REFERAT ABSES PERITONSILER

30
REFERAT ABSES PERITONSILER Pembimbing : Dr.Zirmacatra Sp.THT Oleh : Miya Elmira (110.2007.178) Yesika Okta S (110.2007.298) FK UNIVERSITAS YARSI

description

THT

Transcript of REFERAT ABSES PERITONSILER

Page 1: REFERAT ABSES PERITONSILER

REFERAT

ABSES PERITONSILER

Pembimbing :

Dr.Zirmacatra Sp.THT

Oleh :

Miya Elmira (110.2007.178)

Yesika Okta S (110.2007.298)

FK UNIVERSITAS YARSI

RSUD SOREANG BANDUNG

Page 2: REFERAT ABSES PERITONSILER

BAB I

PENDAHULUAN

Abses peritonsil dapat terjadi pada umur 10-60 tahun, namun paling

sering terjadi pada umur 20-40 tahun. Pada anak-anak jarang terjadi kecuali pada

mereka yang menurun sistem imunnya, tapi infeksi bisa menyebabkan obstruksi

jalan napas yang signifikan pada anak-anak. Infeksi ini memiliki proporsi

yang sama antara laki-laki dan perempuan. Bukti menunjukkan bahwa tonsilitis

kronik atau percobaan multipel penggunaan antibiotik oral untuk

tonsilitis akut merupakan predisposisi pada orang untuk berkembangnya abses

peritonsil. Di Amerika insiden tersebut kadang-kadang berkisar 30 kasus per

100.000 orang per tahun, dipertimbangkan hampir 45.000 kasus setiap tahun.15

. Abses leher dalam terbentuk dalam ruang potensial diantara fasia

leher dalam sebagai akibat dari penjalaran infeksi dari berbagai sumber,

seperti gigi, mulut, tenggorok, sinus paranasal, telinga tengah dan leher

tergantung ruang mana yang terlibat. Gejala dan tanda klinik dapat berupa

nyeri dan pembengkakan. Abses peritonsil (Quinsy) merupakan salah satu dari

Abses leher dalam dimana selain itu abses leher dalam dapat juga abses

retrofaring, abses parafaring, abses submandibula dan angina ludovici (Ludwig

Angina) . 6

. Abses peritonsil adalah penyakit infeksi yang paling sering terjadi pada

bagian kepala dan leher. Gabungan dari bakteri aerobic dan anaerobic di daerah

peritonsil. Tempat yang bisa berpotensi terjadinya abses adalah adalah didaerah

pillar tonsil anteroposterior, fossa piriform inferior, dan palatum superior.15

. Abses peritonsil terbentuk oleh karena penyebaran organisme

bakteri penginfeksi tenggorokan kesalah satu ruangan areolar yang longgar

disekitar faring menyebabkan pembentukan abses, dimana infeksi telah

menembus kapsul tonsil tetapi tetap dalam batas otot konstriktor faring.1

Page 3: REFERAT ABSES PERITONSILER

BAB II

ABSES PERITONSIL

1. Anatomi

Tonsil palatina adalah massa jaringan limfoid yang terletak didalam

fosa tonsillaris pada dinding lateral orofaring. Tonsil palatina merupakan

bagian dari cincin waldeyer. Jaringan limfoid yang mengelilingi faring,

pertama kali digambarkan anatominya oleh Heinrich von Waldeyer, seorang

ahli anatomi Jerman. Jaringan limfoid lainnya yaitu adenoid (tonsil

pharingeal), tonsil lingual, pita lateral faring dan kelenjar-kelenjar limfoid.

Kelenjar ini tersebar dalam fossa Rossenmuler, dibawah mukosa dinding

faring posterior faring dan dekat orificium tuba eustachius (tonsil Gerlach’s).10

Faring dibagi menjadi nasofaring, orofaring dan laringofaring.

Nasofaring merupakan bagian dari faring yang terletak diatas pallatum molle,

orofaring yaitu bagian yang terletak diantara palatum molle dan tulang hyoid,

sedangkan laringofaring bagian dari faring yang meluas dari tulang hyoid

sampai ke batas bawah kartilago krikoid. Orofaring terbuka ke rongga mulut

pada pilar anterior faring. Pallatum molle (vellum palati) terdiri dari serat otot

yang ditunjang oleh jaringan fibrosa yang dilapisi oleh mukosa. Penonjolan di

median membaginya menjadi dua bagian. Bentuk seperti kerucut yang terletak

disentral disebut uvula.5

Page 4: REFERAT ABSES PERITONSILER

Gambar 1. Anatomi rongga mulut

Tonsil palatina terdiri dari9:

Korteks : Di dalam nya terdapat germinating folikel, tempat

pembentukan limfosit, plasma sel.

Medula : Terdiri dari jaringan ikat yang merupakan kerangka

penyokong tonsil & berhubungan dengan kripta.

Batas-batas tonsil palatina9:

Lateral : Kapsul fibrous yang berhubungan dengan fasia

pharingo-basilaris yang menutupi m. konstriktor pharing

superior. Masuk ke dalam parenkim tonsil akan

membentuk septa dan membawa pembuluh darah dan saraf.

Medial : Mukosa yang dibentuk oleh epitel selapis gepeng,

kripta, dan mikrokripta.

Posterior : Pilar posterior yang dibentuk oleh

palatopharingeus yang berjalan dari bagian bawah pharing

menuju aponeurosis palatum molle.

Anterior : Pilar anterior yang dibentuk oleh palatoglossus

yang berjalan dari permukaan bawah lidah menuju

aponeurosis palatum molle.

Page 5: REFERAT ABSES PERITONSILER

Palatoglosus mempunyai origo seperti kipas di permukaan oral

palatum mole dan berakhir pada sisi lateral lidah. Palatofaringeus

merupakan otot yang tersusun vertikal dan diatas melekat pada palatum

mole, tuba eustachius dan dasar tengkorak. Otot ini meluas kebawah

sampai kedinding atas esofagus. Otot ini lebih penting daripada

palatoglosus dan harus diperhatikan pada operasi tonsil agar tidak melukai

otot ini. Kedua pilar bertemu diatas untuk bergabung dengan paltum mole.

Di inferior akan berpisah dan memasuki jaringan pada dasar lidah dan

lateral dinding faring.

Plika triangularis (tonsilaris) merupakan lipatan mukosa yang tipis,

yang menutupi pilar anterior dan sebagian permukaan anterior tonsil. Plika

semilunaris (supratonsil) adalah lipatan sebelah atas dari mukosa yang

mempersatukan kedua pilar. Fossa supratonsil merupakan celah yang

ukurannya bervariasi yang terletak diatas tonsil diantara pilar anterior dan

posterior. Celah atau ruangan ini terjadi karena tonsil tidak mengisi penuh

fossa tonsil. Tonsil palatina lebih padat dibandingkan jaringan limfoid

lain, berbentuk oval dengan panjang 2-5 cm, Permukaan sebelah dalam

tertutup oleh membran epitel skuamosa berlapis yang sangat melekat.

Permukaan lateral-nya ditutupi oleh kapsul tipis dan di permukaan medial

terdapat kripta. Kripta tonsil berbentuk saluran tidak sama panjang dan

masuk ke bagian dalam jaringan tonsil yang mengandung jaringan limfoid

dan disekelilingnya terdapat jaringan ikat. Ditengah kripta terdapat muara

kelenjar mukus. Permukaan kripta ditutupi oleh epitel yang sama dengan

epitel permukaan medial tonsil. Umumnya berjumlah 8-20 buah untuk

masing-masing tonsil, kebanyakan terjadi penyatuan beberapa kripta.

Saluran kripta ke arah luar biasanya bertambah luas. Secara klinik kripta

dapat merupakan sumber infeksi, baik lokal maupun umum karena dapat

terisi sisa makanan, epitel yang terlepas, kuman.10

Page 6: REFERAT ABSES PERITONSILER

Gambar 1. Anatomi Tonsil Palatina dan jaringan sekitarnya.

Bagian luar tonsil terikat pada m.konstriktor faringeus superior,

sehingga tertekan setiap kali menelan, m. palatoglusus dan m.

palatofaring juga menekan tonsil. Selama masa embrio, tonsil terbentuk

dari kantong pharyngeal kedua sebegai tunas dari sel endodermal.

Singkatnya setelah lahir, tonsil tumbuh secara irregular dan sampai

mencapai ukuran dan bentuk, tergantung dari jumlah adanya jaringan

limphoid.5

Struktur di lateral terdapat kapsul yang dipisahkan dari

m.konstriktor faring superior oleh jaringan areolar longgar. V. palatina

externa berjalan turun dari palatum molle dalam jaringan ikat longgar ini,

untuk bergabung dengan pleksus venosus pharyngeus. Lateral terhadap

m.konstriktor faring superior terdapat m. styloglossus dan lengkung

a.facialis. A. Carotis interna terletak 2,5 cm di belakang dan lateral

tonsilla.8

Page 7: REFERAT ABSES PERITONSILER

Tonsilla palatina mendapat vaskularisasi dari ramus tonsillaris

yang merupakan cabang dari arteri facialis, cabang – cabang a. lingualis, a.

palatina ascendens a. pharyngea ascendens. Sedangkan inervasinya

diperoleh dari n. glossopharyngeus dan n. palatinus minor. Pembuluh

limfe masuk dalam nl. cervicales profundi. Nodus paling penting pada

kelompok ini adalah nodus jugulodigastricus, yang terletak di bawah dan

belakang angulus mandibulae.10

Ruang Peritonsiler3,12

Ruang peritonsil letaknya berbatasan sebelah medial dengan kapsul

tonsil palatine, sebelah lateral dengan muskulus kontriktor faring superior,

sebelah anterior dengan pilar anterior dan sebelah posterior dengan pilar

posterior.

Akumulasi nodus berlokasi di antara kapsul tonsil palatinus dan

otot-otot konstriktor pharynx. Pillar anterior dan posterior, torus tubarius

(superior), dan sinus piriformis (inferior) membentuk batas-batas potential

peritonsillar space.

2. Fisiologi

2.1 Faring

Fungsi faring terutama untuk pernapasan, menelan, resonansi suara

dan artikulasi. Proses penelanan dibagi menjadi tiga tahap. Pertama,

gerakan makanan dari mulut ke faring secara volunter. Tahap kedua,

transport makanan melalui faring, dan tahap ketiga, jalannya bolus

melalui esofagus, keduanya secara involunter. Langkah yang sebenarnya

adalah : pengunyahan makanan dilakukan pada sepertiga tengah lidah.

Elevasi lidah dan palatum mole mendorong bolus ke orofaring. Otot

suprahioid berkontraksi, elevasi tulang hioid dan laring dan dengan

demikian membuka hipofaring dan sinur piriformis. Secara bersamaan otot

laringis intrinsik berkontraksi dalam gerakan seperti sfingter untuk

mencegah aspirasi. Gerakan yang kuat dari lidah bagian belakang akan

Page 8: REFERAT ABSES PERITONSILER

mendorong makanan ke bawah melalui orofaring, gerakan dibantu oleh

kontraksi otot konstriktor faringis media dan superior. Bolus dibawa

melalui introitus esofagus ketika otot konstriktor faringis inferior

berkontraksi dan otot krikofaringeus berelaksasi. Peristaltik dibantu oleh

gaya berat, menggerakkan makanan melalui esofagus dan masuk ke

lambung.6

2.2 Laring6

Walaupun laring biasanya dianggap sebagai organ penghasil suara,

namun ternyata mempunyai tiga fungsi utama, yaitu proteksi jalan napas,

respirasi, dan fonasi. Kenyataannya, secara filogenetik, laring mula-mula

berkembang sebagai suatu sfingter yang melindungi saluran pernapasan,

sementara perkembangan suara merupakan peristiwa yang terjadi

belakangan.

Perlindungan jalan napas selama aksi menelan terjadi melalui

berbagai mekanisme berbeda. Aditus laringis sendiri tertutup oleh kerja

sfingter dari otot tiroaritenoideus dalam plika ariepiglotika dan korda

vokalis palsu, di samping aduksi korda vokalis sejati dan aritenoid yang

ditimbulkan oleh otot intrinsik laring lainnya. Elevasi laring di bawah

pangkal lidah melindungi laring lebih lanjut dengan mendorong epiglotis

dan plika ariepiglotika ke bawah menutup aditus. Struktur ini mengalihkan

makanan ke lateral, menjauhi aditus laringis dan masuk ke sinus

piriformis, selanjutnya ke introitus esofagi. Relaksasi otot krikofaringeus

yang terjadi bersamaan mempermudah jalan makanan ke dalam esofagus

sehingga tidak masuk ke laring. Di samping itu, respirasi juga dihambat

selama proses menelan melalui suatu refleks yang diperantarai reseptor

pada mukosa daerah supraglotis. Hal ini mencegah inhalasi makanan atau

saliva.

Pada bayi posisi laring yang lebih tinggi memungkinkan kontak

antara epilglotis dengan permukaan posterior palatum mole. Maka bayi-

Page 9: REFERAT ABSES PERITONSILER

bayi dapat bernapas selama laktasi tanpa masuknya makanan ke jalan

napas.

Selama respirasi, tekanan intratoraks dikendalikan oleh berbagai

derajat penutupan korda vokalis sejati. Perubahan tekanan ini membantu

sistem jantung seperti juga ia mempengaruhi pengisian dan pengosongan

jantung dan paru. Selain itu, bentuk korda vokalis palsu dan sejati

memungkinkan laring berfungsi sebagai katub tekanan bila menutup,

memungkinkan peningkatan tekanan intratorakal yang diperlukan untuk

tindakan-tindakan mengejan, misalnya mengangkat berat atau defekasi.

Pelepasan tekanan secara mendadak menimbulkan batuk yang berguna

untuk mempertahankan ekspansi alveoli terminal dari paru dan

membersihkan sekret atau partikel makanan yang berakhir dalam aditus

laringis, selain semua mekanisme proteksi lain yang disebutkan di atas.

Namun, pembentukan suara agaknya merupakan fungsi laring yang

paling kompleks dan paling baik diteliti. Korda vokalis sejati yang

terduksi, kini diduga berfungsi sebagai suatu alat bunyi pasif yang bergetar

akibat udara yang dipaksa antara korda vokalis sebagai akibat kontraksi

otot-otot ekspirasi. Nada dasar yang dihasilkan dapat dimodifikasi dengan

berbagai cara. Otot intrinsik laring ( dan krikotiroideus) berperan penting

dalam penyesuaian tinggi nada dengan mengubah bentuk dan massa

ujung-ujung bebas korda vokalis sejati dan tegangan korda itu sendiri.

Otot ekstralaring juga dapat ikut berperan. Semuanya ini dipantau melalui

suatu mekanisme umpan balik yang terdiri dari telinga manusia dan suatu

sistem dalam laring sendiri yang kurang dimengerti. Sebaliknya, kekerasan

suara pada hakekata proporsional dengan tekanan aliran udara subglotis

yang menimbulkan gerakan korda vokalis sejati. Di lain pihak, berbisik

diduga terjadi akibat lolosnya udara melalui komisura posterior di antara

aritenoid yang terabduksi tanpa getaran korda vokalis sejati

2.3 Tonsil

Page 10: REFERAT ABSES PERITONSILER

Tonsil dan adenoid adalah jaringan limfoid pada faring posterior di

area cincin Waldeyer. Fungsinya adalah untuk melawan infeksi.15

3. Definisi

Abses peritonsil adalah penyakit infeksi yang paling sering terjadi

pada bagian kepala dan leher. Gabungan dari bakteri aerobic dan anaerobic

di daerah peritonsilar. Tempat yang bisa berpotensi terjadinya abses adalah

adalah didaerah pillar tonsil anteroposterior, fossa piriform inferior, dan

palatum superior.15

Abses Peritonsil (PTA) merupakan kumpulan/timbunan

(accumulation) pus (nanah) yang terlokalisir/terbatas (localized) pada

jaringan peritonsillar yang terbentuk sebagai hasil dari suppurative

tonsillitis. 3

Abses peritonsil merupakan infeksi akut atau abses yang berlokasi

di spatium peritonsiler, yaitu daerah yang terdapat di antara tonsil dengan

m. kontriktor superior, biasanya unilateral dan didahului oleh infekrsi

tonsilopharingitis akut 5-7 hari sebelumnya.2

4. Epidemiologi

Abses peritonsil dapat terjadi pada umur 10-60 tahun, namun

paling sering terjadi pada umur 20-40 tahun. Pada anak-anak jarang terjadi

kecuali pada mereka yang menurun sistem immunnya, tapi infeksi bisa

menyebabkan obstruksi jalan napas yang signifikan pada anak-anak.

Infeksi ini memiliki proporsi yang sama antara laki-laki dan perempuan.

Bukti menunjukkan bahwa tonsilitis kronik atau percobaan multipel

penggunaan antibiotik oral untuk tonsilitis akut merupakan predisposisi

pada orang untuk berkembangnya abses peritonsiler. Di Amerika insiden

tersebut kadang-kadang berkisar 30 kasus per 100.000 orang per tahun,

dipertimbangkan hampir 45.000 kasus setiap tahun. 15

5. Etiologi

Page 11: REFERAT ABSES PERITONSILER

Proses ini terjadi sebagai komplikasi tonsilitis akut atau infeksi

yang bersumber dari kelenjar mukus Weber di kutub atas tonsil. Biasanya

kuman penyebab sama dengan penyebab tonsilitis, dapat ditemukan

kuman aerob dan anaerob.14

Organisme aerob yang paling sering menyebabkan abses

peritonsiler adalah Streptococcus pyogenes (Group A Beta-hemolitik

streptoccus), Staphylococcus aureus, dan Haemophilus influenzae.

Sedangkan organisme anaerob yang berperan adalah Fusobacterium.

Prevotella, Porphyromonas, Fusobacterium,dan Peptostreptococcus spp.

Untuk kebanyakan abses peritonsiler diduga disebabkan karena kombinasi

antara organisme aerobik dan anaerobic.4

6. Patologi14

Patofisiologi PTA belum diketahui sepenuhnya. Namun, teori yang

paling banyak diterima adalah kemajuan (progression) episode tonsillitis

eksudatif pertama menjadi peritonsillitis dan kemudian terjadi

pembentukan abses yang sebenarnya (frank abscess formation).

Daerah superior dan lateral fosa tonsilaris merupakan

jaringan ikat longgar, oleh karena itu infiltrasi supurasi ke ruang

potensial peritonsil tersering menempati daerah ini, sehingga tampak

palatum mole membengkak. Abses peritonsil juga dapat terbentuk di

bagian inferior, namun jarang. Pada stadium permulaan, (stadium

infiltrat), selain pembengkakan tampak juga permukaan yang hiperemis.

Bila proses berlanjut, daerah tersebut lebih lunak dan berwarna kekuning-

kuningan. Tonsil terdorong ke tengah, depan, dan bawah, uvula bengkak

dan terdorong ke sisi kontra lateral. Bila proses terus berlanjut,

peradangan jaringan di sekitarnya akan menyebabkan iritasi pada

m.pterigoid interna, sehingga timbul trismus. Abses dapat pecah

spontan, sehingga dapat terjadi aspirasi ke paru.

7. Gejala klinis

Page 12: REFERAT ABSES PERITONSILER

Abses peritonsil akan menggeser kutub superior tonsil ke arah

garis tengah dan dapat diketahui derajat pembengkakan yang ditimbulkan

di palatum molle. Terdapat riwayat faringitis akut, tonsillitis, dan rasa

tidak nyaman pada tenggorokan atau faring unilateral yang semakin

memburuk. Keparahan dan progresivitasnya ditunjukkan dari trismus.

Kebanyakan pasien menderita nyeri hebat.13

Gejala yang dikeluhkan pasien antara lain panas sub febris,

disfagia dan odinofagia yang menyolok dan spontan, “hot potato voice”,

mengunyah terasa sakit karena m. masseter menekan tonsil yang

meradang, nyeri telinga (otalgia) ipsilateral, foetor ex orae, perubahan

suara karena hipersalivasi dan banyak ludah yang menumpuk di faring,

rinolalia aperta karena udem palatum molle (udem dapat terjadi karena

infeksi menjalar ke radix lingua dan epiglotis = udem perifokalis), trismus

(terbatasnya kemampuan untuk membuka rongga mulut) yang bervariasi,

tergantung derajat keparahan dan progresivitas penyakit, trismus

menandakan adanya inflamasi dinding lateral faring dan m. Pterigoid

interna, sehingga menimbulkan spasme muskulus tersebut. Akibat

limfadenopati dan inflamasi otot, pasien sering mengeluhkan nyeri leher

dan terbatasnya gerakan leher (torticolis).9,15

Page 13: REFERAT ABSES PERITONSILER

Gambar 3. tonsillitis akut (sebelah kiri) dan abses peritonsil (sebelah kanan).

Gambar 4. Abses peritonsiler

8. Diagnosis

Page 14: REFERAT ABSES PERITONSILER

Pemeriksaan Fisik

Pada pemeriksaan fisik, didapatkan tonsilitis akut dengan asimetri

faring sampai dehidrasi dan sepsis. Didapatkan pembesaran dan nyeri

tekan pada kelenjar regional. Pada pemeriksaan kavum oral terdapat

eritema, asimetri palatum mole, eksudasi tonsil, dan pergeseran uvula

kontralateral. Dan pada palpasi palatum molle teraba fluktuasi. .6

Nasofaringoskopi dan laringoskopi fleksibel direkomendasikan pada

pasien yang mengalami kesulitan bernapas, untuk melihat ada tidaknya

epiglotitis dan supraglotis.14,15

Pemeriksaan penunjang

PTA biasanya unilateral dan terletak di pole superior dari tonsil

yang terkena, di fossa supratonsillar. Mukosa di lipatan supratonsillar

tampak pucat dan bahkan seperti bintil – bintil kecil.12

Palpasi daerah palatum mole terdapat fluktuasi. Nasofaringoskopi

dan laringoskopi fleksibel direkomendasikan untuk penderita yang

mengalami gangguan pernafasan.13

Prosedur diagnosis yaitu dengan melakukan aspirasi jarum. Tempat

yang akan dilakukaan aspirasi dibius atau dianestesi menggunakan

lidokain dan epinephrine dengan menggunakan jarum besar (berukuran

16–18) yang biasa menempel pada syringe berukuran 10cc. Aspirasi

material yang purulen merupakan tanda khas, dan material dapat dikirim

untuk dibiakkan untuk mengetahui organisme penyebab infeksi demi

kepentingan terapi antibiotika.11,14

Pada penderita PTA perlu dilakukan pemeriksaan3:

1. Hitung darah lengkap (complete blood count), pengukuran kadar

elektrolit (electrolyte level measurement), dan kultur darah (blood

cultures). Karena pasien dengan abses peritonsil seringkali dalam keadaan

Page 15: REFERAT ABSES PERITONSILER

sepsis dan menunjukkan tingkat dehidrasi yang bervariasi akibat tidak

tercukupinya asupan makanan.

2. Tes Monospot (antibodi heterophile) perlu dilakukan pada pasien

dengan tonsillitis dan bilateral cervical lymphadenopathy. Jika hasilnya

positif, penderita memerlukan evaluasi/penilaian hepatosplenomegaly.

Liver function tests perlu dilakukan pada penderita dengan hepatomegaly.

3. “Throat culture” atau “throat swab and culture”: diperlukan untuk

identifikasi organisme yang infeksius. Hasilnya dapat digunakan untuk

pemilihan antibiotik yang tepat dan efektif, untuk mencegah timbulnya

resistensi antibiotik.

4. Plain radiographs: pandangan jaringan lunak lateral (Lateral soft tissue

views) dari nasopharynx dan oropharynx dapat membantu dokter dalam

menyingkirkan diagnosis abses retropharyngeal.

5. Computerized tomography (CT scan): biasanya tampak kumpulan

cairan hypodense di apex tonsil yang terinfeksi (the affected tonsil),

dengan “peripheral rim enhancement”. Gambaran lainnya termasuk

pembesaran asimetrik tonsil dan fossa sekitarnya.

6. Ultrasound, contohnya: intraoral ultrasonography merupakan teknik

pencitraan yang simpel dan non-invasif, dapat membedakan selulitis dan

abses.

9. Komplikasi7

Komplikasi abses peritonsil dapat berupa edema laring akibat

tertutupnya rima glotis atau edema glotis akibat proses perluasan radang ke

bawah. Keadaan ini membahayakan karena bisa menyebabkan obstruksi jalan

napas. Abses yang pecah secara spontan terutama waktu tidur dapat

mengakibatkan aspirasi pneumonia dan piemia. Abses yang ruptur spontan

biasanya pecah dari pilar anterior. Penjalaran infeksi dan abses ke daerah

parafaring, sehingga dapat terjadi abses parafaring. Kemudian dapat terjadi

Page 16: REFERAT ABSES PERITONSILER

penjalaran ke mediastinum menimbulkan mediastinitis. Bila terjadi

penjalaran ke daerah intrakranial, dapat mengakibatkan trombus sinus

kavernosus, meningitis, dan abses otak. Sekuele poststreptokokus

(glomerulonefritis, demam rhematik) apabila bakteri penyebab infeksi adalah

streptococcus Grup A. Kematian, walaupun jarang dapat terjadi akibat

perdarahan atau nekrosis septik ke selubung karotis atau carotid sheath.

Dapat juga terjadi peritonsilitis kronis dengan aliran pus yang

berjeda.Komplikasi juga terjadi akibat tindakan insisi pada abses akibat

perdarahan yang terjadi pada arteri supratonsilar.

Sejumlah komplikasi klinis lainnya dapat terjadi jika diagnosis

PTA diabaikan. Beratnya komplikasi tergantung dari progresivitas penyakit.

Untuk itulah diperlukan penanganan dan intervensi sejak dini.

10. Penatalaksanaan

Pada stadium infiltrasi, diberikan antibiotika dosis tinggi

dan obat simtomatik. Juga perlu kumur-kumur dengan air hangat dan

kompres dingin pada leher. Antibiotik yang diberikan ialah penisilin

600.000-1.200.000 unit atau ampisilin/amoksisilin 3-4 x 250-500 mg atau

sefalosporin 3-4 x 250-500 mg, metronidazol 3-4 x 250-500 mg2. Bila telah

terbentuk abses, dilakukan pungsi pada daerah abses, kemudian diinsisi

untuk mengeluarkan nanah. Tempat insisi ialah di daerah yang paling

menonjol dan lunak, atau pada pertengahan garis yang menghubungkan

dasar uvula dengan geraham atas terakhir. Intraoral incision dan

drainase dilakukan dengan mengiris mukosa overlying abses, biasanya

diletakkan di lipatan supratonsillar. Drainase atau aspirate yang sukses

menyebabkan perbaikan segera gejala-gejala pasien.Bila terdapat trismus,

maka untuk mengatasi nyeri, diberikan analgesia lokal di ganglion

sfenopalatum.Kemudian pasien dinjurkan untuk operasi tonsilektomi “a”

chaud. Bila tonsilektomi dilakukan 3-4 hari setelah drainase abses disebut

tonsilektomi “a” tiede, dan bila tonsilektomi 4-6 minggu sesudah

drainase abses disebut tonsilektomi “a” froid. Pada umumnya

Page 17: REFERAT ABSES PERITONSILER

tonsilektomi dilakukan sesudah infeksi tenang, yaitu 2-3 minggu sesudah

drainase abses.14

Tonsilektomi merupakan indikasi absolut pada orang yang

menderita abses peritonsilaris berulang atau abses yang meluas pada ruang

jaringan sekitarnya. Abses peritonsil mempunyai kecenderungan besar untuk

kambuh. Sampai saat ini belum ada kesepakatan kapan tonsilektomi

dilakukan pada abses peritonsil. Sebagian penulis menganjurkan

tonsilektomi 6–8 minggu kemudian mengingat kemungkinan terjadi

perdarahan atau sepsis, sedangkan sebagian lagi menganjurkan

tonsilektomi segera.10

Penggunaan steroids masih kontroversial. Penelitian terbaru

yang dilakukan Ozbek mengungkapkan bahwa penambahan dosis tunggal

intravenous dexamethasone pada antibiotik parenteral telah terbukti

secara signifikan mengurangi waktu opname di rumah sakit (hours

hospitalized), nyeri tenggorokan (throat pain), demam, dan trismus

dibandingkan dengan kelompok yang hanya diberi antibiotik parenteral.

11. Prognosis3

Abses peritonsil hampir selalu berulang bila tidak diikuti

dengan tonsilektomi., maka difunda sampai 6 minggu berikutnya.

Pada saat tersebut peradangan telah mereda, biasanya terdapat jeringan

fibrosa dan granulasi pada saat operasi.

Page 18: REFERAT ABSES PERITONSILER

BAB III

KESIMPULAN

Abses peritonsil merupakan infeksi akut atau abses yang berlokasi di

spatium peritonsiler, yaitu daerah yang terdapat di antara tonsil dengan m.

kontriktor superior, biasanya unilateral dan didahului oleh infekrsi

tonsilopharingitis akut 5-7 hari sebelumnya. Abses peritonsil dapat terjadi pada

umur 10-60 tahun, namun paling sering terjadi pada umur 20-40 tahun.

Organisme aerob yang paling sering menyebabkan abses peritonsiler adalah

Streptococcus pyogenes (Group A Beta-hemolitik streptoccus), Staphylococcus

aureus, dan Haemophilus influenzae. Sedangkan organisme anaerob yang

berperan adalah Fusobacterium. Prevotella, Porphyromonas, Fusobacterium,dan

Peptostreptococcus spp. Untuk kebanyakan abses peritonsiler diduga disebabkan

karena kombinasi antara organisme aerobik dan anaerobic.

Gejala yang dikeluhkan pasien antara lain panas sub febris, disfagia dan

odinofagia yang menyolok dan spontan, “hot potato voice”, mengunyah terasa

sakit karena m. masseter menekan tonsil yang meradang, nyeri telinga (otalgia)

ipsilateral, foetor ex orae, perubahan suara karena hipersalivasi dan banyak ludah

yang menumpuk di faring, rinolalia aperta karena udem palatum molle (udem

dapat terjadi karena infeksi menjalar ke radix lingua dan epiglotis = udem

perifokalis), trismus (terbatasnya kemampuan untuk membuka rongga mulut)

yang bervariasi, tergantung derajat keparahan dan progresivitas penyakit, trismus

menandakan adanya inflamasi dinding lateral faring dan m. Pterigoid interna,

sehingga menimbulkan spasme muskulus tersebut. Akibat limfadenopati dan

inflamasi otot, pasien sering mengeluhkan nyeri leher dan terbatasnya gerakan

leher (torticolis). Pada pemeriksaan fisik, didapatkan tonsilitis akut dengan

asimetri faring sampai dehidrasi dan sepsis. Didapatkan pembesaran dan nyeri

tekan pada kelenjar regional. Pada pemeriksaan kavum oral terdapat eritema,

asimetri palatum mole, eksudasi tonsil, dan pergeseran uvula kontralateral. Pada

stadium infiltrasi, diberikan antibiotika dosis tinggi dan obat simtomatik.

Juga perlu kumur-kumur dengan air hangat dan kompres dingin pada leher.

Antibiotik yang diberikan ialah penisilin 600.000-1.200.000 unit atau

Page 19: REFERAT ABSES PERITONSILER

ampisilin/amoksisilin 3-4 x 250-500 mg atau sefalosporin 3-4 x 250-500 mg,

metronidazol 3-4 x 250-500 mg2. Bila telah terbentuk abses, dilakukan pungsi

pada daerah abses, kemudian diinsisi untuk mengeluarkan nanah.

DAFTAR PUSTAKA

1. Adrianto, Petrus. 1986. Penyakit Telinga, Hidung dan Tenggorokan, 296,

308-309. EGC, Jakarta

2. Anonim. Abses Peritonsiler. Available from :

http://www.docstoc.com/docs/23337423/Abses-Peritonsiler. diakses pada

tanggal : 31 Maret 2011

3. Anurogo, Dito. 2008. Tips Praktis Mengenali Abses Peritonsil. Accessed:

http://www.kabarindonesia.com/berita.php?pil=3&dn=20080125161248

4. Bailey, Byron J, MD. Tonsillitis, Tonsillectomy, and Adenoidectomy. In :

Head and Neck Surgey-Otolaryngology 2nd Edition. Lippincott_Raven

Publisher. Philadelphia. P :1224, 1233-34

5. Becker W, Naumann HH, Pfaltz CR. Applied anatomy and physiology

mouth and pharynx. In: Richard AB (ed). Ear, Nose and Throat Disease, a

pocket reference. 2nd rev.ed. New York: Thieme Flexibook 1994:307 -315

6. Efendi H: Penyakit-Penyakit Nasofaring Dan Orofaring. Dalam: Boies,

Buku Ajar Penyakit THT Edisi VI, EGC, Jakarta, 1997. Hal 333

7. Fachruddin, Darnila. Abses Leher Dalam. Dalam: Buku Ajar Ilmu

Kesehatan, Telinga-Hidung-Tenggorokan Edisi V, Balai Penerbit FKUI,

Jakarta, 2006. Hal. 185

8. Gray RF, Hawthrorne M. Anatomy of the mouth and pharynx. In: Synopsis

of Otolaryngology. 5th.ed. Singapore: Butterworth Heinemann 1992: 288

– 304.

9. Hasibuan R, A.H. Sp THT. Pharingologi, Jala Penerbit, Jakarta, 2004. hal.

38, 55-8

Page 20: REFERAT ABSES PERITONSILER

10. Hatmansjah. Tonsilektomi. Cermin Dunia Kedokteran Vol. 89, 1993.

Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, hal : 19-21.

11. Iskandar H.N; Mangunkusumo E.H; Roezin A.H: Penyakit, Telinga,

Hidung, Tenggorok, Kepala, dan Leher, Binarupa Aksara, Jakarta, 1994.

Hal 350-52

12. Preston, M. 2008. Peritonsillar Abscess (Quinsy). accessed:

http://www.patient.co.uk/showdoc/40000961/

13. Steyer, T. E. 2002. Peritonsillar Abscess: Diagnosis and Treatment.

accessed:http://www.aafp.org/afp/20020101/93.html

14. Soepardi,E.A, Iskandar, H.N, Abses Peritonsiler, Buku Ajar Ilmu

Kesehatan Telinga, Hidung dan Tenggorokan, Jakarta: FKUl, 2000; 185-

89.

15. Tan AJ. 2010. Peritonsillar abscess in emergency medicine. Available

from: http://emedicine.medscape.com/article/764188-overview. diakses

pada tanggal 31 Maret 2011