Meningitis Purulenta

download Meningitis Purulenta

of 20

description

meningitis

Transcript of Meningitis Purulenta

BAB 1PENDAHULUAN1.1. Latar BelakangMeningitis purulenta merupakan infeksi purulen akut di ruang subarakhnoid yang diikuti oleh reaksi inflamasi sistem saraf pusat yang dapat menyebabkan koma, aktivitas kejang, peningkatan tekanan intrakranial, dan infark iskemik. Meningens, ruang subarakhnoid, dan parenkim otak dapat terlibat dalam proses reaksi inflamasi ini. Penyakit ini dapat mengenai semua usia dengan predileksi usia sangat muda dan sangat tua1.

Meningitis purulenta merupakan penyakit di seluruh dunia dengan tingkat mortalitas dan morbiditas yang tinggi yang berkisar antara 10-30%. Angka mortalitasnya yaitu 5% pada anak, 25% pada neonatus, dan 25% pada dewasa. Di Ameriksa Serikat, pada penelitian tahun 1995 menunjukkan bahwa insidensi penyakit ini telah berkurang sebanyak 0,2 kasus per 100.000 populasi, terutama disebabkan oleh peningkatan penggunaan vaksin meningokokus. Dimana saja di seluruh dunia, angka insidensi tetap tinggi terutama di Negara berkembang seperti Afrika Barat dimana dijumpai 213.658 kasus meningitis yang menyebabkan 21.830 orang meninggal antara tahun 1996-19972.

Yang masih menjadi pertanyaan di antara komunitas medis yaitu bagaimana terapi untuk meningitis purulenta yang efektif bagi anak dan dewasa yang mengalami penyakit ini untuk meminimalisasi komplikasi dan permasalahan yang berhubungan seperti kehilangan pendengaran dan sekuele neurologis. Komplikasi jangka panjang, seperti defisit kognitif, epilepsi, hidrosefalus, dan tuli, yang dialami oleh seperempat pasien. Antibiotik telah menjadi standar terapi bagi pasien, tetapi penggunaan terapi kortikosteroid ajuvan masih dipertanyakan. Telah ditunjukkan pada percobaan dengan binatang percobaan bahwa antibiotik yang menginduksi lisis bakteri menyebabkan inflamasi subarakhnoid yang akan meningkatkan mortalitas dan komorbiditas. Alasan dibalik terapi kortikosteroid yaitu untuk meminimalisasi proses inflamasi ini2. Oleh karena itu, pada makalah ini akan dibahas lebih lanjut mengenai meningitis purulenta.1.2. TujuanTujuan dari penyusunan makalah Meningitis Purulenta ini adalah sebagai berikut:

1. Sebagai salah satu tugas Kepaniteraan Klinik Senior di Departemen Neurologi RSUP H. Adam Malik Medan2. Sebagai bahan untuk menambah pengetahuan dan wawasan penulis dan pembaca, terutama mengenai manifestasi klinis, diagnosis, dan tatalaksana Meningitis PurulentaBAB 2ISI2.1. MeningensOtak dan medulla spinalis diselimuti meningens yang melindungi struktur saraf yang halus, membawa pembuluh darah dan sekresi cairan serebrospinal. Meningens terdiri dari tiga lapis, yaitu3:1. Lapisan Luar (Durameter)Durameter merupakan tempat yang tidak kenyal yang membungkus otak, medulla spinalis, cairan serebrospinal dan pembuluh darah. Durameter terbagi lagi atas durameter bagian luar yang disebut selaput tulang tengkorak (periosteum) dan durameter bagian dalam (meningeal) meliputi permukaan tengkorak untuk membentuk falks serebrum, tentorium serebelum dan diafragma sella3, 4.

2. Lapisan Tengah (Arakhnoid)

Disebut juga selaput otak, merupakan selaput halus yang memisahkan durameter dengan piameter, membentuk sebuah kantung atau balon berisi cairan otak yang meliputi seluruh susunan saraf pusat. Ruangan diantara durameter dan arakhnoid disebut ruangan subdural yang berisi sedikit cairan jernih menyerupai getah bening. Pada ruangan ini terdapat pembuluh darah arteri dan vena yang menghubungkan sistem otak dengan meningen serta dipenuhi oleh cairan serebrospinal3, 4.

3. Lapisan Dalam (Piameter)

Lapisan piameter merupakan selaput halus yang kaya akan pembuluh darah kecil yang mensuplai darah ke otak dalam jumlah yang banyak. Lapisan ini melekat erat dengan jaringan otak dan mengikuti gyrus dari otak. Ruangan diantara arakhnoid dan piameter disebut sub arakhnoid. Pada reaksi radang ruangan ini berisi sel radang. Disini mengalir cairan serebrospinalis dari otak ke sumsum tulang belakang3, 4.

Gambar 1. Meningens52.2. Meningitis Purulenta2.2.1. DefinisiMeningitis purulenta atau meningitis bakteri adalah meningitis yang bersifat akut dan menghasilkan eksudat berupa pus serta bukan disebabkan oleh bakteri spesifik maupun virus. Meningitis Meningococcus merupakan meningitis purulenta yang paling sering terjadi3.

2.2.2. EpidemiologiMeningitis purulenta lebih sering terjadi pada bayi dan anak-anak karena sistem kekebalan tubuh belum terbentuk sempurna. Puncak insidensi kasus meningitis karena Haemophilus influenzae di Negara berkembang adalah pada anak usia kurang dari 6 bulan, sedangkan di Amerika Serikat terjadi pada anak usia 6-12 bulan. Sebelum tahun 1990 atau sebelum adanya vaksin untuk Haemophilus influenzae tipe b di Amerika Serikat, kira-kira 12.000 kasus meningitis Hib dilaporkan terjadi pada umur < 5 tahun.9 Insidens Rate pada usia < 5 tahun sebesar 40-100 per 100.000.7 Setelah 10 tahun penggunaan vaksin, Insidens Rate menjadi 2,2 per 100.000.9 Di Uganda (2001-2002) Insidens Rate meningitis Hib pada usia < 5 tahun sebesar 88 per 100.0003.Risiko penularan meningitis umumnya terjadi pada keadaan sosio-ekonomi rendah, lingkungan yang padat (seperti asrama, kamp-kamp tentara dan jemaah haji), dan penyakit ISPA.16 Penyakit meningitis banyak terjadi pada negara yang sedang berkembang dibandingkan pada negara maju. Insidensi tertinggi terjadi di daerah yang disebut dengan the African Meningitis belt, yang luas wilayahnya membentang dari Senegal sampai ke Ethiopia meliputi 21 negara. Kejadian penyakit ini terjadi secara sporadis dengan Insidens Rate 1-20 per 100.000 penduduk dan diselingi dengan KLB besar secara periodik. Di daerah Malawi, Afrika pada tahun 2002 Insidens Rate meningitis yang disebabkan oleh Haemophilus influenzae 20-40 per 100.000 penduduk3.

Kejadian meningitis lebih sering terjadi pada musim panas dimana kasus-kasus infeksi saluran pernafasan juga meningkat. Di Eropa dan Amerika utara insidensi infeksi Meningococcus lebih tinggi pada musim dingin dan musim semi sedangkan di daerah Sub-Sahara puncaknya terjadi pada musim kering3. Meningitis yang disebabkan oleh Pneumococcus paling sering menyerang bayi di bawah usia dua tahun. Meningitis yang disebabkan oleh bakteri Pneumokokus 3,4 kali lebih besar pada anak kulit hitam dibandingkan yang berkulit putih3.

2.2.3. EtiologiMeningitis yang disebabkan oleh bakteri berakibat lebih fatal dibandingkan meningitis penyebab lain karena mekanisme kerusakan dan gangguan otak yang disebabkan oleh bakteri maupun produk bakteri lebih berat. Infectious Agent meningitis purulenta mempunyai kecenderungan pada golongan umur tertentu, yaitu golongan neonatus paling banyak disebabkan oleh E.Coli, S.beta hemolitikus dan Listeria monositogenes. Golongan umur dibawah 5 tahun (balita) disebabkan oleh H.influenzae, Meningococcus dan Pneumococcus. Golongan umur 5-20 tahun disebabkan oleh Haemophilus influenzae, Neisseria meningitidis dan Streptococcus Pneumococcus, dan pada usia dewasa (>20 tahun) disebabkan oleh Meningococcus, Pneumococcus, Stafilocccus, Streptococcus dan Listeria3.Meningitis purulenta paling sering disebabkan oleh Meningococcus, Pneumococcus dan Haemophilus influenza. Meningitis Meningococcus yang sering mewabah di kalangan jemaah haji dan dapat menyebabkan karier disebabkan oleh Neisseria meningitidis serogrup A,B,C,X,Y,Z dan W 135. Grup A,B dan C sebagai penyebab 90% dari penderita. Di Eropa dan Amerika Latin, grup B dan C sebagai penyebab utama sedangkan di Afrika dan Asia penyebabnya adalah grup A. Wabah meningitis Meningococcus yang terjadi di Arab Saudi selama ibadah haji tahun 2000 menunjukkan bahwa 64% merupakan serogroup W135 dan 36% serogroup A. Hal ini merupakan wabah meningitis Meningococcus terbesar pertama di dunia yang disebabkan oleh serogroup W135. Secara epidemiologi serogrup A,B,dan C paling banyak menimbulkan penyakit3.2.2.4. PatogenesisPenularan kuman dapat terjadi secara kontak langsung dengan penderita dan droplet infection yaitu terkena percikan ludah, dahak, ingus, cairan bersin dan cairan tenggorok penderita. Saluran nafas merupakan port dentree utama pada penularan penyakit ini. Bakteri-bakteri ini disebarkan pada orang lain melalui pertukaran udara dari pernafasan dan sekresi-sekresi tenggorokan yang masuk secara hematogen (melalui aliran darah) ke dalam cairan serebrospinal dan memperbanyak diri didalamnya sehingga menimbulkan peradangan pada selaput otak dan otak3.Penyebaran bakteri dapat pula secara perkontinuitatum dari peradangan organ atau jaringan yang ada di dekat selaput otak, misalnya Abses otak, Otitis Media, Mastoiditis, Trombosis sinus kavernosus dan Sinusitis. Penyebaran kuman bisa juga terjadi akibat trauma kepala dengan fraktur terbuka atau komplikasi bedah otak. Invasi kuman-kuman ke dalam ruang subaraknoid menyebabkan reaksi radang pada pia dan araknoid, CSS (Cairan Serebrospinal) dan sistem ventrikulus3.Mula-mula pembuluh darah meningeal yang kecil dan sedang mengalami hiperemi; dalam waktu yang sangat singkat terjadi penyebaran sel-sel leukosit polimorfonuklear ke dalam ruang subarakhnoid, kemudian terbentuk eksudat. Dalam beberapa hari terjadi pembentukan limfosit dan histiosit dan dalam minggu kedua sel-sel plasma. Eksudat yang terbentuk terdiri dari dua lapisan, bagian luar mengandung leukosit polimorfonuklear dan fibrin sedangkan di lapisaan dalam terdapat makrofag3.Proses radang selain pada arteri juga terjadi pada vena-vena di korteks dan dapat menyebabkan trombosis, infark otak, edema otak dan degenerasi neuron-neuron. Trombosis serta organisasi eksudat perineural yang fibrino-purulen menyebabkan kelainan kraniales3.

2.2.5. Manifestasi KlinisMeningitis bakteri biasanya didahului oleh gejala gangguan alat pernafasan dan gastrointestinal. Meningitis bakteri pada neonatus terjadi secara akut dengan gejala panas tinggi, mual, muntah, gangguan pernafasan, kejang, nafsu makan berkurang, dehidrasi dan konstipasi, biasanya selalu ditandai dengan fontanella yang mencembung. Kejang dialami lebih kurang 44 % anak dengan penyebab Haemophilus influenzae, 25 % oleh Streptococcus pneumoniae, 21 % oleh Streptococcus, dan 10 % oleh infeksi Meningococcus. Pada anak-anak dan dewasa biasanya dimulai dengan gangguan saluran pernafasan bagian atas, penyakit juga bersifat akut dengan gejala panas tinggi, nyeri kepala hebat, malaise, nyeri otot dan nyeri punggung. Cairan serebrospinal tampak kabur, keruh atau purulen3.

2.2.6. DiagnosisDiagnosis meningitis purulenta ditegakkan dari anamnesis serta pemeriksaan fisik dan dibantu oleh pemeriksaan laboratorium serta radiologis. Saat datang ke rumah sakit, kebanyakan pasien telah mengalami meningitis selama 1-7 hari. Gejala yang dialami termasuk demam, konfusi, muntah, nyeri kepala, serta kekakuan pada leher6.

Pemeriksaan fisik dapat menunjukkan adanya demam dan tanda-tanda infeksi parameningeal sistemik, seperti abses kulit atau otitis. Ruam petekie dijumpai pada 50-60% pasien dengan meningitis N meningitides. Tanda iritasi meningeal dijumpai pada sekitar 80% kasus, tetapi sering tidak dijumpai pada pasien yang terlalu muda dan terlalu tua, atau dengan kesadaran yang terganggu sebelumnya. Tanda-tanda tersebut yaitu kaku kuduk pada fleksi pasief, fleksi paha saat memfleksikan leher (tanda Brudzinski), dan tahanan pada ekstensi pasif dari lutut dengan fleksi sendi panggul (tanda Kernig). Tingkat kesadaran, jika berubah, dalam rentang konfusi ringan sampai koma. Tanda neurologis fokal, kejang, dan paralisis nervus kranialis dapat dijumpai6. 2.2.7. Pemeriksaan PenunjangPemeriksaan Pungsi Lumbal

Lumbal pungsi biasanya dilakukan untuk menganalisa jumlah sel dan protein cairan cerebrospinal, dengan syarat tidak ditemukan adanya peningkatan tekanan intrakranial. Pada Meningitis Purulenta terdapat tekanan meningkat, cairan keruh, jumlah sel darah putih dan protein meningkat, glukosa menurun, kultur (+) beberapa jenis bakteri3.Dapat dijumpai adanya defisit fokal dengan bukti peningkatan sel dari 250-100.000 sel/mm3, tetapi biasanya 1000-10.000 sel/mm3. Neutrofil mendominasi (85-95% dari total hitung jenis sel), tetapi peningkatan proporsi sel mononuklear ditemukan pada infeksi yang berkepanjangan, khususnya pada meningitis yang diterapi tidak adekuat. Hitung sel >50.000 sel/mm3 meningkatkan kemungkinan adanya abses otak yang rupture ke ventrikel. Dapat dijumpai peningkatan jumlah total leukosit di cairan serebrospinal dalam 18-36 jam setelah inisiasi terapi antibiotik1.

Konsentrasi glukosa cairan serebrospinal lebih rendah dibandingkan dengan serum. Glukosa CSS normal antara 45-80 mg/dl pada pasien dengan glukosa serum 70-120 mg/dl, atau sekitar 65% glukosa serum. Konsentrasi glukosa CSS di bawah 40 mg/dl merupakan keadaan yang abnormal. Hiperglikemia meningkatkan konsentrasi glukosa CSS dan keadaan ini akan menyamarkan penurunan konsentrasi glukosa CSS. Konsentrasi glukosa CSS oleh karena itu paling baik ditentukan dengan rasio glukosa CSS:serum. Rasio glukosa CSS:serum normal yaitu 0,6. Rasio glukosa CSS:serum kurang dari atau sama dengan 0,4 merupakan prediktif tinggi terhadap meningitis purulenta1.

Nilai normal konsentrasi protein di CSS sisterna dan ventrikular berkisar dari 13-30 mg/dl pada dewasa, dan dari 20-170 mg/dl pada neonatus. Peningkatan konsentrasi protein CSS biasanya dijumpai pada meningitis purulenta, tetapi konsentrasi protein CSS akan meningkat pada semua proses yang merusak sawar darah otak. Ketika punksi lumbal menyebabkan trauma konsentrasi protein CSS akan meningkat 1 mg/dl untuk setiap 1000 eritrosit yang ada per kubik mm3 1.

Peningkatan konsentrasi laktat pada meningitis purulenta pertama kali diketahui pada tahun 1925. Konsentrasi asam laktat CSS telah ditunjukkan penggunaan klinisnya untuk membantu membedakan meningitis tuberculosis dan meningitis purulenta dengan meningitis viral. Konsentrasi asam laktat hingga 35 mg/dl merupakan prediktif yang tinggi terhadap adanya meningitis purulenta atau meningitis tuberkulosa1.Dalam keadaan pleositosis CSS, konsentrasi C-reactive protein (CRP) > 100 ng/ml berguna untuk mengidentifikasi meningitis purulenta. CRP telah dilaporkan memiliki sensitivitas 100% dan spesivisitas 94% dalam membedakan meningitis purulenta dari meningitis non-purulen pada bayi (4 minggu atau lebih) dan anak-anak1.Tabel 1. Temuan pada pemeriksaan CSS pada meningitis7

Pemeriksaan darah

Dilakukan pemeriksaan kadar hemoglobin, jumlah leukosit, Laju Endap Darah (LED), kadar glukosa, kadar ureum, elektrolit dan kultur. Pada Meningitis Purulenta didapatkan peningkatan leukosit3.

Pemeriksaan Radiologis

Pada Meningitis Purulenta dilakukan foto kepala (periksa mastoid, sinus paranasal, gigi geligi) dan foto dada3. Foto dada tidak memiliki kepentingan diagnostik pada meningitis purulenta. Foto dada dapat dilakukan untuk melihat tanda-tanda pneumonia atau cairan di dalam paru. sebanyak 50% pasien dengan meningitis pneumokokal dibuktikan mengalami pneumonia pada foto dada8.

Peran yang paling penting dari CT scan pada pasien dengan meningitis yaitu untuk mengidentifikasi kontraindikasi punksi lumbal dan komplikasi yang memerlukan intervensi bedah saraf segera, seperti hidrosefalus simptomatik, empiema subdural, dan abses serebral. CT scan dengan kontras juga dapat mendeteksi komplikasi seperti thrombosis vena, infark, dan ventrikulitis. Ventrikulitis merupakan komplikasi meningitis purulenta yang umum dijumpai pada neonatus. Enhancement ependimal dapat dijumpai pada CT scan dengan kontras8.Nilai CT scan dalam diagnosis dini empiema subdural dan efusi masih controversial, karena modalitas ini tidak dapat mendeteksi meningitis, khususnya CT scan tanpa kontras pada stadium awal penyakit. Hasil yang normal dari CT scan tidak dapat mengesampingkan adanya meningitis akut8.

CT scan dapat menunjukkan penyebab infeksi meningeal. Hidrosefalus obstruktif dapat terjadi dengan perubahan inflamasi kronik pada ruang subarakhnoid atau pada kasus obstruksi ventricular. Defek struktur otorinologik, kongenital, dan kalvaria pasca trauma juga dapat dievaluasi8.

Gambar 2. Serebritis dan pembentukan abses pada pasien dengan meningitis purulenta. CT scan dengan kkontras, potongan aksial dilakukan 1 bulan setelah bedah dan menunjukkan adanya massa kecil, ring-enhanced, hipoattenuasi (abses rekuren) di ganglia basalis (panah) dan kumpulan cairan subdural berbentuk lentiformis dengan enhanced meningens (anak panah)8MRI dengan kontras merupakan modalitas paling sensitif untuk diagnosis meningitis purulenta karena pemeriksaan ini dapat membantu mendeteksi adanya dan luasnya proses inflamasi di meningens begitu juga dengan komplikasinya. MRI tanpa kontras dilakukan pada pasien dengan meningitis purulenta tanpa komplikasi yang menunjukkan hasil yang kurang bermakna8.

Gambar 3. Sinusitis frontalis, empiema, dan pembentukan abses pada pasien dengan meningitis purulenta. T2-weighted axial MRI menunjukkan sinusitis frontalis, defek tulang (panah), dengan edema kortikal (anak panah), dan kumpulan cairan subdural oksipitoparietal kanan (empiema)8.

2.2.8. PenatalaksanaanJika pemeriksaan fisik tidak menunjukkan adanya kelainan neurologis fokal atau papiledema, punksi lmbal harus dilakukan sesegera mungkin. Jika cairan serebrospinal tidak jernih, terapi antibiotik dimulai tanpa penundaan. Ketika tanda fokal atau papiledema dijumpai, pemeriksaan kultur darah dan urin sebaiknya dilakukan, antibiotik dimulai, dan CT scan dilakukan. Jika dari CT scan tidak dijumpai lesi fokal yang akan menyebabkan kontraindikasi untuk dilakukannya punksi lumbal, punksi lumbal dapat dilakukan6.Pilihan antibiotik inisial yaitu secara empiris, berdasarkan pada usia dan faktor predisposisi pasien. Terapi disesuaikan seperti yang diindikasikan jika pewarnaan Gram atau pemeriksaan kultur dan sensitivitas telah tersedia. Punksi lumbal dapat diulang untuk menilai respon terhadap terapi. Cairan serebrospinal harus steril selama 24 jam. Penurunan pleositosis serta penurunan proporsi leukosit PMN harus terjadi dalam 3 hari6.Regimen terapi empiris untuk meningitis purulenta ditunjukkan pada tabel di bawah ini9:

Tabel 2. Terapi Empiris Meningitis Purulenta9FAKTOR PASIENTERAPI EMPIRIS

Dewasa 50 tahun Ampisilin 2 g IV setiap 4 jam ditambah dengan ceftriaxone 2 g IV setiap 12 jam atau

Cefotaxime 2 g IV setiap 4-6 jam ditambah dengan vancomycin 15 mg/kgBB IV setiap 8-12 jam

Gangguan imunitas seluler Ampisilin 2 g IV setiap 4 jam ditambah dengan ceftazidime 1 g IV setiap 8 jam ditambah dengan vancomycin 15 mg/kgBB IV setiap 8-12 jam

Bedah saraf, cedera kepala, atau CSF shunt Vancomycin 15 mg/kgBB IV setiap 8-12 jam ditambah dengan ceftazidime 1 g IV setiap 8 jam

Regimen terapetik spesifik organisme untuk meningitis purulenta termasuk untuk meningitis yang disebabkan oleh Streptococcus pneumonia, Haemophillus influenza, Neisseria meningitides, Listeria monocytogenes, Streptococcus agalactie, Enterobacteriaceae, dan Pseudomonas aeruginosa ditampilkan pada tabel di bawa ini9.Table 3. Regimen Terapi Antibiotik Spesifik Organisme9

ORGANISMEREGIMEN TERAPI

Streptococcus pneumoniaSensitif Penisilin

Penisilin G 4 juta U IV setiap 4 jam atau ampisilin 2 g IV setiap 4-6 jam

Ceftriaxon 2 g IV setiap 12 jam atau cefotaxime 2 g IV setiap 4-6 jam

Ceftriaxone 2 g IV setiap 12 jam atau cefotaxime 2 g IVsetiap 4-6 jam ditambah dengan vancomycin 15 mg/kgBB IV setiap 8-12 jam

Durasi terapi: 10-14 hari

Sensitif Ceftriaxone

Ceftriaxone 2 g IV setiap 12 jam atau cefotaxime 2 g IV setiap 4-6 jam ditambah dengan vancomycin 15 mg/kgBB IV setiap 8-12 jam atau rifampin 600 mg PO/IV/hari

Durasi terapi 10-14 hari

Haemophillus influenzaNegatif beta laktamase: Ampisilin 2 g IV setiap 4-6 jam

Durasi terapi: 7 hari

Positif beta laktamase:

Ceftriaxone 2 g IV setiap 12 jam atau cefotaxime 2 g IV setiap 4-6 jam

Durasi terapi: 7 hari

Neisseria meningitides Penisilin G 4 juta U IV setiap 4 jam atau ampisilin 2 g IV setiap 4-6 jam

Ceftriaxone 2 g IV setiap 12 jam atau cefotaxime 2 g IV setiap 4-6 jam

Durasi terapi: 7 hari

Listeria monocytogenes Penisilin G 4 juta U IV setiap 4 jam atau ampisilin 2 g IV setiap 4-6 jam ditambah dengan 3-5 mg/kgBB IV perhari dibagi setiap 8 jam Durasi terapi: 21 hari

Streptococcus agalactie Penisilin G 4 juta U IV setiap 4 jam ditambah dengan gentamisin 3-5 mg/kgBB IV per hari, dibagi setiap 8 jam, jika diperlukan

Durasi terapi: 14-21 hari

Enterobacteriaceae Ceftriaxone 2 g IV setiap 12 jam atau cefotaxime 2 g IV setiap 4-6 jam ditambah dengan gentamicin 3-5 mg/kgBB IV per hari dibagi setiap 8 jam

Durasi terapi: 21 hari

Pseudomonas aeruginosa Ceftazidime 1 g IV setiap 8 jam atau cefepime 2 g IV setiap 8 jam ditambah dengan 3-5 mg/kgBB IV per hari dibagi setiap 8 jam

Durasi terapi: 21 hari

Sitokin inflamasi seperti IL-1,6 dan TNF-alfa meningkatkan respon CSS terhadap pelepasan produk dinding sel bakteri aktif. Hal ini akan menyebabkan eksaserbasi inflamasi dan kerusakan sawar darah otak lebih lanjut. Berdasarkan hal di atas, terapi ajuvan kortikosteroid telah dicoba. Pada 4 penelitian prospektif, placebo controlled trials pada anak lebih dari 2 bulan, terapi tambahan dengan deksametason menghasilkan penurunan sekuele audiologik dan neurologic. Namun, kebanyakan pasien anak terinfeksi dengan H.influenza dan keuntungan terapi glukokortikoid tidak dapat diaplikasikan pada anak yang terinfeksi organism lain seperti S.pneumonia1. Keuntungan glukokortikoid ajuvan pada dewasa belum jelas. Terapi tersebut akan menurunkan penetrasi beberapa antibiotik seperti vancomycin ke CSS. Oleh karena itu, terapi deksametason direkomendasikan pada anak lebih dari 2 bulan yang mengalami meningitis purulenta, terutama H.influenza, anak yang tidak divaksinasi terhadap H.influenza, atau ditemukannya kokobasil gram negative pada pewarnaan Gram CSS. Deksametason diberikan dengan dosis 0,15 mg/kg IV, setiap 6 jam selama 4 hari. Pada dewasa, penggunaan glukokortikoid terbatas pada pasien dengan konsentrasi bakteri yang tinggi di CSS dan bukti peningkatan tekanan intrakranial. Dosis 0,15 mg/kgBB IV setiap 6 jam direkomendasikan1.2.2.9. PrognosisPengobatan antibiotika yang adekuat dapat menurunkan mortalitas meningitis purulenta, tetapi 50% dari penderita yang selamat akan mengalami sequelle (akibat sisa). Lima puluh persen meningitis purulenta mengakibatkan kecacatan seperti ketulian, keterlambatan berbicara dan gangguan perkembangan mental, dan 5 10% penderita mengalami kematian3.2.2.10. Pencegahan

Pencegahan PrimerTujuan pencegahan primer adalah mencegah timbulnya faktor risiko meningitis bagi individu yang belum mempunyai faktor resiko dengan melaksanakan pola hidup sehat. Pencegahan dapat dilakukan dengan memberikan imunisasi meningitis pada bayi agar dapat membentuk kekebalan tubuh. Vaksin yang dapat diberikan seperti Haemophilus influenzae type b (Hib), Pneumococcal conjugate vaccine (PCV7), Pneumococcal polysaccaharide vaccine (PPV), Meningococcal conjugate vaccine (MCV4), dan MMR (Measles dan Rubella). Imunisasi Hib Conjugate vaccine (Hb- OC atau PRP-OMP) dimulai sejak usia 2 bulan dan dapat digunakan bersamaan dengan jadwal imunisasi lain seperti DPT, Polio dan MMR. Vaksinasi Hib dapat melindungi bayi dari kemungkinan terkena meningitis Hib hingga 97%. Pemberian imunisasi vaksin Hib yang telah direkomendasikan oleh WHO, pada bayi 2-6 bulan sebanyak 3 dosis dengan interval satu bulan, bayi 7-12 bulan di berikan 2 dosis dengan interval waktu satu bulan, anak 1-5 tahun cukup diberikan satu dosis. Jenis imunisasi ini tidak dianjurkan diberikan pada bayi di bawah 2 bulan karena dinilai belum dapat membentuk antibodi3, 10.Meningitis Meningococcus dapat dicegah dengan pemberian kemoprofilaksis (antibiotik) kepada orang yang kontak dekat atau hidup serumah dengan penderita.Vaksin yang dianjurkan adalah jenis vaksin tetravalen A, C, W135 dan Y. Meningitis juga dapat dicegah dengan cara meningkatkan personal hygiene seperti mencuci tangan yang bersih sebelum makan dan setelah dari toilet3, 10.

Pencegahan Sekunder

Pencegahan sekunder bertujuan untuk menemukan penyakit sejak awal, saat masih tanpa gejala (asimptomatik) dan saat pengobatan awal dapat menghentikan perjalanan penyakit. Pencegahan sekunder dapat dilakukan dengan diagnosis dini dan pengobatan segera. Deteksi dini juga dapat ditingkatan dengan mendidik petugas kesehatan serta keluarga untuk mengenali gejala awal meningitis3.Dalam mendiagnosa penyakit dapat dilakukan dengan pemeriksaan fisik, pemeriksaan cairan otak, pemeriksaan laboratorium yang meliputi test darah dan pemeriksaan X-ray (rontgen) paru. Selain itu juga dapat dilakukan surveilans ketat terhadap anggota keluarga penderita, rumah penitipan anak dan kontak dekat lainnya untuk menemukan penderita secara dini. Penderita juga diberikan pengobatan dengan memberikan antibiotik yang sesuai dengan jenis penyebab meningitis3.

Pencegahan Tertier

Pencegahan tertier merupakan aktifitas klinik yang mencegah kerusakan lanjut atau mengurangi komplikasi setelah penyakit berhenti. Pada tingkat pencegahan ini bertujuan untuk menurunkan kelemahan dan kecacatan akibat meningitis, dan membantu penderita untuk melakukan penyesuaian terhadap kondisi-kondisi yang tidak diobati lagi, dan mengurangi kemungkinan untuk mengalami dampak neurologis jangka panjang misalnya tuli atau ketidakmampuan untuk belajar. Fisioterapi dan rehabilitasi juga diberikan untuk mencegah dan mengurangi cacat3.BAB 3PENUTUP3. 1. KesimpulanMeningitis purulenta atau meningitis bakteri adalah meningitis yang bersifat akut dan menghasilkan eksudat berupa pus serta bukan disebabkan oleh bakteri spesifik maupun virus3. Meningitis yang disebabkan oleh bakteri berakibat lebih fatal dibandingkan meningitis penyebab lain karena mekanisme kerusakan dan gangguan otak yang disebabkan oleh bakteri maupun produk bakteri lebih berat3.

Penularan kuman dapat terjadi secara kontak langsung dengan penderita dan droplet infection yaitu terkena percikan ludah, dahak, ingus, cairan bersin dan cairan tenggorok penderita. Penyebaran bakteri dapat pula secara perkontinuitatum dari peradangan organ atau jaringan yang ada di dekat selaput otak. Penyebaran kuman bisa juga terjadi akibat trauma kepala dengan fraktur terbuka atau komplikasi bedah otak. Gejala yang dialami termasuk demam, konfusi, muntah, nyeri kepala, serta kekakuan pada leher6.

Jika pemeriksaan fisik tidak menunjukkan adanya kelainan neurologis fokal atau papiledema, punksi lmbal harus dilakukan sesegera mungkin. Jika cairan serebrospinal tidak jernih, terapi antibiotik dimulai tanpa penundaan. Pilihan antibiotik inisial yaitu secara empiris, berdasarkan pada usia dan faktor predisposisi pasien. Terapi disesuaikan seperti yang diindikasikan jika pewarnaan Gram atau pemeriksaan kultur dan sensitivitas telah tersedia. Deksametason diberikan dengan dosis 0,15 mg/kg IV, setiap 6 jam selama 4 hari1.3. 2. Saran

Adapun saran yang dapat diberikan yaitu: Memberikan imunisasi meningitis pada bayi agar dapat membentuk kekebalan tubuh. Vaksin yang dapat diberikan seperti Haemophilus influenzae type b (Hib), Pneumococcal conjugate vaccine (PCV7), Pneumococcal polysaccaharide vaccine (PPV), Meningococcal conjugate vaccine (MCV4). Pemberian kemoprofilaksis (antibiotik) kepada orang yang kontak dekat atau hidup serumah dengan penderita. Vaksin yang dianjurkan adalah jenis vaksin tetravalen A, C, W135 dan Y.

Mengurangi kontak langsung dengan penderita dan mengurangi tingkat kepadatan di lingkungan perumahan dan di lingkungan seperti barak, sekolah, tenda dan kapal. Meningkatkan personal hygiene seperti mencuci tangan yang bersih sebelum makan dan setelah dari toilet.

Mendidik petugas kesehatan serta keluarga untuk mengenali gejala awal meningitis.

Fisioterapi dan rehabilitasi diberikan untuk mencegah dan mengurangi cacat pada penderita yang sembuh dari meningitis.

DAFTAR PUSTAKA

1. Dhamija RM, Bansal J. 2006. Bacterial Meningitis (Meningoencephalitis): A Review. JIACM 2006; 7(3): 225-35

2. Konda SR, Diner BM. 2005. Codrticosteroids in Acute Bacterial Meningitis. Israeli Journal of Medicine. Vol. 5(1): 19-223. Meningitis. Available from: http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/23705/4/Chapter%2520II.pdf&sa=U&ei=r8bMT6qnCoLprAf2kpH4Cg&ved=0CBAQFjAA&sig2=xk2MbinlqGJJuh9jdf8osQ&usg=AFQjCNGu4u51n0yTu3rQqlU6DYswlUWppg4. Rohkamm R. 2004. Color Atlas of Neurology. Thieme Stuttgart: New York. P 6-75. Haines DE. 2008. Neuroanatomy: An Atlas of Structure, Sections, and Systems. Lippincott Williams & Wilkins: New Yorl.p 476. Greenberg DA, Aminoff MJ, Simon RP. 2002. Clinical Neurology. 5th Edition. McGraw-Hill/Appleton & Lange: United States7. Cass D. 2001. Early Recognition and Management of Meningitis. The Canadian Journal of CME. 105-114

8. Incesu L. 2011. Imaging in Bacterial Meningitis. Available from: http://emedicine.medscape.com/article/341971-overview#a249. Struble K. 2011. Bacterial Meningitis Organism-Spesific Therapy. Available from: http://emedicine.medscape.com/article/1953089-overview10. Salih KEMA, dkk. 2010. Pattern of Bacterial Meningitis in Sudanese Children, Omdurman, Sudan. African Journal of Microbiology Research Vol. 4(24), pp. 2670-267320