Etnonesia Maret

32
Mempertahankan Identitas Kesundaan, Mencari Keuntungan. MARGONDA RAYA Dibalik aspal jalan, kisah tak terjamah ETNONESIA.ORG - MARET 2014

description

Etnonesia

Transcript of Etnonesia Maret

Page 1: Etnonesia Maret

Mempertahankan Identitas Kesundaan, Mencari Keuntungan.

MARGONDA RAYADibalik aspal jalan,kisah tak terjamah

ETNONESIA.ORG - MARET 2014

Page 2: Etnonesia Maret

2 ETNONESIA MARET 2014

SAJIAN UTAMA

6 Menjual Tradisi? Mempertahankan identitas ke- sundaan, mencari keuntungan.

17 Orang Kei dan Hak Ulayat Laut Konflik antara hak ulayat laut dan pesan leluhur di desa Sather dan Tutrean.

25 Margonda Raya Dibalik aspal jalan, kisah tak terjamah.

ETNONESIAEksplorasi - Wawasan - Hiburan

ETNONESIAEksplorasi - Wawasan - Hiburan

EDITOR IN CHIEF: AHMAD ZAENUDIN, EDITOR: MOHAMAD BHISMA, PHOTO EDITOR: HANY AFRILIYAN, EDITORIAL STAFF: AGUS KUSUMAATMAJA, SABRIYANI ANGGITA, DESIGNER: TIARA PITALOKA. KONTRIBUTOR EDISI MARET: DEILIKA CHAIRINA.

Mengerti Manusia Disekitar Kita

ETNONESIA merupakan organisasi non-profit

yang menerbitkan majalah bulanan sebagai jurnal resmi. Bertujuan untuk

memberikan pemahaman tentang manusia beserta apapun yang ada diseki-

tarnya.

Melakukan penelitian, kajian dan ekspedisi

dalam berbagai aspek, seperti kultur, sosial,

ekonomi, sejarah dan lain hal di seluruh dunia.

Kunjungi alamat kami di etnonesia.org untuk

pemahaman lebih lanjut.

Page 3: Etnonesia Maret

DARI EDITOR

3 ETNONESIA MARET 2014

Memulai Kehidupan

Membuka mata, merupakan awal bagi kita untuk melanjutkan atifitas. memulai suatu usaha atau melanjut-kan sesuatu yang tak terselesaikan dimasa lalu. Etnonesia hadir dengan semangat memulai. Bagi kami, ada banyak cerita yang tak tersampaikan diluar sana. Ingin rasanya memberi suatu jalan bagi kita semua untuk lebih peduli dan mengerti tentang kita, umat manusia. Melalui edisi ini, kami memulai untuk memahami se-gala yang ada disekitar. Tak melulu perjalanan jauh yang menegangkan, tapi kami memulainya dari sekitar kita yang saban hari kita temui tapi tak pernah jadi perbincangan. Edisi ini, kami menyajikan bagaimana tradisi Sunda diangkat ke layar panggung kehidupan bisnis. Diawali oleh “gimmick” perda Rabu Nyunda, bagaimana geliat tersebut terasa bagi masyarakat kota yang kian modern. Keuntun-gan hadir ditengan kegamangan. gamang akan jati diri. Mungkin inilah satu ketakutan, takut akan hilangnya jati diri diterpa godaan bernama modernisme. Tapi fakta lapangan membuat kita sejenak harus berpikir kembali, benarkah ketakutan jati diri mengusuk kehidupan kita? Bu-kankah dengan kegamangan tersebut banyak orang-orang yang justru menikmatinya. Itulah inti edisi ini. Banyak di-antara mereka yang justru ketiban rejeki oleh kecemasan modernisme. Budaya yang hendak diangkat kembali, dit-erjemahkan dengan baik untuk memperoleh pundi-pundi keberkahan. Maka, tak perlu berlama-lama, selamat menikmati sajian edisi ini.

Ahmad ZaenudinEditor in Chief

Page 4: Etnonesia Maret

PANDUAN BERTAHAN HIDUP

4 ETNONESIA MARET 2014

Pengendali Api! Api merupakan elemen penting dalam peradaban manusia. Saat kita

dihadapkan pada posisi sulit seperti tersesat di alam yang tak bisa

kita kenali. Bersahabat dengan api merupakan salah satu jalan terbaik

untuk dapat bertahan hidup sambil menunggu pertolongan.

Maka, saat itu terjadi kita harus bersiap!

1. Cek peralatan yang dimiliki, apakah Anda membawa korek!

2. Berapa waktu yang Anda miliki. Saat Anda tersesat di dalam

hutan, waktu sedetik begitu berharga untuk menyelamatkan

nyawa Anda!

3. Pahami, mengapa Anda membutuhkan api. Untuk

menghangatkan badan yang kedinginan karena lembabnya

hutan hujan tropis, memasak air atau membakar makanan?

4. Pastikan saat Anda bergerak kembali untuk meminta bantua,

api telah padam sempurna!

5. Cari tempat-tempat yang kering. Ingat api sulit menyala di

tempat-tempat lembab/basah!

Selanjutnya Anda harus paham tempat yang Anda gunakan. Ingat Anda

akan menyalakan api. Tempat tersebut harus terlindungi dari angin

yang kencang dan terlindungi dari ancaman bahaya. Dan pusatkan

panas Api yang Anda buat.

Ingat! Api terbuat setidaknya dengan tiga materi. Benda yang mudah

terbakar seperti rantang atau semak, pemantik, dan bahan bakar!

Diadaptasi dari FM 21-76 US Army Survival Manual oleh Agus Kusumaatmaja.

Page 5: Etnonesia Maret

Infografis: Tiara Pitaloka Staf ETNONESIA Sumber: The India Space Research Organization’s (ISRO)

Page 6: Etnonesia Maret

Bertahan di tengah arus glo-balisasi. Mencari keuntungan sambil mencari rejeki.

Page 7: Etnonesia Maret

Teks dan foto oleh Ahmad Zaenudin

Ahmad Zaenudin adalah pemimpin redaksi majalah ini.

Rabu siang, cuaca terasa panas. Meskipun sehari

sebelumnya hujan mengguyur nyaris seluruh

kota dari pagi hingga malam. Meskipun langit-

langit memperlihatkan gumpalan awan yang cukup hitam,

Bandung hari ini memang terlihat berbeda. Saat itu, saya

duduk di sebuah angkutan kota yang terjebak macet. Di

depan ada beberapa sekolahan yang berlokasi persis di

depan jalan raya. Tak ayal, saat jam-jam pulang sekolah

seperti saat ini, jalanan menjadi macet disebabkan oleh

angkutan kota yang ngetem di sembarang tempat.

Ada yang unik saat saya kepanasan dalam angkot

yang saya tumpangi yang terjebak kemacetan tersebut. Di

luar, para pelajar sekolah dasar (SD) yang baru pulang

sekolah, berjalan kaki menyusuri trotoar jalanan. Sambil

sesekali menyembul diantara mobil-mobil yang terjebak

macet, para pelajar tersebut memakai seragam yang tak

biasa. Anak laki-laki menggunakan seragam hitam-hitam,

dihiasi ikat kepala yang dibuat dari kain batik dengan

mengikuti pola melingkar di kepala mereka. sementara

para perempuan memakai baju kabaya, kebanyakan

berwarna putih. Lengkap dengan motif apik yang menghiasi

pinggiran baju tersebut. Tak lupa pula, kain batik mereka

kenakan menggantikan rok warna merah khas seragam SD.

Seketika saja, hawa panas yang saya rasakan di dalam

angkot, berubah menjadi senyum kecil melihat aak-anak

SD tersebut. Sayangnya, tak semua memakai seragam

khas tersebut.

Saat angkot yang saya tumpangi akhirnya bisa melaju

terbebas dari kemacetan, saya pun menjumpai hal yang

sama. Beberapa sekolah dasar yang dilalui rute angkot

tersebut, saya menemukan banyak anak-anak yang

7 ETNONESIA MARET 2014

Page 8: Etnonesia Maret

memakai seragam unik tersebut. Meski harus diakui,

jumlahnya memang lebih sedikit dibanding mereka yang

tidak memakai dan hanya memakai seragam sekolah

seperti biasa. Bukan hanya anak-anak sekolahan saja

ternyata, banyak juga beberapa orang yang saya temui

selepas turun dari angkot, mengenakan pakaian yang

sama. Mulai dari bapak-bapak petugas keamanan kantor

yang memakai ikat kepala yang sama seperti anak laki-laki

SD, juga beberapa orang yang memakai seragam hitam-

hitam lengkap dengan gaya yang cukup mencolok.

REBO NYUNDA, sebuah program yang digagas pemerintah

kota bandung dibawah walikota Ridwan Kamil. Dalam

program ini, masyarakat Bandung diwajibkan menggunakan

bahasa Sunda seharian penuh di hari rabu. Selain itu,

masyarakat juga dihimbau untuk menggunakan atribut

kebudayaan Sunda yang menjadi ciri orang Sunda. Ikat

kepala atau orang Sunda menyebutnya sebagai Iket dan

juga seragam hitam-hitam atau masyarakat kenal sebagai

baju Pangsi.

Bagi sebagian orang, program rebo nyunda

diapresiasi dengan antusias. Mengingat, kebudayaan

Sunda yang menjadi ciri orang Sunda kian tergerus oleh

arus modernisme yang semakin gencar. Bandung yang

merupakan kota besar di Indonesia dan dianggap sebagai

basis utama masyarakat Sunda perkotaan kian tergerus

oleh ekspansi para kaum urban yang menyerbu Bandung.

Dalam sebuah penelitian, bagaimana kebudayaan suatu

daerah diapresiasi dan dilakukan dalam kehidupan

diintrepretasi dengan cara berbeda. Sebagai contoh,

dalam penelitian suatu penelitian, digunakan Bandung dan

Medan sebagai basis pemahamannya. Hasilnya, Medan

tak memiliki kebudayaan utama yang mendikte kehidupan

MENJUAL TRADISI 8

Page 9: Etnonesia Maret

masyarakat Medan. Disana, banyak kebudayaan berbeda

yang hidup dalam kerangkanya masing-masing. Tidak ada

yang dominan. Sementara di Bandung, dalam penelitian

tersebut memperlihatkan bahwa Sunda sangat dominan.

Kaum urban yang berada di Bandung dipaksa untuk

bisa mengadopsi kebudayaan Sunda dalam kehidupan

bermasyarakat.

Kini, untuk memperkuat kedudukan Sunda yang

disadari kian tergerus, rebo nyunda diharapkan bisa

memberikan angin segar bagi generasi penerus tentang

kebudayaan Sunda. Namun, dalam sebuah akun media

sosial, Iwan Pirous, seorang Antropolog Universitas

Indonesia melihat fenomena rebo nyunda sebagai

ketakutan terhadap terjangan globalisasi. Rebo nyunda

lebih merupakan purisitas etnis serta etnosentrisme belaka

dan menghiraukan kenyataan bahwa Bandung kini adalah

kota yang majemuk dan dihidupkan oleh orang-orang yang

memiliki kebudayaan yang berbeda.

SUATU SIANG terik matahari cukup untuk membuat orang

berpikir dua kali untuk beraktifitas di siang hari tersebut. Di

depan sebuah museum yang cukup terkenal di Bandung,

jejeran para penjual cinderamata bagi para pelancong

memamerkan dagangannya. Beberapa pedagang cukup

agresif menawarkan barang dagangan hingga mengikuti

calon pembeli. Beberapa memilih untuk diam dan hanya

menunggu pembeli yang benar-benar tertarik untuk

membeli.

Saat itu Kang Imet, seorang pedagang di sekitaran

Museum Geologi Bandung sedang menikmati makan

siangnya. Seporsi kupat tahu menjadi pilihan Kang Imet

siang itu. Dengan santai, Kang Imet menjawab pertanyaan

saya perihal dagangannya yang identik dengan kebudayaan

9 ETNONESIA MARET 2014

Rebo Nyunda diharapkan bisa memberikan angin segar bagi generasi enerus tentang kebudayaan Sunda.

Page 10: Etnonesia Maret

Sunda. Sambil sesekali menunjuk pada dagangannya, kang

Imet bercerita bahwa Iket kepala dan baju Pangsi adalah

dua komoditas unggulan yang dijualnya. “Sekarang mah

udah masuknya ke trend. Pertama trend dulu, budaya jadi

mulai diangkat lagi. Kebanyakan yang bilang ikutin trend.

Padahal dari dulu udah ada”.

Bagi Kang Imet dan kebanyakan pedagangan sejenis,

berjualan Iket dan baju Pangsi memiliki keunikan tersendiri.

Sambil ikut menjaga kebudayaan Sunda yang kian tergerus,

pundi-pundi uang juga bisa didapat dengan berjualan

komoditas budaya tersebut. “Kalo ngga pake iket, bukan

orang sunda. Walaupun mau dipake di kepala, disamper di

leher” kilah kang Imet tentang dagangannya tersebut.

Bukan cuma masyarakat Bandung, komoditas yang

cukup mencolok tersebut juga menjadi perhatian orang-

orang luar Bandung yang kebetulan melintas. Keunikan

dan “keanehan” yang dihadirkan mampu menarik bayak

orang. Setidaknya untuk berhenti sejenak dan bertanya,

barang apa yang dijual tersebut. “Kebanyakan orang

luar juga suka. Kemarin Thailand, Inggris, Jerman” ucap

Kang Imet mengingat wisatawan-wisatawan mancanegara

yang membeli dagangannya. Ditambah dengan program

rebo nyunda yang mendongkrak penjualan komoditas

kebudayaan tersebut. “Dari dulu udah lumayan rame,

sekarang lumayan. Selain (dagang) di jalan, banyak

pesenan diluar, kemarin sama Partai buat calon (DPR). Kalo

saya ngejual Rp. 100.000 (buat) dewasa, (anak-anak) Rp.

80.000-85.000 (Iket) Rp. 20.000. Omset perhari, kalo sepi

Rp. 300.000-400.000, yang rame bisa diatas 1 (juta)”.

BAGI KEBANYAKAN MASYARAKAT SUNDA KINI,

Iket kepala dan Pngsi adalah pakaian khas kebudayaan

Sunda yang diturunkan leluhur mereka. Jika Anda sulit

MENJUAL TRADISI 10

“Kalo ngga pake Iket, bukan orang Sunda. Walaupun mau dipake di kepala, disamper di leher”.

Page 11: Etnonesia Maret

membayangkannya, tengoklah apa yang dikenakan

masyarakat Baduy di Kanekes Banten. Mereka sehari-

hari memakai pakaian hitam-hitam (dan terkedang putih-

putih) yang dilengkapi dengan ikat atau disebut iket

kepala. Iket kepala tersebut lazimnya dibuat dari kain batik

dengan diikatkan ke kepala dengan mengikuti pola-pola

tertentu. Sementara baju hitam-hitam (dan terkadang

putih-putih) dinamakan sebagai baju Pangsi. Beberapa

orang menyakini artinya sebagai Pangeran Siliwangi atau

Prabu Siliwangi. Sebagian yang lain menyakini bahwa arti

Pangsi yang benar adalah Panglima Sliwangi. Arti yang

belakangan ini bisa merujuk pada dua kemungkinan. Bahwa

Pangeran Siliwangi atau Prabu Siliwangi merupakan raja

Pajajaran yang memimpin peperangan dalam kaitannya

mempertahankan Kerajaan atau menghadapi serangan

musuh. Bisa juga dikaitkan dengan keberadaan Komando

Daerah Militer (Kodam) Siliwangi yang memang berpusat di

Bandung. Kodam Siliwangi sendiri memiliki reputasi yang

masyur secara nasional. Disanalah cikap bakal pasukan

elit TNI (Kopassus) terbentuk. Tapi mengaitkan pakaian

Pangsi dengan keberadaan Kodam Siliwangi agaknya

sulit untuk diterima. Mengingat, masyarakat Baduy yang

mendiami wilayah Kanekes di Banten dan dianggap

sebagai suku tradisional Sunda dan sering dikait-kaitkan

dengan sebaran Kerajaan Pajajaran yang melarikan diri

akibat ekspansi Kerajaan Mataram, mementahkan hal itu.

Tentu, keberadaan masyarakat Baduy lebih dahulu hadir

dibanding terbentuknya Kodam Siliwangi. Maka, rujukan

Pangsi yang pas adalah Pangerang Siliwangi atau Prabu

Siliwangi. Lantas siapa dia?

Prabu Siliwangi adalah raja Kerajaan Pajajaran. Ia

seringkali dikait-kaitkan dengan sosok Maung atau harimau

yang melegenda dalam masyarakat Sunda. Maung Siliwangi

11 ETNONESIA MARET 2014

Page 12: Etnonesia Maret

Kang Imet memperagakan bagaimana ia membuat pola Iket kepala “Berambang Semplak”.

Page 13: Etnonesia Maret

Baju Pangsi dijual di pinggiran jalan.

Page 14: Etnonesia Maret

yang sering dikaitkan diyakini sebagai sosok siluman yang

berwujud harimau putih. Belakangan, Maung telah menjadi

sombol dalam kebudayaan Sunda saat ini. Namun, hal

demikian kurang disertai bukti sejarah yang kuat. Dadang

Ibnu, seorang tokoh Sunda yang bersahabat dengan Otto

Iskandardinata menyakini bahwa Maung benar-benar

simbol masyarakat Sunda. Sementara banyak tokoh yang

menyakini bahwa burung gagak atau gajah lebih tepat

mewakili simbol masyarakat Sunda.

Beberapa masyarakat sendiri lebih percaya bahwa

Maung merupakan jelmaan Prabu Siliwangi setelah ia

moksa. Namun apapun itu, Prabu Siliwangi memang terikat

kuat dengan Kerajaan Pajajaran. Banyak yang mengaitkan

bahwa Kerajaan Pajajaran runtuh karena dibawa Prabu

Siliwangi moksa. Namun pendapat itu bisa dipatahkan

dengan nama yang melekat pada sag Prabu itu sendiri.

Prabu Siliwangi bukan merupakan nama asli. Prabu

Siliwangi lebih merupakan julukan bagi Prabu Jayadewata.

Ialah yang mempersatukan Kerajaan Sunda dan Galuh di

bawah kekuasaannya. Maka, untuk mengenang kehebatan

sang Prabu, nama Siliwangi diberikan. Nama ini diambil

dari kata Sili atau silih (pengganti) dan Wangi. Nama

Wangi sendiri merujuk pada Prabu Wangi alias Prabu

Wastukancana, pendahulu Prabu Jayadewata yang memiliki

reputasi mentereng. Untuk mengenang kehebatan Prabu

Jayadewata, maka ia dianggap pantas sebagai pewaris

resmi Prabu Wangi tersebut. Jadilah nama Prabu Siliwangi

melekat pada Prabu Jayadewata yang berkuasa 1482-

1521.

Namun, nama Prabu Siliwangi pun memiliki

penentangnya tersendiri. Nama itu diyakini bukan

nama yang benar-benar disandang Prabu Jayadewata.

Nama Siliwangi muncul dalam Kropak 630, karya sastra

MENJUAL TRADISI 14

Page 15: Etnonesia Maret

pantun Sunda dimasa itu. Nama Siliwangi diyakini hanya

nama pujian dari para pujangga semasa itu. Dan yang

mengaitkan Prabu Siliwangi dengan keruntuhan Kerajaan

Pajajaran juga bisa disingkirkan, mengingat selepas Prabu

Siliwangi ada beberapa penerusnya yang menjalankan

roda Kerajaan Pajajaran. Tapi ada satu hal yang diyakini

mayoritas masyarakat Sunda kini, bahwa Prabu Siliwangi

memang merupakan seorang raja yang memiliki kesaktian.

Salah satu yang unik adalah persoalan pakaian apa

yang digunakan kala itu. Apakah Prabu Siliwangi beserta

pengikutnya dan rakyatnya mengenakan Iket kepala dan

baju Pangsi? Untuk hal ini paling tidak kita bisa merujuk

pada suku Baduy. Bukan rahasia umum bahwa Suku

Baduy menggunakan baju Pangsi serta Iket kepala dalam

keseharian mereka. Terlebih, seorang ahli bernama Pleyte

mengemukakan bahwa orang Baduy merupakan suku yang

berasal dari daerah Bogor sebagai pusat Kerajaan Pajajaran.

Mereka melarikan diri ke perbukitan di sekitar Gunung

Pangrango, arah barat daya dari kota Bogor sekarang. Hal

ini diperkuat oleh keberadaan Arca Domas yang berada

di sekitar hutan masyarakat Baduy. Maka, dalam struktur

masyarakat Baduy, terdapat istilah Baduy Dalem. Maksud

Dalem disini bukan diartikan sebagai “dalam”, melainkan

diartikan sebagai Kesatria. Diyakini bahwa orang Baduy

merupakan para kesatria Kerajaan Pajajaran yang pergi

kesekitaran gunung Pangrango tersebut.

Dan saat ini, orang Baduy merupakan salah satu

suku yang konsisten mempertahankan tradisi mereka.

Seorang peneliti bernama Suria Saputra yang melakukan

wawancara dengan ketua adat Baduy mengungkapkan

bahwa merekalah Sunda, dan Sunda menurut pandangan

orang Baduy adalah mereka yang berdarah, berbahasa,

bertanah air, beradat, dan beragama Sunda. Penggunaan

15 ETNONESIA MARET 2014

Nama Siliwangi diyakini hanya nama pujian dari pujangga semasa itu.

Page 16: Etnonesia Maret

Iket kepala dan baju pangsi diyakini sebagai bagian dari

adat Sunda.

TRADISI MEMANG TAK SEPENUHNYA bergandengan

tangan secara harmonis dengan ekonomi. Lihatlah Bali yang

dikritik karena terlalu memuja budaya sebagai komoditas

dagang. Persawahan di Ubud yang kian tergerus ekspansi-

ekspansi perseroan yang kian menggurita. Tengok pula

berbagai destinasi yang menjadi lokasi “pembuangan

sampah” baru bagi para pengunjungnya, atau coba tengok

upacara keagamaan di Candi Borobudur yang “diganggu”

para juru foto karbitan.

Tapi setidaknya, ada hawa sejuk dibalik itu semua. Ada

satu hal yang paling saya ingat saat saya bertemu Kang

Aris. Ia salah seorang penjual Iket kepala dan baju Pangsi

di pinggiran jalan raya. Katanya mempertahankan tradisi,

itu sebuah kebanggan. Bagi saya, apa yang diutarakan

Kang Aris memang benar. Biarlah Iket kepala dan baju

Pangsi menjadi komoditas. Toh dengan ramainya orang-

orang latah untuk membeli, saya selalu berharap, mereka

pun mau mempelajari.

MENJUAL TRADISI 16

Page 17: Etnonesia Maret

Orang Kei: Konflik Antara Hak Ulayat Laut dan Pesan Leluhur di Desa

Sather dan Tutrean

Laut, sebuah wilayah yang samar yang dimiliki bumi. Berbeda dengan

tanah, patok-patok batasan laut tak terlihat secara kasat mata. Hanya

merupakan garis-garis imajiner yang memisahkan. Antara garis pantai

suatu negara, batasi internasional, maupun zona ekonomi ekslusif merupakan

puncak khayalan manusia.

Berdasarkan tulisan Dedi Supriadi Adhuri, “Saat Sebuah Desa Dibakar Menjadi Abu: Hak Ulayat Laut dan Konflik Antar Kelompok di Pulau Kei Besar”

Mohamad Bhisma adalah editor majalah ini.

Teks oleh Mohamad Bhisma

Page 18: Etnonesia Maret

Tak pernah benar-benar terlihat ada. Tanah, berbeda.

Secara mudah orang akan sadar dimana dia berpijak di

atas tanah. Tanah miliknya atau bukan. Desa A atau desa

B, kota C atau koda D, begitupun batasan suatu negara

terlihat jelas meskipun batasan-batasan sosial budaya

yang hinggap diatas tanah sulit untuk dipetakan.

Secara umum, kita lebih mengenal hak ulayat tanah

dan jarang atau mungkin tak pernah meneganal hak

ulayat laut. Tak heran, karena laut masih dianggap “tidak

dimiliki siapapun” atau sumber daya milik umum. Dan

pengaturan manajeman laut merupakan hak absolut yang

dimiliki pemerintah. Maka tak heran, tak pernah ditemukan

sertifikat “sepetak” laut yang dikeluarkan pemerintah. Isu

mengenai hak ulayat laut lebih pada pemahaman baru

tentang pemanfaatan laut secara kultural oleh masyarakat

tertentu. Kajian mengenai hal ini bermulai sekitaran

tahun 1970an. Nama-nama seperti Rudle, Akimichi,

Feterson, Rogsby merupakan penggiat kajian perihal

laut dan permasalahannya tersebut. McGoodwin dalam

kajiannya tahun 1990 mengatakan bahwa implikasi tak

adanya “sertifikat laut” tersebut membuat pemerintahlah

satu-satunya kambing hitam dalam setiap permasalahan

kelautan.

Salah satu kasus yang berpangkal dari hak ulayat laut

terjadi di Indonesia, tepatnya di wilayah Kei Besar, Maluku

Tenggara. Miris, kata yang pas untuk mendefinisikan

keadaan. Perebutan wilayah lautan menjadikan warga

disana terbelah dan menimbulkan konflik berkepanjangan.

Adalah dua desa, Tutrean dan Sather yang berkonflik.

Keduanya bertetangga. Bahkan hanya perlu 30 menit

berjalan kaki dari Tutrean untuk sampai ke desa Sather

di selatan. Namun, konflik yang mendera membuat hal

demikian mustahil dilakukan.

ORANG KEI 18

Page 19: Etnonesia Maret

Desa Tutrean berpenduduk 469 jiwa pada sensus yang

dilakukan tahun 1990, sementara desa Sather berpenduduk

782 jiwa. Agama Kristen Protestan mendominasi kedua

desa ini, terkecuali di desa Tutrean yang memiliki basis

pemeluk agama Katolik yang tak terlampau banyak. Dan

petani merupakan pekerjaan utama mayoritas kedua

desa ini. Meskipun mereka tinggal di wilayah pesisir yang

distereotipkan bermata pencarian sebagai nelayan. Maka

tak heran, makanan pokok mereka juga didominasi hasil-

hasil pertanian seperti singkong, kasbi, ubi, serta jagung.

Dan mereka melaksanakan ekonomi subsisten untuk

bertahan hidup.

9 April 1988, diputuskan pada malam sebelumnya dalam

sebuah pertemuan di rumah kepala desa Tutrean, dua

sampai tiga puluh sampan yang masing-masing didayung

oleh satu-dua orang datang menuju meti (perairan pantai) di

depan perkampungan desa Sather. Mudah ditebak, setelah

itu panah, tombak, parang, dan bom molotov melayang ke

arah desa Sather. Api berkobar, tangis pecah. Setidaknya

74 rumah terbakar habis dalam insiden tersebut.

Serangan tersebut merupakan sebuah buntut

panjang dari konflik yang telah berumur seabad. Pangkal

permasalahannya hampir sama. Perebutan batas wilayah laut.

Tentu, bukan sekedar lautan. Tapi sedikit menenggelamkan

diri dalam wilayah lautan yang disengketakan kita bisa

mengetahui jawabannya: Lola atau dalam bahasa ilmiah

disebut Throcus Niloticus. Lebih tepatnya, penduduk

sekitar yang tergolong miskin mengetahui bahwa kulit lola

memiliki nilai jual tinggi. Meskipun mereka sebagian besar

bekerja sebagai petani, toh kemiskinan memang harus

dilawan. Perburuan lola menjadi solusi jitu dengan harga

tinggi di pasaran. Sedihnya, lola tak selalu ada di tiap inci

19 ETNONESIA MARET 2014

Api berkobar, tangis pecah. Setidaknya 74 rumah terbakar habis dalam insiden itu.

Page 20: Etnonesia Maret

perairan laut. Perburuan lola hingga masuk batas wilayah

yang berbeda memicu konflik yang kian runcing. Sidang

adat, interfensi pemerintah Hinda Belanda, dan pemerintah

Indonesia silih berganti berusaha mendamaikan.

Saat kita membicarakan wilayah lautan, rujukan awal

yang bisa dilacak berakal dari masa penguasaan Belanda

di wilayah kepulauan Kei. Setidaknya, perairan laut yang

menjadi konflik kita telah dibagi menjadi tiga wilayah oleh

pemerintahan Hindia Belanda di masa 1930an. Mereka

membagi menjadi tiga zona, A, B, dan C. Masing-

masing desa mendapat satu zona dan zona yang menjadi

penengah disepakati menjadi milik bersama dan diawasi

oleh komisi khusus yang terdiri dari Controleur der Kei-

eilanden, Bestuursasambtenar te Elat, dan Rat Fer.

Sebenarnya, jika kita menelusuri lenbih lanjut mengenai

konflik yang terjadi, kita akan sampai pada pemahaman

tentang kelompok sosial yang ada di kedua desa. Orang Kei

di Sather dan Tutrean mengenal pembagian sosial dalam

kehidupan mereka. Yakni Mel (bangsawan), Ren (orang

merdeka) dan Iri (budak). Ditambah sejarah lisan mereka

yang disebut Toom sangat mendominasi pemahaman

peranan dan fungsi masing-masing. Uniknya, masing-

masing kelompok sosial dan kedua desa antara Sather

dan Tutrean memiliki toom yang berbeda menurut versi

masing-masing.

Penduduk pertama yang mendiami kepulauan Kei adalah mereka yang muncul dari tanah, laut, binatang atau tumbuhan yang hidup di Kepualaun Kei. Karena itu orang-orang ini dianggap sebagai pemilik asli dari wilayah darat dan laut kepulauan Kei. Mereka adalah tuan tanah ( tuan tan ). Secara ketegorial mereka merupakan kelompok ren. Pada suatu waktu, para pendatang dari berbagai tempat seperti Bali, Sumba, Luang, Jailolo, Ternate dan lain-lain

ORANG KEI 20

Page 21: Etnonesia Maret

datang ke kepulauan Kei dan bertemu dengan tuan tan. Dengan berbagai alasan para imigran ini diterima oleh tuan tan. Karena para pendatang dianggap lebih cerdas, berani, kaya dan berkarakteristik unggul dibanding penduduk asli. Pada proses penerimaan tersebut mereka diberi hak untuk memerintah di wilayah yang dimiliki penduduk asli. Peristiwa ini menjadikan mereka sebagai kelompok mel-mel (bangsawan), dir’u (pemuka), wawaat (pembicara) dan ham wang (pembagi). Sementara penduduk asli tetap dengan gelar asalnya yakni tuan tan.

Toom diatas lebih merujuk pada hubungan antara Mel

dan Ren. Dari Toom tersebut, terpecik peringatan penting

bahwa Mel memiliki posisi ang lebih kuat dibanding Ren.

Pada jaman dahulu, Sather dan Tutrean adalah dua desa yang terpisah. Masing-masing merupakan desa yang otonom. Tidak ada hubungan yang merefleksikan satu pihak berada di bawah kekuasaan pihak lain. Mereka berhubungan seperti halnya penduduk dua desa tetangga lainnya di Kepulauan Kei. Pada suatu kurun waktu, terjadi kekesalan dari penduduk Tutrean terhadap penduduk Desa Sather. Kejengkelan ini disebabkan karena penduduk desa Sather terlalu berisik dalam kehidupan sehari-harinya. Mereka seringkali menabuh tifa, meniup terompet kulit kerang dan menimbulkan kegaduhan lainya. Akibat kejengkelan ini, penduduk Tutrean datang menyerang penduduk desa Sather. Terjadilah peperangan di antara mereka. Dalam peperangan tersebut banyak korban pada pihak Sather. Sebagian penduduk yang selamat pun tidak kuasa untuk tetap bertahan di desanya. Mereka mengungsi ke P. Dullah di Kei Kecil. Karena desa Sather ditinggalkan penduduknya, dan Tutrean merupakan pihak pemenang, penduduk Tutrean mengklaim wilayah desa Sather menjadi bagian dari wilayah mereka. Tanah bekas desa Sather ini mereka sebut sebagai ‘tanah kemenangan’ .Dengan demikian tanah Sather merupakan bagian tak terpisahkan dari

21 ETNONESIA MARET 2014

Toom, lebih merujuk pada hubungan antara Mel dan Ren.

Page 22: Etnonesia Maret

petuanan desa Tutrean. Demikian pula kehidupan politiknya. Pada saat yang lain, dua kelompok orang berasal dari Waer, sebuah desa di sebelah utrara P. Kei Besar, datang ke wilayah bekas desa Sather. Kelompok yang disebut Waer Rat dan Waer Waw ini ditemukan oleh Yayat Rahabeat yang kemudian melaporkan kedatangan mereka ke Tabal Tanlain, seorang pemimpin di Tutrean. Para pendatang ini kemudian diperbolehkan untuk tinggal di suatu wilayah yang bernana Ohoi Twu. Kedua kelompok ini merupakan cikal bakal orang Sather pada saat ini. Berikutnya, setelah beberapa waktu berselang kelompok Waer Waw dan Waer Rat atau keturunan mereka sering melakukan kesalahan. Akibat-akibat kesalahan itu mereka seringkali harus membayar denda yang tidak sedikit. Orang-orang Tutreanlah yang membayar denda-denda kesalahan mereka. Penggalan cerita lain mengatakan bahwa pada generasi tertentu, keturunan Waer Waw dan Waer Rat berhasil menggali nama-nama dari kelompok kekerabatan (kin group ) dari penduduk asli yang telah mati atau terusir dari Sather. Mereka kemudian menggunakan namanama tersebut sebagai nama kelompok kekerabatan mereka. Salah satu akibat dari adopsi nama-nama penduduk asli Sather ini adalah lahirnya kembali nama kelompok kekerabatan yang menjadi tuan tandi desa tersebut.

Toom diatas merupakan sejarah lisan versi Tutrean

yang melegitimasi dominasi terhadap desa Sather.

Terlebih, Toom tersebut hendak memberikan pernyataan

bahwa kekuasaan wilayah Sather telah berpindah ke tangan

Tutrean yang dinilai lebih tinggi statusnya. Tentu saja, Toom

tersebut ditolak oleh orang-orang Sather. Mereka memiliki

sejarah lisannya sendiri yang intinya menolak isi materi

Toom yang dimiliki orang Tutrean. Mereka menganggap

sebagai orang merdeka yang berhak atas wilayah Sather

beserta wilayah perairan laut yang dimilikinya.

Toom dengan segala versinya membuat konflik semakin

ORANG KEI 22

Page 23: Etnonesia Maret

rumit. Kepemilikan wilayah secara adat dipadu dengan

ketersediaan sumber daya yang bernilai secara ekonomis

menyulitkan segalanya. Laut yang biasa kita pahami

sebagai wilayah bebas memiliki tuannya masing-masing.

Tak ada catatan tertulis dengan legitimasi materai

diatasnya. Sejarah lisan yang menjadi pegangan tentu

memiliki pendukungnya masing-masing. Jika kita anggap

Hak Ulayat merupakan kearifan lokal, saat kita melihat fakta

yang dialami Orang Kei, sepertinya kita harus memikirkan

bahwa yang lokal tak mesti arif dan bijaksana.

23 ETNONESIA MARET 2014

Page 24: Etnonesia Maret

Anak-anak di Pulau Kelagian, Lampung dengan riang melepas pakaian, berlari, dan meloncat kelaut. Mari renang!

Foto oleh Deilika Chairina

Page 25: Etnonesia Maret

MARGONDA RAYA

Dibalik Aspal Jalan, Kisah Tak Terjamah

Page 26: Etnonesia Maret

Terangnya matahari memang telah tenggelam,

namun sorot lampu ratusan watt bisa menerangi jalanan

Margonda dengan baik. Ditambah warna-warni yang

berbeda, Margonda dimalam hari memang raya. Saat itu

hujan rintik sedang turun ke bumi, namun hal demikian

tetap saja tak menurunkan keramaian di jalan raya ini.

Jajaran restoran di kiri-kanan jalan seakan mengajak kita

untuk sebentar saja menengok ada apa gerangan. Bukan

hanya resto, toko-toko yang menawarkan semarak barang,

menambah suasana jalan raya tersebut semakin ramai.

Siapa tak mengenal jalan Margonda Raya. Jalan ini ialah

akses utama menuju kota Depok, Jawa Barat. Saat kita

lepas meninggalkan ibukota, praktis jalan Margonda Raya

langsung menyambut kita untuk meneruskan perjalanan.

Selain ramainya pertokoan, kantor, apartemen, di jalan

bermacam kampus juga disajikan disini. Memang kampus

Universitas Indonesia tak bersinggungan langsung dengan

jalan ini, tapi praktis bahwa jalan Margonda menjadi urat

nadi keberadaan kampus akbar tersebut. Sedikit saja Anda

masuk, terlihat kemegahan kampus UI. Bahkan banyak

orang yang percaya bahwa Margonda tidak tepat dikatakan

bagian kota Depok, jalan ini terlihat terlalu berkelas bagi

sebagian besar wilayah-wilayah di kota Depok. Pusat

pemerintahan dan pusat bisnis kota ini, seakan hanya mau

bermuara di jalan Margonda.

Teks oleh Sabriyani AnggitaFoto oleh Hany Afriliyan

Sabriyani Anggita adalah staf redaksi majalah ini.Hany Afriliyan adalah editor foto majalah ini.

MARGONDA 26

Page 27: Etnonesia Maret

MARGONDA bukan cuma sekedar nama, ialah seorang

pemuda yang belajar analisa kimia dari sebuah lembaga

bernama Analysten Cursus yang kemudian berubah

menjadi Balai Penyelidikan Kimia di Bogor. Lembaga ini

merupakan sebuah lembaga analisa kimia milik Belanda

dan sudah ada sejak awal Perang Dunia 1. Nama

awalnya yakni Indonesiche Chemische Vereniging. Di

tahun 1940an, Margonda muda belajar menjadi seorang

penerbang. Ia nampaknya mengikuti pelatihan tersebut

untuk menjadi penerbang cadangan bagi para penerbang

utama. Margonda kala itu mengikuti pelatihan terbangnya

di Luchtvaart Afdeeling. Sayang, pelatihannya tersebut tak

berjalan lama karena Belanda keburu kalah perang. Saat

Jepang berkuasa, Margonda bekerja pada Jepang.

Margonda cukup aktif diberbagai kegiatan. Setidaknya

ia juga turut aktif dalam gerakan-gerakan kepemudaan.

Bersama koleganya di kancah lokal, ia bersama kawan-

kawan mendirikan Angkatan Muda Republik Indonesia

yang berada di kawasan Bogor. Lambat laut, organisasi ini

menguap dan bergabung dengan organisasi-organisasi

lain yang sudah mapan.

Sejarawan JJ Rizal dalam sebuah media menyatakan

bahwa pemberian nama jalan bukan semata-mata urusan

sejarah. Pemberian nama lebih merupakan urusan politik.

Misalnya bagaimana pahlawan-pahlawan revolusi bisa

dengan mudah dijadikan nama-nama jalan di kebanyakan

wilayah di Indonesia. Dan ia pun mencatat bahwa nama

Margonda dijadikan nama jalan terjadi di medio 1980an.

BESAR TAPI TAK TAK TERLALU KECIL, tercatat 1.224

27 ETNONESIA MARET 2014

Sejarawan JJ Rizal menyatakan bahwa pemberian nama jalan bukan semata urusan sejarah. Lebih merupakan urusan politik.

Page 28: Etnonesia Maret

Sepasang kekasih berjalan menyusuri jalan Margon-da Raya, Depok ditemani terangnya lampu-lampu jalanan.

Page 29: Etnonesia Maret

hektar tanah merupakan sebuah teritorial sebuah negara.

Ialah Cornelis Chastelein sang empunya ruang tersebut.

Cita-citanya mulia, ia menginginkan tanahnya tersebut

menjadi tempat perkumpulan yang bisa mensejahterakan

orang-orang yang berdiri diatas tanahnya. Sang empu

memang bukan orang sembarangan, ialah seorang kaya

raya mantan pegawai VOC ---Perusahaan dagang yang

kelak dinyatakan bangkrut akibat korpsi--- yang memiliki

keinginan tersebut. Diabtu seorang advokat bernama M.H.

Klein, sang Meneer meletakkan batu pertama berdirinya

pemerintahan otonom yang terbebas dari kuasa Hindia

Belanda kala itu. Maka jangan heran, “Negara Kota”

memang telah lahir di tanah tersebut. Sebuat saja Negara

Depok.

Tak berapa lama, Reglemen Van Het Land Depok

diterbitkan pada tahun 1886. Itulah semacam konstitusi

Negara Depok yang berdaulat. Mengalami beberapa revisi,

pada awal 1913, Reglemen Van Het Land Depok akhirnya

ditandatangani oleh G. Jonathans selaku Presiden Depok

dan M.F. Jonathans selaku sekretaris. Dalam “konstitusi”

tersebut, dijelaskan beberapa petunjuk tentang struktur

pemerintahan Negara Depok. Juga dijelaskan pula tentang

pemelihan presiden tiap tiga tahun sekali berdasarkan

suara terbanyak para pemilik suara.

Suatu peristiwa di tahun 1949 mengubah segalanya.

Peristiwa ini lebih merupakan kemarahan atas “Bangsa

Depok” yang tak terlalu sukacita atas kelahiran suatu

bangsa merdeka bernama Indonesia. Peneliti Wenri

Wanhar mencatat, bagaimana peristiwa ini juga terekam

oleh putra presiden Depok terakhir kala itu, Cornelis

Josef Jonathans. “1945 belum merdeka! Peristiwanya

29 ETNONESIA MARET 2014

Page 30: Etnonesia Maret

dadakan. Tiba-tiba Jepang menyerah setelah Hiroshima

dan Nagasaki dibom. Jadi pemerintahan di sini kosong”.

Dan bak diserang disegala penjuru, Negara Depok harus

menyerah pada keadaan. Ia bagaikan Vatikan, negara suci

nan kecil di tengah-tengah Italia. Jika tak ada fatwa suci,

mudah saja bagi Italia untuk mengakuisisi. Sayang, Depok

kala itu tak memiliki fatwa suci layaknya Vatikan. Dengan

mudah, kemarahan warga sebuah bangsa baru sanggup

merontokkan kedaulatan sebuat negara. Dan seperti daun

yang gugur dari pohon, kisan Negara Depok terbang

dibawa angin hingga kering.

MARGONDA 30

Seorang juru parkir sibuk memandu kendaraan yang hendak keluar dari area parkir. Sepanjang jalan Margonda Raya, Depok memang penuh dengan pusat perbelanjaan dan bisnis.

Page 31: Etnonesia Maret

BERLANGGANANMAJALAH ETNONESIA

DONASI!

Mulai edisi Juni 2014Majalah ETNONESIA terbit secara berlangganan. Dapatkan Paket 1 Tahun penuh dengan penawaran khusus.

Paket 6 Bulan Rp 60.000Paket 1 Tahun Rp 100.000

Mulai bulan Juni 2014, ETNONESIA terbit dalam dua versi. Berbayar dan gratis. Edisi berbayar akan memberikan anda versi lengkap dari Majalah digital ETNONESIA. Sementara versi gratis memberikan porsi 1/3 konten Majalah ETNONESIA.

INFORMASI BERLANGGANAN:

HOTLINE 24 JAM+62812 2311 2421

CARA BERLANGGANAN:1. Pilih paket berlangganan yang tersedia: 6 bulan/ 1 tahun

2. Langsung transfer biaya berlangganan ke Bank Mandiri cabang Buah Batu, BandungNo. Rek: 130-00-1022845-3A/N. Ahmad Zaenudin

3. Konfirmasi melalui e-mail disertai buk-ti pembayaran ke: [email protected] dengan subjek: Berlangganan

ETNONESIA sebagai organisasi non-profit yang menerbitkan Majalah ET-NONESIA sebagai jurnal resmi organ-isasi membutuhkan beragam biaya untuk melakukan segala bentuk pe-nelitian, eksplorasi, dan petualangan sebagai nadi ETNONESIA.

ETNONESIA memiliki semangat untuk memberikan pemahaman tentang se-gala yang ada di sekitar kita. Manusia dan lingkungan disekitarnya merupa-kan tema besar kami. Aspek-aspek lokal yang kadang dilupakan, bagi kami merupakan bagian penting bagi ETNONESIA untuk memberikan pema-haman yang menyeluruh tentang umat manusia.

Saat pemahaman tentang manusia dan sekitarnya diperoleh lebih baik, kami percaya bahwa saat itu, manusia akan lebih baik merespon segala bentuk ke-hidupan di dunia.

BANTU KAMI MEWUJUDKANNYA!Kunjungi ETNONESIA.ORG/DUKUNGUntuk informasi lebih lanjut + keuntun-gan menjadi donatur ETNONESIA

Page 32: Etnonesia Maret

ETNONESIAEksplorasi - Wawasan - Hiburan

“Terjun kedalam, memahami kemanusiaan”