IMPLEMENTASI BAHASA JAWA RAGAM KRAMA SEBAGAI UPAYA PEMBINAAN SIKAP...
Transcript of IMPLEMENTASI BAHASA JAWA RAGAM KRAMA SEBAGAI UPAYA PEMBINAAN SIKAP...
IMPLEMENTASI BAHASA JAWA RAGAM KRAMA SEBAGAI
UPAYA PEMBINAAN SIKAP TA’DZIM SISWA
(Studi Kasus di SMP Muhammadiyah Plus Salatiga)
SKRIPSI
Diajukan Guna Memperoleh Gelar
Sarjana Pendidikan (S.Pd)
OLEH
Khoiri Alfiyah
NIM 23010150287
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI SALATIGA
TAHUN 2019
vi
MOTTO
سن م هم منين إيمانا أح ملم ال ممؤ عن أبي ىمري رة قال قال رسمولم اللو صلى اللوم علي و وسل أك
خملمقا(رواه الترمذي وأبو داود وأحمد(
Diriwayatkan dari Abu Hurairah, Rasulullah saw bersabda, “Kaum mukmin yang
paling sempurna imannya adalah orang yang paling baik budi pekertinya
(diantara mereka).” (HR. al-Tirmidzi, Abu Dawud, dan Ahmad)
vii
PERSEMBAHAN
Puji syukur saya panjatkan kepada Allah SWT yang telah memberikan
kesempatan dan kekuatan, penulis spersembahkan skripsi ini kepada:
1. Kedua orang tua yang saya ta’dhimi Bapak Sunardi dan Ibu Sutarni
yang telah memberikan kasih sayang kepada penulis, semoga segala
yang menjadi perjuangan akan mendatangkan kemanfaatan dunia
akhirat.
2. Kedua adik tercinta yang selalu menjadi pacuan semangat untuk selalu
berbenah diri, semoga semangat berlajar dan pengabdian kepada
orang tua selalu tercurahkan kepada kami.
3. Kepada kakak tercinta mba Ani dan suami, mba Arif dan suami,
kepada mba Irti yang selalu menjadi teladan untuk adik-adiknya.
4. Kepada sahabat Ana Alfi Khamidah, Ika Wiranti, Siti Aina, Zulfa dan
teman-teman PAI H yang selalu memberi dukungan dan semangat.
5. Kepada almamater tercinta IAIN Salatiga yang telah memberikan
keilmuan, kawan, dan guru-guru yang hebat.
6. Bapak Sutomo, M.Pd selaku kepala sekolah SMP Muhammadiyah
Plus Salatiga yang telah memberikan izin dan bimbingan kepada
penulis dalam melakukan penelitian.
7. Ibu Amalina Rizqi Rahmawati, S.Pdselaku guru PAI SMP
Muhammadiyah Plus Salatiga yang telah membimbing dan
memberikan informasi kepada penulis dalam melakukan penelitian.
viii
8. Ibu Ina Dinawati, S.Sselaku guru bahasa Jawa SMP Muhammadiyah
Plus Salatiga yang telah membimbing dan memberikan informasi
kepada penulis dalam melakukan penelitian.
9. Teman seperjuangan PAI-H yang selalu memberikan dukungan dan
semangat.
10. Teman-teman PPL SMP Muhammadiyah Plus Salatiga yang telah
memberikan pengalaman berharga dan menginspirasi.
11. Teman-teman KKN Posko 85 Wonosegoro yang selalu saling
mendukung dan saling mendoakan.
12. Kepada keluarga besar LDK Fathir Ar-Rasyid yang telah memberi
banyak pengalaman dan teman dalam berorganisasi.
13. Kepada keluarga besar PonPes Mahirul Hikam Assalafi beserta kakak-
kakak pengurus yang telah membekali saya ilmu selama ngaji.
14. Kepada organisasi tercinta Bina Taruna yang telah mengajarkan segala
hal tentang kemasyarakatan sehingga kami dapat berjuang bersama
dalam proses pendewasaan.
15. Semua pihak yang telah membantu dalam menyelesaikan skripsi ini
yang tidak dapat penulis sebut satu per satu.
ix
KATA PENGANTAR
Syukur Alhamdulillah segala puji bagi Allah Tuhan semesta alam, penulis
penjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan kesepatan dan
kemampuan sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini yang
sungguh merupakan nikmat yang luar biasa. Shalwat serta salam semoga selalu
tersanjungkan kepada Baginda Nabi Agung Muhammad SAW beserta para
keluarga, sahabat dan pengikut setiap beliau.
Skripsi ini merupakan kajian yang berjudul Implementasi Bahasa Jawa Ragam
Krama sebagaiUpaya Pembinaan Sikap Ta’dhim Siswa studi kasus di SMP
Muhammadiyah Plus Salatiga. Penulis meyadari bahwa skripsi ini tidak akan
terwujud tanpa bantuan, bimbingan dan dukungan dari berbagai pihak. Dengan
kerendahan hati penulis mengucapkan terima kasih kepada segenap pihak yang
telah membantu, baik berupa moril maupun materil. Untuk itu itu penulis
mengucapkan terimakasih kepada:
1. Bapak Prof. Dr. Zakiyyudin, M.Ag selaku rektor Institut Agama Islam Negeri
Salatiga.
2. Bapak Prof. Dr. H. Mansur, M.Agselaku Dekan Fakultas Tarbiyah dan Ilmu
Keguruan Institut Agama Islam Negeri.
3. Ibu Dra. Siti Asdiqoh, M.Siselaku Ketua Program Studi Pendidikan Agama
Islam Institut Agama Islam Negeri Salatiga.
x
4. Bapak M. Agung Hidayatulloh, S.S., M.Pd.Iselaku pembimbing akademik
yang telah memberikan bimbingan, arahan dan dukungan yang sangat
berguna bagi keberhasilan studi saya.
5. Bapak Drs. Bahroni, M.Pd selaku pembimbing skripsi yang telah
mencurahkan ketekunan, kesabaran dan bersedia meluangkan waktu untuk
memberikan bimbingan dan arahan dalam penyusunan dan penyelesaian
skripsi ini.
6. Segenap dosen dan sivitas akademik Institut Agama Islam Negeri Salatiga
yang telah mencurahkan ilmunnya kepada penulis selama perkuliahan.
Semoga amal kebaikan beliau diterima oleh Allah dan mendapatkan balasan
yang lebih baik. Meskipun bukan karya yang sempurna semoga penelitian ini
dapat bermanfaat.
Tengaran, 9 Juli 2019
Penulis,
Khoiri Alfiyah
NIM. 23010150287
xi
ABSTRAK
Alfiyah, Khoiri. 2019. Implementasi Bahasa Jawa Ragam Krama Sebagai
Upaya Pembinaan Sikap Ta’dhim Siswa (Studi Kasus di SMP
Muhammadiyah Plus Salatiga). Skripsi. Program StudiPendidikan Islam
Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan. Institut Agama Islam Negeri
Salatiga. Pembimbing: Drs. Bahroni, M.Pd.
Kata Kunci: Sikap Ta‟dhim, Bahasa Jawa Ragam Krama
Ta’dhim adalah syarat dari keberkahan ilmu. Sikap ta’dhim dapat
diterapkan melalui tutur kata yang lembut dan bahasa tubuh yang santun ketika
berbicara dengan guru. Bahasa Jawa adalah bahasa yang istimewa karena
memiliki undha-usuk basa sehingga berbicara harus dengan unggah-ungguh
atau tata krama. Permasalahan yang akan dikaji dalam penelitian ini adalah:(1)
bagaimana implementasi bahasa Jawa ragam krama di SMP Muhammadiyah
Plus Salatiga? (2) apa faktor yang mendorong dan menghambat implementasi
bahasa Jawa ragam krama di SMP Muhammadiyah Plus Salatiga?
Jenis penelitian yang digunakan oleh penulis adalah penelitian lapangan
yang bersifat kualitatif deskriptif dengan subjek penelitian Kepala Sekolah SMP
Muhammadiyah Plus Salatiga, guru PAI, guru bahasa Jawa dan peserta didik.
Adapun cara mengumpulkan dengan melalui observasi, wawancara dan
dokumentasi. Kemudian data dianalisis menggunakan reduksi data, penyajian
data dan penarikan kesimpulan.
Kesimpulan dari penelitian ini adalah sebagai berikut, (1) dalam
mengimplementasikan bahasa Jawa ragam kramadi SMP Muhammadiyah Plus
Salatiga memiliki program hari Kamis berbahasa Jawa, menghafal kosa kata
bahsa Jawa yang disusun oleh Tim ISMUBA, adapun implementasi bahasa Jawa
yang uatama dilakukan pada pembelajaran bahasa Jawa. (2) faktor yang
mendorong implementasi bahasa Jawa ragam krama di SMP Muhammadiyah
Plus adalah adanya semangat dan kesadaran seluruh warga sekolah untuk
melestarikan bahasa Jawa sebagai budaya kearifan lokal, komitmen yang
dibangun untuk selalu menerapkan bahasa Jawa dalam setiap kesempatan dan
keteladanan dari Bapak/Ibu guru. Adapun faktor yang menghambat adalah latar
belakang siswa yang berasal dari berbagai daerah sehingga tidak semua siswa
tidak dapat berbahasa Jawa, minimnya kerjasama dengan wali siswa untuk tetap
menerapkan bahasa Jawa di rumah sebagai bahasa sehari-hari dan intensitas
waktu yang terbatas di sekolah.
xii
DAFTAR ISI
SAMPUL
HALAMAN JUDUL ................................................................................... i
LOGO IAIN SALATIGA ........................................................................... ii
NOTA PEMBIMBING ............................................................................... iii
LEMBAR PENGESAHAN ........................................................................ iv
PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN DAN DEKLARSI .................... v
MOTTO ...................................................................................................... vi
PERSEMBAHAN ....................................................................................... viii
KATA PENGANTAR ................................................................................ ix
ABSTRAK ............................................................................................... xi
DAFTAR ISI ............................................................................................... xii
DAFTAR LAMPIRAN ............................................................................... xv
BAB 1 PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ........................................................... 1
B. Rumusan Masalah ................................................................... 3
C. Tujuan Penenlitian.................................................................... 3
xiii
D. Manfaat Penelitian.................................................................... 3
E. Metode Penelitian ..................................................................... 4
F. Definisi Operasional ................................................................. 7
G. Sistematika Penulisan ............................................................... 9
BAB II KAJIAN PUSTAKA
A. Landasan Teori ......................................................................... 11
1. Bahasa.................................................................................. 11
a. Pengertian Bahasa ........................................................... 11
b. Fungsi Bahasa ................................................................. 12
2. Bahasa Jawa......................................................................... 17
a. Bahasa Jawa .................................................................... 16
b. Strata dalam Bahasa Jawa ............................................... 16
c. Bahasa Jawa Ragam Krama ........................................... 18
d. Unggah-Ungguh dalam Bahasa Jawa ............................. 19
e. Karakteristik Unggah-Ungguh Dalam Bahasa Jawa
Ragam Krama ................................................................. 20
f. Pentingnya Implementasi Bahasa Jawa Ragam Krama .. 21
g. Kedudukan Bahasa Jawa ................................................ 22
h. Konsep Hidaup Rukun Dalam Masyarakat Jawa ........... 24
3. Pembinaan Akhlak............................................................... 29
a. Pengertian Pembentukan Akhlak .................................... 29
b. Metode Pembinaan ......................................................... 30
c. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pembinaan Akhlak 31
4. Sikap Ta’dhim ..................................................................... 36
a. Pengertian Sikap Ta’dhim ............................................... 36
b. Ciri-Ciri Sikap Ta’dhim .................................................. 37
c. Pembinaan Sikap Ta’dhim Melalui Bahasa Jawa Ragam
Krama ............................................................................. 40
B. Kajian Pustaka .......................................................................... 44
xiv
BAB III METODOLOGI PENELITIAN
A. Jenis Penelitian ......................................................................... 47
B. Sumber Data ............................................................................. 48
C. Metode Pengumpulan Data ...................................................... 48
D. Lokasi Penelitian ...................................................................... 53
E. Analisis Data ............................................................................ 53
BAB IV PEMBAHASAN HASIL PENELITIAN
A. Gambaran Umum SMP Muhammadiyah Plus Salatiga ........... 56
B. Penyajian Data.......................................................................... 58
C. Analisis Data ............................................................................ 68
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan............................................................................... 72
B. Saran ......................................................................................... 73
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................... 74
Lampiran-Lampiran
xv
Daftar Lampiran
Lampiran 1 Surat Penunjukan Pembimbing
Lampiran 2 Surat Izin Penelitian
1. Surat izin penelitian
2. Surat keterangan melakukan penelitian
Lanpiran 4. Pedoman wawancara
1. Daftar pertanyaan
Lampiran 5Transkip wawancara
Lampiran 6 Catatan observasi
Lampiran 7 Daftar guru dan daftar peserta didik
1. Daftar guru
2. Daftar peserta didik
Lampiran 9Foto dokumentasi penelitian
1. Foto temuan penelitian
Lampiran 10 Lembar Konsultasi
Lampiran 11Daftar Nilai SKK
Lampiran 12 Daftar riwayat hidup
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Sikap ta’dhim adalah kunci dari keberkahan ilmu. Imam Az-
Zarnuji (2012:70) mengatakan bahwa seorang pelajar tidak akan
mendapatkan ilmu dan tidak akan mendapatkan kemanfaatan ilmu kecuali
dengan mengagungkan ilmu, mengagungkan orang-orang yang berilmu
dan mengagungkan serta menghormati guru. Sikap ta’dhim dapat
diterapkan salah satunya melalui tutur kata yang santun kepada guru.
Seiring berkembangnya teknologi sikap ta’dhim semakin perlu untuk
dibina. Hal ini disebabkan tidak adanya batasan dalam berkomunikasi
sehingga menimbulkan sikap bebas pada kalangan pelajar.
Pada zaman modern ini bahasa daerah sering ditinggalkan dan
generasi muda lebih memilih bahasa Indonesia sebagai bahasa sehari-hari.
Salah satu bahasa yang mulai ditinggalkan adalah bahasa Jawa. Suatu
bahasa menjadi tergeser karena mendapat banyak pengaruh, salah satunya
melalui teknologi yang sebagian besar bahasanya berasal dari kosakata
bahasa Indonesia maupun kosakata bahasa asing. Bahasa tersebut bergeser
karena tuntutan sosial dan ekonomi. Menurut Mulyanto (dalam Marmanto,
2010: 20) menyatakan bahwa sejak kemerdekaan RI, bahasa Jawa hanya
diambil alih oleh bahasa Indonesia, sehingga prestise bahasa Jawa semakin
menurun.
2
Bahasa Jawa adalah bahasa yang istimewa karena memiliki tatanan
undha-usuk basa (strata bahasa) yang mengharuskan berbicara
menggunakan unggah-ungguh (tata krama). Alasan generasi muda
memilih tidak menerapkan bahasa Jawa adalah karena adanya tatanan
bahasa yang sulit. Karena bahasa Jawa memiliki tatanan strata bahasa
maka diharapkan dengan diterapkannya bahasa Jawa di sekolah dapat
membina sikap ta’dhim peserta didik.
SMP Muhammadiyah Plus Salatiga adalah sekolah unggulan di
Salatiga. Sebagai sekolah unggulan SMP Muhammadiyah Plus Salatiga
menginginkan peserta didik unggul dalam bidang akademis maupun
unggul dalam berakhlak. Dalam membina akhlak peserta didik SMP
Muhammadiyah Plus Salatiga memiliki program-program unggulan yang
berbeda dengan sekolah lain. Dimulai dari pagi ketika sampai di sekolah
peserta didik disambut dengan jabatan tangan dari Bapak Ibu guru.
SMP Muhammadiyah Plus Salatiga memiliki semangat yang tinggi
dalam melestarikan kebudayaan daerah. Kepala sekolah dan seluruh
dewan guru menginginkan peserta didik menjadi pelajar yang unggul
dalam akademis, kuat dalam spiritual, baik dalam berakhlak dan mencintai
budaya. Penguatan habit and cultur menjadi visi sekolah tersebut. Dalam
rangka mendukung kelestarian budaya kearifan lokal SMP
Muhammadiyah Plus Salatiga memiliki program implementasi bahasa
Jawa ragam krama.
3
Berangkat dari latar belakang masalah tersebut maka penulis
tertarik untuk membuat judul IMPLEMENTASI BAHASA JAWA
RAGAM KRAMA SEBAGAI UPAYA PEMBINAAN SIKAP
TA’DHIM PESERTA DIDIK (STUDI KASUS DI SMP
MUHAMMADIYAH PLUS SALATIGA).
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana implementasi bahasa Jawa ragam krama di SMP
Muhammadiyah Plus Salatiga tahun 2019?
2. Apa faktor pendorong dan penghambat implementasi bahasa Jawa
ragam krama di SMP Muhammadiyah Plus Salatiga tahun 2019?
C. Tujuan Penelitian
1. Untuk mengetahui implementasi bahasa Jawa ragam krama di SMP
Muhammadiyah Plus Salatiga tahun 2019?
2. Untuk mengetahui faktor pendorong dan penghambat implementasi
bahasa Jawa ragam krama di SMP Muhammadiyah Plus Salatiga tahun
2019?
D. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Teoritis
Penelitian ini diharapkan mampu memberikan kontribusi positif
sebagai tolak ukur dan referensi untuk penelitian selanjutnya.
4
2. Manfaat Praktis
a. Bagi peneliti berharap dapat mengetahui peran bahasa Jawa ragam
krama sebagai upaya membina sikap ta’dzhim peserta didik.
b. Bagi peserta didik dengan adanya penelitian ini diharapkan
memiliki kesadaran dan memilliki kemampuan untuk bersikap
ta’dhim kepada orang yang lebih tua.
c. Bagi guru penelitian ini diharapkan dapat menjadi insprasi untuk
mendidik sikap peserta didik agar memiliki sikap ta’dhim.
E. Metode Penelitian
1. Jenis Penelitian
Penelitian ini menerapkan metode penelitian kualitatif. Penelitian
kualitatif adalah penelitian yang bermaksud untuk memahami
fenomena tentang apa yang dialami oleh subjek penelitian misalnya
perilaku, persepsi, motivasi dll., secara holistik dan dengan cara
deskripsi dalam bentuk kata-kata dan bahasa, pada konteks khusus
yang alamiah dan dengan memanfaatkan metode alamiah (Moleong,
2009: 6). Penelitian ini adalah salah satu penelitian dengan pendekatan
studi kasus. Penelitian studi kasus adalah jenis penelitian kualitatif
yang mendalam tentang individu, kelompok, institusi, dan sebagainya
dalam waktu tertentu (Sugiarto, 2015:12). Dalam penelitian ini peneliti
akan meneliti fenomena-fenomena penerapan bahasa Jawa ragam
krama di desa SMP Muhammadiyah Plus Salatiga.
5
2. Sumber Data
a. Data Primer
Data primer akan diperoleh dari pihak-pihak yang
bersangkutan langsung dengan obyek penelitian, diantaranya
kepala sekolah, guru, tenaga kependidikan dan peserta didik secara
kolektif.
b. Data Sekunder
Data sekunder diperoleh guna mendukung penelitian
meliputi, data profil SMP Muhammadiyah Plus Salatiga,
dokumentasi kegiatan SMP Muhammadiyah Plus Salatiga, dan
literatur yang berkaitan dengan judul.
3. Metode Pengumpulan Data
a. Metode Observasi
Metode observasi adalah kegiatan penelitian yang
dilaksanakan untuk memperoleh informasi faktual dari gejala-
gejala yangmuncul dari objek penelitian, baik tentang institusi
sosial, ekonomi, atau politik di suatu daerah (Nazir, 1983: 65).
Metode ini menjadi metode prioritas dalam penelitian.
b. Metode Wawancara
Wawancara adalah proses memperoleh informasi untuk
tujuan penelitian dengan cara tanya jawab sambil bertatap muka
antara pewawancara dengan nrasumber (Nazir, 1983: 234).
Peneliti akan melakukan wawancara kepada informan yang
6
berkaitan dengan penelitian secara langsung, meliputi kepala
sekolah SMP Muhammadiyah Plus Salatiga sebagai pemimpin
sekolah tersebut sehingga dirasa memahami keadaan peserta
didiknya. Selain itu peneliti akan mewawancarai guru dan peserta
didik untuk mengetahui keadaan sosial dan bahasa keseharian yang
diterapkan.
c. Metode Dokumentasi
Dokumentasi adalah dapat berupa tulisan pribadi seperti
buku harian, bisa pula berupa dokumen resmi seperti surat-surat
instansi (Nasution, 2003: 85). Dokumentasi diperlukan guna
memberikan data yang konkrit meliputi dokumen wawancara,
kondisi sosial, dan data peserta didik SMP Muhammadiyah Plus
Salatiga.
4. Lokasi Penelitian
Penelitian akan dilaksanakan di SMP Muhammadiyah Plus
Salatiga yang terletak di Togaten. Sekolah tersebut adalah salah satu
sekolah unggulan di kota Salatiga. Sebagian besar peserta didik
berlatar belakang kelas sosial menengah ka atas yang lebih sering
berbahassa Indonesia dibandingkan dengan bahasa Jawa terlebih
bahasa krama. Oleh sebab itu peneliti merasa tertarik untuk
mengobservasi sikap dan perilaku peserta didik.
5. Analisis Data
7
Analisis data yang penulis gunakan dalam penelitian ini adalah
analisis kualitatif deskriptif yaitu data yang didapat dari responden
berupa kata-kata dengan apa adanya kemudian data diuraikan atau
dianalisis menggunakan kata-kata apa yang melatarbelakangi perilaku
responden. Kemudian direduksi, disimpulkan dan diveritisikasikan
kepada responden.
F. Definisi Operasional
1. Bahasa Jawa
Bahasa Jawa mengenal stratifikasi sosial yang rumit terkait dengan
unggah-ungguh atau tata krama. Dalam bahasa Jawa terdapat sistem
yang menyangkut perbedan kedudukan, pangkat, umur serta tingkat
keakraban dengan lawan bicara.. Dalam konsepsi orang Jawa, berbagai
gaya ini menyebabkan adanya tigkatan bahasa yang berbeda tinggi-
rendahnya (Roqib, 2007:44-45).
Dalam kerangka menggunakan bahasa lisan dan bahasa tubuh
(body language), masyarakat Jawa mengenal istilah dupak dugang,
esem mantri, yaitu senyum bupati (simbol seorang pemimpin) cukup
untuk merespon sesuatu, tetapi bila lurah marah, ia menggunakan
suara yang keras. Dalam hal ini dapat diahami bahwa struktur sosial
seseorang memengaruhi penggunaan bahasa, misalnya orang ningrat,
pejabat, atau orang berpendidikan dirasa kurang tepat jika
menggunakan bahasa yang kasar atau terlalu banyak. Sedangkan orang
8
biasa, awam, atau miskin menggunakan bahasa yang kasar dan jorok
dianggap biasa dan dapat dimaklumi (salah kaprah) (Roqib, 2007: 46).
2. Ta’dhim
Ta’dhim dalam bahasa Inggris adalah respect yang mempunyai
makna sopan-santun, menghormati dan mengagungkan orang yang
lebih tua atau dituakan. W.J.S. Poerwadarminta mengatakan bahwa
sikap ta’dhim adalah perbuatan atau perilaku yang mencerminkan
kesopanan dan menghormati kepada orang lain terlebih kepada orang
yang lebih tua darinya atau pada seorang kyai, guru dan orang yang
dimulyakan.
Menurut A. Ma‟ruf Asrori sikap ta’dhim diartikan lebih luas lagi
yaitu bukan hanya bersikap sopan dan menghormati saja akan tetapi
lebih dari itu, yaitu:
a. Konsentrasi dan memperhatikan.
b. Mendengarkan nasehat-nasehatnya.
c. Meyakini dan merendahkan diri kepadanya.
Lebih lanjut oleh ma‟ruf dijelaskan bahwa sikap-sikap tersebut diatas
merupakan wujud dari sikap mengagungkan seorang guru.
Dari beberapa pendapat di atas dapat penulis simpulkan bahwa
sikap ta’dhim adalah suatu totalitas dari kegiatan ruhani (jiwa) yang
direalisasikan dengan prilaku dengan wujud sopan-santun,
menghormati orang lain dan mengagungkan guru.
Sikap ta’dhim ini wajib dilakukan oleh siswa kepada gurunya
9
(http://perahujagad.blogspot.com/2014/10/sikap-tadzim-siswa-kepada-
guru-dalam.html)
3. Bahasa Jawa ragam krama
Yang dimaksud dengan ragam krama adalah bentuk unggah-
ungguh bahasa Jawa yang berintikan leksikon krama, atau yang
menjadi unsur inti di dalam ragam krama, bukan leksikon lain. Ragam
krama merupakan bentuk yang digunakan sebagai bentuk hormat
dalam berkomunikasi menggunakan bahasa Jawa. Afiks yang biasa
digunakan antara lain dipun-, -ipun, dan –aken.
Dalam bahasa Jawa ragam krama dibedakan menjadi dua yaitu
krama lugu dan krama alus. Krama lugu merupakan bentuk krama
yang kadar kehalusannya rendah. Meskipun demikian, krama lugu
masih lebih halus jika dibandingkan dengan bentuk ngoko dan madya.
Bentuk krama yang lain adalah krama alus. Krama alus adalah bentuk
bahasa Jawa yang semua kosakatanya terdiri atas leksikon krama dan
dapat ditambah dengan leksikon krama inggil atau krama andhap.
Meskipun begitu,yang menjadi leksikon inti dalam ragam ini hanyalah
leksikon yang berbentuk krama (Dwianti, 2012: 459).
G. Sistematika Penulisan
Guna memperoleh gambarandan pemaham yang menyeluruh
tentang penelitian ini maka peneliti menyusunnya dalam bentuk yang
10
sistematis. Sistematika penulisan ini disusun dari bab ke bab. Adapun
sistematika penyusunan skripsi ini adalah sebagai berikut:
Bab I menguraikan tentang latar belakang masalah, rumusan
masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, metode penelitian,
penegasan istilah, dan sistematika penulisan.
Bab II berisi kajian pustaka yang membahas tentang penelitian
terdahulu, pengertian bahasa, pengertian bahasa Jawa ragam krama dan
penerapannya, konsep hidup rukun, sikap ta’dhim, dan peran bahasa Jawa
ragam krama.
Bab III menyajikan tentang metode penelitian peran bahasa Jawa
ragam krama dalam membina sikap ta’dhim siswa.
BAB IV berisi tentang deskripsi analisis hasil penelitian
implementasi berbahasa Jawa ragam krama sebagai upaya pembinaan
sikap ta’dhim siswa (Studi kasus di SMP Muhammadiyah Plus Salatiga).
BAB V adalah penutup yang menjelaskan kesimpulan hasil
penelitian implementasi bahasa Jawa ragam krama sebagai upaya
pembinaan sikap ta’dhim siswa (Studi kasus di SMP Muhammadiyah Plus
Salatiga).
11
BAB II
LANDASAN TOERI
A. Landasan Teori
1. Bahasa
a. Pengertian Bahasa
Widjono (2017: 14-25) menjelaskan bahwa bahasa adalah
sistem lambang bunyi ujaran yang digunakan untuk berkomunikasi
oleh masyarakat pemakainya. Menurut Widjono (2017: 15-25)
bahasa yang baik berkembang berdasarkan suatu sistem, yaitu
seperangkat aturan yang dipatuhi oleh pemakainya, sistem tersebut
menyangkut unsur-unsur berikut:
1) Sitem lambang yang bermakna dan dapat dipahami oleh
masyarakat pemakainya.
2) Sistem lambang tersebut bersifat konvensional yang ditentukan
oleh masyarakat pemakainya berdasarkan kesepakatan.
3) Lambang-lambang tersebut bersifat arbiter (kesepakatan)
digunakan secara berulang dan tetap.
4) Sistem lambang tersebut bersifat terbatas, tetapi produktif.
Artinya, dengan sistem yang sederhana dan jumlah aturan yang
terbatas dapat menghasilkan jumlah kata, frasa, klausa, kalimat,
paragraf, dan wacana ynag tidak terbatas jumlahnya.
5) Sistem lambang tersebut bersifat unik, khas, dan tidak sama
dengan bahasa lain.
12
6) Sistem lambang dibangun berdasarkan kaidah yang bersifat
universal. Hal ini memungkinkan bahwa suatu sistem bisa
sama dengan sistem bahasa lain.
b. Fungsi Bahasa
Fungsi bahasa menurut Widjono (2017: 15-22) adalah sebagai
berikut:
1) Sebagai sarana komunikasi
Bahasa sebagai alat komunikasi antar anggota masyarakat.
Fungsi tersebut digunakan dalam berbagai lingkungan,
tingkatan, dan kepentingan yang beraneka ragam, misalnya,
komunikasi ilmiah, komunikasi bisnis, komunikasi kerja,
komunikasi sosial, dan komunikasi budaya. Untuki itu
pemakaian bahasa komunikatif memerlukan pengetahuan dan
ketrampilan menggunakan berbagai ragam bahasa yang dapat
mendukung pengembangan pengetahuan, ketrampilan,
pemikiran, dan sikap yang hendak dikomunikasikannya.
2) Bahasa sebagai sarana integrasi dan adaptasi
Dengan bahasa seseorang dapat menyatakan hidup bersama
dalam suatu ikatan. Misalnya: integritas kerja dalam sebuah
institusi, integritas karyawan dalam sebuah departemen,
integritas berbangsa dan bernegara dan lain-lain. Integritas
tersebut membawa dampak positif, misalnya harus beradaptasi
13
dalam integritas tersebut sehingga tidak menimbulkan konflik
dan perpecahan.
3) Bahasa sebagai kontrol sosial
Bahasa sebagai kontrol sosial berfungsi untuk
mengendalikan komunikasi agar orang yang terlihat dalam
komunikasi dapat saling memahami. Masing-masing
mengamati ucapan, perilaku, dan simbol-simbol lain yang
menunjukkan arah komunikasi. Dalam kegiatan sehari-hari
bahasa sebagai bentuk timbal balik, baik secara lisan maupun
tulisan. Masyarakat dpat saling memberi saran, kritik, nasihat,
tegur sapa dan sebagainya.
4) Bahasa sebagai sarana ekspresi diri
Orang tidak memiliki pemahaman tanpa pengungkapan.
Bahasa sebagai ekspresi (pengungkapan) atas pemahaman
dirinya dapat dilakukan dari tingkat yang paling sederhana
hingga tingkat ekspresi yang kompleks. Manusia berekspresi
dengan bahasa dalam menyatakan cinta, rasa sedih, rasa
bahagia dan kecewa.
5) Bahasa sebagai sarana memahami orang lain
Untuk menjamin efektivitas komunikasi, seseorang perlu
memahami orang lain, sebagaimana ia memahami dirinya
sendiri. Dengan pemahaman terhadap seseorang, pemakai an
14
bahasa dapat mengenali berbagai hal mencakup kondisi pribadi
lawan bicaranya.
6) Bahasa sebagai sarana mengamati lingkungan sekitar
Manusia bagian dari lingkungan sekitar, baik lingkungan
sosial maupun lingkungan alam. Keberhasilan seseorang
menggunakan kecerdasannya ditentukan oleh kemampuannya
memanfaatkan situasi lingkungan sehingga memperoleh
kreativitas baru yang membawa keuntungan kepada
masyarakatnya. Untuk mencapai kreativitas tersebut, seseorang
harus mengamati secara cermat dengan sasaran dan target yang
jelas sehingga dapat mengukur tingkat keberhasilannya.
Bahasa sebagai alat untuk mengamati masalah tersebut
harus diupayakan kepastian konsep, kepastian makna, dan
kepastian proses berpikir sehingga dapat mengekspresikan hasil
pengamatan tersebut secara pasti (eksak). Misalnya, apa yang
melatarbelakangi pengamatan, bagaimana masalahnya,
mengidentifikasi objek apa yang diamati, menjelaskan metode,
mengamati, apa tujuan mngamati, bagaimana hasil
pengamatan, dan apa kesimpulannya.
7) Bahasa membangun karakter
Kecerdasan merupakan bagian dari karakter manusia.
Kemampuan berbahasa yang efektif, logis, sistematis, jelas dan
mudah dipahami merupakan refleksi kecerdasan. Sebaliknya,
15
kekurangmampuan berbahasa dapat mencerminkan tingkat
kecerdasannya. Kurangnya kemampuan berbahasa ini berakibat
pada ketidak jelasan dan kelambanan berekspresi dan
memahami konsep informasi dari orang lain. Lebih lanjut,
kemampuan ini berdampak pada penilaian karakter seseorang.
8) Bahasa sabagai sarana menciptakan kreativitas baru
Setiap orang memiliki bakat alam yang dibawanya sejak
lahir. Bakat itu berupa dorongan untuk berekspresi dan
berkomunikasi dengan orang lain. Bahasa sebagai sarana
berekspresi dan berkomunikasi berkembang menjadi sarana
berpikkir logis yang memungkinkan pemakainnya untuk
mengembangkan segala potensinya. Perkembangan itu sejalan
dengan potensi akademik yang dikembangkannya melalui
pendidikan yang kemudian berkembang menjadi bakat
intelektual.
Jika didukung dengan wawasan yang luas dan pemikiran
kritis, seseorang akan mampu menciptakan kreativitas baru
berdasarkan potensi alam, potensi akademis, potensi sosial dan
ekonomi yang dikuasainya.
Kita menyadari betapa banyaknya potensi budaya yang
dimiliki oleh Indonesia khususnya pulau Jawa. Terlihat bahwa
budaya-budaya kita telah tergeser dengan budaya barat. Tidak
akan ada pelestarian tanpa kretivitas baru. Kreativitas tidak
16
dapat muncul dan direalisasikan jika tidak memahami bahasa,
bahasa nasional, bahasa internasional dan bahasa daerah.
2. Bahasa Jawa
a. Bahasa Jawa
Bahasa Jawa mengenal stratifikasi sosial yang rumit terkait
dengan unggah-ungguh atau tata krama. Dalam bahasa Jawa
terdapat sistem yang menyangkut perbedan kedudukan, pangkat,
umur serta tingkat keakraban dengan lawan bicara. Dalam konsepsi
oang Jawa, berbagai gaya ini menyebabkan adanya tigkatan bahasa
yang berbeda tinggi-rendahnya (Roqib, 2007:44-45).
Dalam kerangka menggunakan bahasa lisan dan bahasa tubuh
(body language), masyarakat Jawa mengenal istilah dupak dugang,
esem mantri, yaitu senyum bupati (simbol seorang pemimpin)
cukup untuk merespon sesutu, tetapi bila lurah marah, ia
menggunakan suara yang keras. Dalam hal ini dapat diahami
bahwa struktur sosial seseorang memengaruhi penggunaan bahasa,
misalnya orang ningrat, pejabat, atau orang berpendidikan dirasa
kurang tepat jika menggunakan bahasa yang kasar atau terlalu
banyak. Sedangkan orang biasa, awam, atau miskin menggunakan
bahasa yang kasar dan jorok dianggap biasa dan dapat dimaklumi
(salah kaprah) (Roqib, 2007: 46).
b. Strata Dalam Bahasa Jawa
17
Masyarakat Jawa mengutamakan unggah-ungguh atau
tatakrama, karena memiliki rasa rendah hati dan senang
menghormati orang lain namun bukan berarti merasa menjadi
rendah diri dan tidak bermartabat. Sama halnya dengan masyarakat
suku lainn, masyarakat suku Jawa selalu menjaga harga diri dan
kehormatan. Mereka memilki cara tersendiri untuk menjunjung dan
melindungi martabatnya, yaitu dengan menerapkan unggah-
ungguh atau tatakrama. Unggah-ungguh adalah urutan bahasa
menurut kedudukan tatakrama (Haryana, Supriya,2001 : 1).
Masyarakat suku Jawa hidup dengan falsafah keharmonisan
yang sangat humanstik. Mereka berpedoman bahwa dengan
menghormati orang lain tidak akan menjadikan dirinya rendah
sebaliknya syarat untuk dihormati adalah dengan menghormati.
Dimanapun kita berada jika bersikap santun orang akan segan dan
cenderung tidak meremehkan.
Dapat dikatakan bahwa orang yang memiliki tatakrama dalam
kehidupan masyarakat suku Jawa apabila berbicara dengan orang
lain maka ia akan memiliki arah pembicaraan yang jelas,
memerhatikan kedudukan bahasa, dan memiliki susila sehingga
menjadikan sejuk dan nyaman bagi orang yang mendengarkan.
Menurut Haryana dan Supriya (2001:1) dalam unggah-
ungguh basa terdapat beberapa faktor yang perlu diperhatikan
berkaitan dengan kedudukan bahasa. Faktor-faktor ini akan
18
menjadi pertimbangan dalam berbicara dengan orang lain. Faktor-
faktor tersebut adalah:
1) Faktor umur, contohnya anak kecil wajib menghormati orang
dewasa, anak muda wajib menghormati orang tua.
2) Faktor kekerabatan, contohnya keponakan wajib
menghormati paman dan bibinya walaupun seandainya
pangkat keponakan lebih tinggi.
3) Faktor derajat pangkat, contohnya warga masyarakat
menghormati kepala desa dan jajaran kepengurusannya.
4) Faktor kelas sosial, contohnya umumnya golongan mnengah
ke atas lebih dihormati.
5) Faktor keturunan, contohnya golongan ningrat dan
bangsawan harus dimormati , karena mereka adalah
pemimpin berjalannya sebuah negara.
6) Faktor kualitas diri, contohnya sarjana, seniman, budayawan,
ulama, dan pahlawan menduduki kelas terhormat.
7) Faktor keakraban, contohnya terhadap orang yang belum
kenal atau belum akrab hendaknya lebih berhati-hati dalam
berbicara, dengan menggunakan basa krama.
c. Bahasa Jawa Krama
Seperti bahasa yang lain, bahasa Jawa memiliki ciri khas dan
sebuah sistem yang di dalamnya terdapat komponen-komponen
yang sifatnya otonom. Leksikon bahasa Jawa memuat dua buah
19
kelommpok yang berposisi satu dengan yang lainnya secara
semantis. Kelompok tersebut merupakan sebuah perpaduan dari
kata reesmi dan non-resmi. Ciri khas dari kata krama adalah kata
yang yang mengungkapkan suatu sifat resmi. Sedangkan kata
ngoko ditandai dengan ketidakhadiran sifat resmi. Sebagai sebuah
kategori, kelompok ngoko dan krama mempunyai kedudukan
istimewa dalam banyak sistem semantis dari leksikon bahsasa Jawa
(Uhlenbeck, 1982: 311).
Dalam kata resmi memiliki ciri-ciri antara lain adalah, pertama
kata itu mengacu kepada kehidupan sehari-hari dan memiliki
frekuensi yang tinggi dalam naskah. Kedua, kata resmi dipakai
untuk menyatakan konsep umum bukan khusus. Ketiga, kata resmi
memiliki makna objektif tidak pernah memiliki makna subjektif
(Uhlenbeck, 1982: 313-314).
d. Unggah-ungguh dalam bahasa Jawa ragam krama
Unggah-ungguh adalah aturan sopan santun, tatakrama,
etika dalam pergaulan suku Jawa yang didasarkan pada undha-usuk
basa atau strata bahasa. Menurut Haryana dan Supriya (2001:172)
terdapat aturan dalam menerapkan unggah-ungguh basa yaitu:
1) Harus memerhatikan etika ketika berbicara dengan orang lain,
dengan cara memerhatikan posisi diri sendiri yang ditentukan
oleh umur, kekerabatan, pangkat, gelar, urutan silsilah
keluarga dan kelas sosial lawan bicara.
20
2) Harus memahami suasana ketika berbicara, peka terhadap
segala bahasa tubuh dari lawan bicara agar dapat
memposisikan diri dengan baik dan benar.
3) Memerlukan hati yang tulus dan ikhlas secara lahir dan batin
untuk menghormati orang lain. Sehingga sikap hormat yang
dimiliki tidak hanya sebatas sandiwara.
4) Sikap hormat yang lahir batin akan mewujudkan tentramnya
suasana berupa bahasa tubuh dan mimik wajah yang selaras
kesantunannya.
5) Sikap ramah, hati lembut dan keakraban akan menjadikan
suasana kekeluargaan yang kuat.
6) Harus dapat menyelaraskan dan menyeimbangkan antara
menghormati orang lain dan menjaga harga diri. Terlalu
menunduk dan membungkuk akan menjadikan hilangnya harga
diri. Sebaliknya apabila tidak pernah menunduk akan terlihat
angkuh dan sombong. Oleh karena itu harus bijaksana dalam
menerapkan bahasa tubuh.
7) Harus memiliki wibawa dan bijaksana dalam berkata, dalam
berpenampilan maupun dalam beretika. Harga diri akan
ditentukan oleh tiga hal tersebut, perkataan, penampilan dan
etika atau tatakrama.
e. Karakteristik Unggah-Ungguh DalamBahasa Jawa Ragam
Krama
21
Menurut Hayana dan Supriya (2001: 123) terdapat
karakteristik dalam unggah-ungguh bahasa Jawa yang
membedakan dengan bahasa yang lain yaitu:
1) Unggah-ungguh basaadalah jati diri bahasa Jawa, sebuah
bahasa yang memiliki tatanan undha-usuk basa, yang tersusun
dari basa ngoko, basa ngoko alus, basa krama dan basa krama
alus.
2) Unggah-ungguh basa berupa sebuah sistem yang tersusun
secara sistematis menjadi satu kesatuan dan komprehensif
yang saling berhubungan antara satu bagian dengan bagian
yang lain.
3) Pembagian undha-usuk basa adalah sebagai berikut:
a) Tataran kalimat, yang berwujud ngoko, krama dan
krama inggil.
b) Tataran ater-ater (awalan) dan ukara panambang
(imbuhan) yang digunakan dalam ragam ngoko, krama
dan krama inggil.
c) Ragam ukara tandang (kalimat aktif), ukara tanduk
(kalimat pasif), ukara pitaken (kalimat tanya) dan
ukara perintah (kalimat perintah).
f. Pentingnya Implementasi Bahasa Jawa Ragam Krama
22
Menurut Hayana dan Supriya (2001: 123) pentingnya
menerapkan bahasa Jawa dalam kehidupan sehari-hari adalah
sebagai berikut:
1) Bahasa Jawa memiliki unggah-ungguh basa sebagai sumber
dalam bertika untuk menghormati orang yang lebih tua sebagai
dasar untuk membina luhuring budi (akhlak mulia).
2) Sebagai orang Jawa harus merasa memiliki bahasa Jawa dan
memiliki kesadaran kewajiban melestarikan bahasa Jawa.
g. Kedudukan Bahasa Jawa
Pergeseran budaya mengindifikasikan adanya pergerseran
moralitas bangsa. Menurut Dewianti (2012: 464) terdapat beberapa
faktor yang mempengaruhi kepunahan bahasa Jawa, antara lain
adalah:
1) Faktor Kedwibahasaan
Faktor kedwibahasan adalah situasi dimana dalam suatu
masyarakat digunakan lebih dari satu bahasa. Pada umumnya
gejala ini tidak dapat dielakkan dalam masyarakat. Saat ini
bahasa Indonesia telah didaulat menjadi bahasa persatuan dan
bahasa resmi di sekolah dan institusi-institusi lainnya. Hal ini
menjadikan siswa terbiasa menggunakan bahasa Indonesia
dalam kehidupan sehari-hari.
Siswa menganggap dan menggunakan bahasa Indonesia
sebagai leksikon bahasa Jawa krama, seperti kata sakit
23
menggantikan kata gerah, kata sembuh menggantikan kata
saras. Penggunaan bahasa Jawa krama lebih menantang karena
lawan bicara bisa jadi berasal dari latar belakang bahasa yang
berbeda. Generasi yang tinggal di perbatasan bahasa lebih
memilih menggunakan bahasa ngoko dan mengalami
percampuran bahasa.
2) Faktor Media dan Teknologi
Tren penggunaan bahasa Indonesia yang diperkenalkan
oleh media televisi telah menggeser penggunaan bahasa daerah
dalam kehidupan sehari-hari. Penggunaan bahasa Indonesia
pada stasiun-stasiun televisi nasional telah mengalihkan
kebiasaan generasi muda dalam berbahasa daerah menjadi
berbahasa Indonesia. Hal ini sangat wajar terjadi karena
intensitas generasi muda dalam menonton televisi adalah setiap
hari. Bahasa yang digunakan di media televisi menjdi kiblat
penggunaan bahasa oleh generasi muda.
3) Pembelajaran Bahasa Jawa di Sekolah Kurang Maksimal
Pembelajaran bahasa Jawa di sekolah bertujuan agar siswa
mampu berkomunikasi menggunakan bahasa Jawa dengan baik
dan benar. Dalam hal penggunaan bahasa krama pembelajaran
di sekolah kurang maksimal. Pembelajaran bahasa Jawa tidak
digunakan sebagai bahasa yang komunikatif, namun lebih
menekankan pada aspek struktural.
24
Kurang maksimalnya pembelajaran bahsa Jawa dapat
dibuktikan melalui leksikon bahasa Jawa yang masih
dipertahankan oleh siswa. Jenis leksikon bilangan dan binatang
masih bertahan, namun jenis leksikon dalam bentuk kata kerja
semakin hilang. Dalam pembentukan kalimat kata kerja
merupakan hal yang inti. Hal ini membuktikan siswa semakin
kurang kemampuannya dalam menyusun gagasan dalam
kalimat bahasa Jawa krama.
h. Konsep Hidup Rukun dalam Masyarakat Jawa
Menurut Magnis (1985: 38) terdapat dua kaidah yang
menentukan pola pergaulan dalam massyarakat Jawa, yaitu kaidah
prinsipkerukunan dan kaidah prinsip hormat. Adapun
penjelasaannya adalah sebagai berikut:
1) Rukun
Prinsip kerukunan bertujuan untuk mempertahankan
masyarakat yang harmonis. Keadaan semacam itu disebut
rukun. Rukun adalah keadaan ideal yang diharapkan dapat
dipertahankan pada semua keadaan sosial. Berlaku rukun
berarti menghilangkan kata-kata ketegangan dalam masyarakat
atau pribadi-pribadi sehingga hubungan sosial tetap terlihat
selaras dan baik (Magnis, 1985: 38).
Terdapat dua tuntutan dalam prinsip kerukunan. Pertama,
dalam pandangan masyarakat Jawa yang menjadi poin
25
bukanlah menciptakan keadaan keselarasan sosial, melainkan
lebih untuk tidak mengganggu keselarasan yang sudah
terwujud (Magnis, 1985: 38).
Kedua, prinsip rukun pertama-tama tidak menyangkut suatu
sikap batin atau keadaan jiwa, melainkan penjagaan
keselarasan dalam pergaulan. Yang diatur adalah permukaan
hubungan-hubungan sosial yang kentara. Yang perlu dicegah
ialah konflik-konflik yang terbuka. Agar manusia dapat hidup
sesuai tuntutan kerukunan dengan harmonis maka, ditentukan
sikap-sikap batin tertentu. Tuntutan agar semua pihak menjaga
kerukunan tidak mengenai sikap-sikap batiin tersebut,
melainkan agar ketentraman masyarakat tidak terganggu, dan
jangan sampai tampak adanya perselisihan (Magnis, 1985:
40).
2) Berlaku Rukun
Suatu konflik menjadi pecah apabila kepentingan-
kepentingan yang saling bertentangan bertabrakan. Sebagai
cara bertindak kerukunan menuntut agar individu bersedia
menomorduakan, bahkan bila perlu melepaskan kepentingan
pribadi demi kesepakatan bersama (Magnis, 1985: 40).
Masyarakat Jawa telah mengembangkan norma-norma
kelakuan yang diharapkan dapat mencegah terjadinya emosi-
emosi yang dapat menimbulkan konflik. Sekurang-kurangnya
26
dapat mencegah agar emosi tidak pesah secara terbuka. Norma
tersebut berlaku dalam lingkungan hidup masyrakat kecuali
dalam keluarga inti di mana kekuatan simpati spontan (tresna)
biasanya mencegah terjadinya emosi-emosi agresif atau
sekurang-kurangnya dapat membatasinya. Norma tersebut
terangkum dalam tuntutan untuk selalu mawas diri dan
menguasai emosi (Magnis, 1985: 41).
Bagi masyarakat Jawa harus hati-hati dalam situasi-situasi
dimana kepentingan-kepentingan yang berlawanan saling
berhadapan. Suatu permintaan atau tawaran tidak boleh
langsung ditolak. Jawaban yang tepat adalah suatu jawaban
nggih yang sopan yang tidak pernah langsung kata mboten.
Sebaiknya permintaan dan tawaran tidak diajukan secara
langsung, melainkan harus direncanakan dan disusun agar
permintaan tersebut dapat diterima dengan baik (Magnis, 1985:
42).
Satu keutamaan yang dihargai oleh masyarakat Jawa
adalah kemampuan untuk mengatakan hal-hal yang tidak enak
secara tidak langsung. Berita yang tidak disenangi, pringatan-
peringatan dan tuntutan-tuntutan tidak diajukan secara
langsung kepada seseorang, melainkan harus dipersiapkan
terlebih dahulu. Suatu pembicaraan yang beradab sering
nampak iseng-iseng saja sebelum muncul sesuatu yang berarti.
27
Dengan demikian setiap pihak memiliki kesempatan untuk
menyusun dan mempersiapkan diri secara emosional. Apabila
akhirnya pembicaraan sudah sampai pada masalah yang
sebenarnya, maka tidak ada bahaya besar dan timbulnya reaksi
emosional yang berlebihan (Magnis, 1985: 43).
Suatu teknik lain untuk menghindari kekecewaan adalah
kebiasaan untuk berpura-pura. Kemampuan untuk be-ethok-
ethok adalah suatu seni yang tinggi dan dinilai positif. Ethok-
ethok berarti bahwa diluar lingkungan keluarga inti seseorang
tidak akan memperlihatkan apa yang sebenarnya. Hal ini
terutama berlaku pada perasaan negatif. Meskipun dalam
keadaan sedih yang mendalam, ia diharapkan tersenyum.
Begitupun perasaan positif yang kuat hendaknya juga ditutupi
kecuali dlaam lingkungan yang sangat akrab. Usaha ini adalah
untuk menjaga tingkat keakraban tetap sedang-sedang saja
(Magnis, 1985: 43).
Suatu sarana yang ampuh untuk mencegah konflik adalah
dengan tatakrama masyarakat Jawa yang mengatur semua
bentuk interaksi langsung di luar lingkungan keluarga inti dan
lingkungan teman-teman akrab. Tatakrama tersebut
menyangkut gerak badan, urutan duduk, isi dan bentuk suatu
pembicaraan. Bahasa Jawa sangat cocok untuk itu, suatu
pembicaraan untuk orang-orang beradab harus dijalankan
28
dalam bentuk krama, namun bahasa krama tidak menyediakan
kemungkinan untuk bicara kasar, untuk mengumpat, untuk
memberi perintah secara langsung atau untuk menampakkan
emosi (Magnis, 1985: 45).
3) Rukun dan Sikap Hati
Inti prinsip rukun adalah untuk mencegah segala kelakuan
yang dapat menimbulkan konflik. Tujuan kelakuan rukun
adalah keselarasan sosial, keadaan yang rukun. Suatu keadaan
disebut rukun apabila semua pihak dalam kelompok berdamai
satu sama lain.
Motivasi untuk berlaku rukun bersifat ganda: di satu pihak
individu berada di bawah tekanan berat dari pihak
lingkungannya yang mengharapkan daripadanya bersikap
rukun dan memberikan sanksi terhadap kelakuan yang tidak
sesuai. Di lain pihak individu membatinkan tuntutan
kerukunan sehingga ia merasa bersalah dan malu apabila
kelakuannya mengganggu kerukunan (Magnis, 1985: 52).
Masyarakat Jawa tidak menuntut bahwa tidak boleh ada
kepentingan yang bertabrakan melainkan tuntutan untuk selalu
menguasai kelakuannya agar apabila ada kepentingan yang
bertabrakan tidak terjadi konflik terbuka. Betapapun
kepentingan dua pihak bertentangan, masyarakat Jawa
menuntut agar selalu mengontrol diri, dapat membawa diri
29
dengan sopan, tenang dan rukun sehingga dapat disebut
sebagai orang dewasa (Magnis, 1985: 53).
3. Pembinaan Akhlak
a. Pengertian Pembentukan Akhlak
Berbicara pembentukan akhlak sama dengan berbicara tentang
tujuan pendidikan, karena tujuan pendidikan adalah pembentukan
akhlak. Menurut sebagian ahli mengatakan bahwa, akhlak tidak
perlu dibentuk, karena akhlak adalah insting yang dibawa sejak
manusia lahir. Dengan pandangan seperti ini, maka akhlak akan
tumbuh dengn sendirinya tanpa perlu dibentuk atau diusahakan
(Abuddin, 2017:134).
Selanjutnya ada pula pendapat yang mengatakan bahwa akhlak
adalah hasil dari pendidikan, latihan, pembinaan dan perjuangan
keras serta sungguh-sungguh. Pada kenyataannya di lapangan,
usaha-usaha pembinaan akhlak melalui berbagai lembaga
pendidikan terus dikembangkan.
Hal ini membuktikan bahwa akhak perlu dibina dan pembinaan
akhlak ternyata membawa hasil berupa terbentuknya pribadi
muslim yang berakhlak mulia, taat kepada Allah dan Rasul-Nya,
hormat kepada bapak-ibu dan menyayangi lingkungan (Abuddin,
2017:134).
Keadaan pembinaan ini semakin terasa diperlukan karena pada
saat ini terdapat banyak tantangan sebagai dampak dari kamajuan
30
bidang iptek. Orang akan mudah berkomunikasi dengan siapapun,
kapanpun dimanapun dan dengan bahasa apapun tanpa batas.
Peristiwa dan tayangan yang baik dan yang buruk akan dengan
mudah diakses oleh pengguna internet dari berbagai kalangan
(Abuddin, 2017:135).
Dengan demikian pembentukan akhlak dapat diartikan sebagai
usaha sungguh-sungguh dalam rangka membentuk anak,
menggunakan sarana pendidikan dan pembinaan yang terprogram
dengan baik dan secara berkesinambungan. Potensi rohaniah yang
ada dalam diri manusia, termasuk di dalamny akal, nafsu amarah,
nahfu syahwat, fitrah, kata hati, hati nurani dan intuisi dibina
secara opimal dengan cara dan pendekatannya yang tepat
(Abuddin, 2017:135).
b. Metode Pembinaan
Pembinaan akhlak merupakan tumpuan perhatian pertama
dalam Islam. Hal ini dapat dilihat dari misi kerasulan Nabi
Muhammad SAW adalah untuk menyempurnakan akhlak.
Perhatian Islam dalam membina akhlak dapat dianalisis pada
seluruh aspek ajaran Islam bermuatan akhlak. Seluruh ajaran
agama Islam mengarah kepada akhlak terpuji.
Cara yang dapat ditempuh untuk membina akhlak seorang
anak adalah dengan pembiasaanyang ditanamkan sejak kecil dan
dilakukaan secara berkesinambungan. Imam Al-Ghazali
31
mengatakan bahwa, kepribadian manusia pada dasarnya dapat
menerima segala usaha pembentukan melalui pembiasaan. Untuk
itu Imam Al-Ghazali menganjurkan untuk mengajarkan akhlak,
yaitu dengan cara melatih jiwa pada pekerjaan dan tingkah laku
yang mulia. Jika orang tua menghendaki agar anaknya menjadi
pemurah, maka anak harus dibiasakan melakukan pekerjaan yang
bersifat pemurah. Sehingga murah hati dan dermawan akan
menjadi tabiatnya yang mendarah daging (Abuddin, 2017:141).
Dalam tahap-tahap tertentu pembinaan akhlak, khususnya
akhlak lahiriah dapat dilakukan dengan caara paksaan yang lama-
kelamaan tidak akan merasa terpaksa (Abuddin, 2017:135).
Seorang anak yang ingin berkata dengan lembut harus sering
diingatkan agar tidak berkata kasar. Apabila anak terlihat berkata
dan berperilaku kasar maka harus segera ditegur.
Cara lain yang tidak kalah ampuh adalah dengan keteladanan.
Akhlak terpuji tidak dapat dibentuk hanya dengan pelajaran,
instruksi dan larangan. Tabiat jiwa untuk menerima keutamaan
tidak cukup hanya dengan perintah guru. Menanamkan sopan
santun harus dengan pendidikan yang yang panjang dan lestari.
Pendidikan tidak akan sukses tanpa memberi keteladanan yang
baik dan nyata (Abuddin, 2017:141).
c. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pembinaan Akhlak
32
Untuk menjelaskan faktor-faktor yang mempengaruhi
pembentukan akhlak pada khususnya dan pendidikan pada
umumnya, ada tiga aliran yang populer. Pertama aliran nativisme,
Kedua, aliran empirisme, dan ketiga aliran konvergensi (Abuddin,
2017:143).
Menurut aliran nativisme bahwa faktor yang paling
mempengaruhi pembentukan diri seseorang adalah faktor
pembawaan dari dalam diri. Pembawaan ini dapat berupa
kecenderungan bakat, akal, dan sebagainya. Jika seorang sudah
memililki pembawaan atau kecenderungan kepada yang baik, maka
dengan sendirinya orang tersebut menjadi baik (Abuddin,
2017:143).
Dalam aliran ini diyakini bahwa faktor penentu baik dan
buruknya sikap seseorang ditentukan oleh faktor internal. Sehingga
dapat dikatakan kurang memperhitungkan faktor eksternal berupa
pembinaan akhlak dan pendidikan.
Menurut aliran empirisme bahwa faktor yang paling
berpengaruh terhadap pembentukan diri seseorang adalah faktor
eksternal, yaitu lingkungan sosial termasuk pembinaan akhlak dan
pendidikan (Abuddin, 2017:143). Berbeda dengan aliran nativisme,
aliran empirisme meyakini bahwa sikap dan akhlak seseorang
dapat dibentuk dan dibina melalui lingkungan sosial dan
33
pendidikan. Sehingga baik dan buruknya akhlak ditentukan oleh
baik dan buruknya lingkungan dan pendidikan yang diterima.
Menggabungkan aliran nativisme dan aliran empirisme, aliran
konvergensi tidak memungkiri bahwa faktor internal dan eksternal
memiliki perannya masing-masing dalam membentuk akhlak
seseorang. Fitrah dan kecenderungan ke arah yang baik yang ada
dalam diri manusia dibina secara intensif melalui berbagai metode
(Abuddin, 2017:143). Aliran ini sesuai dengan ajaran Islam bahwa
setiap anak terlahir dengan fitrah yang baik sebagaimana kertas
putih, selanjutnya bersih dan tidaknya kertas akan ditentukan
dengan lingkungan dan pendidikan. Seseorang akan semakin baik
jika mendapat lingkungan dan pendidikan yang baik, dan
begitupun selanjutnya.
Allah berfirman dalam QS. An-Nahl ayat 78:
هاتكم ال ت علمون شيئا وجعل لكم واللو أخرجكم من بطون أممع واألبصار واألفئدة لعلكم تشكرون الس
Artinya: “Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam
keadaan tidak mengetahui sesuatupun, dan Dia memberikanmu
pendengaran, penglihatan dan hati agar kamu bersyukur”
Ayat ini mengandung petunjuk bahwa manusia lahir dengan
potensi yang diberikan Allah berupa penglihatan, pendengaran dan
perasaan. Potensi tersebut harus disyukuri dengan cara
menggunakan mengebangkan potensi tersebut melalui pembinaan
dan penddikan.
34
Sehingga dapat disimpulkan faktor yang mempengaruhi
pembentukan akhlak seorang anak ada dua, faktor internal dan
faktor eksternal. Faktotr internal berupa potensi yang
dianugerahkan oleh Allah sejak sang anak lahir. Potensi ini akan
berkembang dengan baik apabila faktor eksternal berupa
lingkungan dan pedidikan diterima dengan baik. Melalui kerjasama
antara orang tua, guru dan tokoh masyarakat akhlak seorang anak
akan terbentuk dengan seutuhnya.
Dalam padangan Islam bukan sekedar kata-kata yang diulang-
ulang dan slogan yang dipamer-pamerkan. Akhlak ialah watak,
kebiasaan dan sikap yang mendalam dan dijiwai, bekerjasama
dalam membentuk berbagai faktor warisan yang merupakan naluri,
temperament, faktor lingkungan melalui pendidikan, bimbingan
dan latihan. Apabila seseorang gagal dalam membentuk akhlak
maka usaha yang dibuat oleh lembaga-lembaga pendidikan tidak
akan berhasil mencapai tujuan yang diinginkan (Omar, 1979: 319-
320).
Berubahnya akhlak terkait dengan banyak perkara, secara
keseluruhan akhlak dianggap sebagai sesuatu yang dipelajari,
terpengaruh dengan waktu, tempat, lingkungan, adat-istiadat,
kebisaan dan tekad yang kuat untuk berubah.
35
Tingkah laku seseorang, akhlak, dan adat-istiadat yang ia anut
dapat berubah. Perubahan ini berlaku melalui pendidikan,
partisipasi aktif dari tokoh panutan dalam memberikan teladan, dan
lingkungan sosial yang menggalakkan tingkah laku yang
dikehendaki melalui pembiasaan. Namun membina akhlak
seseorang bukanlah perkara yang mudah, hal ini dikarenakan jiwa
tidak mudah menyalahi kebiasaanya dan meninggalkan sikapnya
yang telah mendarah daging (Omar, 1979: 322). Hal ini dibuktikan
dengan firman Allah dalam QS. Ar-Ra‟du ayat 11
ر بات من ب ي يديو ومن خلفو يفظونو من أمر اللو إن اللو ال ي غي لو معقروا ما بأن فسهم وإ ذا أراد اللو بقوم سوءا فال مرد لو وما لم من ما بقوم حت ي غي
دونو من وال Artinya: “Bagi manusia ada malaikat-malaikat yang selalu
mengikutinya bergiliran, di muka dan di belakangnya, mereka
menjaganya atas perintah Allah. Sesungguhnya Allah tidak
mengubah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka mengubah
keadaan yang ada pada diri mereka sendiri. Dan apabila Allah
menghendaki keburukan terhadap sesuatu kaum, maka tak ada
yang dapat menolaknya; dan sekali-kali tak ada pelindung bagi
mereka selain Dia.”
Perubahan akhlak dan sikap tidak hanya terjadi pada mausia.
Sebagai contoh anjing yang merupakan hewan buas dapat menjadi
jinak dan tunduk kepada tuannya apabila dilatih. Semua ini adalah
perubahan dalam tabiat dan akhlak yang berubah melalui latihan,
sedangkan hewan tidak berakal. Jika hal ini berlaku pada hewan,
sudah tentu pada manusia yang dikarunia akal oleh Allah (Omar,
1979: 323).
36
4. Sikap Ta’dhim
a. Pengertian Sikap Ta’dhim
Arti kata ta’dhim dalam kamus besar bahasa Indonesia yaitu
amat hormat dan sopan (KBBI Online, 2019). Sedangkan ta’dhim
berasal dari bahasa Arab التعظيم yang berarti mengagungkan,
memuliakan (Munawwir, 1997: 947).
Ta’dhim atau menghormati guru adalah kewajiban setiap
siswa. Imam Az-Zarnuji berkata dalam kitabnya Ta’limul ta’alim(
Az-Zarnuji, 2012: 70).
الينال العلم والينتفع بو االبتعظيم العلم واىلو وتعظيم االستاذوتوقريهMencari ilmu tidak akan mendapatkan ilmu dan tidak akan
mendapatkan kemanfaatan ilmu kecuali dengan mengagungkan
ilmu dan orang-orang yang berilmu, mengagungkan dan
menghormati guru.
Menghormati guru, pengajar, atau pendidik merupakan salah
satu akhlak mulia dalam Islam. Para sahabatsangat menghormati
Rasulullah sebagai guru mereka. Sahabat tidak memulai berbicara
ketika Rasulullah belum berbicara. Mereka tidak angkuh dan
sombong sehingga mendapatkan kemanfaatan illmu yang
disampaikan oleh Rasulullah (Fajar, 2017: 189).
Gagalnnya pendidikan dalam mencetak generasi yang
berkarakter tangguh, berakhlak mulia, dan berbudi pekerti luhur,
diantaranya disebabkan tidak adanya rasa hormat siswa kepada
gurunya (Fajar, 2017: 190). Banyak kasus yang terjadi antara guru
37
dan siswa yang terjadi karena hilangnya keta’dhiman murid kepada
guru.
Menurut Ida (2019: 7) terdapat beberapa faktor yang
menyebabkan lunturnya sikap ta’dhim siswa kepada guru,
diataranya adalah:
1) Posisi sosial siswa lebih tinggi dari guru, hal ini dapat terjadi
apabila siswa berasal dari keluarga terpandang atau
orangtuanya memiliki jabatan. Hal ini akan terjadi apabila
siswa tidak menerima pendidikan keluarga yang baik.
2) Posisi ekonomi siswa lebih tinggi dari guru, hal ini sering
terjadi di sekolah favorit dengan biaya pendidikan yang tinggi.
Akan terjadi hal yang tidak menyenangkan ketika guru
memiliki keterbatasan untuk mengingatkan siswa. Hal ini
sering terjadi karena siswa akan berdalih bahwa orang tua
mereka telah membayar sekolah dengan biaya yang mahal.
Siswa lebih paham dengan materi yang diajarkan, sedangkan
guru kurang mendalami materi. Hal ini akan terjadi apabila guru
kehilangan kewibaannya.
(https://www.google.com/amp/s/idasuramunhusna.wordpress.com/
2013/10/13/lunturnya-budaya-sopan-santun-siswa-terhadap-
guru/amp/).
b. Ciri-Ciri Sikap Ta’dhim
38
Anak harus memposisikan guru ditempat yang terhormat. Ia
tidak boleh menghina, mengejek, ataupun bergurau, dan membuat
gaduh di dipannya. Ia juga harus tunduk, patuh, dan mendengarkan
guru dengan baik (Syarifuddin, 2004: 102)
Bagian lain dari menghormati guru adalah membantu melayani
kepentingannya. Menghormati guru bukanlah kultus, melainkan
suatu hak yang memang layak diterima guru atas kegiatannya
mendidik siang dan malam. Rasulullah senantiasa menyeru untuk
mendahulukan orang yang lebih tua, baik usia maupun ilmunya.
Dalam hadits disebutkan:
“Sesungguhnya termasuk memuliakan Allah ta’ala ialah
memuliakan seorang muslim ialah memuliakan seorang muslim
yang berusia lebih tua, memuliakan pengemban Al-Qur’an yang
konsisten dengan Al-Qur’annya, serta memuliakan penguasa yang
adil” (HR. Abu Dud) (Syarifuddin, 2004: 103)
Sikap menghormati guru akan bermanfaat bagi anak pada masa
dewasanya kelak. Sabda Rasulullah:
“Seorang remaja (anak) yang memuliakan orang yang tua bukan
karena usianya kecuali kelak Allah akan menyiapkan baginya
orang yang memuliakannya saat senja” (HR. Tirmidzi).
Seorang anak dituntut menghormati orang yang lebih tua
dalam ilmu dan usianya. Namun peghormatan itu hendaknya tidak
menjadi penghalang mereka untuk bersikap kritis seperti berbeda
pendapat dengan guru sesuai dengan hasil ijtihadnya, asal
perbedaan itu bisa diutarakan dengan santun dan dengan tetap
megindahkan hak-hak guru.
39
Adapun ciri-ciri sikap ta’dhim kepada guru menurut Imam Az-
Zarnuji (2012: 73-74) dalam kitabnya Ta’limul Muta’alim adalah
sebagai berikut:
1) Tidak berjalan di depan guru.
2) Tidak duduk di kursinya.
3) Tidk duduk terlalu dekat dengan guru.
4) Tidak memulai berbicara di hadapan guru kecuali dengan
seizinnya.
5) Ketika hendak bertanya kepada guru hendaknnya
memerhatikan waktu yang tepat, tidak bertanya ketika guru
sedang letih.
6) Tidak mengetuk pintu namun menunggu dengan sabar ketika
hendak bertemu dengan guru.
7) Mencari keridlaan guru dengan menjauhi hal-hal yang tidak
disukai guru.
8) Mentaati perintah guru kecuali hal-hal yang dillarang Allah.
9) Menghormati keluarga, kerabat dan sahabat-sahabat guru.
10) Mendengarkan ilmu dan nasihat dengan penuh penghormatan
meskipun ia telah mendengar nasihatt tersebut sebanyak seribu
kali.
11) Tidak duduk dihadapan guru dengan menoleh-noleh, namun
duduklah dengan menundukkan kepala dan tawadlu’.
40
Menurut Imam Abdil Khamid Ahmad Nawawi dalam kitabnya
Jawahirul Adab ciri-ciri ta’dhim adalah sebagai berikut:
1) Patuh kepada guru terhadap perkara-perkara yang haq
2) Memberikan salam ketika bertemu dengan guru
3) Melakukan tindakan yang membahagiakan guru , dan
sebaliknya tidak melakukan perkara yang tidak disukai guru
4) Ta’dhim dan tawadlu’ dengan tidak banyak bicara ketika
duduk bersandingan dengan guru sebagaimana ketika sholat,
tidak melakukan hal-hal lain selain sholat
5) Mengutamakan apa yang diperintahkan guru apabila itu adalah
perkara yang hak, tanpa banyak bertanya yang tidak perlu
6) Tidak menolah-noleh dan berbicara dengan teman ketika guru
sedang menyampaikan pelajaran
7) Memuliakan guru dengan berdiri ketika guru datang
8) Mempersiapkan tempat duduk guru sebelum beliau memasuki
kelas
9) Mencatat pelajaran yang disampaikan oleh guru dengan
tulisan.
5. Pembinaan Sikap Ta’dhim Melalui Bahasa Jawa Ragam Krama
Pendidikan undha-usuk basa dapat dilakukakn melalui dua tahap
yaitu, aplikatif dan apresiasif. Apliktaif dilakkan dengan cara
menghafal kosa kata bahasa Jawa krama, mengubah bahasa ngoko
menjadi krama, membuat surat berbahasa krama, dan berlatih pidato
41
bahasa krama. Adapun apresiasif adalah prses proses menghayati dan
merasakan perbedaan saat mendengar bahasa Jawa ragam krama dan
ngoko. Pada tahap ini siswa akan mulai merasakan hikmah berbahasa
Jawa krama yang sarat dengan nilai sopan-santun. Menurut Ki Hajar
Dewantara pendidikan undha-usuk tidak dapat dilakukan sebatas di
sekolah, namun juga harus melibatkan penddikan dalam keluarga dan
masyarakat (Haryana, Supriya,2001 : 167).
a. Pendidikan Undha-Usuk di Sekolah
Pendidikan undha-usuk di sekolah dipegang oleh guru bahasa
Jawa. Dalam hal ini diperlukan tekad yang kuat dan metode yang
mudah diterima oleh siswa. Pendidikan ini diharapkan sudah
diterapkan mulai usia dini, karena pada usia ini siswa berada pada
tahap elajar berbicara dengan baik (Haryana dan Supriya, 2001 :
168).
Secara teknis anak usia dini peka terhadap rangsang dan lebih
mudah untuk dibina aspek emosional, penghayatan dan
ketrampilannya. Sehingga dianjurkan pada tingkat sekolah TK
sudah mulai diajarkan undha-usuk basa, tentu saja dengan metode
yang sesuai seperti melalui dongeng, gambar-gambar, dialog, dan
tembang dolanan (Haryana dan Supriya, 2001 : 168).
b. Pendidikan Undha-Usuk di Keluarga
Dalam keluarga suku Jawa pendidikan undha-usuk basa sudah
dikenalkan sejak bayi. Dimulai dai kedua orang tua dan didukung
42
oleh semua anggota keluarga anak dibiasakan untuk berbicara
dengan santun melalui basa krama yang tepat. Anak akan lebih
baik jika diajak membaca buku-buku berbahasa Jawa (Haryana dan
Supriya, 2001 : 168).
Selain membiasakan membaca buku-buku berbahasa Jawa,
pendidikan undha-usuk basa dalam keluarga dpat dilakukan secara
langsung. Metode ini dilakukan dengan menggunakan bahasa Jawa
krama dalam setiap perbincangan. Hal ini dilakukan sedikit demi
sedikit, sabar, dan telaten untuk mengarahkan sang anak (Haryana
dan Supriya, 2001 : 168).
Kelemahan metode langsung adalah mengurangi keakraban
apabila dilakukan secacra spontan. Untuk mengantisipasi hal
demikian maka ketika anak sudah mulai terbiasa, orang tua dan
kakak berbicara menggunakan bahasa campuran antara krama dan
ngoko.
Yang sering menjadi keprihatinan adalah orang tua sekarang
lebih memilih menggunakan bahasa Indonesia yang dianggap lebih
mudah, dan takut keliru jika menggunakan bahasa Jawa. Lebih
memrihatinkan lagi apabila alasan menggunakan karena Indonesia
adalah karena bahasa Indonesia lebih modern dan lebih terkenal
dari bahsa Jawa. Baik bagi anak untuk dididik berbahasa Indonesia
karena itu adalah bahasa persatuan, namun jangan dijadikan alasan
untuk meninggalkan bahasa Jawa. Bagi anak bahasa persatuan dan
43
bahasa daerah harus diajarkan secara seimbang (Haryana, Supriya
dan 2001 : 169).
c. Pendidikan Undha-Usuk di tengah Masyarakat
Undha-usuk basa dan unggah-ungguh basa akan lebih lestari
dan terus berkembang apabila didukung oleh segenap waga
masyarakat, aparat pemerintah dan tokoh masyarakat. Masyarakat
diharapkan memberikan contoh pada generasinya dalam pergaulan
sehari-hari. Terlebih apabila ada anak yang tidak pas dalam
menggunakan undha-usuk basa berkenan untuk mengingatkan dan
membenarkan (Haryana dan Supriya,2001 : 169).
Terdapat banyak cara untuk menularkan budaya berbahasa
Jawa kepada generasi muda antara lain dengan menyediakan buku
bacaan di perpustakaan desa, menerbitkan berita berbahasa Jawa,
mengumumkan hal-hal penting menggunakan bahasa Jawa dan
menggiatkan seni kebudayaan Jawa (Haryana dan Supriya, 2001 :
169).
Diharapkan pemerintah daerah dengan kewenanan otonominya
khususnya pemerintah provinsi DIY, Jawa Tengah dan Jawa Timur
dapat bekerjasama dengan segenap warga masyarakat, tokoh
masyarakat, penggiat seni dan duta daerah untuk memberikan
sumbangsih terhadap pelestarian bahasa Jawa.
44
B. Kajian Pustaka
1. Peneliti melakukan kajian pustaka terhadap jurnal yang berjudul
Kedudukan Bahasa Jawa Ragam Krama Pada Kalangan Generasi
Muda: Studi Kasus di Desa Randegan Kecamatan Dawarblandong,
Mojokerto dan di Dusun Tutul Kecamatan Ambulu, Jember.
Pennelitian ini dilakukan oleh Dewianti Khazanah. Penelitian ini
menyimpulkan bahwa kedudukan bahasa Jawa mengalami pergeseran
secara signifikan. Posisi bahassa Jawa mulai tergantikan dengan
bahasa Indonesia. Peneliti tersebut menginginkan pelestarian bahassa
Jawa karena bahasa Jawa adalah cermin dari budaya ketimuran yang
syarat dengan nilai-nilai kesantunan. Terdapat subjek dan tujuan yang
sama dalam penelitian dengan proposal, yaitu untuk melestarikan
bahasa Jawa karena dianggap sebagai bahasa yang menjunjung tinggi
nilai sopan santun. Namun terdapat perbedaan yang menonjol yaitu
pada penelitian jurnal tersebut berada pada tahap mengkaji kedudukan
bahasa Jawa, sedangkan dalam proposal ingin diteliti sejauh mana
peran bahasa Jawa dalam membina akhlak takzimpserta didik.
2. Peneliti melakukakan kajian terhadap jurnal yang berjudul Pengikisan
Bahasa Dalam Masyarakat Jawa: Catatan Tentang Proses Kepunahan
Bahaa Jawa yang ditulis oleh Hendarto Suprata mahasiswa Fakultas
Ilmu Budaya Universitas Diponegoro Semarang. Dalam penelitian ini
peneliti mengungkapkan bahwa Bahasa Jawa sebagai bahasa adi
luhung tidak mengalami kepunahan secara total melainkan mengalami
45
pergeseran dalam jumlah tutur. Hal ini dibuktikan bahwa bahasa Jawa
ragam ngoko masih banyak digunakan di masyarakat. Sedangkan
bahasa Jawa ragam krama mulai jarang digunakan kecuali hanya pada
acara-acara tertentu. Dalam percakapan sehari-hari lebih banyak
menggunakan bahasa Indonesia dengan berbagai faktor. Hal ini
membuktikan bahwa pergeseran budaya mendingikasikan pergeseran
moralitas.
Terdapat persamaan dalam penelitian ini, yaitu permasamaan
persepsi bahwa bahasa Jawa ragam krama mengandung nilai-nilai
kesantunan yang membutuhkan perhatian dan pelestarian. Terdapat
perbedaan dalam kedua penelitian ini yaitu pada penelitian Hendarto
Suprapta membahas tentang kepunahan bahasa Jawa sedangkan dalam
skripsi ini peneliti meneliti peran bahasa Jawa dalam membina sikap
takzimpeserta didik.
3. Peneliti juga melakukan kajian terhadap skripsi berjudul Pendidikan
Akhlak: Pembinaan Sikap Sopan Siswa Terhadap Guru di MTs Rakit
kecamatan Rakit Kabupaten Banjar Negara. Skripsi ini ditulis oleh
Nur Cahyaningsih mahasiswi urusan Pendidikan Agama Islam Institut
Agama Islam Negeri Purwokerto tahun 2017. Dalam penelitian ini
dilakukan pembinaan sikap sopan santun kepada guru melalui
keteladanan dari guru, melalui nasihat dan menegakkan peraturan yang
tegas. Terdapat persamaan dalam penelitian in yaitu dalam hal
pembinaan akhlak. Perbedaannya penelitian yang dilakukan oleh Nur
46
Cahyaningsih pembinaan akhlak dilakukan melalui keteladanan,
nasihat dan peraturan yang tegas. Sedangkan dalam skripsi ini peneliti
menggunakan pendekatan pembiasaan budaya berbahasa Jawa ragam
krama.
4. Peneliti melakukan kajian terhadap jurnal dengan judul Pendidikan
Karakter Hormat dalam Buku Pelajaran Bahasa Jawa di Sekolah.
Jurnal ini ditulis oleh Suwarna dan Suharti mahasiswa fakultas Bahasa
Seni Universitas Negeri Yogyakarta. Disebutkan bahwa bahasa Jawa
dapat membentuk sikap hormat atau sikap ta’dhim. Hal ini disebabkan
karena bahasa Jawa memiliki sistem undha-usuk basa dan tata krama
yang berbeda dengn bahasa yang lain. Dalam penelitian ini ditemukan
bahwa semakin tinggi jenjang sekolah, materi pendidikan karakter
hormat disapaikan semakin abstrak, langsung, integratif, polistrategi,
dan metaforis. Begitupun sebaliknya semakin rendah jenjang sekolah
semakin konkrit, langsung, monostrategi, dan lugas. Hal ini
disebabkan semakin tinggi usia siswa semakin mudah mereka
menerima pendidikan krakter dan sebaliknya.
Terdapat persamaan dalam penelitian ini, yaitu dalam jurnal
disebutkan bahwa bahasa Jawa dapat membina sikap hormat siswa
karena memiliki strata bahasa. Namun terdapat perbedaan yang nyata,
karena skripsi ini membahas pembinaan sikap ta’dhim melalui bahasa
Jawa sedangkan jurnal ini membahas konten buku pelajaran bahasa
Jawa yang mengandung pendidikan karakter hormat.
47
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
A. Jenis Penelitian
Penelitian ini menerapkan metode penelitian kualitatif. Penelitian
kualitatif adalah penelitian yang bermaksud untuk memahami fenomena
tentang apa yang dialami oleh subjek penelitian misalnya perilaku,
persepsi, motivasi dll., secara holistik dan dengan cara deskripsi dalam
bentuk kata-kata dan bahasa, pada konteks khusus yang alamiah dan
dengan memanfaatkan metode alamiah (Moleong, 2009: 6). Penelitian ini
adalah salah satu penelitian dengan pendekatan studi kasus. Penelitian
studi kasus adalah jenis penelitian kualitatif yang mendalam tentang
individu, kelompok, institusi, dan sebagainya dalam waktu tertentu
(Sugiarto, 2015:12).
Studi kasus merupakan salah satu meode penelitian dibidang ilmu-
ilmu sosial. Secara umum, studi kasus merupakan strategi yang tepat
apabila peneliti memiliki rumusan masalah berkenaan dengan why atau
how. Hal ini terjadi apabila peneliti hanya memiliki sedikit peluang untuk
mengontrol peristwa-peristiwa yang akan diselidiki, dan apabila fokus
penelitian terletak pada fenomena kontemporer dalam konteks kehidupan
nyata. Dalam penggunaannya peneliti harus memusatkan perhatian kepada
aspek pendesainan dan pelaksanaan penelitian agar mampu menghadapi
kritik-kritik tradisional tertentu terhadap metode atau tipe pilihannya
(Robert, 1997: 1).
48
Dalam penelitian ini peneliti akan meneliti dan mengamati
fenomena-fenomena penerapan bahasa Jawa ragam krama di SMP
Muhammadiyah Plus Salatiga.
B. Sumber Data
1. Data Primer
Data primer akan diperoleh dari pihak-pihak yang bersangkutan
langsung dengan objek penelitian, diantaranya kepala sekolah, guru,
tenaga kependidikan dan peserta didik secara kolektif.
2. Data Sekunder
Data sekunder diperoleh guna mendukung penelitian meliputi data
profil SMP Muhammadiyah Plus Salatiga, dokumentasi kegiatan SMP
Muhammadiyah Plus Salatiga, dan literatur yang berkaitan dengan
judul.
C. Metode Pengumpulan Data
1. Metode Observasi
Metode observasi adalah kegiatan penelitian yang dilaksanakan
untuk memperoleh informasi faktual dari gejala-gejala yang muncul
dari objek penelitian, baik tentang institusi sosial, ekonomi, atau
politik di suatu daerah (Nazir, 1983: 65). Metode ini menjadi metode
prioritas dalam penelitian.
49
Metode penelitian kualitatif tidak dapat dipisahkan dari
pengamatan berperanserta. Pengamatan berperanserta adalah penelitian
yan bercirikan interaksi sosial, dengan intensitas waktu yang lama
antara peneliti dan lingkungan subjek penelitian, dan selma itu pula
data dikumpulkan secara sistematis dalam bentuk catatan lapangan dan
berlaku tanpa gangguan (Moleong, 2002: 117).
Sebagai pengamat, peneliti berperanserta dalam kehidupan sehari-
hari subjeknya dalam situasi yang diinginkan untuk memahaminnya.
Sehingga tidak semua peristiwa peneliti harus terlibat. Terdapat
seperangkat acuan yang menjadi pedoman untuk berperanserta.
Intensitas komunikasi dan interaksi antara peneliti dan subjeknya akan
memberikan pandangan mengenai kebisaan, konflik, perubahan yang
terjadi dan kaitannya dengan lingkungan penelitian (Moleong, 2002:
118).
2. Wawancara
Wawancara adalah proses memperoleh informasi untuk tujuan
penelitian dengan cara tanya jawab sambil bertatap muka antara
pewawancara dengan (Nazir, 1983: 234). Wawancara dalam suatu
penelitian yang melibatkan masyarakat atau lembaga merupakan
pendukung utama dari metodi observasi (pengamatan (Burhan, 2007:
100).
Secara garis besar wawancara dibagi menjadi dua, yaitu
wawancara berencana dan wawancara tidak berencana. Perbedaannya
50
adalah perlu tidaknya peneliti menulis daftar pertanyaan sebagai
pedoman wawancara. Sementara itu, dipandnag dari pertanyaanya
wawancara tergolong menjadi dua, yaitu wawancara tertutup dan
wawancara terbuka. Perbedannya adalah apabila jawaban yang
dikehendaki tidak terbatas maka disebut wawancara terbuka, dan
sebaliknya (Burhan, 2007: 100).
Menurut Burhan (2007:101) peneliti harus dapat menentukan
informan kunci. Penentuan untuk menjadi informan kunci harus
melalui beberapa pertimbangan. Burhan (2007: 101) menyebutkan
pertimbangan tersebut antara lain adalah:
1) Informan memiliki pengalaman pribadi sesuai dengan
permasalahan yang diteliti
2) Usia informan telah dewasa
3) Informan dalam keadaan sehat jasmani dan rohani
4) Informan bersifat netral, tidak memiliki kepentingan pribadi untuk
menyudutkan pihak lain
5) Informan memiliki pengetahuan yang luas mengenai permasalahan
yang diteliti.
Peneliti akan melakukan wawancara berencana atau terstruktur
dengan sifat terbuka. Wawancara akan dilakukan dengan informan
kunci yaitu guru pengajar Bahasa Jawa dengan pertimbangan-
pertimbangan di atas. Selain informan kunci, wawancara juga akan
51
dilakukan bersama kepala sekolah sebagai pemimpinsekolah, kepada
guru pendidikan agama Islam dan kepada siswa yang bersangkutan.
3. Dokumentasi
Dokumentasi adalah dapat berupa tulisan pribadi seperti buku
harian, bisa pula berupa dokumen resmi seperti surat-surat instansi
(Nasution, 2003: 85).
Dokumen dibagi menjadi dua, yaitu dokumen pribadi dan
dokumen resmi. Dokumen pribadi adalah catatan atau karangan
seseorang secara tertulis tentang tindakan, pengalaman, dan
kepercayaannya. Makksud mengumpulkan dokumen pribadi adalah
untuk memperoleh kejadian nyata mengenai situasi sosial dan
penjelasan berbagai aktor di lingkungna subjek peneltian. Apabila
seorang guru meminta siswa untuk menuliskan pengalaman berkesan
mereka, hla ini termasuk dokumen pribadi (Moleong, 2002: 161).
Sedangkan dokumen resmi terbagi atas dokumen internal dan
dokumen eksternal. Dokumen internal berupa memo, pengumumamnn,
instruksi, aturan suatu lembaga masyarakat tertentu yang digunakan
dalam kalangan sendiri. Dokumen demikian dapat menyajikan
informasi mengenai keadaan, aturan, disiplin, dan dapat memberikan
petunjk tentang gaya kepemimpinan. Dokumen eksternal berisi
informasi suatu lembaga sosial, seperti majalah, buletin, dan berita
yang akan disiarkan kepada masyarakat. Dokumen eksternal dapat
52
dimanfaatkan untuk menelaah konteks sosial, kepemimpinan dan
sebagainya (Moleong, 2002: 163).
Penelitian ini membutuhkan dokumen resmi dan dokumen pribadi.
Dokumentasi diperlukan guna memberikan data yang konkrit meliputi
dokumen wawancara, kondisi sosial, dan data peserta didik SMP
Muhammadiyah Plus Salatiga.
4. Catatan Lapangan
Catatan lapangan adalah catatan tertulis tentang apa yang didengar,
dilihat, dialami, dan dipikirkan dalam penelitian kualitatif. Catatan
yang dibuat di lapangan berbeda dengan catatan lapangan. Catatan itu
berupa coretan seperlunya, berisi kata-kata inti, frase, pokok-pokok isi
pembicaraan atau pengamatan, berupa gambar, sketsa, sosiogram,
digram, dan sebagainya (Moleong, 2002: 153).
Catatan singkat tersebut berguna sebagai alat perantara antara apa
yang dilihat, didengar, dirasakan, dicium dan dirasa dengan catatan
sebenarnya dlam bentuk cacatan lapangan. Catatan singkat akan
disempurnakan dan dilengkapi yang kemudian disebut catatan
lapangan. Proses ini dilakukan setiap melakukan wwawancara,
pengamatan, tidak boleh dilalaikan karena akan tercampur dengan
informasi lain dan ingatan seseorang sifatnya terbatas (Moleong, 2002:
153).
Penemuan pengetahuan atau teori harus didukung oleh data
konkret dan bukan berasal dari ingatan. Keabsahan data harus
53
didasarkan atas data yang terdapat dalam cacatan lapangan. Di sinilah
letak pentingnya catatan lapangan. Dapat dikatan bahwa dalam
penelitian kualitatif jantungnya adalah catatan lapangan (Moleong,
2002: 153).
D. Lokasi Penelitian
Lokasi yang dijadikan objek penelitian adalah SMP Muhmmadiyh Plus
Salatiga yang bertempat di kelurahan Sidomukti, kecamatan Mangunsari
kota Salatiga. Penulis memilih lokasi tersebut dengan pertimbangan
bahwa:
1. SMP Muhammadiyah Plus Salatiga memiliki program implementasi
bahasa Jawa ragam krama.
2. SMP Muhammadiyah Plus Salatiga belum pernah dilakukan penelitian
yang sejenis dengan judul yang diteliti penulis.
E. Analisis Data
Analisis data kualitatif adalah proses mensistematiskan apa yang
sedang diteliti dan mengatur hasil wawancara seperti apa yang dilakukan
dan difahami yang bertujuan agar peneliti dapat menyajikan hasil
penelitiannya kepada orang lain. Tujuan utama analisis data dalam
penelitian kualitatif adalah untuk mencari makna di balik data, melalui
pengakuan subjek pelaku. Oleh karena itu, maka peneliti harus terlibat
dalam kehidupan subjek (partisipant obeservation) dan mengadakan
wawancara mendalam (depth interview) (Kasiram: 2010: 355).
54
Dalam menganalisis data peneliti akan menggunakan metode sebagai
berikut:
1. Reduksi data
Reduksi data adalah proses pemilihan, pemusatan perhatian,
pengabstraksian dan pentaransformasian data kasar dari lapangan.
Proses ini berlangsung selama penelitian dilakukan, dari awal sampai
akhir penelitian. Selama pengumpulan data peneliti membuat ringkasan,
kode, materi-materi, menulis memo dan lain-lain (Basrowi, 2008: 209).
Fungsi reduksi data adalah untuk menajamkan, menggolongkan,
membuang yang tidak perlu dan mengorganisasi sehingga interpretasi
dapat ditarik. Dalam reduksi data peneliti mengorganisasi data yang
benar-benar valid. Ketika peneliti meragukan kebenaran data maka
akan dicek ulang dengan informan lain yang dirasa perlu (Basrowi dan
Suwandi, 2008: 209).
2. Penyajian data
Adalah sekumpulan informasi yang tersusun memberi
kemungkinan untuk menarik kesimpulan dan penambilan tindakan.
Bentuk penyajian data dapat berupa teks narasi, metriks, grafik,
jaringan dan bagan. Tujuannya adalah untuk memudahkan membaca
dan menarik kesimpulan. Dalam proses ini peneliti mengelompokan
hal-hal yang serupa menjadi kategori atau kelompok-kelompok.
Masing-masing kelompok tersebut menunjukkan tipologi yang ada
sesuai dengn rumusan masalahnya (Basrowi dan Suwandi, 2008: 209).
55
3. Penarikan kesimpulan atau verifikasi
Kesimpulan diverisikasi selama penelitian berlangsung. Makna-
makna yang muncul data harus selalu diuji kebenaran dan
kesesuaiannya sehingga validasinya terjamin. Dalam tahap ini, peneliti
membuat rumusan proposisi yang terkait dengan prinsip logika,
mengangkatnya dari temuan penelitian. Selajutnya mengkaji secara
berulang-ulang terhadap data yang ada, penelompokan data yang telah
terbentuk dan proposisi yang telah dirumuskan. Langkah selanjutnya
adalah melaporkan hasil penelitian lengkap dengann temuan baru yang
berbeda dari temuan yang sudah ada (Basrowi dan Suwandi, 2008:
209).
56
BAB IV
PAPARAN DAN ANALISIS DATA
A. Gambaran Umum SMP Muhammadiyah Plus Salatiga
1. Identitas Sekolah
Nama Sekolah : SMP Muhammadiyah Plus Salatiga
Alamat Kampus : Jl. Suropati No. 14 Togaten Salatiga
Kecamatan : Sidomukti
No. Telp : (0298) 3224411
Email : [email protected]
Website : smpmplussalatiga.sch.id
Tahun Pendirian : 2016
Tahun Beroperasi : 2017
Status Sekolah : Swasta
Kepala Sekolah : Sutomo, M.Ag.
2. Sejarah SMP Muhammadiyah Plus Salatiga
SMP Muhammadiyah Plus Salatiga adalah sebuah lembaga
pendidikan yang merupakan sekolah lanjutan dari SD Muhammadiyah
Plus Salatiga. Hal ini berangkat dari sebuah tekad dan pemikiran untuk
mengadakan proses pendidikan yang berkelanjutan. Sehingga
dibutuhkan sebuah lembaga yang mampu menjembataninya. Dari
diskusi yang intens antara Majelis Dikdasmen PDM Kota Salatiga, staf
pimpinan SD Muhammadiyah Plus, dan beberapa lembaga terkait,
57
maka tercetuslah ide untuk mendirikan SMP Muhammadiyah Plus
pada tanggal 26 November 2016.
3. Visi dan Misi SMP Muhammadiyah Plus Salatiga
a. Visi
Menjadi lembaga yang unggul dalam keilmuan serta
mengupayakan terbentuknya generasi muslim berkualitas unggul
dalam prestasi, cerdas dan beramal Qurani.
b. Misi
1) Menumbuhkan sikap penghayatan dan pengamalan ajaran
agama dalam kehidupan sehari – hari.
2) Menyelenggarakan pendidikan yang kompetitif, efektif dan
islami.
3) Membentuk jiwa religius siswa dengan pembiasaan islami.
4) Meningkatkan kompetensi dan komitmen seluruh tenaga
kependidikan dalam rangka meningkatkan pengetahuan,
wawasan dan kecerdasan siswa.
5) Menanamkan dan menumbuhkan semangat disiplin serta
berakhlaq mulia.
6) Melaksanakan kegiatan diri siswa yang terprogram secara
efektif dan efisien.
4. Program Unggulan
a. Tahfidz 3 Juz dan Tematik
b. Sains Al-Quran
58
c. Bilingual (Arabic, English)
d. Sister School, Fieldtrip, and Student Exchange (Malaysia,
Singapore, Thailand)
e. Pemprograman
f. CAT (PTS, PAS, UKK)
g. Daarut Taqwa Camp
5. Fasilitas
a. Ruang belajar yang representatif
b. Fasilitas kesehatan dengan dokter jaga
c. Laboratorium Karakter (Masjid)
d. Laboratorium Bahasa
e. Laboratorium Komputer
f. Laboratorium IPA
g. Perpustakaan Digital
h. Lapangan Olahraga
i. Kantin Sehat
j. Tenaga Pendidik Profesional
B. Penyajian Data
1. Implementasi bahasa Jawa ragam krama di SMP Muhammadiyah Plus
Salatiga tahun 2019
a. Melalui pembelajaran di kelas
59
Implementasi bahasa Jawa di SMP Muhammadiyah Plus
Salatiga mengacu pada peraturan Gubernur, bahwa bahasa Jawa
masuk pada pelajaran muatan lokal. Berdasarkan wawancara
dengan Bapak Sutomo selaku kepala sekolah, beliau mengatakan:
Berkaitan dengan pembelajaran bahasa Jawa sacara
terstruktur ini masuk dalam kurikulum lokal. Sudah ada
dasarnya dalam peraturan Gubernur untuk melaksanakan
kurikulum bahasa Jawa. Untuk program yang sudah
dilaksanakan di sekolah kami, kami melaksanakan komunikasi
di hari Kamis itu menggunakan bahasa Jawa, membudayakan
bahasa Jawa kepada seluruh warga sekolah (W/St/10/5/2019).
Bahasa Jawa selalu diterapkan dalam setiap pelajaran bahasa
Jawa. Berdasarkan hasil wawancara dengan Ina Dinawati selaku
guru bahasa Jawa, beliau mengatakan:
Untuk bahasa yang saya gunakan setiap masuk kelas itu
pasti saya awali dengan salam. Kalau salam kan ya dengan
Assalamu‟alaikum. Kemudian menanyakan kabar mengunakan
bahasa Jawa pripun kabare. Nanti setelah anak-anak menjawab
sae Bu napa pripun gitu. Ya pokoknya saya awali dengan
mengunakan bahasa Jawa. Untuk masuk ke mata pelajarannya
itu ya saya usahakan selalu menggunakan bahasa Jawa
walaupun itu tidak selalu krama (W/Id/3/5/2019).
Dari hasil catatan lapangan yang dilakukan oleh penulis
menunjukkan bahwa peserta didik menunjukkan sikap santun saat
pembelajaran baru saja dimulai. Peserta didik menjawab sapaan
dari guru dengan lembut namun bersemangat menggunakan bahasa
Jawa. Selebihnya ketika proses pembelajaran terjadi tanya jawab
antara peserta didik dengan guru. Peserta didik bertanya bahasa
Jawa dari kata yang ingin ia ucapkan apabila ia belum mengerti.
Sekali waktu guru lupa menerjemahkan ucapannya ke dalam
60
bahasa Indonesia kemudian peserta didik menanyakan arti dari
kalimat yang diucapkan guru.
Implementasi bahasa Jawa tidak hanya digunakan pada
pelajaran bahasa Jawa saja, pada pelajaran yang lain juga
diterapkan bahasa Jawa, contohnya pada pelajaran PAI.
Berdasarkan hasil wawancara dengan Ibu Riris selaku guru PAI,
beliau mengatakan:
Walaupun kita guru PAI gih, sebisa mungkin kalau
mengajar sisipkan bahasa Jawa. Karna setau saya wong Jawa
kuwi paling sopan, bahasa sing basane paling apik kuwi wong
Jawa. Bahasa yang didengarkan itu adem. Kita gunakan bahasa
Jawa agar wibawa kita juga terjaga di depan ana-anak
(W/Rr/3/5/2019).
Berdasarkan catatan lapangan ketika berada di kelas guru PAI
lebih banyak menggunakan bahas Jawa walaupun tidak krama
dibandingkan dengan bahasa Indonesia. Namun beliau
menyisipkan beberapa kosa kata krama seperti njih, boten, mpun,
dereng. Guru juga menyampaikan kalimat yang disengaja untuk
mengajarkan tatanan bahasa Jawa kepada peserta didik mialnya
“Yen Bu guru wis rawuh terus murid e durung teko neng kelas
berarti kwi telat lan kudu izin disik matur apa alesane telat yen Bu
guru wis maringi izin lagi oleh lenggah”. Hal ini bertujuan agar
peserta didik mengerti tatanan kosa kata yang sesuai ketika
berbicara.
61
Kepala sekolah menekankan kepada dewan guru untuk selalu
mengajarkan bahasa Jawa kepada peserta didik di setiap
kesempatan. Berdasarkan hasil wawancara dengan Bapak Sutomo
selaku kepala sekolah, beliau mengatakan:
Kepada guru dan calon guru karena bahasa Jawa ini jujur,
sudah mulai luntur jarang kita gunakan secara rutin, terus pada
setiap kesempatan terus komitmen untuk menggunakan bahasa
Jawa. Di setiap penyambutan, pelajaran untuk terus
mensosialisasikan bahasa Jawa kepada anak-anak
(W/St/10/5/2019).
Dari hasil wawancara di atas dapat penulis disimpulkan bahwa
implementasi bahasa Jawa ragam krama di SMP Muhammadiyah
Plus salatiga adalah melalui pembelajaran di kelas, mulai dari
membuka pelajaran hingga memyampaikan materi. Bahasa Jawa
diterapkan di setiap pembelajaran baik pelajaran bahasa Jawa
maupun pelajaran yang lain, hal ini dilakukan karena kepala
sekolah menekankan kepada dewan guru agar mengajarkan bahasa
Jawa kepada peserta didik di setiap kesempatan.
b. Program hari Kamis berbahasa Jawa
SMP Muhammadiyah Plus Salatiga memiliki program
berbahasa Jawa setiap hari Kamis. Berdasarkan wawancara dengan
kepala sekolah, beliau mengatakan:
Untuk program yang sudah dilaksanakan di sekolah kami,
kami melaksanakan komunikasi di hari Kamis itu
menggunakan bahasa Jawa, membudayakan bahasa Jawa
kepada seluruh warga sekolah (W/St/10/5/2019).
62
Hal yang sama juga disampaikan oleh Ibu Ina Dinawati
selaku guru bahasa Jawa, beliau mengatakan:
Sudah ada. Hari Kamis menggunakan bahasa Jawa. Di sini
dulu sudah sebenarnya, sudah dipraktikkan hari Kamis bahasa
Jawa hari Jumat bahasa Inggris. Tapi tahun kedua ini malah
belum digalakkan lagi. Kalau dulu saya waktu masuk kelas
membuat perjanjian ketika pelajaran Bu Ina semua harus
menggunakan bahasa Jawa entah itu ngoko atau krama
sebisanya pokoknya menggunakan bahasa Jawa. Nanti yang
ketahuan menggunakan bahasa Indonesia kena denda. Nah dari
situ semua itu bisa berjalan mba. Mbuh ra ketung sing terbiasa
bahasa Indonesia sak penake dewe lah ibarate ning ki mereka
jadi berusaha gitu lo. Tapi ini yang tahun kedua kok ya
ndelalah, mungkin karena saya baru cuti dan sebagainya jadi
kurang fokus ngajarnyna. Belum saya laksanakan lagi, insha
Allah nanti yang tahun depan saya galakkan lagi
(W/Id/3/5/2019).
Bahasa Jawa selalu di terapkan di hari Kamis, sehingga
seluruh warga sekolah wajib berbahasa Jawa di hari Kamis. Ketika
peserta didik berbicara dengan guru tidak menggunakan bahasa
Jawa, maka guru tidak akan menjawab. Namun bukan merupakan
hal yang mudah untuk membudayakan bahasa Jawa kepada peserta
didik, hal ini dikarenakan banyak peserta didik yang belum bisa
berbahasa Jawa. Berdasarkan wawancara yang dilakukan dengan
Ibu Riris selaku guru PAI, beliau mengatakan:
Di sini kita ada program berbahasa Jawa di hari Kamis.
Jadi Bapak/Ibu guru tidak akan menjawab kalau anak-anak
bertanya tidak dengan bahasa Jawa. Tapi kita tetap menerima
anak-anak yang berbahasa Indonesia campur krama, sudah ada
usahanya. Kadang mereka bertanya, Bu ini bahasa Jawanya
apa? Soalnya aku mau tanya nanti ndak dijawab. Jadi sebelum
mereka mu menanyakan sesuatu mereka bilang pangapunten
Bu saya mau tanya, jadi itu sudah suatu hal yang menunjukkan
bahwa dia itu punya ikhtirom punya ta‟dhim, menghromati
orang lain, taat (W/Rr/3/5/2019).
63
Dari hasil wawancara di atas dapat penulis simpulkan
bahwa SMP Muhammadiyah Plus Salatiga memprogramkan hari
Kamis berbahasa Jawa. Seluruh warga sekolah wajib menggunakan
bahasa Jawa tanpa terkecuali. Peserta didik secara tertib
melaksanakan program ini, walaupun banyak yang belum bisa
berbahasa Jawa namun mereka tetap berusaha dengan cara
bertanya terlebih dahulu kepada guru. Sebelum bertanya peserta
didik mengucapkan kata permisi sebagai wujud sopan santun
mereka. Hal ini menunjukkan bahwa peserta didik mempunyai
upaya untuk melaksanakan sikap ta’dhim.
c. Program menghafal kosa kata yang bahasa Arab, bahasa Indonesia
dan bahasa Jawa oleh Tim Al-Islam, Kemuhammadiyahan dan
Bahasa Arab (ISMUBA)
SMP Muhammadiyah Plus Salatiga sebagai Yayasan
Muhammadiyah memiliki kurikulum ISMUBA. Istimewanya di
sekolah tersebut selain mengembangkan bahasa Arab, juga
mengembangkan bahasa Jawa. Berdasarkan wawancara dengan Ibu
Ina Dinawati selaku guru bahasa Jawa, beliau mengatakan:
Dari tim ISMUBA itu membuat vocab setiap hari, ada
bahasa Arab, ada bahasa Indonesia dan bahasa Jawa. Dari situ
kan anak-anak paling tidak perbendaharaan kata bisa
bertambah sedikit demi sedikit (W/Id/3/5/2019).
Dari hasil wawancara di atas dapat penulis simpulkan bahwa
SMP Muhammadiyah Plus Salatiga memiliki komitemen untuk
mengimplementasikan bahasa Jawa. Hal ini dibuktikan dengan
64
adanya program menghafal kosa kata bahasa Jawa untuk peserta
didik. Lebih lanjut kepala sekolah menambahkan bahwa
implementasi bahasa Jawa ini juga merupakan upaya melestarikan
budaya daerah. Bapak Sutomo selaku kepala sekolah, beliau
mengatakan:
Faktor yang mendorong yaitu nguri-uri, melestarikan
bahasa Jawa itu menjadi motivasi agar tidak luntur tidak
terhempas oleh budaya di era milineal ini (W/St/10/5/2019).
Implementasi bahasa Jawa di SMP Muhammadiyah Plus
dilaksanakan dalam rangka membina sikap ta’dhim siswa dan
sebagai upaya menjaga kelestarian budaya daerah yang mulai
luntur.
2. Faktor pendorong dan penghambat Implementasi bahasa Jawa ragam
krama di SMP Muhammadiyah Plus Salatiga tahun 2019
Terdapat faktor-faktor yang mendorong implemnetasi bahasa Jawa
ragam krama di SMP Muhammadiyah Plus Salatiga sehingga dapat
berjalan dengan lancar, yaitu sebagai berikut:
a. Semangat melestarikan budaya kearifan lokal
Salah satu faktor yang mendorong adalah semangat dan
kesadaran semua warga sekolah untuk nguri-uri atau melestarikan
budaya kearifan lokal. Hal ini didasarkan pada hasil wawancara
dengan Bapak Sutomo selaku Kepala Sekolah, beliau mengatakan
bahwa:
65
Faktor yang mendorong yaitu nguri-uri, melestarikan
bahasa Jawa itu menjadi motivasi agar tidak luntur tidak
terhempas oleh budaya di era milineal ini(W/St/10/5/2019).
b. Komitmen untuk menerapkan bahasa Jawa dalam setiap
kesempatan.
Faktor lain yang turut mendorong implementasi bahasa Jawa
ragam krama adalah adanya komitmen dewan guru untuk
mengajarkan dan mensosialisasikan bahasa Jawa disetiap
kesempatan. Bapak Sutomo mengatakan bahwa:|
Kepada guru dan calon guru karena bahasa Jawa ini jujur,
sudah mulai luntur jarang kita gunakan secara rutin, terus pada
setiap kesempatan terus komitmen untuk menggunakan bahasa
Jawa. Di setiap penyambutan, pelajaran untuk terus
mensosialisasikan bahasa Jawa kepada anak-
anak(W/St/10/5/2019).
Sebagai bentuk komitmen dalam menerapkan bahasa Jawa
dewan guru memberikan sanksi apabila siswa tidak menerapkan
bahasa Jawa diwaktu yang ditentukan. Ibu Ina mengatakan bahwa:
Kalau dulu saya waktu masuk kelas membuat perjanjian
ketika pelajaran Bu Ina semua harus menggunakan bahasa
Jawa entah itu ngoko atau krama sebisanya pokoknya
menggunakan bahasa Jawa. Nanti yang ketahuan
menggunakan bahasa Indonesia kena denda.Nah dari situ
semua itu bisa berjalan mba. Mbuh ra ketung sing terbiasa
bahasa Indonesia sak penake dewe lah ibarate ning ki mereka
jadi berusaha gitu lo (W/Id/3/5/2019).
c. Keteladanan dari Baoak/Ibu guru
Faktor pendukung yang tidak kalah penting adalah teladan dari
Bapak/Ibu guru. Berdasarkan hasil wawancara dengan Ibu Riris
beliau mengatakan bahwa:
Walaupun kita guru PAI gih, sebisa mungkin kalau
mengajar sisipkan bahasa Jawa. Karna setau saya wong Jawa
kuwi paling sopan, bahasa sing basane paling apik kuwi wong
66
Jawa. Bahasa yang didengarkan itu adem. Kita gunakan bahasa
Jawa agar wibawa kita juga terjaga di depan ana-anak
(W/Rr/3/5/2019).
Hal serupa juga disampaikan oleh Ibu Ina, beliau mentakan
bahwa:
Iya dari kita sendiri membiasakan itu. Jadi nek matur ya
pakai bahasa Jawa gitu otomatis kan anak yang denger itu kan
insha Allah lebih cepet nangkapnya (W/Id/3/5/2019).
Dapat penulis simpulkan bahwa faktor yang mendukung
implementasi bahasa Jawa ragam krama di SMP Muhammadiyah
Plus Salatiga adalah adanya semangat dan kesadaran seluruh warga
sekolah untuk melestarikan budaya kearifan lokal, adanya
komitmen Bapak/Ibu guru untuk terus menerapkan bahasa Jawa
dan keteladanan yang diberikan Bapak/Ibu guru keoada siswa.
Keteladanan dari guru sangat penting dan memiliki dampak positif.
Apabila Bapak/Ibu guru menerapkan bahasa Jawa di sekolah maka
siswa akan merasa tidak asing dan perbendaharaan katanya terus
bertambah.
Adapun faktor penghambat adalah sebagai berikut:
a. Tidak semua siswa dapat berbahsa Jawa dikarenakan latar belakang
daerah yang berbeda-beda.
Terdapat faktor yang menghambat implementasi bahasa Jawa
ragam krama di SMP Muhammadiyah Plus Salatiga salah satunya
yaitu tidak semua siswa dapat berbahasa Jawa. Hal ini sesuai dengan
hasil wawancara dengan Ibu Ina selaku guru Bahasa Jawa:
Nah terkadang anak-anak jaman sekarang itu nggak bisa
basa Jawa, di rumah juga sudah dibiasakan bahasa Indonesia.
67
Jadi mereka itu kadang hanya apa misalnya itu kata yang
sangat mudah untuk kita sebagai orang tua ya maksudnya, itu
kata-kata yang sering mereka dengar tapi mereka itu tidak tau
artinya (W/Id/3/5/2019).
Siswa tidak bisa berbahasa Jawa karena dirumah terbiasa
menggunakan bahasa Indonesia. Hal ini disebabkan karena siswa
berasal dari latar belakang daerah yang berbeda-beda. Berdasarkan
hasil wawancara dengan Bapak Sutomo selaku Kepala Sekolah
beliau mengatakan bahwa:
Karena kita kan siswa berlatar belakang yang berbeda-
beda, ada yang Jawa, ada yang luar Jawa, bahkan ada yang luar
negeri juga. Tentunya dengan ragam bahasa Jawa ini secara
mayoritas orang Jawa, itupun masih harus belajar
membudayakan berbahasa Jawa (W/St/10/5/2019).
b. Minimnya kerjasama dengan wali siswa untuk menerapkan bahasa
Jawa di rumah
Minimnya kejasama dengan orang tua siswa menjadi
penghambat lancarnya implementasi bahasa Jawa ragam krama.
Karena bahasa adalah hal yang memerlukan pembiasaan secara
berkesinambungan. Apabila di sekolah telah diterapkan bahasa
Jawa ragam krama namun di rumah tidak maka ketrampilan siswa
akan lambat berkembang. Hal ini sesuai dengan hasil wawancara
dengan Ibu Ina, beliau mengatakan bahwa:
Selain itu pembiasaan di rumah dengan orang tua itu.
Kalau di sekolah kita getol menggunakan bahasa Jawa
misalnya terus kita mengarahkan mereka untuk nanti di rumah
dengan orang tua menggunakan bahasa Jawa ya nggo krama
ya nak matur karo Bapak/Ibu. Tapi kalau Bapak/Ibunya sendiri
di rumah misale kamu itu ngomong apa sih? malah susahnya di
situ (W/Id/3/5/2019).
68
c. Intensitas waktu dalam menerapkan bahasa Jawa di sekolah terbatas.
Intensitas waktu yang terbatas juga menghambat implementasi
bahasa Jawa krama di sekolah. Hal ini berdasarkan pada hasil
wawancara dengan Ibu Ina, beliau mengatakan bahwa:
Sebenarnya kalau misalnya pertemuan untuk pelajaran
bahasa Jawa sendiri mungkin lebih sering kita memasuki ke
arah situnya kan lebih bayak. Tapi kita terbatas jam dan
sebagainya anak jadi tidak bisa terbiasa. Padahal insha Allah
kalau misalnya lebih sering mereka gunakan itu otomatis akan
terjalin dan terlatih dengan sendirinya (W/Id/3/5/2019).
Dapat penulis simpulkan bahwa faktor yang menghambat
implementasi bahasa Jawa ragam krama adalah latar belakang
siswa yang berbeda-beda sehingga tidak semua siswa dapat
berbahasa Jawa, minimnya kerjasama dengan wali siswa untuk
tetap menerapkan bahasa Jawa di rumah dan intensitas waktu
untuk implementasi bahasa Jawa di sekolah sangat terbatas.
C. Analisis Data
1. Implementasi bahasa Jawa ragam krama di SMP Muhammadiyah Plus
Salatiga
Implementasi bahasa Jawa ragam krama di SMP Muhammadiyah
Plus Salatiga dilaksanakan sesuai dengan kurikulum yang berlaku
yaitu melalui mata peplajaran bahasa Jawa. Guru menggunakan
bahasa Jawa yang kemudian diterjemahkan dalam bahaasa Indonesia
ketika mengajar di kelas. Hal ini dilakukkan karena tidak semua
peserta didik mengerti dan bisa berbahasa Jawa.
69
Agar peserta didik memiliki komitmen untuk belajar bahasa Jawa,
maka guru bahasa Jawa menerapkan hukuman apabila dalam
pembelajaran bahasa Jawa peserta didik berbicara dengan bahasa
Indonesia. Hukuman tersebut berupa denda yang uangnya dimasukkan
ke kas kelas. Hal ini efektif membuat peserta didik bersungguh-
sungguh dalam belajar bahasa Jawa. Peserta didik akan berusaha
bertanya apabila belum mengetahui bahasa Jawa dari sebuah kata
yang ingin ia ucapkan.
SMP Muhammadiyah Plus Salatiga memiliki program Kamis
berbahasa Jawa. Semua warga sekolah wajib berbicara menggunakan
bahasa Jawa di hari tersebut. Apabila peserta didik bertanya
menggunakan bahasa Indonesia maka guru tidak akan menjawabnya.
Apabila peserta didik belum mengetahui cara berbicara dengan bhasa
Jawa, maka diperbolehkan bertanya terlebih dahulu kemudian
menirukan ucapan guru. Hal ini berdampak baik untuk menanamkan
sikapp ta’dhim kepada peserta didik karena peserta didik akan
mengucapkan permisi seperti kata nuwun sewu untuk bertanya kepada
guru.
Untuk mendukung implementasi bahasa Jawa ragam krama tim
kurikulum ISMUBA setiap hari memberikan kosakata bahasa Jawa
yang harus dihafal oleh peserta didik dan dites oleh guru di hari
Jum‟at.
70
2. Faktor pendorong dan penghambat implementasi bahasa Jawa ragam
krama di SMP Muhammadiyah Plus Salatiga
Salah satu faktor yang mendorong adalah semangat dan kesadaran
semua warga sekolah untuk nguri-uri atau melestarikan budaya
kearifan lokal. Kepala sekolah selalu mengajak seluruh warga sekolah
agar melestarikan budaya kearifan lokal dengan cara menerapkan
bahasa Jawa dalam kehidupan sehari-hari. Karena menurut beliau
bahasa Jawa adalah bahasa yang santun dan memiliki peran penting
dalam membina sikap ita‟dhim idan tawadu’.
Faktor lain yang turut mendorong implementasi bahasa Jawa
ragam krama adalah adanya komitmen dewan guru untuk
mengajarkan dan mensosialisasikan bahasa Jawa disetiap kesempatan.
Dalam pembelajaran di kelas bahasa pengantarnya adalah bahasa
Indonesia, namun bahasa Jawa selalu disisipkan agar siswa terbiasa
berbahasa Jawa dengan baik dan benar.
Faktor pendukung yang tidak kalah penting adalah teladan dari
Bapak/Ibu guru. Penerapan bahasa Jawa tidak hanya sampai pada
tahap aplikatif dengan menghafal kosakata namun telah sampai pada
tahap persuasif. Keteladanan dari Bapak/Ibu guru akan mendorong
siswa untuk menghayati intisari dari bahasa Jawa yang bersifat santun
dan menenangkan.
Terdapat faktor yang menghambat implementasi bahasa Jawa
ragam krama di SMP Muhammadiyah Plus Salatiga salah satunya
71
yaitu tidak semua siswa dapat berbahasa Jawa. SMP Muhammadiyah
Plus Salatiga memiliki siswa dengan berbagai latar belakang daerah
sehingga tidak semua siswa mampu berbahasa Jawa. Namun Kepala
Sekolah selalu mengkapanyekan penerapan bahasa Jawa walaupun
masih belajar siswa boleh memakai bahasa Jawa ngoko.
Minimnya kejasama dengan orang tua siswa menjadi penghambat
lancarnya implementasi bahasa Jawa ragam krama. Karena bahasa
adalah hal yang memerlukan pembiasaan secara berkesinambungan.
Kerjasama dengan wali siswa menjadi penting kareana sebagaian
waktu siswa adalah berada di rumah dan berinteraksi langsung dengan
kedua orangtua. Apabila di sekolah telah diterapkan bahasa Jawa
ragam krama namun di rumah tidak maka ketrampilan siswa akan
lambat berkembang.
Intensitas waktu yang terbatas juga menghambat implementasi
bahasa Jawa krama di sekolah. Kurangnya intensitas waktu sangat
berpengaruh dalam keberhasilan program ini. Hal ini dikarenakan
bahasa Jawa bukanlah bahasa yang mudah melainkan bahasa yang
kompleks, sehingga dibutuhkan waktu yang panjang untuk belajar.
72
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Implementasi bahasa Jawa ragam krama di SMP Muhammadiyah Plus
Salatiga dilaksanakan melalui program berikut:
a. Bahasa Jawa diterapkan dalam kelas bahasa Jawa, PAI dan
pelajaran yang lain.
b. Diterapakan program hari Kamis berbahasa Jawa.
c. Program menghafal kosa kata bahasa Jawa yang disusun oleh Tim
ISMUBA
2. Faktor pendorong dan penghambat implementasi bahasa Jawa ragam
krama di SMP Muhammadiyah Plus Salatiga
Faktor yang mendorong implementasi implementasi bahasa Jawa
ragam krama di SMP Muhammadiyah Plus Salatiga adalah sebagai
berikut:
a. Semangat dan kesadaran seluruh warga sekolah untuk
melestarikan bahasa Jawa sebagai budaya kearifan lokal.
b. Komitmen untuk menerapkan bahasa jAwa melalui pemberian
sanksi kepada siswa yang tidak menerapkan bahasa Jawa pada
waktu yang telah diprogramkan.
c. Keteladanan dari Bapak/Ibu guru dalam menerapkan bahasa Jawa
di sekolah maupun di rumah sebagai bahasa sehari-hari.
73
Adapun faktor yang menghambat implementasi bahasa Jawa ragam
krama di SMP Muhammadiyah Plus Salatiga adalah sebagai berikut:
a. Latar belakang siswa berasal dari daerah yang berbeda-beda
sehingga tidak semua siswa dapat berbahasa Jawa.
b. Minimnya kerjasama dengan wali siswa dalam menerapkan bahasa
Jawa ketika di rumah sebagai bahasa sehari-hari.
c. Intensitas waktu dalam menerapkan bahasa Jawa di sekolah sangat
terbatas sehingga kurang maksimal.
B. Saran
1. Agar peserta didik lebih giat dalam belajar bahasa Jawa sehingga
semakin terbina sikap ta’dhim. Karena keberkahan ilmu berasal dari
sikap hormat.
2. Agar guru semakin kompak dalam menanamkan sikap ta’dhim kepada
peserta didik. Hal pertama yang dilihat oleh siswa adalah sikap guru,
maka keteladanan adalah hal utama dalam pendidikan.
3. Agar calon guru dan juga penulis semakin giat belajar untuk menjadi
guru yang kompeten dalam sikapnya sehingga nantinya akan menjadi
guru yang dapat diteladani oleh peserta didiknya.
74
DAFTAR PUSTAKA
Basrowi dan Suwandi. 2008. Memahami Penelitian Kualitatif. Jakarta: Rineka
Cipta.
Bungin, Burhan. 2011. Metodologi Penelitian Kualitatif (Aktualisasi
Metodologis ke Arah Ragam Varian Kontemporer). Cet. 8. Jakarta: PT
Raja Grafindo Persda.
Cahyaningsih, Nur. 2017. Pendidikan Akhlak (Pembinaan Sikap Sopan Siswa
Kepada Guru di MTs Negeri 1 Rakit Kecamatan Rakit Kabupaten
Banjarnegara. Skripsi. IAIN Purwokerto.
Gustam, Mudatsir. Jawahirul Adab karya Abi Abdul Hamid Ahmad Nawawi.
Harjawiyana, Haryana dan Supriya. 2001. Marsudi Unggah-Ungguh Basa
Jawa. Yogyakarta: Penerbit Kanisius.
Ikawati, Erna. 2015. Penggunaan Bahasa Jawa Pada Masyarakat Jogjakarta.
Vol. 7. No. 01.
K, Robert. 1997. Studi Kasus (Desain dan Metodologi). Jakarta: PT Raja
Drafindo Persada.
Kasiram, Moh. 2010. Metodologi Penelitian Kuantitatif-Kualitatif. Malang:
UIN Maliki Press.
Khazanah, Dewianti. 2012. Kedudukan Bahasa Jawa Ragam Krama Pada
Kalangan Generasi Muda: Studi Kasus Di Desa Randegan Kecamatan
Dawarblandong, Mojokerto Dan Di Dusun Tutul Kecamatan Ambulu,
Jember. Vol. 9. No. 2
Kurnianto, Fajar. 2017. Keutamaan Etika Islam Menjadi Manusia Berkarakter
& Berkualitasi. Jakarta: PT Elex Media Komputindo.
Moleong, Lexy J. 2002. Metoogi Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja
Rosdakarya.
Moleong, Lexy J. 2009. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT
Remaja Rosdakarya.
Munawwir, Ahmad Warson. 1997. Kamus Al-Munawwir. cet. 2. Surabaya: PT.
Pustaka Progressif.
Nasution,S. 2003. Metode Penelitian Naturalistik Kualitatif. Bandung: Tarsito.
Nata, Abbudin. 2017. Akhlak Tasawufi dan Karakter Mulia. Jakarta: Rajawali
Press.
Nazir. 1983. Metodologi Penelitian. Jakarta: Ghalia Indonesia.
75
Omar, Mohammad. 1979. Falsafah Pendikan Islsam. Jakarta: Bulan Bintang.
Roqib, Moh. 2007. Harmoni Dalam Budaya Jawa (Dimensi Edukasi dan
Keadilan Gender). Purwokerto: STAIN Purwokerto Press.
Sri, Marmanto. 2012. Pelestarian Bahasa Jawa Krama di Kota Surakarta.
Surakarta: UN
Sunarto, Ahmad. 2012. Etika Menuntut Ilmu terjemah Ta’limul Muta’lim
Karya Imam Burhanuddin Azzarnuji, Makna Jawa Pegon Dan Terjemah
Indonnesia. Surabaya: Al-Miftah.
Suprapta, Hendarto. Pengikisan Bahasa dalam Masyaraat Jawa (Catatan
tentang Proses Kepunahan Bahasa Jawa). Fakultas Ilmu Budaya
Universtas Diponegoro Semarang.
Suseno, Frans Magnis. 1985. Etika Budaya Jawa. Cet. Kedua. Jakarta:
gramedia.
Suwarna dan Suharti. 2014. Pendidikan Karakter Hormat dalam Buku
Pelajaran Bahasa Jawa di Sekolah. Jurnal Pendidikan. Vol. 4. No. 2.
Syarifuddin, Hmd. 2004. Mendidik Anak Membaca, Menulis dan Mencintai Al-
Qur’an. Depok: Gema Insan
Uhlenbeck. 1982. Kajian Morfologi Bahasa Jawa. terj. Soenarjati Djajanegara.
Seri ILDEP. Jakarta: Djembatan
Widjono Hs. 2007. Bahasa Indonesia Mata Kuliah Pengembangan
Kepribadian di Perguruan Tinggi. Cet. kedua. Jakarta: Gramedia
Widiasarana Indonesia.
(http://perahujagad.blogspot.com/2014/10/sikap-tadzim-siswa-kepada-guru-
dalam.html). diakses pada hari Selasa, 06 November 2018 pukul 06.57
(https://www.google.com/amp/s/idasuramunhusna.wordpress.com/2013/10/13/l
unturnya-budaya-sopan-santun-siswa-terhadap-guru/amp/). Diakses pada
hari Sabtu, 30 Maret 2019, pukul 07.39 WIB.
https://www.kbbi.web.id/takzim. Diakses padaa hari Jumat, 29 Maret 2019,
pukul 09. 40 WIB.
Lampiran 4 Pedoman Wawancara
A. Guru bahasa jawa
1. Sebagai guru bahasa Jawa dalam melakukan kegiatan pembelajaran
bahasa apa yang Ibu pakai sebagai pengantar ?
2. Bagaimana respon siswa ketika Ibu selalu menggunakan bahasa Jawa
telebih bahasa Jawa ragam kama ketika di kelas?
3. Apakah semua siswa di kelas dapat berbahasa Jawa?
4. Seberapa besar kemampuan siswa untuk menerapkan bahasa Jawa
yang baik dan benar?
5. Kita ketahui bahwa dalam bahasa jawa diajarkan unggah-ungguh saat
berbicara, dimana bahasa tubuh juga diatur contohnya dengan
menundukkan pandangan dan bertutur kata dengan lembut. Ketika
siswa mampu berbicara dengan bahasa Jawa ragam krama, apakah
kemudian bahasa tubuh mereka dapat selaras dengan tutur katanya?
6. Mengingat bahwa bahasa Jawa mengajarkan unggah-ungguh dan tata
krama yang tinggi, menurut pendapat Ibu apakah bahasa Jawa ragam
krama dapat membina sikap ta’dhim siswa?
7. Bagaimana usaha Ibu dalam menanamkan semangat cinta bahasa Jawa
kepada siswa?
8. Apa faktor yang mendukung dan menghambat usaha Ibu dalam
mengimplementasikan bahasa Jawa kepada siswa?
9. Sejauh ini menurut Ibu apakah orang tua siswa sudah ikut berperan
dalam mengimplementasikan bahasa Jawa kepada siswa?
10. Apa harapan Ibu kepada generasi muda terhadap bahasa Jawa?
B. Guru Pendidikan Agama Islam
1. Sebagai guru PAI menurut Ibu sikap ta’dhim seperti apa yang harus
dimiliki oleh siswa?
2. Menurut Ibu bagaimana sikap siswa terhadap guru, apakah sudah
memiliki sikap ta’dhim?
3. Faktor apa yang menyebabkan sikap ta’dhim maupun sikap tidak
ta’dhim siswa?
4. Bagaimana usaha Ibu dalam membina sikap ta’dhim siswa?
5. Seberapa besar peran pendidikan agama Islam dalam membina sikap
ta’dhim siswa?
6. Menurut Ibu apakah orang tua siswa sudah ikut berperan serta dalam
membina sikap ta’dhim siswa?
7. Apa harapan Ibu kepada siswa dan kepada calon guru kaitannya
dengan pembinaan sikap ta’dhim?
C. Kepala Sekolah
1. Sebagai kepala sekolah apa kebijakan Bapak dalam implementasi
bahasa Jawa? Apakah sudah terdapat program dalam hal tersebut?
2. Bagaimana proses berjalannya implemnetasi bahasa Jawa? Apakah
terdapat progres dan hambatan?
3. Faktor apa yang mendorong dan menghambat implementasi bahasa
Jawa?
4. Selama berjalannya program implementasi bahasa Jawa menurut
pendapat Bapak apakah bahasa Jawa mampu berperan dalam
membina sikap ta’dhim siswa?
5. Mengingat perlunya peran orang tua dalam membina sikap ta’dhim
siswa serta implementasi bahasa Jawa, apakah sudah ada komunikasi
dari sekolah kepada orang tua?
6. Apa harapan Bapak kepada siswa, kepada guru dan calon guru
terhadap impementasi bahasa Jawa dalam membina sikap ta’dhim
siswa?
Lampiran 5 Transkip Wawancara
Transkip Wawancara
Pewawancara : Khoiri Alfiyah (Kh)
Informan : Ibu Ina Dinawati (Id)
Waktu wawancara : 2 Mei 2019 pukul 09.30 WIB
Tempat wawancara : mushola putri SMP Muhammadiyah Plus Salatiga
Agenda wawancara : bahasa Jawa dan perannya dalam membina sikap ta’dhim
Kh: “Sebagai guru bahasa Jawa bahasa pengantar apa yang Ibu gunakan ketika
mengajar di kelas?”
Id: “Untuk bahasa yang saya gunakan setiap masuk kelas itu pasti saya awali
dengan salam. Kalau salam kan ya dengan Assalamu‟alaikum. Kemudian
menannyakan kabar mengunakan bahasa Jawa “Pripun kabare”. Nanti
setelah anak-anak menjawab “sae Bu” napa pripun gitu. Ya pokoknya saya
awali dengan mengunakan bahasa Jawa. Untuk masuk ke mata pelajarannya
itu ya saya usahakan selalu menggunakan bahasa Jawa walaupun itu tidak
selalu krama. Nah terkadang anak-anak jaman sekarang itu nggak bisa basa
Jawa, di rumah juga sudah dibiasakan bahasa Indonesia. Jadi mereka itu
kadang hanya apa misalnya itu kata yang sangat mudah untuk kita sebagai
orang tua ya maksudnya, itu kata-kata yang sering mereka dengar tapi
mereka itu tidak tau artinya. Nah di situlah saya memasuki, maksudnya
untuk menjelaskannya itu menggunakan bahasa Indonesia. Paling untuk
menekankan saja. Misalnya “Bu itu artinya apa to?”, itu baru saya jawab
menggunakan bahasa Indonesia. Atau kadang saya translate sekalian, jadi
misalnya saya menerangkan menggunakan bahasa Jawa kemudian kebetulan
ada yang dari Jakarta dia tidak bisa basa Jawa itu ya langsung saya translate
menggunakan bahasa Indonesia.”
Kh: “Berarti anak-anak juga merespon Bu ketika Ibu berbicaranya denngan
bahasa Jawa dan anak-anak tidak faham mereka juga bertanya?”
Id: “Iya.”
Kh: “Apakah tidak semua siswa bisa berbahasa Jawa Bu?”
Id: “Tidak. Semua kelas itu pasti ada yang tidak bisa bahasa Jawa. Maksudnya
ya mungkin bahasa Jawanya hanya sekedar yang umum mereka dengar saja,
itupun ngoko kan gitu. Karena ada beberapa siswa yang pindahan dari
Jakarta dan dari luar daerah, luar Salatiga, luar Jawa gitu.”
Kh: “Seberapa besar kemampuan siswa untuk menerapkan bahasa Jawa yang
baik dan benar?”
Id: “Sebagian bisa tapi kebanyakan belum. Jadi lebih banyak yang belum bisa
daripada yang sudah bisa.”
Kh: “Dalam bahasa Jawa diatur unggah-ungguh dalam berbicara, seperti
menundukkan pandangan dan bertuutur kata lembut. Bagi anak-anak yang
sudah bisa berbahasa Jawa apakah bahasa tubuh mereka sudah selaras
dengan tutur katanya?”
Id: “Otomatis. Jadi kalau anak-anak yang sudah bisa itu ya biasanya langsung
menyesuaiakan gitu.”
Kh: “Menurut Ibu apakah orang tua sudah turut berperan dalam membiasakan
berbahasa Jawa kepada anak-anak?”
Id: “Untuk di rumah kan kita sendiri ndak tau ya mbak ya. Maksudnya di
rumah itu mereka menggunakan bahasa apa, atau orang tuanya latar
belakangnya apakah asli Jawa atau bukan kita kan juga ndak tahu. Tapi
kebanyakan itu malah orang tua sendiri itu sering bilang kalau saya saja
juga tidak bisa basa Jawa gitu lo, walaupun dia orang Jawa. Maksudnya ya
wong kene wae tapi sudah terbiasa menggunakan bahasa Indonesia jadi
kebiasaannya di rumah malah bahasa Indonesia.”
Kh: “Apakah ada Bu siswa yang ketika dengan guru maturnya
selalumenggunakan bahasa Jawa krama?”
Id: “Ada. Kalau ketemu itu pasti nggih Bu, pokoknya ngomongnya pakai
bahasa Jawa itu ada.”
Kh: “Mengingat bahwa dalam bahasa Jawa ada aturan unggah-ungguh menurut
Ibu apakah bahasa Jawa krama bisa berperan untuk membina sikap ta’dhim
siswa?”
Id: “Sebenarnya kalau misalnya pertemuan untuk pelajaran bahasa Jawa sendiri
mungkin lebih sering kita memasuki ke arah situnya kan lebih bayak. Tapi
kita terbatas jam dan sebagainya anak jadi tidak bisa terbiasa. Padahal insha
Allah kalau misalnya lebih sering mereka gunakan itu otomatis akan terjalin
dan terlatih dengan sendirinya.”
Kh: “Jadi sebenarnya bahasa Jawa krama mampu berperan membina sikap
ta’dhim siswa namun terbatas oleh waktu, begitukah yang Ibu maksud?”
Id: “Iya. Waktu dan kekompakan juga, maksudnya kalau dari Bapak/Ibu guru
kan sudah membiasakan bagaimana anak harsu bersikap kepada ornag tua
itu kan memang sebenarnya sudah, karna itu diajarkan dala Ilam juga. Tapi
kalau untuk menggunakan bahasa Jawanya itu yang agak kesulitan.”
Kh: “Apakah sekolah sudah mencanangkan program pembiasaan bahasa
daerah?”
Id: “Sudah ada. Hari Kamis menggunakan bahasa Jawa. Di sini dulu sudah
sebenarnya, sudah dipraktikkan hari Kamis bahasa Jawa hari Jumat bahasa
Inggris. Tapi tahun kedua ini malah belum digalakkan lagi. Kalau dulu saya
waktu masuk kelas membuat perjanjian ketika pelajaran Bu Ina semua harus
menggunakan bahasa Jawa entah itu ngoko atau krama sebisanya pokoknya
menggunakan bahasa Jawa. Nanti yang ketahuan menggunakan bahasa
Indonesia kena denda.Nah dari situ semua itu bisa berjalan mba. Mbuh ra
ketung sing terbiasa bahasa Indonesia sak penake dewe lah ibarate ning ki
mereka jadi berusaha gitu lo. Tapi ini yang tahun kedua kok ya ndelalah,
mungkin karena saya baru cuti dan sebagainya jadi kurang fokus
ngajarnyna. Belum saya laksanakan lagi, insha Allah nanti yang tahun
depan saya galakkan lagi.”
Kh: “Berarti denda ketika tidak bebahasa Jawa merupakan salah satu usaha Ibu
dalam mengimpementasikan bahasa Jawa kepada siswa ketika pelajaran?”
Id: “Iya. Paling tidak ya ketika pelajaran saya atau ketika dengan saya itu
usahakan selalu mengggunakan bahasa Jawa. Dari tim ISMUBA itu
membuat vocab setiap hari, ada bahasa Arab, ada bahasa Indonesia dan
bahasa Jawa. Dari situ kan anak-anak paling tidak perbendaharaan kata bisa
bertambah sedikit demi sedikit.”
Kh: “Jadi setiap hari anak diwajibkan menghafal kosa kata?”
Id: “Iya setiap hari anak-anak menghafal. Hari Senin sampai Kamis anak-anak
menghafal dan hari Jum‟at mereka akan ditanya apa yang sudah kamu hafal
selama empat hari?”
Kh: “Apa faktor yang menghambat implementasi bahasa Jawa selain anak-anak
belum bisa berbahasa Jawa, apakah ada?”
Id: “Selain itu pembiasaan di rumah dengan orang tua itu. Kalau di sekolah kita
getol menggunakan bahasa Jawa misalnya terus kita mengarahkan mereka
untuk nanti di rumah dengan orang tua menggunakan bahasa Jawa ya nggo
krama ya nak matur karo Bapak/Ibu. Tapi kalau Bapak/Ibunya sendiri di
rumah misale kamu itu ngomong apa sih? malah susahnya di situ. Kalau
dulu temen saya itu ada yang heran karena saya dengan orang tua basa, terus
dia praktek ke Bapaknya. Nah ketika seperti itu hal yang tidak biasa terjadi
Bapaknya malah berpikiran lain, dikiranya mau minta uang atau minta
sesuatu karena ngomongnya lembut ndak seperti biasanya.”
Kh: “Apa harapan Ibu kepada siswa Ibu, kepada generasi bangsa dan kepada
calon guru kaitannya dengan implementasi bahasa Jawa?”
Id: “Untuk siswa-siswa kedepanya harapnnya untuk selalu menjunjung tinggi
ungggah-ungguh, walaupun mereka tidak bisa bahasa Jawa. Tapi alangkah
indahnya bertata krama, bagaimana caranya bersikap dengan oran yang
lebih tua, kepada kakak kelas sendiri atau di luar bertemu dengan orang
asing yang mereka tidak kenal. Jadi mereka itu kalau isa jagan selalu cuek
dengan lingkungan. Kan sekarang sudah kalah dengan HP. Ketika kita di
luar wis mesti dolanane HP terus padahal sebelah kita ada orang tua.
Misalkan baru di tempat umum nunggu angkot bareng itu kan kok
kayaknnya kalau misalnya negur “Bapak bade tindak pundi?” gitu aja wis
lego, agar interaksi sosialnya ndak ilang. Untuk calon guru ya semoga bisa
melanjutka menerapkan ungggah-ugguh kepada anak-anak.”
Kh: “Di lingkungan keluarga bagaimana cara Ibu untuk melestarikan bahasa
Jawa?”
Id: “Iya dari kita sendiri membiasakan itu. Jadi nek matur ya pakai bahasa Jawa
gitu otomatis kan anak yang denger itu kan insha Allah lebih cepet
nagkapnya.”
Transkip Wawancara
Pewawancara : Khoiri Alfiyah (Kh)
Informan : Ibu Rizky Amalina/ Ibu Riris (Rr)
Waktu wawancara : 2 Mei 2019 pukul 10.30 WIB
Tempat wawancara : mushola putri SMP Muhammadiyah Plus Salatiga
Agenda wawancara : sikap ta’dhim dan peran bahasa Jawa
Kh: “Sebagai guru PAI menurut Ibu sikap ta’dhim seperti yang harus dimiliki
oleh siswa?”
Rr: “Minimal untuk menerapkan sikap ta‟dhim itu kita sebagai guru harus
menjadi Ibu bagi mereka. Guru itu harus jadi orang tua bagi siswa. Kalau itu
sudah diterapkan pasti sak jahat-jahate anak pasti mereka akan ita‟dhim
kepada guru. Anak-anak tidak akan bermuka dua, maksudnya itu di depan
manut dan di belakang nggrundel. Yang penting itu untuk menerapkan sikap
ta‟dhim anak kita harus bisa menjadi orang tua bagi siswa sampai tidak ada
celah, sehingga saat anak mau melakukan sesuatu yang melanggar ucapan
kita mereka pekewuh.”
Kh: “Apakah sikap yang demikian juga dimiliki anak terhadap guru-guru yang
lain?”
Rr: “Kalau dengan guru yang lain itu tergantung gurunya mba, jadi bagaimana
cara guru itu masing-masing. Kalau saya ketika masuk kelasa selalu saya
tekankan ke anak-anak untuk jaga sikap, jaga perilaku karna itu yang
menentukan hidup kamu. Kalau kamu tidak bisa menghargai seorang guru
kamu tidak bisa menghargai diri kamu sendiri. Kita tidak bisa memaksa
anak-anak untuk menghormati semua oranag tapi ita bisa ajarkan dengan
diri kita menghormati rekan-rekan guru maka anak akan meniru. Berbeda
dengan di pondok pesantren, kalau di pondok kan santri itu melihat kejadian
dari a sampai z. Dengan kakak tingkat saja bertemu cium tangan apalagi
dengan Kyai harus benar-benar nunduk, karna itu sudah membudaya. Lain
halnya dengan di sekolah terutama sekolah swasta yang anak-anak itu
berlatar belakang anak orang kaya. Mereka selalu bilang bahwa guru itu
sudah digaji. Tugas kita memberikan pengetian kepada anak bahwa gaji
yang sekian itu tidak cukup untuk menggantikan ilmu. Kita fahamkan
bahwa misalkan sepuluh menit saja waktu pelajar anak-anak itu benar-benar
meghargai guru, insha Allah ilmunya manfaat. Biar anak-anak itu ada
ikhtiromnya kepada guru.”
Kh: “Apa saja faktor yang bisa mendorong dan menghambat sikap ta’dhim
siswa?”
Rr: “Pendukung pertama adalah kerjasama dan persamaan persepsi antara
keseluruhan guru. Faktor penghambatnya ya sama ketika guru yang lain
tidak bisa diajak kompromi untuk menerapkan suatu sikap kepada anak. Di
kelas itu 30 anak bisa memilii 100 karakter, nah bagaimana cara kita agar
semua anak faham? Kita berikan teladan bagaimana bersikap ta‟dhim
kemudian kita ceritakan dan kita motivasi anak. Anak sekarang itu tidak
suka pelajaran yang itu jadi kita harus mengemas dengan menarik, dari
situlah keta‟dhiman kita masukkan. Guru harus lebih pintar dari anak dan
kekinian agar anak-anak itu hormat.”
Kh: “Seberapa besar peran orang tua dalam membina sikap ta’dhim siswa?”
Rr: “Sangat penting mba. Orang tua itu madrasah petama bagi anak-anak. Mau
diapa-apakan pun kembali kesikap orang tua. Itu sebabnya setiap satu bulan
itu ada pertemuan antara wali murid dengan wali kelas untuk parenting agar
orang tua mengetahui perkembangan anak.”
Kh: “Bagaimana intensitas pertemuan setiap wali murid apakah setiap bulan
semua dapat hadir?”
Rr: “Walaupun tidak setiap bulan hadir semua namun begini, ada enam kali
pertemuan rata-rata tidak hadir dua kali. Jadi menurut saya ada kesadaran
dari orang tua untuk turut membina anak-anak tidak selalu semua harus guru
yang menyelesaikan.”
Kh: “Menurut Ibu apakah bahasa Jawa ragam krama dapat membina sikap
ta’dhim siswa?”
Rr: “Menurut saya bahasa Jawa lebih mendukung karena memiliki tingkatan
strata yang membedakan cara bicara kepada yang lebih muda dan yang lebih
tua, sehingga keta‟dhiman anak itu terbentuk. Ada aturan bicara dengan
yang lebih tua dengan bahasa krama, itu sudah satu tingkatan ta‟dhim
menurut saya, karna kalau anak ngomong ngoko neng wong tuo itu benar-
benar sudah hilang tata kramanya.”
Kh: “Kalau di sekolah ini apakah akan mudah diterapkan?”
Rr: “Di sini kita ada program berbahasa Jawa di hari Kamis. Jadi Bapak/Ibu guru
tidak akan menjawab kalau anak-anak bertanya tidak dengan bahasa Jawa.
Tapi kita tetap menerima anak-anak yang berbahasa Indonesia campur krama,
sudah ada usahanya. Kadang mereka bertanya, Bu ini bahasa Jawanya apa?
Soalnya aku mau tanya nanti ndak dijawab. Jadi sebelum mereka mu
menanyakan sesuatu mereka bilang pangapunten Bu saya mau tanya, jadi itu
sudah suatu hal yang menunjukkan bahwa dia itu punya ikhtirom punya
ta‟dhim, menghromati orang lain, taat. Berarti secara tidak langsung ta‟dhim
itu kan sudah jalan sendiri mba. Adakalanya ta’dhim itu haus didoktrin dulu,
dengan cara kita bisa mencontohi kepada anak-anak. Jangan sampai kita
menyampaikan kata-kata yang negatif kepada anak.”
Kh: “Apa yang menjadi harapan Ibu kepada siswa dan kepada calon guru?”
Rr: “Semoga anak-anak menjadi anak yang seholeh, arna kalau kita mengejar
akirat dunianya sudah pasti dapat. Untuk guru-guru saya berharap tetap
membaurlah kepada anak-anak tapi jangan sampai kehilangan wibawa. Seperti
ini, kita ta’dhim pada Pak Kyai bukankarena takut tapi karena monghormati,
setiap ita mendapat problem yang kita cari adalah Pak Kyai kalau kita di
pesantren. Jadilah seperti itu, anggaplah anak-anak itu adalah anak yang kita
lahirkan sendiri. Jadilah guru yang selalu diharapkan oleh siswa, jangan
menjadi guru yang didoakan semoga tidak pernah lagi bertemu. Walaupun kita
guru PAI gih, sebisa mungkin kalau mengajar sisipkan bahasa Jawa. Karna
setau saya wong Jawa kuwi paling sopan, bahasa sing basane paling apik kuwi
wong Jawa. Bahasa yang didengarkan itu adem. Kita gunakan bahasa Jawa
agar wibawa kita juga terjaga di depan ana-anak.”
Transkip Wawancara
Pewawancara : Khoiri Alfiyah (Kh)
Informan : Bapak Sutomo (St)
Waktu wawancara : 10 Mei 2019 pukul 10.00 WIB
Tempat wawancara : ruang direktur SMP Muhammadiyah Plus Salatiga
Agenda wawancara : implementasi bahasa Jawa di SMP Muhaamdiyah
Plus Slatiga
Kh: “Apa kebijakan Bapak dalam mengimplementasikan bahasa daerah
utamanya bahasa Jawa, apakah sekolah sudah memiliki program?”
St: “Berkaitan dengan pembelajaran bahasa Jawa sacara terstruktur ini masuk
dalam kurikulum lokal. Sudah ada dasarnya dalam peraturan Gubernur
untuk melaksanakan kurikulum bahasa Jawa. Untuk program yang sudah
dilaksanakan di sekolah kami, kami melaksanakan komunikasi di hari
Kamis itu menggunakan bahasa Jawa, membudayakan bahasa Jawa kepada
seluruh warga sekolah.”
Kh: “Apakah ada kendala Pak?”
St: “Ini kita pada ranah pembiasaan, kalau kedala tentu saja ada. Karena kita
kan siswa berlatar belakang yang berbeda-beda, ada yang Jawa, ada yang
luar Jawa, bahkan ada yang luar negeri juga. Tentunya dengan ragam bahasa
Jawa ini secara mayoritas orang Jawa, itupun masih harus belajar
membudayakan berbahasa Jawa.”
Kh: “Apa faktor yang mendorong berhasilnya implementasi bahasa Jawa?”
St: “Faktor yang mendorong yaitu nguri-uri, melestarikan bahasa Jawa itu
menjadi motivasi agar tidak luntur tidak terhempas oleh budaya di era
milineal ini.”
Kh: “Sejauh program yang sudah berlangsung menurut pandangan Bapak
apakah sikap ta’dhim siswa dapat terbina melalui implemntasi bahasa Jawa
ini?”
St: “Praktek ini kan sudah melekat ya secara keseharian, bagi kami selaku
pendidik dan peserta didik atau siswa. Untuk bahasa Jawa ini kalau
dipraktekkan betul kan membawa dampak sikap anak kepada orang yang
lebih tua. Apalagi tadi kita programkan bahasa Jawa krama inggil. Memang
ya anak-anak dengan segala tantangannya ini ya terus proses, tidak harus
semua krama inggil. Dengan segala keterbatasan background masing-
masing.”
Kh: “Apakah ada kerjasama antara sekolah dan ornag untuk membina sikap
siswa?”
St: “Program rutin kita sudah ada, setiap semester dua kali. Tapi untuk
kegiatan-kegiatan pengajian atau kegiatan sosial kami sudah mempunyai
IKWAM, Ikatan Wali Murid Muhammadiyah ini satu bulan sekali
pertemuan, mengadakan kajian dan paranting mengundang seorang
narasumber.”
Kh: “Apa yang menjadi harapan Bapak kaitannya dengan mebinaan sikap
ta’dhim dan pelestarian bahasa Jawa?”
St: “Nggih tadi sudah saya sampaikan bahwa jika bahasa Jawa ini kita
implementasikan dalam kehidupan sehari-hari, tentunya sangat memberikan
dampak kepada siswa bagaimana bersikap, dna bertawadlu‟ kepada orang
yang lebih tua. Karena denganbahaa Jawa ini kesantunan, edukatifnya itu
sangat terasa. Sehingga kalau siswa menerapkan bahasa Jawa dengan baik,
itulah proses wujud tawadlu’ kepada oran yang lebih tua, kepada teman
bagian dari menghargai. Kepada guru dan calon guru karena bahasa Jawa
ini jujur, sudah mulai luntur jarang kita gunakan secara rutin, terus pada
setiap kesempatan terus komitmen untuk menggunakan bahasa Jawa. Di
setiap penyambutan, pelajaran untuk terus mensosialisasikan bahasa Jawa
kepada anak-anak.”
Lampiran 6 Catatan Observasi
Catatan Observasi
Tanggal Observasi Kegiatan Observasi
22 April 2019 Mengajukan proposal penelitian kepada kepala
sekolah
23 April 2019 Memasukkan surat izin penelitian
Meninjau keadaan sekolah
29 April 2019 Melakukan perjanjian waktu wawancara dan
memberikan daftar pertanyaan kepada Ibu Ina
dinawati
2 Mei 2019 Melakukan perjanjian waktu wawancara dan
memberikan daftar pertanyaan kepada Ibu Riris
3 Mei 2019 Melakukan wawancara dengan Ibu Ina Dinawati dan
Ibu Riris
10 Mei 2019 Melakukan wawancara dengan Bapak Sutomo
10 Mei 2019 Melakukan observasi kepada peserta didik melalui
obrolan ringan
13 Mei 2019 Meminta data profil sekolah, daftar guru dan daftar
peserta didik
21 Mei 2019 Mengambil surat balasan penelitian
Lampiran 7 Pedoman Dokumentasi
1. Dokumentasi daftar guru
Daftar Guru dan Karyawan
SMP Muhammadiyah Plus Salatiga
No Nama Guru
1. Muttaqin, S. PdI
2. Ana Irawanti, M.Pd.
3. Ina Dinawati, S.S
4. Vera Atmawati, S. Pd.
5. Iwan Tri Nugroho, S.Pd.
6. Winanti Sekar U., S.Pd.
7. Amalina Rizqi Rahmawati, S.Pd.
8. Arif Fahrurozi , S.Pd.
9. Elisa Linda Yulia, S.Pd.
10. Agus Zainuri, S.Pd.I
11. Bogi Dwi Febrihandoko, S.Pd
12. Nur Hidayati, S.Psi
13. Ika Nuratri Nugrahani, M.Pd
14. Azizah, S.Pd
15. Nadya Rizky Syah Putri, S.Pd.
16. Tri Bekti, S.Pd
17. Suryaning Sari, S.Pd.
18. Prihatin Suryaningtyas, S.Pd.
19. Yessica Alfawzia, S.Pd.
Nama Karyawan
20. Eko Budi Prasetiyo, Amd. Esy
21. Muhlisin, Amd.
22. Umi Kulsum, S.Pd.
23. Awanda Rohma Pertiwi, S.Hum
24. Sunarno
25. Joko Retno Sutrisno
26. Aris Sunandar
27. Mukhlisin
28. Widyatma Devi Setiaji
29. Sabar Yulianto
2. Dokumentasi daftar peserta didik
Daftar Peserta Didik Kelas VII
SMP Muhammadiyah Plus Salatiga
NO NAMA LENGKAP NIS NISN
1 Abu Syarif Abdillah Fikri 0068 0061742279 L
2 Ahmad Ramadhani Adam Saputra 0069 0053038420 L
3 Ahnaf Shandy Prasetya 0070 0061443567 L
4 Aldini Sofia Syifa 0071 0069143726 P
5 Aliffianisa Anggun Putri Andini 0072 0063869149 P
6 Allensya Great Haq 0073 0065497640 P
7 Ammara Nafisa Hasnannuha 0074 0065565029 P
8 Angger Nofal Pramuditya 0075 0051948254 L
9 Anindita Aulya Khaerani 0076 0056002394 P
10 Anisa Aninda Nugraheni 0077 0061560417 P
11 Annas Bintan Satriawan 0078 0057342716 L
12 Annisa Athiyyatul Husna 0079 0061767632 P
13 Ariq Murtadho 0080 0068051611 L
14 Aruming Ni'matul Rachma 0081 00552955488 P
15 Athaya Farizqy Ramadhina 0082 0066614000 P
16 Aulia Fadhila Salma 0083 0057283077 P
17 Aura Naila Fakhira Wiratno 0084 061894361 P
18 Azra Nabila Bratandari 0085 0058348581 P
19 Azzaral Aswad Asshiddiqy 0086 0051823403 L
20 Bajra Arekananta 0087 0068910269 L
21 Bimo Aryoseto 0088 0067314544 L
22 Daffa Firman Wijaya 0089 0068412914 L
23 Damar Jati Phanuluh 0090 0076650037 L
24 Desmira Cahya Saqeena 0091 0061829793 P
25 Desti Auwali Khoiriyah 0092 0067977596 P
26 Diva Trixie Marvia 0093 0064909754 P
27 Elva Dina Maulida 0094 0064494280 P
28 Elvaretta Bernessa Putri 0095 0063863102 P
29 Fachruddin Nur huda 0096 0057575477 L
30 Fany Kartika Kirania 0097 0066600870 P
31 Farid Eka Maulana 0098 0066830342 L
32 Farrel Ridho Ferdiayanto 0099 0063055170 L
33 Farrel Zacky Laksita 0100 0054656547 L
34 Fatih Fauzi Farkhi 0101 0066009967 L
35 Febrian Felix Handoyo Putra 0102 0065083613 L
36 Firly Arya Mahardika 0103 0063511214 L
37 Fitri Izzudin 0104 0053559980 L
38 Gading Risyad Wibisono 0105 0066260163 L
39 Galan Yudan Yasaghani 0106 0069467784 L
40 Gesya Fitri Widiastuti 0107 0054473411 P
41 Hanif Wasistha Hasbi 0108 0053808723 L
42 Hasna Fairuzza Fathina 0109 0056899367 P
43 Hernawan Arya Muttaqin 0110 0056963272 L
44 Ibram Rizky Maulana 0111 L
45 Ilham Tri Kurnianto 0112 0052326337 L
46 Ineke Eta Kurnia 0113 0055560032 P
47 Jasir Umar Afif Rizalli Putra 0114 0062323811 L
48 Jeffry Tafta Yani 0115 0067915429 L
49 Keysha Amanda Ariella 0116 0067700647 P
50 Keisha Biantari Widya Angesti 0117 0062156223 P
51 M Bintang Aditya Pratama Arifianto 0118 0057220294 L
52 Mahardika Dafa Prabowo 0119 0066275693 L
53 Metadilis Ridho Noviawan 0120 0052240004 L
54 Muhamad Abrar Ardiyansyah 0121 0051121192 L
55 Muhammad Akmal Zein Zhalifunas 0122 0062774039 L
56 Muhammad Arsalan Shidqi 0123 0068186229 L
57 Muhammad Daffa Afraizel 0124 0059837344 L
58 Muhammad Fachry Naufal Hermawan 0125 0063943105 L
59 Muhammad Hilmi Ghazanfar 0126 0052362525 L
60 Muhammad Maulana Najih Saputra 0127 0065778581 L
61 Muhammad Naufal Dzaki 0128 0059598079 L
62 Muhammad Rasyad Hasanain 0129 0062667026 L
63 Muhammad Zakky Nugroho 0130 0058109113 L
64 Nabiila Zahrah Citra Hani 0131 0064106602 P
65 Najwa 0132 0052454809 P
66 Najwa Khalisa Azahra 0133 0069780088 P
67 Najwa Razita Denaputri 0134 0067528328 P
68 Nata Rayhan Ardiansyah 0135 0067623250 L
69 Nayla Kanamona 0136 0067785109 P
70 Prima Wijaya Mahendra Putra 0137 0063261674 L
71 Putri Futia Sari 0138 0069240823 P
72 R Diva Amelia Permatasari 0139 0068867061 P
73 Rachmaretha Rayvana Winatha Putri 0140 0065379697 P
74 Rafa Ganendra Putra Purwanto 0141 0067937936 L
75 Rafi Eka Maulana 0142 0065143248 L
76 Rajwa Naila Saefudin 0143 0063074843 P
77 Ramadhana Arkan Nendhy Pratama 0144 0056094940 L
78 Rayhan Hamza Shamlan 0145 0062167257 L
79 Rayyan Ilham Wahyudi 0146 0057921118 L
80 Reva Raihanah 0147 0063215198 P
81 Rifzika Aida Fatiha 0148 0062667400 P
82 Risky Adi Saputro 0149 0052828549 L
83 Salsabila Nadya Aulia 0150 0054918904 P
84 Sania Intan Tsani 0151 0064552762 P
85 Seira Lory Hanana 0152 0063907531 P
86 Shabrian Daffa' Wardhana 0153 0057425798 L
87 Shakila Vadya Lakeisha 0154 0069667314 P
88 Sultan Maulana Putra Pamungkas 0155 0061821454 L
89 Tiara Agnish Warsito 0156 0064111251 P
90 Widda Isyfi A'yuna 0157 0056430418 P
91 Arya Khairul Rahman 0158 0063079386 L
92 Rumaisha Az Zahra 0159 0065449219 P
93 Javiar Maulana Hani Kusuma 0160 0066671205 L
Daftar Peserta Didik Kelas VII
SMP Muhammadiyah Plus Salatiga
NO NAMA
1. Abid Syaiqul Izza Al Wahdi
2. Abiwimbanu Nur Riza
3. Adi Raja Suryanata
4. Aditya Fandi Ramadhan
5. Affan Tsa Aufa
6. Ajril Lutfi Indrawan
7. Alfarobi Sabilar Rosyad Wahyudi
8. Ali Mahendra Faqih
9. Alma Shofi Thufaila
10. Alma Wulan Saptaningrum
11. Alvito Dwi Nov
12. Alya Fauzizah Hasmy
13. Alya Rosyida
14. Amalia Fairuz Zahra
15. Andry Chevyn Dwi Widodo
16. Arba Khoirunnisa
17. Ariful Hakim Nugroho
18. Arsyadhany El Syady
19. Bagas Shulthoni
20. Bena Fredella Faadillah Nurvia
21. Cinta Ailsa Fauziya
22. Dean Raditya Hiswara
23. Eldinov Alan Omar Salman
24. Fadia Aqila Savitri
25. Fanida Rahmi Bay
26. Fatimah Aristyaningsih Ayu Habibah
27. Fitria Ayu Riyanti
28. Gusti Aryo Adi Nugroho
29. Hakim Irsyad Darmawan
30. Hamida Falsa Putri
31. Hapsari Lindhu Pangesti
32. Haqi Ahnaf Athallah
33. Haydar Salam Jaffar Robae'i
34. Imam Baihaqi
35. Jannahtul Angger
36. Kajendra Andya Kumara Natha
37. Keisha Jenny Maulida Nugraha
38. Keyra Nadia Yasmin
39. Krisna Indra Bayu
40. Muhamad Aqila Mumtaz Sani
41. Muhammad Adib Al Hanif
42. Muhammad Afsar Tambawang
43. Muhammad Subairi Putra Halim
44. Muhammad Ubaida Fairuz Zahran
45. Muhammmad Ivan Kurniawan
46. Muthi'ah Syifa Azzahra
47. Nabila Luthfi Putri Salsabila
48. Nabila Zalfa
49. Nadine Benita
50. Natasya Putri Syawalina
51. Naura Dhia Yusfa'ida
52. Nisrina Hasna Abidah
53. Qoulan Akbar Syakuuro
54. Rachmania Ainur Ichsani
55. Rafly Farrel Pradana
56. Rahma Alyah Nabilah
57. Rizky Azka Alfiansyah
58. Rizqan Nafis Buhtari
59. Roswita Dinia
60. Salsabilla Pranisti
61. Sayid Akbar Imanu
62. Talitha Aurelia Arisanti
63. Vhaviriele Abel Romadhan
64. William Pratama Lim
Lampiran 9 Dokumentasi
Dokumentasi
Aula Gedung Sekolah
Kantin Perpustakaan
Budaya cium tangan
Upacara Bendera
Lampiran 11 Daftar Nilai SKK
SATUAN KETERANGAN KEGIATAN
Nama : Khoiri Alfiyah Progdi : PAI
NIM : 2300010150287 P A : M. Agung Hidayatulloh, S.S., M.Pd.I.
No Jenis Kegiatan Pelaksanaan Jabatan Nilai
1. Keterampilan Kejuruan Menjahit
Garmen melalui Peningkatan
Kualitas dan Produktivitas Tenaga
Kerja Kabupaten Semarang Tahun
Anggaran 2017 oleh Dinas
Tenaga Kerja Kabupaten
Semarang
9 Januari-27
Februari 2017
Peserta 12
2. Seminar Nasional “Muslimah
Sejati Bertabur Inspirasi” oleh
LDK Fathir Ar Rasyid IAIN
Salatiga
29 November 2015 Peserta 8
3. Seminar Nasional “Musik, Islam,
dan Nusantara” oleh SMC IAIN
Salatiga
5 Desember 2015 Peserta 8
4. Seminar Nasional “Encouraging
The Milinneal Feneration on
having Character Education” oleh
CEC IAIN Salatiga
5 Mei 2018 Peserta 8
5. Seminar Nasional
“Pemuda, Peradaban Islam dan
Kemandririan” Oleh Karim
Learning and Training Center
02 September 2015 Peserta 8
6. Workshop Rebana Nasional
“Meningkatkan Hubbun Nabi
dalam Mewadahi Semangat Muda
Melestarikan Tradisi Islami” Oleh
JQH Al-Furqan IAIN Salatiga
13 Mei 2017 Peserta 8
7. Seminar Nasional
“Pendidikan Agama Menjadi
Pelopor Kebangkitan Nasional di
Era Modern” Oleh HMJ PAI
IAIN Salatiga
21 Mei 2016 Peserta 8
8. Seminar Nasional
“Muslimah Sejati Bertabur
Inspirasi” Oleh LDK Fatir Ar
Rasyid IAIN Salatiga
29 November 2015 Peserta 8
9. Wisud Akbar 08
“Wisuda Akbar Dunia Menghafal
QS. Al Fath” Oleh PPTQ Daarul
Quran, Yayasan Daarul Qur‟an
Nusantara
22 Oktober 2017 Peserta 6
10. Wisuda Akbar 07
“Indonesia Menghafal: QS. Al
Hasyr, QS. Al Jumu‟ah, QS. Al
Munaafiquun” Oleh PPTQ Daarul
Quran, Yayasan Daarul Qur‟an
Nusantara
29 Mei 2016 Peserta 6
11. SK Pengurus LDK Fathir Ar 29 Januari 2018 Staff Devisi 8
Rasyid masa bakti 2018 Nisa
12. Training of Hypnoteaching
Methode dengan tema
“Melejitkan Potensi Diri Menjadi
Guru PAI Kreatif Dan
Profesioanl” oleh biro konsultan
TAZKIA
19 Mei, 26 Mei dan
02 Juni 2018
Peserta 8
13. Intensif English Language
Program oleh UPTPB IAIN
Salatiga
22 Februari-10 Juni
2016
Peserta 8
14. Program Pelatihan Intensif Bahasa
Arab
22 Februari-10 Juni
2016
Peserta 8
15. Ibtida‟ LDK Fathir Ar Rasyid
dengan tema “Kontekstualisasi
Ukhuwah Islamiyah Dalam
Bingkai Dakwah” oleh LDK
Fathir Ar Rasyid
05 November 2017 Panitia 6
16. Masa penerimaan anggota baru
PMII “ASWAJA sebagai benteng
kader PMII untuk mewujudkan
mahasiswa yang berpribadi ulul
albab” oleh PMII Rayon Tarbiyah
Matori Abdul Djalil Salatiga
18-20 September
2015
Peserta 4
17. Gardika “Kegiatan Pessantren
Ramadhan 1439 H MAN Salatga”
oleh LDK Fathir Ar Rasyid IAIN
Salatiga
5-7 Juni 2017 Pemateri 4
18. Language Camp SMP
Muhammadiyah Plus Salatiga
7-9 September 2018 Pembimbing 4
19. Pelatihan Kepramukaan oleh 19-21 Juni 2018 Peserta 4
FTIK IAIN Salatiga
20. Ibtida‟ Lembaga Dakwah Kampus
Fathir Ar Rasyid IAIN Salatiga
29-30 Oktober 2016 Peserta 3
21. Gerbang masuk ITTAQO dengan
tema “Duniamu Seluas
Bahasamu” oleh ITTAQO IAIN
Salatiga
19-20 November
2016
Peserta 3
22. Training Kader I dengan tema
“Mencetak Kader Dakwah Yang
Berkarakter Rabbani Demi
Mewujudkan Generasi Unggul”
oleh LDK Fathir Ar Rasyid IAIN
Salatiga
8-9 April 2017 Peserta 3
23. Training Kader II dengan tema
“Pembentuk Kader Dakwah
Cerdas, Berkarakter dan Siap
Berkontribusi di Masyarakat” oleh
LDK Fathir Ar Rasyid IAIN
Salatiga
1-2 Desember 2017 Peserta 3
24. OPAK IAIN Salatiga 2015
dengan tema “Penguatan Nilai-
Nilai Islam Indonesia Menuju
Negara yang Aman dan
Damai”oleh Dewan Mahasiswa
(DEMA) IAIN Salatiga
14 Agustus 2015 Peserta 3
25. OPAK FTIK dengan Tema
“Integrasi Pendidikan Karakter
Mahasiswa Melalui Kampus
Edukatif Humanis dan
Religius”oleh dewan mahasiswa
13 agustus 2015 Peserta 3
FTIK IAIN Salatiga
26. Talkshow “Sukses Kuliah
Bersama KAMMI Salatiga” oleh
KAMMI Salatiga
16 September 2015 Peserta 2
27. Kegiatan Seminar Sehari dalam
Rangka Kumjumgam Studi
dengan Tema “Peran Masyarakat
dalam Mewujudkan Pendidikan
Islam yang Rahmatal Lil
„Alamin” Oleh IAIN Salatiga
Bekerjasama dengan SMPIT
Nurul Islam Kab. Semarang
17 Desember 2017 Peserta 2