kecap ikan_the rina_13.70.0055_D2_unika soegijapranata

26
1. MATERI DAN METODE 1.1. Materi 1.1.1. Alat Alat-alat yang digunakan dalam praktikum ini adalah blender, pisau, botol, toples, panci, kain saring, pengaduk kayu. 1.1.2. Bahan Bahan-bahan yang digunakan dalam praktikum ini adalah tulang dan kepala ikan, enzim papain komersial, garam, gula kelapa, dan bawang putih. 1.2. Metode 1 Tulang dan kepala ikan dihancurkan dan dimasukkan ke dalam toples Enzim papain ditambahkan ke dalam toples dengan konsentrasi 0,2% (kelompok D1), konsentrasi 0,4% (kelompok D2), konsentrasi 0,6% (kelompok D3),

description

kepala dan tulang ikan yang menjadi limbah padat da[pat dimanfaatkan untuk membuat kecap ikan dengan penambahan enzim

Transcript of kecap ikan_the rina_13.70.0055_D2_unika soegijapranata

1. MATERI DAN METODE

1.1. Materi

1.1.1.Alat

Alat-alat yang digunakan dalam praktikum ini adalah blender, pisau, botol, toples,

panci, kain saring, pengaduk kayu.

1.1.2.Bahan

Bahan-bahan yang digunakan dalam praktikum ini adalah tulang dan kepala ikan, enzim

papain komersial, garam, gula kelapa, dan bawang putih.

1.2. Metode

1

Tulang dan kepala ikan dihancurkan dan dimasukkan ke dalam toples sebanyak 50 gram

Enzim papain ditambahkan ke dalam toples dengan konsentrasi 0,2% (kelompok D1), konsentrasi 0,4% (kelompok D2), konsentrasi 0,6% (kelompok D3),

konsentrasi 0,8% (kelompok D4); konsentrasi 1% (kelompok D5)

2

Toples diinkubasi pada suhu ruang selama 4 hari

Hasil fermentasi ditambahkan dengan air sebanyak 300 ml

Hasil fermentasi disaring menggunakan kain saring

3

Filtrat ditambahkan dengan 50 gram bawang putih, 50 gram garam, dan 50 gram gula kelapa.

Filtrat direbus sampai mendidih sambil diaduk selama 30 menit

Setelah dingin hasil perebusan disaring

4

Dilakukan pengamatan uji sensori berupa warna, rasa, dan aroma kecap

Kecap diambil sebanyak 1 ml dan diencerkan dengan aquades sebanyak 9 ml (pengenceran 10-1)

Dilakukan uji salinitas kecap dengan menggunakan hand refractometer

5

Salinitas kecap ikan dihitung dengan menggunakan rumus:

Salinitas=hasil refraksi1000

x100 %

2. HASIL PENGAMATAN

Hasil Pengamatan Kecap Ikan dengan Penambahan Enzim Papain dapat dilihat pada

Tabel 1.

Tabel 1. Kecap Ikan dengan Penambahan Enzim Papain

Kel. Perlakuan Warna Rasa Aroma Penampakan Salinitas (%) D1 Enzim papain 0,2% ++++ +++++ ++ +++++ 4,00

D2 Enzim papain 0,4% +++++ ++++ ++ ++++ 3,00D3 Enzim papain 0,6% +++ ++++ ++ +++ 3,00D4 Enzim papain 0,8% +++ ++ ++++ + 2,50D5 Enzim papain 1% +++ +++++ +++ + 3,50

Keterangan:Warna : Aroma + : tidak coklat gelap + : sangat tidak tajam++ : kurang coklat gelap ++ : kurang tajam +++ : agak coklat gelap +++ : agak tajam ++++ : coklat gelap ++++ : tajam+++++ : sangat coklat gelap +++++ : sangat tajamRasa Penampakan + : sangat tidak asin + : sangat cair++ : kurang asin ++ : cair+++ : agak asin +++ : agak kental++++ : asin ++++ : kental+++++ : sangat asin +++++ : sangat kental

Dari tabel di atas, terlihat bahwa ada 5 macam konsentrasi enzim papain yang

digunakan, yaitu 0,2 % ; 0,4% ; 0,6% ; 0,8% ; 1%. Warna dari kecap ikan untuk

kelompok D3-D5 berwarna agak coklat gelap, sedangkan untuk kelompok D1 berwarna

coklat gelap, dan kelompok D2 berwarna sangat coklat gelat. Rasa dari kecap ikan dari

kelompok D2, D3 dan D5 adalah asin; kelompok D1 sangat asin; serta kelompok D4

adalah kurang asin. Aroma dari kecap ikan yang dimiliki oleh kelompok D1-D3 adalah

kurang tajam, kelompok D5 adalah agak tajam. Untuk penampakan dari kecap ikan

yang didapat, D1 adalah sangat kental, D2 adalah kental, D3 adalah sangat kental, serta

D4-D5 adalah sangat cair. Untuk hasil salinitas terbesar terdapat pada kelompok D1

yaitu 4,00% dan salinitas terendah D4 yaitu 2,50%.

6

3. PEMBAHASAN

Kecap ikan biasa dikenal dengan kaecap asin. Kecap asin adalah cairan yang diproduksi

dari daging ikan yang diekstrak melalui proses fermentasi dan penggaraman. Kecap

ikan memiliki sebutan tersendiri diberbagai negara seperti yeesui (Hong Kong), patis

(Filipina), nampla (Thailand), pissala (perancis), serta budu (Malaysia). Kecap ikan

memiliki kadar garam yang tinggi, tahan terhadap pertumbuhan mikroorganisme, serta

mempunyai umur simpan yang panjang (Eyo, 2001). Kecap ikan merupakan bahan

pangan dengan kadang air ± 72-74%, protein 9-10%, lemak 9,15%-16,3%, dan abu

sebesar 5,81%-9,90%. Selain itu, kecap ikan juga mengandung mineral yang berupa

amina seperti fenilalanin, spermin, spermidin, agmatin (Mah et al., 2002). Kecap ikan

dibuat dengan cara dimasukkan didalam wadah yang tertutup rapat selama 25-30 hari

penyimpanan. Ciri-ciri dari kecap ikan adalah cairan yang berwarna kecoklatan dengan

rasa asin dan aroma yang khas (Afrianto & Liviawaty, 1989). Viskositas kecap ikan

lebih rendah dibandingkan dengan viskositas kecap manis. Menurut jurnal “Occurrence

of Biogenic Amines and Amines Degrading Bacteria in Fish Sauce” selain digunakan

untuk memasak, kecap ikan juga digunakan untuk diet protein pada kawasan Asia

Tenggara. Metode yang digunakan dalam pembuatan kecap ikan secara sederhana

adalah metode fermentasi.

Kualitas dari suatu kecap asin ditentukan oleh frementasi da konsentrasi garam (Muliati,

1985). Fermentasi dari kecap ikan dapat menggunakan enzim, enzim tersebut dapat

berasal dari enzim dari luar seperti bromelin ataupun papain dan enzim yang berasal

dari dalam ikan itu sendiri (Yongsawatdigul et al., 2007). Fermentasi dari ikan akan

mendegradasi protein menjadi lebih sederhana seperti asam amino dan peptida, serta

menghasilkan senyawa sampingan yang berkontribusi terhadap warna, rasa, dan aroma

dari kecap itu sendiri, yaitu 2-metil propanal, 2-metil butanal, 2-pentanon, 2-etil piridin,

dimetil trisulfat, dan asam 3-metil butanoat (Fumaki et al., 2002). Fermentasi dibagi

menjadi 2 macam, yakni tradisional dan modern. Fermentasi tradisional memerlukan

waktu yang lebih lama dibandingkan dengan fermentasi modern. Waktu fermentasi

tradisional berkisar antara ± 6-12 bulan dengan menggunakan bakteri halofil (Frazier &

Westhoff, 1988). Penggunaan bakteri halofil, kualitas sensorisnya lebih terjamin karena

7

8

menghasilkan enzim protease dan lipase. Menurut jurnal “Proteinase-producing

halophilic lactic acid bacteria isolated from fish sauce fermentation and their ability to

produce volatile compounds” mengatakan bahwa selama fermentasi berlangsung

terdapat beberapa bakteri yang tumbuh didalam kecap ikan seperti Bacillus,

Micrococcus, Staphylococcus, Streptococcus, Pediococcus, extremely halophilic red

archaea, dan halofilik bakteri asam laktat, yaitu Tetragenococcus. Metode fermentasi

modern menggunakan enzim enzim papain dan bromelin memiliki waktu yang cepat

(Haard & Simpson, 2000). Fermentasi modern hanya berfokus pada pemecahan protein

menjadi asam amino dan nitrogen. Asam amino dan nitrogen berkontribusi paling besar

terhadap kualitas baik warna, rasa maupun aroma dari kecap ikan (Steinkraus, 2004).

Menurut jurnal “Halobacterium sp. SP1(1) as a starter culture for accelerating fish sauce

fermentation” mengatakan bahwa bahan makan yang melalui proses fermentasi akan

meningkatkan kandungan protein atau meningkatkan keseimbangan asam amino

esensial. Menurut jurnal “Oceanobacillus aswanesis Strain FS10 sp. Nov., an

Extremely Halotolerant Bacterium Isolated from Sakted Fish Sauce in Aswan City,

Egypt” kecap ikan yang memiliki kualitas yang baik dapat difermentasi hingga 5 tahun

lamanya.

Tahap awal yang dilakukan pada pembuatan kecap asin pada saat praktikum adalah

tulang dan kepala ikan kemudian menimbang sebanyak 50 gram dan dimasukkan ke

dalam toples. Kemudian ditambahkan dengan enzim papain dengan konsentrasi 0,2%

untuk kelompok 1; 0,4% untuk kelompok 2; 0,6% untuk kelompok 3; 0,8% untuk

kelompok 4; dan 1% untuk kelompok 5. Kepala dan tulang ikan yang digunakan pada

saat praktikum adala ikan bawal. Semua bagian ikan yang tidak terpakai dapat

digunakan untuk membuat kecap ikan, hanya saja kandungan protein dari ikan itu

sendiri akan mempengaruhi kualitas dari kecap ikan yang dihasilkan (Moeljanto, 1992).

Kepala dan tulang ikan dihanvurkan dengan tujuan untuk membuat luas permukaan dari

bahan menjadi lebih besar sehingga akan mudah mengalami kontak dengan enzim

papain yang digunakan. Penggunaan enzim papain yang berbeda konsentrasinya

bertujuan untuk mengetahui konsentrasi manakah dari enzim papain yang paling efektif

untuk membuat kecap ikan dengan bahan dasar ikan bawal. Enzim papain yang

digunakan berfungsi untuk mendegradasi protein yang ada dalam tulang dan kepala

9

ikan, karena enzim ini termasuk enzim proteolitik (Afrianto & Liviawaty, 1989). Enzim

papain adalah enzim proteolitik yang dapay mempengaruhi aroma, warna, serta rasa

dari suatu kecap ikan. Semaikn banyak enzim papain yang digunakan maka rasa, aroma,

dan warna akan semakin baik karena akibat dari hidrolisis protein menjadi asam amino

optimal (Briani et al., 2014). Hancuran kepala dan tulang ikan yang telah ditambah

dengan enzim papain diinkubasi selama 4 hari pada suhu ruang dengan wadah yang

tertutup rapat. Inkubasi bertujuan untuk memberikan waktu pada enzim papain yang ada

untuk mendegradasi protein yang ada pada bahan yang digunakan (Winarno, 2002).

Kualitas dari suatu kecap ikan juga dipengaruhi oleh lamanya proses inkubasi

(Singapurwa, 2012). Banyaknya enzim yang ditambahkan suhu lingkungan, suhu

inkubasi, kadar garam yang ditambahkan dan ikan yang digunakan juga akan

mempengaruhi kualitas dari suatu kecap ikan (Yongsawatdigul et al., 2007).

Langkah berikutnya adalah hasil fermentasi disaring menggunakan kain saring hingga

diperoleh filtrat yang kemudian direbus selama 15 menit dengan penambahan garam

sebanyak 50 gram, bawang putih sebanyak 50 gram, serta gula kelapa sebanyak 50

gram. Pnyaringan yang dilakukan bertujuan untuk memisahkan padatan dan cairan yang

dihasilkan dari fermentasi, sedangkan proses perebusan dilakukan dengan tujuan

membuat kecap ikan yang merupakan hasil dari fermentasi menjadi steril. Selain untuk

mensterilkan kecap ikan, perebusan juga bertujan untuk membunuh mikroorganisme

yang ada karena proses fermentasi (Fraizer & Westhoff, 1988). Pada saat perebusan

perlu diperhatikan suhunya agar tidak terjadi penurunan protein lebih lanjut dan

kerusakan nutrien lain (Killinc et al., 2006). Tujuan dari penambahan bumbu adalah

untuk memberikan cita rasa yang khas pada kecap ikan, aroma, dan warna khas pada

kecap ikan sehingga dapat diterima konsumen di pasaran (Singapurwa, 2012).

Penambahan bawang putih bertujuan untuk memberi efek pengawetan karena

mengandung allicin dan garam dapat menunrunkan Aw (activity of water) dari kecap

ikan (Hirasa & Takemara, 1998), sedangkan penambahan garam berfungsi untuk

meningkatkan salinitas dari kecap ikan karena garam tersebut membuat air keluar dari

jaringan yang ada (Winarno, 2002).

10

Setelah dilakukan proses perebusan serta penambahan bumbu, kemudian didiamkan

hingga dingin lalu disaring kembali dan diamati secara sensoris dari segi warna, rasa,

dan aroma, serta salinitas kecap ikan. Penyaringan pada tahap ini bertujuan untuk

mendapatkan kecap ikan dan memisahkannya dari padatan-padatan bumbu yang

ditambahkan. Dilakukan uji sensoris bertujuan untuk mengetahui kualitas sensori serta

penerimaan konsumen (Ritthiruangdej & Suwonsichon, 2006). Warna dari kecap asin

tidak dipengaruhi oleh konsentrasi enzim yang ditambahkan, tetapi dipengaruhi oleh

proses pemanasan, serta bahan tambahan yang digunakan (Singapurwa, 2012). Warna

dari kecap ikan juga dipengaruhi oleh lamanya proses fermentasi, semakin lama

fermentasi maka warna akan semakin kecoklatan, yang terjadi karena adanya reaksi

gugus amino dengan gula pereduksi (Buckle et al., 2007).

Berdasarkan hasil praktikum yang didapatkan menunjukan bahwa warna yang diperoleh

pada saat praktikum adalah agak coklat gelap hingga sangat coklat gelap. Warna coklat

yang muncul dapat dipengaruhi oleh penambahan gula kelapa serta proses pemanasan

yang dilakukan. Hasil yang diperoleh sudah sesuai dengan teori dari Singapurwa (2012)

yang mengatakan bahwa konsentrasi dari enzim yang ditambahkan tidak akan

mempengaruhi warna kecap ikan, melainkan bahan yang ditambahkan seperti gula

jawa. Hal ini terbukti dengan bendanya konsentrasi enzim papain yang ditambahkan

wrana yang tampak bisa sama. Selanjutnya untuk rasa, hasil yang diperoleh adalah rasa

kurang asin hingga sangat asin. Rasa asin yang ditimbulkan berasal dari penambahan

garam pada saat proses perebusan (Rachmi et al., 2006). Lama dari fermentasi juga

akan mempengaruhi rasa dari kacap ikan (Olunbumi et al., 2010). Rasa asin yang

bervariasi dapat disebabkan karena penimbangan garam yang kurang akurat dan uji

sensori hanya dilakukan pada seorang panelis yang menggunakan indera perasa (Stone

et al., 1974). Rasa asin yang dihasilkan disebabkan degradasi protein yang

menghasilkan senyawa berupa 2-metil propanal, 2-metil butanal, 2-pentanon, 2-etil

piridin, dimetil trisulfat, dan asam 3-metil butanoat (Mizutani et al., 1992).

Hasil yang selanjutnya adalah uji sensori aroma. Aroma yang diperoleh pada saat

praktikum adalah kurang tajam hingga tajam. Kekuatan dari aroma sangat dipengaruhi

oleh penambahan enzim. Menurut Hidayat et al. (2006) semakin tinggi konsentrasi

11

enzim papain yang ditambahkan maka aroma yang dihasilkan akan semakin optimal,

namun hanya sampai batas tertentu saja. Bila konsentrasi melebihi batas konsentrasi

optimal maka akan menyebabkan aroma yang tidak mengenakkan akibat terlalu banyak

protein yang teroksidasi. Beberapa senyawa yang teroksidasi adalah asam propionat,

asam asetat, dan asam organik lainnya, yang akan membuat aroma menjadi kurang

mengenakan ketika teroksidasi. Berdasarkan hasil yang didapatan bila dibandingkan

dengan teori yang ada, hasil yang diperoleh pada saat praktikum kurang sesuai dengan

tori yang ada. Karena pada penambahan enzim papain dengan konsentrasi 0,8%

memiliki aroma yang tajam sedangkan pada penambahan enzim papain dengan

konsentrasi 1% aroma yang dihasilkan adalah agak tajam. Hal ini juga dapat disebabkan

karena pendegradasian protein dan proses oksidasi tidak sempurna. Pada jurnal

“Analysis of Volatile Compounds in Traditional Chinese Fish Sauce (Yu Lu)”

mengatakan bahwa total volatil dari kecap ikan dapat berbeda-beda, hal ini berasal dari

ikan yang digunakan serta proses prosuksinya sehingga dapat mempengaruhi rasa dan

aroma dari suatu kecap ikan tersebut.

Untuk hasil dari segi kenampakan, hasil yang diperoleh ada saat praktikum adalah sanat

cair hingga sangat kental. Menurut Astawan & Astawan (1988), semakin banyak kadar

enzim yang diberikan pada bahan maka akan membuat kecap ikan semakin cair, dimana

hal ini disebakan karena adanya penguraian bahan organik kompleks dalam bahan

menjadi bentuk yang lebih sederhana. Hasil dari praktikum yang diperoleh telah sesuai

karena dengan penambahan enzim papain 0,2% kenampakannnya adalah sangat kental

sedangkan penambahan enzim papain 1% kenmapakannya adalah sangat cair.

Kekentalan dari suatu kecap ikan dipengaruhi oleh bahan yang ditambahkan (Winarno,

2002). Hasil yang terakhir adalah salinitas, dengan salinitas tertinggi adalah kelompok

D1 dengan penambahan enzim papain sebesar 0,2% dan kemudian untuk hasil salinitas

yang terkecil terdapat pada kelompok D4 sebesar 2,50%. Semakin tingginya nilai

salinitas maka semakin kuat pula rasa asin yang terdapat ada kecap ikan. Pada hasil rasa

dan salinitas sudah sebanding.

4. KESIMPULAN

Kepala dan tulang ikan yang merupakan limbah dapat dijadijan bahan sebagai

pembuat kecap ikan.

Kecap ikan berwarna coklat, memiliki aroma dan rasa yang khas, serta berbentuk

cairan yang encer.

Enzim papain yang ditambahkan akan mempengaruhi aroma dan rasa dari kecap

ikan.

Warna dari kecap ikan tidak dipengaruhi enzim yang ditambahkan, namun warna

dari kecap ikan dipengaruhi oleh bahan tambahan yang diberikan.

Semakin tinggi enzim papain yang diberikan maka viskositas semakin encer.

Bawang yang ditambahkan bukan hanya berfungsi sebagai bumbu namun juga

berfungsi sebagai pengawet kecap ikan.

Kualitas dari kecap ikan alan dipengaruhi oleh lamanya proses fermentasi.

Fermentasi secara tradisional waktunya lebih lama dari pada fermentasi modern.

Pada proses fermentasi sederhana atau tradisional menggunakan mikroorganisme

halofilik yang tahan konsentrasi garam tinggi.

Semaikn besar salinitas yang diperoleh maka kecap akan semakin memiliki rasa asin

yang kuat.

Hasil dari degradasi protein, seperti asam-asam organik dapat menyebabkan aroma

menjadi tidak enak ketika mengalami oksidasi.

Semarang, 30 Oktober 2015

Praktikan Asisten Dosen

Michelle Darmawan

The Rina13.70.0055

12

5. DAFTAR PUSTAKA

Afrianto, E & Liviawaty, E. (1989).Pengawetan dan Pengolahan Ikan. Kanisisus. Jakarta.

Akolkar, A. V., et al. (2010). Halobacterium sp. SP1(1) as a starter culture for accelerating fish sauce fermentation. Journal of Applied Microbiology ISSN 1364-5072.

Astawan, M. W. & M. Astawan.(1988). Teknologi Pengolahan Pangan Hewani Tepat Guna. CV. Akademika Pressindo. Jakarta.

Briani, S, Darmanto, Y.S, Rianingsih, L. (2014). Pengaruh Konsentrasi Enzim Papain dan Lama Fermentasi Terhadap Kualitas Ikan Runcah. Jurnal Pengolahan dan Bioteknologi Hasil Perikanan Vol 3(3):121-128

Buckle, K.A, Edwards, R.A, Fleet, G.H, Wootton, M. (2007). Ilmu Pangan. Universitas Indonesia Press. Jakarta.

Eyo, A. A. (2001). Fish Processing Technology in the tropics. University of Ilorin, Press. Pp 403.

Frazier, W. C & D.C, Westhoff. (1988). Food Microbiology 4th Edition. McGraw Hill. New York.

Haard, N.F & B.K, Simpson. (2000). Seafood Enzyme : Utilization and Influence on Postharvest Seafood Quality. Marcel Dekker Inc. New York.

Hezayen, Francis F., et al. (2010). Oceanobacillus aswanesis Strain FS10 sp. Nov., an Extremely Halotolerant Bacterium Isolated from Sakted Fish Sauce in Aswan City, Egypt. Global Journal of Molecular Sciences 5 (1): 01-06.

Hidayat, N, Padaga, M.C & S, Suhartini. (2006). Mikrobiologi Industri. Penerbit Andi. Yogyakarta.

Hirasa, K. & M. Takemara. (1998). Spice Science & Technology. Lion Corporation. Tokyo.

Jiang, jin-jin., et al. (2008). Analysis of Volatile Compounds in Traditional Chinese Fish Sauce (Yu Lu). Food Bioprocess Technol. Kilinc, B, Cakli, S, Tolasa, S & T, Dincer. (2006). Chemical, Microbiological and Sensory Changed Associated with Fish Sauce Processing. Eur.Food.Res.Technol Vol 222:604-613.

Mah J.H., Han H.K., Oh Y.J., Kim M.G., Hwang H.J. (2002): Biogenic amines in jeotkals, Korean salted and fermented fish products. Food Chemistry, 79: 239–243.

Mizutani, T, Kimizuka, A, Ruddle, K, Ishige, N. (1992). Chemical Component of Fermented Fish Products. J.Food.Composition.Anal Vol 5:152-159.

13

14

Moeljanto. (1992). Pengawetan dan Pengolahan Hasil Perikanan. Penebar Swadaya. Jakarta.

Muliati, T. (1985). Mempelajari Proses Pembuatan Kecap Ikan Kembung (Rastrelliger sp) Secara Hidrolisis dan Fermentasi. Karya Ilmiah Fakultas Teknologi Pertanian Bogor. Bogor

Olunbumi, F, Suleman, S, Uche, I, Olumide, B. (2010). Preliminary Production of Fish Sauce from Clupeids. New York Science Journal Vol 3(3):45-49.

Rachmi, A.N, Ekantari & S.A, Budhiyanti. (2008). Penggunaan Papain Pada Pembuatan Kecap Ikan dari Limbah Fillet Nilla. Seminar Tahunan Nasional V, Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan.

Ritthiruangdej, P & T, Suwonsichon. (2006). Sensory Properties of Thai Fish Sauces and Their Categorization. Kasetsarj.J.Nat.Sci Vol 40:181-191

Singapurwa, N.M.A.S. (2012). Pemanfaatan Enzim Buah Pada Pembuatan Kecap Limbah Ikan Untuk Mengurangi Pencemaran Lingkungan. Jurnal Lingkungan Vol 21(1):1-5

Steinkraus, K. (2004). Industrialization of Indigenous Fermented Food, Revised and Expanded. CRC Press. New York.

Stone, H.J, Sidel, S, Oliver, A, Woolsey & R.C, Singleton. (1974). Sensory Evaluation by Quantitative Descriptive Analysis. Food.Technol Vol 28:24-33

Stute R., Petridis K., Steinhart H., Biernoth G.(2002): Biogenic amines in fish and soy sauce. European Food Research Technology, 215: 101–107.

Udomsil, Natteewan., et al. (2010). Proteinase-producing halophilic lactic acid bacteria isolated from fish sauce fermentation and their ability to produce volatile compounds. International Journal of Food Microbiology 141 (2010) 186–194.

Winarno, F.G. (2002). Kimia Pangan dan Gizi. PT.Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.

Yongsawatdigul, J, Rodtong, S, Raksakulthai, N. (2007). Acceleration of Thai Fish Sauces Fermentation Using Proteinases and Bacterial Starter Cultures. Journal of Food Science Vol 72(9):1-9.

Zaman, Muhammad Zukhrufuz., et al. (2010). Occurrence of Biogenic Amines and Amines Degrading Bacteria in Fish Sauce. Vol. 28, 2010, No. 5: 440–449.

6. LAMPIRAN

6.1. Perhitungan

Perhitungan

Rumus:

S alinitas (% )=hasil pengukuran1000

x 100 %

Kelompok D1

Hasil pengukuran = 40

Salinitas (% )= 401000

x100 %=4%

Gram Papain :

0,2 %= 0,2100

x50=0,1 gram

Kelompok C2

Hasil pengukuran = 30

Salinitas (% )= 301000

x100 %=3 %

Gram Papain :

0,4 %= 0,4100

x 50=0,2 gram

Kelompok C3

Hasil pengukuran = 30

Salinitas (% )= 301000

x100 %=3 %

Gram Papain :

0,6 %= 0,6100

x 50=0,3 gram

Kelompok C4

Hasil pengukuran = 25

Salinitas (% )= 251000

x100 %=2,5 %

15

16

Gram Papain :

0,8 %= 0,8100

x50=0,4 gram

Kelompok C5

Hasil pengukuran = 35

Salinitas (% )= 351000

x100 %=3,5 %

Gram Papain :

1 %= 1100

x50=0,5 gram

6.2.

17

6.2. Laporan Sementara

6.3.

18

6.3. Diagram Alir

6.4.

19

6.4. Abstrak Jurnal