hukuman mati

120
Muhammad Rustamaji Baru-baru ini, Mahkamah Konstitusi melalui putusannya menyatakan bahwa penjatuhan pidana hukuman mati tidak bertentangan dengan konstitusi. Meski diwarnai dengan discenting opinion dan lingkup putusan yang terbatas dalam judicial review tindak pidana narkotika, namun putusan tersebut dipandang memiliki nilai keterwakilan atas pandangan masyarakat luas. Ya, masyarakat kita masih memandang pidana mati masih layak untuk dipertahankan. Beberapa tindak pidana yang tergolong sebagai tindak pidana luar biasa (extraordinary crime) seperti tindak pidana terorisme, narkotika, korupsi, maupun illegal logging agaknya pantas dijatuhi pidana mati. Bukan hanya karena modus operandi tindak pidana tersebut yang sangat terorganisir, namun ekses negatif yang meluas dan sistematik bagi halayak, menjadi titik tekan yang paling dirasakan mayarakat. Maka sebagai langkah yuridis yang menentukan eksistensi keberlakuan pidana hukuman mati di Indonesia, putusan MK ini mendapat apresiasi yang representatif. Namun demikian, putusan Mahkamah Konstitusi atas eksistensi pidana hukuman mati di Indonesia, disadari atau tidak telah membuka kembali ’perang wacana’ mengenai konsep penghukuman yang berprikemanusiaan dan beradab. Beragam pandangan dan argumentasi mengenai pidana hukuman mati sebenarnya telah lama diketengahkan di kalangan akademisi, praktisi, maupun pakar hukum. Bahkan sejak digulirkannya rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang baru, wacana ini tidak luput dari banyak sorotan. Perdebatan yang terjadi mencakup sisi filosofis, yuridis maupun sosiologis mengenai urgensi penerapan pidana hukuman mati. Bermacam pertanyaan mendasar seperti apakah manusia berhak mencabut nyawa sesamanya, sedangkan kehidupan adalah karunia Tuhan? siapa yang memberi kewenangan kepada seorang algojo untuk merenggut hak hidup manusia yang lain? hingga pertanyaan teknis mengenai bagaimana pelaksanaan pidana hukuman mati yang memenuhi keberadaban itu dilakukan? terus bergulir mencari rumusan jawaban. Namun semua wacana tersebut timbul

Transcript of hukuman mati

Page 1: hukuman mati

Muhammad Rustamaji

Baru-baru ini, Mahkamah Konstitusi melalui putusannya menyatakan bahwa penjatuhan pidana hukuman mati tidak bertentangan dengan konstitusi. Meski diwarnai dengan discenting opinion dan lingkup putusan yang terbatas dalam judicial review tindak pidana narkotika, namun putusan tersebut dipandang memiliki nilai keterwakilan atas pandangan masyarakat luas. Ya, masyarakat kita masih memandang pidana mati masih layak untuk dipertahankan. Beberapa tindak pidana yang tergolong sebagai tindak pidana luar biasa (extraordinary crime) seperti tindak pidana terorisme, narkotika, korupsi, maupun illegal logging agaknya pantas dijatuhi pidana mati. Bukan hanya karena modus operandi tindak pidana tersebut yang sangat terorganisir, namun ekses negatif yang meluas dan sistematik bagi halayak, menjadi titik tekan yang paling dirasakan mayarakat. Maka sebagai langkah yuridis yang menentukan eksistensi keberlakuan pidana hukuman mati di Indonesia, putusan MK ini mendapat apresiasi yang representatif.

Namun demikian, putusan Mahkamah Konstitusi atas eksistensi pidana hukuman mati di Indonesia, disadari atau tidak telah membuka kembali ’perang wacana’ mengenai konsep penghukuman yang berprikemanusiaan dan beradab. Beragam pandangan dan argumentasi mengenai pidana hukuman mati sebenarnya telah lama diketengahkan di kalangan akademisi, praktisi, maupun pakar hukum. Bahkan sejak digulirkannya rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang baru, wacana ini tidak luput dari banyak sorotan. Perdebatan yang terjadi mencakup sisi filosofis, yuridis maupun sosiologis mengenai urgensi penerapan pidana hukuman mati. Bermacam pertanyaan mendasar seperti apakah manusia berhak mencabut nyawa sesamanya, sedangkan kehidupan adalah karunia Tuhan? siapa yang memberi kewenangan kepada seorang algojo untuk merenggut hak hidup manusia yang lain? hingga pertanyaan teknis mengenai bagaimana pelaksanaan pidana hukuman mati yang memenuhi keberadaban itu dilakukan? terus bergulir mencari rumusan jawaban. Namun semua wacana tersebut timbul tenggelam dalam forum diskusi dan seminar karena ketiadaan kekuatan yuridis yang bersifat final dan mengikat. Hal yang tentunya berbeda ketika wacana tersebut termaktub dalam putusan Mahkamah Konstitusi yang secara kelembagaan mempunyai kewenangan dan kekuatan hukum sebagai judge make law dalam pengujian produk perundangan.

Babak baru yang kemudian muncul dalam putusan MK ini adalah penguatan teori penjatuhan pidana sebagai konsep pembalasan (vergeldingstheorie) daripada sebagai konsep memperbaiki (verbeteringstheorie) si pelaku. Dengan pidana hukuman mati, negara seakan berlepas diri untuk memperbaiki sikap tindak si pelaku atas tindak pidana yang dilakukannya. Meskipun sisi hukum yang merupakan ranah yudikatif ini dapat pula diupayakan lebih ringan melalui grasi dan amnesti sebagai hak prerogratif eksekutif, namun hukuman mati masih dipandang sebagai konsep pembalasan atas tindak pidana yang dilakukan. Jika demikian, bagaimana dengan ketentuan sila ke-2 Pancasila ”Kemanusiaan yang Adil dan Beradab”? dan ”hak hidup” setiap manusia sebagaimana termaktub dalam Pasal 28 A dan Pasal 28 I UUD 1945?

Page 2: hukuman mati

Dengan perspektif yang berbeda dari pertimbangan Mahkamah Konstitusi, mengenai nilai kemanusian dalam kerangka acuan keadilan dan keberadaban ini, sangat menarik ketika mengamati beberapa negara lain menyikapinya. Jika di Indonesia saat ini menghapuskan pelaksanaan hukuman mati melalui tiang gantungan, dan diganti dengan ditembak sampai mati oleh regu tembak, hal senada ternyata dapat dijumpai pula di negara lain. Beberapa negara asing misalnya Amerika Serikat, di beberapa negara bagiannya menggunakan kursi listrik, gas beracun dan ada pula yang menggunakan tempat penggantungan seperti di Indonesia pada masa silam. Di Perancis pelaksanaan hukuman mati dilaksanakan dengan alat pemenggal kepala yang disebuat ’quilotine’. Sedangkan di Negara Timur Tengah menggunakan tiang gantungan atau pedang dalam pelaksanaan hukuman mati pemenggalan kepala. Dapat dicermati bahwa negara-negara yang dikenal sebagai pencetus HAM dan demokrasi ternyata memberlakukan pula eksistensi pidana hukuman mati. Bahkan secara sederhana dapat dikatakan bahwa, perdebatan panjang mengenai nilai kemanusiaan pada akhirnya berakhir pada pendekatan teknis yang dipandang lebih manusiawi pada saat pelaksanaan hukuman mati. Terbukti, saat ini di negara-negara tersebut dikembangkan adanya teknik lethal injection dalam pelaksanaan hukuman mati. Melalui tiga kali penyuntikan yang terdiri atas obat pembius, obat penghenti detak jantung dan suntikan terakhir yang barupa racun, teknik ini dianggap paling manusiawi dan beradab karena menghilangkan penderitaan bagi sang terpidana mati.

Hukuman Pokok

Fakta hukum yang selanjutnya patut dicermati adalah rumusan hukuman pokok dan hukuman yang bersifat khusus dan alternatif. Terdapat konsepsi yang berbeda ketika konteks pidana hukuman mati ini diberlakukan. Ketika mencermati Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dapat ditemukan bahwa pidana hukuman mati termasuk sebagai hukuman pokok. Tidak ada ketentuan khusus yang mengatur mengenai masa percobaan dalam paruh waktu tertentu menjelang eksekusi. Dengan demikian ketika putusan hakim memperoleh kekuatan hukum tetap, maka eksekusi dapat dijalankan. Sedangkan dibeberapa ketentuan hukum yang bersifat khusus, seperti dalam Undang-Undang Narkotika, pidana hukuman mati bersifat khusus dan alternatif. Artinya, ketika pelaku tindak pidana narkotika atau tindak pidana lain yang bersifat extraordinary crime dijatuhi hukuman mati, maka vonis tersebut dapat dieksekusi ketika telah melalui masa percobaan dan sang terpidana tidak menunjukkan sikap yang lebih baik. Dalam hal ini masih terbuka baginya upaya grasi maupun amnesti yang dapat diupayakan selama hukuman percobaan. Klausul hukuman percobaan penjara sepuluh tahun inilah yang membedakan ketika pidana hukuman mati tidak digolongkan dalam hukuman pokok.

Kejanggalan segera terlihat ketika memperbandingkan KUHP sebagai peraturan umum (lex generalis) terhadap ketentuan-ketentuan pidana luar biasa sebagai peraturan khusus (lex specialis). Dapat dicermati bahwa tindak pidana biasa (ordinary crime) yang diatur oleh KUHP justru menempatkan pidana hukuman mati sebagai hukuman pokok. Namun di dalam ketentuan perundangan yang khusus mengatur pidana luar biasa (extraordinary crime), pidana hukuman mati justru ditempatkan sebagai hukuman alternatif semata.

Page 3: hukuman mati

Tidakkah para perumus perundangan mencermati hal ini? Sedangkan diketahui bahwa extraordinary crime mempunyai ekses yang lebih luas bagi kehidupan bersama.

Inilah beberapa telaah mengenai eksistensi pidana hukuman mati yang sejatinya masih diperlukan dalam menjaga kehidupan bernegara dan berbangsa yang beradab. Justru karena adanya ancaman hukuman mati dalam ketentuan yurudis, diharapkan menumbuhkan efek jera dan pembelajaran bagi khalayak akan arti penting menjaga hak-hak sesama dan tidak melanggarnya. Sebuah fenomena simbolistik yang menarik ketika para pejabat Republik Rakyat Cina (RRC) mendapat suvenir sebuah peti mati berukuran mini dari presidennya. Langkah ini ditempuh untuk memberikan pengingatan bahwa jika para pejabat tersebut melakukan korupsi maka hukuman matilah yang pantas untuknya, tidak terkecuali bagi presiden yang bersangkutan. Mereka menyadari bahwa korupsi akan merusak sendi kehidupan bernegara, penggunaan narkotika akan merusak generasi bangsa dan illegal logging akan menghancurkan lingkungan hidup mereka. Semangat kesadaran seperti inilah yang seharusnya muncul ketika eksistensi pidana hukuman mati tetap diberlakukan di Indonesia. Akhirnya kesadaran tersebut membawa kepahaman untuk sesegera mungkin lepas dari kungkungan krisis multidimensi seperti saat ini. Samoa.

Page 4: hukuman mati

FENOMENA PRO DAN KONTRA TERHADAP EKSISTENSI HUKUMAN MATI DALAM PERSPEKTIF PEMIDANAAN

Undergraduate Theses from JBPTUNPASPP / 2009-10-20 10:54:24Oleh : Nano. Rubiyono, HukumDibuat : 2009-10-19, dengan 3 file

Keyword : Hukuman matiSubjek : Hukum pidanaKepala Subjek : Hukum pidanaNomor Panggil (DDC) : 345

Salah satu bentuk sanksi yang paling berat ialah hukuman mati atau pidana. Masalah hukuman mati ini telah diperdebatkan oleh para sarjana hukum pidana. Penentang hukuman mati antara lain mengatakan bahwa hukuman mati dapat menyebabkan ketidakadilan. Didalam Kitab Undang-Undang Hukum menjelaskan bahwa hukuman mati masih diperlukan karena beberapa sebab, antara lain dikarenakan meningkatnya kejahatan yang bervariasi, sehingga masih diperlukan sebagai bagian dari perlindungan publik. Pro dan kontra timbul atas putusan hakim menjatuhkan hukuman mati dalam beberapa kasus. Identifiksai masalah penulis angkat ditinjau dari penerapan hukuman mati kaitannya dengan perundang-undangan di Indonesia, permasalahan pro dan kontra hukuman mati serta pelaksanaannya, upaya hukum untuk menjembatani perbedaan pandangan tentang hukuman mati. Penelitian yang digunakan dalam penyusunan skripsi ini adalah penelitian deskriptif analistis yaitu berupa penggambaran, penelaahan dan penganalisaan ketentuan-ketentuan yang berlaku, yang bertujuan untuk memberikan gambaran yang sistematis faktual serta akurat dari objek penelitian itu sendiri. Pendekatan Yuridis Normatief, merupakan pendekatan yang digunakan berdasarkan atas bahan-bahan, kepustakaan, dan lapangan. Kemudian dianalisis secara Yuridis Kualitatief yaitu menganalisis data yang diperoleh dengan memperhatikan dan menggunakan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Tujuan yang ingin dicapai dari penerapan hukuman mati adalah untuk mencegah terjadinya kejahatan disamping juga merupakan sarana bagi seorang terpidana untuk mempertanggung jawabkan perbuatannya. Dalam skirpsi ini dipaparkan mengenai alasan-alasan pro dan kontra yang dapat ditarik kesimpulan untuk menjembatani perbedaan persepsi atas eksistensi penerapan hukuman mati.

Page 5: hukuman mati

Salah satu bentuk sanksi terberat adalah hukuman mati atau kejahatan. Masalah hukuman mati ini telah diperdebatkan oleh semua pengacara kejahatan. Antagonis pidana mati misalnya mengatakan bahwa hukuman mati dapat menyebabkan.hukuman mati masih diperlukan oleh karena menyebabkan, misalnya karena meningkatnya kejahatan yang bervariasi, sehingga masih diperlukan sebagai bagian dari perlindungan publik. Pro dan kontra timbul keputusan hakim membawa mati keadilan dalam beberapa kasusIdentifikasion dari masalah lift penulis akan ditinjau dari penerapan hukuman mati kaitannya dengan undang-undang di Indonesia, masalah pro dan kontra hukuman mati dan juga pelaksanaannya, upaya hukum untuk menjembatani perbedaan pandangan tentang hukuman mati.Penelitian yang digunakan dalam penyusunan penelitian ini deskriptif analistis yaitu dalam bentuk penggambaran, observasi dan menganalisa peraturan yang berlaku, dengan bertujuan untuk memberikan gambaran secara sistematis faktual dan juga akurat dari objek penelitian itu sendiriPendekatan Yuridis Normatief, mewakili menggunakan pendekatan berdasarkan bahan, kepustakaan, dan lapangan. Apakah kemudian dianalisa dengan Kualitatief Yuridis yang menganalisis diperoleh dengan memperhatikan dan menggunakan hukum dan peraturan yang berlaku.Tujuan yang ingin dicapai dari penerapan hukuman mati adalah untuk mencegah terjadinya kejahatan di samping juga merupakan sarana untuk dihukum untuk respon perbuatannya. Dalam skirpsi dari alasan dipaparkan mengenai pro dan kontra dapat ditarik kesimpulan untuk menjembatani perbedaan persepsi penerapan hukuman

Page 6: hukuman mati

Menimbang (Lagi) Hukuman MatiAriyanto, Dedi Setiawan, dan Bona Ventura MAHKAMAH Konstitusi kembali menjadi pelabuhan para terpidana pelaku tindak pidana. Rabu dua pekan lalu, Myuran Sukumaran dan Andrew Chan memohon agar aturan tentang hukuman mati yang tertuang dalam Undang-Undang tentang Narkotika dinyatakan tidak berkekuatan hukum mengikat. Dua warga Australia yang tersangkut kasus narkoba dan telah diganjar hukuman mati itu merasa vonis yang diterimanya melanggar hak asasi manusia.Sebenarnya, Myuran dan Andrew tak sendirian. Bersama dua orang kelompok ”Bali Nine” itu juga ada dua warga negara Indonesia, Edith Yunita Sianturi dan Rani Andriani. Keduanya pun tengah menanti eksekusi mati. Edith, misalnya. Wanita 25 tahun itu dinyatakan terbukti menyelundupkan 1 kg heroin dari Thailand pada tahun 2001 silam. Pengadilan Negeri Tangerang menjatuhkan vonis mati yang kemudian dikuatkan oleh Mahkamah Agung.Menurut Todung Mulya Lubis, kuasa hukum keempat pemohon uji materiil itu, ada tiga aturan yang dimohonkan pengujiannya, yakni Pasal 80, 81, dan 82 Undang-Undang tentang Narkotika (UU No. 22 Tahun 1997). Ketiga pasal tersebut mengatur tentang ancaman pidana mati bagi mereka yang memproduksi, mengimpor, ataupun mengedarkan obat terlarang alias narkotik.

Artikel LainHenry Ditahan, Lalu Pak Jenderal…?Saat Gugatan Membanjiri LapindoLangkah Mundur Penanganan KorupsiKepailitan, Ibist yang MenyesatkanMenimbang (Lagi) Hukuman MatiSulitnya Mencari Hakim AgungDong Joe, Riwayatmu KiniGebrakan dari Pangeran CendanaHukuman Ringan buat JenderalPLN Tersengat Proyek CIS

Aturan-aturan hukum tersebut dianggap bertentangan dengan Pasal 28 A dan 28 I UUD 1945. Konstitusi, demikian Todung, secara tegas menjamin hak hidup setiap warga negara. ”Hukuman mati tidak mempunyai dasar hukum dalam Undang-Undang Dasar kita,” tegasnya.Todung membenarkan bahwa peredaran narkoba termasuk dalam jenis kejahatan yang berbahaya bagi hajat hidup orang banyak. Undang-undang pun sudah mengatur tentang ancaman hukuman yang berat buat pelakunya, yakni penjara seumur hidup dan 20 tahun kurungan. Hukuman mati, demikian Todung, tidak perlu diterapkan karena tidak memberikan efek jera.Di mata Henry Yosodiningrat, Ketua Umum Gerakan Anti Narkotika, ancaman hukuman mati dalam Undang-Undang tentang Narkotik masih sangat diperlukan. Karena itu, seandainya dianggap bertentangan dengan konstitusi, dia menyarankan agar UUD 1945 diamendemen. ”Ketentuan itu harus tetap ada, mengenai apakah nanti akan divonis mati, itu kewenangan hakim,” tuturnya.

Page 7: hukuman mati

Henry beralasan dengan adanya ancaman itu, Indonesia tidak akan dijadikan ”surga” oleh pengedar narkotik. Selama ini, katanya, sindikat obat terlarang itu tidak berani mengendalikan bisnisnya dari negara-negara ASEAN yang sebagian masih menerapkan ancaman hukuman mati. ”Masih ada hukuman mati saja Indonesia sudah mulai dijadikan surga oleh mereka,” ujarnya.Jika ancaman itu dihapus, imbuh Henry, maka para sindikat narkotik akan berbondong-bondong datang untuk ”bermain”. Apalagi, mereka merupakan kelompok yang well organized crime, menggunakan modus operandi yang selalu berubah dan dana yang tidak terbatas.Berdasarkan catatan Gerakan Anti Narkotika, akibat dari aksi para pengedar itu, saat ini ada empat juta anak menjadi pecandu narkoba dan setiap harinya 40 orang meninggal. Artinya, dalam satu tahun tak kurang dari 12.000 orang meninggal. Itu belum termasuk dampak yang ditimbulkan, seperti kriminalitas dan membuat anak-anak muda menjadi idiot.Jika dilihat dari sisi ekonomi, setiap hari seorang pecandu narkoba bisa menghabiskan uang Rp 200 ribu. Jika dikalikan dengan empat juta pecandu, maka dalam sehari fulus yang tersedot bisa mencapai Rp 800 miliar. Sedangkan dalam setahun bisa sampai Rp 292 triliun. Sebuah angka yang luar biasa besar. ”Itulah yang dilakukan oleh para terpidana mati itu,” cetus Henry.Jika menggunakan alasan hak asasi manusia, kata Henry, mereka yang menjadi korban narkoba juga mempunyai hak untuk hidup dan tidak dihancurkan. Menurut Henry, para terpidana itu sudah mengetahui jika melakukan tindak pidana dimaksud maka ancaman hukumannya adalah mati. Artinya, ”Mereka sendiri sudah siap melangkah ke sana (hukuman mati), mengapa hukumannya mesti dihapuskan.”Apalagi, mengedarkan narkotik ibarat melakukan pembunuhan secara berencana. Tidak sedikit pecandu yang meninggal dunia atau hidupnya menjadi berantakan. Mereka ini juga mempunyai hak untuk hidup. Masalahnya, kata Henry, banyak yang tidak sadar terhadap bahaya peredaran narkotik itu.

76 PERSEN RESPONDEN SETUJU HUKUMAN MATISejatinya, tuntutan untuk menghapus keberadaan hukuman mati bukan kali ini saja terlontar. Pada awal tahun 2003, sejumlah aktivis hak asasi manusia juga menyuarakan hal sama. Salah satunya adalah Asmara Nababan, Direktur Eksekutif Lembaga Kajian Demokrasi dan Hak Asasi. Ketika itu, dia mempertanyakan apakah negara masih layak menghukum mati seseorang bila UUD sebagai sumber hukum tertinggi negara menegaskan bahwa hak untuk hidup tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun.Syahdan, tuntutan itu bahkan akan bergulir pada permohonan uji materiil, yang saat itu masih berada dalam wewenang Mahkamah Agung. Entah mengapa, pengajuan judicial review itu urung dilakukan.Sementara, hingga pertengahan tahun 2006 sejumlah negara di dunia telah menghapus ancaman hukuman mati. Persisnya, ada 129 negara, 88 di antaranya menghapus hukuman tersebut untuk semua kategori kejahatan, 11 negara menghapuskan hukuman mati untuk kategori kejahatan pidana biasa, dan 30 negara melakukan moratorium hukuman mati. Saat ini, masih ada 68 negara yang menerapkan praktik hukuman mati, termasuk Indonesia.

Page 8: hukuman mati

Selain di dalam UU tentang Narkotika, di Indonesia sejumlah undang-undang lain juga mencantumkan ancaman hukuman yang sama. Sebagai misal Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), Undang-Undang tentang Anti Terorisme dan Undang-Undang tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Saat ini, tercatat 134 terpidana menunggu dieksekusi mati. Sebanyak 37 orang adalah warga negara asing dan 97 warga negara Indonesia. Mereka umumnya terkait dengan kasus narkotik, terorisme, dan pembunuhan berencana.Menariknya, berdasarkan jajak pendapat yang dilakukan oleh sebuah harian nasional tiga tahun lalu, sebagian besar warga Indonesia tetap setuju dengan pencantuman ancaman hukuman itu. Persisnya, hasil poling itu menyebutkan 76 persen res-ponden tetap menyetujui penerapan hukuman mati sebagai tingkat hukuman maksimal yang dijatuhkan kepada terpidana kasus berat. Hanya 20 persen responden saja yang menolak penerapan jenis hukuman tersebut.Sementara, di mata Asmara Nababan, sejak adanya ratifikasi terhadap Kovenan Hak Sipil dan Politik pada November 2005, mestinya pemerintah terdorong untuk menghapus pemberlakuan hukuman mati. Pasalnya, di sana ditentukan bahwa hak hidup manusia tidak bisa dikurangi. ”Tapi nyatanya tidak ada langkah apa pun yang dilakukan oleh pemerintah,” ujarnya. ”Karena itu pengajuan uji materiil adalah jalan yang tepat,” imbuhnya.Asmara juga menepis anggapan bahwa pemberlakuan hukuman mati dalam kasus narkotik akan bisa meredam tindak pidana tersebut. Di sejumlah negara, penurunan peredaran bahan terlarang itu tidak disebabkan pemberlakuan hukuman mati. Tapi, tuturnya, lebih pada penegakan hukum. ”Aparat hukum di negara-negara itu tidak mudah disuap,” cetusnya.

Page 9: hukuman mati

Pro-Kontra Hukuman Mati Masih Berlanjut PDF Print22-06-2007Pendapat pro-kontra tentang hukuman mati di antara para ahli hukum masih berlanjut. Hal ini mengemuka dalam sidang pleno pengajuan judicial review UU No. 22 Tahun 1997 tentang Narkotika (UU Narkotika) khususnya tentang ketentuan hukuman mati terhadap UUD 1945, Rabu (20 /06); di ruang sidang MK yang mengagendakan mendengarkan keterangan ahli dari perguruan tinggi di Indonesia.

Dr. Didik Endro Purwo Laksono, S.H., MHum. dari Universitas Airlangga, Surabaya, menjelaskan bahwa secara umum fungsi hukum pidana antara lain untuk melindungi kepentingan negara, masyarakat, dan individu. Kejahatan narkotika telah melanggar ketiga kepentingan hukum tersebut.

Jika permohonan dikabulkan, lanjut Didik, konsekuensinya semua peraturan perundang-undangan tentang pidana mati harus dihapus termasuk untuk pelaku terorisme dan pelanggaran HAM lainnya. “Bagaimana tanggung jawab seluruh komponen bangsa ini jika pidana mati dicabut? Terorisme pun tentunya bisa semakin mengancam,” jelas Didik.

Senada dengan Didik, Dr. M. Arief Amrullah, S.H., MHum. dari Universitas Jember menjelaskan bahwa semua orang boleh membela diri ketika hak hidupnya diancam. Penjatuhan pidana mati oleh negara, menurut Arief, adalah pelanggaran HAM bila dilakukan sewenang-wenang atau tanpa dasar yang sah menurut hukum yang berlaku.

Sementara itu, Dr. Mahmud Mulyadi, S.H., M.Hum. dari Universitas Sumatera Utara menjelaskan bahwa terkait dengan Pancasila yang memuat nilai-nilai agama, hak hidup juga diakui sebagai hak setiap orang. “Hanya Allah yang berhak menentukan hidup-matinya seseorang. Tapi cara hidup dan matinya seseorang itu, hanya dia sendirilah yang menentukan. Artinya, bagi penjahat narkoba, memilih cara mati dengan hukuman mati,” urai Mahmud.

Dari segi kefilsafatan, Prof. Dr. Koento Wibisono dari Universitas Gadjah Mada menguraikan bahwa kadang kala kepastian hukum tidak memberikan keadilan. Namun bila kita memilih keadilan, keadilan siapa yang kita pilih? Bila memilih keadilan masyarakat, jelas Koento, maka masyarakat yang akan bahagia. “Bagi yang menolak diterapkannya hukuman mati, itu hanya mewakili segelintir orang saja yang telah memiliki keuntungan miliaran rupiah. Padahal tujuan para pendiri bangsa ini adalah untuk mencerdaskan kehidupan dan memakmurkan rakyat. Narkoba justru mendegradasi cita-cita tersebut,” tegas Koento.

Mengulang penjelasan Tim Revisi KUHP yang telah didatangkan pada persidangan sebelumnya, Prof. Dr. Mardjono Reksodiputro, S.H., M.A. dari Universitas Indonesia yang juga menjadi salah satu anggota Tim Revisi KUHP menjelaskan bahwa dalam RUU KUHP, pidana mati diatur dalam pasal tersendiri dengan kebijakan politik pemidanaannya adalah pidana mati sebagai pidana pokok yang bersifat khusus dan selalu diancamkan secara alternatif, dengan ketentuan alternatifnya adalah penjara seumur hidup atau penjara 20 tahun.

Page 10: hukuman mati

Namun, urai Mardjono, jika terpidana mati selama masa percobaan sepuluh tahun menunjukkan sikap dan perbuatan yang terpuji, maka pidana mati pun dapat diubah menjadi pidana seumur hidup atau penjara paling lama 20 tahun dengan keputusan Menteri Hukum dan HAM.Sedangkan, Prof. Dr. Bambang Poernomo, S.H. dari Universitas Gadjah Mada lebih mementingkan adanya program masyarakat anti narkoba secara intensif di seluruh pelosok tanah air dan tidak hanya sekedar menyelesaikan kasus narkoba lewat pengadilan yang menjatuhkan pidana mati.

Selanjutnya, Dr. Arif Gosita dari Universitas Indonesia menerangkan bahwa ketika pemerintah Belanda menghapus hukuman mati, justru pemerintah Hindia Belanda menerapkan hukuman mati demi ketertiban orang-orang pribumi. “Hukuman mati adalah viktimisasi manusia ke manusia. Menghapus hukuman mati adalah untuk menciptakan 4K, yaitu, kebenaran, keadilan, kerukunan, dan kesejahteraan rakyat. Bila tak terpenuhi 4K ini, maka lebih baik undang-undang direvisi,” ujar Gosita.

Prof. Dr. Ronald Z. Titahelu dari Universitas Pattimura menyatakan bahwa tidak ada kejahatan tanpa hukuman, tapi tidak perlu ada hukuman dalam bentuk hukuman mati karena, bila dikaitkan dengan hak kemerdekaan dan untuk menciptakan kesejahteraan umum sebagaimana tercantum dalam pembukaan UUD 1945, maka sanksi hukuman mati ini jelas telah menyalahi konsep di atas. “Setiap orang memiliki hak kemerdekaan untuk hidup termasuk untuk tidak dibunuh berdasarkan ketentuan perundang-undangan dan sistem hukum,” jelas Titahelu.

Serupa dengan Titahelu, Prof. Dr. Arief Sidharta dari Universitas Parahyangan menerangkan bahwa hukum pidana seharusnya berfungsi sebagai upaya resosialisasi bagi narapidana supaya bisa mengembalikan ketaatan seseorang ketika telah berada di tengah-tengah masyarakat. Hukuman mati, lanjut Sidharta, juga tidak terbukti menghasilkan efek jera daripada ketika menerapkan hukuman seumur hidup tanpa remisi. “Resiko lain dari pelaksanaan hukuman mati adalah, ketika di kemudian hari ternyata terbukti ada kesalahan dalam menjatuhkan putusan dan eksekusi mati telah dilakukan, maka pemerintah hanya bisa meminta maaf tanpa bisa mengembalikan nyawa si terpidana,” papar Sidharta.

Setelah mendengarkan keterangan Pemerintah, Badan Narkotika Nasional, Komnas HAM, para ahli yang diajukan oleh Pemohon maupun Pemerintah dan MKdalam perkara ini, para mantan anggota PAH I Badan Pekerja MPR dan keterangan Tim Revisi KUHP, pada agenda persidangan selanjutnya, MK akan mendengarkan kesimpulan para pihak sebelum memutus perkara ini. “Kami beri waktu dua minggu bagi Pemohon dan Pemerintah termasuk Pihak Terkait untuk menyerahkan kesimpulannya. Setelah itu, baru dijadwalkan lagi sidang pembacaan kesimpulan,” kata Ketua MK Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, S.H. sebelum mengakhiri sidang.

Page 11: hukuman mati

Pandangan Alkitab Tentang Hukuman Mati

A. Pro dan Kontra tentang penerapan hukuman mati.

Sebelum masuk dalam pokok permasalahannya, kita perlu mengerti dan memahami definisi hukum itu sendiri. Sampai saat ini, belum ada yang dapat merumuskan suatu definisi hukum yang dapat memuaskan semua pihak. Akan tetapi dari begitu banyak definisi hukum yang ada, secara umum kita dapat menarik batasan tentang pengertian hukum yakni suatu ketentuan atau peraturan (norma) yang mengatur tingkah laku manusia dalam pergaulan masyarakat, yang dibuat oleh badan-badan resmi yang berwajib dan bersifat memaksa serta adanya sanksi yang tegas yang akan disebut hukuman. Dari batasan ini dapat ditarik kesimpulan bahwa ciri dari hukum yaitu adanya perintah dan atau larangan yang harus ditaati oleh setiap orang;

Hukuman mati merupakan salah satu hukuman pokok yang berlaku di Indonesia dan diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Hukum Pidana adalah hukum yang mengatur pelanggaran dan kejahatan-kejahatan terhadap kepentingan umum, perbuatan yang mana diancam dengan hukuman berupa penderitaan atau siksaan. Hukuman mati biasanya dijatuhkan pada setiap orang yang telah melakukan kejahatan dengan cara menghilangkan nyawa orang lain dengan sengaja. Selain itu, hukuman mati juga dapat dijatuhkan pada jenis kejahatan narkotika dan terorisme. Hukuman mati di Indonesia merupakan produk pada zaman penjajahan Belanda.

Pro dan kontra masalah berlakunya hukuman mati sampai saat ini masih terus berlanjut, baik di Indonesia maupun di negara-negara lain. Beberapa negara seperti Israel maupun Belanda sendiri saat ini sudah tidak memberlakukan lagi hukuman mati. Berbagai alasan yang dikemukakan oleh beberapa pihak untuk tidak memberlakukan lagi hukuman mati antara lain :

1) Bertentangan dengan Undang Undang Dasar 1945 pasal 28 (1) yang berkaitan dengan hak setiap orang untuk hidup atau merupakan pelangggaran hak asasi manusia “bagi si penjahat”.

2) Berlakunya hukuman mati juga tidak serta merta mengurangi angka kejahatan.

3) Menambah satu pembunuhan lagi yaitu eksekusi atas diri si penjahat.

Akan tetapi apakah benar demikian bahwa hukuman mati merupakan pelanggaran terhadap hak asasi si penjahat? Lalu, begaimanakah dengan hak asasi orang atau manusia yang telah kehilangan nyawanya akibat ulah si penjahat tersebut?. Bagaimanakah pandangan Alkitab sendiri tentang hukuman mati?. Apakah institusi negara atau seseorang yang berada dibawah wewenang negara yang melakukan eksekusi terhadap diri si penjahat itu dapat dikategorikan sedang melakukan pembunuhan?

Page 12: hukuman mati

B. Alkitab sebagai sumber otoritas di dalam memberlakukan hukuman mati.

Allah adalah pencipta sedangkan manusia adalah ciptaan-Nya. Itu sebab, Allah mempunyai hak untuk menuntut manusia baik secara langsung maupun melalui tangan pemerintah di dunia ini untuk mentaati kehendak-Nya. Kehendak Allah merupakan kaidah yang harus dijalankan oleh setiap manusia. Dalam buku Katekismus Singkat Westminster bagian ke-2 menyatakan bahwa, “Kehendak Allah bagi manusia pertama kali dinyatakan di dalam hukum moral yang dirangkum secara ringkas dalam sepuluh perintah Tuhan (Hukum Taurat)“.[1] Salah satu dari sepuluh perintah Tuhan adalah perintah keenam mengenai “Jangan membunuh”. Oleh karena manusia diciptakan menurut gambar dan rupa Allah, maka manusia tidak boleh saling membunuh satu sama lain.

Dalam sebuah Pengakuan Iman Westminster yang dihasikan oleh para tokoh Reformasi Kristen di Inggris pada abad ke-17 dikatakan bahwa, “Perintah keenam ini mengajarkan pada kita untuk menghormati nyawa manusia karena manusia diciptakan seturut gambar Allah. Sangat penting untuk diperhatikan bahwa perintah ini melarang semua bentuk pembunuhan terencana (murder) dan bukan semua bentuk pembunuhan tak terencana (kill). Membunuh(kill) binatang untuk makanan merupakan tindakan yang dibenarkan. (Kejadian 9:3). Merupakan keharusan ilahi bahwa pembunuh (murderer) dieksekusi hukuman mati (Kejadian 9:6). Dan tindakan pembelaan diri baik secara pribadi maupun secara kelompok misalnya satu bangsa merupakan hal yang dibenarkan oleh Allah. (Keluaran 22:2; Roma 13:1).”[2]

Pengertian dari perintah keenam ini seringkali disalahtafsirkan, salah satunya mengenai pelaksanaan hukuman mati yang mengeksekusi atau menghilangkan nyawa seorang penjahat. Memang sebelum peristiwa air bah pada zaman Nuh, seperti kita ketahui bahwa pembunuhan pertama kali dilakukan oleh Kain terhadap Habel, adiknya, dimana darah Habel menuntut pembalasan dendam (Kejadian 4:10). Namun, karena Kain diciptakan menurut gambar dan rupa Allah, maka Allah tidak mengijinkan siapapun untuk membunuh Kain. (Kejadian 4:15). Akan tetapi setelah peristiwa air bah terjadi, Allah memberikan perintah dalam Kejadian 9:6, “Siapa yang menumpahkan darah manusia, darahnya akan tertumpah oleh manusia, sebab Allah membuat manusia itu menurut gambar-Nya sendiri”. Ayat ini menyatakan bahwa setiap manusia yang membunuh seseorang secara tidak adil adalah suatu pelanggaran yang harus mendapatkan hukuman. Itu sebab, pelaksanaan hukuman mati itu dibenarkan karena Allah sendiri yang memerintahkan-Nya dalam Alkitab.

Dalam Surat Roma 13:4 tertulis, “Karena pemerintah adalah hamba Allah untuk kebaikanmu. Tetapi jika engkau berbuat jahat, takutlah akan dia, karena tidak percuma pemerintah menyandang pedang. Pemerintah adalah hamba Allah untuk membalaskan murka Allah atas mereka yang berbuat jahat”. Dari ayat ini, jelas sekali bahwa Allah memberikan kuasa atau wewenang kepada negara untuk melaksanakan kehendak Allah. Itu sebab, hukuman mati yang dilaksanakan oleh negara bukanlah

Page 13: hukuman mati

bentuk pembunuhan. Justru sebaliknya, apabila suatu negara tidak menggunakan kuasa atau wewenang yang diberikan Allah untuk menegakkan hukum, maka pemerintah dari negara tersebut telah melanggar perintah dari Allah, artinya negara telah membiarkan atau “membantu” pembunuhan terhadap orang yang tidak bersalah. Jadi, eksekusi hukuman mati terhadap penjahat yang telah menghilangkan nyawa orang secara tidak adil itu dibenarkan dan negara atau orang yang melakukan pengeksekusian di bawah wewenang pemerintah bukanlah suatu tindakan pembunuhan atau dikategorikan sebagai pembunuh.

C. Kritik terhadap tiga alasan yang digunakan untuk menolak hukuman mati.

Bagi pihak-pihak yang kontra dan menolak pemberlakuan hukuman mati, penggunaan tiga alasan yang diungkapkan diatas adalah sangatlah tidak tepat. Pertama, jika hukuman mati merupakan pelanggaran hak asasi bagi diri si pembunuh, lalu bagaimana dengan hak asasi mereka atau orang yang dibunuh oleh si pembunuh (murderer)?. Bukankah di sini juga terjadi pelanggaran hak asasi terhadap orang yang dibunuh oleh si pembunuh (murderer) tersebut?. Kedua, hukuman mati memang tidak serta merta mengurangi angka kejahatan, akan tetapi dengan tidak adanya hukuman yang berat (hukuman mati) bagi mereka yang telah membunuh, mereka akan beranggapan bahwa perbuatan mereka hanya mendapatkan hukuman penjara maksimal seumur hidup yang tidak menghilangkan nyawa mereka. Fungsi dari pemberlakuan sebuah hukuman (dalam hal ini hukuman mati) adalah justru untuk menghambat dosa agar tidak berkembang lebih jauh lagi. Ketiga, jika hukuman mati hanya akan menambah satu pembunuhan lagi (eksekusi atas diri si penjahat), penulis mengkritisi pendapat tersebut dengan mengutip kalimat dari Katekismus Singkat Westminster bagian ke-2 yang menyatakan, “bahwa mereka sedang mencampuradukkan dua hal yang berbeda. Ketika seseorang mengambil nyawa orang lain secara tidak adil itu adalah pembunuhan. Tetapi ketika negara menghukum mati pembunuh yang bersalah itu bukanlah pembunuhan. Apabila negara tidak menghukum mati si pembunuh, maka negara gagal melindungi orang yang tidak bersalah karena faktanya sering kali pembunuh yang dibebaskan kembali melakukan pembunuhan.”[3]

Selain itu, bagi yang kontra pada pemberlakuan hukuman mati, mereka hanya melihat hati nurani mereka secara otonom, tanpa dikaitkan dengan Firman Tuhan. Mereka tidak melihat bagaimana Allah, Sang Pencipta, telah memberikan suatu ketentuan atau hukum melalui wakil atau hamba-Nya yakni negara untuk mengatur kehidupan seluruh umat manusia dimanapun Allah tempatkan. Mereka telah menafikan suatu ketetapan Firman Tuhan yang seharusnya ditaati dan menjadikan hati nurani mereka sebagai hamba. Setiap produk hukum yang dihasilkan oleh negara harus sesuai dengan kaidah hukum yang telah ditentukan oleh Allah, baik yang telah dinyatakan oleh Allah ke dalam tiap hati nurani manusia maupun yang tercermin di dalam Hukum Taurat. Dalam Pengakuan Iman Westminster dinyatakan bahwa, “Allah sajalah satu-satunya Tuhan atas hati nurani, dan Dia telah membebaskan hati nurani dari doktrin-doktrin dan perintah-perintah manusia yang di dalam segala sesuatunya bertentangan dengan Firman-

Page 14: hukuman mati

Nya atau yang di luar Firman-Nya, dan alasannya adalah bahwa semua kewajiban manusia telah terkandung dalam Sepuluh Perintah ini. Menempatkan hati nurani sebagai hamba terhadap kewajiban apapun yang tidak terkandung dalam Hukum Taurat Allah berarti menjadi hamba dari manusia dan bukan dari Allah”.[4]

D. Kesimpulan

Meskipun Allah telah menempatkan Hukum Taurat dalam hati nurani manusia, namun Allah tetap memberikan suatu ketentuan atau hukum yang dibentuk oleh wakil atau hamba-Nya. Hal ini oleh karena sifat keberdosaan manusia yang akan selalu berusaha keras untuk mengingkari hari nurani mereka. Itu sebab, negara perlu diberikan kuasa atau wewenang untuk membuat dan menegakkan suatu hukum terhadap setiap warga negaranya guna menghambat berkembangnya dosa secara lebih besar lagi. Dengan demikian, saya setuju dengan hukuman mati oleh karena hukuman mati sesuai dengan Firman Tuhan.

Saudara-saudari yang terkasih, memang saat ini kita tidak lagi berada dibawah Hukum Taurat karena Hukum Taurat sendiri telah tergenapi di dalam Kristus yang layak menjadi teladan hidup kita di dalam berwarga negara. Biarlah setiap kita tetap setia dan taat kepada kehendak-Nya dengan mentaati hukum yang telah Tuhan berikan melalui negara kita Indonesia. Ketaatan kita pada hukum yang berlaku di negara ini tidak hanya karena kita taat pada hal-hal yang terkandung di dalamnya saja, tetapi karena ada otoritas Allah, Sang Pencipta, yang bertahta atas hukum yang berlaku di negara kita.

Page 15: hukuman mati

JAKARTA, KOMPAS.com — Data Migrant Care menunjukkan, sedikitnya terdapat 345 orang warga negara Indonesia (WNI) yang terancam hukuman mati di negara tetangga, Malaysia. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, Minggu (22/8/2010) kemarin, menyatakan belum mengetahui data Migrant Care tersebut. Padahal, tak sedikit yang menjalani hukuman di penjara Malaysia sejak awal tahun 1990-an, tanpa ada kejelasan nasib.

Ketua DPR Marzuki Alie mengatakan, Indonesia, dalam hal ini Pemerintah, tak bisa melakukan intervensi atas hukum yang berlaku di negara lain. "Kalau di negara orang berlaku hukuman mati, apa kita mau intervensi? Hargailah hukum orang (negara) lain," kata Marzuki, Senin (23/8/2010) di Gedung DPR, Jakarta.

Lalu, perlindungan apa yang bisa diberikan Pemerintah terhadap warganya di luar negeri? "Kasusnya apa? Dilihat juga. Kita bicara sistem. Kebanyakan kan kasus TKI. Itu juga karena mereka tidak perform. Tidak cukup umur, tidak punya keahlian. Salah kita juga. Sampai di sana enggak bisa kerja, menyetrika baju orang terbakar, gimana majikan enggak marah? Orang kita juga yang salah, melanggar aturan," ujar politisi Partai Demokrat ini.

Dari ratusan WNI yang terancam hukuman mati, beberapa di antaranya terjerat kasus kepemilikan obat-obatan terlarang. Terakhir, Bustamam bin Bukhari dan Tarmizi Yakob harus menerima hukuman gantung setelah kasasi dua warga Aceh itu ditolak MA Malaysia. Mereka menjual 3 kg ganja kepada informan Kepolisian Malaysia pada awal April 1996.

"Sudah tahu di sana hukuman mati, ya jangan coba-coba bawa ganja. Narkoba itu sangat merugikan," katanya singkat.

Berbeda dengan Marzuki, Wakil Ketua DPR Pramono Anung justru menilai upaya Pemerintah dalam memberikan perlindungan kepada warga negara di luar negeri memang lemah. Dalam sejumlah kasus, Pemerintah tidak melakukan upaya apa pun untuk menyelamatkan warganya. Pemerintah, kata Pramono, seharusnya lebih pro-aktif.

"Tugas diplomasi internasional itu salah satunya melindungi masyarakat. Yang harus dilakukan, Menlu pro-aktiflah ketika mengetahui ada masalah yang menimpa warganya di negara lain," kata Pramono.

Terkait nasib ratusan WNI yang terancam hukuman mati, Pemerintah diminta segera mengirimkan nota kepada Pemerintah Malaysia. "Kita prihatin selama ini perlindungan kepada warga negara kita sangat lemah," ujarnya.

Page 16: hukuman mati

KAMIS 7 Desember 2000 lalu, Claude Howard Jones (60), salah satu tersangka kasus perampokan di Amerika Serikat dihukum mati dengan suntikan racun.

Saat itu, Jones sempat meminta agar dilakukan test DNA terhadap barang bukti rambut yang ditemukan di lokasi kejadian.namun permintaannya itu tidak dikabulkan oleh Gubernnur Texas saat ity, Goerge W Bush. Selang 10 tahun kemudian, terungkap bahwa test DNA pada sehelai rambut dimaksud bukan milik Jones dan ini menunjukkan bahwa Jones yang telah dieksekusi mati itu sebenarnya tidak bersalah.

Hasil tes DNA pada sehelai rambut itu dilakukan Mitotyping Technologies dan dipublikasikan majalah Observer Texas, 10 tahun kemudian. Sehelai rambut itu menjadi bukti penting dalam kasus itu. Seperti dimuat Brisbane Times Jumat 12 November 2010, Jones memang punya catatan kriminal panjang didakwa membunuh Allen Hilzendager dalam sebuah perampokan toko minuman keras diluar kota Point Blank.

Namun dalam tuntutan di pengadilan, Jones bersikukuh dia tidak melakukan penembakan terhadap korban tahun 1989 lalu itu. Dia menunggu di dalam mobil dan rekannya yang turun, melakukan perampokan dan menembak korban tiga kali.

Polisi lalu menemukan sehelai rambut di TKP dan saat diteliti, dengan ilmu forensik yang sangat terbatas saat itu, polisi memastikan sehelai rambut itu adalah milik Jones. Padahal penyelidikan rambut itu hanya dilakukan di bawah mikroskop tidak dilakukan test DNA.

Berikutnya, analisa di bawah mikroskop dikesampingkan berkat perkembangan uji DNA. Saat menunggu eksekusinya, Jones sempat meminta dilakukan tes DNA. Namun, permintaannya ditolak Gubernur Texas saat itu, George W Bush.

Dalam dokumen yang diperoleh Observer Texas dan Proyek Innocence menunjukkan bahwa: pengacara di kantor gubernur gagal untuk memberitahu Bush bahwa bukti DNA bisa membebaskan Jones. Sebab, Bush adalah pendukung dilakukannya tes DNA dalam kasus-kasus yang bermuara pada hukuman mati.

Meski ini bukan bukti kuat untuk membuktikan Jones tak bersalah, "Tapi rambut adalah satu-satunya bukti yang menghubungkan Jones di TKP. Ini menimbulkan keraguan serius tentang kesalahannya," demikian ditulis Observer.

Seorang hakim Texas saat ini sedang mempertimbangkan apakah Jones memang tidak bersalah, meski Jones kini telah meninggal di meja eksekusi.

Sebelumnya, Cameron Todd Willingham yang dieksekusi mati pada tahun 2004 karena dinyatakan terbukti menyeting kebakaran yang membunuh tiga anak perempuannya. Tetapi beberapa ahli terkenal mengatakan awal tahun ini bahwa ada cacat dalah kasus ini.

Page 17: hukuman mati

Hapus Hukuman Mati Dari Indonesia

Palu; Tidak lama lagi pelaksanaan Hukuman Mati atas Amrozy Cs akan dilaksanakan, secara tegas kami menentang praktek hukuman mati, dengan alasan apapun, kasus apapun, kami secara tegas menyatakan menolak praktek hukuman mati.

Termasuk hukuman mati yang dituduhkan kepada Amrozy Cs sebagai pelaku peledakan Bom Bali pada 2002. Terlepas dari apa yang mereka lakukan, menurut kami tidak ada landasan apapun yang dapat membenarkan praktek hukuman mati, apakah landasan agama, sosial, hukum dan bahkan keadilan.

Sikap ini dilandasi atas beberapa pertimbangan; Pertama, hukuman mati tidak relevan lagi dipraktekkan di Indonesia, karena justru telah melanggar nilai-nilai kemanusiaan yaitu Hak Untuk Hidup (Right To Life) dan Hak Fundamental (Non Derogable Rights), karena tidak ada landasan apapun yang dapat dibenarkan untuk mencabut Hak Untuk Hidup pemberian Tuhan Yang Maha Kuasa. Hak Untuk Hidup ini harus benar-benar dihargai;

Kedua, dalam berbagai kasus hukuman mati tidak membawa dampak positif maupun efek jera seperti yang diharapkan dari praktek hukuman mati. Ini bisa dilihat dalam kasus Narkoba, tiap tahunnya kejahatan Narkoba

tidak menunjukkan yang menurun, sekalipun banyak pelaku kejahatan Narkoba telah dikenakan hukuman mati. Ini berkaitan dengan penegakan hukum yang masih amburadul;

Ketiga, praktek hukuman mati di Indonesia telah mengalami sejarah yang buruk, Kasus Hukuman Mati Sengkon dan Karta tahun 1980 menjadi pelajaran pahit. Ironisnya, hukuman mati bersifat final yang tidak dapat ditinjau kembali, sehingga kesalahan dalam memutuskan hukuman dan mencabut nyawa orang yang tidak bersalah menjadi final, seperti yang dialami oleh Sengkon dan Karta.

Persoalan di Indonesia adalah persoalan social yang demikian rumit, masih terjadinya Korupsi Kolusi dan Nepotisme (KKN), reformasi Hukum di Indonesia masih belum menunjukkan sistem Peradilan yang independen, imparsial, aparatus yang bersih, hingga persoalan tindak kejahatan yang terjadi karena rendahnya tingkat pendidikan. Dalam hal ini Negara belum sepenuhnya dapat memenuhi hak-hak dasar warga Negara seperti Lapangan Pekerjaan, Pendidikan, Kesehatan yang memadai.

Oleh karena itu, tidak ada alasan untuk Pemerintah R.I untuk tetap mempraktekkan hukuman mati di Indonesia, serta segera menghapuskan Penerapan Hukuman Mati yang tercantum juga di 11 Undang Undang yang memiliki ancaman mati. (**)

Page 18: hukuman mati

Kejahatan narkotika tak termasuk dalam kejahatan serius yang patut dikenai sanksi hukuman mati, karena kejahatan narkoba tak secara langsung mengakibatkan kematian pada manusia.

Demikian keterangan melalui video conference dari Profesor Philip Alston, New York University School of Law, Amerika Serikat, yang diajukan sebagai Ahli oleh Pemohon pada perkara judicial review UU No. 22 Tahun 1997 tentang Narkotika (UU Narkotika) terhadap UUD 1945, Rabu 18 April 2007 pukul 10.00 WIB di ruang sidang Mahkamah Konstitusi (MK), dengan agenda mendengarkan keterangan Ahli dari Pemohon, Pemerintah, dan Badan Narkotika Nasional (BNN).

Alston juga memaparkan bahwa hukuman mati masih banyak diberlakukan di negara-negara asia, negara-negara amerika latin sudah mulai menghapus, sedangkan negara-negara eropa telah sama sekali menghapus hukuman itu. “Namun perlu tidaknya sanksi hukuman mati pada akhirnya dikembalikan pada kebijakan hukum negara-negara yang bersangkutan dengan tetap memperhatikan ketentuan hukum internasional yang ada,” jelasnya.

Keterangan lain, Ahli Pemohon Prof. Dr. J. E. Sahetapy, S.H., M.A. mengatakan bahwa di Belanda sendiri, hukuman mati sudah dihapus sejak Tahun 1870. Untuk itu, kenapa Wetboek van Strafrecht atau WvS (KUHP red.) masih harus dipertahankan. “Bila ingin mempertahankan hukuman mati, ganti saja nama Lembaga Pemasyarakatan itu yang sebenarnya berfungsi untuk memasyarakatkan kembali para narapidana,” jelas Sahetapy.

Sementara itu, Ahli Pemohon lainnya, Direktur Eksekutif Imparsial Rachland Nashidik mengatakan bahwa sebetulnya jenis dari apa yang disebut sebagai non derogable rights (hak yang tak bisa dikurangi dalam keadaan apapun) itu berbeda-beda. Di dalam International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR) ada tujuh jenis non derogable rights yang diakui. Di European Convention on Human Rights cuma ada empat yang sudah dimaktubkan di dalam ICCPR. Sementara di Amerika sendiri itu ada sebelas jenis hak yang diakui sebagai non derogable rights.

Lanjut Rachland, sebenarnya The core of rights (hak inti) dari non derogable rights itu ada empat hal, antara lain, pertama, right to life, hak untuk bebas dari penyiksaan dan perlakuan yang merendahkan martabat. Kedua, hak untuk tidak dianiaya. Ketiga, right to free from slavery atau hak bebas dari perbudakan atau diperhambakan. Keempat, hak untuk tidak diadili oleh post facto law atau hukum yang berlaku surut.

Di lain pihak, Ahli dari BNN KRH Henry Yosodiningrat, S.H. menyuguhkan data bahwa sekitar 40 orang mati setiap hari akibat narkoba. Dalam sehari, nominal transaksi narkoba yang terjadi mencapai Rp. 800 miliar karena 4 juta orang yang kecanduan setidaknya per hari rata-rata melakukan transaksi sebesar Rp. 200.000,00 sehingga total setahun bisa mencapai Rp. 292 triliun.

Tambah Henry, hampir seluruh lembaga pemasyarakatan, 70 persennya dihuni oleh pelaku kejahatan narkotika, baik itu pelaku maupun pengguna. “Kini, saya berani

Page 19: hukuman mati

menyatakan bahwa tak ada satupun kecamatan yang bebas narkotika. Di Jakarta, masih adakah satu RT yang bebas narkoba? Masih adakah SMU yang bebas narkoba? Saya berani jawab, tidak ada!” papar Henry.

Atas alasan itu, menurut Henry keberlakuan Pasal 28I UUD 1945 yang memuat ketentuan tentang non derogable rights, tidak boleh dipahami secara mandiri, melainkan dibatasi oleh ketentuan dalam Pasal 28J UUD 1945.

Sedangkan Ahli dari BNN Prof. Dr. Ahmad Ali, S.H., M.H. menyatakan bila dalam pelanggaran HAM berat dikenal adanya keadilan transisional yang di dalamnya terdapat restorative justice yang memungkinkan dilakukan rekonsiliasi, maka dalam kejahatan narkoba, tidak ada satupun negara yang melakukan rekonsiliasi dengan pengedar narkoba.

Menanggapi pernyataan di atas, Rachland Nashidik mengemukakan bahwa ketentuan mengenai non derogable rights di tiap-tiap negara memang berbeda. ”Mungkin dalam amandemen konstitusi berikutnya, diusulkan saja untuk memasukkan hak bebas dari narkotika supaya negara nanti memiliki kewajiban untuk melindungi hak warga negara dari kejahatan itu,” jelasnya.Demi memperoleh putusan yang tepat, pro dan kontra argumentasi hukum mengenai hukuman mati ini masih akan dilanjutkan pada persidangan berikutnya yang masih akan mendengarkan keterangan ahli lain yang diajukan oleh para pihak. ”Biarlah forum ini tidak menghasilkan menang kalah begitu saja, bukan by product, tapi prosesnya ini menjadi sesuatu yang penting untuk kita sampai kepada putusan yang tepat, di samping proses ini juga akan mempunyai fungsi pendidikan tersendiri, pendidikan hukum dan pendidikan HAM bagi kita semua,” jelas Ketua Majelis Hakim Konstitusi Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, S.H. sebelum menutup persidangan.

Posted by BKBH UMM at 6:57 PM

Page 20: hukuman mati

Hari anti Hukuman Mati: Hukuman Mati Tidak Mencegah Kejahatan PDF Cetak E-mail

[Image Source: www.romokoko.com]

Image Source: www.romokoko.comJakarta, Kompas - Hukuman mati terbukti tidak mampu mencegah terjadinya kejahatan. Oleh karena itu, pandangan bahwa hukuman mati perlu diterapkan guna mencegah pembunuhan dan kejahatan serius lainnya tidak bisa diterima.

Demikian disampaikan Duta Besar Inggris untuk Indonesia Martin Hatfull, Jumat (8/10), saat menyampaikan pidato kunci pada diskusi publik ”Menggugat Hukuman Mati di Indonesia”. Diskusi digelar Imparsial di Jakarta dalam rangka menyambut Hari Antihukuman Mati Sedunia pada 10 Oktober.

”Sejumlah studi akademis gagal membuktikan bahwa hukuman mati dapat mencegah kejahatan yang lebih banyak,” ujar Hatfull. Ia mencontohkan Amerika Serikat, salah satu negara yang masih menerapkan hukuman mati. ”AS merupakan salah satu negara maju dengan tingkat pembunuhan paling tinggi di dunia dan tingkat pembunuhan paling tinggi berada di selatan AS, wilayah yang melakukan eksekusi hukuman mati terbanyak,” kata Hatfull.

Ia menjelaskan, Inggris menentang hukuman mati karena merusak peradaban dan martabat manusia. Hukuman mati juga bersifat tidak bisa dikoreksi. Padahal, tidak ada sistem peradilan yang sempurna.

Terakhir tahun 1964

Eksekusi terakhir di Inggris terjadi pada 1964. Setahun kemudian hukuman mati untuk kasus pembunuhan dihapus. ”Pada 1998, hukuman mati dihapuskan secara menyeluruh untuk semua bentuk kejahatan,” jelasnya.

Saat berbicara dalam diskusi, pengajar Fakultas Filsafat Universitas Indonesia, Rocky Gerung, mengungkapkan, pernyataan bahwa hukuman mati bertujuan untuk mencegah kejahatan memiliki dasar logika yang absurd. Bagaimana mungkin potensi kejahatan yang akan dilakukan oleh orang lain pada masa mendatang dibebankan pada satu orang lewat pemberian hukuman mati.

Page 21: hukuman mati

“hukum rajam” ketegori Muslim. Assalamualaikum Warahmatullah Wabarakatuh

Ustadz, apakah yang di maksud dengan hukum rajam? Apakah benar hukuman ini hanya berlaku bagi wanita? Mohon penjelasannya, terima kasih.

Wassalam,

Herlina Melani

Jawaban

على والسالم والصالة لله الحمد الرحيم الرحمن الله وبركاتهبسم الله ورحمة عليكم السالموبعد ، الله رسول

Hukuman rajam adalah hukuman mati dengan cara dilempari batu. Cara menghukum seperti ini tidak dilakukan kecuali dalam kasus yang sangat tercela dan hanya bila penerima hukuman benar-benar terbukti dengan teramat meyakinkan melakukan sebuah larangan yang berat.

Hukuman rajam sebenarnya sudah ada sejak para nabi dan rasul di masa lalu sebelum era umat nabi Muhammad SAW. Hukuman seperti itu berlaku secara resmi di dalam syariat Yahudi dan Nasrani . Dan tidak dikutuk umat terdahulu kecuali karena mereka meninggalkan hukum dan syariat yang telah Allah tetapkan.

%وَن# &ي )اِن ب و#الر) َه#اُد(وا )ِذ&ين# &ل ل #م(وا ل س.# َأ )ِذ&ين# ال %وَن# &ي )ب الَّن &ه#ا ب (م( #ح.ك ي (ور1 و#ِن َه(د3ى ِف&يه#ا اة# )و.ر# الَّت #ا .َّن ل .َز# ِن

# َأ )ا &ِن ِإو#ال و.َن& و#اْخ.َش# )اَس# الَّن و(ا #ْخ.َش# ت ِف#ال# ه#د#اَء# ُش( .ه& #ي ع#ل (وا #اِن و#ك )ه& الل #اِب& &َّت ك ِم&ن. (ح.ِف&ُظ(وا َّت اس. &م#ا ب #ار( ب ح.

# و#اَألوَن# #اِف&ر( .ك ال َه(م( &َك# #ِئ ول

) ِف#ُأ )ه( الل ل# .َز# ِن# َأ &م#ا ب (م. #ح.ك ي #م. ل و#ِم#ن. &يال َق#ل 3ا #م#َّن َث &ي #ات &آي ب وا #ر( َّت #َش. ت

Sesungguhnya Kami telah menurunkan Kitab Taurat di dalamnya petunjuk dan cahaya , yang dengan Kitab itu diputuskan perkara orang-orang Yahudi oleh nabi-nabi yang menyerah diri kepada Allah, oleh orang-orang alim mereka dan pendeta-pendeta mereka, disebabkan mereka diperintahkan memelihara kitab-kitab Allah dan mereka menjadi saksi terhadapnya. Karena itu janganlah kamu takut kepada manusia, takutlah kepada-Ku. Dan janganlah kamu menukar ayat-ayat-Ku dengan harga yang sedikit. Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir.

Allah SWT kemudian menghapus berbagai macam syariat yang pernah diturunkan-Nya kepada sekian banyak kelompok umat kemudian diganti dengan satu syariat saja, yaitu yang diturunkan kepada umat Muhammad SAW. Namun ternyata Allah SWT masih memberlakukan hukuman rajam. Walaupun dengan pendekatan yang jauh lebih moderat dan manusiawi.

Secara nalar aqidah, dengan tetap diberlakukannya hukuman rajam oleh Allah pada syariat umat Muhammad SAW, kita bisa meyakini bahwa bentuk hukuman seperti ini

Page 22: hukuman mati

memang dalam kasus-kasus tertentu masih diperlukan. Meski umat manusia di abad 20 ini seringkali menginginkan dihapuskannya hukuman mati, namun ternyata hukuman mati itu masih diperlukan, bahkan di beberapa negara yang maju, masih berlaku dan tetap terjadi sampai sekarang.

Singapura yang sering dijadikan kiblat kemoderenan di Asia Tenggara, hari ini masih saja menghukum mati orang-orang yang dianggap melakukan pelanggaran berat. Demikian juga Amerika yang sekarang mengangkat dirinya sebagai polisi dunia dan simbol HAM, masih tetap memberlakukan hukuman mati. Maka kalau Allah SWT memberlakukan hukuman rajam kepada umat Islam, tentu sangat bisa diterima logika. Jangankan untuk abad ke-7 saat diberlakukan di dalam Al-Quran, bahkan negara-negara modern pada abad 21 sekarang ini masih memberlakukan hukuman mati.

Dan tentu sangat logis bila umat Islam dengan latar belakang kepatuhan dan ketundukan kepada originalitas agamanya, pada hari ini masih memberlakukan hukuman rajam buat pemeluk agamanya. Tidak ada cela dan cacat dalam pelaksanaan hukuman seperti itu, apalagi kalau dibandingkan dengan tragedi pembantaian massal yang dilakukan oleh negara maju terhadap dunia ketiga, maka pelaksanaan hukuman rajam buat pelanggar kesalahan berat menjadi tidak ada artinya.

Bandingkan dengan angka-angka pembantaian rakyat Vietnam, Afghanistan, Kamboja, Bosnia, Shabra Shatila dan belahan muka bumi lainnya. Sungguh apa yang dilakukan oleh super power dunia itu jauh lebih kejam dan sadis ketimbang hukuman rajam, yang hanya menyangkut satu orang saja. Itupun pelanggar sulisa berat, yaitu orang yang berzina dimana dia pernah menikah sebelumnya.

Dalil Tentang Kewajiban Merajam Pezina

Para ulama sepakat menyatakan bahwa pelaku zina muhshan dihukum dengan hukuman rajam, yaitu dilempari dengan batu hingga mati. Dalilnya adalah hadits Rasulullah SAW secara umum yaitu :

Dari Masruq dari Abdillah ra. berakta bahwa Rasulullah SAW bersabda, Tidak halal darah seorang muslim kecuali karena salah satu dari tiga hal : orang yang berzina, orang yang membunuh dan orang yang murtad dan keluar dari jamaah.

Selain itu, sesungguhnya hukuman rajam ini pun pernah diperintahkan di dalam Al-Quran, namun lafadznya dihapus tapi perintahnya tetap berlaku. Adalah khalifah Umar bin Al-Khattab yang menyatakan bahwa dahulu ada ayat Al-Quran yang pernah diturunkandan isinya adalah :

البَّتة ِفارجموَهما زِنيا ِإذا والَشيْخة الَشيخ

Orang yang sudah menikah laki-laki dan perempuan bila mereka berzina, maka rajamlah…

Page 23: hukuman mati

Namun lafadznya kemudian dinasakh , tetapi hukumnya tetap berlaku hingga hari kamat. Sehingga bisa kita katakan bahwa syariat rajam itu dilandasi bukan hanya dengan dalil sunnah, melainkan dengan dalil Al-Quran juga.

Zina Adalah Kejahatan Berat dan Sangat Berbahaya

Berbeda dengan pandangan para penganut hedonisme dan pelaku pola hidup permisif sekarang ini, di mana mereka beranggapan bahwa zina merupakan kebutuhan biologis biasa, sehingga boleh-boleh saja dilakukan asal tidak ketahuan, Allah Tuhan Yang Menciptakan manusia justru menegaskan bahwa zina adalah kejahatan tingkat tinggi dan sangat berat ancamannya. Sehingga hukumannya pun harus dibunuh, yaitu bagi mereka yang pernah menikah sebelumnya, atau dicambuk 100 kali bagi mereka yang belum pernah menikah sebelumnya.

Dan hak untuk mengatakan suatu tindakan itu adalah kejahatan adalah hak preogratif Sang Maha Pencipta. Bukan hak para seniman, atau ahli hukum, atau pun manusia lainnya. Hak itu adalah hak Tuhan sepenuhnya. Persis sebagaimana ketika Tuhan melarang Adam dan istrinya mendekati pohon. Pelangaran atas larangan itu berakibat fatal sehingga Adam as. dikeluarkan ke bumi.

Maka meski 6 milyar manusia mengatakan bahwa zina itu bukan pelanggaran berat, tetapi Tuhan Sang Maha Pencipta justru mengatakan sebaliknya. Bahwa zina adalah sebuah kekejian yang nyata, terkutuk dan terlaknat. Pelakunya berhak untuk dihukum seberat-beratnya, yaitu dengan cara dirajam. Berartidiakhiri ajalnya dan harus segera bertemu kembali kepada Pencipta-Nya, untuk mempertanggung-jawabkan perbuatannya.

Semua itu adalah isi kitab suci buat semua umat manusia, baik Zabur, Taurat, Injil maupun Al-Quran. Semua kitab suci yang turun dari langit sepakat bulat mengatakan bahwa zina adalah kejahatan tingkat tinggi dan pelakunya wajib dihukum mati .

Rajam dalam Syariat Islam

Rajam adalah hukuman mati dengan cara dilempar dengan batu. Karena beratnya hukuman ini, maka dalam syariat yang Allah turunkan untuk umat Muhammad SAW, sebelum dilakukan dibutuhkan syarat dan proses yang cukup pelik. Syarat itu adalah terpenuhinya kriteria ihshah yang terdiri dari rincian sebagai berikut :

Islam

Baligh

Akil

Merdeka

Iffah

Page 24: hukuman mati

Tazwij

Maksudnya adalah orang yang pernah bersetubuh dengan wanita yang halal dari nikah yang sahih. Meski ketika bersetubuh itu tidak sampai mengeluarkan mani. Ini adalah yang maksud dengan ihshan oleh Asy-Syafi`iyah. Bila salah satu syarat di atas tidak terpenuhi, maka pelaku zina itu bukan muhshan sehingga hukumannya bukan rajam.

Penetapan Vonis Zina

Dalam syariat Islam, pelaksanaan rajam bisa dilakukan namun harus ada ketetapan hukum yang sah dan pasti dari sebuah mahkamah syariah atau pengadilan syariat. Dan semua itu harus melalui proses hukum yang sesuai pula dengan ketentuan dari langit yaitu syariat Islam. Allah telah menetapkan bahwa hukuman zina hanya bisa dijatuhkan hanya melalui salah satu dari dua cara :

a. Ikrar atau pengakuan dari pelaku

Pengakuan sering disebut dengan `sayyidul adillah`, yaitu petunjuk yang paling utama. Karena pelaku langsung mengakui dan berikrar di muka hakim bahwa dirinya telah berzina, maka tidak perlu adanya saksi-saksi.

Di zaman Rasulullah SAW, hampir semua kasus perzinahan diputuskan berdasarkan pengakuan para pelaku langsung. Seperti yang dilakukan kepada Maiz dan wanita Ghamidiyah.

Teknis pengakuan atau ikrar di depan hakim adalah dengan mengucapkannya sekali saja. Hal itu seperti yang dikatakan oleh Imam Malik ra., Imam Asy-Syafi`i ra., Daud, At-Thabarani dan Abu Tsaur dengan berlandaskan apa yang dilakukan oleh Rasulullah SAW kepada pelaku zina. Beliau memerintahkan kepada Unais untuk mendatangi wanita itu dan menanyakannya,`Bila wanita itu mengakui perbuatannya, maka rajamlah`. Hadits menjelaskan kepada kita bahwa bila seorang sudah mengaku, maka rajamlah dan tanpa memintanya mengulang-ulang pengakuannya.

Namun Imam Abu Hanifah ra. mengatakan bahwa tidak cukup hanya dengan sekali pengakuan, harus empat kali diucapkan di majelis yang berbeda. Sedangkan pendapat Al-Hanabilah dan Ishaq seperti pendapat Imam Abu Hanifah ra., kecuali bahwa mereka tidak mengharuskan diucapkan di empat tempat yang berbeda.

Bila orang yang telah berikrar bahwa dirinya berzina itu lalu mencabut kembali pengakuannya, maka hukuman hudud bisa dibatalkan. Pendapat ini didukung oleh Al-Hanafiyah, Asy-Syafi`iyyah dan Imam Ahmad bin Hanbal ra. Dasarnya adalah peristiwa yang terjadi saat eksekusi Maiz yang saat itu dia lari karena tidak tahan atas lemparan batu hukuman rajam. Lalu orang-orang mengejarnya beramai-ramai dan akhirnya mati. Ketika hal itu disampaikan kepada Rasulullah SAW, beliau menyesali perbuatan orang-orang itu dan berkata,

Page 25: hukuman mati

`Mengapa tidak kalian biarkan saja dia lari?`.

Sedangkan bila seseorang tidak mau mengakui perbuatan zinanya, maka tidak bisa dihukum. Meskipun pasangan zinanya telah mengaku.

Dasarnya adalah sebuah hadits berikut :

Seseorang datang kepada Rasulullah SAW dan berkata bahwa dia telah berzina dengan seorang wanita. Lalu Rasulullah SAW mengutus seseorang untuk memanggilnya dan menanyakannya, tapi wanita itu tidak mengakuinya. Maka Rasulullah SAW menghukum laki-laki yang mengaku dan melepaskan wanita yang tidak mengaku.

b. Adanya Saksi yang Bersumpah di Depan Mahkamah

Ketetapan bahwa seseorang telah berzina juga bisa dilakukan berdasarkan adanya saksi-saksi. Namun persaksian atas tuduhan zina itu sangat berat, karena tuduhan zina sendiri akan merusak kehormatan dan martabat seseorang, bahkan kehormatan keluarga dan juga anak keturunannya. Sehingga tidak sembarang tuduhan bisa membawa kepada ketetapan zina. Dan sebaliknya, tuduhan zina bila tidak lengkap akan menggiring penuduhnya ke hukuman yang berat.

Syarat yang harus ada dalam persaksian tuduhan zina adalah :

1. Jumlah saksi minimal empat orang. Allah berfirman,`Dan terhadap wanita yang mengerjakan perbuatan keji, hendaklah ada empat orang saksi diantara kamu yang menyaksikan`..

2. Bila jumlah yang bersaksi itu kurang dari empat, maka mereka yang bersaksi itulah yang harus dihukum hudud. Dalilnya adalah apa yang dilakukan oleh Umar bin Al-Khattab terhadap tiga orang yang bersaksi atas tuduhan zina Al-Mughirah. Mereka adalah Abu Bakarah, Nafi` dan Syibl bin Ma`bad.

3. Para saksi ini sudah baligh semua. Bila salah satunya belum baligh, maka persaksian itu tidak syah.

4. Para saksi ini adalah orang-orang yang waras akalnya.

5. Para saksi ini adalah orang-orang yang beragama Islam.

6. Para saksi ini melihat langsung dengan mata mereka peristiwa masuknya kemaluan laki-laki ke dalam kemaluan wanita yang berzina.

7. Para saksi ini bersaksi dengan bahasa yang jelas dan vulgar, bukan dengan bahasa kiasan.

Page 26: hukuman mati

8. Para saksi melihat peristiwa zina itu bersama-sama dalam satu majelis dna dalam satu waktu. Dan bila melihatnya bergantian, maka tidak syah persksian mereka.

9. Para saksi ini semuanya laki-laki. Bila ada salah satunya wanita, maka persaksian mereka tidak syah.

Di luar kedua hal diatas, maka tidak bisa dijadikan dasar hukuman rajam, tetapi bisa dilakukan hukuman ta`zir karena tidak menuntut proses yang telah ditetapkan dalam syariat secara baku.

Dan syarat yang paling penting adalah bahwa perbuatan zina itu dilakukan di dalam wilayah hukum yang secara formal menerapkan hukum Islam. Syarat lainnya adalah bahwa hukuman zina itu hanya boleh dilakukan oleh pemerintah yang berdaulat secara resmi. Bukan dilakuakn oleh orang per orang atau lembaga swasta. Ormas, yayasan, pesantren, pengajian, jamaah majelis taklim, perkumpulan atau pun majelis ulama tidak berhak melakukannya, kecuali ada mandat resmi dari pemerintahan yang berkuasa.

Sehingga semua kasus zina di Indonesia ini, tidak ada satu pun yang bisa diterapkan hukum rajam, sebab secara formal pemerintah negara ini tidak memberlakukan hukum Islam. Tentu saja perbuatan itu tetap harus dipertanggung-jawabkan di mahkamah tertinggi di alam akhirat nanti. Baik bagi si pelaku zina maupun di penguasa yang tidak menjalankan hukum Allah.

PELAKSANAAN HUKUMAN MATI DI INDONESIA & DI BERBAGAI NEGARA SEBAGAI NEGARA   HUKUM January 19, 2010

Filed under: artikel,pelaksanaan hukuman mati di berbagai negara — zackyubaid @ 4:43 am Tags: PELAKSANAAN HUKUMAN MATI DI INDONESIA & DI BERBAGAI NEGARA SEBAGAI NEGARA HUKUM

Pada tahun 2005, setidaknya 2.148 orang dieksekusi di 22 negara, termasuk Indonesia. Dari data tersebut 94% praktek hukuman mati hanya dilakukan di empat negara: Iran, Tiongkok, Saudi Arabia, dan Amerika Serikat.Beberapa saat yang lalu pun, beberapa tersangka yang telah terbukti sebagai pelaku pemboman di Bali dieksekusi mati sebagai hukuman atas tindakannya. Ini merupakan satu peristiwa yang menjadi salah satu contoh kasus hukuman mati yang menjadi perbincangan oleh kalangan yang mendukung adanya hukuman mati dan yang menolak adanya hukuman mati. Orang-orang tersebut, masing-masing memiliki alasan yang diyakininya kuat.Hingga Juni 2006 hanya 68 negara yang masih menerapkan praktek hukuman mati, termasuk Indonesia, dan lebih dari setengah negara-negara di dunia telah menghapuskan praktek hukuman mati. Ada 88 negara yang telah menghapuskan hukuman mati untuk seluruh kategori kejahatan, 11 negara menghapuskan hukuman mati untuk kategori kejahatan pidana biasa, 30 negara negara malakukan moratorium (de facto tidak menerapkan) hukuman mati, dan total 129 negara yang melakukan abolisi (penghapusan)

Page 27: hukuman mati

terhadap hukuman mati.Pro dan kontra tetag hukuman mati ini terus berlanjut hingga sekarang. tidak hanya terjadi di dunia sekuler, di dalam kekristenan pun hal ini sering menjadi pertanyaan, khususnya bagi orang-orang awam. Apakah pemerintah memiliki otoritas untuk melakukannya sedangkan Tuhan yang berhak mencabut nyawa seseorang? Ini adalah salah satu pertanyaan dari sekian banyak pertanyaan yang ditujukan pada tindak hukuman mati. Khususnya penulis teringat akan pertanyaan seorang remaja yang mengatakan apakah tidak berdosa melakukan hukuman mati bagi mereka yang tersangka melakukan kejahatan?Melalui paper ini, penulis berusaha untuk memaparkan tentang hukuman mati di Indonesia sebagaimana Indonesia adalah negara hukum, dan khususya menyoroti hukuman mati dalam perspektif kekristenan sendiri. Yang mana juga menjadi pro dan kontra dalam sebagian kelompok. Apa yang dikatakan Alkitab tentang hukuman mati, inilah yang juga akan diutarakan penulis dalam paper ini.HUKUM DAN NEGARADEFINISI HUKUMAN MATIHukum adalah undang-undang, namun secara tradisional hukum lebih–lebih dipandang sebagai bersifat idiil atau etis. Karena itu, pada dasarnya pengertian hukum tidak selalu sama dan terus berubah bersama berjalanya waktu dari zaman ke zaman.Selama abad pertengahan tolak ukur segala pikiran orang adalah kepercayaan bahwa aturan semesta alam telah ditetapkan oleh Allah Sang Pencipta. Hukum yang dibentuk mendapat akarnya dalam agama, atau secara langsung atau secara tidak langsung. Pengertian hukum yang berbeda ini ada konsekuensinya dalam pandangan terhadap hukum alam. Para tokoh kristiani cenderung untuk mempertahankan hukum alam sebagai norma hukum.Sejak abad pertengahan dalam transisi filsafat hukum lima jenis hukum tersebut:• Hukum abadi (lex aeterna): rencana Allah tentang aturan semesta alam.• Hukum ilahi positif (lex divina positiva): hukum Allah yang terkandung dalam wahyu agama, terutama mengenai prinsip-prinsip keadilan.• Hukum alam (lex naturalis): hukum Allah sebagaimana nampak dalam aturan semesta alam melalui akal budi manusia.• Hukum bangsa-bangsa (ius gentium): hukum yang diterima oleh semua atau kebanyakan bangsa.• Hukum positif (lex humana positiva): hukum sebagaimana ditentukan oleh yang berkuasa; tata hukum negara.Bilamana pengertian hukum tradisional lebih-lebih bersifat idiil, pengertian hukum pada zaman modern (dari abad ke-15 sampai abad ke-20) lebih-lebih bersifat empiris. Di mana telaan tidak lagi diletakkan pada hukum sebagai suatu tatanan ideal (hukum alam), melainkan pada hukum yang dibentuk manusia sendiri, baik itu raja maupun rakyat yaitu hukum positif, tata hukum negara dan dalam membentuk tata hukum makin bayak dipikirkan tentang fakta-fakta empiris, yakni kebudayaan bangsa dan situasi sosio-ekonomis masyarakat yang bersangkutan..Pada penerapannya, terjadi ketidak-jelasan akan pemikiran hukum.Pada umumnya terdapat pendapat bahwa pada penerapa hukum akan sangat ditentukan oleh manusia atau pada saat ini dikatakan sebagai sumber daya manusia; kedua, terletak pada lembaga yang melaksanakan sistem hukum; ketiga, menurut hemat saya, terutama bagi para sarjana

Page 28: hukuman mati

hukum, adalah pertimbangan yang dibuat oleh hakim sebagai putusan pengadilan.Banyak hal yang membuat ketidak-jelasan bahkan ketika suatu negara dikatakan sebagai negara hukum berarti hukum berlaku terhadap siapapun dan bukan hanya terhadap rakyat atau penduduk, tetapi juga terhadap mereka yang memiliki kekuasaan dan pejabat tidak boleh mengatur atau memaksa hukum yang berlaku. Penerapan kepastian hukum oleh pengadilan berdiri mandiri dan lepas dari kehendak pemerintah untuk menciptakan disiplin atau stabilitas nasional.RELASI ANTARA HUKUM DAN NEGARABangsa Indonesia mengambil posisi sebagai negara hukum, namun sering kali tidak ada kepastian dengan hukum. Dalam keputusan suatu symposium mengenai negara Hukum pada tahun 1966 terdapat suatu kesimpulan bahwa:Sifat negara hukum itu ialah di manaalat perlengkapannya hanya dapat bertindak menurut dan terikat kepada aturan-aturan yang telah ditentukan lebih dahulu oleh alat-alat perlengkapan yag dikuasakan utuk mengadakan aturan itu atau singkatnya disebut prinsip “rule of law”.

Ciri-ciri khas suatu Negara Hukum adalah:a. pengakuan dan perlindungan hak-hak azasi manusia yang mengandung persamaan dalam bidag politik, hukum, social, ekonomi dan kebudayaan;b. peradilan yang bebas dan tidak memihak serta tidak dipengaruhi oleh semua kekuasaan atau kekuatan apapun juga.c. Legalitas dalam arti dalam segala bentuknya.Sedangkan konsep negara hukum bagi Indonesia adalah berdasarkan pancasila di mana di dalamnya terdapat hukum Tuhan, dan hukum etika. Dan juga yang mana di dalam pancasila itu sendiri telah mencakup akan aturan hubungan manusia dengan Tuhan, manusia dengan sesama baik dalam hak asasi manusia, maupun keadilan.Paham negara hukum berbasis pada keyakinan banyak orang bahwa kekuasaan suatu pemerintahan negara harus dijalankan di atas dasar hukum yang baik dan yang adil. Berbicara tentang kekuasaan pemerintah, Dalam bukunya mengenai negara (Les Six livers de la Republique, enam kitab prihal Republik, 1576), Jean Bodin mengemukakan konsepya tentang kedaulatan. Di mana kedaulatan itu diartikannya sebagai kekuasaan tertinggi dari raja dalam negara, yang merupakan suatu kekuasaan yang tinggal dan tidak dapat dibagi-bagi serta tidak terbatas lingkungan, tujuan dan waktu. Ajaran Bodin itu menghasilkan tesis bahwa kekuasaan tertinggi dalam negara merupakan sumber eksklusif dan asli daripada hukum positif.

HUKUMAN MATIDalam keberadaan Indonesia sebagai negara hukum, Indonesia berdiri berdasarkan hukum yang ada. Dalam pelaksanaannya sebagai negara hukum, banyak pro dan kontra ketika negara hukum ini berusaha menegakkan hukum dan menjatuhkan hukuman mati bagi terdakwa.Hukuman mati bukanlah sebuah hukuman yang diberikan kepada tersangka di mana tersangka pelaku kejahatan tersebut dihukum dengan dipenjara seumur hidupnya hingga mati. Batas hukuman mati adalah penghilangan nyawa seseorang yang telah melakukan kesalahan yang telah terbukti bersalah dengan keputusan pengadilan akan hukuman tersebut. Karena tidak semua kejahatan mendapat hukuman mati. Namun syarat dan

Page 29: hukuman mati

kententuan seperti apa yang menyatakan seseorang harus dihukum mati.Indonesia merupakan salah satu negara yang memberlakukan hukuman mati sebagai salah satu hukuman dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Walaupun amandemen kedua konstitusi UUD ’45, pasal 28 ayat 1, menyebutkan: “Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di depan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun”, tapi peraturan perundang-undangan dibawahnya tetap mencantumkan ancaman hukuman mati. Dan di Indonesia sudah puluhan orang dieksekusi mati mengikuti sistem KUHP peninggalan kolonial Belanda. Bahkan selama Orde Baru korban yang dieksekusi sebagian besar merupakan narapidana politik.Beberapa contoh kasus hukuman mati yang telah dilakukan di Indonesia:1. Sementara itu pada tanggal 20 Maret 2005 pukul 01.15 WIB dini hari di suatu tempat rahasia di Jawa Timur, Astini (perempuan berusia 50 tahun) –terpidana hukuman mati karena kasus pembunuhan- dieksekusi dalam posisi duduk oleh 12 anggota regu tembak -6 di antaranya diisi peluru tajam- Brimob Polda Jatim dari jarak 5 meter Eksekusi ini mengakhiri masa penantian Astini yang sia-sia setelah seluruh proses hukum untuk membatalkan hukuman mati telah tertutup ketika Presiden Megawati menolak memberikan grasi pada tanggal 9 Juli 2004 Astini merupakan orang pertama yang dieksekusi di Indonesia pada tahun 2005.2. Orang kedua adalah Turmudi bin Kasturi (pria, 32 tahun) di Jambi pada tanggal 13 Mei 2005 Turmudi dihukum mati karena melakukan pembunuhan terhadap 4 orang sekaligus di Jambi pada tanggal 12 Maret 1997. Sama dengan Astini, Turmudi mengakhiri hidupnya di hadapan 12 personel Brimob Polda Jambi.3. Praktek eksekusi mati terjadi lagi di tahun 2006 dan kali ini efeknya jauh lebih buruk. Fabianus Tibo, Dominggus da Silva, dan Marinus Riwu dieksekusi di Palu, Sulawesi Tengah. Mereka divonis sebagai dalang utama kerusuhan horisontal yang terjadi di Poso 1998-2000. Kasus ini sangat controversial mengingat proses peradilan terhadap mereka yang bertentangan dengan prinsip fair trial. Eksekusi mereka bisa menjadi pintu masuk kepada 16 tersangka lain yang mungkin ‘lebih dalang’ dari mereka, reaksi publik yang begitu intens (baik itu yang pro maupun kontra), hingga hasil pasca eksekusi yang juga penuh dengan aksi kekerasan.4. Di tahun 2007 ini juga masih terjadi eksekusi mati terhadap terpidana Ayub Bulubili di Kalimantan Tengah.Di atas hanyalah sebagian dari sekian banyak kasus hukuman mati yang masih terdaftar bahkan sudah dilaksanakan. Jadi, hukuman mati ialah suatu hukuman atau vonis yang dijatuhkan pengadilan (atau tanpa pengadilan) sebagai bentuk hukuman terberat yang dijatuhkan atas seseorang akibat perbuatannya.Yang menjadi alasan atas dilakukannya hukuman mati adalah pencegahan pembunuhan banyak orang di mana hukuman mati ini memberi efek jera bagi orang-orang lain yang mengetahuinya dan khususnya hal ini tidak lagi terulang oleh orang yang sama. Efek jera bukanlah cara yang paling bagus tetapi hukuman paling buruk yang mengarah kepada balas dendam di mana terdapat motif preventif, yakni agar tidak terulang lagi karena takut akan hukuman. Namun cara ini pun tidak terlalu efektif dalam masyarakat yang miskin. Bahkan studi ilmiah secara konsisten gagal menunjukkan adanya bukti yang meyakinkan bahwa hukuman mati membuat efek jera dan efektif dibanding jenis

Page 30: hukuman mati

hukuman lainnya. Survey yang dilakukan PBB pada 1998 dan 2002 tentang hubungan antara praktek hukuman mati dan angka kejahatan pembunuhan menunjukkan, praktek hukuman mati lebih buruk daripada penjara seumur hidup dalam memberikan efek jera pada pidana pembunuhan. Tingkat kriminalitas yang terjadi tidak dapat dihentikan hanya sekedar dengan memfokuskan pada efek jera namun perlu dipertimbagkan hubungan erat kriminalitas dengan masalah kesejahteraan atau kemiskinan suatu masyarakat serta berfungsi atau tidaknya institusi penegakan hukum.Selain itu dalam vonis hukuman mati, dapat terjadi kemungkinan kemungkinan kesalahan dalam menjatuhkan keputusan bersalah atau tidaknya terdakwa. Di mana orang yang telah dieksekusi bukanlah yang bersalah atau menjadi kambing hitam dari pelaku sesungguhnya. Kesalahan inilah yag harus dihindari dan menjadi kelemahan dalam vonis hukuman mati. Oleh karena itu, dalam rangka menghindari kesalahan vonis mati terhadap terpidana mati, sedapat mungkin aparat hukum yang menangani kasus tersebut adalah aparat yang mempunyai pengetahuan luas dan sangat memadai, sehingga Sumber Daya manusia yang disiapkan dalam rangka penegakan hukum dan keadilan adalah sejalan dengan tujuan hukum yang akan menjadi pedoman didalam pelaksanaannya, dengan kata lain khusus dalam penerapan vonis mati terhadap pidana mati tidak ada unsur politik yang dapat mempengaruhi dalam penegakan hukum dan keadilan dimaksud. Namun pada kenyataanya banyak hal yang dari luar yang mempengaruhi keputusan-keputusan pengadilan di mana bukan karena tidak adanya kejujuran melainkan karena campur tangan dari orang-orang berpengaruh di dalamnya.Dalam sejarah terdapat beberapa cara pelaksanaan hukuman mati:* pancung kepala: Saudi Arabia dan Iran,

* sengatan listrik: Amerika Serikat

* digantung: Mesir, Irak, Iran, Jepang, Yordania, Pakistan, Singapura

* suntik mati: Tiongkok, Guatemala, Thailand, AS

* ditembak dibalik tirai: Thailand, Vietnam

* tembak: Tiongkok, Somalia, Taiwan, Indonesia, dan lain-lain

* rajam: Arab, Afganistan, Iran (khusus pelaku zina yang sudah bersuami/beristri)

PANDANGAN-PANDANGAN TENTANG KASUS HUKUMAN MATIKelompok yang mendukung diadakannya hukuman mati beranggapan bahwa bukan hanya pembunuh saja yang memiliki hak untuk hidup dan tidak disiksa, maupun dianiaya. Masyarakat luas juga punya hak untuk hidup dan tidak disiksa. Untuk menjaga hak hidup masyarakat, maka pelanggaran terhadap hak tersebut patut dihukum mati.Iskandar Susanto dalam artikelnya yang berjudul “Hukuman Mati: Suatu Tinjuaunan dari Perpektif Alkitab” mengatakan bahwa hukuman mati adalah retribusi yang mana sering dikacaukan dengan ide “pembalasan seseorang”. Pembalasan adalah keiginan yang kuat dari seseorag untuk melukai dan menyengsarahkan orang lain sebagai pukulan balik pada orang yang melukai dia. Yang mana biasanya dilandasi dengan kekejaman dan

Page 31: hukuman mati

kemarahan.Bagi umat islam, mengembalikan penilaian baik atau buruk, terpuji dan tercela menurut pandangan syariat. Di mana hukuman mati tidak haya dijatuhkan kepada terdakwa yang melakukan kasus pembunuhan namun kepada homoseksual, pezina muhshan, hukum syara, serta orang yang murtad.Ada dua fungsi hukuman dalam Islam. Yaitu jawazir: mencegah kejahatan yang lebih besar. Penerapan hukuman akan membawa, bahkan orang-orang yang lemah iman dan ketaqwaannya pun takut untuk melakukan kejahatan. Dengan demikian, ketentraman masyarakat akan terjaga. Kedua jawabir, penebus bagi pelaku. Artinya, dosa-dosa pelaku akan terampuni dan ia tidak akan dituntut lagi di akhirat.Yang menjadi pangkal persoalan bagi kaum muslimin saat ini bukan dari sisi kepentingan hukuman mati namun bahwa mereka wajib menegakkan hukum-hukum Allah SWT dalam naungan khilafah Islamiyah, agar seluruh kewajiban umat Islam dapat terealisasikan.hukuman Mati.Kontra, di berbagai kesempatan selalu menyatakan penolakkan atas hukuman mati sebagai ekspresi hukuman paling kejam dan tidak manusiawi. Bagi mereka, hukuman mati merupakan jenis pelanggaran hak asasi manusia yang paling penting, yaitu hak untuk hidup (right to life). Hak fundamental (non-derogable rights) ini merupakan jenis hak yang tidak bisa dilanggar, dikurangi, atau dibatasi dalam keadaan apapun, baik itu dalam keadaan darurat, perang, termasuk bila seseorang menjadi narapidana.

PERSPEKTIF KEKRISTENAN TENTANG HUKUMAN MATIBerbeda dengan umat islam, banyak orang Kristen yang melihat kasus hukuman mati dari perpektif humanistik di mana mereka hanya melihat dari sisi kemanusiaannya saja. Namun ini bukan berarti kekristenan memandang hukuman mati secara humanistik. Mengingat Alkitab memiliki otoritas dalam kehidupan kekristenan, Alkitab pun patut berbicara tentang hukuman mati. Di dalam perjanjian lama dan perjanjian baru mencatat beberapa kasus hukuman mati.

Dalam Perajanjian LamaHukum Perjanjian Lama memerintahkan hukuman mati untuk berbagai perbuatan: pembunuhan (Keluaran 21:12), penculikan (Keluaran 21:16), hubungan seks dengan binatang (Keluaran 22:19), perzinahan (Imamat 20:10), homoseksualitas (Imamat 20:13), menjadi nabi palsu (Ulangan 13:5, pelacuran dan pemerkosaan (Ulangan 22:4) dan berbagai kejahatan lainnya.Eka Darmaputra mengungkapkan paling sedikit ada sembilan kategori ”kejahatan besar” yang pelakunya dipandang patut dihukum mati dalam Perjanjian Lama, yaitu:

(a) membunuh dengan sengaja;(b) mengorbankan anak-anak untuk ritual keagamaan;(c) bertindak sembrono sehingga mengakibatkan kematian orang lain;(d) melindungi hewan yang pernah menimbulkan korban jiwa manusia;(e) menjadi saksi palsu dalam perkara penting;(f) menculik;(g) mencaci atau melukai orang tua sendiri;

Page 32: hukuman mati

(h) melakukan perbuatan amoral di bidang seksual; serta(i) melanggar akidah atau aturan agama.

Pada akhirnya semua dosa yang kita perbuat sepantasnyalah diganjar dengan hukuman mati (Roma 6:23). Meskipun hal-hal diatas merupakan perbuatan yang harus mendapat sangsi hukuman mati, Allah seringkali menyatakan kemurahan ketika harus menjatuhkan hukuman mati. Contohnya ketika Daud melakukan perzinahan dan pembunuhan, namun Allah tidak menuntut untuk nyawanya diambil (2 Samuel 11:1-5; 14-17; 2 Samuel 12:13).Beberapa peristiwa yang menunjukan hukuman mati dalam perjanjian lama:(a) Kejadian 9:6, yakni tenang Perjanjian Nuh.Ini merupakan pernyataan yang paling sederhana mengenai mandat untuk melaksankan hukuman mati untuk tidak kejahatan pembunuhan manusia. Di mana setiap orang harus mempertanggungjawabkan apa yang telah diperbuatnya. Dalam peristiwa ini, Allah menghukum manusia dengan memunahkannya dengan air bah.(b) Hukum Musa (Keluaran 21:12)Hukuman mati adalah bagian dari hukuman musa. Keluaran 21:12 mengatakan “Siapa yang memukul seseorag hingga mati, pastilah ia dihukum mati.” Namun hukuman mati dalam hukum Musa ini tidak dibatasi akibat dari kejahatan pembunuhan tetapi juga hal-hal yang telah Eka Darmaputra jelaskan dalam bagian paper ini sebelumnya.(c) Dosa dan Hukuman Akhan (Yosua 7)Hukuman mati yang dialami oleh Akhan atas dosanya. Hukuman mati yang dijatuhkan langsung dari Allah ini tidak langsung Allah berikan karena sebelumnya Allah telah memberi kesempatan untuk mengakui kesalahanya, namun Akhan tidak mengindahkannya dan disaat itu juga Allah menggambil nyawanya. Ini merupakan salah satu peristiwa hukuman mati yang secara langsung Allah berikan kepada umat-Nya yang melakukan dosa.

Dalam Perjanjian BaruKetika orang-orang Farisi membawa kepada Yesus seorang wanita yang tertangkap basah sementara berzinah dan bertanya kepadaNya apakah wanita itu perlu dirajam, Yesus menjawab “Barangsiapa di antara kamu tidak berdosa, hendaklah ia yang pertama melemparkan batu kepada perempuan itu” (Yohanes 8:7). Hal ini tidak dapat diartikan bahwa Yesus menolak hukuman mati dalam segala hal. Karena dalam bagian ini Yesus hanya bermaksud untuk mengungkapkan kemunafikan orang-orang Farisi. Di mana Orang-orang Farisi ingin menjebak Yesus untuk melanggar Hukum Perjanjian Lama.Hukuman mati telah ditetapkan oleh Allah seperti yang tercantum pada kejadia 9:6: “Siapa yang menumpahkan darah manusia, darahnya akan tertumpah oleh manusia, sebab Allah membuat manusia itu menurut gambar-Nya sendiri”. Dan Yesus akan mendukung hukuman mati dalam kasus-kasus lain. Di mana Yesus juga menunjukkan anugerah ketika hukuman mati seharusnya dijatuhkan (Yohanes 8:1-11).Salah satu contoh peristiwa hukuman mati yang Allah berikan secara langsung adalah peristiwa Annanias dan Safira istrinya. Mereka yang bersepakat untuk menjual tanah mereka dan hasilnya dipersembahkan kepada Tuhan, namun mereka hanya memberikan sebagian. Dosa yang mereka lakukan bukan pemberian yang sebagian dari keseluruhan hasil yang didapatnya melainkan ketidak-jujurannya di mana ia mengatakan seluruh dari

Page 33: hukuman mati

hasil penjualan tanahnya dan bukan sebagian, padahal sesungguhnya yang diberikannya hanyalah sebagian. Dalam kasus ini Allah memberi hukuman mati secara langsung kepada mereka dihadapan jemaat mula-mula (Kis 5).Jadi, pada dasarnya Allah mengijinkan adanya hukuman mati dan bahkan Allah sendiri yang menetapkan hukuman mati. Namun pada saat yang sama Allah tidak selalu menuntut hukuman mati itu diadakan.Pandangan orang Kristen yang seharusnya terhadap hukuman mati:1. Allah telah menetapkan hukuman mati dalam firmanNya. Allah memiliki standar yang paling tinggi dari semua makhluk karena Dia adalah sempurna adanya. Manusia tidak dapat menentukan standar penilaian akan perbuatan seseorang dan hanya Allah yang dapat memberlakukannya. Karena itu Dia mengasihi secara tak terbatas, dan Dia memiliki belas kasihan yang tak terbatas. Namun Allah juga memiliki murka yang tanpa batas, dan semua ini terjaga dengan seimbang.

2. Allah telah memberi pemerintah otortias untuk menentukan kapan hukuman mati pantas dijatuhkan (Kejadian 9:6, Roma 13:1-7). Tidak dapat dikatakan bahwa Allah menentang hukuman mati dalam segala hal. Karena Allah telah memberikan hak kepada pemerintah. Jika hukuman mati itu seseorang terima, itu adalah kehendak Allah. Allah tidak pernah membiarkan segala sesuatu lepas dari kontrol Allah.

KESIMPULANIndonesia merupakan negara hukum yang berdasarkan pancasila namun dalam pelaksanaannya seringkali bukan hukum yang ditegakkan melainkan lebih kepada otoritas dari orang yang berpengaruh dalam negara.Indonesia memiliki hak untuk mencantumkan hukuman mati sebagai salah satu hukuman dalam KUHP, namun taggungjawab sebagai negara hukumlah yang penting untuk diperhatikan.Dalam kekristenan hukuman mati telah ada dan ditetapkan oleh Allah sendiri (Kejadian 9:6). Sehingga tidak ada alasan untuk meolak diadakannya hukuman mati. Dalam sepanjang jalannya hukuman baik itu untuk orang yang bersalah maupun sesungguhnya tidak melakukan kesalahan namun menerima hukuman tersebut, segala sesuatunya tidak lepas dari ijin Allah.Allah telah memberi wewenang bagi pemerintah untuk melakukan kewajibannya dan menegakkan keadilan dalam negara, namun kehendak Allah akan terus berjalan. Rasul Paulus jelas mengakui kuasa dari pemerintah untuk menjatuhkan hukuman mati ketika dibutuhkan (Roma 13:1-5).Allah tidak pernah lepas kontrol dalam segala sesuatu yang dilakukan oleh manusia. Jika bagi orang sekuler, hukuman mati adalah efek jera, namun dalam kekristenan itu merupakan perintah Allah dalam usaha-Nya menunjukkan keadilan-Nya namun juga menunjukkan kasih-Nya.

Kedatangan Kristus dan pengorbanan-Nya menggenapi hukum Taurat namun bukan berarti meniadakan hukum Taurat maupun hukuman mati yang telah ditetapkan-Nya. Verkuyl mengatakan: “sebagimana hukuman mati adalah tanda keadilan Allah yang menghukum, demikian pula kemungkinan grasi dan amnesty adalah tanda kasih karunia atau rahmat Tuhan.”

Page 34: hukuman mati

DAFTAR PUSTAKAGalus, Ben S. Mencari Hubungan Antara Kekuasaan Negara dan Hukum. Ilmu dan Budaya, No. 2, Th. 14, 1992.Huijbers, Theo. Filsafat Hukum. .Yogjakarta: Kanisius.Kameo, Jefferson. Ideologi di Balik Negara Hukum. Jurnal: Bina Darma “Negara Hukum”, No. 52, Th. 14, 1996.Kompas, 15 Mei 2005. Turmudi Dieksekusi di Depan Regu Tembak.KontraS, Jakarta, 2006. Laporan HAM 2005 KontraS; Penegakkan Hukum dan HAM Masih Gelap,Kusnadi, dkk. Pengantar Hukum Tata Negara. Pusat Studi Hukum Tata Negara FHUI, Jakarta, 1976.Limahelu, Frans. Penerapan Kepastian Hukum di Indonesia Menghadapi Dunia Interasional. Jurnal: Bina Darma “Negara Hukum”, No. 52, Th. 14, 1996.Media Indonesia, 21 Maret 2005. Dalam Posisi Duduk, Astini Dieksekusi 12 Penembak.Republika, 21 Maret 2005. Astini Dieksekusi 12 Penembak Brimob Polda JatimSiburian, Togardo. Classnote Etika Sosial dan Politik. Bandung: STTB, 2009.Soeropati, Djoko Oentoeng. Negara Hukum Indonesia dalam Teori dan Praktek. Jurnal: Bina Darma “Negara Hukum”, No. 52, Th. 14, 1996.Suara Pembaruan, 3 April 2005. Tolak Hukuman Mati.Sutanto, Iskandar. Hukuman Mati: Suatu Tinjauan Dari Perspektif ALkitab. Jurnal: JT Aletheia, Vol. 1, No. 1, September 1995.Verkuyl, J. Etika Kristen, Ras, Bangsa, Gereja da Negara. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1992.

Home Opini Mendesak, Hukuman Mati bagi Koruptor

Mendesak, Hukuman Mati bagi Koruptor

Written by benz Monday, 19 April 2010 06:46

Wacana pemberlakuan hukuman mati bagi koruptor oleh sejumlah kalangan belakangan ini mengundang pro dan kontra dengan argumen masing-masing. Para pegiat HAM (hak asasi manusia) menilai pemberlakuan hukuman mati melanggar HAM. Alasannya, jaminan atas hak hidup merupakan hak fundamental yang tidak bisa dikurangi dalam kondisi apa pun dan tidak bisa ditunda pemenuhannya. Sebaliknya, pihak pendukung pemberlakuan hukuman mati menyatakan hal itu lebih dikarenakan dampak yang ditimbulkan dari perbuatan tindak pidana korupsi lebih dahsyat ketimbang perbuatan yang dilakukan teroris.

Lebih dahsyat lagi dampaknya, ketika rakyat yang terbelit kondisi perekonomian akan lebih dimiskinkan oleh tindakan para pejabat yang mengeruk keuangan negara. Sebab, negara tidak lagi dapat menjamin kesejahteraan rakyatnya karena uang negara yang seharusnya dialokasikan bagi kepentingan rakyat, habis digerogoti para koruptor.

Yang lebih mengerikan, ketika para koruptor berurusan dengan aparat penegak hukum akibat perbuatannya, justru dijadikan ajang tawar-menawar oleh oknum aparat penegak

Page 35: hukuman mati

hukum. Problem ini mengemuka menyusul terbongkarnya praktik mafia hukum dan makelar kasus (markus) yang kini tengah ditangani kepolisian, kejaksaan, dan Komisi Pemberantaan Korupsi (KPK).

Terkait pro-kontra hukuman mati, wartawan Suara Karya Sugandi dan fotografer Hedi Suryono mewawancarai Ketua Masyarakat Profesional Madani (MPM) Ismed Hasan Putro di Jakarta. Berikut petikan wawancaranya.

Menurut Ketua Masyarakat Profesional Madani (MPM) Ismed Hasan Putro di Jakarta bahwa soal wacana pemberlakuan hukuman mati bagi pelaku tindak pidana korupsi bahwa  substansi pemberlakuan hukuman mati terhadap para koruptor akan menjadi kontekstual apabila pemerintah memberlakukan darurat korupsi. Sebab, pemberlakuan hukuman mati merupakan salah satu upaya untuk memberikan efek jera terhadap pelaku perbuatan tindak pidana korupsi. Apalagi, Indonesia sudah terkontaminasi oleh praktik korupsi yang sangat menggurita, sistemik, dan masif.

Coba Anda perhatikan dalam kasus Gayus Tambunan! Semua level terlibat, bahkan bukan hanya orang pajak, kepolisian, kejaksaan, melainkan hakim pun terlibat. Kalau pemerintah betul-betul serius, harus ada hukuman yang maksimal, yaitu hukuman mati seperti halnya di Cina.

Anda bisa bayangkan, yang namanya Arthalyta atau Ayin, seorang pengusaha yang tertangkap tangan menyuap jaksa, dihukum ringan, kemudian diberi remisi, dan terakhir hukumannya didiskon oleh Mahkamah Agung. Itu kan lucu sekali.

Jadi, yang saya lihat, bukannya pelaku korupsi itu dibuat jera, tapi justru diberi kenikmatan fasilitas mewah. Ini jelas sangat melukai rasa keadilan bagi masyarakat.

Ia juga menilai bahwa  penegakan hukum kasus-kasus korupsi besar cenderung tidak memenuhi rasa keadilan masyarakat. Buktinya Kejaksaan Agung sampai hari ini banyak mengobral SP3 (surat perintah penghentian penyidikan). Sebaliknya, ketika lembaga itu membentuk Tim Pemburu Koruptor, sampai saat ini tidak ada hasil apa pun. Artinya, banyak hal yang kontraproduktif yang dilakukan pemerintah, khususnya kejaksaan dan kepolisian dengan hasil tidak maksimal untuk kepentingan mayarakat. Kejahatan korupsi tidak membuat orang menjadi takut, bahkan justru dijadikan ajang transaksi.

Sehingga menurutnya  tindak pidana korupsi di Indonesia sudah diibaratkan sebagai dagangan. Misalnya, mereka melakukan korupsi Rp10 miliar, sebagian di antaranya untuk membayar jaksa, polisi, dan hakim. Sisanya sebagai keuntungan dan dia tabung untuk dinikmati keluarganya. Selesai. Kecenderungan seperti itu yang terjadi sekarang ini. Dan, para koruptor tidak merasa kehilangan sesuatu.

Seharusnya, dengan uang yang dikorupsi Rp10 miliar itu, negara menyita semua aset yang mereka miliki, dengan tujuan untuk me-recovery aset. Kalau itu diberlakukan, mereka akan mengalami ketakutan. Mereka tidak akan merasa jera kalau kejahatan korupsi tidak diungkap berdasarkan pembuktian terbalik.

Page 36: hukuman mati

Adanya argumen lain bahwa pemberlakuan hukuman mati bagi koruptor justru akan menimbulkan kian maraknya praktik transaksional. Namun menurut  Ismed Hasan Putro:"Justru saya akan bertanya, apakah pantas kalau seseorang melakukan korupsi bernilai ratusan miliar tidak dihukum mati? Padahal, akibat yang ditimbulkan berdampak merugikan keuangan negara, akan berdampak pula pada kehidupan berbangsa dan bernegara. Apakah Anda setuju orang semacam itu kemudian hanya dihukum lima tahun, misalnya? Saya sebagai warga negara, jelas tidak setuju. Saya juga merasa tidak adil kalau seorang teroris dianggap sebagai kejahatan yang sangat biadab, sementara koruptor masih bisa menikmati hasil korupsinya.

Jadi, pandangan seperti itu tidak adil. Padahal, kalau melihat dampaknya, koruptor lebih jahat dari teroris. Teroris hanya mematikan sekian orang, tapi kalau koruptor, bisa membuat sekian banyak masyarakat menjadi menderita.

Misalnya, kasus BLBI (Bantuan Likuiditas Bank Indonesia) yang merugikan negara hingga Rp1.200 triliun termasuk bunganya. Dampaknya terhadap masyarakat sangat luar biasa. Coba jika uang itu dikembalikan ke negara! Kemudian digunakan untuk kepentingan rakyat, seperti membangun sarana pendidikan dan kegiatan lainnya. Indonesia tidak akan mencari pinjaman dari luar negeri. Bahkan, Indonesia akan terbebas dari utang yang selama ini menjerat dan membebani rakyat.

Ia tidak sependapat jika  pemberlakuan hukuman mati melanggar HAM.Kalau negara mau memberlakukan situasi darurat terhadap praktik korupsi, maka langkah darurat itu saya yakin bisa dimaklumi. Sebab, korupsi sangat mengganggu HAM dari sekian banyak rakyat di Indonesia. Jadi, HAM mana yang dipilih? Apakah HAM hanya satu orang? Padahal, di lain pihak ada hak banyak orang yang terlanggar.

Jadi, perdebatan soal pemberlakuan hukuman mati ini punya argumentasi yang mendasar. Sebab, banyak rakyat yang tidak bisa menikmati fasilitas negara, tidak sekolah, dan tidak sedikit pula orang menjadi miskin akibat tindakan korupsi. Itu terjadi karena pemerintah tidak lagi mampu menyejahterakan rakyat.

Ismed berpendapat  mekanisme pemberlakuan hukuman mati itujelas dengan UU Korupsi Nomor 20 Tahun 2001 tentang tindak pidana korupsi harus direvisi, khususnya menyangkut tiga pasal. Pertama, harus dilengkapi dengan pembuktian terbalik. Kedua, harus dilengkapi dengan penyitaan aset dan pemiskinan, dalam hal ini sebagai recovery kerugian negara. Ketiga, penerapan hukuman pada tingkat implementasi.

Sementara a pemberlakuan hukuman mati harus dapat menimbulkan efek jera? Sebab, studi PBB membuktikan tidak menjamin berhentinya angka korupsi dan tindak pidana lainnya.

Pertama, di negara Cina pada 1980-an praktik korupsinya sangat ganas sama dengan Indonesia. Tetapi, sekarang jauh lebih menurun. Memang tidak hilang, tapi bisa

Page 37: hukuman mati

diminimalkan. Kedua, para investor merasa nyaman karena ada kepastian tidak adanya risiko yang terlalu tinggi dengan pengeluaran yang bisa dikalkulasi. Sebaliknya di Indonesia, dengan penerapan hukuman yang hanya lima tahun, misalnya, bukannya berkurang, tapi justru lebih mengganas. Bahkan, kekuasaan itu dijadikan alat untuk memperkaya diri.

Ia juga mengatakan bahwa jika Komnas HAM dan LSM HAM mencatat, sebagian besar negara yang memberlakukan hukuman mati kini mencabutnya, sementara Indonesia  justru mewacanakan hal tersebut menurut Isemd debat soal hal tersebut, pemberlakuan hukuman mati harus dilihat dari konteksnya. Kalau kita memandang hanya diberlakukan kepada teroris yang hanya mematikan sedikit orang, itu tidak adil. Padahal, dalam kasus korupsi, terutama yang jumlahnya besar, jelas akan berdampak lebih dahsyat terhadap rakyat. Tindakan korupsi itu dampaknya melebihi dari tindakan yang dilakukan teroris. Jadi, mana yang mau dipilih? Saya lebih mementingkan perlindungan HAM bagi kebanyakan warga negara secara kolegial sebagai korban tindak pidana korupsi.

Untuk tegasnya menurut Ismed pemberlakukan hukuman mati bagi para koruptor sudah demikian mendesak. Dalam perkembangannya, banyak pihak menyatakan bahwa korupsi sudah terjadi di semua sektor. Bahkan yang melakukannya tidak hanya di level pengambil kebijakan, tapi sudah menjalar ke tingkat bawah. Mafia hukum dan praktik markus yang bermunculan belakangan ini makin menguatkan wacana pemberlakuan hukuman mati. Itu terjadi karena tidak jalannya sistem pengawasan, seperti Komisi Kejaksaan, Komisi Kepolisian, maupun Komisi Yudisial dan Mahkamah Agung.

Kalau dulu, yang menjadi musuh bersama adalah korupsi, kini justru berbalik, yang menjadi musuh bersama adalah pemberantas korupsinya. Mengapa demikian? Sebab, upaya pemberantasan korupsi yang dilakukan lembaga penegak hukum tidak memenuhi rasa keadilan masyarakat. Penegakan hukum terkait kasus korupsi lebih banyak dijadikan alat untuk melakukan transaksi, tawar-menawar antara pelaku korupsi dan penegak hukum, baik kejaksaan, kepolisian, maupun hakim. Problem seperti ini yang harus diperbaiki ke depan.

Page 38: hukuman mati

Hukuman Mati Terpidana Narkoba

Oleh : Heru Susetyo

Akhirnya saat tersebut tiba juga. Setelah dua tahun terakhir dunia hukum Indonesia disibukkan dengan pertanyaan apakah hukuman mati masih dapat terjadi di Indonesia di tengah gencarnya penegakkan HAM, Ayodya Prasad Chaubey (66) terpidana mati kasus narkoba, dieksekusi oleh aparat Brimob pada dinihari Kamis, 5 Agustus 2004 (Republika, 6 Agustus 2004). Sebelumnya, dalam jumpa pers di Puskominfo-Lembaga Informasi Nasional Senin (24 Mei 2004), Kepala Pelaksana Harian Badan Narkotika Nasional Togar M Sianipar mengatakan bahwa pemerintah hendaknya membuktikan keseriusan dalam memberantas narkoba dengan mengeksekusi satu terpidana mati pada 26 Juni 2004.

Kenyataannya, eksekusi tersebut baru terjadi lima pekan kemudian, dengan Ayodya Prasad selaku 'pemecah telur'-nya. Ayodya ditangkap pada 21 Februari 1994 atas tuduhan menyelundupkan 12,29 kilogram heroin di Medan. Ia tertangkap bersama-sama dua warga negara Thailand, masing-masing Sealow Preaseant (62) dan Namsong Sirilak (32). Kini keduanya juga sedang menanti saat-saat eksekusi (death row) karena grasi mereka berdua juga telah ditolak presiden. Eksekusi Ayodya nyaris luput dari perhatian publik. Apalagi waktu pelaksanaannya mundur lima pekan dan dilakukan dengan amat sangat rahasia di tengah kegelapan malam. Tujuh permintaan Ayodya sebelum eksekusi, nyaris semua dipenuhi, kecuali menghadirkan keluarganya pada saat eksekusi.

Kehati-hatian aparat dalam pelaksanaan eksekusi ini sedikit bisa dipahami. Dalam kurun waktu hampir 10 tahun terakhir, baru dua terpidana kasus narkoba yang dieksekusi hukuman mati (termasuk Ayodya). Selebihnya masih ada 30 terpidana yang belum dieksekusi. Bahkan ada seorang terpidana yang mengajukan dua kali permohonan peninjauan kembali (PK), melebihi ketentuan PK yang seharusnya, yang akhirnya tidak jadi dieksekusi. Saat ini, ada empat terpidana mati narkoba WNA yang telah ditolak grasinya dan tiga lagi yang tengah mengajukan Peninjauan Kembali (PK), termasuk dua wanita muda asal Jawa Barat, yaitu Meirika Franola dan Rani Andriani.

Di luar terpidana mati narkoba, ada puluhan lagi terpidana mati akibat kasus pembunuhan dan kekerasan seksual yang tengah menanti eksekusi, tengah mengajukan PK, ataupun memohon grasi kepada presiden. Kehati-hatian aparat juga boleh jadi karena iklim penegakkan hukum Indonesia saat ini amat lekat dengan semangat menegakkan HAM. Apalagi setelah diintrodusirnya Tap MPR No 17 tahun 1998 dan UU No 39 tahun 1999 yang sama-sama bicara tentang HAM. Di sisi lain, undang-undang tentang narkotika dan psikotropika tahun 1997 memang memungkinkan jatuhnya pidana mati bagi para pelanggarnya. Dalam kenyataan sosial pun, banyak pihak di Indonesia yang bersepakat dengan hukuman mati karena amarah yang memuncak terhadap dampak keji narkoba yang menghancurkan masa depan anak-anak bangsa. Masalahnya adalah, haruskah para terpidana mati kasus narkoba betul-betul dieksekusi? Bagaimanakah hukum HAM internasional mengatur masalah ini?

Page 39: hukuman mati

Perspektif hukum internasionalKalangan yang tidak setuju dengan pidana mati beralasan bahwa hukuman tersebut adalah di luar perikemanusiaan dan melanggar hak asasi manusia (HAM). Juga, sebagai salah satu bentuk pidana, hukuman mati dianggap tak menimbulkan efek edukatif terhadap masyarakat. Lalu, apabila di kemudian hari ditemukan kesalahan dalam penjatuhan vonis, hukuman tersebut tak dapat dikoreksi karena sang terpidana telanjur dieksekusi. Terlepas dari silang pendapat tentang absah tidaknya hukuman mati, berikut akan dipaparkan perspektif hukum HAM internasional tentang hukuman mati.

Amnesty International (2003) menyebutkan bahwa sampai saat ini ada 111 negara yang telah menghapuskan hukuman mati (death penalty). Dari jumlah tersebut, 76 negara menghapus hukuman mati secara total, 15 negara memberlakukannya secara sangat spesifik, yaitu hanya untuk kejahatan di waktu perang (war time), dan 20 negara masih mempertahankannya dalam hukum nasionalnya namun tak pernah lagi melaksanakannya dalam praktik.Sementara itu, 84 negara sampai kini masih memberlakukan hukuman mati dalam hukum nasionalnya. Di antaranya adalah Amerika Serikat (pada 38 negara bagiannya), Jepang, Korea (utara dan selatan), India, Singapura, Malaysia, Filipina, dan Indonesia.

Uniknya, tak ada satu pun negara Eropa yang masih memberlakukan hukuman mati kecuali Armenia, Turki (hanya untuk kejahatan di waktu perang/war time), dan Rusia (data Amnesty dan UNHCR, 2003). Kendati demikian, pemberlakuan hukuman mati tidak otomatis berdampak pada tingginya angka eksekusi. Amnesty (2003) mencatat bahwa para terpidana yang akhirnya benar-benar dieksekusi mati tidak sebanyak angka penjatuhan hukuman matinya. Pada tahun 2001, 3.048 terpidana telah dieksekusi di 31 negara. Sementara itu 5.265 dijatuhi hukuman mati di 69 negara. Sembilan puluh persen dari eksekusi mati yang terjadi di tahun 2001 berlangsung hanya di empat negara yaitu Cina (2.468), Iran (139), Arab Saudi (79), dan Amerika Serikat (66).

Amerika Serikat adalah fenomena menarik. Dari 84 negara yang masih memberlakukan hukuman mati, hanya Amerika bersama Jepang, Korea Selatan, dan Singapura yang tergolong negara 'maju', di samping beberapa negara petrodolar di Timur Tengah. Karena, selebihnya adalah negara-negara 'dunia ketiga.' Sejak 1977, saat hukuman mati dihidupkan kembali di AS, tak kurang dari 820 jiwa telah dieksekusi. Pada 2002, 71 jiwa telah dieksekusi. Kemudian, per 1 Januari 2002, 3.700 jiwa telah dijatuhi hukuman mati (belum dieksekusi). Hukuman mati masih berlaku di 38 negara bagian di AS.

Instrumen penghapus hukuman matiAda beberapa instrumen HAM internasional yang menghapus hukuman mati. Antara lain: (1) Second Optional Protocol to the International Covenant on Civil and Political Rights, (2) protocol to the American Convention on Human Rights to Abolish the Death Penalty, (3) protocol No 6 to the European Convention for the Protection of Human Rights and Fundamental Freedoms 1982 (European Convention on Human Rights, dan (4) protocol No 13 to the European Convention for the Protection of Human Rights and Fundamental Freedoms 2002 (European Conventon on Human Rights).

Page 40: hukuman mati

Dari empat instrumen di atas, hanya instrumen pertama yang bersifat internasional, sedangkan ketiga instrumen berikutnya bersifat regional. Second Optional Protocol to the International Covenant on Civil and Political Rights (SOP) yang memiliki kekuatan secara hukum (entry into force) sejak 11 Juli 1991 hingga kini telah diratifikasi oleh 49 negara dan ditandatangani oleh 7 negara lainnya. Protokol ini mewajibkan bagi negara-negara yang telah meratifikasinya (state parties) untuk menghapuskan eksekusi dan hukuman mati dalam legislasi maupun dalam praktiknya.

Second Optional Protocol mendalilkan perlunya hukuman mati dihapus, dengan merujuk pada pasal 3 Deklarasi Universal HAM (Universal Declaration of Human Rights) yang berbunyi: "Setiap orang memiliki hak untuk hidup, hak atas kebebasan, dan hak atas keamanan (life, liberty, and security of person), juga pada pasal 6 Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik (International Covenant on Civil and Political Rights ICCPR) yang berbunyi: "Setiap orang mempunyai hak yang tak terpisahkan dan dilindungi oleh hukum, yaitu hak untuk hidup.

Tak seorang pun boleh diambil nyawanya secara semena-mena. Deklarasi Universal HAM (HAM) memang bukanlah dokumen hukum yang mengikat (legally binding). Namun demikian, ia merupakan pedoman standar penyelenggaraan hak asasi manusia bagi warga dunia. Akan halnya ICCPR dan SOP adalah dua instrumen hukum yang mengikat bagi para pihak yang telah meratifikasinya (state parties). Sampai saat ini, sudah 144 negara yang meratifikasi ICCPR dan 60 negara telah menandatanganinya (signatory). Sedangkan untuk SOP, baru 49 negara yang meratifikasinya dan 7 negara yang menandatanganinya. Protocol to the American Convention on Human Rights to Abolish the Death Penalty sampai saat ini baru diratifikasi oleh 8 negara di benua Amerika, dan ditandatangani oleh 1 negara (Cile). Amerika Serikat sendiri belum menjadi pihak baik dalam American Convention on Human Rights maupun dalam protokolnya yang menghapus hukuman mati ini.

Sementara itu, protocol No 6 to the European Convention for the Protection of Human Rights and Fundamental Freedoms tahun 1982 dan protocol No 13 to the European Convention for the Protection of Human Rights and Fundamental Freedoms tahun 2003, keduanya sama-sama menghapuskan hukuman mati. Perbedaannya, protocol No 6 masih membolehkan hukuman mati secara sangat terbatas yaitu untuk pelaku kejahatan di waktu perang (war time), sedangkan protocol No 13 menghapuskan hukuman mati secara total. Hampir semua negara Eropa meratifikasi protocol No 6 tahun 1982 kecuali Rusia, Armenia, dan Turki yang telah menandatangani (signatory) namun belum meratifikasinya. Sedangkan, protocol No 13 tahun 2002 telah diratifikasi 5 negara dan ditandatangani 34 negara.

Indonesia dan hukum HAM internasionalLegalitas hukuman mati di Indonesia paling tidak berasal dari Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan utamanya dari Undang-Undang tentang Narkotika dan

Page 41: hukuman mati

Psikotropika tahun 1997, yang berlaku untuk pelaku kejahatan narkoba. Undang-Undang HAM No 39 tahun 1999 tidak mengatur tegas tentang penghapusan hukuman mati, kendati semangat instrumen HAM di tingkat internasional adalah penghapusan hukuman mati.

Kemudian, Indonesia sampai saat ini belum merupakan pihak (party) pada Konvensi Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik 1966 (ICCPR) maupun Second Optional Protocol ICCPR 1989 yang menghapuskan hukuman mati. Karena sampai saat Ini Indonesia belum menandatangani maupun meratifikasi kedua instrumen tersebut. Dengan demikian, Indonesia belum terikat secara hukum internasional untuk menghapus hukuman mati sesuai mandat kedua instrumen tersebut.

Kendati demikian, Indonesia telah meratifikasi Konvensi Anti Penyiksaan (Convention Against Torture and Other Cruel, Inhuman or Degrading Treatment or Punishment) pada 28 Oktober 1998. Tunduknya Indonesia pada Konvensi ini mewajibkan Indonesia untuk mengambil semua langkah baik di bidang administratif, legislatif, dan yudikatif untuk mencegah terjadinya penyiksaan di dalam wilayah Indonesia (sesuai pasal 1 konvensi ini). Juga untuk menyelenggarakan due process of law dalam penyelenggaraan sistem peradilan pidana. Dalam arti menciptakan peradilan yang fair, independen, imparsial, dan berkomitmen pada perlindungan hak-hak korban maupun tersangka sejak proses penangkapan hingga penahanan (Pasal 9- 6 Konvensi Anti Penyiksaan).

PenutupSemangat yang berkembang dalam hukum HAM Internasional dewasa ini memang adalah semangat menghapus hukuman mati. Akankah Indonesia menghapus hukuman mati? Jawabannya memang terpulang pada para pengambil keputusan dan para pembuat hukum. Juga, kepada masyarakat Indonesia. Karena, harus diakui bahwa hukuman mati adalah hukuman yang hidup dan diakui di sebagian masyarakat Indonesia.

Kejahatan narkoba sudah terbukti termasuk kejahatan berat terhadap umat manusia utamanya bagi bangsa Indonesia. Banyak pihak bersepakat dengan hukuman mati bagi para pelakunya. Pasalnya adalah, sejauh mana pertimbangan kesalahan penerapan hukum/pemidanaan dalam peradilan dipertimbangkan? Apalagi citra pengadilan sebagai adil, jujur, bersih, independen, dan imparsial, masih jauh panggang dari api?

Kemudian, sejauh mana perspektif Hak Asasi Manusia (HAM) turut dipertimbangkan dalam eksekusi terpidana mati kasus narkoba tersebut (apabila jadi)? Memang, pelaku kejahatan narkoba telah melanggar bahkan merusak HAM orang lain, utamanya para korban-korban mereka. Mungkin seorang Ayodya ataupun calon-calon tereksekusi mati terpidana narkoba lainnya adalah penjahat HAM kelas wahid. Namun, bukankah mereka (para pelaku) adalah juga 'korban' dari kekerasan struktur yang lain?

Hukuman Mati dan HAMoleh: Romo Dr. Paul Budi Kleden, SVD

Page 42: hukuman mati

Pada tahun 1998, dalam rangka memperingati HUT ke-50 pendeklarasian Hak-Hak Asasi oleh PBB, ada diskusi tentang perlunya sebuah kodeks yang menetapkan Kewajilban-Kewajiban Asasi Manusia sebagai imbangan terhadap Hak-Hak Asasi Manusia. Argumentasi dasarnya adalah bahwa manusia tidak hanya mempunyai hak yang melekat pada kemanusiaannya, tetapi juga sejumlah kewajiban yang mesti dilaksanakannya. Keluhuran martabat manusia tidak hanya ditunjukkan oleh kesadaran akan hak-haknya, tetapi juga oleh kesanggupan untuk menerima sejumlah kewajiban sebagai tugas yang mesti dilaksanakan.

Salah satu pemikiran dominan yang disampaikan menanggapi keinginan pendeklarasian kewajiban-kewajiban asasi itu adalah kecemasan bahwa orang akan merangkaikan tuntutan akan hak dengan pelaksanaan kewajiban. Apabila ada kewajiban-kewajiban asasi, maka tidak mustahil akan diambil kesimpulan, bahwa hak asasi seseorang ada dan dijamin selama dia memenuhi kewajiban-kewajiban asasinya. Kegagalan melaksanakan kewajiban-kewajiban asasi dilihat sebagai pengkhianatan terhadap kemanusiaan diri sendiri. Dengan demikian orang tersebut kehilangan pijakan untuk menuntut perlindungan terhadap hak-hak asasinya. Apabila ada kewajiban asasi, maka pelaksanaan kewajiban itu dilihat sebagai ungkapan kemanusiaan seseorang. Tidak melaksanakan kewajiban asasi berarti tidak ada lagi kesadaran diri sebagai manusia. Pelaku kejahatan itu sendiri sudah tidak menghargai dirinya sebagai manusia. Tanpa adanya penghargaan terhadap kemanusiaan di dalam diri sendiri dan tanpa kesadaran akan martabat diri sendiri sebagai manusia, seseorang ketiadaan basis rasional untuk menuntut penghormatan terhadap hak-hak dasarnya.

Dengan pola pikir seperti ini hak-hak asasi manusia dibahayakan, karena hak-hak itu ditentukan oleh kualifikasi dan prestasi dirinya sebagai manusia yang ditunjukkan di dalam kesanggupan memenuhi kewajiban-kewajiban asasinya. Gagal memenuhi kewajiban asasi berarti gagal menjadi manusia, gagal menjadi manusia adalah alasan untuk tidak diperlakukan sebagai manusia.

Pola pikir di atas tampaknya bercokol cukup mendalam pada pikiran banyak orang yang merestui hukuman mati bagi para pelaku kejahatan berat. Disadari atau tidak, konsep pemikiran seperti ini sering melatari sikap orang yang membenarkan tuntutan hukuman mati bagi para pelaku kejahatan berat. Karena itu, kita perlu menanggapi secara serius pandangan seperti ini, sebab pemikiran seperti ini mengharuskan kita untuk mempertajam pemahaman kita tentang hak-hak asasi manusia.

Page 43: hukuman mati

Memang ada banyak alasan yang disampaikan oleh kelompok yang mendukung adanya hukuman mati. Misalnya: untuk memenuhi rasa keadilan masyarakat yang berpedoman pada prinsip ius talionis (mata ganti mata, hidup ganti hidup); untuk melindungi masyarakat secara keseluruhan dari seorang warga yang telah menunjukkan dirinya sebagai bahaya besar bagi keamanan seluruh warga melalui tindak kejahatan besarnya; untuk memberikan shock therapy kepada masyarakat yang diperkirakan akan merasa takut untuk melakukan pelanggaran yang sama. Dan satu lagi yang dominan adalah apa yang dikatakan di atas: seorang pelaku kejahatan berat sudah menunjukkan diri bahwa dia bukan manusia. Dia melakukan di luar batas kewajaran sebagai seorang manusia. Sebab itu, dia tidak layak diperlakukan sebagai manusia. “Dia kejam, dia jahat. Dia sudah bukan manusia lagi. Untuk apa kamu masih memperjuangkan hak-haknya?” Betapa sering pertanyaan yang mengungkapkan penolakan atas perlakuan manusiawi terhadap pelaku kejahatan berat ini dialamatkan kepada mereka yang terus memperjuangkan hak-hak asasi orang seperti ini.

Pandangan seperti ini sudah bermula ketika orang melukiskan tindak kejahatan seseorang sebagai tindakan yang bestialis, tindakan yang cuma ditemukan dalam gerombolan binatang-binatang buas. Logika berpikirnya mengatakan: kalau tindakan itu bestialis, maka berdasarkan prinsip: tindakan adalah ekspresi jati diri, orang lalu berkesimpulan, bahwa subjek yang melakukan tindakan itu adalah juga binatang. Dia direndahkan menjadi binatang, dan karena binatang buas yang membahayakan dibenarkan pembasmiannya, maka ada legitimasi pula untuk mengeliminasi subjek seperti ini melalui penjatuhan dan pelaksanaan hukuman mati atas dirinya.

Menanggapi pola pikir seperti ini perlu diuraikan prinsip pertama dan utama yang menjadi pedoman penting setiap perjuangan membela HAM: bahwa hak-hak ini melekat pada kemanusiaan seseorang, sebelum ada kualifikasi moral dan rasional apa pun. Kemanusiaan seseorang tidak ditentukan oleh kualitas moralnya. Seseorang tetap merupakan seorang manusia, juga ketika moralitasnya patut diragukan karena pelanggaran-pelanggaran yang terbukti. Kenapa demikian?

Adalah benar bahwa manusia merupakan insan moral. Namun moralitas bukanlah sebuah status yang sudah baku dan terberi. Dengan kelahiran sebagai manusia tidak diberikan kepada manusia satu kualitas moral yang sempurna. Sebaliknya, dengan kelahiran sebagai manusia ia mendapat sebuah tugas untuk terus mengkualifikasikan dirinya sebagai makhluk moral. Moralitas adalah sebuah tugas, bukan sebuah pemberian. Yang terberi adalah kemanusiaan, sementara moralitas merupakan sebuah cita-cita yang perlu diwujudkan manusia. Kemanusiaan ada sebagai basis untuk menjadi makhluk yang bermoral.

Page 44: hukuman mati

Apabila kita mengatakan bahwa moralitas adalah sebuah tugas, maka pernyataan ini sebenarnya lahir dari kesadaran bahwa manusia selalu berada dalam bahaya untuk melakukan tindakan-tindakan yang tidak bermoral. Justru karena itu, moralitas adalah sebuah upaya pengkualifikasian diri, sebuah perjuangan yang terus-menerus. Moralitas seseorang ditunjukkan oleh kesungguhannya untuk menguasai diri sekian sehingga ia bertindak seturut kaidah moral. Namun perjuangan seperti ini tidak pernah dapat meniadakan kemungkinan melakukan kejahatan. Kita dapat mengatakan bahwa termasuk dalam kemanusiaan seseorang adalah bahwa dia dapat juga melakukan kejahatan. Melakukan kejahatan bukanlah sesuatu yang terlepas dari kemanusiaan seseorang. Sebab itu, seseorang yang melakukan kejahatan, apa pun dan betapa pun besarnya kejahatan itu, tidak pernah kehilangan kemanusiaannya.

Berpikir seperti di atas bukan berarti bahwa kita membenarkan tindak kejahatan dan menyepelekan kejahatan seseorang dengan alasan kemanusiaan. Juga dengan pemikiran seperti ini kita tidak menolak setiap bentuk hukuman terhadap penjahat. Kejahatan adalah sebuah pelanggaran dan harus dilihat dan dinilai sebagai pelanggaran. Melalui tindak kejahatannya manusia melanggar apa yang seharusnya menjadi cita-citanya. Namun karena pelanggaran adalah penyimpangan dari apa yang seharusnya menjadi cita-cita, maka hukuman atas pelanggaran itu tidak boleh menghilangkan basis untuk perealisasian cita-cita itu. Menghukum mati seseorang berarti meniadakan kemungkinan utama orang itu untuk kembali berjuang merealisasikan apa yang menjadi tugasnya. Kita memang patut menjatuhkan hukuman kepada seseorang yang melakukan pelanggaran. Tetapi hukuman itu diberikan selalu dengan tujuan agar orang itu disadarkan dan dimampukan untuk mengenal dan melaksanakan apa yang seharusnya dilakukannya. Hukuman yang dijatuhkan tidak akan pernah sanggup membayar atau memperbaiki kesalahan yang sudah dibuat. Hukuman hanya mempunyai makna apabila dijalankan untuk menyadarkan orang akan kewajibannya.

Dalam alur argumentasi ini kita menempatkan perlunya apa yang disebut sebagai kodeks kewajiban-kewajiban asasi manusia. Adanya tuntutan akan pemenuhan kewajiban-kewajiban dasar bersumber dari kesadaran dan pengalaman bahwa manusia memang sering tidak melakukan apa yang seharusnya dilakukannya. Karena ada kemungkinan untuk tidak melakukannya, maka kita perlukan sebuah rumusan yang mewajibkan dan kita perlu membentuk instansi-instansi yang memperhatikan pelaksanaan kewajiban-kewajiban itu. Kita tidak akan mewajibkan orang untuk melakukan sesuatu, apabila manusia dari kodratnya hanya memiliki kemungkinan untuk melakukan sesuatu itu, jika tidak ada alternatif untuk melakukan sesuatu yang lain. Sesuatu kita sampaikan sebagai kewajiban, agar di tengah situasi konkrit yang memungkinkan seseorang untuk tidak

Page 45: hukuman mati

melakukan kewajiban itu, dia tetap memilih melaksanakan kewajibannya. Namun pelaksanaan kewajiban itu hanya mungkin selama kemanusiaan seseorang diakui dan dipertahankan. Sebab itu, pelanggaran dalam menjalankan kewajiban asasi tidak pernah dapat menjadi alasan untuk meniadakan kemanusiaan itu melalui hukuman mati yang dijatuhkan dan dilaksanakan terhadap seorang pelaku kejahatan.

Juga dalam gerak pemikiran yang sama kita tempatkan tanggung jawab moral masyarakat. Sebagai perwujudan sebuah ideal moral, masyarakat harus tetap mempertahankan penghargaan yang tak tergoyahkan pada keluhuran martabat manusia. Kewajiban masyarakat adalah menciptakan kondisi untuk menyadarkan seseorang akan tanggung jawabnya dan dengan demikian akan hakikat dirinya sebagai makhluk yang bermoral. Masyarakat melaksanakan peran ini apabila dia tetap berpegang teguh pada keluhuran martabat kemanusiaan seorang penjahat dan tidak melepaskannya bersama dengan kejahatan yang dilakukannya. Dengan tetap berpegang pada martabat manusia seorang penjahat, masyarakat menyodorkan kepada orang tersebut apa yang seharusnya dia lakukan. Untuk mempertahankan manusia sebagai makhluk bermoral, mayarakat tidak boleh mendegradasikan seorang penjahat ke tingkat binatang buas.

Dengan pendegradasian semacam ini masyarakat membatalkan dasar tuntutan tanggungjawab si penjahat itu sendiri. Apabila dia sudah disamakan dengan binatang, maka dia tidak mempunyai lagi kewajiban yang sama seperti kewajiban seorang manusia. Kalau demikian, sebenarnya tidak ada alasan untuk menuntut orang seperti ini melakukan kewajiban seorang manusia dan menghukumnya dengan alasan kegagalannya memenuhi kewajiban seorang manusia. Sebaliknya, dengan tetap mempertahankan dan menghormati kemanusiaannya, masyarakat tetap menghidupkan ideal kemanusiaan di hadapan orang seperti ini dan mendorongnya untuk memenuhi tuntutan moralnya. Konsistensi penghargaan masyarakat terhadap martabat manusia sepatutnya ditunjukkan dengan sikap tetap menghargai martabat manusia yang sudah melakukan banyak pelanggaran.

Penghormatan terhadap HAM pada umumnya hanya dapat ditegakkan apabila masyarakat konsisten dengan sikap ini, juga ketika berhadapan dengan para pelaku kejahatan. HAM didasarkan pada prinsip bahwa hak-hak ini tidak diberikan oleh negara, dan karena itu tidak dapat juga dicabut oleh negara. Di samping karena negara dan masyarakat tidak mempunyai hak untuk mencabut hak hidup seseorang, termasuk di dalamnya seorang pelanggar HAM, sikap menolak hukuman mati justru dapat mendorong budaya kehidupan yang menanamkan dan meneguhkan sikap menghormati keluhuran martabat manusia secara keseluruhan. Masyarakat dan negara menjadi promotor penegakan HAM, apabila negara dan masyarakat berani menghapus hukuman mati. Menolak hukuman mati

Page 46: hukuman mati

adalah bukti kesadaran akan keluhuran martabat manusia, dan akan mendorong perluasan kesadaran ini.

Hukuman Mati Melanggar HAM..??

Posted on 16 Juli 2008 by baguscokie

i

1 Votes

Quantcast

Hukuman mati mulai marak di perdebatkan menyusul eksekusi mati narapidana narkoba, ujung ujungnya hukum Islam jadi kambing hitam dan dianggap tidak manusiawi serta melanggar HAM. Benarkah Hukuman Mati Melanggar HAM..??

Di dalam syariah Islam yang menyebabkan hukuman atau vonis mati, diantaranya adalah :

1. Hukuman mati buat pezina yang sudah pernah menikah.

2. Hukum qishah, yaitu hukuman mati buat orang yang menghilangkan nyawa orang lain dengan sengaja.

3. Hukuman mati buat para begal (hirabah) yang salah satu jenis vonisnya adalah hukuman mati.

4. Hukuman mati buat mereka yang murtad dan keluar dari agama Allah SWT

5. Makar ( pemberontakan )

Dan lain-lain.

Page 47: hukuman mati

Hukuman Mati dalam Pandangan Islam

Dalam pandangan Islam, hukuman mati atas pelaku pembunuhan disengaja merupakan ketentuan dari Allah SWT. Allah SWT berfirman:

Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kalian hukuman qishâsh berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh. (QS al-Baqarah [2]: 178).

Karena itu, penolakan atas hukuman mati, termasuk hukuman mati atas pelaku pembunuhan disengaja, jelas-jelas bertentangan dengan ayat ini. Ide penolakan itu tidak bertolak dari akidah Islam. Ide itu tidak lain bertolak dari ide, sekularisme, kebebasan dan HAM. Tentu saja, ide penolakan semacam itu tidak layak dimiliki oleh seorang yang masih mangaku Muslim.

Lebih dari itu, sanksi pidana Islam, termasuk qishâsh, berfungsi sebagai jawâbir (penebus dosa di akhirat) bagi pelakunya sekaligus sebagai zawâjir (pencegah) karena memiliki efek jera yang menghalangi orang lain untuk melakukan kejahatan yang sama. Sistem pidana Islam juga berpihak kepada pelaku, korban dan atau keluarganya, serta masyarakat secara umum. Semua itu terlihat jelas dalam hukuman atas pembunuhan.

Sanksi pidana Islam yang diberlakukan di dunia-tentu saja jika memenuhi ketentuan syariah-akan berfungsi sebagai jawâbir (penebus dosa). Dengan begitu, pelakunya tidak akan disiksa di akhriat karena dosa kejahatan tersebut. Di sinilah keberpihakan hukum Islam kepada pelaku tampak. Bagi orang yang mengimani kehidupan akhirat berikut pahala dan siksanya, sifat ini memberikan dorongan besar baginya untuk mengakui kejahatan yang ia perbuat sekaligus menjalani hukuman dengan penuh kerelaan bahkan dengan kegembiraan. Hal itulah yang terjadi atas diri Maiz al-Aslami dan al-Ghamidiyah yang pernah datang kepada Rasulullah saw. untuk memberikan pengakuan atas zina yang mereka lakukan. Mereka pun mendesak Rasulullah saw. untuk segera menghukum rajam mereka agar dengan itu mereka menjadi suci kembali dan di akhirat kelak mereka tidak khawatir akan mendapatkan azab dari Allah yang pasti lebih berat lagi.

Page 48: hukuman mati

Adapun fungsi hukum pidana Islam sebagai zawâjir (pencegah) digambarkan dalam firman Allah:

Dalam qishâsh itu ada (jaminan kelangsungan) hidup bagi kalian, wahai orang-orang yang berakal, supaya kalian bertakwa. (QS al-Baqarah [2]: 179).

Berkaitan dengan ayat di atas, Ibn Katsir menyatakan bahwa di dalam qishâsh itu terdapat hikmah yang agung, yaitu terpelihara dan terjaganya darah (kehidupan) manusia. Sebab, jika seorang yang akan membunuh manusia mengetahui bahwa ia akan dihukum mati jika dia melakukan pembunuhan, tentu ia akan berpikir seribu kali untuk membunuh. Dengan begitu, akan banyak manusia yang terselamatkan dari kasus-kasus pembunuhan dan kelangsungan hidup manusia pun akan terpelihara. Karena itulah, agar fungsi zawâjir itu berjalan, pelaksanaan hukuman mati (qishâsh) harus dilakukan secara terbuka. Dengan begitu, masyarakat tahu siapa yang dihukum, kapan, dimana, dan dengan cara apa eksekusi dilakukan; penguburan jenazahnya juga disaksikan oleh masyarakat luas.

Di samping itu, yang harus di-qishâsh adalah semua orang yang terlibat langsung dalam pembunuhan yang disengaja itu, meskipun jumlahnya banyak. Umar bin al-Khaththab dan Ali bin Abi Thalib berpendapat bahwa jika sekelompok orang bersekutu-baik dua orang atau lebih; baik orang yang menjadi otaknya maupun eksekutor lapangan; baik yang membunuh langsung maupun yang sekadar memegangi korban; dst.-untuk membunuh seseorang, maka semuanya dikenai sanksi qishâsh, meskipun korbannya satu orang. Karena itu, dalam kasus Tibo dkk, jika terbukti ia melakukan pembunuhan, ia harus di-qishâsh (dihukum mati). Begitu juga ke-16 orang yang dikatakan sebagai otaknya, jika terbukti, semuanya harus di hukum mati.

Semua itu menjamin penjagaan darah masyarakat dan kelangsungan kehidupan masyarakat. Di sinilah kejelasan keberpihakan hukum Islam kepada masyarakat.

Adapun keberpihakan hukum Islam kepada korban adalah dengan adanya hak keluarga korban untuk menuntut hukuman qishâsh. Rasulullah saw. Bersabda:

Siapa saja yang membunuh dengan sengaja, maka ia dihadapkan kepada wali-wali pihak korban yang terbunuh. Jika mereka menghendaki, mereka dapat membunuhnya. Jika mereka menghendaki, mereka bias mengambil diyat-yaitu 30 unta dewasa, 30 unta muda,

Page 49: hukuman mati

dan 40 unta yang sedang bunting. Jika mereka memaafkannya maka pahalanya bagi mereka. (HR at-Tirmidzi).

Wahai kaum Muslim:

Sanksi pidana Islam bisa diibaratkan sebagai palang pintu terakhir dalam melindungi masyarakat dari kejahatan. Tentu saja upaya mencegah dan mengikis kejahatan sampai batas paling minimal harus disinergikan dengan sistem-sistem yang lain. Dorongan kemiskinan dan kelaparan hanya bisa dihapus melalui penerapan sistem ekonomi Islam yang menjamin pemenuhan kebutuhan pokok serta kemungkinan pemenuhan kebutuhan sekunder dan tersier. Untuk menjaga akidah dan akhlak harus dilakukan melalui sistem pendidikan Islam. Untuk jaminan keamanan, keadilan, dan pelayanan harus diterapkan sistem pemerintahan Islam. Untuk memelihara pergaulan pria-wanita yang sehat dan bersih harus diterapkan sistem pergaulan Islam.

Karena itu, untuk mencegah dan mengikis kejahatan sampai paling minimal, atau bahkan menghilangkannya sama sekali, harus dilakukan melalui penerapan sistem-sistem Islam dalam segenap aspek kehidupan, yakni dengan menerapkan syariah Islam secara kaffâh.

Hukuman mati (the death penalty), telah memicu perdebatan sejak ratusan tahun lalu, ada yang pro dan kontra.

Tanggal 10 Oktober kemarin adalah Hari Anti Hukuman Mati Sedunia. Berbagai alasan dikeluarkan untuk menentang hukuman mati. Alasan utamanya adalah melanggar hak hidup dan tidak memberi kesempatan bagi sang terpidana untuk memperbaiki diri.Mereka mungkin akan bersuara lain bila berada pada pihak yang dirugikan oleh terpidana. Jamak terdengar pihak keluarga seorang korban pembunuhan dengan keras menuntut pelaku dihukum mati. Orang-orang yang menderita secara langsung atau tidak dengan narkoba, menuntut pengedar narkoba dihukum mati. Tak sedikit pula yang menuntut para koruptor dihukum mati. Dan juga soal hukuman mati kepada para ‘teroris’. Lalu, kenapa pihak-pihak yang kontra hukuman mati tidak berkata apa-apa terhadap mereka? Menjelaskan pada pihak korban agar mereka menarik permintaan mereka agar sang pelaku dihukum mati. IMO, kalau mereka melakukan hal tersebut, maka pamor mereka akan hancur :p.Layak atau tidaknya hukuman mati seharusnya ditilik dari kejahatan yang dilakukan. Ambil contoh ekstrim: Seseorang yang melakukan atau memerintahkan pembantaian, apa pantas untuk diberi hak hidup? Lalu kemudian ia dapat hidup, dibiayai oleh negara bahkan mungkin mendapatkan ‘fasilitas’ tambahan entah dari mana, karena ia cukup mendapat hukuman penjara. Entahlah, kupikir terkadang istilah eye for an eye pada kondisi tertentu bisa diberlakukan.

Page 50: hukuman mati

Huff … menurutku jalan pikiran para aktifis itu aneh. Efek yang diharapkan dari hukuman mati bukankah tidak sekedar untuk ‘membayar’ kejahatannya saja, melainkan juga untuk memberikan semacam peringatan agar orang lain tidak melakukan kejahatan yang sama?Beberapa renungan untuk para aktivis HAM dan orang-orang yang kontra :1. Mereka2 yang menentang hukuman mati, begitu memperhatikan hak si terhukum. Hak hidupnya, hak tobatnya, dsb. Lalu bagaimana dengan hak korban? Dia juga terampas haknya kan? Hidupnya, masa depannya, hak keluarganya. Apalagi jika korban dibunuh dengan cara yang keji, atau dibunuh karena hal sepele.Bagaimana jika yang dibunuh adalah kepala keluarga? Dia punya anak, punya istri. Siapa yang akan menafkahinya? Sementara sang kepala keluarga dibunuh oleh perampok. Dan mereka2 yang anti-hukuman-mati ternyata malah begitu peduli pada si perampok? Gak masuk akal kan…2. Di semua agama, hukuman mati DIPERBOLEHKAN. Dalam Islam, Kristen, ada. Dalam Islam, jika pihak keluarga mengampuni, selesai urusannya. Tapi jika tidak, maka hukuman mati dijalankan.3. Kalau pembunuh “hanya” dipenjara seumur hidup, pertama, itu jadi beban pemerintah. Kedua, enak bener dia. Udah menghabisi nyawa orang lain, eh dia punya kesempatan hidup.Kadang2 saya berdoa, semoga di antara para aktifis anti-hukuman-mati itu, ada satu atau dua, atau kalau perlu semua, yang anggota keluarganya dibantai. Secara keji. Dan dengan alasan yang sepele. Mungkin dengan begini, mereka baru bisa memahami apa yang sebenarnya dirasakan oleh keluarga korban.Bagaimanapun, saya mendukung hukuman mati yang total, dalam artian memang jelas-jelas terbukti kejahatannya. Bahkan kalau perlu, hukuman mati ini disiarkan ke mana-mana saat eksekusi. Apakah kejahatan lantas akan hilang? Gak mungkin. Selama ada iblis, kejahatan akan tetap ada.

Seharusnya apabila seseorang ingin melakukan kejahatan, baik itu yang disengaja ataupun tidak, terlebih dahulu memikirkan konsekuensinya. Jika perbuatan jahat dapat dihindari maka hukuman mati atau death penalty otomatis tidak menanti, dan para aktivis HAM tak perlu repot-repot ber-demo. Di samping itu ada persoalan yang lebih penting, yakni memberantas kemiskinan dan mencegah global warming. Sebab takut-takutnya death penalty bukan hanya untuk si terpidana melainkan untuk seluruh umat manusia.

Page 51: hukuman mati

Pro dan Kontra Hukuman Mati OPINI Djawara Putra Petir | 20 June 2009 | 18:00

1699

6

Nihil.

Pidana mati atau hukuman mati merupakan pemidanaan terberat, karena berhubungan dengan hak hidup seseorang. Pencabutan hak hidup si terhukum mati jika telah dieksekusi dan dikemudian hari ditemukan bukti baru yang membuktikan bahwa si tereksekusi bukan pelakunya, maka tidak mungkin untuk dikembalikan dalam keadaan semula (dihidupkan kembali), untuk itu perlu kehati-hatian untuk menjatuhkan hukuman mati, terutama bagi para Hakim.

Praktek peradilan dan khususnya sistem pembuktian hukum pidana Indonesia, terutama Penyidik/Kepolisian masih belum dapat sepenuhnya melepaskan cara-cara lama mengejar pengakuan tersangka dalam melakukan penyidikan, yakni masih adanya penekanan dan penyiksaan pada orang yang dianggap pelaku perbuatan pidana (jngat kasus pembunuhan di Jombang dan di Sulawesi).

Kejaksaan dalam hal ini Penuntut Umum, yang semestinya mempelajari perkara yang diajukan kepadanya sebagai bahan pertimbangan untuk menentukan pasal-pasal hukum yang akan dibuktikan dalam persidangan, seringkali secara serampangan karena mungkin ada muatan dari pihak-pihak tertentu yang menyebabkan berbuat serampangan, demikian juga pada waktu penuntutan acap kali sangat tidak memperhatikan rasa prikemanusiaan lagi, memang bukan kuwajiban penuntut umum, tetapi hatinurani sebagai manusia atau bisikan hati sanubari itupun seharusnya tidak diabaikan begitu saja.

Banyak nada minus atas putusan lembaga Pengadilan ini, dan pengadilan seringkali diberi gelar sebagai lembaga stempel atau lembaga yang melegalisasi Berita Acara Pemeriksaan Penyidik dan tuntutan Penuntut Umum, seringkali seharusnya tidak terbukti, tetapi karena tuntutan Penuntut Umum Tinggi yang mestinya dibebaskan dalam prakteknya selalu dihukum paling rendah separo dari tuntutan Penuntut Umum yang seharusnya bebas, kecuali perkara-perkara yang telah menjadi perhatian public (contoh kasus seperti Prita, kasus pembunuhan di Jombang dlsb). Andaikan kasus Prita dan kasus Jombang tidak memperoleh perhatian masyarakat atau para Capres yang lagi getol-getolnya kampanye, dalam hal ini dapat dipastikan bahwa Prita akan dihukum dan tidak mungkin dibebaskan seperti saat ini.

Karena keadaan praktisi-praktisi peradilan demikian, maka tidak dapat disalahkan jika di masyarakat akhirnya timbul pro dan kontra pada hukuman mati.

Page 52: hukuman mati

BAGI YANG KONTRA HUKUMAN MATI, selalu mengaitkan dengan Hak Asasi Manusia, Panca Sila dan hak pencabutan nyawa seseorang, karena hukuman mati dianggap sebagai pelanggaran hak asasi manusia yang terdalam yakni hak untuk hidup dan tidak ada satupun manusia di dunia ini mempunyai hak untuk mengakhiri hidup manusia lain meskipun dengan atas nama hukum atau negara, apalagi Indonesia menganut dasar Falsafah Panca Sila yang menghormati harkat dan martabat manusia serta berke-Tuhanan, karena yang paling berhak mencabut nyawa mahluk hidup hanya Tuhan.

BAGI YANG PRO HUKUMAN MATI, demi ketentraman dan kenyamanan hidup masyarakat serta keadilan, maka sudah wajar dan pantas jika pelaku kejahatan yang sadis atau perbuatan yang dapat menimbulkan kekacauan dan kerugian orang banyak atau masyarakat disingkirkan dari muka bumi ini.

Hukum Hak Asasi Manusia dan Panca Sila bukan untuk melindungi penjahat atau orang yang berbuat merugikan orang banyak, karena Hukum Hak Asasi Manusia dan Panca Sila untuk melindungi kepentingan orang banyak atau masyarakat, sedangkan hak mencabut nyawa seseorang memang benar hak Tuhan tetapi dalam hal ini dapat juga diartikan bahwa Tuhan telah mengutus hakim dan regu tembak untuk mencabut nyawa siterpidana, jika Tuhan tidak mengutus dan/atau mengijinkan maka tidak mungkin siterpidana akan berhadapan dengan regu tembak eksekutor dan mati.

BAGI YANG PRO DENGAN SYARAT-SYARAT TERTENTU, hukuman mati tiu tidak menjadi persoalan jika saat penyidikan kepada tersangka diberi hak-haknya secara wajar tanpa adanya unsur paksaan dalam arti dihormati Hak Asasi Manusia-nya dan hak hukumnya untuk didampingi seorang Advokat atau lebih dan tidak ada pemaksaan atau provokasi dengan motif tertentu sepeninggal Advokatnya, serta diyakini dengan benar bukan karena keterpaksaan bahwa memang benar sitersangka adalah pelakunya.

Penjahat atau perbuatan yang sangat merugikan orang banyak dan merusak generasi bangsa serta menimbulkan rasa ketakutan atau kecemasan masyarakat memang seharusnya disingkirkan dari muka bumi.

“Hukuman mati merefleksikan bahwa insting hewan masih ada pada manusia.”

(Nelson Mandela)

Kontroversi hukuman mati sudah sejak lama ada di hampir seluruh masyarakat dan negara di dunia. Dan hukuman mati mencuat di Indonesia akhir-akhir ini dalam merespon isu korupsi yang silih berganti. Wacana hukuman mati bagi para koruptor memberikan banyak argumentasi pro dan kontra. Apakah dibutuhkan untuk dijadikan senjata baru

Page 53: hukuman mati

pemberantasan korupsi? Atau justru berbahaya, karena bertentangan dengan hak hidup manusia yang merupakan hak asasi manusia?

Seperti kita ketahui, bahwa Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menkumham), Patrialis Akbar, setuju dengan penerapan hukuman mati untuk para pelaku tindak pidana korupsi. DPR juga sedang menyusun pembahasan agenda hukuman mati bagi koruptor. Pendukung hukuman mati lainnya datang dari Ketua Mahkamah Konstitusi, Mahfud MD. Mahfud menilai hukuman ini tidak melanggar undang-undang. Dalam Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, hukuman mati ini diatur dalam 2 pasal, yakni Pasal 2 ayat (2). Pasal itu berbunyi, “Dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana yang diatur dalam ayat (1) dilakukan dalam keadaan tertentu, pidana mati dapat dijatuhkan.” Keadaan tertentu dalam ketentuan ini adalah keadaan yang dapat dijadikan alasan pemberatan pidana bagi pelaku tindak pidana korupsi yaitu apabila tindak pidana tersebut dilakukan terhadap dana-dana yang diperuntukkan bagi penanggulangan keadaan bahaya, bencana alam nasional, penanggulangan akibat kerusuhan sosial yang meluas, penanggulangan krisis ekonomi dan moneter, dan pengulangan tindak pidana korupsi.

Namun, bagaimana pandangan hak asasi manusia dalam persoalan hukuman mati ini? Asmara Nababan menilai hukuman mati inkonstitusional. Menurut pendapat mantan Sekretaris Jenderal Komisi Nasional Hak Asasi Manusia ini, hukuman mati adalah pelanggaran konstitusi, khususnya Pasal 28 Ayat 1 Undang-Undang Dasar 1945. Pasal dalam konstitusi tertinggi kita itu mengamanatkan bahwa hak hidup setiap orang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun. Pelaksanaan hukuman mati menunjukkan inkonsistensi dalam sistem hukum kita. Benarkah? Mari kita telusuri bersama.

Hak Asasi Manusia dan Hukuman Mati

Bahwa hak asasi manusia merupakan hak dasar yang secara kodrati melekat pada diri manusia, bersifat universal dan langgeng, oleh karena itu harus dilindungi, dihormati, dipertahankan dan tidak boleh diabaikan, dikurangi atau dirampas oleh siapapun. Bersama 150 negara, Indonesia pada tahun 2005 juga sudah meratifikasi International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR) yang dalam Pasal 6 (1) berbunyi: “Every human being has the inherent right to life. This right shall be protected by law. No one shall be arbitrarily deprived of his life.” Dalam pasal itu menyatakan, setiap manusia memiliki hak atas hidup yang bersifat melekat.

Page 54: hukuman mati

Maka, hak atas hidup ini tidak perlu diragukan lagi karena yang paling penting dari semua hak asasi manusia. Masyarakat yang beradab tidak dapat eksis tanpa ada perlindungan hukum terhadap hidup manusia. Jika tidak ada hak atas hidup maka tidak akan ada pokok persoalan dalam hak asasi manusia lain.

Selain itu, pasal 6 kovenan ini mengharuskan hak atas hidup dilindungi oleh hukum. Keharusan ini berarti setiap negara wajib memiliki hukum yang melindungi hak atas hidup dalam sistem hukum. Perlu kita telaah kembali, dalam perubahan UUD 1945, isu hukuman mati tercantum dalam perubahan Bab XA. Pasal 28A yang dengan eksplisit mengatakan: “Setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya.” Jadi, hak untuk hidup atau the right to life adalah hak yang paling mendasar dalam UUD 1945.

Hak untuk hidup (penentangan hukuman mati) kembali ditegaskan dalam Pasal 28I (1) dalam rumusan: “Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun.”

Maka, pasal 28A dan pasal 28I ini adalah payung hak asasi manusia sebagai “non-derogable human rights” atau “hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun.” Jadi, hak untuk hidup ini adalah hak yang tak bisa dikompromikan dengan hak-hak lain. Hak untuk hidup ini adalah puncak hak asasi manusia yang merupakan induk dari semua hak asasi lain. Sehingga, hubungan antara hak asasi manusia dan hukuman mati tidak dapat dipisahkan. Maka, hak asasi manusia yang meliputi hak untuk hidup bertentangan dengan hukuman mati itu sendiri.

Indonesia dan Hukuman Mati

Hukuman mati dalam peraturan perundang-undangan kita diatur dalam 10 produk hukum. Lima di antaranya dibuat dalam era Soekarno dan kemudian dalam era Soeharto mengesahkan revisian salah satu peraturan perundang-undangan tersebut. Menariknya, sejak 1997 tercatat ada lima undang-undang baru yang mencantumkan hukuman mati sebagai ancaman pidananya yaitu: a). UU No. 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika; b). UU No. 22 Tahun 1997 tentang Narkotika; c). UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Korupsi; d). UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM; dan e). UU No. 15 Tahun

Page 55: hukuman mati

2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Jadi, ada 10 peraturan perundang-undangan yang memuat ancaman pidana hukuman mati, 5 di antaranya dibuat oleh Indonesia dalam masa kurun waktu sepuluh tahun terakhir.

Maka, jika kita lihat dari sisi jumlah undang-undang dan kurun tahun pengesahan terlihat bahwa Indonesia justru memperbanyak hukuman mati dan tidak mempunyai kecenderungan untuk menghapus hukuman mati. Selain itu, Indonesia justru memperbanyak jenis kejahatan yang diancam hukuman mati. Lima peraturan perundang-undangan tersebut kesemuanya memuat tindak kejahatan dengan jenis baru yang diancam hukuman mati. Pidana-pidana yang diancam pun justru yang tidak masuk dalam kelompok kejahatan yang paling serius (the most serious crimes) menurut Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik.

Maka, dapat dinyatakan bahwa, tidak ada kecenderungan Pemerintah Indonesia menghapus hukuman mati atau pun melakukan upaya pembatasan jenis kejahatan yang diancam hukuman mati. Kecenderungan ini juga tidak memperlihatkan adanya indikasi Indonesia akan memberlakukan moratorium pelaksanaaan hukuman mati seperti diserukan oleh PBB. Dan jika, upaya pemeritah dan DPR dalam menyikapi isu korupsi itu dengan mengandalkan hukuman mati sebagai salah satu strateginya, maka hak hidup sebagai salah satu hak asasi manusia semakin jauh saja dari realitas kehidupan bernegara kita. Hukuman mati belum bisa diakhiri, karena insting hewan masih mendominasi kita. Benar juga kata-kata Nelson Mandela.

* Penulis adalah Direktur PUNDEN Nganjuk Jawa Timur, sekaligus anggota Forum Belajar Bersama Prakarsa Rakyat dari Simpul Jombang.

Page 56: hukuman mati

Koruptor Bisa Dihukum Mati!

Senin, 5 April 2010 - 16:57 wib

Insaf Albert Tarigan - Okezone

JAKARTA - Maraknya kasus korupsi dan makelar kasus yang terekspose ke media membuat Menteri Hukum dan HAM Patrialis Akbar angkat bicara. Patrialis menganggap perlu dijatuhkan hukuman mati bagi koruptor.

"Saya kira saya setuju," kata Patrialis saat dikonfirmasi wartawan di Istana Negara, Jakarta, Senin (5/4/2010).

Menurut Patrialis hukuman mati bagi koruptor bisa dilakukan karena dalam UU Pidana Korupsi disebutkan aturan tersebut.

"Penerapannya itu di luar pemerintah. Itu sudah yudikatif. Undang-undangnya sudah boleh, masa kita masih berdebat soal itu. Tergantung penafsiran dari hakim," kata Patrialis.

Patrialis menganggap hukuman mati itu merupakan cara yang tegas dan keras untuk mengatasi kasus korupsi yang masih menjamur.

Berdasarkan UU Tindak Pidana Korupsi No31/1999 sebagaimana telah diubah dengan UU NO 20/2001 pasal 2 ayat 2 disebutkan, "Dalam Hal tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dalam keadaan tertentu, pidana mati dapat dijatuhkan..."

Page 57: hukuman mati

Sementara di Pasal 2 ayat 1 disebutkan, "Setiap orang yang sengaja melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 tahun dan paling lama 20 tahun dan denda paling sedikit 200 juta atau paling banyak Rp1 milia

Page 58: hukuman mati

Mahasiswa (001) bicara tentang Hukuman Mati dan HAMIn dEmokrasi on Friday , 19 March 2010 at 10:41 am

Disusun oleh Endang Nur Wachidah, 07/253163/PA/11551, Program Studi Matematika, Jurusan Matematika, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.

Memulai membicarakan topik Hukuman Mati vs Hak Asasi Manusia akan lebih baik kita menelaah terlebih dahulu tentang pengertian dan definisi Hak Asasi Manusia. Pengertian hak asasi manusia menurut UU no. 39 tahun 1999 :“Hak assasi manusia (HAM) adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerahNya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi, dan dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia”

Dari beberapa sumber lainnya saya menyimpulkan pengertian dan definisi hak asasi manusia sebagai berikut :Hak Asasi Manusia adalah hak yang melekat pada diri manusia sejak di dalam kandungan yang bersifat kodrati dan fundamental sebagai anugrah Tuhan yang berlaku seumur hidup dan tidak dapat digugat siapa pun dan harus dihormati, dijaga, dan dilindungi oleh setiap individu, masyarakat maupun negara.

Supaya kita lebih mengenal tentang apa saja yang terkandung dalam hak asasi manusia, berikut ini yang termasuk dalam hak asasi manusia menurut UUD 1945 RI yang telah diamandemen Pasal 28 tentang hak asasi manusia secara singkat. Hak asasi manusia meliputi:

Pasal – Pokok bahasan28A – Hak hidup28B – Hak membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan, hak anak untuk hidup dan mendapat perlindungan28C- Hak pengembangan diri, pendidikan, mendapat manfaat dari iptek28D – Hak mendapat keadilan dalam bekerja dan hukum serta status kewarganegaraan28E – Hak dalam memilih agama, kepercayaan, pendidikan, pekerjaan, kewaraganegaraan, tempat tinggal , menyatakan pendapat dan berserikat28F – Hak berkomunikasi dan informasi28G – Hak mendapat perlindungan, bebas dari penyiksaan, dan suaka politik dari negara lain28H – Hak hidup sejahtera, pelayanan kesehatan, jaminan social, dan hak milik28I – Hak hidup, merdeka, bebas dari diskriminatif, identitas budaya, perlindungan HAM28J – Wajib menghormati Ham orang lain, tunduk pada UU

Di Indonesia telah dikeluarkan UU yang membahas hak asasi manusia dan juga pengadilan hak asasi manusia. Hal ini dimaksudkan agar masyarakat Indonesia

Page 59: hukuman mati

memahami tentang pentingnya hak asasi manusia sehingga dapat menjalankan kehidupan dengan segala hak dan kewajibannya tanpa melanggar hak asasi orang lain. Dalam UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia dijabarkan mengenai jenis dan tingkatan pelanggaran hak asasi manusia. Pengadilan Hak Asasi Manusia adalah pengadilan khusus terhadap pelanggaran hak asasi manusia yang berat.Apa sajakah yang termasuk dalam pelanggaran hak asasi manusia berat?

Menurut UU No.26 Tahun 2000 BAB III Pasal 7, pelanggaran hak asasi manusia yang berat meliputi :1. Kejahatan Genosida2. Kejahatan terhadap kemanusiaan

Apakah yang dimaksud dengan Kejahatan Genosida ?UU No.26 Tahun 2000 BAB III Pasal 8 :Kejahatan Genosida adalah setiap perbuatan yang dilakukan dengan maksud untuk menghancurkan atau memusnahkan seluruh atau sebagian kelompok bangsa, ras, kelompok etnis, kelompok agama.

Apakah yang dimaksud dengan Kejahatan terhadap kemanusiaan ?UU No.26 Tahun 2000 BAB III Pasal 9 :Kejahatan terhadap kemanusiaan adalah salah satu perbuatan yang dilakukan sebagai bagian dan serangan yang meluas atau sistematik yang diketahuinya bahwa serangan tersebut ditujukan secara langsung terhadap penduduk sipil, berupa : pembunuhan, pemusnahan, perbudakan, pengusiran secara paksa, perampasan kemerdekaan, penyiksaan, pemerkosaan, perbudakan seksual, pelacuran secara paksa, penghilangan orang secara paksa, kejahatan apartheid, dan masih banyak lagi.

Apa yang dimaksud kejahatan apartheid ?Kejahatan Apartheid adalah perbuatan tidak manusiawi dengan sifat yang sama dengan sifat-sifat yang disebutkan dalam pasal 8 yang dilakukan dalam konteks suatu rezim kelembagaan berupa penindasan dan dominasi oleh suatu kelompok rasial atas suatu kelompok atau kelompok-kelompok ras lain dan dilakukan dengan maksud mempertahankan rezim itu.

Apa sajakah yang termasuk dalam pelanggaran hak asasi manusia ringan ?Dalam UU No.26 Tahun 2000 tidak disebutkan mengenai penggolongan pelanggaran HAM ringan. Sehingga dapat disimpulkan pelanggaran HAM ringan adalah komplemen dari pelanggaran HAM berat.

Setelah kita mengetahui definisi hak asasi manusia dan telah mengenal jenis pelanggaran HAM, marilah kita mengamati fenomena hukuman mati yang dijatuhkan pada para penjahat yang melakukan tindak kejahatan tertentu di negara kita. Sebut saja hukuman mati yang dijatuhkan pada para teroris pelaku peledakan Bom Bali I.

Masih pantaskah ada negara yang menjatuhkan hukuman mati dan di sisi lain terjadi berbagai upaya memperjuangkan perlindungan HAM ?

Page 60: hukuman mati

Kenyataannya masih banyak negara yang undang-undangnya menjatuhkan hukuman mati sebagai ganjaran atas suatu perbuatan kejahatan luar biasa seperti kejahatan di bawah hukum militer atau kejahatan yang dilakukan dalam keadaan luar biasa. Diantaranya adalah Bolivia, Brazil, Chile, El Savador, Israel, Fiji, Kazakstan, Latvia, dan Peru.

Bagaimana di Indonesia? Tentu kita mengingat hukuman mati yang telah dijatuhkan kepada teroris pelaku pengeboman Bom Bali, Amrozi cs. Ternyata di negara kita juga masih melakukan hukuman mati. Apakah semua masyarakat Indonesia setuju dengan adanya hukuman mati yang diberlakukan Indonesia? Tidak. Terjadi banyak pro kontra seputar hukuman mati di Indonesia. Terdapat beberapa pakar hukum yang berpendapat mengenai hukuman mati di Indonesia. Di bawah ini petikannya.1. Sudi Prayitno, S.H., LL.M. [Penulis adalah Direktur Kantor Hukum Justitia Padang dan Advokat pada LBH Padang]

Hukuman mati (the death penalty), sekalipun sudah memicu perdebatan sejak ratusan tahun lalu, namun tetap menjadi sorotan publik bahkan memicu kerusuhan yang berujung pada tindakan perusakan terhadap sejumlah kantor pemerintah. Setidak-tidaknya, reaksi itulah yang terjadi pada hari-hari pasca eksekusi terhadap Fabianus Tibo, Dominggus da Silva, dan Marinus Riwu, terpidana mati dalam kasus kerusuhan Poso, yang “diakhiri’ nyawanya oleh regu tembak dua tahun lalu atau tepatnya pada tanggal 22 September 2006. Tibo Cs., bukanlah terpidana terakhir yang harus menghadapi hukuman mati, tetapi masih ada ratusan terpidana mati lain yang kini sedang menunggu pelaksanaan hukuman mati. Angka ini jelas bukan merupakan jumlah yang kecil, bila mengingat Indonesia –menurut catatan Amnesty International- tergolong sebagai salah satu negara yang paling minim menerapkan hukuman mati sampai tahun 2001, dikaitkan pula dengan jumlah negara penganut hukuman mati (retentionist countries) yang terus-menerus mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Bisa jadi, kini Indonesia menjadi salah satu negara yang paling banyak menjatuhkan hukuman mati dibanding negara lain di dunia.

Secara yuridis, pelaksanaan hukuman mati terhadap Tibo Cs. dan ratusan terpidana mati lain, didasarkan pada putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap (incracht van gewssdje). Putusan mana didasarkan pada ketentuan hukum positif yang berlaku, seperti KUHP, UU No 7/Drt/1955, UU No 22 Tahun 1997, UU No 5 Tahun 1997, UU No 31 Tahun 1999, UU No 26 Tahun 2000, dan lain sebagainya. Dari kenyataan ini, terlihat bahwa penerapan hukuman mati di Indonesia semakin menunjukkan kecederungan yang meningkat dilihat dari peningkatan jumlah peraturan perundang-undangan yang mengatur hukuman mati. Persoalannya, apakah penerapan hukuman mati seperti yang diberlakukan terhadap Tibo Cs. dan ratusan terpidana mati lain, memang masih layak dipertahankan? Sejalankah praktek penghukuman seperti itu dilihat dari perspektif hak asasi manusia dan tujuan penghukuman itu sendiri?.Beberapa filsafat memandang tujuan penghukuman atau pidana sebagai bentuk pembalasan dan pemberi rasa takut atau efek pencegah (deterrent effect) bagi orang lain agar tidak melakukan kejahatan serupa di kemudian hari. Di sisi lain, ada pula yang memandang hukuman sebagai cara untuk memperbaiki dan memberi efek jera bagi si pelaku sehingga tidak mau lagi melakukan perbuatan serupa di kemudian hari.

Page 61: hukuman mati

Menurut pandangan pertama, tujuan hukuman baru akan terwujud apabila pelaku kejahatan diganjar dengan hukuman yang setimpal dengan perbuatannya dan semakin berat hukuman akan semakin membuat orang takut melakukan kejahatan. Masalahnya, apakah filosofi deterrent effect itu berjalan efektif? Melihat praktek pelaksanaan pidana mati yang ada di Inggris, dimana pada saat orang ramai berkerumun untuk menyaksikan penggantungan sang pencopet, para pencopet lain justeru menggunakan kesempatan itu untuk menggerayangi saku para penonton (J.E. Sahetapy: 2006), melahirkan keraguan apakah penerapan hukuman mati akan membuat orang takut atau justeru semakin berani untuk melakukan kejahatan. Bila penerapan hukuman mati itu dimaksudkan sebagai ketentuan hukum tertulis yang berfungsi untuk menakut-nakuti (sock therapy law), justeru semakin banyak orang yang tidak takut melakukan korupsi, membunuh secara berencana, melakukan kejahatan terorisme, pelanggaran hak asasi manusia, dan sebagainya.

Hukuman mati, mungkin akan membuat kejahatan si pelaku terbalaskan setidaknya bagi keluarga korban dan akan membuat orang lain takut melakukan kejahatan karena akan diancam dengan hukuman serupa. Namun hal itu jelas tidak akan dapat memperbaiki diri si pelaku dan membuat dirinya jera untuk kemudian hidup menjadi orang baik-baik, karena kesempatan itu sudah tidak ada lagi disebabkan dirinya sudah dimatikan sebelum sempat memperbaiki diri. Sebaliknya, tanpa dihukum mati pun, seorang pelaku kejahatan dapat merasakan pembalasan atas tindakannya dengan bentuk hukuman lain, misalnya dihukum seumur hidup dengan atau tanpa pencabutan beberapa hak tertentu atau penjara di tempat yang jauh dan terpencil. Begitu juga bagi masyarakat, penjatuhan hukuman penjara untuk waktu tertentu di suatu tempat tertentu atau perampasan beberapa barang tertentu, dapat memberi rasa takut bagi seseorang untuk melakukan kejahatan.

Dari perspektif hak asasi manusia, penerapan hukuman mati dapat digolongkan sebagai bentuk hukuman yang kejam dan tidak manusiawi, sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 3 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (Universal Declaration of Human Rights) yang berbunyi, “Setiap orang berhak atas kehidupan, kebebasan dan keselamatan sebagai individu”. Jaminan ini dipertegas dengan Pasal 5 DUHAM dan Pasal 7 Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik (International Covenant on Civil and Political Rights-ICCPR) yang berbunyi, “Tidak seorang pun boleh disiksa atau diperlakukan secara kejam, diperlakukan atau dihukum secara tidak manusiawi atau dihina“ dan dikuatkan dengan Protokol Opsional Kedua atas Perjanjian Internasional mengenai Hak-hak Sipil dan Politik tahun 1989 tentang Penghapusan Hukuman Mati. Sekalipun instrumen hukum internasional yang mengatur persoalan hak asasi manusia tersebut tidak dapat memaksa suatu negara untuk mematuhinya kecuali negara yang bersangkutan telah menandatangani rumusan hukum yang tertuang dalam perjanjian internasional yang dibuat untuk itu, namun sebagai bagian dari masyarakat bangsa-bangsa yang berkomitmen memajukan hak asasi manusia, Indonesia wajib menghormati dan melindungi hak asasi manusia setiap warga negaranya tanpa pandang bulu.

Sayangnya, meskipun ICCPR sudah diratifikasi oleh Pemerintah Indonesia dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 yang berarti kewajiban untuk melaksanakan ketentuan didalam kovenan tersebut telah secara otomatis melekat pada Pemerintah

Page 62: hukuman mati

Indonesia, belum terlihat adanya political will dari pemerintah untuk menghapuskan pidana mati di Indonesia. Agaknya, problematika penerapan hukuman mati di Indonesia tampaknya sudah mendesak untuk dicarikan jalan keluarnya. Lahirnya berbagai peraturan perundang-undangan yang memungkinkan diterapkannya pidana mati di satu sisi dan adanya jaminan dalam Konstitusi RI UUD 1945 (Amandemen Kedua) Pasal 28I Ayat (1) yang berbunyi “Setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya” yang diikuti dengan lahirnya Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM yang menegaskan bahwa “Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, …. dst, adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun dan oleh siapapun” (Pasal 4), jelas menunjukkan kesimpangsiuran peraturan perundang-undangan yang ada di Indonesia. Sulit kiranya menerima, peraturan perundang-undangan yang seharusnya dibuat untuk melindungi HAM setiap orang justeru menjadi alat legitimasi untuk melakukan pelanggaran HAM itu sendiri. Agaknya, fakta itulah yang saat ini sedang terjadi di negeri ini.

2. Mardjono Reksodiputro, Pakar Hukum Universitas Indonesia

Delapan pakar hukum dari tujuh perguruan tinggi ternama di Indonesia setuju pemberlakuan hukuman mati tanpa syarat bagi produsen dan pengedar narkotika. Atas nama keadilan, hakim berhak mencabut nyawa seseorang.Hal itu terungkap dalam sidang uji materi Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika di Mahkamah Konstitusi, Rabu (20/6).

Dari sembilan pakar hukum pidana yang dimintai keterangan di Mahkamah Konstitusi, hanya Mardjono Reksodiputro dari Universitas Indonesia yang menyatakan pemberlakuan hukuman mati harus disertai syarat. Menurut dia, penjelasan hukuman mati dalam UU tentang narkotika harus dibarengi dengan beberapa syarat, karena termasuk kategori pidana khusus.

“Bisa digunakan pidana mati percobaan. Artinya, terpidana mati dihukum dulu 10 tahun penjara. Kalau dapat memperbaiki diri, diubah menjadi hukuman seumur hidup atau penjara 20 tahun,” ujarnya.Mardjono mengatakan, apabila terpidana mati tidak dieksekusi selama 10 tahun, hak negara untuk melakukan eksekusi menjadi kedaluwarsa dan pidana mati harus diubah menjadi pidana seumur hidup. Syarat lain, keputusan hakim ketika menjatuhkan vonis juga harus bulat. “Kalau ada descending opinion (pendapat berbeda), maka tidak bisa dijatuhi pidana mati.”

Anggota Komisi Hukum Nasional itu berpendapat pemerintah saat ini masih ragu-ragu melakukan eksekusi mati. Banyak kasus yang membuktikan terpidana mati mendapatkan status yang tidak jelas ketika menunggu waktu eksekusi. Menurut dia, kalau pemerintah masih ingin memberlakukan hukuman mati, harus ada syarat pidana khusus atau penghapusan total.

Salah satu pakar hukum yang mendukung hukuman mati tanpa syarat adalah Didik Endro Purnomo, ahli hukum pidana dari Universitas Airlangga Surabaya. Menurut dia,

Page 63: hukuman mati

ketentuan hukuman mati tidak melanggar UUD 1945 karena hak hidup tidak berlaku bagi seseorang yang telah melakukan tindak pidana. Apalagi kehidupan bernegara akan terancam jika generasi muda dirusak oleh narkotika. “Undang-undang narkotika merupakan upaya untuk melindungi masyarakat.”

Sidang uji materi Undang-Undang tentang Narkotika yang mengundang pakar hukum dari Universitas Indonesia, Universitas Gadjah Mada, Universitas Sumatera Utara, Universitas Airlangga, Universitas Jember, Universitas Parahiyangan, dan Universitas Pattimura juga menyatakan setuju dengan pemberlakukan hukuman mati bagi produsen dan pengedar narkotika.Pengujian undang-undang tersebut diajukan oleh Scott Anthony Rush, salah satu dari 9 warga Australia (kasus Bali 9) yang dijatuhi hukuman mati karena menyelundupkan 5.121 gram heroin ke Bali

3. Romli Atmasasmita, Pakar hukum pidana Universitas Padjajaran Bandung

Tiga puluh sembilan abad berlalu setelah hukuman mati pertama kali yang dicatat dalam sejarah terjadi di Kerajaan Babilonia. Di bawah kepemimpinan Raja Hamurabi, kerajaan itu membolehkan menghukum seseorang dengan jalan pencabutan nyawa.

Terentang jarak waktu yang panjang tidak juga mengikis aturan hukum yang membolehkan pembunuhan terhadap orang lain atas nama penegakan keadilan. Meski tidak bisa dikatakan mayoritas, nyatanya masih banyak negara memberlakukan hukuman keji tersebut, termasuk Indonesia.

Setelah sempat memanas ketika terpidana pelaku kerusuhan Poso, Tibo dan kawan-kawan, divonis mati di hadapan regu tembak, wacana penghapusan hukuman mati tidak lagi ramai dibicarakan. Perdebatan kembali merebak ketika Amrozi dan kawan-kawan, terpidana mati pelaku Bom Bali I, menolak menghadapi ajal dengan cara ditembak dan memilih mati syahid dipancung. Mereka juga menolak meminta ampun kepada presiden yang dinilai bukan sebagai representasi hukum Allah.

Pendapat pro-kontra kian meruncing. Kubu yang sepakat pemberlakuan hukuman mati berpendapat negara perlu menerapkan hukum yang memberikan efek jera bagi para pelaku lainnya. Sedangkan di seberang, kubu yang menolak hukuman mati berargumen bahwa jenis hukuman ini terbukti tidak efektif membuat efek jera. Untuk kejahatan yang berlatar belakang keyakinan, hukuman mati justru memotivasi pelaku lain untuk melakukan kejahatan serupa demi membela keyakinan.

Mengurai kontroversi pemberlakuan hukuman mati, reporter VHRmedia.com Kurniawan Tri Yunanto mewawancarai Romli Atmasasmita, mantan Koordinator Tim Perancangan Rancangan Undang-undang (RUU) tentang Terorisme. Pakar hukum pidana Universitas Padjajaran Bandung ini berbagi pendapat soal pemberlakuan hukuman mati dan usaha jalan tengah yang kini sedang ditempuh memecah kontroversi hukuman keji ini.………….

Page 64: hukuman mati

Dalam uji UU Narkotika beberapa hakim konstitusi menyatakan pendapat berbeda. Lalu keterangan JE Sahetapy menyatakan hukuman mati bertentangan dengan Pancasila dan harus dihapus. Idealnya, menurut Anda seperti apa?Ini kan berkaitan dengan pilihan. Kalau secara penegakan hukum, secara undang-undang menghendaki dihapus. Tapi harus dikembalikan lagi, mengenai kejahatan yang sangat serius, korbannya banyak, lalu ancaman pidana mati tidak boleh. Makanya saya setuju dengan RUU yang kita buat. Dalam hukuman pidana yang baru nanti, saya menyarankan hukuman pidana mati tetap ada, tapi termasuk pengecualian. Dalam hukum pokoknya tidak diperbolehkan, tapi dalam pasal tertentu hukuman mati diperbolehkan untuk hal tertentu.

Tapi implementasi pidana mati tidak harus digantung, diberi kesempatan 10 tahun untuk menunjukkan bahwa dia patut diabolisi. Jadi di antara pro dan kontra, kita berdiri di tengah. Kalau pidana mati dihapus keseluruhan, mungkin ada pemikiran yang berkembang apakah kita harus seperti itu.Apakah itu juga berlaku untuk kejahatan terorisme?

Kenapa untuk terpidana mati kasus terorisme seperti Bom Bali I tidak ada yang protes dan diem saja? Australia, kalau ada pidana mati untuk terorisme langsung bersorak. Tapi kalau warga negaranya ada yang dipidana mati, langsung berteriak. Kita di tengah pergolakan kehidupan internasional yang berstandar ganda. Lalu kita masuk dalam pergolakan itu dan dipaksa untuk mengambil sikap mendukung mana. Hukuman mati soal terorisme itu kan juga masuk human right, tapi mereka tidak protes. Sekarang, kenapa untuk kasus narkotika mereka protes? Ini harus betul-betul fair. Tapi masalahnya di UU Narkotika kan dibedakan antara pecandu dan pengedar

Pengedar memang mati, tapi untuk pecandu ya diobati, tidak ada yang dihukum mati. Terrorism, narcotic crime, dan perdagangan senjata itu termasuk international crime. Itu sudah diakui dan satu paket.Sekarang kita pilihannya apa? Kita hidupkan orang yang nyata-nyata bikin orang teler? Makanya saya setuju KUHP ambil jalan tengah seperti itu. Itu lebih fair.

Pro – kontra ini pasti tidak selesai dalam satu zaman. Dulu saya masih ingat, Eropa menolak hukuman mati. Sekarang beberapa negara justru menerima lagi.

Jadi, MK mungkin melihat untuk kasus Indonesia dengan melihat maraknya peredaran narkotika. Mungkin ini jalan keluar yang terbaik. Lihat saja Singapura. Meski diprotes seperti apa pun, tetap saja memberlakukan hukuman mati. Tapi dampaknya sekarang, orang mikir-mikir melakukan tindak kejahatan di negeri itu. Rakyatnya senang. Di sini? Kita lebih milih mana? Kalau saya sih mending kenceng sekalian seperti Singapura. Siapa pun yang masuk ke situ pasti mati, tapi penduduknya aman. Sekarang mau milih efisiensi, HAM, atau efektif untuk perlindungan republik ini? Kalau saya untuk perlindungan yang lebih besar. Kalau secara akademis memang bisa diperdebatkan. Kalau politis tergantung perpolitikan di negeri ini. Secara agamis dipertentangkan.…Sejak tadi kita bicara mengenai kontroversi hukuman mati. Sekarang bagaimana

Page 65: hukuman mati

menjembatani antara kepentingan politis ini?Cepat saja RUU KUHP itu diundangkan, atau minimal bikin perpu (peraturan pemerintah pengganti undang-undang) pengaturan ketentuan hukuman mati atau gimanalah biar bisa mengurangi kontroversi.Apa pertimbangan menerbitkan perpu berkaitan hukuman mati?Pertimbangannya keadaan mendesak. Bahwa sebenarnya kita memerlukan pidana mati, tapi dengan bersyarat.…

Setelah putusan MK, Gubernur Lemhannas Muladi menyatakan hukuman mati tidak bisa diberlakukan terhadap koruptor.

Tanggapan Anda?

Memang di luar negeri tidak ada koruptor yang dipidana mati. Paling tinggi 15 tahun. Seumur hidup itu tidak ada. Hanya kita yang ada. Tidak ada masalah. Toh koruptor itu kan hanya dirinya sendiri. Dengan hukuman 20 tahun saja sudah cukup bagi para koruptor. Derajatnya itu narkotika lebih berat daripada koruptor. China saja sekarang main tembak koruptor kewalahan sendiri, kok masih banyak yang bandel. Akhirnya mereka lebih pada pencegahan dan berguru pada Korea Selatan dan Hong Kong. Kalau korupsi itu harus difokuskan ke akar masalahnya.

Ada usulan mengganti hukuman mati dengan hukuman seumur hidup. Tanggapan Anda?Hukuman hidup itu sebenarnya lebih payah. Pertama, benar-benar hidup dalam penjara selamanya. Kedua, negara akan keluar biaya besar untuk mengongkosi. Sanggup tidak negara? Sebenarnya arahnya kita sekarang ini pada penghapusan hukuman mati. Cuma jika hapus total, akan memunculkan reaksi politis, khususnya dari partai-partai Islam.

Setelah kita sama-sama mengetahui sebagian tentang hak asasi manusia dan pendapat para pakar hukum mengenai hukuman mati, seyogyanya kita telah mempunyai pendapat tentang kontroversi hukuman mati di Indonesia. Telah dijelaskan dalam UUD 1945 Pasal 28 tentang hak asasi manusia yang melindungi hak setiap orang untuk hidup, namun ironisnya pemerintah membentuk Perpu No 1 tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana

Terorisme yang kemudian telah disahkan menjadi undang-undang. Dalam salah satu pasalnya berbunyi :Setiap orang yang dengan sengaja menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan menimbulkan suasana teror atau rasa takut terhadap orang secara meluas atau menimbulkan korban yang bersifat massal, dengan cara merampas kemerdekaan atau hilangnya nyawa dan harta benda orang lain, atau mengakibatkan kerusakan atau kehancuran terhadap obyek-obyek vital yang strategis atau lingkungan hidup atau fasilitas publik atau fasilitas internasional, dipidana dengan pidana mati atau penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun.

Page 66: hukuman mati

Menurut saya, Perpu No 1 tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme yang menjatuhkan hukuman mati melanggar UUD 1945 Pasal 28. Tak seharusnya pemerintah menjatuhkan hukuman mati untuk pelaku terorisme karena merebut hak hidup pelaku terorisme. Perampasan hak hidup mengakibatkan perampasan HAM yang lainnya seperti hak meneruskan keturunan, mengembangkan diri, dan sebagainya. Dalam UUD 1945 tentang HAM tidak disebutkan adanya pengecualian tentang perlindungan HAM, artinya perlindungan terhadap HAM adalah hak seluruh penduduk Indonesia. Akan lebih baik jika hukuman tertinggi untuk tindak pidana terorisme adalah hukuman seumur hidup. Diharapkan pelaku dapat bertaubat dari kejahatannya serta dapat melanjutkan hidupnya dalam penjara. Walaupun telah banyak korban yang berjatuhan karena kejahatannya, namun ia sebagai manusia tetap memiliki HAM yang dilindungi UUD 1945.

Telah dijelaskan oleh salah satu pakar hukum di Indonesia bahwa jika hukuman mati digantikan dengan hukuman seumur hidup akan menyebabkan semakin beratnya beban keuangan pemerintah. Bagaimanakah solusinya? Jika pemerintah punya niat yang baik untuk benar-benar melindungi HAM para pelaku kejahatan, pasti ada jalan keluar untuk masalah tersebut. Pemerintah dapat memulai melatih ketrampilan pada narapidana agar mereka dapat hidup mandiri walaupun mereka berada dalam penjara.

Seperti yang telah dilakukan di beberapa rumah tahanan di Indonesia dengan melatih para tahanan untuk membuat benda-benda yang bernilai ekonomis misalnya membuat perabot rumah tangga dari kayu, membuat hiasan, bahkan tidak mungkin tenaga narapidana bisa dimanfaatkan untuk mendirikan sebuah perusahaan kecil-kecilan. Hasil kerja keras mereka dapat ditabung untuk membiayai kehidupan mereka. Tentu saja pemberdayaan sumber daya manusia di dalam penjara dapat dilakukan secara maksimal setelah para tahanan bertaubat dan kembali menjadi manusia yang baik akhlak dan perbuatannya. Pemerintah dapat meminta bantuan dari tokoh agama atau pihak lain yang kompeten mengembalikan para tahanan ke jalan yang benar demik

Page 67: hukuman mati

UPAYA PENCEGAHAN AKSI TERORISME MELALUI PENDEKATAN HUKUM

I. Latar Belakang MasalahAksi Terorisme di Indonesia sepanjang tahun 2000-2009 di Indonesia tercatat telah terjadi 22 pengeboman, baik dalam skala kecil maupun skala besar dan yang baru-baru ini para teroris melakukan peledakan Hotel JW Marriott dan Hotel Ritz-Carlton di Mega Kuningan pada jum’at pagi, tanggal 17 Juli 2009 dengan Jumlah korban tewas 9 orang dan luka-luka 55 orang, Aksi terorisme di Indonesia sebenarnya dimulai dengan ledakan bom yang terjadi di kompleks Perguruan Cikini dalam upaya pembunuhan Presiden Pertama RI, Ir Soekarno, pada tahun 1962 dan berlanjut pada tahun-tahun berikutnya sampai pada bulan Agustus 2001 yaitu Peledakan Plaza Atrium, Senen, Jakarta. Ledakan melukai enam orang, semua aksi pemboman di Indonesia sepanjang tahun 1962 sampai dengan Agustus 2001 hanya menjadi isu dalam Negri, namun sejak terjadinya peristiwa World Trade Centre (WTC) di New York, Amerika Serikat pada tanggal 11 September 2001, yang memakan 3.000 korban.. Peristiwa 11 September mengawali babak baru isu terorisme menjadi isu global yang mempengaruhi kebijakan politik seluruh Negara-negara di dunia, sehingga menjadi titik tolak persepsi untuk memerangi Terorisme sebagai musuh internasional. Pembunuhan massal tersebut telah mempersatukan dunia melawan Terorisme Internasional . Pasca tragedi 11 september 2001 Indonesia sendiri belum menganggap aksi pemboman yang terjadi di dalam negri sebagai aksi terorisme tapi aksi separatis/para pengacau keamanan seperti Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dan sebagainya, Pemerintah Indonesia baru menganggap adanya aksi Terorisme di Indonesia, setelah terjadinya Tragedi Bom Bali I, tanggal 12 Oktober 2002 yang merupakan tindakan teror, menimbulkan korban sipil terbesar di dunia , yaitu menewaskan 184 orang dan melukai lebih dari 300 orang. Hal ini terbukti pasca tragedy Bom Bali I, Pemerintah megeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) nomor 1 tahun 2002, yang pada 2 tanggal 4 April 2003 disahkan menjadi Undang-Undang dengan nomor 15 tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Undang-undang ini dikeluarkan mengingat peraturan yang ada saat ini yaitu Kitab UndangUndang Hukum Pidana (KUHP) belum mengatur secara khusus serta tidak cukup memadai untuk memberantas Tindak Pidana Terorisme.Maka obyek kajian ini di focuskan pada pendekatan-pendekatan Hukum yang di titik beratkan pada pengertian terorisme atau teroris, latar belakang terjadinya aksi terorisme, kajian akademis yang berbasis hukum nasional dan internasional terhadap pasal-pasal yang ada pada UU anti teroris Indonesia yaitu Perpu No. 1 tahun 2002 dan revisi UU No. 15 tahun 2003 dan apakah terdapat kelemahan pendekatan legal formal yang diterapkan melalui UU anti terorisme dalam menindak para pelaku Terorisme

II. Landasan TeoriMenurut Konvensi PBB Tahun 1937 , Terorisme adalah segala bentuk tindak kejahatan yang ditunjukan langsung kepada Nrgara dengan maksud menciptakan bentuk terror terhadap orang-orang tertentu atau kelompok orang atau masyarakat luas.Menurut Undang-undang Nomor 15 Tahun 2003 Tentang pemberantasan Tindak Pidana

Page 68: hukuman mati

Terorisme , Bab I Ketentuan Umum, pasal 1 ayat (1), Tindak pidana terorisme adalah segala perbuatan yang memenuhi unsur-unsur tindak pidana sesuai dengan ketentuan dalam undang-undang ini Mengenai perbuatan apa saja yang dikategorikan ke dalam Tindak Pidana Terorisme, diatur dalam ketentuan pada Bab III (Tindak Pidana Terorisme), Pasal 6, 7, bahwa setiap orang dipidana karena melakukan Tindak Pidana Terorisme, jika:1. Dengan sengaja menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan menimbulkan suasana teror atau rasa takut terhadap orang secara meluas atau menimbulkan korban yang bersifat massal, dengan cara merampas kemerdekaan atau menghilangkan nyawa dan harta benda orang lain atau mengakibatkan kerusakan atau kehancuran terhadap obyek-obyek vital yang strategis atau lingkungan hidup atau fasilitas publik atau fasilitas internasional (Pasal 6) . 2. Dengan sengaja menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan bermaksud untuk menimbulkan suasana terror atau rasa takut terhadap orang secara meluas atau menimbulkan korban yang bersifat massal, dengan cara merampas kemerdekaan atau menghilangkan nyawa dan harta benda orang lain atau mengakibatkan kerusakan atau kehancuran terhadap obyek-obyek vital yang strategis atau lingkungan hidup atau fasilitas publik atau fasilitas internasional (Pasal 7) . Dan seseorang juga dianggap melakukan Tindak Pidana Terorisme, berdasarkan ketentuan pasal 8, 9, 10, 11 dan 12 Undang-Undang Nomor 15 tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Dari banyak definisi yang dikemukakan oleh banyak pihak, yang menjadi ciri dari suatu Tindak Pidana Terorisme adalah:1. Adanya rencana untuk melaksanakan tindakan tersebut. 2. Dilakukan oleh suatu kelompok tertentu. 3. Menggunakan kekerasan. 4. Mengambil korban dari masyarakat sipil, dengan maksud mengintimidasi pemerintah. Dilakukan untuk mencapai pemenuhan atas tujuan tertentu dari pelaku, yang dapat berupa motif sosial, politik ataupun agama Menurut A.C Manulang , Terorisme adalah suatu cara untuk merebut kekuasaan dari kelompok lain, dipicu antara lain karena adanya pertentangan agama, ideologi dan etnis serta kesenjangan ekonomi, serta tersumbatnya komunikasi rakyat dengan pemerintah, atau karena adanya paham separatisme dan ideologi fanatismeMenurut Muhammad Mustofa . Terorisme adalah tindakan kekerasan atau ancaman kekerasan yang ditujukan kepada sasaran secara acak (tidak ada hubungan langsung dengan pelaku) yang berakibat pada kerusakan, kematian, ketakutan, ketidakpastian dan keputusasaan massal.

III. Analisis dan Pembahasan1. Istilah Terorisme Dari segi bahasa, istilah teroris berasal dari Perancis pada abad 18. Kata Terorisme yang artinya dalam keadaan teror (under the terror), berasal dari bahasa latin ”terrere” yang berarti gemetaran dan ”detererre” yang berarti takut. Istilah terorisme pada awalnya digunakan untuk menunjuk suatu musuh dari sengketa teritorial atau kultural melawan ideologi atau agama yang melakukan aksi kekerasan terhadap publik. Istilah terorisme dan teroris sekarang ini memiliki arti politis dan sering digunakan untuk mempolarisasi efek yang mana terorisme tadinya hanya untuk istilah kekerasan yang dilakukan oleh

Page 69: hukuman mati

pihak musuh, dari sudut pandang yang diserang . Polarisasi tersebut terbentuk dikarenakan ada relativitas makna terorisme yang mana menurut Wiliam D Purdue (1989) , the use word terorism is one method of delegitimation often use by side that has the military advantage.. Sedangkan teroris merupakan individu yang secara personal terlibat dalam aksi terorisme. Aksi terorisme dapat dilakukan oleh individu, sekelompok orang atau Negara sebagai alternatif dari pernyataan perang secara terbuka. Negara yang mendukung kekerasan terhadap penduduk sipil menggunakn istilah positif untuk kombatan mereka, misalnya antara lain paramiliter, pejuang kebebasan atau patriot. Kekerasan yang dilakukan oleh kombatan Negara, bagaimanapun lebih diterima dari pada yang dilakukan oleh ” teroris ” yang mana tidak mematuhi hukum perang dan karenanya tidak dapat dibenarkan melakukan kekerasan. Negara yang terlibat dalam peperangan juga sering melakukan kekerasan terhadap penduduk sipil dan tidak diberi label sebagai teroris. Meski kemudian muncul istilah State Terorism, namun mayoritas membedakan antara kekerasan yang dilakukan oleh negara dengan terorisme, hanyalah sebatas bahwa aksi terorisme dilakukan secara acak, tidak mengenal kompromi , korban bisa saja militer atau sipil , pria, wanita, tua, muda bahkan anak-anak, kaya miskin, siapapun dapat diserang. Kebanyakan dari definisi terorisme yang ada menjelaskan empat macam kriteria, antara lain target, tujuan, motivasi dan legitmasi dari aksi terorisme tersebut. Dapat dikatakan secara sederhana bahwa aksi-aksi terorisme dilatarbelakangi oleh motif – motif tertentu seperti motif perang suci, motif ekonomi, motif balas dendam dan motif-motif berdasarkan aliaran kepercayaan tertentu. Namun patut disadari bahwa terorisme bukan suatu ideologi atau nilai-nilai tertentu dalam ajaran agama. Ia sekedar strategi , instrumen atau alat untuk mencapai tujuan . Dengan kata lain tidak ada terorisme untuk terorisme, kecuali mungkin karena motif-motif kegilaan. 2. Kajian Akademis terhadap UU Anti Terorisme Indonesia Terdapat kesan yang kuat bahwa pemerintah lebih mengedepankan pendekatan legal formal dan represif dalam menangani masalah terorisme di tanah air. Indikasi ini diperkuat dengan bersemangatnya pemerintah mengeluarkan undang-undang untuk mengatasi masalah terorisme ini , termasuk usulan untuk mengeluarkan Internal Security Act yang diyakini oleh banyak pihak pasti akan bersifat represif. Pada saat akan disahkan Perpu 1 tahun 2002 menjadi UU No. 15 tahun 2003 banyak kecaman yang menyulut pertentangan dan kritik terhadap seputar hak-hak asasi manusia berkenaan dari berbagai hal antara lain Asas Retroakif, waktu penangkapan yang 7 X 24 jam , laporan intelejen dan sebagainya Dalam Revisi UU No. 15 tahun 2003 ada pencantuman beberapa tindak pidana dimana beberapa pasal bukan hanya dirumuskan terlalu luas, tetapi berpotensi melanggar HAM . Hal tersebut terlihat dengan adanya kriminalisasi atau menjadikan perbuatan sebagai tindak pidana pada aktivitas – aktivitas untuk perbuatan sebelum terjadinya tindak pidana terorisme seperti pada Pasal 9 A , yang berbunyi : a. Dipidana dengan pidana penjara paling lama 12 tahun, setiap orang dengan sengaja dan melawan hukum memperdagangkan bahan-bahan utama yang berpotensial untuk digunakan sebagai bahan peledak b. Apabila bahan-bahan utama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terbukti digunakan dala tindak pidana terorisme , pelaku dipidana paling lama 15 Tahun. Diakui untuk peledak adalah Kewenangan Intelejen tidak menjelaskan jenis bahan-bahan menambah yang dimaksud, padahal produsen pupuk , nelayan kecil-kecilan dan pekerja

Page 70: hukuman mati

tambang pun membutuhkan bahan-bahan yag jika dicampur dengan bahan-bahan tertentu dapat menjadi peledak. Bahkan bensin, kain dan botol kosong pun dapat menjadi bahan peledak. Jika ketentuan pasal tersebut disahkan akan terjadi ketidak adilan dan kerancuan dalam penerapannya di lapangan. Untuk itu ada baiknya diperlukan peraturan distribusi bahan-bahan kimia serta badan pengawas yang bertugas mengawasi peredaran bahan kimia yang berpotensi sebagai bahan peledak di pasaran. Dimana hal tersebut tentunya membutuhkan biaya yang tidak sedikit dalam pelaksanaannya dan diragukan terealisasi dengan baik. Selain itu menimbulkan kerancuan siapa dapat digolongkan sebagai pembeli yang legal atau illegal berdasarkan dari itikad pembeliannya. . Pada pasal 26 RUU dinyatakan bahwa laporan intelejen dapat dijadikan sebagai bukti permulaan . Laporan intelejen pada ayat (1a) jika berasal dari instansi lain selain dari Kepolisian RI wajib diautentifikasi oleh Kapolri atau pejabat yang ditunjuk . Namun tidak disebutkan siapa pejabat lain yang ditunjuk itu. Selain itu diakui oleh Direktur Jenderal Strategi Pertahanan Departemen Pertahanan Mayor Jenderal Sudradjat bahwa memang pasal ini ditambahkan untuk memberikan perluasan kewenangan intelejen untuk memburu dan menangkap pihak-pihak yang berencana melakukan aksi terorisme. Laporan intelejen tersebut dapat dijadikan sebagai alat bukti sebagai alat bukti sebagaimana revisi pasal 27 UU Anti Terorisme . Sebelumnya dalam UU No. 15 Tahun 2003, Laporan Intelejen tidak dijadikan sebagai alat bukti ( Primary Evidence ) melainkan sebagai bukti permulaan yang merupakan bukti pendukung ( Supporting Evidence ). Dalam hukum pidana terdapat perbedaan mendasar antara pengertian intelegence evidence dan crime evidence. Crime evidence dapat mencakup intellegence evidence . Tetapi intelegence evidence tidak dapat dianggap sebagai crime evidence karena intelegnce evidence tidak memerlukan sebagai fakta hukum untuk merumuskan perbuatan-perbuatan sebagai indkasi atau dasar adanya tindak pidana . Hal ini dikarenakan intelegence evidencemerupakan abstraksi data yang seringkali tidak memerlukan pembuktian. Misalnya korban tewas yang dikarenakan bom mobil atau keterlibatan Noordin M Top dan Dr Azhari dalam peledakan Bom Kuningan adalah intelegence evidence. Sedangkan crime evidence merupakan fakta hukum yang konkret sebagai ciri rule of law, dalam perspektif hukum pidana menggunakan laporan intelejen sebagai alat bukti jelas mengabaikan azas praduga tak bersalah ( presumption of innocent ) dan tidak dapat diabaikan kemungkinan dilakukannya inkriminasi terhadap para tersangka terorisme. Pasal 31 RUU juga memasukkan hak-hak penyidik untuk membuka, memeriksa dan menyita surat dan kiriman melalui pos serta melakukan penyadapan pembicaraan9. Pasal itu bahkan tidak memberikan batasan terhadap tindakan penyadapan apa saja yang boleh dilakukan oleh penyidik. Penyidik cukup memiliki bukti permulaan yang cukup untuk bisa melakukan itu semua. Pada Pasal 34 RUU dicantumkan bahwa pemeriksaan dapat dilakukan secara jarak jauh tanpa melakukan tatap muka dengan tersangka dengan menggunakan layar monitor . RUU ini mengijinkan penggunaan teleconferenci sebagai alternatif kehadiran saksi di muka sidang pengadilan. Namun RUU tidak menjelaskan apa prasyarat tehnis untuk membuat suatu kesaksian di pengadilan dengan menggunakan teleconferenci seperti sertifikasi sistem komunikasi dan keamanan ruangan saksi yang diperiksa melaui teleconferenci sehigga keterangan saksi terlepas dari intervensi yang dilakukan oleh penyidik di belakang layar teleconference tersebut. Terorisme memiliki kaitan antara delik politik dan delik kekerasan, sehingga pandangan mengenai terorisme seringkali bersifat subjektif . Dalam Perpu No. 1 Tahun 2002 sebenarnya terdapat pasal-

Page 71: hukuman mati

pasal yang sangat riskan melanggar HAM yaitu Pasal 46 tentang Asas Retroaktif. Kemudian pada Bulan Juli 2004 MK menyatakan bahwa UU No. 15 Tahun 2003 tentang Penetapan Perpu No 1 Tahun 2002 mengenai pemberantasan tindak pidana terorisme pada peledakan Bom Bali tanggal 12 Oktober 2002 tidak memiliki kekuatan yang mengikat. Mahkamah Konstitusi ( MK ) mempertimbangkan Asas Retroaktif adalah asas hukum yang bersifat universal yang hanya dapat diberlakukan ada jenis kejahatan tertentu yang berupa Kejahatan Genosida ( crimes of genocide ), kejahatan terhadap kemanusiaan ( crimes of humaninity). kejahatan perang ( war crimes ) dan kejahatan agresi (agression). Menurut MK, terorisme merupakan kejahatan biasa yang sangat kejam, maka kejahatan terorisme untuk Bom Bali tidak dapat diberlakukan asas retroaktif. Ini artinya, terorisme bukanlah kejahatan terhadap genosida , kejahatan kemanusiaan, kejahatan perang dan kejahatan agresi. UU No. 15 Tahun 2003 tidak dapat diberlakukan Asas Retroaktif karena hal tersebut bertentangan dengan pasal 1 ayat (3) dan pasal 28 i ayat (1) UndangUndang Dasar 1945 . Hal ini tentunya menimbulkan kontroversi para praktisi hukum di Indonesia karena keputusan MK tersebut hanya memperhatikan Hak Asasi para pelaku Terorisme saja tidak mempertimbangkan akibat dari terorisme itu sendiri termasuk para korban, keluarga korban, masyarakat pada umumnya bahkan akibat terorisme itu akan menyebabkan persepsi negatif bangsa-bangsa dunia terhadap indonesia bahwa indonesia merupakan sarang terorisme dan beranggapan bahwa situasi keamanan indonesia tidak aman. Di lingkup internasional penertian terorisme masih terdapat perdebatan alot. Perdebatan tersebut berputar pada apakah terorisme dapat dimasukkan sebagai kejahatan terhadap kemanusian ( crimes againts humanity ) atau kejahatan luar biasa ( extra ordinary crimes ), tetapi bukan sebagai kejahatan kemanusian. Dan ternyata terdapat desakan yang sangat kuat untuk memasukkan kejahatan treaty based crimes related to terorism and drug trafficking sebagai kejahatan kemanusiaan sehingga banyak ahli hukum yang mendukung International Criminal Court ( ICC ) untuk memasukkan kejahatan-kejahatan tersebut dalam yurisdiksinya. International Criminal Court ( ICC ) adalah lembaga prospektif yang seharusnya tidak hanya menerapkan yurisdiksinya terhadap kejahatan-kejahatan yang ditentukan oleh Statuta Roma Tahun 1998 . Dalam hal ini , asas legalitas tetap dipandang sebagai asas fundamental. Namun berkaitan dengan yurisdiksi ICC , asas ini dapat disimpangi bila negara yang bersangkutan telah membuat pernyataan bahwa negara tersebut dapat menerima pelaksanaan yurisdiksi oleh pengadilan yang berkaitan dengan kejahatan masa lalu. Bertitik tolak dari pembahasan mengenai yurisdiksi ICC diatas, maka sewajarnyalah bahwa kejahatan terorisme termasuk kejahatan terhadap kemanusiaan karena korbannya massal dan menghancurkan kemanusiaan dan peradaban.3. Sisi Negatif Pendekatan Legal Formal Kebijakan yang terlalu bertumpu kepada pendekatan legal formal dan bersifat represif, perlu ditinjau ulang karena bukan saja tidak mampu mengatasi masalah terorisme tetapi justeru dapat meningkatkan tindakan kekerasan semacam itu di masa depan . Pemerintah perlu memikirkan alternatif pendekatan dalam menyelesaikan masalah terorisme di tanah air diluar pendekatan legal formal / represif. Ada beberapa hal efek negatif dapat menyebabkan cara penyelesaian berbasis legal formal/represif itu kurang mampu menyelesaikan masalah terorisme yaitu : pertama Logika dibelakang pendekatan melalui pendekatan melalui mekanisme hukum itu berlawanan dengan logika yang dianut para teroris itu sendiri. Sanksi pidana pada dasarnya untuk mencegah agar sesorang tidak

Page 72: hukuman mati

melakukan tindakan tersebut dan atau menghukum mereka yang melakukan tindakan yang dilarang dengan harapan pelaku dan orang lain tidak melakukan hal yang sama kelak dengan cara menerapkan sanksi fisik bagi para pelanggar, mulai yang teringan sampai dengan yang terberat seperti hukuman mati. Tetapi, logika itu berlawanan dengan logika para pelaku teroris yang bertindak melampaui rasa takut untuk melakukannya bahkan mereka rela mati untuk mewujudkan tujuan mereka. Kedua Cara memerangi terorisme yang bersifat legal formal dan represif seperti ini dapat menimbulkan efek balik yang berlawanan dengan tujuan semula untuk memerangi terorisme. Tindakan semacam itu tidak mustahil justeru dapat memicu perlawanan dan radikalisme baru yang lebih hebat , bukan hanya dari kelompok masyarakat yang dituding sebagai pelaku terorisme tetapi menimbulkan reaksi negatif dari kelompokkelompok lainnya. Apalagi tiap penerapan cara penanganan semacam itu seringkali bukannya mengobati dan menyembuhkan luka dan rasa frustasi suatu kelompok dalam masyarakat tetapi cenderung berakibat pada kian mendiskreditkan dan memojokkan mereka . Kolompok masyarakat lain akan memberikan stigma negatif pada kelompok masyarakat Terorisme itu Kejahatan kelompok yang menerima stigma tersebut sehingga kepada pemerintah dan kelompok tersebut akan berdampak melakukan perlawanan c. Penerapan UU yag represif seperti UU anti terorisme dan internal security act dapat membawa implikasi negatif bagi kehidupan berbangsa dan bernegara khususnya kehidupan masyarakat demokrasi. Jika UU tersebut diberlakukan wewenang aparat Negara akan lebih besar sehingga terbuka peluang untuk disalahgunakan . Ada kemungkinan orang yang dicuriagai sebagai teroris dapat diperiksa dan ditangkap tanpa prosedur hukum yang sah dan benar. Tiap-tiap lawan politik yang berseberangan misalnya dapat dikenakan dengan pasal-pasal ini sehingga memunculkan state terorism yang tentunya akan menimbulkan masalah panjang yang tidak berkesudahan. Keberhasilan membuat perangkat hukum yang baik belum tentu memberikan dampak positif dalam mewujudkan maksud dan tujuan hukum. Sebagus apappun produk hukum formal yang ada tidak akan ada artinya tanpa disertai penerapan yang baik. Ironisnya, Indonesia dipandang sebagai negara yang pandai membuat perangkat hukum namun masih lemah penerapannya. Hal ini jika dibiarkan akan mempengaruhi tingkat kepercayaan masyarakat terhadap hukum itu sendiri.

IV. Kesimpulan dan Saran1. Kesimpulan a. Terorisme timbul dengan dilatar belakangi berbagai sebab dan motif. Naun patut kita sadari bahwa terorisme bukan merupakan ideologi atau nilai-nilai tertentu dalam ajaran agama . b. Terorisme merupakan strategi , instrumen dan atau alat mencapai tujuan.c. Penerapan UU anti terorisme di dalam No 15 Tahun 2003 sangat berpotensi mengakibatkan pelanggaran Hak Asasi Manusia bagi para tersangka terorisme dan tidak memberikan efektifitas untuk mengurangi orang untuk bertindak sebagai teroris. d. Pemberian wewenang yang terlalu luas bagi aparat untuk memberantas terorisme tanpa disertai tanggungjawab dalam pelaksanaannya akan mengakibatkan suatu terorisme baru yang dilakukan terhadap negara terhadap warga negaranya atau State Terorism. 2. SaranUntuk memerangi tindakan terorisme pemerintah perlu memikirkan pendekatan yang

Page 73: hukuman mati

tidak legalis represif terhadap terorisme salah satunya antara lain memikirkan kemungkinan rekonsialisasi dan terbukanya komunikasi intensif antara pemerintah-masyarakat dan unsur-unsur di dalam masyarakat itu sendiri baik melalui pendekatan Agama maupun Budaya. Karma Patut disadari bahwa terorisme merupakan rangkaian tindakan yang kompleks, maka pada dasarnya penanganan tindak pidana terorisme tidak akan memadai jika hanya mengandalakan undang-undang saja. Tampa di dukung oleh kinerja aparat penegak hukum yang professional dalam menegakan peraturan yg ada dan perlu dilakukanya Revisi UU anti terorisme yang harus di sesuai dengan kerangka hukum yang harus mengatur aspek-aspek yang berkaitan dengan pengawasan perbatasan, keamanan transportasi, bea cukai, keimigrasian, money loundring, basis rekruitmen dan pelatihan ( milisi atau pelatihan militer illegal ), keuangan, bahan peledak, bahan kimia dan persenjataan serta perlindungan terhadap masyarakat sipil. Serta mewajibkan setiap prosedur dan tindakan hukum dilakukan secara nondiskriminatif , melindungi dan menghormati HAM. Negara-negara Tirani, Monarki, dan Diktator di Timur Tengah Saudi ArabiaDIKTATOR, ANGGOTA LIGA ARAB Kampung halaman gembong teroris Osama bin Laden dan sebagian besar teroris 9/11. Tempat berlindung pembunuh masal, Idi Amin. Negara teokrasi tipe abad pertengahan. Apartheid terhadap non-Muslim. Hukuman mati bagi pezina dan orang yang murtad dari Islam. Dua kota besarnya (Mekah dan Madinah) adalah terlarang bagi non-Muslim. Film dilarang di negara ini. Wanita dilarang menyetir mobil.  Wanita dilarang bepergian, mendapat pendidikan atau bekerja tanpa izin tertulis dari laki-laki yang menjadi muhrimnya. Wanita dilarang bergaul dengan kaum pria di ruang publik dan harus mengenakan “jubah hitam” jika keluar rumah. Ada hukum potong tangan, hukum cambuk, dan penggal kepala yang dipertontonkan ke publik. LibyaDIKTATOR, ANGGOTA LIGA ARAB Negara Sponsor Teroris – Tidak Ada Partai Politik – Tidak Ada Pengadilan Independen.Praktek Hukum Swasta dilarang – Tidak ada hak-hak pekerja.Pemerintah mendominasi ekonomi – Senjata pemusnah massal.Menjatuhkan pesawat penumpang Prancis di atas Nigeria, tewas 170 orang.Menjatuhkan pesawat Pan Am di atas Lockerbie, Skotlandia, tewas 270 orang. 

Page 74: hukuman mati

MesirDIKTATOR, ANGGOTA LIGA ARAB Mesir menginvasi Israel pada 1948, dengan maksud menghancurkan negara itu, dan akhirnya menduduki Betlehem, daerah dekat Yerusalem. Arab Mesir menduduki wilayah Arab Palestina sejak 1948 sampai 1967. 60,000 tentara Mesir menginvasi Arab Yaman dari 1962 sampai 1967, melawan tentara Arab Yaman dan Saudi Arabia. Penggunaan senjata pemusnah massal oleh Mesir saat melawan Yaman, adalah penggunaan senjata pemusnah massal pertama di timur-tengah. Kampung halaman pemimpin teroris 9/11, Muhammad Atta dan teroris 9/11 lainnya. Penyiksaan terhadap orang-orang Kristen – Hasutan untuk melawan Yahudi.Penyalahgunaan anak-anak – Hasutan kebencian – Senjata pemusnah massal – Penyiksaan terhadap kaum homoseksual. Tahun 2001, lagu “I Hate Israel” menjadi hit di Mesir. BahrainDIKTATOR, ANGGOTA LIGA ARAB Otokrasi Turun-temurun – Tidak Ada Partai Politik – Tidak Ada Kebebasan Berbicara – Penghakiman Sesuka Pemerintah – Tidak Ada Hak Pekerja – Diskriminasi Wanita OmanDIKTATOR, ANGGOTA LIGA ARAB - Idem - QatarDIKTATOR, ANGGOTA LIGA ARAB - Idem - IrakDIKTATOR, ANGGOTA LIGA ARAB Negara Sponsor Terorisme – Genosida – Penyiksaan Keagamaan.Menggunakan senjata pemusnah massal untuk melawan rakyatnya sendiri.Menduduki dan merampas Kuwait dari 1990-1991.Menginvasi Muslim Iran yang mengakibatkan perang antara 1980 – 1988, 1 juta orang telah tewas. Iran

Page 75: hukuman mati

DIKTATOR, ORG. OF THE ISLAMIC CONFERENCE MEMBER Negara Sponsor Terorisme – Ambisi Nuklir – Ideologi Penguasaan Dunia.Menggunakan senjata pemusnah massal selama perang melawan Muslim Irak.Perang Irak-Iran 1980-1988 menewaskan lebih dari 1 juta orang.Presiden Iran menyerukan penghancuran Israel.Negara mensponsori anti-semitisme.Negara mensponsori pemujaan terhadap para syuhada dan darah.Penghukuman keagamaan – Hukum rajam hingga mati dan eksekusi brutal lainnya.Diskriminasi wanita. SuriahDIKTATOR, ANGGOTA LIGA ARAB Negara sponsor terorisme – Tirani – Diskriminasi wanita.Transit obat-obat terlarang untuk pasar negara barat.Memalsukan peta resmi kenegaraan, dengan memasukkan propinsi Hatay (Turki) ke dalam Suriah.Menginvasi Israel tahun 1948.Menginvasi Yordan (Black September 1970). LebanonDIKTATOR, ANGGOTA LIGA ARAB Organisasi teroris Hizbullah adalah bagian dari pemerintah. Pelabuhan bagi kaum teroris.150.000 orang meninggal dalam 15 tahun karena perang sipil.Pemuja darah dan kematian.Produsen besar obat-obat terlarang untuk pasar negara barat. Otonomi PalestinaDIPERINTAH OLEH ORGANISASI TERORIS HAMAS, ANGGOTA LIGA ARAB Partai politik Palestina, --Hamas, Fatah, dan PFLP— mengoperasikan “tentara” yang masuk dalam daftar teroris di Amerika Serikat dan Uni Eropa. “Pemilu demokratis” 2006, menunjukkan bagaimana masyarakat Palestina sesungguhnya. Hamas mendapatkan suara terbanyak (74) dari 132 kursi dewan legislatif Palestina, disusul Fatah 45, dan PFLP 3.

Page 76: hukuman mati

Antara HAM, Privasi, dan Extraordinary Crime21 Dec 2009

Politik Republika

Pernah menonton film Enemy of The State? Film yang dibintangi Will Smith itu memperlihatkan bagaimana negara memata-matai warganya. Sesuatu yang tentu saja tak nyaman. Tapi, untuk kasus Indonesia, soalnya memang bisa menjadi lain.

Urusan mematai-matai warga negara, seperti menyadap, yang di negara lain telah diatur secara ketat oleh pemerintah atas dasar hak asasi dan privasi, di Indonesia justru menemui kendala lain. Pasalnya, penyadapan yang leluasa justru diperlukan untuk memberantas penyakit kronis bernama korupsi.

Menyadari korupsi sebagai kejahatan luar biasa (extraordinary crime), pemerintah dan DPR membekali Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dengan senjata sepadan penyadapan. Benar saja, penyadapan itu membuat KPK bergerak bak hantu.

Sepak terjang KPK pun menyuguhkan cerita berkualitas novel detektif. Lembaga tersebut mengintai, menguntit, dan mencokok koruptor dari kamarkamar. hotel hingga ruang parkir. Dari jalan protokol hingga gang perumahan mewah. KPK seperti ada di mana-mana.

Korban KPK pun berjatuhan. Mulai dari pengusaha sampai jaksa. Dari pejabat pemerintah hingga anggota DPR-yang lama mengidam mitos the untouchable.

Tapi, taring itulah yang sejak awal hendak dipatahkan oleh orang-orang yang menjadi korbannya. Baik lewat proses hukum maupun lewat proses legislasi.

Anggota KPU, Mulyana W Kusumah, yang menjadi korban dramatis pertama penyadapan, men-judicial review kewenangan menyadap di Pasal 12 ayat (1) UU KPK. Dia berdalil, ketentuan itu bertentangan dengan Pasal 28 UUD 1945 yang menjamin hak setiap warga negara untuk berkomunikasi. Mulyana hanya salah satu yang menyoal pasal itu ke MK.

Akhir 2006, MK mengeluarkan putusan yang, antara lain, menyatakan tata cara penyadapan KPK akan diatur dalam UU tersendiri, untuk menjaga independensi dalam memberantas korupsi. Tapi sudah tiga tahun, UU khusus itu tak kunjung muncul.

Medio 2009. anggota DPR periode 2004-2009 yang hampir berakhir masa baktinya, berusaha keras menggusur kewenangan menyadap KPK, lewat RUU Pengadilan Tipikor. Antara

lain, lewat usulan klausul bahwa hasil penyadapan tanpa izin tak bisa dijadikan alat bukti.

Page 77: hukuman mati

Karena kuatnya tekanan publik, dan adanya putusan MK-bahwa penyadapan akan diatur UU tersendin-DPR tak berhasil. Tapi, UU Pengadilan Tipikor berhasil membatasi ruang gerak penyadapan, lewat klausul bahwa hakim-lah yang menentukan sah-ti-daknya hasil sadapan sebagai alat bukti.

Persoalan sadap-menya-dap ini pula yang sempat membuat hubungan Polri-KPK memanas, setelah KPK secara tak sengaja menyadap Kabareskrim Komjen Susno Duadji sedang melakukan pembicaraan mencurigakan. Tapi, kriminalisasi pimpinan KPK urung terjadi dan KPK tak berhasil dibubarkan, lagi-lagi karena perlawanan publik.

Tapi, badai belum berlalu. Kewenangan penyadapan yang merupakan taring KPK, masih tetap dibidik. Kali ini lewat RPP Tata Cara Inter-sepsi. Penyadapan yang semula sejak tahap penyelidikan, hendak ditelikung ke tahap penyidikan. KPK juga hendak disubordinasi oleh lembaga bernama Pusat Intersepsi Nasional (PIN).

Siasat pengaturan baru

jni. lagi-lagi berdalih HAM dan privacy. Itu. antara lain, terlihat dari poin menimbang di RPP tersebut yang me-mampang UU No 39/1999 tentang HAM. "Berkomunikasi adalah hak asasi, tidak boleh disadap. Hasil penyadapan tidak boleh sembarangan dibuka karena tidak semuanya merupakan informasi publik," kata Menkominfo, Tifatul Sembiring, dalam rapat kerja dengan DPR, akhir November.

Tifatul mencontohkan, di negara seperti Australia. Je- . pang, dan Korea Selatan, penyadapan itu diatur di bawah departemen seperti Depkominfo. Dia mengidam-kan kewenangan serupa di Indonesia.

Anggota Komisi I DPR, Ahmad Muzani, mengatakan, pengaturan penyadapan memang perlu. Tapi, untuk saat ini, pengaturan malah bisa kontraproduktif terhadap pemberantasan korupsi. "Belum saatnya." kata dia.

Sebenarnya, tanpa diatur-atur pun, dalam UU Telekomunikasi dan UU ITE, menyadap merupakan kegiatan terlarang, kecuali untuk kepentingan penegakan hukum. Tapi, RPP malah justru datang dengan sejumlah klausul yang membuat resah. bachrul. l harun

Dasar dasddddAntara HAM, Privasi, dan Extraordinary Crime21 Dec 2009

Politik Republika

Pernah menonton film Enemy of The State? Film yang dibintangi Will Smith itu memperlihatkan bagaimana negara memata-matai warganya. Sesuatu yang tentu saja tak nyaman. Tapi, untuk kasus Indonesia, soalnya memang bisa menjadi lain.

Page 78: hukuman mati

Urusan mematai-matai warga negara, seperti menyadap, yang di negara lain telah diatur secara ketat oleh pemerintah atas dasar hak asasi dan privasi, di Indonesia justru menemui kendala lain. Pasalnya, penyadapan yang leluasa justru diperlukan untuk memberantas penyakit kronis bernama korupsi.

Menyadari korupsi sebagai kejahatan luar biasa (extraordinary crime), pemerintah dan DPR membekali Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dengan senjata sepadan penyadapan. Benar saja, penyadapan itu membuat KPK bergerak bak hantu.

Sepak terjang KPK pun menyuguhkan cerita berkualitas novel detektif. Lembaga tersebut mengintai, menguntit, dan mencokok koruptor dari kamarkamar. hotel hingga ruang parkir. Dari jalan protokol hingga gang perumahan mewah. KPK seperti ada di mana-mana.

Korban KPK pun berjatuhan. Mulai dari pengusaha sampai jaksa. Dari pejabat pemerintah hingga anggota DPR-yang lama mengidam mitos the untouchable.

Tapi, taring itulah yang sejak awal hendak dipatahkan oleh orang-orang yang menjadi korbannya. Baik lewat proses hukum maupun lewat proses legislasi.

Anggota KPU, Mulyana W Kusumah, yang menjadi korban dramatis pertama penyadapan, men-judicial review kewenangan menyadap di Pasal 12 ayat (1) UU KPK. Dia berdalil, ketentuan itu bertentangan dengan Pasal 28 UUD 1945 yang menjamin hak setiap warga negara untuk berkomunikasi. Mulyana hanya salah satu yang menyoal pasal itu ke MK.

Akhir 2006, MK mengeluarkan putusan yang, antara lain, menyatakan tata cara penyadapan KPK akan diatur dalam UU tersendiri, untuk menjaga independensi dalam memberantas korupsi. Tapi sudah tiga tahun, UU khusus itu tak kunjung muncul.

Medio 2009. anggota DPR periode 2004-2009 yang hampir berakhir masa baktinya, berusaha keras menggusur kewenangan menyadap KPK, lewat RUU Pengadilan Tipikor. Antara

lain, lewat usulan klausul bahwa hasil penyadapan tanpa izin tak bisa dijadikan alat bukti.

Karena kuatnya tekanan publik, dan adanya putusan MK-bahwa penyadapan akan diatur UU tersendin-DPR tak berhasil. Tapi, UU Pengadilan Tipikor berhasil membatasi ruang gerak penyadapan, lewat klausul bahwa hakim-lah yang menentukan sah-ti-daknya hasil sadapan sebagai alat bukti.

Persoalan sadap-menya-dap ini pula yang sempat membuat hubungan Polri-KPK memanas, setelah KPK secara tak sengaja menyadap Kabareskrim Komjen Susno Duadji sedang melakukan pembicaraan mencurigakan. Tapi, kriminalisasi pimpinan KPK urung terjadi dan KPK tak berhasil dibubarkan, lagi-lagi karena perlawanan publik.

Page 79: hukuman mati

Tapi, badai belum berlalu. Kewenangan penyadapan yang merupakan taring KPK, masih tetap dibidik. Kali ini lewat RPP Tata Cara Inter-sepsi. Penyadapan yang semula sejak tahap penyelidikan, hendak ditelikung ke tahap penyidikan. KPK juga hendak disubordinasi oleh lembaga bernama Pusat Intersepsi Nasional (PIN).

Siasat pengaturan baru

jni. lagi-lagi berdalih HAM dan privacy. Itu. antara lain, terlihat dari poin menimbang di RPP tersebut yang me-mampang UU No 39/1999 tentang HAM. "Berkomunikasi adalah hak asasi, tidak boleh disadap. Hasil penyadapan tidak boleh sembarangan dibuka karena tidak semuanya merupakan informasi publik," kata Menkominfo, Tifatul Sembiring, dalam rapat kerja dengan DPR, akhir November.

Tifatul mencontohkan, di negara seperti Australia. Je- . pang, dan Korea Selatan, penyadapan itu diatur di bawah departemen seperti Depkominfo. Dia mengidam-kan kewenangan serupa di Indonesia.

Anggota Komisi I DPR, Ahmad Muzani, mengatakan, pengaturan penyadapan memang perlu. Tapi, untuk saat ini, pengaturan malah bisa kontraproduktif terhadap pemberantasan korupsi. "Belum saatnya." kata dia.

Sebenarnya, tanpa diatur-atur pun, dalam UU Telekomunikasi dan UU ITE, menyadap merupakan kegiatan terlarang, kecuali untuk kepentingan penegakan hukum. Tapi, RPP malah justru datang dengan sejumlah klausul yang membuat resah. bachrul. l harun