PARADIGMA PROFETIK

50
makalah sarasehan februari 2011 PARADIGMA PROFETIK - MUNGKINKAH ? PERLUKAH ? - Heddy Shri Ahimsa-Putra Antropologi Budaya Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada

Transcript of PARADIGMA PROFETIK

makalah sarasehan februari 2011

PARADIGMA PROFETIK

- MUNGKINKAH ? PERLUKAH ? -

Heddy Shri Ahimsa-Putra Antropologi Budaya

Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada

1

Makalah disampaikan dalam “Sarasehan Profetik 2011”, diselenggarakan oleh Sekolah Pascasarjana UGM, di Yogyakarta, 10 Februari 2011

DAFTAR ISI I. PENGANTAR II. ILMU (SOSIAL) PROFETIK : PANDANGAN KUNTOWIJOYO 1. Asal-Muasal Gagasan Ilmu (Sosial) Profetik, Transformatif di UGM 2. I lmu Sosial Profetik, I lmu Sosial Transformatif 3. Wahyu : Basis Epistemologis dan Implikasinya a. Sumber Pengetahuan : Wahyu - Akal b. Pendekatan : Strukturalisme Transendental c. Analisis / Tafsir : Sintetik - Analitik 4. Etika: Humanisme-Teosentris 5. Tujuan : Humanisasi / Emansipasi, Liberasi / Pembebasan, Transendensi 6. Telaah Kritis atas Pandangan Kuntowijoyo III. PARADIGMA PROFETIK : APA ITU ? 1. Paradigma : Sebuah Definisi 2. Unsur-unsur (komponen-komponen) Paradigma a. Asumsi-asumsi/Anggapan-anggapan Dasar (Basic Assumptions) - (1) b. Etos / Nilai-nilai (Ethos / Values) - (2) c. Model-model (Models) - (3) d. Masalah Yang Ditelit i /Yang Ingin Dijawab - (4) e. Konsep-konsep Pokok (Main Concepts, Key Words) - (5) f . Metode-metode Penelitian (Methods of Research) - (6) g. Metode-metode Analisis (Methods of Analysis) - ( 7 ) h. Hasil Analisis / Teori (Results of Analysis / Theory) - (8) i . Representasi (Etnografi) - (9) 3. Skema Paradigma 4. Paradigma Profetik dan Islam a. Al Qur’an dan Sunnah Rasul b. Rukun Iman

2

c. Rukun Islam IV. BASIS EPISTEMOLOGIS PARADIGMA PROFETIK 1. Asumsi Dasar tentang Basis Pengetahuan a. Indera b. Kemampuan Strukturasi dan Simbolisasi (Akal) c. Bahasa (Pengetahuan Kolektif) d. Wahyu - I lham e. Sunnah Rasulullah s.a.w. 2. Asumsi Dasar tentang Obyek Material 3. Asumsi Dasar tentang Gejala Yang Ditelit i 4. Asumsi Dasar tentang Ilmu Pengetahuan 5. Asumsi Dasar tentang Ilmu Sosial dan/atau Alam Profetik 6. Asumsi Dasar tentang Disiplin Profetik V. ETOS PARADIGMA PROFETIK 1. Basis Semua Etos : Penghayatan 2. Etos : Pengabdian a. Pengabdian kepada Allah s.w.t. b. Untuk Pengetahuan (Ilmu) c. Untuk Diri Sendiri d. Untuk Sesama e. Untuk Alam 3. Etos Kerja Keilmuan a. Pengembangan Unsur Paradigma b. Pengembangan Paradigma Baru 4. Etos Kerja Kemanusiaan a. Kejujuran b. Keseksamaan / Ketelitian c. Kekritisan d. Penghargaan VI. MODEL PARADIGMA PROFETIK 1. Model (Struktur) Rukun Iman dan Transformasinya 2. Model (Struktur) Rukun Islam dan Trasformasinya VII. IMPLIKASI EPISTEMOLOGI PROFETIK 1. Implikasi Permasalahan 2. Implikasi Konseptual

3

3. Implikasi Metodologis Penelitian 4. Implikasi Metodologis Analisis 5. Implikasi Teoritis 6. Implikasi Representasional (Etnografis) VIII. IMPLIKASI PARADIGMA PROFETIK 1. Transformasi Individual 2. Transformasi Sosial (Kolektif) IX. PENUTUP DAFTAR PUSTAKA

ooooo

4

PARADIGMA PROFETIK - MUNGKINKAH ? PERLUKAH ? -

Heddy Shri Ahimsa-Putra

Antropologi Budaya Fakultas Ilmu Budaya

Universitas Gadjah Mada I. PENGANTAR Kira-kira sembilan tahun yang lalu, tepatnya 2 Nopember 2002, sebuah sarasehan ilmu-ilmu profetik digelar di UGM di gedung Pascasarjana. Sejumlah makalah dari ber-bagai disiplin dipresentasikan, di antaranya dari bidang Ilmu Humaniora, Ilmu MIPA dan Teknik, Ilmu Sosial, Ilmu Pertanian dan Ilmu Kesehatan. Tidak semua makalah be-rupa makalah yang ditulis secara rinci dan jelas. Ada yang hanya berisi butir-butir pemi-kiran yang juga tidak mudah dimengerti maksudnya; ada yang ditulis dengan panjang lebar, tetapi isi dan arah pembicaraan juga tidak sepenuhnya jelas, sehingga setelah membaca makalah-makalah tersebut saya tidak memperoleh gambaran yang cukup je-las tentang apa yang dimaksud dengan ilmu-ilmu profetik itu sendiri. Singkatnya kelemahan-kelemahan dalam berbagai makalah tersebut dapat diring-kas sebagai berikut. Pertama, makalah-makalah itu belum memaparkan dengan jelas, mengapa ilmu profetik perlu dibangun. Kedua, belum memaparkan secara sistematis apa yang dimaksud dengan profetik, dan bagaimana mewujudkannya dalam kegiatan keilmuan, agar kemudian dapat terbangun ilmu-ilmu yang profetik. Ketiga, belum me-maparkan dengan cukup jelas kerangka pemikiran tentang ilmu pengetahuan dengan berbagai unsurnya, sehingga ilmu profetik yang ingin dibangun juga tidak dapat diketa-hui sosoknya secara jelas. Meskipun demikian, hal itu tidak berarti bahwa pemikiran tentang ilmu profetik tidak ada. Seingat saya, gagasan mengenai ilmu profetik di Indonesia ini pada mulanya ber-asal dari Prof. Dr. Kuntowijoyo, guru besar sejarah dari Fakultas Ilmu Budaya, UGM. Gagasan ini dituangkan lebih lengkap oleh beliau dalam bukunya yang berjudul Islam sebagai Ilmu: Epistemologi, Metodologi dan Etika, yang diterbitkan pada tahun 2004. Jadi belum begitu lama. Meskipun demikian, pemikiran-pemikiran Kuntowijoyo -yang selanjutnya akan saya sebut Mas Kunto, sapaan akrab saya untuk beliau- mengenai il-mu profetik tersebut bibit-bibitnya sudah ditebar lebih awal dalam bukunya Paradigma Islam: Interpretasi untuk Aksi (Mizan, 1991). Saya tidak tahu apa persisnya reaksi pu-

5

blik cendekiawan Indonesia ketika buku-buku tersebut terbit, karena saat itu saya mash di Amerika Serikat, menyelesaikan s-3. Saya sendiri pada awalnya tidak banyak menaruh perhatian pada pemikiran-pemi-kiran mas Kunto, yang lebih saya kenal sebagai sejarawan. Apalagi perhatian saya se-dang saya curahkan pada persoalan bagaimana strategi yang tepat dan mudah untuk dapat mengembangkan antropologi sebagai sebuah cabang ilmu pengetahuan. Topik ini tentu saja membawa saya pemikiran-pemikiran dari Thomas Kuhn mengenai revolu-si ilmu pengetahuan, yang dituangkan dalam bukunya yang memicu perdebatan pan-jang di kalangan ilmuwan di Barat, The Structure of Scientific Revolutions. Kemudian suatu hari saya di-sms oleh mas Indra Bastian dari fakultas Ekonomika dan Bisnis, UGM. Dia minta saya menulis makalah tentang Strukturalisme Transenden-tal. Saya agak terkejut. Memang saya banyak menulis tentang paradigma Strukturalis-me dalam antropologi, tetapi bukan strukturalisme transendental. Akhirnya setelah sa-ya bertemu dengan mas Indra dan pak Edimeyanto dari fakultas Farmasi, dan mereka menjelaskan kepada saya mengapa mereka menghubungi saya, barulah saya mema-hami apa yang mereka inginkan dari saya 1). Hasil dari pertemuan tersebut adalah sa-ya sepakat untuk membahas kembali masalah ilmu-ilmu profetik, yang pernah dibahas oleh mas Kunto, tetapi dengan perspektif saya sendiri tentu saja. Dalam makalah ini saya mencoba memaparkan kembali secara ringkas pandangan-pandangan mas Kunto mengenai ilmu sosial profetik -karena mungkin tidak banyak yang tahu dengan cukup mendalam pandangan-pandangan tersebut-, dan kemudian membahasnya dengan agak kritis. Atas dasar beberapa kelemahan yang masih terda-pat dalam pemikiran mas Kunto, saya mencoba untuk mengembangkan lebih lanjut ga-gasan mas Kunto untuk membangun paradigma profetik yang lebih jelas komponennya lebih kokoh dasarnya, dan juga lebih jelas sosoknya. Tentu saja, karena terbatasnya ruang di sini, tidak semua komponen paradigma profetik akan saya ulas. Bagian yang akan saya ulas terutama adalah bagian tentang epistemologi. II. ILMU (SOSIAL) PROFETIK : PANDANGAN KUNTOWIJOYO Di Indonesia, pandangan mengenai ilmu sosial profetik -dan ini bisa juga kita artikan sebagai ilmu alam profetik- yang cukup komprehensif terdapat pada tulisan-tulisan mas Kunto, karena beliaulah yang secara sadar bermaksud membangun sebuah paradigma baru ilmu pengetahuan, yakni ilmu pengetahuan yang profetik, dengan agama Islam sebagai landasannya. Apa yang digagas oleh mas Kunto pada dasarnya bukanlah hal yang sama sekali baru dalam jagad pemikiran Islam. Dari tulisan-tulisannya kita dapat menemukan tokoh-tokoh pemikir Islam yang banyak mempengaruhi dan memberikan inspirasi pada mas Kunto. 1. Asal-Muasal Gagasan Ilmu (Sosial) Profetik, Transformatif di UGM Kata profetik berasal dari bahasa Inggris ‘prophet’, yang berarti nabi. Menurut Ox-ford Dictionary ‘prophetic’ adalah (1) “Of, pertaining or proper to a prophet or prophe-cy”; “having the character or function of a prophet”; (2) “Characterized by, containing, or

) ) Alhamdulillah, saya dipertemukan oleh Allah s.w.t. dengan mas Indra Bastian dan pak Edimeyanto, sehingga saya terlibat dalam membangun pemikiran mengenai ilmu (sosial) profetik, transformatif. Saya berterimakasih kepada mas Indra dan pak Edimeyanto yang telah mengajak saya terlibat dalam pergulatan pemikiran mengenai ilmu profetik ini.

6

of the nature of prophecy; predictive”. Jadi, makna profetik adalah mempunyai sifat atau ciri seperti nabi, atau bersifat prediktif, memrakirakan. Profetik di sini dapat kita terjemahkan menjadi ‘kenabian’. Akan tetapi, adakah ilmu sosial kenabian? Ilmu sosial seperti apa ini? Mas Kunto menulis bahwa “Asal-usul dari pikiran tentang Ilmu Sosial Profetik itu da-pat ditemukan dalam tulisan-tulisan Muhammad Iqbal dan Roger Garaudy”. Muham-mad Iqbal adalah tokoh pemikir Islam, sedang Roger Garaudy adalah ahli filsafat Pran-cis yang masuk Islam. Mas Kunto banyak mengambil gagasan dua pemikir untuk me-ngembangkan apa yang diangan-angankannya sebagai ilmu-ilmu profetik, lebih khusus lagi ilmu sosial profetik, karena mas Kunto adalah seorang sejarawan, seorang ilmu-wan sosial. Dikatakan oleh mas Kunto bahwa gagasan mengenai ilmu sosial profetik yang dike-mukakannya dipicu antara lain oleh perdebatan yang terjadi di kalangan cendekiawan Islam mengenai teologi, yang terjadi dalam sebuah seminar di Kaliurang, Yogyakarta. Saat itu ada dua kubu yang berseberangan pendapat di situ, yakni kubu teologi kon-vensional, yang mengartikan teologi sebagai ilmu kalam, “yaitu suatu disiplin yang mempelajari ilmu ketuhanan, bersifat abstrak normatif, dan skolastik” dengan kubu teo-logi transformatif, yang memaknai teologi sebagai “penafsiran terhadap realitas dalam perspektif ketuhanan. Jadi lebih merupakan refleksi-refleksi empiris” (83). Menurut mas Kunto, perbedaan pandangan ini sulit diselesaikan, karena masing-masing memberi-kan makna yang berbeda terhadap konsep paling pokok di situ, yaitu konsep teolo-gi itu sendiri. Untuk mengatasi kemacetan dialog ini Kuntowijoyo mengusulkan diganti-nya istilah teologi menjadi ilmu sosial, sehingga istilah Teologi Transformatif diubah menjadi Ilmu Sosial Transformatif. Peristiwa lain yang menjadi pemicu gagasan mas Kunto tentang ilmu profetik adalah Kongres Psikologi Islam I di Solo, 10 Oktober 2003. Ketika itu ada pemakaian istilah “Islamisasi pengetahuan”, yang menggelisahkan mas Kunto, karena makna istilah ter-sebut kemudian “diplesetkan” ke arah “Islamisasi non-pri”, yang dihubungkan dengan “sunat secara Islam”, atau tetakan (bhs.Jawa). “Tentu saja saya sakit hati dengan pe-nyamaan itu, meskipun ada benarnya juga” begitu tulisa mas Kunto,”Saya sakit hati ka-rena sebuah gerakan intelektual yang sarat nilai keagamaan disamakan dengan gerak-an bisnis pragmatis. Oleh karena itu saya tidak lagi memakai istilah “Islamisasi penge-tahuan”, dan ingin mendorong supaya gerakan intelektual umat sekarang ini melang-kah lebih jauh, dan mengganti “Islamisasi pengetahuan” menjadi “Pengilmuan Islam”. Dari reaktif menjadi proaktif” (2006: vii-viii). Mas Kunto kemudian menghimpun gagasan-gagasan yang masih terserak di sana-sini menjadi sebuah “nonbuku darurat”, “nonbuku comat-comot” -begitu dia menyebut buku kecilnya- yang diberi judul Islam sebagai Ilmu: Epistemologi, Metodologi dan Eti-ka. Menurut mas Kunto “Pengembangan Paradigma Islam itu merupakan langkah per-tama dan strategis ke arah pembangunan Islam sebagai sistem, gerakan sosial-budaya ke arah sistem Islam yang kaffah, modern dan berkeadaban. Dengan demikian Islam akan lebih credible bagi pemeluknya dan bagi non-Muslim…” (2006: ix). Apa yang mas Kunto lakukan adalah sebuah langkah awal untuk mewujudkan sebuah Paradigma Is-lam dalam jagad ilmu pengetahuan, yang sampai saat ini umumnya menggunakan ba-sis paradigma dari dunia Barat.

7

Bagi mereka yang tidak terbiasa dengan wacana filsafat ilmu pengetahuan, paparan mas Kunto dalam buku tersebut masih termasuk sulit dipahami, meskipun mas Kunto tampaknya telah berusaha untuk menggunakan bahasa yang semudah mungkin, agar apa yang diuraikannya dapat dimengerti oleh banyak orang. Paparan mas Kunto masih tidak mudah dicerna karena selain mengandung sejumlah konsep yang tidak selalu je-las maknanya bagi setiap orang, butir-butir yang dipaparkannya juga tidak tersusun de-ngan runtut dan sistematis. Beberapa gagasan yang mestinya dijelaskan di awal buku ternyata muncul di bagian tengah atau agak akhir. Selain itu, gagasan-gagasan terse-but juga tidak semuanya telah cukup lengkap untuk disajikan, sehingga keterkaitan sa-tu gagasan dengan gagasan yang lain seringkali tidak sangat jelas. Di sini saya mencoba untuk memaparkan kembali apa yang telah dijelaskan oleh mas Kunto dalam bukunya secara lebih ringkas. Mudah-mudahan berbagai butir pemi-kiran mas Kunto kemudian lebih dapat dipahami dan dikembangkan di kemudian hari. Jika penjelasan saya ini, tafsir saya ini, ternyata tidak membuat pemikiran mas Kunto bertambah jelas dan mudah dimengerti oleh orang lain, maka itu sepenuhnya adalah kesalahan saya sebagai penafsir. 2. I lmu Sosial Profetik, I lmu Sosial Transformatif Sebenarnya paradigma Islam untuk ilmu pengetahuan ayng dikembangkan oleh mas Kunto akan mencakup juga ilmu-ilmu alam, tetapi karena mas Kunto adalah ahli sejarah, yang berarti juga ilmuwan sosial, maka gagasan mas Kunto lebih terfokus pa-da upaya mengembangkan ilmu sosial profetik, yang pada dasarnya juga merupakan ilmu sosial yang transformatif. Menurut mas Kunto Ilmu Sosial Transformatif adalah ilmu yang didasarkan pada hasil “elaborasi ajaran-ajaran agama ke dalam bentuk su-atu teori sosial”. Sasaran utamanya adalah “rekayasa untuk transformasi sosial. Oleh karena itu ruang lingkupnya bukan pada aspek-aspek normatif yang permanen seperti pada teologi, tetapi pada aspek-aspek yang bersifat empiris, historis, dan temporal..” (p.85) Ilmu Sosial Transformatif, “tidak berhenti hanya untuk menjelaskan fenomena sosial namun juga berupaya untuk mentransformasikannya”. Masalahnya kemudian adalah, “ke arah mana transformasi itu dilakukan, untuk apa dan oleh siapa? Terhadap perta-nyaan-pertanyaan ini, Ilmu Sosial Transformatif tidak memberikan penjelasannya. Oleh karena itu, Kuntowijoyo kemudian mengusulkan adanya ilmu-ilmu sosial profetik, yaitu ilmu-ilmu sosial “yang tidak hanya menjelaskan dan mengubah fenomena sosial, tetapi juga memberi petunjuk ke arah mana transformasi itu dilakukan, untuk apa dan oleh siapa. Oleh karena itulah ilmu sosial profetik tidak sekedar mengubah demi perubahan, tetapi mengubah berdasarkan cita-cita etik dan profetik tertentu”. Pertanyaannya kemudian adalah etik yang mana, dan profet (nabi) yang mana? Se-bagai seorang Muslim, tentu saja mas Kunto kemudian menengok ke agama Islam. Akan tetapi, bukan hanya ini saja alasannya. Faktor lain yang tidak kalah pentingnya adalah tidak adanya agama-agama lain yang dijadikan basis bagi ilmu pengetahuan yang kita geluti sekarang ini. Ilmu pengetahuan yang kita warisi dari masyarakat dan pandangan hidup Barat adalah ilmu pengetahuan yang telah kehilangan roh spiritual-nya.

8

Menurut mas Kunto, “kita perlu memahami Al Qur’an sebagai paradigma”, dan para-digma yang dimaksudkan oleh Kuntowijoyo adalah paradigma sebagaimana yang di-maksud oleh Kuhn. Katanya, “Dalam pengertian ini, paradigma Al Qur’an berarti suatu konstruksi pengetahuan yang memungkinkan kita memahami realitas sebagaimana Al Qur’an memahaminya. Konstruksi pengetahuan itu dibangun oleh Al Qur’an pertama-tama dengan tujuan agar kita memiliki “hikmah” yang atas dasar itu dapat dibentuk pe-rilaku yang sejalan dengan nilai-nilai normatif Al Qur’an, baik pada level moral maupun pada level sosial. Tetapi rupanya, konstruksi pengetahuan ini juga memungkinkan kita untuk merumuskan desain besar mengenai sistem Islam, termasuk dalam hal ini sistem ilmu pengetahuannya. Jadi, di samping memberikan gambaran aksiologis, paradigma Al Qur’an juga dapat berfungsi untuk memberikan wawasan epistemologis…” (p11). Sehubungan dengan itu mas Kunto terlihat sangat setuju dengan pandangan Roger Garaudy. Garaudy -sebagaimana dikutip oleh mas Kunto- mengatakan bahwa filsafat Barat (filsafat kritis) “tidak memuaskan, sebab hanya terombang-ambing antara dua ku-bu, idealis dan materialis, tanpa kesudahan. Filsafat Barat (filsafat kritis) itu lahir dari pertanyaan: bagaimana pengetahuan itu dimungkinkan. Dia [Garaudy] menyarankan untuk mengubah pertanyaan itu menjadi: bagaimana wahyu itu dimungkinkan..” (2006: 97). Garaudy berpendapat bahwa “Filsafat Barat sudah “membunuh” Tuhan dan manu-sia”. Oleh karena itu dia menyarankan “supaya umat manusia memakai filsafat kenabi-an dari Islam (Garaudy, 1982: 139-168) dengan mengakui wahyu” (2006: 98). 3. Wahyu : Basis Epistemologis dan Implikasinya Gagasan Garaudy mengenai wahyu sebagai salah satu sumber pengetahuan rupa-nya sangat menarik perhatian mas Kunto, karena ini merupakan sebuah alternatif yang ditawarkan oleh Garaudy untuk mengatasi kelemahan yang ada dalam ilmu pengetahu-an empiris. Bagaimana wahyu ini harus dimasukkan dalam sistem ilmu pengetahuan profetik? a. Sumber Pengetahuan : Wahyu - Akal Menurut Kuntowijoyo “Wahyu” itu sangat penting”, tulisnya. Unsur wahyu inilah yang membedakan epistemologi Islam dengan “cabang-cabang epistemologi Barat yang be-sar seperti Rasionalisme atau Empirisme, yang mengakui sumber pengetahuan seba-gai hanya berasal dari akal atau observasi saja”. Dilihat dari perspektif Islam, epistemo-logi Rasionalisme dan Epirisme menurut Kuntowijoyo menja-di “tampak….terlalu seder-hana” (17). Dalam epistemologi Islam menurut Kuntowijoyo, “unsur petunjuk transen-dental yang berupa wahyu juga menjadi sumber pengetahuan yang penting. Pengeta-huan wahyu, oleh karena itu menjadi pengetahuan apriori. “Wahyu” menempati posisi sebagai salah satu pembentuk konstruk mengenai realitas, sebab wahyu diakui seba-gai “ayat-ayat Tuhan” yang memberikan pedoman dalam pikiran dan tindakan seorang Muslim. Dalam konteks ini, wahyu lalu menjadi unsur konstitutif di dalam paradigma Is-lam” (p.17). Dalam Islam wahyu yang dianggap paling sempurna dan karena itu memiliki otoritas tertinggi adalah Al Qur’an. Al Qur’an merupakan kumpulan wahyu yang diyakini ditu-runkan oleh Allah s.w.t. melalui perantaraan malaikat Jibril kepada manusia yang dipilih oleh Allah s.w.t. untuk menyampaikan wahyu tersebut kepada seluruh umat manusia,

9

yaitu Muhammad s.a.w. Oleh karena itu, dalam keyakinan umat Islam Muhammad s.a.w. adalah seorang Nabi dan utusan Allah (Rasulullah). b. Pendekatan : Strukturalisme Transendental Menempatkan wahyu sebagai sumber pengetahuan juga mempunyai implikasi lebih jauh, yaitu pengakuan adanya struktur transendental yang dapat menjadi referensi un-tuk menafsirkan realitas; “Pengakuan mengenai adanya ide yang murni, yang sumber-nya berada di luar diri manusia; suatu konstruk tentang struktur nilai-nilai yang berdiri-sendiri dan bersifat transendental”. Hal ini juga berarti “mengakui bahwa Al Qur’an ha-rus dipahami sebagai memiliki bangunan ide yang transendental, suat orde, suatu sis-tem gagasan yang otonom dan sempurna”. Mengapa pengakuan itu diberikan? Oleh karena pesan utama Al Qur’an, menurut mas Kunto, “sesungguhnya bersifat transendental, dalam arti melampaui zaman”. Un-tuk itu diperlukan metodologi yang “mampu mengangkat teks (nash) Al Qur’an dari kon-teksnya”. Bagaimana caranya? Tidak lain adalah “dengan mentransendensikan makna tekstual dari penafsiran kontekstual berikut bias-bias historisnya” (p.18). Dengan begitu kita akan dapat menangkap kembali “makna teks -yang seringkali merupakan respons terhadap realitas historis- kepada pesan universal dan makna transendentalnya”, seka-ligus “membebaskan penafsiran-penafsiran terhadapnya dari bias-biasa tertentu akibat keterbatasan situasi historis..” (p.18). Apa implikasi dari pandangan adanya struktur yang bersifat transenden tersebut? Tidak lain adalah pandangan bahwa “Al Qur’an sesungguhnya menyediakan kemung-kinan yang sangat besar untuk dijadikan sebagai cara berfikir. Cara berfikir inilah yang kita namakan paradigma Al Qur’an, paradigma Islam..” (p.24). Lantas, seperti apa kira-kira struktur transendental Al Qur’an tersebut kira-kira? Menurut mas Kunto, “Struktur Transendental Al Qur’an adalah suatu ide normatif dan filosofis yang dapat dirumuskan menjadi paradigma teoretis. Ia akan memberikan kerangka ba-gi pertumbuhan ilmu pengetahuan empiris dan ilmu pengetahuan rasional yang orisinal dalam arti sesuai dengan kebutuhan pragmatis masyarakat Islam, yaitu mengaktualisa-sikan misinya menjadi khalifah di bumi”. Selain itu, mas Kunto memilih strukturalisme untuk mendekati Al Qur’an karena me-nurutnya “tujuan kita bukanlah memahami Islam, tetapi bagaimana menerapkan ajaran-ajaran sosial yang terkandung dalam teks lama pada konteks sosial masa kini tanpa mengubah strukturnya” (p.28). Dalam hal ini mas Kunto banyak mendapat inspirasi da-ri strukturalisme yang dikembangkan oleh ahli antropologi Prancis, Claude Lévi-Strauss Saya tidak akan memaparkan lebih lanjut strukturalisme dari Lévi-Strauss, karena ter-lalu jauh dari topik sekarang ini, tetapi kita perlu tahu apa gagasan mas Kunto menge-nai ilmu (sosial) profetik yang diilhami oleh strukturalisme Lévi-Strauss 2). Oleh mas Kunto konsep-konsep innate structuring capacity, deep structure dan sur-face structure dalam strukturalisme ditransformasikan ke dalam sistem Islam, sehingga muncul model sebagai berikut (yang merupakan transformasi dari model yang ada da-lam buku Lane (1970) (lihat halaman berikut).

2 ) Tampaknya pandangan mas Kunto mengenai strukturalisme transendental inilah yang kemudian membuat mas Indra dan pak Edimeyanto menghubungi saya untuk menulis tentang strukturalisme transendental, karena saya telah menulis buku tentamng strukturalisme Lévi-Strauss (lihat Ahimsa-Putra, 2008).

10

Bagian yang bagi saya paling tidak jelas dari paparan mas Kunto setelah ini adalah uraiannya mengenai strukturalisme transendental. Mas Kunto masih berada pada jalur pemikiran yang bisa dimengerti ketika menggunakan konsep transformasi untuk mem-buat paradigma Islam tetap relevan dengan masa kini dengan memanfaatkan konsep-konsep pokok dalam strukturalisme sebagaimana terlihat pada model di atas. Akan te-tapi uraiannya mengenai strukturalisme transendental menjadi begitu membingungkan ketika menjelaskan perlunya ada perluasan pada “muamalah” dalam Islam, karena di situ tidak terlihat sama sekali hubungan antara struktur yang transenden dengan perlu-asan muamalah yang diusulkannya. Skema 1. Struktur dalam Islam Tauhid <------- innate structuring | capacity --------------------------------------------------------- | | | | | Akidah Ibadah Akhlak Syariat Muamalah <------- deep structure | | | | | Keyakinan Sholat/ Moral/ Perilaku Perilaku <------ surface structure Puasa/ Etika Normatif Sehari- Zakat/ hari Haji Perluasan muamalah tersebut menurut mas Kunto berupa enam macam kesadaran, yaitu: (1) kesadaran adanya perubahan; (2) kesadaran kolektif; (3) kesadaran sejarah; (4) kesadaran adanya fakta sosial; (5) kesadaran adanya masyarakat abstrak; (6) ke-sadaran perlunya objektifikasi. Gagasan tentang perluasan kesadaran ini menarik, teta-pi sayang sekali mas Kunto tidak menjelaskan lebih lanjut mengapa kesadaran-kesa-daran itu yang disodorkannya, dan perluasan tersebut sebaiknya terjadi di kalangan il-muwan Islam -yang mengusung paradigma baru, paradigma Islam/profetik-, atau di ka-langan umat Islam? Akibat ketidak-jelasan ini, perluasan muamalah menjadi enam ma-cam kesadaran tersebut menjadi tidak banyak artinya dalam kerangka pemikiran ilmu (sosial) profetik. Pertanyaan lebih lanjut adalah: bagaimana kita menganalisis dan menafsir sistem wahyu (Al Qur’an) dalam kerangka berfikir ilmu (sosial) profetik? c. Analisis / Tafsir : Sintetik - Analitik Mas Kunto menawarkan pendekatan sintetik-analitik terhadap Al Qur’an, yang me-mandang kandungan Al Qur’an terbagi menjadi dua, yakni (a) konsep-konsep dan (b) kisah-kisah sejarah dan amtsal (p.12). Kandungan ini dapat dikatakan sebagai sumber pengetahuan, karena konsep-konsep, sejarah dan amtsal tersebut memang menunjuk pada realitas-realitas tertentu dalam kehidupan manusia. Konsep-konsep ini menunjuk pada “pengertian-pengertian normatif yang khusus, doktrin-doktrin etik, aturan-aturan legal, dan ajaran-ajaran keagamaan pada umumnya. Istilah-istilah, atau singkatnya pernyataan-pernyataan, itu mungkin diangkat dari kon-sep-konsep yang telah dikenal oleh masyarakat Arab pada waktu Al Qur’an diturunkan, atau bisa jadi merupakan istilah-istilah baru yang dibentuk untuk mendukung adanya

11

konsep-konsep etiko-religius yang ingin dikenalkannya. Istilah-istilah itu kemudian diin-tegrasikan ke dalam pandangan-pandangan dunia Al Qur’an, dan secara demikian lalu menjadi konsep-konsep otentik.” (p.12). Konsep-konsep ini ada yang menunjuk pada hal-hal yang abstrak, tidak empiris, se-perti misalnya konsep Allah, malai’kah, akhirah, ma’ruf, munkar dan sebagainya. Ada pula yang menunjuk apda hal-hal yang empiris, kongkret, dan dapat diamati, seperti misalnya konsep fukara, dhu’afa, dhalimun, kafirun, mufsidun, dan sebagainya (p.12-13). Konsep-konsep ini memiliki makna-makna tertentu. Ada yang bersifat umum dan mudah dimengerti, ada pula yang bersifat khusus, dan memiliki sejumlah makna juga. Menurut mas Kunto, “Kesemua konsep itu menjadi memilki makna bukan saja karena keunikannya secara semantik, tetapi juga karena kaitannya dengan matriks struktur normatif dan etik tertentu yang melaluinya pesan-pesan Al Qur’an dipahami. Dalam ka-itan ini, konsep-konsep Al Qur’an bertujuan memberikan gambaran utuh tentang dok-trin Islam, dan lebih jauh lagi tentang pandangan dunianya” (p.13) Berbeda lagi halnya dengan bagian kedua, yang berisi sejarah dan amtsal. Bagian ini menurut mas Kunto mengajak manusia untuk melakukan “perenungan untuk mem-peroleh wisdom (hikmah)”. Dengan merenungkan berbagai kejadian yang ada dalam sejarah kehidupan manusia sebagaimana diceriterakan dalam Al Qur’an, dan juga me-tafor-metafornya, “manusia diajak untuk merenungkan hakekat dan makna kehidupan. Banyak sekali ayat yang berisi ajakan semacam itu, tersirat maupun tersurat, baik me-nyangkut hikmah historis ataupun menyangkut simbol-simbol” (p.13). “…Dalam bagian yang berisi kisah dan amtsal” kata mas Kunto, “kita diajak untuk mengenali arche-type tentang kondisi-kondisi yang universal”, misalnya tentang kesa-baran nabi Ayyub, kedhaliman Fir’aun, kedhaliman kaum Tsamud, keyakinan nabi Ibra-him, dan sebagainya. Penggambaran arche-type ini dimaksudkan agar umat manusia “dapat menarik pelajaran moral dari peristiwa-peristiwa empiris yang terjadi dalam seja-rah, bahwa peristiwa-peristiwa itu sesungguhnya bersifat universal dan abadi. Bukan bukti obyektif-empirisnya yang ditonjolkan, akan tetapi ta’wil subyektif-normatifnya” (p.13-14). Memahami pesan-pesan Al Qur’an dengan cara inilah yang oleh mas Kunto dikatakan sebagai memahami “secara sintetik”, karena di sini “kita lebih merenungkan pesan-pesan moral Al Qur’an dalam rangka mensintesiskan penghayatan dan penga-laman subyektif kita dengan ajaran-ajaran normatif” (p.14) Pendekatan sintetis akan dapat menghasilkan transformasi psikologis yang berlang-sung pada tingkat individu. Diakui oleh mas Kunto bahwa hal ini memang penting, teta-pi belum lengkap, karena Islam tidak hanya ditujukan untuk hal semacam itu. Islam di-turunkan dengan tujuan juga mengubah masyarakat, melakukan transformasi sosial. Untk menangkap pesan transformatif sosial inilah mas Kunto menawarkan pendekatan analitik terhadap wahyu-wahyu yang telah diturunkan, yakni Al Qur’an. Dengan pende-katan ini maka konsep-konsep normatif yang terdapat dalam Al Qur’an akan dapat dio-perasionalkan menjadi obyektif dan empiris (p.15). Dengan pendekatan ini sebagian kandungan Al Qur’an akan dapat diperlakukan se-bagai data, “sebagai suatu dokumen mengenai pedoman kehidupan yang berasal dari Tuhan”. Menurut pendekatan ini ayat-ayat Al Qur’an yang sebenarnya merupakan per-nyataan-pernyataan normatif perlu dianalisis untuk diterjemahkan pada level yang ob-yektif, bukan subyektif. Artinya, di sini ayat-ayat Al Qur’an perlu “dirumuskan dalam

12

bentuk konstruk-konstruk teoritis. Sebagaimana kegiatan analisis data akan menghasil-kan konstruk, maka demikian pula analisis terhadap pernyataan-pernyataan Al Qur’an akan menghasilkan konstruk-konstruk teorits Al Qur’an. Elaborasi terhadap konstruk-konstruk teoritis Al Qur’an inilah yang pada akhirnya merupakan kegiatan Qur’anic the-ory building, yaitu perumusan teori Al Qur’an”. Dari sinilah akan dapat lahir kemudian paradigma Al Qur’an, paradigma Islam. 4. Etika: Humanisme-Teosentris Dalam kerangka yang dibuat oleh mas Kunto untuk membedakan antara Ilmu Barat dengan Ilmu Islam, salah satu unsur atau aspek yang dijadikan patokan adalah etika. Empat aspek yang lain adalah: periode, sumber pengetahuan, proses sejarah dan sifat ilmu. Menurut mas Kunto, Ilmu Barat berada dalam periode “Modern”, sedang Ilmu Is-lam berada pada periode “Pasca Modern”. Sumber pengetahuan Ilmu Barat adalah “Akal”, sedang sumber pengetahuan Ilmu Islam adalah “Wahyu dan Akal”. Etika Ilmu Barat adalah Humanisme, sedang etika Ilmu Islam adalah Humanisme-Theosentris.. Proses sejarah dalam Ilmu Barat adalah differensiasi, sedang dalam Ilmu Islam dediffe-rensiasi. Ilmu Barat bersifat sekular dan otonom, sedang Ilmu Islam bersifat integralistik Dari lima aspek tersebut, empat di antaranya dijelaskan dengan panjang lebar oleh mas Kunto. Sayangnya satu aspek -yang menurut saya tidak kalah pentingnya dengan yang lain- yaitu aspek etika tidak dia jelaskan. Oleh karena itu, kita tidak tahu dengan pasti apa yang dimaksud oleh mas Kunto sebagai “Humanisme-Teosentris”. Meskipun sedikit banyak saya tahu tentang Humanisme dan makna Teosentris, tetapi saya mera-sa lebih baik tidak menjelaskannya di sini, karena mas Kunto memang tidak menjelas-kannya. 5. Tujuan : Humanisasi / Emansipasi, Liberasi / Pembebasan, Transendensi Menurut mas Kunto, ilmu sosial saat ini tengah mengalami kemandegan, sehingga muncul kemudian ilmu Sosial Transformatif. Transformasi sosial seperti apa yang diba-yangkan oleh mas Kunto dapat diwujudkan oleh ilmu Islam atau paradigma Islam? Ilmu sosial profetik “secara sengaja memuat kandungan nilai-nilai dari cita-cita perubahan yang diidamkan masyarakatnya”. Menurut Kuntowijoyo hal itu berarti bahwa perubahan tersebut didasarkan pada cita-cita humanisasi/emansipasi (humanization/emancipa-tion), liberasi/pembebasan (liberation) dan transendensi (transcendence). Ini merupa-kan cita-cita profetik yang diturunkan dari misi historis Islam sebagaimana yang diang-gap terdapat pada ayat 110 dari surat Ali Imran (3), yang berbunyi, “Engkau adalah umat terbaik yang diturunkan di tengah manusia untuk menegakkan kebaikan, mence-gah kemungkaran (kejahatan) dan beriman kepada Allah”. Tiga muatan nilai itulah -yakni “menegakkan kebaikan”, “mencegah kemungkaran” dan “beriman kepada Allah”-, kata mas Kunto “yang mengkarakterisasikan ilmu sosial profetik”. Di sini kita lihat mas Kunto telah mentrasformasikan tiga nilai tersebut ke da-lam ilmu sosial menjadi humanisasi, liberasi dan transendensi. Humanisasi artinya “me-manusiakan manusia”; “menghilangkan kebendaan”, ketergantungan, kekerasan dan

13

kebencian manusia”. Ini merupakan implementasi dari nilai perubahan “amar ma’ruf”. Liberasi atau “pembebasan” merupakan implementasi dari nilai “nahi munkar”, sedang transendensi merupakan implementasi dari nilai tu’minuuna billaah (p.98) Saya tidak akan menjelaskan lebih lanjut pandangan-pandangan mas Kunto tentang tiga hal tersebut, karena penjelasan mas Kunto dalam bukunya cukup panjang dan re-latif mudah dimengerti. Mereka yang ingin mengetahui lebih lanjut pandangan mas Kunto dapat membaca bukunya. 6. Telaah Kritis atas Pandangan Kuntowijoyo Dari paparan di atas -yang tentu saja tidak sangat rinci, namun menurut saya sudah mencakup elemen-elemen yang pokok- kita melihat bahwa mas Kunto telah mengem-bangkan pemikiran tentang ilmu profetik secara serius. Alasan-alasan yang penting mengenai perlunya dibangun ilmu (sosial) profetik, transformatif, telah dikemukakannya dengan baik. Beberapa asumsi dasar penting dalam ilmu tersebut juga telah dipapar-kannya, sehingga kalau kita tidak cukup kritis maka kita akan merasa bahwa pandang-an mas Kunto tentang ilmu profetik tersebut sudah cukup lengkap, dan kita bisa segera melaksanakan atau mengimplementasikannya. Tidak demikian halnya jika kita mau bersikap lebih kritis dan memperhatikan bagian-bagian kecil dari pandangan tersebut. Ada beberapa kelemahan yang segera terlihat di situ. Pertama adalah tidak adanya konsepsi tentang apa itu paradigma dengan berba-gai komponennya. Akibatnya, banyak bagian-bagian dari paradigma yang luput dari pembahasan mas Kunto, sehingga paradigmanya terlihat sekali lubang-lubangnya di sana-sini. Paradigma yang dibangun oleh mas Kunto kemudian terlihat sangat rapuh, dan mudah sekali dirontokkan oleh mereka yang kritis. Kedua, implikasi transformasional yang dibahas oleh mas Kunto masih terfokus pa-da transformasi sosial. Belum ada di situ pembahasan tentang transformasi individual, padahal transformasi individual berlangsung mendahului transformasi sosial. Bagaima-na seseorang akan mampu mengubah masyarakatnya, jika dia sendiri belum berubah atau masih seperti warga masyarakat yang lain? Selain itu, realitas empiris dari masya-rakat tidak lain adalah individu-individu dengan berbagai macam perilaku dan tindakan-nya, sehingga tanpa transformasi di tingkat individu sebenarnya tidak akan pernah da-pat terjadi transformasi di tingkat masyarakat. Tanpa transformasi individual tidak akan terjadi transformasi sosial. Mas Kunto tampaknya lupa untuk memperhatikan hal ini. Jika kita sepakat dengan Thomas Kuhn bahwa revolusi ilmu pengetahuan tidak lain adalah perubahan paradigma, perubahan pada mode of thought, pada mode of inquiry, maka kita akan sampai pada pendapat bahwa inti ilmu pengetahuan tidak lain adalah paradigma (Ahimsa-Putra, 2007). Jika demikian, maka apa yang seharusnya dibahas dan dibangun terlebih dahulu oleh mas Kunto adalah sebuah konsepsi atau pandangan mengenai paradigma, mengenai sebuah kerangka pemikiran. Oleh karena ini belum di-lakukan oleh mas Kunto, maka dengan sendirinya pemikiran mas Kunto mengenai ilmu profetik masih jauh dari lengkap. Fondasi filosofisnya masih rapuh. Oleh karena itu pula adanya dua kelemahan di atas -di samping beberapa kelemahan yang sudah saya se-but dalam paparan tentang pemikiran mas Kunto- sudah cukup kiranya menjadi alasan

14

bagi kita untuk membangun sebuah paradigma profetik yang lebih lengkap unsurnya dan lebih kokoh fondasinya. III. PARADIGMA PROFETIK : APA ITU ? Sebelum istilah paradigma menjadi sebuah konsep yang populer, para ilmuwan so-sial-budaya telah menggunakan beberapa konsep lain dengan makna yang kurang le-bih sama, yakni: kerangka teoritis (theoretical framework), kerangka konseptual (con-ceptual framework), kerangka pemikiran (frame of thinking), orientasi teoritis (theoreti-cal orientation), sudut pandang (perspective), atau pendekatan (approach). Kini istilah paradigma sudah mulai banyak digunakan oleh ilmuwan sosial-budaya. Meskipun be-gitu, istilah-istilah lama tersebut juga tetap akan digunakan di sini, dengan makna yang kurang-lebih sama dengan paradigma (paradigm). Penggunaan konsep paradigma yang semakin lazim kini tidak berarti bahwa makna konsep tersebut sudah jelas atau telah disepakati bersama. Thomas Kuhn (1973) telah berbicara panjang lebar tentang pergantian paradigma, namun sebagaimana telah kita lihat, dia sendiri tidak menjelaskan secara khusus dan rinci tentang apa yang dimak-sudnya sebagai paradigma, dan tidak menggunakan konsep tersebut secara konsisten dalam tulisan-tulisannya. Hal ini tampaknya merupakan akibat tidak langsung dari topik pembahasannya, yakni pergantian paradigma dalam ilmu-ilmu alam (Ahimsa-Putra, 2007). Kuhn tidak menyinggung tentang ilmu-ilmu sosial-budaya. Ada kemungkinan ka-rena dia merasa tidak perlu membedakan dua jenis ilmu pengetahuan tersebut, meng-ingat dua-duanya adalah ilmu pengetahuan. Ada kemungkinan pula karena dia meng-anggap ilmu sosial-budaya belum merupakan ilmu pengetahuan (science), karena dari perspektif tertentu status sains (ilmu) memang belum berhasil dicapai oleh cabang ilmu tersebut (Kuhn, 1977). Kelalaian Kuhn untuk menjelaskan secara rinci apa yang dimaksudnya sebagai pa-radigma telah menyulitkan kita. Untuk mengatasi kesulitan ini saya mencoba di sini me-maparkan apa yang saya maksud dengan paradigma. 1. Paradigma : Sebuah Definisi 3) Paradigma -menurut hemat saya- dapat didefinisikan sebagai seperangkat konsep yang berhubungan satu sama lain secara logis membentuk sebuah kerangka pemikiran yang berfungsi untuk memahami, menafsirkan dan menjelaskan kenyataan dan/ atau masalah yang dihadapi. Berikut adalah penjelasan frasa-frasa dalam definisi ini. “Seperangkat konsep yang berhubungan satu sama lain secara logis membentuk suatu kerangka pemikiran.....“ Kata “seperangkat“ menunjukkan bahwa paradigma memiliki sejumlah unsur-unsur, tidak hanya satu unsur. Unsur-unsur ini adalah konsep-konsep. Konsep adalah istilah atau kata yang diberi makna tertentu. Oleh karena itu, sebuah paradigma juga meru-pakan kumpulan makna-makna, kumpulan pengertian-pengertian. Kumpulan konsep-konsep ini merupakan sebuah kesatuan, karena konsep-konsep ini berhubungan se-cara logis, yakni secara paradigmatik, sintagmatik, metonimik dan metaforik sehingga dapat dikatakan sebagai “seperangkat konsep“, seperti halnya peralatan pada orkestra 3 ) Uraian mengenai paradigma ini saya ambil dari makalah saya di tahun 2009 (Ahimsa-Putra, 2009).

15

gamelan atau unsur-unsur pada pakaian, yang membentuk seperangkat gamelan dan seperangkat pakaian. Tentu, relasi-relasi pada gejala-gejala empiris ini tidak sama de-ngan relasi-relasi antarunsur dalam paradigma. Relasi antarunsur dalam paradigma berada pada tataran logika, pada tataran pemikiran, sedang relasi antarunsur pada perangkat pakaian dan gamelan berada pada tataran fungsi, atau bersifat fungsional. Selanjutnya, karena makna dan hubungan antar-makna ini adanya dalam pikiran, ma-ka kumpulan konsep yang membentuk kerangka itu disebut juga sebagai kerangka pe-mikiran. “.....yang berfungsi untuk memahami dan menjelaskan kenyataan dan/atau masa-lah yang dihadapi“. Dalam pikiran manusia, kerangka pemikiran ini digunakan untuk tujuan tertentu, se-hingga kerangka pemikiran ini memiliki fungsi, yakni untuk memahami kenyataan, mendefinisikan kenyataan, menentukan kenyataan yang dihadapi, menggolongkannya ke dalam kategori-kategori, dan kemudian menghubungkannya dengan definisi kenya-taan lainnya, sehingga terjalin relasi-relasi pada pemikiran tersebut, yang kemudian membentuk suatu gambaran tentang kenyataan yang dihadapi. Kenyataan yang dihadapi menimbulkan berbagai akibat atau reaksi dalam pikiran manusia. Salah satu di antaranya adalah pertanyaan-pertanyaan atau rasa tidak puas karena kenyataan yang dihadapi tidak dapat dipahami dengan menggunakan kerang-ka pemikiran yang telah ada, atau kurang sesuai dengan yang diharapkan. Pertanya-an dan ketidakpuasan ini selanjutnya mendorong manusia untuk menjawab pertanya-an tersebut atau mencari jalan guna mengatasi ketidakpuasan yang ada dalam diri-nya. Ini berarti bahwa paradigma tidak hanya ada di kalangan ilmuwan saja, tetapi ju-ga di kalangan orang awam, di kalangan semua orang, dari semua golongan, dari se-mua lapisan, dari semua kelompok, dari semua sukubangsa. Meskipun demikian, hal itu berarti bahwa setiap orang menyadari kerangka pemikirannya sendiri. Bahkan, se-bagian besar orang sebenarnya tidak menyadari betul atau tidak mengetahui seperti apa kerangka pemikiran yang dimilikinya, yang digunakannya untuk memahami situa-si dan kondisi kehidupan sehari-hari. Kesadaran ini hanya dapat muncul dari kalangan mereka yang dapat melakukan refleksi atas apa yang mereka pikirkan sendiri, yang mengetahui dan dapat menggunakan metode-metode dan prosedur yang harus digu-nakan dalam proses refleksi tersebut. Bagi upaya pengembangan dan pembuatan paradigma baru, pendefinisian konsep paradigma saja belum cukup. Lebih penting daripada pendefinisian adalah penentuan unsur-unsur yang tercakup dalam pengertian paradigma. Definisi di atas belum mem-berikan keterangan lebih lanjut tentang isi dari kerangka pemikiran itu sendiri. “Seper-angkat konsep“ barulah sebuah gambaran umum tentang isi dari kerangka pemikiran tersebut, sedang kenyataannya konsep-konsep ini tidak sama kedudukan dan fungsi-nya dalam kerangka pemikiran dan karena itu juga memiliki nama yang berbeda-beda. Oleh karena itu diperlukan penjelasan lebih lanjut tentang komponen-komponen kon-septual yang membentuk kerangka pemikiran atau paradigma tersebut. Berbagai pembahasan tentang paradigma di kalangan ilmuwan Barat berada di se-putar masalah (a) konsepsi tentang paradigma; (b) ada tidaknya paradigma dalam sua-tu disiplin tertentu, dan (c) unsur-unsur paradigma. Sayangnya, dari berbagai pemba-hasan itu tidak berhasil dicapai sebuah kesepakatan tentang definisi yang cukup prak-

16

tis dan strategis mengenai paradigma. Apalagi kesepakatan mengenai unsur-unsur pa-radigma. Akibatnya, kita mengalami kesulitan untuk memanfaatkan rintisan pemikiran yang dilontarkan oleh Kuhn. Untuk itu kita perlu membangun sebuah konsepsi (pan-dangan) tentang paradigma, yang berisi bukan hanya definisi, tetapi juga elemen-ele-men pokok yang terdapat dalam sebuah paradigma. Dari berbagai kelemahan dan kelebihan gagasan-gagasan tentang paradigma yang telah dikemukakan oleh para ilmuwan Barat (lihat Ahimsa-Putra, 2008; 2009), saya mencoba di sini untuk mengemukakan gagasan saya tentang paradigma, yang menca-kup definisi dan unsur-unsur pokok yang terdapat di dalamnya. Konsepsi tentang para-digma ini saya bangun setelah saya menelaah secara kritis berbagai buku dan artikel para ilmuwan Barat (karena dari Indonesia saya tidak menemukan pembahasan-pem-bahasan ini) mengenai paradigma, baik yang teoritis, filosofis maupun yang aplikatif. Pertanyaan pokok saya ketika itu adalah: apa yang dimaksud dengan paradigma? apa saja komponen-komponen konseptual atau unsur-unsur pemikiran yang memben-tuk sebuah paradigma dalam sebuah cabang ilmu pengetahuan, terutama ilmu sosial-budaya, dan lebih khusus lagi antropologi budaya? 2. Unsur-unsur (komponen-komponen) Paradigma Sebuah perspektif dalam ilmu sosial-budaya biasanya dapat dibedakan satu sama lain atas dasar asumsi-asumsi atau anggapan-anggapan dasarnya tentang obyek yang diteliti, masalah-masalah yang ingin dijawab atau diselesaikan, konsep-konsep, meto-de-metode serta teori-teori yang dihasilkannya. Pendapat yang dilontarkan oleh Cuff dan Payne (1980:3) ini merupakan pendapat yang dapat membawa kita kepada pema-haman tentang paradigma dalam ilmu sosial-budaya. Dalam pendapat ini tersirat pan-dangan bahwa sebuah perspektif atau pendekatan -Cuff dan Payne tidak menyebutnya sebagai “paradigma“- memiliki sejumlah unsur, di antaranya adalah: asumsi dasar (ba-sic assumption -Cuff dan Payne menyebutnya bedrock assumption-, konsep, metode, pertanyaan dan jawaban-jawaban yang diberikan. Jika “perspektif“ adalah juga “paradigma“, maka unsur-unsur tersebut dapat dikata-kan sebagai unsur-unsur paradigma. Meskipun demikian, menurut saya, pandangan Cuff dan Payne tentang unsur-unsur perspektif tersebut masih belum lengkap. Masih ada elemen lain yang juga selalu ada dalam sebuah paradigma ilmu sosial-budaya, namun belum tercakup di dalamnya, misalnya model. Selain itu, unsur metode juga masih perlu dirinci lagi. Cuff dan Payne juga masih belum menjelaskan bagaimana ki-ra-kira urut-urutan unsur-unsur tersebut dalam sebuah paradigma atau kerangka ber-fikir tertentu, sehingga posisi masing-masing unsur terhadap yang lain tidak kita keta-hui. Lebih dari itu, Cuff dan Payne juga tidak selalu menjelaskan makna dari konsep-konsep yang digunakannya secara rinci, sehingga kita tidak selalu dapat mengetahui dengan baik apa yang dimaksudkannya. Mengikuti jalan pikiran yang telah dibuka oleh Kuhn serta Cuff dan Payne, sebuah paradigma, kerangka teori atau pendekatan dalam ilmu sosial-budaya menurut hemat saya terdiri dari sejumlah unsur pokok, yakni: (1) asumsi-asumsi dasar; (2) nilai-nilai; (3) masalah-masalah yang diteliti (4) model; (5) konsep-konsep; (6) metode penelitian; (7) metode analisis; (8) hasil analisis atau teori dan (9) representasi (etnografi). Berikut ini adalah uraian mengenai komponen-komponen paradigma ini, yang menurut saya

17

perlu diberikan, mengingat jarangnya pembicaraan tentang paradigma yang memba-has komponen-komponen tersebut serta menjelaskannya dengan rinci. a. Asumsi-asumsi/Anggapan-anggapan Dasar (Basic Assumptions) - (1) Asumsi atau anggapan dasar adalah pandangan-pandangan mengenai suatu hal (bisa benda, ilmu pengetahuan, tujuan sebuah disiplin, dan sebagainya) yang tidak di-pertanyakan lagi kebenarannya atau sudah diterima kebenarannya. Pandangan ini me-rupakan titik-tolak atau dasar bagi upaya memahami dan menjawab suatu persoalan, karena pandangan-pandangan tersebut dianggap benar atau diyakini kebenarannya. Anggapan-anggapan ini bisa lahir dari (a) perenungan-perenungan filosofis dan reflek-tif, bisa dari (b) penelitian-penelitian empiris yang canggih, bisa pula dari (c) pengamat-an yang seksama. Jika asumsi ini berasal dari pandangan filosofis dan reflektif, pandangan ini biasa-nya lantas mirip dengan 'ideologi' si ilmuwan, dan ini tentu saja bersifat subyektif. Oleh karena itu, muncul kini pendapat yang mengatakan bahwa tidak ada "obyektivitas" da-lam ilmu sosial-budaya, sebab apa yang selama ini dianggap sebagai "obyektivitas" ternyata juga didasarkan pada asumsi-asumsi filosofis tertentu, yang tidak berbeda de-ngan 'ideologi'. Asumsi-asumsi dasar biasanya terlihat dengan jelas dalam rumusan-rumusan tentang hakekat sesuatu atau definisi mengenai sesuatu, dan ini biasanya merupakan jawaban atas pertanyaan "Apa itu...?". Misalnya saja, "Apa itu kebudaya-an?"; "Apa itu masyarakat?"; "Apa itu karya sastra?", dan sebagainya. Dalam dunia il-mu pengetahuan definisi mengenai sesuatu inilah yang akan sangat menentukan lang-kah-langkah kegiatan ilmiah selanjutnya. Dari paparan di atas terlihat bahwa asumsi-asumsi dasar merupakan fondasi dari sebuah disiplin atau bidang keilmuan, atau dasar dari sebuah kerangka pemikiran, dan seperti halnya fondasi sebuah gedung yang tidak terlihat, demikian pula halnya dengan asumsi dasar. Suatu kerangka teori dalam ilmu sosial-budaya biasanya mempunyai banyak asumsi dasar. Akan tetapi, tidak semua asumsi dasar ini selalu dikemukakan secara eksplisit. Bahkan kadang-kadang malah tidak dipaparkan sama sekali, karena semua orang dianggap telah mengetahuinya. Banyak di antara kita misalnya yang mengetahui teori evolusi masyarakat dan ke-budayaan dari tokoh-tokoh seperti L.H.Morgan, H.Spencer, E.B.Tylor, H. Maine dan sebagainya, namun tidak banyak di antaranya yang mengetahui asumsi-asumsi dasar yang ada di balik berbagai macam teori tersebut. Hal ini mungkin karena di kalangan kita mempelajari berbagai teori ilmu sosial-budaya biasanya masih diartikan sebagai upaya mengetahui dan kemudian menghapalkan berbagai teori atau pendapat yang dikemukakan oleh ilmuwan lain tentang suatu persoalan, dan tidak berusaha menukik lebih dalam, menuju ke tataran asumsi-asumsi dasarnya, yang lebih implisit. Mengapa digunakan istilah ‘asumsi’, bukan ‘dalil’ atau ‘hukum’, jika memang kebe-narannya sudah tidak dipertanyakan lagi? Karena tindakan ‘tidak lagi mempertanya-kan kebenaran’ ini tidak berlaku untuk semua orang. Orang lain malah bisa sangat tidak setuju atau sangat mempertanyakan ‘kebenaran yang tidak dipertanyakan’ itu ta-di. Jadi, kebenaran di situ dianggap bersifat relatif. Oleh karena itulah lebih tepat jika

18

kebenaran yang relatif itu disebut sebagai ‘asumsi’, anggapan, saja, bukan dalil atau hukum. b. Etos / Nilai-nilai (Ethos / Values) - (2) Setiap kegiatan ilmiah juga selalu didasarkan pada sejumlah kriteria atau patokan yang digunakan untuk menentukan apakah sesuatu itu baik atau buruk, benar atau sa-lah, bermanfaat atau tidak. Patokan-patokan inilah yang biasa disebut nilai atau etos. Dinyatakan atau tidak nilai-nilai selalu ada di balik setiap kegiatan ilmiah, karena di situ selalu ada persoalan benar atau salah, bermanfaat atau tidak. Dengan patokan inilah seorang ilmuwan akan menilai hasil penelitian ilmuwan yang lain, kinerja mereka atau produktivitas mereka. Dalam sebuah paradigma nilai-nilai ini paling tidak mengenai: (a) ilmu pengetahuan (b) ilmu sosial-budaya; (c) penelitian ilmiah; (d) analisis ilmiah; (e) hasil penelitian. Nilai-nilai ini selalu ada dalam setiap cabang ilmu, tetapi rumusan, penekanan dan ke-eksplisitannya berbeda-beda. Ada cabang ilmu pengetahuan yang nilainya lebih me-nekankan pada manfaat ilmu, tetapi lebih bersifat implisit, sedang pada disiplin lain ni-lai ini dibuat sangat eksplisit. Nilai-nilai mana yang ditekankan oleh suatu komunitas atau organisasi ilmuwan bisa berbeda-beda. Hal ini sangat dipengaruhi oleh nilai-nilai budaya masyarakat tempat para ilmuwan tersebut menjalankan aktivitas keilmuan me-reka. Meskipun nilai-nilai ini pada umumnya menyatakan tentang hal-hal yang baik, yang seharusnya, tetapi sebenarnya nilai-nilai juga berkenaan dengan yang tidak baik, yang buruk. Oleh karena itu, bisa pula nilai yang dibuat eksplisit bukanlah yang baik, tetapi yang buruk. Hal ini dilakukan mungkin dengan tujuan agar para ilmuwan dapat lebih terjaga dari melakukan hal-hal yang buruk. Nilai yang baik berkenaan dengan ilmu pengetahuan misalnya adalah nilai yang mengatakan, “ilmu pengetahuan yang baik adalah yang bermanfaat bagi kehidupan manusia”; atau “ilmu pengetahuan yang baik adalah yang teori-teorinya bisa bersifat universal”; atau “ilmu pengetahuan yang baik adalah yang diperoleh dengan menggunakan metode dan prosedur tertentu yang da-pat mencegah masuknya unsur subyektivitas peneliti”, dan sebagainya. Nilai-nilai yang buruk misalnya adalah, “ilmu pengetahuan yang buruk adalah yang tidak memberikan manfaat kepada umat manusia”; atau “ilmu pengetahuan yang buruk adalah yang membuat manusia semakin jauh dari Sang Pencipta”. Nilai-nilai yang berkenaan dengan ilmu sosial-budaya misalnya adalah nilai yang mengatakan, “ilmu sosial-budaya yang baik adalah yang dapat membuat masyarakat dan budayanya lebih baik keadaannya dari waktu ke waktu”; atau “ilmu sosial-budaya yang baik adalah yang dapat memperluas wawasan kemanusiaan warga masyarakat pada umumnya”; atau “ilmu sosial-budaya yang baik adalah yang dapat membuat war-ga masyarakat memahami dan menghargai kebudayaan, serta berani bersikap terbu-ka terhadap budaya lain”, dan sebagainya. Nilai yang buruk misalnya adalah, “ilmu so-sial-budaya yang buruk adalah yang memungkinkan pihak tertentu menindas pihak la-in yang lebih lemah”, atau “ilmu sosial-budaya yang buruk adalah yang membuat pihal tertentu merasa lebih baik daripada yang lain”, dan sebagainya. Nilai-nilai yang baik tentang penelitian ilmiah misalnya adalah nilai yang mengata-kan, “penelitian ilmiah yang baik adalah yang dilakukan dengan prosedur yang runtut

19

dan metode yang tepat”, atau “penelitian ilmiah yang baik adalah yang dilakukan tanpa merugikan pihak yang lain”. Nilai yang buruk tentang penelitian ilmiah misalnya adalah yang mengatakan, “penelitian ilmiah yang buruk adalah yang memungkinkan masuk-nya subyektivitas yang kuat dari peneliti”, atau “penelitian ilmiah yang buruk adalah yang dilakukan dengan prosedur yang tidak jelas dan metode yang tidak sesuai”, dan sebagainya. Contoh-contoh di atas cukup kiranya untuk memberikan gambaran tentang seperti apa nilai-nilai tersebut, yang walaupun kita sudah mengikutinya tetapi mungkin kita ti-dak pernah berfikir benar-tidaknya, penting-tidaknya nilai tersebut sebagai dasar bagi aktivitas ilmiah yang kita lakukan. Kita mungkin juga tidak pernah memikirkan tentang perlu-tidaknya nilai-nilai tersebut dinyatakan secara eksplisit. c. Model-model (Models) - (3) Model adalah perumpamaan, analogi, atau kiasan tentang gejala yang dipelajari. Seringkali model juga terlihat seperti asumsi dasar. Meskipun demikian, model bukan-lah asumsi dasar. Sebagai perumpamaan dari suatu kenyataan, sebuah model bersifat menyederhanakan (Inkeles, 1964). Artinya, tidak semua aspek, sifat, atau unsur dari realita dapat tampil dalam sebuah model. Model dapat dibedakan menjadi dua yakni: (1) model utama (primary model) dan model pembantu (secondary model). Model yang dimaksudkan di sini adalah primary model. Model utama merupakan model yang lebih dekat dengan asumsi dasar. Model ini merupakan menjadi pembimbing seorang peneliti dalam mempelajari suatu gejala. Mo-del ini bisa berupa kata-kata (uraian) maupun gambar, namun umumnya berupa urai-an. Berbeda halnya dengan model pembantu yang selain umumnya berupa gambar, model ini juga biasa digunakan untuk memudahkan seorang ilmuwan menjelaskan ha-sil analisisnya atau teorinya. Model ini bisa berupa diagram, skema, bagan atau sebu-ah gambar, yang akan membuat orang lebih mudah mengerti apa yang dijelaskan oleh seseorang. Jadi kalau model utama harus sudah ada sebelum seorang peneliti melaku-kan penelitiannya, model pembantu biasanya muncul dalam hasil analisis atau setelah penelitian dan analisis dilakukan. Sebagai perumpamaan dari suatu gejala atau realita tertentu sebuah model bersifat menyederhanakan gejala itu sendiri. Artinya, tidak semua aspek, sifat atau unsur dari gejala tersebut ditampilkan dalam model. Seorang peneliti yang mengawali penelitian-nya dengan mengatakan bahwa kebudayaan itu seperti organisma atau mahluk hidup, pada dasarnya telah menggunakan model organisme dalam penelitiannya. Apakah ke-budayaan itu organisme? Tentu saja bukan. Akan tetapi orang boleh saja mengumpa-makannya seperti organisme, karena memang ada kenyataan-kenyataan yang dapat mendukung pemodelan seperti itu. Jadi sebuah model muncul karena adanya persamaan-persamaan tertentu antara fenomena satu dengan fenomena yang lain. Perbedaan pada penekanan atas persa-maan-persamaan inilah yang kemudian membuat ilmuwan yang satu menggunakan model yang berbeda dengan ilmuwan yang lain. Persamaan-persamaan ini pula yang kemudian membimbing seorang ilmuwan ke arah model tertentu, yang berarti ke arah penjelasan tertentu tentang gejala yang dipelajari. Pada saat yang sama, sebuah mo-del berarti juga membelokkan si ilmuwan dari penjelasan yang lain. Oleh karena itu,

20

sebuah model bisa dikatakan membimbing, tetapi bisa pula ‘menyesatkan’. Oleh kare-na itu pula tidak ada model yang salah atau paling benar. Semua model benar belaka. Yang membedakannya adalah produktivitasnya (Inkeles, 1964). Artinya, implikasi-impli-kasi teoritis dan metodologis apa yang bakal lahir dari penggunaan model tertentu da-lam mempelajari suatu gejala. Sebuah model yang banyak menghasilkan implikasi teo-ritis dan metodologis merupakan sebuah model yang produktif. Meskipun demikian, seorang ilmuwan bisa saja memilih sebuah model yang tidak begitu produktif, karena dianggap dapat memberikan pemahaman baru atas gejala yang dipelajari. Biasanya produktivitas sebuah model tidak dapat ditentukan dari awal, karena dalam perkem-bangan selanjutnya ilmuwan-ilmuwan lain mungkin saja akan dapat merumuskan per-tanyaan-pertanyaan baru yang tak terduga berdasarkan atas model tersebut. Mengapa dalam ilmu sosial-budaya ilmuwan perlu menggunakan model utama? Oleh karena secara empiris gejala sosial-budaya merupakan gejala yang sangat kom-pleks. Tidak mungkin rasanya memahami gejala ini dalam realitasnya yang kompleks. Oleh karena itu diperlukan adanya model-model, perumpamaan-perumpamaan yang berfungsi menyederhanakan kompleksitas tersebut, agar keseluruhan gejala dapat di-rangkum, dapat diketahui unsur-unsurnya, serta saling keterkaitan antar unsur-unsur tersebut, atau gejala tersebut dapat kemudian dipelajari dengan cara tertentu. Sebuah model biasanya dapat ditemukan dalam pernyataan-pernyataan yang ber-sifat mengumpamakan. Dalam buku-buku atau artikel tentang evolusi masyarakat dan kebudayaan misalnya, sering kita temukan pernyataan :”masyarakat itu seperti organ-isme”; “kebudayaan itu seperti organisme”; sedang dalam buku atau artikel struktural-isme kita akan banyak menemukan pernyataan “kebudayaan itu seperti bahasa”, dan sebagainya. d. Masalah Yang Ditelit i /Yang Ingin Dijawab - (4) Ini berupa pertanyaan-pertanyaan yang ingin dijawab atau hipotesa yang ingin diuji kebenarannya. Setiap paradigma memiliki masalah-masalahnya sendiri, yang sangat erat kaitannya dengan asumsi-asumsi dasar dan nilai-nilai. Oleh karena itu, rumusan masalah dan hipotesa harus dipikirkan dengan seksama dalam setiap penelitian, kare-na di baliknya terdapat sejumlah asumsi dan di dalamnya terdapat konsep-konsep ter-penting. Oleh Kuhn unsur ini disebut exemplar. Pertanyaan yang muncul setelah melihat paparan di atas adalah adakah kaitannya itu semua dengan masalah penelitian? Kalau ada, di mana terletak keterkaitan terse-but? Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya, masalah penelitian sebenarnya se-cara implisit terkait dengan asumsi-asumsi dasar dan model yang dianut oleh seorang peneliti. Benarkah demikian? Ada berbagai pendapat mengenai makna „masalah penelitian“, demikian pula da-lam menyatakannya. Ada yang menggunakan istilah „masalah penelitian“, ada yang menggunakan „permasalahan penelitian“, ada juga yang menggunakan istilah „perta-nyaan penelitian“. Akan tetapi, itu semua sebenarnya tidak sangat penting. Yang jelas suatu penelitian selalu berawal dari suatu kebutuhan, keperluan, untuk (a) mempero-leh jawaban atas pertanyaan-pertanyaan tertentu, atau keinginan (b) membuktikan ke-benaran empiris dugaan-dugaan atau pernyataan-pernyataan tertentu.

21

Penelitian untuk memenuhi kebutuhan pertama selalu berawal dari sejumlah perta-nyaan (questions) mengenai gejala-gejala tertentu yang dianggap menarik, aneh, asing, menggelisahkan, menakutkan, merugikan, dan seterusnya, sedang penelitian kedua selalu berawal dari sejumlah pernyataan yang masih perlu dan ingin dibuktikan kebenarannya (hypothesis) atau hipotesa. Oleh karena itu dalam setiap penelitian ha-rus ada pertanyaan-pertanyaan yang ingin dijawab, dan/atau hipotesa-hipotesa yang ingin dibuktikan. Penelitian yang berawal dari beberapa pertanyaan tidak perlu lagi menggunakan hipotesa, demikian pula penelitian yang berawal dari sejumlah hipote-sa, tidak perlu lagi menggunakan pertanyaan-pertanyaan. Meskipun demikian, kalau suatu penelitian dimaksudkan untuk menjawab pertanyaan sekaligus menjawab hipo-tesa hal itu juga tidak dilarang. Pada dasarnya setiap pertanyaan atau hipotesa secara implisit menyimpan asumsi-asumsi dasar berkenaan dengan gejala yang diteliti, tujuan meneliti, ilmu pengetahuan, dan sebagainya. Jika kita perhatikan dan analisis dengan seksama pertanyaan-perta-nyaan atau hipotesa-hipotesa yang kita rumuskan, maka kita akan dapat menemukan asumsi-asumsi dasar yang -sadar atau tidak- kita anut, yang membimbing atau menga-rahkan kita dalam kita bertanya dan membuat hipotesa. Telaah yang lebih seksama ju-ga akan memungkinkan kita mengetahui model-model atau perumpamaan-perumpa-maan apa yang kita gunakan dalam dalam kita mempelajari suatu gejala sosial-budaya tertentu. e. Konsep-konsep Pokok (Main Concepts, Key Words) - (5) Dibandingkan dengan pengetahuan mengenai asumsi dasar dan model, pengetahu-an ilmuwan sosial-budaya Indonesia mengenai konsep memang lebih baik. Mereka umumnya tahu apa yang dimaksud dengan konsep, walaupun tidak selalu dapat men-definisikannya dengan baik. Mereka juga tahu tentang pentingnya konsep-konsep da-lam penelitian, akan tetapi hal ini tidak selalu diiringi dengan kemampuan untuk mem-berikan batasan atau definisi mengenai konsep-konsep yang mereka gunakan dalam penelitian, karena biasanya mereka (a) kurang mampu membayangkan bagaimana wu-jud konsep tertentu itu sendiri dalam kenyataan empiris, ditambah dengan (b) kurang mampu menggunakan bahasa Indonesia tulis dengan baik. Akibatnya, batasan-batas-an konsep penting yang mereka gunakan dalam penelitian kurang sesuai dengan reali-tas empirisnya, atau sama sekali tidak jelas maknanya. Para ilmuwan sosial-budaya Indonesia umumnya sudah mengenal istilah konsep, dan mungkin telah menggunakannya berulangkali, tetapi belum tentu mereka semua mengetahui maknanya dengan baik atau dapat menjelaskannya kepada orang lain. Da-lam ilmu sosial-budaya, konsep juga dimaknai berbeda-beda. Di sini secara sederhana saya mendefinisikan konsep sebagai istilah-istilah atau kata-kata yang diberi makna tertentu sehingga membuatnya dapat digunakan untuk menganalisis, memahami, me-nafsirkan dan menjelaskan peristiwa atau gejala sosial-budaya yang dipelajari. Apa contoh dari konsep ini? Banyak sekali dalam ilmu sosial-budaya. Misalnya: ma-syarakat, kebudayaan, pendidikan, sekolah, konflik, sukubangsa, kepribadian, kerjasa-ma, dan sebagainya. Kamus antropologi, kamus sosiologi, dan sejenisnya, merupakan kumpulan penjelasan konsep-konsep yang dipandang penting dalam kajian antropologi dan sosiologi. Banyak istilah-istilah di situ merupakan istilah yang kita gunakan dalam kehidupan sehari-hari. Meskipun demikian belum tentu kita mengetahui makna istilah-

22

istilah tersebut dengan baik, bahkan tidak sedikit yang salah dalam menggunakannya, terutama jika istilah tersebut berasal dari bahasa asing. Sekedar contoh misalnya, konsep ‘kebudayaan’. Istilah ini begitu biasa kita dengar. Demikian juga istilah ‘pariwisata’. Akan tetapi, tahukah kita makna istilah-istilah terse-but dengan baik? Dapatkah kita menjelaskannya kepada orang lain dengan cara yang cukup mudah?Istilah-istilah seperti masyarakat, sosialisasi, enkulturasi, integrasi sosial, konflik, dan sebagainya merupakan konsep-konsep. Oleh karena kebanyakan istilah-is-tilah ini dalam kehidupan sehari-hari tidak jelas maknanya (terbukti banyak orang tidak dapat menjelaskannya dengan baik ketika ditanya), maka para ilmuwan sosial-budaya kemudian berusaha merumuskan makna istilah-istilah tersebut, agar istilah-istilah ter-sebut kemudian dapat digunakan untuk memahami dan menjelaskan peristiwa dan ge-jala sosial-budaya. Hal ini memang perlu dilakukan karena seorang ilmuwan tidak be-kerja sendirian. Kerja ilmiah, kerja membangun sebuah perangkat pengetahuan ‘yang ilmiah’ adalah sebuah kerja sosial, kerja kolektif. Kerja kolektif dengan tujuan tertentu ini hanya akan dapat tercapai bilamana mereka yang terlibat di dalamnya mengguna-kan ‘satu bahasa’. ‘Satu bahasa’, bahasa ilmu pengetahuan, atau bahasa ilmiah, hanya dapat terwujud bilamana komunitas ilmuwan sepakat atas makna-makna yang diberi-kan kepada istilah-istilah tertentu. Ketika sebuah istilah diberi makna tertentu oleh seorang ilmuwan yang kebetulan membutuhkan istilah tersebut untuk menjelaskan sebuah gejala, pada saat itulah istilah tersebut -berdasarkan definisi di atas- menjadi ‘konsep’. Sebagai contoh adalah kata ‘kebudayaan’. Pada mulanya istilah kebudayaan adalah istilah sehari-hari, yang kemu-dian diberi definisi oleh orang-orang tertentu, di antaranya adalah Ki Hadjar Dewantoro. Kemudian beberapa orang lain memberikan definisi baru, di antaranya adalah Koentja-raningrat. Semenjak itu, kata ‘kebudayaan’ menjadi sebuah konsep yang penting dalam dunia ilmu pengetahuan, terutama ilmu sosial-budaya, khususnya lagi dalam antropo-logi. Konsep menduduki posisi yang sangat penting dalam dunia ilmiah. Boleh dikatakan segala sesuatunya di situ didasarkan pada konsep-konsep. Jika demikian, mengapa posisi ‘konsep’ di sini tidak di tempat yang pertama? Mengapa justru berada di tempat setelah asumsi dan model? Oleh karena konsep adalah pikiran-pikiran, pandangan-pandangan dari manusia yang bisa diwujudkan, dinyatakan, sementara asumsi dan model adalah pikiran, pandangan, pendapat, gagasan, ide, yang belum tentu dapat di-nyatakan secara eskplisit, dan dalam kehidupan manusia pandangan, gagasan, pen-dapat yang tidak dapat dinyatakan selalu muncul lebih dulu. Berapa banyak orang bisa berkomunikasi dengan lancar satu sama lain tetapi ternyata tidak tahu secara persis apa yang sedang dikomunikasikan ketika mereka ditanya. Hal ini menunjukkan bahwa yang tersembunyi, yang implisit, mendahului yang eksplisit, yang dapat dinyatakan. Oleh karena itulah, konsep sebagai perwujudan dari sesuatu yang semula tersembu-nyi, yang tacit (termasuk di sini asumsi dan model), ditempatkan setelah asumsi dan model. Sehubungan dengan persoalan eksplisit dan implisit ini pula, maka asumsi dan mo-del yang kita gunakan sebaiknya juga eskplisit, atau minimal kita dapat menyatakanya, memaparkannya, menjelaskannya, kepada orang lain ketika diminta, sebab dalam ke-giatan ilmiah keeksplisitan ini suatu saat pasti dibutuhkan, apalagi jika pendapat atau temuan kita ternyata mengundang perdebatan dengan ilmuwan-ilmuwan lain. Dalam si-

23

tuasi seperti ini biasanya pemahaman yang mendalam atas asumsi-asumsi dan model-model yang ada dalam diri sendiri maupun yang dimiliki oleh orang lain menjadi sangat diperlukan. Pemahaman seperti ini akan menjadi sulit bilamana asumsi dan model di situ masih terus bersifat implisit. Sebuah konsep dalam ilmu sosial-budaya bisa diberi definisi atau batasan berbagai macam. Dalam hal ini perlu diingat bahwa tidak ada definisi yang paling benar, karena setiap konsep dapat diberi definisi dari sudut pandang tertentu, dengan cara tertentu. Yang perlu diperhatikan adalah apakah definisi sebuah konsep memungkinkan peneliti mempelajari, memahami dan menjelaskan gejala yang diteliti dengan baik. Oleh karena itu, sebelum merumuskan sebuah definisi seyogyanya peneliti melakukan kajian pusta-ka yang cukup komprehensif agar dapat memperoleh berbagai definisi yang telah dibu-at oleh para ilmuwan lain berkenaan dengan konsep-konsep yang akan digunakan da-lam penelitiannya. Jika dari kajian pustakan ini kemudian diketahui bahwa definisi-definisi konsep yang telah dikemukakan ternyata tidak ada yang dipandang sesuai atau cocok maka peneliti seyogyanya dapat membuat definisi sendiri yang lebih sesuai. Sebelum pendefinisian ini dilakukan ada baiknya juga peneliti mengemukakan berbagai kritik atau kelemahan atas definisi-definisi yang sudah ada, yang membuatnya tidak dapat menggunakan de-finisi-definisi tersebut. Uraian ini akan menjadi semacam dasar atau alasan teoritis un-tuk merumuskan sebuah definisi baru yang lebih sesuai. Bilamana ini dapat dilakukan hal itu berarti bahwa peneliti telah melakukan pembaharuan konseptual dalam studi mengenai gejala-gejala sosial-budaya tertentu. f. Metode-metode Penelitian (Methods of Research) - (6) Berkenaan dengan metode penelitian ini umumnya kita mengenal pembedaan an-tara ‘metode penelitian kuantitatif’ dan ‘metode penelitian kualitatif’. Meskipun demikian banyak sekali mahasiswa dan sarjana ilmu sosial-budaya yang mempunyai pengertian kurang lengkap tentang ‘metode penelitian’ ini, sehingga ketika mereka ditanya “di ma-na letak kualitatifnya dan kuantitatifnya sebuah metode?”, mereka tidak dapat menja-wab. Selain itu, banyak juga ilmuwan sosial-budaya yang hanya mengetahui satu jenis metode saja, yaitu yang kuantitatif, sehingga semua masalah selalu diteliti dengan menggunakan metode yang sama, padahal sebenarnya tidak demikian. Lebih jelek la-gi, karena tidak mengetahui jenis metode penelitian yang lain, metode penelitian itulah (yang kuantitatif) yang kemudian dianggap sebagai satu-satunya metode penelitian yang ilmiah. Sebelum membicarakan tentang metode penelitian ini kita bicarakan terlebih dulu konsep-konsep yang ada di sini, agar maknanya kita ketahui dengan baik. Pertama, yang dimaksud dengan ‘penelitian’ di sini harus diartikan sebagai ‘pengumpulan data’. Oleh karena itu, metode penelitian kualitatif dan kuantitatif tidak lain adalah metode atau cara guna memperoleh, mengumpulkan, data kualitatif dan data kuantitatif. Jadi yang bersifat ‘kuantitatif’ atau ‘kualitatif’ bukanlah metodenya, tetapi datanya. Selanjut-nya, sifat data ini juga sangat menentukan cara kita untuk mendapatkannya. Untuk itu kita perlu tahu ciri-ciri penting yang ada pada masing-masing data. Dilihat dari sudut pandang ini, maka sebenarnya tidak ada pemisahan dan tidak perlu ada pemisahan yang sangat tegas dan kaku antara “penelitian kualitatif” dan ‘penelitian kuantitatif”, se-

24

bagaimana sering dikatakan oleh sebagian ilmuwan sosial-budaya yang kurang mema-hami tentang metode-metode penelitian. Yang penting dalam suatu penelitian adalah bagaimana dapat menjawab pertanya-an-pertanyaan yang dikemukakan dengan memuaskan, dengan meyakinkan, dan ini sangat tergantung pada data yang dikemukakan. Data yang dibutuhkan dalam suatu penelitian bisa berupa data kualitatif, data kuantitatif, atau kedua-duanya, dan sebuah penelitian bisa saja memerlukan dan memanfaatkan dua jenis data ini untuk menjawab masalah-masalahnya. Data kuantitatif dikumpulkan dengan cara yang berbeda dengan data kualitatif. Oleh karena ciri dan sifatnya yang berbeda ini, maka analisis terhadap data ini juga berbeda. Data kuantitatif adalah kumpulan simbol -bisa berupa pernyataan, huruf atau angka- yang menunjukkan suatu jumlah (quantity) atau besaran dari suatu gejala, seperti mi-salnya jumlah penduduk, jumlah laki dan perempuan, jumlah anak sekolah, jumlah ru-mah, jumlah tempat ibadah, luas sebuah kelurahan, jumlah padi yang dipanen, dalam-nya sebuah sumur, dan sebagainya. Data kuantitatif dapat diperoleh dari kantor statis-tik atau kantor pemerintah (kabupaten, kecamatan, kelurahan, dst.) atau dari penghi-tungan butir-butir tertentu yang ada dalam kuesioner (daftar pertanyaan) yang diedar-kan dalam suatu penelitian, atau dari pernyataan informan. Data kualitatif tidak berupa angka tetapi berupa pernyataan-pernyataan mengenai isi, sifat, ciri, keadaan, dari sesuatu atau gejala, atau pernyataan mengenai hubungan-hubungan antara sesuatu dengan sesuatu yang lain. Sesuatu ini bisa berupa benda-benda fisik, pola-pola perilaku, atau gagasan-gagasan, nilai-nilai, norma-norma, bisa pula peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam suatu masyarakat Skema 2. Data Kuantitatif dan Kualitatif |- luas (wilayah, kampung, sawah, dsb.) | |--- Kuantitatif -------- |- jumlah (penduduk, bangunan, koperasi, dsb.) | | | |- berat (hasil panen, badan, dsb.) | Data ---| | |- nilai, pandangan hidup, norma, aturan | |- kategori sosial-budaya | |- ceritera |--- Kualitatif -------- |- percakapan |- pola perilaku dan interaksi sosial |- organisasi sosial |- lingkungan fisik Dari berbagai penelitian sosial-budaya yang telah dilakukan, saya menemukan bah-wa data kualitatif ini biasanya mengenai antara lain: (1) nilai-nilai, norma-norma, atur-an-aturan; (2) kategori-kategori sosial dan budaya; (3) ceritera (4) percakapan; (5) po-la-pola perilaku dan interaksi sosial; (6) organisasi sosial; (7) lingkungan fisik.

25

Metode adalah cara, sedang penelitian adalah kegiatan mengumpulkan data. Jadi metode penelitian adalah cara-cara yang digunakan untuk mengumpulkan data, se-dang “metodologi penelitian” adalah ilmu tentang cara-cara mengumpulkan data, ter-masuk di dalamnya jenis-jenis data. Ada berbagai cara untuk mengumpulkan data da-lam suatu penelitian, dan cara mana yang akan digunakan tergantung pada jenis data yang diperlukan. Cara dan kegiatan untuk mengumpulkan data kualitatif tidak akan bisa sama dengan kegiatan mengumpulkan data kuantitatif. Atas dasar jenis data yang di-perlukan inilah muncul kemudian berbagai metode pengumpulan data. Berdasarkan atas jenis datanya metode penelitian ilmu sosial-budaya dengan sendi-rinya hanya dapat dibedakan menjadi (a) metode penelitian kuantitatif atau metode pe-ngumpulan data kuantitatif, dan (b) metode penelitian kualitatif atau metode pengum-pulan data kualitatif. Dalam masing-masing metode penelitian ini terdapat sejumlah metode penelitian lagi, yang penggunaannya biasanya didasarkan atas pertimbangan-pertimbangan praktis, yakni ketersediaan waktu, biaya dan tenaga. Dalam metode pengumpulan data kuantitatif, yang selanjutnya kita sebut metode penelitian kuantitatif, terdapat misalnya (a) metode kajian pustaka; (b) metode survei dan (c) metode angket. Dalam metode penelitian kualitatif terda-pat (a) metode kajian pustaka; (b) metode pengamatan; (c) metode pengamatan berpartisipasi (participant observation); (d) metode wawancara sambil lalu; (e) metode wawancara mendalam, dan (f) metode mendengarkan. g. Metode-metode Analisis (Methods of Analysis) - ( 7 ) Metode analisis data pada dasarnya adalah cara-cara untuk memilah-milah, menge-lompokkan data -kualitatif maupun kuantitatif- agar kemudian dapat ditetapkan relasi-relasi tertentu antara kategori data yang satu dengan data yang lain. Sebagaimana hal-nya metode penelitian, metode analisis kualitatif dan metode analisis kuantitatif harus diartikan sebagai metode menganalisis data kualitatif dan metode menganalisis data kuantitatif. Mengelompokkan data kuantitatif memerlukan siasat atau cara yang berbe-da dengan mengelompokkan data kualitatif, karena sifat dan ciri data tersebut memang berbeda. Metode analisis data kualitatif pada dasarnya sangat memerlukan kemampuan un-tuk menemukan persamaan-persamaan dan perbedaan di antara data kualitatif, dan ini hanya dapat dilakukan apabila konsep-konsep teoritis yang digunakan didefinisikan de-ngan baik. Persamaan dan perbedaan ini tidak begitu mudah ditemukan, namun bila-mana pada saat pengumpulannya data ini sudah dikelompokkan terlebih dahulu hal itu akan mempermudah analisis lebih lanjut. Berkenaan dengan metode analisis ini yang paling perlu diperhatikan adalah tujuan akhir dari suatu kerja analisis. Dengan memperhatikan secara seksama pertanyaan pe-nelitian yang kita kemukakan sebenarnya kita sudah dapat menentukan sejak awal me-tode analisis seperti apa yang akan lakukan atau kita perlukan. Meskipun ada berbagai macam jenis metode analisis, namun secara umum kita dapat mengatakan bahwa tuju-an akhir analisis adalah menetapkan hubungan-hubungan antara suatu variable/gejala /unsur tertentu dengan variable/gejala/unsur yang lain, dan menetapkan jenis hubung-an yang ada di situ. Setiap paradigma selalu mempunyai metode analisis tertentu, ka-rena metode analisis inilah yang kemudian akan menentukan corak hasil analisis atau

26

teorinya, sehingga teori yang muncul dalam sebuah paradigma tidak akan sama deng-an teori yang muncul dalam paradigma yang lain. h. Hasil Analisis / Teori (Results of Analysis / Theory) - (8) Apabila kita dapat melakukan analisis atas data yang tersedia dengan baik dan te-pat, maka tentu akan ada hasil dari analisis tersebut, yang dapat dikatakan sebagai “kesimpulan” kita. Hasil analisis ini harus menyatakan relasi-relasi antarvariabel, antar-unsur atau antargejala yang kita teliti. Jika hasil analisis kita tidak berhasil mencapai ini maka hal itu bisa berarti tiga hal. Pertama, data yang kita analisis mengandung bebera-pa kesalahan mendasar. Kedua, analisis kita salah arah. Ketiga, analisis kita masih ku-rang mendalam, dan ini mungkin juga disebabkan oleh kurangnya data yang kita miliki. Setelah kita menganalisis berbagai data yang telah kita peroleh dengan mengguna-kan metode-metode tertentu kita akan memperoleh suatu kesimpulan tertentu, suatu pendapat tertentu berkenaan dengan gejala yang dipelajari. Pendapat ini bisa berupa pernyataan-pernyataan yang menunjukkan relasi antara suatu variabel dengan variabel yang lain, atau pernyataan yang menunjukkan “hakekat” (the nature) atau ciri dan kea-daan dari gejala yang kita teliti. Hasil analisis yang berupa pernyataan-pernyataan ten-tang hakekat gejala yang diteliti atau hubungan antarvariabel atau antargejala yang di-teliti inilah yang kemudian biasa disebut sebagai teori. Dengan kata lain, teori adalah pernyataan mengenai hakekat sesuatu (gejala yang diteliti) atau mengenai hubungan antarvariabel atau antargejala yang diteliti, yang sudah terbukti kebenarannya. Kalau cakupan (scope) penelitian kita luas, data yang kita analisis berasal dari ba-nyak masyarakat dan kebudayaan, dan teori yang kita kemukakan dapat memberikan penjelasan yang berlaku umum, “universal”, melampaui batas-batas ruang dan waktu, maka biasanya dia akan disebut sebagai teori besar (grand theory). Kalau teori terse-but hanya kita tujukan untuk menjelaskan gejala-gejala tertentu yang agak umum, na-mun tidak cukup universal, maka dia lebih tepat disebut sebagai teori menengah (mid-dle-range theory) (Merton, 19 ) Bilamana teori yang kita sodorkan hanya berlaku untuk gejala-gejala yang kita teliti saja, yang terjadi hanya dalam masyarakat dan kebudaya-an yang kita teliti, maka dia lebih tepat disebut teori kecil (small theory). Di sini pernya-taan tentang hubungan antarvariabel tersebut lebih kecil atau lebih terbatas cakupan-nya. Jadi, setiap penelitian yang dilakukan dengan baik dan benar pada dasarnya pasti akan menghasilkan satu atau beberapa teori. Sebuah tesis master yang dihasilkan dari sebuah penelitian yang dikerjakan secara baik dan benar juga akan dapat menghasil-kan teori tertentu. Hanya mungkin di sini cakupan teori tersebut relatif kecil dibanding-kan dengan cakupan dari teori yang ada dalam sebuah disertasi misalnya. Jadi setiap penelitian yang baik pada dasarnya pasti akan dapat menghasilkan sebuah teori baru atau menguatkan teori tertentu yang sudah ada. Dalam ilmu sosial-budaya seperti antropologi budaya teori-teori yang dihasilkan ti-dak cukup jika hanya dipaparkan dalam bentuk kalimat-kalimat pendek yang menyata-kan relasi-relasi antarvariabel, sebagaimana halnya dalam ilmu ekonomi atau ilmu-il-mu alam. Untuk dapat meyakinkan publik yang lebih luas, teori-teori ini biasanya disaji-kan dalam satu kesatuan dengan deskripsi mengenai kebudayaan atau masyarakat yang diteliti, yakni dengan etnografinya.

27

i . Representasi (Etnografi) - (9) Representasi atau penyajian adalah karya ilmiah yang memaparkan kerangka pemi-kiran, analisis dan hasil analisis yang telah dilakukan, yang kemudian menghasilkan kesimpulan atau teori tertentu. Representasi ini bisa berupa skripsi (pada S-1), tesis (pada S-2), disertasi (pada S-3), laporan penelitian, makalah, artikel ilmiah (dalam jur-nal ilmiah), atau sebuah buku. Dalam antropologi, representasi ini biasa disebut etno-grafi. Dalam sejarah disebut historiografi. Dalam arkeologi ada yang menyebutnya se-bagai paleoetnografi. Representasi atau etnografi merupakan tulisan yang dihasilkan oleh seorang pene-liti setelah dia melakukan penelitian atas satu atau beberapa masalah dengan menggu-nakan paradigma tertentu. Oleh karena itu sebuah paradigma belum akan terlihat se-bagai sebuah paradigma sebelum ada etnografinya. Sebuah paradigma yang tidak me-miliki etnografi dengan corak tertentu belum dapat dikatakan sebagai paradigma yang utuh. 3. Skema Paradigma Urutan atau jenjang unsur-unsur paradigma di atas dapat digambarkan dengan ske-ma seperti berikut. Sumber : Ahimsa-Putra, 2008

Skema 3. Unsur-unsur Paradigma dalam Ilmu Sosial-Budaya etnografi hasil analisis (teori) metode analisis selalu eksplisit metode penelitian konsep-konsep

masalah yang ingin diteliti ---------------------------------------------------------------------------------------------------------------

model tidak selalu eksplisit asumsi dasar nilai-nilai

28

Skema di atas disusun dengan anggapan bahwa dalam sebuah paradigma unsur ‘asumsi dasar’ merupakan dasar dari unsur-unsur yang lain, dan sudah ada sebelum adanya unsur-unsur yang lain. Oleh karena itu, asumsi-asumsi dasar ditempatkan pa-ling bawah. Representasi merupakan unsur yang terakhir muncul dalam sebuah para-digma, sehingga unsur ini ditempatkan di atas. Asumsi-asumsi dasar dapat dikatakan sebagai unsur-unsur paradigma yang paling dasar, paling tersembunyi, paling implisit dan karena itu biasanya juga paling tidak di-sadari. Oleh karena itu berada ditempatkan di paling bawah. Demikian juga halnya ni-lai-nilai. Walaupun, nilai-nilai ini biasanya lebih disadari daripada asumsi dasar. Seo-rang ilmuwan yang baik akan selalu tahu dan sadar tentang nilai-nilai keilmuan yang harus diikuti dalam setiap kegiatan ilmiah. Ilmuwan atau peneliti umumnya cukup me-ngetahui nilai-nilai universal yang ada dalam kegiatan ilmiah. Model-model merupakan unsur paradigma yang sudah lebih jelas atau lebih kong-krit dibandingkan dengan asumsi-asumsi dasar, walaupun tingkat keabstrakan dan ke-implisitannya seringkali sama dengan asumsi dasar, namun unsur model ini juga lebih sederhana dibandingkan dengan elemen asumsi dasar. Sebuah model umumnya me-rupakan impilkasi lebih lanjut dari asumsi dasar yang dianut. Oleh karena itu, model di-tempatkan setelah asumsi dasar. Masalah-masalah ingin diteliti, yang dinyatakan dalam bentuk pertanyaan atau hipo-tesa, merupakan unsur yang harus eksplisit, sehingga unsur ini ditempatkan di atas ga-ris pemisah antara unsur-unsur yang (bisa) implisit dengan unsur-unsur yang harus eksplisit. Masalah-masalah penelitian juga merupakan implikasi dari asumsi dan model yang dianut, walaupun hal ini tidak selamanya disadari oleh para penliti. Konsep-konsep pokok juga merupakan unsur paradigma yang kongkrit, yang ekspli-sit karena dalam setiap penelitian makna konsep-konsep ini sudah harus dipaparkan dengan jelas. Seperti halnya masalah penelitian, konsep-konsep ini sudah bersifat eks-plisit dan disadari, diketahui, walaupun tidak selalu dimengerti dengan baik segala im-plikasi metodologisnya oleh para peneliti. Metode penelitian dan metode analisis merupakan tahap-tahap pewujudan dari asumsi-asumsi dasar, model dan konsep dalam sebuah kegiatan penelitian. Pelaksa-naan atau penerapan metode-metode ini didasarkan pada apa-apa yang ada dalam asumsi dasar, model dan konsep. Dengan kata lain metode-metode ini merupakan ta-hap pelaksanaan penelitian yang dibimbing oleh unsur-unsur paradigma yang sudah ada sebelumnya. Penelitian dengan menggunakan konsep-konsep tertentu akan me-merlukan metode yang berbeda dengan penelitian yang menggunakan konsep-konsep yang lain. Hasil analisis merupakan unsur yang muncul setelah dilakukannya analisis atas da-ta yang telah dikumpulkan dengan menggunakan metode-metode tertentu. Hasil anali-sis ini juga harus dinyatakan secara eksplisit, tegas dan jelas. Jika tidak tegas dan jelas maka penelitian yang telah dilakukan akan dinilai kurang berhasil, dan ini akan membu-at telaah atas paradigma yang telah digunakan semakin dipertajam. Representasi merupakan elemen terakhir dari sebuah paradigma, dan di sinilah se-buah paradigma akan dinilai keberhasilannya untuk menjawab persoalan-persoalan

29

tertentu. Sebagai hasil akhir, representasi ini sedikit banyak akan mencerminkan kese-luruhan elemen-elemen yang ada dalam sebuah paradigma. Oleh karena itu, dalam skema di atas, semua ujung panah akhirnya mengarah pada unsur representasi ini. Skema di atas akan menjadi terbalik, yakni unsur representasi berada di bawah, jika dikatakan bahwa unsur-unsur paradigma diturunkan dari asumsi-asumsi dasar. Skema yang terbalik ini disusun atas dasar tingkat keabstrakan dan keimplisitan dari unsur-un-sur paradigma. Semakin abstrak, implisit dan tidak disadari sebuah unsur, akan sema-kin tinggi tempatnya dalam skema di atas. Meskipun demikian, semuanya akan bera-khir pada representasi atau etnografi. 4. Paradigma Profetik dan Islam Dalam kaitannya dengan ilmu (sosial) profetik mas Kunto antara lain mengatakan bahwa basis dari ilmu tersebut adalah Islam. Pertanyaannya adalah: apa yang dimak-sud dengan Islam di sini? Oleh karena Islam dapat dimaknai dan dipahami berbagai macam, maka perlu ada rumusan minimal tentang apa yang dimaksud dengan Islam di sini. Untuk sementara, Islam di sini dimaknai sebagai keseluruhan perangkat simbol yang berbasis pada simbol-simbol yang bersumber pada kitab Al Qur’an dan sunnah Nabi Muhammad s.a.w. sebagai utusan Allah s.w.t. yang menjelaskan dan mewujud-kan berbagai hal -jika bukan semua hal yang ada- dalam Al Qur’an. a. Al Qur’an dan Sunnah Rasul Al Qur’an dan Sunnah Rasulullah dalam konteks ilmu (sosial-budaya) profetik me-rupakan basis utama dari keseluruhan basis ilmu tersebut. Oleh karena itu segala se-suatu yang ada dalam Al Quran dan sunnah Rasulullah harus diketahui dan dipahami dengan baik terlebih dulu, untuk dapat dijadikan landasan bagi keseluruhan bangunan ilmu pengetahuan (sosial-budaya) yang profetik. Tentu saja tidak semua unsur dalam Al Quran dan sunnah Rasulullah relevan deng-an pengembangan ilmu pengetahuan (sosial-budaya) profetik. Untuk itu, pengetahuan dan pemahaman tentang unsur-unsur yang relevan akan sangat membantu pengem-bangan ilmu pengetahuan tersebut. Di sini diperlukan pengetahuan dan pemahaman yang baik dan benar mengenai Al Quran dan sunnah Rasulullah serta pengetahuan dan pemahaman mengenai filsafat ilmu pengetahuan yang biasa. b. Rukun Iman Dalam Islam juga dikenal rukun iman, yakni hal-hal yang harus diyakini oleh seo-rang Muslim, yaitu (1) Iman kepada Allah, (2) kepada malaikat, (3) kepada Kitab-kitab, (4) kepada Rasul-rasul (para Nabi), (5) kepada Hari Kiamat, Hari Pengadilan dan (6) kepada Takdir. Rukun iman ini berada pada bidang keyakinan tentang agama. Agar re-levan dengan ilmu (sosial) profetik, maka Rukun Iman ini perlu ditransformasikan sede-mikian rupa sehingga sesuai dengan konteksnya, yakni konteks keilmuan. Bagaimana mentransformasikan enam iman tersebut?

30

Jika direnungkan lebih lanjut, “iman” tersebut tidak lain adalah “relasi”. Beriman ke-pada Allah berarti “membangun relasi dengan Allah”, dan relasi yang paling tepat ada-lah “pengabdian”, “kepadaMulah aku mengabdi”. Dalam konteks ilmu profetik, Allah di sini ditransformasikan menjadi Pengetahuan, karena Allah adalah Sumber Pengetahu-an. Beriman kepada Allah dalam konteks ilmu profetik adalah mengimani pengetahuan itu sendiri. Beriman kepada malaikat berarti “membangun relasi dengan malaikat”, dan relasi yang tepat adalah “persahabat-an”, karena malaikat adalah sahabat atau teman orang yang beriman. Beriman kepada Kitab adalah membangun relasi dengan kitab, dan relasi yang tepat adalah “pembacaan”, karena kitab adalah sesuatu yang dibaca. Beriman kepada Nabi adalah membangun relasi dengan Nabi, dan relasi yang tepat adalah “perguruan dan persahabatan”. Artinya, seorang Muslim memandang Nabi sebagai guru yang memberikan pengetahuan, sekaligus juga sahabat, sebagaimana hubungan yang terjadi antara Nabi Muhammad s.a.w. dengan para sahabatnya. Beriman kepada Hari Kiamat adalah membangun relasi dengan hari Kiamat, dan relasi yang tepat adalah “pencegahannya”, karena Kiamat dalam konteks ini dapat ditafsirkan sebagai “kehancuran”. Beriman kepada Takdir adalah membangun relasi dengan Tak-dir, dan relasi yang tepat adalah “penerimaannya”. Artinya seorang muslim meman-dang takdir sebagai sesuatu yang tidak dapat dihindarkan, dan karena itu relasi yang tepat adalah menerimanya. Takdir dalam konteks keilmuan dapat ditafsirkan sebagai “hukum alam”. Dalam konteks ilmu (sosial) profetik maka transformasi tersebut dapat digambarkan sebagai berikut : Manusia -------- pengabdian -------- Allah s.w.t. Ilmuwan -------- pengabdian -------- Ilmu pengetahuan

Manusia -------- persahabatan -------- Malaikat Ilmuwan -------- persahabatan -------- Kolega Manusia -------- pembacaan -------- Kitab Ilmuwan -------- pembacaan -------- Kitab Ilmiah Manusia -------- perguruan + persahabatan -------- Nabi Ilmuwan -------- perguruan + persahabatan -------- Tokoh Manusia -------- penundaan -------- Hari Kiamat Ilmuwan -------- penundaan -------- Akhir Manusia -------- penerimaan -------- Takdir Ilmuwan -------- penerimaan -------- Ilmu terbatas c. Rukun Islam Sebagaimana Rukun Iman, dalam konteks ilmu (sosial) profetik rukun Islam tentu-nya perlu ditransformasikan, dan yang ditransformasikan di sini bukan hanya keyakinan tetapi juga rituil adalah keyakinan, prinsip diikuti, dianut, dan hal-hal yang harus dijalankan oleh setiap orang Islam. Rukun Islam ada lima: (a) membaca kalimat syaha-dat; (b) mendirikan sholat; (c) menjalankan puasa; (d) mengeluarkan zakat; dan (e) naik haji.

31

Rukun Islam ini perlu ditransformasikan ke dalam praktek kehidupan ilmiah sehari-hari, sebagaimana halnya rukun Islam juga harus diwujudkan dalam kehidupan sehari-hari. Di sinilah rukun Islam akan menjadi wujud dari etos yang ada dalam ilmu (sosial) profetik, dan basis dari praktek kehidupan ilmiah ini adalah transformasi rukun iman yang pertama, yaitu pengabdian, karena pada dasarnya rukun Islam adalah perwujud-an dalam bentuk tindakan atau praktek, dari keimanan. IV. BASIS EPISTEMOLOGIS PARADIGMA PROFETIK Menurut kerangka paradigma di atas, basis epistemologis di sini tidak lain adalah komponen-komponen yang ada di bawah garis pemisah antara yang eksplisit dengan yang tidak eksplisit, yaitu komponen (1) asumsi dasar; (2) etos, nilai-nilai, dan (3) mo-del. Jadi, unsur-unsur yang umumnya bersifat implisit. Komponen asumsi dasar dari sebuah paradigma biasanya terdiri dari sejumlah asumsi dasar. Begitu pula komponen nilai-nilai. Komponen model biasanya hanya satu, tetapi hal ini tergantung pemaknaan kita terhadap model itu sendiri, karena seringkali model sangat mirip bahkan sama de-nag asumsi dasar. Jika seperti ini, maka model dalam sebuah paradigma biasanya ju-ga tidak hanya satu. Dari telaah saya atas berbagai paradigma dalam ilmu sosial-budaya saya menemu-kan bahwa unsur asumsi dasar terdiri dari beberapa asumsi dasar lagi. Asumsi-asumsi dasar ini antara lain adalah mengenai: (a) basis pengetahuan; (b) objek material; (c) gejala yang diteliti; (d) ilmu pengetahuan; (e) ilmu sosial-budaya/alam; (f) disiplin. Ber-kenaan dengan ilmu (sosial-budaya) profetik, isi dari asumsi-asumsi dasar ini sebagian sama dengan ilmu-ilmu di Barat pada umumnya, sebagian yang lain berbeda. Skema 4. Basis Epistemologis Ilmu Profetik |- indera |- kemampuan strukturasi dan simbolisasi |- Asumsi dasar tentang --------------|- bahasa | Basis Pengetahuan |- wahyu - ilham | |- sunnah Rasulullah s.a.w. | | |- asal-mula |- Asumsi dasar tentang ---------------|- sebab-sebab | Obyek Material |- hakekat | | |- asal - mula |- Asumsi dasar tentang --------------|- sebab-sebab | Gejala Yang Diteliti |- hakekat Basis --------| Epistemologis | |- tujuan |- Asumsi dasar tentang ---------------|- hakekat | Ilmu Pengetahuan |- macam | | |- tujuan |- Asumsi dasar tentang -------------|- hakekat | Ilmu Sosial/BudayaAlam/Profetik |- macam | | |- tujuan |- Asumsi dasar tentang --------------|- hakekat

32

Disiplin Profetik |- macam 1. Asumsi Dasar tentang Basis Pengetahuan Ilmu profetik memiliki asumsi-asumsi dasar tentang basis dari pengetahuan manu-sia. Asumsi-asumsi ini ada yang sama dengan asumsi-asumsi yang ada dalam ilmu pengetahuan empiris lainnya, ada pula yang tidak, sebab kalau basis pengetahuan ini semuanya sama, maka tidak akan ada bedanya antara ilmu profetik dengan ilmu-ilmu empiris lainnya. Berikut adalah basis yang memungkinkan manusia memiliki pengeta-huan, dan dengan pengetahuan tersebut manusia dapat melakukan transformasi-trans-formasi dalam kehidupannya. a. Indera Sulit diingkari bahwa basis pengetahuan manusia adalah indera (sense), karena segala sesuatu yang ada di sekeliling manusia baru dapat diketahui adanya le-wat indera ini. Menurut Aristotle pengetahuan manusia berasal dari panca indera (lima indera): penglihatan (vision), pendengaran (hearing), perabaan (touch), pengecapan (taste) dan penciuman (smell), sementara Lucretius membagi indera menjadi empat, karena menurutnya penglihatan (vision) adalah semacam perabaan (touch) (Ratoosh, 1973). Pemikir-pemikir yang lain memiliki pendapat yang berbeda lagi. Pandangan-pandangan mereka ini tampaknya tidak lagi memadai untuk menampung berbagai pe-ngalaman baru manusia, yang memberikan pengetahuan-pengetahuan baru. Pandangan yang modern mengenai indera kini tidak lagi didasarkan pada pandang-an dari Aristotle, tetapi pada perbedaan-perbedaan anatomi, sehingga muncul klasifika-si indera yakni (a) indera khusus (special senses); (b) indera kulit (skin senses); (c) indera dalam (deep senses) dan (d) indera jeroan (visceral senses) (Ratoosh, 1973). Termasuk dalam indera khusus adalah penglihatan, pendengaran, penciuman, penge-capan dan vestibular sense. Indera kulit mencakup antara lain perabaan, pedih di kulit, dan indera suhu (temperature sense). Indera dalam meliputi antara lain otot, rasa di pergelangan, pedih di dalam. Indera jeroan (visceral) menyampaikan informasi menge-nai apa yang terjadi pada organ tubuh di dalam. Mules, mual misalnya termasuk di sini. Dengan klasifikasi ini kita dapat memasukkan berbagai pengetahuan yang berasal ti-dak hanya dari pengalaman kita dengan apa yang ada di luar diri kita, tetapi juga yang berasal dari pengalaman-pengalaman atas apa yang terjadi dalam tubuh kita sendiri. Berkenaan dengan ilmu (sosial-budaya) profetik, saya belum dapat mengatakan apakah pandangan modern mengenai indera tersebut akan dapat mencakup pengeta-huan yang muncul dari kontak dengan dunia yang ghaib, yang tidak empiris, atau pe-ngetahuan yang muncul lewat “wahyu”. Namun, untuk sementara persoalan itu kita ke-sampingkan sebentar agar diskusi mengenai basis yang lain bisa berjalan. b. Kemampuan Strukturasi dan Simbolisasi (Akal) Pembicaraan mengenai basis pengetahuan manusia biasanya selalu menyebutkan “akal” atau “akal budi”. Manusia dapat memiliki pengetahuan karena dikaruniai akal. Akan tetapi konsep “akal” itu sendiri menurut hemat saya tidak begitu jelas maknanya.

33

Akal biasanya juga disamakan dengan pikiran. Apa kira-kira wujud akal dan pikiran ini? Tidak begitu jelas. Oleh karena itu, konsep tersebut perlu dijelaskan lagi. Akal atau pikiran, menurut pandangan saya, tidak lain adalah kemampuan tertentu yang terdapat dalam otak manusia. Kemampuan ini bersifat genetis, sehingga dapat di-wariskan secara biologis dari generasi ke generasi. Setiap manusia yang sehat atau normal memiliki kemampuan ini. Kemampuan apa ini? Pertama adalah kemampuan strukturasi (structuration), atau kemampuan untuk menstruktur, membuat atau memba-ngun suatu struktur atau susunan atas berbagai rangsangan yang berasal dari penga-laman-pengalaman inderawi. Kedua adalah kemampuan simbolisasi (simbolization) atau kemampuan untuk membangun suatu hubungan, suatu relasi, antara sesuatu de-ngan sesuatu yang lain, sehingga terbangun relasi simbolik antara sesuatu dengan se-suatu tersebut yang membuat sesuatu bisa menjadi pelambang (simbol) dan yang lain adalah linambangnya (makna). Dengan kemampuan strukturasinya manusia dapat menyusun berbagai unsur peng-alaman dan pengetahuan menjadi suatu bangunan dengan struktur tertentu, yang bia-sanya kita sebut sebagai sistem klasifikasi, sistem kategorisasi. Dengan kemampuan simbolisasinya manusia kemudian dapat memiliki perangkat komunikasi yang sangat efisien dan menjadi basis utama terbangunnya sistem pengetahuan dalam kehidupan manusia, yakni bahasa. c. Bahasa (Pengetahuan Kolektif) Bahasa sebagai basis pengetahuan manusia sa-ngat jarang dibahas. Mungkin karena bahasa dipandang sebagai sesuatu yang berada di luar diri manusia. Kealpaan untuk menempatkan bahasa sebagai salah satu basis pengetahuan manusia menurut saya telah membuat kita alpa memperhatikan berbagai fenomena sosial-budaya yang kehadirannya berbasis pada bahasa, seperti misalnya wacana, dialog. Menurut hemat saya bahasa merupakan salah satu basis pengetahuan manusia yang sangat penting, setelah basis “akal” di atas. Kemampuan strukturasi dan simboli-sasi yang terdapat dalam diri manusia merupakan basis kemampuan manusia untuk dapat berbahasa. Dalam kehidupan manusia, pengetahuan tidak hanya berasal dari pengalaman individu saja, tetapi juga berasal dari interaksi dan komunikasinya dengan individu-individu lain, dan komunikasi ini berlangsung melalui bahasa. Bahasa merupa-kan perangkat yang digunakan oleh manusia untuk menyampaikan apa-apa yang dira-sakan, dialami, kepada manusia yang lain. Bahasa merupakan sebuah khasanah pe-ngetahuan kolektif, pengetahuan sosial, yang menjadi sumber dan basis bagi pengeta-huan individual. Pengetahuan individual yang kita miliki sebagian besar merupakan pengetahuan ko-lektif, karena kita mengetahui berbagai hal pertama-tama melalui komunikasi dengan orang-orang lain di sekitar kita. Banyak pengetahuan tentang berbagai hal dalam kehi-dupan kita tidak berasal dari pengalaman kita secara langsung dengan hal-hal tersebut Kita mengetahui mengenai ular yang berbahaya bukan dari pengalaman langsung digi-git ular dan merasakan sakitnya, tetapi dari ceritera orang lain. Ilmu pengetahuan yang kita miliki sekarang merupakan hasil dari akumulasi pengalaman dan pengetahuan in-dividu-individu lain di masa yang lampau. Ilmu pengetahuan tersebut tersimpan dalam

34

bahasa. Oleh karena itu, bahasa dapat kita anggap sebagai salah satu basis dari pe-ngetahuan. Bahasa sebagai unsur pembentuk pengetahuan manusia juga sangat penting dalam hubungannya dengan basis yang lain dari pengetahuan ilmu (sosial-budaya) profetik, yaitu wahyu. Wahyu yang dalam Islam diyakini sebagai petunjuk, pengetahuan yang berasal dari Dzat Tertinggi, sampai kepada manusia melalui sarana bahasa, dalam bentuk sepotong atau sejumlah ayat atau kalimat yang berisi pesan-pesan tertentu. d. Wahyu - I lham Wahyu dalam pandangan mas Kunto -yang mengikuti pandangan Garaudy- merupa-kan komponen yang sangat menentukan dalam epistemologi ilmu (sosial-budaya) pro-fetik. Pengakuan terhadap wahyu sebagai salah satu sumber pengetahuan yang bisa lebih tinggi otoritasnya daripada pengetahuan inderawi manusia merupakan unsur pen-ting yang membedakan ilmu (sosial-budaya) profetik dengan ilmu (sosial-budaya) yang biasa. Dalam hal ini kita dapat mengikuti pandangan mas Kunto mengenai kedudukan pe-ngetahuan yang berasal dari wahyu dalam epistemologi Islam. “Menurut epistemologi Islam, unsur petunjuk transendental yang berupa wahyu juga menjadi sumber pengeta-huan yang penting. “Wahyu” menempati posisi sebagai salah satu pembentuk konstruk mengennai realitas, sebab wahyu diakui sebagai “ayat-ayat Tuhan” yang memberikan pedoman dalam pikiran dan tindakan seorang Muslim. Dalam konteks ini wahyu lalu menjadi unsur konstitutif di dalam paradigma Islam” begitu mas Kunto menjelaskan. Ada keuntungan yang dapat dipetik oleh ilmu (sosial-budaya) profetik dengan me-nempatkan wahyu sebagai salah satu sumber pengetahuan. Banyak hal-hal yang ada dalam wahyu merupakan paparan tentang apa yang terjadi di masa lampau yang tidak dapat lagi diketahui manusia, karena tidak ada jejak-jejaknya yang cukup jelas. Dengan adanya wahyu tersebut, berbagai hal yang terdapat di situ dapat menjadi petunjuk ke arah mana kegiatan keilmuan tertentu perlu diarahkan, seperti misalnya penelitian me-ngenai apa yang perlu dilakukan, yang hasilnya akan dapat mendatangkan manfaat optimal terhadap kehidupan manusia. Selanjutnya posisi wahyu sebagai sumber pengetahuan dalam ilmu (sosial-budaya) profetik adalah sama dengan pandangan mas Kunto, sebagaimana yang telah saya paparkan di depan. Walaupun itu semua sebenarnya masih belum cukup -karena saya merasa masih kurang rinci-, namun untuk sementara paparan mengenai wahyu seba-gai salah satu sumber pengetahuan saya cukupkan sampai di sini. e. Sunnah Rasulullah s.a.w. Mas Kunto tidak menyinggung tentang sunnah Rasulullah sebagai salah satu sum-ber pengetahuan. Saya memasukkannya, karena setahu saya dalam agama Islam, Al Qur’an tidak pernah dapat dipisahkan dari sunnah Rasulullah s.a.w. Ketika manusia di masa Rasulullah s.a.w. tidak dapat memahami dengan baik makna ayat-ayat yang tu-run, makna wahyu yang turun, mereka bertanya kepada Rasulullah s.a.w., karena me-lalui beliaulah wahyu tersebut turun. Pemahaman kita, tafsir kita mengenai berbagai ayat dalam Al Qur’an selalu awalnya bersumber dari penjelasan-penjelasan yang dibe-

35

rikan oleh Rasulullah s.a.w. atau perilaku dan tindakan beliau yang berdasarkan wah-yu-wahyu tersebut. Dalam Islam, Al Qur’an dan Sunnah Rasulullah s.a.w. adalah dua hal yang tidak da-pat dipisahkan, karena Rasulullah s.a.w. adalah “Al Qur’an yang berjalan”, Al Qur’an yang mewujud dalam bentuk ucapan, perilaku dan tindakan. Jika kita menempatkan wahyu sebagai salah satu sumber pengetahuan, maka penjelasan tentang wahyu ter-sebut oleh penerima wahyu itu sendiri tentu tidak dapat diabaikan. 2. Asumsi Dasar tentang Obyek Material Seperti halnya paradigma keilmuan yang lain, paradigma ilmu (sosial-budaya) profe-tik juga memiliki asumsi-asumsi tertentu berkenaan dengan obyek materialnya. Asum-si ini sebagian bisa sama, sebagian bisa berbeda. Asumsi-asumsi yang sejalan dengan asumsi ilmu pengetahuan biasa dapat kita ambil dari filsafat ilmu pengetahuan tersebut terutama filsafat positivisme, untuk ilmu alam profetik, sedang untuk ilmu sosial-budaya profetik asumsi-asumsi dasar tentang objek material ini dapat kita ambil dari berbagai paradigma yang berkembang dalam ilmu sosial-budaya biasa. Akan tetapi, mengambil dan menggunakan asumsi dasar dari paradigma-paradigma yang lain saja tentunya tidak cukup, karena hal itu akan membuat ilmu (sosial-budaya) profetik tidak ada bedanya dengan ilmu pengetahuan biasa. Jika kritik yang dilontarkan terhadap ilmu pengetahuan biasa adalah sifatnya yang sekuler, maka kelemahan inilah yang tidka boleh terulang dalam ilmu (sosial-budaya) profetik. Artinya, di sini harus di-lakukan desekularisasi, yang berarti memasukkan kembali unsur sakral, unsur keIlahi-an dalam ilmu (sosial-budaya) profetik. Bagaimana caranya? Salah satu caranya adalah dengan menempatkan kembali segala objek material il-mu (sosial-budaya) profetik dan ilmuwan profetik dalam hubungan dengan Sang Maha Pencipta, Allah s.w.t. atau Tuhan Yang Maha Kuasa. Di sini perlu diasumsikan bahwa meskipun alam dan kehidupan manusia adalah sebuah realitas yang ada, namun reali-tas ini tidak muncul dengan sendirinya. Realitas ini ada Penciptanya. Oleh karena itu, kita tidak dapat memperlakukan realitas tersebut seenak kita, terutama seyogyanya ki-ta tidak merusak realitas tersebut, kecuali kita memilki alasan-alasan yang dapat diteri-ma berdasarkan patokan etika dan estetika tertentu. Menempatkan kembali realitas obyektif yang diteliti atau dipelajari sebagai ciptaan Allah Yang Maha Pencipta adalah apa yang oleh mas Kunto -menurut tafsir saya- disebut sebagai proses transendensi. Kata mas Kunto, “Bagi umat Islam sendiri tentu transendensi berarti beriman kepada Allah s.w.t.” (107). 3. Asumsi Dasar tentang Gejala Yang Ditelit i Asumsi dasar tentang gejala yang diteliti kiranya tidak terlalu berbeda dengan asumsi dasar tentang obyek material. Jika obyek material ilmu sosial profetik adalah manusia yang merupakan ciptaan Allah s.w.t. maka gejala yang diteliti juga dapat di-pandang dengan demikian. Meskipun begitu, hal itu tidak berarti bahwa kita lantas tidak perlu mencari penjelasan tentang terjadinya atau munculnya gejala yang diteliti, karena hal itu juga tidak berlawanan dengan asumsi tersebut.

36

Dalam ilmu-ilmu alam profetik ilmuwan meyakini bahwa alam dengan keseluruhan isinya merupakan hasil kreasi Sang Maha Pencipta. Jika kita ingin mengetahui menge-nai hasil ciptaan ini tentunya kita akan dapat bertanya kepada Penciptanya. Akan tetapi tidak semua manusia dikaruniai kemampuan untuk melakukan komunikasi dengan Sang Pencipta, bahkan ketika komunikasi tersebut berhasil dibangun belum tentu pe-ngetahuan mengenai semua hal di dunia akan diperoleh. Oleh karena itu, para nabi pun bukan merupakan orang yang paling tahu mengenai semua hal yang ada di muka bumi, yang ada dalam ciptaan Sang Maha Pencipta. Kisah mengenai Nabi Musa a.s. dengan nabi Khidir merupakan contoh yang sangat jelas mengenai hal ini. Yang jelas, dalam ilmu (social) profetik proses transendensi harus selalu dilakukan, karena ini merupakan penanda penting dari ilmu tersebut. Tanpa transendensi ini maka ilmu (social) profetik tidak akan banyak berbeda dengan ilmu-ilmu (social) di Barat. Me-ngenai transendensi dari gejala yang diteliti, para ilmuwan Muslim dapat mengembang-kan lebih lanjut pemikiran ini, karena saya belum mempunyai kesempatan untuk mere-nungkan hal ini lebih mendalam. 4. Asumsi Dasar tentang Ilmu Pengetahuan Asumsi tentang ilmu profetik ini pada dasarnya mencakup sebagian yang telah saya paparkan di sini. Akan tetapi lebih khusus lagi, asumsi ini adalah pandangan mengenai hakekat dari ilmu pengetahuan itu sendiri. Dalam filsafat ilmu di Barat, dikenal adanya dua pandangan yang berlawanan mengenai ilmu pengetahuan, yang masih terus diu-sahakan pendamaiannya. Pandangan pertama mengatakan bahwa ilmu pengetahuan itu adalah satu, sehingga tidak ada yang namanya ilmu pengetahuan alam (natural sci-ences) dan ilmu pengetahuan sosial-humaniora (budaya). Menurut pendapat ini meski-pun ada perbedaan pada obyek material antara ilmu pengetahuan dan ilmu-ilmu social-budaya, namun ilmu pengetahuan tidak perlu dibagi menjadi dua hanya karena objek materialnya berbeda. Pandangan ke dua mengatakan bahwa ilmu pengetahuan ada dua macam, yaitu ilmu-ilmu alam dan ilmu-ilmu sosial-budaya, karena obyek material masing-masing me-mang berbeda. Menurut pendapat ini, hakekat gejala social-budaya yang diteliti oleh ilmu-ilmu sosial-budaya berbeda dengan hakekat gejala-gejala yang dipelajari dalam il-mu alam. Oleh karena itu, ilmu-ilmu sosial-budaya tidak sama dengan ilmu-ilmu alam, karena dalam ilmu-ilmu sosial-budaya diperlukan metode-metode tertentu untuk mem-pelajari dan memahami gejala social-budaya yang berbeda dengan gejala alam. Ilmu-ilmu profetik dengan sendirinya memiliki pandangan yang berbeda juga deng-an pandangan-pandangan di atas. Pencanangan ilmu profetik sebagai ilmu yang ber-beda dengan ilm-ilmu yang lain menunjukkan adanya asumsi bahwa ilmu profetik ber-beda dengan ilmu-ilmu yang telah ada, yakni ilmu alam dan ilmu social-budaya. Dalam ilmu profetik gejala yang dipelajari ada yang berbeda dengan gejala yang dipelajari oleh ilmu-ilmu yang lain, yakni wahyu, dan ada perspektif (obyek formal) yang berbeda, yakni wahyu juga. Elemen wahyu inilah yang membedakan ilmu-ilmu profetik dengan il-mu-ilmu yang lain. Mengenai hal ini diperlukan paparan yang lebih mendalam, yang ti-dak akan saya lakukan di sini. 5. Asumsi Dasar tentang Ilmu Sosial dan/atau Alam Profetik

37

Selain memiliki persamaan-persamaan, ilmu alam maupun ilmu sosial-budaya pro-fetik juga memiliki perbedaan-perbedaan pada asumsinya, sehingga ada perbedaan antara ilmu social-budaya profetik dengan ilmu alam profetik. Asumsi-asumsi ini seba-gian besar berasal dari ilmu-ilmu alam dan ilmu-ilmu sosial-budaya yang sudah ada, sebagian lagi tidak. Asumsi-asumsi yang menjadi landasan ilmu-ilmu social-budaya profetik sebagian berasal dari ilmu-ilmu sosial-budaya biasa, untuk membedakannya dengan ilmu-ilmu alam, dan sebagian lagi berasal dari ilmu profetik, untuk membedakannya dengan ilmu-ilmu social-budaya yang tidak profetik. 6. Asumsi Dasar tentang Disiplin Profetik Yang dimaksud dengan disiplin di sini adalah cabang ilmu pengetahuan. Disiplin profetik adalah cabang ilmu pengetahuan tertentu dalam ilmu pengetahuan empiris bia-sa, tetapi ditambah dengan ciri profetik. Disiplin profetik ini tentu saja merupakan disi-plin yang berbeda, walaupun masih ada persamaan dengan disiplin ilmu pengetahuan biasa. Disiplin profetik ini dapat kita bangun dari disiplin ilmu biasa, sehingga kita dapat memiliki ilmu kedokteran profetik, ilmu kehutanan profetik, ilmu teknik profetik, ilmu far-masi profetik, sosiologi profetik, ilmu hokum profetik, psikologi profetik, antropologi pro-fetik, dan seterusnya. Asumsi-asumsi dasar disiplin profetik ini tentu saja sebagian akan sama dengan asumsi dasar disiplin ilmu pengetahuan yang ada, tetapi sebagian yang lain tentu akan berbeda. Oleh karena masing-masing disiplin memiliki ciri khasnya sendiri-sendiri, ma-ka ekspresi ciri profetik ini juga berbeda-beda dalam masing-masing disiplin, tetapi di situ tetap ada keprofetikan yang diturunkan dari sesuatu keprofetikan yang umum. Se-bagai contoh, paradigma kedokteran profetik misalnya, sebagian asumsi dasarnya akan berasal dari ilmu kedokteran pada umumnya, ilmu kedokteran empiris, tetapi se-bagian lagi berasal dari asumsi dasar yang ada dalam ilmu profetik, yang tidak terda-pat dalam ilmu kedokteran empiris. V. ETOS PARADIGMA PROFETIK Yang dimaksud dengan etos di sini adalah perangkat nilai atau nilai-nilai yang men- dasari perilaku suatu golongan atau kelompok manusia. Sebagian paradigma dalam ilmu pengetahuan biasa memiliki perangkat nilai atau etos yang berlainan dengan pe-rangkat nilai paradigma yang lain. Perangkat nilai paradigma ilmu pengetahuan yang transformatif, yang ditujukan untuk menghasilkan perubahan dalam kehidupan kema-syarakatan dan kebudayaan, berbeda dengan perangkat nilai ilmu pengetahuan yang lebih akademis, yang ditujukan terutama untuk memahami dan menjelaskan berbagai gejala dalam kehidupan manusia, walaupun sebagian juga ada yang ditujukan untuk transformasi sosial-budaya. Skema 5. Etos Ilmu Profetik |- untuk Allah s.w.t. |- untuk Ilmu |-- Etos -------------------|- untuk diri-sendiri | Kerja Keabdian |- untuk sesama | |- untuk alam semesta

38

| | |- pengembangan unsur |-- Etos -------------------|- | Kerja Keilmuan |- pengembangan paradigma Basis Etos -------- Penghayatan ---| Ilmu Profetik | |- kejujuran |-- Etos --------------------|- ketelitian / keseksamaan | Kerja Kemanusiaan |- kekritisan | |- penghargaan | | |- perlindungan |-- Etos --------------------|- pemeliharaan Kerja Kesemestaan |- pengembangan |- pemanfaatan 1. Basis Semua Etos : Penghayatan Sebagaimana telah saya katakan, unsur yang sangat membedakan antara ilmu (so-sial-budaya) profetik dengan yang bukan adalah pada unsur transendensinya. Unsur transendensi ini dalam kehidupan ilmiah diwujudkan dalam bentuk penghayatan. Yang dimaksud dengan penghayatan di sini adalah pelibatan pikiran dan perasaan seseo- rang pada sesuatu yang diyakininya atau disukainya. Kalau dalam beragama pengha-yatan tersebut diwujudkan dalam peribadatan, dalam dunia keilmuan (sosial-budaya) hal tersebut diwujudkan dalam kegiatan keilmuan sehari-hari. Penghayatan aktivitas keilmuan ini merupakan hal yang tidak mudah dilakukan, ter-utama apabila tujuan dari aktivitas tidak sangat sejalan dengan tujuan dari ilmu penge-tahuan itu sendiri. Paradigma ilmu profetik menekankan pada penghayatan, karena ak-tivitas keilmuan di sini tidak lagi hanya sekedar untuk mencapai tujuan-tujuan pribadi dan material, tetapi lebih dari itu. Aktivitas ini merupakan ekspresi atau perwujudan dari etos dasar dalam paradigma profetik, yakni pengabdian. 2. Etos : Pengabdian Hal yang sangat penting berkenaan dengan ilmu (sosial-budaya) profetik adalah pe-rangkat nilai yang ada dalam ilmu ini. Saya berpendapat bahwa nilai-nilai ini mempu-nyai nilai inti, yang menjadi dasar bagi nilai-nilai yang lain. Dalam hal ini saya berpen-dapat bahwa etos kerja utama dari ilmu ini adalah ”beribadah”, yang dalam hal ini saya tafsirkan sebagai ”pengabdian”, penghambaan. Penghambaan ini tentu ada tingkatan-nya dan jenisnya. Penghambaan atau pengabdian ini dalam Islam berupa rukun Islam. Dalam dunia keilmuan (sosial-budaya) profetik etos pengabdian ini ditransformasikan menjadi pengabdian pada lima hal, yakni pada (a) Allah; (b) Pengetahuan; (c) diri-sen-diri; (d) sesama dan (e) alam. a. Pengabdian kepada Allah s.w.t. Pengabdian kepada Allah dalam aktivitas keilmuan adalah meniatkan semua aktivi-tas keilmuan sehari-hari untuk Allah s.w.t semata, dalam rangka memuliakan Allah

39

s.w.t., dalam rangka mewujudkan segala perintah-perintahnya dan mengikuti segala la-rangannya. Ini merupakan transformasi rukun Islam yang pertama, yaitu membaca kali-mat syahadat. Pengakuan atas Allah s.w.t. sebagai satu-satunya Tuhan yang layak di-sembah, tempat mengabdi, dan pengakuan atas kerasulan Muhammad s.a.w, bahwa Muhammad s.a.w. adalah utusan Allah s.w.t. b. Untuk Pengetahuan (Ilmu) Pengabdian untuk ilmu dalam aktiivtas keilmuan ada-lah meniatkan aktivitas keilmu-an sehari-hari untuk mengembangkan ilmu pengetahuan, untuk menambah ilmu pe-ngetahuan, memperluas wawasan keilmuan. Akan tetapi pengembangan ilmu pengeta-huan ini tetap harus ditempatkan sebagai bagian atau unsur dari aktivitas untuk meng-abdi kepada Allah s.w.t. itu sendiri. Di sini ilmuwan melakukan aktivitas keilmuan deng-an niat untuk mengabdi atau sebagai perwujudan dari niat untuk mengabdi kepada Allah s.w.t. Pengabdian untuk ilmu merupakan transformasi dari rukun Islam kedua, yakni sho-lat. Dalam sholat seseorang melakukan konsentrasi untuk berdialog dengan Tuhannya. Ini seperti sebuah proses perenungan dalam aktivitas keilmuan. Sholat adalah sebuah aktivitas ibadah yang penuh perenungan, yang akan membuat pemahaman seseorang tentang diri, kehidupan dan Tuhannya akan semakin bertambah. c. Untuk Diri Sendiri Selanjutnya aktivitas keilmuan juga dilakukan dalam rangka untuk keberlangsungan hidup diri-sendiri. Di sini aktivitas keilmuan adalah juga merupakan satu bentuk atau wujud dari matapencaharian, yang penting untuk keberlangsungan hidup diri-sendiri. Aktivitas keilmuan di sini merupakan transformasi dari rukun Islam puasa. Puasa ada-lah sebuah ibadah yang paling tersembunyi, yang dapat ditafsirkan sebagai sebuah ibadah yang sangat pribadi. Aktivitas keilmuan juga merupakan aktivitas yang bisa dila-kukan secara sendirian, sebagaimana halnya ketika seseorang merenungkan masalah-masalah keilmuan tertentu. d. Untuk Sesama Aktivitas keilmuan juga bisa bersifat sosial, yang mempunyai dampak terhadap kehi-dupan sesama manusia. Ini merupakan transformasi dari rukun Islam mengeluarkan zakat, yang juga berdampak pada kehidupan manusia lain. Zakat adalah kegiatan iba-dah yang bersifat menguntungkan orang lain secara material, sedang untuk diri sendiri bersifat spiritual. Transformasi zakat ini dalam kehidupan ilmiah adalah pengajaran atau pemberian ilmu, yang kemudian akan menguntungkan orang lain yang diberi ilmu. Dalam konteks keilmuan profetik seorang ilmuwan yang memberikan bimbingan, mengajar, ceramah, memberikan pelatihan, yang sifatnya cuma-cuma atau tidak mena-rik pembayaran dari orang yang diberi pengetahuan, dapat dikatakan sedang melaku-kan kegiatan memberikan zakat, karena di sini penerima zakat -yaitu orang yang me-nerima pengetahuan- tidak perlu memberi imbalan kepada orang yang memberinya il-mu. Kegiatan seperti ini tentunya memberikan manfaat kepada sesama manusia, kare-

40

na mereka yang mendapat pengetahuan kemudian menjadi orang yang tahu, yang de-ngan pengetahuan tersebut dia akan dapat melakukan sesuatu yang berguna. e. Untuk Alam Aktivitas keilmuan juga mempunyai dampak terhadap kehidupan yang lebih luas la-gi, yakni alam di sekeliling manusia. Aktivitas keilmuan yang seperti ini merupakan akti-vitas keilmuan dengan dampak yang paling luas. Ini merupakan transformasi dari rukun Islam naik haji, yang memang memiliki dampak sosial-budaya yang paling luas. 3. Etos Kerja Keilmuan Selain etos pengabdian, paradigma profetik tentunya juga mengenal etos kerja keil-muan, yakni semangat untuk melakukan sesuatu yang akan bemanfaat bagi ilmu pe-ngetahuan itu sendiri. Oleh karena inti dari ilmu pengetahuan adalah paradigma dan sebuha paradigma selalu terdiri dari berbagai unsur, maka aktivitas yang dapat dilaku-kan untuk mendatangkan manfaat bagi ilmu pengetahuan tersebut tidak lain adalah mengembangkan unsur-unsur paradigma yang sudah ada dan mengembangkan para-digma-paradigma baru. a. Pengembangan Unsur Paradigma Pengembangan unsur paradigma di sini dapat dilakukan melalui dua hal, yakni (a) menambahkan sub-sub-unsur baru atau konsep-konsep baru dalam unsur paradigma yang ada, atau (b) menambahkan pemaknaan-pemaknaan baru terhadap konsep-kon-sep yang sudah ada. Jika dua hal ini dilakukan dengan baik, bukan tidak mungkin akan dapat dilakukan pengembangan paradigma baru. b. Pengembangan Paradigma Baru Semangat mendatangkan manfaat bagi ilmu pengetahuan juga dapat berupa pe-ngembangan paradigma baru, yang berarti membangun sebuah cara berfikir baru. Da-lam hal ini unsur-unsur paradigmanya tetap sama, tetapi isi dari unsur-unsur tersebut berbeda. Melalui pengembangan paradigma baru ini seorang ilmuwan profetik dapat memberikan sumbangan yang maksimal terhadap kehidupan manusia dan perkemba-ngan ilmu pengetahuan. 4. Etos Kerja Kemanusiaan Dalam pandangan paradigma profetik, aktivitas ilmiah seorang ilmuwan pada dasar-nya juga merupakan aktivitas kemanusiaan. Seorang ilmuwan profetik juga perlu pedu-li terhadap kemanusiaan. Berdasarkan atas kedekatannya, kemanusiaan ini tentu saja berjenjang. Dalam konteks keilmuan, maka mereka yang paling dekat dengan seorang ilmuwan adalah sesama ilmuwan. Inilah lingkungan sosial yang utama. Terhadap me-reka ini, terhadap sesama kolega paradigma profetik juga memiliki etos kerja tertentu, yang disebut etos kerja kemanusiaan. Etos kerja kemanusiaan ini paling tidak ada em-pat, yaitu (a) kejujuran; (b) keseksamaan/ketelitian; (c) kekritisan dan penghargaan. a. Kejujuran

41

Seorang ilmuwan profetik harus selalu jujur, baik terhadap diri-sendiri maupun ter-hadap orang lain. Dalam konteks keilmuan profetik, kejujuran ini bisa berkaitan dengan pengajaran (dalam konteks ajar-mengajar), berkaitan dengan penelitian, berkaitan de-ngan hasil penelitian, berkenaan dengan kerjasama sesama peneliti, dan sebagainya. b. Keseksamaan / Ketelitian Seorang ilmuwan profetik juga perlu menganut nilai keseksamaan atau ketelitian. Artinya, dalam berbagai kegiatan keilmuan (pengajaran, penelitian, pengabdian masya-rakat) seorang ilmuwan profetik harus selalu teliti, cermat dan berhati-hati. c. Kekritisan Seorang ilmuwan profetik juga harus selalu kritis. Artinya, berusaha sedapat mung-kin melihat kelemahan-kelemahan tetapi sekaligus juga kelebihan-kelebihan pada apa yang telah dilakukan dan dihasilkan oleh ilmuwan lain. Kekritisan ini harus dilandaskan pada semangat kejujuran dan demi kebaikan bersama, atau demi melakukan yang le-bih baik dan mencapai hasil yang lebih baik lagi. d. Penghargaan Seorang ilmuwan profetik juga harus selalu dapat menghargai kerja dan karya orang lain, ilmuwan lain, dan penghargaan ini disampaikan secara terang-terangan, baik lisan maupun tertulis. Dengan adanya saling menghargai kerja, karya dan pandangan ilmu-wan lain, maka kerjasama di kalangan ilmuwan profetik akan dapat berjalan dengan baik pula. VI. MODEL PARADIGMA PROFETIK Unsur paradigma setelah asumsi-asumsi dasar dan etos adalah model. Model atau analogi di sini tentu saja diambil dari ranah keagamaan, agama Islam. Ada banyak mo-del dalam ranah tersebut yang dapat dipakai untuk melakukan kajian keilmuan, namun sehubungan dengan bangunan paradigma di sini, model yang dapat dipakai untuk se-mentara ini adalah rukun iman dan rukun Islam, karena dua rukun inilah yang menda-sari kehidupan keagamaan dalam agama Islam. Jika kita umpamakan kehidupan keilmuan profetik adalah seperti kehidupan keaga-maan Islam, maka di situ perlu ada dua rukun tersebut. Akan tetapi oleh karena ranah-nya berbeda, maka model tersebut perlu ditransformasikan agar dapat sesuai dengan konteks ranahnya. 1. Model (Struktur) Rukun Iman dan Transformasinya Rukun iman dalam agama Islam terdiri dari iman kepada Allah, kepada malaikat, kepada kitab, kepada nabi, kepada hari kiamat dan kepada takdir. Iman yang pertama adalah iman kepada Allah s.w.t. ”Beriman” di sini dapat dimaknai sebagai membangun relasi dengan yang diimani. Relasi antara manusia dengan Allah s.w.t. adalah relasi antara seorang hamba dengan Penciptanya. Hamba di sini harus mengabdikan diri ke-pada sang Pencipta.

42

Dalam konteks keagamaan Allah juga dapat diyakini sebagai sumber pengetahuan, sehingga dalam konteks keilmuan profetik pengabdian seorang ilmuwan adalah kepa-da ilmu pengetahuan. Tentu konsep pengabdian di sini tidak sama persis maknanya dengan pengabdian dalam konteks kehidupan beragama, karena ilmu bukanlah sebu-ah konsep sebagaimana halnya Allah s.w.t. Pengabdian di sini perlu sebaiknya dimak-nai sebagai ketekunan seorang ilmuwan menjalankan tugas-tugasnya sebagai seorang ilmuwan. Pengabdian di sini lebih merupakan sebuah metafor, yang berbeda makna-nya dengan pengabdian dalam pengabdian kepada Allah s.w.t. Transformasi yang pertama dari rukun iman adalah sebagai berikut Manusia -------- pengabdian -------- Allah s.w.t. Ilmuwan -------- pengabdian -------- Ilmu pengetahuan Rukun iman yang kedua adalah beriman kepada malaikat. Dalam ranah kehidupan agama, malaikat dikatakan sebagai sahabat orang beriman. Dalam konteks kehidupan ilmuwan profetik malaikat ini dapat ditafsirkan sebagai sesama ilmuwan, dan hubungan yang ada di antara mereka haruslah hubungan persahabatan, bukan hubungan persa-ingan, apalagi permusuhan. Transformasi rukun iman kedua dalam konteks ilmu profe-tik adalah : Manusia -------- persahabatan -------- Malaikat Ilmuwan -------- persahabatan -------- Kolega Rukun iman yang ketiga adalah beriman kepada Kitab-kitab yang diturunkan oleh Allah s.w.t. kepada manusia melalui para nabinya. Dalam kehidupan ilmuwan profetik kitab ini tidak lain adalah kitab-kitab juga, tetapi kitab-kitab keilmuan, serta berbagai tu-lisan ilmiah, yang harus mereka baca dalam upaya pengembangan ilmu pengetahuan, dan merupakan bentuk dari pengabdian mereka kepada ilmu pengetahuan. Transformasi rukun iman ketiga pada konteks ilmu profetik adalah : Manusia -------- pembacaan -------- Kitab Ilmuwan -------- pembacaan -------- Kitab Ilmiah Rukun iman yang keempat adalah beriman kepada para nabi yang diutus oleh Allah s.w.t. Bagi orang beriman para nabi ini adalah guru, tetapi juga sahabat. Dalam kon-teks keilmuan profetik para nabi dapat ditafsirkan sebagai para ilmuwan terkenal, yang selain sahabat para ilmuwan, mereka ini juga merupakan tokoh-tokoh yang banyak dii-kuti pemikiran-pemikirannya. Transformasi rukun iman keempat dalam konteks ilmu profetik adalah: Manusia -------- perguruan + persahabatan -------- Nabi Ilmuwan -------- perguruan + persahabatan -------- Tokoh Rukun iman kelima adalah beriman kepada hari kiamat. Hari kiamat dapat ditafsirk-kan berbagai macam. Salah satu tafsir yang dapat diberikan adalah bahwa hari kiamat merupakan hari akhir dari sesuatu. Hari kiamat tidak ada yang mengetahui kapan tiba-nya, tetapi diketahui tanda-tandanya. Di sini terkandung makna bahwa manusia dapat

43

mengetahui kapan sesuatu akan berakhir, dan kemudian berusaha menundanya, bu-kan meniadakannya. Dalam konteks keilmuan profetik, hari kiamat dapat ditafsirkan se-bagai akhir dari sesuatu, apakah itu suatu gejala tertentu, teori tertentu, ajaran tertentu, dan sebagainya. Sehubungan dengan itu ilmuwan profetik dapat melakukan langkah-langkah atau upaya untuk menunda tibanya saat akhir tersebut. Jika berhubungan de-ngan teori, penundaan tersebut adalah upaya-upaya ntuk memperbaiki teori tersebut; jika berhubungan dengan suatu masyarakat penundaan tersebut adalah dengan mela-kukan perbaikan-perbaikan atas masyarakat tersebut. Transformasi rukun iman kelima dalam konteks ilmu profetik adalah : Manusia -------- penundaan -------- Hari Kiamat Ilmuwan -------- penundaan -------- Akhir Rukun iman keenam adalah iman kepada takdir. Takdir merupakan suatu hal yang diluar kemampuan manusia untuk memahaminya. Dalam konteks keilmuan profetik hal ini sebuah pengakuan bahwa suatu cabang ilmu pengetahuan, atau suatu paradigma tidak akan dapat menyelesaikan masalah. Dari salah satu prinsip penting dalam filsafat positif tentang ilmu pengetahuan, pengakuan bahwa kemampuan dan pengetahuan manusia terbatas sifatnya, merupakan salah satunya. Pengakuan ini sekaligus menun-jukkan bahwa ilmu pengetahuan mengakui keterbatasan manusia untuk mengerti dan memahami semua hal. Transformasi rukun keenam dalam konteks ilmu profetik adalah : Manusia -------- penerimaan -------- Takdir Ilmuwan -------- penerimaan -------- Ilmu terbatas 2. Model (Struktur) Rukun Islam dan Transformasinya Seperti halnya rukun iman, rukun Islam sebagai basis dari kehidupan beragama ju-ga perlu ditransformasikan dalam konteks kehidupan dan aktivitas keilmuan profetik. Rukun Islam terdiri dari lima jenis rituil atau tindakan keagamaan yaitu; (1) membaca dua kalimat syhadat; (2) mengerjakan sholat lima kali sehari dalam waktu yang telah di-tentukan; (3) mengerjakan puasa dalam bulan Ramadhan; (4) mengeluarkan zakat; (5) mengerjakan ibadah haji, jika mampu. Masing-masing rukun ini perlu ditransformasikan dalam kehidupan keilmuan profetik. Kalau dalam kehidupan beragama rukun yang pertama, -membaca kalimat syaha-dat-, seorang yang beriman menyatakan secara eksplisit pengakuannya atas Allah se-bagai satu-satunya Dzat Yang Patut Disembah, dan Muhammad adalah utusanNya, maka dalam kehidupan keilmuan profetik syahadat ini ditransformasikan pada keyakin-an tentang ilmu, tentang pengetahuan, dan manfaatnya, dan bahwa Allah adalah sum-ber pengetahuan, dan Allah telah menurunkan wahyu. Syahadat keilmuan di sini ada-lah pengakuan bahwa wahyu adalah juga sumber pengetahuan, yang lebih tinggi kuali-tasnya daripada pengetahuan yang manapun, karena wahyu datang langsung dari sumber pengetahuan itu sendiri, pemilik pengetahuan itu sendiri, yaitu Allah s.w.t. Rukun Islam kedua adalah menjalankan sholat. Dalam sholat seseorang merenung, mengingat Allah s.w.t. Dalam kehidupan keilmuan profetik, transformasi rukun ini beru-

44

pa kontemplasi keilmuan. Merenungkan tentang masalah-masalah yang sedang diteliti mencoba mencari jawabnya secara serius. Dari kegiatan ini seorang ilmuwan akan mendapat inspirasi. Rukun Islam ketiga adalah mengerjakan puasa. Puasa dikerjakan selama satu bu-lan dan selama puasa itu seorang Muslim juga dianjurkan untuk banyak merenung, ba-nyak membaca kitab, di samping melakukan kegiatan yang lain. Transformasi dari ke-giatan puasa, yang berarti juga menahan diri dari melakukan kegiatan-kegiatan yang tidak bermanfaat, dalam konteks keilmuan adalah penelitian. Selama melakukan pene-litian, seorang ilmuwan seolah-olah sedang bertapa, berpuasa, menahan diri dari mela-kukan hal-hal yang biasa dilakukan. Dari kegiatan penelitian ini seorang ilmuwan akan memperoleh temuan-temuan ilmiah dan melakukan pengembangan ilmu pengetahuan. Rukun Islam yang keempat adalah mengeluarkan zakat, yang berarti memberikan kepada orang lain sebagian dari harta yang dimiliki. Dalam konteks keilmuan profetik, harta yang dimiliki oleh seorang ilmuwan adalah pengetahuan, ilmu pengetahuan. Za-kat dalam konteks tersebut adalah memberikan pengetahuan kepada orang lain, yaitu mengajar, memberikan ceramah-ceramah, memberikan pelatihan, dan sebagainya. Rukun Islam yang kelima adalah menjalankan ibadah haji ke Mekkah. Di sini seo-rang Muslim melakukan perjalanan selama beberapa hari, melakukan ibadah haji sela-ma beberapa hari, dan bertemu dengan ratusan, ribuan Muslim yang lain. Arena haji adalah sebuah arena pertemuan Muslim seluruh dunia, dan dari pertemuan ini bisa ter-jadi saling tukar pendapat, tukar pengalaman, tukar pengetahuan. Dalam konteks keil-muan profetik, transformasi ibadah naik haji adalah pertemuan-pertemuan internasional selama beberapa hari di mana terjadi tukar pendapat, tukar pandangan, yang semakin meningkatkan kualitas keilmuan seseorang, sebagaimana halnya ibadah naik haji yang meningkatkan kualitas keagamaan seorang Muslim. Transformasi lima rukun Islam dalam konteks keilmuan profetik di atas dapat digam-barkan sebagai berikut. Syahadat : Sholat : Puasa : Zakat : Haji || || || || || Syahadat Perenungan Penelitian Pengajaran Pertemuan Keilmuan | | | | | Wahyuisme Inspirasi Temuan Penyebaran Pertemuan (Revelationism) Rasionalisme Empirisisme VII. IMPLIKASI EPISTEMOLOGI PROFETIK Basis epistemologis yang saya paparkan di atas tentu punya implikasi terhadap un-sur-unsur lain dalam paradigma profetik, yang secara logika muncul setelah unsur-un-sur di atas, yaitu unsur (a) masalah yang ingin dan perlu diteliti oleh ilmu (sosial-buda-ya) profetik; (b) perangkat konseptual yang digunakan serta definisinya; (c) metode pe-nelitiannya; (d) metode analisisnya (e) teori-teori yang dihasilkan dan (f) representasi yang digunakan, yang disajikan oleh ilmu (sosial-budaya) profetik.

45

Skema 6. Implikasi Epistemologi Profetik |- Implikasi Permasalahan | |- Implikasi Konseptual | |- Implikasi Metodologis Penelitian Implikasi ---------------| Epistemologi Profetik |- Implikasi Metodologis Analisis | |- Implikasi Teoritis | |- Implikasi Representasional (Etnografis) Jalur implikasi logis ini tidak sederhana, karena ada yang bersifat langsung ada pula yang tidak. Unsur etos, nilai-nilai, misalnya bisa secara langsung berimplikasi atau tu-rut menentukan metode dan siasat penelitian yang digunakan, ataupun representasi yang disajikan oleh peneliti. Demikian pula halnya implikasi dari asumsi bahwa wahyu merupakan salah satu sumber pengetahuan. Ada banyak implikasi yang muncul dari asumsi dasar ini, mulai dari implikasi permasalahan sampai ke implikasi representasi. Implikasi dari asumsi dasar, etos dan model paradigma profetik dapat digambarkan da-lam skema berikut. 1. Implikasi Permasalahan Yang dimaksud dengan implikasi permasalahan adalah masalah-masalah yang muncul sebagai akibat dari diterimanya asumsi-asumsi dasar tertentu, nilai-nilai atau etos tertentu. Sebagai contoh, dengan asumsi bahwa wahyu merupakan sumber ilmu pengetahuan, maka kumpulan wahyu -yakni Al Qur’an- akan menjadi salah satu sum-ber untuk merumuskan pertanyaan-pertanyaan atau hipotesa-hipotesa untuk diteliti le-bih lanjut. Selain itu, karena ilmu profetik juga diinginkan menjadi ilmu yang transforma-tif, maka pemilihan masalah-masalah untuk penelitian tentunya juga yang akan punya effek transformatif juga. Permasalahan ini bisa dimunculkan dari Al Qur’an dan sunnah Rasulullah, bisa dari permasalahan sehari-hari tetapi yang dianggap paling mendesak atau penting untuk di-teliti dan dicarikan penyelesaiannya, bisa pula dari transformasi masalah-masalah yang ada dalam Al Qur’an dan sunnah Rasulullah. 2. Implikasi Konseptual Implikasi konseptual adalah berbagai konsep yang muncul sebagai implikasi dari penggunaan wahyu sebagai salah satu sumber pengetahuan, sumber inspirasi. Dalam hal ini berbagai istilah yang ada dalam Al Qur’an dan hadist kemudian dapat dan perlu didefinisikan, dijelaskan dan dioperasionalisasikan sehingga dapat digunakan dalam penelitian. Implikasi konseptual juga bisa muncul dari pemilihan masalah-masalah baru untuk diteliti. Data baru yang dihasilkan oleh penelitian ini akan membutuhkan konsep-konsep baru untuk menggunakannya dengan baik. 3. Implikasi Metodologis Penelitian

46

Pemilihan masalah-masalah tertentu, penggunaan konsep-konsep yang baru, bia-sanya akan mempunyai implikasi terhadap metode penelitian yang akan digunakan. Sangat mungkin akan muncul metode-metode penelitian baru yang muncul sebagai akibat dari digunakannya konsep tertentu, atau dipilihnya asumsi-asumsi tertentu seba-gai basis penelitian. Jika implikasi-implikasi ini diperhatikan dan diikuti secara serius, tentu akan muncul penelitian-penelitian dengab menggunakan model dan asumsi tertentu. Dengan begitu maka ilmu pengetahuan akan dapat tumbuh dan berkembang lebih cepat. 4. Implikasi Metodologis Analisis Di sini saya membedakan metode penelitian, yakni metode pengumpulan data, de-ngan metode analisis data, karena masing-masing memang membutuhkan metode-metode yang berbeda, serta merupakan tahap-tahap yang berbeda dalam proses pe-nelitian. Proses pengumpulan data biasa dilakukan di perpustakaan, di laboratorium dan di lapangan, sedang proses analisis data bisa dilakukan di perpustakaan, di rumah di laboratorium atau di tempat lain yang memungkinkan. Metode pengumpulan data berbeda dengan metode analisis data. Implikasi metodologis dapat terjadi pada metode analisis ini, dan ini bisa dikarena-kan oleh masalah yang diteliti, oleh konsep yang digunakan atau oleh jenis data yang berbeda. Peneliti harus memperhatikan implikasi ini baik-baik, agar analisis data dapat dilakukan dengan baik dan benar. 5. Implikasi Teoritis Implikasi teoritis tentu akan ada, karena tidak mungkin perubahan atau pergantian masalah dan asumsi dasar tidak mempunyai implikasi teoritis. Implikasi inilah saya kira yang akan merupakan implikasi yang sangat penting, jika bukan yang terpenting, dari paradigma profetik. Munculnya teori-teori baru akan merupakan sumbangan yang sa-ngat penting yang dapat diberikan oleh ilmu-ilmu profetik. 6. Implikasi Representasional (Etnografis) Implikasi representasional merupakan implikasi yang terjadi pada ranah representa-si atau penyajian teori. Pada ilmu-ilmu alam, ranah representasi ini mungkin tidak begi-tu penting, karena terdapat pola yang agak baku dalam cara representasinya. Tidak demikian halnya pada ilmu-ilmu sosial-budaya. Oleh karena asumsi dasar, etos dan model yang berbeda, maka representasi dari apa yang telah dihasilkan, yakni data dan teori akan berbeda pula. Di sini ilmu-ilmu sosial-budaya profetik memiliki potensi besar untuk menyajikan hal-hal yang baru, yang dapat membuka wawasan baru kehidupan manusia. VIII. IMPLIKASI PARADIGMA PROFETIK Berkenaan dengan implikasi dari ilmu (sosial-budaya) profetik yang dikemukakan-nya, mas Kunto mengatakan bahwa ilmu ini tentunya akan mempunyai implikasi sosial transformatif yang penting. Mas Kunto mengakui bahwa paradigma Islam mempunyai

47

implikasi transformatif pada level individual (p.14), tetapi dia tampaknya lebih tertarik untuk membicarakan mengenai transformasi sosialnya, karena dia adalah ahli sejarah sosial. Akan tetapi, hal ini justru membuat potensi transformatif paradigma Islam men-jadi tidak optimal. Menurut hemat saya, paradigma Islam tersebut harus dikupas poten-si transformatifnya, baik pada tingkat individu, keluarga ataupun masyarakat. 1. Transformasi Individual Sebagaimana telah saya paparkan di atas, salah satu basis etos paradigma profetis adalah penghayatan. Penghayatan ini berlangsung pada tataran individual. Oleh kare-na itu, ilmu (social-budaya) profetik tentunya punya effek transformatif bukan hanya pa-da tataran social-budaya sebagaimana yang dibayangkan oleh mas Kunto, tetapi juga pada tataran individual. Di sinilah ilmu (social-budaya) profetik juga dapat mencakup cabang ilmu seperti psikologi. Transformasi individual ini bisa dua macam, karena ilmu profetik bisa menghasilkan transformasi pada diri ilmuwan profetik, atau pada pada individu yang menjadi kajian il-mu profetik tertentu, yaitu psikologi dan kedokteran. Ilmu profetik kedokteran akan me-lahirkan transformasi individual pada ranah atau bidang ragawi (physical), sedang ilmu psikologi profetik akan menghasilkan transformasi pada ranah kejiwaan(psychical). Di lain pihak keterlibatan seorang ilmuwan dalam kegiatan keilmuan dengan sema-ngat profetik, dengan etos profetik, akan membuat ilmuwan itu sendiri mengalami peru-bahan-perubahan tertentu. Transformasi di sini tetnu saja merupakan transformasi pa-da ranah kejiwaan, yang menyangkut pikiran dan perasaan. Transformasi individual sebagai dampak dari paradigma profetik menurut hemat sa-ya tidak kalah penting dengan effek transformatif pada tataran social. Gagasan menge-nai ini perlu dikembangkan lebih lanjut, karena mas Kunto belum banyak memperhati-kan dan membahasnya. 2. Transformasi Sosial (Kolektif) Mengenai transformasi social ini, mas Kunto telah membahasnya cukup panjang-le-bar, walaupun belum tuntas dan masih perlu dikembangkan lagi. Seperti halnya trans-formasi pada ranah individu, transformasi kolektif atau sosial ini juga bisa terjadi di ka-langan ilmuwan, bisa pula di kalangan warga masyarakat yang lebih luas. Masing-ma-sing transformasi akan memiliki corak yang berbeda. Di kalangan ilmuwan, transformasi dapat -dan seharusnya-terjadi di kalangan pela-ku ilmu profetik ini, yakni di kalangan ilmuwannya. Transformasi ini bisa diawali dari ta-taran pandangan hidup, yang kemudian mewujud menjadi suatu gaya hidup -gaya hi-dup ilmuwan profetik-, dan selanjutnya pada karya-karya mereka. Jika ini terjadi, maka transformasi kemudian bisa menurun kepada lingkungan yang lebih luas, yakni pada kalangan anak didik mereka. Transformasi berikutnya adalah transformasi di kalangan masyarakat, yang merupa-kan dampak dari kehadiran para ilmuwan profetik dengan pandangan, keyakinan dan gaya hidup mereka, atau merupakan dampak dari hasil-hasil kajian yang mereka laku-kan. Kajian-kajian ilmu profetik akan dapat memberikan dampak transformatif sosial

48

yang lebih luas bilamana hasil-hasil kajian ini selalu dipublikasikan dan disosialisasikan ke tengah masyarakat dengan cara yang sistematis dan terencana dengan baik. IX. PENUTUP Dalam makalah ini saya telah mencoba memaparkan sebagian pandangan saya mengenai ilmu (sosial-budaya) profetik. Keterbatasan waktu dan ruang membuat saya belum dapat mengembangkan pemikiran tentang hal-hal di atas secara lengkap dan utuh. Meskipun demikian, di sini saya telah memberikan sebuah model atau kerangka paradigma dengan unsur-unsur yang menurut hemat saya sudah lengkap. Berdasar-kan kerangka paradigma inilah saya menjelaskan isi epistemologi profetik, yang men-cakup asumsi-asumsi dasar, etos dan model-model yang mendasarinya. Isi elemen-elemen lain dari paradigma profetik ini, yang merupakan implikasi dari basis epistemo-logisnya bisa berbeda antara disiplin profetik satu dengan yang lain, sehingga sebaik-nya diisi oleh ilmuwan-ilmuwan lain dari masing-masing disiplin. Di situlah para kolega ilmuwan dapat berpartisipasi mengembangkan gagasan me-ngenai ilmu (sosial-budaya) profetik, agar paradigma profetik di sini memiliki dampak yang lebih luas dan dapat memberikan manfaat yang lebih besar kepada kemajuan peradaban manusia... Dan Allahlah Yang Maha Tahu...... DAFTAR PUSTAKA Ahimsa-Putra, H.S. 2008. Paradigma dan Revolusi Ilmu Dalam Antropologi Budaya: Sketsa Beberapa Episode. Pidato Pengukuhan Guru Besar. Yogyakarta; Univer- sitas Gadjah Mada. _________. 2009. Paradigma Ilmu Sosial-Budaya: Sebuah Pandangan. Makalah cera- mah. Anonim. 2002. Laporan Penyelenggaraan Sarasehan Ilmu-ilmu Profetik, Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta. Cuff, E.C. dan G.C.F.Payne (eds.). 1979. Perspectives in Sociology. London: George Allen & Unwin. Inkeles, A. 1964. What is Sociology?. Englewood Cliffs, N.J.: Prentice-Hall. Kuhn, T. 1970. The Structure of Scientific Revolutions. Chicago: The University of Chi- cago Press. Second Edition, Enlarged. Kuntowijoyo. 2006. Islam sebagai Ilmu: Epistemologi, Metodologi dan Etika. Yogyakar- ta: Tiara Wacana. Lane, M. 1970. “Introduction” dalam Introduction to Structuralism, M.Lane (ed.) New York: Basic Books. Masterman, M. 1970. “The Nature of a Paradigm” dalam Criticism and the Growth of Knowledge, I. Lakatos dan A.Musgrave (eds.). Cambridge: Cambridge University

49

Press. Nagel, E. 1961. The Structure of Science: Problems in the Logic of Scientific Explana- tion London: Routledge and Kegan Paul. Reynolds, A. 1980. A Primer in Theory Construction. Ratoosh, P. 1973. “Sense and Sensation”. Encyclopedia Americana vol.24: 559-561.

ooooo