Presus Sol
Transcript of Presus Sol
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar belakang
Insidensi kanker di seluruh dunia pada tahun 2004 mencapai 11,4 juta orang. Insidensi
tertinggi didapatkan di Western Pacific. Asia Tenggara menduduki peringkat ke empat
setelah Amerika yaitu dengan jumlah 1,7 juta orang. Di samping insidensi yang cukup tinggi,
kanker juga merupakan penyakit yang belum memiliki terapi definitif. Saat ini
penatalaksanaan kanker bertumpu pada upaya kemoterapi, radioterapi dan atau operasi
reseksi. Efek dari kemoterapi dan radioterapi dapat menyebabkan rasa yang sangat tidak
nyaman kepada pasien yang menjalaninya (Ali, 2006).
Tumor otak merupakan neoplasma, baik yang jinak maupun ganas, yang berasal dari
inflamasi dalam jangka waktu yang lama, yang tumbuh di dalam otak, selaput otak atau
tengkorak. Gambaran diagnosis yang menyebabkan tumor otak dapat ditegakkan dari
petunjuk epidemiologi, pemeriksaan fisik, pemeriksaan khusus, manifestasi klinik maupun
pengetahuan tentang patologi.
Neoplasma intrakranial dapat timbul dari berbagai struktur atau tipe sel di dalam kubah
kranial, meliputi cerebrum, selaput otak, kelenjar pituitari, tengkorak dan bahkan residual
jaringan embrionik. Tumor otak memiliki rentang usia yang dapat diibaratkan seperti sebuah
piramida dengan puncaknya yang kecil pada populasi anak dan jumlahnya meningkat dimulai
pada rentang usia 20 tahun dan mencapai jumlah maksimum 20 kasus per 100.000 populasi
antara usia 75 hingga 84 tahun. Pengobatan yang dapat dilakukan untuk penderita dapat
berupa Supportive Therapy maupun Definitive Theraphy (Ovedoff, 2002).
Pada pasien-pasien bedah syaraf, penatalaksanaan anestesi memerlukan pemahaman
mendalam mengenai Central Nervous System / CNS (Sistem Saraf Pusat). Selain itu untuk
pemberian anestesi pada operasi intrakranial dan operasi di luar otak tetapi pasien memiliki
kelainan serebral, kita harus mengerti mengenai anatomi, fisiologi, dan farmakologi dari
CNS. Penggunaan anestesi dapat memberikan kerugian dan manfaatnya tersendiri dalam
hubungannya dengan neurofisiologi. Tulisan ini akan membahas mengenai konsep fisiologi
yang penting dari anestesi dan efek penggunaan anestesi pada fisiologi serebral.
1
B. Tujuan penulisan
1. Meninjau kasus managemen pra kraniotomi dan pembiusan untuk kraniotomi pada
kasus tumor intrakranial
2. Mengetahui pembiusan untuk kraniotomi pada kasus tumor intrakranial
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
ANESTESI UNTUK OPERASI TUMOR INTRAKRANIAL
Anestesi untuk bedah saraf memerlukan pengetahuan tentang prinsip dasar dan
neurofisiologi dan pengaruh obat anestesi pada dinamika intrakranial
(neurofarmakologi). Kebanyakan prosedur bedah saraf intrakranial adalah karena adanya
lesi massa, sekitar 80% terletak di supratentorial (Rao, 2005). Prosedur supra tentorial
termasuk operasi untuk tumor, hematom, trauma dan vaskuler. Walaupun gambaran
patofisiologis berbeda untuk setiap lesi yang berbeda, tetapi pertimbangan anestesinya
sama. Tumor otak primer, sebagian besar (60%) adalah glioma, meningioma dan
adenoma hipofise. Glial tumor (40%) berasal dari astrocyt (astrocytoma dan
glioblastoma multiforme) dan oligodendrocyt (oligodendroglioma). Astrosit anaplastik
dan glioblastoma merusak BBB (Tatang, Wargahadibrata, dan Eri, 1997).
Aliran darah ke tumor bervariasi, tetapi, autoregulasi umumnya hilang dan
adanya hipertensi menyebabkan meningkatnya aliran darah ke tumor. Adanya edema
yang luas sekeliling tumor akan menambah efek massa. Daerah ini juga mungkin
menderita iskemia akibat kompresi, aliran darah peri-tumor 28% lebih rendah dari
jaringan hemisfer yang kontra lateral. Reseksi meningioma total akan menyebabkan
rendahnya rekurent daripada reseksi parsial, maka prosedur bedah untuk meningioma
lebih rumit dan lebih lama daripada debulking untuk tumor Glia.
Prosedur bedah untuk supratentorial sering melalui frontal atau pteriontal.
Pendekatan pterional dilakukan melalui lobus temporal dan memerlukan pemutaran
kepala pasien ke posisi yang berlawanan. Pada pendekatan frontal, termasuk bi-frontal
kraniotomi untuk lesi-bilateral atau lesi di garis tengah. Karena sinus sagitalis berjalan
transversal, maka ada risiko perdarahan dan emboli udara pada pendekatan bi-frontal.
Tumor dalam SSP menimbulkan gejala karena efek penekanan pada struktur saraf
sehingga terjadi gejala neurologis spesifik atau kenaikan ICP yang tidak spesifik, atau
adanya kejang-kejang. Kejang dan defisit neurologis lokal bisa disebabkan karena efek
penekanan lokal oleh tumor. Tumor pada kelenjar hipofise menimbulkan efek hormonal.
Beberapa tumor harus dieksisi, yang lainnya hanya paliatif dengan dekompresi,
pemasangan VP-Shunt atau radioterapi. Edema hebat sekeliling tumor sering terjadi pada
tumor malignan. Meningioma yang besar tetapi jinak sering khas dengan tingginya
3
shunting aliran darah dalam tumor. Dalam jaringan tumor autoregulasi hilang, juga hal
ini terjadi di jaringan sekeliling tumor. Bila ada penekanan dan efek tekanan yang nyata
oleh tumor, dan selanjutnya terjadi kenaikan ICP bisa terjadi hemiasi tentorial. Karena
itu pertimbangan prinsip untuk anestesi tumor cerebri adalah pengendalian ICP.
Kebanyakan tumor supratentorial bersifat jinak, dan astrositoma yang kurang
agresif dapat diangkat secara lengkap. Kesulitan bisa terjadi dengan beberapa tumor,
misalnya meningioma yang berdekatan dengan struktur penting atau tumor basis.
Kebanyakan malignan glioma berhubungan rapat dengan jaringan otak normal dan hanya
partial debulking yang mungkin dilakukan tanpa menyebabkan kerusakan neurologis.
Jika lesi terdapat pada lobus temporal atau frontal, pengangkatan tumor yang lengkap
dapat dilakukan dengan lobektomi.
Meningioma suatu tantangan bagi anestetist dan dokter bedah saraf karena jinak
dan bisa sembuh, tetapi komplikasi operasi dapat mengerikan. Meningioma bisa
mencapai ukuran besar sebelum menimbulkan gejala klinis serta sangat vaskuler yang
bisa menyebabkan kehilangan darah yang banyak saat dilakukan pembedahan. Beberapa
konveksitas meningioma menekan ke dalam vauet tulang tengkorak. Anestetist harus
mempersiapkan terhadap kemungkinan adanya perdarahan banyak ketika tulang
diangkat. Bahaya ini juga terdapat operasi ulangan (redo Craniotomy) untuk meningioma
recurent. Dalam keadaan-keadaan ini, juga pada tumor yang berasal dari pembuluh darah
harus dipasang monitor CVP (Tatang, Wargahadibrata, dan Eri, 1997).
Tumor yang lebih besar dan vaskuler, teknik hipotensi akan mengurangi jumlah
perdarahan. Kadang-kadang pasien menunjukkan adanya edema otak setelah tumor
diresekst semuanya. Dalam keadaan ini monitor ICP harus dipasang dan pasien harus
diventilasi pasca bedah untuk menjamin bahwa edema otak yang telah ada tidak
diperburuk oleh hipoksia atau hiperkapnia, serta karena adanya risiko episode apnoe
yang tiba-tiba. Adanya ICP monitor akan menyebabkan kita waspada terhadap adanya
hematoma pasca bedah. Pada keadaan ada kenaikan ICP, tujuan prinsip adalah
menghindari hiperkarbia dan hipotensi atau hipertensi. Bila pembengkakan otak terjadi
setelah operasi tumor, steroid harus diteraskan post-operatif. Di beberapa senter
memberikan tambahan bolus dexamethason 12-16 mg perioperatif, diikuti dengan
penambahan dosis untuk beberapa hari pertama pasca bedah. Daerah yang iskemik atau
trauma pada tempat operasi seperti halnya darah dalam ventrikel, akan merupakan
predisposisi terjadinya konvulsi, karena itu berikan anti konvulsi. Jadi sasaran
anestesilogist adalah :
4
a. Memahami tipe, berat penyakitnya dan lokasi tumor
b. Pasen tidak bergerak, relaksasi otak, pengendalian tanda vital
c. Menjamin CPP yang adekuat
d. Cepat bangun sehingga bisa memberikan keadaan untuk pemeriksaan neurologis
e. Terapi dan cegah hipertensi, batuk dan gangguan nafas yang membahayakan pada
periode paska bedah
1. Evaluasi Pra Bedah
Evaluasi pra bedah untuk operasi supratentorial sama seperti tindakan anestesi
lainnya dengan riwayat medis lengkap yang menekankan terhadap fungsi jantung dan
paru. Pada prosedur bedah saraf; seperti halnya prosedur bedah lain, kebanyakan
morbiditas dan mortalitas anestesi perioperatif adalah akibat disfungsi paru atau
jantung (Tatang, Wargahadibrata, dan Eri, 1997).
a. Anamnesis
Pasien bedah saraf membutuhkan pertanyaan khusus tentang penyakit SSP.
Gejala kenaikan ICP harus ditanyakan (sakit kepala, mual, muntah, penurunan
kesadaran, gangguan penglihatan). Adanya kejang dan defisit neurologis lokal akibat
efek penekanan lokal dari tumor. Perdarahan otak atau Cerebro Vascular Accident
sebelumnya dicatat sebagai residu defisit neurologis. Telaahlah dengan hati-hati hasil
operasi intrakranial atau prosedur diagnostik sebelumnya, dan pertimbangan
kemungkinan pneumocephalus residu atau interaksi anestetik lain.
Telaahlah kembali obat-obatan yang lalu dengan lebih menekankan perhatian
kita pada obat-obat yang mempunyai efek pada periode perioperatif. Terapi obat-
obatan pada pasien bedah syaraf dapat menyebabkan penurunan volume intravaskuler.
Mannitol dan diuretik lain yang digunakan pra bedah untuk mengurangi edema
serebral, dapat menimbulkan hipoyplemia dan gangguan keseimbangan elektrolit
yang bisa menyebabkan terjadinya hipotensi berat dan aritmia pada saat induksi
anestesi. Kortikosteroid, yang juga digunakan untuk menurunkan edema serebral,
akan meningkalkan kadar glukosa darah dengan stimulasi glukoneogenesis dan
menyebabkan penekanan adrenal secara langsung yang dapat menyebabkan terjadinya
hipotensi dan insufisiensi kardiovaskuler dengan adanya stres bedah. Obat anti
hipertensi dapat merubah volume intravaskuler. Tricyclic anti depresant dan levodopa
telah nyata dapat memicu terjadinya hipertensi intraoperatif dan cardiac disritmia
Benzodiazepin, phenothiazine dan butirophenon dapat berperanan terjadinya hipotensi
perioperatif (Tatang, Wargahadibrata, dan Eri, 1997).
5
b. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik pra bedah ditujukan pada jalan nafas, paru, sistim
kardiovaskuler dan SSP. Pada pasien-pasien dengan penyakit sertaan,
pemeriksaan ditujukan terhadap kemungkinan adanya hipovolemia. Pasien-pasien
bedah saraf sering somnolent dan intake oral yang tidak adekuat yang dapat
menimbulkan keadaan hipovolemia. Juga bisa terjadi peningkatan diuresis akibat
diabetes insipidus, atau pemberian diuretik. Hipovolemia ringan atau sedang
umumnya dapat ditolerir dengan baik, tetapi hipovolemia yang nyata harus
dikoreksi sebelum induksi anestesi.
Pemeriksaan neurologis harus dilakukan, tingkat kesadaran dan setiap
defisit sensoris/motoris harus dicatat. Pemeriksaan neurologis harus diulang di
kamar operasi sesaat sebelum dilakukan induksi. Pemeriksaan tanda-tanda
kenaikan ICP, seperti adanya sakit kepala, mual, muntah, midriasis unilateral,
pupil edema, palsi occulomotor atau abdusen. Bila ICP meningkat lebih jauh,
kesadaran pasien memburuk dan diikuti dengan disfungsi respirasi dan jantung.
Adanya pernafasan Cheyne-Stokes atau bradikardi disertai hipertensi merupakan
tanda penekanan batang otak (Tatang, Wargahadibrata, dan Eri, 1997).
c. Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium rutin, termasuk jumlah sel darah, kimia serum
dan koagulasi harus dilakukan. Hiperventilasi dan diuresis, akan menurunkan
kadar K-serum, jadi pemberian K harus dipertimbangkan. Bila kadar glukosa
serum > 200 mg% diperlukan terapi insulin untuk menurunkan kadar glukosa ke
nilai normal yang berguna untuk proteksi otak dan tekanan osmotik. Osmolariti
serum harus diukur pada pasien dalam terapi ICP. Pasien dengan cedera kepala
sering EKG-nya abnormal, maka pemantauan EKG pra bedah harus dilakukan,
untuk melihat perubahan selama operasi dan anestesia. Pemeriksaan radiologis pra
bedah untuk informasi tentang ukuran tumor atau perdarahan serta lokasinya,
edema serebral, dan mid-line shift. Mid-line shift 0,5 cm pada MRI atau CT-Scan
atau gangguan dari jaringan otak pada sisterna basalis menunjukkan adanya
kenaikan ICP (Tatang, Wargahadibrata, dan Eri, 1997).
d. Pengelolaan Obat
Sekali diagnosis dibuat dan direncanakan untuk tindakan pembedahan,
tujuan prinsip pemberian obat adalah untuk mengendalikan ICP dan terapi
epilepsi. Steroid efektif untuk mengurangi edema peritumor dan meningkatkan
6
kompliance otak pada pasien tumor ganas dan meningioma. Dosis umum
dexamethasone adalah 4 mg 3x sehari bersama-sama dengan hidrogen reseptor
antagonist. Epilepsi diterapi dengan phenitoin 100 mg 3x sehari. Normal range
therapetik adalah 40-100 µMol/l (Tatang, Wargahadibrata, dan Eri, 1997).
e. Premedikasi
Sedasi pra bedah merupakan kontra indikasi pada pasien dengan
penurunan kesadaran. Bila premedikasi diperlukan, dapat diberikan benzodiazepin
(diazepam, lorazepam atau midazolam). Piazepam 5-10 mg atau lorazepam 1-2
mg dapat diberikan 1-2 jam pra bedah per oral. Diazepam dan lorazepam
mempunyai waktu paruh yang cukup panjang dan bisa memperlambat bangun
paska bedah, karena itu mungkin lebih baik dengan midazolam i.v., i.m. atau oral.
Narkotik harus dihindari karena meningkatkan risiko muntah dan hipoventilasi,
yang keduanya dapat meningkatkan ICP (Tatang, Wargahadibrata, dan Eri, 1997).
2. Monitoring
Monitoring rutin untuk operasi supratentorial adalah EKG, tekanan darah non-
invasif, arteri line, stetoskop oesophageal, FiO2, pulse oximetri, temperatur, nerve
stimulator, kateter urin. Idealnya EKG monitor di lead II, V5 dan modifikasi V5
ditempelkan pada semua pasien dengan penyakit jantung iskemik. Arteri line
digunakan bukan saja untuk memonitor tekanan darah dari denyut ke denyut jantung,
tetapi juga untuk analisa gas darah serta dapat juga menolong melihat status volume
pasien : (Tekanan Nadi = Tekanan Sistolik - Tekanan Diastolik). Untuk melihat CPP,
tranduser arteri line ditempelkan di level sirkulasi Willisi setinggi meatus acusticus
externa. Indikasi monitor arteri line terlihat pada tabel di bawah ini. Indikasi
pemasangan monitoring tekanan arteri invasif:
a. Operasi yang menyebabkan perubahan tekanan darah yang cepat.
b. Risiko kehilangan darah yang cepat.
c. Hipotensi kendali.
d. Diperlukan ventilasi pasca bedah.
e. Disertai dengan penyakit sertaan lain.
Monitor EtCO2 sangat penting, dapat melihat secara kasar nilai PaCO2 adanya
diskoneksi dan obstruksi jalan nafas. Untuk pasien dengan kemungkinan kehilangan
darah yang banyak atau keadaan kardiopulmonal yang terbatas dipasang monitor CVP
dan dapat dipertimbangkan dipasang PA kateter. Pergeseran cairan akut akibat
diuretik atau mannitol memerlukan monitoring CVP, sebab urine output tidak dapat
7
dipercaya untuk menditeksi hipovolemia. Indikasi pemasangan monitor CVP terlihat
pada tabel di bawah ini. Indikasi pemasangan CVP
a. Risiko kehilangan darah yang banyak.
b. Penaksiran status volume.
c. Posisi duduk.
d. Untuk pemberian obat vasoaktif.
Monitoring ICP untuk operasi supra tentorial masih kontroversial. Walaupun
beberapa praktisi menasihatkan untuk digunakan secara .rutin, tetapi praktisi yang lain
menunjukkan tidak adanya penelitian yang menyebutkan keuntungan penggunaan
monitor ICP. Tetapi pada pasien dengan risiko peningkatan ICP yang hebat (ukuran
tumor > 3 cm dengan mid-line shift atau edema yang nyata) akan menguntungkan bila
dipasang monitor ICP (Tatang, Wargahadibrata, dan Eri, 1997).
3. Pengelolaan Anestesi
Sasaran utama selama induksi anestesi adalah mempertahankan level normal
dari ICP sambil mempertahankan CPP yang adekuat. Sasaran ini kebanyakan
dilakukan dengan menurunkan volume otak. Penurunan jumlah volume CSF sebagai
kompensasi pada kenaikan ICP kronis. Drain lumbal dapat dipakai untuk menurunkan
volume CSF, tetapi di kamar operasi penurunan volume darah otak umumnya
dilakukan dengan terapi farmakologi atau ventilasi.
Kejadian emboli udara pada pasien dengan posisi supine, kepala naik, adalah
kurang-lebih 14,6%, karena itu diperlukan monitoring end tidal CO2 (Tatang,
Wargahadibrata, dan Eri, 1997).
a. Induksi
Walaupun induksi anestesi untuk kraniotomi dapat dilakukan dengan
berbagai macam obat, tetapi yang paling baik adalah dengan barbiturat. Pentotal
akan menurunkan CMRO2, CBF dan ICP. Propofol juga menurunkan CMRO2,
CBF dan ICP. Narkotik juga menurunkan CMRO2, tetapi lebih kecil daripada
penurunan CBF, sehingga dalam teori disebutkan dapat membawa ke arah
iskemia, walaupun demikian efek ini tidak relevan secara klinis. Narkotik
memberikan pengendalian tekanan darah dan denyut jantung yang baik, sehingga
selalu dipakai dalam anestesi.
Ketamin menyebabkan peningkatan denyut jantung,tekanan darah dan ICP
serta menimbulkan gambaran kejang pada EEG, maka ketamin tidak dipakai
8
pada neuroanestesi. Pengaruh obat-obat anestesi terhadap CBF dan ICP terlihat
pada tabel di bawah ini.
ICP-CBFDecreasing No Change Increasing
Induction Agents
*Thiopental *Etomidate
*Midazolam*Droperidol
*Ketamine
Muscle Relaxants
*Vecuronium*Atracurium
*Pancuronium*Metocurium
*D-Tubocurarine*Succinylcholine
Inhalation Agents
*N2O*Isoflurance
*Enflurance*Halothane
IntravenousAgents
*Lidocaine*Benzodiazepines*Narcotics
CombinationTherapy
*N2O/Narcotic / Diazepam *Thiopental/Ketamine*Thiopental/Halothane
*Halothane/N2OAnti-Hypertension
*Labetolol *Nitroglicerine*Nitropruside
*β Blockers*Hydralazine
*TrimethaphanChannelblockers
(Initial Data) *Nicardipine*Verapamil
*Nifedipine Gambar: the effects of various drugs and drug combinations on ICP and CBF
Induksi yang lancar lebih penting dari kombinasi obat yang digunakan.
Pasien di preoksigenasi dan hiperventilasi olehnya sendiri. Pemberian Pentotal 3-4
mg/kg, propofol (2 mg/kg) atau etomidate 0,3 mg/kg i.v. harus diikuti dengan
ventilasi melalui sungkup muka untuk menjamin patensi jalan nafas dan
hiperventilasi. Neuromuskular blockade dapat dilakukan dengan vecuronium (0,1-
0,15 mg/kg) atau rocuronium (06-0,8mg/kg) i.v. lalu dihiperventilasi melalui
sungkup muka dengan N2O/O2 atau O2-Isofluran konsentrasi terendah (0,5%).
Lidokain i.v. (1,5mg/kg) dan ½ dosis obat anestesi i.v. untuk induksi diberikan
sebelum dilakukan intubasi.
9
Dosis obat induksi diatur untuk pasien dengan ketidakstabilan
kardiovaskuler. Kombinasi narkotik (fentanyl 5 µg/kg atau sufentanil 0,5-1 µg/kg)
dan dosis kecil pentotal dapat mengendalikan ICP serta kardiovaskuler tetap
stabil. Ventilasi adekuat harus dilakukan untuk menghindari hipoventilasi dan
hiperkarbia akibat narkotik yang akan menyebabkan kenaikan CBF (Tatang,
Wargahadibrata, dan Eri, 1997).
b. Pemeliharaan Anestesi
Pemeliharaan anestesi dapat dilakukan dengan berbagai cara. Teknik-
teknik ini umumnya termasuk dalam 3 katagori : obat anestesi inhalasi, teknik
anestesi intravena dan teknik balans. Gambaran paling penting dalam pemberian
anestesi adalah bukan teknik mana yang digunakan, tetapi bagaimana tepatnya
teknik tersebut dilakukan.
Banyak penulis yang memikirkan bahwa anestesi dengan dasar narkotik
dengan N2O atau dosis rendah Isofluran (< 1%) dalam oksigen, cukup optimal.
Tetapi baru-baru ini teknik tersebut dihubungkan dengan meningkatnya kejadian
mual-muntah paska bedah bila dibandingkan dengan teknik anestesi inhalasi atau
anestesi berbasiskan propofol. Bila anestesi berbasiskan narkotik, maka dapat
digunakan fentanyl, alfentanil atau sufentanil. Sufentanil mungkin mempengaruhi
ICP dan CPP (tak menguntungkan/tak baik). Fentanyl 5µg/kg dikombinasikan
dengan Isofluran < 1% dalam oksigen mungkin cukup baik. Alternatif lain,
sufentanil 0,5-lug/kg bolus, diikuti intermitent dengan dosis tidak lebih dari
0,5µg/kg/jam, atau infus 0,25-0,5 µg/kg/jam kombinasi dengan Isofluran <1%
dalam O2. Sufentanil kontinyu dihentikan ±l jam sebelum akhir operasi.
Obat anestesi inhalasi lebih disukai Isofluran dengan sedikit atau tanpa
suplement narkotik. Hiperventilasi dengan kombinasi Isofluran < 1% umumnya
menghasilkan intracranial dinamic yang lebih stabil. Disebabkan karena operasi
intrakranial berlangsung lama, bila pada akhir operasi ada kenaikan tekanan darah
dan frekuensi nadi, lebih baik diatasi dengan labetolol atau esmolol, bukan dengan
menaikkan dengan menaikkan konsenrrasi obat anestesi inhalasi, supaya pasien
lebih cepat bangun.
N2O bisa digunakan kecuali pada pasien dengan pneumocephalus (trauma post
craniotomy) atau emboli udara. Penggunaan N2O akan mengurangi dosis narkotik
dan Isofluran serta bangun dari anestesi dengan tenang.
10
TIVA dapat dilakukan dengan propofol dan fentanil. Setelah induksi,
propofol dimulai dengan 200µg/kg/menit dan kemudian diturunkan disertai
dengan infus, fentanyl 2µg/kg/jam. Teknik ini akan memberikan anestesi yang
stabil dan pasien cepat bangun, serta kejadian mual-muntahnya rendah. Setiap
teknik anestesi ini menyebabkan keadaan anestesi yang baik, tetapi seni
memberikan anestesi, pengalaman-pengalaman dan pengetahuan anestetist akan
menolong supaya tidak terjadi pemberian obat yang berlebihan atau kurang. Bila
pasien sulit bangun paska bedah, salah satu kemungkinannya adalah ekses obat
anestesi. Kemungkinan yang lain adalah kerusakan jaringan otak (operasi,
perdarahan, iskemia), gangguan elektrolit, hipotermi (Tatang, Wargahadibrata,
dan Eri, 1997).
Hiperventilasi merupakan tambahan tindakan yang penting. Hipokapni
akan menurunkan ICP sebelum dura dibuka, melawan vasodilatasi akibat obat
anestesi inhalasi dan menyebabkan otak menjadi rileks selama operasi. Optimal
hiperventilasi adalah untuk mencapai PaCO2 25-30mmHg. Jika peningkatan ICP
masih merupakan masalah, mungkin menguntungkan untuk menurunkan PaCO2
menjadi 20-25mmHg. PaCO2 harus dikorelasikan dengan EtCO2. Normalnya
PaCO2 4-8mmHg lebih tinggi dari EtCO2. Penurunan lebih besar dari PaCO2 tidak
menunjukkan adanya perubahan yang nyata pada ICP dan hipokapni yang ekstrim
dapat memberi pengaruh yang buruk pada metabolisme seluler, menyebabkan
pergeseran ke kiri kurve disosiasi oxy-Hb, atau terjadi vasokonstriksi maksimal
(Tatang, Wargahadibrata, dan Eri, 1997).
Pelemas otot mencegah pasien bergerak pada saat-saat yang kritis. Juga
bisa menurunkan ICP dengan rileksnya dinding dada, yang akan menurunkan
tekanan intratorakal dan terjadi drainage vena serebral yang baik. Pemilihan obat
harus berdasar pada lamanya operasi dan pengaruh obat pada haemodinamik serta
ICP. Untuk kebanyakan operasi supra tentorial dipilih norcuron / pavulon.
Cairan yang diberikan lebih disukai NaCl 0,9%. Pemberian cairan dibatasi
selama induksi anestesi dan dipertahankan tetap sedikit selama hemodinamik
stabil dan produksi urine baik. Bila dibutuhkan resusitasi volume dan nilai Ht
tidak menunjukkan perlunya darah, maka dapat diberikan koloid sebanyak 500-
1000cc (Tatang, Wargahadibrata, dan Eri, 1997).
Meningioma, karakteristik dengan adanya vaskularisasi yang banyak.
Sering ada hubungan yang berlebihan antara sirkulasi karotis eksternal dan
11
internal, maka tulang tengkorak sangat vaskuler. Bisa terjadi masalah pembekuan
akibat dari tipe tumornya, atau akibat transfusi darah masif dan beberapa kasus
DIC telah dilaporkan terjadi pada pasien dengan tumor serebral primer, juga
sering terjadi edema serebri paska bedah. Cara-cara mengurangi kehilangan darah
adalah :
a. Teknik hipotensi kendali
b. Embolisasi selektif pra bedah.
Saat terjadinya kehilangan darah adalah pada saat meagangkat tulang dan
mengangkat tumor. Bila ada hubungan antara pembuluh darah tumor dengan
pembuluh darah ekstrakranial, perdarahan dari tulang tengkorak biasanya terjadi
pada saat membor tulang kepala, tetapi umumnya dapat diatasi dengan bone wax.
Perdarahan selanjutnya terjadi pada saat tulang diangkat dengan kraniotom dan
tidak dapat dikendalikan sampai seluruh tulang tersebut selesai diangkat, sehingga
bila terjadi kesulitan pengangkatan tulang kepala, dapat terjadi perdarahan yang
banyak (Tatang, Wargahadibrata, dan Eri, 1997).
Teknik hipotensi dilakukan sebelum mulai mengangkat tulang lebih baik
dengan trimetaphan daripada dengan nitroprusside. Pada awalnya tekanan sistolik
dipertahankan antara 70-80 mmHg pada pasien yang normotensi dan pada level
yang lebih tinggi pada pasien yang hipertensi. Bila tulang telah diangkat, tekanan
darah bisa diturunkan lagi (tetapi harus diingat dalam menurunkan tekanan darah
ini, harus diperhatikan CPP adekuat).
Darah dan cairan harus diberikan untuk mempertahankan kestabilan
sirkulasi tanpa ada edema serebral paska bedah. Disebabkan bahaya dari gangguan
pembekuan, maka FFP dan thrombocyt harus diberikan setelah jumlah perdarahan
mencapai 2 liter bila perdarahan terns berlangsung. Pemberian ini lebih dini
daripada yang biasanya karena untuk mencegah terjadinya DIC, sebab hal ini
secara nyata tidak mungkin untuk mengobati keadaan ini pada pasien bedah syaraf
karena kebutuhan heparin dan penggantian cairan secara masif.
c. Akhir Anestesi
Bangun dari anestesi setelah operasi supra tentorial harus lancar dan
gentle. Keputusan apakah pasien harus bangun dan di ekstubasi tergantung dari
derajat kesadaran pra bedah, lokasi operasi, luasnya edema serebri, jumlah obat
yang diberikan.
12
Pasien yang pra bedahnya dalam keadaan koma atau tumor besar di
sentral, tidak usah segera diekstubasi. Kebanyakan pasien tetap diintubasi dan
bangun pelan-pelan di ICU setelah terus dimonitor dan diventilasi. Ada dua situasi
klinis dimana pasien yang sebelumnya koma dicoba untuk bangun sesegera
mungkin paska bedah :
a.Drainage dari epidural hematom atau subdural hematom.
b. V-P shunt dari hidrocephalus akut
Kebanyakan pasien operasi supra tentorial diekstubasi di kamar operasi.
Labetolol atau esmolol dan lidokain 1,5mg/kg i.v. dapat digunakan untuk terapi
hipertensi, takikardia dan stimulasi simpatis yang dihubungkan pada periode
sesaat sebelum ekstubasi. Adanya hipertensi pada periode ini harus diterapi karena
bisa terjadi perdarahan otak pada daerah luka operasi (Tatang, Wargahadibrata,
dan Eri, 1997).
13
BAB III
KASUS
1. IDENTITAS PASIEN
Nama : Tn. T
Jenis Kelamin : Laki-laki
Usia : 38 tahun
Agama : Islam
Suku bangsa : Jawa
Status marital : Sudah menikah
Pekerjaan : Kuli Bangunan
Pendidikan : Sekolah Dasar
Alamat : Jl. Toro sambek RT 01/10, Wonosobo
Tanggal masuk RS : 18 Juni 2012
Tanggal pemeriksaan : 26 Juni 2012 - 4 Juli 2012
Nomor CM : 745304
2. ANAMNESIS (ALLOANAMNESIS dengan istri dan ibu pasien)
A. KELUHAN UTAMA
Penurunan kesadaran sejak 1 hari SMRS
B. KELUHAN TAMBAHAN
Nyeri kepala dan muntah sejak 20 hari SMRS
C. RIWAYAT PENYAKIT SEKARANG
Pasien datang ke IGD RSMS dengan keadaan penurunan kesadaran sejak 1
hari SMRS. Selain itu pasien juga mengeluhkan nyeri kepala sejak dua puluh hari
yang lalu. Nyeri kepala dirasakan berdenyut, hilang timbul, yang semakin lama
semakin memberat. Nyeri kepala dirasakan mengganggu aktivitas hingga pasien
harus berhenti bekerja. Pasien juga sempat muntah menyemprot sejak dua puluh
hari SMRS. Muntah berisi makanan dan tidak disertai darah. Pasien juga
mengeluhkan penglihatannya menurun (menjadi kabur). Pasien juga mengeluhkan
sulit untuk berbicara dan demam. Pasien menyangkal terjadi kejang.
Pasien memiliki riwayat tumor otak dan sudah dilakukan dua kali tindakan
operasi. Awalnya pada tanggal 19 Juni 2012 direncanakan terapi sinar untuk pasien
namun karena kondisi pasien memburuk maka rencana terapi sinar pasien diundur.
14
KRONOLOGIS PENYAKIT SEKARANG
- Pasien sebelumnya pernah mengalami keluhan yang sama sejak bulan Maret
tahun 2012. Pasien sebelumnya sudah terdiagnosa tumor otak dan telah
dilakukan dua kali operasi.
- 4 Maret 2012 : Pasien merasakan nyeri kepala sejak 1 hari sebelum di bawa
ke klinik dokter umum. Pasien juga mengeluhkan mual (+), muntah (+), lemas
pada seluruh tubuh. Oleh dokter umum, pasien didiagnosa menderita maag.
Riwayat sakit maag disangkal pasien sebelumnya. Satu minggu setelah
berobat, pasien kontrol kembali dengan keluhan masih terdapat nyeri kepala
dan mual serta muntah. Lalu di beri obat lagi untuk satu minggu. Karena
selama satu minggu pengobatan pasien tidak mengalami perbaikan maka
keluarga mambawa pasien berobat ke RS Umum Wonosobo.
- 18 Maret 2012 : di RS Umum Wonosobo pasien mengeluhkan masih terdapat
nyeri kepala, mual (+), dan muntah (+). Lalu diberikan obat untuk 5 hari. Akan
tetapi baru 3 hari menjalani pengobatan tiba-tiba kondisi dirasakan pasien
semakin memburuk. Pasien mengeluhkan nyeri kepala dirasakan semakin
bertambah, mual (+) dan muntah (+). Selain itu pasien juga mengeluhkhan
lemah pada bagian sisi kiri tubuhnya. Lalu oleh keluarga pasien dibawa ke RS
Ngesti Waluyo Parakan.
- 21 Maret 2012 : di RS Ngesti Waluyo Parakan pasien mendapatkan perawatan
selama 5 hari. Pada hari ke 3 di RS, pasien menjalani pemeriksaan CT scan
untuk pertama kali. Dari hasil CT scan terdapat gambaran tumor otak. Saran
dari RS Ngesti Waluyo Parakan, tumor otak pada pasien harus segera
diangkat, pasien disarankan berobat ke Semarang (RS Karyadi) atau
Yogyakarta (RS Abdi Waluyo). karena alasan biaya keluarga pasien
memutuskan untuk membawa pasien pulang dahulu ke rumah dan mendapat
resep dari dokter untuk 1 minggu.
- 28 Maret 2012 : Selama di rumah pasien masih mengeluhkan nyeri kepala,
mual (+), dan lemah pada sisi kiri tubuhnya. Karena obat yang diberikan
dokter habis maka kondisi pasien bertambah buruk lalu keluarga pasien
menebus obat yang sama di apotek dengan resep yang sama. Tetapi karena
obat tidak tersedia di apotek maka diberikan obat dengan merek dagang
berbeda tetapi kandungannya sama. Baru 1 kali obat diminum dirasakan pasien
15
tidak cocok. Pasien mengeluhkan muntah muntah lalu oleh keluarga pasien di
bawa ke RS Umum Wonosobo lalu dari RS Wonosobo pasien dirujuk ke RS
Margono.
- 5 April 2012 : Di RS Margono pasien masuk dari IGD dengan keluhan nyeri
kepala (+), mual (+), muntah (+), dan kelemahan pada sisi kiri tubuhnya.
Pasien menjalani rawat inap selama 1 minggu di RS Margono. Setelah
perawatan kondisi pasien dirasakan semakin membaik. Oleh dokter pasien
direncanakan menjalani operasi pengangkatan tumor otak .
- 16 April 2012 : Pasien menjalani operasi pengangkatan tumor otak I (operasi
kraniotomi) tetapi tumor otak tidak jadi diangkat karena otak mengalami
pembengkakan. Setelah operasi pasien masih kembali mengeluhkan nyeri
kepala (+), mual (+), muntah (+), kelemahan pada sisi kiri tubuh. Pasien masih
dapat makan dan minum serta berbicara seperti biasa. Setelah 1 minggu pasca
operasi pasien diperbolehkan pulang dan dijadwalkan untuk kontrol kembali
hari selasa (1 Mei 2012).
- 23 April 2012 : selama 1 minggu perawatan di rumah kondisi pasien tidak
membaik maka pada hari senin (30 April 2012) pasien kembali dibawa ke RS
Margono dan menjalani perwatan selama 9 hari dan direncanakan untuk
operasi yang ke 2 dengan diagnosa tumor otak suspek glioma.
- 9 Mei 2012 : dilakukan operasi II pengangkatan tumor otak (operasi
kraniotomi dan biopsi tumor). Lalu dari hasil PA tanggal 14 Mei 2012 :
Diffuse Astrositoma grade III. Lalu pada tanggal 19 Mei 2012 dilakukan CT
scan pada pasien dan didapatkan hasil : masa densitas inhomogen bentuk oval,
batas tegas, tepi reguler, disertai kalsifikasi didalamnya pada talamus kanan,
korona radita kanan disertai edema bentuk finger like, massa tampak strong
enhancement pasca pemberian kontras (D/D: ependinoma, astrositoma,
teratoma dengan tanda-tanda peningkatan TIK). Pasca operasi pasien
menjalani perawatan selama 2 minggu di rumah sakit. Selama perwatan
kondisi pasien semakin lemah (lebih parah dari yang pertama). Sekarang tubuh
bagian kanan juga dirasakan lemah. Pasien masih dapat berbicara walaupun
terkadang apa yang diucapkan tidak sesuai. Nafsu makan pasien masih seperti
biasa. Pasien masih dalam keadaan sadar, dapat mengenali anggota keluarga.
Tidak ada gangguan penglihatan pada pasien, dan masih dapat berespon
terhadap benda. Tanggal 24 Mei pasien pulang.
16
- 24 Mei 2012 : selama perawatan di rumah kondisi dirasakan tidak ada
perbaikan.
- 29 Mei 2012 : pasien kontrol ke RS margono dengan keluhan yang sama
ditambah dengan penglihatan pasien yang mulai menurun.
- 30 Mei 2012 :di rumah pasien mengeluhkan muntah muntah menyemprot
berisi makanan tanpa disertai dengan darah. Nafsu makan berkurang. Pola
tidur menjadi pagi hingga sore hari pasien tidur sedangkan malam hari pasien
terbangun tidak dapat tidur. Nafas juga melalui mulut. Keluhan ini dirasakan
selama 1 minggu. Lalu pasien masuk kembali ke RS tanggal 18 Juni 2012
karena kondisi semakin memburuk.
D. RIWAYAT PENYAKIT DAHULU
- Riwayat Hipertensi (-) disangkal.
- Riwayat DM dan kolestrol disangkal.
- Riwayat penyakit jantung disangkal.
E. RIWAYAT PENYAKIT KELUARGA
- Pada keluarga pasien tidak ada keluhan yang sama
F. RIWAYAT KEBIASAAN
- Pasien memiliki riwayat merokok.
- Pasien tidak suka minum alkohol, maupun mengonsumsi obat terlarang.
3. PEMERIKSAAN FISIK
Pemeriksaan Tanggal 24 Juni 2012
GCS : E2 M5 V1
Keadaan umum : Tampak sakit berat
Kesadaran : Sopor
Tanda – tanda vital:
Tekanan darah: 140/100 mmHg
Nadi : 100 x/menit
RR : 20 x/menit
Suhu : 38,5◦C
BB : 50Kg
17
A. STATUS GENERALIS
Kepala : Normocephal, tidak ada hematom, bekas operasi (+)
Mata : Konjungtiva tidak anemis, sklera tidak ikterik, pupil bulat isokor Æ
4mm/4mm, refleks cahaya +/+ menurun, gerak bola mata normal
Hidung: Discharge -/-
Telinga: Discharge -/-, hiperemis -/-
Mulut : Tidak ada deviasi, malampati tak dapat dinilai , gipong +,gisu -
Leher : JVP tidak meningkat, tidak ada pembesaran kelenjar limfe
Thorax :
Pulmo
Inspeksi : Simetris, tidak ada ketinggalan gerak
Palpasi : Tidak ada ketinggalan gerak, fokal fremitus simetris normal
Perkusi: Sonor pada kedua lapang paru
Auskultasi : Suara dasar vesikuler, tidak ada ronki basah halus, tidak ada ronki
basah kasar, tidak ada wheezing pada kedua lapang paru
Cor
Inpeksi : Ictus cordis tampak pada SIC V LMCS
Palpasi : Ictus cordis teraba di SIC V LMCS, tidak kuat angkat
Perkusi :Kanan Atas : SIC II LPSD
Kiri Atas : SIC II LPSS
Kanan Bawah : SIC IV LPSD
Kiri Bawah : SIC V LMCS
Auskultasi : S1>S2 reguler, tidak ada murmur, tidak ada gallop
Abdomen :
Inspeksi : Datar
Auskultasi : Bising usus + normal
Perkusi : Timpani
Palpasi : Supel, tidak ada nyeri tekan pada seluruh lapang abdomen
Vertebrae:
Inspeksi : Tidak ada deformitas
18
Palpasi : Tidak ada nyeri tekan/nyeri ketok
Ekstremitas :
Superior : Tidak ada edema, anemis (-), sianosis (-)
Inferior : Tidak ada edema, anemis (-), sianosis (-)
B. STATUS NEUROLOGIS
Refleks cahaya : +/+ menurun
Pupil : bulat, isokor, Æ 4mm/4mm
Meningeal Sign : Kaku kuduk -, kernig -, brudzinski -
Pemeriksaan motorik
Superior InferiorGerakan Lemah Lemah
Kekuatan 333 333Trofi Eutrofi EutrofiTonus Normotoni NormotoniRefleks Fisiologis + normal + normalRefleks Patologis - -
Pemeriksaan Sensibilitas
Tidak didapatkan hipestesi maupun anestesi
4. PEMERIKSAAN PENUNJANG
a. Laboratorium (Tanggal 18 Juni 2012)
Pemeriksaan Hasil Nilai Normal
Hemoglobin 17,8 gr/dl 14-18 gr/dl
Leukosit 22390/ul 5000-10000/ul
Hematokrit 50 % 42-52%
Eritrosit 5,3 jt 4,7-6,1
Trombosit 384000/ul 180.000-450.000/ul
Ureum 28 mg/dl 14,98-28,52 mg/dl
Kreatinin 0,58 mg/dl 0,80-1,30 mg/dl
19
Gula darah sewaktu 118 mg/dl < 200 mg/dl
Elektrolit
Natrium
Kalium
Chlorida
144 mmol/l
4,1 mmol/l
95 mmol/l
136-145 mmol/l
3,5-5,1 mmol/l
98-107 mmol/l
Pemeriksaan Hasil Nilai Normal
Tes Fungsi Liver
Protein total
Albumin
Globulin
SGOT
SGPT
4,7 g/dl
2,88 g/dl
1,82 g/dl
41 U/L
81 U/L
6,0-8,7 g/dl
3,5-5,2 g/dl
2,5-3,1 g/dl
< 31 U/L
< 31U/L
b. CT-Scan Kepala tanggal 24 Juni 2012
20
5. RESUME
Pasien laki-laki, 38 tahun datang ke IGD RSMS dengan keadaan penurunan
kesadaran sejak 1 hari SMRS. Selain itu pasien juga mengeluhkan nyeri kepala sejak
dua puluh hari yang lalu. Nyeri kepala dirasakan berdenyut, hilang timbul, yang
semakin lama semakin memberat. Nyeri kepala dirasakan mengganggu aktivitas hingga
pasien harus berhenti bekerja. Pasien juga sempat muntah menyemprot sejak dua puluh
hari SMRS. Muntah berisi makanan dan tidak disertai darah. Pasien juga mengeluhkan
penglihatannya menurun (menjadi kabur). Pasien juga mengeluhkan sulit untuk
berbicara dan demam. Pasien menyangkal terjadi kejang. Pasien sebelumnya pernah
mengalami keluhan yang sama sejak bulan Maret tahun 2012. Pasien sebelumnya sudah
terdiagnosa tumor otak dan telah dilakukan dua kali operasi.
Pemeriksaan Fisik
GCS : E2 M5 V1
Keadaan umum : Tampak sakit berat
Kesadaran : Sopor
Tanda – tanda vital:
Tekanan darah: 140/100 mmHg
Nadi : 100 x/menit
RR : 20 x/menit
Suhu : 38,5◦C
21
Status generalis : dalam batas normal
Status neurologis
Refleks cahaya : +/+ menurun
Pupil : bulat, isokor, Æ 4mm/4mm
Meningeal Sign : Kaku kuduk -, kernig -, brudzinski -
Pemeriksaan motorik
Superior InferiorGerakan Terbatas Terbatas
Kekuatan 333 333Trofi Eutrofi EutrofiTonus Normotoni NormotoniRefleks Fisiologis + normal + normalRefleks Patologis - -
Pemeriksaan Sensibilitas
Tidak didapatkan hipestesi maupun anestesi
Pemeriksaan penunjang
CT-Scan: massa densitas inhomogen bentuk oval batas tegas tepi regular disertai
kalsifikasi didalamnya pada thalamus kanan, corona radiata kanan disertai edema
bentuk finger like, massa tampak strong enchancement pasca pemberian kontras
DD/ ependimoma, astrositoma, teratoma
Disertai peningkatan Tekanan Intra Kranial
Pemeriksaan Laboratorium
Pada hasil pemeriksaan didapatkan peningkatan Leukosit, SGOT, dan SGPT. Serta
terdapat penurunan kadar klorida, protein total, albumin, dan globulin.
6. DIAGNOSIS
Tumor serebri disertai hidrosefalus
7. PENATALAKSANAAN
Operasi VP shunt dan kraniotomi debulking tumor
8. LAPORAN ANESTESI PASIEN
a. Diagnosis pra-bedah : SOL (astrositoma) regio parietal sinistra sampai
dekstra dengan hidrosefalus
22
b. Diagnosis post-bedah : SOL (astrositoma) regio parietal sinistra sampai
dekstra dengan hidrosefalus
c. Tanggal operasi : 25 Juni 2012
d. Jenis Pembedahan : Craniotomy a/i SOL
Jenis Anestesi : General anestesi
Premedikasi anestesi : O2 3L/m, IVFD RL 20 tpm, ondansetron 4mg,
Induksi : Propofol 100 mg, Fentanyl 50 µg
Relaksasi : roculax
Pemeliharaan anestesi : O2, isofluorane, sevofluorane, ecron,
Medikasi lain : manitol 200cc, heparin, metilprednisolon,
dexamethason, ceftriaxon,
Teknik anestesi : General Anestesi semiclosed
Induksi iv dengan Propofol, Fentanyl bolus intravena
Intubasi dengan ET no.7,5 cuff .
Maintenance dengan O2,
Respirasi : Kontrol ventilator
Posisi : Terlentang
Infuse : RL, fimahes, NaCl
Status fisik : ASA III
Induksi mulai : 08.50
Operasi mulai : 09.30
Operasi Selesai : 17.10
Berat badan : 50 Kg
Lama Operasi : 7 jam 25 menit
Pasien puasa : 8 jam
Terapi cairan :
Maintenance = 2 cc/ KgBB/jam
= 2 cc x 34 kg/jam
= 68 cc/jam
Pengganti puasa = puasa x maintenance
= 6 x 68 cc/jam
= 408 cc
Stress Operasi = 8 cc/ kgBB/ jam
= 8 cc x 34 Kg/ jam
23
= 272 cc/jam
Kebutuhan cairan jam I
= ½ Pengganti puasa + maintenance + stress operasi
= 204 + 68 + 272 cc/jam
= 544 cc
Kebutuhan cairan jam II
= ¼ Pengganti puasa + maintenance + stress operasi
= 102 + 68 + 272
= 442 cc/jam
Kebutuhan cairan jam III
= ¼ Pengganti puasa + maintenance + stress operasi
= 102 + 68 + 272
= 442 cc/jam
EBV = 70 cc/kgBB
= 70 cc x 34 kg
= 2.380 cc
ABL = 20% EBV
= 20% x 2.380 cc
= 476 cc
9. FOLLOW UP PASCA OPERASI di ICU tanggal 25 Juni 2012
ANAMNESA (Alloanmnesa kepada istri dan ibu pasien )
Setelah dilakukan operasi pada tanggal 25 Juni 2012 pasien masuk ICU. Selama
perawatan kondisi dalam status quo. Terdapat tetraparese, sulit untuk berbicara dan juga
mengeluhkan batuk sejak operasi pertama dan sulit untuk mengeluarkan lendir. Tidak ada
gangguan penglihatan yang menurun, gangguan pendengaran (-).
PEMERIKSAAN FISIK
GCS : E2 M4 Vafasia
Keadaan umum : Tampak sakit berat
Kesadaran : Sopor
Tanda – tanda vital:
Tekanan darah: 135/94 mmHg
Nadi : 76 x/menit
24
RR : 17 x/menit
Suhu : 36,2◦C
STATUS GENERALIS
Kepala : Normocephal, tidak ada hematom, bekas operasi (+)
Mata : Konjungtiva tidak anemis, sklera tidak ikterik, pupil bulat isokor Æ
4mm/4mm, refleks cahaya +/+ menurun, gerak bola mata normal
Hidung : Discharge -/-
Telinga : Discharge -/-, hiperemis -/-
Mulut : Tidak ada deviasi, tremor maupun atrofi lidah
Leher : JVP tidak meningkat, tidak ada pembesaran kelenjar limfe
Thorax :
Pulmo
Inspeksi : Simetris, tidak ada ketinggalan gerak
Palpasi : Tidak ada ketinggalan gerak, fokal fremitus simetris normal
Perkusi: Sonor pada kedua lapang paru
Auskultasi : Suara dasar vesikuler, tidak ada ronki basah halus, tidak ada ronki
basah kasar, tidak ada wheezing pada kedua lapang paru
Cor
Inpeksi : Ictus cordis tampak pada SIC V LMCS
Palpasi : Ictus cordis teraba di SIC V LMCS, tidak kuat angkat
Perkusi : Kanan Atas : SIC II LPSD
Kiri Atas : SIC II LPSS
Kanan Bawah : SIC IV LPSD
Kiri Bawah : SIC V LMCS
Auskultasi : S1>S2 reguler, tidak ada murmur, tidak ada gallop
Abdomen :
Inspeksi : Datar
Auskultasi : Bising usus + normal
Perkusi : Timpani
Palpasi : Supel, tidak ada nyeri tekan pada seluruh lapang abdomen
Vertebrae:
25
Inspeksi : Tidak ada deformitas
Palpasi : Tidak ada nyeri tekan/nyeri ketok
Ekstrimitas :
Superior : Tidak ada edema, anemis
Inferior : Tidak ada edema, anemis
STATUS NEUROLOGIS
Refleks cahaya : -/-
Pupil : bulat, isokor, Æ 4mm/4mm
Meningeal Sign : Kaku kuduk -, kernig -, brudzinski -
Pemeriksaan motorik
Superior InferiorGerakan Lemah Lemah
Kekuatan 2222 2222Trofi Eutrofi EutrofiTonus Normotoni NormotoniRefleks Fisiologis + normal + normalRefleks Patologis - - Pemeriksaan Sensibilitas
Tidak didapatkan hipestesi maupun anestesi
PEMERIKSAAN LABORATORIUM (tanggal 25 Juni 2012)
Pemeriksaan Hasil Nilai Normal
Hemoglobin 16,5 gr/dl 12-14 gr/dl
Leukosit 20900/ul 5000-10000/ul
Hematokrit 47 % 37-43%
Trombosit 530000/ul 150.000-400.000/ul
Ureum 32,9 mg/dl 10-50 mg/dl
Kreatinin 0,46 mg/dl 0,5-1,3 mg/dl
26
Gula darah sewaktu 186 mg/dl < 200 mg/dl
Elektrolit
Natrium
Kalium
Chlorida
143 mmol/l
4,3 mmol/l
107 mmol/l
135-145 mmol/l
3,8-5,0 mmol/l
98-106 mmol/l
Pemeriksaan Hasil Nilai Normal
Tes Fungsi Liver
Protein total
Albumin
Globulin
4,7 g/dl
2,88 g/dl
1,82 g/dl
6,0-8,7 g/dl
3,5-5,2 g/dl
2,5-3,1 g/dl
PERKEMBANGAN PASIEN POST OPERASI (ICU) 25 juni 2012-4juli 2012
27
Jam Tekanan Darah (mmHg)
Nadi (x/menit)
RR (x/mnt)
SpO2(%)
Terapi
25 juni 201219.00 110/67
E3M5Vsdn77 15 98 Bolus:Kemicetin
3x1grTorasic 2x30mgDexametason 3x5mgCeftriaxon 1x2grRantin 2x1ampKutoin 3x100mgCa gluconas
2 Juli 201208.00 137/90
E3M3Vsdn77 22 91
3 Juli 201208.00 86/49
E1M1Vsdn111 11 93
4 Juli 201208.00 73/39
E1M1Vsdn137 8 91 Paracetamol
Fenitoin (PO)Hedonac 1000mg/10mNebulizer 2x1hrBolus:Rantin 2x1ampDexametason 3x5mgTramadol 3x1ampCeftazidine 3x1grCiprofloxacin 2x500mg
20.30 49/22E1M1Vsdn
50 8 45
10. PROGNOSIS
Quo ad vitam : Dubia ad malam
Quo ad functionam : Dubia ad malam
Quo ad Sanactionam : Dubia ad malam
BAB IV
28
PEMBAHASAN
A. Kunjungan Pre Operasi
Seorang pasien, Tn.T (38 th) datang dengan keluhan penurunan kesadaran. Keluhan
dirasakan sejak 1 hari SMRS. pasien juga mengeluhkan nyeri kepala sejak dua puluh hari
yang lalu. Nyeri kepala dirasakan berdenyut, hilang timbul, yang semakin lama semakin
memberat. Nyeri kepala dirasakan mengganggu aktivitas hingga pasien harus berhenti
bekerja. Pasien juga sempat muntah menyemprot sejak dua puluh hari SMRS. Muntah
berisi makanan dan tidak disertai darah. Pasien juga mengeluhkan penglihatannya
menurun (menjadi kabur). Pasien juga mengeluhkan sulit untuk berbicara dan demam.
Pasien menyangkal terjadi kejang.
B. Pemeriksaan Pre Operasi
Pada tanggal 24 Juni 2012, pasien mengeluhkan pusing, mual dan muntah, vertigo,
lemas. Tekanan darah 120/80 mmHg, nadi 76 kali per menit, laju pernapasan 20 kali
permenit serta suhu 37 0C. Adapun hasil laboratoriumnya antara lain : Hemoglobin 17,8 ,
Leukosit 22390, Hematokrit 50%, Eritrosit 5,3 juta, Trombosit 384.000, PT 12,9 ,APTT
29,6 ,Na144, K 4,1 ,SGOT 41 ,SGPT 81. Berdasarkan hal tersebut maka operasi acc ASA
II yaitu pasien dengan keadaan sistemik sedang. Adapun instruksi yang diberikan antara
lain : informed consent, IVFD RL, puasa 6 jam pre operasi, sedia darah 4 kolf, post
operasi rawat ICU, paracetamol 3x500mg Tujuan puasa 6 jam pre operasi untuk
mencegah regurgitasi isi lambung dan kotoran yang terdapat dalam jalan napas karena
refleks laring mengalami penurunan selama anestesia. Pada dewasa umunya puasa 6-8
jam, anak kecil 4-6 jam dan pada bayi 3-4 jam. Makanan tak berlemak diperbolehkan 5
jam sebelum induksi anestesia. Minuman bening, air putih, teh manis sampai 3 jam dan
untuk keperluan minum obat air putih dalam jumlah terbatas boleh 1 jam sebelum induksi
anesthesia (Latief, Suryadi, dan Dachlan, 2001 ; Morgan, 2007).
C. Tahapan Anestesi
1. Keadaan Pre-operasi : Pasien puasa selama 6 jam sebelum operasi. Keadaan umum
sedang dan kesadaran compos mentis. Tekanan darah 110/60 mmHg, nadi 88 kali
permenit, laju pernapasan 16 kali permenit dan suhu 36, 1oC.
29
2. Jenis Anestesi : general anestesi dengan teknik closed intubation, respirasi terkontrol
dengan endotrakeal No. 7,5.
3. Premedikasi yang diberikan : Ondansetron 4mg diberikan secara intravena sebelum
induksi anestesi.
4. Induksi anestesi: pasien diberi Propofol 100 mg, Fentanyl 50 µg dan Roculax sebelum
dilakukan intubasi. Kemudian dilakukan pemasangan pipa endotrakeal No. 7,5.
5. Maintenance
Status anestesi dipertahankan dengan pemberian kombinasi O2, isofluorane,
sevofluorane, ecron. Selama tindakan anestesi berlangsung, tekanan darah dan denyut
nadi diukur setiap detik.
6. Keadaan post operasi
Operasi selesai dalam waktu 7 jam 25 menit. Sesaat sebelum operasi selesai,
agen-agen anestesi intravena dihentikan, sedangkan pemberian O2 masih
dipertahankan. Kemudian dilakukan suction untuk menghilangkan lendir yang dapat
menghalangi jalan napas.
7. Ruang pemulihan (Recovery Room)
Pasien dipindahkan ke ruang Intensive Care Unit untuk dilakukan observasi.
Vital sign terakhir pasien saat dibawa ke ICU adalah TD 135/94 mmHg, N 76
x/menit, RR 17x/mnt, SpO2 98%. Penilaian pasien ini menggunakan ”Skor Aldrete”
dan diberikan O2 2-3 liter / menit, serta diobservasi tekanan darah, denyut nadi.
General anestesi pada pasien ini, induksi menggunakan propofol. Propofol merupakan
obat anestesi umum yang mekanismenya adalah menghambat transmisi neuron yang
dihantarkan oleh GABA. Propofol tidak larut dalam air. Propofol tersedia dalam bentuk
larutan dengan konsentrasi 1 % berupa suspensi lemak dalam air dan mengandung
minyak kacang kedelai, gliserol, dan lecithin telur. Injeksinya menimbulkan nyeri yang
dapat dikurangi dengan pemberian lidokain di tempat penyuntikan atau mencampurkan 2
cc lidokain 1 % dengan 18 cc propofol. Propofol hanya tersedia untuk pemberian
intravena untuk induksi anestesi umum. Kelarutan lemak yang tinggi membuat propofol
mempunyai mula kerja yang amat tinggi, hampir secepat thiopental. Pemulihan dari satu
bolus pun terjadi amat cepat karena pendeknya waktu paruh distribusi (2 – 8 menit). Pada
pasien usia tua dibutuhkan dosis induksi yang lebih kecil. Wanita membutuhkan dosis
yang lebih tinggi daripada pria dan pulih lebih cepat. Metabolit propofol terutama
30
diekskresikan melalui urin, gagal ginjal kronis tidak mempengaruhi perubahan dari obat
aktif.
Intensive Care Unit (ICU) adalah suatu tempat atau unit tersendiri di dalam rumah
sakit, memiliki staf khusus, peralatan khusus ditujukan untuk menanggulangi pasien
gawat karena penyakit, trauma atau komplikasi-komplikasi. Staf khusus adalah dokter,
perawat terlatih atau berpengalaman dalam “Intensive Care (perawatan/terapi intensif)”
yang mampu memberikan pelayanan 24 jam; dokter ahli atau berpengalaman (intensivis)
sebagai kepala ICU; tenaga ahli laboratorium diagnostik; teknisi alat-alat pemantauan,
alat untuk menopang fungsi vital dan alat untuk prosedur diagnostik (Depkes, 2003).
Adapun perawatan di ICU melingkupi :
1. Pemantauan fungsi vital tubuh terhadap komplikasi :
a. Penyakit
b. Penatalaksanaan spesifik
c. Sistem bantuan tubuh
d. Pemantauan itu sendiri
2. Penatalaksanaan untuk mencegah komplikasi akibat koma yang dalam, immobilitas
berkepanjangan, stimulasi berlebihan dan kehilangan sensori (Hanafie, 2007).
Indikasi masuk ICU antara lain :
1. Pasien sakit berat, pasien tidak stabil yang memerlukan terapi intensif seperti bantuan
ventilator, pemberian obat vasoaktif melalui infus secara terus menerus (contoh; gagal
napas berat, pasca bedah jantung terbuka, syok septik)
2. Pasien yang memerlukan bantuan pemantauan intensif atau non invasif sehingga
komplikasi berat dapat dihindari atau dikurangi (contoh: pasca bedah besar dan luas;
pasien dengan penyakit jantung, paru, ginjal atau lainnya).
3. Pasien yang memerlukan terapi intensif untuk mengatasi komplikasi-komplikasi akut,
sekalipun manfaat ICU ini sedikit (contoh: pasien dengan tumor ganas metastasis
dengan komplikasi infeksi, tamponade jantung, sumbatan jalan napas) (Hanafie,
2007).
Pada kasus Tn.T (38tahun), indikasi masuk ICU adalah memerlukan bantuan pemantauan
intensif sehingga komplikasi berat pasca bedah besar dapat dihindari. Pada pemantauan
terakhir di ICU, tekanan darah 49/22 mmHg, Nadi 50 kali permenit, RR 8 kali permenit, dan
SPO2 45%. Terapi terakhir yang didapatkan pasien di ICU adalah Paracetamol, Fenitoin
(PO), Hedonac 1000mg/10m, Nebulizer 2x1hr, Bolus:Rantin 2x1amp, Dexametason 3x5mg,
Tramadol 3x1amp,Ceftazidine 3x1gr.
31
BAB V
KESIMPULAN
1. Pasien seorang laki-laki usia 38 tahun yang akan dilakukan craniotomy atas indikasi
space occupying lession suspek astrositoma regio parietal sinistra dengan status fisik
ASA II.
2. Anestesi yang digunakan adalah general anesthesia.
3. Obat induksi yang diberikan Fentanyl 50 µg dan Propofol 100 mg.
4. Intubasi dengan ET nomor 7,5 cuff
5. Pemeliharaan anestesi yang digunakan O2, isofluorane, sevofluorane, ecron.
6. Operasi berjalan selama 7 jam 25 menit.
7. Pasca operasi pasien dirawat di ICU.
32