Kecap Ikan_Michael Heryanto_13.70.0004_D1_UNIKA SOEGIJAPRANATA

38
Acara III KECAP IKAN LAPORAN RESMI PRAKTIKUM TEKNOLOGI HASIL LAUT Disusun oleh : Nama : Michael Heryanto NIM : 13.70.0004 Kelompok : D1 ` PROGRAM STUDI TEKNOLOGI PANGAN

description

Laporan ini bertujuan untuk mempelajari proses pembuatan kecap ikan dengan cara enzimatis menggunakan enzim papain dengan berbagai tingkat konsentrasi

Transcript of Kecap Ikan_Michael Heryanto_13.70.0004_D1_UNIKA SOEGIJAPRANATA

Page 1: Kecap Ikan_Michael Heryanto_13.70.0004_D1_UNIKA SOEGIJAPRANATA

Acara III

KECAP IKAN

LAPORAN RESMI PRAKTIKUMTEKNOLOGI HASIL LAUT

Disusun oleh :

Nama : Michael Heryanto

NIM : 13.70.0004

Kelompok : D1

`

PROGRAM STUDI TEKNOLOGI PANGANFAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

UNIVERSITAS KATOLIK SOEGIJAPRANATASEMARANG

2015

Page 2: Kecap Ikan_Michael Heryanto_13.70.0004_D1_UNIKA SOEGIJAPRANATA

I. PRESENTASE PLAGIASI VIPER

1

Page 3: Kecap Ikan_Michael Heryanto_13.70.0004_D1_UNIKA SOEGIJAPRANATA

1. MATERI DAN METODE

1.1. Alat dan Bahan

Alat yang digunakan dalam percobaan ini terdiri atas blender, pisau, botol, toples, panci,

kain saring, dan pengaduk kayu.

Bahan yang digunakan dalam percobaan ini terdiri atas tulang dan kepala ikan, enzim

papain komersial, garam, gula kelapa, dan bawang putih.

1.2. Metode

2

Tulang dan kepala ikan dihancurkan dan dimasukkan ke dalam toples sebanyak 50 gram

Enzim papain ditambahkan ke dalam toples dengan konsentrasi 0,2% (kelompok D1), konsentrasi 0,4% (kelompok D2), konsentrasi 0,6% (kelompok D3),

konsentrasi 0,8% (kelompok D4); konsentrasi 1% (kelompok D5)

Page 4: Kecap Ikan_Michael Heryanto_13.70.0004_D1_UNIKA SOEGIJAPRANATA

3

Toples diinkubasi pada suhu ruang selama 4 hari

Hasil fermentasi ditambahkan dengan air sebanyak 300 ml

Hasil fermentasi disaring menggunakan kain saring

Page 5: Kecap Ikan_Michael Heryanto_13.70.0004_D1_UNIKA SOEGIJAPRANATA

4

Filtrat ditambahkan dengan 50 gram bawang putih, 50 gram garam, dan 50 gram gula kelapa.

Filtrat direbus sampai mendidih sambil diaduk selama 30 menit

Setelah dingin hasil perebusan disaring

Page 6: Kecap Ikan_Michael Heryanto_13.70.0004_D1_UNIKA SOEGIJAPRANATA

5

Dilakukan pengamatan uji sensori berupa warna, rasa, dan aroma kecap

Kecap diambil sebanyak 1 ml dan diencerkan dengan aquades sebanyak 9 ml (pengenceran 10-1)

Dilakukan uji salinitas kecap dengan menggunakan hand refractometer

Page 7: Kecap Ikan_Michael Heryanto_13.70.0004_D1_UNIKA SOEGIJAPRANATA

6

Salinitas kecap ikan dihitung dengan menggunakan rumus:

Salinitas=hasil refraksi1000

x 100 %

Page 8: Kecap Ikan_Michael Heryanto_13.70.0004_D1_UNIKA SOEGIJAPRANATA

2. HASIL PENGAMATAN

Berikut merupakan hasil pengamatan pada praktikum mengenai proses pembuatan

kecap ikan secara enzimatis dengan penambahan berbagai tingkatan konsentrasi enzim

papain, dapat dilihat pada Tabel 1 di bawah ini.

Tabel 1. Kecap Ikan dengan Penambahan Enzim Papain

Kel. Perlakuan Warna Rasa Aroma Penampakan Salinitas (%) D1 Enzim papain 0,2% ++++ +++++ ++ +++++ 4,00

D2 Enzim papain 0,4% +++++ ++++ ++ ++++ 3,00D3 Enzim papain 0,6% +++ ++++ ++ +++ 3,00D4 Enzim papain 0,8% +++ ++ ++++ + 2,50D5 Enzim papain 1% +++ +++++ +++ + 3,50

Keterangan:Warna : Aroma + : tidak coklat gelap + : sangat tidak tajam++ : kurang coklat gelap ++ : kurang tajam +++ : agak coklat gelap +++ : agak tajam ++++ : coklat gelap ++++ : tajam+++++ : sangat coklat gelap +++++ : sangat tajamRasa Penampakan + : sangat tidak asin + : sangat cair++ : kurang asin ++ : cair+++ : agak asin +++ : agak kental++++ : asin ++++ : kental+++++ : sangat asin +++++ : sangat kental

Pada Tabel 1 di atas disimpulkan bahwa perbedaan kadar enzim papain yang

ditambahkan akan memberikan karateristik sensori yang khusus. Secara garis besar

semakin tinggi konsentrasi enzim papain yang ditambahkan akan menghasilkan kecap

ikan dengan karateristik warna coklat yang semakin memudar, aroma yang dihasilkan

akan semakin tajam, dan penampakan kecap yang semakin cair. Sedangkan berdasarkan

pengamatan mengenai karateristik rasa dan % salinitas memberikan hasil data yang

fluktuatif, sehingga data tidak dapat ditarik kesimpulan mengenai pengaruh tingkatan %

enzim papain terhadap karateristik kecap ikan yang dihasilkan.

7

Page 9: Kecap Ikan_Michael Heryanto_13.70.0004_D1_UNIKA SOEGIJAPRANATA

3. PEMBAHASAN

Pemanfaatan terhadap produk fermentasi pada saat ini telah banyak dimanfaatkan.

Kelebihan yang dimiliki oleh produk fermentasi berupa umur simpan produk fermentasi

yang diperpanjang, terdapat peningkatan aroma dan rasa, peningkatan kandungan gizi, dan

kemudahan produk tersebut untuk dapat dicerna oleh tubuh membuat produk hasil

fermentasi menjadi semakin popular (Kilinc et al, 2006). Salah satu bentuk produk

fermentasi yang telah dikenal secara luas dan lama adalah kecap ikan (Olubunmi et al,

2010). Kecap ikan merupakan hasil dari fermentasi bagian selain dari daging ikan (kepala,

tulang, dan lainnya) yang diberikan perlakuan penggaraman sebagai suatu senyawa

pengontrol mikroorganisme tertentu, sehingga hanya mikroorganisme halofilik yang

mampu menguraikan produk tersebut menjadi suatu kecap ikan (Hezayen et al, 2010). Hal

ini didukung dari penelitian yang dilakukan oleh Hezayen et al (2010) bahwa ditemukan

bakteri berjenis halofilik ekstrim dalam kecap ikan yang memiliki karateristik gram positif,

mampu memfermentasi beberapa jenis gula, dan sel tubuh yang berbentuk batang dengan

contoh adalah Oceanobacillus aswanensis.

Dalam memproduksi kecap ikan secara konvensional akan dibutuhkan waktu yang

cukup lama 6 hingga 12 bulan untuk menghasilkan suatu cairan jernih, yang berwarna

kuning kecoklatan, dan berbau amis yang didapatkan dari kecap ikan (Akolkar et al,

2009). Berbagai keuntungan dalam memproduksi kecap ikan adalah kemudahan untuk

diproduksi, tidak memerlukan jenis ikan tertentu sehingga bagian ikan sisa pengolahan

pun dapat dimanfaatkan, dan tidak membutuhkan energi dalam proses fermentasi. Akan

tetapi memiliki berbagai kelemahan dimana salah satunya adalah waktu produksi yang

panjang dan ketidakstabilannya proses fermentasi yang dipengaruhi oleh kondisi

lingkungan (Akolkar et al, 2009). Akan tetapi menurut Akolkar et al (2009) dalam

produksi kecap ikan yang memanfaatkan prinsip dari fermentasi memiliki manfaat yang

tinggi apabila dikonsumsi akibat protein sumber tinggi yang dikandungnya.

Salah satu langkah yang mampu mempercepat dalam proses pembuatan kecap ikan

adalah dengan menggunakan langkah enzimatis yang berasal dari luar mikroorganisme

halophilic (Subroto et al, 1985). Berbagai jenis enzim yang bersifat proteolitik mampu

8

Page 10: Kecap Ikan_Michael Heryanto_13.70.0004_D1_UNIKA SOEGIJAPRANATA

9

digunakan seperti bromelin, papain, dan beberapa enzim lainnya. Dalam proses fermentasi yang

berlangsung akan terjadi proses penguraian protein menjadi bentuk yang lebih sederhana seperti

asam amino dan ikatan peptida, dan dihasilkan senyawa samping yang berperan terhadap

pembenrukan cita rasa, aroma yang menjadi ciri khas bagi kecap ikan yaitu seperti 2-

metilpropanal; 2-metilbutanal; 2-pentanon; 2-etilpiridin; dimetil trisulfat dan asam 3-

metilbutanoat (Fukami et al, 2002). Akan tetapi tetap memiliki keunggulan bagi produk kecap

ikan yang diproduksi secara tradisional dengan memanfaatkan mikroorganisme halofilik yang

mengeluarkan enzim proteolitik secara endogenik. Hal ini disebabkan selama proses fermentasi

berlangsung, tidak hanya enzim proteolitik saja yang dihasilkan, akan tetapi juga terdapat enzim

lainnya yang diduga mempengaruhi dari karateristik kecap ikan yang dihasilkan menjadi

semakin lebih baik (Kanlayakrit & Boonpan, 2007).

Metode pembuatan kecap ikan yang dilakukan dalam percobaan ini adalah dengan cara modern

dengan menggunakan enzim papain yang berperan aktif secara proteolitik dalam mendegradasi

protein terhadap bahan sisa ikan diluar daging ikan. Penelitian yang dilakukan oleh Akolkar et al

(2009) menunjukan bahwa proses pembuatan kecap ikan yang dilakukan secara enzimatis akan

membutuhkan waktu produksi yang jauh lebih singkat. Akan tetapi walaupun dibutuhkan waktu

yang lebih cepat, dan kandungan protein yang tinggi, namun kualitas sensori pun tidak maksimal

karena hanya memanfaatkan dari proses penguraian protein saja yang akan menghasilkan asam

amino, ikatan peptida, dan nitrogen yang berperan dalam karateristik kecap ikan (Steinkraus,

2004).

Dalam percobaan ini digunakan bahan berupa hancuran ikan bawal (kepala, ekor, dan tulang)

sebanyak 50 gram yang dimasukan ke dalam toples fermentasi. Perlakuan penghancuran bahan

dimaksudkan untuk memperluas permukaan kontak bahan dengan komponen enzim papain yang

ditambahkan agar enzim dapat bereaksi sepenuhnya terhadap protein dalam bahan secara

menyeluruh (Afrianto & Liviawaty, 1989). Proses selanjutnya diikuti dengan menambahkan

berbagai tingkatan konsentrasi enzim papain sebesar 0,2%, 0,4%, 0,6%, 0,8%, dan 1%, sehingga

dalam percobaan ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh berbagai tingkatan konsentrasi enzim

proteolitik terhadap karateristik kecap ikan yang dihasilkan. Dengan kata lain konsentrasi enzim

proteolitik memiliki peran yang signifikan terhadap karateristik warna, rasa, aroma, dan

Page 11: Kecap Ikan_Michael Heryanto_13.70.0004_D1_UNIKA SOEGIJAPRANATA

10

kekentalan dari kecap ikan. Enzim papain merupakan enzim proteolitik yang terdapat dalam

ekstrak getah pepaya yang biasanya diaplikasikan dalam pengempukan daging sapi. Diketahui

secara teoritis bahwa penambahan enzim proteolitik akan menghasilkan reaksi yang maksimal

terhadap hidrolisis protein yang terdapat dalam bahan (Steikraus, 2004). Alhasil akan

menghasilkan produk kecap ikan dengan warna yang memudar, rasa dan aroma yang semakin

kuat, dan penampakan yang encer.

Selanjutnya dilakukan proses inkubasi selama 3 hari. Proses ini bertujuan untuk mendukung

terjadinya proses hidrolisis ikatan protein oleh enzim papain (Winarno, 2002). Proses inkubasi

yang berlangsung dalam waktu yang sangat lama, tidaklah menunjukan bahwa proses pembuatan

kecap ikan menjadi semakin lebih baik akibat proses hidrolisis protein yang terjadi secara

maksimal. Akan tetapi proses inkubasi yang terlalu panjang akan berakibatkan kepada hilangnya

senyawa nitrogen yang akan dikonversi menjadi ammonia, sehingga akan dihasilkan produk

dengan karateristik yang tidak diinginkan (Singapurwa, 2012). Penentuan waktu inkubasi yang

optimal ditentukan berdasarkan suhu lingkungan inkubator, perbandingan jumlah enzim dan

bahan, serta kadar garam yang ditambahkan selama proses berlangsung (Yongsawatdigul et al,

2007). Walaupun menurut Subroto et al (1985) proses fermentasi secara enzimatis mampu

dicapai selama 3 hari proses inkubasi.

Setelah proses inkubasi berlangsung, padatan dan cairan hasil fermentasi ditambahkan dengan 250

ml air yang kemudian dilakukan penyaringan untuk memisahkan cairan fermentasi dengan padatan

yang tidak diinginkan. Selanjutnya dilakukan proses perebusan selama 30 menit dengan

penambahan campuran bumbu halus (bawang putih, garam, dan butir kelapa). Proses pemasakan

bertujuan sebagai proses sterilisasi dalam produk kecap ikan, sehingga mikroorganisme yang tidak

diinginkan dapat dimatikan aktivitasnya. Seharusnya diberikan perlakuan tambahan selama proses

inkubasi dilaksanakan. Hal ini berupa pemakaian sejumlah besar garam yang ditambahkan ke dalam

bahan sebelum proses fermentasi dilaksanakan. Hal ini disebabkan menurut Akolkar et al (2009).

larutan garam mampu digunakan sebagai pengontrol dalam proses fermentasi, karena pada garam

berfungsi sebagai bahan pengawet dengan menciptakan tekanan osmotik yang tinggi bagi sel-sel

mikroorganisme. Tindakan ini didukung oleh Udomsil et al (2010) yang berpendapat bahwa

pentingnya penambahan sejumlah besar garam untuk menyeleksi produk dari tumbuhnya

Page 12: Kecap Ikan_Michael Heryanto_13.70.0004_D1_UNIKA SOEGIJAPRANATA

11

mikoorganisme yang tidak diinginkan, sehingga hanya enzim papain saja yang bertugas dalam

melakukan aktifitas proteolitik dalam bahan. Adapun hal ini menurut Udomsil et al (2010)

bertujuan untuk menarik aktifitas air dari jaringan daging dan mencegah reaksi pembusukan oleh

mikroorganisme yang tidak diinginkan yang mampu menghasilkan karateristik (aroma maupun cita

rasa) yang tidak diinginkan secara berlebihan ketika proses inkubasi selesai dilaksanakan. Oleh

karena itu penambahan garam tidak hanya bertujuan untuk menambahkan cita rasa tetapi

mengontrol proses fermentasi yang terjadi dan meningkatkan kadar salinitas pada kecap ikan

(Winarno, 2002)

Walaupun selama proses fermentasi, mikroorganisme yang berasal dari produk yang tidak

diinginkan dapat melakukan aktifitasnya. Oleh karena itu diperlukan perlakuan yang

memberikan jaminan bagi keamanan dari produk melalui perlakuan pemanasan (Frazier &

Westhoff, 1998). Pemanasan yang berlebihan bukanlah suatu treatment yang akan menghasilkan

produk dengan karateristik yang optimal (bebas dari mikroorganisme), akan tetapi menghasilkan

produk dengan kualitas rendah akibat protein dan komponen gizi lainnya yang terdenaturasi, dan

reaksi pencokelatan (maillard) yang terjadi dalam bahan (Udomsil et al, 2010). Garam, bawang

putih, dan gula kelapa yang ditambahkan terhadap cairan hasil fermentasi bertujuan untuk

meningkatkan dan memperkaya aroma, cita rasa, dan warna dari kecap ikan dan merupakan

salah satu tindakan alternatif dalam menyembunyikan aroma dan cita rasa yang terbentuk selama

proses fermentasi kecap ikan berlangsung (Singapurwa, 2012). Penambahan garam menurut

Buckle (1985) memberikan efeknya terhadap penghambatan aktivitas mikroorganisme pembusuk

dan patogen. Peran konsentrasi garam dalam menghambat aktifitas pertumbuhan

mikroorganisme menurut Garbutt (1977) dilakukan dengan cara peningkatan tekanan osmotik

pada air dan menurunkan kadar Aw yang terdapat dalam bahan pangan. Sedangkan penambahan

bawang putih memiliki fungsi sebagai antibiotik karena sifat antimikrobanya yang dimiliki

dalam penghambatan aktivitas pertumbuhan mikroba (Poeloengan .M, 2009). Hal ini dapat

terjadi karena dalam bawang putih menurut Departemen Kesehatan RI (1995) terkandung

senyawa minyak atsiri, dialil sulfida, aliin, alisin enzim alinase, saponin, flavonoid, dan

polifenol. Kemudian penambahan gula aren / kelapa hanya bertujuan untuk meningkatkan aroma

cita rasa yang khas dan menekan kadar salinitas yang terlalu tinggi.

Page 13: Kecap Ikan_Michael Heryanto_13.70.0004_D1_UNIKA SOEGIJAPRANATA

12

Tahapan produksi selanjutnya adalah kecap ikan yang telah mengalami proses pemasakan

diberikan penyaringan kedua kalinya yang bertujuan untuk memisahkan padatan-padatan

tersuspensi dalam kecap ikan yang berasal dari rempah yang digunakan. Tahapan ini merupakan

langkah yang penting untuk dilakukan, karena parameter yang diuji merupakan parameter yang

menjadi tolak ukur bagi kecap ikan untuk dapat diterima oleh konsumen (Ritthiruangdej &

Suwonsichon, 2006). Warna merupakan karateristik krusial yang dimiliki oleh kecap ikan, dan

menjadi hal pertama yang dilihat konsumen dan menjadi pertimbangan mengenai produk

tersebut. Hasil analisa warna berdasarkan pengamatan yang diperoleh menunjukan bahwa

seiring dengan meningkatnya konsentrasi dari enzim papain akan memudarkan warna coklat

yang dimiliki oleh kecap ikan. Hasil pengamatan yang diberikan bertolak belakang dengan

pendapat yang berasal dari Udomsil et al (2010) yang mengatakan bahwa tidak terdapatnya

hubungan tingkat konsentrasi enzim proteolitik terhadap pengaruh warna produk yang

dihasilkan. Adapun terjadinya pemudaran warna dalam produksi kecap ikan dipengaruhi oleh

perlakuan lainnya seperti perlakuan pemasakan yang diberikan, serta penambahan bumbu yang

digunakan. Intensitas warna yang dimiliki oleh kecap ikan dipengaruhi oleh suhu pemasakan,

lama waktu fermentasi, dan bumbu yang ditambahkan (Hidayat et al, 2006). Lama waktu

fermentasi merupakan hal yang cukup berpengaruh terhadap pembentukan warna kecap ikan,

proses fermentasi yang semakin panjang akan mneghasilkan kecap ikan dengan karateristik

warna yang sangat coklat (Buckle et al, 2007). Mekanisme pencoklatan terjadi baik secara

enzimatis akibat reaksi antara gugus asam amino dengan gula pereduksi (browning reaction),

ataupun secara non-enzimatis akibat dari reaksi pemanasan dengan penambahan gula aren

sebagai bumbu tambahan (maillard reaction) (Winarno, 2002). Adapun terjadinya

ketidakstabilan pada pengamatan warna pada kecap ikan dipengaruhi oleh penggunaan jumlah

bumbu halus gula kelapa yang masing-masing berbeda antar kelompok, suhu dan waktu

pemanasan yang tidak terkontrol dan terukur antara masing-masing kelompok yang mendukung

dari terjadinya reaksi maillard non-enzimatis menurut Buckle et al (2007).

Analisa sensori selanjutnya berupa karateristik rasa yang dihasilkan berdasarkan pengamatan

memberikan hasil data yang fluktuatif, sehingga data tidak dapat ditarik kesimpulan mengenai

pengaruh tingkatan % enzim papain terhadap karateristik rasa kecap ikan yang dihasilkan.

Karateristik rasa yang diuji menunjukan nilai tingkat keasinan yang dianalisa secara kuantitatif.

Page 14: Kecap Ikan_Michael Heryanto_13.70.0004_D1_UNIKA SOEGIJAPRANATA

13

Hasil pengamatan yang diperoleh menunjukan hasil yang tepat bahwa analisa rasa tidak memiliki

pengaruh terhadap tingkatan konsentrasi enzim papain yang diberikan. Menurut Olunbumi et al

(2010) tingkat keasinan dalam kecap ikan lebih dipengaruhi oleh jumlah garam yang

ditambahkan selama proses pemasakan berlangsung, jenis ikan yang digunakan, serta lama

waktu inkubasi yang diberikan. Adapun pengujian sensori mengenai rasa pada kecap ikan

memiliki keterbatasan karena bersifat subjektif dan dilakukan oleh panelis yang tidak terlatih

sehingga hal ini memunculkan keganjilan yang terdapat dalam hasil pengamatan mengenai

analisa rasa dan pengukuran % salinitas pada kelompok D1 dan D5. Dimana menunjukan bahwa

pada kedua kelompok tersebut memiliki tingkat rasa (keasinan) yang sama, akan tetapi dengan

nilai % salinitas yang berbeda (Stone et al, 1974). Waktu inkubasi yang lama, konsentrasi jumlah

enzim yang tinggi, serta jenis ikan yang tepat mampu menghasilkan karateristik rasa yang baik

dan kuat (Singapurwa, 2012). Hal ini dapat dijelaskan dimana semakin lama waktu inkubasi

yang diberikan akan menghasilkan nitrogen terlarut dalam asam amino dalam jumlah yang

tinggi. Diketahui bahwa rasa enak pada kecap ikan berasal dari jumlah nitrogen yang terlarut

dalam asam amino, sehingga semakakin banyak jumlah nitrogen yang terlarut akan

menghasilkan rasa yang semakin kuat (Udomsil et al, 2010).

Kemudian pengujian sensoris mengenai analisa aroma menurut Jiang et al (2008) merupakan

salah satu parameter yang memiliki keterkaitan terhadap konsentrasi enzim papain yang

ditambahkan. Hal ini disebabkan karena semakin banyaknya enzim proteolitik yang ditambahkan

maka akan menghasilkan hasil degradasi berupa asam amino yang akan berbanding lurus. Dapat

dikatakan bahwa asam amino merupakan suatu komponen penyusun aroma dalam kecap ikan.

Akan tetapi menurut Hidayat et al (2006) konsentrasi enzim proteolitik yang berada dalam

jumlah yang sangat tinggi justru akan menimbulkan aroma yang kurang sedap karena banyaknya

juga asam amino yang teroksidasi. Adapun senyawa lainnya pembentuk aroma yang khas dalam

kecap ikan tersusun atas sejumlah asam-asam organik seperti asam asetat, asam propionat, asam

laktat, dan asam organik lainnya, dan senyawa ester yang saling berikatan dengan asam amino

(Sudarmadji et al, 1997). Berdasarkan penelitian yang dilakukan Jiang et al (2008) menunjukan

bahwa aroma yang dihasilkan dari kecap ikan merupakan gabungan dari bau ammonia, chessy,

dan meaty. Bau ammonia yang dihasilkan berasal dari hasil pemecahan nitrogen yang berlebihan,

sedangkan bau chessy muncul dari senyawa asam lemak bermolekul rendah. Kemudian bau

Page 15: Kecap Ikan_Michael Heryanto_13.70.0004_D1_UNIKA SOEGIJAPRANATA

14

meaty yang berada pada kecap ikan muncul dari reaksi kompleks dan kemungkinan disebabkan

akibat oksidasi secara atmospheric pada bahan yang digunakan dalam proses produksi kecap

ikan (Jiang et al, 2008). Adapun lebih jauh mengenai hasil analisa sensoris yang dilakukan oleh

Jiang et al (2008) menunjukan bahwa dalam kecap ikan terdiri atas 70 senyawa volatile yang

terdiri atas 4 karbonil, 14 hidrokarbon, 14 gugus bernitrogen, 20 asam, 3 gugus bersulfur, 8 ester,

3 senyawa fenolik, dan 4 golongan furan. Adapun keganjilan pada hasil pengamatan yang

terdapat pada kelompok D4 (0,8%) memiliki aroma yang lebih tajam dibandingkan dengan

kelompok D5 (1%). Hal ini disebabkan karena pengujian sensori dilakukan dengan panelis yang

tidak terlatih, sehingga memiliki tingkat kepercayaan yang rendah. Dalam percobaan dihasilkan

bau yang tidak sedap selama pemrosesan kecap ikan berlangsung yang mana menurut Zaman et

al (2010) disebabkan oleh terbentuknya senyawa biogenik amine yang berbobot molekul rendah

yang dihasilkan melalui proses dekarboksilasi terhadap protein oleh bantuan mikrooganisme.

Kehadiran bau yang tidak sedap merupakan suatu kehadiran yang tidak diinginkan dalam

produksi kecap ikan karena mampu mengundang toxicological effect yang berakibat pada

hipertensi, kepala pusing, diare, dan mampu menyebabkan hingga inflammation apabila

dikonsumsi dalam jumlah yang tinggi (Zaman et al, 2010). Biogenik amine sangat mudah

dijumpai dalam produk hasil fermentasi. Salah satu contoh dari biogenik amine yang banyak

terkandung dalam produk kecap ikan adalah histamine hasil degradasi oleh bantuan

mikroorganisme Bacillus dan Staphylococcus.

Analisa selanjutnya mengenai viskositas yang dimiliki oleh kecap ikan memiliki hasil

pengamatan dimana semakin tingginya konsentrasi dari enzim proteolitik akan menghasilkan

tingkat viskositas yang semakin rendah. Hal ini sesuai dengan pendapat yang dikemukakan oleh

Udomsil et al (2010) dimana semakin tingginya kadar enzim proteolitik yang diberikan maka

akan menghasilkan kecap ikan dengan viskositas yang semakin cair, sehingga dapat disimpulkan

bahwa aspek viskositas sangat dipengaruhi oleh % konsentrasi enzim yang diberikan. Hal ini

dapat dijelaskan bahwa semakin banyak enzim proteolitik akan menghasilkan laju penguraian

bahan organik yang semakin besar. Akan tetapi apabila melihat dari karateristik produk kecap

ikan yang tinggi akan protein dan rendah akan karbohidrat, perlu dipertimbangkan mengenai

teori yang berasal dari Steinkraus (2004) yang mengatakan bahwa tingkat kekentalan kecap asin

tidak memiliki hubungan yang nyata terhadap konsentrasi enzim proteolitik. Diketahui bahwa

Page 16: Kecap Ikan_Michael Heryanto_13.70.0004_D1_UNIKA SOEGIJAPRANATA

15

komponen yang menyebabkan kekentalan lebih kepada senyawa karbohidrat dan residunya

(Winarno, 2002). Alhasil kekentalan yang dimiliki oleh kecap ikan lebih dipengaruhi oleh

jumlah bumbu yang ditambahkan, seperti penambahan gula kelapa yang mampu meningkatkan

viskositas dari kecap ikan. Akan tetapi tidak dapat ditolak mengenai teori yang berasal dari

Astawan & Astawan (1998) dengan teori yang berasal dari Steinkraus (2004), hal ini disebabkan

karena Steinkraus (2004) menambahkan pendapatnya bahwa memang enzim proteolitik yang

ditambahkan memiliki pengaruh terhadap viskositas dari kecap ikan yang akan berbanding

terbalik, akan tetapi tidak memiliki nilai signifikansi yang tinggi (hubungan tidak kuat).

Berdasarkan kelima tingkatan konsentrasi % enzim papain belum mampu disimpulkan mana

konsentrasi yang optimum dalam menghasilkan karateristik produk yang maksimal. Hal ini

disebabkan karena diperlukannya % konsentrasi enzim papain yang lebih luas, sehingga

dimungkinkan bahwa konsentrasi enzim papain > 1% masih memiliki hasil yang jauh lebih

optimal hingga batas % enzim papain yang menunjukan penurunan kualitas dari kecap ikan.

Keterbatasan lainnya dalam menentukan % enzim papain yang optimum adalah karena

keterbatasan dari panelis yang tidak terlatih, sehingga hasil dari analisa sensori belum mampu

menjawab dari pengaruh % tingkatan konsentrasi secara kredibilitas dan dapat dipercaya dengan

tingkat kepercayaan yang tinggi (Udomsil et al, 2010). Adapun % tingkat konsentrasi enzim

papain yang ditambahkan merupakan nilai yang relatif bagi suatu pengolahan produk tertentu,

dan sangat dipengaruhi oleh jenis enzim dan jumlahnya yang digunakan, jenis ikan, kondisi dan

lama waktu inkubasi, serta penggunaan bahan tambahan tertentu (Subroto et al, 1985). Oleh

karena itu diperlukan penelitian lebih lanjut mengenai % enzim papain optimal yang akan

menghasilkan karateristik produk yang terbaik.

Page 17: Kecap Ikan_Michael Heryanto_13.70.0004_D1_UNIKA SOEGIJAPRANATA

4. KESIMPULAN

Kecap ikan merupakan hasil dari fermentasi bagian selain dari daging ikan (kepala, tulang,

dan lainnya) yang diberikan perlakuan penggaraman sehingga mikroorganisme halofilik

akan menguraikan produk tersebut menjadi suatu kecap ikan (Metode konvensional).

Kelemahan dari produksi secara konvensional yaitu waktu produksi yang panjang dan

ketidakstabilannya proses fermentasi yang dipengaruhi oleh kondisi lingkungan.

Metode pembuatan kecap ikan yang dilakukan dalam percobaan ini adalah dengan

menggunakan enzim papain yang berperan aktif secara proteolitik terhadap protein dalam

bahan yang digunakan (Metode modern).

Kelebihan dari produksi kecap ikan secara modern (penggunaan enzim proteolitik) adalah

dibutuhkan waktu produksi yang jauh lebih singkat.

Kelemahan dari produksi kecap ikan secara modern (penggunaan enzim proteolitik) adalah

kualitas sensori yang tidak semaksimal pada proses produksi konvensional.

Konsentrasi enzim proteolitik memiliki peran yang signifikan terhadap karateristik warna,

rasa, aroma, dan kekentalan dari kecap ikan.

Semakin tinggi konsentrasi enzim proteolitik yang ditambahkan akan menghasilkan produk

kecap ikan dengan warna yang memudar.

Pemudaran warna juga dapat terjadi akibat dalam produksi kecap ikan yang dipengaruhi

oleh perlakuan lainnya seperti perlakuan pemasakan yang diberikan, serta penambahan

bumbu yang digunakan.

Tingkatan konsentrasi enzim proteolitik tidak memiliki pengaruh terhadap hasil analisa rasa

(tingkat keasinan) dan lebih dipengaruhi oleh jumlah garam, jenis ikan yang digunakan,

serta lama waktu inkubasi yang dilakukan.

Rasa yang nikmat dan kuat dari kecap ikan dipengaruhi oleh waktu inkubasi yang lama,

konsentrasi jumlah enzim yang tinggi, serta jenis ikan yang digunakan.

Semakin tinggi konsentrasi enzim proteolitik yang ditambahkan akan memberikan hasil

peningkatan aroma yang semakin kuat disebabkan aktifitas proteolitik dari papain terhadap

asam amino (senyawa penyusun aroma).

Konsentrasi enzim proteolitik yang berlebihan akan mengakibatkan aroma yang kurang

sedap karena banyak asam amino yang teroksidasi.

16

Page 18: Kecap Ikan_Michael Heryanto_13.70.0004_D1_UNIKA SOEGIJAPRANATA

17

Semakin tinggi konsentrasi enzim proteolitik yang ditambahkan akan memberikan

hasil penurunan nilai kekentalan pada kecap ikan.

Kekentalan pada kecap ikan juga dipengaruhi oleh jumlah bumbu yang ditambahkan,

seperti penambahan gula kelapa yang mampu meningkatkan viskositas dari kecap ikan.

Proses inkubasi bertujuan untuk mendukung terjadinya proses proses hidrolisis ikatan

protein oleh enzim papain.

Proses inkubasi yang terlalu panjang akan berakibatkan kepada hilangnya senyawa

nitrogen yang akan dikonversi menjadi ammonia (memunculkan bau tidak sedap).

Waktu inkubasi yang optimal ditentukan berdasarkan suhu lingkungan inkubator,

perbandingan jumlah enzim dan bahan, serta kadar garam yang ditambahkan.

Proses pemasakan bertujuan sebagai proses sterilisasi dalam produk kecap ikan.

Proses pemasakan dengan suhu dan waktu yang berlebihan akan mendukung dari

terjadinya reaksi degradasi komponen gizi dan memunculkan reaksi pencokelatan.

Penambahan garam bertujuan untuk untuk meningkatkan cita rasa, serta untuk

mengontrol proses fermentasi yang terjadi dan meningkatkan kadar salinitas pada

kecap ikan.

Penambahan bawang putih memiliki fungsi sebagai antibiotik (penakan aktifitas

mikroorganisme) dan memperkaya aroma, cita rasa, dan warna dari kecap ikan.

Penambahan gula aren hanya bertujuan untuk meningkatkan aroma cita rasa yang khas

dan menekan kadar salinitas yang terlalu tinggi.

Belum dapat ditentukan mengenai tingkatan konsentrasi enzim papain yang optimal

terhadap pembentukan kecap ikan dengan karateristik yang optimal.

Keterbatasan dalam menentukan % enzim papain yang optimum adalah akibat dari

penggunaan panelis yang tidak terlatih dan tingkatan konsentrasi enzim papain yang

sempit.

Tingkat konsentrasi enzim papain optimum sangat dipengaruhi oleh jenis enzim dan

jumlahnya yang digunakan, jenis ikan, kondisi dan lama waktu inkubasi, serta

penggunaan bahan tambahan tertentu.

Page 19: Kecap Ikan_Michael Heryanto_13.70.0004_D1_UNIKA SOEGIJAPRANATA

18

Semarang, 30 Oktober 2015 Praktikan Asisten Dosen :

Michael Heryanto Michelle Darmawan

(13.70.0004)

Page 20: Kecap Ikan_Michael Heryanto_13.70.0004_D1_UNIKA SOEGIJAPRANATA

5. DAFTAR PUSTAKA

Afrianto, E & Liviawaty, E. 1989.Pengawetan dan Pengolahan Ikan. Kanisisus. Jakarta.

Astawan, M. W. & M. Astawan. 1988. Teknologi Pengolahan Pangan Hewani Tepat Guna. CV. Akademika Pressindo. Jakarta

Akolkar, A.V., D. Durai, and A.J. Desai. 2009. Halobacterium sp. SP(1) as a starter culture for accelerating fish cause fermentation. Journal of Applied Microbiology. ISSN 1364-5072.

Buckle, K.A, Edwards, R.A, Fleet, G.H, Wootton, M. (1985). Ilmu Pangan. Universitas Indonesia Press. Jakarta.

DEPARTEMEN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA . 1995 . Daftar tanaman obat Indonesia. Pusat Penelitian Farmasi, Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Jakarta.

Frazier, W. C & D.C, Westhoff. (1988). Food Microbiology 4 th Edition. McGraw Hill. New York.

Fukami, K, Ishiyama, H, Yaguramaki, T, Masuzawa, Y, Nabeta, K, Endo & M, Shimoda. (2002). Identification of Distinctive Volatile Compound in Fish Sauces. J.Agric.Food.Chem Vol 50:5412-5416

Garbutt, J. 1997. Essentials of Food mikrobiology. Arnold, London.

Hezayen, F.F., and Mafdi A.M.Y. 2010. Oceanobacillus aswanensis strain FS10 sp. nov., an extremely halotolerant bacterium isolated from salted fish sauce in aswan city, Egypt. Global Journal of Molecular Sciences. Vol 5(1) : 01-06. ISSN 1990-9241.

Hidayat, N, Padaga, M.C & S, Suhartini. (2006). Mikrobiologi Industri. Penerbit Andi. Yogyakarta.

Jiang, J.J, Qing, X.Z, and Zhi, W.Z. 2008. Analysis of volatile compounds in traditional Chinese fish sauce (Yu Lu). Journal of Food Bioprocess Technology.

Kanlayakrit, W & A, Boonpan. (2007). Screening and Halophilic Lipase-Producing Bacteria and Characterization of Enzyme for Fish Sauce Quality Improvement. Kasetsarj.J.Nat.Sci Vol 41:576-585.

19

Page 21: Kecap Ikan_Michael Heryanto_13.70.0004_D1_UNIKA SOEGIJAPRANATA

20

Kilinc, B, Cakli, S, Tolasa, S & T, Dincer. (2006). Chemical, Microbiological and Sensory Changed Associated with Fish Sauce Processing. Eur.Food.Res.Technol Vol 222:604-613.

Olunbumi, F, Suleman, S, Uche, I, Olumide, B. (2010). Preliminary Production of Fish Sauce from Clupeids. New York Science Journal Vol 3(3):45-49.

Poeloengan .M. 2009. Uji Daya Hambat Perasan Umbi Bawang Putih (Alium Sativum Linn.) Terhadap Bakteri yang Diisolasi dari Telur Ayam Kampung. Balai Besar Penelitian Veteriner, Bogor.

Ritthiruangdej, P & T, Suwonsichon. (2006). Sensory Properties of Thai Fish Sauces and Their Categorization. Kasetsarj.J.Nat.Sci Vol 40:181-191

Singapurwa, N.M.A.S. (2012). Pemanfaatan Enzim Buah Pada Pembuatan Kecap Limbah Ikan Untuk Mengurangi Pencemaran Lingkungan. Jurnal Lingkungan Vol 21(1):1-5

Steinkraus, K. (2004). Industrialization of Indigenous Fermented Food, Revised and Expanded. CRC Press. New York.

Stone, H.J, Sidel, S, Oliver, A, Woolsey & R.C, Singleton. (1974). Sensory Evaluation by Quantitative Descriptive Analysis. Food.Technol Vol 28:24-33

Subroto, W.L, Hutucly, N.N, Haerudin & A, Purnomo. (1985). Penelitian Pendahuluan Kecap Ikan Secara Hidrolisis Enzimatis. Teknologi Perikanan BPTP. Jakarta.

Sudarmadji, S.B, Haryono, Suhardi. (1997). Analisa Bahan Makanan dan Pertanian. Liberty. Yogyakarta.

Udomsil, N., Sureelak, R., Somboon, T., and Jirawat, Y. 2010. Proteinase producing halophilic lactic acid bacteria isolated from fish sauce fermentation and their ability to produce volatile compounds. International Journal of Food Microbuiology. Vol 14: 186-194.

Winarno, F.G. (2002). Kimia Pangan dan Gizi. PT.Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.

Yongsawatdigul, J, Rodtong, S, Raksakulthai, N. (2007). Acceleration of Thai Fish Sauces Fermentation Using Proteinases and Bacterial Starter Cultures. Journal of Food Science Vol 72(9):1-9.

Zaman, M.Z, Fatimah, A.B, Jinap, S., and Jamilah, B. 2010. Occurrence of biogenic amines degrading bacteria in fish sauce. Czech Journal of Food Sciences. Vol 28 (5) :440-449.

Page 22: Kecap Ikan_Michael Heryanto_13.70.0004_D1_UNIKA SOEGIJAPRANATA

21

Sarada, R, Manoj, G, Pillai, G.A, Ravishankar. (1999). Phycocyanin From Spirulina sp: Influence of Processing Biomass on Phycocyanin Yield, Analysis of Efficacy of Extraction Method and Stability Studies of Phycocyanin. Process Biochemistry Vol 34:795-801.

Seo, Y.C, Choi, W.S, Park, J.H, Park, J.O, Jung, K.H & H.Y, Lee.(2013). Stable Isolation of Phycocyanin from Sprilunia plantesis Associated With High Pressure Extraction Process. Int.J.Mol.Sci Vol 14:1778:1787.

Sidler, W.A. (1991). Phycobilisome and Phycobiliprotein Structure. In Bryant, D.A. The Molecular Biology of Cyanobacteria. Kluwer Academic. Netherlands.

Song, W, Zhao, C & S, Wang. (2013). A Large Scale Preparation Method For High Purity of C-phycocyanin. International Journal of Bioscience, Biochemistry, Bioinformatics Vol 3(4):293-297.

Vijaya .V; dan Narayanaswarny .A. 2009. Blue light enhance the pigment synthesis in cyanobacterium Anabaena ambigua Rao (Nostacales). Journal of Agricultural and Biological Science 4(3). ISSN 1990-6145.

Walter .A; Julio C.C; Vanete T.S; Ana B.B.F; Vanessa .G; dan Carlos R.S. 2011. Study of Phycocyanin Production from Spirulina platensis under different light spectra. International of Biology and Biotechnology Journal 54:675-682. ISSN 1516-8913.

Winarno, F.G & B.S, Laksmi. (1973). Pigmen Dalam Pengolahan Pangan. Departemen Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Zhang .X; Fenqin .Z; Guanghong .L; Shenghui .Y; dan Danxia .W. 2015. Extraction and separation of phycocyanin from Spirulina using aquaeous two-phase systems of ionic liquid and salt. Journal of Food and Nutrition Research 3(1):15-19.

Page 23: Kecap Ikan_Michael Heryanto_13.70.0004_D1_UNIKA SOEGIJAPRANATA

6. LAMPIRAN

6.1. Perhitungan

Rumus:

Salinitas (% )=hasil pengukuran1000

x 100 %

Kelompok D1

Hasil pengukuran = 40

Salinitas (% )= 401000

x100 %=4 %

Gram Papain :

0,2 %= 0,2100

x50=0,1 gram

Kelompok C 2

Hasil pengukuran = 30

Salinitas (% )= 301000

x100 %=3 %

Gram Papain :

0,4 %= 0,4100

x50=0,2 gram

Kelompok C 3

Hasil pengukuran = 30

Salinitas (% )= 301000

x100 %=3 %

Gram Papain :

0,6 %= 0,6100

x 50=0,3 gram

Kelompok C 4

Hasil pengukuran = 25

Salinitas (% )= 251000

x100 %=2,5 %

22

Page 24: Kecap Ikan_Michael Heryanto_13.70.0004_D1_UNIKA SOEGIJAPRANATA

23

Gram Papain :

0,8 %= 0,8100

x 50=0,4 gram

Kelompok C 5

Hasil pengukuran = 35

Salinitas (% )= 351000

x100 %=3,5 %

Gram Papain :

1 %= 1100

x50=0,5 gram

6.2. Laporan Sementara

6.3. Diagram Alir

6.4. Abstrak Jurnal

Page 25: Kecap Ikan_Michael Heryanto_13.70.0004_D1_UNIKA SOEGIJAPRANATA