Presus Sol

48
BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang Insidensi kanker di seluruh dunia pada tahun 2004 mencapai 11,4 juta orang. Insidensi tertinggi didapatkan di Western Pacific. Asia Tenggara menduduki peringkat ke empat setelah Amerika yaitu dengan jumlah 1,7 juta orang. Di samping insidensi yang cukup tinggi, kanker juga merupakan penyakit yang belum memiliki terapi definitif. Saat ini penatalaksanaan kanker bertumpu pada upaya kemoterapi, radioterapi dan atau operasi reseksi. Efek dari kemoterapi dan radioterapi dapat menyebabkan rasa yang sangat tidak nyaman kepada pasien yang menjalaninya (Ali, 2006). Tumor otak merupakan neoplasma, baik yang jinak maupun ganas, yang berasal dari inflamasi dalam jangka waktu yang lama, yang tumbuh di dalam otak, selaput otak atau tengkorak. Gambaran diagnosis yang menyebabkan tumor otak dapat ditegakkan dari petunjuk epidemiologi, pemeriksaan fisik, pemeriksaan khusus, manifestasi klinik maupun pengetahuan tentang patologi. Neoplasma intrakranial dapat timbul dari berbagai struktur atau tipe sel di dalam kubah kranial, meliputi cerebrum, selaput otak, kelenjar pituitari, tengkorak dan bahkan residual jaringan embrionik. Tumor otak memiliki rentang usia yang dapat diibaratkan seperti sebuah piramida dengan puncaknya yang kecil pada populasi anak dan jumlahnya meningkat dimulai pada rentang usia 20 tahun dan mencapai 1

Transcript of Presus Sol

Page 1: Presus Sol

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar belakang

Insidensi kanker di seluruh dunia pada tahun 2004 mencapai 11,4 juta orang. Insidensi

tertinggi didapatkan di Western Pacific. Asia Tenggara menduduki peringkat ke empat

setelah Amerika yaitu dengan jumlah 1,7 juta orang. Di samping insidensi yang cukup tinggi,

kanker juga merupakan penyakit yang belum memiliki terapi definitif. Saat ini

penatalaksanaan kanker bertumpu pada upaya kemoterapi, radioterapi dan atau operasi

reseksi. Efek dari kemoterapi dan radioterapi dapat menyebabkan rasa yang sangat tidak

nyaman kepada pasien yang menjalaninya (Ali, 2006).

Tumor otak merupakan neoplasma, baik yang jinak maupun ganas, yang berasal dari

inflamasi dalam jangka waktu yang lama, yang tumbuh di dalam otak, selaput otak atau

tengkorak. Gambaran diagnosis yang menyebabkan tumor otak dapat ditegakkan dari

petunjuk epidemiologi, pemeriksaan fisik, pemeriksaan khusus, manifestasi klinik maupun

pengetahuan tentang patologi.

Neoplasma intrakranial dapat timbul dari berbagai struktur atau tipe sel di dalam kubah

kranial, meliputi cerebrum, selaput otak, kelenjar pituitari, tengkorak dan bahkan residual

jaringan embrionik. Tumor otak memiliki rentang usia yang dapat diibaratkan seperti sebuah

piramida dengan puncaknya yang kecil pada populasi anak dan jumlahnya meningkat dimulai

pada rentang usia 20 tahun dan mencapai jumlah maksimum 20 kasus per 100.000 populasi

antara usia 75 hingga 84 tahun. Pengobatan yang dapat dilakukan untuk penderita dapat

berupa Supportive Therapy maupun Definitive Theraphy (Ovedoff, 2002).

Pada pasien-pasien bedah syaraf, penatalaksanaan anestesi memerlukan pemahaman

mendalam mengenai Central Nervous System / CNS (Sistem Saraf Pusat). Selain itu untuk

pemberian anestesi pada operasi intrakranial dan operasi di luar otak tetapi pasien memiliki

kelainan serebral, kita harus mengerti mengenai anatomi, fisiologi, dan farmakologi dari

CNS. Penggunaan anestesi dapat memberikan kerugian dan manfaatnya tersendiri dalam

hubungannya dengan neurofisiologi. Tulisan ini akan membahas mengenai konsep fisiologi

yang penting dari anestesi dan efek penggunaan anestesi pada fisiologi serebral.

1

Page 2: Presus Sol

B. Tujuan penulisan

1. Meninjau kasus managemen pra kraniotomi dan pembiusan untuk kraniotomi pada

kasus tumor intrakranial

2. Mengetahui pembiusan untuk kraniotomi pada kasus tumor intrakranial

2

Page 3: Presus Sol

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

ANESTESI UNTUK OPERASI TUMOR INTRAKRANIAL

Anestesi untuk bedah saraf memerlukan pengetahuan tentang prinsip dasar dan

neurofisiologi dan pengaruh obat anestesi pada dinamika intrakranial

(neurofarmakologi). Kebanyakan prosedur bedah saraf intrakranial adalah karena adanya

lesi massa, sekitar 80% terletak di supratentorial (Rao, 2005). Prosedur supra tentorial

termasuk operasi untuk tumor, hematom, trauma dan vaskuler. Walaupun gambaran

patofisiologis berbeda untuk setiap lesi yang berbeda, tetapi pertimbangan anestesinya

sama. Tumor otak primer, sebagian besar (60%) adalah glioma, meningioma dan

adenoma hipofise. Glial tumor (40%) berasal dari astrocyt (astrocytoma dan

glioblastoma multiforme) dan oligodendrocyt (oligodendroglioma). Astrosit anaplastik

dan glioblastoma merusak BBB (Tatang, Wargahadibrata, dan Eri, 1997).

Aliran darah ke tumor bervariasi, tetapi, autoregulasi umumnya hilang dan

adanya hipertensi menyebabkan meningkatnya aliran darah ke tumor. Adanya edema

yang luas sekeliling tumor akan menambah efek massa. Daerah ini juga mungkin

menderita iskemia akibat kompresi, aliran darah peri-tumor 28% lebih rendah dari

jaringan hemisfer yang kontra lateral. Reseksi meningioma total akan menyebabkan

rendahnya rekurent daripada reseksi parsial, maka prosedur bedah untuk meningioma

lebih rumit dan lebih lama daripada debulking untuk tumor Glia.

Prosedur bedah untuk supratentorial sering melalui frontal atau pteriontal.

Pendekatan pterional dilakukan melalui lobus temporal dan memerlukan pemutaran

kepala pasien ke posisi yang berlawanan. Pada pendekatan frontal, termasuk bi-frontal

kraniotomi untuk lesi-bilateral atau lesi di garis tengah. Karena sinus sagitalis berjalan

transversal, maka ada risiko perdarahan dan emboli udara pada pendekatan bi-frontal.

Tumor dalam SSP menimbulkan gejala karena efek penekanan pada struktur saraf

sehingga terjadi gejala neurologis spesifik atau kenaikan ICP yang tidak spesifik, atau

adanya kejang-kejang. Kejang dan defisit neurologis lokal bisa disebabkan karena efek

penekanan lokal oleh tumor. Tumor pada kelenjar hipofise menimbulkan efek hormonal.

Beberapa tumor harus dieksisi, yang lainnya hanya paliatif dengan dekompresi,

pemasangan VP-Shunt atau radioterapi. Edema hebat sekeliling tumor sering terjadi pada

tumor malignan. Meningioma yang besar tetapi jinak sering khas dengan tingginya

3

Page 4: Presus Sol

shunting aliran darah dalam tumor. Dalam jaringan tumor autoregulasi hilang, juga hal

ini terjadi di jaringan sekeliling tumor. Bila ada penekanan dan efek tekanan yang nyata

oleh tumor, dan selanjutnya terjadi kenaikan ICP bisa terjadi hemiasi tentorial. Karena

itu pertimbangan prinsip untuk anestesi tumor cerebri adalah pengendalian ICP.

Kebanyakan tumor supratentorial bersifat jinak, dan astrositoma yang kurang

agresif dapat diangkat secara lengkap. Kesulitan bisa terjadi dengan beberapa tumor,

misalnya meningioma yang berdekatan dengan struktur penting atau tumor basis.

Kebanyakan malignan glioma berhubungan rapat dengan jaringan otak normal dan hanya

partial debulking yang mungkin dilakukan tanpa menyebabkan kerusakan neurologis.

Jika lesi terdapat pada lobus temporal atau frontal, pengangkatan tumor yang lengkap

dapat dilakukan dengan lobektomi.

Meningioma suatu tantangan bagi anestetist dan dokter bedah saraf karena jinak

dan bisa sembuh, tetapi komplikasi operasi dapat mengerikan. Meningioma bisa

mencapai ukuran besar sebelum menimbulkan gejala klinis serta sangat vaskuler yang

bisa menyebabkan kehilangan darah yang banyak saat dilakukan pembedahan. Beberapa

konveksitas meningioma menekan ke dalam vauet tulang tengkorak. Anestetist harus

mempersiapkan terhadap kemungkinan adanya perdarahan banyak ketika tulang

diangkat. Bahaya ini juga terdapat operasi ulangan (redo Craniotomy) untuk meningioma

recurent. Dalam keadaan-keadaan ini, juga pada tumor yang berasal dari pembuluh darah

harus dipasang monitor CVP (Tatang, Wargahadibrata, dan Eri, 1997).

Tumor yang lebih besar dan vaskuler, teknik hipotensi akan mengurangi jumlah

perdarahan. Kadang-kadang pasien menunjukkan adanya edema otak setelah tumor

diresekst semuanya. Dalam keadaan ini monitor ICP harus dipasang dan pasien harus

diventilasi pasca bedah untuk menjamin bahwa edema otak yang telah ada tidak

diperburuk oleh hipoksia atau hiperkapnia, serta karena adanya risiko episode apnoe

yang tiba-tiba. Adanya ICP monitor akan menyebabkan kita waspada terhadap adanya

hematoma pasca bedah. Pada keadaan ada kenaikan ICP, tujuan prinsip adalah

menghindari hiperkarbia dan hipotensi atau hipertensi. Bila pembengkakan otak terjadi

setelah operasi tumor, steroid harus diteraskan post-operatif. Di beberapa senter

memberikan tambahan bolus dexamethason 12-16 mg perioperatif, diikuti dengan

penambahan dosis untuk beberapa hari pertama pasca bedah. Daerah yang iskemik atau

trauma pada tempat operasi seperti halnya darah dalam ventrikel, akan merupakan

predisposisi terjadinya konvulsi, karena itu berikan anti konvulsi. Jadi sasaran

anestesilogist adalah :

4

Page 5: Presus Sol

a. Memahami tipe, berat penyakitnya dan lokasi tumor

b. Pasen tidak bergerak, relaksasi otak, pengendalian tanda vital

c. Menjamin CPP yang adekuat

d. Cepat bangun sehingga bisa memberikan keadaan untuk pemeriksaan neurologis

e. Terapi dan cegah hipertensi, batuk dan gangguan nafas yang membahayakan pada

periode paska bedah

1. Evaluasi Pra Bedah

Evaluasi pra bedah untuk operasi supratentorial sama seperti tindakan anestesi

lainnya dengan riwayat medis lengkap yang menekankan terhadap fungsi jantung dan

paru. Pada prosedur bedah saraf; seperti halnya prosedur bedah lain, kebanyakan

morbiditas dan mortalitas anestesi perioperatif adalah akibat disfungsi paru atau

jantung (Tatang, Wargahadibrata, dan Eri, 1997).

a. Anamnesis

Pasien bedah saraf membutuhkan pertanyaan khusus tentang penyakit SSP.

Gejala kenaikan ICP harus ditanyakan (sakit kepala, mual, muntah, penurunan

kesadaran, gangguan penglihatan). Adanya kejang dan defisit neurologis lokal akibat

efek penekanan lokal dari tumor. Perdarahan otak atau Cerebro Vascular Accident

sebelumnya dicatat sebagai residu defisit neurologis. Telaahlah dengan hati-hati hasil

operasi intrakranial atau prosedur diagnostik sebelumnya, dan pertimbangan

kemungkinan pneumocephalus residu atau interaksi anestetik lain.

Telaahlah kembali obat-obatan yang lalu dengan lebih menekankan perhatian

kita pada obat-obat yang mempunyai efek pada periode perioperatif. Terapi obat-

obatan pada pasien bedah syaraf dapat menyebabkan penurunan volume intravaskuler.

Mannitol dan diuretik lain yang digunakan pra bedah untuk mengurangi edema

serebral, dapat menimbulkan hipoyplemia dan gangguan keseimbangan elektrolit

yang bisa menyebabkan terjadinya hipotensi berat dan aritmia pada saat induksi

anestesi. Kortikosteroid, yang juga digunakan untuk menurunkan edema serebral,

akan meningkalkan kadar glukosa darah dengan stimulasi glukoneogenesis dan

menyebabkan penekanan adrenal secara langsung yang dapat menyebabkan terjadinya

hipotensi dan insufisiensi kardiovaskuler dengan adanya stres bedah. Obat anti

hipertensi dapat merubah volume intravaskuler. Tricyclic anti depresant dan levodopa

telah nyata dapat memicu terjadinya hipertensi intraoperatif dan cardiac disritmia

Benzodiazepin, phenothiazine dan butirophenon dapat berperanan terjadinya hipotensi

perioperatif (Tatang, Wargahadibrata, dan Eri, 1997).

5

Page 6: Presus Sol

b. Pemeriksaan Fisik

Pemeriksaan fisik pra bedah ditujukan pada jalan nafas, paru, sistim

kardiovaskuler dan SSP. Pada pasien-pasien dengan penyakit sertaan,

pemeriksaan ditujukan terhadap kemungkinan adanya hipovolemia. Pasien-pasien

bedah saraf sering somnolent dan intake oral yang tidak adekuat yang dapat

menimbulkan keadaan hipovolemia. Juga bisa terjadi peningkatan diuresis akibat

diabetes insipidus, atau pemberian diuretik. Hipovolemia ringan atau sedang

umumnya dapat ditolerir dengan baik, tetapi hipovolemia yang nyata harus

dikoreksi sebelum induksi anestesi.

Pemeriksaan neurologis harus dilakukan, tingkat kesadaran dan setiap

defisit sensoris/motoris harus dicatat. Pemeriksaan neurologis harus diulang di

kamar operasi sesaat sebelum dilakukan induksi. Pemeriksaan tanda-tanda

kenaikan ICP, seperti adanya sakit kepala, mual, muntah, midriasis unilateral,

pupil edema, palsi occulomotor atau abdusen. Bila ICP meningkat lebih jauh,

kesadaran pasien memburuk dan diikuti dengan disfungsi respirasi dan jantung.

Adanya pernafasan Cheyne-Stokes atau bradikardi disertai hipertensi merupakan

tanda penekanan batang otak (Tatang, Wargahadibrata, dan Eri, 1997).

c. Pemeriksaan Laboratorium

Pemeriksaan laboratorium rutin, termasuk jumlah sel darah, kimia serum

dan koagulasi harus dilakukan. Hiperventilasi dan diuresis, akan menurunkan

kadar K-serum, jadi pemberian K harus dipertimbangkan. Bila kadar glukosa

serum > 200 mg% diperlukan terapi insulin untuk menurunkan kadar glukosa ke

nilai normal yang berguna untuk proteksi otak dan tekanan osmotik. Osmolariti

serum harus diukur pada pasien dalam terapi ICP. Pasien dengan cedera kepala

sering EKG-nya abnormal, maka pemantauan EKG pra bedah harus dilakukan,

untuk melihat perubahan selama operasi dan anestesia. Pemeriksaan radiologis pra

bedah untuk informasi tentang ukuran tumor atau perdarahan serta lokasinya,

edema serebral, dan mid-line shift. Mid-line shift 0,5 cm pada MRI atau CT-Scan

atau gangguan dari jaringan otak pada sisterna basalis menunjukkan adanya

kenaikan ICP (Tatang, Wargahadibrata, dan Eri, 1997).

d. Pengelolaan Obat

Sekali diagnosis dibuat dan direncanakan untuk tindakan pembedahan,

tujuan prinsip pemberian obat adalah untuk mengendalikan ICP dan terapi

epilepsi. Steroid efektif untuk mengurangi edema peritumor dan meningkatkan

6

Page 7: Presus Sol

kompliance otak pada pasien tumor ganas dan meningioma. Dosis umum

dexamethasone adalah 4 mg 3x sehari bersama-sama dengan hidrogen reseptor

antagonist. Epilepsi diterapi dengan phenitoin 100 mg 3x sehari. Normal range

therapetik adalah 40-100 µMol/l (Tatang, Wargahadibrata, dan Eri, 1997).

e. Premedikasi

Sedasi pra bedah merupakan kontra indikasi pada pasien dengan

penurunan kesadaran. Bila premedikasi diperlukan, dapat diberikan benzodiazepin

(diazepam, lorazepam atau midazolam). Piazepam 5-10 mg atau lorazepam 1-2

mg dapat diberikan 1-2 jam pra bedah per oral. Diazepam dan lorazepam

mempunyai waktu paruh yang cukup panjang dan bisa memperlambat bangun

paska bedah, karena itu mungkin lebih baik dengan midazolam i.v., i.m. atau oral.

Narkotik harus dihindari karena meningkatkan risiko muntah dan hipoventilasi,

yang keduanya dapat meningkatkan ICP (Tatang, Wargahadibrata, dan Eri, 1997).

2. Monitoring

Monitoring rutin untuk operasi supratentorial adalah EKG, tekanan darah non-

invasif, arteri line, stetoskop oesophageal, FiO2, pulse oximetri, temperatur, nerve

stimulator, kateter urin. Idealnya EKG monitor di lead II, V5 dan modifikasi V5

ditempelkan pada semua pasien dengan penyakit jantung iskemik. Arteri line

digunakan bukan saja untuk memonitor tekanan darah dari denyut ke denyut jantung,

tetapi juga untuk analisa gas darah serta dapat juga menolong melihat status volume

pasien : (Tekanan Nadi = Tekanan Sistolik - Tekanan Diastolik). Untuk melihat CPP,

tranduser arteri line ditempelkan di level sirkulasi Willisi setinggi meatus acusticus

externa. Indikasi monitor arteri line terlihat pada tabel di bawah ini. Indikasi

pemasangan monitoring tekanan arteri invasif:

a. Operasi yang menyebabkan perubahan tekanan darah yang cepat.

b. Risiko kehilangan darah yang cepat.

c. Hipotensi kendali.

d. Diperlukan ventilasi pasca bedah.

e. Disertai dengan penyakit sertaan lain.

Monitor EtCO2 sangat penting, dapat melihat secara kasar nilai PaCO2 adanya

diskoneksi dan obstruksi jalan nafas. Untuk pasien dengan kemungkinan kehilangan

darah yang banyak atau keadaan kardiopulmonal yang terbatas dipasang monitor CVP

dan dapat dipertimbangkan dipasang PA kateter. Pergeseran cairan akut akibat

diuretik atau mannitol memerlukan monitoring CVP, sebab urine output tidak dapat

7

Page 8: Presus Sol

dipercaya untuk menditeksi hipovolemia. Indikasi pemasangan monitor CVP terlihat

pada tabel di bawah ini. Indikasi pemasangan CVP

a. Risiko kehilangan darah yang banyak.

b. Penaksiran status volume.

c. Posisi duduk.

d. Untuk pemberian obat vasoaktif.

Monitoring ICP untuk operasi supra tentorial masih kontroversial. Walaupun

beberapa praktisi menasihatkan untuk digunakan secara .rutin, tetapi praktisi yang lain

menunjukkan tidak adanya penelitian yang menyebutkan keuntungan penggunaan

monitor ICP. Tetapi pada pasien dengan risiko peningkatan ICP yang hebat (ukuran

tumor > 3 cm dengan mid-line shift atau edema yang nyata) akan menguntungkan bila

dipasang monitor ICP (Tatang, Wargahadibrata, dan Eri, 1997).

3. Pengelolaan Anestesi

Sasaran utama selama induksi anestesi adalah mempertahankan level normal

dari ICP sambil mempertahankan CPP yang adekuat. Sasaran ini kebanyakan

dilakukan dengan menurunkan volume otak. Penurunan jumlah volume CSF sebagai

kompensasi pada kenaikan ICP kronis. Drain lumbal dapat dipakai untuk menurunkan

volume CSF, tetapi di kamar operasi penurunan volume darah otak umumnya

dilakukan dengan terapi farmakologi atau ventilasi.

Kejadian emboli udara pada pasien dengan posisi supine, kepala naik, adalah

kurang-lebih 14,6%, karena itu diperlukan monitoring end tidal CO2 (Tatang,

Wargahadibrata, dan Eri, 1997).

a. Induksi

Walaupun induksi anestesi untuk kraniotomi dapat dilakukan dengan

berbagai macam obat, tetapi yang paling baik adalah dengan barbiturat. Pentotal

akan menurunkan CMRO2, CBF dan ICP. Propofol juga menurunkan CMRO2,

CBF dan ICP. Narkotik juga menurunkan CMRO2, tetapi lebih kecil daripada

penurunan CBF, sehingga dalam teori disebutkan dapat membawa ke arah

iskemia, walaupun demikian efek ini tidak relevan secara klinis. Narkotik

memberikan pengendalian tekanan darah dan denyut jantung yang baik, sehingga

selalu dipakai dalam anestesi.

Ketamin menyebabkan peningkatan denyut jantung,tekanan darah dan ICP

serta menimbulkan gambaran kejang pada EEG, maka ketamin tidak dipakai

8

Page 9: Presus Sol

pada neuroanestesi. Pengaruh obat-obat anestesi terhadap CBF dan ICP terlihat

pada tabel di bawah ini.

ICP-CBFDecreasing No Change Increasing

Induction Agents

*Thiopental *Etomidate

*Midazolam*Droperidol

*Ketamine

Muscle Relaxants

*Vecuronium*Atracurium

*Pancuronium*Metocurium

*D-Tubocurarine*Succinylcholine

Inhalation Agents

*N2O*Isoflurance

*Enflurance*Halothane

IntravenousAgents

*Lidocaine*Benzodiazepines*Narcotics

CombinationTherapy

*N2O/Narcotic / Diazepam *Thiopental/Ketamine*Thiopental/Halothane

*Halothane/N2OAnti-Hypertension

*Labetolol *Nitroglicerine*Nitropruside

*β Blockers*Hydralazine

*TrimethaphanChannelblockers

(Initial Data) *Nicardipine*Verapamil

*Nifedipine Gambar: the effects of various drugs and drug combinations on ICP and CBF

Induksi yang lancar lebih penting dari kombinasi obat yang digunakan.

Pasien di preoksigenasi dan hiperventilasi olehnya sendiri. Pemberian Pentotal 3-4

mg/kg, propofol (2 mg/kg) atau etomidate 0,3 mg/kg i.v. harus diikuti dengan

ventilasi melalui sungkup muka untuk menjamin patensi jalan nafas dan

hiperventilasi. Neuromuskular blockade dapat dilakukan dengan vecuronium (0,1-

0,15 mg/kg) atau rocuronium (06-0,8mg/kg) i.v. lalu dihiperventilasi melalui

sungkup muka dengan N2O/O2 atau O2-Isofluran konsentrasi terendah (0,5%).

Lidokain i.v. (1,5mg/kg) dan ½ dosis obat anestesi i.v. untuk induksi diberikan

sebelum dilakukan intubasi.

9

Page 10: Presus Sol

Dosis obat induksi diatur untuk pasien dengan ketidakstabilan

kardiovaskuler. Kombinasi narkotik (fentanyl 5 µg/kg atau sufentanil 0,5-1 µg/kg)

dan dosis kecil pentotal dapat mengendalikan ICP serta kardiovaskuler tetap

stabil. Ventilasi adekuat harus dilakukan untuk menghindari hipoventilasi dan

hiperkarbia akibat narkotik yang akan menyebabkan kenaikan CBF (Tatang,

Wargahadibrata, dan Eri, 1997).

b. Pemeliharaan Anestesi

Pemeliharaan anestesi dapat dilakukan dengan berbagai cara. Teknik-

teknik ini umumnya termasuk dalam 3 katagori : obat anestesi inhalasi, teknik

anestesi intravena dan teknik balans. Gambaran paling penting dalam pemberian

anestesi adalah bukan teknik mana yang digunakan, tetapi bagaimana tepatnya

teknik tersebut dilakukan.

Banyak penulis yang memikirkan bahwa anestesi dengan dasar narkotik

dengan N2O atau dosis rendah Isofluran (< 1%) dalam oksigen, cukup optimal.

Tetapi baru-baru ini teknik tersebut dihubungkan dengan meningkatnya kejadian

mual-muntah paska bedah bila dibandingkan dengan teknik anestesi inhalasi atau

anestesi berbasiskan propofol. Bila anestesi berbasiskan narkotik, maka dapat

digunakan fentanyl, alfentanil atau sufentanil. Sufentanil mungkin mempengaruhi

ICP dan CPP (tak menguntungkan/tak baik). Fentanyl 5µg/kg dikombinasikan

dengan Isofluran < 1% dalam oksigen mungkin cukup baik. Alternatif lain,

sufentanil 0,5-lug/kg bolus, diikuti intermitent dengan dosis tidak lebih dari

0,5µg/kg/jam, atau infus 0,25-0,5 µg/kg/jam kombinasi dengan Isofluran <1%

dalam O2. Sufentanil kontinyu dihentikan ±l jam sebelum akhir operasi.

Obat anestesi inhalasi lebih disukai Isofluran dengan sedikit atau tanpa

suplement narkotik. Hiperventilasi dengan kombinasi Isofluran < 1% umumnya

menghasilkan intracranial dinamic yang lebih stabil. Disebabkan karena operasi

intrakranial berlangsung lama, bila pada akhir operasi ada kenaikan tekanan darah

dan frekuensi nadi, lebih baik diatasi dengan labetolol atau esmolol, bukan dengan

menaikkan dengan menaikkan konsenrrasi obat anestesi inhalasi, supaya pasien

lebih cepat bangun.

N2O bisa digunakan kecuali pada pasien dengan pneumocephalus (trauma post

craniotomy) atau emboli udara. Penggunaan N2O akan mengurangi dosis narkotik

dan Isofluran serta bangun dari anestesi dengan tenang.

10

Page 11: Presus Sol

TIVA dapat dilakukan dengan propofol dan fentanil. Setelah induksi,

propofol dimulai dengan 200µg/kg/menit dan kemudian diturunkan disertai

dengan infus, fentanyl 2µg/kg/jam. Teknik ini akan memberikan anestesi yang

stabil dan pasien cepat bangun, serta kejadian mual-muntahnya rendah. Setiap

teknik anestesi ini menyebabkan keadaan anestesi yang baik, tetapi seni

memberikan anestesi, pengalaman-pengalaman dan pengetahuan anestetist akan

menolong supaya tidak terjadi pemberian obat yang berlebihan atau kurang. Bila

pasien sulit bangun paska bedah, salah satu kemungkinannya adalah ekses obat

anestesi. Kemungkinan yang lain adalah kerusakan jaringan otak (operasi,

perdarahan, iskemia), gangguan elektrolit, hipotermi (Tatang, Wargahadibrata,

dan Eri, 1997).

Hiperventilasi merupakan tambahan tindakan yang penting. Hipokapni

akan menurunkan ICP sebelum dura dibuka, melawan vasodilatasi akibat obat

anestesi inhalasi dan menyebabkan otak menjadi rileks selama operasi. Optimal

hiperventilasi adalah untuk mencapai PaCO2 25-30mmHg. Jika peningkatan ICP

masih merupakan masalah, mungkin menguntungkan untuk menurunkan PaCO2

menjadi 20-25mmHg. PaCO2 harus dikorelasikan dengan EtCO2. Normalnya

PaCO2 4-8mmHg lebih tinggi dari EtCO2. Penurunan lebih besar dari PaCO2 tidak

menunjukkan adanya perubahan yang nyata pada ICP dan hipokapni yang ekstrim

dapat memberi pengaruh yang buruk pada metabolisme seluler, menyebabkan

pergeseran ke kiri kurve disosiasi oxy-Hb, atau terjadi vasokonstriksi maksimal

(Tatang, Wargahadibrata, dan Eri, 1997).

Pelemas otot mencegah pasien bergerak pada saat-saat yang kritis. Juga

bisa menurunkan ICP dengan rileksnya dinding dada, yang akan menurunkan

tekanan intratorakal dan terjadi drainage vena serebral yang baik. Pemilihan obat

harus berdasar pada lamanya operasi dan pengaruh obat pada haemodinamik serta

ICP. Untuk kebanyakan operasi supra tentorial dipilih norcuron / pavulon.

Cairan yang diberikan lebih disukai NaCl 0,9%. Pemberian cairan dibatasi

selama induksi anestesi dan dipertahankan tetap sedikit selama hemodinamik

stabil dan produksi urine baik. Bila dibutuhkan resusitasi volume dan nilai Ht

tidak menunjukkan perlunya darah, maka dapat diberikan koloid sebanyak 500-

1000cc (Tatang, Wargahadibrata, dan Eri, 1997).

Meningioma, karakteristik dengan adanya vaskularisasi yang banyak.

Sering ada hubungan yang berlebihan antara sirkulasi karotis eksternal dan

11

Page 12: Presus Sol

internal, maka tulang tengkorak sangat vaskuler. Bisa terjadi masalah pembekuan

akibat dari tipe tumornya, atau akibat transfusi darah masif dan beberapa kasus

DIC telah dilaporkan terjadi pada pasien dengan tumor serebral primer, juga

sering terjadi edema serebri paska bedah. Cara-cara mengurangi kehilangan darah

adalah :

a. Teknik hipotensi kendali

b. Embolisasi selektif pra bedah.

Saat terjadinya kehilangan darah adalah pada saat meagangkat tulang dan

mengangkat tumor. Bila ada hubungan antara pembuluh darah tumor dengan

pembuluh darah ekstrakranial, perdarahan dari tulang tengkorak biasanya terjadi

pada saat membor tulang kepala, tetapi umumnya dapat diatasi dengan bone wax.

Perdarahan selanjutnya terjadi pada saat tulang diangkat dengan kraniotom dan

tidak dapat dikendalikan sampai seluruh tulang tersebut selesai diangkat, sehingga

bila terjadi kesulitan pengangkatan tulang kepala, dapat terjadi perdarahan yang

banyak (Tatang, Wargahadibrata, dan Eri, 1997).

Teknik hipotensi dilakukan sebelum mulai mengangkat tulang lebih baik

dengan trimetaphan daripada dengan nitroprusside. Pada awalnya tekanan sistolik

dipertahankan antara 70-80 mmHg pada pasien yang normotensi dan pada level

yang lebih tinggi pada pasien yang hipertensi. Bila tulang telah diangkat, tekanan

darah bisa diturunkan lagi (tetapi harus diingat dalam menurunkan tekanan darah

ini, harus diperhatikan CPP adekuat).

Darah dan cairan harus diberikan untuk mempertahankan kestabilan

sirkulasi tanpa ada edema serebral paska bedah. Disebabkan bahaya dari gangguan

pembekuan, maka FFP dan thrombocyt harus diberikan setelah jumlah perdarahan

mencapai 2 liter bila perdarahan terns berlangsung. Pemberian ini lebih dini

daripada yang biasanya karena untuk mencegah terjadinya DIC, sebab hal ini

secara nyata tidak mungkin untuk mengobati keadaan ini pada pasien bedah syaraf

karena kebutuhan heparin dan penggantian cairan secara masif.

c. Akhir Anestesi

Bangun dari anestesi setelah operasi supra tentorial harus lancar dan

gentle. Keputusan apakah pasien harus bangun dan di ekstubasi tergantung dari

derajat kesadaran pra bedah, lokasi operasi, luasnya edema serebri, jumlah obat

yang diberikan.

12

Page 13: Presus Sol

Pasien yang pra bedahnya dalam keadaan koma atau tumor besar di

sentral, tidak usah segera diekstubasi. Kebanyakan pasien tetap diintubasi dan

bangun pelan-pelan di ICU setelah terus dimonitor dan diventilasi. Ada dua situasi

klinis dimana pasien yang sebelumnya koma dicoba untuk bangun sesegera

mungkin paska bedah :

a.Drainage dari epidural hematom atau subdural hematom.

b. V-P shunt dari hidrocephalus akut

Kebanyakan pasien operasi supra tentorial diekstubasi di kamar operasi.

Labetolol atau esmolol dan lidokain 1,5mg/kg i.v. dapat digunakan untuk terapi

hipertensi, takikardia dan stimulasi simpatis yang dihubungkan pada periode

sesaat sebelum ekstubasi. Adanya hipertensi pada periode ini harus diterapi karena

bisa terjadi perdarahan otak pada daerah luka operasi (Tatang, Wargahadibrata,

dan Eri, 1997).

13

Page 14: Presus Sol

BAB III

KASUS

1. IDENTITAS PASIEN

Nama : Tn. T

Jenis Kelamin : Laki-laki

Usia : 38 tahun

Agama : Islam

Suku bangsa : Jawa

Status marital : Sudah menikah

Pekerjaan : Kuli Bangunan

Pendidikan : Sekolah Dasar

Alamat : Jl. Toro sambek RT 01/10, Wonosobo

Tanggal masuk RS : 18 Juni 2012

Tanggal pemeriksaan : 26 Juni 2012 - 4 Juli 2012

Nomor CM : 745304

2. ANAMNESIS (ALLOANAMNESIS dengan istri dan ibu pasien)

A. KELUHAN UTAMA

Penurunan kesadaran sejak 1 hari SMRS

B. KELUHAN TAMBAHAN

Nyeri kepala dan muntah sejak 20 hari SMRS

C. RIWAYAT PENYAKIT SEKARANG

Pasien datang ke IGD RSMS dengan keadaan penurunan kesadaran sejak 1

hari SMRS. Selain itu pasien juga mengeluhkan nyeri kepala sejak dua puluh hari

yang lalu. Nyeri kepala dirasakan berdenyut, hilang timbul, yang semakin lama

semakin memberat. Nyeri kepala dirasakan mengganggu aktivitas hingga pasien

harus berhenti bekerja. Pasien juga sempat muntah menyemprot sejak dua puluh

hari SMRS. Muntah berisi makanan dan tidak disertai darah. Pasien juga

mengeluhkan penglihatannya menurun (menjadi kabur). Pasien juga mengeluhkan

sulit untuk berbicara dan demam. Pasien menyangkal terjadi kejang.

Pasien memiliki riwayat tumor otak dan sudah dilakukan dua kali tindakan

operasi. Awalnya pada tanggal 19 Juni 2012 direncanakan terapi sinar untuk pasien

namun karena kondisi pasien memburuk maka rencana terapi sinar pasien diundur.

14

Page 15: Presus Sol

KRONOLOGIS PENYAKIT SEKARANG

- Pasien sebelumnya pernah mengalami keluhan yang sama sejak bulan Maret

tahun 2012. Pasien sebelumnya sudah terdiagnosa tumor otak dan telah

dilakukan dua kali operasi.

- 4 Maret 2012 : Pasien merasakan nyeri kepala sejak 1 hari sebelum di bawa

ke klinik dokter umum. Pasien juga mengeluhkan mual (+), muntah (+), lemas

pada seluruh tubuh. Oleh dokter umum, pasien didiagnosa menderita maag.

Riwayat sakit maag disangkal pasien sebelumnya. Satu minggu setelah

berobat, pasien kontrol kembali dengan keluhan masih terdapat nyeri kepala

dan mual serta muntah. Lalu di beri obat lagi untuk satu minggu. Karena

selama satu minggu pengobatan pasien tidak mengalami perbaikan maka

keluarga mambawa pasien berobat ke RS Umum Wonosobo.

- 18 Maret 2012 : di RS Umum Wonosobo pasien mengeluhkan masih terdapat

nyeri kepala, mual (+), dan muntah (+). Lalu diberikan obat untuk 5 hari. Akan

tetapi baru 3 hari menjalani pengobatan tiba-tiba kondisi dirasakan pasien

semakin memburuk. Pasien mengeluhkan nyeri kepala dirasakan semakin

bertambah, mual (+) dan muntah (+). Selain itu pasien juga mengeluhkhan

lemah pada bagian sisi kiri tubuhnya. Lalu oleh keluarga pasien dibawa ke RS

Ngesti Waluyo Parakan.

- 21 Maret 2012 : di RS Ngesti Waluyo Parakan pasien mendapatkan perawatan

selama 5 hari. Pada hari ke 3 di RS, pasien menjalani pemeriksaan CT scan

untuk pertama kali. Dari hasil CT scan terdapat gambaran tumor otak. Saran

dari RS Ngesti Waluyo Parakan, tumor otak pada pasien harus segera

diangkat, pasien disarankan berobat ke Semarang (RS Karyadi) atau

Yogyakarta (RS Abdi Waluyo). karena alasan biaya keluarga pasien

memutuskan untuk membawa pasien pulang dahulu ke rumah dan mendapat

resep dari dokter untuk 1 minggu.

- 28 Maret 2012 : Selama di rumah pasien masih mengeluhkan nyeri kepala,

mual (+), dan lemah pada sisi kiri tubuhnya. Karena obat yang diberikan

dokter habis maka kondisi pasien bertambah buruk lalu keluarga pasien

menebus obat yang sama di apotek dengan resep yang sama. Tetapi karena

obat tidak tersedia di apotek maka diberikan obat dengan merek dagang

berbeda tetapi kandungannya sama. Baru 1 kali obat diminum dirasakan pasien

15

Page 16: Presus Sol

tidak cocok. Pasien mengeluhkan muntah muntah lalu oleh keluarga pasien di

bawa ke RS Umum Wonosobo lalu dari RS Wonosobo pasien dirujuk ke RS

Margono.

- 5 April 2012 : Di RS Margono pasien masuk dari IGD dengan keluhan nyeri

kepala (+), mual (+), muntah (+), dan kelemahan pada sisi kiri tubuhnya.

Pasien menjalani rawat inap selama 1 minggu di RS Margono. Setelah

perawatan kondisi pasien dirasakan semakin membaik. Oleh dokter pasien

direncanakan menjalani operasi pengangkatan tumor otak .

- 16 April 2012 : Pasien menjalani operasi pengangkatan tumor otak I (operasi

kraniotomi) tetapi tumor otak tidak jadi diangkat karena otak mengalami

pembengkakan. Setelah operasi pasien masih kembali mengeluhkan nyeri

kepala (+), mual (+), muntah (+), kelemahan pada sisi kiri tubuh. Pasien masih

dapat makan dan minum serta berbicara seperti biasa. Setelah 1 minggu pasca

operasi pasien diperbolehkan pulang dan dijadwalkan untuk kontrol kembali

hari selasa (1 Mei 2012).

- 23 April 2012 : selama 1 minggu perawatan di rumah kondisi pasien tidak

membaik maka pada hari senin (30 April 2012) pasien kembali dibawa ke RS

Margono dan menjalani perwatan selama 9 hari dan direncanakan untuk

operasi yang ke 2 dengan diagnosa tumor otak suspek glioma.

- 9 Mei 2012 : dilakukan operasi II pengangkatan tumor otak (operasi

kraniotomi dan biopsi tumor). Lalu dari hasil PA tanggal 14 Mei 2012 :

Diffuse Astrositoma grade III. Lalu pada tanggal 19 Mei 2012 dilakukan CT

scan pada pasien dan didapatkan hasil : masa densitas inhomogen bentuk oval,

batas tegas, tepi reguler, disertai kalsifikasi didalamnya pada talamus kanan,

korona radita kanan disertai edema bentuk finger like, massa tampak strong

enhancement pasca pemberian kontras (D/D: ependinoma, astrositoma,

teratoma dengan tanda-tanda peningkatan TIK). Pasca operasi pasien

menjalani perawatan selama 2 minggu di rumah sakit. Selama perwatan

kondisi pasien semakin lemah (lebih parah dari yang pertama). Sekarang tubuh

bagian kanan juga dirasakan lemah. Pasien masih dapat berbicara walaupun

terkadang apa yang diucapkan tidak sesuai. Nafsu makan pasien masih seperti

biasa. Pasien masih dalam keadaan sadar, dapat mengenali anggota keluarga.

Tidak ada gangguan penglihatan pada pasien, dan masih dapat berespon

terhadap benda. Tanggal 24 Mei pasien pulang.

16

Page 17: Presus Sol

- 24 Mei 2012 : selama perawatan di rumah kondisi dirasakan tidak ada

perbaikan.

- 29 Mei 2012 : pasien kontrol ke RS margono dengan keluhan yang sama

ditambah dengan penglihatan pasien yang mulai menurun.

- 30 Mei 2012 :di rumah pasien mengeluhkan muntah muntah menyemprot

berisi makanan tanpa disertai dengan darah. Nafsu makan berkurang. Pola

tidur menjadi pagi hingga sore hari pasien tidur sedangkan malam hari pasien

terbangun tidak dapat tidur. Nafas juga melalui mulut. Keluhan ini dirasakan

selama 1 minggu. Lalu pasien masuk kembali ke RS tanggal 18 Juni 2012

karena kondisi semakin memburuk.

D. RIWAYAT PENYAKIT DAHULU

- Riwayat Hipertensi (-) disangkal.

- Riwayat DM dan kolestrol disangkal.

- Riwayat penyakit jantung disangkal.

E. RIWAYAT PENYAKIT KELUARGA

- Pada keluarga pasien tidak ada keluhan yang sama

F. RIWAYAT KEBIASAAN

- Pasien memiliki riwayat merokok.

- Pasien tidak suka minum alkohol, maupun mengonsumsi obat terlarang.

3. PEMERIKSAAN FISIK

Pemeriksaan Tanggal 24 Juni 2012

GCS : E2 M5 V1

Keadaan umum : Tampak sakit berat

Kesadaran : Sopor

Tanda – tanda vital:

Tekanan darah: 140/100 mmHg

Nadi : 100 x/menit

RR : 20 x/menit

Suhu : 38,5◦C

BB : 50Kg

17

Page 18: Presus Sol

A. STATUS GENERALIS

Kepala : Normocephal, tidak ada hematom, bekas operasi (+)

Mata : Konjungtiva tidak anemis, sklera tidak ikterik, pupil bulat isokor Æ

4mm/4mm, refleks cahaya +/+ menurun, gerak bola mata normal

Hidung: Discharge -/-

Telinga: Discharge -/-, hiperemis -/-

Mulut : Tidak ada deviasi, malampati tak dapat dinilai , gipong +,gisu -

Leher : JVP tidak meningkat, tidak ada pembesaran kelenjar limfe

Thorax :

Pulmo

Inspeksi : Simetris, tidak ada ketinggalan gerak

Palpasi : Tidak ada ketinggalan gerak, fokal fremitus simetris normal

Perkusi: Sonor pada kedua lapang paru

Auskultasi : Suara dasar vesikuler, tidak ada ronki basah halus, tidak ada ronki

basah kasar, tidak ada wheezing pada kedua lapang paru

Cor

Inpeksi : Ictus cordis tampak pada SIC V LMCS

Palpasi : Ictus cordis teraba di SIC V LMCS, tidak kuat angkat

Perkusi :Kanan Atas : SIC II LPSD

Kiri Atas : SIC II LPSS

Kanan Bawah : SIC IV LPSD

Kiri Bawah : SIC V LMCS

Auskultasi : S1>S2 reguler, tidak ada murmur, tidak ada gallop

Abdomen :

Inspeksi : Datar

Auskultasi : Bising usus + normal

Perkusi : Timpani

Palpasi : Supel, tidak ada nyeri tekan pada seluruh lapang abdomen

Vertebrae:

Inspeksi : Tidak ada deformitas

18

Page 19: Presus Sol

Palpasi : Tidak ada nyeri tekan/nyeri ketok

Ekstremitas :

Superior : Tidak ada edema, anemis (-), sianosis (-)

Inferior : Tidak ada edema, anemis (-), sianosis (-)

B. STATUS NEUROLOGIS

Refleks cahaya : +/+ menurun

Pupil : bulat, isokor, Æ 4mm/4mm

Meningeal Sign : Kaku kuduk -, kernig -, brudzinski -

Pemeriksaan motorik

Superior InferiorGerakan Lemah Lemah

Kekuatan 333 333Trofi Eutrofi EutrofiTonus Normotoni NormotoniRefleks Fisiologis + normal + normalRefleks Patologis - -

Pemeriksaan Sensibilitas

Tidak didapatkan hipestesi maupun anestesi

4. PEMERIKSAAN PENUNJANG

a. Laboratorium (Tanggal 18 Juni 2012)

Pemeriksaan Hasil Nilai Normal

Hemoglobin 17,8 gr/dl 14-18 gr/dl

Leukosit 22390/ul 5000-10000/ul

Hematokrit 50 % 42-52%

Eritrosit 5,3 jt 4,7-6,1

Trombosit 384000/ul 180.000-450.000/ul

Ureum 28 mg/dl 14,98-28,52 mg/dl

Kreatinin 0,58 mg/dl 0,80-1,30 mg/dl

19

Page 20: Presus Sol

Gula darah sewaktu 118 mg/dl < 200 mg/dl

Elektrolit

Natrium

Kalium

Chlorida

144 mmol/l

4,1 mmol/l

95 mmol/l

136-145 mmol/l

3,5-5,1 mmol/l

98-107 mmol/l

Pemeriksaan Hasil Nilai Normal

Tes Fungsi Liver

Protein total

Albumin

Globulin

SGOT

SGPT

4,7 g/dl

2,88 g/dl

1,82 g/dl

41 U/L

81 U/L

6,0-8,7 g/dl

3,5-5,2 g/dl

2,5-3,1 g/dl

< 31 U/L

< 31U/L

b. CT-Scan Kepala tanggal 24 Juni 2012

20

Page 21: Presus Sol

5. RESUME

Pasien laki-laki, 38 tahun datang ke IGD RSMS dengan keadaan penurunan

kesadaran sejak 1 hari SMRS. Selain itu pasien juga mengeluhkan nyeri kepala sejak

dua puluh hari yang lalu. Nyeri kepala dirasakan berdenyut, hilang timbul, yang

semakin lama semakin memberat. Nyeri kepala dirasakan mengganggu aktivitas hingga

pasien harus berhenti bekerja. Pasien juga sempat muntah menyemprot sejak dua puluh

hari SMRS. Muntah berisi makanan dan tidak disertai darah. Pasien juga mengeluhkan

penglihatannya menurun (menjadi kabur). Pasien juga mengeluhkan sulit untuk

berbicara dan demam. Pasien menyangkal terjadi kejang. Pasien sebelumnya pernah

mengalami keluhan yang sama sejak bulan Maret tahun 2012. Pasien sebelumnya sudah

terdiagnosa tumor otak dan telah dilakukan dua kali operasi.

Pemeriksaan Fisik

GCS : E2 M5 V1

Keadaan umum : Tampak sakit berat

Kesadaran : Sopor

Tanda – tanda vital:

Tekanan darah: 140/100 mmHg

Nadi : 100 x/menit

RR : 20 x/menit

Suhu : 38,5◦C

21

Page 22: Presus Sol

Status generalis : dalam batas normal

Status neurologis

Refleks cahaya : +/+ menurun

Pupil : bulat, isokor, Æ 4mm/4mm

Meningeal Sign : Kaku kuduk -, kernig -, brudzinski -

Pemeriksaan motorik

Superior InferiorGerakan Terbatas Terbatas

Kekuatan 333 333Trofi Eutrofi EutrofiTonus Normotoni NormotoniRefleks Fisiologis + normal + normalRefleks Patologis - -

Pemeriksaan Sensibilitas

Tidak didapatkan hipestesi maupun anestesi

Pemeriksaan penunjang

CT-Scan: massa densitas inhomogen bentuk oval batas tegas tepi regular disertai

kalsifikasi didalamnya pada thalamus kanan, corona radiata kanan disertai edema

bentuk finger like, massa tampak strong enchancement pasca pemberian kontras

DD/ ependimoma, astrositoma, teratoma

Disertai peningkatan Tekanan Intra Kranial

Pemeriksaan Laboratorium

Pada hasil pemeriksaan didapatkan peningkatan Leukosit, SGOT, dan SGPT. Serta

terdapat penurunan kadar klorida, protein total, albumin, dan globulin.

6. DIAGNOSIS

Tumor serebri disertai hidrosefalus

7. PENATALAKSANAAN

Operasi VP shunt dan kraniotomi debulking tumor

8. LAPORAN ANESTESI PASIEN

a. Diagnosis pra-bedah : SOL (astrositoma) regio parietal sinistra sampai

dekstra dengan hidrosefalus

22

Page 23: Presus Sol

b. Diagnosis post-bedah : SOL (astrositoma) regio parietal sinistra sampai

dekstra dengan hidrosefalus

c. Tanggal operasi : 25 Juni 2012

d. Jenis Pembedahan : Craniotomy a/i SOL

Jenis Anestesi : General anestesi

Premedikasi anestesi : O2 3L/m, IVFD RL 20 tpm, ondansetron 4mg,

Induksi : Propofol 100 mg, Fentanyl 50 µg

Relaksasi : roculax

Pemeliharaan anestesi : O2, isofluorane, sevofluorane, ecron,

Medikasi lain : manitol 200cc, heparin, metilprednisolon,

dexamethason, ceftriaxon,

Teknik anestesi : General Anestesi semiclosed

Induksi iv dengan Propofol, Fentanyl bolus intravena

Intubasi dengan ET no.7,5 cuff .

Maintenance dengan O2,

Respirasi : Kontrol ventilator

Posisi : Terlentang

Infuse : RL, fimahes, NaCl

Status fisik : ASA III

Induksi mulai : 08.50

Operasi mulai : 09.30

Operasi Selesai : 17.10

Berat badan : 50 Kg

Lama Operasi : 7 jam 25 menit

Pasien puasa : 8 jam

Terapi cairan :

Maintenance = 2 cc/ KgBB/jam

= 2 cc x 34 kg/jam

= 68 cc/jam

Pengganti puasa = puasa x maintenance

= 6 x 68 cc/jam

= 408 cc

Stress Operasi = 8 cc/ kgBB/ jam

= 8 cc x 34 Kg/ jam

23

Page 24: Presus Sol

= 272 cc/jam

Kebutuhan cairan jam I

= ½ Pengganti puasa + maintenance + stress operasi

= 204 + 68 + 272 cc/jam

= 544 cc

Kebutuhan cairan jam II

= ¼ Pengganti puasa + maintenance + stress operasi

= 102 + 68 + 272

= 442 cc/jam

Kebutuhan cairan jam III

= ¼ Pengganti puasa + maintenance + stress operasi

= 102 + 68 + 272

= 442 cc/jam

EBV = 70 cc/kgBB

= 70 cc x 34 kg

= 2.380 cc

ABL = 20% EBV

= 20% x 2.380 cc

= 476 cc

9. FOLLOW UP PASCA OPERASI di ICU tanggal 25 Juni 2012

ANAMNESA (Alloanmnesa kepada istri dan ibu pasien )

Setelah dilakukan operasi pada tanggal 25 Juni 2012 pasien masuk ICU. Selama

perawatan kondisi dalam status quo. Terdapat tetraparese, sulit untuk berbicara dan juga

mengeluhkan batuk sejak operasi pertama dan sulit untuk mengeluarkan lendir. Tidak ada

gangguan penglihatan yang menurun, gangguan pendengaran (-).

PEMERIKSAAN FISIK

GCS : E2 M4 Vafasia

Keadaan umum : Tampak sakit berat

Kesadaran : Sopor

Tanda – tanda vital:

Tekanan darah: 135/94 mmHg

Nadi : 76 x/menit

24

Page 25: Presus Sol

RR : 17 x/menit

Suhu : 36,2◦C

STATUS GENERALIS

Kepala : Normocephal, tidak ada hematom, bekas operasi (+)

Mata : Konjungtiva tidak anemis, sklera tidak ikterik, pupil bulat isokor Æ

4mm/4mm, refleks cahaya +/+ menurun, gerak bola mata normal

Hidung : Discharge -/-

Telinga : Discharge -/-, hiperemis -/-

Mulut : Tidak ada deviasi, tremor maupun atrofi lidah

Leher : JVP tidak meningkat, tidak ada pembesaran kelenjar limfe

Thorax :

Pulmo

Inspeksi : Simetris, tidak ada ketinggalan gerak

Palpasi : Tidak ada ketinggalan gerak, fokal fremitus simetris normal

Perkusi: Sonor pada kedua lapang paru

Auskultasi : Suara dasar vesikuler, tidak ada ronki basah halus, tidak ada ronki

basah kasar, tidak ada wheezing pada kedua lapang paru

Cor

Inpeksi : Ictus cordis tampak pada SIC V LMCS

Palpasi : Ictus cordis teraba di SIC V LMCS, tidak kuat angkat

Perkusi : Kanan Atas : SIC II LPSD

Kiri Atas : SIC II LPSS

Kanan Bawah : SIC IV LPSD

Kiri Bawah : SIC V LMCS

Auskultasi : S1>S2 reguler, tidak ada murmur, tidak ada gallop

Abdomen :

Inspeksi : Datar

Auskultasi : Bising usus + normal

Perkusi : Timpani

Palpasi : Supel, tidak ada nyeri tekan pada seluruh lapang abdomen

Vertebrae:

25

Page 26: Presus Sol

Inspeksi : Tidak ada deformitas

Palpasi : Tidak ada nyeri tekan/nyeri ketok

Ekstrimitas :

Superior : Tidak ada edema, anemis

Inferior : Tidak ada edema, anemis

STATUS NEUROLOGIS

Refleks cahaya : -/-

Pupil : bulat, isokor, Æ 4mm/4mm

Meningeal Sign : Kaku kuduk -, kernig -, brudzinski -

Pemeriksaan motorik

Superior InferiorGerakan Lemah Lemah

Kekuatan 2222 2222Trofi Eutrofi EutrofiTonus Normotoni NormotoniRefleks Fisiologis + normal + normalRefleks Patologis - - Pemeriksaan Sensibilitas

Tidak didapatkan hipestesi maupun anestesi

PEMERIKSAAN LABORATORIUM (tanggal 25 Juni 2012)

Pemeriksaan Hasil Nilai Normal

Hemoglobin 16,5 gr/dl 12-14 gr/dl

Leukosit 20900/ul 5000-10000/ul

Hematokrit 47 % 37-43%

Trombosit 530000/ul 150.000-400.000/ul

Ureum 32,9 mg/dl 10-50 mg/dl

Kreatinin 0,46 mg/dl 0,5-1,3 mg/dl

26

Page 27: Presus Sol

Gula darah sewaktu 186 mg/dl < 200 mg/dl

Elektrolit

Natrium

Kalium

Chlorida

143 mmol/l

4,3 mmol/l

107 mmol/l

135-145 mmol/l

3,8-5,0 mmol/l

98-106 mmol/l

Pemeriksaan Hasil Nilai Normal

Tes Fungsi Liver

Protein total

Albumin

Globulin

4,7 g/dl

2,88 g/dl

1,82 g/dl

6,0-8,7 g/dl

3,5-5,2 g/dl

2,5-3,1 g/dl

PERKEMBANGAN PASIEN POST OPERASI (ICU) 25 juni 2012-4juli 2012

27

Page 28: Presus Sol

Jam Tekanan Darah (mmHg)

Nadi (x/menit)

RR (x/mnt)

SpO2(%)

Terapi

25 juni 201219.00 110/67

E3M5Vsdn77 15 98 Bolus:Kemicetin

3x1grTorasic 2x30mgDexametason 3x5mgCeftriaxon 1x2grRantin 2x1ampKutoin 3x100mgCa gluconas

2 Juli 201208.00 137/90

E3M3Vsdn77 22 91

3 Juli 201208.00 86/49

E1M1Vsdn111 11 93

4 Juli 201208.00 73/39

E1M1Vsdn137 8 91 Paracetamol

Fenitoin (PO)Hedonac 1000mg/10mNebulizer 2x1hrBolus:Rantin 2x1ampDexametason 3x5mgTramadol 3x1ampCeftazidine 3x1grCiprofloxacin 2x500mg

20.30 49/22E1M1Vsdn

50 8 45

10. PROGNOSIS

Quo ad vitam : Dubia ad malam

Quo ad functionam : Dubia ad malam

Quo ad Sanactionam : Dubia ad malam

BAB IV

28

Page 29: Presus Sol

PEMBAHASAN

A. Kunjungan Pre Operasi

Seorang pasien, Tn.T (38 th) datang dengan keluhan penurunan kesadaran. Keluhan

dirasakan sejak 1 hari SMRS. pasien juga mengeluhkan nyeri kepala sejak dua puluh hari

yang lalu. Nyeri kepala dirasakan berdenyut, hilang timbul, yang semakin lama semakin

memberat. Nyeri kepala dirasakan mengganggu aktivitas hingga pasien harus berhenti

bekerja. Pasien juga sempat muntah menyemprot sejak dua puluh hari SMRS. Muntah

berisi makanan dan tidak disertai darah. Pasien juga mengeluhkan penglihatannya

menurun (menjadi kabur). Pasien juga mengeluhkan sulit untuk berbicara dan demam.

Pasien menyangkal terjadi kejang.

B. Pemeriksaan Pre Operasi

Pada tanggal 24 Juni 2012, pasien mengeluhkan pusing, mual dan muntah, vertigo,

lemas. Tekanan darah 120/80 mmHg, nadi 76 kali per menit, laju pernapasan 20 kali

permenit serta suhu 37 0C. Adapun hasil laboratoriumnya antara lain : Hemoglobin 17,8 ,

Leukosit 22390, Hematokrit 50%, Eritrosit 5,3 juta, Trombosit 384.000, PT 12,9 ,APTT

29,6 ,Na144, K 4,1 ,SGOT 41 ,SGPT 81. Berdasarkan hal tersebut maka operasi acc ASA

II yaitu pasien dengan keadaan sistemik sedang. Adapun instruksi yang diberikan antara

lain : informed consent, IVFD RL, puasa 6 jam pre operasi, sedia darah 4 kolf, post

operasi rawat ICU, paracetamol 3x500mg Tujuan puasa 6 jam pre operasi untuk

mencegah regurgitasi isi lambung dan kotoran yang terdapat dalam jalan napas karena

refleks laring mengalami penurunan selama anestesia. Pada dewasa umunya puasa 6-8

jam, anak kecil 4-6 jam dan pada bayi 3-4 jam. Makanan tak berlemak diperbolehkan 5

jam sebelum induksi anestesia. Minuman bening, air putih, teh manis sampai 3 jam dan

untuk keperluan minum obat air putih dalam jumlah terbatas boleh 1 jam sebelum induksi

anesthesia (Latief, Suryadi, dan Dachlan, 2001 ; Morgan, 2007).

C. Tahapan Anestesi

1. Keadaan Pre-operasi : Pasien puasa selama 6 jam sebelum operasi. Keadaan umum

sedang dan kesadaran compos mentis. Tekanan darah 110/60 mmHg, nadi 88 kali

permenit, laju pernapasan 16 kali permenit dan suhu 36, 1oC.

29

Page 30: Presus Sol

2. Jenis Anestesi : general anestesi dengan teknik closed intubation, respirasi terkontrol

dengan endotrakeal No. 7,5.

3. Premedikasi yang diberikan : Ondansetron 4mg diberikan secara intravena sebelum

induksi anestesi.

4. Induksi anestesi: pasien diberi Propofol 100 mg, Fentanyl 50 µg dan Roculax sebelum

dilakukan intubasi. Kemudian dilakukan pemasangan pipa endotrakeal No. 7,5.

5. Maintenance

Status anestesi dipertahankan dengan pemberian kombinasi O2, isofluorane,

sevofluorane, ecron. Selama tindakan anestesi berlangsung, tekanan darah dan denyut

nadi diukur setiap detik.

6. Keadaan post operasi

Operasi selesai dalam waktu 7 jam 25 menit. Sesaat sebelum operasi selesai,

agen-agen anestesi intravena dihentikan, sedangkan pemberian O2 masih

dipertahankan. Kemudian dilakukan suction untuk menghilangkan lendir yang dapat

menghalangi jalan napas.

7. Ruang pemulihan (Recovery Room)

Pasien dipindahkan ke ruang Intensive Care Unit untuk dilakukan observasi.

Vital sign terakhir pasien saat dibawa ke ICU adalah TD 135/94 mmHg, N 76

x/menit, RR 17x/mnt, SpO2 98%. Penilaian pasien ini menggunakan ”Skor Aldrete”

dan diberikan O2 2-3 liter / menit, serta diobservasi tekanan darah, denyut nadi.

General anestesi pada pasien ini, induksi menggunakan propofol. Propofol merupakan

obat anestesi umum yang mekanismenya adalah menghambat transmisi neuron yang

dihantarkan oleh GABA. Propofol tidak larut dalam air. Propofol tersedia dalam bentuk

larutan dengan konsentrasi 1 % berupa suspensi lemak dalam air dan mengandung

minyak kacang kedelai, gliserol, dan lecithin telur. Injeksinya menimbulkan nyeri yang

dapat dikurangi dengan pemberian lidokain di tempat penyuntikan atau mencampurkan 2

cc lidokain 1 % dengan 18 cc propofol. Propofol hanya tersedia untuk pemberian

intravena untuk induksi anestesi umum. Kelarutan lemak yang tinggi membuat propofol

mempunyai mula kerja yang amat tinggi, hampir secepat thiopental. Pemulihan dari satu

bolus pun terjadi amat cepat karena pendeknya waktu paruh distribusi (2 – 8 menit). Pada

pasien usia tua dibutuhkan dosis induksi yang lebih kecil. Wanita membutuhkan dosis

yang lebih tinggi daripada pria dan pulih lebih cepat. Metabolit propofol terutama

30

Page 31: Presus Sol

diekskresikan melalui urin, gagal ginjal kronis tidak mempengaruhi perubahan dari obat

aktif.

Intensive Care Unit (ICU) adalah suatu tempat atau unit tersendiri di dalam rumah

sakit, memiliki staf khusus, peralatan khusus ditujukan untuk menanggulangi pasien

gawat karena penyakit, trauma atau komplikasi-komplikasi. Staf khusus adalah dokter,

perawat terlatih atau berpengalaman dalam “Intensive Care (perawatan/terapi intensif)”

yang mampu memberikan pelayanan 24 jam; dokter ahli atau berpengalaman (intensivis)

sebagai kepala ICU; tenaga ahli laboratorium diagnostik; teknisi alat-alat pemantauan,

alat untuk menopang fungsi vital dan alat untuk prosedur diagnostik (Depkes, 2003).

Adapun perawatan di ICU melingkupi :

1. Pemantauan fungsi vital tubuh terhadap komplikasi :

a. Penyakit

b. Penatalaksanaan spesifik

c. Sistem bantuan tubuh

d. Pemantauan itu sendiri

2. Penatalaksanaan untuk mencegah komplikasi akibat koma yang dalam, immobilitas

berkepanjangan, stimulasi berlebihan dan kehilangan sensori (Hanafie, 2007).

Indikasi masuk ICU antara lain :

1. Pasien sakit berat, pasien tidak stabil yang memerlukan terapi intensif seperti bantuan

ventilator, pemberian obat vasoaktif melalui infus secara terus menerus (contoh; gagal

napas berat, pasca bedah jantung terbuka, syok septik)

2. Pasien yang memerlukan bantuan pemantauan intensif atau non invasif sehingga

komplikasi berat dapat dihindari atau dikurangi (contoh: pasca bedah besar dan luas;

pasien dengan penyakit jantung, paru, ginjal atau lainnya).

3. Pasien yang memerlukan terapi intensif untuk mengatasi komplikasi-komplikasi akut,

sekalipun manfaat ICU ini sedikit (contoh: pasien dengan tumor ganas metastasis

dengan komplikasi infeksi, tamponade jantung, sumbatan jalan napas) (Hanafie,

2007).

Pada kasus Tn.T (38tahun), indikasi masuk ICU adalah memerlukan bantuan pemantauan

intensif sehingga komplikasi berat pasca bedah besar dapat dihindari. Pada pemantauan

terakhir di ICU, tekanan darah 49/22 mmHg, Nadi 50 kali permenit, RR 8 kali permenit, dan

SPO2 45%. Terapi terakhir yang didapatkan pasien di ICU adalah Paracetamol, Fenitoin

(PO), Hedonac 1000mg/10m, Nebulizer 2x1hr, Bolus:Rantin 2x1amp, Dexametason 3x5mg,

Tramadol 3x1amp,Ceftazidine 3x1gr.

31

Page 32: Presus Sol

BAB V

KESIMPULAN

1. Pasien seorang laki-laki usia 38 tahun yang akan dilakukan craniotomy atas indikasi

space occupying lession suspek astrositoma regio parietal sinistra dengan status fisik

ASA II.

2. Anestesi yang digunakan adalah general anesthesia.

3. Obat induksi yang diberikan Fentanyl 50 µg dan Propofol 100 mg.

4. Intubasi dengan ET nomor 7,5 cuff

5. Pemeliharaan anestesi yang digunakan O2, isofluorane, sevofluorane, ecron.

6. Operasi berjalan selama 7 jam 25 menit.

7. Pasca operasi pasien dirawat di ICU.

32