Kecap Ikan_Michael Heryanto_13.70.0004_D1_UNIKA SOEGIJAPRANATA
-
Upload
praktikumhasillaut -
Category
Documents
-
view
227 -
download
3
description
Transcript of Kecap Ikan_Michael Heryanto_13.70.0004_D1_UNIKA SOEGIJAPRANATA
Acara III
KECAP IKAN
LAPORAN RESMI PRAKTIKUMTEKNOLOGI HASIL LAUT
Disusun oleh :
Nama : Michael Heryanto
NIM : 13.70.0004
Kelompok : D1
`
PROGRAM STUDI TEKNOLOGI PANGANFAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
UNIVERSITAS KATOLIK SOEGIJAPRANATASEMARANG
2015
I. PRESENTASE PLAGIASI VIPER
1
1. MATERI DAN METODE
1.1. Alat dan Bahan
Alat yang digunakan dalam percobaan ini terdiri atas blender, pisau, botol, toples, panci,
kain saring, dan pengaduk kayu.
Bahan yang digunakan dalam percobaan ini terdiri atas tulang dan kepala ikan, enzim
papain komersial, garam, gula kelapa, dan bawang putih.
1.2. Metode
2
Tulang dan kepala ikan dihancurkan dan dimasukkan ke dalam toples sebanyak 50 gram
Enzim papain ditambahkan ke dalam toples dengan konsentrasi 0,2% (kelompok D1), konsentrasi 0,4% (kelompok D2), konsentrasi 0,6% (kelompok D3),
konsentrasi 0,8% (kelompok D4); konsentrasi 1% (kelompok D5)
3
Toples diinkubasi pada suhu ruang selama 4 hari
Hasil fermentasi ditambahkan dengan air sebanyak 300 ml
Hasil fermentasi disaring menggunakan kain saring
4
Filtrat ditambahkan dengan 50 gram bawang putih, 50 gram garam, dan 50 gram gula kelapa.
Filtrat direbus sampai mendidih sambil diaduk selama 30 menit
Setelah dingin hasil perebusan disaring
5
Dilakukan pengamatan uji sensori berupa warna, rasa, dan aroma kecap
Kecap diambil sebanyak 1 ml dan diencerkan dengan aquades sebanyak 9 ml (pengenceran 10-1)
Dilakukan uji salinitas kecap dengan menggunakan hand refractometer
6
Salinitas kecap ikan dihitung dengan menggunakan rumus:
Salinitas=hasil refraksi1000
x 100 %
2. HASIL PENGAMATAN
Berikut merupakan hasil pengamatan pada praktikum mengenai proses pembuatan
kecap ikan secara enzimatis dengan penambahan berbagai tingkatan konsentrasi enzim
papain, dapat dilihat pada Tabel 1 di bawah ini.
Tabel 1. Kecap Ikan dengan Penambahan Enzim Papain
Kel. Perlakuan Warna Rasa Aroma Penampakan Salinitas (%) D1 Enzim papain 0,2% ++++ +++++ ++ +++++ 4,00
D2 Enzim papain 0,4% +++++ ++++ ++ ++++ 3,00D3 Enzim papain 0,6% +++ ++++ ++ +++ 3,00D4 Enzim papain 0,8% +++ ++ ++++ + 2,50D5 Enzim papain 1% +++ +++++ +++ + 3,50
Keterangan:Warna : Aroma + : tidak coklat gelap + : sangat tidak tajam++ : kurang coklat gelap ++ : kurang tajam +++ : agak coklat gelap +++ : agak tajam ++++ : coklat gelap ++++ : tajam+++++ : sangat coklat gelap +++++ : sangat tajamRasa Penampakan + : sangat tidak asin + : sangat cair++ : kurang asin ++ : cair+++ : agak asin +++ : agak kental++++ : asin ++++ : kental+++++ : sangat asin +++++ : sangat kental
Pada Tabel 1 di atas disimpulkan bahwa perbedaan kadar enzim papain yang
ditambahkan akan memberikan karateristik sensori yang khusus. Secara garis besar
semakin tinggi konsentrasi enzim papain yang ditambahkan akan menghasilkan kecap
ikan dengan karateristik warna coklat yang semakin memudar, aroma yang dihasilkan
akan semakin tajam, dan penampakan kecap yang semakin cair. Sedangkan berdasarkan
pengamatan mengenai karateristik rasa dan % salinitas memberikan hasil data yang
fluktuatif, sehingga data tidak dapat ditarik kesimpulan mengenai pengaruh tingkatan %
enzim papain terhadap karateristik kecap ikan yang dihasilkan.
7
3. PEMBAHASAN
Pemanfaatan terhadap produk fermentasi pada saat ini telah banyak dimanfaatkan.
Kelebihan yang dimiliki oleh produk fermentasi berupa umur simpan produk fermentasi
yang diperpanjang, terdapat peningkatan aroma dan rasa, peningkatan kandungan gizi, dan
kemudahan produk tersebut untuk dapat dicerna oleh tubuh membuat produk hasil
fermentasi menjadi semakin popular (Kilinc et al, 2006). Salah satu bentuk produk
fermentasi yang telah dikenal secara luas dan lama adalah kecap ikan (Olubunmi et al,
2010). Kecap ikan merupakan hasil dari fermentasi bagian selain dari daging ikan (kepala,
tulang, dan lainnya) yang diberikan perlakuan penggaraman sebagai suatu senyawa
pengontrol mikroorganisme tertentu, sehingga hanya mikroorganisme halofilik yang
mampu menguraikan produk tersebut menjadi suatu kecap ikan (Hezayen et al, 2010). Hal
ini didukung dari penelitian yang dilakukan oleh Hezayen et al (2010) bahwa ditemukan
bakteri berjenis halofilik ekstrim dalam kecap ikan yang memiliki karateristik gram positif,
mampu memfermentasi beberapa jenis gula, dan sel tubuh yang berbentuk batang dengan
contoh adalah Oceanobacillus aswanensis.
Dalam memproduksi kecap ikan secara konvensional akan dibutuhkan waktu yang
cukup lama 6 hingga 12 bulan untuk menghasilkan suatu cairan jernih, yang berwarna
kuning kecoklatan, dan berbau amis yang didapatkan dari kecap ikan (Akolkar et al,
2009). Berbagai keuntungan dalam memproduksi kecap ikan adalah kemudahan untuk
diproduksi, tidak memerlukan jenis ikan tertentu sehingga bagian ikan sisa pengolahan
pun dapat dimanfaatkan, dan tidak membutuhkan energi dalam proses fermentasi. Akan
tetapi memiliki berbagai kelemahan dimana salah satunya adalah waktu produksi yang
panjang dan ketidakstabilannya proses fermentasi yang dipengaruhi oleh kondisi
lingkungan (Akolkar et al, 2009). Akan tetapi menurut Akolkar et al (2009) dalam
produksi kecap ikan yang memanfaatkan prinsip dari fermentasi memiliki manfaat yang
tinggi apabila dikonsumsi akibat protein sumber tinggi yang dikandungnya.
Salah satu langkah yang mampu mempercepat dalam proses pembuatan kecap ikan
adalah dengan menggunakan langkah enzimatis yang berasal dari luar mikroorganisme
halophilic (Subroto et al, 1985). Berbagai jenis enzim yang bersifat proteolitik mampu
8
9
digunakan seperti bromelin, papain, dan beberapa enzim lainnya. Dalam proses fermentasi yang
berlangsung akan terjadi proses penguraian protein menjadi bentuk yang lebih sederhana seperti
asam amino dan ikatan peptida, dan dihasilkan senyawa samping yang berperan terhadap
pembenrukan cita rasa, aroma yang menjadi ciri khas bagi kecap ikan yaitu seperti 2-
metilpropanal; 2-metilbutanal; 2-pentanon; 2-etilpiridin; dimetil trisulfat dan asam 3-
metilbutanoat (Fukami et al, 2002). Akan tetapi tetap memiliki keunggulan bagi produk kecap
ikan yang diproduksi secara tradisional dengan memanfaatkan mikroorganisme halofilik yang
mengeluarkan enzim proteolitik secara endogenik. Hal ini disebabkan selama proses fermentasi
berlangsung, tidak hanya enzim proteolitik saja yang dihasilkan, akan tetapi juga terdapat enzim
lainnya yang diduga mempengaruhi dari karateristik kecap ikan yang dihasilkan menjadi
semakin lebih baik (Kanlayakrit & Boonpan, 2007).
Metode pembuatan kecap ikan yang dilakukan dalam percobaan ini adalah dengan cara modern
dengan menggunakan enzim papain yang berperan aktif secara proteolitik dalam mendegradasi
protein terhadap bahan sisa ikan diluar daging ikan. Penelitian yang dilakukan oleh Akolkar et al
(2009) menunjukan bahwa proses pembuatan kecap ikan yang dilakukan secara enzimatis akan
membutuhkan waktu produksi yang jauh lebih singkat. Akan tetapi walaupun dibutuhkan waktu
yang lebih cepat, dan kandungan protein yang tinggi, namun kualitas sensori pun tidak maksimal
karena hanya memanfaatkan dari proses penguraian protein saja yang akan menghasilkan asam
amino, ikatan peptida, dan nitrogen yang berperan dalam karateristik kecap ikan (Steinkraus,
2004).
Dalam percobaan ini digunakan bahan berupa hancuran ikan bawal (kepala, ekor, dan tulang)
sebanyak 50 gram yang dimasukan ke dalam toples fermentasi. Perlakuan penghancuran bahan
dimaksudkan untuk memperluas permukaan kontak bahan dengan komponen enzim papain yang
ditambahkan agar enzim dapat bereaksi sepenuhnya terhadap protein dalam bahan secara
menyeluruh (Afrianto & Liviawaty, 1989). Proses selanjutnya diikuti dengan menambahkan
berbagai tingkatan konsentrasi enzim papain sebesar 0,2%, 0,4%, 0,6%, 0,8%, dan 1%, sehingga
dalam percobaan ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh berbagai tingkatan konsentrasi enzim
proteolitik terhadap karateristik kecap ikan yang dihasilkan. Dengan kata lain konsentrasi enzim
proteolitik memiliki peran yang signifikan terhadap karateristik warna, rasa, aroma, dan
10
kekentalan dari kecap ikan. Enzim papain merupakan enzim proteolitik yang terdapat dalam
ekstrak getah pepaya yang biasanya diaplikasikan dalam pengempukan daging sapi. Diketahui
secara teoritis bahwa penambahan enzim proteolitik akan menghasilkan reaksi yang maksimal
terhadap hidrolisis protein yang terdapat dalam bahan (Steikraus, 2004). Alhasil akan
menghasilkan produk kecap ikan dengan warna yang memudar, rasa dan aroma yang semakin
kuat, dan penampakan yang encer.
Selanjutnya dilakukan proses inkubasi selama 3 hari. Proses ini bertujuan untuk mendukung
terjadinya proses hidrolisis ikatan protein oleh enzim papain (Winarno, 2002). Proses inkubasi
yang berlangsung dalam waktu yang sangat lama, tidaklah menunjukan bahwa proses pembuatan
kecap ikan menjadi semakin lebih baik akibat proses hidrolisis protein yang terjadi secara
maksimal. Akan tetapi proses inkubasi yang terlalu panjang akan berakibatkan kepada hilangnya
senyawa nitrogen yang akan dikonversi menjadi ammonia, sehingga akan dihasilkan produk
dengan karateristik yang tidak diinginkan (Singapurwa, 2012). Penentuan waktu inkubasi yang
optimal ditentukan berdasarkan suhu lingkungan inkubator, perbandingan jumlah enzim dan
bahan, serta kadar garam yang ditambahkan selama proses berlangsung (Yongsawatdigul et al,
2007). Walaupun menurut Subroto et al (1985) proses fermentasi secara enzimatis mampu
dicapai selama 3 hari proses inkubasi.
Setelah proses inkubasi berlangsung, padatan dan cairan hasil fermentasi ditambahkan dengan 250
ml air yang kemudian dilakukan penyaringan untuk memisahkan cairan fermentasi dengan padatan
yang tidak diinginkan. Selanjutnya dilakukan proses perebusan selama 30 menit dengan
penambahan campuran bumbu halus (bawang putih, garam, dan butir kelapa). Proses pemasakan
bertujuan sebagai proses sterilisasi dalam produk kecap ikan, sehingga mikroorganisme yang tidak
diinginkan dapat dimatikan aktivitasnya. Seharusnya diberikan perlakuan tambahan selama proses
inkubasi dilaksanakan. Hal ini berupa pemakaian sejumlah besar garam yang ditambahkan ke dalam
bahan sebelum proses fermentasi dilaksanakan. Hal ini disebabkan menurut Akolkar et al (2009).
larutan garam mampu digunakan sebagai pengontrol dalam proses fermentasi, karena pada garam
berfungsi sebagai bahan pengawet dengan menciptakan tekanan osmotik yang tinggi bagi sel-sel
mikroorganisme. Tindakan ini didukung oleh Udomsil et al (2010) yang berpendapat bahwa
pentingnya penambahan sejumlah besar garam untuk menyeleksi produk dari tumbuhnya
11
mikoorganisme yang tidak diinginkan, sehingga hanya enzim papain saja yang bertugas dalam
melakukan aktifitas proteolitik dalam bahan. Adapun hal ini menurut Udomsil et al (2010)
bertujuan untuk menarik aktifitas air dari jaringan daging dan mencegah reaksi pembusukan oleh
mikroorganisme yang tidak diinginkan yang mampu menghasilkan karateristik (aroma maupun cita
rasa) yang tidak diinginkan secara berlebihan ketika proses inkubasi selesai dilaksanakan. Oleh
karena itu penambahan garam tidak hanya bertujuan untuk menambahkan cita rasa tetapi
mengontrol proses fermentasi yang terjadi dan meningkatkan kadar salinitas pada kecap ikan
(Winarno, 2002)
Walaupun selama proses fermentasi, mikroorganisme yang berasal dari produk yang tidak
diinginkan dapat melakukan aktifitasnya. Oleh karena itu diperlukan perlakuan yang
memberikan jaminan bagi keamanan dari produk melalui perlakuan pemanasan (Frazier &
Westhoff, 1998). Pemanasan yang berlebihan bukanlah suatu treatment yang akan menghasilkan
produk dengan karateristik yang optimal (bebas dari mikroorganisme), akan tetapi menghasilkan
produk dengan kualitas rendah akibat protein dan komponen gizi lainnya yang terdenaturasi, dan
reaksi pencokelatan (maillard) yang terjadi dalam bahan (Udomsil et al, 2010). Garam, bawang
putih, dan gula kelapa yang ditambahkan terhadap cairan hasil fermentasi bertujuan untuk
meningkatkan dan memperkaya aroma, cita rasa, dan warna dari kecap ikan dan merupakan
salah satu tindakan alternatif dalam menyembunyikan aroma dan cita rasa yang terbentuk selama
proses fermentasi kecap ikan berlangsung (Singapurwa, 2012). Penambahan garam menurut
Buckle (1985) memberikan efeknya terhadap penghambatan aktivitas mikroorganisme pembusuk
dan patogen. Peran konsentrasi garam dalam menghambat aktifitas pertumbuhan
mikroorganisme menurut Garbutt (1977) dilakukan dengan cara peningkatan tekanan osmotik
pada air dan menurunkan kadar Aw yang terdapat dalam bahan pangan. Sedangkan penambahan
bawang putih memiliki fungsi sebagai antibiotik karena sifat antimikrobanya yang dimiliki
dalam penghambatan aktivitas pertumbuhan mikroba (Poeloengan .M, 2009). Hal ini dapat
terjadi karena dalam bawang putih menurut Departemen Kesehatan RI (1995) terkandung
senyawa minyak atsiri, dialil sulfida, aliin, alisin enzim alinase, saponin, flavonoid, dan
polifenol. Kemudian penambahan gula aren / kelapa hanya bertujuan untuk meningkatkan aroma
cita rasa yang khas dan menekan kadar salinitas yang terlalu tinggi.
12
Tahapan produksi selanjutnya adalah kecap ikan yang telah mengalami proses pemasakan
diberikan penyaringan kedua kalinya yang bertujuan untuk memisahkan padatan-padatan
tersuspensi dalam kecap ikan yang berasal dari rempah yang digunakan. Tahapan ini merupakan
langkah yang penting untuk dilakukan, karena parameter yang diuji merupakan parameter yang
menjadi tolak ukur bagi kecap ikan untuk dapat diterima oleh konsumen (Ritthiruangdej &
Suwonsichon, 2006). Warna merupakan karateristik krusial yang dimiliki oleh kecap ikan, dan
menjadi hal pertama yang dilihat konsumen dan menjadi pertimbangan mengenai produk
tersebut. Hasil analisa warna berdasarkan pengamatan yang diperoleh menunjukan bahwa
seiring dengan meningkatnya konsentrasi dari enzim papain akan memudarkan warna coklat
yang dimiliki oleh kecap ikan. Hasil pengamatan yang diberikan bertolak belakang dengan
pendapat yang berasal dari Udomsil et al (2010) yang mengatakan bahwa tidak terdapatnya
hubungan tingkat konsentrasi enzim proteolitik terhadap pengaruh warna produk yang
dihasilkan. Adapun terjadinya pemudaran warna dalam produksi kecap ikan dipengaruhi oleh
perlakuan lainnya seperti perlakuan pemasakan yang diberikan, serta penambahan bumbu yang
digunakan. Intensitas warna yang dimiliki oleh kecap ikan dipengaruhi oleh suhu pemasakan,
lama waktu fermentasi, dan bumbu yang ditambahkan (Hidayat et al, 2006). Lama waktu
fermentasi merupakan hal yang cukup berpengaruh terhadap pembentukan warna kecap ikan,
proses fermentasi yang semakin panjang akan mneghasilkan kecap ikan dengan karateristik
warna yang sangat coklat (Buckle et al, 2007). Mekanisme pencoklatan terjadi baik secara
enzimatis akibat reaksi antara gugus asam amino dengan gula pereduksi (browning reaction),
ataupun secara non-enzimatis akibat dari reaksi pemanasan dengan penambahan gula aren
sebagai bumbu tambahan (maillard reaction) (Winarno, 2002). Adapun terjadinya
ketidakstabilan pada pengamatan warna pada kecap ikan dipengaruhi oleh penggunaan jumlah
bumbu halus gula kelapa yang masing-masing berbeda antar kelompok, suhu dan waktu
pemanasan yang tidak terkontrol dan terukur antara masing-masing kelompok yang mendukung
dari terjadinya reaksi maillard non-enzimatis menurut Buckle et al (2007).
Analisa sensori selanjutnya berupa karateristik rasa yang dihasilkan berdasarkan pengamatan
memberikan hasil data yang fluktuatif, sehingga data tidak dapat ditarik kesimpulan mengenai
pengaruh tingkatan % enzim papain terhadap karateristik rasa kecap ikan yang dihasilkan.
Karateristik rasa yang diuji menunjukan nilai tingkat keasinan yang dianalisa secara kuantitatif.
13
Hasil pengamatan yang diperoleh menunjukan hasil yang tepat bahwa analisa rasa tidak memiliki
pengaruh terhadap tingkatan konsentrasi enzim papain yang diberikan. Menurut Olunbumi et al
(2010) tingkat keasinan dalam kecap ikan lebih dipengaruhi oleh jumlah garam yang
ditambahkan selama proses pemasakan berlangsung, jenis ikan yang digunakan, serta lama
waktu inkubasi yang diberikan. Adapun pengujian sensori mengenai rasa pada kecap ikan
memiliki keterbatasan karena bersifat subjektif dan dilakukan oleh panelis yang tidak terlatih
sehingga hal ini memunculkan keganjilan yang terdapat dalam hasil pengamatan mengenai
analisa rasa dan pengukuran % salinitas pada kelompok D1 dan D5. Dimana menunjukan bahwa
pada kedua kelompok tersebut memiliki tingkat rasa (keasinan) yang sama, akan tetapi dengan
nilai % salinitas yang berbeda (Stone et al, 1974). Waktu inkubasi yang lama, konsentrasi jumlah
enzim yang tinggi, serta jenis ikan yang tepat mampu menghasilkan karateristik rasa yang baik
dan kuat (Singapurwa, 2012). Hal ini dapat dijelaskan dimana semakin lama waktu inkubasi
yang diberikan akan menghasilkan nitrogen terlarut dalam asam amino dalam jumlah yang
tinggi. Diketahui bahwa rasa enak pada kecap ikan berasal dari jumlah nitrogen yang terlarut
dalam asam amino, sehingga semakakin banyak jumlah nitrogen yang terlarut akan
menghasilkan rasa yang semakin kuat (Udomsil et al, 2010).
Kemudian pengujian sensoris mengenai analisa aroma menurut Jiang et al (2008) merupakan
salah satu parameter yang memiliki keterkaitan terhadap konsentrasi enzim papain yang
ditambahkan. Hal ini disebabkan karena semakin banyaknya enzim proteolitik yang ditambahkan
maka akan menghasilkan hasil degradasi berupa asam amino yang akan berbanding lurus. Dapat
dikatakan bahwa asam amino merupakan suatu komponen penyusun aroma dalam kecap ikan.
Akan tetapi menurut Hidayat et al (2006) konsentrasi enzim proteolitik yang berada dalam
jumlah yang sangat tinggi justru akan menimbulkan aroma yang kurang sedap karena banyaknya
juga asam amino yang teroksidasi. Adapun senyawa lainnya pembentuk aroma yang khas dalam
kecap ikan tersusun atas sejumlah asam-asam organik seperti asam asetat, asam propionat, asam
laktat, dan asam organik lainnya, dan senyawa ester yang saling berikatan dengan asam amino
(Sudarmadji et al, 1997). Berdasarkan penelitian yang dilakukan Jiang et al (2008) menunjukan
bahwa aroma yang dihasilkan dari kecap ikan merupakan gabungan dari bau ammonia, chessy,
dan meaty. Bau ammonia yang dihasilkan berasal dari hasil pemecahan nitrogen yang berlebihan,
sedangkan bau chessy muncul dari senyawa asam lemak bermolekul rendah. Kemudian bau
14
meaty yang berada pada kecap ikan muncul dari reaksi kompleks dan kemungkinan disebabkan
akibat oksidasi secara atmospheric pada bahan yang digunakan dalam proses produksi kecap
ikan (Jiang et al, 2008). Adapun lebih jauh mengenai hasil analisa sensoris yang dilakukan oleh
Jiang et al (2008) menunjukan bahwa dalam kecap ikan terdiri atas 70 senyawa volatile yang
terdiri atas 4 karbonil, 14 hidrokarbon, 14 gugus bernitrogen, 20 asam, 3 gugus bersulfur, 8 ester,
3 senyawa fenolik, dan 4 golongan furan. Adapun keganjilan pada hasil pengamatan yang
terdapat pada kelompok D4 (0,8%) memiliki aroma yang lebih tajam dibandingkan dengan
kelompok D5 (1%). Hal ini disebabkan karena pengujian sensori dilakukan dengan panelis yang
tidak terlatih, sehingga memiliki tingkat kepercayaan yang rendah. Dalam percobaan dihasilkan
bau yang tidak sedap selama pemrosesan kecap ikan berlangsung yang mana menurut Zaman et
al (2010) disebabkan oleh terbentuknya senyawa biogenik amine yang berbobot molekul rendah
yang dihasilkan melalui proses dekarboksilasi terhadap protein oleh bantuan mikrooganisme.
Kehadiran bau yang tidak sedap merupakan suatu kehadiran yang tidak diinginkan dalam
produksi kecap ikan karena mampu mengundang toxicological effect yang berakibat pada
hipertensi, kepala pusing, diare, dan mampu menyebabkan hingga inflammation apabila
dikonsumsi dalam jumlah yang tinggi (Zaman et al, 2010). Biogenik amine sangat mudah
dijumpai dalam produk hasil fermentasi. Salah satu contoh dari biogenik amine yang banyak
terkandung dalam produk kecap ikan adalah histamine hasil degradasi oleh bantuan
mikroorganisme Bacillus dan Staphylococcus.
Analisa selanjutnya mengenai viskositas yang dimiliki oleh kecap ikan memiliki hasil
pengamatan dimana semakin tingginya konsentrasi dari enzim proteolitik akan menghasilkan
tingkat viskositas yang semakin rendah. Hal ini sesuai dengan pendapat yang dikemukakan oleh
Udomsil et al (2010) dimana semakin tingginya kadar enzim proteolitik yang diberikan maka
akan menghasilkan kecap ikan dengan viskositas yang semakin cair, sehingga dapat disimpulkan
bahwa aspek viskositas sangat dipengaruhi oleh % konsentrasi enzim yang diberikan. Hal ini
dapat dijelaskan bahwa semakin banyak enzim proteolitik akan menghasilkan laju penguraian
bahan organik yang semakin besar. Akan tetapi apabila melihat dari karateristik produk kecap
ikan yang tinggi akan protein dan rendah akan karbohidrat, perlu dipertimbangkan mengenai
teori yang berasal dari Steinkraus (2004) yang mengatakan bahwa tingkat kekentalan kecap asin
tidak memiliki hubungan yang nyata terhadap konsentrasi enzim proteolitik. Diketahui bahwa
15
komponen yang menyebabkan kekentalan lebih kepada senyawa karbohidrat dan residunya
(Winarno, 2002). Alhasil kekentalan yang dimiliki oleh kecap ikan lebih dipengaruhi oleh
jumlah bumbu yang ditambahkan, seperti penambahan gula kelapa yang mampu meningkatkan
viskositas dari kecap ikan. Akan tetapi tidak dapat ditolak mengenai teori yang berasal dari
Astawan & Astawan (1998) dengan teori yang berasal dari Steinkraus (2004), hal ini disebabkan
karena Steinkraus (2004) menambahkan pendapatnya bahwa memang enzim proteolitik yang
ditambahkan memiliki pengaruh terhadap viskositas dari kecap ikan yang akan berbanding
terbalik, akan tetapi tidak memiliki nilai signifikansi yang tinggi (hubungan tidak kuat).
Berdasarkan kelima tingkatan konsentrasi % enzim papain belum mampu disimpulkan mana
konsentrasi yang optimum dalam menghasilkan karateristik produk yang maksimal. Hal ini
disebabkan karena diperlukannya % konsentrasi enzim papain yang lebih luas, sehingga
dimungkinkan bahwa konsentrasi enzim papain > 1% masih memiliki hasil yang jauh lebih
optimal hingga batas % enzim papain yang menunjukan penurunan kualitas dari kecap ikan.
Keterbatasan lainnya dalam menentukan % enzim papain yang optimum adalah karena
keterbatasan dari panelis yang tidak terlatih, sehingga hasil dari analisa sensori belum mampu
menjawab dari pengaruh % tingkatan konsentrasi secara kredibilitas dan dapat dipercaya dengan
tingkat kepercayaan yang tinggi (Udomsil et al, 2010). Adapun % tingkat konsentrasi enzim
papain yang ditambahkan merupakan nilai yang relatif bagi suatu pengolahan produk tertentu,
dan sangat dipengaruhi oleh jenis enzim dan jumlahnya yang digunakan, jenis ikan, kondisi dan
lama waktu inkubasi, serta penggunaan bahan tambahan tertentu (Subroto et al, 1985). Oleh
karena itu diperlukan penelitian lebih lanjut mengenai % enzim papain optimal yang akan
menghasilkan karateristik produk yang terbaik.
4. KESIMPULAN
Kecap ikan merupakan hasil dari fermentasi bagian selain dari daging ikan (kepala, tulang,
dan lainnya) yang diberikan perlakuan penggaraman sehingga mikroorganisme halofilik
akan menguraikan produk tersebut menjadi suatu kecap ikan (Metode konvensional).
Kelemahan dari produksi secara konvensional yaitu waktu produksi yang panjang dan
ketidakstabilannya proses fermentasi yang dipengaruhi oleh kondisi lingkungan.
Metode pembuatan kecap ikan yang dilakukan dalam percobaan ini adalah dengan
menggunakan enzim papain yang berperan aktif secara proteolitik terhadap protein dalam
bahan yang digunakan (Metode modern).
Kelebihan dari produksi kecap ikan secara modern (penggunaan enzim proteolitik) adalah
dibutuhkan waktu produksi yang jauh lebih singkat.
Kelemahan dari produksi kecap ikan secara modern (penggunaan enzim proteolitik) adalah
kualitas sensori yang tidak semaksimal pada proses produksi konvensional.
Konsentrasi enzim proteolitik memiliki peran yang signifikan terhadap karateristik warna,
rasa, aroma, dan kekentalan dari kecap ikan.
Semakin tinggi konsentrasi enzim proteolitik yang ditambahkan akan menghasilkan produk
kecap ikan dengan warna yang memudar.
Pemudaran warna juga dapat terjadi akibat dalam produksi kecap ikan yang dipengaruhi
oleh perlakuan lainnya seperti perlakuan pemasakan yang diberikan, serta penambahan
bumbu yang digunakan.
Tingkatan konsentrasi enzim proteolitik tidak memiliki pengaruh terhadap hasil analisa rasa
(tingkat keasinan) dan lebih dipengaruhi oleh jumlah garam, jenis ikan yang digunakan,
serta lama waktu inkubasi yang dilakukan.
Rasa yang nikmat dan kuat dari kecap ikan dipengaruhi oleh waktu inkubasi yang lama,
konsentrasi jumlah enzim yang tinggi, serta jenis ikan yang digunakan.
Semakin tinggi konsentrasi enzim proteolitik yang ditambahkan akan memberikan hasil
peningkatan aroma yang semakin kuat disebabkan aktifitas proteolitik dari papain terhadap
asam amino (senyawa penyusun aroma).
Konsentrasi enzim proteolitik yang berlebihan akan mengakibatkan aroma yang kurang
sedap karena banyak asam amino yang teroksidasi.
16
17
Semakin tinggi konsentrasi enzim proteolitik yang ditambahkan akan memberikan
hasil penurunan nilai kekentalan pada kecap ikan.
Kekentalan pada kecap ikan juga dipengaruhi oleh jumlah bumbu yang ditambahkan,
seperti penambahan gula kelapa yang mampu meningkatkan viskositas dari kecap ikan.
Proses inkubasi bertujuan untuk mendukung terjadinya proses proses hidrolisis ikatan
protein oleh enzim papain.
Proses inkubasi yang terlalu panjang akan berakibatkan kepada hilangnya senyawa
nitrogen yang akan dikonversi menjadi ammonia (memunculkan bau tidak sedap).
Waktu inkubasi yang optimal ditentukan berdasarkan suhu lingkungan inkubator,
perbandingan jumlah enzim dan bahan, serta kadar garam yang ditambahkan.
Proses pemasakan bertujuan sebagai proses sterilisasi dalam produk kecap ikan.
Proses pemasakan dengan suhu dan waktu yang berlebihan akan mendukung dari
terjadinya reaksi degradasi komponen gizi dan memunculkan reaksi pencokelatan.
Penambahan garam bertujuan untuk untuk meningkatkan cita rasa, serta untuk
mengontrol proses fermentasi yang terjadi dan meningkatkan kadar salinitas pada
kecap ikan.
Penambahan bawang putih memiliki fungsi sebagai antibiotik (penakan aktifitas
mikroorganisme) dan memperkaya aroma, cita rasa, dan warna dari kecap ikan.
Penambahan gula aren hanya bertujuan untuk meningkatkan aroma cita rasa yang khas
dan menekan kadar salinitas yang terlalu tinggi.
Belum dapat ditentukan mengenai tingkatan konsentrasi enzim papain yang optimal
terhadap pembentukan kecap ikan dengan karateristik yang optimal.
Keterbatasan dalam menentukan % enzim papain yang optimum adalah akibat dari
penggunaan panelis yang tidak terlatih dan tingkatan konsentrasi enzim papain yang
sempit.
Tingkat konsentrasi enzim papain optimum sangat dipengaruhi oleh jenis enzim dan
jumlahnya yang digunakan, jenis ikan, kondisi dan lama waktu inkubasi, serta
penggunaan bahan tambahan tertentu.
18
Semarang, 30 Oktober 2015 Praktikan Asisten Dosen :
Michael Heryanto Michelle Darmawan
(13.70.0004)
5. DAFTAR PUSTAKA
Afrianto, E & Liviawaty, E. 1989.Pengawetan dan Pengolahan Ikan. Kanisisus. Jakarta.
Astawan, M. W. & M. Astawan. 1988. Teknologi Pengolahan Pangan Hewani Tepat Guna. CV. Akademika Pressindo. Jakarta
Akolkar, A.V., D. Durai, and A.J. Desai. 2009. Halobacterium sp. SP(1) as a starter culture for accelerating fish cause fermentation. Journal of Applied Microbiology. ISSN 1364-5072.
Buckle, K.A, Edwards, R.A, Fleet, G.H, Wootton, M. (1985). Ilmu Pangan. Universitas Indonesia Press. Jakarta.
DEPARTEMEN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA . 1995 . Daftar tanaman obat Indonesia. Pusat Penelitian Farmasi, Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Jakarta.
Frazier, W. C & D.C, Westhoff. (1988). Food Microbiology 4 th Edition. McGraw Hill. New York.
Fukami, K, Ishiyama, H, Yaguramaki, T, Masuzawa, Y, Nabeta, K, Endo & M, Shimoda. (2002). Identification of Distinctive Volatile Compound in Fish Sauces. J.Agric.Food.Chem Vol 50:5412-5416
Garbutt, J. 1997. Essentials of Food mikrobiology. Arnold, London.
Hezayen, F.F., and Mafdi A.M.Y. 2010. Oceanobacillus aswanensis strain FS10 sp. nov., an extremely halotolerant bacterium isolated from salted fish sauce in aswan city, Egypt. Global Journal of Molecular Sciences. Vol 5(1) : 01-06. ISSN 1990-9241.
Hidayat, N, Padaga, M.C & S, Suhartini. (2006). Mikrobiologi Industri. Penerbit Andi. Yogyakarta.
Jiang, J.J, Qing, X.Z, and Zhi, W.Z. 2008. Analysis of volatile compounds in traditional Chinese fish sauce (Yu Lu). Journal of Food Bioprocess Technology.
Kanlayakrit, W & A, Boonpan. (2007). Screening and Halophilic Lipase-Producing Bacteria and Characterization of Enzyme for Fish Sauce Quality Improvement. Kasetsarj.J.Nat.Sci Vol 41:576-585.
19
20
Kilinc, B, Cakli, S, Tolasa, S & T, Dincer. (2006). Chemical, Microbiological and Sensory Changed Associated with Fish Sauce Processing. Eur.Food.Res.Technol Vol 222:604-613.
Olunbumi, F, Suleman, S, Uche, I, Olumide, B. (2010). Preliminary Production of Fish Sauce from Clupeids. New York Science Journal Vol 3(3):45-49.
Poeloengan .M. 2009. Uji Daya Hambat Perasan Umbi Bawang Putih (Alium Sativum Linn.) Terhadap Bakteri yang Diisolasi dari Telur Ayam Kampung. Balai Besar Penelitian Veteriner, Bogor.
Ritthiruangdej, P & T, Suwonsichon. (2006). Sensory Properties of Thai Fish Sauces and Their Categorization. Kasetsarj.J.Nat.Sci Vol 40:181-191
Singapurwa, N.M.A.S. (2012). Pemanfaatan Enzim Buah Pada Pembuatan Kecap Limbah Ikan Untuk Mengurangi Pencemaran Lingkungan. Jurnal Lingkungan Vol 21(1):1-5
Steinkraus, K. (2004). Industrialization of Indigenous Fermented Food, Revised and Expanded. CRC Press. New York.
Stone, H.J, Sidel, S, Oliver, A, Woolsey & R.C, Singleton. (1974). Sensory Evaluation by Quantitative Descriptive Analysis. Food.Technol Vol 28:24-33
Subroto, W.L, Hutucly, N.N, Haerudin & A, Purnomo. (1985). Penelitian Pendahuluan Kecap Ikan Secara Hidrolisis Enzimatis. Teknologi Perikanan BPTP. Jakarta.
Sudarmadji, S.B, Haryono, Suhardi. (1997). Analisa Bahan Makanan dan Pertanian. Liberty. Yogyakarta.
Udomsil, N., Sureelak, R., Somboon, T., and Jirawat, Y. 2010. Proteinase producing halophilic lactic acid bacteria isolated from fish sauce fermentation and their ability to produce volatile compounds. International Journal of Food Microbuiology. Vol 14: 186-194.
Winarno, F.G. (2002). Kimia Pangan dan Gizi. PT.Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.
Yongsawatdigul, J, Rodtong, S, Raksakulthai, N. (2007). Acceleration of Thai Fish Sauces Fermentation Using Proteinases and Bacterial Starter Cultures. Journal of Food Science Vol 72(9):1-9.
Zaman, M.Z, Fatimah, A.B, Jinap, S., and Jamilah, B. 2010. Occurrence of biogenic amines degrading bacteria in fish sauce. Czech Journal of Food Sciences. Vol 28 (5) :440-449.
21
Sarada, R, Manoj, G, Pillai, G.A, Ravishankar. (1999). Phycocyanin From Spirulina sp: Influence of Processing Biomass on Phycocyanin Yield, Analysis of Efficacy of Extraction Method and Stability Studies of Phycocyanin. Process Biochemistry Vol 34:795-801.
Seo, Y.C, Choi, W.S, Park, J.H, Park, J.O, Jung, K.H & H.Y, Lee.(2013). Stable Isolation of Phycocyanin from Sprilunia plantesis Associated With High Pressure Extraction Process. Int.J.Mol.Sci Vol 14:1778:1787.
Sidler, W.A. (1991). Phycobilisome and Phycobiliprotein Structure. In Bryant, D.A. The Molecular Biology of Cyanobacteria. Kluwer Academic. Netherlands.
Song, W, Zhao, C & S, Wang. (2013). A Large Scale Preparation Method For High Purity of C-phycocyanin. International Journal of Bioscience, Biochemistry, Bioinformatics Vol 3(4):293-297.
Vijaya .V; dan Narayanaswarny .A. 2009. Blue light enhance the pigment synthesis in cyanobacterium Anabaena ambigua Rao (Nostacales). Journal of Agricultural and Biological Science 4(3). ISSN 1990-6145.
Walter .A; Julio C.C; Vanete T.S; Ana B.B.F; Vanessa .G; dan Carlos R.S. 2011. Study of Phycocyanin Production from Spirulina platensis under different light spectra. International of Biology and Biotechnology Journal 54:675-682. ISSN 1516-8913.
Winarno, F.G & B.S, Laksmi. (1973). Pigmen Dalam Pengolahan Pangan. Departemen Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Zhang .X; Fenqin .Z; Guanghong .L; Shenghui .Y; dan Danxia .W. 2015. Extraction and separation of phycocyanin from Spirulina using aquaeous two-phase systems of ionic liquid and salt. Journal of Food and Nutrition Research 3(1):15-19.
6. LAMPIRAN
6.1. Perhitungan
Rumus:
Salinitas (% )=hasil pengukuran1000
x 100 %
Kelompok D1
Hasil pengukuran = 40
Salinitas (% )= 401000
x100 %=4 %
Gram Papain :
0,2 %= 0,2100
x50=0,1 gram
Kelompok C 2
Hasil pengukuran = 30
Salinitas (% )= 301000
x100 %=3 %
Gram Papain :
0,4 %= 0,4100
x50=0,2 gram
Kelompok C 3
Hasil pengukuran = 30
Salinitas (% )= 301000
x100 %=3 %
Gram Papain :
0,6 %= 0,6100
x 50=0,3 gram
Kelompok C 4
Hasil pengukuran = 25
Salinitas (% )= 251000
x100 %=2,5 %
22
23
Gram Papain :
0,8 %= 0,8100
x 50=0,4 gram
Kelompok C 5
Hasil pengukuran = 35
Salinitas (% )= 351000
x100 %=3,5 %
Gram Papain :
1 %= 1100
x50=0,5 gram
6.2. Laporan Sementara
6.3. Diagram Alir
6.4. Abstrak Jurnal