Teori dan Gagasan Hermeneutika Nasr Hamid Abu Zaid

19
Teori dan Gagasan Hermeneutika Nasr Hamid Abu Zaid Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Filsafat Bahasa Pengampu: Zamzam Afandi, Ph.D Disusun Oleh: Indah Kumalasari NIM: 1320411220 KONSENTRASI PENDIDIKAN BAHASA ARAB PRODI PENDIDIKAN ISLAM PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA YOGYAKARTA 2014

Transcript of Teori dan Gagasan Hermeneutika Nasr Hamid Abu Zaid

Page 1: Teori dan Gagasan Hermeneutika Nasr Hamid Abu Zaid

Teori dan Gagasan Hermeneutika Nasr Hamid Abu Zaid

Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Filsafat Bahasa

Pengampu: Zamzam Afandi, Ph.D

Disusun Oleh:

Indah Kumalasari

NIM: 1320411220

KONSENTRASI PENDIDIKAN BAHASA ARAB

PRODI PENDIDIKAN ISLAM

PROGRAM PASCASARJANA

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA

YOGYAKARTA

2014

Page 2: Teori dan Gagasan Hermeneutika Nasr Hamid Abu Zaid

1

A. Pendahuluan

Dalam konteks Islam, hermeneutika sebagai sekumpulan metode, teori dan

kefilsafatan yang terfokus pada problem pemahaman teks, sebenarnya telah muncul pada

masa-masa awal ketika teks al-Qur’an dirasakan sulit dipahami dan problematik, yang

dengan demikian harus dijelaskan, diterjemah, dan diinterpretasikan agar dapat dipahami.

Problem hermeneutika menjadi semakin rumit setelah Nabi Muhammad SAW wafat karena

tidak ada lagi otoritas tunggal untuk menjelaskan al-Qur’an, dan kaum muslimin telah

berkenalan dengan berbagai bangsa, kebudayaan, dan peradaban lain.

Dalam perjalanan sejarah, para ilmuan muslim menerapkan hermeneutika dalam

pengertian yang sejalan dengan perkembangan disiplin ini pada masa mereka masing-masing

untuk memahami sebuah teks suci yang mereka imani, al-Qur’an. Dalam perjalanan sejarah

pula, perkembangan hermeneutika al-Qur’an tidak dapat dipisahkan dari perkembangan

ilmu- ilmu Islam (utamanya teori hukum Islam (Uṣūl Al-fiqh), filsafat dan sufisme) dan ilmu-

ilmu sosial dan humanitas. Oleh karena itu, hermeneutika al-Qur’an tidak hanya termasuk

dalam apa yang disebut secara tradisional sebagai ilmu al-Qur’an dan Tafsir. Ia telah

menjelma menjadi bidang multi dan interdisipliner. Hakikat interdisipliner dari disiplin ini

nampak sangat jelas dalam hermeneutika al-Qur’an kontemporer, di mana penerapan ilmu-

ilmu sosial dan humanitas tidak bisa diabaikan. Teori hermeneutika al-Qur’an Nasr Hamid

Abu Zaid adalah salah satu contoh yang trend di masa ini. Berdasarkan latar belakang

tersebut penulis akan menguraikan sedikit penjelasan tentang biografi Nasr Hamid Abu Zaid,

teori, gagasan dan aplikasi penafsirannya.

B. Biografi Nasr Hamid Abu Zaid

Nasr Hamid Abu Zaid adalah tokoh kontroversial akibat kritik keagamaan yang

dilontarkannya di Mesir dan kepada kalangan muslim Sunni.1 Nasr Hamid di lahirkan di

desa Qahafah dekat kota Thantha Mesir pada 10 Juli 1943 dan hidup dalam sebuah keluarga

yang religious. Bapaknya adalah seorang aktivis Al-Ikhwān Al-Muslimīn dan pernah

dipenjara menyusul dieksekuensinya Sayyid Quthb. Sebagaimana anak-anak Mesir, dia

mulai belajar dan menulis, serta kemudian menghafal al-Qur’an di kuttāb ketika dia berusia

1 Kurdi, dkk, Hermeneutika Al-Qur’an dan Hadis , (Yogyakarta: Elsaq Press, 2010), hlm 116.

Page 3: Teori dan Gagasan Hermeneutika Nasr Hamid Abu Zaid

2

empat tahun. Dan karena kecerdasannya, dia telah menghafal keseluruhan al-Qur’an pada

usia delapan tahun, sehingga dia dipanggil “Syaikh Nashr” oleh anak-anak di desanya.2

Ketika Al-Ikhwān Al-Muslimīn menjadi sebuah gerakan yang kuat dan memiliki

cabang hampir di setiap desa, dia ikut bergabung dengan gerakan ini pada 1954, pada usia

sebelas tahun. Dalam usia yang masih belia seperti ini, sebenarnya dia belum diperkenankan

mengikutinya. Tetapi, dia merajuk kepada ketua cabang di desanya untuk memasukkannya

dalam gerakan yang dipimpin oleh Sayyid Quthb ini, dan diperkenankan untuk

menyenangkan hatinya. Karena namanya tercantum di dalam daftar anggota itulah maka Abu

Zaid pun pernah dijebloskan dipenjara selama satu hari dan dilepaskan karena dia masih

dibawah umur. Pada saat itu, dia tertarik pada pemikiran Syayyid Quthb dalam bukunya Al-

Islām wa Al-‘Adālah Al-Ijtimā’iyyyah (Islam dan Keadilan Sosial), khususnya penekanannya

pada keadilan manusiawi dalam menafsirkan Islam. Pada masa remajanya, dia biasa

mengumandangkan adzan di masjid dan tak jarang sebagai imam shalat, 3 hal yang biasanya

di Mesir dilakukan oleh orang dewasa.4

Abu Zaid menyelesaikan pendidikan dasar dan menengahnya di Thantha. Setelah

kematian ayahnya, saat berusia empat belas tahun, dia harus bekerja untuk membantu

perekonomian keluarganya. Setelah lulus dari Sekolah Teknik Thantha pada 1960, dia

bekerja sebagai seorang teknisi elektronik pada Organisasi Komunikasi Nasional di Kairo

sampai pada tahun 1972. Minatnya pada kritik sastra tampak dalam tulisan-tulisan awalnya

ketika dia berusia 21 yang dipublikasikan pada 1964, di dalam jurnal Al-Adab, jurnal

pemimpin Amīn Al-Khūlī. Dua artikel pentingnya saat itu adalah “Hawl Adab Al-‘Ummal

wa Al-Fallahin” (tentang Sastra Buruh dan Petani) 5 dan “Azmah Al-Aghniyyah Al-

Mishriyyah” (Krisis Lagu Mesir).6 Dia sangat tertarik kepada sosialisme dan revolusi ketika

keduanya menjadi trend dominan di Mesir pada tahun 1960-an. Dan dia mulai mengkritik

2 Moch. Nur Ichwan, Meretas Kesarjanaan Kritis Al-Qur’an: Teori Hermeneutika Nasr Abu Zayd ,

(Jakarta: Teraju, 2003), cet. 1, hlm 15-16. 3 Tampaknya sederhana. Tetapi, berbeda dengan di Indonesia, imam shalat d i masjid -masjid Mesir

dipersyaratkan untuk hafal al-Qur’an. 4 Moch. Nur Ichwan, Meretas Kesarjanaan …, hlm 16. 5 Al-Adab, no. 5, thn. 9, (Oktober 1964), h. 310-11; artikel ini pada awalnya tidak mencantumkan nama

penulisnya, namun pada Al-Adab, no. 8, thn. 9 (Januari 1965), ed itor mengoreksi bahwa penulis artikel itu adalah

Nasr Hamid Abu Zayd. Keterangan ini penulis ambil dari Moch. Nur Ichwan, Meretas…, hlm. 16-17. 6 Al-Adab, no. 7 (1964), h. 406-8 dalam Moch. Nur Ichwan, Meretas…, hlm. 17.

Page 4: Teori dan Gagasan Hermeneutika Nasr Hamid Abu Zaid

3

Al-Ikhwān Al-Muslimīn, kendatipun dia tidak mengekspresikan kritiknya itu dalam tulisan-

tulisan awalnya.7

Pada 1968, Abu Zaid mulai studinya di Jurusan Bahasa dan Sastra Arab di

Universitas Kairo. Dia masuk siang hari dan siangnya dia tetap bekerja. Dia menyelesaikan

studinya pada 1972 dengan predikat cum laude. Setelah itu, dia diangkat sebagai asisten

dosen. Karena kebijakan pimpinan pada jurusannya mewajibkan para asisten dosen baru

untuk mengambil studi Islam sebagai bidang utama dalam riset Master dan Doktor, dia

merubah bidangnya dari murni linguistic dan kritik sastra menjadi studi Islam, khususnya

studi al-Qur’an. Abu Zaid sebenarnya enggan untuk mengambil subjek ini, mengingat

pengalaman Muhammad Ahmad Khalafallah yang mengalami problem serius karena dia

menggunakan studi kritik sastra (literer) atas narasi-narasi al-Qur’an dalam disertasinya.

Namun, akhirnya dia menerima keputusan itu. Sejak saat itulah dia melakukan studi tentang

al-Qur’an dan problem interpretasi dan hermeneutika.8

Pada 1975, Abu Zaid mendapatkan beasiswa Ford Foundation untuk melakukan studi

selama dua tahun di American University di Kairo. Dua tahun kemudian dia meraih gelar

MA dengan predikat cum laude dari Jurusan Bahasa dan Sastra Arab Universitas Kairo

dengan tesis yang berjudul Al-Ittijāh Al-Aqlī fi Al-Tafsīr: Dirāsah fi Qadhiyyat Al-Majāz fi

Al-Qur’an ‘inda Al-Mu’tazillah (Rasionalisme dalam Tafsir: Sebuah Studi tentang Problem

Metafor menurut Mu’tazillah), dan dipublikasikan pada 1982. Setelah itu, dia diangkat

menjadi dosen.9

Selama periode 1976-1978, Abu Zaid mengajar bahasa Arab untuk orang-orang

Asing di Centre for Diplomats dan Kementrian Pendidikan di samping tetap mengajar di

Universitas Kairo. Pada 1978 dia menjadi fellow pada Centre for Middle East Studies di

Universitas Pensylvania, Philadelphia, Amerika Serikat, di mana dia mempelajari ilmu-ilmu

sosial dan humanitas, khususnya teori-teori tentang cerita rakyat (folklore). Pada periode

inilah, Abu Zaid menjadi akrab dengan hermeneutika Barat. Dia menulis sebuah artikel “Al-

Hirminiyūṭīqā wa mu’dhilat Tafsīr Al-Naṣṣ” (Hermeneutika dan Problem Penafsiran Teks),

7 Moch. Nur Ichwan, Meretas Kesarjanaan …, hlm 16-17. 8 Ibid.,, hlm 17. 9 Ibid.,, hlm 17-18.

Page 5: Teori dan Gagasan Hermeneutika Nasr Hamid Abu Zaid

4

yang menurut pengakuannya merupakan artikel pertama tentang hermeneutika yang ditulis

dalam bahasa Arab.10

Pada 1981, Abu Zaid meraih gelar PhD-nya dalam bidang studi Islam dan Bahasa

Arab dari jurusan yang sama dengan predikat cum laude. Dia menulis disertasi berjudul

Falsafah Al-Ta’wīl: Dirāsah fī Ta’wīl Al-Qur’an ‘inda Muhy Al Dīn ibnu ‘Arabī (Filsafat

Takwil: Studi Hermeneutika Al-Qur’an Muhy Al-Din ibnu ‘Arabi) yang dipublikasikan pada

1983. Abu Zaid dipromosikan sebagai asisten professor pada 1982, tahun di mana dia

mendapatkan penghargaan ‘Abd Al-‘Azīz Al-Ahwānī untuk Humanitas karena konsernya

pada humanitas dan budaya Arab.

Selama 1985-1989, dia menjadi seorang professor tamu pada Osaka University of

Foreign Studies, Jepang. Pada 1987, ketika dia masih berada di Jepang, dia dipromosikan

sebagai Associate Profesor. Periode Jepang tampaknya merupakan fase sangat produktif

baginya. Dalam pepriode inilah, Abu Zaid menyelesaikan bukunya Mafhūm Al-Naṣṣ:

Dirāsah fī Al-Ulūm Al-Qur’ān (Konsep Teks: Studi tentang Ilmu-ilmu Al-Qur’an) dan

menulis artikel-artikel lainnya, yang sebagiannya nanti dipublikasikan dalam Naqd Al-

Khithāb Al-Dīnī (Kritik atas Wacana Keagamaan). Sebagian besar artikel yang dimuat dalam

buku terakhir ini dipublikkasikan pada akhir 1980-an dan awal 1990-an.11

Pada tahun 1992, dia menikah dengan Dr. Ibtuhal Yunis pada saat usianya menginjak

49 tahun. Di tahun yang sama pula, ia mengajukan karya-karyanya untuk dipromosikan

mendapat gelar professor penuh di Fakultas Sastra Universitas Kairo. Diantaranya sejumlah

karyanya yang diajukan adalah Naqd al-Kitāb al-Dīnī yang diterbitkan pertama kalinya pada

tahun 1992 dan langsung membuat namanya melejit di dunia Islam. Namun di tahun ini

dimulailah “kasus Abu Zayd” di persidangan yang berakhir dengan vonis murtad atas dirinya

dan dituntut menceraikan istrinya pada tahun 1995. Karena karyanya dinilai tidak bermutu,

dan promosinya ditolak bahkan dinyatakan menyimpang dan merusak. Prof. Abdul Shabur

Shahin, salah satu penguji ketika ia mengajukan promosi profesornya, dalam khutbahnya di

masjid ‘Amr bin ‘Aṣ menyatakan bahwa Abu Zayd telah murtad, yang kemudian di-amin-

kan oleh para khatib lainnya di masjid-masjid pada hari jum’at berikutnya, Mesir pun heboh.

10 Ibid.,, hlm 18. 11 Ibid.,, hlm 20.

Page 6: Teori dan Gagasan Hermeneutika Nasr Hamid Abu Zaid

5

Dan apada akhirnya pada 14 Juni 1995, “Mahkamah al-Isti’nāf Kairo” menyatakan Abu

Zayd murtad.12

Setelah diusir dari Mesir dengan fatwa murtad dan ia menolak untuk mencabut

keyakinannya kemudian dijatuhkan vonis hukuman mati yang dituntut oleh Majelis Ulama

al-Azhar kepada pemerintah Mesir, yang kemudian dibuktikan juga dengan dikeluarkannya

keputusan dari Mahkamah Agung Mesir pada 5 Agustus 1996, yang juga telah menyatakan ia

murtad, maka kemudian pindah ke Madrid, Spanyol pada 23 Juli 1995, bersama-sama

dengan istrinya. Sebelum akhirnya menetap di Leiden, Belanda, sejak 2 Oktober 19995

sampai sekarang (data pada tahun 2008).13

Hasil karya-karya kritis Nasr seperti Mafhūm al-Naṣ: Dirāsah fī `Ulūm al-

Qur’ān (Konsep Teks: Studi Ilmu- ilmu Alqur’an), Isykāliyyāt al-Qirā’ah wa Aliyāt al-

Ta’wīl (Problem Pembacaan dan Metode Interpretasi), Falsafah al-Ta’wīl: Dirāsah fī Ta’wīl

al-Qur’ān `inda Ibn `Arabī (Filsafat Hermeneutika: Studi Hermeneutika Alqur’an menurut

Ibn Arabi), al-Imām al-Syāfi’i wa Ta`sīs al-Aidiulujiyyah al-Wasaṭiyyah (Imam Syafi’i dan

Pembasisan Ideologi Moderatisme), al-Ittijā al-`Aqli fi at-Tafsīr (Rasionalisme dalam

Tafsir), Naqd al-Khithāb al-Dīnī (Kritik Wacana Agama), dan lain- lain. Karya-karyanya juga

terbit dalam bahasa Inggris seperti Reformation of Islamic Thought: a Critical Historical

Analysis; Rethinking the Qur’an: Towards a Humanistic Hermeneutics; dan Voice of an

Exile: Reflections on Islam.

C. Teori dan Gagasan Nasr Hamid Abu Zaid

1. Konsep Wahyu dan Teks Al-Qur’an

Abu Zaid selalu memulai diskusi tentang tekstualitas al-Qur’an dengan mengkaji

perdebatan klasik antara Asy’ariyah dan Mu’tazilah tentang kata-kata Allah (kalām

Allāh). Isu ini berkaitan dengan diskusi tentang asal-usul basasa dan ‘ke-tak-terciptaan’

al-Qur’an. Abu Zaid menyebutkan dua teori tentang asal-usul bahasa itu. Teori pertama,

yang didukung oleh Asy’ariyah, mengatakan bahwa bahasa adalah pemberian Tuhan

kepada manusia, dan bukanlah temuan manusia. Hubungan antara penanda (signifier) dan

petanda (signified) ditentukan oleh Tuhan. Hubungan ini bersifat ilahiyah. Dari poin ini,

disimpulkan bahwa kata-kata Allah tidaklah tercipta, namun merupakan salah satu sifat-

12 Syamsudin Arif, Orientalis & Diabolisme Pemikiran,(Jakarta: Gima Insani, 2003), hlm. 168-187. 13 Ibid.,, hlm. 187-188.

Page 7: Teori dan Gagasan Hermeneutika Nasr Hamid Abu Zaid

6

Nya. Asy’ariyah meyakini bahwa al-Qur’an sebagai kata-kata Allah adalah abadi

sebagaimana Allah sendiri, dan direkam dalam Tablet Terjaga (Al-Lawh Al-Mahfūzh).14

Yang kedua adalah teori Mu’tazilah yang beragumen bahwa bahasa adalah

konvensi manusia, karena ia merefleksikan konvensi sosial tentang hubungan antara

suara suatu kata dengan maknanya. Bahasa tidaklah merajuk secara langsung kepada

realitas aktual; namun, realitas dipahami. Dikonseptualisasi, dan d isimbolisasi melalui

suatu sistem suara. Mu’tazilah berpendapat bahwa al-Qur’an diciptakan dan, dengan

demikian, tidak abadi. Al-Qur’an diciptakan dalam konteks tertentu dan pesan yang

dikandungnya haruslah dipahami dalam sinaran konteks itu.15

Menurut Abu Zaid, pendapat Mu’tazilah tentang hakikat al-Qur’an ini lebih

sesuai dengan pengertian modern tentang teks yang menganggap semua teks, termasuk

teks al-Qur’an, sebagai sebuah fenomena historis dan mempunyai konteks spesifikasinya

sendiri. Alih-alih mengadopsi teori Asy’ariyah, Abu Zaid lebih mendukung teori

Mu’tazilah. Menurutnya, teori Mu’tazilah tentang asal-usul bahasa dan hubungannya

dengan teks suci adalah teori yang paling rasional. Teori ini menekankan pada manusia

sebagai tujuan teks dan sasaran pesan-pesannya.16

Abu Zaid meyakini bahwa problem pokok hermeneutika al-Qur’an bukanlah

problem tentang keberagaman interpretasi, namun adanya perbedaan konsep tentang

hakikat teks, yang pada akhirnya melahirkan keberagaman interpretasi. Keberagaman

interpretasi secara natural tidak terhindarkan, namun interpretasi itu seharusnya

didasarkan atas konsep objektif tentang teks.17

Teks al-Qur’an sebagai pesan berarti masyarakat yang menjadi sasarannya adalah

seluruh manusia, manusia yang terkait dengan sistem bahasa yang sama dengan teks, dan

yang terkait dengan peradaban di mana bahasa tersebut dianggap sebagai sentralnya.18

Kerena itu, penelusuran konsep teks oleh Nasr Hamid ini sesungguhnya bertujuan untuk

pertama, menulusuri relasi dan kontak sistematis (al-alaqat al-murakkabat) antara teks

dan kebudayaan yang mempengaruhi pembentukan teks tersebut. Kedua, teks sebagai

14 Moch. Nur Ichwan, Meretas Kesarjanaan …, hlm. 63-64. 15 Ibid.,, hlm. 64. 16 Ibid.,, 17 Ibid.,, hlm. 65. 18 Nasr Hamid Abu Zaid, Tekstualitas Al-Qur’an: Kritik Terhadap Ulumul Qur’an, diter. dari Mafhum al-

Nash Dirasah fi Ullum al-Qur’an oleh Khoirun Nahdliyyin,Cet. I, (Yogyakarta: LKIS, 2001), hlm. 69.

Page 8: Teori dan Gagasan Hermeneutika Nasr Hamid Abu Zaid

7

bentuk dan kebudayaan. 19 Pada tujuan yang kedua ini, pembahasan konsep teks

difokuskan kepada aspek-aspek yang terkait dengan masalah kebudayaan dan tradisi,

tepatnya masalah historitas, otoritas, otoritas, dan konteks.20

Kenyataan yang menunjukkan bahwa teks al-Qur’an senantiasa mempunyai

hubungan dialektika dengan masyarakat Arab di masa pewahyuan merupakan hal nyata

yang memberikan pengertian bahwa secara tidak langsung teks al-Qur’an dibentuk oleh

realitas peradaban Arab yang ada di satu sisi, namun di sisi lain juga teks al-Qur’an

berperan dalam perombakan peradaban lewat pesan atau konsep-konsep yang ditawarkan

dari al-Qur’an itu sendiri. Jadi proses keduanya saling terkait, tidak bisa dipisahkan. Oleh

karena proses inilah, lalu Nasr Hamid mengatakan bahwa al-Qur’an merupakan produk

budaya (muntij al-tsaqāfi). Ide dasar pemikiran tersebut berasumsi bahwa inspirasi al-

Qur’an adalah Tuhan, akan tetap i ketika memasuki realitas semesta, wahyu tersebut

tersejarahkan dan termanusiakan oleh “intervensi” budaya dalam bingkai sistem bahasa.21

2. Teori Interpretasi Teks

Pembahasan tentang al-Qur-an sebagai sebuah pesan tidak bisa dilepaskan dari

kesadaran seorang penafsir mengenai al-Qur’an sebagai teks linguistik yang memiliki

karakteristik sendiri. Menurut Nasr, di dalam makna bahasa terdapat dua dimensi yang

tampak terlihat kontradiktif, namun sebenarnya saling melengkapi. 22 Gambaran

penjelasan ini terlihat dalam membedakan antara konsep tafsir dan ta’wil. Tafsir memiliki

pengertian menyingkap sesuatu yang tersembunyi atau tidak diketahui, yang bisa

diketahui karena adanya media tafsirah.23 Sedangkan, ta’wil adalah kembali ke asal usul

sesuatu untuk mengungkapkan ma’nā dan magzā.24 Ma’nā merupakan dalālah (arti) yang

dibangun berdasarkan gramatikal teks, sehingga makna yang dihasilkan adalah makna-

makna gramatik (ma’āni al-naḥwi).25 Sedangkan magzā menunjukkan pada makna dalam

19 Naṣr Hamid Abu Zayd, Mafhūm al-Naṣ: Dirāsāt fi ‘Ulūm al-Qur’ān, (Beirut: A l-Markaz al-Saqafi al-

‘Arabī, 2000), hlm. 28. 20 Ibid. 21 Naṣr Hamid Abu Zayd, Al-Naṣṣ, al-Sulṭat, al-Haqīqat: Al-Fikr al-Dīnī bain Irādat al-Ma’rifat wa Irādat

al-Haiminat, Bairut: Markaz al-Tsaqafī al-‘Arabī, 1994), hlm. 74. 22 Naṣr Hamid Abu Zaid, Naqd al-Khiṭāb al-Dīnī (Kairo: Sinā li al-Nasyr, 1992), hlm. 23 Ibid., hlm. 225. 24 Ibid.,, hlm. 229. 25 Ibid.,, hlm. 108.

Page 9: Teori dan Gagasan Hermeneutika Nasr Hamid Abu Zaid

8

konteks sosio-historis. 26 Dalam proses penafsiran kedua hal ini saling berhubungan

dengan kuat, magzā selalu mengikuti ma’nā begitu pula sebaliknya.

Perbedaan penting kedua hal tersebut tercermin bahwa proses penafsiran selalu

membutuhkan medium tafsirah, sehingga penafsir dapat menyingkapkan apa yang

dikehendakinya, sementara dalam proses ta’wil tidak selalu membutuhkan medium

tafsirah, bahkan kadang-kadang ta’wil didasarkan pada gerak mental –intelektual dalam

menemukan asal mula “gejala”.27 Hal ini menunjukkan bahwa ta’wil bisa dijalankan atas

dasar hubungan langsung antara subjek dan objek. Sementara itu tafsir hanya bisa

dijalankan melalui adanya medium, sehingga proses hubungan antara subjek dan objek

tidak bersifat langsung. Medium ini berupa teks bahasa atau berupa suatu penanda.

Penafsiran al-Qur’an sebagai teks bahasa tidak bisa digali hanya dengan

menganalisis bahasa secara inheren. Bagaimanapun teks al-Qur’an turun bukan dalam

masyarakat yang sama sekali tidak memiliki budaya. Paling tidak keberadaan asbāb al-

nuzūl merupakan bukti bahwa teks al-Qur’an telah merespon terhadap kondisi

masyarakat saat itu. Oleh sebab itu, bagi Nasr persoalan konteks budaya secara luas yang

saat itu berkembang merupakan persoalan penting yang tidak bisa ditinggalkan.

Analisis terhadap teks al-Qur’an dan tradisi otentik Nabi SAW. Menurut latar

belakang konteks yang terjadi saat itu harus dilakukan dalam proses penafsiran. Hal ini

disebabkan karena pesan Islam tidak memiliki berbagai pengaruh kalau masyaraka t yang

pertama kali menerima tidak mampu memahami pesan tersebut. Sementara itu,

masyarakat tersebut hanya bisa memahami pesan dalam konteks sosial-budaya mereka

sendiri.28 Pandangan seperti ini menyebabkan lahirnya perbedaan pemahaman terhadap

pesan dalam teks yang dilakukan oleh masyarakat dalam konteks sosial-budaya yang

berbeda pula.

Perbedaan konteks dan metode melahirkan pemahaman yang beragam seiring

dengan perjalanan waktu. Oleh karena itu, pemahaman generasi muslim pertama terhadap

pesan teks tidak dianggap sebagai pemahaman yang final dan absolut.29 Bahasa teks al-

Qur’an pada hakikatnya sama dengan bahasa-bahasa lain. Bahasa selalu mengalami

26 Nasr Hamid Abu Zayd, Dawāir al-Khaūf (Beirut: Al-Markaz al-Saqafī al-‘Arabī, tth.), hlm. 203. 27 Ibid.,, hlm. 232. 28 Nasr Hamid Abu Zayd, Al-Qur’an, Hermeneutika dan Kekuasaan, terj. Dede Iswadi dkk, (Bandung:

Korpus, 2003), hlm. 96. 29 Ibid.,,

Page 10: Teori dan Gagasan Hermeneutika Nasr Hamid Abu Zaid

9

perkembangan secara dinamis melalui proses pengkodean secara terus menerus dan tidak

berakhir. Hal ini berarti teks memiliki makna yang berkembang menjadi signifikasi, atau

dengan kata lain akan selalu terjadi produksi makna tanpa akhir. Dinamika makna teks

tersebut membuat kemungkinan-kemungkinan untuk menafsirkan teks itu secara terus-

menerus. Oleh karena itu, proses interpretasi tidak akan pernah berakhir, dan

reinterpretasi akan selalu terjadi di sepanjang masa.

Untuk itu dibutuhkan suatu model analisis yang membedakan pembacaan zaman

sekarang dengan masa klasik. Masyarakat kontemporer tidak lagi sekedar melakukan

pembacaan yang bersifat pengulangan-pengulangan, repetitive, namun lebih kepada

upaya untuk menemukan proggresivitas tradisi secara lebih terbuka. Model analisis

alternative tersebut bagi Nasr Abu Zaid adalah “metode analisis wacana”. Untuk itu

Nasr menyatakan:

(“Suatu tradisi tidaklah akan dapat diperbarui dengan hanya

(menggunakan pembacaan) yang bersifat pengulangan-pengulangan) dan taqlid

semata-mata, akan tetapi hanya dapat diperbarui dengan menelaah, mengkaji

dan menganalisisnya seiring dengan semakin berkembangnya metode-metode

yang ada. Kemampuan nalar manusia secara epistemologis akan dapat

menangkap apa yang sebelumnya belum diketahui.

Selanjutnya ia mengatakan juga:

(metode yang semakin banyak dan progresif,mengharuskan diadakannya

pembaharuan dan pembacaan ulang terhadap masa lampau untuk menyingkap

apa yang dalam tradisi sebelumnya belum mungkin untuk disingkap).30

Apa yang disampaikan Nasr di atas menunjukkan bahwa interpretasi teks dapat

dilakukan siapapun yang memiliki kompeten. Meskipun demikian, Nasr memberikan

catatan penting sebelum penafsir melakukan interpretasi. Beberapa teori kontemporer

memiliki kecenderungan untuk menekankan aspek internal teks sebagai hubungan-

hubungan semantis, sehingga melahirkan pembacaan yang terkait (al-qirā’ah gair al-

bariah).31 Hubungan antara teks dengan pengarang , masa dan realitas yang memproduk

teks itu sendiri harus dipisahkan. Pembacaan seperti ini mengakibatkan pembacaan

30 Hilman Lat ief, Nasr Hamid Abu Zaid; Kritik Teks Keagamaan, Yogyakarta: Elsaq Press, 2003), hlm .

66-67. 31 Nasr Hamid Abu Zaid, Naqd al…, hlm. 113.

Page 11: Teori dan Gagasan Hermeneutika Nasr Hamid Abu Zaid

10

terhadap teks selalu terikat dengan data-data kebahasaan yang terdapat pada teks itu.

Hubungan antara teks dengan dunia di luar teks diabaikan, padahal kenyataannya teks

tidak dapat dipisahkan dari faktor-faktor eksternal yang turut mempengaruhi teks.

Pembacaan terikat atau tidak bebas seperti inilah yang harus ditinggalkan dalam proses

interpretasi.

Model pembacaan lain yang harus ditinggalkan oleh penafsir adalah pembacaan

tendensius (al-qirā’ah al-mugridah). 32 Pembacaan tendensius adalah pembacaan teks

yang dilakukan sesuai dengan ideologi yang dianut oleh penafsir. 33 Pembacaan

tendensius merupakan pembacaan yang dilakukan atas dasar kepentingan, sehingga hasil

yang dicapai akan selalu bersifat subjektif. Hal ini karena sejak awal penafsir memiliki

kepentingan dan berusaha agar hasil interpretasinya berbicara sesuai yang diinginkannya.

Oleh karena itu, sebelum melakukan interpretasi penafsir harus menanggalkan segala

macam horizon subjektif yang beredar di otaknya.

Memang harus disadari bahwa untuk melepaskan diri dari ideologi- ideologi yang

ada pada diri penafsir bukan persoalan mudah. Dalam hal ini Nasr membuat pemisahan

dua dimensi. Makna dalam teks, yaitu antara dalālah dan magzā. Pembedaan antara

dalālah dan magzā harus menjadi tuntutan utama agar metodologi interpretasi teks tidak

tunduk pada ideologi pengkaji secara serampangan dan vulgar. 34 Secara tegas Nasr

menolak kegiatan interaksi dengan teks dan interpretasi terhadapnya dengan landasan

opotunistik-pragmatis, karena interaksi dan interpretasi seperti itu dianggap mengabaikan

gerak teks (harakah al-naṣṣ) dalam konteks historis dan mengingkari data-data yang

memungkinkan untuk membantu mengungkap makna teks.

Aktivitas intelektual pada umumnya dan tindakan pembacaan khususnya

bertujuan untuk menyingkap fakta-fakta tertentu dari tataran-tataran eksistensi di liar

horizon subjek yang membaca. Apabila horizon pembaca membatasi sudut pandangnya,

maka data-data teks tidak berposisi sebagai penerima pasif terhadap orientasi-orientasi

subjek.35 Ini berarti pembacaan dan aktifitas intelektual yang benar itu didasarkan pada

dialektika antara subjek dan objek. Berbeda dengan ini, pembacaan tendensius hanya

32 Ibid.,, 33 Ibid.,, hlm. 114. 34 Ibid.,, 35 Ibid.,, 115.

Page 12: Teori dan Gagasan Hermeneutika Nasr Hamid Abu Zaid

11

akan menghasilkan ideologi. Kecenderungan subjektifitas oportunistik pada akhirnya

akan melahirkan klaim bahwa pembaca mampu menemukan makna, padahal makna yang

dihasilkan itu sebenarnya adalah makna yang diinginkan sebelum melakukan pembacaan.

Dalam rangka menanggapi problem diatas, Nasr menawarkan model pembacaan

yang disebut al-qirā’ah al-muntijah (pembacaan produktif). Al-qirā’ah al-muntijah yang

ditawarkan Nasr sebenarnya kembali masuk dalam diskusi tentang hubungan antara

ma’nā dan magzā, tapi dalam hal ini Nasr menggunakandialektika antara istilah dalālah

dan magzā. Di sini Nasr terlihat tidak konsisten dalam menggunakan istilah, terkadang

menggunkan distingsi magzā dan dalālah, tapi terkadang menggunakan distingsi magzā

dan ma’nā. pada dasarnya dalālah dan magzā merupakan dua bentuk yang digunakan

untuk satu pekerjaan. Magzā tidak bisa dilepaskan dari sentuhan dalālah, sebab

dalalahlah yang mengantarkan magzā sampai pada ma’na yang paling jauh.36 Sementara

itu, untuk mengungkap ma’na dalalah harus melalui media al-tafsirah (denotatum/tanda).

Dengan demikian, al-qirā’ah al-muntijah berangkat dari analisis tanda bahasa untuk

memperoleh makna tekstual, setelah itu kembali ke asal atau dihubungkan dengan makna

konteks sosio-historis untuk memperoleh magzā.

3. Level-level Konteks

Struktur teks dan produksi makna teks bagi Nasr tidak bisa dilepaskan dari

persoalan al-siyāq (konteks). Termasuk dalam hal ini teks al-Qur’an, membawa level-

level konteksnya sendiri, yang harus dipertimbangkan oleh interpreter. Menurut Abu

Zaid, ada lima level konteks dari sebuah teks, diantaranya adalah:37

1. Konteks sosio-kultural (al-siyāq al-saqafī al-ijtimā’i) yang terdiri dari aturan sosio

dan kultural, dengan semua konvensi, adat kebiasaan, dan tradisinya yang

terekspresikan dalam bahasa teks itu. Bahasa mengandung aturan-aturan

konvensional kolektif yang bersandar pada kerangka kultural. Teks sebagai sebuah

pesan ditujukan kepada masyarakat yang sebelumnya telah mempunyai

kebudayaannya sendiri dan konsepsi-konsepsi mental dan kepercayaan-kepercayaan

kulturalnya sendiri. Dalam rangka inilah, Abu Zaid mengusulkan proposisi

36 Ibid.,, hlm. 144. 37 Moch. Nur Ichwan, Meretas Kesarjanaan…, hlm. 90-93

Page 13: Teori dan Gagasan Hermeneutika Nasr Hamid Abu Zaid

12

fundamentalnya bahwa al-Qur’an adalah sebuah produk budaya dan bahwa ia

haruslah dipahami dalam sosio-kulturalnya.

2. Konteks eksternal (al-siyāq al-khariji), yakni konteks percakapan (siyāq al-

takhathub) yang diekspresikan dalam struktur bahasa (bunyah lughawiyyah) suatu

teks. Konteks percakapan berkaitan dengan hubungan antara pembicara atau pengirim

pesan dan patner bicara atau penerima pesan, yang mendefinisikan karakteristik teks

pada satu sisi, dan otoritas tafsir dan interpretasi pada sisi lain. Dalam konteks

hermeneutika al-Qur’an, Abu Zaid juga menyebut konteks ini dengan “konteks

pewahyuan” (siyāq al-tanzīl) berdasarkan dua fakta: pertama, teks (al-Qur’an)

diwahyukan secara berangsur-angsur selama lebih dari 22 tahun, yang masing-masing

bagian mempunyai konteksnya sendiri. Kedua, variasi dalam level suasana pewacana

pertama, Muhammad SAW, yang dengan sendirinya berada dalam ruang psikologi

yang berubah-ubah, seperti senang, marah, sedih, kecewa dan tidak menutup

kemungkinan pula adanya pengaruh dari orang yang diajak bicara, baik sahabat,

khususnya istri-istri Nabi.

3. Konteks internal (al-siyāq al-dakhīli) yang berkaitan dengan “ketakintegralan”

struktur teks dan pluralitas level wacananya. Struktur teks, menurut Abu Zaid,

tidaklah integral. Hal ini disebabkan karena adanya perbedaan antara urutan teks

(tartīb al-ajza) dan urutan pewahyuan (tartīb al-nuzūl). Lebih dari itu, teks al-Qur’an

pada hakekatnya bersifat plural, dan tidak mungkin untuk memahaminya kecuali

dengan mempertimbangkan level spesifikasinya. Seorang pembaca haruslah

mengenali level wacana yang dihadapinya. Wacana cerita (siyāq al-qiṣṣah), misalnya,

berbeda dalam pengertian dan penekanan dari wacana hiburan dan intimidasi (al-

targhīb wa tarhīb), debat dan konteks (al-jadāl wa al-sijāl), janji dan ancaman (al-

wa’d wa al-wa’id), dan lain-lain.

4. Konteks linguistik yang tidak hanya berkaitan dengan elemen-elemen suatu kalimat,

atau korelasi antar kalimat (nazm), atau berkaitan dengan perluasan figuratif atau

majaz-ifikasi (tajāwuz) dalam arti bentuk-bentuk gramatikal dan style, namun juga

berkaitan dengan signifikansi yang implisit atau “yang tak terkatakan” di dalam

struktur wacana. Analisis teks melalui tanda-tanda linguistik haruslah mengungkap

“yang tak terkatakan” dengan melampaui kata-kata dengan masuk dalam struktur

Page 14: Teori dan Gagasan Hermeneutika Nasr Hamid Abu Zaid

13

kultural teks. Hal ini disebabkan karena bahasa adalah kristalisasi budaya dan

merupakan bagian integral darinya. Misalnya, sūrah Jinn yang mempresentasikan

bahwa Jinn memang ada adalah bahwa al-Qur’an menggunakan kepercayaan kultural

atau yang disebut Abu Zaid dengan “konsep mental”, yang ada dalam budaya Arab

pra-Islam.

5. Konteks pembacaan (siyāq al-qirā’ah). Proses pembacaan, yang pada hakekatnya

adalah sebuah dekonstruksi kode (fakk al-syifrah), bukanlah konteks eksternal

pelengkap yang disandarkan kepada teks. Tekstualisasi al-Qur’an terungkap melalui

tindak pembacaan.

D. Aplikasi Penafsiran

1. Riba dan Bunga Bank38

Kata riba (usūry) telah dipakai dalam wacana Islamis kontemporer di Mesir,

sebagaimana di negara-negara Islam lainnya sejajar dengan bunga dalam sistem

perbankan. Pengkiasan hukum (antara riba dan bunga bank) ini menyebabkan para

Islamis menolak segala bentuk bunga, dan sebagai gantinya mereka berupaya mendirikan

bank-bank Islam dan lembega- lembaga ekonomi lainnya. Kongres kedua Lembaga Riset

Islam (Islamic Research Group) Mesir menyatakan dalam salah satu rekomendasinya

bahwa bunga dari segala bentuk pinjaman, baik untuk konsumsi maupun produksi, adalah

legal, haram. Jika pinjaman dengan riba berderajat kecil saja haram, apalagi berderajat

besar.

Diskusi tentang riba dan bunga di Mesir tentu bukan suatu hal yang baru. Rasyid

Ridha , misalnya, mengatakan bahwa riba yang dilarang dalam al-Qur’an adalah riba

yang oleh Ibnul Qoyyim disebut “riba yang jelas” (riba nasi’ah), dan yang mempunyai

karakteristik pelipatan yang terus menerus dari utang semula. Menurut Muhammad Sa’id

Al-‘Asymawi, riba yang disebut dalam al-Qur’an adalah riba pra-Islam, suatu bentuk

renta yang mempunyai tingkat bunga sangat tinggi yang sering kali berujung pada

perbudakan pengutang ketika dia tidak mampu membayarnya. Lagi pula, riba semacam

ini hanya di Arab belum ada sistem mata uang. Sistem bunga yang ada sekarang tidak ada

masalah karena tingkat bunga bisa dikontrol oleh pemerintah dan lebih rendah dari sistem

riba jahiliyah itu.

38 Ibid.,, hlm. 127-130.

Page 15: Teori dan Gagasan Hermeneutika Nasr Hamid Abu Zaid

14

Abu Zaid mengatakan bahwa penggunaan kembali kata riba sebagai padanan riba

(‘arbah atau fawāid, keuntungan) tidaklah tepat karena riba dalam al-Qur’an adalah riba

pra-Islam. Abu Zaid mengkritik para Islamis karena bersiteguh menggunakan dan

menghidupkan kembali suatu kata yang menjadi perbendaharaan kata lama, yakni riba.

Abu Zaid berargumen bahwa penggunaan kata riba sebagai padanan bunga bukanlah

merupakan ijtihād hukum murni dan objektif, karena tidak ada ijtihād hukum semacam

itu, namun ini merupakan bagian dari mekanisme wacana keagamaan untuk

menggantikan hal yang baru dengan yang lama.

Kaum Islamis selalu mendasarkan diri atas mekanisme analogi hukum (al-qiyās

al-fiqhi) yang mengarah, baik kepada pengharaman atau penghalalan. Sementara itu,

hukum berdasarkan atas alasan-alasan legal yang dengannya ijtihad menemukan adanya

pengharaman riba. Namun, dalam pandangan Abu Zaid, sistem perbankan, termasuk

bunga, tidaklah terkait dengan riba, namun ia memberikan keuntungan kepada depositor.

Tidak ada hubungan antara sistem perbakan modern dan riba pra-Islam yang dilarang

Allah dalam al-Qur’an. Disini, menurut Abu Zaid, konsep riba memiliki level pertama

makna pesan, yakni konsep yang harus dianggap sebagai bukti sejarah yang tidak dapat

diinterpretasikan secara metaforis.

2. Hak Waris Perempuan39

Abu Zaid kemudian beralih menganalisis konteks sosio-historis posisi perempuan

dalam masyarakat pra-Islam. Petanda dari sebagian besar hukum Islam yang berkaitan

dengan perempuan, dan juga signifikansinya, tidak bisa diungkap tanpa

mempertimbangkan kebudayaan Arab pra-Islam. Dalam kebudayaan Arab pra-Islam,

perempuan tidak mempunyai hak untuk memiliki. Karena tidak produktif, perempuan

(dan juga anak-anak kecil) tidak mendapatkan warisan; bahkan sebaliknya, mereka dapat

diwariskan laiknya harta warisan. Aturan standarnya terkait dengan masalah

produktivitas ekonomi, sebagaimana yang mereka katakan: “kita tidak memberikan

warisan kepada seseorang yang tidak bisa menunggang kuda, tidak kelelahan dan tidak

melukai musush”. Ini mengekspresikan sebuah kebudayaan yang menganggap

peperangan sebagai salah satu jalan, bukan hanya untuk mendapatkan kekuasaan tetapi

juga harta kekayaan (yang berupa rampasan perang dan budak tawanan). Dalam konteks

39 Ibid.,, 144-149.

Page 16: Teori dan Gagasan Hermeneutika Nasr Hamid Abu Zaid

15

kebudayaan semacam ini, al-Qur’an manyatakan bahwa perempuan mendapatkan

warisan setengah dari bagian laki- laki, dan bahkan mereka mempunyai hak untuk

mendapatkan kalalah.

Berdasarkan atas sebuah prinsip hukum Islam: “hukum berubah berdasarkan atas

ada, atau tidak adanya, alasan-alasan legal (al-hukmu yaruddu ma’a al-‘illah wujudan wa

‘adaman), konteks dan alasan legal dari hak perempuan untuk mendapatkan warisan telah

berubah. Pada masa Nabi, secara ekonomi, perempuan tidak produktif, sementara pada

masa sekarang perempuan rata-rata secara ekonomi produktif. Jadi, hukum dalam hal ini

haruslah berubah.

Bagian waris perempuan ditetapkan sebagai bagian yang ditetapkan Allah

(farīdhah min Allah) yang tidak seorang pun diperbolehkan menguranginya. Dari sini,

Abu Zaid beralih kepada argumen lain, yang mendukung argumen pertama (tentang

alasan produktivitas perempuan). Analisis lain dari frase “bagi laki-laki bagian yang

sebanding dengan bagian dua perempuan”, adalah bahwa teks menekankan pada bagian

laki- laki dulu baru kemudian bagian perempuan. Ini menunjukkan bahwa al-Qur’an

membatasi bagian laki- laki ketimbang bagian perempuan “sebanding dengan bagian dua

perempuan”. Namun, bagian perempuan ini sebenarnya merupakan bagian minimum,

bukan maksimum. Ini berarti bahwa laki- laki dapat memperoleh lebih rendah ketimbang

bagian yang seharusnya dia terima, dan perempuan dapat menerima lebih banyak dari

bagian yang seharusnya mereka terima berdasarkan kesepakatan. Dengan

mempertimbangkan “arah teks”, perempuan haruslah mendapatkan bagian waris yang

sebanding dengan laki- laki. Dalam hal ini, Abu Zaid mengkaji hukum pewarisan dalam

konteks level makna ketiga, yang harus diungkap signifikansi pesannya.

3. Poligami40

Poligami dalam wacana Alquran mempunyai level makna ketiga, di mana

pemahamannya haruslah melampaui makna historisnya dengan menguak signifikansi

masa kininya dan mampu menguak dimensi yang tak terkatakan dari suatu pesan. Dalam

masalah poligami, Abu Zayd berargumentasi sebagai berikut:

Kesadaran akan historisitas teks keagamaan adalah teks linguistik dan bahasa sebagai

produk sosial dan kultural.

40 Ibid.,, hlm. 138-143.

Page 17: Teori dan Gagasan Hermeneutika Nasr Hamid Abu Zaid

16

meletakkan teks dalam konteks Alquran secara keseluruhan terhadap konsep adil.

Dengan melakukan ini, Abu Zaid berharap bahwa “yang tak terkatakan” atau yang

implisit dapat diungkapkan.

Poligami dibolehkan dalam Alquran pada hakikatnya adalah sebuah pembatasan dari

poligami yang tak terbatas yang telah dipraktikan sebelum datangnya Islam.

No. Makna /Dilalah Signifikansi/magza Yang tak

terkatakan

Poligami Praktik poligami pra-islam :

poligami tidak terbatas

Islam membatasi

poligami empat istri

secara adil

Sikap adil dalam poligami tidak

mungkin: monogami

ditekankan

Tujuan akhir legislasi Islam: monogami

Poligami dilarang

Page 18: Teori dan Gagasan Hermeneutika Nasr Hamid Abu Zaid

17

Kesimpulan

Metodologi Tafsir al-Qur`an dibangun di atas prinsip tektualitas al-Qur`an, bahwa obyek

utama kajian al-Qur`an adalah teks kebahasaan. Dengan prinsip dasar tersebut, studi al-Qur`an

harus dikaitan dengan ilmu bahasa (linguistik) dan kritik sastra. Selain pendekatan tekstual, studi

al-Qur`an juga menggunakan pendekatan histors kritis. Bagaimanapun teks al-Qur’an turun

bukan dalam masyarakat yang sama sekali tidak memiliki budaya. Menurut latar belakang

kontekstual yang terjadi saat itu harus dilakukan dalam proses penafsiran. Al-Quran berinteraksi

dengan akal (untuk dipahami) dan kemudian al-Quran terbentuk dengan budaya Arab, oleh

karena itu Nasr Hamid Abu Zaid berpendapat bahwa al-Quran adalah produk budaya. Nasr

Hamid juga berpendapat bahwa teks-teks keagamaan adalah teks-teks bahasa yang

kedudukannya sama dengan yang lain dalam kebudayaan manusia.

Nasr Hamid Abu Zaid menawarkan hermeneutika sebagai paradigma takwil. Pembacaan

teks melampaui dua dunia, dunia author, penulis dan interpreter. Pembacaan teks tidak hanya

berhenti pada yang terkatakan dalam teks, makna asal, tetapi sampai pada signifikansi/magzā,

makna yang tidak terkatakan. Takwil adalah suatu upanya kembali pada asal usul sesuatu. Hal itu

dimaksudkan untuk mengungkapkan makna dan signifikansinya. Sederhananya Nasr Hamid Abu

Zaid menafsirkan al-Qur’an dengan apa pesan yang terkandung yang tidak terlihat secara dzhohir

melainkan dengan kajian yang lebih mendalam. Nasr Hamid Abu Zaid juga menekankan analisis

beberapa konteks dan hubungan masing-masing dalam proses penafsiran. Beberapa konteks

tersebut adalah Konteks sosio-kultural (al-siyāq al-saqafī al-ijtimā’i), Konteks eksternal (al-

siyāq al-khariji), Konteks internal (al-siyāq al-dakhili), Konteks linguistik, Konteks pembacaan

(siyāq al-qirā’ah).

Page 19: Teori dan Gagasan Hermeneutika Nasr Hamid Abu Zaid

18

Daftar Pustaka

Latief, Hilman, Nasr Hamid Abu Zaid; Kritik Teks Keagamaan, Yogyakarta: Elsaq Press, 2003). E. Sumaryono, Hermenautik sebuah Metode filsafat, Yogyakarta, Penerbit Kanisius,

1999.

Kurdi, dkk, Hermeneutika Al-Qur’an dan Hadis , Yogyakarta: Elsaq Press, 2010. Ichwan, Moch. Nur, Meretas Kesarjanaan Kritis Al-Qur’an: Teori Hermeneutika Nasr Abu

Zayd, Jakarta: Teraju, 2003.

Arif, Syamsudin, Orientalis & Diabolisme Pemikiran, Jakarta: Gima Insani, 2003. Zaid, Nasr Hamid Abu, Tekstualitas Al-Qur’an: Kritik Terhadap Ulumul Qur’an, diter. dari

Mafhum al-Nash Dirasah fi Ullum al-Qur’an oleh Khoirun Nahdliyyin,Cet. I, Yogyakarta: LKIS, 2001.

______, Al-Qur’an, Hermeneutika dan Kekuasaan, terj. Dede Iswadi dkk, Bandung: Korpus,

2003.

______,Al-Naṣṣ, al-Sulṭat, al-Haqīqat: Al-Fikr al-Dīnī bain Irādat al-Ma’rifat wa Irādat al-

Haiminat, Bairut: Markaz al-Tsaqafī al-‘Arabī, 1994. ______, Dawāir al-Khauf , Beirut: Al-Markaz al-Saqāfi al-‘Arabī, tth.

______,Mafhūm al-Nāṣ: Dirāsat fi ‘Ulūm al-Qur’an, Beirut: Al-Markaz al-Saqāfi al-‘Arabī,

2000. ______, Naqd al-Khiṭāb al-Dīnī, Kairo: Sinā li al-Nasyr, 1992.