Policy Paper Lembaga Pangan

download Policy Paper Lembaga Pangan

of 13

description

Policy Paper Lembaga Pangan - Indonesian Human Rights Committe For Social Justice (IHCS)

Transcript of Policy Paper Lembaga Pangan

  • 0

    POLICY PAPER

    Maret 2014

  • 1

    Tentang Kelembagaan Pangan

    Policy Paper

    Maret 2014

    Writing Panel : Gunawan

    IHCS Indonesian Human Rights Committee for Social Justice Jl. Pancoran Barat II No. 38A Pancoran Jakarta Selatan 12780 Tel : 021 32592007 Fax : 021 791 92 092 Email : [email protected] Web : www.ihcs.or.id

  • 2

    I. Pengantar

    Salah satu mandat dari Undang-Undang Pangan yang baru adalah dibentuknya lembaga yang menjalankan tugas pemerintahan di bidang pangan, yang mana pembentukan lembaga tersebut akan dilakukan melalui Peraturan Presiden. Tentunya Peraturan Presiden tentang lembaga pangan tersebut dalam upaya penyusunan perlu melakukan evaluasi atas kelembagaan negara terkait pangan, sebut saja Kementerian Pertanian, Badan Ketahanan Pangan (BKP) Kementerian Pertanian, BPPOM (Badan Pengawan Peredaran Obat dan Makanan), BULOG (Badan Urusan Logistik), DKP (Dewan Ketahanan Pangan), Staf Khusus Presiden Bidang Pangan, dan lain-lain serta berbagai instansi terkait, seperti Kementerian Perdagangan, BPN (Badan Pertanahan Nasional), Kementerian Kehutanan, Kementerian Pekerjaan Umum, Kementerian Kesehatan, Kementerian Koordinator Kesejahteraan Rakyat dan Kementerian Koordinator Perekonomian. Organisasi masyarakat jauh hari sebelum Perubahan Undang-Undang No. 7 Tahun 1996 tentang Pangan masuk ke dalam agenda Prolegnas (Progam Legislasi Nasional) Tahun 2010-2014, telah memberikan gambaran problematika sektoralisme kelembagaan pangan dan usulan alternatif kelembagaan pangan.1 Di dalam konteks pengaturan hak atas pangan, kendala pemerintah adalah tidak singkronnya kebijakan bahkan terjadi situasi yang kontradiktif. Di level nasional ketidaksingkronan tersebut dapat dilihat dari: Pertama. Problem hukum. Produk peraturan perundangan yang terkait persoalan agraria pada umumnya dan pertanian serta pangan pada khususnya, justru mengakibatkan akses masyarakat kepada sumber-sumber agraria dan pangan terhalangi, tetapi justru mengintegrasikan sumber-sumber agraria dan sumber-sumber pangan dengan internasionalisasi modal lewat liberalisasi, privatisasi, dan komersialisasi yang membawa dampak alih fungsi lahan pertanian ke non pertanian maupun kriminalisasi petani produsen pangan. Kedua. Tidak singkronnya badan-badan pemerintahan yang berwenang mengelola pertanahan, pertanian, perkebunan, kehutanan, pertambangan, perindustrian dan perdagangan serta keuangan. Kebijakan yang saling berbeda antara Badan Pertanahan Nasional, Kementerian Kehutanan dan Kementerian Pertanian dalam memandang Progam Pembaruan Agraria Nasional (PPAN) adalah salah satu contoh ketidaksingkronan antar instansi terkait, atau ketidaksingkronan antara Kementerian dengan Kementerian Perdagangan dalam kebijakan pangan nasional, khususnya dalam kasus impor pangan. Ketiga. Sebagai negara pihak dalam kontradiksi internasional. Di internasional telah terjadi ketidaksingkronan instrumen dan mekanisme dalam mekanisme di PBB (UN

    1 Lihat Naskah Akademik dan Legal Draft Pergantian Undang-Undang Nomor 7 Tahun 196 tentang Pangan Versi Organisasi Masyarakat, Desember 2008

  • 3

    Mechanism) di mana Indonesia turut menjadi negara peserta, yaitu antara instrumen pelindung hak atas pangan dengan instrumen pelanggar hak atas pangan. Badan-badan PBB (Perserikatan Bangsa-Bangsa/United Nations-UN Bodies) terlibat dalam blunder ini. Intrumen konstruktif hak atas pangan meliputi satu kovenan induk, Kovenan Internasional Hak Ekonomi, Sosial, Budaya (International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights) 16 Desember 1966. Beberapa yang diinisiasi oleh FAO (Food and Agricultural Organization/Organisasi Pangan dan Pertanian), seperti World Conference on Agrarian Reform and Rural Development tahun 1979 yang melahirkan Peasants Charter, World Food Summit setiap lima tahun mulai tahun 1996, Voluntary Guidelines to Support the Progressive Realization of the Right to Adequate Food in the Context of National Food Security (Pedoman Sukarela untuk Mendukung Realisasi Progresif Pemenuhan Hak Atas Pangan secara Layak dalam Kerangka Ketahanan Pangan Nasional) tahun 2004, dan International Conference on Agrarian Reform and Rural Development tahun 2007. Ada juga Pelapor Khusus Hak Atas Pangan (Special Rapporteur on the right to food) yang dibentuk oleh Commission on Human Rights bersandar resolution 2000/10 of 17 April 2000 dan resolution 2001 0f 20 April 2001, Hak atas pangan juga muncul dalam UN Millenium Development Goals tahun 2000. Sedangkan yang destruktif dengan hak atas pangan misalnya perjanjian-perjanjian dalam WTO (World Trade Organization/Organisasi Perdagangan Internasional), proyek-proyek World Bank (Bank Dunia) dan IMF (International Monertary Fund). Mencermati situasi tersebut di atas, menjadi perlu diidentifikasikan pembagian

    tanggung-jawab instansi-instansi negara, dan masyarakat serta apa tanggung-jawab

    dari kelembagaan pangan

    Pengalokasian tanggung jawab insitusi dari lembaga-lembaga negara dan

    pemerintahan, perusahan dan usaha bisnis lainya, serta organisasi masyarakat sipil

    adalah sebagai berikut :

    Pemerintah mempunyai kewajiban untuk kerja sama internasional bantuan pangan,

    pelaporan di badan-badan PBB dan mendukung usaha-usaha provinsi, kabupaten/kota

    dan lembaga negara atau lembaga pemerintah lainya serta masyarakat dalam

    perlindungan dan pemenuhan hak atas pangan

    Pemerintah dalam setiap tingkatan harus menjaga transparansi sehingga masyarakat

    dapat mengakses informasi dan sarana bagi masyarakat memanfaatkan pengaduan

    administratif, upaya gugatan di pengadilan dan pengaduan ke Komisi Nasional Hak

    Asasi manusia.

    Aparatur pemerintahan yang terkait dengan penegakan hukum, ketertiban umum, dan

    keamanan dalam negeri hendaknya pro aktif terhadap pelanggaran hak atas pangan.

  • 4

    Pemerintah Daerah berkewajiban memaksimalkan sumber daya yang ada di wilayahnya

    guna pemenuhan hak atas pangan.

    DPR bersama pemerintah bertanggung jawab untuk menghasilkan kerangka kerja

    legislatif dalam rangka penghormatan, perlindungan dan pemenuhan hak atas pangan

    yang memberikan dasar hukum bagi pemerintah.

    Pengadilan mempunyai tanggung jawab untuk menerima kasus-kasus pelanggaran hak

    atas pangan yang diajukan masyarakat.

    Komisi Hak Asasi Manusia mempunyai tanggung jawab untuk menyelesaikan

    pengaduan-pengaduan masyarakat mengenai hak atas pangan, dan menjalankan fungsi

    pemantauan, pelaporan, mediasi serta penyadaran hak atas pangan.

    Organisasi masyarakat sipil memiliki tanggungjawab pemajuan dan pembelaan hak atas

    pangan di level nasional maupun internasional

    Perusahaan dan usaha bisnis lainnya memiliki tanggungjawab HAM, untuk itu aktivitas

    bisnis berkewajiban menghormati hak atas pangan dan aktivitas bisnisnya tidak

    menghalangi akses kepada bahan pangan yang layak

    Lembaga negara di bidang pangan memiliki tanggung-jawab : (1). Merumuskan

    kebijakan di bidang pangan, yang meliputi aspek ketersediaan, distribusi, dan konsumsi

    serta mutu, gizi, dan keamanan pangan; (2). Melakukan pemantauan dan pengawasan

    terhadap ketersediaan, distribusi, dan konsumsi serta mutu, gizi, dan keamanan

    pangan; (3). Melakukan pemberdayaan produsen pangan skala kecil: (4). Melakukan

    penyelidikan dan penyidikan terhadap pelanggaran hak atas pangan.

    Hari Kamis, tanggal 18 Oktober 2012, DPR mensahkan Undang-Undang Nomor 18

    Tahun 2012 tentang Pangan, yang mengamanatkan dibentuknya lembaga pangan, yang

    diatur di dalam beberapa pasal sebagaimana berikut di bawah ini :

    Pasal 32 (1) Pemerintah menugasi kelembagaan Pemerintah yang bergerak di bidang Pangan untuk mengelola Cadangan Pangan Pemerintah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. (2) Kelembagaan Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) didukung dengan sarana, jaringan, dan infrastruktur secara nasional Pasal 126 Dalam hal mewujudkan Kedaulatan Pangan, Kemandirian Pangan, dan Ketahanan Pangan nasional, dibentuk lembaga Pemerintah yang menangani bidang Pangan yang berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Presiden. Pasal 127

  • 5

    Lembaga Pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 126 mempunyai tugas melaksanakan tugas pemerintahan di bidang Pangan. Pasal 128 Lembaga Pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 127 dapat mengusulkan kepada Presiden untuk memberikan penugasan khusus kepada badan usaha milik negara di bidang Pangan untuk melaksanakan produksi, pengadaan, penyimpanan, dan/atau distribusi Pangan Pokok dan Pangan lainnya yang ditetapkan oleh Pemerintah. Pasal 129 Ketentuan lebih lanjut mengenai organisasi dan tata kerja lembaga Pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 126 sampai Pasal 128 diatur dengan Peraturan Presiden.

    Merespon disahkan Undang-Undang Pangan yang baru, organisasi masyarakat telah berkumpul dan menyusun pandangan guna memberikan masukan terkait lembaga pangan.2 Adapun masukannya adalah sebagai berikut :

    Tugas atau Fungsi bagi Lembaga Pangan: 1. Mengakhiri sektoralisasi, kesemerawutan dalam koordinasi kebijakan pangan; 2. Tanggung-gugat terhadap terjadinya pelanggaran hak atas pangan; 3. Menjalankan tujuan kedaulatan pangan dengan memperkuat peran perempuan dan

    produsen pangan skala kecil (masyarakat adat, petani, nelayan, peternak); 4. Memiliki kebijakan di alat produksi pangan (tanah dan air) 5. Mengaturan distribusi pangan

    Bentuk Lembaga Pangan 1. Berlandaskan pemenuhan dan perlindungan hak atas pangan warga negara; 2. Berstruktur kecil, efisien dan efektif; 3. Operasionalnya meliputi produksi, distribusi, konsumsi, informasi dan

    kampanye/pendidikan di bidang pangan serta memiliki kewenangan pro justicia dalam kasus pelanggaran hak atas pangan;

    4. Finansial yang bersumber dari APBN tidak ikut kementerian

    Selama ini Dewan Ketahanan Pangan-lah yang langsung dipimpin oleh Presiden mengkoordinasikan kabinet, gubernur dan bupati. Di dalam kelembagaan pangan organisasi masyarakat memiliki keterwakilan di dalam Kelompok Kerja Khusus Dewan Ketahanan Pangan Republik Indonesia (Pokjasus DKP RI) di mana salah satu anggotanya dari IHCS. Oleh karenanya organisasi masyarakat juga mempergunakan saluran di dalam Dewan Ketahanan Pangan guna memberi masukan dalam pembentukan kelembagaan pangan baru.

    2 Gunawan, Tentang Kelembagaan Pangan, Catatan Awal Organisasi Masyarakat, Disusun Berdasarkan Diskusi tentang Kelembagaan Pangan di Jakarta pada Tanggal 06 Februari yang Dihadiri oleh : IHCS, HKTI, AMAN, WALHI, SMERU, ICCO, SP, KIARA, P3M, KEHATI, SPI, PBHI JAKARTA, BINA DESA, KRKP, API, KRUHA, Lily Purba (mewakili individu)

  • 6

    Pokjasus dan Pokja Ahli telah beberapa kali melakukan rapat koordinasi gabungan untuk membahas Rancangan Peraturan Presiden terkait kelembagaan pangan sesuai mandat Undang-Undang Pangan dan Rancangan Perubahan Peraturan Presiden No. 83 Tahun 2006 tentang Dewan Ketahanan Pangan. II. Tanggung Jawab dan Kewajiban Negara dalam Hak atas Pangan3

    II. 1. Fondasi Konstitusional Mengenai Hak Asasi Manusia Fondasi konstitusional Indonesia, dan sesungguhnya fondasi konstitusional setiap negara terletak pada kenyataan bahwa warga negara adalah subyek dari bangsa dan negara, dan supremasi hukum didasarkan pada penghargaan manusia. Para pendiri bangsa yang menjadi pembentuk konstitusi (framers) secara terbuka memperdebatkan bagaimana merumuskan perihal warga negara sebagai dasar kemanusiaan ini. Dalam terma hukum, dikenal habeas corpus yaitu hak manusia di hadapan manusia lain (dalam hal ini negara) untuk membela dirinya sendiri, dan perlu adanya proses hukum (due process of law). Habeas corpus menjadi rumusan paling penting dalam sejarah manusia yaitu bahwa kesewenang-wenangan harus ditolak dan mutlak ada rumusan etik serta lembaga peradilan untuk mengatur kehidupan warga negara (citizenship as legitimate human affairs). Konstitusi Indonesia merumuskan hal ini dalam Pasal 27 ayat 1 UUD 1945, Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan, dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya. Rumusan ini menyatakan habeas corpus dalam tata hukum Indonesia dengan penekanan pada kesetaraan. Sekaligus ditanyakan mengenai pranata yang mengatur mengenai kesetaraan dalam kehidupan warga negara tersebut. Tentu tidak tanpa maksud bahwa habeas corpus dalam konstitusi Indonesia diikuti ayat 2 dalam pasal 27 UUD 1945, Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak demi kemanusiaan, Rumusan ini sekaligus menegaskan bahwa manusia yang lahir pada dasarnya adalah setara dengan manusia lain, dan organisme masyarakatnya perlu mengakuinya secara eksplisit dan menyelenggarakan

    3 Henry Thomas Simarmata, Keterangan Tertulis sebagai Ahli di Mahkamah Konstitusi dalam Pengujian Undang-Undang UU No. 18 Tahun 2012 Tentang Pangan [Pasal 3, Pasal 36 Ayat (3), Pasal 53, Pasal 133, Pasal 69 Huruf C, Pasal 77 Ayat (1) Dan Ayat (2)], Nomor Perkara : 98/PUU-XI/2013, Yogyakarta, 4 Februari 2014

  • 7

    perlindungan hak tersebut termasuk dalam hal kesempatan, akses dan alokasi sumber daya, partisipasi dan kontrol dalam pemanfaatan dan pengolahan pekerjaan dan penghidupan. Ayat 2 ini juga menjadi syarat-syarat kualitas kemanusiaan supaya negara menyelenggarakan pewujudan hak asasi manusia. Kualitas kemanusiaan ini II. 2. Pangan dalam Hak Asasi Manusia Pangan menduduki posisi yang unik dalam hal ini karena dua ciri pentingnya, yaitu kebutuhan mutlak manusia tiap hari atau harian, dan volatilitas dalam hal pewujudannya. Setiap orang butuh pangan setiap harinya, baik yang bersifat pokok maupun pendukung. Karena dibutuhkan tiap hari, maka dinamikanya menjadi bisa dibaca dan diatur. Dalam hal positif, warga negara dan negara mengambil langkah-langkah jangka pendek dan jangka panjang dalam menyelenggarakan pangan tersebut. Dalam hal negatif, pangan menjadi permainan sosial-ekonomi atau proses politik negatif. Bentuk-bentuk spekulasi komoditi, embargo pangan, monopoli-oligopoli adalah wujud yang kita kenali. Karena dibutuhkan tiap hari, maka hal-hal negatif justru menjadi amat terbukat untuk dilakukan. Pangan yang dikonsumsi setiap harinya dihasilkan dari serentetan upaya dan pengolahan sumber daya alam. Rentetan ini membutuhkan syarat-syarat sosial dan budaya yang tidak sedikit. Volatilitas yang dimaksud adalah bahwa syarat-syarat ini amat dipengaruhi dan ditentukan oleh manusia dan organisme manusia itu sendiri, serta dampak-dampak perbuatan manusia terhadap alam. Volatilitas ini berwujud pada nilai pangan yang naik turun dan penyelenggaraan pangan yang dapat labil. Dengan melihat dua ciri penting ini, dapat dijelaskan bahwa hak asasi manusia terkait dengan negara di mana dia hidup. Konstitusi menyatakan bahwa negara adalah bentuk absah organisme yang mengatur dan mengelola kehidupan manusia dimana warganya memegang kendali atas kehidupannya kembali pada konsepsi citizenship as legitimate human affairs. Hal ini juga diakui dalam hukum internasional. Negara dianggap subyek hukum internasional. Meskipun dunia tumbuh dengan berbagai ragam organisasi kemasyarakatan, organisasi komersial, organisasi transnasional, negara tetap dianggap sebagai subyek hukum. Kewajiban negara adalah menjalankan penyelenggaraan kehidupan. Hak-hak manusia warga negara diwujudkan oleh warga yang bersangkutan, namun dijamin dan diselenggarakan oleh negara. Negara menetapkan fondasi dalam hal kualitas minimum yang mutlak ada, layanan publik, partisipasi warga negara dalam kehidupan sosial-ekonomi. Pangan menjadi urusan negara setiap hari, dan amat mutlak bahwa negara menjawab masalah-malah terkait permainan sosial-ekonomi-politik dan kondisi dan utilisasi sumber daya alam. II. 3. Penyelenggaraan pangan

  • 8

    Dalam hal Undang-Undang 18 tahun 2012, penyelenggaraan pangan adalah wujud dari pasal 27 ayat 1 dan ayat 2. Titik utama (primacy) dari undang-undang ini jelas menunjuk pada penyelenggara negara yang paling bertanggungjawab. Pasal 27 ini menetapkan fondasi dan syarat-syarat sebagaimana dijelaskan di atas (bagian 1). Berdasarkan konstitusi, fungsi yudikatif negara akan mengawasi norma dan syarat-syarat capaian suatu kebijakan negara. Tetapi jelas bahwa pemerintahlah, dalam hal ini lembaga kepresidenan yang bertanggungjawab penuh dalam pewujudan pasal 27. Presiden sebagai single chief executive bertanggungjawab penuh setiap hari atas penyelenggaraan pangan sebagai pewujudan pasal 27 UUD 1945. Dalam masalah-masalah yang ditunjuk dalam gugatan ini, pasal 3 Undang-Undang 18 tahun 2012, rumusan penyelengaraan pangan haruslah pada lembaga tinggi negara. Dalam tingkat pewujudan, pasal 27 juga menunjuk tingkat preskripsi, atau bagaimana pewujudan norma dalam hal tingkatan, ruang dan waktu. Mengenai bagaimana dijalankan, menteri diakui sebagai pejabat tinggi tidak biasa. Artinya, menteri sepenuhnya adalah pembantu presiden, sekaligus memanggul tanggungjawab presiden secara langsung, namun dalam tingkat preskripsi. Dengan demikian pada pasal-pasal berikutnya dalam undang-undang yang dimaksud, perlu dipertegas mengenai tanggungjawab Kepresidenan dalam hal penyelenggaraan pangan. II. 4. Wujud Tanggungjawab Negara dalam Hak atas Pangan Pangan dalam hak asasi manusia diterjemahkan sebagai hak atas pangan. Hal ini dirumuskan demikian karena pangan mencakup tingkat asasi dalam kehidupan manusia sebagaimana dirumuskan pada pasal 27 ayat UUD 1945. Sekaligus, tanggungjawab negara diwujudkan dalam ragam langkah dan wujud. Hukum internasional mengakui bahwa negara sepenuhnya memegang peran utama dalam penyelenggaraan pangan, bahkan di atas organisasi dan kepentingan komersial. Ketentuan ini kita dapati dalam kentenuan hak atas pangan dalam resolusi A/HRC/13/1.7:

    (a) Identify, at the earliest stage possible, emerging threats to the right to adequate food, with a view to facing them (melakukan identifikasi sedini mungkin mengenai ancaman terhadap hak atas pangan layak, dan dengan mempersiapkan langkah-langkah yang perlu);

    (b) Strengthen the overall national human rights protection system with a view to contributing to the realization of the right to food (memperkuat keseluruhan sistem perlindungan hak asasi manusia nasional yang mendukung pewujudan hak atas pangan);

    (c) Improve coordination between the different relevant ministries and between national and subnational levels of government (memperbaiki koordinasi antar kementerian yang berbeda dan antara pemerintahan tingkat nasional dan sub-nasional) ;

    (d) Improve accountability, with a clear allocation of responsibilities, and the setting of precise time frames for the realization of the dimensions of the right to food that require progressive implementation (memperbaiki akuntabilitas, dengan alokasi tanggungjawab yang jelas, dan dengan

  • 9

    penentuan kerangka waktu yang jelas mengenai pewujudan dimensi hak atas pangan yang membutuhkan pewujudan progresif);

    (e) Ensure adequate participation, particularly of the most food-insecure segments of the population (memastikan partisipasi yang memadai, secara khusus pada bagian masyarakat yang paling rawan pangan);

    (f) Pay specific attention to the need to improve the situation of the most vulnerable segments of society (memberikan perhatian secara khusus pada perlunya perbaikan situasi kelompok masyarakat yang paling rentan);

    Rentang wujud tanggungjawab ini sekaligus juga meletakkan posisi konstitusional negara, dalam hal ini cabang eksekutif negara, untuk bediri lebih tinggi dari organisasi komersial dan kepentingan-kepentingan jangka pendek. III. Kelembagaan Pangan Berdasar Bab XII Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan, bisa dibentuk format kelembagaan pangan.

    Pertama. Berdasarkan Pasal 126, yang berbunyi : Dalam hal mewujudkan Kedaulatan Pangan, Kemandirian Pangan, dan Ketahanan Pangan nasional, dibentuk lembaga Pemerintah yang menangani bidang Pangan yang berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Presiden. Kelembagaan pangan tersebut tidak bisa mempergunakan nama Ketahanan Pangan, karena berarti mengabaikan kedaulatan pangan dan kemandirian pangan.4

    Karena berdasarkan Pasal 2 dan Pasal 3 Undang-Undang Pangan, Kedaulatan, Kemandirian dan Ketahanan adalah asas dan dasar penyelenggaraan pangan guna memenuhi kebutuhan dasar manusia.

    Pasal 2 Penyelenggaraan Pangan dilakukan dengan berdasarkan asas: a. kedaulatan; b. kemandirian; c. ketahanan; d. keamanan; e. manfaat; f. pemerataan; g. berkelanjutan; dan h. keadilan.

    4 Sudah ada Draft Rancangan Peraturan Presiden tentang Badan Ketahanan Pangan Nasional. Akan tetapi dalam Rakor Gabungan Pokja Ahli dan Pokja Khusus Dewan Ketahanan Pangan pada 14-15 Februari 2014 di Bogor, memandang lebih tepat mempergunakan nama Badan Otorita Pangan

  • 10

    Pasal 3 Penyelenggaraan Pangan dilakukan untuk memenuhi kebutuhan dasar manusia yang memberikan manfaat secara adil, merata, dan berkelanjutan berdasarkan Kedaulatan Pangan, Kemandirian Pangan, dan Ketahanan Pangan

    Kedua. Berdasarkan Pasal 127 yang berbunyi : Lembaga Pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 126 mempunyai tugas melaksanakan tugas pemerintahan di bidang Pangan. Kelembagaan pangan tersebut tidak sekedar mengeluarkan Badan Ketahanan Pangan dari Kementerian Pertanian. Selain nama badan tidak tepat bernama ketahanan pangan, juga harus benar-benar di bawah presiden dan hanya bertanggungjawab kepada presiden dalam menjalankan tugas pemerintah di bidang pangan, sebagaimana mandat Pasal 126. Artinya tidak di bawah koordinasi menteri. Meskipun ada perbedaan antara urusan pemerintah, yang merupakan wewenang kementerian, dengan tugas pemerintah yang merupakan wewenang lembaga non kementerian, akan tetapi karena tidak ada kementerian urusan pangan, harusnya lembaga pangan menjadi satu-satunya lembaga pangan mengurusi pangan di bawah dan bertanggungjawab kepada presiden. Di bawah dan bertanggungjawab kepada presiden, dalam perspektif HAM menjadi jelas dan tunggal penanggungjawab hak atas pangan. Yang kedua jika kita merujuk ke Undang-Undang No 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara dan Peraturan Presiden No. 24 Tahun 2010 tentang Kedudukan, Tugas dan Fungsi Kementerian Negara serta Susunan Organisasi, Tugas dan Fungsi Eselon I, tidak ada Kementerian dan Eselon I yang menjalan urusan pemerintah di bidang pangan. Dengan kedua alasan tersebut di atas, maka kelembagaan pangan harus memiliki kekuatan yang penuh untuk mengkoordinasi kementerian/lembaga di pusat maupun daerah, baik secara struktur maupun implementasi tugas dan fungsi. Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka menjadi penting untuk memperhatikan usulan teknis dari Pokja Ahli dan Pokja Khusus Dewan Ketahanan.5 Nama yang diusulkan untuk kelembagaan pangan adalah Badan Otoritas Pangan Nasional yang selanjutnya disebut BOPN adalah Lembaga Pemerintah Non kementerian yang berada di bawah dan bertanggung jawab langsung kepada Presiden. BOPN dipimpin oleh seorang Kepala yang kedudukannya setingkat menteri. BOPN mempunyai tugas melaksanakan tugas pemerintahan di bidang pangan. Dalam melaksanakan tugas, BOPN menyelenggarakan fungsi:

    perumusan perencanaan dan pelaksanaan program ketahanan, kemandirian, dan kedaulatan pangan nasional;

    5 Rancangan Peraturan Presiden Republik Indonesia tentang Badan Otorita Pangan Nasional, 15 Februari 2014

  • 11

    perumusan kebijakan, pengembangan, dan pengendalian ketersediaan pangan;

    perumusan kebijakan, pengembangan, dan pengendalian distribusi dan akses pangan;

    perumusan kebijakan dan pengembangan konsumsi, mutu, dan gizi pangan, serta keamanan pangan;

    perumusan kebijakan dan penanganan kerawanan pangan;

    perumusan kebijakan perlindungan dan pemberdayaan petani, nelayan, pembudidaya ikan, dan pelaku usaha pangan; dan

    pembinaan dan penyelenggaraan dukungan administrasi dalam pelaksanaan tugas dan fungsinya.

    Dalam melaksanakan tugas dan fungsi,

    1. BOPN berwenang melakukan koordinasi, integrasi, dan sinkronisasi antarlembaga pemerintah pusat dan daerah, dalam perumusan perencanaan, kebijakan, dan evaluasi ketahanan, dan kemandirian, dan kedaulatan pangan;

    2. BOPN dapat mengusulkan kepada Presiden untuk memberikan penugasan khusus kepada Badan Usaha Milik Negara di bidang pangan untuk melaksanakan produksi, pengadaan, penyimpanan, dan/atau distribusi pangan pokok dan pangan lainnya yang ditetapkan oleh Pemerintah;

    3. BOPN melaksanakan tugas pemenuhan hak atas Pangan yang bermutu, beragam, bergizi seimbang dan aman serta tidak bertentangan dengan agama, keyakinan, dan budaya masyarakat

    Daftar Pustaka Peraturan Perundang-Undangan Undang-Undang No. 7 Tahun 1996 tentang Pangan Undang-Undang No 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan Peraturan Presiden No. 83 Tahun 2006 tentang Dewan Ketahanan Pangan Peraturan Presiden No. 24 Tahun 2010 tentang Kedudukan, Tugas dan Fungsi

    Kementerian Negara serta Susunan Organisasi, Tugas dan Fungsi Eselon I

  • 12

    Dokumen Gunawan, Naskah Akademik dan Legal Draft Pergantian Undang-Undang Nomor 7

    Tahun 196 tentang Pangan Versi Organisasi Masyarakat, Desember 2008 Gunawan, Tentang Kelembagaan Pangan, Catatan Awal Organisasi Masyarakat,

    Disusun Berdasarkan Diskusi tentang Kelembagaan Pangan di Jakarta pada Tanggal 06 Februari yang Dihadiri oleh : IHCS, HKTI, AMAN, WALHI, SMERU, ICCO, SP, KIARA, P3M, KEHATI, SPI, PBHI JAKARTA, BINA DESA, KRKP, API, KRUHA, Lily Purba (mewakili individu)

    Henry Thomas Simarmata, Keterangan Tertulis sebagai Ahli di Mahkamah Konstitusi

    dalam Pengujian Undang-Undang UU No. 18 Tahun 2012 Tentang Pangan [Pasal 3, Pasal 36 Ayat (3), Pasal 53, Pasal 133, Pasal 69 Huruf C, Pasal 77 Ayat 1) Dan Ayat (2)], Nomor Perkara : 98/PUU-XI/2013, Yogyakarta, 4 Februari 2014

    Rancangan Peraturan Presiden tentang Badan Ketahanan Pangan Nasional Rumusan Rapat Gabungan Pokja Ahli dan Pokja Khusus Dewan Ketahanan Pangan,

    Bogor 14-15 Februari 2014 Rancangan Peraturan Presiden Republik Indonesia tentang Badan Otorita Pangan

    Nasional, 15 Februari 2014