Tugas Kelompok Filsafat Hukum Dari Pak Anang

download Tugas Kelompok Filsafat Hukum Dari Pak Anang

of 23

Transcript of Tugas Kelompok Filsafat Hukum Dari Pak Anang

MAKALAH KEBANGKITAN KEMBALI TEORI-TEORI HUKUM ALAM

Oleh : KELOMPOK III 1. IDA MADE SANTIADNA (29) 2. ILIAS (30) 3. I KETUT PURWATA (31) 4. I KETUT SURYA BAWANA (32) 5. I MADE BADUARSA (33) 6. I MADE DHANUARDANA (34) 7. IRAWAN (35)

PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM UNIVERSITAS MATARAM 2011

KATA PENGANTAR Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena atas rahmat dan karunia-Nya kami dapat menyelesaikan penyusunan makalah Filsafat Hukum ini dengan judul Kebangkitan Kembali Teori-Teori Hukum Alam sehingga dapat kami presentasikan di hadapan teman-teman mahasiswa dan dosen. Pembuatan makalah ini dibentuk dengan kerjasama anggota kelompok III dengan fokus bahasan tentang Bagaimana Bangkitnya Hukum Alam dan Kritik-Kritik Terhadap Nilai-Nilai Hukum Alam. Tugas makalah ini merupakan bagian dari proses pembelajaran pada Magister Ilmu Hukum agar mahasiswa lebih memahami secara mendalam dan konfrehensif tentang teoriteori hukum. Pendekatan belajar secara kelompok tentu sangat baik karena memberi ruang lebih besar terhadap interaksi pembelajaran diskusi untuk mencapai tingkat pemahaman lebih mendalam. Dari diskusi-diskusi di antara anggota kelompok dalam kelompok kecil ini, kemudian dikembangkan lagi pada diskusi-diskusi antar kelompok dan diskusi kelas. Dengan demikian diharapkan dapat digali lebih jauh masalah-masalah pada teori hukum alam dan bagaimana kritik-kritik terhadap hukum alam sehingga akan didapat pemahaman yang mendalam terhadap hukum alam. Tulisan ini pada dasarnya secara utuh bersumber dari literatur atau buku hukum yang berkenaan dengan bahasan makalah. Mudah-mudahan tulisan ini akan mampu memberikan sumbangan pemahaman bersama mengenai hukum alam, khususnya bagi kelompok III terhadap materi pembelajaran teori hukum yang diberikan.

DAFTAR ISI Halaman Judul .................................................................................................................... i Kata Pengantar ................................................................................................................... ii Daftar Isi .............................................................................................................................. iii BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang .......................................................................................................... 1 B. Rumusan Masalah ..................................................................................................... 4 BAB II. PEMBAHASAN A. Faktor yang mendorong bangkitnya hukum alam..................................................... 5 B. Pengaruh bangkitnya hukum alam terhadap perkembangan hukum positif ............. 10 C. Kritik-kritik atas hukum alam dalam mencari nilai keadilan.................................... 13 BAB III. PENUTUP A. Simpulan ................................................................................................................... 19 B. Saran.......................................................................................................................... 20 DAFTAR PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Salah satu kelebihan manusia yang tidak bisa dimiliki oleh mahlukmahluk Tuhan lainnya adalah keingintahuannya yang sangat dalam terhadap segala sesuatu di alam semesta ini. Sesuatu yang diketahui oleh manusia disebut pengetahuan. Pengetahuan manusia, terlepas darimana sumber perolehannya

sesungguhnya merupakan jawaban terhadap pertanyaan-pertanyaan manusia. Melalui indera, eksperimen, perenungan, dan agama, manusia berusaha mendekati kebenaran atas pertanyaan-pertanyaan yang diajukan. Adapun istilah pengetahuan tidaklah sama dengan ilmu, yang seringkali juga disebut ilmu Pengetahuan. Menurut Poedjawijatna (1986 : 4-5), kebanyakan pengetahuan diperoleh dari pengalaman inderawi manusia. Pengetahuan seorang manusia dapat berasal dari pengalamannya sendiri atau seringkali juga dari orang lain, yang biasanya digunakan untuk keperluan hidup sehari-hari atau sekedar tahu. Adapun yang disebut dengan Ilmu, lebih jauh daripada itu. Ilmu adalah pengetahuan yang memiliki objek, metode, dan sistematika tertentu. Unsur lain lagi yang dapat ditambahkan disini, bahwa ilmu juga bersifat universal.

Sayangnya, sebanyak dan semaju apapun ilmu yang dimiliki manusia, tetap saja ada pertanyaan-pertanyaan yang belum berhasil dijawab. Bahkan, sebagian besar pertanyaan-pertanyaan tersebut telah diajukan sejak berabad-abad lampau, yang sampai sekarang tetap aktual untuk dibahas. Pertanyaan-pertanyaan tentang hakikat manusia, tujuan hidup dan kematiannya, adalah sebagian contoh pertanyaan tersebut. Pertanyaan-pertanyaan yang tidak mampu dijawab oleh ilmu itulah yang menjadi porsi pekerjaan filsafat. Berangkat dari pemikiran tersebut sepatutnyalah Hukum perlu kita pertanyakan bersama. Adapun yang menjadi persoalan yang dihadapi manusia dari zaman ke zaman, dari abad ke abad, yang memang tidak ada kata akhirnya, adalah bagaimanakah wajah hukum yang bagus. Bagus dalam arti dapat memenuhi berbagai tujuan hukum, yaitu yang dapat mencapai keadilan, kepastian hukum, ketertiban, keselarasan, saling menghormati satu sama lain, tanpa ada penindasan, peperangan, pelicikan, dan penjajahan (model lama atau model baru). Disadari bahwa hukum seperti ini tidak boleh hanya menjadi mitos belaka, tetapi mesti diwujudkan ke dalam kenyataan hidup manusia. Karena itu, sudah sangat banyak pikiran dicurahkan, cukup banyak buku ditulis, cukup banyak riset dilakukan, dan cukup banyak teori dan aliran dalam hukum dan filsafat hukum yang bagus tersebut. Dan usaha ini telah terjadi dalam kurun ribuan tahun yang lalu dan akan terjadi dalam ribuan tahun ke depan, tidak akan habis-habisnya.

Tentunya hukum yang bagus tidak akan mentolerir adanya perbudakan, zaman dahulu hal ini sesuatu yang wajar dan sesuai dengan martabat manusia, kemudian terjadinya Perang Dunia I dan Perang Dunia II pada abad ke-20 ini yang telah menimbulkan kehancuran yang sangat fatal. namun kita harus akui bahwa pandangan tersebut keliru. Berbeda dengan pandangan para pemikir zaman dahulu umumnya

menerima suatu hukum, yaitu hukum alam atau hukum kodrat. Berbeda dengan hukum positif sebagaimana diterima orang dewasa ini, hukum alam yang diterima sebagai hukum tersebut bersifat tidak tertulis, hukum alam ditanggapi tiap-tiap orang sebagai hukum oleh sebab menyatakan apa yang termasuk alam manusia sendiri (Huijbers, 1995:82). Mazhab hukum alam adalah mazhab tertua dalam sejarah pemikiran manusia tentang hukum. Menurut mazhab ini, selain hukum positif (hukum yang berlaku di masyarakat) yang merupakan buatan manusia, masih ada hukum yang lain yaitu, hukum yang berasal dari tuhan , yang disebut hukum alam. Hukum alam berintikan pada usaha manusia untuk mencari keadilan yang mutlak. Kelsen menguraikan ajaran hukum alam tentang keadilan menjadi dua tipe dasar yaitu, rasionalistis dan metafisis, tokoh dari tipe rasionalistis adalah aristoteles dan tokoh dari metafisis adalah plato. Namun para pemikir hukum modern memberikan kritikan terhadap hukum alam dalam mencari nilai-nilai keadilan mutlak walaupun mereka menolak berlakunya hukum alam, tetapi mereka menerima berlakunya asas-asas

hukum alam yang menjadi dasar berlakunya hukum positif dan yang menentukan sifat kaidah-kaidah yang terdapat dalam hukum positif itu.

B. Rumusan Masalah Dari uraian di atas dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut: 1. Faktor apakah yang mendorong kebangkitan kembali hukum alam ?

2. Apakah pengaruh dari bangkitnya hukum alam terhadap perkembangan hukum positif? 3. Bagaimanakah kritik-kritik terhadap hukum alam dalam mencari keadilan?

BAB II PEMBAHASAN A. Faktor yang Mendorong Kebangkitan Hukum Alam Tidak lama sebelum masyarakat barat hancur karena perang dunia pertama dan akibatnya, reaksi timbul, yaitu ketidakpuasan dengan materi yang dimiliki, dengan jaminan diri sendiri dengan golongan borjuis yang berlagak menang perang dan banyak lagi hal-hal lain. Sekali lagi pikiran manusia tidak tenang, berontak terhadap patokan-patokan hidup yang diterima dan halnya generasi-generasi terdahulu, mencari keadilan yang ideal. Situasi zaman abad ke-19 ini ditandai oleh beberapa kecenderungan utama. Pertama, terjadinya revolusi sosial ekonomi, terutama akibat revolusi industri. Revolusi ini selain membawa perkembangan ekonomi yang luar biasa, tetapi juga menimbulkan masalah baru di bidang sosial ekonomi. Ini ditandai munculnya kelas-kelas baru yang berbeda menurut kemampuan ekonominya, yakni kaum buruh dan kaum industrialis. Kaum industrialis berkuasa secara penuh atas kaum buruh dan sering kali memerasnya. Situasi ini menjadi landasan Kritis Marx dengan mengajukan pedoman untuk mengubah situasi masyarakat yang timpang ini menuju tatanan egalitarian. Kedua, munculnya penolakan terhadap rasionalisme universal abad sebelumnya (yang masih dilanjutkan Hegel di abad ke-19) yang dianggap cenderung mengabaikan ciri khas suatu masyarakat atau bangsa. Padahal latar belakang kehidupan suatu bangsa merupakan sejarah di mana orang-orang seperti

membangun suatu kehidupan bersama bagi meraka sendiri. Mewakili kecenderungan ini, muncul historisme dengan tokoh utamanya yaitu Savigny Tertib Hidup manusia yang ditawarkan Savigny adalah setia pada hukum sejati yang berbasis volksgeist. Bagi Savigny, hukum sejati bukanlah yang dibuat secara artifisial oleh Negara dan ahli hukum. Hukum sejati adalah hukum yang tumbuh dan berkembang dari rahim kehidupan rakyat. Tapi ada juga sanggahan terhadap Savigny, yakni Jhering lewat teori akomodasi dan manfaat. Karena itu menurut Jhering, Savigny keliru besar kalau menyangka, hukum nasional sebuah bangsa seutuhnya timbul secara spontan begitu saja dari jiwa bangsa. Akantetapi hukum merupakan tatanan hidup bersama yang dianggap sesuai dengan kepentingan nasional. Ini fenomena umum untuk semua bangsa. Hanya apa yang dianggap berguna saja bagi bangsa itu, yang dapat dipertimbangkan dan diterima sebagai hukum. Ketiga, hampir bersamaan dengan historisme, muncul pula pemikiran evolusionisme yang berusaha melacak perkembangan kebudayaan manusia dari tradisional ke modern. Pemikir utama arus ini adalah Sir Henry Maine dan Durkheim.

Keempat, menguatnya kosmologi positivism. Semangat ilmiah dan rasionalitas yang tumbuh pada abad ke-18, kian kuat pada abad ke-19. Muncul kegairahan saintisme di segala bidang, termasuk di bidang hukum. Kosmologi positivisme ini berpengaruh terhadap hukum dalam tiga bentuk :

1. Positivisme Yuridis yang melihat hukum sebagai fakta yuridis metode ilmu hukum positif.

menurut

2. Positivisme Sosiologis yang berusaha melihat hukum sebagai gejala sosial. 3. Ajaran Hukum Umum yang berusaha menggunakan metode empiris dalam menemukan prinsip-prinsip hukum yang dianggap universal melalui studi perbandingan antar tata hukum positif.

Ilmu pengetahuan mulai meragukan kemajuan sendiri dan tentang kepastian fakta-fakta ilmiah, kaum muda berontak terhadap rasa puas diri dari golongan borjuis, terhadap kota-kota, pemujaan uang dan kehampaan kehidupan modern. Para pembaharu sosial dan golongan sosialis menyerang berbagai ketimpangan sosial yang bersembunyi di belakang formalisme hukum, dan pemujaan kekuasaan kaum positivis. Para ahli hukum mulai menyadari, bahwa hukum bukan hanya soal menerapkan undang-undang atau preseden terhadap setiap kasus atau situasi yang ada, dengan menggunakan logika murni, sehingga makin lama makin banyak problema yang tak terpecahkan, pemecahan terhadap berbagai problema menuntut adanya petunjuk yang lebih tinggi dari hukum positif. Selama kepastian diragukan, filsafat idealistik hidup kembali, dalam bidang hukum ini berarti sekali lagi orang mencari keadilan yang ideal karena kebanyakan dari teori-teori hukum yang ada sebelumnya biasanya dianggap sebagai kebangkitan kembali hukum alam.

Selepas abad ke-19, hukum kembali dikaitkan lagi dengan mosaik sosial dan kemanusiaan melalui Radbruch, hukum kembali dikaitkan dengan keadilan. Memalui Marx, Holmes, Rawls dan lainnya, hukum dikaitkan dengan upaya mewujudkan keadilan sosial. Hukum merupakan bagian dari perjuangan mewujudkan keadilan sosial. Oleh karena itu muncul kehendak meninggalkan tradisi analytical jurisprudence atau rechtdogmatiek yang hanya melihat ke dalam hukum dan menyibukkan diri dengan membicarakan dan melakukan analisis ke dalam, khususnya hukum sebagai suatu bangunan peraturan yang dinilai sebagai sistematis dan logis. Dunia luar seperti manusia, masyarakat, dan kesejahteraan (yang ditepis oleh analytical jurisprudence atau rechtdogmatiek), dirangkul kembali dalam pemikiran hukum. Disinilah muncul gagasan Frei Recjtslehre, Sosiological Jurisprudence, Realistic Jurisprudence, Critical Lega Teory, Hukum Responsif, dan juga Hukum Progesif. Terlepas dari doktrin Katolik Neo-Skolastik, pemikiran yang paling penting dalam kembangkitan hukum alam dapat ditemukan dalam hukum Jerman Kontemporer. Kebangkitan kembali pemikiran ini, dalam garis besarnya, tidak hanya salah satu siklus intelektual periodic. Hal ini secara langsung terlihat dari reaksi yang berlebihan terhadap, dan dalam tahap-tahap berikutnya dari Pemerintahan Nazi, manifestasi-manifestasi tanpa arti dari positivisme dalam hukum. Dalam mencoba membangun kembali, tidak hanya memperbaharui kotakota dan pabrik-pabrik, tetapi juga tata nilai yang baru dari puing-puing material dan spiritual akibat Perang Dunia II.

Ditengah trauma terhadap kekejian Perang Dunia II dan kekejaman Nazi, perhatian terhadap hukum alam kembali bangkit. Ada kehendak agar kekejian tersebut tidak terulang lagi dimasa datang. Karena itulah, norma-norma hukum harus dijaga sedemikian rupa agar tetap mencerminkan prinsip-prinsip etika, humanisasi hidup, dan keadilan. Sehingga para filsuf jerman maupun badan-badan hukum berusaha memikirkan dan merumuskan kembali hubungan prinsip-prinsip Hukum Tertinggi dengan kondisi positif. Gustav Radbruch, yang sangat tergerak hatinya oleh ekses-ekses dari kedaulatan absolute Negara yang dilakukan oleh Kekuasaan Nazi, ditegaskan bahwa Hukum positif tertentu tidak dapat didefinisikan sebagai hukum, hukum pada dasarnya bertujuan mencapai keadilan. B. Pengaruh Bangkitnya Hukum Alam terhadap Perkembangan Hukum Positif Pada pertengahan abad ke-19 sebuah gerakan mulai menentang tendensitendensi metafisika yang ada pada abad-abad sebelumnya. Hal ini ditandai dengan perubahan besar disegala bidang terutama akibat perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Perubahan yang dimulai dengan perkembangan ilmu pengetahuan, penemuan alat-alat teknologi, hingga revolusi industri dan terjadinya perubahan-perubahan sosial beserta masalah-masalah sosial yang muncul kemudian memberi ruang kepada para sarjana untuk berpikir tentang

gejala perkembangan itu sendiri. Pada abad-abad sebelumnya, orang merasa kehidupan manusia sebagai sesuatu yang konstan yang hampir tidak berbeda dengan kehidupan masa lalu. Pada abad ini perasaan itu hilang, orang telah sadar tentang segi historis kehidupannya, kemungkinan terjadinya perubahanperubahan yang memberikan nilai baru dalam kehidupannya. Para ahli hukum mulai menyadari bahwa hukum bukan hanya soal menerapkan undang-undang atau preseden setiap kasus atau situasi yang ada dengan menggunakan logika murni, tetapi bagaimana menciptakan rasa keadilan ideal. Keinginan untuk mendapatkan keadilan yang ideal inilah yang akhirnya hukum alam memasuki bidangnya lagi pada akhir abad kesembilan belas dan awal abad kedua puluh. Pemikiran zaman ini menerima bahwa terdapat prinsipprinsip tertentu yang menjadi pedoman bagi pembentukan undang-undang, namun berbeda dengan pemikiran zaman dulu, pemikiran zaman ini menginsyafi bahwa hidup manusia bersifat dinamis. Kebangkitan hukum alam yang lebih sejati dapat ditemukan dalam teoriteori modern yang berlainan dalam memahami hukum alam sebagai suatu cita yang revolusioner, sehingga merupakan kekuatan langsung dalam perkembangan hukum positif. Menurut Aquinas hukum kodrat sebagai prinsip-prinsip segala hukum positif, berhubungan langsung dengan manusia dan dunia sebagai ciptaan Tuhan. Prinsip-prinsip tersebut terbagi menjadi dua, yaitu:

1. Hukum alam primer, yaitu norma-norma umum yang bersifat semesta sehingga dirasakan wajar oleh semua manusia (seperti hak atas kehidupan, laki-laki dan wanita bersatu dalam perkawinan, kekuasaan orang tua atas anaknya dan mendidiknya, hak mencari kebenaran ilahi, hidup

bermasyarakat, neminem laedere (tidak merugikan orang lain), unicueque suum tribuere (memberikan orang lain haknya) 2. Hukum alam sekunder, berupa norma-norma hasil derivasi langsung dari hukum alam primer ataupun pengembangan sesuai dengan situasi tertentu (seperti jangan membunuh, jangan mencuri dan lain sebagainya).

Yang lebih representatif dari teori-teori tentang hukum alam modern ini terlepas dari teori-teori neo-skolastik adalah teori-teori Geny dan Delvechio. Keduanya memberikan uraian yang terinci dalam hubungannya dengan teori umum dari kedua filsuf ini. Bagi keduanya, hukum alam merupakan penuntun penting menuju hukum positif. Delvechio mengartikan hukum alam sebagai prinsip evolusi hukum yang menuntut umat manusia, dan hukum yang mengaturnya menuju otonomi manusia yang lebih besar. Geny mengemukakan ide hukum alam berhadapan dengan teori hukum positifis. Ide-idenya sendiri mengenai hukum alam dimuat dalam donnenya yang ketiga dan keempat, yakni donne rasionel (Statis) dan donne ideal (dinamis).

Le Fur menganggap pentingnya konsepsi hukum alam karena berkaitan tentang keadilan. Teori hukum alam bersandar pada tabiat manusia yang sebagai mahluk berakal menunjukkan bahwa ciptaan kehendak dan kecerdasan yang lebih tinggi yakni kecerdasan dan kehendak Tuhan. Hukum alam hanya menyediakan kerangka umum prinsip-prinsip hukum. Ada tiga prinsip: kesucian kewajiban, kewajiban untuk memperbaiki kerusakan yang ditimbulkan oleh prilaku tidak sah dan menghormati kekuasaan. Hukum positif memiliki objek benda harus memiliki landasan moral yang berfungsi untuk menentukan , berbuat seksama, dan memberi sanksi pada perintah-perintah hukum alam yang dikembangkan oleh hukum rasional. Jadi terminologi hukum alam diterima oleh filsuf hukum modern, tetapi tidak oleh filsuf-filsuf lainnya karena dapat mengaburkan hubungan antara semua teori hukum modern yang bertentangan dengan hukum positivisme, dan menekan akan kebutuhankebutuhan akan cita-cita hukum. Namun demikian para positivis memandang bahwa prinsip-prinsip hukum yang terdapat dalam hukum alam sebagai prinsip regulatif belaka, yaitu sebagai pedoman terbentuknya hukum, dan bukan sebagai prinsip konstitutif dari hukum. Artinya prinsip-prinsip tersebut memang harus diindahkan pada saat undangundang yang ada seandainya bertentangan dengan prinsip-prinsip hukum alam, maka undang-undang tersebut tetap sah berlaku. Dengan kata lain menurut para positivis cenderung menganut kepastian hukum, dibanding sarjana tradisional

yang lebih memperhatikan prinsip keadilan dan kemanfaatan hukum bagi kemasyarakatan.

C. Kritik-Kritik Atas Hukum Alam Dalam Mencari Nilai Keadilan Filsafat hukum alam memberikan dasar teologis yang mengambil suatu perangkat prinsip-prinsip hukum keagamaan untuk merumuskan cita-cita keadilan absolut. Prinsip-prinsip hukum alam ini dapat diamati oleh manusia tetapi berasal dari akal Tuhan yang abadi. Semua ahli teori rasionalitas tentang hukum alam percaya bahwa alam mengandung prinsip-prinsip umum tentang akal yang mengatur perbuatan manusia dalam arti tertentu. Perkiraan ini kemudian dikecam oleh Hume yang menunjukkan bahwa akal adalah budak nafsu yang mengilhami perbuatan manusia. Oleh karena itu ada usaha-usaha yang meletakkan prinsip-prinsip keadilan objektif dan umum yang didasarkan atas dalil-dalil yang berbeda. Selanjutnya Duguit menyimpulkan prinsip-prinsip hukum yang secara umum mengikat dari fakta solidaritas sosial yang dapat diamati secara empiris, tentang suatu rumusan singkat untuk prinsip-prinsip yang mempersatukan masyarakat modern. Para pemikir-pemikir hukum berusaha merumuskan cita-cita keadilan. Hans Kelsen membagi ajaran tentang keadilan menjadi dua tipe dasar yaitu: 1. Tipe Rasionalistis yang diadopsi dari ajaran Aristoteles. Tipe rasionalistis ini merupakan tipe yang mencoba menjawab pertanyaan tentang keadilan dengan

mendefinisikannya dalam cara ilmiah, atau semu-ilmiah, dengan cara berdasarkan akal. 2. Tipe metafisis yang diadopsi dari ajaran Plato, percaya bahwa keadilan itu ada tetapi menganggapnya sebagai kualitas atau fungsi makhluk super yang tidak dapat diamati oleh manusia. Filsafat hukum Plato ini mendasarkan keadilan pada pengetahuan perihal sesuatu yang baik yang merupakan persoalan di luar dunia dan diperoleh dengan kebijaksanaan. Pemikiran inilah yang kemudian menghubungkan Plato dengan sejumlah para filsuf yang mendasarkan pencapaian keadilan pada inspirasi intuitif, tanpa dasar teologis. Pembenaran yang lebih terinci akan perasaan intuitif dalam pencarian keadilan adalah perasaan ketidakadilan dari Edmund N. Cahn yang melihat realisasi keadilan tidak dalam ide-ide abstrak dan statis dari hukum alam, juga tidak baik dalam penerimaan kekuasaan yang dilegalisasi belaka tetapi dalam proses akan perbaikan atau pencegahan timbulnya suatu perasaan ketidakadilan yang merupakan gabungan akal dan perasaan terdalam yang dikonkretkan dalam enam pernyataan yaitu: 1. Tuntutan akan kesederajatan; 2. Pembalasan; 3. Martabat manusia; 4. Keputusan hakim yang teliti; 5. Pembatasan fungsi pemerintah secara tepat; dan 6. Pemenuhan akan harapan-harapan masyarakat.

Persoalan mengenai keadilan tidak lepas dari penguasa dan rakyat. Penguasa dan rakyat merupakan komponen-komponen dalam merumuskan kebijakan-kebijakan yang nantinya akan menjadi hukum positif dalam mengatur rakyat. Hukum positif itu sendiri akan kehilangan jati dirinya sebagai suatu aturan apabila tidak mencerminkan rasa keadilan di dalamnya. Aristoteles memberikan rumusan keadilan yang berbunyi bahwa mereka yang sederajat di depan hukum harus diperlakukan sama. Mengacu pada pendapat Aristoteles, Radbruch menyebutkan bahwa sumber yang lebih layak untuk merumuskan kembali patokan-patokan keadilan absolut, nilai-nilai minimum yang tidak dibenarkan dirusak oleh hukum positif, adalah reaksi atas pengalaman yang menjengkelkan dari keadilan totaliter. Dengan kata lain, apabila hukum positif sama sekali telah kehilangan prinsip persamaan, maka hukum itu bukan lagi hukum. Sebagai contoh, hukum dari pemerintahan Nazi yang sama sekali tidak mencerminkan rasa keadilan dan persamaan karena hal-hal yang diucapkan oleh Hittler merupakan hukum yang harus ditaati. Hal ini oleh pengadilan setempat dilukiskan sebagai penurunan martabat anggota-anggota masyarakat hukum dengan menyerahkan diri pada seorang autokrat, yang dipandang dari sudut ketentuan hukum, tidak pantas untuk diperhitungkan secara serius. Para fisuf-filsuf skolastik percaya bahwa konsepsi mengenai kebaikan bersama dapat memberikan tuntunan praktis dalam membedakan antara yang baik dan buruk. Akan tetapi sejauh mana prinsip ini dapat bertahan dalam

memecahkan problema-problema hukum yang terjadi di masyarakat dan dalam kaitannya dengan kebebasan kesadaran manusia. Sebagai contoh, ajaran Katolik menganggap keluarga berencana bertentangan dengan sifat manusia, tetapi tidak demikian dengan ajaran majelis tinggi dan banyak sistem-sistem hukum dan orang-orang yang cermat, yang menganggap keluarga berencana sebagai syarat pokok dari kelangsungan keturunan manusia. Sejak Grotius, banyak orang menganggap kewajiban untuk memenuhi janji sebagai prinsip hukum alam, akan tetapi seberapa jauh prinsip ini dapat bertahan ketika berhadapan dengan kontrak-kontrak perdagangan yang memberi hak untuk secara sepihak mengakhiri suatu kontrak, atau pelaksanaan kontrak menurut undang-undang misalnya dalam hal nasonialisasi industri. Hal ini tentunya menurut ajaran hukum alam dianggap bertentangan, tetapi tidak demikian halnya dengan prinsip kebebasan. Ketika menghadapi pemecahan problema-problema hukum yang konkret kita mempunyai waktu dan ketentuan-ketentuan hukum alam dapat menutupi tetapi tidak menyelesaikan pertentangan nilai-nilai yang berkaitan dengan berbagai kepentingan, tujuan-tujuan, dan kebijaksanaan-kebijaksanaan yang saling bertentangan satu sama lain. Pertentangan ini merupakan persoalan nilai etis atau politis yang diungkapkan dalam kebijaksanaan-kebijaksanaan legislatif dan sampai batas-batas waktu tertentu dalam dampak dari gagasangagasan yang berubah-ubah atas penafsiran-penafsiran menurut hukum.

Teori hukum dapat melakukan tugas yang sangat penting dengan membedakan dalam tiap problema hukum atau situasi, faktor-faktor yang menggambarkan nilai-nilai yang bertentangan yang dapat dianalisis secara objektif. Nilai dari faktor-faktor ini berbeda dari kasus ke kasus. Aspek lain dari teori hukum adalah menyempitkan penilaian-penilaian minimum yang

bertentangan. Pendekatan ini dapat dilihat dari beberapa pendapat para filsuf hukum seperti Reinach, Coin dan Fechner yang telah mengembangkan dalil-dalil fenomenologis tentang sejumlah prinsip-prinsip hukum yang diambil dari hakikat atau sifat konsepsi-konsepsi hukum dan lembaga-lembaga. Misalnya mengenai transaksi dagang, perkawinan yang kesemuanya memiliki unsur-unsur minimum yang khas. Teori hukum dalam pelaksanaannya dapat memberikan semacam alternatif-alternatif dalam penyelesaian suatu problema hukum karena hukum pada hakikatnya bukan merupakan ideologi murni semata dan bukan hanya suatu susunan fakta-fakta dan keputusan faktual, tetapi hasil dari ketegangan yang tetap dan masuknya cita-cita hukum dan data-data sosial yang dikonkretkan dalam bentuk-bentuk khusus serta disusun secara berurutan dari undang-undang umum hingga peraturan-peraturan di bidang administrasi dan keputusan-keputusan menurut hukum atau administratif mengenai kasus-kasus yang konkret. Hal ini tentunya berbeda dengan ajaran hukum alam yang selalu berpedoman pada akal Tuhan yang pada akhirnya tidak dapat memberikan suatu kepastian pemecahan terhadap permasalahan yang terjadi.

BAB III PENUTUP A. Simpulan Berdasarkan uraian dalam pembahasan, maka dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut: 1. Timbulnya reaksi dalam masyarakat pada akhir Perang Dunia I akan ketidakpuasan terhadap undang-undang yang hanya memihak pada golongan borjuis dan golongan-golongan tertentu mengakibatkan

terjadinya banyak kekacauan terutama mengenai rasa keadilan. Maka perlu suatu pemikiran hukum yang dapat mengembalikan keadilan yang ideal bagi masyarakat, berarti sekali lagi orang mencari keadilan yang adil. 2. Prinsip-prinsip yang ada pada hukum alam merupakan kerangka umum yang dapat menjadi dasar berlakunya hukum positif dan yang menentukan sifat kaidah-kaidah yang terdapat dalam hukum positif. 3. Para sarjana mengkritik nilai keadilan yang absolut yang menjadi dasar hukum alam, tetapi mereka menerima berlakunya asas-asas hukum alam.

B. Saran 1. Hukum yang tertulis maupun yang tidak tertulis seyogyianya mampu memberikan rasa keadilan kepada masyarakat. 2. Dalam merumuskan hukum sebaiknya perlu memperhatikan juga nilainilai yang terdapat dalam hukum alam karena pada dasarnya hukum alam mengandung nilai-nilai atau asas-asas umum mengenai kebaikan. 3. Dalam perkembangannya, hukum senantiasanya mengalami perubahan. Oleh karena itu, hukum sebaiknya dirumuskan dengan memperhatikan perubahan atau nilai-nilai yang terdapat di dalam kehidupan masyarakat.

DAFTAR PUSTAKA

L. Tanya, Bernad.,dkk, Teori Hukum, Genta Publishing, Yogyakarta, 2010. Fuady, Munir, Filsafat dan Teori Hukum Postmodern, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 2005. Friedmann, Wolfgang, Teori dan Filsafat Hukum, CV. Rajawali, Jakarta, 1990. Darmodiharjo, Darji.,dkk, Pokok-Pokok Filsafat Hukum, PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2008. Kelsen, Hans, Pengantar Teori Hukum. Terjemahan dalam bahasa Indonesia oleh Siwi Purwandari, Nusa Media, Bandung, 2008