian inilah, maka, laki-laki atau perempuan yang
melangsungkan kehidupan, dia harus “membunuh” Tuhan---harus
melenyapkan dogma, konformitas, takhayul, dan rasa takut. Inilah
langkah pertama yang harus ditempuh untuk menjadi, bukan tuhan,
tapi “manusia super” [lihat hal. 56].
Ide-ide dari Masa Lampau Filsafat Yunani
“Segala sesuatu Berubah tapi Mengubah
Dirinya sendiri”
Segala sesuatu mengalir dan tak ada yang menetap; segala sesuatu memberi jalan dan tak ada satupun yang pasti.... anda tidak dapat melangkah dua kali ke dalam sungai yang sama, karena air-air yang lain dan air-air yang lain lagi, akan terus mengalir.... ia selalu dalam proses perubahan dimana segala sesuatu menemukan tempat istirahatnya....
Heraklitus, fragmen-fragmen
Warga Yunani mengenali filosuf Heraklitus ini sebagai “Yang Sulit
Dimengerti”, dan mereka mempunyai beberapa alasan tentang hal ini.
Heraklitus (akhir abad ke enam SM) mungkin adalah pemikir pra-
Sokrates yang paling mendua. Seorang yang berubah-ubah mood
dengan pandangan yang suram tentang kehidupan, dia, pada intinya,
berargumen bahwa segala sesuatu, baik dan buruk, harus berlalu.
Seperti Thales dari Miletus (penemu Filsafat Yunani), Heraklitus
berpikir bahwa segala sesuatu tercipta dari substansi yang tunggal dan
permanen, yang harusnya adalah salah satu dari keempat “unsur”---
tanah, udara, api, air. Thales telah memilih air; Heraklitus memilih api.
“Halilintar mengendalikan segalanya” adalah prinsip dasarnya yang
misterius.
Dunia ini, pikirnya, adalah seperti nyala api dari sebuah lilin:
selalu sama dalam penampakannya, tapi selalu berubah dalam
substansinya. Ironisnya, contoh yang lebih terkenal yang dia ajukan
tentang bentuk atau substansi paradoks ini adalah yang berkaitan
dengan air: “Anda tidak dapat melangkah dua kali ke dalam sungai
yang sama.” Meskipun sebuah sungai itu selalu tampak sebagai sungai
yang “sama”, air-airnya terus mengalir tanpa henti. Pada momen anda
melangkah ke dalam air, ia telah lewat.
Demikian pula dengan seluruh isi dunia ini berada dalam suatu
aliran yang mengalir secara terus-menerus; perubahan bersifat
konstan (berlangsung secara terus-menerus) dan tak terhindarkan.
Terhadap inti pandangan Heraklitus bahwa segalanya berubah, maka
semua hal yang lain akan menambah kesimpulan logisnya, “tapi
mengubah dirinya sendiri”. Apa yang tidak dia maksudkan adalah
bahwa semua ini adalah chaos; dibalik proses mengalir dan
pertentangan ini, dia melihat sebuah prinsip yang membimbing,
sebuah kekuatan yang mengorganisir, yang dia sebut dengan logos,
sebuah istilah Yunani yang berarti “akal” atau “logika”.
Adalah logos yang tidak berbentuk ini, yang secara inheren
berada di alam semesta ini, yang membentuk konflik dan perubahan
menjadi keindahan dan kesenangan. “pertentangan membawa
harmoni” adalah salah satu paradoks Heraklitus. “Berdasarkan pada
pertentangan ini, muncul harmoni yang paling indah”. Kebaikan tidak
eksis secara terpisah dengan kejahatan, kesehatan dengan penyakit,
kepuasan dengan rasa lapar, atau keadaan istirahat dengan rasa lelah:
mereka adalah dua sisi dari koin metafisik yang sama, masing-masing
menghasilkan yang lainnya ketika perubahan terus memutar-mutar
koin ini.
Ide-ide Heraklitus muncul kembali ke permukaan setelah lama
tak terdengar, meskipun terdapat sedikit perubahan, dalam ajaran
filsafat Empedokles (abad lima SM), yang telah mengilhami penyair
Latin, Horace, empat abad kemudian, untuk menemukan sebuah
ungkapan baru concordia discors---“pertentangan yang harmonis”.
Gagasan-gagasan transisi materi dan kekal yang ideal dari Plato [lihat
Goa Plato, hal. 23] juga berhutang pada Heraklitus, sebagaimana
(lebih bersifat tidak langsung) halnya para pendeta-pendeta gereja
yang bijak, yang salah satu larik hymne-nya berbunyi: “Bagi segalanya
terdapat sebuah musim”, adalah satu dari sekian banyak sentuhan-
sentuhan Yunani Heraklitus.
“Manusia Adalah Acuan dari Segala
Sesuatu”
SOCRATES: Dapatkah aku gagal mengetahui apa yang aku pahami?THEAETETUS: Kamu tidak dapat.SOCRATES: jadi, kamu cukup benar dalam menegaskan bahwa pengetahuan itu hanya persepsi; dan makna ini menjadi sama, apakah dengan Homer dan Heraklitus, dan semua kelompok itu, kamu mengatakan bahwa semua adalah gerak dan aliran, atau dengan pernyataan manusia arif yang agung, Protagoras, bahwa manusia adalah acuan dari segala sesuatu; atau dengan Theaetetus, bahwa, yang menyampaikan premis-premis ini, persepsi adalah pengetahuan.
Plato, Theaetetus
Jika anda sangat akrab dengan teknik-teknik berfilsafat Sokrates, anda
akan telah menduga bahwa dia sedang mengangkat Theaetetus untuk
kemudian menjatuhkannya. Ide ini bahwa “manusia adalah acuan dari
segala sesuatu” membuat upaya Sokrates gagal total; tapi, daripada
mengatakannya secara langsung dan terbuka, dia secara halus
mengendalikan rekan dialognya yang masih muda dengan
menerapkan “metode Sokrates” sehingga Theaetetus akan dapat
memahami mengapa ide ini tidak benar. Pada akhirnya, keduanya
tidak menyimpulkan bahwa ide ini sebagai benar, tapi setidaknya,
keduanya bersepakat bahwa pendapat Protagoras adalah salah.
Protagoras (abad lima SM) adalah pendiri sebuah kelompok yang
disebut Sophis, yang meyakini bahwa kearifan dapat diajarkan
(dengan imbalan uang)---sebuah ide yang radikal pada masa itu.
prinsip yang mendasari filsafat Protagoras adalah bahwa “manusia
adalah acuan dari segala sesuatu”; dengan kata lain, banyak hal yang
eksis disebabkan oleh bagaimana cara kita memahami mereka. Obyek
duniawi sebagai persediaan bagi manusia, dan tak ada satupun di luar
manusia yang dapat menentukan keberadaan atau kebenarannya. Ini
lebih bersifat ide yang abstrak, yang merupakan hukuman bagi
gagasan Sokrates tentang ideal-ideal, secara mengejutkan telah
menjadi ungkapan populer yang menarik perhatian luas. Tapi,
ungkapan itu sekarang ini kita artikan sebagai “kebutuhan-kebutuhan
dan hasrat-hasrat kita-lah yang menentukan apa yang berarti di dunia
ini.”
Paradoks Zeno
Anda mungkin telah mendengar sebuah versi tentang paradoks
Zeno---atau lebih tepatnya, satu dari paradoks-paradoks Zeno; sang
filosuf Yunani (abad lima SM) ini penuh dengan paradoks-paradoks.
Bahkan Zeno, seorang filosuf pengganggu (banyak melancarkan kritik-
kritik yang membuat kesal orang lain), membuat paradoks sebagai
filsafatnya.
Meskipun hanya satu yang disebut dengan “Paradoks Zeno”, dan
ia muncul dalam beragam bentuk. Sekarang ini, yang paling umum
adalah ini: anggaplah bahwa anda sedang melakukan perjalanan dari
titik A ke titik B. Untuk mencapai B, anda harus melakukan perjalanan
separuh jarak terlebih dahulu. Begitu anda telah tiba di pertengahan,
anda harus menempuh lagi jarak yang tersisa. Tapi, begitu anda telah
sampai di pertengahan dari jarak yang masih tersisa ini, anda masih
harus menempuh separuh jarak lagi.
Dalam kenyataan, serangkaian peristiwa ini terus berlanjut
secara ad infinitum. Ketika ini membutuhkan beberapa waktu, tak
peduli betapa sedikit waktu yang dibutuhkan, untuk menempuh jarak
yang tersisa, dan ketika jarak yang tersisa ini selalu dapat dibagi
separuh, ini kemudian akan membuat anda membutuhkan jumlah
waktu yang tak terbatas guna menempuh perjalanan dari A ke B.
Singkatnya, adalah mustahil untuk mencapai titik B.
Sebuah versi yang lebih berwarna dari paradoks ini melibatkan
pertandingan balapan antara pahlawan bangsa Yunani Achilles dengan
seekor kura-kura yang lamban. Marilah kita katakan bahwa Achilles
kesempatan kepada kura-kura untuk memulai start terlebih dahulu;
anda dapat membuktikan, dengan menggunakan logika Zeno, bahwa
dia (Achilles) tidak mungkin dapat memenangkan lomba balap ini.
Anggaplah bahwa Achilles mulai berlari pada pukul 13.00. Aar dapat
menyusul kura-kura, dia harus sampai terlebih dahulu ke tempat
dimana kura-kura akan sampai di tempat itu pada pukul 13.00, tapi itu
mungkin membutuhkan waktu 10 menit. Dalam waktu sepuluh menit
itu, kura-kura telah menempuh sedikit lebih jauh, demikian pula
dengan Achilles, untuk dapat menyusul, harus mencapai titik dimana
kura-kura akan sampai pada pukul 13.10. ini akan membutuhkan
beberapa waktu, katakanlah lima menit. Tapi, dalam waktu lima menit
itu, kura-kura telah berjalan lebih jauh dengan susah payah menuju
garis finish, dan sekarang Achilles harus membalap ke titik dimana
kura-kura akan sampai pada pukul 13:15. Dan seterusnya. Oleh karena
itu, kura-kura akan selalu berada di depan Achilles, tak peduli betapa
cepat Achilles berlari.
Zeno, tentu saja mengetahui dalam realitas, karena ini telah
dipahami secara luas, Achilles atau orang lain yang sehat, akan dapat
dengan mudah mengalahkan kura-kura dalam arena balapan. Dia
hanya tidak yakin bahwa pemahaman umum tentang realitas ini
bersifat koheren (secara logika saling berkaitan), seperti yang telah dia
coba tunjukkan bahwa pemahaman umum (common sense) dan
hukum-hukum gerak keduanya tidak dapat menjadi benar sekaligus.
(Kesalahan Zeno: dia tidak menyadari bahwa sedang membagi
ketakterhinggaan dengan ketakterhinggaan, tapi anda benar-benar
tidak perlu mengetahui perinciannya). Apa yang sebenarnya ingin
dibuktikan oleh Zeno adalah doktrin dari mentor-nya, Parmenides,
yang gagasan-gagasannya tentang ada dan tidak-ada lebih bersifat
abstrak---menurut Parmenides, bahkan, realitas itu tidak nyata.
Para filosuf Yunani di era Parmenides, tidak dapat membuat
lobang-lobang yang efektif dalam argumen-argumennya; filosuf
pertama yang berhasil melakukan ini adalah Plato, yang menyerang
doktrin-doktrin Parmenides dalam suatu serangkaian dialog
(Parmenides, Theaetetus, dan Sophist). Tapi, Plato tidak sepenuhnya
keluar sebagai pemenang, ketika Aristoteles masih menganggap perlu
untuk memikirkannya guna menantang dan membuktikan kesalahan-
kesalahan dari argumen-argumen Parmenides dan Zeno, yang telah
dia lakukan dalam wacananya yang menguji tentang penyebab-
penyebab gerak. Namun, tesis akhir Aristoteles, mengandung
masalah-masalahnya sendiri [lihat Sang Penggerak Utama, hal. ...].
Gua Plato (Idealisme)
“Dan sekarang,” [Sokrates] berkata, “biar aku tunjukkan dalam sebuah gambar tentang seberapa jauh sifat dasar kita dapat tercerahkan atau tidak tercerahkan: Perhatikan! Umat manusia hidup di dalam tempat perlindungan di bawah permukaan tanah, yang mempunyai sebuah mulut yang terbuka menuju cahaya dan mencapai tempat perlindungan tersembunyi itu sepenuhnya; disini, mereka telah berada sejak masa kanak-kanak mereka, dan kaki serta leher mereka terbelenggu rantai sehingga mereka tidak dapat bergerak, dan hanya dapat melihat [obyek] yang ada di depan mereka saja, karena dicegah oleh rantai-rantai itu dari menoleh ke sekitarnya. Di atas dan di
belakang mereka terdapat api yang menyala dari kejauhan, dan antara api dengan para tawanan ini terdapat sebuah jalan yang mendaki; dan engkau akan melihat, jika engkau melihat, sebuah bangunan dinding yang rendah di sepanjang jalan itu, seperti layar dimana para pemain yang memainkan boneka-boneka [yang dikendalikan oleh tali-temali] berada di depan mereka, tempat dimana mereka menampilkan boneka-boneka ini....[mereka seperti diri kita] dan mereka hanya melihat bayang-bayang mereka sendiri, atau bayang-bayang satu sama lain, dimana nyala api memantul ke dinding goa yang ada di seberang.”Plato, Republic, Book 7
Plato (hidup sekitar tahun 428-348 SM) tidak berpikir bahwa suasana
seperti digambarkan di atas adalah yang terbaik dari seluruh dunia
yang mungkin. Ini adalah sejenis penjara, tulisnya, dimana kita
terperangkap dalam kegelapan dan bayang-bayang. Tapi, dibalik
penjara ini, terdapat secercah dunia yang cerah dan penuh harapan
tentang kebenaran yang dia sebut sebagai dunia ide atau ideal-ideal.
Oleh karena itulah, kita menyebut doktrinnya sebagai “idealisme”.
Plato mengembangkan ide-ide idealistiknya yang sangat layak
untuk diperhatikan dalam bukunya Republic, dimana seperti biasanya,
juru bicaranya adalah mentor-nya yaitu Sokrates. (Sejauhmana
sebenarnya Plato menganut pandangan-pandangan Plato, tidak
diketahui). Socrates membandingkan dunia sehari-hari ini dengan
sebuah “tempat perlindungan tersembunyi di bawah permukaan
tanah” atau goa dimana kita terbelenggu oleh rantai di dalamnya. Di
depan kita berdiri sebuah dinding dan di belakang kita adan api; tidak
dapat menolehkan kepala kita, kita hanya melihat bayang-bayang
pada dinding yang dipantulkan oleh nyala api. Sama sekali tidak
mengetahui apapun, kita secara alami menganggap bayang-bayang ini
sebagai “realitas”; rekan-rekan sesama kita dan semua benda di
dalam gua, tidak mempunyai realitas bagi kita selain dari ini.
Tapi, jika kita dapat membebaskan diri dari belenggu rantai ini,
jika kita hanya dapat menoleh ke arah mulut gua itu, kita pada
akhirnya akan menyadari kesalahan kita. Pada mulanya, cahaya
langsung akan sangat menyakitkan dan membutakan. Tapi, dengan
segera, kita akan beradaptasi dan mulai memahami orang-orang dan
benda-benda yang sebenarnya, yang pernah kita kenali hanya dalam
bentuk bayang-bayang.
Meskipun demikian, kita akan melekatkan kebiasaan pada
bayang-bayang, masih meyakini mereka sebagai nyata dan sumber-
sumber mereka hanyalah ilusi-ilusi. Tapi, jika kita berupaya menarik
diri keluar dari gua dan mengarah menuju cahaya, maka, cepat atau
lambat, kita akan sampai pada pandangan yang tepat tentang
berbagai hal dan menyesali kebodohan kita sebelumnya.
Analogi Plato adalah sebuah serangan terhadap kebiasan-
kebiasaan berpikir kita. Kita ini, katanya, terbiasa menerima obyek-
obyek yang konkret di sekitar kita sebagai “nyata”, padahal tidak
demikian. Atau, lebih tepatnya, mereka hanya ketidaksempurnaan dan
tiruan-tiruan yang tidak “nyata” dari “bentuk-bentuk” yang tak
berubah dan abadi. Bentuk-bentuk ini, sebagaimana Plato
mendefinisikan mereka, adalah bersifat permanen, ideal, dan realitas-
realitas orisinal darimana ketidaksempurnaan dan tiruan-tiruan konkret
yang bersifat merusak ini menjadi terhapus. Misalnya, setiap kursi di
dalam dunia-obyek kita yang kita akrabi adalah sekadar imitasi atau
“bayang-bayang” dari Kursi Ideal. Setiap bangku adalah sebuah tiruan
dari Bangku Ideal, yang tidak pernah berubah, yang eksis dalam
keabadian, dan di atas mana anda tidak pernah dapat menumpahkan
kopi.
Kursi-kursi dan bangku-bangku ideal ini, menurut Plato, bukanlah
fantasi-fantasi; mereka bahkan lebih “nyata” dibandingkan dengan
tiruan-tiruan duniawi mereka, karena mereka lebih sempurna dan lebih
universal. Namun karena indera-indera kita yang sangat terbatas
selalu saja terperangkap, sehingga kita buta akan dunia ideal-ideal.
Pikiran kita terbelenggu oleh tiruan-tiruan ini, dimana kita menjadi
salah paham terhadap realitas. Kita adalah para tawanan dalam
sebuah gua filsafat.
Tapi, semuanya tidak hilang, karena meskipun manusia
dimanapun juga berada dalam keadaan terbelenggu, filsafat dapat
membebaskan kita. Jika kita hanya membiarkannya, ia akan menyeret
kita dari gua kegelapan dan kebodohan menuju cahaya dari wujud
sejati. Kita boleh jadi, untuk sementara waktu, menolak pada apa yang
kita lihat kemudian, dengan melekatkan diri kita pada “realitas” obyek-
obyek dan mengingkari kebenaran dari Ideal-ideal filosofis. Tapi, cepat
atau lambat, kita akan mulai melihat dengan jelas, dan bahkan
mendekati ide yang paling mendasar, yang paling ideal dari ideal –
ideal, yaitu Idea tentang Kebaikan itu sendiri. tentu saja, dengan
menjadi seorang filosuf, Plato mendefinisikan Kebaikan sebagai
pengetahuan.
Tiga Hukum Pemikiran
Sekarang ini, adalah mustahil bahwa hal-hal yang bertentangan harus berada pada saat yang bersamaan true of the samething, mudah dipahami bahwa hal-hal yang berlawanan juga tidak dapat terjadi pada waktu yang sama pada sesuatu yang sama, adalah juga kemustahilan bahwa hal-hal yang berlawanan terkait dengan suatu subyek pada saat yang sama, kecuali keduanya terhubung dengannya dalalm hubungan-hubungan yang khusus, atau salah satunya berada dalam hubungan yang khusus dan yang lain tanpa kualifikasi. Tapi, pada sisi lain, tidak mungkin ada suatu perantara antara hal-hal yang bertentangan ini, tapi tentang satu subyek kita harus menegaskan atau mengingkari satu predikat apapun.
Aristoteles, Metaphysics, Book IV, Bab 6-7
Selama lebih dari dua milenium, logika Barat dibentuk oleh tiga
“hukum-hukum pemikiran” yang mendasar. Tak ada keraguan
sedikitpun pada permukaannya, aksioma-aksioma ini, praktis,
mendefinisikan cara kita berpikir. Tapi, hukum-hukum pemikiran ini
sebenarnya jauh lebih kompleks dan tidak mudah dipahami
sebagaimana tampaknya.
Tiga hukum pemikiran ini, sebagaimana telah dikodifikasikan
oleh Aristoteles adalah sebagai berikut:
1) Sesuatu adalah identik dengan dirinya sendiri. Ekspresi simbolik
yang standar dari hukum ini, yang disebut dengan “hukum
identitas,” adalah “A = A”. Contoh: “Sokrates adalah Sokrates.”
2) Sesuatu tidak dapat sekaligus menjadi dan tidak menjadi---“A
dan bukan-A adalah tidak benar.” Ini disebut dengan “hukum
kontradiksi.” Contoh: “Adalah tidak benar bahwa Sokrates itu
manusia dan bukan manusia sekaligus.”
3) Menggambarkan suatu keadaan atau yang pasti atau kualitas A,
sesuatu harus memiliki kualitas ini atau tidak---“Baik A atau
bukan-A”. Ini disebut “hukum yang dikecualikan bagian
tengahnya”, ketika tidak ada ranah pertengahan antara A dan
bukan-A. Contoh: “Sokrates hidup atau tidak-hidup.”
Adalah cukup sulit untuk berargumen dengan ketiga hukum
pemikiran ini, yang biasanya kita anggap sepenuhnya benar tanpa
pemikiran kritis. Tapi, para filosuf dan pakar-pakar matematika,
tidak peduli dengan apa yang telah menjadi kebiasaan; mereka
peduli tentang apa yang benar. Apakah hukum-hukum ini pasti
benar dalam setiap situasi yang mungkin? Selama waktu satu abad
yang lalu hingga sekarang ini, jawabannya adalah “tidak”.
Keraguan-keraguan mulai muncul begitu para filosuf berpikir
lebih serius lagi tentang makna-makna “is” dan “not” dalam
hukum-hukum Aristoteles. Karena, kata-kata semacam ini, mungkin,
digunakan dalam beragam cara, hukum-hukum ini dengan mudah
jatuh ke dalam kekacauan semantik. Yang paling menarik dari
masalah-masalah jenis ini menimbulkan kebingungan tentang
hukum tentang ranah pertengahan yang dikecualikan (3). Ambillah
sebuah contoh sederhana seperti “Sekuntum mawar berwarna
merah atau ia tidak (berwarna merah).” Seberapa sederhana ia
sebenarnya? Barangkali, anda dan saya tidak setuju pada seberapa
merah sekuntum mawar itu seharusnya menjadi “merah”;
barangkali, kita bahkan tidak setuju dengan apa yang dimaksudkan
dengan warna “merah”. Saya pernah mempunyai sebuah
Volkswagen Golf yang saya sebut “merah” dan orang lain
menyebutnya “oranye”. Kita semua setuju bahwa ia sangat buruk,
tapi kita tidak dapat menyetujui pada bagaimana cara
menggambarkan keburukan ini.
Kualitas-kualitas (“predikat-predikat”, untuk menggunakan
istilah yang logis) seringkali bersifat subyektif. Saya mungkin
berpikir bahwa John itu tinggi, tapi, anda mungkin sekali tidak
berpikir demikian. Kita mungkin sama-sama benar; apa itu “benar”
(right)? Dapatkah kita katakan bahwa kedua pernyataan ini sebagai
“benar” (true)? Ambillah contoh yang lain: pernyataan “Kuda-kuda
besar yang bertanduk adalah buas.” Ini tidak benar, karena kuda-
kuda itu tidak eksis. Tapi, pernyataan yang berlawanan “Kuda-kuda
besar bertanduk adalah tidak buas” adalah sama tidak benarnya,
berdasarkan alasan yang sama.
Para pakar matematika baru-baru ini telah membuat keberatan-
keberatan serupa terhadap semua hukum-hukum ini, atau
setidaknya terhadap klaim bahwa mereka (ketiga hukum) ini
merupakan sebuah basis yang mencukupi bagi logika. Baik saja
mengatakan bahwa 5 adalah 5, atau bahwa 5 tidak dapat menjadi
bukan-5, atau bahwa 5 harus menjadi bilangan yang dapat dibagi
dengan dua (even) atau bilangan yang tak dapat dibagi dengan dua
(odd). Tapi, begitu kita memasuki bidang bilangan-bilangan yang
tak terbatas, maka pernyataan-pernyataan ini menjadi tidak
mempunyai makna; kita tidak dapat membuktikan bahwa suatu
bilangan yang tak terbatas adalah bilangan yang dapat dibagi dua
atau bilangan yang tak dapat dibagi dua. (“Angka nol adalah dapat
dibagi dua” dan “angka 1 adalah bilangan prima” adalah proposisi-
proposisi yang tak dapat dipecahkan). Demikian pula, untuk
mengambil contoh dari Fisika, kita tidak dapat mengatakan,
“Cahaya adalah sebuah gelombang atau bukan-sebuah
gelombang.” Berdasarkan pada alasan-alasan semacam ini, hukum-
hukum pemikiran ini banyak diwarnai oleh sikap tidak setuju dan
menentang, setidaknya dalam lingkungan-lingkungan ilmiah.
Hukum-hukum pemikiran ini juga mempunyai masalah-masalah
tersendiri di kalangan para filosuf, yang paling penting diantara
mereka adalah G.W.F Hegel. Sejauh pernyataan Hegel dicermati,
sesuatu dapat, dalam beberapa pengertian, menjadi sesuatu yang
berlawanan dengan dirinya sendiri. untuk lebih jelasnya
pembahasan tentang gagasan yang sangat memutar otak ini, lihat
DIALEKTIKA, hal. 51.