peran kompos tandan kosong kelapa sawit dan pupuk anorganik ...
tandan kosong
-
Upload
yudha-simbolon -
Category
Documents
-
view
197 -
download
2
description
Transcript of tandan kosong
-
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Serat Tandan Kosong Sawit dan Bahan Selulosa
Tandan kosong sawit (TKS) merupakan salah satu limbah padat yang
dihasikan oleh industri perkebunan kelapa sawit yang banyak mengandung serat
(Nuryanto, 2000). Diperkirakan saat ini limbah TKS di Indonesia mencapai 20
juta ton. Sampai saat ini, pemanfaatan TKS masih relatif terbatas, yaitu digunakan
langsung sebagai mulsa di perkebunan kelapa sawit, atau dibakar dalam
incinerator dan abunya dimanfaatkan sebagai subtitusi pupuk kalium.
Pemanfaatan TKS sebagai pupuk kalium atau mulsa masih dinilai tidak ekonomis,
karena biaya transportasi dari pabrik kelapa sawit dan penyebarannya di kebun
kelapa sawit memerlukan biaya yang relatif tinggi. Di samping itu pembakaran
TKS di incinerator menyebabkan terjadi polusi udara. Ditinjau dari sifak fisik,
morfologi, dan komposisi kimia TKS, sebenarnya TKS dapat digunakan sebagai
bahan baku potensial untuk pengisi atau penguat komposit polimer. Hal ini
disebabkan pada TKS kandungan seratnya mencapai sekitar 70 % dan komposisi
kimia TKS mengandung selulosa yang cukup banyak yaitu 37,76%. Seperti
bahan kayu dan jaringan penunjang tumbuh-tumbuhan lainnya menurut Darnoko
dkk (2001) dan Wirjosentono (1999) komposisi kimia tandan kosong sawit limbah
kelapa sawit terdiri dari selulosa (37,76%), lignin (22,23%), holoselulosa
(66,07%) dan bahan terestraksi (7,78%). Dari komposisi di atas serat limbah
kelapa sawit yang berasal dari tandan kosong kelapa sawit dapat diolah menjadi
selulosa dengan penghilangan lignin. Dua bagian tandan kosong kelapa sawit
Universitas Sumatera Utara
-
yang banyak mengandung selulosa adalah bagian pangkal dan bagian ujung
tandan kosong sawit yang agak runcing dan agak keras. Komposisi kimia dari
serat tandan kosong sawit dapat dilihat pada tabel 2.1 dan terlihat kandungan
lignin, ekstraktif, pentosan dan abu cukup tinggi.
Tabel 2.1. Komposisi kimia tandan kosong sawit
No Parameter Kandungan
1. Lignin 22,60
2. A-Selulosa 45,80
3. Holoselulosa 71,80
4. Pentosa 25,90
5. Kadar abu 1,60
6. Kelarutan dalam
- Air dingin
-Air panas
-Alkohol benzen
-NaOH 1 %
13,89
2,50
4,20
19,50
(Purwito, 2005 dan Nuryanto, 2000 )
Komposisi serat alam terdiri dari selulosa, hemiselulosa, lignin pektin, lilin
dan abu. Beberapa komposisi kimia serat alam dari beberapa jenis serat alam
yang telah pernah diuji dapat dilihat pada tabel 2.2.
Universitas Sumatera Utara
-
Tabel 2.2 Komposisi kimia dari beberapa serat alam
Jenis serat Selulosa
(%)
Lignin
(%)
Hemiselulosa atau Pentosa
(%)
Pektin
Flaks 71 2,1 18,6 20,6 2,3
Jerami 43 - 47 21 23 24 - 26 -
Jut 45 71,5 12 26 13,6 - 21 -
Kenaf 31 - 57 15 19 21,5 - 23 0,2
Hemp 57 - 77 3,7 13 14 22,4 0,9
(Mohanty AK, Misra M, Drzal LT,2001)
Pengujian limbah sawit dari tandan kosong sawit sudah pernah diuji
dalam kegiatan penelitian Purwito (2005), Darnoko (2001) dan Nuryanto (2000).
Berdasarkan hasil pengujian sifat kimia tandan kosong sawit dapat dilihat pada
tabel 4.2 alfa selulosanya cukup tinggi (45,80 %), lignin 22,60 %, pentosa 25 90
% dan hampir sama dengan kadar selulosa dan lignin dalam kayu. Menurut
Laurent ( 1998) komposisi kimia kayu terdiri dari selulosa 47 %, lignin 24 %,
hemiselulosa 29 % dan ekstraktif 8 %. Sedangkan hasil pengujian sifat fisiknya
terlihat pada tabel 2.3 ternyata kekuatan tariknya cukup tinggi dan daya ikatnya
cukup baik
Sementara itu dari hasil penelitian isolasi lignin pada TKS yang
telah dilakukan oleh Sulhatun (2005) dapat dilihat pada tabel 2.4,
menunjukkan bahwa kadar lignin maksimum yang dihasilkan dari proses
Universitas Sumatera Utara
-
ekstraksi tandan kosong sawit adalah 64,895 dengan kemurnian 90 % pada
kondisi proses 1600C, waktu reaksi 4 jam dan konsentrasi basa 20 %.
Tabel .2.3 Sifat Fisik dan Morfologi Serat TKS
Parameter TKS bagian pangkal TKS bagian ujung Panjang serat, mm 1.20 0,76 Rata-rata (L) Diameter serat, m (D) 15,0 114,34 Diameter Lumen, m (l) 8,04 6,99 Tebal dinding, m(W) 3,49 3,68 Bilangan Rumkel (2W/l) 0,87 1,05 Kelangsingan (L/D) 79,95 53,00 Kelemasan (l/D) 0,54 0,49 Kadar serat (%) 72,67 62,47 Bukan serat (%) 27,33 37,53
(Darnoko, dkk, 1995)
Tabel 2.4 Pengaruh konsentrasi NaOH terhadap persentase kadar lignin pada isolasi lignin TKS
No Waktu ekstraksi
(jam)
Konsentrasi
NaOH
Kadar lignin
(%)
1 1 5 % 8,745
2 2 10 % 16,44
3 3 15 % 34,80
4 4 20 % 64,895
(Sulhatun, 2005)
Universitas Sumatera Utara
-
2.2. Komposisi Kimia Serat Tandan Kosong Sawit
Serat tandan kosong sawit terdiri dari zat organik yaitu selulosa,
hemiselulosa, lignin, pektin, ekstraktif dan juga zat organik yang berbeda-beda
(Darnoko, 1995). Gabungan molekul selulosa dan hemiselulosa membentuk
mikrofibril yang membentuk lamela dan seterusnya bersatu dengan lignin untuk
membentuk dingding sel-sel kayu.
2.2.1. Selulosa
Jaringan berserat dalam dinding sel mengandung polisakarida selulosa.
Polisakarida ini adalah polimer alam yang paling banyak terdapat dan paling
tersebar di alam. Jutaan ton selulosa digunakan setiap tahun untuk membuat
perabot kayu, tekstil dan kertas. Sumber utama selulosa ialah kayu. Umumnya
kayu mengandung sekitar 42% selulosa, lignin 28% dan hemiselulosa 28%
(Lauren, 1996). Pemisahan selulosa dari kayu melibatkan pencernaan kayu
dengan larutan belerang dioksida dan hidrogen sulfit (bisulfit) dalam air pada
proses sulfit, atau larutan natrium hidroksida dan natrium sulfida dalam air pada
proses sulfat (kraf). Pada kedua proses ini lignin dilarutkan sehingga diperoleh
selulosa. Ekstraksi dilakukan dengan mereaksikannya dengan larutan natrium
hidroksida di bawah tekanan, yang kemudian dilanjutkan dengan pengelantangan
dengan gas klor klasium hipokrolit. Sumber lain selulosa ialah kapas, yang hampir
seluruhnya memang selulosa.
2.2.1.1.Struktur molekul selulosa
Rumus molekul selulosa ialah (C6H10O5)n dan n dapat berupa angka
ribuan. Sangat sukar untuk mengukur massa molekul nisbi selulosa, karena (1)
Universitas Sumatera Utara
-
tidak banyak pelarut untuk selulosa, (2) selulosa sangat cenderung terombak
selama proses dan (3) cukup rumit menggunakan selulosa dari sumber yang
berbeda. Cara yang acap kali dipilih ialah menitratkan selulosa dengan cara tak
merusak, dan massa molekul nisbi bagi selulosa kapas sekitar satu juta.
Selulosa dibangun oleh rangkaian glikosa yang tersambung melalui - - 1,4. Untuk memahami peristilahan ini pertama-tama kita harus melihat struktur
glukosa itu sendiri. Glukosa mempunyai rumus molekul C6H12O6. Dengan kata
lain kita dapat menggambarkan struktur glukosa sebagai rantai lurus ataupun
struktur cincin. Struktur cincin dapat terbentuk dari hasil pembentukan
hemiasetal internal. Namun, penelahan yang mendalam terhadap mekanisme ini
menunjukkan bahwa terdapat dua kemungkinan bagi konfigurasi glukosa,
bergantung pada bahwa terdapat dua kemungkinan pada cara gugus -OH pada
atom korban nomor 1 (C1) diarahkan. Bilamana gugus - OH pada atom karbon C
nomor satu terarah ke bawah, glukosa mengambil bentuk , bilamana gugus OH terarah ke atas disebut bentuk . Dalam larutan, kedua bentuk itu seimbang, karena glukosa menunjukkan sifat mereduksi seperti aldehida (bereaksi
dengan pereaksi Tollens dan larutan Fehling), hal ini membuktikan adanya
sejumlah kecil struktur terbuka atau struktur rantai lurus. Telah dikemukakan
bahwa polisakarida dibangun dari banyak kesatuan monosakarida yang saling
bergabung dengan melepaskan air, dan hasilnya ialah deret ikatan glikosida
(jembatan oksigen). Deret ikatan glikosida dalam selulosa antara C1 dari satu
kesatuan C4 dari kesatuan berikutnya diperlihatkan pada gambar 2.1. Hal ini juga
Universitas Sumatera Utara
-
menjadi bukti mengapa selulosa tergolong bukan pereduksi, karena titik ikatan
adalah pada atom karbon nomor satu pereduksi.
Gambar 2.1. : Ikatan 1,4 - glikosida selulosa
Gambar 2.2. Selulosa Source: http://www.lsbu.ac.uk/water/hycel.html
Ditinjau dari struktur, dapat saja diharapkan selulosa mempunyai kelarutan
yang besar dalam air, karena banyaknya kandungan gugus hidroksi yang dapat
membentuk ikatan hidrogen dengan air (antaraksi yang tinggi antara pelarut-
Universitas Sumatera Utara
-
pelarut). Akan tetapi kenyataannya tidak demikian, dan selulosa bukan hanya
tidak larut dalam air tetapi juga dalam pelarut lain. Penyebabnya ialah kekuatan
rantai dan tingginya gaya antar rantai akibat ikatan hidrogen antara gugus
hidroksil pada rantai yang berdekatan. Faktor ini dipandang menjadi penyebab
kekeristalan yang tinggi dari serat selulosa. Jika ikatan hidrogen berkurang,
gaya antaraksipun berkurang, dan oleh karenanya gugus hidoksil selulosa harus
diganti sebagian atau seluruhnya oleh pengesteran. Hal ini dapat dilakukan, dan
ester yang dihasilkan larut dalam sejumlah pelarut. Selulosa juga larut dalam
larutan tembaga (II) hidroksida berammonia. Pembentukan kompleks yang
melibatkan gugus hidroksil selulosa, ion Cu2+, dan ammonia menjelaskan gejala
larutnya selulosa dalam larutan tembaga (II) hidroksida beramonia.
2.2.1.2. Turunan Selulosa
Selulosa yang secara langsung dapat dijadikan serat sangatlah terbatas.
Yang lebih lazim dilakukan ialah memproses larutan turunan selulosa, dan
kemudian membuat polimer itu menjadi bentuk yang dikehendaki (misalnya serat
atau lapisan tipis) setelah selulosa dikembalikan lagi. selulosa yang diperoleh
dengan cara itu disebut selulosa teregenerasi. Serat yang dibuat dari selulosa
disebut rayon, dan pembuatannya dilakukan dengan menggunakan cara di atas.
Misalnya proses awal untuk menghasilkan serat selulosa teregenerasi melibatkan
reaksi selulosa dengan larutan tembaga (II) hidroksi beramonia. Larutan yang
dihasilkan kemudian ditekan melalui kepala pemintal ke dalam larutan asam
untuk meregenerasi selulosa dalam bentuk benang yang panjang. Kemungkinan
Universitas Sumatera Utara
-
lain cara regenerasi ialah melarutkan selulosa dalam larutan natrium hidroksida
dan karbon disulfida. Larutan yang dihasilkan disebut viskosa, disemprotkan
melalui kepala pemintal ke dalam larutan asam, dan selulosa diregenerasi sebagai
serat yang dapat diproses lebih lanjut. Hasil proses ini disebut rayon viskosa,
yang kini menjadi serat utama tekstil.
Kemungkinan lain ialah jika larutan viskosa ditekan melalui celah tipis
ke dalam larutan asam, lalu selulosa diregenerasi sebagai lapisan tipis, dan jika
diproses lebih lanjut dapat digunakan sebagai selopan.
Selulosa nitrat pertama kali dibuat secara industri pada tahun 1870 dengan
mereaksikan kertas dengan asam nitrat (Cowd, 1991). Selulosa nitrat adalah
selulosa ester anorganik turunan selulosa dengan asam nitrat. Bahan kimia
pembuatan selulosa nitrat yaitu asam nitrat dan asam sulfat. Contoh selulosa eter
adalah selulosa etil hidroksil dan selulosa natrium karboksimetil, merupakan
modifikasi selulosa eter. Selulosa etil reaksi antara selulosa alkali dengan etil
klorida melalui reaksi penguatan alkali dan dapat larut dalam air, umumnya
selulosa etil klorida digunakan sebagai perekat logam untuk mencegah
pengaratan (Anil, 1998).
Selulosa karboksilmetil (CMC) dibuat melalui selulosa alkali yang
diperoleh melalui reaksi selulosa (X-(OH)3) dengan natrium hidroksida. CMC
terutama digunakan untuk perekat kertas dinding, obat-obatan, kosmetik, industri
es krim dan detergen (Anil, 1998).
Universitas Sumatera Utara
-
Selulosa etanoat (selulosa asetat) dapat dibuat dengan memanasi selulosa
dengan anhidrida etanoat (anhidrida asetat) dan asam asetat di dalam asam sulfat.
Selulosa asetat digunakan untuk membuat serat, film, dan pernis.
Derivat selulosa yang lain adalah selulosa hidroksietil (gambar 2.2) yang
mempunyai perbedaan dengan derivat selulosa yang lain. Perbedaan selulosa
hidroksietil dengan derivat selulosa yang lain adalah bahwa beberapa atau semua
gugus hidroksi atau OH dari unit ulang glukosa mempunyai gugus hidroksietil
eter. Hidroksietil merupakan polimer yang tidak dapat larut dalam air sehingga
polimer ini harus diubah menjadi kristal. Dengan penambahan laxati selulosa
hidroksietil dapat digunakan sebagai pembersih rambut misalnya shampo dan
berfungsi sebagai pembersih rambut yang baik. (gambar 2.3).
(a)
(b)
Gambar 2.3. (a) Unit pengulangan selulosa hidroksietil dan (b) rantai selulosa hidroksietil sedang mengelilingi partikel kotor.
Universitas Sumatera Utara
-
Selulosa merupakan homopolisakarida yang tersusun atas unit-unit D-
glukopiranosa yang terikat satu sama lain dengan ikatan glikosida -1-4. Molekul-molekul selulosa seluruhnya berbentuk linier dan mempunyai
kecenderungan kuat membentuk ikatan hidrogen intra dan intermolekul. Molekul
selulosa membentuk agregat bersama-sama dalam bentuk mikrofibril, dengan
tempat yang sangat teratur disebut kristalin dan yang kurang teratur disebut
amorf. Mikrofibril membentuk fibril yang kemudian menjadi serat selulosa
(Sjostron, 1998). Selulosa memiliki ikatan hidrogen antar molekul yang kuat, hal
inilah yang menyebabkan selulosa tidak dapat larut dalam air meskipun memiliki
banyak gugus hidroksil dan polar (Seymour, 1975) dan kekakuan rantai selulosa
mencegah terjadinya hidrasi molekul pada daerah kristalinnya (Billmeyer, 1984).
Setiap unit -D glukopiranosa di dalam rantai selulosa mempunyai tiga gugus hidroksil reaktif, dua sekunder (HO-3) dan satu primer (HO-6), karena
pengaruh subtituen-subtituen didekatnya, maka pada, gugus hidroksil primer (HO-
6) memiliki reaktivitas yang lebih tinggi (Sjostron, 1998).
Modifikasi terhadap struktur polimer selulosa dilakukan dengan cara
mereaksinya dengan anhidrida asetat dan pelarut asam asetat glasial membentuk
selulosa asetat serta asam sulfat sebagai katalis.
Karena adanya efek sterik yang dimiliki struktur molekul selulosa
menyebabkan proses protonasi tidak merata pada setiap atom oksigen dan
bergantung pada atom-atom tempat melekatnya gugus hidroksil tersebut.
Terjadinya protonasi pada atom-atom oksigen gugus hidroksil ini
menyebabkan atom karbon tempat menempelnya gugus hidroksil yang
Universitas Sumatera Utara
-
terprotonasi bersifat elektrofil karena memiliki muatan parsial positif. Adanya
anhidrida asetat yang memiliki atom oksigen yang bersifat nukleofil terjadi
penyerangan nukleofil terhadap elektrofil. Ikatan antara atom karbon dengan
gugus hidroksil yang terprotonasi tidak stabil dan akhirnya putus. Proses ini
berlangsung hingga gugus-gugus hidroksil yang dihasilkan akan mengalami
asetilasi lebih lanjut selama anhidrida masih ada.
2.2.1.3. Esterifikasi selulosa dengan asam lemak
Menurut Reveley (1995) 10% produksi pulp dunia diubah ke bentuk
turunan selulosa yaitu 4,4 juta ton pertahun sedangkan menurut Engelhardt (1995)
ester selulosa organik berjumlah 815 ribu ton pada tahun 1995. Diketahui ester
selulosa dan campuran ester asam karboksilat alifatis banyak digunakan pada
industri luas seperti coating (pelapisan), film, tekstil dan industri filter rokok.
Secara teoritis pembentukan ester selulosa adalah mungkin dengan asam
lemak. Adanya tiga gugus OH yang bebas pada setiap unit glukosa
memungkinkan pembentukan mono, di atau triester. Gugus-gugus OH yang bebas
mempunyai reaktifitas yang berbeda dan merupakan gugus polar yang dapat
diganti oleh gugus-gugus atau senyawa nukleofil dalam larutan asam kuat
(Yixiyangyu dan Hanna, 2004) .
Universitas Sumatera Utara
-
Gambar 2.4 reaksi subtitusi nukleofilik pada atom karbon dari anhidrida asetat
Gambar 2.4 adalah sebuah contoh subtitusi nukleophilik pada atom
carbon yang tidak jenuh dari anhidrat asetat. Reaksinya berlangsung sesuai
dengan mekanisme adisi eliminasi (Robert, 1965). Karena OH pada C6 lebih
reaktif maka asetilasi lebih cepat daripada salah satu sekunder pada C2 dan C3
.OH primer yang berada diluar permukaan dari molekul selulosa bereaksi lebih
cepat dengan group asetat. Sementara dua sekunder yang berada pada bagian
dalam selulosa adalah bentuk ikatan hidrogen dengan group OH berdekatan
dengan unit glukosa. Dari dua group OH sekunder, OH pada C2 lebih reaktif
daripada C3 karena lebih hemiasetal dan lebih asam (Fedorova & Rogovin, 1963).
Awalnya pembentukan ester selulosa dengan asam lemak memerlukan
reagen-reagen yang pekat sehingga menghasilkan HCl yang agresif sebagai hasil
samping reaksi esterifikasi dan dapat mendegradasi selulosa. Untuk mengatasi
degradasi selulosa dan asam, digunakan piridin (Malm, 1951) dan trietilamin
Universitas Sumatera Utara
-
(Samaranayake, 1993) untuk menetralkan HCl yang terbentuk. Perkembangan
terbaru telah memperkenalkan esterifikasi material selulosa dengan asam lemak
klorida tampa pelarut untuk menghilangkan HCl gas dari sistem reaksi dengan
menggunakan aliran nitrogen atau vakum (Thiebaud, 1995; Kwarta, 1992).
Asam lemak merupakan bahan pengester yang tidak menyebabkan
degradasi selulosa. Namun reaktifitasnya yang sangat rendah terhadap gugus
hidroksil selulosa dapat menghambat reaksi esterifikasi. Beberapa molekul seperti
disikloheksil karbodimida dan 4-pyrolidinopiridin, p-toluensulfonil klorida,
metasulfonil atau trifloroasetat anhidrat (TFAA) telah digunakan untuk
mengubah asam karboksilat menjadi lebih sangat reaktif. Dengan TFAA atau
metode Impelling (memaksa) sebagian besar ester lemak dari selulosa telah
dibuat. Variasi metode ini pada asetat anhidrat yang dibutuhkan hydroquinon,
pottasium asetat telah digunakan untuk mendukung asam akrilat pada selulosa.
Beberapa hasil penyelidikan yang berhubungan dengan esterifikasi
selulosa dengan asam lemak telah dilaporkan. Diantaranya Vaca dkk (1998)
telah melakukan penyelidikan esterifikasi selulosa dengan asam lemak dan asetat
anhidrat dengan menggunakan pelarut Lithium Chlorida/ N,N
Dimethilacetamida.
2.2.1.4. Esterifikasi selulosa asetat
Selulosa asetat merupakan selulosa ester yang paling penting yang berasal
dari asam organik dan merupakan polimer yang dapat didegradasi. Selulosa asetat
biasanya digunakan untuk membuat serat, film dan pernis. Dalam laporan Carlos
(2005) selulosa asetat dapat diperoleh melalui reaksi asetilasi antara selulosa pulp
Universitas Sumatera Utara
-
kayu dan asam asetat anhidrat. Asetilasi adalah reaksi yang telah ditemukan untuk
mengurangi sedikit sifat dasar dari selulosa. Menurut R.M. Rowell (2005),
penghilangan ini adalah hal yang diharapkan dimana adanya reaksi asetilasi akan
menambah kebasaan yang terjadi pada esterifikasi group OH pada dingding sel.
Asetilasi reaksi selulosa asetat diperoleh melalui hidrolisis katalisasi dari triasetat
dengan rata rata tingkatan subtitusi 2,4 dari group asetil per unit glukosa.
Selulosa triasetat mengandung 2,93,0 group asetil per unit glukosa.
Selulosa akan bereaksi pada kondisi anhidrat, dalam sebuah katalis asam dengan
anhidrat asetat, untuk membentuk selulosa triasetat sesuai dengan gambar reaksi
2.5.
n Asetat anhidrat
+
Selulosa
3n (C H 3CO)2O
OH OH OH
C6H7O2
H2SO4
C6H7O2 OOCCH3
OOCCH3 OOCCH3
+
Asam Asetat
3n (C H 3OOH
nSelulosa Triasetat
Gambar 2.5. Reaksi selulosa dan asetat anhidrat dengan katalis asam sulfat
Asetilasi selulosa triasetat kemudian dihidrolisa untuk memberikan selulosa asetat
sesuai dengan gambar 2.6.
Universitas Sumatera Utara
-
OOCCH3 OOCCH3
OOCCH3
C6H7O2 +
n
3n (C H 3OOH
Selulosa Triasetat
C6H7O2
Selulosa Triasetat
(OCCH3)24
(OH) 06
+
n Asam Asetat
0,6nCH3COOH
Gambar 2.6. Reaksi asetilasi selulosa triasetat
2.2.2. Hemiselulosa
Hemiselulosa mirip dengan selulosa yang merupakan polimer semihablur
yang terdiri dari gula pentosa dan heksosa dapat dilihat pada gambar 2.7. Pada
awalnya hemiselulosa dipercaya menjadi perantara dalam biosintesis selulosa.
Sekarang telah diketahui bahwa hemiselulosa tergolong dalam kumpulan
polisakarida heterogen yang terbentuk melalui biosintesis yang berbeda seperti
biosintesis dalam selulosa. Sifat hemiselulosa adalah heteropolisakarida
sedangkan sifat selulosa adalah homopolisakarida dimana selulosa dan
hemiselulosa mempunyai fungsi yang sama sebagai penyokong dingding sel.
Hemiselulosa mudah dihidrolisis oleh asam yang monomernya terdiri dari D-
glukosa, D-manosa, D-galaktosa, D-xilosa, L-arabinosa dan sejumlah kecil L-
Universitas Sumatera Utara
-
ramnosa dan asam galaktonik. Kebanyakan hemiselulosa mempunyai derajat
polimer sekitar 200 saja.
Gambar 2.7. Hemiselulosa
Struktur hemiselulosa dapat dipahami dengan mempertimbangkan terlebih
dahulu konformasi unit monomer.Tedapat tiga jalan masuk dalam setiap
monomer. Dalam setiap jalan masuk, huruf D dan L adalah konfigurasi untuk dua
isomer optik gliseraldehid yaitu karbohidrat. Huruf Greek, dan adalah
merupakan konfigurasi kumoulan hidroksil pada atom karbon nomor satu. Dua
konfigurasi tersebut inamakan anome. Piranosa terdiri dari enam atom karbon
dalam bentuk kursi dan furanosa yang terdiri dari lima atom karbon dalam bentuk
perahu.
Pada mulanya, hemiselulosa mempunyai berat molekul yang lebih renah
daripada selulosa dan stengah molekul hemiselulosa adalah bercabang.
Hemiselulosa berhubungan erat dengan selulosa dan sebagai satu kompnen
struktur dalam tumbuh-tumbuhan. Hemiselulosa bisa dilarutkan dalam alkali dan
mudah dihidrolisis oleh asam. Jumlah hemiselulosa dalam berat kering kayu
Universitas Sumatera Utara
-
biasanya ialah antara 20%-30%. Komposisi dan struktur hemiselulosa kayu lunak
berbeda dengan kayu keras dimana perbedaan ini terlihat dalam kandugan
hemiselulosa dan komposisinya pada batang, dahan akar dan kulit kayu.
2.2.3. Lignin
Selain karbohidrat dan ekstraktif, serat tandan kosong sawit juga mengandung
lignin (gambar 2.8). Lignin adalah molekul komplek yang tersusun dari unit
phenylphropane yang terikat di dalam struktur tiga dimensi. Lignin adalah
material yang paling kuat di dalam biomassa. Lignin sangat resisten terhadap
degradasi, baik secara biologi, enzimatis, maupun kimia. Karena kandungan
karbon yang relative tinggi dibandingkan dengan selulosa dan hemiselulosa,
lignin memiliki kandungan energi yang tinggi. Lignin adalah jaringan polimer
amorfus tiga dimensi yang dibentuk daripada unit-unit fenilpropana serta
mempunyai derajat polimer yang tinggi.
Gambar 2.8. Lignin
Universitas Sumatera Utara
-
Di dalam kayu lunak, lignin adalah berdasarkan lignin guailasil dan
didalam kayu keras linin mengandung kedua monomer guailasil dan siringil.
Lignin ialah polimer berunit fenilpropana dan merupakan polimer terbanyak
kedua setelah selulosa didalam tumbuhan. Lignin berfungsi sebagai bahan yang
memberi dukungan terhadap kekuatan mekanik tumbuhan. Secara umumnya,
lignin adalah terbentuk daripada monomer P-kumaril, alkohol sinapil dan alkohol
koniferil. Konsep lignin sebagai polimer fenilropana telah dijelaskan oleh
beberapa ahli. Diantaranya Lange (1945) berhubungan dengan sifat aromatik
lignin dalam reaksi in situ dan juga Klason (1987) telah mengkaji mengenai
lignin spruce adalah terdiri dari unit fenilpropana. Dalam menganalisis sifat kimia
dan fisik lignin telah digunakan UV, IR, HNMR, dan 13 CNMR. Polimer lignin
mengandung kumpulan metoksi, hidroksi fenol dan beberapa aldehid dan hanya
sedikit hidroksil fenolik yang bebas yang kebanyakan kumpulan ini melalui
rangkaian unit-unit fenilpropana. Sifat polimer lignin adalah keterlarutan lignin
sangat rendah dalam kebanyakan pelarut. Hal ini menjadi satu masalah dalam
penyelidikan sifa makromolekul lignin. Beberapa kajian yang telah dilakukan
dalam polimer lignin seperti osmometri tekanan uap, penyerapan cahaya. Larutan
lignin yang terpisah, lignosulfonat dan lignin kraf biasanya mepunyai ikatan
rendah dan ini bermakna struktur lignin yang larut adalah padat dan berbentuk
sfera. Oleh karena itulah, kelakuan lignin berbeda di dalam larutan dibandingkan
dengan selulosa.
Universitas Sumatera Utara
-
2.2.4. Ekstraktif
Selain daripada selulosa, hemiselulosa dan lignin yang merupakan unsur
utama di dalam kayu dan serat tumbuh-umbuhan, serat tandan kosong sawit juga
mengandung unsur-unsur lain tapi dalam jumlah yang kecil. Kebanyakan unsur-
unsur ini dapat dilarutkan di dalam pelarut organik. Unsur-unsur ini ini adalah
terpenoid, lemak dan lilin yang dikenal sebagai ekstraktif. Ekstraktif dapat
diangap sebagai bahan kayu yang tidak mempunyai struktur dan hanya terdiri
diluar sel dan mempunyai berat molekul rendah.
Ekstraktif memainkan peranan yang penting dalam penggunaan kayu dan
dapat mempengaruhi sifat fisik kayu terutama diperlukan untuk menjaga fungsi
biologi kayu. Contohnya, lemak merupakan sumber tenaga sel kayu, jika
terpenoidnya rendah, sedangkan resin dan fenolik berfungsi untuk melindungi
serangan serangga atau kerusakan mikrobiologi.
Ekstraktif hanya memenuhi sebahagian morfologi di dalam struktur kayu.
Contohnya, asam resin terdapat dalam saluran resin, sedangkan lemak dan lilin
terdapat dalam sel parenkim. Ekstraktif fenol ada terutama di dalam kulit kayu,
ekstraktif seperti gum polisakarida, resin yang tidak larut dalam air dan minyak
yang mudah menguap, merupakan estraktif yang biasanya dihasilkan oleh kayu.
Ekstraktif merupakan bahan mentah yang bernilai bagi mendapatkan bahan kimia
organik. Kebanyakan ekstraktif yang digunakan sekarang adalah diperoleh dari
kayu.
Universitas Sumatera Utara
-
2.3. Polietilena
Struktur dari polietilena merupakan bahan termoplastik yang transparan,
berwarna putih mempunyai titik leleh bervariasi antara 1100 C-1370 C. Struktur
ini dapat dilihat pada gambar 2.9.
CH2 CH2
Gambar 2.9. Polietilena.
Umumnya polietilena bersifat resisten terhadap zat kimia. Pada suhu
kamar, polietilena tidak larut dalam pelarut organik dan anorganik (Bilmeyer,
1994). Polietilena dapat teroksida di udara pada temperatur tinggi atau dengan
sinar UV. Struktur rantai polietilena dapat berupa linier, bercabang atau berikatan
silang seperti yang terlihat pada gambar 2.10.
a.
b.
c.
Gambar 2.10. Struktur rantai polietilena a. HDPE, b. LDPE, c. LLDPE.
Beberapa jenis polietilena antara lain Low Density Polyethylene (LDPE),
High Density Polyethylene (HDPE) dan Linear Low Density Polyethylene
(LLDPE). Low Density Polyethylene (LDPE) memiliki struktur rantai
Universitas Sumatera Utara
-
percabangan yang tinggi dengan cabang-cabang yang panjang dan pendek.
Sedangkan High Density Polyethylene (HDPE) mempunyai struktur rantai lurus,
Linear Low Density Polyethylene (LLDPE) memiliki rantai polimer yang lurus
dengan rantai-rantai cabang pendek. HDPE (High Density Polythylene), LDPE
(Low Density Polyethylene), sebaliknya dengan sedikit cabang-cabang pada
rantai terutama akan memperkuat gaya-gaya ikatan antar molekuil. Dengan
berdekatannya rantai-rantai utama akan menaikkan kristalinitas, rapat massa dan
kekuatannya.
Adanya beberapa struktur dari polietilena akan mempunyai sifat fisik dan
kimia dari bahan polimer. Struktur rantai bercabang mempunyai kekuatan yang
lebih rendah karena cabang-cabang akan mengurangi gaya-gaya ikatan antar
molekul. Adanya rantai-rantai cabang pada rantai polimer sehingga merupakan
polimer linier yang mempunyai kristalinitas tinggi.
Proses pembuatan rantai panjang dari polimer termoplastik polietilena
secara umum dapat dilakukan dengan 2 cara yaitu :
1. Proses dengan kondisi dan tekanan tinggi yang menghasilkan LDPE (Low
Density Polyethylene).
2. Proses dengan kondisi pada tekanan rendah yang menghasilkan HDPE
(High Density Polyethylene)
Proses pada tekanan tinggi dengan kondisi tekanan (PO)>1000 atm dan
temperatur 100-3000C pertama kali diperkenalkan di England tahun 1933.
Polietilena yang dihasilkan pada proses ini mempunyai berat molekul tinggi,
mengandung rantai-rantai cabang yang banyak dan kristalinitas rendah/sedang
Universitas Sumatera Utara
-
proses polimerisasi ini ternyata kurang begitu menguntungkan sehingga dilakukan
penelitian selanjutnya. Sekitar tahun 1953 Karl Ziegler dari Jerman menemukan
proses polimerisasi, proses ini dilakukan pada tekanan dan temperatur kamar
dengan bantuan katalis yang disebut katalis Ziegler Natta, yaitu yang merupakan
senyawa kompleks yang terbentuk dari alkil aluminium yang dikombinasikan
dengan titanium klorida.
Polietilena yang dihasilkan mempunyai berat molekul yang tinggi, polimer
lebih kaku dibandingkan dengan polimer yang dihasilkan pada tekanan tinggi.
Kekakuan tersebut disebabkan tidak adanya rantai-rantai cabang pada rantai
polimer sehingga merupakan polimer linier yang mempunyai kristalinitas tinggi.
Polietilena adalah polimer yang termasuk golongan poliolefin, dengan
berat molekul rata-rata (Mw) = 50.000 300.000. Jenis polietilena yang banyak
digunakan adalah LDPE (Low Density Polyethylene) yang mempunyai rantai
cabang digunakan sebagai pengemas yaitu sekitar 44,5 % dari total plastik
kemas kemudian diikuti HDPE (High Density Polyethylene) yang tidak
mempunyai rantai cabang tetapi merupakan rantai utama yang lurus kurang lebih
25,4 % (Curlee, 1991).
Sifat-sifat dari polietilena sangat dipengaruhi oleh struktur rantai dan
kerapatannya. Low Density Polyetylene (LDPE) lebih bersifat elastis dibanding
High Density Polyethylene (HDPE). Hal ini karena kristalinitasnya rendah
disebabkan oleh adanya cabang-cabang dari rantai polimer, sedangkan High
Density Polyethylene (HDPE) mempunyai sifat kristalinitasnya lebih tinggi dan
lebih kaku, karena High Density Polyethylene (HDPE) merupakan polimer linier.
Universitas Sumatera Utara
-
Dengan adanya perbedaan bentuk rantai dan kerapatan ini dapat
menyebabkan perbedaan sifat kedua jenis polietilena tersebut. Sedangkan
LLDPE (Linear Low Density Polyethylene) merupakan satu jenis polietilena
yang paling prospektif karena kemudahan proses pembuatan dapat diproduksi
dalam berbagai pembuatan yaitu proses polimerisasi menggunakan berbagai jenis
katalis Ziegler Natta. Sifat-sifat linear Low Density Polyethylene (LLDPE) sangat
dipengaruhi oleh kromonomer yang ditambahkan.
Linear Low Density Polyethylene (LLDPE) dapat digunakan dalam
berbagai produk dan aplikasi, juga sebagai pengemas. Linear Low Density
Polyethylene (LDPE) dipakai dalam bentuk film, botol, tabung lipat, tas, dan
penutup (Cowd, 1991). Pengaruh irradiasi terhadap LLDPE dapat menimbulkan
berbagai fenomena pada kondisi irradiasi yang diterapkan. Jika dilakukan
irradiasi hampa udara, terjadi pengurangan berat, akibat hilangnya hidrogen.
Analisis spektra FTIR menunjukkan bertambahnya gugus tak jenuh. Selain itu
dapat juga terjadi reaksi ikatan silang yang menggambarkan kekuatan tarik
LLDPE meningkat (Mark 1970).
Polietilena adalah polimer yang selalu digunakan dalam kehidupan
sehari-hari dan secara populer dikenal sebagai plastik. Polimer ini banyak
digunakan di antaranya adalah untuk pembuatan tas, kemasan botol sampo,
mainan anak-anak dan sebagainya. Polietilena adalah material yang dapat
dibentuk sesuai dengan yang diinginkan, strukturnya sangat sederhana dan
merupakan polimer yang sangat komersil. Molekul polietilena merupakan atom
karbon rantai panjang, dengan dua atom hidrogen mengikat masing-masing
Universitas Sumatera Utara
-
setiap atom karbon. Di bawah ini akan ditunjukkan gambar 2.11 dari polietilena
dengan rantai atom karbon yang panjangnya bisa sampai beberapa ribu atom.
Gambar 2.11. Polietilena dengan rantai atom karbon
Polietilena linier normalnya dihasilkan dengan berat molekul 200.000
sampai 500.000 dan bahkan bisa dibuat lebih besar lagi. polietilena dengan berat
molekul tiga sampai enam million yang dapat dihasilkan sebagai ultra-high
molecular weight poliethylene atau UHMWPE. UHMWPE dapat dipergunakan
untuk membuat serat yang sangat kuat.
Polietilena adalah polimer vinil yang dibuat dari monomer etilena dan ini
adalah salah satu model monomer etilena. Polietilena yang mempunyai cabang
dibuat dari polimerisasi radikal vinil. Polietilena linier dapat dibuat dengan
menggunakan prosedur yang sangat komplit yang disebut dengan polimerisasi
Ziegler Natta.
Polimerisasi Ziegler-Natta dapat juga digunakan untuk membuat LDPE.
Dengan kopolimerisasi monomer etilena dengan sebuah ikatan monomer juga
salah satu memperoleh kopolimer yang mempunyai ikatan pendek hidrokarbon
dan kopolimer seperti ini disebut linier low-density polietilena atau LLDPE.
Universitas Sumatera Utara
-
2.4. Komposit matriks polimer
Menurut Feldman (1995) komposit merupakan sejumlah sitem multi fasa
sifat gabungan antara bahan matriks atau pengikat dengan pemerkuat. Kekuatan
dan sifat menyeluruh ditingkatkan dengan memasukkan fasa terdispersi kedalam
matriks. Matriks yang digunakan dapat berupa keramik, logam maupun berupa
polimer. Secara umum dikenal tiga kelompok komposit yaitu komposit serat
(berpenguat serat), komposit laminer/laminant (penguatnya lembaran kertas, kain)
dan komposit partikel/partikulat (penguatnya butiran, kerikil, pasir, filler lain
dalam matriks kontinu). Sedangkan komposit polimer ialah makrokomposit
bermatriks polimer. Polimer yang biasa digunakan untuk matriks komposit adalah
polimer termoplastik (polietilena, polipropilena dan PVC) dan termoset (poliester,
fenol formaldehida, epoksida, silikon dan lain-lain). Beberapa komposit matriks
polimer dari jenis termoset dan termoplastik telah banyak diproduksi dan
digunakan. Komposit dari matriks termoset yang lazim dipakai adalah poliester
glas dipakai untuk atap dan isolasi bangunan. Komposit dari matriks termoplastik
yang banyak dikomersilkan adalah komposit matriks polietilena dengan
menggunakan serat glas dan dimanfaatkan untuk pipa air minum. Sedangkan
komposit matriks polipropilena digunakan untuk alat rumah tangga, karpet, alas
sepatu, tali, pipa dan lain-lain. Untuk pengolahan komposit polimer dapat
dilakukan dengan penguatan fisik dan penguatan kimia. Penguatan fisik dengan
cairan dingin dan korona dan penguatan kimia dengan anhidrida maleat,
organosilena, isocyanat, natrium hidroksida, permanganat dan peroksida
(Wambua, 2003).
Universitas Sumatera Utara
-
2.4.1. Faktor-faktor yang mempengaruhi komposit
Sifat komposit yang berdasarkan serat tergantung kepada bahan pengisi,
penyebaran serat dan interaksi antara matriks dengan serat (Abdul Khalil et al,
2000). Selain itu, sifatnya bergantung kepada ikatan permukaan antara matriks
dengan serat, sifat serat, ukuran serat, bentuk serat, jumlah serat dalam matriks,
teknik pemerosesan dan penyebaran serat dalam matriks.
Selain daripada komposisi kimia yang dapat menentukan sifat sesuatu
komposit yang dihasilkan, ia juga turut dipengaruhi oleh beberapa keadaan serat
seperti bagaimana serat itu diperoleh, ukuran dan bentuk serat. Ukuran dan bentuk
serat sangat diperlukan untuk tujuan yang tertentu seperti pemerosesan dan
perekatan dengan matriks. Selain itu menurut Rozman (2001 dan 2002)
kandungan serat biasanya juga dapat mempengaruhi kekuatan mekanik komposit.
Dalam hal penyebaran, pengisi adalah penyebab tanpa pengetumpukan atau
pengelompokan, atau dengan kata lain serat tersebar di sekitar matriks. Dua faktor
yang dapat mempengaruhi sebaran pengisi ialah interaksi antara sesama pengisi
dan panjang pengisi. Menurut Razaina (1998), interaksi antara sesama pengisi
lignoselulosik melalui ikatan hidrogen menyebabkan pengetumpukan serat yang
mengakibatkan keretakan atau terputusnya serat. Selain itu, jenis pengisi dapat
juga mempengaruhi kekuatan komposit karena pengisi lignoselulosik yang
berlainan mempunyai kandungan selulosa, lignin dan hemiselulosa yang berbeda.
Misalnya dalam serat tandan kosong sawit mengandung 65% selulosa dan 95%
lignin sedangkan serat kelapa mengandung 32-43% selulosa dan 40-45% lignin.
Universitas Sumatera Utara
-
2.4.2. Serat Selulosa sebagai penguat komposit polimer
Dalam beberapa dekade yang lalu, penelitian dan ilmu rekayasa telah
tertarik pada material serat sebagai penguat komposit polimer. Dalam hal ini serat
komposit yang digunakan adalah aramid, carbon dan serat glas sebagai plastik.
Menurut Wambua dkk (2003) serat glas adalah paling banyak digunakan untuk
penguat polimer karena harganya murah dibandingkan dengan aramid dan carbon
dan begitu juga dengan sifat mekaniknya serat glas jauh lebih baik. Namun
bagaimanapun baiknya serat glas ini mempunyai beberapa kelemahan seperti
yang ditunjukkan pada tabel 2.2. Tabel 2.2 membandingkan serat glas dan serat
alam dan jelas terlihat dukungan untuk komposit serat alam jauh lebih baik untuk
dikembangkan di kemudian hari. Karbon dioksida bersifat netral pada serat alam
dan atraktif sedangkan karbon dioksida pada serat glas tidak netral sehingga dapat
berdampak negatip terhadap udara. Hal ini dipercaya menjadi pendukung dari
efek masalah lingkungan dan dapat berhubungan dengan keadaan iklim di dunia
(Larbig, Schezer, Dahlke dan Poltrock, 1998). Serat yang digunakan untuk
penguat plastik biasanya adalah serat glas. Komposit yang menggunakan serat
glas sebagai penguat telah banyak digunakan dalam bidang otomotif, industri
sport, kontruksi bahan bangunan dan dalam bidang aerospace. Selain itu sejumlah
besar menggunakan serat glas sebagai penguat plastik karena harganya yang
rendah dibandingkan dengan serat aramid dan karbon dan mempunyai sifat
mekanis yang baik. Saat ini, perhatian lebih besar pada serat alam.
Universitas Sumatera Utara
-
Tabel 2.5. Perbandingan antara serat alam dan serat gelas
Serat alam Serat gelas Density Rendah Dua kali serat alam Harga Rendah Rendah Dapat diperbaharui Ya Tidak Dapat di daur ulang Ya Tidak Komsumsi energi Rendah Tinggi Distribusi Lebar Lebar CO2 Netral Tidak netral Abrasi Tidak Ya Disposal Biodegradasi Tidak biodegradasi
Menurut Raj dkk (1989), Maiti dan Hassan (1989), Youngquist dan
Rowell (1990), Chtourou dkk (1992) dan Balatinez & Woodhams (1993)
pemakaian serat alam tambah menarik dunia sejak tahun 1980, karena secara
ekologi sangat baik dan begitu juga dengan keuntungan ekonomi. Sementara itu
pemakaian beberapa serat selulosa pada komposit polimer ternyata mempunyai
sifat mekanik yang lebih baik dari serat glas. Laporan ini diperoleh dari hasil
penelitian Wambua dkk (2003) yang menyelidiki sifat mekanis dari komposit
polipropilena yang diperkuat oleh serat rami, sisal dan jute dibandingkan dengan
propilena dengan berpenguat serat glas. Sedangkan menurut Han Seung Yang
dkk (2004) dengan menggunakan lignoselulosa yang berasal dari sekam padi
untuk memperkuat polimer polipropilena terjadi pertambahan sifat fisik, sifat
mekanis dan hasil morfologi menunjukkan adhesi yang lebih baik.
Pada saat ini, secara umum topik penelitian yang potensial adalah
didasarkan pada penggunaan serat selulosa sebagai penguat komposit. Hal ini
disebabkan karena lignoselulosa sebagai penguat komposit polimer yang tidak
hanya murah tetapi juga dalam hal mengurangi polusi lingkungan karena sifat-
Universitas Sumatera Utara
-
sifat biodegradasinya (Premalal dan Ismail, 2002; Mwaikambo dan Anselle,
2003). Oleh karena itu, menurut Son dan Kim (2003) riset dalam mengembangkan
komposit dengan menggunakan berbagai bahan yang dapat diperbaharui sangat
baik dikembangkan khususnya pemakaian lignoselulosa sebagai penguat dan
matriks polimernya adalah temoplastik akan dapat bersahabat dengan lingkungan.
2.4.3. Komposit matriks polietilena berpenguat selulosa
Sejak tahun 1980 penyelidikan komposit matriks polimer kayu atau biasa
disebut dengan Wood Polymer Composite (WPC) berkembang pesat karena
menggunakan selulosa yang berasal dari kayu yang memberi banyak keuntungan
misalnya harganya rendah, graviti spesifiknya rendah dan merupakan komposit
alam karena dapat diperbaharui. Selain itu komposit polimer kayu secara meluas
telah banyak dipakai untuk komponen kenderaan, bahan- bahan bangunan dan
juga perabotan ( Drzal dkk, 2001). Komposit polimer kayu yang menggunakan
matriks poliolefin seperti polietilena telah banyak diselidiki. Seperti diketahui
komposit matriks polietilena berpenguat selulosa mempunyai kompatibilitas yang
rendah karena serat alam yang berasal dari kayu mempunyai sifat hidrofilik
sehingga tidak dapat menempel dengan baik pada matriks polimer. Untuk itu
sejumlah penyelidikan yang berhubungan dengan komposit polietilena berpenguat
selulosa telah berhasil diselidiki. Secara umum penyelidikan diarahkan pada
proses pengembangan komposit matriks polietilena berpenguat kayu. Beberapa
hasil penyelidikan yang sudah dilakukan adalah sebagai berikut :
Universitas Sumatera Utara
-
2.4.3.1.Perubahan cairan pada komposit polietilena berpenguat kayu
Menggunakan teknik pengukuran kapiler untuk mengetahui perubahan
cairan pada komposit plastik kayu telah diselidiki. Dalam laporannya Li dan
Michael (2005) menyatakan pengaliran cairan komposit HDPE-kayu diselidiki
dengan menggunakan pengukuran kapiler untuk mengetahui efek kandungan dan
bentuk partikel kayu pada polietilena anhidrida maleat (MAPE). Data viscositas
dibandingkan dengan harga matriks polietilena berdasarkan literatur. Efek bentuk
partikel kayu yang komersil diuji pada kandungan kayu 60 %. Hasil yang
diperoleh adalah kedua viscositas pengaliran bertambah dengan jumlah
kandungan kayu tetapi pengisi kayu tidak signifikan sebagai suspensi dari pengisi
organik pada penambahan yang sama. Pada bentuk partikel kayu yang komersil
hasil yang ditemukan adalah terjadi perobahan sedikit viscositas. Li dan Michael
(2006) juga telah meneliti aliran putus dan aliran perpanjangan dari komposit
HDPE dan kayu dengan menggunakan pengukuran plat rotasi paralel dan teknik
hiperbolik. Hasil test menunjukkan modulus HDPE mempunyai tegangan yang
sangat rendah.
2.4.3.2.Penentuan dan proses pengembangan cetak tekan pada komposit
polietilena
Dalam penyelidikan komposit polietilena-kayu oleh Michael (2003) telah
dilakukan proses penentuan campuran kayu dan HDPE (High Density
Polyethylene) menggunakan teknik konvensional cetak tekan panas. Analisa
termal digunakan untuk mengetahui pengembangan tekanan dan jumlah aliran.
Universitas Sumatera Utara
-
2.4.3.3.Kompatibilisasi komposit polietilena dengan terminasi polietilena isocyanat
Cheng Zhang dkk (2006) menyelidiki sifat mekanik dan resistensi melalui
efek terminasi polietilena alkohol (PEA), PE-MDI dan PE- MDI. Ternyata PE-
MDI mempunyai modulus yang lebih tinggi daripada dengan PEA. Efek
kompatibilisasi PE=MDI dan PE-PMDI telah menimbulkan tejadinya ikatan
kovalen antara isocyanat dengan kayu. Ikatan kovalen ini dapat terlihat melalui
FT-IR. Sedangkan penyelidikan dari SEM hasilnya adalah terminasi PE isocyanat
mengubah adhesi antara kayu dan PE.
2.4.3.4. Efektifitas fungsionalisasi poliolefin pada komposit polietilena
Yeh Wang dkk (2003) telah menyelidiki beberapa efek fungsionalisasi
pada komposit matriks poliolefin dengan pengisi serbuk kayu. Fungsionalisasi
yang diselidiki adalah seperti LLDPE grafting maleat, HDPE grafting akrilat dan
HDPE grafting maleat.Metode yang dipakai untuk menguji efektifitas dari
kompatibilitas polioefin didasarkan pada struktur kimia, berat molekul dan tingkat
grafting. Permukaan komposit dipelajari melalui SEM (Scanning Electron
Microscope) dan FTIR untuk mengetahui fisasi kimia. Hasil yang diperoleh
adalah bahwa kompatibilitas HDPE grafting maleat mempunyai kompatibilitas
yang lebih baik ini terlihat dari sifat mekanik, morfologi dan penyelidikan infra
merah.
Universitas Sumatera Utara
-
2.4.4. Pengolahan Komposit Polietilena dengan selulosa
Proses pencampuran polimer mencakup dua jenis pencampuran, yaitu
pencampuran distributif dan pencampuran dispersif. Contoh pencampuran
distributif antara lain pencampuran bahan aditif padat seperti antioksidan, pengisi,
pigmen, atau penguat ke dalam matriks polimer. Proses pencampuran ini
memerlukan bahan pendispersi dan bahan penghubung untuk mendapatkan hasil
campuran yang homogen. Bahan pengisi kayu dan bahan selulosa yang ringan,
murah dan tersedia dalam jumlah besar dapat diolah secara distributif-dengan
matriks polimer.
Polietilena dan serat selulosa merupakan dua bahan polimer yang sukar
bercampur homogen, karena sifat kepolarannya berbeda. Karena itu proses
pencampurannya adalah distributif, dan untuk mendapatkan campuran yang
homogen, pengolahannya tidak dapat dilakukan dengan cara konvernsional, yang
hanya melibatkan interaksi fisik antar komponen polimer. Brown (1992)
memberikan beberapa cara umum untuk meningkatkan kompatibilitas campuran,
yaitu melalui beberapa proses antara lain; (a) kokristalisasi, (b) pengikatan silang
secara in-situ, (c) penambahan bahan penghubung, (d) pembentukan kopolimer
dari reaksi gugus fungsi pada bagian spesifik kedua polimer. Keempat proses di
atas, dapat dilakukan di dalam mesin pengolah, yang sekaligus berfungsi sebagai
reaktor modifikasi, dengan mengatur kondisi untuk mendapatkan hasil reaksi
optimum. Modifikasi dengan cara ini dikenal dengan Teknik Pengolahan
Reaktif (Cacele, 1979), yang secara defenisi dapat diartikan sebagai pengolahan
bahan polimer, bersama bahan aditif, yang melibatkan reaksi kimia selain proses
Universitas Sumatera Utara
-
pencampuran fisik. Jenis reaksi yang terlibat tergantung dari kebutuhan dan
bahan yang ada, yang mungkin merupakan reaksi radikal bebas, ionik, atau
koordinasi. Teknik pengolahan reaktif ini telah dikembangkan oleh al-Malaika
dkk (1987) yang dapat digunakan dalam berbagai bidang teknologi polimer.
2.4.5. Kompatibilitas komposit polietilena dengan selulosa
Pencampuran dua atau lebih bahan polimer umumnya menghasilkan
sistem fase terpisah, meskipun juga terdapat beberapa campuran polimer yang
dapat campur (miscible) secara molekuler. Campuran polimer yang tidak dapat
campur (immicible) juga dapat memberikan keuntungan untuk mendapatkan sifat
campuran polimer yang diinginkan, yaitu dengan meminimalkan sifat yang lemah
dan mengoptimalkan sifat yang menguntungkan. Bentuk akhir campuran polimer
multifasa sangat bergantung pada fasa morfologi dari bahan polimer dan sifat
intermolekuler antara fasa-fasa polimer penyusun. Campuran polimer yang tidak
dapat campur memiliki sifat mekanik yang relatif rendah dibanding penyusunnya
dan bentuk dari campuran polimer sangat bergantung pada proses pencampuran
bahan polimer. Fase morfologi benar-benar bergantung pada cara proses
pencampuran.
Campuran polimer yang dihasilkan dengan metode campuran lelehan
(melt mixing) lebih baik dari pada pencampuran dalam larutan. Buruknya
interaksi antara bagian-bagian molekul menyebabkan tingginya tegangan antar
muka pada lelehan yang mengakibatkan sulitnya mendispersikan komponen
penyusun sebagaimana mestinya selama pencampuran dan rendahnya adhesi antar
muka dari komponen-komponen tersebut. Gejala berakibat dininya kegagalan
Universitas Sumatera Utara
-
mekanik, dan kerapuhan campuran polimer. Cara untuk mengatasi hal ini disebut
kompatibilitasi (Al-Malaika, 1997).
Banyak cara yang telah dilakukan dalam mendapatkan kompatibilitas
antara maktriks dan bahan pengisi. Diantaranya, Quin (1985) mereaksikan bahan
pemantap atau pelekat turunan anhidrida asam maleat ke dalam matriks
polipropilena untuk meningkatkan kekuatan dan kemantapan komposit
polipropilena serat kaca. Banyak usaha-usaha yang telah dilakukan untuk
mengikat anhidrida maleat ke dalam bahan poliolefin, untuk meningkatkan
polaritas, hidrofilisitas, daya rekat, daya ikat, dan kepekaannya terhadap
pengikatan silang (Krul, 1984). Hasil akhir dari reaksi modifikasi tersebut
adalah kenaikan kompatibilitas polimer tersebut dengan bahan pengisi dan
polimer lainnya. Joly dkk (1996) melakukan kompatibilitas matriks polipropilena
direaksikan melalui ikatan ester yang menghasilkan ikatan kimia dengan serat
selulosa, dan melibatkan pembentukan rantai alifatis pendek pada permukaan
serat, yang ternyata menghasilkan kenaikan ketahanan bahan terhadap propagasi
retakan. Sedangkan hendenberg dan Gatenholm (1996) meningkatkan
kompatibilitas campuran polimer polietilena-serbuk selulosa dengan perlakuan
ozon terhadap matriks polietilena. Perlakuan dengan ozon tersebut, dilaporkan
menghasilkan gugus karbonil dan hidroperoksida pada rantai polietilena, yang
akan terdekomposisi selama pengolahan dan menghasilkan gugus karbonil dan
hidroperoksida pada rantai polietilena, yang akan terdekomposisi selama
pengolahan dan menghasilkan ikatan kimia dengan serbuk selulosa.
Universitas Sumatera Utara
-
2.5. Teori adhesi
Adhesi adalah permukaan antaramuka daripada unsur-unsur yang
dicampur atau disatukan. Antaramuka pada komposit adalah satu permukaan yang
dibentuk ikatan bersama antara serat dan matriks yang membentuk ikatan
perantaraan yang diperlukan untuk pemindahan beban. Ia memiliki sifat fisik dan
mekanik yang unik, yang tidak mungkin dihasilkan oleh serat atau matriks saja.
Matriks dapat melekat dengan serat dan juga memindahkan tegasan kepada serat
dengan adanya adhesi atau pengikatan antaramuka antara matriks dengan serat
yang baik. Sifat ini sangat penting untuk adhesi daripada dua bahan yang
berpasangan. Fasa antara muka merupakan kawasan yang paling tinggi menerima
tegasan. Antaramuka yang baik dapat memindahkan tegasan ke serat dengan
sempurna seterusnya dapat meningkatkan komposit. Walaupun serat yang kuat
digunakan sebagai agen penguat dalam suatu komposit, namun bila adhesi yang
terbentuk lemah, kekuatan komposit yang dihasilkan akan lemah (Khalil, 2004).
Kawasan pertemuan antara matriks dengan serat dikenal sebagai interfasa.
Interfasa bagi suatu komposit adalah kawasan dimana beban dialihkan antara
bahan matriks dan penguat. Interaksi yang terjadi antara matriks dan bahan
penguat adalah berbeda dan wujudnya dalam berbagai bentuk. Bentuknya dapat
berupa ikatan kimia atau fisika. Ikatan kimia didapati dalam bentuk yang lemah
seperti interaksi van der walls, daya sebaran sedangkan ikatan yang kuat terdiri
dari ikatan kovalen dan ikatan hidrogen. Dalam bentuk fisik, ikatan yang terlibat
adalah sifat mekanik yang melibatkan interaksi fisik permukaan. Interfasa ini
Universitas Sumatera Utara
-
menunjukkan keadaan saling mempengaruhi yang kompleks antara faktor-faktor
fisika dan kimia dan mempunyai pengaruh yang banyak dalam komposit.
Terdapat banyak kajian yang telah dilakukan adhesi antara serat dan resin
terhadap sifat-sifat komposit polimer untuk serat. Didapati interaksi interfasa
bergantung pada nisbah aspek serat, besaran interfasa, kekuatan interaksi,
anisropi, orientasi, penyatuan dan lain-lain (Sreekala et al , 1997).
2.5.1. Adhesi selulosa dengan matrik polietilena
Seperti yang telah dikemukakan Larbig (1998) semua para peneliti yang
bekerja dalam pembuatan komposit dan menggunakan serat alam sebagai penguat
komposit setuju dengan sumbernya dari bahan yang dapat diperbaharui. Menurut
Wichage (2003) matriks polimer yang cocok untuk komposit polimer yang
diperkuat serat alam adalah matriks poliolefin seperti polietilena karena harganya
murah, bebas masalah ekologi dan stabilitasnya baik. Namun menurut (Vaguez
dan Carvalho (1999) kebanyakan penggunaan selulosa dengan matrik polietilena
mempunyai beberapa hambatan misalnya : interaksi lemah, tidak kompatibel
dengan matriks polietilena dan absorbsi kelembapannya tinggi dengan serat.
Namun salah satu problem yang sangat penting pada kompsit matriks
polietilena dengan penguat selulosa adalah adhesi serat dengan matriks
polietilena. Dalam hal ini, adhesi yang terjadi antara hidrophilik dari serat selulosa
yang bersifat polar dengan hidrophobik yang bersifat non polar dari matriks
polietilena. Oleh karenanya adhesi yang terjadi antara serat selulosa dengan
polietilena mempunyai adhesi yang lemah ini dikemukakan oleh Hague (1995)
Universitas Sumatera Utara
-
dan berdasarkan laporan Keller dkk (1999) sebabnya diketahui dari kerusakan
serat yang terikat menjadi satu. Menurut Vignon dkk (1996) dan Kessler &
Becker (1998) ikatan serat ini dapat dipisahkan secara biologi melalui sel serat.
Nickel & Riedel (1995) dan Leupin (1998) mengemukakan beberapa metode
kimia enzym maupun metode fisika telah dikembangkan untuk proses pemisahan
ini. Proses ini memerlukan ikatan yang baik antara matriks polimer dengan serat
selulosa. Adhesi yang lemah pada permukaan artinya bahwa kekuatan komposit
tidak dapat dimanfaatkan dan dapat menimbulkan kerawanan pada linkungan
hidup oleh karenanya dalam jangka panjang dapat berpengaruh terhadap
kehidupan (Wambua dkk, 2003). Di dalam penyelidikan Bledzki dkk (1996),
Nickel & Riedel (1998) dan Yeh Wang (2003) tidak kuatnya adhesi diantara
polimer hidrophobik dan serat yang hidrophilik akan menghasilkan sifat mekanik
yang rendah dari komposit polimer yang diperkuat serat alam.
2.5.2. Adhesi interaksi asam basa pada komposit polimer
Energi permukaan dari sebuah material dapat diuraikan oleh jumlah
komponen dispersi dan interaksi spesifik. Komponen dispersi disebut dengan
tenaga dispersi London dan interaksi spesifik dikatakan bersifat polar, ionik,
elektrik, metalik dan interaksi asam basa. Fowkes dan Mostafa (1978)
menyebutkan bahwa dispersi dan interaksi asam basa adalah kekuatan dasar
proses perpindahan bidang pemisah. Oleh karenanya adhesinya dapat ditulis
sebagai berikut :
Wa = Wa d + Wa AB
Dimana; Wa = jumlah adhesi Wa d = tenaga dispersi
Universitas Sumatera Utara
-
Wa AB = interaksi asam basa
Donnet dkk (1998) juga telah memperlihatkan interaksi asam basa yang
kuat yang dihubungkan kuatnya bidang pemisah dari sebuah serat pada komposit.
Menurut Dwigh dkk (1990) sejumlah interaksi asam basa biasanya adalah
interaksi kimia yang digunakan untuk modifikasi merupakan bentuk baru untuk
mengubah adhesi matriks polimer dan serat dan ini sangat penting untuk
penentuan karakterisasi serat alam. Untuk menentukan komponen dispersi dari
permukaan energi dan karakteristik serat alam adalah dengan menggunakan
inversi chromatographi gas. Metode modifikasi dengan menggunakan penguatan
asetilasi dan coupling agent telah digunakan Mwaikambo dan Ansell (1999),
Gassan dan Bledzki (1999) dan Belgacem dkk (1994) untuk mengubah adhesi
pada interaksi asam basa. Interaksi asam basa antara serat dan matriks polimer
poliester juga telah dilaporkan oleh Schultz dkk (1995).
2.6. Teknik esterifikasi selulosa dapat meningkatkan adhesi komposit polimer polyolefin
Teknik esterifikasi selulosa merupakan modifikasi kimia yang telah
dilakukan untuk meningkatkan adhesi antara serat permukaan selulosa dan
matriks polimer. Beberapa hasil penelitian telah dilaporkan menggunakan teknik
esterifikasi dan memperoleh hasil yang baik. Diantaranya Kumar, dan Kohli (
1985), Matsumura dan Saka (1997) telah melakukan modifikasi kimia pada serat
kayu dengan pembentukan ikatan non polar dari jenis karbon oksigen karbon
dengan menggunakan sejumlah bahan kimia seperti anhidrida asetat melalui
asetilasi. Sedangkan Seymor (1975) dan Li dkk (1998) menggunakan cara
Universitas Sumatera Utara
-
esterifikasi untuk memperbaiki kestabilan dimensi dan sifat anti nyala bahan
baku. Menggunakan modifikasi esterifikasi juga telah dilakukan Shiraishi (1989)
yaitu dengan gugus lauroil CH3(CH2)10-CO yang disubtitusikan kedalam rantai
selulosa melalui reaksi transesterifikasi telah menghasilkan kayu terlauroilasi
yang dapat dicetak tekan menjadi film. Mishra dkk (2000) juga telah
menggunakan modifikasi esterifikasi serat turunan selulosa dengan matriks
polimer. Hasil akhir diperoleh modifikasi serat dijumpai memiliki kompatibilitas
yang lebih baik setelah diolah dengan anhidrida maleat daripada tampa modifikasi
esterifikasi pada serat selulosa. Serat selulosa yang terkandung dalam rami juga
telah diesterifikasi oleh Depaksh dan Gulati (2006). Serat selulosa dari rami ini
kemudian digunakan sebagai penguat komposit polimer poliester. Hasil akhir
diperoleh peningkatan adhesi yang ditunjukkan dengan kenaikan sifat mekanik
2.7. Teknik penguatan alkali (NaOH) serat selulosa dapat meningkatkan adhesi komposit polimer polyolefin
Penguatan alkali (merserisasi) adalah salah satu teknik penguatan kimia
yang banyak digunakan pada serat alam apabila dipakai sebagai penguat pada
matriks termoplastik dan termoset ( Li Xue dkk, 2007). Modifikasi penguatan
alkali akan merusak ikatan hidrogen dan cara demikian akan membuat permukaan
serat menjadi lebih kasar. Adanya penguatan alkali pada serat akan
menghilangkan sejumlah lignin, lilin dan minyak pada permukaan serat dingding,
sehingga terjadi depolimerisasi pada selulosa dan membuat serat lebih pendek
(Mohanty AK dan Mihsra M, 2001). Dalam hal ini penambahan NaOH adalah
Universitas Sumatera Utara
-
untuk membuat ionisasi gugus OH pada serat sehingga akan menjadi alkoksi
(Agrawal, 2000) seperti pada gambar 2.12.
Serat-OH + NaOH Serat-O-Na + H2O
Gambar 2.12. Reaksi serat selulosa dengan NaOH
Oleh karenanya proses alkalisasi serat selulosa lansung pada derajat
polimerisasi dan menghilangkan lignin dan senyawa hemiselulosa (Jahn A, 2002).
Dalam penguatan alkali, serat dimasukkan kedalam larutan NaOH dengan waktu
yang tertentu. Ray et al., Keller A, (2003) dan Mihsra et al. (2001) menyelidiki
penguatan serat rami dan serat sekam dengan larutan NaOH 5 % pada waktu 2
jam sampai 72 jam pada temperatur kamar. Penguatan yang sama juga telah
dilakukan oleh Morrison (2000) dan Garcia (1998) pada 2% larutan alkali yang
menghasilkan pertambahan amorphous kandungan selulosa. Dalam komposit
polimer teknik penguatan alkali pada serat selulosa merupakan modifikasi kimia
yang telah dilakukan untuk meningkatkan adhesi antara permukaan serat selulosa
dan matriks polimer karena menghasilkan ikatan yang baik. Beberapa hasil
penelitian telah dilaporkan menggunakan teknik penguatan alkali dan
memperoleh hasil yang baik. Diantaranya Gassan dan Blezki (1999) telah
mempelajari penguatan alkali dan tanpa penguatan dari serat rami pada komposit
epoksi dan melaporkan morfologi permukaan dan sifat mekanik dengan
mengunakan NaOH akan meningkatkan kekuatan komposit sampai 60 % untuk
komposit dengan penguatan dibandingkan tanpa penguatan. Ray dan Sarkar
(2001) menggunakan efek penguatan alkali serat rami pada komposit vinilester.
Universitas Sumatera Utara
-
Dalam penyelidikan ini penguatan NaOH 5 % dilakukan selama 8 jam dan 6 jam.
Berdasarkan hasil penyelidikan SEM retakan permukaan serat lebih besar
sedangkan hasil penyelidikan sifat mekanik memperlihatkan peningkatan setelah
penguatan alkali. Rodriquez (2007) juga menyelidiki efek dari penguatan alkali
serat rami selama 24 jam pada komposit untuk memperbaiki sifat mekanik
komposit . Menggunakan penguatan NaOH pada komposit juga telah dilakukan
Thongsang (2006) yaitu dengan membandingkan efek NaOH pada partikel silika
dalam fly ash dan efek NaOH pada karet alam untuk mengubah kekuatan tarik
pada komposit. Sedangkan Alberto (2000) telah melakukan penguatan alkali pada
beberapa jenis kayu pada komposit cement untuk menyelidiki kompatibilitasnya
dengan menggunakan metode kalorimeter. Hasil akhir diperoleh peningkatan
kompatibilitas dengan penguatan NaOH yang dibandingkan tanpa penguatan
alkali serat kayu. Serat selulosa yang terkandung dalam rami juga diberi
penguatan alkali oleh Depaks dan Gulati (2006). Serat selulosa dari rami ini
kemudian digunakan sebagai penguat komposit polimer poliester yang
ditunjukkan dengan peningkatan adhesi dalam penyelidikan sifat mekanik.
2.8. Penyelidikan peningkatan adhesi pada komposit polimer berpenguat serat selulosa
Pada pembuatan komposit poliolefin berpenguat selulosa seperti komposit
polietiena diperkuat selulosa, adhesi antara permukaan matriks polimer dengan
permukaan serat selulosa berperan penting dalam menentukan kekuatan komposit.
Penggunaan selulosa sebagai penguat komposit polimer selalu dihadapkan dengan
Universitas Sumatera Utara
-
masalah kekuatan komposit polimer. Hal ini menjadi penting karena hal yang
menarik untuk dikomersilkan pada komposit polimer adalah apabila komposit
polimer yang dihasilkan kuat dan kaku serta tidak menimbulkan kerusakan
lingkungan (Yeh Wang, 2003). Seperti telah diketahui hambatan utama
penggunaan komposit polietilena yang berpenguat selulosa adalah kompatibilitas
yang rendah karena adhesi antara matriks polimer dan serat selulosa rendah. Tidak
kuatnya adhesi antara polimer yang hidrophobik dan serat selulosa yang
hidrophilik akan menghasilkan sifat mekanik yang rendah sehingga akan
menurunkan kekuatan komposit polimer. Menurut Rowell (1999) melalui reaksi-
reaksi senyawa kimia, modifikasi selulosa kayu dimungkinkan dengan
menambahkan senyawa organik pada group hidroksil dan reaksi ini merupakan
jenis penguatan dingding sel kayu. Reaksi-reaksi kimia ini akan menghasilkan
sifat mekanik yang lebih baik pada komposit polimer karena adanya penambahan
dimensi stabilitas sehingga terjadi peningkatan adhesi. Modifikasi kimia yang
dapat dilakukan misalnya dengan penguatan anhidrida maleat, isocyanat,
permanaganat dan asam klorida, dan organosilan. Untuk itu sejumlah
penyelidikan telah dilakukan untuk peningkatan adhesi pada komposit polietilena
berpenguat selulosa.
2.8.1 Peningkatan adhesi dengan penguatan anhidra maleat
Coupling agent maleat banyak digunakan untuk meningkatkan kekuatan
komposit yang mengandung pengisi dimana seratnya diperkuat (Keener, 2004 dan
Cantero, 2003). Penguatan kimia anhidrida maleat tidak hanya dipakai untuk
modifikasi serat tetapi juga membuat permukaan komposit matriks PP dan serat
Universitas Sumatera Utara
-
dapat lebih baik sehingga meningkatkan kekuatan tarik komposit. Rantai PP dan
anhidrida maleat menjadi terikat dan menghasilkan grafting anhidrida maleat
polipropilena (MAPP). Kemudian penguatan serat selulosa dengan kopolimer
MAPP menghasilkan permukaan dengan ikatan kovalen. Mekanisme reaksi
anhidrida maleat dengan PP dan serat dapat dilihat pada gambar 2.13. Cara
penguatan anhidrat maleat telah banyak dilakukan untuk penyelidikan
peningkatan adhesi pada komposit polimer dengan penguat selulosa. Diantaranya
Quin (1985) mereaksikan bahan pemantap atau pelekat turunan anhidra maleat ke
dalam matriks polipropilena untuk meningkatkan kekuatan dan kemantapan
komposit polipropilena serat kaca.
Gambar 2.13. Mekanisme reaksi serat selulosa dengan anhidrida maleat (Bledzki, 1996)
Universitas Sumatera Utara
-
Menurut Krul (1984), tujuan penguatan anhidra maleat ke dalam bahan
poliolefin, untuk meningkatkan polaritas, hidrofilisitas, daya rekat, daya ikat, dan
kepekaannya terhadap pengikatan silang. Hasil akhir dari reaksi modifikasi
tersebut adalah kenaikan kompatibilitas polimer tersebut dengan bahan pengisi
dan polimer lainnya. Sedangkan Mishra (2000) melakukan penguatan anhidra
maleat tujuannya adalah mengurangi kepolaran dari serat selulosa, sehingga dapat
berinteraksi dengan matriks polipropilena yang non polar. Reaksi pengikatan
anhidra maleat ini dengan rantai polipropilena juga telah lama dilakukan oleh
Minoura (1969) dengan menggunakan radikal bebas peroksida di dalam pelarut
organik. B. Wielage dkk (2003) melakukan penyelidikan pada komposit
polipropilena dengan diperkuat serat rami dengan menambahkan asam anhidra
maleat sebagai couplig agent. Hasil penyelidikan yang didasarkan pada scanning
electron microscope (SEM) diperoleh adanya peningkatan adhesi setelah diberi
penguatan dengan anhidra maleat. Yeh Wang dkk (2003), telah melakukan
penyelidikan keefektifan dan peningkatan adhesi pada komposit poliolefin dengan
serbuk kayu menggunakan anhidra maleat. Poliolefin yang telah diselidiki adalah
LLDPE dan HDPE. Untuk mengetahui adanya peningkatan adhesi pada komposit
poliolefin dengan serat selulosa dapat diketahui dengan menyelidiki sifat kimia
dan sifat fisika. Sifat kimianya diselidiki dengan FTIR, morfologinya dengan
SEM dan sifat mekaniknya diselidiki dengan DMTA. Dari hasil penyelidikan
terjadi peningkatan adhesi antara pengisi serat selulosa dengan matriks polimer
HDPE yang ditunjukkan dengan peningkatan harga kekuatan tegangan sehingga
terjadi interaksi positip antara serat selulosa dengan HDPE. Penyelidikan efek
Universitas Sumatera Utara
-
penguatan permukaan antara plastik dan serat kayu juga telah diselidiki Laurent
(1998) untuk mengetahui bagaimana efek penguatan permukaan. Dalam
penelitian ini penyelidikan diarahkan pada efektifitas komposit PVC/serat kayu
untuk mengetahui bagaimana adhesi antara PVC dan serat kayu dengan
memodifikasi serat yang diperkuat dengan anhidra maleat. Dari hasil spektroskopi
X. Ray telah terjadi penguatan pada permukaan kayu dimana permukaan kayu
telah berobah dari hidrophilik menjadi hidrophobik akibat adanya penguatan.
Disamping itu kekuatan mekanik dari komposit serat kayu dan PVC telah
diperoleh terjadi peningkatan yang cukup signifikaan setelah adanya penguatan.
Nenkova dkk (2006) melakukan modifikasi serbuk kayu dengan penguatan
anhidra maleat pada komposit polimer kayu. Komposit polipropilena dan
modifikasi serbuk kayu tersebut dipelajari dengan scanning electron microscopy,
FT. IR dan analisa DMTA. Hasil akhir diperoleh menunjukkan peningkatan
adhesi antara matriks polipropilena dengan serbuk kayu yang telah dimodifikasi.
2.8.2. Peningkatan adhesi dengan penguatan isocyanat
Isocianat adalah senyawa yang mengandung gugus fungsi N=C=O yang
bereaksi dengan gugus OH serat selulosa dan lignin. Isocianat telah digunakan
sebagai coupling agent untuk dipakai pada komposit yang diperkuat serat (Paul,
1997 dan Joseph K, 1996). Reaksi antara serat dan isocianat dapat dilihat pada
gambar 2.14 dimana R adalah gugus kimia misalnya seperti alkil.
H O R-N=C=O + HO-Serat R-N-C-O-Serat Gambar2.14. reaksi antara serat dan isocianat (Van Voomrn, 2001)
Universitas Sumatera Utara
-
Wu et al (2000) telah menyelidiki grafting isocianat pada permukaan serat karbon
(CF). Reaksi antara fenil isocianat (C6H5NCO) dan permukaan karboksil dan
fenol diberikan pada gambar 2.15, 2.16 dan 2.17. Sejumlah penyelidikan
peningkatan adhesi telah dilakukan dengan menggunakan isocyanat sebagai
penguat. Diantaranya Chang Li (2006) telah sukses menyelidiki peningkatan
adhesi pada komposit polimer polietilena dan kayu.
Dari hasil penyelidikan yang diperoleh melalui SEM adhesi antara kayu dan
polietilena menunjukkan adhesi yang lebih baik apabila menggunakan isocyanat
sebagai penguat dibanding tanpa menggunakan penguat isocyanat.
Gambar 2.15. reaksi antara fenil isocianat dan permukaan karboksil (Van de Velve, 2002)
Universitas Sumatera Utara
-
Gambar 2.16. Reaksi Pathway pada derivat uretan dari cardanol (Joseph, 1996)
Gambar 2.17. Reaksi antara gugus isocianat dan serat selulosa (Joseph, 1996)
Selain itu Fujimura (1998) juga telah melakukan modifikasi kimia dalam
komposit polimer kayu antara isocyanat dengan kayu untuk membuat kayu lebih
Universitas Sumatera Utara
-
hidropobik. Didalam penyelidikan lain yang pula Ellis (1999), melakukan
penyelidikan terhadap komposit polimer kayu dengan menggunakan isocyanat
untuk mengetahui kekuatan komposit. Hasil akhir dari reaksi modifikasi tersebut
adalah komposit polimer kayu mempunyai adhesi yang lebih baik bila
menggunakan penguatan isocyanat dibandingkan dengan tampa mengunakan
penguatan. Michael (2003), melakukan penyelidikan dengan membandingkan
komposit polietilena kayu antara komposit polietilena kayu dengan resin metil
diisocyanat (MDI) dan komposit polietilena kayu dengan resin phenol
formaldehida.
2.8.3 Peningkatan adhesi dengan penguatan permanganat
Permanganat adalah senyawa yag mengandung gugus permanganat MnO4-
. Penguatan permanganat digunakan pada serat selulosa yang berobah menjadi
radikal melalui pembentukan ion permanganat. Kemudian ion Mn3+ yang
reaktifitasnya tinggi sebagai inisiasi kopolimerisasi graf yang dapat dilihat pada
gambar 2.18 (Frederick , 2004).
O + Selulosa H + KMNO4 Selulosa HO Mn OK O (a) Van de Velde, 2001 O O + Selulosa HO Mn OK Selulosa + HO Mn OK O O (a) Blekzki, 1999 Gambar 2.18. Reaksi pembentukan radikal selulosa melalui MnO3-
Universitas Sumatera Utara
-
Kebanyakan penguatan permanganat dilakukan dengan menggunakan
larutan potassium permanganta (KMNO4 ) atau dalam aseton dengan konsentrasi
yang berbeda dengan waktu 1 (satu) sampai 3 (tiga) jam setelah penguatan
alkalin (Paul, 1997 dan Joseph, 1996). Paul et al (1997) menguatkan serat rami
dalam larutan permangant pada konsenterasi 0,033: 0,0626:dan 0,125 % dalam
aseton selama satu menit. Sebagai hasil penguatan permanganat adalah terjadi
reduksi pada serat, oleh karenanya absobsi air pada komposit yang diperkuat serat
bertambah. Sifat serat yang hidrophilik akan berkurang dengan pertambahan
konsentrasi KMNO4, akan tetapi pada konsentrasi KMNO4 1 % terjadi degradasi
selulosa yang akan menghasilkan gugus polar antara serat dan matriks.
2.8.4. Peningkatan adhesi dengan penguatan asetilasi serat alam
Asetilasi merupakan sebuah reaksi yaang menggunakan gugus asetil
(CH3COO-) pada senyawa organik. Asetilasi serat alam diketahui merupakan
metode esterifikasi yang baik dari serat selulosa. Dimetilformida, trietilamin,
dimetilacetamida dan piridin merupakan pelarut yang dapat digunakan dalam
reaksi asetilasi yang berfungsi sebagai agen pembengkakan dingding sel supaya
kumpulan hidroksi keluar secara reaksi kimia. Reaksi asetilasi yang terbaik ialah
mengunakan anhidrida asetat. Modifikasi kimia ini adalah subtitusi asam
anhidrat asetat gugus OH pada dingding sel serat dengan gugus asetil, yang mana
hasil modifikasi ini menjadi hidrophobik (Hill, 1998). Reaksi anhidrida asetat
dengan serat dapat dilihat pada gambar 2.19 .
Universitas Sumatera Utara
-
SeratOH + CH3C(=O)OC(=O)CH3 Serat OCOCH3 + CH3COOH
Gambar 2.19. Reaksi anhidrida asetat dan serat
Asetilasi dapat membuat serat alam menjadi higroskopis dan menambah
stabilitas dimensi komposit. Asetilasi telah dipakai dalam penguatan permukaan
serat untuk serat yang diperkuat komposit. (Paul, 1997; Hill, 1998; dan Sreekala,
2003.
Khalil (2004) mengemukan serat yang mengalami reaksi asetilasi akan
mempunyai sifat-sifat: (1)Penyerapan lembapan yaitu sifat higroskopik
lignoselulosik dapat dikurangi dengan menggantikan gugus hidroksil yang
terdapat pada dingding sel yang bersifat hidrofobik, (2) Kestabilan dimensi (3)
Ketahanan terhadap UV dan (4) Sifat kekuatan. Penguatan asetilasi telah
diselidiki pada serat rami untuk mengubah adhesi serat dan matriks. Mihsra
(2003) menyelidiki serat pisang . Serat pisang dimasukkan kedalam larutan NaOH
5 dan 10 % selama 1 jam pada suhu 300C. Nair (2001) menguatkan serat alam
pada larutan NaOH 18 %, kemudian kedalam larutan asetat glasial dan akhirnya
kedalam anhidrida asetat dan 2 tetes H2SO4. Penguatan permukaan serat pisang
ini dilaporkan menjadi penyelidikan yang baik karena dapat merubah sifat
mekanik matriks polistirena yang lebih baik. Hipotesa model permukaan antar
serat pisang dan polistirena ini telah dipostulatkan. Sementara itu, stabilitas
termal pada komposit yang diperkuat serat lebih baik daripada komposit yang
seratnya tanpa penguatan dan interaksi antara matriks dan serat yang diberi
penguatan juga lebih baik (Nair, 2001).
Universitas Sumatera Utara