Diabetes Mellitus

33
BAB I Pendahuluan Diabetes Melitus (DM) adalah kelainan metabolisme karbohidrat, di mana glukosa darah tidak dapat digunakan dengan baik, sehingga menyebabkan keadaan hiperglikemia. 1,2 DM merupakan kelainan endokrin yang terbanyak dijumpai. 3 Penderita DM mempunyai risiko untuk menderita komplikasi yang spesifik akibat perjalanan penyakit ini, yaitu retinopati (bisa menyebabkan kebutaan), gagal ginjal, neuropati, aterosklerosis (bisa menyebabkan stroke), gangren, dan penyakit arteria koronaria (Coronary artery disease). 1,2,3 Prevalensi DM sulit ditentukan karena standar penetapan diagnosisnya berbeda-beda. Berdasarkan kriteria American Diabetes Association (ADA), sekitar 10,2 juta orang di Amerika Serikat (AS) menderita DM dan yang tidak terdiagnosis sekitar 5,4 juta. Dengan demikian, diperkirakan lebih dari 15 juta orang di AS menderita DM. Sementara itu, di Indonesia prevalensi DM sebesar 1,5-2,3% penduduk usia >15 tahun, bahkan di daerah Manado prevalensi DM sebesar 6,1%.4 Pemeriksaan laboratorium bagi penderita DM diperlukan untuk menegakkan diagnosis serta memonitor Tx dan timbulnya komplikasi spesifik akibat penyakit. Dengan demikian, perkembangan penyakit bisa dimonitor dan dapat mencegah komplikasi. 1,5,6 Tujuan penulisan ini adalah untuk menentukan pemeriksaan Laboratorium yang digunakan untuk menegakan diagnosis Diabetes mellitus

Transcript of Diabetes Mellitus

Page 1: Diabetes Mellitus

BAB I

Pendahuluan

Diabetes Melitus (DM) adalah kelainan metabolisme karbohidrat, di mana glukosa darah tidak

dapat digunakan dengan baik, sehingga menyebabkan keadaan hiperglikemia. 1,2 DM merupakan

kelainan endokrin yang terbanyak dijumpai.3 Penderita DM mempunyai risiko untuk menderita

komplikasi yang spesifik akibat perjalanan penyakit ini, yaitu retinopati (bisa menyebabkan

kebutaan), gagal ginjal, neuropati, aterosklerosis (bisa menyebabkan stroke), gangren, dan

penyakit arteria koronaria (Coronary artery disease).1,2,3

Prevalensi DM sulit ditentukan karena standar penetapan diagnosisnya berbeda-beda.

Berdasarkan kriteria American Diabetes Association (ADA), sekitar 10,2 juta orang di Amerika

Serikat (AS) menderita DM dan yang tidak terdiagnosis sekitar 5,4 juta. Dengan demikian,

diperkirakan lebih dari 15 juta orang di AS menderita DM. Sementara itu, di Indonesia

prevalensi DM sebesar 1,5-2,3% penduduk usia >15 tahun, bahkan di daerah Manado prevalensi

DM sebesar 6,1%.4

Pemeriksaan laboratorium bagi penderita DM diperlukan untuk menegakkan diagnosis serta

memonitor Tx dan timbulnya komplikasi spesifik akibat penyakit. Dengan demikian,

perkembangan penyakit bisa dimonitor dan dapat mencegah komplikasi.1,5,6 Tujuan penulisan ini

adalah untuk menentukan pemeriksaan Laboratorium yang digunakan untuk menegakan

diagnosis Diabetes mellitus

.

Page 2: Diabetes Mellitus

BAB II

2.1 Definisi Diabetes Melitus

Diabetes mellitus adalah kelainan endokrin yang ditandai dengan meningkatnya kadar glukosa

darah.1,2,3 Menurut anjuran PERKENI yang sesuai dengan anjuran ADA 1997, DM bisa

diklasifikasikan secara etiologi menjadi diabetes tipe 1, diabetes tipe 2, diabetes dalam

kehamilan, dan diabetes tipe lain.2,3,4 Diabetes mellitus (DM) adalah keadaan hiperglikemia

kronik disertai berbagai kelainan metabolic akibat gangguan hormlonal, yang menimbulkan

berbagai komplikasi kronik pada mata, ginjal, saraf, dan pembulu darah, disertai lesi pada

membran basalis dalam pemeriksaan dengan mikroskop electron.

2.2 Etiologi

Insulin dependent diabetes mellitus (IDDM) atau diabetes mellitus tergantung insulin (DMTI)

disebabkan oleh destruksi sel beta pulau lengerhans akibat proses autoinum. Sedangkan non

insulin dependent diabetes mellitus (DMTTI) disebabkan kegagalan relative sel beta dan resisten

insulin. Resisten insulin adalah turunya kemampuan insulin untuk merangsang pengambilan

glukosa oleh jaringan perifer dan untuk menghambat produksi glokosa oleh hati. Sel beta tidak

mampu mengembangi resistensi insulin ini sepenuhnya, artinya terjadi defisiensi relative insulin.

Ketidakmampuan ini terlihat dari berkurangnya sektret insulin pada rangsangan glukosa, maupun

pada rangsangan glukosa bersama bahan perangsang secret insulin lain. Berarti sel beta pancreas

mengalami desensitisasi terhadap glukosa.

2.3 Manifestasi klinis

Diagnosis DM awalnya dipikirkan dengan adanya gejala khas berupa polifagia,

puliuria,polydipsia, lemas, dan berat badan turun. Gejala lain yang mungkin ditemukan adalah

kesemutan, gatal, mata kabur, dan impotensi pada pria, serta pruritus vulva pada wanita.

2.4.1 Diabetes Tipe 1

Page 3: Diabetes Mellitus

DM tipe 1 atau yang dulu dikenal dengan nama Insulin Dependent Diabetes Mellitus (IDDM),

terjadi karena kerusakan sel b pankreas (reaksi autoimun). Bila kerusakan sel beta telah

mencapai 80--90% maka gejala DM mulai muncul. Perusakan sel beta ini lebih cepat terjadi

pada anak-anak daripada dewasa.2,3 Sebagian besar penderita DM tipe 1 mempunyai antibodi

yang menunjukkan adanya proses autoimun, dan sebagian kecil tidak terjadi proses autoimun.

Kondisi ini digolongkan sebagai type 1 idiopathic. Sebagian besar (75%) kasus terjadi sebelum

usia 30 tahun, tetapi usia tidak termasuk kriteria untuk klasifikasi.2

2.4.2 Diabetes Tipe 2

DM tipe 2 merupakan 90% dari kaaus DM yang dulu dikenal sebagai non insulin dependent

Diabetes Mellitus (NIDDM). Pada diabetes ini terjadi penurunan kemampuan insulin bekerja di

jaringan perifer (insulin resistance) dan disfungsi sel beta. Akibatnya, pankreas tidak mampu

memproduksi insulin yang cukup untuk mengkompensasi insulin resistance. Kedua hal ini

menyebabkan terjadinya defisiensi insulin relatif.2,3 Gejala minimal dan kegemukan sering

berhubungan dengan kondisi ini, yang umumnya terjadi pada usia > 40 tahun. Kadar insulin bisa

normal, rendah, maupun tinggi, sehingga penderita tidak tergantung pada pemberian insulin.2

2.4.3 DM Dalam Kehamilan

DM dan kehamilan (Gestational Diabetes Mellitus - GDM) adalah kehamilan normal yang

disertai dengan peningkatan insulin resistance (ibu hamil gagal mempertahankan euglycemia).

Faktor risiko GDM: riwayat keluarga DM, kegemukan, dan glikosuria. GDM ini meningkatkan

morbiditas neonatus, misalnya hipoglikemia, ikterus, polisitemia, dan makrosomia. Hal ini

terjadi karena bayi dari ibu GDM mensekresi insulin lebih besar sehingga merangsang

pertumbuhan bayi dan makrosomia. Frekuensi GDM kira-kira 3--5% dan para ibu tersebut

meningkat risikonya untuk menjadi DM di masa mendatang.2

2.4.4 Diabetes Tipe Lain

Subkelas DM di mana individu mengalami hiperglikemia akibat kelainan spesifik (kelainan

genetik fungsi sel beta), endokrinopati (penyakit Cushing’s, akromegali), penggunaan obat yang

Page 4: Diabetes Mellitus

mengganggu fungsi sel beta (dilantin), penggunaan obat yang mengganggu kerja insulin (b-

adrenergik), dan infeksi/sindroma genetik (Down’s, Klinefelter’s).2

2.5 Pemeriksaan Gula darah

Untuk Dx DM: pemeriksaan glukosa darah/hiperglikemia (puasa, 2 jam setelah makan/post

prandial/PP) dan setelah pemberian glukosa per-oral (TTGO).1,2,3,4,5,7

2.5.1 Sampling untuk Pemeriksaan Kadar Gula Darah

Untuk glukosa darah puasa, pasien harus berpuasa 6--12 jam sebelum diambil darahnya. Setelah

diambil darahnya, penderita diminta makan makanan seperti yang biasa dia makan/minum

glukosa per oral (75 gr ) untuk TTGO, dan harus dihabiskan dalam waktu 15--20 menit. Dua jam

kemudian diambil darahnya untuk pemeriksaan glukosa 2 jam PP.2,3,4

Darah disentrifugasi untuk mendapatkan serumnya, kemudian diperiksa kadar glukosanya. Bila

pemeriksaan tidak langsung dilakukan (ada penundaan waktu), darah dari penderita bisa

ditambah dengan antiglikolitik (gliseraldehida, fluoride, dan iodoasetat) untuk menghindari

terjadinya glukosa darah yang rendah palsu.2,8,9 Ini sangat penting untuk diketahui karena

kesalahan pada fase ini dapat menyebabkan hasil pemeriksaan gula darah tidak sesuai dengan

sebenarnya, dan akan menyebabkan kesalahan dalam penatalaksanaan penderita DM.

2.5.2 Metode Pemeriksaan Kadar Glukosa

Metode pemeriksaan gula darah meliputi metode reduksi, enzimatik, dan lainnya. Yang paling

sering dilakukan adalah metode enzimatik, yaitu metode glukosa oksidase (GOD) dan metode

heksokinase.1,2,8,9

Metode GOD banyak digunakan saat ini. Akurasi dan presisi yang baik (karena enzim GOD

spesifik untuk reaksi pertama), tapi reaksi kedua rawan interferen (tak spesifik). Interferen yang

bisa mengganggu antara lain bilirubin, asam urat, dan asam askorbat.2,8

Metode heksokinase juga banyak digunakan. Metode ini memiliki akurasi dan presisi yang

sangat baik dan merupakan metode referens, karena enzim yang digunakan spesifik untuk

Page 5: Diabetes Mellitus

glukosa.8 Untuk mendiagosa DM, digunakan kriteria dari konsensus Perkumpulan Endokrinologi

Indonesia tahun 1998 (PERKENI 1998) 3,4,7

Untuk kelompok resiko tinggi yang hasil pemeriksaan penyaring negatif, perlu pemeriksaan

penyaring ulang setiap tahun. Bagi pasien yang berusia > 45tahun tanpa faktor resiko,

pemeriksaan penyaring dapat dilakukan setiap 3 tahun.

Table 1. kadar glukosa darah sewaktu dan puasa dengan metode enzimatik sebagai patokan

penyaring dan diagnosis DM (mg/dl)

Bukan DM Belum DM DM

Kadar glokosa darah

sewaktu

Plasma vena <110 110 – 199 > 200

Darah kapiler <90 90 – 199 >200

Kadar glukosa darah

puasa

Plasma Vena <110 110 – 125 >126

Darah Kapiler <90 90 – 109 >110

Cara pemeriksaan TTGO, adalah :

1. Tiga hari sebelum pemeriksaan pasien makan seperti biasa.

2. Kegiatan jasmani sementara cukup, tidak terlalu banyak.

3. Pasien puasa selama 10 – 12 Jam.

4. Pemeriksaan glukosa darah puasa.

5. Berikan glukosa 75 g yang dilakukan dalam air 250 ml, minum dalam waktu 5 menit.

6. Pemeriksaan glukosa darah 1 jam dan 2 jam sesudah beban glukosa.

7. Selama pemeriksaan, pasien yang diperiksa tetap istirahat dan tidak merokok. WHO

(1985) menganjurkan pemeriksaan standart seperti ini, tetap kita hanya memakai

pemeriksaan glukosa darah 2 jam saja.

Page 6: Diabetes Mellitus

Pemeriksaan Gula darah Postprandial

Pemeriksaan ini dilakukan setelah pemeriksaan gula darah puasa. Pasien diminta menghabiskan

75 gram glukosa yang dilarutkan ke 200 mL air dalam 5 menit. Selanjutnya Anda istirahat tanpa

melakukan aktivitas berlebihan selama 2 jam kemudian diperiksa. Nilai normalnya adalah <140

mg/dl. Pada keadaan sehat, kadar glukosa darah puasa individu yang dirawat jalan dengan

toleransi glukosa normal adalah 70 – 110 mg/dl. Setelah pemberian glukosa, kadar glukosa akan

meningkat, namun akan kembali ke keadaan semula dalam waktu 2 jam. Kadar glukosa serum

yang < 200 mg/dl setelah ½. 1, dan 1 ½ jam setelah pemberian glukosa, dan <140 mg/dl setelah

2 jam setelah pemberian glukosa, ditetapkan sebagai nilai TTGO normal.

Pemeriksaan untuk Pemantauan Pengelolaan DM

Yang digunakan adalah kadar glukosa darah puasa, 2 jam PP, dan pemeriksaan glycated

hemoglobin, khususnya HbA1C, serta pemeriksaan fruktosamin.2,3,4,7,10 Pemeriksaan fruktosamin

saat ini jarang dilakukan karena pemeriksaan ini memerlukan prosedur yang memakan waktu

lama.7 Pemeriksaan lain yang bisa dilakukan ialah urinalisa rutin. Pemeriksaan ini bisa dilakukan

sebagai self-assessment untuk memantau terkontrolnya glukosa melalui reduksi urin.1,7

Pemeriksaan HbA1C

HbA1C adalah komponen Hb yang terbentuk dari reaksi non-enzimatik antara glukosa dengan N

terminal valin rantai b Hb A dengan ikatan Almidin. Produk yang dihasilkan ini diubah melalui

proses Amadori menjadi ketoamin yang stabil dan ireversibel.7,10,11 Metode pemeriksaan HbA1C:

ion-exchange chromatography, HPLC (high performance liquid chromatography),

Electroforesis, Immunoassay, Affinity chromatography, dan analisis kimiawi dengan

kolorimetri.1,2,10,11

Page 7: Diabetes Mellitus

Metode Ion Exchange Chromatography: harus dikontrol perubahan suhu reagen dan kolom,

kekuatan ion, dan pH dari bufer. Interferens yang mengganggu adalah adanya HbS dan HbC

yang bisa memberikan hasil negatif palsu.2,10

Metode HPLC: prinsip sama dengan ion exchange chromatography, bisa diotomatisasi, serta

memiliki akurasi dan presisi yang baik sekali. Metode ini juga direkomendasikan menjadi

metode referensi.10

Metode agar gel elektroforesis: hasilnya berkorelasi baik dengan HPLC, tetapi presisinya kurang

dibanding HPLC. Hb F memberikan hasil positif palsu, tetapi kekuatan ion, pH, suhu, HbS, dan

HbC tidak banyak berpengaruh pada metode ini.2

Metode Immunoassay (EIA): hanya mengukur HbA1C, tidak mengukur HbA1C yang labil maupun

HbA1A dan HbA1B, mempunyai presisi yang baik.2

Metode Affinity Chromatography: non-glycated hemoglobin serta bentuk labil dari HbA1C tidak

mengganggu penentuan glycated hemoglobin, tak dipengaruhi suhu. Presisi baik. HbF, HbS,

ataupun HbC hanya sedikit mempengaruhi metode ini, tetapi metode ini mengukur keseluruhan

glycated hemoglobin, sehingga hasil pengukuran dengan metode ini lebih tinggi dari metode

HPLC.2,10

Metode Kolorimetri: waktu inkubasi lama (2 jam), lebih spesifik karena tidak dipengaruhi non-

glycosylated ataupun glycosylated labil. Kerugiannya waktu lama, sampel besar, dan satuan

pengukuran yang kurang dikenal oleh klinisi, yaitu m mol/L.10

Interpertasi Hasil Pemeriksaan HbA1C

HbA1C akan meningkat secara signifikan bila glukosa darah meningkat. Karena itu, HbA1C bisa

digunakan untuk melihat kualitas kontrol glukosa darah pada penderita DM (glukosa darah tak

terkontrol, terjadi peningkatan HbA1C-nya ) sejak 3 bulan lalu (umur eritrosit). HbA1C meningkat:

pemberian Tx lebih intensif untuk menghindari komplikasi 2,3,4,5,7,10,11

Page 8: Diabetes Mellitus

Nilai yang dianjurkan PERKENI untuk HbA1C (terkontrol): 4%-5,9%.4 Jadi, HbA1C penting

untuk melihat apakah penatalaksanaan sudah adekuat atau belum.1,18 Sebaiknya, penentuan

HbA1C ini dilakukan secara rutin tiap 3 bulan sekali.4

Pemeriksaan untuk Memantau Komplikasi DM

Komplikasi spesifik DM: aterosklerosis, nefropati, neuropati, dan retinopati. Pemeriksaan

laboratorium bisa dilakukan untuk memprediksi beberapa dari komplikasi spesifik tersebut,

misalnya untuk memprediksi nefropati dan gangguan aterosklerosis.2,3,4,6,7

Pemeriksaan Mikroalbuminuria

Pemeriksaan untuk memantau komplikasi nefropati: mikroalbuminuria serta heparan sulfat urine

(pemeriksaan ini jarang dilakukan).1,2,3,4,5,6,7,12,13,1,15,16 Pemeriksaan lainnya yang rutin adalah

pemeriksaan serum ureum dan kreatinin untuk melihat fungsi ginjal.4

Mikroalbuminuria: ekskresi albumin di urin sebesar 30-300 mg/24 jam atau sebesar 20-200

mg/menit.2,3,6,14 Mikroalbuminuria ini dapat berkembang menjadi makroalbuminuria. Sekali

makroalbuminuria terjadi maka akan terjadi penurunan yang menetap dari fungsi ginjal. Kontrol

DM yang ketat dapat memperbaiki mikroalbuminuria pada beberapa pasien, sehingga perjalanan

menuju ke nefropati bisa diperlambat.3,4,6 Pengukuran mikroalbuminuria secara semikuantitatif

dengan menggunakan strip atau tes latex agglutination inhibition, tetapi untuk memonitor pasien

tes-tes ini kurang akurat sehingga jarang digunakan. Yang sering adalah cara kuantitatif: metode

Radial Immunodiffusion (RID), Radio Immunoassay (RIA), Enzym-linked Immunosorbent assay

(ELISA), dan Immunoturbidimetry. Metode kuantitatif memiliki presisi, sensitivitas, dan range

yang mirip, serta semuanya menggunakan antibodi terhadap human albumin.2,6,12,14 Sampel yang

digunakan untuk pengukuran ini adalah sampel urine 24 jam.15

Interpretasi Hasil Pemeriksaan Mikroalbuminuria

Menurut Schrier et al (1996), ada 3 kategori albuminuria, yaitu albuminuria normal (<20

mg/menit), mikroalbuminuria (20--200 mg/menit), Overt Albuminuria (>200 mg/menit).2,17

Page 9: Diabetes Mellitus

Pemeriksaan albuminuria sebaiknya dilakukan minimal 1 X per tahun pada semua penderita DM

usia > 12 tahun.17

Pemeriksaan untuk Komplikasi Aterosklerosis

Pemeriksaan untuk memantau komplikasi aterosklerosis ini ialah profil lipid, yaitu kolesterol

total, low density lipoprotein cholesterol (LDL-C), high density lipoprotein cholesterol (HDL-

C), dan trigliserida serum, serta mikroalbuminuria.4,5,7,18 Pada pemeriksaan profil lipid ini,

penderita diminta berpuasa sedikitnya 12 jam (karena jika tidak puasa, trigliserida > 2 jam dan

mencapai puncaknya 6 jam setelah makan).21

Pemeriksaan untuk Komplikasi Lainnya

Pemeriksaan lainnya untuk melihat komplikasi darah dan analisa rutin. Pemeriksaan ini bisa

untuk melihat adanya infeksi yang mungkin timbul pada penderita DM.3

Untuk pemeriksaan laboratorium infeksi, sering dibutuhkan kultur (pembiakan), misalnya kultur

darah, kultur urine, atau lainnya. Pemeriksaan lain yang juga seringkali dibutuhkan adalah

pemeriksaan kadar insulin puasa dan 2 jam PP untuk melihat apakah ada kelainan insulin darah

atau tidak. Kadang-kadang juga dibutuhkan pemeriksaan lain untuk melihat gejala komplikasi

dari DM, misalnya adanya gangguan keseimbangan elektrolit dan asidosis/alkalosis metabolik

maka perlu dilakukan pemeriksaan elektrolit dan analisa gas darah. Pada keadaan ketoasidosis

juga dibutuhkan adanya pemeriksaan keton bodies, misalnya aceton/keton di urine, kadar asam

laktat darah, kadar beta hidroksi butarat dalam darah, dan lain-lainnya. Selain itu, mungkin untuk

penelitian masih dilakukan pemeriksaan biomolekuler, misalnya HLA (Human Lymphocyte

Antigen) serta pemeriksaan genetik lain.

Page 10: Diabetes Mellitus

Daftar Pustaka

Page 11: Diabetes Mellitus

1. Dods R.F, Diabetes Mellitus, In Clinical Chemistry: Theory, Analysis, Correlation, Eds,

Kaplan L.A, Pesce A.J, 3rd Edition, Mosby Inc, USA, 1996:613-640

2. Sacks D.B., Carbohydrates, In Tietz Fundamentals of Clinical Chemistry, Eds Burtis C.A,

Ashwood E.R, 5th Edition, W.B. Saunders Company, USA, 2001:427-461

3. Foster D.W, Diabetes Mellitus, In Harrison’s Principles of Internal Medicine, Eds Fauci,

Braunwald, Isselbacher, et al, 14th Edition, McGraw-Hill Companies, USA, 1998:623-75

4. Hendromartono, Consensus on The Management of Diabetes Mellitus (Perkeni 1998), In

Surabaya Diabetes Update VI, Eds Tjokroprawiro A, Hendromartono, Sutjahjo A,

Tandra H., Pranoto A., Surabaya, 1999:1-14

5. Kaplan, L.A., Laboratory Approaches, In Method’s in Clinical Chemistry, Eds Amadeo J,

Kaplan L.A., 1987:94-96

6. Tabaei B.P., Al-Kassab A.S., Ilag L.L., et al, Does Microalbuminuria Predict Diabetic

Nephropathy?, Diabetes Care, 24:9, 2001:1560-1566

7. Alberti K.G.M.N., Zimmet P., DeFronzo R.A., International Textbook of Diabetes

Mellitus, Second Edition, John Wiley & Sons Ltd., England, 1997:1027-1074

8. Kaplan, L.A, Carbohydrates and Metabolites, In Method’s in Clinical Chemistry, Eds

Amadeo J, Kaplan L.A., 1989:850-856

9. Landt M., Glyceraldehide Preserves Glucose Concentrations in Whole Blood Specimens,

Clinical Chemistry, 46:8, 2000:1144-1149

10. King, M.E., Glycosylated Hemoglobin, In Method’s in Clinical Chemistry, Eds Amadeo

J, Kaplan L.A., 1987:113-116

11. Peterson, K.P., Pavlovich J.G., Goldstein D., et al., What is Hemoglobin A1c? An

Analysis of Glycated Hemoglobins by Electrospray Ioni-zation Mass Spectrometry,

Clinical Chemistry, 44:9, 1998:1951-1958

12. Gendler, S.M., Albumin, In Method’s in Clinical Chemistry, Eds Amadeo J, Kaplan L.A.,

1987:1066-1073

13. Larson, T.S., Santanello N., Shahinfar S., O’Brien P.C., et al, Trend in Persistent

Proteinuria in Adult-Onset Diebetes, Diabetes Care, 23:1, 2000:51-56

14. Mogensen C.E., Viberti G.C., Peheim E., Kutter D., et al, Multicenter Evaluation of

Micral-Test II Test Strip, an Immunologic Rapid Test for the Detection of

Microalbuminuria, Diabetes Care, 20:11, 1997:1642-1646

Page 12: Diabetes Mellitus

15. Newman D, Price C.P, Renal Function, In Tietz Fundamentals of Clinical Chemistry, Eds

Burtis C.A, Ashwood E.R, 5th Edition, W.B. Saunders Company, USA, 2001:698-722

16. Pedrinelli R., Glampletro O., Carmassi F., Melillo E., et al, Microalbuminuria and

Endothelial Dysfunction In Essential Hypertension, Lancet, 344, 1994:14-18

17. Yogiantoro M., Management of Diabetic Nephropathy, In Surabaya Diabetes Update VI,

Eds Tjokroprawiro A, Hendromartono, Sutjahjo A, Tandra H., Pranoto A., Surabaya,

1999:63-68

18. Rifai N, Albers J.J., Bachorik P.S, Lipids, Lipoproteins and Apolipoproteins, In Tietz

Fundamentals of Clinical Chemistry, Eds Burtis C.A, Ashwood E.R, 5th Edition, W.B.

Saunders Company, USA, 2001:462-493

19. Naito, H.K., Cholesterol, In Method’s in Clinical Chemistry, Eds Amadeo J, Kaplan L.A.,

1987:1156-1176

20. Naito, H.K., High-density Lipoprotein (HDL) Cholesterol, In Method’s in Clinical

Chemistry, Eds Amadeo J, Kaplan L.A., 1987:1179-1192

21. Naito, H.K., Triglycerides, In Method’s in Clinical Chemistry, Eds Amadeo J, Kaplan

L.A., 1987:1215-1226

Page 13: Diabetes Mellitus

Diabetes mellitus (DM) adalah keadaan hiperglikemia kronik disertai berbagai kelainan

metabolic akibat gangguan hormlonal, yang menimbulkan berbagai komplikasi kronik pada

mata, ginjal, saraf, dan pembulu darah, disertai lesi pada membran basalis dalam pemeriksaan

dengan mikroskop electron.

Etiologi

Insulin dependent diabetes mellitus (IDDM) atau diabetes mellitus tergantung insulin (DMTI)

disebabkan oleh destruksi sel beta pulau lengerhans akibat proses autoinum. Sedangkan non

insulin dependent diabetes mellitus (DMTTI) disebabkan kegagalan relative sel beta dan resisten

insulin. Resisten insulin adalah turunya kemampuan insulin untuk merangsang pengambilan

glukosa oleh jaringan perifer dan untuk menghambat produksi glokosa oleh hati. Sel beta tidak

mampu mengembangi resistensi insulin ini sepenuhnya, artinya terjadi defisiensi relative insulin.

Ketidakmampuan ini terlihat dari berkurangnya sektret insulin pada rangsangan glukosa, maupun

pada rangsangan glukosa bersama bahan perangsang secret insulin lain. Berarti sel beta pancreas

mengalami desensitisasi terhadap glukosa.

Page 14: Diabetes Mellitus

Manifestasi klinis

Diagnosis DM awalnya dipikirkan dengan adanya gejala khas berupa polifagia,

puliuria,polydipsia, lemas, dan berat badan turun. Gejala lain yang mungkin ditemukan adalah

kesemutan, gatal, mata kabur, dan impotensi pada pria, serta pruritus vulva pada wanita.

Pemeriksaa penunjang

Pemeriksaan penyaring perlu dilakukan pada kelompok dengan resiko tinggi untuk DM, yaitu

kelompok usia dewasa tua (>40 tahun), obesitas, tekanan darah tinggi, riwayat keluarga DM,

riwayat kehamilan dengan berat badan bayi > 4000 g, riwayat DM pada kehamilan, dan

dyslipidemia.

Pemeriksaan penyaring dapat dilakukan dengan pemeriksaan glukosa darah sewaktu, kadar

glukosa darah puasa (Tabel 1), kemudian dapat diikuti dengan Tes Toleransi Glukosa oral

(TTGO) standar. Untuk kelompok resiko tinggi yang hasil pemeriksaan penyaring negatif, perlu

pemeriksaan penyaring ulang setiap tahun. Bagi pasien yang berusia > 45tahun tanpa faktor

resiko, pemeriksaan penyaring dapat dilakukan setiap 3 tahun.

Table 1. kadar glukosa darah sewaktu dan puasa dengan metode enzimatik sebagai patokan

penyaring dan diagnosis DM (mg/dl)

Bukan DM Belum DM DM

Kadar glokosa darah

sewaktu

Plasma vena <110 110 – 199 > 200

Darah kapiler <90 90 – 199 >200

Kadar glukosa darah

Page 15: Diabetes Mellitus

puasa

Plasma Vena <110 110 – 125 >126

Darah Kapiler <90 90 – 109 >110

Cara pemeriksaan TTGO, adalah :

8. Tiga hari sebelum pemeriksaan pasien makan seperti biasa.

9. Kegiatan jasmani sementara cukup, tidak terlalu banyak.

10. Pasien puasa selama 10 – 12 Jam.

11. Pemeriksaan glukosa darah puasa.

12. Berikan glukosa 75 g yang dilakukan dalam air 250 ml, minum dalam waktu 5 menit.

13. Pemeriksaan glukosa darah 1 jam dan 2 jam sesudah beban glukosa.

14. Selama pemeriksaan, pasien yang diperiksa tetap istirahat dan tidak merokok. WHO

(1985) menganjurkan pemeriksaan standart seperti ini, tetap kita hanya memakai

pemeriksaan glukosa darah 2 jam saja.

Pada keadaan sehat, kadar glukosa darah puasa individu yang dirawat jalan dengan toleransi

glukosa normal adalah 70 – 110 mg/dl. Setelah pemberian glukosa, kadar glukosa akan

meningkat, namun akan kembali ke keadaan semula dalam waktu 2 jam. Kadar glukosa serum

yang < 200 mg/dl setelah ½. 1, dan 1 ½ jam setelah pemberian glukosa, dan <140 mg/dl setelah

2 jam setelah pemberian glukosa, ditetapkan sebagai nilai TTGO normal.

Tes Benedict

Pada tes ini, digunakan reagen Benedict, dan urin sebagai spesimen

Cara kerja :

1. Masukkan 1 – 2 ml urin spesimen ke dalam tabung reaksi

2. Masukkan 1 ml reagen Benedict ke dalam urin tersebut, lalu dikocok

3. Panaskan selama kurang lebih 2-3 menit

4. Perhatikan jika adanya perubahan warna

Page 16: Diabetes Mellitus

Tes ini lebih bermakna ke arah kinerja dan kondisi ginjal, karena pada keadaan DM, kadar

glukosa darah amat tinggi, sehingga dapat merusak kapiler dan glomerulus ginjal, sehingga pada

akhirnya, ginjal mengalami ”kebocoran” dan dapat berakibat terjadinya Renal Failure, atau

Gagal Ginjal. Jika keadaan ini dibiarkan tanpa adanya penanganan yang benar untuk mengurangi

kandungan glukosa darah yang tinggi, maka akan terjadi berbagai komplikasi sistemik yang pada

akhirnya menyebabkan kematian karena Gagal Ginjal Kronik.

Hasil dari Benedic Test

Interpretasi (mulai dari tabung paling kanan) :

0 = Berwarna Biru. Negatif. Tidak ada Glukosa.. Bukan DM

+1 = Berwarna Hijau . Ada sedikit Glukosa. Belum pasti DM, atau DM stadium dini/awal

+2 = Berwarna Orange. Ada Glukosa. Jika pemeriksaan kadar glukosa darah

mendukung/sinergis, maka termasuk DM

Page 17: Diabetes Mellitus

+3 = Berwarna Orange tua. Ada Glukosa. Positif DM

+4 = Berwarna Merah pekat. Banyak Glukosa. DM kronik

Rothera test

Pada tes ini, digunakan urin sebagai spesimen, sebagai reagen dipakai, Rothera agents, dan

amonium hidroxida pekat

Test ini untuk berguna untuk mendeteksi adanya aceton dan asam asetat dalam urin, yang

mengindikasikan adanya kemungkinan dari ketoasidosis akibat DM kronik yang tidak ditangani.

Zat – zat tersebut terbentuk dari hasil pemecahan lipid secara masif oleh tubuh karena glukosa

tidak dapat digunakan sebagai sumber energi dalam keadaan DM, sehingga tubuh melakukan

mekanisme glukoneogenesis untuk menghasilkan energi. Zat awal dari aceton dan asam asetat

tersebut adalah Trigliseric Acid/TGA, yang merupakan hasil pemecahan dari lemak.

Cara kerja :

1. Masukkan 5 ml urin ke dalam tabung reaksi

2. Masukkan 1 gram reagens Rothera dan kocok hingga larut

3. Pegang tabung dalam keadaan miring, lalu 1 - 2 mlmasukkan amonium hidroxida secara

perlahan – lahan melalui dinding tabung

4. Taruh tabung dalam keadaan tegak

5. Baca hasil dalam setelah 3 menit

6. Adanya warna ungu kemerahan pada perbatasan kedua lapisan cairan menandakan adanya

zat – zat keton

Daftar Pustaka

1. Price and Wilson.2006.Patofisiologi.EGC.Jakarta

2. Kapita Selekta Kedokteran, Jilid 1, Edisi ketiga

3. Gandra Soebrata, Penuntun Laboratorium Klinik

Page 18: Diabetes Mellitus

PEMERIKSAAN untuk PEMANTUAN PENGELOLAAN DIABETES

Yang digunakan adalah kadar glukosa darah puasa, 2 jam PP, dan pemeriksaan glycated

hemoglobin, khususnya HbA1C, serta pemeriksaan fruktosamin. Pemeriksaan

fruktosamin saat ini jarang dilakukan karena pemeriksaan ini memerlukan prosedur yang

memakan waktu lama. Pemeriksaan lain yang bisa dilakukan ialah urinalisa rutin.

Pemeriksaan ini bisa dilakukan sebagai self-assessment untuk memantau terkontrolnya

glukosa melalui reduksi urin.

1. Pemeriksaan HbA1C

HbA1C adalah komponen Hb yang terbentuk dari reaksi non-enzimatik antara

glukosa dengan N terminal valin rantai b Hb A dengan ikatan Almidin. Produk

yang dihasilkan ini diubah melalui proses Amadori menjadi ketoamin yang stabil

dan ireversibel.

Metode pemeriksaan HbA1C

Metode Ion-exchange chromatography: harus dikontrol perubahan suhu

reagen dan kolom, kekuatan ion, dan pH dari bufer. Interferens yang

mengganggu adalah adanya HbS dan HbC yang bisa memberikan hasil

negatif palsu.

Metode HPLC (high performance liquid chromatography): prinsip sama

dengan ion exchange chromatography, bisa diotomatisasi, serta memiliki

akurasi dan presisi yang baik sekali. Metode ini juga direkomendasikan

menjadi metode referensi.

Metode Electroforesis: hasilnya berkorelasi baik dengan HPLC, tetapi

presisinya kurang dibanding HPLC. Hb F memberikan hasil positif palsu,

tetapi kekuatan ion, pH, suhu, HbS, dan HbC tidak banyak berpengaruh

pada metode ini.

Page 19: Diabetes Mellitus

Metode Immunoassay (EIA): hanya mengukur HbA1C, tidak mengukur

HbA1C yang labil maupun HbA1A dan HbA1B, mempunyai presisi yang

baik.

Metode Affinity chromatography: non-glycated hemoglobin serta bentuk

labil dari HbA1C tidak mengganggu penentuan glycated hemoglobin, tak

dipengaruhi suhu. Presisi baik. HbF, HbS, ataupun HbC hanya sedikit

mempengaruhi metode ini, tetapi metode ini mengukur keseluruhan

glycated hemoglobin, sehingga hasil pengukuran dengan metode ini lebih

tinggi dari metode HPLC.

Metode Analisis kimiawi dengan Kolorimetri: waktu inkubasi lama (2

jam), lebih spesifik karena tidak dipengaruhi non-glycosylated ataupun

glycosylated labil. Kerugiannya waktu lama, sampel besar, dan satuan

pengukuran yang kurang dikenal oleh klinisi, yaitu m mol/L.

Interpertasi Hasil Pemeriksaan HbA1C

HbA1C akan meningkat secara signifikan bila glukosa darah meningkat. Karena

itu, HbA1C bisa digunakan untuk melihat kualitas kontrol glukosa darah pada

penderita diabetes (glukosa darah tak terkontrol, terjadi peningkatan HbA1C-nya

) sejak 3 bulan lalu (umur eritrosit). HbA1C meningkat: pemberian Tx lebih

intensif untuk menghindari komplikasi.Nilai yang dianjurkan PERKENI untuk

HbA1C (terkontrol): 4%-5,9%. Jadi, HbA1C penting untuk melihat apakah

penatalaksanaan sudah ada kuat atau belum. Sebaiknya, penentuan HbA1C ini

dilakukan secara rutin tiap 3 bulan sekali.

2. Pemeriksaan untuk Memantau Komplikasi Diabetes

Komplikasi spesifik DM: Aterosklerosis, Nefropati, Neuropati, dan Retinopati.

Pemeriksaan laboratorium bisa dilakukan untuk memprediksi beberapa dari

komplikasi spesifik tersebut, misalnya untuk memprediksi Nefropati dan

gangguan Aterosklerosis.

Memprediksi Nefropati

Page 20: Diabetes Mellitus

Pemeriksaan mikroalbuminuria untuk memantau komplikasi nefropati:

mikroalbuminuria serta heparan sulfat urine (pemeriksaan ini jarang

dilakukan). Pemeriksaan lainnya yang rutin adalah pemeriksaan serum

ureum dan kreatinin untuk melihat fungsi ginjal.

Mikroalbuminuria: ekskresi albumin di urin sebesar 30-300 mg/24 jam

atau sebesar 20-200 mg/menit. Mikroalbuminuria ini dapat berkembang

menjadi makroalbuminuria. Sekali makroalbuminuria terjadi maka akan

terjadi penurunan yang menetap dari fungsi ginjal. Kontrol DM yang ketat

dapat memperbaiki mikroalbuminuria pada beberapa pasien, sehingga

perjalanan menuju ke nefropati bisa diperlambat.

Pengukuran mikroalbuminuria secara semikuantitatif dengan

menggunakan strip atau tes latex agglutination inhibition, tetapi untuk

memonitor pasien tes-tes ini kurang akurat sehingga jarang digunakan.

Yang sering adalah cara kuantitatif: metode Radial Immunodiffusion

(RID), Radio Immunoassay (RIA), Enzym-linked Immunosorbent assay

(ELISA), dan Immunoturbidimetry. Metode kuantitatif memiliki presisi,

sensitivitas, dan range yang mirip, serta semuanya menggunakan antibodi

terhadap human albumin. Sampel yang digunakan untuk pengukuran ini

adalah sampel urine 24 jam.

Interpretasi Hasil Pemeriksaan Mikroalbuminuria

Menurut Schrier et al (1996), ada 3 kategori albuminuria, yaitu

albuminuria normal (<20 mg="" menit="" mikroalbuminuria="" 20=""

200="" overt="" albuminuria="">200 mg/menit). Pemeriksaan

albuminuria sebaiknya dilakukan minimal 1 X per tahun pada semua

penderita DM usia > 12 tahun.

Pemeriksaan untuk Komplikasi Aterosklerosis

Page 21: Diabetes Mellitus

Pemeriksaan untuk memantau komplikasi aterosklerosis ini ialah profil

lipid, yaitu kolesterol total, low density lipoprotein cholesterol (LDL-C),

high density lipoprotein cholesterol (HDL-C), dan trigliserida serum, serta

mikroalbuminuria. Pada pemeriksaan profil lipid ini, penderita diminta

berpuasa sedikitnya 12 jam (karena jika tidak puasa, trigliserida > 2 jam

dan mencapai puncaknya 6 jam setelah makan).

PEMERIKSAAN untuk KOMPLIKASI LAINnya

Pemeriksaan lainnya untuk melihat komplikasi darah dan analisa rutin. Pemeriksaan ini bisa

untuk melihat adanya infeksi yang mungkin timbul pada penderita diabetes.

Untuk pemeriksaan laboratorium infeksi, sering dibutuhkan kultur (pembiakan), misalnya kultur

darah, kultur urine, atau lainnya. Pemeriksaan lain yang juga seringkali dibutuhkan adalah

pemeriksaan kadar insulin puasa dan 2 jam PP untuk melihat apakah ada kelainan insulin darah

atau tidak.

Kadang-kadang juga dibutuhkan pemeriksaan lain untuk melihat gejala komplikasi dari diabetes,

misalnya adanya gangguan keseimbangan elektrolit dan asidosis/alkalosis metabolik maka perlu

dilakukan pemeriksaan elektrolit dan analisa gas darah.

Pada keadaan ketoasidosis juga dibutuhkan adanya pemeriksaan keton bodies, misalnya

aceton/keton di urine, kadar asam laktat darah, kadar beta hidroksi butarat dalam darah, dan lain-

lainnya. Selain itu, mungkin untuk penelitian masih dilakukan pemeriksaan biomolekuler,

misalnya HLA (Human Lymphocyte Antigen) serta pemeriksaan genetik lain.

(http://www.bioactives-morinda.com/tahitiannoni/nonikesehatan/11-pemeriksaan-diabetes-

melitus )

Kontrol HbA1C

Pemeriksaan hemoglobin terglikasi (HbA1C), disebut juga glycohemoglobin atau disingkat

sebagai A1C, merupakan salah satu pemeriksaan darah yang penting untuk mengevaluasi

pengendalian gula darah. Hasil pemeriksaan A1C memberikan gambaran rata-rata gula darah

selama periode waktu enam sampai dua belas minggu dan hasil ini dipergunakan bersama

Page 22: Diabetes Mellitus

dengan hasil pemeriksaan gula darah mandiri sebagai dasar untuk melakukan penyesuaian

terhadap pengobatan diabetes yang dijalani.

Hemoglobin adalah salah satu substansi sel darah merah yang berfungsi untuk mengangkut

oksigen ke seluruh tubuh. Ketika gula darah tidak terkontrol (yang berarti kadar gula darah

tinggi) maka gula darah akan berikatan dengan hemoglobin (terglikasi). Oleh karena itu, rata-rata

kadar gula darah dapat ditentukan dengan cara mengukur kadar HbA1C. Bila kadar gula darah

tinggi dalam beberapa minggu, maka kadar HbA1C akan tinggi pula. Ikatan HbA1C yang

terbentuk bersifat stabil dan dapat bertahan hingga 2-3 bulan (sesuai dengan usia sel darah

merah). Kadar HbA1C akan mencerminkan rata-rata kadar gula darah dalam jangka waktu 2-3

bulan sebelum pemeriksaan.

Korelasi antara Kadar A1C dan Rata-rata Kadar Gula Darah

HbA1C (%) Rata-rata Gula Darah (mg/dl)

6 135

7 170

8 205

9 240

10 275

11 310

12 345

Kadar HbA1C normal pada bukan penyandang diabetes antara 4% sampai dengan 6%. Beberapa

studi menunjukkan bahwa diabetes yang tidak terkontrol akan mengakibatkan timbulnya

komplikasi, untuk itu pada penyandang diabetes kadar HbA1C ditargetkan kurang dari 7%.

Semakin tinggi kadar HbA1C maka semakin tinggi pula resiko timbulnya komplikasi, demikian

pula sebaliknya. Diabetes Control and Complications Trial (DCCT) dan United Kingdom

Prospective Diabetes Study (UKPDS) mengungkapkan bahwa penurunan HbA1C akan banyak

Page 23: Diabetes Mellitus

sekali memberikan manfaat. Setiap penurunan HbA1C sebesar 1% akan mengurangi risiko

kematian akibat diabetes sebesar 21%, serangan jantung 14%, komplikasi mikrovaskular 37%

dan penyakit vaskuler perifer 43% (UKPDS 35. BMJ 2000:321:405-12).

Penyandang diabetes direkomendasikan untuk melakukan pemeriksaan HbA1C setiap tiga bulan

untuk menentukan apakah kadar gula darah telah mencapai target yang diinginkan. Pada

penyandang diabetes dengan gula darah terkontrol baik maka frekuensi pemeriksaan dapat

dilakukan sedikitnya dua kali setahun. Berdasarkan data medical outcome Klinik Diabetes

Nusantara (KDN) sampai dengan bulan Mei 2007, didapatkan rasio rata-rata penyandang

diabetes yang berobat di KDN mencapai kadar HbA1C kurang dari 7% setelah menjalani

pengobatan selama 6 bulan adalah sebesar 56.8%, dan rasio tertinggi dicapai pada bulan Maret

2007 sebesar 60.8%. Semua ini berkat kerja sama yang baik antara pasien dan dokter dalam

program pengobatan diabetes yang dijalankan untuk mencapai kadar HbA1C yang dinginkan

bersama.

Antibodi untuk petanda (marker) adanya proses autoimun pada sel beta adalah islet cell

cytoplasmic antibodies (ICA), insulin autoantibodies (IAA), dan antibodi terhadap glutamic acid

decarboxylase (anti-GAD). ICA bereaksi dengan antigen yang ada di sitoplasma sel-sel endokrin

pada pulau-pulau pankreas. ICA ini menunjukkan adanya kerusakan sel. Adanya ICA dan IAA

menunjukkan risiko tinggi berkembangnya penyakit ke arah diabetes tipe 1. GAD adalah enzim

yang dibutuhkan untuk memproduksi neurotransmiter g-aminobutyric acid (GABA). Anti GAD

ini bisa teridentifikasi 10 tahun sebelum onset klinis terjadi. Jadi, 3 petanda ini bisa digunakan

sebagai uji saring sebelum gejala DM muncul.2

Untuk membedakan tipe 1 dengan tipe 2 digunakan pemeriksaan C-peptide. Konsentrasi C-

peptide merupakan indikator yang baik untuk fungsi sel beta, juga bisa digunakan untuk

memonitor respons individual setelah operasi pankreas. Konsentrasi C-peptida akan meningkat

pada transplantasi pankreas atau transplantasi sel-sel pulau pankreas.2