TUGAS TERSTRUKTUR PARASITOLOGI

22
TUGAS TERSTRUKTUR PARASITOLOGI NEMATODA PARASIT USUS DISUSUN OLEH : 1. Roffa Hijrani (G1B012007) 2. Lenny Rachmawati (G1B012008) 3. Alvianti Fatma Pratami (G1B012009) 4. Rossita Kurnia Rahayu (G1B012015) 5. Leti Siana (G1B012016) KEMENTRIAN PENDIDIKAN NASIONAL UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU-ILMU KESEHATAN JURUSAN KESEHATAN MASYARAKAT

description

parasitologi

Transcript of TUGAS TERSTRUKTUR PARASITOLOGI

Page 1: TUGAS TERSTRUKTUR PARASITOLOGI

TUGAS TERSTRUKTUR PARASITOLOGI

NEMATODA PARASIT USUS

DISUSUN OLEH :

1. Roffa Hijrani (G1B012007)

2. Lenny Rachmawati (G1B012008)

3. Alvianti Fatma Pratami (G1B012009)

4. Rossita Kurnia Rahayu (G1B012015)

5. Leti Siana (G1B012016)

KEMENTRIAN PENDIDIKAN NASIONAL

UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU-ILMU KESEHATAN

JURUSAN KESEHATAN MASYARAKAT

PURWOKERTO

2013

Page 2: TUGAS TERSTRUKTUR PARASITOLOGI

BAB 1

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang.

Nematoda adalah cacing yang bentuknya panjang, silindrik tidak bersegmen,

dan tubuhnya bilateral. Nematoda pada manusia digolongkan menjadi dua menurut

tempat hidupnya, yaitu Nematoda usus dan Nematoda jaringan. Spesies Nematoda

usus yang ditemukan pada manusia Ascaris Lumbricoides, Trichuris trichiura,

Oxyuris vermicularis,Strongyloides stercolaris, Ancylostoma duodenale, Ancylostoma

braziliense, Ancylostoma caninum, Necator americanus,Toxocara canis dan

Toxocara cati. Umumnya manusia menupakan hospes definitive. Tiap spesies

Nematoda usus memiliki morfologi yang berbeda-beda. Cacing betina ukurannya

lebih besar daripada jantan. Tiap larva spesies Nematode usus berada di dalam

sirkulasi darah(siklus paru), kecuali Trichuris trichiura. Gejala klinis dipengaruhi

oleh tingkat infeksi(jumlah cacing), jenis parasite, stadium parasite,(larva/dewasa),

lokalisasi parasite, dan lamanya kasus infeksi. Diagnosis penyakit ditegakkan dengan

menemukan telur dalam feses, bilasan duodenum, larva dalam jaringan melalui teknik

jaringan tekan atau diwarnai,uji intradermal, uji serologis. Pengobatan penyakit harus

disertai dengan upaya peningkatan hygiene dan sanitasi. Infeksi umumnya melalui

media tanah yang terkontaminasi feses yang mengandung telur cacing (soil

transmitted helminthes), misalnya askarialis, trikurialis, dan cacing tambang. Dalam

siklus hidupnya cacing nematode usus membutuhkn kondisi lingkungan yang

mempunyai temperature dan kelembapan yang sesuai. Upaya pencegahan dengan

melakukan pengobatan secara individual atau massal, menghindari kontak debu, tidak

defekasi disembarang tempat, memasak sayuran hingga matang,memakai alas kaki,

menghindari kontak/ berdekatan dengan anjing dan kucing. Sebagian besar nematoda

tersebut menyebabkan masalah kesehatan masyarakat di Indonesia, oleh karena itu

dalam makalah ini akan dibahas mengenai nematoda khususnya nematoda parasit

usus.( Muslim,2009)

B. Tujuan.

1. Mengetahui klasifikasi, epidemiologi, distribusi geografis & kondisi penyakit

terkini, morfologi, siklus hidup, patologi, pencegahan dan pengendalian.

Page 3: TUGAS TERSTRUKTUR PARASITOLOGI

BAB II

ISI

Pada uraian berikut akan dibahas beberapa spesies dari Nematoda yang merupakan

parasite pada manusia.

1. Ascaris lumbricoide(cacing gelang)

1.1 Klasifikasi

Phylum : Nemathelminthes

Kelas : Nematoda

Ordo : Ascaridida

superfamili : Ascaridoidea

Genus : Ascaris

Spesies : Ascaris lumbricoides

1.2 Epidemiologi

Distribusi di seluruh dunia. Prevalensi tertinggi pada Negara beriklim

tropisdan subtropics, dan daerah yang sanitasinya tidak baik. Telur Ascaris

lumbricoides berkembang sangat baik pada tanah liat dengan kelembapan

tinggi dan suhu 25-30’c, membutuhkan waktu 2-3 minggu agar telur menjadi

infektif. Prevalensi di Indonesia tinggi, terutama pada anak-anak yang

mencapai 60-90 %.

(Muslim, 2009)

1.3 Distribusi Geografis

Parasit ini ditemukan kosmopolit. Survey yang dilakukan di beberapa tempat

di Indonesia menunjukan bahwa prevalensi A.lumbricoides masih cukup

tinggi, sekitar 60-90%.(Sutanto, 2008)

1.4 Morfologi

Morfologi Ascaris lumbricoides yaitu :

Cacing jantan memiliki ukuran 10-31 cm, ekor melingkar, memiliki 2

spikula.

Cacing betina memiliki ukuran 22-35 cm, ekor lurus, pada 1/3 bagian

anterior memiliki cincin kopulasi.

Mulut terdiri atas 3 buah bibir.

Page 4: TUGAS TERSTRUKTUR PARASITOLOGI

Telur yang dibuahi berukuran sekitar 60 x 45 mikron, berbentuk oval,

berdinding tebal dengan 3 lapisan dan berisi embrio.

Telur yang tidak dibuahi berukuran sekitar 90 x 40 mikron, berbentuk

bulat lonjong atau tidak teratur, dindingnya terdiri atas 2 lapisan dan

dalamnya bergranula.

T

e

l

u

r

decorticated, telurnya tanpa lapisan albuminoid yang lepas karena proses

mekanik.(Prianto,juni,2006)

1.5 Siklus Hidup Ascaris lumbricoides

Page 5: TUGAS TERSTRUKTUR PARASITOLOGI

Ascaris Lumbricoides

1.6 Patologi dan Gejala Klinis

Gejala yang timbul pada penderita dapat disebabkan oleh cacing dewasa dan

larva.Gangguan pada larva biasanya terjadi pada saat di paru – paru. Pada orang

yang rentan, terjadi perdarahan kecil pada dinding alveolus dan timbul gangguan

pada paru - paru yang disertai dengan batuk, demam, dan eosinofilia. Pada foto

toraks tampak infiltrate yang menghilang dalam waktu 3 minggu. Keadaan ini

disebut dengan Sindrom Loeffler. Gangguan yang disebabkan oleh cacing dewasa

biasanya ringan. Kadang – kadang penderita mengalami gejala gangguan usus

ringan seperti mual, nafsu makan berkurang, diare atau konstipasi.

Pada infeksi berat, terutama pada anak dapat terjadi malabsorbsi sehingga

memperberat keadaan malnutrisi. Efek yang serius terjadi bila cacing – cacing ini

menggumpal dalam usus sehingga terjadi obstruksi usus ( ileus ). Pada keadaan

tertentu cacing dewasa mengembara ke saluran empedu, apendiks, atau ke

bronkus dan menimbulkan keadaan gawat darurat sehingga kadang – kadang

perlu tindakan operatif. (Sutanto, 2008)

1.7 Pencegahan, Pengandalian dan Pengobatan

Pencegahan pada cacing jenis ini yaitu dengan kesadaran penggunaan

jamban keluarga yang baik dan benar. Selain itu, dengan menghindari

pencemaran feses pada tanah di sekitar halaman rumah, dibawah pohon,

dan tempat pembuangan sampah.

Pengobatan dapat dilakukan secara perorangan atau masal dengan syarat

mudah diterima, efek samping rendah, aturan pakai mudah, dan murah.

Obat yang biasa digunakan adalah piperasin, tiabendazol, heksilresorkinol,

dan hetrazan. Golongan obat ini dapat memilikiefek samping, sedangkan

obat-obat baru yang efektif dipakai di antaranya adalah pirantel pamoat,

mebendazol, albendazol, dan levamisol (Muslim,2009).

Page 6: TUGAS TERSTRUKTUR PARASITOLOGI

2. Trichuris trichiura (cacing cambuk)

2.1 Klasifikasi

Kelas : Nematoda

Subkelas : Adenophorea

Ordo : Enoplida

Superfamili : Trichinelloidea

Genus : Trichuris

Species : Trichuris trichuira

2.2 Epidemiologi.

Factor penting untuk penyebaran penyakit adalah kontaminasi tanah

dengan tinja. Telur tumbuh di tanah liat, lembab, dan teduh dengan suhu optimum

30’C. pemakaian tinja sebagai pupuk kebun merupakan sumber infeksi. Frekuensi

di Indonesia tinggi. Di beberapa pedesaan di Indonesia frekuensinya berkisar 30-

90%. Di daerah yang sangat endemic infeksi dapat dicegah dengan pengobatan

penderita trikuriasis, pembuatan jamban yang baik, pendidikan tentang sanitasi

dan kebersihan perorangan,terutama anak. Mencuci tangan sebelum makan, dan

mencuci sayuran yang akan dimakan mentah adalahpenting apalagi di negeri yang

memakai tinja sebagai pupuk (Sutanto, 2008).

2.3 Distribusi Geografis.

Cacing ini bersifat kosmopolit, terutama ditemukan di daerah panas dan

lembab, seperti Indonesia (Sutanto, 2008).

2.4 Morfologi dan Siklus Hidup.

Trichuris trichiura jauh lebih kecil dari Ascaris lumbricoides,anterior panjang

dan sangat halus, posterior lebih tebal. Betina panjangnya 35-50 mm,dan jantan

panjangnya 30-45 mm. Telur berukuran 50-54x32 mikron, bentuk seperti

tempayan/tong, di kedua ujung ada operculum (mucus yang jernih) berwarna

kuning tengguli, bagian dalam jernih, dan dalam feses segar terdapat sel telur.

Kerusakan mekanik di mukosa usus oleh cacing dewasa dan respons alergi

disebabkan oleh jumlah cacing yang banyak, lama infeksi, usia, dan status

kesehatan umum hospes. Infeksi berat dan menahun terutama terjadi pada anak-

anak.cacing tersebar di kolon dan rectum sehingga dapat terjadi prolapse rektal

yang menyebabkan pendarahan pada tempat perlekatan dan menimbulkan anemia.

Anemia terjadi karena malnutrisi dan kehilangan darah akibat kolon rapuh. Di

Page 7: TUGAS TERSTRUKTUR PARASITOLOGI

samping itu, cacing ini juga mengisap darah. Gejala klinis terjadinya diare disertai

sindrom disentri, anemia, prolaps rektal, dan berat badan menurun. Secara klinis

infeksi lama(kronis) dPt menimbulkan anemia hipokromik (Muslim,2009).

2.5 Patologi dan Gejala Klinis.

Cacing Trichuris pada manusia terutama hidup di sekum, akan tetapi dapat

juga ditemukan di kolon asendens. Pada infeksi berat, terutama pada anak, cacing

tersebar di seluruh kolon dan rectum. Kadang-kadang terlihat di mukosa rectum

yang mengalami prolapses akibat mengejannya penderita pada waktu defekasi.

Cacing ini memasukkan kepalanya ke dalam mukosa usus, hingga terjadi trauma

yang menimbulkan iritasi dan peradangan mukosa usus. Di tempat perlekatannya

dapat terjadi pendarahan. Di samping itu cacing ini juga mengisap darah

hospesnya, sehingga dapat menyebabkan anemia. Penderita terutama anak-anak

dengan infeksi Trichuris yang berat dan menahun, menunjukan gejala diare yang

sering diselingi sindrom disentri, anemia, berat badan turun, dan kadang-kadang

disertai prolapses rectum. Infeksi berat Trichuris trichuira sering disertai dengan

infeksi cacing lainnya atau protozoa. Infeksi ringan biasanya tidak memberikan

gejala klinis yang jelas atau sama sekali tanpa gejala. Parasite ini sering

ditemukan pada pemeriksaan tinja secara rutin (Sutanto, 2008).

2.6 Pencegahan, Pengobatan, dan Pengendalian.

Upaya tindakan pencegahan data dilakukan seperti pada kasus askariasis.

Infeksi parasite ini diobati dengan menggunakan pirantel pamoat, mebendazol,

oksantel pamoat, dan levamisol. (Muslim,2006)

Page 8: TUGAS TERSTRUKTUR PARASITOLOGI

3. Oxyuris vermicularis(cacing kremi)

3.1 Klasifikasi.

Phylum : Nemathelminthes

Kelas : Nematoda

Ordo : Oxyurida

Superfamili : Oxyuroidea

Genus : Enterobius

Species : Oxyuris Vermicularis

3.2 Epidemiologi.

Penyebarannya lebih luas dibandingkan nematode usus lainnya. Penularan

sering terjadi pada suatu keluarga atau kelompok yang hidup di lingkungan yang

sama.(Muslim.2006)

3.3 Distribusi geografis.

Distribusi geografik secara kosmopolit, terutama di iklim tropisdan subtropics.

Lebih banyak ditemukan di daerah dengan suhu dingin daripada panas.

Penyebaran juga disebabkan oleh pengaruh hubungan yang erat antar kelompok

manusia, seperti di asrama, panti asuhan, barak, dan sebagainya.(Muslim,2006)

3.4 Morfologi.

Cacing jantan panjangnya 2-5 mm, ekor melengkung.

Cacing betina panjangnya kurang lebih 10 mm, uterus berisi telur, ekor

runcing.

Baik jantan maupun betina mempunyai’cephalic alae”.

Telurnya berukuran kurang lebih 55x25 mikron, bentuk lonjong asimetris,

berdinding tebal, berisi larva.(Prianto,2006)

3.5 Patologi klinis.

Page 9: TUGAS TERSTRUKTUR PARASITOLOGI

Pruritus ani terutama pada malam hari, gejala intestinal biasanya ringan,

peradangan pada vagina/tuba fallopii.

3.6 Siklus hidup.

3.7 Pencegahan, Pengobatan, dan Penanggulangan.

Pencegahan sulit dilakukan karena penularan yang mudah, yaitu dari anus

ke mulut, pakaian terkontaminasi telur yang terbawa debu, perabot rumah

tangga dll. Pencegahan dilakukan dengan meningkatkan higieni

perorangan.(Muslim,2006)

Enterobiasis sering menyebabkan infeksi berulang sehingga perlu

dilakukan pengobatan kembali dan harus dilakukan pada seluruh keluarga.

Obat yang dianjurkan diantaranya adalah piperasin, mebendazol, dan

pirivinium yang efektif untuk semua stadium.

(Prianto, 2006)

Page 10: TUGAS TERSTRUKTUR PARASITOLOGI

4. Strongyloides stercolaris

4.1 Klasifikasi.

Phylum : Nemathelminthes

Kelas : Nematoda

Subkelas : Secernente

Ordo : Rhabditida

Superfamili : Rhabditoidea

Genus : Strongyloides

Species : Strongyloides stercoralis

4.2 Epidemiologi.

Daerah yang  panas, kelembaban yang tinggi dan sanitasi kurang, sangat

menguntungkan cacing strongiloides sehingga terjadi daur hidup yang tidak

langsung. Tanah yang baik untuk pertumbuhan larva ini adalah tanah gembur,

berpasir dan humus. Frekuensi di Jakarta pada tahun 1956 ssekitar 10-15%,

sekarang jarang ditemukan (Sutanto, 2008).

4.3 Distribusi geometris

Nematoda ini terutama terdapat di daerah tropik dan subtropik sedangkan di

daerah yang beriklim dingin jarang ditemukan (Sutanto, 2008).

4.4 Morfologi

Cacing ini disebut cacing benang, terdapat bentuk bebas di alam dan bentuk

parasitik di dalam intestinum vertebrata. Bentuk parasitik adalah parthenogenetik

dan telur dapat berkembang di luar tubuh hospes, langsung menjadi larva infektif

yang bersifat parasitik atau dapat menjadi bentuk larva bebas yang jantan dan

betina. Bentuk bebas ditandai dengan adanya cacing jantan dan betina dengan

esofagus rabditiform, ujung posterior cacing betina meruncing ke ujung vulva

terletak di pertengahan tubuh. Bentuk parasitik ditandai dengan esofagus

filariform tanpa bulbus posterior, larva infektif dari generasi parasitik mampu

menembus kulit dan ikut aliran darah.

Cacing dewasa betina hidup sebagai parasit di vilus duodenum dan yeyunum.

Cacing betina berbentuk filiform, halus, tidak berwarna dan panjangnya kira-kira

2 mm. Cacing dewasa betina memiliki esofagus pendek dengan dua bulbus dan

uterusnya berisi telur dengan ekor runcing. Cara berkembang biaknya adalah

secara parthenogenesis. Telur bentuk parasitik diletakkan di mukosa usus,

Page 11: TUGAS TERSTRUKTUR PARASITOLOGI

kemudian menetas menjadi larva rabditiform yang masuk ke rongga usus serta

dikeluarkan bersama tinja. Cacing dewasa jantan yang hidup bebas panjangnya

kira-kira 1 mm, esophagus pendek dengan 2 bulbus, ekor melingkar dengan

spikulum. Larva rabditiform panjangnya ± 225 mikron, ruang mulut: terbuka,

pendek dan lebar. Esophagus dengan 2 bulbus, ekor runcing. Larva Filariform

bentuk infektif, panjangnya ± 700 mikron, langsing, tanpa sarung, ruang mulut

tertutup, esophagus menempati setengah panjang badan, bagian ekor berujung

tumpul berlekuk (Sutanto, 2008).

4.5 Siklus hidup

Cara berkembang biak Strongyloides stercoralis diduga secara

parthenogenesis. Telur bentuk parasitik diletakkan di mukosa usus, kemudian

telur tersebut menetas menjadi larva rabditiform yang masuk ke rongga usus serta

dikeluarkan bersama tinja. Parasit ini mempunyai tiga macam daur hidup.

1. Siklus langsung

Sesudah 2-3 hari di tanah, larva rabditiform yang berukuran ± 225 x 16

mikron, berubah menjadi larva filariform berbentuk langsing dan

merupakan bentuk infektif, panjangnya ± 700 mikron. Bila larva filariform

menembus kulit manusia, larva tumbuh masuk ke dalam peredaran darah

vena, kemudian melalui jantung kanan sampai ke paru. Dari paru parasit

yang mulai dari dewasa menembus alveolus masuk ke trakea dan laring.

Sesudah sampai di laring terjadi refleks batuk, sehingga parasit tertelan

kemudian sampai di usus halus bagian atas dan menjadi dewasa cacing

betina yang dapat bertelur ditemukan kurang lebih 28 hari sesudah infeksi.

2. Siklus tidak langsung

Pada siklus tidak langsung larva rabditiform di tanah berubah menjadi

cacing jantan dan cacing betina bentuk bebas. Bentuk bebas lebih gemuk

dari bentuk parasitik. Cacing betina berukuran 1 mm x 0,06 mm, yang

jantan berukuran 0,75 mm x 0,04 mm, mempunyai ekor melengkung

dengan dua buah spikulum, sesudah pembuahan,cacing betina

menghasilkan telur yang menetas menjadi larva rabditiform. Larva

raditiform dalam waktu beberapa hari dapat menjadi larva filariform yang

infektif dan masuk ke dalam hospes baru, atau larva rabeditiform tersebut

mengulangi fase hidup bebas.

Page 12: TUGAS TERSTRUKTUR PARASITOLOGI

Siklus tidak langsung ini terjadi bilamana keadaan lingkungan

sekitarnya optimum yaitu sesuai dengan keadaan yang dibutuhkan untuk

kehidupan bebas parasit ini, misalnya di negeri tropik dengan iklim

lembab yang lebih dingin dengan keadaan yang lebih menguntungkan

untuk parasit tersebut.

3. Autoinfeksi

Larva rabditiform kadang-kadang menjadi larva filariform di usus atau

di daerah sekitar anus (perianal). Bila larva filariform menembus

mukosa usus atau kulit perianal, maka terjadi daur perkembangan di

dalam hospes. Auto infeksi dapat menyebabkan strongiloidiasis

menahun pada penderita yang hidup di daerah nonendemik (Sutanto,

2008).

4.6 Patologi.

Bila larva filariform dalam jumlah besar menembus kulit, timbul kelainan kulit

yang dinamakan creeping eruption yang sering disertai rasa gatal yang hebat.

Cacing dewasa menyebabkan kelainan pada mukosa usus halus. Infeksi

ringan Strongyloides stercoralisterjadi tanpa diketahui hospesnya karena tidak

menimbulkan gejala. Infeksi sedang dapat menyebabklan rasa sakit seperti tertusuk-

tusuk di daerah epigastrium tengah dan tidak menjalar. Mungkin ada mual dan

muntah diare dan konstipasi saling bergantian. Pada strongioloidiasis dapat terjadi

autoinfeksi dan hiperinfeksi. Pada hiperinfeksi cacing dewasa yang hidup sebagai

parasit dapat ditemukan di seluruh traktus di gestivus dan larvanya dapat ditemukan di

berbagai alat dalam (paru, hati, kandung empedu).

Pada pemeriksaan darah mungkin ditemukan eosinofilia atau hipereosinofilia

meskipun pada banyak kasus jumlah sel eosinofil normal (Sutanto, 2008).

4.7 Pencegahan, Pengendalian, dan Pengobatan

Pencegahan penularan infeksi dilakukan dengan menghindari kontak

dengan tanah, feses, atau genangan air yang diduga terkontaminasi oleh

larva infektif. Orang yang diketahui terinfeksi harus segera diobati.

Terjadinya autoinfeksi pada siklus hidup-bebas mempersulit pencegahan.

Pengobatan: obat seperti mebendazol, pirantel pamoat, levamisol hasilnya

kurang memuaskan, dan obat saat ini yang sering dipakai adalah

tiabendazol.

Page 13: TUGAS TERSTRUKTUR PARASITOLOGI

5. Toxocara canis dan Toxocara cati

5.1 Klasifikasi

Klasifikasi Toxocara canis

Phylum     :           Nemathelminthes

Class         :           Nematoda

Subclass   :           Secernentea

Ordo         :           Ascaridida

Famili       :           Ascarididae

Genus       :           Toxocara

Species     :           Toxocara canis

Klasifikasi Toxocara cati

Phylum     :           Nemathelminthes

Class         :           Nematoda

Subclass   :           Secernentea

Ordo         :           Ascaridida

Famili       :           Ascarididae

Genus       :           Toxocara

Species     :           Toxocara cati

5.2 Morfologi  

Toxocara canis jantan mempunyai ukuran panjang 3,6-8,5 cm sedangkan yang

betina 5,7-10 cm, Toxocara cati jantan mempunyai ukuran 2,5-7,8 cm, sedangkan

yang betina berukuran 2,5-14 cm. Bentuknya menyerupai Ascaris

lumbricoides muda. Pada Toxocara canis  terdapat sayap servikal yang berbentuk

seperti lanset, sedangakan pada Toxocara cati  bentuk sayap lebih lebar, sehingga

kepalanya menyerupai kepala ular kobra. Bentuk ekor kedua spesies hampir sama;

yang jantan ekornya berbentuk seperti tangan dengan jari yang sedang menunjuk

(digitiform), yang betina ekornya bulat meruncing (Sutanto, 2008).

5.3 Siklus Hidup

Telur yang keluar bersama tinja anjing atau kucing akan berkembang menjadi

telur infektif di tanah yang cocok. Hospes definitif dapat tertular baik dengan

menelan telur infektif atau dengan memakan hospes paratenik yang tinggal di

tanah seperti cacing tanah dan semut. Penularan larva pada anak anjing atau

kucing dapat terjadi secara transplasental dari induk anjing yang terinfeksi atau

Page 14: TUGAS TERSTRUKTUR PARASITOLOGI

melalui air susu dari induk kucing yang terinfeksi telur tertelan manusia (hospes

paratenik) kemudian larva menembus usus dan ikut dalam peredaran darah

menuju organ tubuh (hati, jantung, paru, otak, dan mata). Di dalam orang larva

tersebut tidak mengalami perkembangan lebih lanjut (Sutanto, 2008).

5.4 Patologi

Pada manusia larva cacing tidak menjadi dewasa dan mengembara di alat-alat

dalam. Kelainan yang timbul karena migrasi larva dapat berupa perdarahan,

nekrosis, dan peradangan yang didominasi oleh eosinofil. Larva dapat terbungkus

dalam granuloma kemudian dihancurkan atau tetap hidup selama bertahun-tahun.

Kematian larva menstimulasi respon imun immediate-type hipersisentivity yang

menimbulkan penyakitvisceral larva migrans (VLM). Dengan gejala demam,

perbesaran hati, dan limfa, gejala saluran nafas bawah seperti bronkhouspasme.

Kelainan pada otak menyebabkan kejang, gejala neuro psikitrik/ensefalopati berat

ringannya gejala klinis dipengaruhi oleh jumlah larva dan umur penderita.

Umumnya penderita VLM adalah anak usia di bawah 5 tahun karena mereka

banyak bermain di tanah atau kebiasaan memakan tanah yang terkontaminasi tinja

anjing atau kucing (Sutanto, 2008).

5.5 Epidemiologi

Toxocara canis dan Toxocara cati  tersebar secara kosmopolit dan ditemukan

juga di Indonesia. Di jakarta prevalensi pada anjing 38,3% dan pada kucing

26,0%. Prevalensi toxocariasis pada anjing dan kucing pernah dilaporkan di

Jakarta masing-masing mencapai 38,3 % dan 26,0 %.

5.6 Pencegahan dan Pengendalian

Pencegahan infeksi dilakukan dengan mencegah pembuangan tinja anjing atau

kucing peliharaan secara sembarangan terutama di tempat bermain anak-anak dan

kebun sayuran. Hewan yang terinfeksi diobati dengan mebendazol atau

ivermectin. Anak anjing atau anak kucing secara rutin diobati mulai usia 2-3

minggu, setiap 2 minggu hingga berusia 1 tahun. Anjing atau kucing dewasa

diobati setiap 6 bulan.

Pada manusia, pencegahan dilakukan dengan pengawasan terhadap anak yang

mempunyai kebiasaan makan tanah, peningkatan kebersihan pribadi seperti,

kebiasaan mencuci tangan sebelum makan, tidak makan daging yang kurang

matang dan membersihkan secara seksama sayur lalapan (Sutanto, 2008).

Page 15: TUGAS TERSTRUKTUR PARASITOLOGI

6. Cacing Tambang (Hookworm)

Ada beberapa spesies cacing tambang yang penting, diantaranya:

Necator americanus (manusia)

Ancylostoma duodenale (manusia)

Ancylostoma braziliense (kucing, anjing)

Ancylostoma caninum (kucing, anjing)

6.1 Necator americanus dan Ancylostoma duodenale

6.1.1 Klasifikasi Necator americanus

Kingdom : Animalia

Phylum : Nematoda

Class : Secernentea

Order : Strongiloidae

Family : Ancylostomatidae

Genus : Necator

Species : Necator americanus

Klasifikasi Ancylostoma duodenale

Phylum     :           Nemathelminthes

Class         :           Nematoda

Subclass   :           Secernentea

Ordo         :           Rhabditida

Famili       :           Rhabditoidea

Genus       :           Ancylostoma

Species     :           Ancylostoma duodenale

6.1.2 Epidemiologi

Insidens tinggi ditemukan pada penduduk di Indonesia, terutama di

daerah pedesaan, khususnya di perkebunan. Sering kali pekerja

perkebunan yang langsung berhubungan dengan tanah mendapat infeksi

lebih dari 70%.

Kebiasaan defekasi di tanah dan pemakaian tinja sebagai pupuk kebun

(di berbagai daerah tertentu) penting dalam peyebaran infeksi. Tanah yang

baik untuk pertumbuhan larva ialah tanah gembur (pasir, humus) dengan

suhu optimum untuk Necator americanus 28o- 32o C, sedangkan untuk

Ancylostoma duodenale lebih rendah (23o-25o C). Pada umumnya

Ancylostoma duodenale lebih kuat (Sutanto, 2008).

Page 16: TUGAS TERSTRUKTUR PARASITOLOGI

6.1.3 MorfologiNecator americanus sangat mirip dalam morfologi dengan

Ancylostoma duodenale. Necator americanus umumnya lebih kecil dari Ancylostoma duodenale dengan laki-laki biasanya 5 sampai 9 mm panjang dan wanita sekitar 1 cm. Necator americanus memiliki sepasang memotong pelat dalam kapsul bukal. Selain itu, bentuk kait jauh lebih didefinisikan dalam Necator daripada di Ancylostoma.

6.2 Siklus Hidup