Skenario3 LUPUS

47
SKENARIO 3 RONA MERAH DI PIPI Seorang wanita, 25 tahun, masuk Rumah Sakit YARSI dengan keluhan demam yang hilang timbul sejak 6 bulan yang lalu. Keluhan lainnya mual, tidak nafsu makan, mulut sariawan, nyeri pada persedian, rambut rontok dan pipi berwarna merah bila terkena sinar matahari. Pada pemeriksaan fisik didapatkan suhu subfebris, konjungtiva pucat, terdapat sariawan di mulut. Pada wajah terlihat malar rash. Pemeriksaan fisik lain tidak didapatkan kelainan. Dokter menduga pasien menderita Sistemic Lupus Eritematosus. Kemudian dokter menyarankan Pemeriksaan laboratorium hematologi, urin dan marker autoimun (autoantibodi misalnya anti ds- DNA). Dokter menyarankan untuk dirawat dan dilakukan follow up pada pasien ini. Dokter menyarankan agar pasien bersabar dalam menghadapi penyakit karena membutuhkan penanganan seumur hidup. 1 | Page

description

blok mpt

Transcript of Skenario3 LUPUS

Page 1: Skenario3 LUPUS

SKENARIO 3

RONA MERAH DI PIPI

Seorang wanita, 25 tahun, masuk Rumah Sakit YARSI dengan keluhan demam yang hilang timbul sejak 6 bulan yang lalu. Keluhan lainnya mual, tidak nafsu makan, mulut sariawan, nyeri pada persedian, rambut rontok dan pipi berwarna merah bila terkena sinar matahari.

Pada pemeriksaan fisik didapatkan suhu subfebris, konjungtiva pucat, terdapat sariawan di mulut. Pada wajah terlihat malar rash. Pemeriksaan fisik lain tidak didapatkan kelainan. Dokter menduga pasien menderita Sistemic Lupus Eritematosus.

Kemudian dokter menyarankan Pemeriksaan laboratorium hematologi, urin dan marker autoimun (autoantibodi misalnya anti ds-DNA). Dokter menyarankan untuk dirawat dan dilakukan follow up pada pasien ini. Dokter menyarankan agar pasien bersabar dalam menghadapi penyakit karena membutuhkan penanganan seumur hidup.

1 | P a g e

Page 2: Skenario3 LUPUS

SASARAN BELAJAR

LI 1. Mengetahui dan menjelaskan tentang Autoimunitas

LO 1. Menjelaskan Definisi tentang Autoimunitas

LO 2. Menjelaskan tentang Etiologi dan Faktor-faktor Autoimunitas

LO 3. Menjelaskan Klasifikasi Autoimunitas

LO 4. Menjelaskan Mekanisme Autoimunitas

LI 2. Mengetahui dan menjelaskan tentang Systemic Lupus Erytematosus (SLE)

LO 1. Menjelaskan Definisi tentang SLE

LO 2. Menjelaskan tentang Etiologi SLE

LO 3. Menjelaskan tentang Patogenesis SLE

LO 4. Menjelaskan Manifestasi SLE

LO 5. Menjelaskan Diagnosis

LO 6. Menjelaskan Penatalaksanaan SLE

LO 7. Menjelaskan Prognosis dan Komplikasi SLE

LI 3. Mengetahui dan menjelaskan tentang Pemeriksaan Penunjang Autoimunitas

LO 1. Menjelaskan tentang Pemeriksaan Laboratorium

LI 4. Mengetahui dan menjelaskan tentang Bersabar dalam Menghadapi Cobaan

2 | P a g e

Page 3: Skenario3 LUPUS

LI 1. Mengetahui dan menjelaskan tentang Autoimunitas

LO 1. Menjelaskan Definisi tentang Autoimunitas

Autoimunitas adalah respons imun terhadap antigen jaringan sendiri yang disebabkan oleh mekanisme normal yang gagal berperan untuk mempertahankan self-tolerance sel B, sel T atau keduanya. Ketidakpekaan limfosit yang menyebabkan limfosit tidak dapat memberikan respon imun terhadap self antigen. Fenomena ini menyebabkan kerusakan jaringan atau gangguan fungsi fisiologis yang disebabkan oleh respons autoimun. Respons autoimun tidak selalu disertai penyakit atau penyakit yang menimbulkan mekanisme lain (infeksi).

Pemaparan limfosit terhadap antigen spesifik dapat mengakibatkan 3 kemungkinan:

1. Tidak terjadi respons dikenal dengan antigen ignorance hal ini terjadi bila antigen berada dalam situs anatomik yang tidak terjangkau oleh sistem imun contoh: susunan syaraf pusat atau bagian tertentu dari mata

2. Respons imun berupa aktivasi limfosit, proliferasi, dan ekspansi klonal 3. Toleransi imunologik

Terjadi karena ketidakmampuan klon limfosit untuk merespons antigen akibat paparan sebelumnya dalam kondisi lingkungan tertentu

Ada 2 jenis toleransi yang dapat terjadi yaitu toleransi sentral dan toleransi perifer. Toleransi sentral terjadi karena selama maturasi dalam organ limfoid primer semua limfosit melewati stadium dimana pemaparan terhadap self antigen mengakibatkan sel itu mati atau mengekspresikan reseptor antigen baru atau terjadi perubahan kemampuan fungsional. Toleransi perifer terjadi bila limfosit matur yang mengenali self antigen menjadi tidak mampu merespons antigen bersangkutan, atau kehilangan viabilitas sehingga masa hidupnya berkurang atau mengalami apoptosis.

LIMFOSIT T LIMFOSIT BLokasi utama induksi toleransi

Timus (korteks);perifer Sumsum tulang;perifer

Stadium maturasi yang sensitif untuk toleransi

Timosit CD4+CD8+(Positif ganda)

Limfosit dengan sIg IgM+ IgD-

Rangsangan untuk induksi toleransi

Sentral (timus) : Pengenalan antigen afinitas/aviditas tinggiPerifer: presentasi antigen oleh APC yang tidak memiliki kostimulator; stimulasi berulang oleh self antigen

Pengenalan antigen afinitas/aviditas tinggi, khususnya antigen multivalent, tanpa bantuan sel T

Mekanisme toleransi Delesi klonal:apoptosisAnergi klonal: hambatan proliferasi dan differensiasi; supresi

Delesi klonal: apoptosisAnergi klonal: penurunan sIg;hambatan transduksi sinyal;gagal masuk folikel

LO 2. Menjelaskan tentang Etiologi dan Faktor-faktor Autoimunitas

3 | P a g e

Page 4: Skenario3 LUPUS

a. Faktor Genetik

Kontribusi genetic pada penyakit autoimun hampir selalu melibatkan gen multiple. Namun demikian defek sejumlah gen tunggal juga dapat menimbulkan autoimunitas. Ciri kuat peran factor genetik terlihat pada hubungan antara berbagai penyakit autoimun dengan MHC.

b. Faktor imun

1. Sequestered AntigenSA adalah antigen tersendiri yang karena letak anatomisnya tidak terpapar dengan sel B dan Sel T dari sistem imun. Pada keadaan normal SA dilindungi dan tidak ditemukan untuk dikenali sistem imun.Perubahan anatomic dalam jaringan seperti inflamasi (sekunder oleh infeksi, kerusakan iskemia, atau trauma), dapat memaparkan SA demham sistem imun yang tidak terjadi pada keadaan normal. Contohnya, protein lensa intraocular, sperma dan MBP. Uveitis pasca trauma dan orchitis pasca vasektomi diduga karena respon autoimun terhadap SA. MBP yang dilepaskan meningkat mengaktifkan sel B dan sel T ensefalomielitis pasca infeksi. Inflamasi jaringan dapat pula menimbulkan perubahan struktur pada self antigen dan pembentukan determinan terbaru yang dapat memacu reaksi autoimun.

2. Gangguan presentasiGangguan dapat terjadi pada presentasi antigen, infeksi yang meningkatkan reseptor MHC, kadar sitokin yang rendah, dan gangguan respons terhadap IL-2. Pengawasan beberapa sel autoreaktif diduga bergantung pada sel Ts atau Tr. Bila terjadi kegagalan pada sel Ts maka akan dirangsang Th sehingga dapat menimbulkan autoimunitas.

3. Ekspresi MHC-II yang tidak benarBiasanya hanya diekspresikan pada APC dapat mensensitasi sel Th terhadap peptide yang berasal dari sel beta atau tiroid dan mengaktifkan sel B atau Tc atau Th1 terhadap self antigen.

4. Aktivasi sel B poliklonalDapat terjadi karna aktivasi sel B poliklonal oleh virus (EBV), LPS dan parasite malaria yang dapat merangsang sel B secara langsung yang dapat menimbulkan autoimunitas.

5. Peran CD4 dan reseptor MHCCD4 merupakan efektor utama pada penyakit autoimun. Untuk seseorang menjadi renta terhadap autoimunitas harus memiliki MHC dan TCR yang dapat mengikat antigen sel sendiri.

6. Keseimbang Th1-Th2

4 | P a g e

Page 5: Skenario3 LUPUS

Th1 menunjukan peran pada autoimunitas sedangkan Th2 tidak hanya melindungi terhadap induksi penyakit, tetapi juga terhadap progress penyakit.

7. Sitokin pada autoimunitasSitokin dapat menimbulkan transalasi berbagi factor etiologis ke dalam kekuatan patogenik dan mempertahankan inflamasi tipe kronis serta destruksi jaringan. IL-1 dan TNF telah mendapat banyak perhatian sebagai sitokin yang menimbulkan kerusakan. Kedua sitokin ini menginduksi ekspresi sejumlah protease dan dapat mencegah pembentukan matriks ekstraselular atau merangsang penimbunan matriks yang berlebihan.

c. Faktor lingkunganI. Kemiripan molecular dan infeksi

Hubungan antara infeksi mikroba dan autoimunitas yang terjadi adalah karena kemiripan.

a. Virus dan autoimunitasBerbagai virus berhubungan dengan berbagai penyakit autoimun yang mengenai sendi. Virus adeno dan Coxsackie A9, B2, B4, B6 sering berhubungan dengan poliartritis, pleuritis, myalgia, ruam kulit, faringtis, miokarditis, dan leukositosis. Respons imun terhadap Hepatitis C adalah multifactorial. Resolusi terjadi pada penderita dengan antibody cepat dan infeksi cenderung menjadi kronis pada penderita dengan antibody yang lambat.

b. Bakteri dan autoimunitas1. karditis reumatik-demam reuma akut

Protein grup A streptokokus M ~ Antigen di otot jantung2. sindrom reiter dan artritis reaktif

Heat shock protein dari Eschericia coli ~Subtipe rantai HLA-DR β mengandung “epitop bersama” artritis reumatoid

3. Eritema nodosum4. Bakteri lain

Glikoprotein Campylobacter jejuni ~ Gangliosida dan glikolipid terkait myelin Sindrom Guillain-Barre

Protein inti Coxsackie B4~ Glutamat dekarboksilase sel pulau pankreas Diabetes melitus dependen insulin

II. HormonWanita menunjukan kecenderungan menderita penyakit autoimun disbanding pria. Wanita pada umumnya juga memproduksi lebih banyak antibody dibanding pria yang biasanya merupakan respons proinflamasi Th1.

III. Obat

IV. Radiasi UV

5 | P a g e

Page 6: Skenario3 LUPUS

Pajanan radiasi UV diketahui merupakan pemacu inflamasi kulit dan kadang SLE. Radiasi UV dapat menimbulkan modifikasi structur radikal bebas self antigen yang meningkatkan imunogenitas.

V. Oksigen radikal bebas

VI. Logam Berbagai logam seperti Zn, Cu, Cr, Pb, Cd, Pt, perak dan metaloid (silikon).

LO 3. Menjelaskan Klasifikasi Autoimunitas

1. Penyakit autoimun spesifik organ

Penyakit ini termasuk penyakit autoimun endokrin. Antigen terlokalisasi pada satu organ,hipersensitivitas tipe 2 atau reaksi imun seluler merupakan patogenitas terpenting. Diawali dengan proses inflamasi (mungkin akibat infeksi) dalam kelenjar endokrin. Sel sel inflamasi dan sitokin lain yang menginduksi ekspresi MHC kelas II pada permukaan sel endokrin. Kesalahan dalam ekspresi MHC kelas II atau pengenalan kompleks MHC-antigen oleh sel sel imun secara tidak tepat mengakibatkan autoantigen dianggap asing. Sel endokrin berfungsi sebagai APC bagi protein sel nya sendiri yang dikenal oleh sel T dan sel B autoreaktif yang mengakibatkan destruksi sel sel endokrin secara enzimatik dan oksidatif. Hal lain yang mungkin terjadi adalah adanya interaksi idiotip-antidiotip. Adanya antibodi spesifik sebagai parameter untuk menunjang diagnosis.

2. Penyakit autoimun nonspesifik organ

Terjadi karena pengendapan kompleks imun mengakibatkan inflamasi melalui berbagai mekanisme termasuk aktivasi komplemen dan rekrutmen fagosit.

6 | P a g e

Page 7: Skenario3 LUPUS

LO 4.

Menjelaskan Mekanisme Autoimunitas

Berdasarkan karakteristik penyakit autoimun organ spesifik maka timbul dugaan adanya antigen sekuester dalam suatu organ, yang karena tidak pernah berkontak dengan sistem limforetikular maka apabila suatu saat terbebas akan dianggap asing dan menimbulkan pembentukan autoantibodi. Contohnya adalah autoantibodi terhadap sperma setelah vasektomi, lensa mata setelah trauma mata, otot jantung setelah infark miokard, atau jaringan lain yang bila terbebas akan menimbulkan pembentukan autoantibodi.

Seperti telah kita ketahui maka aktivasi sistem imun akan diikuti oleh mekanisme pengatur yang meningkatkan atau menekan dan menghentikan respons imun. Gangguan pada mekanisme supresi, baik jumlah maupun fungsi sel Ts, akan meningkatkan pembentukan autoantibodi bila respons imun tersebut sel ditujukan terhadap autoantigen.

Respons imun hampir selalu membutuhkan kerjasama sel T dan sel B, dan telah diketahui bahwa mekanisme toleransi ditentukan oleh sel T. Bila sel T toleran tersebut teraktivasi oleh faktor nonspesifik atau antigen silang yang mirip dengan antigen diri, maka sel B yang bersifat tidak toleran akan membentuk autoantibodi. Timus dan sel mikronya sangat penting untuk diferensiasi sel T. Bila terjadi gangguan maka akan terjadi defek sistem imun yang akan mempercepat proses autoimun. Produksi autoantibodi dilakukan oleh sel B,

7 | P a g e

Penyakit OrganAntibodi

terhadapTes diagnosis

Organ

spesifik

T. hashimoto tiroid tiroglobulin RIA

Grave D. Tiroid TSH recep Immunofluorescen

Pernisious

anemia

Del darah

merah

Intrinsik

faktorImmunofluorescen

IDDM Pankreas Sel beta

Infertilitas

lakisperma Sperma

Aglutinasi

immunofluorescen

Non-

organ

spesifik

VirtiligoKulit

persendianMelanosit Immunofluorescen

Rheumatoid

arthritis

Kulit

Ginjal

sendi

IgGIgG-latex

Aglutination

SLESendi

organ

DNA

RNA

nucleiprotein

DNA

RNA

latex Aglutination

Page 8: Skenario3 LUPUS

dan gangguan imunitas selular, baik peningkatan sel Th atau penekanan sel Ts, akan meningkatkan aktivitas sel B.

Selain itu dapat juga terjadi kelainan pada sel B yang bersifat intrinsik, misalnya terdapat klon sel B autoreaktif yang hiperresponsif terhadap berbagai stimuli, atau kelainan ekstrinsik berupa aktivasi sel B oleh mitogen endogen atau eksogen yang disebut aktivator poliklonal. Sel B dapat bereaksi dengan autoantigen melalui berbagai reseptornya yang mempunyai aviditas rendah sampai tinggi, sementara sel T tetap toleran.  Aktivator  poliklonal  yang  terdiri  dari  produk  bakteri,  virus,  atau komponen virus, parasit, atau  substansi lainnya dapat langsung merangsang sel B tersebut untuk memproduksi autoantibodi (lihat Gambar 15-3). Hal ini dapat terlihat dengan terdeteksinya faktor rheumatoid dan antinuklear, antilimfosit, antieritrosit, serta anti-otot polos setelah infeksi parasit, bakteri, atau virus. Selain itu terbukti pula bahwa lipopolisakarida bakteri dapat menginduksi limfosit tikus untuk memproduksi berbagai autoantibodi seperti anti DNA, antiglobulin γ ,antitimosit, dan antieritrosit. 

Makrofag mempunyai fungsi penting untuk memproses dan mempresentasikan antigen pada limfosit, serta memproduksi berbagai sitokin untuk aktivasi limfosit. Fungsi penting lainnya adalah sebagai fagosit untuk mengeliminasi berbagai substansi imunologik yang tidak diinginkan, misalnya kompleks imun. Pada penderita penyakit autoimun diduga bahwa eliminasi kompleks imun tidak berfungsi dengan baik karena jumlah reseptor Fc dan CR1 (C3b, imun adherens) pada makrofag berkurang, tetapi hasil penelitian tentang fungsi makrofag pada penyakit autoimun masih belum konsisten.

Autoimunitas dapat juga terjadi karena defek pembentukan toleransi yang telah dibuktikan pada hewan percobaan, akibat gangguan sel T atau sel B, atau keduanya. Gangguan toleransi ini hanya terjadi untuk antigen tertentu saja. Sampai sejauh ini masih belum dapat diambil kesimpulan komprehensif dari penelitian tentang peran defek toleransi tersebut.

Cara terbaik untuk membuktikan peran humoral, selular, lingkungan mikro atau virus terhadap autoimunitas adalah uji transfer autoimunitas dengan jaringan atau ekstrak jaringan hewan percobaan yang mempunyai predisposisi genetik autoimun ke resipien tanpa defek tersebut. Dengan cara ini maka terlihat bahwa defek sel stem, terutama prekursor sel B, lebih berperan untuk timbulnya autoimunitas daripada sel B matang.

Aktivasi sel B ditentukan oleh sejumlah sinyal dan faktor yang datang dari sel T. Pada penyakit autoimun sistemik terdapat peningkatan jumlah sel B aktif dan yang memproduksi antibodi poliklonal. Hiperreaktivitas sel B ini disebabkan oleh defek sel B terhadap kebutuhan sinyal, produksi faktor proliferasi, diferensiasi, dan maturasi oleh sel T yang berlebih, atau respons sel B yang tidak normal terhadap faktor-faktor tersebut. Akibatnya akan terjadi hipergamaglobulinemia, produksi autoantibodi, alih imunoglobulin menjadi autoantibodi subkelas patologik, dan akhirnya penyakit autoimun sistemik.

8 | P a g e

Page 9: Skenario3 LUPUS

Para penulis sepakat bahwa peran faktor genetik terhadap angka kejadian, awitan, dan perjalanan penyakit autoimun sangat besar. Gen yang bertanggung jawab terhadap predisposisi autoimun ini bukanlah lokus tunggal, dan dihubungkan dengan gen yang menentukan respons imun terhadap antigen, yaitu gen MHC dan gen imunoglobulin. Hal ini terlihat dari adanya hubungan antara suatu antigen HLA dengan penyakit tertentu yang dinyatakan dengan risiko relatif.

Sel B dan sel T serta produknya dapat mengekspresikan determinan idiotip atau anti-idiotip yang ikut berfungsi sebagai regulator sistem imun. Antibodi anti-idiotipik dapat menekan atau merangsang respons imun. Pada umumnya autoantibodi anti-idiotipik akan menekan respons imun terhadap idiotip. Seperti halnya antibodi biasa,  autoantibodi merupakan produk respons imun terhadap antigen/autoantigen, atau terhadap Ab2 (anti-idiotip) yang menyerupai antigen. Oleh karena itu dapat diduga bahwa autoimunitas dapat terjadi akibat defek regulasi sistem imun yang menyebabkan penekanan atau rangsangan produksi antibodi anti-idiopatik (lihat Gambar 15-4). Defek tersebut dapat menyebabkan produksi autoantibodi atau stimulasi Ab1 (idiotip) yang tidak terkontrol walaupun tidak ada antigen lagi. Diduga bahwa defek ini berhubungan erat dengan sirkuit sel B-Th-Ts dan idiotip serta anti-idiotipnya.

Tidak satu pun dari teori tersebut dapat memberikan penjelasan tunggal yang memuaskan, sehingga disimpulkan bahwa semua faktor tersebut berperan pada patogenesis autoimunitas.

Mekanisme Rusaknya Toleransi

Mengatasi Toleransi Perifer

Keadaan yang mengakibatkan rusaknya toleransi biasanya berkaitan dengan infeksi dan kerusakan jaringan yang non-spesifik. Pembalikan anergi dapat terjadi oleh paparan sitokin tertentu, terutama IL-2. Penyakit autoimun yang bertambah berat terlihat pada terapi dengan IL-2 pada keganasan. Pembalikan supresi oleh sel T baru dapat dilihat pada hewan yang kehilangan sitokin imunosupresif.

            Toleransi perifer yang rusak dapat terjadi akibat akses antigen diri yang tidak tepat pada antigen-presenting cells, ekspresi lokal molekul ko-stimulator yang tidak tepat atau perubahan cara molekul diri dipresentasikan ke sistem imun. Hal-hal tersebut terjadi saat inflamasi atau kerusakan jaringan, diinduksi oleh infeksi lokal atau faktor fisik. Inflamasi lokal akan meningkatkan aliran antigen diri ke nodus limfe (dan juga ke antigen-presenting cells) dan juga menginduksi ekspresi molekul MHC dan molekul ko-stimulator. Adanya peningkatan enzim proteolitik pada lokasi inflamasi juga dapat menyebabkan kerusakan protein intraseluler dan ekstraseluler, menyebabkan sejumlah peptida dengan konsentrasi tinggi dipresentasikan ke sel T yang responsif, peptida tersebut dinamakan cryptic epitopes. Peptida diri juga dapat diubah oleh virus, radikal bebas dan radiasi ion, dan akhirnya melewati toleransi yang telah ada sebelumnya.

9 | P a g e

Page 10: Skenario3 LUPUS

Kemiripan molekul

Kesamaan struktur antara protein diri dengan protein dari mikroorganisme juga dapat memicu respons autoimun. Peptida diri dengan konsentrasi rendah dan tanpa akses ke antigen-presenting cells dapat bereaksi silang dengan peptida mikrobial yang memiliki struktur serupa. Hal ini mengakibatkan ekspansi populasi sel T yang responsif yang dapat mengenali peptida diri, apabila kondisi lokal (seperti kerusakan jaringan) menyebabkan presentasi peptida tersebut dan akses sel T ke jaringan tersebut .

Molecular mimicry, antigen mikrobial dan antigen diri yang terlibat

Antigen mikrobial Antigen diriPenyakit yang diduga akibat molecular mimicry

Protein grup A streptokokus M Antigen di otot jantung Demam reumatik

Bacterial heat shock proteins Self heat shock proteinsTerkait dengan penyakit autoimun berat namun belum terbukti

Protein inti Coxsackie B4Glutamat dekarboksilase sel pulau pankreas

Diabetes melitus dependen insulin

Glikoprotein Campylobacter jejuni

Gangliosida dan glikolipid terkait mielin

Sindrom Guillain-Barre

Heat shock protein dari Eschericia coli

Subtipe rantai HLA-DR β mengandung “epitop bersama” artritis reumatoid

Artritis reumatoid

 

Sekali toleransi rusak terhadap peptida tertentu, maka inflamasi berlanjut pada presentasi peptida lainnya dan respons imun akan meluas dan menghasilkan percepatan kerusakan jaringan lokal. Proses domino ini disebut epitope spreading.

            Sel T yang belum pernah terpajan dengan antigen (sel T naive) memerlukan ko-stimulasi melalui CD28 unutk dapat berperan dalam respons imun. Namun, sel T yang sebelumnya sudah teraktivasi dapat diinduksi untuk proliferasi dan produksi sitokin melalui variasi sinyal ko-stimulasi yang lebih luas, dicetuskan oleh molekul adesi yang diekspresikan di sel tersebut. Oleh karena itu, sel autoreaktif yang telah teraktivasi sebelumnya tidak hanya resirkulasi secara bebas di jaringan yang terinflamasi (karena adanya peningkatan ekspresi molekul adesi) namun juga lebih mudah mengaktivasi setelah sampai di jaringan yang mengandung peptida diri/kompleks MHC yang sesuai. Hal ini menandakan sekali barier

10 | P a g e

Page 11: Skenario3 LUPUS

toleransi rusak, respons autoimun akan lebih mudah bertahan dan menyebabkan proses patogenik autoreaktif yang lama pula.

Mekanisme Kerusakan Jaringan

Kerusakan jaringan pada penyakit autoimun diperantarai oleh antibodi (hipersensitivitas tipe II dan III) atau aktivasi makrofag oleh sel T CD4+ atau sel T sitotoksik (hipersensitivitas tipe IV). Mekanisme kerusakan dapat tumpang tindih antara kerusakan yang diperantarai antibodi dengan sel T.

            Selain kerusakan jaringan yang diperantarai oleh mekanisme hipersensitivitas, autoantibodi juga dapat menyebabkan kerusakan dengan terikat pada lokasi fungsional dari antigen diri, seperti pada reseptor hormon, reseptor neurotransmiter dan protein plasma. Autoantibodi tersebut dapat menyerupai atau menghambat aksi ligand endogen dari antigen diri, sehingga menyebabkan abnormalitas fungsi tanpa adanya inflamasi atau kerusakan jaringan. Kerusakan yang diperantarai antibodi pada autoimunitas terjadi bila autoantibodi mengenali antigen yang bebas di cairan ekstraseluler atau diekspresikan pada permukaan sel.

LI 2. Mengetahui dan menjelaskan tentang Systemic Lupus Erytematosus (SLE)

LO 1. Menjelaskan Definisi tentang SLE

Penyakit autoimun yang melibatkan berbagai organ dengan manifestasi klinis yang bervariasi dari yang ringan sampai berat ( Mansjoer, Arif.2005 )

Suatu penyakit dengan demam, radang, penyakit ulti sistem yang mudah berubah ubah gejalanya, dan berwatk variatif ( Robbins.1999 )

Merupakan prototipe penyakit autoimun yang ditandai oleh produksi antibodi terhadap komponen-komponen inti sel yang berhubungan dengan manifestasi klinis yang luas ( W.SudoyoAri,dkk.2006 )

LO 2. Menjelaskan tentang Etiologi SLE

Sampai saat ini penyebab SLE belum diketahui. Diduga faktor genetik, infeksi, dan lingkungan berperan pada patofisiologi SLE.

Faktor Risiko:

a. Genetik. Meliputi jenis kelamin (frekuensi pada wanita 8 kali lebih sering), umur (lebih sering pada umur 20-40 tahun), etnik, dan faktor keturunan (frekuensinya 20 kali lebih sering dalam keluarga di mana terdapat anggota dengan SLE)

11 | P a g e

Page 12: Skenario3 LUPUS

b. Hormon. Estrogen menambah risiko SLE, sedangkan androgen mengurangi risiko ini.

c. Sinar UV. Mengurangi supresi imun, sehingga terapi menjadi kurang efektif, sehingga SLE bertambah berat. Ini disebabkan sel kulit mengeluarkan sitokin dan prostaglandin sehingga terjadi inflamasi

d. Imunitas. Pada pasien SLE terdapat hiperaktivitas sel B atau intoleransi terhadap sel T

e. Obat. Dapat mencetuskan lupus.i. Obat yang pasti menyebabkan lupus obat : klorpromazin, metildopa,

hidralasin, prokainamid, dan isoniazidii. Obat yang mungkin dapat menyebabkan lupus obat : dilantin, penisilamin,

dan kuinidiniii. Hubungannya belum jelas : garam emas, beberapa jenis antibiotik dan

griseofulvinf. Infeksi. Pasien SLE cenderung mudah mendapat infeksi dan kadang-kadang

penyakit inni kambuh setelah infeksig. Stres. Stres berat dapat mencetuskan SLE pada pasien yang sudah memiliki

kecenderungan akan penyakit ini.

LO 3. Menjelaskan tentang Patogenesis SLE

Autoantibodi pada lupus dibentuk untuk menjadi antigen nuklear ( ANA dan anti-DNA). Autoantibodi terlibat dalam pembentukan kompleks imun, yang diikuti oleh aktivasi komplemen yang mempengaruhi respon inflamasi pada banyak jaringan, termasuk kulit dan ginjal.

Ada tiga faktor yang menjadi perhatian bila membahas patogenesis lupus, yaitu : faktor genetik, lingkungan, dan kelainan pada sistem imun. Faktor genetik memegang peranan pada banyak penderita lupus, dengan resiko yang meningkat pada saudara kandung dan kembar monozigot.Studi lain mengenai faktor genetik ini yaitu studi yang berhubungan dengan HLA (HumanLeucocyte Antigens) yang mendukung konsep bahwa gen MHC (Major Histocompatibility Complex) mengatur produksi autoantibodi spesifik . Penderita lupus (kira-kira 6%) mewarisi defisiensi komponen komplemen, seperti C2,C4, atau C1q. Kekurangan komplemen dapat merusak pelepasan sirkulasi kompleks imun oleh sistem fagositosit mononuklear, sehingga membantu terjadinya deposisi jaringan.Defisiensi C1q menyebabkan fagositis gagal membersihkan sel apoptosis, sehingga komponen nuklear akan menimbulkan respon imun.

Faktor lingkungan dapat menjadi pemicu pada penderita lupus, seperti radiasi ultra violet, tembakau, obat-obatan, virus. Sinar UV mengarah pada self-immunity dan hilangnya toleransi karena menyebabkan apoptosis keratinosit. Selain itu sinar UV menyebabkan pelepasan mediator imun pada penderita lupus, dan memegang peranan dalam fase induksi yanng secara langsung merubah sel DNA, serta mempengaruhi sel imunoregulator yang bila normal membantu menekan terjadinya kelainan pada inflamasi kulit.

12 | P a g e

Page 13: Skenario3 LUPUS

Faktor lingkungan lainnya yaitu kebiasaan merokok yang menunjukkan bahwa perokok memiliki resiko tinggi terkena lupus, berhubungan dengan zat yang terkandung dalam tembakau yaitu amino lipogenik aromatik. Pengaruh obat juga memberikan gambaran bervariasi pada penderita lupus.

Pengaruh obat salah satunya yaitu dapat meningkatkan apoptosis keratinosit. Faktor lingkungan lainnya yaitu peranan agen infeksius terutama virus dapat ditemukan pada penderita lupus. Virus rubella, sitomegalovirus, dapat mempengaruhi ekspresi sel permukaan dan apoptosis.

Faktor ketiga yang mempengaruhi patogenesis lupus yaitu faktor imunologis. Selama ini dinyatakan bahwa hiperaktivitas sel intrinsik B menjadi dasar dari patogenesis lupus eritematosus sistemik (6,8). Beberapa autoantibodi ini secara langsung bersifat patogen termasuk dsDNA (double-stranded DNA), yang berperandalam membentuk kompleks imun yang kemudian merusak jaringan .

LO 4. Menjelaskan Manifestasi SLE

a. Lupus eritematosus sistemik

- Merupakan tipe lupus yang paling serius

- Menyerang organ tubuh seperti otak, hati, paru dan ginjal

b. Lupus diskoid

- Hanya menyerang kulit yang menyebabkan rash pada muka, leher, kulit

kepala dan telinga

c. Lupus obat

- Disebabkan oleh reaksi dari beberapa jenis obat

- Ketika terjadi penghentian obat, maka gejalanya akan hilang

d. Lupus neonatal

- Lupus yang dipindahkan dari ibu ke bayi

1. Kulit

Sebesar 2 sampai 3% lupus discoid terjadi pada usia dibawah 15 tahun. Sekitar 7% Lupus

diskoid akan menjadi LES dalam waktu 5 tahun, sehingga  perlu dimonitor secara rutin Hasil

pemeriksan laboratorium menunjukkan adanya antibodi antinuclear (ANA) yang disertai

peningkatan kadar IgG yang tinggi dan lekopeni ringan.

2. Serositis (pleuritis dan perikarditis)

13 | P a g e

Page 14: Skenario3 LUPUS

` Gejala klinisnya berupa nyeri waktu inspirasi dan pemeriksaan fisik dan radiologis

menunjukkan efusi pleura atau efusi parikardial.

3. Ginjal

Pada sekitar 2/3 dari anak dan remaja LES akan timbul gejala lupus nefritis. Lupus

nefritis akan diderita sekitar 90% anak dalam tahun pertama terdiagnosanya LES.

Berdasarkan klasifikasi WHO, urutan jenis lupus nefritis yang terjadi pada anak berdasarkan

prevalensinya adalah : (1) Klas IV, diffuse proliferative glomerulonephritis (DPGN) sebesar

40%-50%; (2) Klas II, mesangial nephritis (MN) sebesar 15%-20%; (3) Klas III, focal

proliferative (FP) sebesar  10%-15%; dan (4) Klas V, membranous pada > 20%.

4. Hematologi

Kelainan hematologi yang sering terjadi adalah limfopenia, anemia, trombositopenia, dan

lekopenia.

5. Pneumonitis interstitialis

Merupakan hasil infiltrasi limfosit. Kelainan ini sulit dikenali dan sering tidak dapat

diidentifikasi. Biasanya terdiagnosa setelah mencapai tahap lanjut.

6. Susunan Saraf Pusat (SSP)

Gejala SSP bervariasi mulai dari disfungsi serebral global dengan kelumpuhan dan kejang

sampai gejala fokal seperti nyeri kepala dan kehilangan memori. Diagnosa lupus SSP ini

membutuhkan evaluasi untuk mengeksklusi ganguan psikososial reaktif, infeksi, dan

metabolik.  Trombosis vena serebralis bisanya terkait dengan antibodi antifosfolipid. Bila

diagnosa lupus serebralis sudah diduga, konfirmasi dengan CT Scan perlu dilakukan.

7. Arthritis

Dapat terjadi pada lebih dari 90% anak dengan LES. Umumnya simetris, terjadi pada

beberapa sendi besar maupun kecil. Biasanya sangat responsif terhadap terapi dibandingkan

dengan kelainan organ yang lain pada LES. Berbeda dengan JRA, arthritis LES umumnya

14 | P a g e

Page 15: Skenario3 LUPUS

sangat nyeri, dan nyeri ini tak proporsional dengan hasil pemeriksaan fisik sendi.

Pemeriksaan radiologis menunjukkan osteopeni tanpa adanya perubahan pada tulang

sendi.Anak dengan JRA polyarticular yang beberapa tahun kemudian dapat menjadi LES.

8. Fenomena Raynaud

Ditandai oleh keadaan pucat, disusul oleh sianosis, eritema dan kembali hangat. Terjadi

karena disposisi kompleks imun di endotelium pembuluh darah dan aktivasi komplemen

lokal.

Gejala yang lain:

1. Sakit pada sendi (arthralgia) 95 %

2. Demam di atas 38oC 90 %

3. Bengkak pada sendi (arthriis) 90 %

4. Penderita sering merasa lemah, kelelahan (fatigue) berkepanjangan 81 %

5. Ruam pada kulit 74 %

6. Anemia 71 %

7. Gangguan ginjal 50 %

8. Sakit di dada jika menghirup nafas dalam 45 %

9. Ruam bebentuk kupu-kupu melintang pada pipi dan hidung 42 %

10.Sensitif terhadap cahaya sinar matahari 30 %

11.Rambut rontok 27 %

12.Gangguan abnormal pembekuan darah 20 %

13.Jari menjadi putih/biru saat dingin (Fenomena Raynaud’s) 17 %

14.Stroke 15 %

15.Sariawan pada rongga mulut dan tenggorokan 12 %

16.Selera makan hilang > 60 %

Sistem KlinisKonstitusional Demam, malaise, penurunan berat badanKulit Ruam kupu kupu(butterfly rash), lupus diskoid, eritema

periungual, fotosensitivitas, alopesia,ulserasi mukosamuskuloskletal Poliartalgia dan artritis,tenosinovitis, miopati, nekrosis

aseptik

15 | P a g e

Page 16: Skenario3 LUPUS

vaskular Fenomena raynaud, retikularis livedo,trombosis,eritomelalgia,lupus profundus

Jantung Perikarditis dan efusi, miokarditis,endokarditis libman-sacks

Paru Pleuritis,pneumonitis basilar,atelektasis,pendarahangastrointestinal Peritonitis,disfungsi esofagus,kolitisHati, limpa,kelenjar Hepatomegali,splenomegali,limfadenopatineurologi Seizure,psikosis,polineuritis,neuropati periferMata Eksudat,papiledema,retinopatiRenal Glomerulonefritis,sindrom nefriotik,hipertensi

LO 5. Menjelaskan Diagnosis SLE

Karena pasien dengan lupus eritematosus sistemik bisa memiliki gejala yang sangat bervariasi dan kombinasi keterlibatan organ yang berbeda, tidak ada pengujian tunggal yang dapat mendiagnosa lupus sistemik. Untuk membantu keakuratan diagnosis lupus eritematosus sistemik, sebelas kriteria diterbitkan oleh asosiasi reumatik Amerika. Kesebelas kriteria tersebut berkaitan dengan gejala-gejala yang di diskusikan diatas. Beberapa pasien yang dicurigai menderita lupus eritematosus sistemik mungkin tidak pernah memenuhi kriteria yang cukup untuk diagnosis defenitif. Pasien yang lain mungkin mengumpulkan kriteria yang cukup hanya dalam beberapa bulan atau tahun setelah observasi. Jika seseorang memenuhi empat atau lebih kriteria berikut, diagnosis lupus eritematosus sistemik sangat mungkin. Namun demikian, diagnosis lupus eritematosus sistemik dapat ditegakkan pada pasien dengan kondisi tertentu dimana hanya sedikit kriteria yang dapat dipenuhi. Pada pasien-pasien tersebut, kriteria yang lain dapat berkembang kemudian, tapi pada kebanyakan kasus tidak demikian.

No Kriteria Definisi

1Bercak malar

(butterfly rash)

Eritema datar atau menimbul yang menetap di daerah pipi,

cenderung menyebar ke lipatan nasolabial

2 Bercak diskoid

Bercak eritema yang menimbul dengan adherent keratotic

scaling dan follicular plugging, pada lesi lama dapat terjadi

parut atrofi

3 FotosensitifBercak di kulit yang timbul akibat paparan sinar matahari, pada

anamnesis atau pemeriksaan fisik

4 Ulkus mulut Ulkus mulut atau nasofaring, biasanya tidak nyeri

5 ArtritisArtritis nonerosif pada dua atau lebih persendian perifer,

ditandai dengan nyeri tekan, bengkak atau efusi

6 Serositif a. Pleuritis

Riwayat pleuritic pain atau terdengar pleural friction rub atau

16 | P a g e

Page 17: Skenario3 LUPUS

terdapat efusi pleura pada pemeriksaan fisik

atau

b. Perikarditis

Dibuktikan dengan EKG atau terdengar pericardial friction rub

atau terdapat efusi perikardial pada pemeriksaan fisik

7 Gangguan ginjal

a. Proteinuria persisten > 0,5 g/hr atau pemeriksaan +3 jika

pemeriksaan kuantitatif tidak dapat dilakukan

atau

b. Cellular cast : eritrosit, Hb, granular, tubular atau campuran

8 Gangguan saraf

Kejang :

Tidak disebabkan oleh obat atau kelainan metabolik (uremia,

ketoasidosis atau ketidakseimbangan elektrolit)

atau

Psikosis :

Tidak disebabkan oleh obat atau kelainan metabolik (uremia,

ketoasidosis atau ketidakseimbangan elektrolit)

9 Gangguan darah

Terdapat salah satu kelainan darah

Anemia hemolitik à dengan retikulositosis

Leukopenia à < 4000/mm3 pada > 1 pemeriksaan

Limfopenia à < 1500/mm3 pada > 2 pemeriksaan

Trombositopenia à < 100.000/mm3 tanpa adanya intervensi obat

10 Gangguan imunologi Terdapat salah satu kelainan :

17 | P a g e

Page 18: Skenario3 LUPUS

Anti ds-DNA diatas titer normal

Anti-Sm(Smith) (+)

Antibodi fosfolipid (+) berdasarkan kadar serum IgG atau IgM

antikardiolipin yang abnormal

Antikoagulan lupus (+) dengan menggunakan tes standar

Tes sifilis (+) palsu, paling sedikit selama 6 bulan dan

dikonfirmasi dengan ditemukannya Treponema palidum atau

antibodi treponema

11 Antibodi antinuklear Tes ANA (+)

Pemeriksaan laboratorium yang dilakukan terhadap pasien SLE meliputi :

1. ANA (anti nuclear antibody). Tes ANA memiliki sensitivitas yang tinggi namun spesifisitas yang rendah.

2. Anti dsDNA. Tes ini amat spesifik untuk LES, biasanya titernya akan meningkat sebelum LES kambuh.

3. Antibodi anti-S (Smith). Antibodi spesifik terdapat pada 20-30% pasien4. Anti-RNP (ribonukleoprotein), anti-ro/anti-SS-A, anti-La (antikoagulan

lupus)/anti-SSB, dan antibodi antikardiolipin. Titernya tidak terkait dengan kambuhnya LES

5. Komplemen C3, C4, dan CH50 (komplemen hemolitik)6. Tes sel LE. Kurang spesifik danjuga positif pada artritis reumatoid, sindrom

Sjogren, skleroderma, obat, dan bahan-bahan kimia lain7. Anti ssDNA (single stranded)8. Pasien dengan anti ssDNA positif cenderung menderita nefritis

LO 6. Menjelaskan Penatalaksanaan SLE

Non Farmakologis

1. Edukasi

Edukasi penderita memegang peranan penting mengingat SLE merupakan penyakit  yang kronis. Penderita perlu dibekali informasi yang cukup tentang berbagai macam manifestasi

18 | P a g e

Page 19: Skenario3 LUPUS

klinis yang dapat terjadi, tingkat keparahan penyakit yang berbeda-beda sehingga penderita dapat memahami dan mengurangi rasa cemas yang berlebihan. Pada wanita usia reproduktif sangat penting diberikan pemahaman bahwa bila akan hamil maka sebaiknya kehamilan direncanakan saat penyakit sedang remisi, sehingga dapat mengurangi kejadian flare up dan risiko kelainan pada janin maupun penderita selama hamil.

2. Dukungan sosial dan psikologis.

Hal ini bisa berasal dari dokter, keluarga, teman maupun mengikut sertakan peer group atau support group sesama penderita lupus. Di Indonesia ada 2 organisasi pasien Lupus, yakni care for Lupus SD di Bandung dan Yayasan Lupus Indonesia di Jakarta. Mereka bekerjasama melaksanakan kegiatan edukasi pasien dan masyarakat mengenai lupus. Selain itu merekapun memberikan advokasi dan bantuan finansial untulk pasienyang kurang mampu dalam pengobatan.

3. Istirahat

Penderita SLE sering mengalami fatigue sehingga perlu istirahat yang cukup, selain perlu dipikirkan penyebab lain seperti hipotiroid, fibromialgia dan depresi.

4. Tabir surya

Pada penderita SLE aktifitas penyakit dapat meningkat setelah terpapar sinar matahari, sehingga dianjurkan untuk menghindari paparan sinar matahari yang berlebihan dan menggunakan tabir surya dengan SPF > 30 pada 30-60 menit sebelum terpapar, diulang tiap 4-6 jam.

5. Monitor ketat

Penderita SLE mudah mengalami infeksi sehingga perlu diwaspadai bila terdapat demam yang tidak jelas penyebabnya. Risiko infeksi juga meningkat sejalan dengan pemberian obat immunosupresi dan kortikosteroid. Risiko kejadian penyakit kejadian kardiovaskuler, osteoporosis dan keganasan juga meningkat pada penderita SLE, sehingga perlu pengendalian  faktor risiko seperi merokok, obesitas, dislipidemia dan hipertensi.    

Farmakologis

Terapi Imunomodulator

1.  Siklofosfamid

Merupakan obat utama pada gangguan sistem organ yang berat, terutama nefropati lupus. Pengobatan dengan kortikosterod dan siklofosfamid (bolus iv 0,5-1 gram/m2) lebih efektif dibanding hanya kortikosteroid saja, dalam pencegahan sequele ginjal, mempertahankan fungsi ginjal dan menginduksi remisi ginjal. Manifestasi non renal yang efektif dengan siklofosfamid adalah sitopenia, kelainan sistem saraf pusat, perdarahan paru dan vaskulitis.

19 | P a g e

Page 20: Skenario3 LUPUS

Pemberian per oral dengan dosis 1-1,5 mg/kgBB dapat ditingkatkan sampai 2,5-3 mg/kgBB dengan kondisi neutrofil > 1000/mm3 dan leukosit > 3500/mm3. Monitoring jumlah leukosit dievaluasi tiap 2 minggu dan terapi intravena dengan dosis 0,5-1 gram/m2 setiap 1-3 bulan.

Efek samping yang sering terjadi adalah mual, muntah, kadang dapat ditemukan rambut rontok namun hilang bila obat dihentikan. Leukopenia dose-dependent biasanya timbul setelah 12 hari pengobatan sehingga diperlukan penyesuaian dosis  dengan leukosit. Risiko terjadi infeksi bakteri, jamur dan virus terutama Herpes zoster meningkat. Efek samping pada gonad yaitu menyebabkan kegagalan fungsi ovarium dan azospermia. Pemberian hormon Gonadotropin releasing hormone atau kontrasepsi oral belum terbukti efektif. Pada penderita SLE dengan nefropati lupus yang mengalami kehamilan obat golongan ini sebaiknya dihindarkan.

2.  Mycophenolate mofetil (MMF)

MMF merupakan inhibitor reversibel inosine monophosphate dehydrogenase, yaitu suatu enzim yang penting untuk sintesis purin. MMF akan mencegah proliferasi sel B dan T serta mengurangi ekspresi molekul adhesi. MMF secara efektif mengurangi proteinuria dan memperbaiki kreatinin serum pada penderita SLE dan nefritis yang  resisten terhadap siklofosfamid. Efek samping yang terjadi umumnya adalah leukopenia, nausea dan diare. Kombinasi MMF dan Prednison sama efektifnya dengan pemberian siklosfosfamid oral dan prednison yang dilanjutkan dengan azathioprine dan prednisone. MMF diberikan dengan dosis 500-1000 mg dua kali sehari sampai adanya respons terapi dan dosis obat disesuaikan dengan respons tersebut. Pada penderita SLE dengan nefropati lupus yang mengalami kehamilan obat golongan ini sebaiknya dihindarkan.

3.  Azathioprine

Azathioprine adalah analog purin yang menghambat sintesis asam nukleat dan mempengaruhi fungsi imun seluler dan humoral. Pada SLE obat ini digunakan sebagai  alternatif siklofosfamid untuk pengobatan lupus nefritis atau sebagai steroid sparing agent untuk manifestasi non renal seperti miositis dan sinovitis yang refrakter. Pemberian mulai dengan dosis 1,5 mg/kgBB/hari, jika perlu dapat dinaikkan dengan interval waktu 8-12 minggu menjadi 2,5-3 mg/kgBB/hari dengan syarat jumlah leukosit > 3500/mm3 dan metrofil > 1000. Jika diberikan bersamaan dengan allopurinol maka dosisnya harus dikurangi menjadi 60-75%. Efek samping yang terjadi lebih kuat dibanding siklofosfamid, yang biasanya terjadi yaitu supresi sumsum tulang dan gangguan gastrointestinal. Azathioprine juga sering dihubungkan dengan hipersensitifitas dengan manifestasi demam, ruam di kulit dan peningkatan serum transaminase. Keluhan biasanya bersifat reversibel dan menghilang setelah obat dihentikan. Oleh karena dimetabolisme di hati dan dieksresikan di ginjal  maka fungsi hati dan ginjal harus diperiksa secara periodik. Obat ini merupakan pilihan imunomodulator pada penderita nefropati lupus yang hamil, diberikan dengan dosis 1-1,5 mg/kgBB/hari karena relatif aman.

20 | P a g e

Page 21: Skenario3 LUPUS

4.   Leflunomide (Arava)

Leflunomide merupakan suatu inhibitor de novo sintesis pyrimidin yang disetujui pada pengobatan rheumatoid arthritis. Beberapa penelitian telah melaporkan keuntungan pada pasien SLE yang pada mulanya diberikan karena ketergantungan steroid. Pemberian dimulai dengan loading dosis 100 mg/hari untuk 3 hari kemudian diikuti dengan 20 mg/hari. 

5.   Methotrexate

Methotrexate diberikan dengan dosis 15-20 mg peroral satu kali seminggu, dan terbukti efektif terutama untuk keluhan kulit dan sendi. Efek samping yang biasa terjadi adalah peningkatan serum transaminase, gangguan gastrointestinal, infeksi dan oral ulcer, sehingga perlu dimonitor ketat fungsi hati dan ginjal.  Pada penderita SLE dengan nefropati lupus yang mengalami kehamilan obat golongan ini sebaiknya dihindarkan.

6.   Siklosporin

Pemberian siklosporin dosis 2,5-5 mg/kgBB/hari pada umumnya dapat ditoleransi dan menimbulkan perbaikan yang nyata terhadap proteinuria, sitopenia, parameter imunologi (C3, C4, anti-ds DNA) dan aktifitas penyakit. Jika kreatinin meningkat lebih dari 30% atau timbul hipertensi maka dosisnya  harus disesuaikan efek samping yang sering terjadi adalah hipertensi, hiperplasia gusi, hipertrikhosis, dan peningkatan kreatinin serum. Siklosporin terutama bermanfaat  untuk nefritis membranosa dan untuk sindroma nefrotik yang refrakter, sehingga monitoring tekanan darah dan fungsi  ginjal harus dilakukan secara rutin. Siklosporin A dapat diberikan pada penderita nefropati lupus yang hamil, diberikan dengan dosis 2 mg/kgBB/hari karena relatif aman.

 Agen Biologis

1.      Aktivasi sel T, interaksi sel T dan sel B, deplesi sel B

Perkembangan terapi terakhir telah memusatkan perhatian terhadap fungsi sel B dalam mengambil autoAg dan mempresentasikannya melalui immunoglobulin spesifik terhadap sel T di permukaan sel, selanjutnya mempengaruhi respons imun dependen sel T. Anti CD 20 adalah suatu antibodi monoklonal yang melawan reseptor CD 20 yang  dipresentasikan limfosit B.

2.   Anti CD 20

Anti CD 20 (Rituximab; Rituxan) memiliki pontensi terapi untuk SLE yang refrakter. Beberapa penelitian memberikan keberhasilan terapi pada manifestasi lupus refrakter seperti sistem saraf pusat, vaskulitis dan gangguan hematologi.

3.   LJP 394

21 | P a g e

Page 22: Skenario3 LUPUS

LJP 394 (Abetimus sodium; Riquent) telah didisain untuk mencegah rekurensi flare renal pada pasien nefritis dengan cara mengurangi antibody terhadap ds-DNA melalui toleransi spesifik antigen secara selektif. Substansi ini merupakan suatu senyawa sintetik yang terdiri dari rangkaian deoksiribonukleotida yang terikat pada rantai trietilen glikol.

4.   Anti B lymphocyte stimulator

Stimulator limfosit B (BlyS) merupakan bagian dari sitokin TNF (tumor necrosis factor), yang mempresentasikan sel B. LymphoStatB merupakan antibod monoklonal  terhadap BlyS.

5.   Sitokin inhibitor

Meskipun telah ada penelitian yang menunjukkan penurunan sekresi TNF alfa dan meliorasi leukopenia, proteinuria dan deposisi imun kompleks pada binatang percobaan, namun tidak ada studi klinis agen anti TNF yang diberikan pada penderita SLE.

6.   Anti malaria

Obat anti malaria yang digunakan pada SLE adalah hidroksiklorokuin, klorokuin, dan quinakrin. Digunakan untuk keluhan konstitusional, manifestasi di kulit, musculoskeletal dan serositis. Kombinasi obat antimalaria memiliki efek sinergis dan digunakan bila penggunaan satu macam obat tidak efektif. Hidroksiklotokuin (200–400 mg/hari) dan  Quinakrin (100 mg/hari) sebagai steroid sparing agent memiliki efek samping yang ringan dan reversibel, yaitu perubahan warna kulit menjadi kekuningan.

Mekanisme bagaimana hidroksiklorokuin mencegah kerusakan organ belum jelas. Hidroksiklorokuin menurunkan kadar lipid dan kemungkinan anti trombotik. Yang perlu diperhatikan adalah efek samping pada mata meskipun relatif aman bila digunakan pada dois rendah (< 6,5 mg/kgBB/hari). Namun demikian rekomendasi saat ini adalah melakukan pemeriksaan mata sebelum mulai pengobatan dan setiap 6 – 12 bulan kemudian. Antimalaria jarang sekali menyebabkan kelainan kongenital pada  janin.  Oleh karena itu direkomendasaikan untuk diberikan juga pada penderita nefropati lupus yang hamil dan dapat diberikan sampai masa menyusui.  Kejadian IUGR juga berkurang dengan pemberian hidroksiklorokuin.

Hormon Seks

Bromokriptin yang secara selektif menghambat hipofise anterior untuk mensekresi prolaktin terbukti bermanfaat mengurangi aktifitas penyakit SLE. Dehidroepiandrosteron (DHEA) bermanfaat untuk SLE dengan aktifitas ringan sampai sedang. Danazole (sintetik steroid) dengan dosis 400-1200 mg/hari bermanfaatuntuk mengontrol sitopenia autoimun terutama trombositopeni dan anemia hemolitik. Estrogen replacement therapy (ERT) dapat dipertimbangkan pada pasien-pasien SLE yang mengalami menopause, namun masih terdapat

22 | P a g e

Page 23: Skenario3 LUPUS

perdebatan mengenai kemampuan kontraseptif oral atau ERT dalam menimbulkan flare SLE. Untuk itu terapi ini harus ditunda pada pasien dengan riwayat trombosis.

Kortikosteroid

Kortikosteroid efektif untuk menangani berbagai macam manifestasi klinis SLE. Sediaan topikal atau intralesi digunakan untuk lesi kulit, sediaan intra artikular digunakan untuk artritis, sedangkan sediaan oral atau parenteral untuk kelainan sistemik. Pemberian per oral dosisnya bervariasi dari 5-30 mg prednison (metilprednisolon) per hari secara tunggal atau dosis terbagi, efektif untuk mengobati keluhan konstitusional, kelainan kulit, arthritis dan serositis. Seringkali kortikosteroid diberikan bersamaan dengan antimalaria atau imunomodulator dengan tujuan untuk mendapatkan induksi yang cepat kemudian diturunkan dosisnya. Adanya keterlibatan organ penting seperti nefritis, cerebritis, kelainan hematologi atau vaskulitis sistemik, umumnya memerlukan prednison dosis tinggi (1-2 mg/kgBB/hari). Kortikosteroid parenteral juga dapat digunakan pada keadaan yang sangat berat, mengancam jiwa, dengan dosis metilprednisolon bolus 1000 mg selama 3 hari berturut-turut.

            Efek yang tidak dikehendaki pada pemberian glukokortikoid lama antara lain habitus cushingoid, peningkatan berat badan, hipertensi, infeksi, fragilitas kapiler, akne, hirsutism, percepatan osteoporosis, nekrosis iskemi tulang, katarak, glaucoma, diabetes mellitus, myopati, hipokalemia, menstruasi yang tidak teratur, iritabilitas, insomnia, dan psikosa. Oleh karenanya setelah aktifitas penyakit terkontrol, dosis kortikosteroid harus segera diturunkan atau kalau mungkin dihentikan atau diberikan dalam dosis terkecil selang sehari.

Untuk meminimalisasi osteoporosis, dapat diberikan suplemen kalsium 1000 mg/ hari pada pasien dengan eksresi kalsium urin 24 jam lebih dari 120 mg. Diberikan pula vitamin D 50.000 unit 1-3 kali seminggu (monitor hiperkalsemia). Dalam mencegah osteoporosis dapat pula diberikan kalsitonin dan bifosfonat (alendronat, didronel atau actonel). Kortikosteroid pada umumnya dapat ditoleransi dengan baik selama kehamilan meskipun dapat menimbulkan eksaserbasi diabetes dan hipertensi. Tidak terdapat bukti bahwa kortikosteroid menyebabkan defek kongenital tetapi mungkin dapat menyebabkan berat badan bayi lahir rendah dan ketuban pecah dini. 

NSAID (Non Steroid Anti Inflammatory Drug)

NSAID digunakan untuk mengatasi keluhan nyeri muskuloskeletal, pleuritis, perikarditis dan sakit kepala. Efek samping NSAID pada ginjal, hati, sistem saraf pusat harus dibedakan dengan aktifitas lupus yang menghebat. Adanya proteinuria yang baru timbul atau perburukan fungsi ginjal dapat disebabkan oleh aktifitas SLE atau efek NSAID. NSAID juga dapat menyebabkan meningitis aseptik, sakit kepala, psikosis dan gangguan kognitif, meningkatkan serum transaminase secara reversibel. Gangguan gastrointestinal merupakan

23 | P a g e

Page 24: Skenario3 LUPUS

efek samping paling sering ditimbulkan oleh inhibitor COX non-selektif. Inhibitor COX-2 selektif lebih sedikit efek sampingnya pada gastrointestinal. Pada penderita SLE dengan nefropati lupus yang mengalami kehamilan obat golongan ini sebaiknya dihindarkan karena dapat mengakibatkan kelainan kongenital dan dieksresikan dalam air susu.

Plasmaferesis

Peranan plasmaferesis pada nefropati lupus masih kontroversi. Indikasinya adalah  kasus lupus disertai krioglobulinemia, sindroma hiperviskositas dan TTP (Thrombotyc Thrombocytopenic Purpura).

Immunoglobulin Intravena

Immunoglobulin intravena (IV Ig) adalah imunomodulator dengan mekanisme kerja yang luas, meliputi blokade reseptor Fc, regulasi komplemen dan sel T. Tidak seperti immunosupresan, IV Ig tidak mempunyai efek meningkatkan risiko terjadinya infeksi. Dosis 400 mg/kgBB/hari selama 5 hari berturut-turut memberikan perbaikan pada trombositopeni, artritis, nefritis, demam, manifestasi kulit dan parameter immunologis. Efek samping yang terjadi adalah demam, mialgia, sakit kepala dan artralgia, serta kadang meningitis aseptik. Kontraindikasi diberikan pada penderita SLE dengan defisiensi IgA.

LO 7. Menjelaskan Prognosis dan Komplikasi SLE

Beberapa tahun terakhir ini prognosis penderita lupus semakin membaik, banyak penderita yang menunjukkan penyakit yang ringan. Wanita penderita lupus yang hamil dapat bertahan dengan aman sampai melahirkan bayi yang normal, tidak ditemukan penyakit ginjal ataupun jantung yang berat dan penyakitnya dapat dikendalikan. Angka harapan hidup 10 tahun meningkat sampai 85%. Prognosis yang paling buruk pada penderita yang mengalami kelainan otak, paru-paru, jantung dan ginjal yang berat.

Angka harapan hidup :

a. 5 tahun : 85-88%

b. 10 tahun : 76-87%

Penyebab utama kematian pada SLE adalah akibat :

a. Infeksi penyakit

b. Nefritis lupus

c. Konsekuensi gagal ginjal (termasuk terapinya)

d. Penyakit kardiovaskular

e. Lupus sistem saraf pusat

24 | P a g e

Page 25: Skenario3 LUPUS

Trombosis arteri mempunyai prognosis buruk. Penyakit ginjal merupakan indikator

prognosis yang paling buruk pada SLE, dikarenakan tuter antibodi pengikat DNA

positif/meningkat, yang berkaitan dengan keterlibatan ginjal, dikaitkan dengan prognosis

yang lebih buruk.

Komplikasi LES pada anak meliputi:

a. Hipertensi (41%)

b. Gangguan pertumbuhan (38%)

c. Gangguan paru-paru kronik (31%)

d. Abnormalitas mata (31%)

e. Kerusakan ginjal permanen (25%)

f. Gejala neuropsikiatri (22%)

g. Kerusakan muskuloskeleta (9%) dan Gangguan fungsi gonad (3%)

LI 3. Mengetahui dan menjelaskan tentang Pemeriksaan Penunjang Autoimunitas

LO 1. Menjelaskan tentang Pemeriksaan Laboratorium

1. Pemeriksaan Lab yang dilakukan terhadap pasien SLE;a. Tes ANA (Anti Nuclear Antibody)

Tes ANA memiliki sensitivitas yang tinggi namun spesifitas yang rendahb. Tes Anti dsDNA (double stranded)

Tes ini sangat spesifik untuk SLE, biasanya titernya akan meningkat sebelum SLE kambuh.

c. Tes Antibodi anti-S (Smith)  Antibodi spesifik terdapat 20-30% pasiend. Tes Anti-RNP (Ribonukleoprotein), anti-ro/anti-SS-A, anti-La (antikoagulan

lupus anti SSB, dan antibodi antikardiolipin) Titernya tidak terkait dengan kambuhnya SLE

e. Komplemen C3, C4, dan CH50 (komplemen hemolitik)f. Tes sel LE

Kurang spesifik dan juga positif pada arthritis rheumatoid, syndrome sjogren, scleroderma, obat, dan bahan-bahan kimia lain

g. Tes anti ssDNA (single stranded)  Pasien dengan anti ssDNA positif cenderung menderita nefritis

2. Pemeriksaan Serologi

25 | P a g e

Page 26: Skenario3 LUPUS

Tes ANA merupakan pemeriksaan serologi awal.  ANA tes juga di pakai untuk menilai aktivitas penyakit. Antibodi antibodi lainnya mempunyai sensitivitas dan spesivitas yang berbeda beda,

*Kriteria autoantibodi pada lupus eritematosus sistemik

Antibodi antinuklear Autoantibodi lainAntibodi anti dsDNA Antibodi anti eritrositAntibodi anti DNP Antibodi anti limfositotoksikAntibodi anti RO (SS/A) Antibodi anti jaringan spesifikAntibodi anti La (SS/B) Antibodi antifosfolipidAntibodi anti sm Antibodi antifosfolipidAntibodi antihiston Faktor reumatoid

a. Antibodi terhadap DNA

Peningkatan kadar antibodi ini menunjukkan adanya perkembangan penyakit ginja, terutama bila disertai dengan penurunan kadar komplemen. Antibodi ini dapat diukur melalui radioimmunoassay yang menggunakan dsDNA yang diberi label radioaktif, mikroskop fluoresens yang menggunakan protozoa Crithidia luciliae atau melalui Elisa

b. Antibodi terhadap Antigen Nuklear

Antibodi yang termasuk golongan ini contoh: anti sm, Ro/SS-A, dan La/SS-B. Antibodi tersebut berkaitan dengan LES. Antibodi Ro/S-A bekerja menggangu translasi RNA atau transport, dan berkaitan juga denga penyakit ginjal. Antibodi anti La/SS-B bekerja dengan mengganggu kerja enzim RNA polimerase III dan biasanya juga mempunyai hasil positif pada pemeriksaan antibodi anti Ro, sedangkan antibodi anti sm bekerja pada sintesis RNA dan pemisahan (messanger RNA syntesis dan spicing)

c. Antibodi antihiston

Banyak terdapat pada LES yang diinduksi obat, mempengaruhi sintesis RNA d. Antibodi antifosfolipid

Bertanggung jawab pada gangguan klinis dan laboratorium penderita LES misalnya trombosis arteri dan vena berulang, koma, trombositopenia, livedo retikular, dan hipertensi labil

e. Kompleks Imun

Hanya berpengaruh sedikit pada patogenesis LES. Krioglobulinemia pada penyakit lupus merupakan campuran dari IgM, IgG dan terkadang IgA poliklonal

26 | P a g e

Page 27: Skenario3 LUPUS

f. Komplemen

Penentuan kadar komplemen sangat penting dalam penegakan diagnosis LES aktif.Pemeriksaan dapat dilakukakan yaitu pemeriksaan komponen C3,C4,tau komponen hemolitik total (CH50)

g. Urinalisis dan Evaluasi Keterlibatan Ginjal

Pasien dengan lupus nefritis aktif biasanya mempunyai abnormalitas sedimen urin yang menandakan adanya keterlibatan ginjal. Proteinuria merupakan temuan normal yang paling sering namun hematuria dan silinder sel darah merah merupakan temuan khas.

h. Analisis Cairan Inflamasi

Cairan sinovial pada LES biasanya mengalami inflamasi dengan kadar sel darah putih yang rendah (kurang dari 2000 sel/mm3) kandungan protein eksudatif dan transudatif.Kadar komplemen di cairan sinovial juga rendah. Cairan pleura dapat mengandung protein yang meningkat,sel darah putih yang meningkat (2500-5000 sel) dengan dominasi sel mononuklear, dan penurunan kadar C3 dan C4

LI 4. Mengetahui dan menjelaskan tentang Bersabar dalam Menghadapi Cobaan

Ketahuilah, ujian dan cobaan di dunia merupakan sebuah keharusan, siapa pun tidak bisa terlepas darinya. Bahkan, itulah warna-warni kehidupan. Kesabaran dalam menghadapi ujian dan cobaan merupakan tanda kebenaran dan kejujuran iman seseorang kepada Allah SWTSesungguhnya ujian dan cobaan yang datang bertubi-tubi menerpa hidup manusia merupakan satu ketentuan yang telah ditetapkan oleh Allah Azza wa Jalla. Tidak satu pun diantara kita yang mampu menghalau ketentuan tersebut.

Keimanan, keyakinan, tawakkal dan kesabaran yang kokoh amatlah sangat kita butuhkan dalam menghadapi badai cobaan yang menerpa. Sehingga tidak menjadikan diri kita berburuk sangka kepada Allah SWT terhadap segala Ketentuan-Nya.

Oleh karena itu, dalam keadaan apapun, kita sebagai hamba yang beriman kepada Allah SWT harus senantiasa berbaik sangka kepada Allah. Dan haruslah diyakini bahwa tidaklah Allah menurunkan berbagai musibah melainkan sebagai ujian atas keimanan yang kita miliki. Allah sebagaimana tertulisa dalam firman-Nya  :  “Apakah kalian mengira bahwa kalian akan masuk ke dalam surga, padahal belum datang kepada kalian (cobaan) sebagaimana halnya orang-orang terdahulu sebelum kalian? Mereka ditimpa oleh malapetaka dan kesengsaraan, serta digoncangkan (dengan bermacam-macam goncangan) sehingga berkatalah Rasul dan orang-orang yang bersamanya : Bilakah datang pertolongan Allah? Ingatlah sesungguhnya pertolongan Allah amatlah dekat.” (QS. Al Baqarah : 214)

27 | P a g e

Page 28: Skenario3 LUPUS

Kesabaran merupakan perkara yang amat dicintai oleh Allah dan sangat dibutuhkan seorang muslim dalam menghadapi ujian atau cobaan yang dialaminya. Sebagaimana dalam firman-Nya :   “…Allah mencintai orang-orang yang sabar.” (QS. Al Imran : 146) Macam-Macam Kesabaran

Ibnul Qoyyim mengatakan dalam Madarijus Salikin : “Sabar adalah menahan jiwa dari keluh kesah dan marah, menahan lisan dari mengeluh serta menahan anggota badan dari berbuat tasywisy (tidak lurus). Sabar ada tiga macam, yaitu sabar dalam berbuat ketaatan kepada Allah, sabar dari maksiat, dan sabar dari cobaan Allah.”

Tingkatan sabar :

Sabar dari meninggalkan kemaksiatan karena takut ancaman Allah, Kita harus selalu berada dalam keimanan dan meninggalkan perkara yang diharamkan. Yang lebih baik lagi adalah, sabar dari meninggalkan kemaksiatan karena malu kepada Allah. Apabila kita mampu muraqabah (meyakini dan merasakan Allah sedang melihat dan mengawasi kita)  maka sudah seharusnya kita malu melakukan maksiat, karena kita menyadari bahwa Allah SWT selalu melihat apa yang kita kerjakan. Sebagaimana tertulis dalam firman-Nya, di surah Al Hadid ayat 4 ” …….. Dan Dia bersama kamu di mana saja kamu berada. Dan Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan”

Tingkatan sabar yang kedua adalah sabar dalam melaksanakan ketaatan kepada Allah, dengan terus-menerus melaksanakannya, memelihara keikhlasan dalam mengerjakannya dan memperbaikinya. Dalam menjalankan ketaatan, tujuannya hanya agar amal ibadah  yang dilakukan diterima Allah, tujuannya semata-mata ikhlas karena Allah SWT.

 Ada Beberapa Hal Yang Akan Menuntun Seorang Hamba Untuk Bisa Sabar Dalam Menghadapi Ujian Dan Cobaan, Sebagai Berikut :

1. Sebaiknya kita merenungkan dosa-dosa yang telah kita lakukan. Dan Allah menimpakan ujian atau musibah-musibah tersebut mungkin  disebabkan dosa-dosa kita . Sebagaimana firman Allah SWT :     “Dan apa saja musibah yang menimpa kamu maka adalah disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri, dan Allah memaafkan sebagian besar (dari kesalahan-kesalahanmu).” (Asy Syuro : 30).

  Apabila seorang hamba menyadari bahwa musibah-musibah yang menimpa disebabkan oleh dosa-dosanya. Maka dia akan segera bertaubat dan meminta ampun kepada Allah dari dosa-dosa yang telah dilakukannyaDan Nabi Muhammad saw bersabda:  “Tak seorang muslim pun yang ditimpa gangguan semisal tusukan duri atau yang lebih berat daripadanya, melainkan dengan ujian itu Allah menghapuskan perbuatan buruknya serta menggugurkan dosa-dosanya sebagaimana pohon kayu yang menggugurkan daun-daunnya.” (HR Bukhari dan Muslim). Jadi ujian dan cobaan, bisa sebagai penggugur dosa-dosa kita dan juga untuk mengangkat kita ke derajat keimanan yang lebih tinggi.

28 | P a g e

Page 29: Skenario3 LUPUS

2. Kita harus menyakini dengan seyakin-yakinnya, bahwa Allah selalu ada bersama kita. Dan Allah telah memberikan jaminan untuk kita dalam surah Al Baqarah ayat 286, bahwa ” Allah tidak akan membebani seseorang melainkan sesuai kesanggupannya.     Dan Allah cinta dan ridha kepada orang yang sabar. Sebagaimana ditegaskan dalam firman-Nya sbb:    dan sabarlah sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar. (QS Al Anfal : 46)   Dan Firman-Nya :     “…Dan Allah mencintai orang-orang yang sabar.” (QS.Al Imran : 146)Bersabarlah maka kita akan melihat betapa dekatnya kelapanganBarangsiapa yang muraqabah (merasa  diawasi) Allah dalam seluruh urusan, ia akan menjadi hamba Allah yang sabar dan berhasil melalui ujian apapun dalam hidupnya. Kesabaran yang didapatkan ini, berdasarkan pada petunjuk Allah dalam Al Quran,  surah At Thur ayat 48  : Dan bersabarlah dalam menunggu ketetapan Tuhanmu, maka sesungguhnya kamu berada dalam penglihatan Kami, dan bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu ketika kamu bangun berdiri”    Dan ketahuilah, bahwa barangsiapa yang mengharapkan Allah, maka   Allah akan ada dimana dia mengharap.

3. Kita harus mengetahui bahwa jika kita bersabar, maka akan mendatangkan ridha Allah, karena ridha Allah SWT, terdapat dalam kesabaran kita, terhadap segala ujian dan ketentuan takdir-Nya, yang kurang kita sukai.

Keutamaan Sabar

 Sabar memiliki kedudukan tinggi yang mulia dalam agama Islam. Oleh karena itu, Al Imam Ibnul Qayyim mengatakan bahwa sabar setengah dari keimanan dan setengahnya lagi adalah syukur. Lebih jelasnya, akan diuraikan beberapa penyebutan ash-shabr dalam Al Qur’an dengan uraian yang ringkas sebagai berikut:

1. Sabar Merupakan Perintah Mulia Dari Rabb Yang Maha MuliaAllah SWT berfirman :  “Hai orang-orang yang beriman, jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu, sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar,..” (QS. Al-Baqarah: 153)dalam ayat yang lain Allah SWT berfirman:  “Wahai orang-orang yang beriman bersabarlah dan kuatkanlah kesabaranmu,..…” (QS.Ali Imran: 200)Konteks (kandungan) dari kedua ayat diatas menerangkan bahwa sabar merupakan perintah dari Allah SWT. Sabar termasuk ibadah dari ibadah-ibadah yang Allah wajibkan kepada hamba-Nya. Terlebih lagi, Allah SWT kuatkan perintah sabar tersebut dalam ayat yang kedua. Barangsiapa yang memenuhi kewajiban itu, berarti ia telah menduduki derajat yang tinggi di sisi Allah SWT

2. Pujian Allah SWT Terhadap Orang-Orang Yang sabarAllah SWT memuji mereka sebagai orang-orang yang benar dalam keimanannya. Sebagaimana firman-Nya: “….. dan orang-orang yang sabar dalam kesempitan, penderitaan dan dalam peperangan. Mereka itulah orang yang benar (imannya). Dan mereka itulah orang-orang yang bertakwa.” (QS. Al-Baqarah: 177)

29 | P a g e

Page 30: Skenario3 LUPUS

Dalam kitab Madarijus Salikin 2/152 Al Imam Ibnul Qayyim, mengutarakan bahwa ayat yang seperti ini banyak terdapat dalam Al Qur’an. Sehingga keberadaan sabar dalam menghadapi ujian dan cobaan dari Allah adalah benar-benar menjadi barometer keimanan dan ketakwaan kepada Allah SWT.

3. Mendapat Kecintaan Dari Allah SWTSemua orang yang beriman berharap menjadi golongan orang-orang yang dicintai oleh Allah SWT.  Dan Allah mengabarkan kepada hamba-Nya bahwa golongan yang mendapatkan kecintaan-Nya adalah orang-orang yang sabar terhadap ujian dan cobaan dari-Nya. Sebagaimana ditegaskan dalam firman-Nya“…….., dan Allah itu menyukai/mencintai orang-orang yang sabar.” (QS. Ali Imran: 146). Dan Allah selalu bersama orang-orang yang sabar, seperti tertulis dalam firman-Nya:  “…..…dan bersabarlah, sesungguhnya Allah bersama dengan orang-orang yang sabar.” (QS. Al-Anfal: 46)Yang dimaksud dengan Allah bersama orang-orang yang sabar adalah penjagaan dan pertolongan Allah SWT selalu menyertai orang-orang yang sabar.  Sebagaimana pula diterangkan dalam hadits berikut ini:  “Ketahuilah olehmu! Bahwasannya datangnya pertolongan itu bersama dengan kesabaran.” (HR. At Tirmidzi, dari shahabat Ibnu ‘Abbas ra)

4. Shalawat, Rahmat dan Hidayah Bersama Orang Yang SabarAllah SWT senantiasa mencurahkan shalawat, rahmat dan hidayah-Nya kepada orang-orang yang sabar. Karena jika mereka ditimpa ujian dan cobaan dari Allah mereka kembalikan urusannya kepada Sang Pencipta, yang memilikinya. Sifat mulia yang dimiliki orang yang sabar ini dikisahkan oleh Allah dalam firman-Nya disurah Al Baqarah, ayat 156-157 :  “orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan: “Inna lillaahi wa innaa ilaihi raaji’uun (esungguhnya kami adalah milik Allah dan hanya kepada-Nya-lah kami kembal). Mereka itulah yang mendapat keberkatan yang sempurna dan rahmat dari Tuhan mereka dan mereka itulah orang-orang yang mendapat petunjuk.” Atas dasar ini, bila kita ditimpa musibah baik besar maupun kecil, dianjurkan mengucapkan kalimat ini, dan ini yang dinamakan dengan kalimat istirja’ (pernyataan kembali kepada Allah SWT). Kalimat istirja’ akan lebih sempurna lagi jika ditambah setelahnya dengan do’a yang diajarkan oleh baginda Nabi Muhammad saw  sebagai berikut :“Ya Allah, berilah ganjaran atas musibah yang menimpaku dan gantilah musibah itu yang lebih baik bagiku.” Barangsiapa yang membaca kalimat istirja’ dan berdo’a dengan do’a di atas niscaya Allah SWTakan menggantikan musibah yang menimpanya dengan sesuatu yang lebih baik. (Hadits riwayat Al Imam Muslim 3/918 dari shahabiyah Ummu Salamah.). Suatu ketika Ummu Salamah ditinggal suaminya Abu Salamah yang mati syahid di medan perang (jihad). Kemudian beliau mengucapkan do’a ini, sehingga Allah SWT memenuhi janji-Nya dengan memberikan pendamping (jodoh) baginya dengan sebaik-baik pendamping yaitu Rasulullah saw. Sesungguhnya Allah SWT tidak akan mengingkari janji-Nya.

30 | P a g e

Page 31: Skenario3 LUPUS

5. Mendapatkan Ganjaran Yang Lebih Baik Dari AmalannyaAllah SWT memberikan ganjaran bagi orang yang sabar melebihi usaha atau amalan yang ia lakukan. Sebagaimana firman-Nya :“……Akan tetapi jika kamu bersabar, sesungguhnya itulah yang lebih baik bagi orang-orang yang sabar.  “ (An Nahl: 126)Dalam ayat lainnya, Allah SWT menjanjikan akan memberikan jaminan kepada orang yang sabar dengan ganjaran tanpa hisab (tanpa batas). Sebagaimana firman-Nya :  “Katakanlah: “Hai hamba-hamba-Ku yang beriman. bertakwalah kepada Tuhanmu.” Orang-orang yang berbuat baik di dunia ini memperoleh kebaikan. Dan bumi Allah itu adalah luas. Sesungguhnya hanya orang-orang yang bersabarlah yang dicukupkan pahala mereka tanpa batas.    (Az Zumar: 10)

6. Mendapat Ampunan Dari Allah SWT Selain Allah memberikan ganjaran yang lebih baik dari amalannya kepada orang yang sabar, Allah juga memberikan ampunan kepada mereka. Sebagaimana tertulis dalam firman-Nya : ”kecuali orang-orang yang sabar (terhadap bencana), dan mengerjakan amal-amal saleh; mereka itu beroleh ampunan dan pahala yang besar”. (Hud: 11)Dari ‘Aisyah, beliau berkata: “Rasulullah saw bersabda:  “Tidak ada suatu musibah pun yang menimpa seorang muslim, melainkan Allah SWT telah menghapus dengan musibah itu dosanya. Meskipun musibah itu adalah duri yang menusuk dirinya.” (HR. Al-Bukhari no. 3405 dan Muslim 140-141/1062)

7. Mendapat Martabat Tinggi Di Dalam SurgaAnugerah yang lebih besar bagi orang-orang yang sabar adalah berhak mendapatkan martabat yang tinggi dalam Surga. Allah SWT berfirman : “Mereka itulah orang yang dibalasi dengan martabat yang tinggi (dalam syurga) karena kesabaran mereka dan mereka disambut dengan penghormatan dan ucapan selamat di dalamnya. (Al Furqaan: 75)

8. Sabar Adalah Jalan TerbaikSemua uraian di atas menunjukkan bahwa sabar ialah jalan yang terbaik bagi siapa saja yang menginginkan kebaikan dunia dan akhiratnya.Dari shahabat Shuhaib bin Sinan, Rasulullah saw bersabda :“Sungguh mengagumkan urusan orang mukmin, sungguh semua urusannya baik baginya, yang demikian itu tidaklah dimiliki seorang pun kecuali hanya orang yang beriman. Jika mendapat kebaikan (kemudian) ia bersyukur, maka itu merupakan kebaikan baginya, dan jika keburukan menimpanya (kemudian) ia bersabar, maka itu merupakan kebaikan baginya.” (HR. Muslim)

31 | P a g e

Page 32: Skenario3 LUPUS

Daftar Pustaka

Baratawidjaja Karnen Garna. 2009. Imunologi Dasar. Jakarta : Balai Penerbitan Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia

Davey, P. 2002. Medicine at a Glance. England : Blackwell Science Ltd.

Guerrant, R.L. 1991. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Harrison. Jakarta : Kedokteran EGC.

Isbagio H, Kasjmir Y.I, Setyohadi B, Suarjana N. (2006). Ilmu Penyakit Dalam. Edisi V, vol

III Jakarta : Departemen Penyakit Dalam FKUI.

http://info.medion.co.id/index.php/artikel/layer/pengobatan-a-vaksinasi/metode-uji-serologis/2-

pengobatan-a-vaksinasi/74-artikel-uji-serologis

32 | P a g e