Perlukah BBM Disubsidi

12
PERLUKAH BBM DISUBSIDI? ANALISIS DAMPAK SUBSIDI BBM TERHADAP ANGGARAN PEMERINTAH DAN PEREKONOMIAN Tugas Mata Kuliah Ekonomi Publik Nama: Achmad Baihaqi 041111067 PROGRAM STUDI EKONOMI PEMBANGUNAN FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS UNIVERSITAS AIRLANGGA SURABAYA

description

Peningkatan volume konsumsi BBM ini, pada akhirnya berimbas pada semakin besarnya beban subsidi BBM yang harus di tanggung oleh Pemerintah dalam APBN. Selain faktor meningkatnya volume konsumsi BBM di dalam negeri, tekanan fiskal terkait beban subsidi BBM juga bersumber faktor eksternal yang berada di luar kendali kita, khususnya adanya kecenderungan masih relatif tingginya harga minyak dunia (Indonesian Crude Price, ICP) dan terdepresiasinya nilai tukar Rupiah terhadap US dollar juga turut memberi kontribusi terhadap meningkatnya beban subsidi BBM.Subsidi BBM selama ini dianggap sebagai akar penyebab dari berbagai permasalahan keuangan dan energi Indonesia. Subsidi Indonesia paling banyak dikeluarkan pada subsidi BBM dibandingkan subsidi non-BBM, disebabkan karena kebutuhan akan BBM Indonesia yang sangat tinggi. Subsidi memang sangat membantu masyarakat kurang mampu untuk menjangkau harga BBM. Tapi kalau dibiarkan terus menerus, subsidi yang diberikan oleh pemerintah akan menggerogoti keuangan negara dalam APBN.

Transcript of Perlukah BBM Disubsidi

Page 1: Perlukah BBM Disubsidi

PERLUKAH BBM DISUBSIDI?

ANALISIS DAMPAK SUBSIDI BBM TERHADAP ANGGARAN PEMERINTAH

DAN PEREKONOMIAN

Tugas Mata Kuliah Ekonomi Publik

Nama:

Achmad Baihaqi 041111067

PROGRAM STUDI EKONOMI PEMBANGUNAN

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS

UNIVERSITAS AIRLANGGA

SURABAYA

Page 2: Perlukah BBM Disubsidi

I. LATAR BELAKANG

1.1 Latar Belakang

Indonesia merupakan salah satu negara yang kaya akan sumber daya. Salah satu

sumber daya yang dihasilkan Indonesai adalah energi berupa bahan bakar fosil atau BBM.

Bahkan Indonesia pernah menjadi negara pengekspor minyak dan masuk dalam organisasi

negara-negara pengeksor minyak OPEC. Pada tahun 1976, Indonesia pernah mencapai

produksi minyak tertinggi yaitu 1,58 juta barel per hari. Namun seiring berjalanya waktu,

produksi minyak Indonesia terus berkurang.

Dalam beberapa tahun terakhir produksi minyak Indonesia mengalami penurunan.

Data dari BP Migas menunjukkan, penurunan produksi crude oil (minyak mentah) terjadi

sejak tahun 1997. Pada tahun 1996 lifting crude oil Indonesia mencapai 1,580 juta barrel per

hari sedangkan tahun 1997 turun menjadi 1,557 juta barrel. Tahun 2006 lifting harian turun

menjadi 1,071 juta barel. Berdasarkan data Direktorat Jenderal Migas Departemen ESDM,

produksi minyak mentah Indonesia tahun 2007 mencapai 347,493 juta barel atau sekitar

0,952 juta barrel per hari. Untuk tahun 2008, tiga bulan pertama lifting Indonesia mencapai

84,822 juta barel.

Seiring dengan produksi minyak di Indonesia yang semakin menurun, disisi lain

konsumsi bahan bakar masyarakat Indonesia terus meningkat dari tahun ke tahun. Sehingga

pemerintah harus mengimport Bahan Bakar Minyak (BBM) untuk memenuhi kebutuhan

bahan bakar minyak masyarakat dan nilai impor tersebut lebih besar dari ekspor minyak

Indonesia ke luar negeri. Sehingga pada tahun 2008 Indonesia menyatakan keluar dari OPEC.

Bahan bakar minyak (BBM) menempati posisi yang sangat strategis dalam

percaturan masalah perekonomian di semua Negara termasuk Indonesia. Hal ini disebabkan

karena hingga saat ini manusia belum menemukan energy alternative yang bisa diproduksi

dalam skala masal ayng mampu menggantikan fungsi dan kedudukan BBM. Tidaklah

mengherankan jika terjadi perubahan kebijakan pemerintah yang sedidkit saja berkaitan

dengan BBM, hal itu akan memberikan dampak dan reaksi yang sangat besar bagi

masyarakat.

Bahan Bakar Minyak (BBM) merupakan komoditi yang sangat berpengaruh

terhadap momoditi lainnya. Perubahan harga BBM akan berdampak secara langsung maupun

tidak langsung terhadap komoditi lainnya termasuk komoditi pokok seperti sandang, pangan,

dan papan, bahkan pada tingkat pendapatan dan kemiskinan. Untuk melindungi masyarakat

Page 3: Perlukah BBM Disubsidi

miskin dan hamper miskin, pemerintah perlu melakukan intervensi terhadap harga BBM

dengan cara mem berikan subsidi.

Namun, subsidi BBM yang diberikan pemerintah dirasa salah sasaran, karena

ditengarai yang menikmati subsidi BBM tersebut adalah dari golongan ekonomi menengah

atas. Banyak orang yang mengendarai mobil-mobil mewah tapi menggunakan BBM bersusidi

sebagai bahan bakarnya. Adanya disparitas harga BBM yang sangat besar antara pasar

domestic dangan pasar internasional, mendorong terjadinya praktik perdagangan minyak

illegal. Di satu sisi pemerintah harus mengimpor minyak dengan harga dunia dan menjualnya

di pasar domestic dengan harga relatif rendah.

Selain itu meningkatnya masyarkat dengan penghasilan menengah juga

menyebabkan konsumsi BBM meningkat. Dikutip dari www.seputar-indonesia.com bahwa

pada tahun 2010 jumlah penduduk dengan penghasilan menengah mencapai 131 juta jiwa.

Dari jumlah tersebut terjadi peningkatan sebanyak 7 juta penduduk dengan pendapatan

menengah dari pada tahun sebelumnya. Peningkatan pendapatan masyarakat menengah

tersebut menyebabkan jumlah pembelian kendaraan bermotor juga meningkat. Setiap

tahunnya pertumbuhan kendaraan bermotor tercatat sebesar 28%. Kamar Dagang dan Industri

(Kadin) mencatat angka penjualan kendaraan roda empat pada 2010 mencapai 700.000 unit

dan kendaraan roda dua mencapai 7 juta unit dan diperkirakan menambah setiap tahunnya.

Subsidi memang sangat membantu masyarakat kurang mampu untuk menjangkau

harga BBM. Tapi kalau dibiarkan terus menerus, subsidi yang diberikan oleh pemerintah

akan menggerogoti keuangan negara dalam APBN. Karena subsidi tersebut dirasa salah

sasaran. Masyarakat kelas atas yang sebenarnya mampu membeli BBM yang secara normal

ternyata malah disubsidi. Jika subsidi ini diteruskan rasanya hanya akan menghabiskan uang

dari APBN karena hanya kalangan menengah ke atas saja yang menikmati subsidi ini.

1.2 Rumusan Masalah

1. Bagaimanakah dampak subsidi BBM terhadap APBN?

2. Bagaimanakah dampak subsidi BBM terhadap perekonomian Indonesia?

Page 4: Perlukah BBM Disubsidi

II. ANALISIS

2. 1 Dampak Subsidi BBM terhadap APBN

Melonjaknya impor BBM sangat terkait erat dengan terus meningkatnya konsumsi

BBM dalam negeri, di mana pada saat yang sama produksi minyak kita mengalami

penurunan. Meningkatnya konsumsi BBM di dalam negeri pada dasarnya merupakan

konsekuensi logis dari terus bertumbuhnya aktifitas perekonomian nasional tercermin dari

relatif tingginya angka penjualan kendaraan bermotor baik roda 2 maupun roda 4 pada tahun

2012 yang lalu maupun pada kuartal I tahun 2013 ini. Peningkatan volume konsumsi BBM

ini, pada akhirnya berimbas pada semakin besarnya beban subsidi BBM yang harus di

tanggung oleh Pemerintah dalam APBN.

Selain faktor meningkatnya volume konsumsi BBM di dalam negeri, tekanan fiskal

terkait beban subsidi BBM juga bersumber faktor eksternal yang berada di luar kendali kita,

khususnya adanya kecenderungan masih relatif tingginya harga minyak dunia (Indonesian

Crude Price, ICP) dalam beberapa tahun terakhir. Sementara itu Kecenderungan

terdepresiasinya nilai tukar Rupiah terhadap US dollar juga turut memberi kontribusi

terhadap meningkatnya beban subsidi BBM. Pelemahan nilai tukar Rupiah tersebut terutama

akibat turunnya harga komoditas internasional dan tingginya beban impor BBM telah

memberikan tekanan terhadap neraca perdagangan sehingga memicu pelemahan nilai tukar

rupiah. Kombinasi ketiga faktor inilah yang telah menyebabkan beban subsidi BBM yang

semakin besar dalam APBN.

Subsidi BBM selama ini dianggap sebagai akar penyebab dari berbagai

permasalahan keuangan dan energi Indonesia. Pada tahun 2011 subsidi BBM yang sebesar

Rp. 95,9 triliun dinilai sudah sangat membebani anggaran negara. Menurut Awan Santosa

(2011 : 8) beban makin membesar ketika sampai bulan Maret 2011 harga minyak mentah

dunia melonjak menjadi lebih dari US $ 100/barel. Seperti diketahui sejak tahun 2008

Indonesia harus mengimpor minyak mentah sebanyak 247 ribu bph dan BBM sebesar 424

ribu bph. Impor BBM tersebut saat ini sudah meliputi 30% dari kebutuhan BBM dalam

negeri.

Kenaikan penerimaan Indonesia dari mengekspor minyak mentah sebesar 399 ribu

bph dikalkulasikan tetap lebih kecil dibanding kenaikan besaran subdisi akibat lonjakan harga

tersebut. Menteri Keuangan memperkirakan beban tambahan subsidi karena lonjakan harga

sebesar Rp 7 trilyun, ketika konsumsi BBM bersubsidi mencapai 42 juta kilo liter, melebihi

kuota BBM bersubsidi sebanyak 38,5 juta kilo liter.

Page 5: Perlukah BBM Disubsidi

Menurut data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, pada tahun 2011

subsidi BBM mencapai Rp92,8 triliun atau mengalami kenaikan dari besar subsidi tahun lalu

yang hanya sebesar Rp88,9 triliun. Pada tahun 2010, sekitar 60% subsidi diserap oleh

premium dan lebih dari separuh jumlah itu dinikmati oleh para pengguna mobil pribadi. Fakta

paling mengenaskan dari kebijakan itu adalah 25% kelompok rumah tangga dengan

penghasilan per bulan terendah hanya menerima alokasi subsidi sebesar 15%. Sementara itu,

25% kelompok rumah tangga dengan penghasilan per bulan tertinggi menerima alokasi

subsidi sebesar 77%.

Berikut ini adalah daftar perkembangan subsidi BBM dan non-BBM yang dilakukan

pemerintah tahun 2005 sampai 2009 yang berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja

Negara (APBN) :

Tabel 1. Subsidi Tahun 2005 – 2009 (Trilliun Rupiah)

Sumber : Departemen Keuangan Republik Indonesia

Berdasarkan data APBN Indonesia di atas, subsidi Indonesia paling banyak

dikeluarkan pada subsidi BBM dibandingkan subsidi non-BBM, disebabkan karena

kebutuhan akan BBM Indonesia yang sangat tinggi. Tahun 2008 total subsidi naik hampir

mencapai 100% dari tahun sebelumnya yaitu sebesar Rp. 262,9 triliun yang dikeluarkan

untuk subsidi BBM sebesar Rp. 126,8 triliun dan untuk subsidi non-BBM sebesar Rp. 136,1

triliun, dengan proporsi yang hampir sama. Pada periode sebelum 2007, subsidi BBM lebih

Page 6: Perlukah BBM Disubsidi

besar dari subsidi non-BBM, semenjak tahun 2008 subsidi BBM mulai dikurangi.

Berbedamdari tahun-tahun sebelumnya, pada tahun 2009 subsidi BBM lebih rendah

bandingkan subsidi non-BBM yaitu sebesar Rp. 67 triliun untuk subsidi BBM dan Rp. 109

triliun untuk subsidi non-BBM, dengan total subsidi yang dikeluarkan pemerintah sebesar

Rp. 176 triliun, hal tersebut karena terkait kebijakan penghapusan subsidi BBM yang akan

dilakukan oleh pemerintah.

Subsidi memang sangat membantu masyarakat kurang mampu untuk menjangkau harga

BBM. Tapi kalau dibiarkan terus menerus, subsidi yang diberikan oleh pemerintah akan

menggerogoti keuangan negara dalam APBN. Karena ternyata subsidi tersebut salah sasaran.

Masyarakat kelas atas yang sebenarnya mampu membeli BBM yang secara normal ternyata

malah disubsidi. Sedangkan kendaraan-kendaraan roda dua milik masyarakat kurang mampu

biasanya membeli BBM yang dijual di kios-kios eceran yang harganya pasti lebih mahal dari

Stasiun Pengisian Bahan bakar Umum (SPBU). Jadi jika subsidi ini diteruskan rasanya hanya

akan buang-buang uang dari APBN karena hanya kalangan menengah ke atas saja yang

menikmati subsidi ini.

Subsidi BBM juga dianggap turut mendorong peningkatan konsumsi BBM yang

pada tahun ini sudah mencapai 1.3 juta bph. Oleh karena itu, subsidi BBM juga dijadikan

alasan yang tidak sejalan dengan kebijakan pemerintah untuk mendorong konservasi energi

dan pengembangan energi alternatif terbarukan.

2. 2 Dampak Subsidi BBM Terhadap Perekonomian

Penundaan kenaikan harga BBM bersubsidi berdampak pada keuangan negara,

dengan perbesaran angka defisit anggaran yang telah disetujui Pemerintah dan DPR pada

APBN-P 2012 yaitu dari Rp124,02 triliun (1,53 persen dari PDB) menjadi Rp190,1 triliun

(2,23 persen dari PDB). Membengkaknya defisit di atas karena adanya selisih antara target

penerimaan negara dan hibah Rp1.358,2 triliun dan belanja negara Rp1.548,3 triliun.

Untuk menutup defisit tersebut, target utang Pemerintah dinaikkan dari Rp22,6 triliun

menjadi Rp156,16 triliun. Adapun rinciannya adalah sebagai berikut:

1) Pinjaman luar negeri turun sebesar Rp2,53 triliun menjadi minus Rp4,42 triliun.

2) Penerbitan surat berharga negara (netto) naik Rp25 triliun menjadi Rp159,59 triliun, dan

3) Pinjaman dalam negeri (netto) naik Rp131 miliar menjadi Rp991,2 miliar.

Penambahan defisit pada APBN-P 2012 akan menjadikan postur APBN tidak sehat

dan menghambat pertumbuhan ekonomi. Penambahan belanja subsidi energi akan

menjadikan pos ini lebih besar dari alokasi belanja modal dan infrastruktur. Akibatnya,

Page 7: Perlukah BBM Disubsidi

ekonomi tidak dapat bergerak dengan baik. Kondisi ini diperparah dengan kinerja ekonomi,

terutama ekspor, yang terus melemah karena situasi ekonomi dunia yang belum pulih.

Persoalan keuangan negara lainnya adalah tidak mudahnya Pemerintah mencari

sumber pendanaan dengan bunga yang rendah, karena diburu waktu. Perburuan dana untuk

menutup defisit anggaran dari sumber dalam negeri, juga dikhawatirkan akan

mendongkrak suku bunga di pasar keuangan. Akibatnya, kebijakan Bank Indonesia

menurunkan BI rate sejak tahun 2011 yang secara nyata telah diikuti dengan penurunan

suku bunga deposito maupun suku bunga kredit, akan bergejolak kembali. Dengan

meningkatnya kebutuhan dana Pemerintah untuk menutup defisit anggaran yang

mengandalkan sumber dari dalam negeri, dikhawatirkan dapat menaikkan suku bunga

perbankan. Di sisi lain, kondisi ekonomi global yang belum menentu membawa efek negatif

bagi Indonesia. Credit Defaut Swap (CDS) untuk utang Pemerintah Indonesia meningkat.

Instrumen derivatif yang sering dijadikan indikator risiko berinvestasi di Indonesia ini

bergerak menanjak. Per 28 Maret 2012, CDS untuk utang bertenor 10 tahun, meningkat

dari 195,105 menjadi 230,095 atau naik 18,37%. Kenaikan CDS menjadikan para investor

asing akan mengurangi penempatan dananya di Indonesia. Instrumen yang dijauhi investor

asing saat ini termasuk surat utang negara (SUN). Akibatnya, Pemerintah akan semakin

kesulitan dalam mencari utang baru dengan bunga murah.

Dampak ke Pasar Keuangan Pasar obligasi memiliki peranan yang sangat strategis

bagi Pemerintah. Kondisi anggaran Pemerintah yang defisit, pada umumnya akan ditutup

melalui pinjaman yang bersumber dari luar negeri atau pinjaman yang bersumber dari dalam

negeri, khususnya setelah krisis ekonomi tahun 1998, Pemerintah Indonesia memandang

perlu untuk menutup defisit anggaran belanja Pemerintah melalui pinjaman yang bersumber

dari dalam negeri.

Sementara itu bagi dunia usaha, pasar obligasi juga memiliki peranan yang sangat

penting, yakni sebagai sumber pembiayaan alternatif selain pembiayaan perbankan dalam

bentuk pinjaman (loan). Dengan semakin mahalnya suku bunga SUN, sebagai akibat diburu

waktu dan meningkatnya CDS utang pemerintah, maka suku bunga di pasar keuangan juga

akan meningkat. Meningkatnya suku bunga ini tentunya ini akan berdampak pada obligasi

yang akan diterbitkan oleh dunia usaha, mengingat suku bunga SUN selama ini digunakan

sebagai benchmark bagi penerbitan obligasi oleh swasta.

Secara keseluruhan penurunan subsidi yang membawa konsekuensi kenaikan harga

Pengeluaran subsidi BBM sangat membebani keuangan pemerintah. Pengeluaran subsidi

tersebut dapat dialihkan oleh pemerintah untuk kegiatan ekonomi yang lebih produktif. Selain

Page 8: Perlukah BBM Disubsidi

itu subsidi dari sisi teoritis akan menimbulkan dead-weight welfare loss, dengan demikian

adanya subsidi berarti akan menimbulkan inefisiensi dalam perekonomian (Pindyck and

Rubinfeld,2003). Di samping itu subsidi juga dapat mendorong konsumen melakukan

konsumsi yang berlebihan terhadap barang dan jasa yang disubsidi tersebut (Y.Sri Susilo dan

D.Sriyono : 2007). Dalam gambar di bawah ini akan disajikan analisis grafis pengenaan

subsidi pada suatu komoditas sekaligus dampaknya (Purwoto : 1997). Pada gambar tersebut

harga awal adalah p1 dengan kuantitas pada harga tersebut adalah Q1. Kemudian diberikan

subsidi sebesar Rp.4 per unit output. Sebelum beranjak lebih jauh asumsi yang digunakan

pada industry ini adalah industri dengan biaya persaingan tetap (constant cost industry), yang

implikasinya membuat kurva penawaran industri horizontal. Subsidi tersebut dapat

dibayarkan pada produsen maupun konsumen.

Jelas bahwa efek absolute dari subsidi, walaupun dibayarkan pada produsen namun

pada akhirnya dinikmati oleh konsumen berupa penurunan harga sebesar Rp.4 per unit.

Sehingga konsumen hanya membayar P2 per unit dan pada tingkat harga itu konsumsi

meningkat menjadi Q2. Jadi jelas bahwa subsidi tidak mengurangi biaya produksi. Biaya

produksi tetap sebesar p2, diman pergeseran kurva penawaran hanyalah menunjukkan

sebagian biaya yang selanjutnya akan digeser pada konsumen.

Pada kasus kedua, subsidi diberikan langsung pada konsumen. Subsidi sebesar Rp.4

yang diberikan pemerintah akan meningkatkan daya beli konsumen, sehingga pada akhirnya

menggeser kurva permintaan menjadi D’. Dengan posisi kurva penawaran tetap, titik

keseimbangan akan berada pada titik C, dengan tingkat output sebesar Q2, tingkat harga

sebesar p1,walaupun konsumen hanya membayar sebesar P2. Sehingga pada akhirnya dapat

disimpulkan bahwa pengenaan subsidi pada kedua kasus memiliki dampak yang sama.

Page 9: Perlukah BBM Disubsidi

Namun ekspansi output dari Q1 ke Q2 menunjukkan peningkatan konsumsi

(overconsumption) oleh konsumen.

Beberapa hasil kajian empiris mendukung teori yang menyatakan bahwa subsidi

merugikan perekonomian. Salah satu contoh yang dimaksud adalah subsidi yang diberikan

pemerintah kepada produsen tepung terigu. Akibat kebijakan tersebut dan tata niaga tepung

terigu yang bersifat protektif maka harga jual terigu domestic lebih mahal 4% dari harga

pasar dunia. Dengan adanya kebijakan subsidi tersebut konsumen dalam negeri harus

membayar tepung terigu lebih mahal dibandingkan dengan harga di pasar internasional. Hal

ini berarti terjadi penurunan surplus konsumen. Surplus konsumen yang hilang tersebut

berubah menjadi surplus konsumen, dan sebagian hilang atau terjadi dead weight welfare

loss. Subsidi memang dapat menekan harga sehingga konsumen menanggung harga yang

lebih rendah. Dengan kata lain juga ada sisi positif dari subsidi. Sebagai contoh, penghapusan

subsidi pupuk yang dilakukan pemerintah menyebabkan turunnya produksi beras sebesar

7,89% pada tahun 1989 (Purwoto,1997).

Selanjutnya yang perlu diperhatikan adalah waktu diterapkannya kebijakan

pengurangan subsidi oleh pemerintah. Penurunan subsidi untuk BBM tentunya akan

memberatkan sector ekonomi (Sri Susulo,2002). Sebagai contoh apa yang terjadi pada awal

tahun 2002, kenaikan harga BBM (22%) dan TDL (24%)juga dibarengi dengan kenaikan

tariff telepon (38%) dan Upah Minimum Propinsi (UMP) sebesar 38%. Kondisi ini secara

objektif harus diakui memberatkan dunia usaha dan kenaikan harga barang dan jasa

merupakan suatu keharusan yang tidak dapat terelakkan.

Semua tentu sepakat bahwa kenaikan harga BBM akan menyebabkan kenaikan

harga barang dan jasa yang dihasilkan seluruh sector . Kenaikan harga BBM menjadi pemicu

atau tumpangan bagi produsen produsen untuk menaikkan harga barang dan jasa ( Sri Susilo,

2002). Selanjutnya produsen dalam menaikkan harga barang dan jasa juga tidak proporsional.

Dengan demikian diperlukan informasi yang akurat untuk mengetahui komponen biaya BBM

di masing-masing sector, sehingga dapat dihitung kenaikan harga barang dan jasa yang

proporsional dengan kenaikan harga BBM. Sampai saat ini, informasi yang dimaksud dapat

dikatakan belum bisa mengontrol kenaikan harga secara proporsional.

Harus diakui kebijakan subsidi tersebut sesuai dengan salah satu tugas penting

pemerintah yaitu menyejahterakan masyarakatnya dalam konteks welfare state (Tambunan,

2002). Sesuai dengan sistem welfare, maka semakin tinggi tingkat pendapatan masyarakat

semakin rendah subsidi yang harus diberikan. Dengan demikian subsidi harus diberikan

kepada kelompok masyarakat yang benar-benar tidak mampu. Dalam konteks ini maka

Page 10: Perlukah BBM Disubsidi

subsidi harus tepat sasaran. Dalam kenyataanya di Indonesia subsidi seringkali tidak tepat

sasaran. Salah satunya subsidi BBM yang lebih banyak dinikmati oleh golongan penghasilan

tinggi . Dengan mengkonsumsi BBM yang lebih banyak maka besarnya subsidi yang

dinikmati juga lebih besar.

Berdasarkan fakta di atas, subsidi belum mampu mendorong pertumbuhan ekonomi

suatu Negara, khususnya di Indonesia. Subsidi BBM masih cenderung memberikan efek

inefisiensi terhadap pertumbuhan ekonomi Indonesia.

Page 11: Perlukah BBM Disubsidi

III. KESIMPULAN

Peningkatan volume konsumsi BBM ini, pada akhirnya berimbas pada semakin

besarnya beban subsidi BBM yang harus di tanggung oleh Pemerintah dalam APBN. Selain

faktor meningkatnya volume konsumsi BBM di dalam negeri, tekanan fiskal terkait beban

subsidi BBM juga bersumber faktor eksternal yang berada di luar kendali kita, khususnya

adanya kecenderungan masih relatif tingginya harga minyak dunia (Indonesian Crude Price,

ICP) dan terdepresiasinya nilai tukar Rupiah terhadap US dollar juga turut memberi

kontribusi terhadap meningkatnya beban subsidi BBM.

Subsidi BBM selama ini dianggap sebagai akar penyebab dari berbagai

permasalahan keuangan dan energi Indonesia. Subsidi Indonesia paling banyak dikeluarkan

pada subsidi BBM dibandingkan subsidi non-BBM, disebabkan karena kebutuhan akan BBM

Indonesia yang sangat tinggi. Subsidi memang sangat membantu masyarakat kurang mampu

untuk menjangkau harga BBM. Tapi kalau dibiarkan terus menerus, subsidi yang diberikan oleh

pemerintah akan menggerogoti keuangan negara dalam APBN.

Subsidi BBM mempengaruhi kondisi perekonomian Indonesia. Subsidi BBM

berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi, pasar keuangan, pasar obligasi, dan

kesejahteraan. Secara keseluruhan penurunan subsidi yang membawa konsekuensi kenaikan

harga. Pada perekonomian sektoral, aktivitas produksi mengalami penurunan tetapi pada

tingkat yang tidak terlalu signifikan. Hal ini dipengaruhi oleh proporsi komponen BBM

terhadap total biaya produksi di sektor-sektor ekonomi yang relatif rendah. Secara umum

subsidi belum mampu mendorong pertumbuhan ekonomi suatu negara, khususnya di

Indonesia. Subsidi BBM masih cenderung memberikan efek inefisiensi terhadap

pertumbuhan ekonomi Indonesia.

Page 12: Perlukah BBM Disubsidi

DAFTAR PUSTAKA

Fikriah dan Oka Mahendra. 2011. “Pengaruh Subsidi BBM Terhadap Permintaan

BBM Dalam Negeri”. Aceh, Fakultas Ekonomi Universitas Syiah Kuala

Nugroho, Hanan.

Purwoto, H. 1997. “Konsekuesi Ekonomi Penghapusan Subsidi Bahan Baku di

industry Pupuk: Aplikasi Model Keseimbangan Umum Terapan Indorani”. Fakultas Ekonomi

UGM. Yogyakarta

Santosa, Anwar. 2011. “Dimensi Kerakyatan Dalam Subsidi BBM”. Jakarta.

Kementrian Komunikasi dan Informatika

Sri Susilo, Y. 1999. ”Konsekuensi Ekonomi Penurunan Subsidi BBM: Pendekatan

Model Keseimbangan Umum Terapan”.Program Pascasarjana UGM.Yogyakarta.

Sri Susilo, Y. 2002. “Dampak kenaikan harga BBM dan TDL terhadap Kinerja

Ekonomi makro”. Jurnal Ekonomi, Manajemen, dan Akuntasi WAHANA, 5(2), Agustus

2002, hal. 12 – 20

Sri Susilo Y. 2003. ”Dampak Penurunan Subsidi Bahan Bakar Minyak (BBM)dan

Tarif Daftar Listrik (TDL) terhadap Kinerja Sektor Transportasi dan Sektor Industri

Pengolahan”. Jurnal Ekonomi & Bisnis, 3(1) Februari 2003, 1-16

Tambunan, T.. 2002. ”Inkonsistensi Kebijaksanaan Harga BBM Terhadap Kurs

Rupiah dan Harga Minyak Dunia”. Jurnal Pasar Modal. Edisi Mei 2002,53-56

BBM dan Penyelamatan APBN diakses di www.kaboki.com

Seminar Subsidi BBM diakses di www.fiskal.depkeu.go.id