Referat 2 - CMV - Kel 7 A4 (Edit)

27
I. PENDAHULUAN Infeksi Cytomegalovirus (CMV) dalam sering dikelompokkan dalam infeksi TORCH yang merupakan singkatan dari Toxoplasma, Rubella, Cytomegalovirus, dan Herpes simplex virus. Seperti pada infeksi TORCH, infeksi CMV dipopulerkan sebagai penyakit yang berdampak negatif terhadap janin atau fetus yang dikandung oleh wanita hamil yang terinfeksi. Pada infeksi CMV, infeksi maternal atau ibu hamil kebanyakan bersifat silent, asimtomatik tanpa disertai keluhan klinik atau gejala, atau hanya menimbulkan gejala yang minim bagi ibu, namun dapat memberi akibat yang berat bagi fetus yang dikandung. Dapat pula menyebabkan infeksi kongenital, perinatal bagi bayi yang dilahirkan. Keadaan seperti ini memang perlu diketahui dan dideteksi agar dapat diberikan pengelolaan yang tepat, sebab infeksi prenatal dapat berakibat fatal, sedangkan infeksi kongenital atau perinatal yang pada awalnya berjalan tanpa gejala dapat bermanifestasi di kemudian hari. Infeksi CMV tidak selalu bergabung dalam infeksi TORCH, melainkan dapat berdiri sendiri, karena selain pada ibu hamil dan fetus, dapat menyerang setiap individu. Prevalensi infeksi sangat tinggi, dan walaupun umumnya bersifat silent, infeksi CMV ternyata dapat memicu banyak komplikasi pada berbagai sistem tubuh. Diagnosis infeksi CMV tidak dapat ditegakkan hanya berdasarkan latar belakang klinik saja, terlebih bila tidak dijumpai keluhan atau hanya menimbulkan keluhan yang mirip dengan infeksi virus pada umumnya. Deteksi secara laboratorik diperlukan untuk menunjang diagnosis. Sejauh ini, pemeriksaan laboratorium untuk mendeteksi infeksi CMV banyak dilakukan oleh pasangan pranikah, prahamil, atau wanita hamil yang mempunyai riwayat kelainan kehamilan termasuk keguguran atau ingin punya anak, serta bayi baru lahir cacat. Namun, dengan memahami seluk beluk infeksi CMV, akan dapat dipahami bahwa deteksi laboratorik juga diperlukan oleh setiap individu yang dicurigai terinfeksi CMV, baik hamil maupun tidak hamil, wanita maupun pria, dewasa, anak, maupun bayi baru lahir. Pengetahuan tentang CMV dan respons imun terhadap CMV perlu didalami agar dapat diketahui bagaimana tubuh berusaha memberikan perlindungan, bagaimana kegagalan usaha perlindungan terjadi, 1

Transcript of Referat 2 - CMV - Kel 7 A4 (Edit)

Page 1: Referat 2 - CMV - Kel 7 A4 (Edit)

I. PENDAHULUAN

Infeksi Cytomegalovirus (CMV) dalam sering dikelompokkan dalam infeksi TORCH

yang merupakan singkatan dari Toxoplasma, Rubella, Cytomegalovirus, dan Herpes simplex

virus. Seperti pada infeksi TORCH, infeksi CMV dipopulerkan sebagai penyakit yang

berdampak negatif terhadap janin atau fetus yang dikandung oleh wanita hamil yang

terinfeksi. Pada infeksi CMV, infeksi maternal atau ibu hamil kebanyakan bersifat silent,

asimtomatik tanpa disertai keluhan klinik atau gejala, atau hanya menimbulkan gejala yang

minim bagi ibu, namun dapat memberi akibat yang berat bagi fetus yang dikandung. Dapat

pula menyebabkan infeksi kongenital, perinatal bagi bayi yang dilahirkan. Keadaan seperti

ini memang perlu diketahui dan dideteksi agar dapat diberikan pengelolaan yang tepat,

sebab infeksi prenatal dapat berakibat fatal, sedangkan infeksi kongenital atau perinatal

yang pada awalnya berjalan tanpa gejala dapat bermanifestasi di kemudian hari.

Infeksi CMV tidak selalu bergabung dalam infeksi TORCH, melainkan dapat berdiri

sendiri, karena selain pada ibu hamil dan fetus, dapat menyerang setiap individu. Prevalensi

infeksi sangat tinggi, dan walaupun umumnya bersifat silent, infeksi CMV ternyata dapat

memicu banyak komplikasi pada berbagai sistem tubuh.

Diagnosis infeksi CMV tidak dapat ditegakkan hanya berdasarkan latar belakang klinik

saja, terlebih bila tidak dijumpai keluhan atau hanya menimbulkan keluhan yang mirip

dengan infeksi virus pada umumnya. Deteksi secara laboratorik diperlukan untuk menunjang

diagnosis. Sejauh ini, pemeriksaan laboratorium untuk mendeteksi infeksi CMV banyak

dilakukan oleh pasangan pranikah, prahamil, atau wanita hamil yang mempunyai riwayat

kelainan kehamilan termasuk keguguran atau ingin punya anak, serta bayi baru lahir cacat.

Namun, dengan memahami seluk beluk infeksi CMV, akan dapat dipahami bahwa deteksi

laboratorik juga diperlukan oleh setiap individu yang dicurigai terinfeksi CMV, baik hamil

maupun tidak hamil, wanita maupun pria, dewasa, anak, maupun bayi baru lahir.

Pengetahuan tentang CMV dan respons imun terhadap CMV perlu didalami agar dapat

diketahui bagaimana tubuh berusaha memberikan perlindungan, bagaimana kegagalan

usaha perlindungan terjadi, sehingga mengakibatkan timbulnya berbagai penyakit atau

manifestasi klinik infeksi CMV. Interpretasi hasil pemeriksaan laboratorium perlu dipelajari,

agar dapat diketahui adanya infeksi asimtomatik, status infeksi, kemungkinan penyebaran

infeksi baik di dalam tubuh sendiri ataupun di luar tubuh. Semua hal tersebut diperlukan

dalam upaya memberikan wawasan untuk membantu penatalaksanaan infeksi CMV,

melakukan pengobatan seawal mungkin, mencegah dampak negatif, baik pada individu

dengan kompetensi imun yang baik maupun immunocompromised atau yang lemah, serta

mencegah penyebaran atau penularan penyakit.

II. TINJAUAN PUSTAKA

2. 1. Epidemiologi

Infeksi Cytomegalovirus (CMV) tersebar luas di seluruh dunia, dan terjadi endemik

tanpa tergantung musim. Iklim tidak mempengaruhi prevalensi. Pada populasi dengan

keadaan sosial ekonomi yang baik, kurang lebih 60-70% orang dewasa, menunjukkan

hasil pemeriksaan laboratorium positif terhadap infeksi CMV. Keadaan ini meningkat

kurang lebih 1% setiap tahun. Pada keadaan sosial ekonomi yang jelek, atau di Negara

1

Page 2: Referat 2 - CMV - Kel 7 A4 (Edit)

berkembang, lebih dari atau sama dengan 80 - 90% masyarakat terinfeksi oleh CMV

(Griffiths, 2004). Lisyani dalam observasi selama setahun pada tahun 2004,

mendapatkan dari 395 penderita tanpa keluhan yang memeriksakan diri untuk antibodi

anti-CMV, 344 menunjukkan hasil pemeriksaan IgG (imunoglobulin G) seropositif, 7 dari

344 penderita tersebut juga disertai IgM positif, dan 3 penderita hanya menunjukkan

hasil IgM positif. Total seluruhnya 347 orang atau 87,8 % menunjukkan seropositif.

Hasil observasi ini menyokong pendapat bahwa sangat banyak masyarakat kita yang

terinfeksi oleh CMV, dan sebagian besar sudah berjalan kronik dengan hanya IgG

seropositif, tanpa menyadari bahwa hal tersebut telah terjadi (Budipardigdo, 2007).

Cytomegalovirus (CMV) merupakan penyebab infeksi kongenital dan perinatal yang

paling umum di seluruh dunia. Prevalensi infeksi CMV kongenital bervariasi luas di

antara populasi yang berbeda, ada yang melaporkan sebesar 0,2 –3% 5, ada pula

sebesar 0,7 sampai 4,1%. Peneliti lain mendapatkan angka infeksi 1%-2% dari seluruh

kehamilan. Ogilvie melaporkan bahwa penularan seperti ini terjadi kira-kira pada 1 dari

3 kasus wanita hamil. Infeksi fetus in utero yang terjadi ketika ibu mengalami reaktivasi,

reinfeksi, biasanya bersifat asimtomatik saat lahir dan kurang menimbulkan sequelae

(gejala sisa) dibandingkan dengan infeksi primer. Hal ini disebabkan karena antibodi

IgG anti-CMV maternal dapat melewati plasenta dan bersifat protektif. Keadaan

asimtomatik saat lahir dijumpai pada 5 –17%, ada pula yang melaporkan 90% dari

infeksi CMV kongenital. Infeksi kongenital simtomatik dapat terjadi bila ibu terinfeksi

dengan strain CMV lain. Numazaki melaporkan sekitar 7% kasus dengan gejala

cytomegalic inclusion disease (CID) dijumpai pada saat lahir, sedangkan Lipitz

melaporkan sebesar 10 – 15%, dan dapat menimbulkan risiko kehilangan pendengaran

sensorineural yang progresif (progressive sensorineural hearing loss atau SNHL), atau

lain-lain defek perkembangan neurologik (retardasi mental) di kemudian hari.

Progresivitas komplikasi neurologic ini berhubungan dengan infeksi CMV yang

persisten, replikasi virus atau respons tubuh anak (Budipardigdo, 2007).

2. 2. Virologi Cytomegalovirus

Virus Cytomegalovirus (CMV) termasuk keluarga virus Herpes. Sekitar 50% sampai

80% orang dewasa memiliki antibodi anti CMV. Infeksi primer virus ini terjadi pada usia

bayi, anak - anak, dan remaja yang sedang dalam kegiatan seksual aktif. Penderita

infeksi primer tidak menunjukkan gejala yang khusus, tetapi virus terus hidup dengan

status laten dalam tubuh penderita selama bertahun – tahun (Karger, 2001).

Bersama dengan Cytomegalovirus hewan, Cytomegalovirus manusia (HCMV) juga

disebut dalam literatur terbaru sebagai manusia herpesvirus 5 (HHV-5), milik keluarga

Herpesviridae, subfamili Betaherpesvirinae, Cytomegalovirus genus. Nama ini berasal

dari fakta bahwa hal itu menyebabkan pembesaran sel yang terinfeksi (cytomegaly) dan

mendorong badan inklusi karakteristik. Genom HCMV terdiri dari DNA untai ganda

dengan sekitar 230.000 pasangan basa. Genom ini tertutup oleh kapsid icosahedral

(diameter 100-110 nm, 162 capsomers). Antara kapsid dan amplop virus terdapat

lapisan protein yang dikenal sebagai tegument. Amplop virus berasal dari membran sel.

Setidaknya delapan glikoprotein virus yang berbeda yang tertanam di lapisan ganda

2

Page 3: Referat 2 - CMV - Kel 7 A4 (Edit)

lipid. Partikel virus matang memiliki diameter 150-200 nm. Seperti semua herpesvirus,

HCMV sensitif terhadap pH rendah, agen lipiddissolving dan panas. HCMV memiliki

waktu paruh sekitar 60 menit pada 37°C dan relatif stabil pada -20°C. Perlu disimpan di

setidaknya -70°C untuk mempertahankan infektivitasnya (Karger, 2001).

Gambar 1. HCMV Human Cytomegalovirus (Karger, 2001).

Pada penelitian terbaru, tiga CMV monyet diakui sebagai spesies dalam klasifikasi

ICTV terbaru, sedangkan virus dari monyet rhesus (RhCMV), simpanse (ChCMV), dan

monyet hijau Afrika (AgmCMV). CMV isolat dari babun, latihan, burung hantu, dan

monyet bajing juga telah dijelaskan. Kemungkinan bahwa banyak spesies monyet lebih

pelabuhan CMVs mereka sendiri. CMVs lebih besar dari herpesvirus lainnya (200-300

nm diameter) dan cenderung disebabkan pleomorfik dengan bentuk amplop tidak

teratur. Genom CMV juga merupakan terbesar di antara genom virus herpes. ChCMV

adalah relatif dekat CMV manusia (HCMV). Genom HCMV dan ChCMV hampir

sempurna. Pada saat yang sama homologi urutan gen orthologous dalam genom ada di

moderat rata-rata rendah. Meskipun RhCMV jelas lebih jauh dari HCMV dari ChCMV,

fitur penting dari infeksi HCMV cukup erat tercermin pada monyet rhesus terinfeksi

RhCMV. Model monyet rhesus (RhCMV) menyediakan peluang bagus untuk

mempelajari patogenesis penyakit CMV dalam sebuah host immunocompromised,

terutama SIV-imunosupresi kera dengan SAIDS. Walaupun penyakit bawaan CMV tidak

teramati di kera, dapat eksperimen diinduksi oleh inokulasi langsung intrauterine fetus

monyet rhesus dengan RhCMV. Pengembangan vaksin profilaksis efektif dan HCMV

terapi, kompleksitas tugas yang tangguh, dapat difasilitasi oleh pengujian berbagai

protokol imunisasi menggunakan RhCMV / model monyet rhesus (Karger, 2001).

Virus CMV akan aktif apabila host mengalami penurunan kondisi fisik, seperti wanita

yang sedang hamil atau orang yang mengalami pencangkokan organ tubuh. Jika infeksi

pada wanita hamil terjadi pada awal kehamilannya maka kelainan yang ditimbulkan

semakin besar (Karger, 2001).

Hanya sekitar 5 hingga 10 bayi yang terinfeksi CMV selama masa kehamilan

menunjukkan gejala kelainan sewaktu dilahirkan. Gejala klinis yang umum dijumpai

adalah berat badan rendah, hepatomegali, splenomegali, kulit kuning, radang paru -

paru, dan kerusakan sel pada jaringan syaraf pusat. Gejala non syaraf akan muncul

pada beberapa minggu pertama, cacat pada jaringan syaraf yang akan berlanjut

3

Page 4: Referat 2 - CMV - Kel 7 A4 (Edit)

menjadi kemunduran mental, gangguan pendengaran, gangguan penglihatan, dan

raikrosefali (Karger, 2001).

CMV lebih sering menyerang mata yang dapat dengan cepat menyebabkan

kebutaan. Bila tidak diobati CMV dapat menyebar ke seluruh tubuh dan menginfeksi ke

beberapa organ lain sekaligus. Risiko infeksi CMV paling tinggi terjadi bila sel CD4

kurang dari 100 (Karger, 2001).

Transmisi CMV

Risiko mendapatkan sitomegalovirus (CMV) melalui kontak biasa sangat kecil. Virus

ini biasanya ditularkan dari orang yang terinfeksi kepada orang lain melalui kontak

langsung dari cairan tubuh, seperti urin, air liur, atau ASI. CMV ditularkan secara

seksual dan dapat menyebar melalui organ-organ transplantasi dan transfusi darah

(Karger, 2001).

Orang yang terinfeksi dengan CMV dapat menularkan virus ( terinfeksi virus dari

cairan tubuh mereka, seperti urin, air liur, darah, dan air mani, ke lingkungan). Anak-

anak kecil sering menularkan CMV selama berbulan-bulan setelah mereka pertama

terinfeksi. Walaupun orang tua dari anak-anak yang shedding virus dapat menjadi

terinfeksi dari anak-anak mereka, CMV tidak menyebar dengan mudah. Kurang dari 1

dari 5 orang tua dari anak-anak yang terinfeksi CMV penumpahan selama setahun

(Karger, 2001).

Meskipun CMV dapat ditularkan melalui ASI, infeksi yang terjadi dari pemberian ASI

biasanya tidak menimbulkan gejala atau penyakit pada bayi. Karena infeksi CMV

setelah lahir dapat menyebabkan penyakit pada bayi lahir prematur atau rendah sangat

berat, ibu bayi tersebut harus berkonsultasi dengan penyedia layanan kesehatan

mereka tentang menyusui (Karger, 2001).

Transmisi CMV selama Kehamilan

Di Amerika Serikat, sekitar 30-50% wanita tidak pernah terinfeksi CMV. Sekitar 1-4

dari setiap 100 wanita yang belum pernah terinfeksi dengan CMV mengalami infeksi

(pertama) primer CMV selama kehamilan. Sekitar sepertiga dari wanita (33 dari setiap

100) yang terinfeksi dengan CMV untuk pertama kalinya selama kehamilan akan

meneruskan infeksi pada bayi mereka (Karger, 2001).

Di Amerika Serikat, sekitar 50-80% wanita telah terinfeksi dengan CMV pada usia 40

tahun. Jika seorang wanita terinfeksi dengan CMV sebelum menjadi hamil, risiko

menularkan virus ke janinnya sekitar 1 dalam 100 (Karger, 2001).

Untuk wanita hamil, dua transmisi yang paling umum untuk CMV melalui hubungan

seksual dan melalui kontak dengan urin dan air liur anak-anak muda dengan infeksi

CMV (Karger, 2001).

Tidak ada tindakan yang dapat menghilangkan semua resiko infeksi CMV dari anak

muda, tetapi ada beberapa tindakan yang dapat mengurangi penyebarannya (untuk

rinciannya, lihat Pencegahan). Tujuan utama dari tindakan ini adalah untuk menghindari

urin anak-anak dan air liur di tangan Anda atau di Anda mata, hidung, atau mulut

(Karger, 2001).

4

Page 5: Referat 2 - CMV - Kel 7 A4 (Edit)

Penularan CMV ke Bayi sebelum Lahir

CMV dapat menular dari ibu hamil ke janinnya selama kehamilan. Virus dalam darah

ibu masuk lewat plasenta dan menginfeksi darah janin (Karger, 2001).

Antara bayi yang lahir dengan infeksi CMV (infeksi CMV kongenital), sekitar 1 dari 5

akan memiliki cacat permanen, seperti cacat perkembangan atau gangguan

pendengaran (Karger, 2001).

2. 3. Patogenesis Infeksi Cytomegalovirus

CMV adalah virus litik yang menyebabkan efek sitopatik in vitro dan in vivo. Efek

patologis infeksi CMV adalah sel yang membesar dengan badan inklusi virus (viral

inclusion bodies). Sel yang terkena sitomegali juga terlihat pada infeksi yang

disebabkan oleh Betaherpesvirinae lain. Secara mikroskopis, sebutan bagi sel ini

adalah mata burung hantu. Walaupun merupakan suatu dasar diagnosis, tampilan

histologis seperti ini hanya ada sedikit atau tidak ada pada organ terinfeksi (Akhter &

Wills, 2010).

Gambar 2. Pewarnaan hematoxylin-eosin pada potongan paru menunjukan inklusi mata burung hantu yang tipikal (Wiedbrauk, dalam Akhter & Wills, 2010)

Virus CMV memasuki sel dengan cara terikat pada reseptor yang ada di permukaan

sel inang, kemudian menembus membran sel, masuk ke dalam vakuole di sitoplasma,

lalu selubung virus terlepas, dan nucleocapsid cepat menuju ke nukleus sel inang

(uncoating) (Budipardigdo, 2007)

Riwayat infeksi CMV sangat kompleks, setelah infeksi primer, virus diekskresi

melalui beberapa tempat dan ekskresi virus dapat menetap beberapa minggu, bulan,

bahkan tahun sebelum virus hidup laten. Episode infeksi ulang sering terjadi, karena

reaktivasi dari keadaan laten dan terjadi pelepasan virus lagi. Infeksi ulang juga dapat

terjadi eksogen dengan strain lain dari CMV. Infeksi CMV dapat terjadi setiap saat dan

menetap sepanjang hidup. ”Sekali terinfeksi, tetap terinfeksi”, virus hidup dormant

dalam sel inang tanpa menimbulkan keluhan atau hanya keluhan ringan seperti

common cold. Replikasi virus merupakan faktor risiko penting untuk penyakit dengan

manifestasi klinik infeksi CMV. Penyakit yang timbul melibatkan peran dari banyak

5

Page 6: Referat 2 - CMV - Kel 7 A4 (Edit)

molekul baik yang dimiliki oleh CMV sendiri maupun molekul tubuh inang yang terpacu

aktivasi atau pembentukannya akibat infeksi CMV. CMV dapat hidup di dalam

bermacam sel seperti sel epitel, endotel, fibroblas, leukosit polimorfonukleus, makrofag

yang berasal dari monosit, sel dendritik, limfosit T (CD4+ , CD8+), limfosit B, sel

progenitor granulosit-monosit. Dengan demikian berarti CMV menyebabkan infeksi

sistemik dan menyerang banyak macam organ antara lain kelenjar ludah, tenggorokan,

paru, saluran cerna, hati, kantong empedu, limpa, pankreas, ginjal, adrenal, otak atau

sistem syaraf pusat. Virus dapat ditemukan dalam saliva, air mata, darah, urin, semen,

sekret vagina, air susu ibu, cairan amnion dan lain-lain cairan tubuh. Ekskresi yang

paling umum ialah melalui saliva, dan urin dan berlangsung lama, sehingga bahaya

penularan dan penyebaran infeksi mudah terjadi. Ekskresi CMV pada infeksi kongenital

sama seperti pada ibu, juga berlangsung lama (Budipardigdo, 2007).

Reaktivasi, replikasi dan reinfeksi umum terjadi secara intermiten, meskipun tanpa

menimbulkan keluhan atau kerusakan jaringan. Replikasi DNA virus dan pembentukan

kapsid terjadi di dalam nukleus sel inang. Sel-sel terinfeksi CMV dapat berfusi satu

dengan yang lain, membentuk satu sel besar dengan nukleus yang banyak. Endothelial

giant cells (multinucleated cells) dapat dijumpai dalam sirkulasi selama infeksi CMV

menyebar. Sel berinti ganda yang membesar ini sangat berarti untuk menunjukkan

replikasi virus, yaitu apabila mengandung inklusi intranukleus berukuran besar seperti

mata burung hantu (owl eye) (Budipardigdo, 2007).

Respons imun seseorang memegang peran penting untuk mengeliminasi virus yang

telah menyebabkan infeksi. Pada kondisi kompetensi imun yang baik (imunokompeten),

infeksi CMV akut jarang menimbulkan komplikasi, namun penyakit dapat menjadi berat

bila individu berada dalam keadaan immature (belum matang), immunosuppressed

(respons imun tertekan) atau immunocompromised (respons imun lemah), termasuk ibu

hamil dan neonatus, penderita HIV (human immunodeficiency virus), penderita yang

mendapatkan transplantasi organ atau pengobatan imunosupresan dan yang menderita

penyakit keganasan. Pada kondisi tersebut, sistem imun yang tertekan atau lemah,

belum mampu membangun respons baik seluler maupun humoral yang efektif,

sehingga dapat mengakibatkan nekrosis atau kematian jaringan yang berat, bahkan

fatal (Budipardigdo, 2007).

Respons imun terhadap infeksi CMV sama seperti terhadap infeksi terhadap virus

pada umumnya, bersifat kompleks yang meliputi baik faktor atau komponen yang

berperan dalam respons imun seluler maupun humoral. Kontrol yang cepat, segera

pada infeksi akut dilakukan oleh sistem imun yang diperantarai sel yaitu sel NK (natural

killer), sel T CD8+ dan dengan bantuan sel T CD4+. Sel NK, anggota limfosit nonT-nonB

yang beredar dalam sirkulasi darah dan jaringan, merupakan komponen nonspesifik

dari sistem imun bawaan, akan mengenal sel inang yang terinfeksi virus, kemudian

menghancurkan sel tersebut dengan cara lisis proteolitik. Pada awal infeksi akut, dalam

respons imun spesifik, antigen virus diproses oleh makrofag antigen presenting cells

(APC), dipresentasikan ke sel limfosit T CD4+ (T helper) yang memproduksi sitokin dan

memicu proliferasi klon tunggal sel T sitotoksik atau sitolitik (CD8+) yang tersensitasi.

Sel T CD8+ yang teraktivasi kemudian secara spesifik akan menghancurkan sel inang

yang mengekspresikan antigen virus yang berikatan dengan major histocompatibility

6

Page 7: Referat 2 - CMV - Kel 7 A4 (Edit)

complex (MHC) atau human leucocyte antigen (HLA) kelas I di permukaan sel. MHC

atau HLA kelas I dijumpai pada hampir semua sel berinti. Respons imun ini ditargetkan

terhadap bermacam antigen seperti protein IE1, IE2, gB dan pp 65. Sel T-CD4+ spesifik

juga memegang peran penting di dalam mengontrol infeksi virus dengan cara

melepaskan interferon γ ( IFN-γ ) yang kemudian mengaktifkan makrofag sebagai

fagosit. Imunitas yang diperantarai sel ini memegang peran utama untuk menekan

aktivitas virus yang menetap secara laten (Budipardigdo, 2007).

Respons imun humoral terbentuk karena fragmen antigen yang berikatan dengan

molekul MHC kelas II dipresentasikan oleh APC kepada limfosit T-CD4+. Produksi

sitokin terpacu untuk mengaktifkan sel B, kemudian sel B berproliferasi dan

berdiferensiasi menjadi sel plasma yang menghasilkan antibodi atau imunoglobulin. IgM

muncul pertama kali, setelah itu dengan mutasi somatik yang terjadi pada limfosit B

yang terstimulasi antigen, maka akan terjadi isotype switching dan terbentuk isotype

immunoglobulin yang lain seperti IgG, IgA., IgE, dan IgD. Antibodi yang terbentuk pada

awalnya memiliki kekuatan mengikat antigen yang masih lemah, selanjutnya terjadi

affinity maturation terhadap sebagian dari sel B, sehingga menghasilkan antibodi yang

mampu mengikat antigen dengan kuat. Kekuatan ikatan antibodi terhadap antigen ini

disebut high-affinity dan high avidity. Antibodi IgG adalah yang paling utama melakukan

neutralisasi dan eliminasi terhadap CMV yang beredar dalam sirkulasi. IgG tersebut

adalah antibody anti-gB (anti-glikoprotein B) yang merupakan antibodi terhadap antigen

paling imunogenik dari amplop CMV (Budipardigdo, 2007).

CMV kongenital terjadi karena virus yang beredar dalam sirkulasi (viremia) ibu

menular ke janin. Kejadian transmisi seperti ini dijumpai pada kurang lebih 0,5– 1% dari

kasus yang mengalami reinfeksi atau rekuren. Viremia pada ibu hamil dapat menyebar

melalui aliran darah (per hematogen), menembus plasenta, menuju ke fetus baik pada

infeksi primer eksogen maupun pada reaktivasi, infeksi rekuren endogen, yang mungkin

akan menimbulkan risiko 6 tinggi untuk kerusakan jaringan prenatal yang serius. Risiko

pada infeksi primer lebih tinggi daripada reaktivasi atau ibu terinfeksi sebelum konsepsi.

Infeksi transplasenta juga dapat terjadi, karena sel terinfeksi membawa virus dengan

muatan tinggi. Transmisi tersebut dapat terjadi setiap saat sepanjang kehamilan, namun

infeksi yang terjadi sampai 16 minggu pertama, akan menimbulkan penyakit yang lebih

berat (Dwindra, 2009).

Respons imun pada fetus dan anak diperantarai sel yang terbentuk 1 minggu

sebelum respons humoral, mencapai puncak sama dengan respons humoral. Respons

imun seluler mulai dapat terdeteksi dengan baik pada umur fetus 22 minggu. Aktivasi

dan diferensiasi sel T CD4+ dapat terjadi, meskipun kemampuan untuk menghasilkan

IFN-γ masih lemah. Hasil suatu studi menyatakan bahwa peran sel T CD4+ spesifik

dengan frekuensi yang tinggi pada neonatus memungkinkan terjadi stimulasi terhadap

imunitas seluler, sehingga infeksi CMV kongenital bersifat asimtomatik. Respons imun

humoral dimulai pada 9 – 11 minggu kehamilan, namun kadar antibodi dalam sirkulasi

tetap rendah sampai pertengahan kehamilan, kecuali terdapat virus dalam titer tinggi

dan ada perkembangan reseptor antigen di permukaan sel keadaan ini, kadar antibodi

meningkat dengan predominan IgM. Pada infeksi kongenital, IgG maternal dapat

menembus plasenta masuk ke sirkulasi fetus, sedangkan IgM atau IgA yang terdeteksi

7

Page 8: Referat 2 - CMV - Kel 7 A4 (Edit)

pada darah tali pusat neonatus, menunjukkan bahwa antibodi tersebut diproduksi oleh

fetus atau bayi sendiri yang terinfeksi secara vertikal dari ibu. Pada reaktivasi, antibodi

anti-CMV terbentuk adekuat, sebaliknya terjadi defek imunitas yang diperantarai sel

dengan penurunan jumlah sel NK dan T CD8+ (Budipardigdo, 2007).

2. 4. Manifestasi Klinis dan Komplikasi

1. Manifestasi Klinis Secara Umum

Pada populasi dewasa normal, CMV bersifat dormant (tidak aktif) dalam tubuh.

CMV hanya bermanifestasi jika kekebalan tubuh orang bersangkutan merosot.

Misalnya, mendapat transplantasi organ, sedang menjalani kemoterapi atau

terinfeksi HIV. Pada sebagian orang, infeksi primer CMV pada saat dewasa

menimbulkan infeksi mononukleosis. Gejalanya mirip infeksi yang disebabkan oleh

virus Epstein Barr, antara lain; demam, rash (bintik merah) di tubuh, pembengkakan

kelenjar limfe di leher, rasa capai hebat, kehilangan nafsu makan, sakit kepala, nyeri

otot, pembesaran hati dan limpa. Gejala ini, sebagaimana gejala flu, bisa sembuh

sendiri tanpa diobati. Cukup beristirahat dua sampai enam minggu. Antara tiga dan

dua belas minggu setelah terinfeksi beberapa pasien mungkin mengalami demam,

kelelahan umum dan kelenjar bengkak. Pasien dengan risiko tinggi dapat

mengembangkan pneumonia dan batuk. Komplikasi infeksi CMV dijabarkan sebagai

berikut (Kauser, 2010):

a. Cytomegalovirus pneumonia didefinisikan sebagai tanda-tanda dan gejala

penyakit paru dalam kombinasi dengan deteksi CMV dalam cairan

bronchoalveolar atau jaringan paru-paru. Tingkat tertinggi pneumonia CMV

serta keparahan terbesar terjadi antara penerima transplantasi paru-paru yang

berisiko.

b. Cytomegalovirus hepatitis didefinisikan sebagai bilirubin tinggi dan atau tingkat

enzim hati dalam kombinasi dengan deteksi CMV tanpa adanya penyebab lain

untuk hepatitis. Hepatitis telah sering diamati pada pasien dengan infeksi CMV

primer dan mononukleosis. Tingkat enzim hepatoseluler mungkin ringan dan

transiently meningkat dan dalam kasus yang jarang, penyakit kuning dapat

berkembang. Prognosis hepatitis CMV pada host imunokompeten biasanya

menguntungkan, tetapi kematian telah dilaporkan pada pasien imunosupresi.

c. CMV gastritis dan kolitis adalah kombinasi dari gejala pada saluran atas dan

bawah GI. Lesi mukosa terlihat pada endoskopi. CMV dapat menginfeksi

saluran pencernaan dari rongga mulut melalui usus besar. Manifestasi khas

penyakit adalah lesi ulseratif. Dalam rongga mulut ini dapat dibedakan dari

ulkus yang disebabkan oleh HSV atau ulserasi aphthous. Gastritis dapat

muncul sebagai sakit perut dan bahkan hematemesis, sedangkan kolitis lebih

sering muncul sebagai penyakit diare.

d. Cytomegalovirus penyakit SSP merupakan gejala SSP dalam kombinasi dengan

deteksi CMV dalam CSF.

e. Cytomegalovirus retinitis adalah salah satu infeksi oportunistik yang paling

umum pada orang dengan AIDS, biasanya mereka dengan jumlah CD4+ di

bawah 50 sel/uL. Meskipun jumlah kasus mengalami penurunan dengan

8

Page 9: Referat 2 - CMV - Kel 7 A4 (Edit)

penggunaan ART, kasus baru tetap dilaporkan. Individu dengan retinitis CMV

biasanya menunjukkan penurunan progresif ketajaman visual, yang dapat

berkembang menjadi kebutaan jika tidak diobati. Unilateral dan bilateral

penyakit mungkin ada. Pengobatan jangka panjang CMV diperlukan untuk

mencegah kambuh retinitis (Kauser, 2010).

2. Manifestasi klinis pada Ibu Hamil :

Umumnya >90% infeksi CMV pada ibu hamil asimpomatik, tidak terdeteksi

secara klinis. Gejala yang timbul tidak spesifik, yaitu: demam, lesu, sakit kepala,

sakit otot dan nyeri tenggorok. Wanita hamil yang terinfeksi CMV akan menyalurkan

pada bayi yang dikandungnya, sehingga bayi yang dikandungnya akan

mendapatkan kelainan kongenital. Selain itu wanita yang hamil dapat mengalami

keguguran akibat infeksi CMV (Kauser, 2010).

3. Manifestasi Klinis pada Bayi

Transmisi dari ibu ke janin dapat terjadi selama kehamilan, Infeksi pada

kehamilan sebelum 16 minggu dapat mengakibatkan kelainan kongenital berat.

Gejala klinik infeksi CMV pada bayi baru lahir jarang ditemukan. Dari hasil

pemeriksaan virologis, CMV hanya didapat 5-10% dari seluruh kasus infeksi

kongenital CMV. Kasus infeksi kongenital CMV hanya 30-40% saja yang disertai

persalinan prematur. Dari semua yang prematur setengahnya disertai Pertumbuhan

Janin Terhambat (PJT). 10% dari janin yang menunjukkan tanda-tanda infeksi

kongenital mati dalam dua minggu pertama. infeksi kongenital pada anak baru lahir

jelas gejalanya. Gejala infeksi pada bayi baru lahir bermacam-macam, dari yang

tanpa gejala apa pun sampai berupa demam, kuning (jaundice), gangguan paru,

pembengkakan kelenjar limfe, pembesaran hati dan limpa, bintik merah di sekujur

tubuh, serta hambatan perkembangan otak (microcephaly). Hal ini bisa

menyebabkan buta, tuli, retardasi mental bahkan kematian. Tetapi ada juga yang

baru tampak gejalanya pada masa pertumbuhan dengan memperlihatkan gangguan

neurologis, mental, ketulian dan visual. Komplikasi yang dapat muncul pada infeksi

CMV antara lan (Firman, 2009) :

a. Infeksi pada sistem saraf pusat (SSP) antara lain: meningoencephalitis,

kalsifikasi, mikrosefali, gangguan migrasi neuronal, kista matriks germinal,

ventriculomegaly dan hypoplasia cerebellar). Penyakit SSP biasanya

menunjukan gejala dan tanda berupa: kelesuan, hypotonia, kejang, dan

pendengaran defisit.

b. Kelainan pada mata meliputi korioretinitis, neuritis optik, katarak, koloboma, dan

mikroftalmia.

c. Sensorineural hearing defisit (SNHD) atau kelainan pendengaran dapat terjadi

pada kelahiran, baik unilateral atau bilateral, atau dapat terjadi kemudian pada

masa kanak-kanak. Beberapa pasien memiliki pendengaran normal untuk

pertama 6 tahun hidup, tetapi mereka kemudian dapat mengalami perubahan

tiba-tiba atau terjadi gangguan pendengaran. Di antara anak-anak dengan

defisit pendengaran, kerusakan lebih lanjut dari pendengaran terjadi pada 50%,

dengan usia rata-rata perkembangan pertama pada usia 18 bulan (kisaran usia

9

Page 10: Referat 2 - CMV - Kel 7 A4 (Edit)

2-70 bulan). Gangguan pendengaran merupakan hasil dari replikasi virus dalam

telinga bagian dalam.

d. Hepatomegali dengan kadar bilirubin direk transaminase serum meningkat.

Secara patologis dijumpai kolangitis intralobar, kolestasis obstruktif yang akan

menetap selama masa anak. Inclusian dijumpai pada sel kupffer dan epitel

saluran empedu.

Bayi dengan infeksi CMV kongenital memiliki tingkat mortalitas 20-30%.

Kematian biasanya disebabkan disfungsi hati, perdarahan, dan intravaskuler

koagulopati atau infeksi bakteri sekunder (Kim, 2010).

10

Page 11: Referat 2 - CMV - Kel 7 A4 (Edit)

III. PEMBAHASAN

3. 1. Diagnosis Infeksi CMV

1. Diagnosis Klinis

a. Riwayat Klinis

CMV adalah virus herpes double-stranded DNA dan merupakan infeksi

yang paling umum virus bawaan. Tingkat seropositif CMV meningkat dengan

usia. Lokasi geografis, kelas sosial ekonomi dan bekerja pameran faktor lain

yang mempengaruhi risiko infeksi. Infeksi CMV membutuhkan kontak dekat

melalui air liur, urin dan cairan tubuh lainnya. Kemungkinan rute transmisi

termasuk kontak seksual, transplantasi organ, transmisi transplasenta,

penularan melalui ASI dan transfusi darah (jarang) (Marino et al, 2010).

Reaktivasi primer atau infeksi berulang dapat terjadi selama kehamilan

dan dapat menyebabkan infeksi CMV kongenital. Infeksi transplasental dapat

mengakibatkan pembatasan pertumbuhan intrauterin, gangguan pendengaran

sensorineural, kalsifikasi intrakranial, mikrosefali, hidrosefalus,

hepatosplenomegali, psikomotorik keterbelakangan dan atrofi optik (Marino et

al, 2010).

Masa inkubasi infeksi perinatal bervariasi antara 4 dan 12 minggu (rata-

rata, 8 minggu). Jumlah virus pada bayi dengan infeksi perinatal lebih sedikit

dibandingkan yang berkembang di infeksi kongenital, infeksi ini bersifat kronis,

virus dapat bertahan selama bertahun-tahun. Kebanyakan bayi dengan infeksi

perinatal adalah asimtomatik, karena bayi memiliki antibodi ibu (IgG) terhadap

CMV. Sebaliknya, 15-25% bayi prematur yang terinfeksi dapat

mengembangkan penyakit klinis, seperti pneumonia, hepatitis atau penyakit

sepsis dengan gejala apnea, bradikardia, hepatosplenomegali, distensi usus,

anemia, trombositopenia dan fungsi hati yang abnormal. Infeksi CMV yang

didapat karena tranfusi pada bayi prematur dengan bayi lahir sangat rendah

berat badan mungkin mengalami gejala-gejala menyerupai CID (Kim, 2010).

Infeksi maternal lebih mungkin disebabkan reaktivasi virus laten dan

dengan demikian tidak menimbulkan gejala atau bermanifestasi sebagai

demam rendah, malaise dan mialgia. Infeksi primer CMV biasanya tanpa

gejala, tetapi nyata bisa sebagai gambar mononukleosislike, dengan demam,

kelelahan dan limfadenopati. Perempuan yang berada dalam kontak yang

dekat dengan anak-anak atau anak-anak di prasekolah, pekerja penitipan

atau pekerja kesehatan berisiko lebih tinggi terhadap infeksi (Marino et al,

2010).

b. Pemeriksaan Fisik

Tidak ada gejala spesifik yang muncul pada kehamilan dengan infeksi

CMV. Kebanyakan bayi dengan infeksi CMV bawaan, tidak ada gejala yang

muncul saat lahir, tetapi dapat mengembangkan sekuel di kemudian hari.

Gejala yang mungkin muncul adalah splenomegali, ptekie atau jaundice.

Infeksi CMV bawaan, terjadi pada 5-10% bayi, ditandai dengan jaundice,

hepatosplenomegali, ruam ptekie, gangguan pernapasan dan keterlibatan

11

Page 12: Referat 2 - CMV - Kel 7 A4 (Edit)

neurologis, yang mungkin termasuk mikrosefali, retardasi motor, kalsifikasi

serebral, lesu dan kejang (Marino et al, 2010).

c. Pemeriksaan Penunjang

CMV biasanya diisolasi dari urin dan air liur, tetapi dapat diisolasi dari

cairan tubuh lainnya, termasuk susu payudara, sekresi leher rahim, cairan

ketuban, sel-sel darah putih, cairan serebrospinal, sampel tinja dan biopsi.

Tes terbaik untuk diagnosis infeksi bawaan atau perinatal adalah isolasi virus

atau demonstrasi reaksi berantai materi CMV genetik (PCR) dari urin atau air

liur bayi baru lahir. Sensitivitas PCR dengan spesimen urin adalah 89% dan

spesifisitas 96%. Sampel urine dapat didinginkan (4℃) tetapi tidak boleh beku

dan disimpan pada suhu kamar. Tingkat pemulihan virus 93% dalam urin

setelah 7 hari pendinginan, kemudian menurun menjadi 50% setelah 1 bulan

(Kim, 2010).

Peningkatan titer IgG empat kali lipat di dalam sera pasangan atau anti-

CMV IgM yang positif kuat berguna mendiagnosis infeksi, tes serologis tidak

dianjurkan untuk diagnosis infeksi pada bayi baru lahir. Hal ini dikarenakan

deteksi IgG anti-CMV pada bayi baru lahir mencerminkan antibodi yang

diperoleh dari ibu melalui transplasental dan antibodi tersebut dapat bertahan

sampai 18 bulan. Uji IgM juga dapat bernilai positif palsu dan negatif palsu,

Computed tomography (CT) lebih sensitif untuk mendeteksi kalsifikasi

intracranial. MRI dapat digunakan untuk mendeteksi gangguan migrasi

neuronal dan lesi parenkim serebral (Kim, 2010).

Amniosentesis merupakan tes diagnostik prenatal tunggal yang paling

berharga, sedangkan PCR atau kultur virus dari cairan ketuban, mempunyai

tingkat spesifisitas dan sensitivitas yang sama. Kuantitatif PCR menunjukkan

105 genom/mL cairan ketuban yang mungkin mengandung prediktor gejala

infeksi congenital. Ultrasonografi kelainan janin pada wanita hamil dengan

infeksi primer atau berulang biasanya menunjukkan gejala infeksi janin.

Kelainan sonografi janin yang dilaporkan termasuk oligohidroamnios,

pembatasan pertumbuhan intrauterin, microcephaly, ventriculomegaly,

kalsifikasi intrakranial, hipoplasia corpus callosum, asites,

hepatosplenomegali, hypoechogenic bowel, efusi pleura dan pericardial (Kim,

2010).

2. Diagnosis Banding

a. Toxoplasmosis

a) Gejala (Marino et al, 2010) :

i. First half of pregnancy : dapat menyebabkan malformation pada CNS,

mikrosefali, hidrosefalus dan kematian perinatal.

ii. Second half of pregnancy : Ringan/asimtomatik, demam (flu like

syndrome, limpadenopati, servikal, aksila, namun tidak sakit.

Gejala-gejala ini muncul selama beberapa minggu s/d bulan. Anemia,

lekopenia, kadang lekositosis. Dapat terjadi chorioretinitis dan

kelainan pada CNS setelah beberapa bulan atau beberapa tahun

kemudian.

12

Page 13: Referat 2 - CMV - Kel 7 A4 (Edit)

b) Pemeriksaan Penunjang (Marino et al, 2010) :

i. IgM Toxoplasma gondii sangat baik dalam mendiagnosa

toxoplasmosis kongenital dan didapat.

ii. IgM antibodi tidak bisa menembus plasenta

iii. IgG dapat menembus plasenta

iv. IgG pada bayi akan berkurang dan habis yang didapat dari ibunya.

Selanjutnya akan dibentuk sendiri pada usia 2-3 bulan

v. IgM tidak ditemukan pada bayi. Diagnosa Toxoplasmosis pada bayi

dipastikan dengan deteksi peningkatan IgG pada bayi berumur 2-3

bulan dan 6 bulan, dimana pada waktu itu IgG dari Ibu sudah habis.

vi. Serodiagnosis pada wanita hamil titer tunggal tidak mempunyai arti

klinis, oleh karenanya perlu 2x pengujian (2x) sedikitnya (secara

serial).

vii. Serokonversi IgG dari negatif menjadi positif memastikan infeksi akut

primer.

Kenaikan titer IgG yang bermakna adalah 4x pada pemeriksaan serial,

menunjukkan infeksi akut (parah)

b. Rubella

a) Gejala (Marino et al, 2010) :

Gejala klinis Rubella bervariasi setiap orang dan sulit dikenali. Gejalanya

mirip dengan infection mononucleosis, drug induced rashes. Pada wanita

hamil dengan infeksi primer bisa menularkan ke janin dengan masa

inkubasi 2 – 3 minggu rata-rata ± 18 hari. Kelainan kongenital tergantung

pada saat mana terjadi infeksi pada waktu hamil. Infeksi pada bulan

pertama kehamilan dapat menyebabkan fetal malformation ± 50% – 80%,

25% pada bulan kedua dan 17% pada bulan ketiga. Congenital Rubella

Syndrome dapat terjadi pada infeksi di trimester 1 kehamilan. Kelainan

lainnya adalah CHD (PDA, VSD dan PT), katarak, chorioretinitis,

microcephaly, retardasi mental dan deafness.

b) Pemeriksaan Penunjang (Marino et al, 2010) :

Infeksi rubella primer pada penderita dari rubella dijumpai antibodi IgM

sesuai dengan gejala klinis yang ada. Pada infeksi rubella primer akut, IgM

dapat dideteksi hampir pada 100% kasus yaitu pada hari 4-15 setelah

munculnya ruam, menurun setelah 36-70 hari, dan menghilang setelah 180

hari Reinfeksi asimptomatik pada wanita hamil berbahaya untuk fetus,

dengan karakteristik IgG meninggi dan tidak dijumpai IgM. Pemeriksaan

IgM ini tidak hanya untuk wanita hamil tapi perlu juga untuk wanita yang

belum hamil. IgG meningkat cepat pada hari ke 7 s/d 21 kemudian

menurun, dan tetap tinggal sebagai pelindung

c. Herpes

a) Gejala (Marino et al, 2010) :

i. HSV-1

Vesikel-vesikel di sekitar mulut, acute ginggivostomatitis. Infeksi

HSV-1 primer dapat menyebabkan follicular congjungtivitis dengan

13

Page 14: Referat 2 - CMV - Kel 7 A4 (Edit)

kemosis, edema dan ulks kornea. Herpes labialis dan dendritic

corneal ulcers paling sering merupakan manifestasi infeksi HSV-1

rekuren. Pada keadaan parah dapat menyebabkan HSV encephalitis.

ii. HSV-2

Infeksi HSV-2 merupakan infeksi pada genital dan dapat

menyebabkan infeksi pada bayi pada waktu proses kelahiran.

Sebagian besar bayi mendapat infeksi HSV-2 pada ibu hamil

asimtomatis. Lesi ulserativ, pain fever, disuria, dan lymphadenopathy

selalu dijumpai.

b) Pemeriksaan Penunjang (Marino et al, 2010) :

Virus dapat diisolasi dari vesicular fluid, ulcer scraping, throat swabs,

salifa, CSF dan pada jaringan yang terinfeksi, bufficoat, urine, rectal

cultures. Virus mempunyai sifat cytopathogenic effects (CPE) dan

berkembang biak sangat cepat dalam 24 jam, tetapi pemeriksaan cara ini

memerlukan waktu yang lama. Antibodi IgM HSV-1 & IgM HSV-2 muncul

pada infeksi primer atau reaktivasi. IgM pada infeksi primer bertahan s/d

9 bulan pada beberapa pasien. Pengambilan sampel untuk IgG setelah

2-7 minggu Anti HSV IgG positif pada neonatus, yang didapat dari ibu

hanya bertahan 6 bulan. Jika negatif infeksi bawaan dapat diabaikan.

Cara pemeriksaan :

i. Citology dan Histology

ii. Immunoflourescence

iii. Enzim Immuno Assay dan Immunoblotting

Pemeriksaan serologi merupakan pemeriksaan yang paling baik

dilakukan untuk menentukan adanya infeksi HSV, juga untuk diagnosa

primary infection jika titer antibodi terjadi peningkatan 4 kali atau lebih.

3. 2. Penatalaksanaan Infeksi CMV

Pilihan terapi terbaik dan pencegahan penyakit CMV yaitu gansiklovir dan

valgansiklovir. Pilihan lainnya merupakan lini kedua antara lain foscarnet dan cidofovir .

Konsensus yang menyatakan hal yang lebih baik antara profilaksis dengan terapi

preemptive yang lebih baik untuk pencegahan infeksi CMV pada penerima organ

transplan solid (Schleiss, 2010).

a. Terapi medikamentosa

Pemberian terapi anti-Cytomegalovirus hanya setelah konsultasi dengan ahli

yang mengerti dengan dosis dan efek berat. Agen antiviral dapat diberikan pada

terapi penyakir Cytomegalovirus yang sudah ditegakan atau sebagai profilaksis

(seperti terapi preemptive) jika risiko perkembangan penyakit ini tinggi (seperti pada

penerima organ transplan) (Schleiss, 2010).

Antivirus nukleosida adalah agen antivirus yang sesungguhnya aktif melawan

Cytomegalovirus, meskipun immunoglobulin dapat menyediakan efek antivirus, yang

sebagian besar dikombinasikan dengan obat-obat ini. Obat-obat ini bekerja pada

target molekuler yang umum yang dinamakan DNA polimerase virus. Gansiklovir

adalah sebuah analog nukleosida asiklik, sedangkan cidofovir adalah fosfanat

14

Page 15: Referat 2 - CMV - Kel 7 A4 (Edit)

nukleosid asiklik. Setiap bahan harus difosforilasi ke dalam bentuk trifosfat sebelum

dapat dihambat oleh polimerase Cytomegalovirus. Produk gen virus, UL97

fosfotranferase memediasi langkah untuk monofosforilasi untuk gansiklovir.

Foscarnet bukan merupakan analog nukleosida sejati, tetapi dapat juga secara

langsung menghambat polimerase virus (Schleiss, 2010).

Gansiklovir umumnya digunakan sebagai terapi preemptive pada penerima

organ transplan yang berisiko tinggi mengalami perkembangan penyakit (seperti

penerima organ transplan yang seronegatif terhadap organ transplan dari donor

seropositif). Asiklovir per oral dan pernteral juga telah sukses digunakan untuk

profilaksis organ padat transplantasi (penerima seronegatif). Meskipun demikian,

asiklovir tidak pernah digunakan untuk terapi penyakit Cytomegalovirus yang aktif.

Formulasi oral dibuktikan untuk digunakan pada pasien HIV dewasa yang

mengalami retinitis Cytomegalovirus. Meskipun demikian bioavailabilitasnya kurang

dan tidak ada data yang mendukung pada anak-anak (Schleiss, 2010).

Sekuel neurologi dari Cytomegalovirus kongenital umumnya tuli sensorineural,

berkembang pada posnatal, kemunculan hasilnya dari percobaan terminasi

kolaborasi bangsa-bangsa masih menarik diteliti. Gansiklovir intravena membawa

perkembangan atau stabilisasi pendengaran pada sejumlah balita usia 6 bulan.

Laporan kasus menyarankan efikasi gansiklovir untuk penyakit neonatus akut

dengan pengancaman jiwa penyakit Cytomegalovirus (seperti pneumonia) (Schleiss,

2010).

Alternatif gansiklovir meliputi trisodium fosformat (PFA) dan cidofovir.

Pengalaman dokter anak dengan obat ini terbatas. Meskipun berpotensi digunakan

dalam latar belakang resisten gansiklovir, toksisitas antivirus ini cukup besar.

Penggunaan obat-obatan ini pada pasien pediatrik hanya pada kondisi perkecualian.

Meskipun obat ini memiliki aktivitas perlawanan terhadap virus ini tingkat sedang,

dosis tinggi acyclovir oral dan valacyclovir telah digunakan untuk profilaksis penyakit

ini dengan individu risiko tinggi seperti yang telah disebutkan, tetapi tidak sesuai

pada terapi penyakit aktif. Terapi oral dengan valgansiklovir dipertimbangkan untuk

diinvestigasi pada anak (Schleiss, 2010).

1) Gansiklovir

Gansiklovir terlisensi untuk terapi infeksi CMV. Nukleotida asiklik sintetik

secara struktural serupa dengan guanin. Struktur tersebut serupa pada acyclovir

yang membutuhkan fosforilasi aktivitas antiviral. Enzim yang bertanggung jawab

untuk fosforilasi adalah produk gen UL97 virus, sebuah protein kinase.

Resistensi dapat terjadi pada penggunaan jangka panjang, secara umum terjadi

karena mutasi gen ini. Indikasi obat ini untuk anak immunocompromised seperti

infeksi HIV, postransplan, dan lain-lain jika secara klinis dan virologis

membuktikan penyakit spesifik berakhirnya organ yang spesifik (Schleiss, 2010).

Pada balita, terapi antiviral dengan gansiklovir mungkin berguna

menurunkan prevalensi sekuel perkembangan neural, umumnya tuli

sensorineural. Sebuah penelitian mengenai penyakit alergi dan infeksiinstitusi

nasional di negara peneliti menunjukkan perbaikan relatif pada pendengaran

pada tuli simtomatik kongenital CMV yang diterapi dengan gansiklovir. Meskipun

15

Page 16: Referat 2 - CMV - Kel 7 A4 (Edit)

demikian, terapi pada neonatus harus dikonsultasikan oleh ahlinya (Schleiss,

2010).

2) Immunoglobulin

Imunoglobulin digunakan sebagai imunisasi pasif untuk mencegah penyakit

Cytomegalovirus simtomatik. Strategi ini telah digunakan pada kontrol penyakit

Cytomegalovirus pada pasien immunocompromised pada era aantivirus

prenuklosida. Bukti pada kehamilan menyarankan infus Ig CMV pada wanita

dengan infeksi primer dapat mencegah transmisi dan memeperbaiki kondisi

kelahiran (Schleiss, 2010).

3) Valgansiklovir (VGCV)

Valgansiklovir (VGCV) adalah sebuah prodrug turunan valyl dari gansiklovir.

Setelah absorbsi di intestinum, moase valine cepat diurai oleh hepar

menghasilkan GCV. Zat ini inaktif dan membutuhkan trifosforilasi untuk aktivitas

virostatis (Schleiss, 2010).

b. Pembedahan

Terapi operatif yang dibutuhkan seperti pada kejadian dengan cerebral palsy

yaitu dengan operasi ortopedik dan gastrotomy. Gastrotomy dilakukan untuk

mengganti nutrisi untuk ke enteral (Schleiss, 2010).

3. 3. Pencegahan Infeksi CMV

Pemberian imunisasi dengan plasma hiperimun dan globulin dikemukakan telah

memberi beberapa keberhasilan untuk mencegah infeksi primer dan dapat diberikan

kepada penderita yang akan menjalani 31 cangkok organ. Namun demikian, program

imunisasi terhadap infeksi CMV, belum lazim dijalankan di negeri kita. Pada pemberian

transfusi darah, resipien dengan CMV negatif idealnya harus mendapat darah dari

donor dengan CMV negatif pula.2 Deteksi laboratorik untuk infeksi CMV, idealnya

dilakukan pada setiap donor maupun resipien yang akan mendapat transfusi darah atau

cangkok organ. Apabila terdapat peningkatan kadar IgG anti- CMV pada pemeriksaan

serial yang dilakukan 2x dengan selang waktu 2-3 minggu, maka darah donor

seharusnya tidak diberikan kepada resipien mengingat dalam kondisi tersebut infeksi

atau reinfeksi masih berlangsung. Seorang calon ibu hendaknya menunda untuk hamil

apabila secara laboratorik dinyatakan terinfeksi CMV primer akut. Bayi baru lahir dari

ibu yang menderita infeksi CMV, perlu dideteksi IgM anti-CMV untuk mengetahui infeksi

kongenital (Budipardigdo, 2007). Langkah-langkah pencegahan yang perlu diperhatikan

antara lain (Chin, 2000) :

1. Waspada dan hati-hati pada waktu mengganti popok bayi, cuci tangan

dengan baik sesudah mengganti popok bayi dan buanglah kotoran bayi di jamban

yang saniter.

2. Wanita usia subur yang bekerja di rumah sakit (terutama yang bekerja

dikamar bersalin dan bangsal anak) sebaiknya memperhatikan prinsip tindakan

kewaspadaan universal; sedangkan pada tempat penitipan anak dan

anakprasekolah lakukan prosedur standar yang ketat tentang kebersihan

perorangan seperti kebiasaan mencuci tangan. Terhadap anak-anak dengan

retardasi mental diberikan perhatian lebih spesifik.

16

Page 17: Referat 2 - CMV - Kel 7 A4 (Edit)

3. Hindari melakukan transfusi kepada bayi baru lahir dari ibu yang seronegatif

dengan darah donor dengan seropositif CMV.

4. Hindari transplantasi jaringan organ dari donor seropositif CMV kepada

resipien yang seronegatif. Jika hal ini tidak dapat dihindari, maka pemberian IG

hiperimun atau pemberian antivirus profilaktik mungkin menolong.

Pengawasan penderita, kontak dan lingkungan sekitar yang dapat dilakukan antara lain

(Chin, 2000) :

1. Laporan kepada instansi kesehatan setempat: laporan

resmi tidak diperlukan,

2. Isolasi: tidak dilakukan. Lakukan tindakan kewaspadaan

terhadap sekret yang dikeluarkan oleh penderita yang diduga mengekskresikan

virus.

3. Disinfeksi serentak: Disinfeksi dilakukan terhadap discharge

dari penderita yang dirawat di Rumah Sakit dan terhadap benda-benda yang

tercemar.

4. Karantina tidak dilakukan.

5. Imunisasi kontak : vaksin secara komersial tidak tersedia.

6. Investigasi kontak dan sumber infeksi tidak dilakukan,

karena tingginya angka prevalensi orang yang tidak menunjukkan gejala klinis di

masyarakat.

17

Page 18: Referat 2 - CMV - Kel 7 A4 (Edit)

IV. PENUTUP

4. 1. Ringkasan

Infeksi Cytomegalovirus (CMV) tersebar luas di seluruh dunia, dan terjadi endemik

tanpa tergantung musim. Iklim tidak mempengaruhi prevalensi. Pada populasi dengan

keadaan sosial ekonomi yang baik, kurang lebih 60-70% orang dewasa, menunjukkan

hasil pemeriksaan laboratorium positif terhadap infeksi CMV. Kejadian infeksi CMV pada

Ibu hamil sangat tinggi dan menyebabkan kelainan congenital pada janin. Diagnosis dini

dengan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang amatlah penting

untuk menentukan status infeksi dan penentuan perlu tidaknya mendapat terapi untuk

mencegah mortalitas dan morbiditas. Untuk mengurangi risiko kelainan congenital pada

janin perlu memperhatikan tindakan pencegahan yang efektif.

4. 2. Saran

a. Perlunya sosialisasi pencegahan infeksi TORCH termasuk di dalamnya infeksi CMV

untuk mengurangi risiko kelainan congenital pada janin

b. Perlunya tindakan skrining infeksi TORCH tersebar luas dan terjangkau di sarana

pelayanan kesehatan

18

Page 19: Referat 2 - CMV - Kel 7 A4 (Edit)

DAFTAR PUSTAKA

Akhter, Kauser dan Wills, Todd S. 2010. Cytomegalovirus. eMedicine Infectious Disease.

Diunduh dari http://emedicine.medscape.com/article/215702-overview. Diakses 29

September 2010.

Budipardigdo S, Lisyani. 2007. Kewaspadaan Terhadap Infeksi Cytomegalovirus Serta

Kegunaan Deteksi Secara Laboratorik. Universitas Diponegoro: Semarang

Chin, J. 2000. Infeksi Sitomegalovirus. Dalam: Manual Pemberantasan Penyakit Menular.

Jakarta : Direktorat Jendral Pemberantasan Penyakit Menular dan Penyehatan

Lingkungan. h.143-4

Dwindra, Mayenru. 2009. Infeksi Cytomegalovirus. Universitas Riau : Riau

Firman F, Wirakusumah,. 2009. Infeksi Cytomegalovirus (CMV) Kongenital dan

Permasalahannya. Diakses tanggal 28 September 2010. Diunduh dari:

http://www.fmrshs.com/index.php?option=com_content&view=article&id=65:infeksi-

Cytomegalovirus-cmv-kongenital-dan permasalahannya&catid=39:artikel&Itemid=57

Griffiths PD, 2002: Emery VC. Cytomegalovirus. Dalam: Clinical Virology. Washington: ASM

Press. h.433-55

Karger, Freiburg. 2001. Cytomegalovirus (CMV). Diunduh dari:

http://www.cdc.gov/cmv/transmission.html. Diakses pada 29 September 2010

Kauser, Akhter. 2010. Cytomegalovirus. Diakses tanggal 28 September 2010. Diunduh dari:

http://emedicine.medscape.com/article/215702-overview

Kim CS. 2010. Congenital and Perinatal Cytomegalovirus Infection. Korean Journal of

Pediatrics. 53(1): 14-20.

Marino T, B Laartz, SE Smith, SG Gompf, K Allaboun, JE Marinez, et al. 2010. Viral

Infections and Pregnancy. Diunduh dari:

http://emedicine.medscape.com/article/235213-overview. Diakses pada 28 September

2010

Schleiss, M.R., 2010. Cytomegalovirus Infection: Treatment & Medication. Diunduh

dari: http://emedicine.medscape.com/article/963090-treatment. Diakses pada 29

September 2010

19